29
UNIVERSITAS INDONESIA Makalah Perkawinan Sejenis di Indonesia (Kasus Icha dan Umar) (Tugas Mid Semester Filsafat Hukum) Pengajar : Prof. Erman Radjaguguk, S.H., LL.M., Ph.D. Nama : Rizky Amalia NPM : 1506697492 Kelas : Hukum Ekonomi Pagi FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER HUKUM EKONOMI JAKARTA OKTOBER 2015

Filkum Perkawinan Sejenis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hahhsbhasdha

Citation preview

Page 1: Filkum Perkawinan Sejenis

UNIVERSITAS INDONESIA

Makalah Perkawinan Sejenis di Indonesia (Kasus Icha dan Umar)

(Tugas Mid Semester Filsafat Hukum)

Pengajar : Prof. Erman Radjaguguk, S.H., LL.M., Ph.D.

Nama : Rizky Amalia NPM : 1506697492Kelas : Hukum Ekonomi Pagi

FAKULTAS HUKUMPROGRAM MAGISTER HUKUM EKONOMI

JAKARTAOKTOBER 2015

Page 2: Filkum Perkawinan Sejenis

A. Pendahuluan

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan

di alam dan dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia,

tetapi juga terjadi pada tanaman, tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk

yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti

perkembangan budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat

sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang

maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.1

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada

suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu

berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,

kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan

perkawinan bangsa Indonesia, bukan saja dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat,

tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi

budaya perkawinan barat.2 Yang mana berakibat berbedanya aturan perkawinan di setiap

masyarakat.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa: “Perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”. Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1994 perkawinan itu ialah ikatan antara

seorang pria dengan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan.3 Maka

apabila kita kaitkan dengan Pasal 26 KUH Perdata, dikatakan ‘Undang-undang memandang

soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata’ dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan

bahwa: “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak

membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai

pencatatan sipil telah berlangsung”.

Selain kesimpangsiuran peraturan perkawinan yang berlaku di zaman Hindia Belanda

itu, jelas bahwa menurut perundangan yang tegas dinyatakan dalam KUH Perdata,

perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal

1Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 1.2Ibid.3Ahmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo, 1995, hlm. 8.

Page 3: Filkum Perkawinan Sejenis

mana jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran

Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya.4

Pertentangan pengertian perkawinan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dengan falsafah pancasila jelas membuat perbedaan pengertian perkawinan menurut

KUH Perdata dan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan menurut KUH Perdata hanya

sebagai ‘Perikatan Perdata’ sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak

hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’. Hal mana dilihat

dari tujuan perkawinan dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 bahwa: “Perkawinan itu

bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat demikian tidak ada sama sekali dalam KUH Perdata

yang diumumkan dengan Maklumat tanggal 30 April 1847 (S. 1847-23) dan berlaku di

Indonesia sampai tahun 1974.

Pada umumnya menurut hukum agama, perkawinan adalah perbuatan yang suci, yaitu

suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha

Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan

dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.5 Perkawinan merupakan akad

(perikatan) yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-

tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya bukan muhrim.6

Menindaklanjuti larangan pernikahan sesama jenis yang biasanya juga sering disebut

homoseksual atau lesbian. Dalam pengertiannya, homoseksualitas adalah kecenderungan

untuk tertarik kepada orang lain yang berkelamin sejenis. Pengertian lain homoseksual adalah

keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama, baik itu kepada sesama laki-

laki maupun kepada sesama perempuan.7 Lawan kata homoseksual adalah heteroseksual yang

berarti keadaan tertarik pada hubungan seks dengan lawan jenis. Dalam perkembangannya,

istilah ini lebih sering digunakan untuk seks sesama pria, sedangkan untuk seks sesama

perempuan disebut lesbian.

Berdasarkan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia perkawinan sesama

jenis tidak diperbolehkan. Mengacu pada Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang menerangkan bahwa ”perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-4Ibid, hlm. 7.5ibid, hlm. 10.6Mohd. Idris Ramulyono, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 1.7 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2001), hlm. 312.

Page 4: Filkum Perkawinan Sejenis

laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8 Berbeda

dengan formulasi ulama klasik mengenai terminologi nikah, dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI) pernikahan justru dirumuskan dalam frame yang agak berbeda. Dalam Bab I pasal 2

dan 3 disebutkan “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang

sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah merupakan ibadah.9

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah

wa rahmah.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ekplisit memang tidak mengatur masalah yang

berkaitan dengan pernikahan sesama jenis. Besar kemungkinan, karena formulasi nikah versi

KHI ini sudah tidak lagi memperhatikan subjek yang melakukan akad. Artinya membangun

rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, seperti yang tertulis dalam regulasi

tersebut, sedikitpun tidak menyiratkan adanya peluang bagi legalisasi pernikahan gay dan

lesbian. Karena dalam pasal lain disebutkan bahwa asas perkawinan adalah monogami.

Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan heteroseksual

atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika pernikahan homoseksual atau

nikah dengan sesame jenis banyak mendapat kontroversi di masyarakat karena di anggap

aneh, menyimpang dari hukum syara’, dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa.

Kasus perkawinan sejenis meskipun pada kenyataannya dilarang di Indonesia ternyata

tetap dilakukan secara diam-diam, yang membuat kemudian masalah ini menjadi patut

dibahas karena bagaimana cara pelaku perkawinan sejenis dapat meloloskan tindakannya.

Seperti contoh kasus Umar dan Icha. Pernikahan sesama jenis kelamin, yang sudah

berlangsung selama 6 bulan pun terungkap. Ironisnya, terungkapnya kasus ini justru karena

kecurigaan sejumlah warga yang berdomisili di sekitar rumah mempelai pria, Muhammad

Umar, di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Oleh warga dan sang suami, Icha yang memiliki nama

asli Rahmat Sulistyo, akhirnya dipaksa menjalani  pemeriksaan kelamin. Hasilnya, terungkap

identitas asli Icha, yang tidak lain adalah lelaki tulen. Atas temuan ini, Icha dilaporkan ke

Mapolsek Jatiasih, Bekasi, untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Icha  kini ditetapkan

sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal 266 KUHP, tentang pemalsuan identitas. Selain

memalsukan identitas, keduanya ternyata juga memalsukan surat nikah. Karena

ternyata pernikahan mereka tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Kepastian pemalsuan

8Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2004), hlm. 16.

9UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), hlm. 2.

Page 5: Filkum Perkawinan Sejenis

surat nikah ini diungkapkan Kepala KUA Kecamatan Jatiasih, Muhammad Sumroni, yang

sempat menghindar dari kejaran wartawan, sesaat setelah mencuatnya kasus pernikahan

sejenis ini.10 

Icha mengkonfrontir hubungan mereka berdua adalah hubungan yang "saling

mencintai dan menyayangi" dan menegaskan bahwa ini adalah kesalahan mereka berdua dan

mereka harus menanggung bersama. Dengan latar belakang diatas, makalah ini bertujuan

untuk membahas bagaimana ketentuan pernikahan homoseksual yang hidup di Negara kita

(Indonesia).

B. Pembahasan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi

institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang

wanita.11 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat

penting terhadap institusi yang bernama perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan

Wiarda, memberikan definisi bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria

dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk bersama/bersekutu yang kekal. Esensi

dari yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga

hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di

dalamnya. 12

Sementara menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa perkawinan

merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal

dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti

dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah

pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seoarang perempuan untuk waktu yang lama.13

Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan bahwa perkawinan adalah akad

antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut yang diatur oleh syariah.

Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami isteri.14

10Adam Fadhlurahman, Kasus Pernikahann Sejenis Apakah Umar Hanya Korban Icha, http://www.kompasiana.com, diakses pada tanggal 11 Oktober 2015, pukul 19.21 WIB.

11Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 61.12Dikutip dalam R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,

Surabaya: Airlangga Press University, 2008, hlm. 18.13Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2000, hlm. 23.14Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Bandung: Bumi Aksara, hlm. 107.

Page 6: Filkum Perkawinan Sejenis

Di dalam lingkungan peradaban barat dan di dalam sebagai lingkungan peradaban

bukan barat, perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita

yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga

religius, menurut tujuan suami isteri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama

hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan.

Dasar-dasar dari perkawinan tersebut dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan

itu sendiri; kebutuhan dan fungsi biologis, menurunkan, kebutuhan akan kasih sayang dan

persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik

anak-anak itu menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwardig). Bentuk

tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam; berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi

sebagai lembaga (pranata).

Di samping itu, bila definisi perkawinan tersebut ditelaah, maka terdapat lima unsur

perkawinan di dalamnya yaitu: (1) ikatan lahir batin; (2) antara seorang pria dan wanita; (3)

sebagai suami isteri; (4) membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal; dan

(5) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15

1. Tujuan Perkawinan

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa perkawinan: (1) berlangsung seumur

hidup; (2) cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir; dan (3)

suami isteri membantu untuk mengembangkan diri.

Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu

kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti

sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan

rohaniah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.

Hukum Islam memberikan pandangan yang dalam tentang pengaruh perkawinan dan

kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah tangga, dan umat. Oleh sebab itu,

Islam memandang bahwa perkawinan bukanlah hanya sekadar akad dan persetujuan biasa

yang cukup diselesaikan dengan ijab qabul serta saksi, sebagaimana perjanjian-perjanjian

lain. Melainkan perjanjian itu ditingkatkan menjadi mitsaq, piagam perjanjian, persetujuan

15 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hlm. 104.

Page 7: Filkum Perkawinan Sejenis

dan ikatan yang meresap ke dalam jiwa dan sanubari, pertanggungjawabannya untuk terus

memelihara dan memenuhinya, biar bagaimanapun kesukaran rintangan yang dihadapi.

Perkawinan dinyatakan oleh Allah sebagai ‘suatu ikatan yang teguh’ dan janji yang kuat,

sukar untuk membuka dan meninggalkannya.

Adapun menurut Kaelany H.D.,16 terdapat hikmah dibalik perikatan pernikahan antara

pria dan wanita antara lain: (1) hidup tenteram dan sejahtera; (2) menghindari perzinahan; (3)

memelihara keturunan; (4) memelihara wanita yang bersifat lemah; (5) menciptakan

persaudaraan baru; dan (6) berhubungan dengan kewarisan.

2. Sahnya Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”.17 Jadi perkawinan yang sah menurut

hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan

hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata ‘hukum

masing-masing agamanya’ berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing’ yaitu

hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.18

Kembali pada perkawinan sejenis, apabila suatu perkawinan tersebut kemudian

dikembalikan pada agama, maka kita harus menelaah agama mana yang mendukung

diperbolehkannya terjadi pernikahan sesama jenis.

Berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, untuk melaksanakan suatu

perkawinan harus ada:

1) Calon suami;

2) Calon isteri;

3) Wali nikah;

4) Dua orang saksi dan;

5) Ijab dan Kabul.

Syarat-syarat bagi kedua mempelai adalah beragama Islam; laki-laki untuk calon

suami dan perempuan untuk calon isteri, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan, dan

16 Kaelany H.D., Op. cit., hlm. 108.17Lili Rasjid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Masyarakat dan Indonesia, Bandung: Alumni,

1982, hlm. 105. 18Hilman Hadikusuma, Op. cit., hlm. 25.

Page 8: Filkum Perkawinan Sejenis

tidak terdapat halangan perkawinan.19 Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam

akad nikah ialah harus orang beragama Islam, sudah dewasa (baligh), berakal sehat, dapat

melihat, mendengar dan memahami tentang akad nikah dan berlaku adil. Tidak dikatakan

orang yang tidak ada hubungan darah atau saudara dari kedua mempelai. Jadi walaupun

masih saudara dari kedua mempelai dapat menjadi saksi. Namun pada kenyataannya jarang

sekali yang masih ada hubungan kekerabatan akrab dengan mempelai ditunjuk menjadi saksi

akad nikah.20

Dalam pelaksanaan akad nikah pada umumnya diikut sertakan pegawai P3N yang

sekaligus berfungsi sebagai penghulu, tetapi ini bukan merupakan keharusan, penghulu dapat

dimungkinkan pihak kerabat atau orang yang dituakan oleh kedua belah calon mempelai,

asalkan penghulu yang ditunjuk cakap di mata hukum agama dan hukum nasional.21

3. Syarat-syarat Perkawinan

Berdasarkan KUH Perdata bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan haruslah

dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan antara lain: syarat materiil dan

syarat formil.

a. Syarat Materiil

Syarat Materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat yang

menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang

harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat

materiil meliputi syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif.22

Syarat materiil absolut adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan tanpa memandang dengan siapa ia akan melangsungkan

perkawinan. Syarat-syarat ini berlaku umum, bila salah satu dari syarat tersebut tidak

dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan. Dalam hal yang demikian

dapat dikatakan bahwa ada rintangan perkawinan yang mutlak.23

Syarat-syarat tersebut ada lima macam yaitu:

19Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 12. 20Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm. 29. 21Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Palembang: PT. Rambang,

2006, hlm. 38. 22Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hlm. 110.23R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan , Op. cit., hlm. 19.

Page 9: Filkum Perkawinan Sejenis

i. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak terikat dengan suatu

perkawinan lain (Pasal 27 KUH Perdata);

ii. Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28 KUH Perdata);

iii. Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan

oleh undang-undang, laki-laki berumur 18 tahun, perempuan berumur 15

tahun (Pasal 29 KUH Perdata);

iv. Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat dari 300

hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang terakhir (Pasal 34 KUH

Perdata);

v. Harus ada izin dari pihak ketiga.

Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini. Seseorang

yang telah memenuhi syarat materiil mutlak dapat melangsungkan perkawinan, namun

kendati demikian ia tidak boleh kawin dengan sembarang orang dan ia pun harus memenuhi

syarat-syarat materiil relatif dengan pihak yang akan dikawininya. Syarat materiil ini antara

lain:

i. Tidak adanya hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga sangat

dekat antar keduanya (Pasal 30 dan Pasal 31 KUH Perdata);

ii. Antara keduanya tidak pernah melakukan overspel (Pasal 32 KUH

Perdata);

iii. Tidak melakukan perkawinan terhadap orang yang sama setelah dicerai

(reparatie huwelijk) untuk yang ketiga kalinya.

b. Syarat Formil

Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas-

formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. Syarat-syarat ini hanya berlaku

bagi golongan Eropa, dan tidak berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 70 KUH Perdata.24

Ketentuan-ketentuan yang menyangkut persoalan tersebut, terdapat dalam Pasal 50

sampai dengan Pasal 94 KUH Perdata. Barang siapa yang berkehendak melangsungkan

perkawinan, maka wajib memberitahukan kehendaknya pada pejabat Catatan Sipil untuk

dibukukan dalam “daftar pemberitahuan kawin” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50

sampai dengan Pasal 51 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 52 KUH Perdata, sebelum

24Ibid, hlm. 25.

Page 10: Filkum Perkawinan Sejenis

perkawinan dilangsungkan oleh pejabat Catatan Sipil, pemberitahuan tersebut harus

diumumkan selama 10 hari bila dalam jangka waktu satu tahun terhitung sejak pengumuman

tidak dapat dilangsungkan perkawinan, maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum

diadakan pengumuman baru. Hal ini mengingat maksud dan tujuan pengumuman perkawinan

tersebut adalah memberi kesempatan pihak ketiga agar dapat mencegah perkawinan seperti

yang ditentukan oleh Pasal 59 sampai dengan Pasal 70 KUH Perdata.25

Undang-undang secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang

menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan

mekanismenya.26 Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1947, yaitu:27

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua;

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud

ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari

orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang

yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya;

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat 2,3, dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak

menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat

tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang

tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang

tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini;

6) Ketentuan tersebut dalam ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.

25Ibid, hlm. 26.26Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm. 40.27Zainuddin Ali, Op. Cit., hlm. 21.

Page 11: Filkum Perkawinan Sejenis

Disamping itu undang-undang juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi

calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar

apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi,28 yang dicantumkan dalam Pasal 7

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun

dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi

kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak

pria maupun pihak wanita.

3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua

tersebut dalam Pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-undang ini berlaku juga dalam hal

permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang

dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.

Selain persyaratan tersebut, berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974, suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dilarang apabila: (1) ada hubungan

darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas; (2) ada hubungan darah dalam garis

keturunan menyamping; (3) ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu/bapak tiri; dan (4) mempunyai hubunganyang oleh agamnya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.29

Disebutkan juga dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa:

“Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,

kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Deskripsi Perkawinan Sejenis

Perilaku Homoseksual adalah perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis,

yang bila terjadi pada kaum wanita sering disebut lesbianisme. Homoseksualitas sudah sering

terjadi sepanjang sejarah umat manusia, reaksi berbagai bangsa di berbagai kurun waktu

sejarah terhadap homoseksualitas ternyata berlainan. Dalam praktik sulit membagi orang

kedalam dua kelompok: homoseksual dan heteroseksual,keduanya merupakan dua kutub

yang ekstrem. Banyak masyarakat yang memandang heteroseksualitas sebagai perilaku

seksual yang “wajar”, sedangkan homoseksualitas secara tradisional dipandang sebagai

28Sudarsono, Op.cit., hlm. 41. 29Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hlm . 112.

Page 12: Filkum Perkawinan Sejenis

gangguan mental. Sisi lain yang perlu dicatat ialah bahwa homoseksualitas dapat meliputi

sejumlah hal, seperti kecenderungan, aktivitas, status, peran, atau konsep-diri, serta bahwa

seseorang tidak harus sama-sama homoseksual disegala sisi atau bidang tersebut.

Dalam masyarakat yang sudah lebih toleran teradap homoseksual, sering ditemukan

komunitas gay. Yang mana, komunitas gay adalah wilayah geografis yang terdapat subkultur

homoseksual beserta aneka pranatanya. Komunitas homoseksual, sistem nilai, teknik

komunikasi, dan pranata-pranata suportif maupun protektif, seperti tempat tinggal, toko

pakaian, toko buku, gedung bioskop, dan sebagainya yang bersifat unik dan eksklusif, khusus

untuk kaum homoseksual. Tetapi di Indonesia kita belum pernah mendengar adanya

komunitas semacam ini.30

Adapun faktor penyebab tejadinya homoseksualitas bisa bermacam-macam,seperti

karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapat pengalaman

homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau sesudahnya, karena memandang

perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan, ataupun

karena besar ditengah keluarga dimana ibu lebih dominan daripada sang ayah atau bahkan

tidak ada.

Lalu apakah perilaku Homoseksual atau Lesbian itu sebuah penyakit ataukah suatu

perilaku yang tidak sesuai di dalam masyarakat? Bisa dikatakan bahwa Homoseksual atau

Lesbian itu adalah sebuah penyakit dimana mereka melampiaskan kebutuhan seksualnya

tetapi tidak pada hal yang sewajarnya, mereka melakukanya tidak pada lawan jenis tetapi

sesama jenis. Biasanya perilaku itu muncul karena lingkunganya lah yang sudah membentuk

main sheet/pikiran mereka untuk melakukan tindakan penyimpangan itu,mungkin pada suatu

daerah hal itu dianggap biasa saja tetapi pada masyarakat umumnya hal itu adalah suatu yang

tabu untuk dilakukan, apalagi menurut agama perbuatan itu sangat dilarang dan melanggar

ajaran-ajaran agama.

1. Pandangan pernikahan sejenis atau homoseksual dalam Islam

Dalam Islam, homoseksual disebut liwath atau “amal qaumi luthin”. Istilah tersebut

timbul karena perbuatan seperti itu pertama kali dilakukan oleh umat Nabi Luth yang hidup

sezaman dengan Nabi Luth.31

30Ann Landers. Problema dan Romantika Remaja (Terjemahan). Bina Pustaka: Jakarta. Hal. 5-6.

31Yatimin, Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam, (Penerbit Amzah, 2003) hlm. 33.

Page 13: Filkum Perkawinan Sejenis

Allah SWT menceritakan masalah homoseksual dalam Al Qur’an, sebagaimana yang

terdapat pada sebagian Surah di atas, masih banyak surah yang membahas masalah

homoseksual yakni: Al A‟raaf (7): 80-84, Al Hijr (15): 59-77, Al Anbiyaa‟ (21): 74-75, Asy

Syu‟araa‟ (26): 160-175, An Naml (27): 54-58, Al Ankabuut (29): 28-35, Ash Shaaffaat

(37): 133-138, dan Al Qamar (54): 33-40.32

Hukum Islam juga menentang adanya perkawinan sesama jenis (laki-laki dengan laki-

laki/ perempuan dengan perempuan) yang didasarkan pada kaidah- kaidah agama Islam yang

bersumber pada al-Qur’an dan Hadis Nabi. Terdapat berbagai ayat dalam al-Qur’an:33

Al-Qur’an melarang segala hubungan seks selain hubungan seks di dalam ikatan

perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebagian besar penikmat

homoseksualitas mengklaim bahwa mereka terlahir dengan kecenderungan seks sesama jenis

itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai pilihan, “sudah dari sananya”.

Meskipun asumsi ini masih bisadiperdebatkan di dunia medis, bahkan kalaupun asumsi ini

memang benar, al- Qur’an dengan tegas menolak menjadikannya sebagai pembenaran bagi

pecinta sesama jenis.34

Dari arti surah di atas dapat penulis tarik bahwasanya dari sisi agama Islam,

perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-

A’raaf (7): 80-84, jadi perkawinan sejenis adalah haram hukumnya. Di samping itu

Perkawinan sesama jenis di Indonesia, dari kacamatra agama dan adat, belum mendapat

perespektif layak untuk dilakukan, bahkan dapat disebut dari kacamata agama sebagai suatu

perbuatan dosa dan dari kacmata adat merupakan perbuatan dosa dan aib. Diluar Indonesia,

di negara-negara yang telah lama menjungjung tinggi HAM, persamaan jender, ada yang

sudah berani mengakui perkawinan sesama jenis.

Sedangkan dalam Islam sendiri tujuan dari pernikahan salah satunya adalah

mendapatkan Rumah tangga yang ideal, menurut ajaran Islam rumah tangga yang ideal

meliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang),

Allah berfirman: “Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram

bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih

32Muhammad bin Ibrahim Az-Zulfi, Homoseks, (Bandung:Hikma, 2005), hlm. 11.

33Lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975), hlm. 165.

34Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 44

Page 14: Filkum Perkawinan Sejenis

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum

yang berpikir”.

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami

kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami

tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an

Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari

kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan

manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia

mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan. Selain hal tersebut, Islam sendiri

menganjurkan pernikahan dikarenakan untuk bisa meneruskan garis keturunan atau bahkan

berlomba-lomba memperbanyak umat dibanding umat-umat lain.

2. Peraturan pemerintah di Indonesia terhadap kaum homoseksual

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU

Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri.

Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan

wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) beserta penjelasannya dan Pasal 45

ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran

Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perda DKI Jakarta No. 2/2011”) beserta penjelasannya:

Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:

Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib

dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan

paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Page 15: Filkum Perkawinan Sejenis

Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga secara tidak langsung hanya

mengakui perkawinan antara pria dan wanita, yang dapat kita lihat dari beberapa pasal-

pasalnya di bawah ini:35

Pasal 1 huruf a KHI:

Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara

seorang pria dengan seorang wanita.

Pasal 1 huruf d KHI:

Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,

baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga memberikan

pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik Kontroversi Perkawinan

Sejenis, sebagaimana kami sarikan, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas

menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan,

“Masak laki-laki sama laki-laki atau perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi

Luth. Perbuatan ini jelas lebih buruk daripada zina.” Penolakan serupa juga dikatakan oleh

pengajar hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia

mengatakan bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam Al Quran jelas

perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.36

Jadi, dapat kiranya disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan di

Indonesia perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum,

perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum agama

Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.

Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia

1. Dalam Instrumen Hukum Internasional

Dasar  pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai

landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan

kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi

35M. Hasan Ali. Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam.( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hlm. l45.

36Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV. Haji Masagung) Hlm. 78.

Page 16: Filkum Perkawinan Sejenis

yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia

semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya

hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak

kebebasan.37

Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini,  pria

dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau

agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak

yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian.  Syarat

perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila

keduanya setuju tanpa syarat.

Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental

dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan

negara. DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa

pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,

kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas

dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari

mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah

perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan

Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan

masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat

dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk

melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar

bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo.

Pasal 10 ICESCR).

2.  Dalam Hukum Instrumen hukum Nasional

37 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 309.

Page 17: Filkum Perkawinan Sejenis

Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama

lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau

pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM).

Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang

Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM

berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan

hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua

tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah

dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU

HAM.  Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan,

yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.38

C. Penutup

Islam meyakini bahwa segala perintah dan larangan Allah SWT baik berupa larangan

atau perintah tak lain bertujuan untuk menciptalan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan

akhirat, termasuk tujuan pelarangan praktik homoseksual dan lesbian yang dimaksudkan

untuk memanusiakan manusia dan menghormati hak-hak mereka. Untuk hukumnya

sendiripun sudah jelas bahwasanya haram untuk dilakukan dan tidak patut untuk dilakukan

karena hal ini adalah perbuatan yang keji. 

Di Indonesia, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri.

Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga bahwa

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

38 Bhakti, bh4kti.multiply.com, Journal Item 18, diunduh pada tanggal 11 Oktober 2015, pukul 19.15 WIB.

Page 18: Filkum Perkawinan Sejenis

kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria,

negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.

Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan

wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1).

Perlunya penjelasan yang lebih jelas dan tegas mengenai pemberian sanksi bagi

pelaku homoseksual di dalam hukum pidana. Perlunya tindakan nyata upaya aparat penegak

hukum dalam menanggulangi kasus homoseksual dalam masyarakat. Perlu pula dibentuk

suatu lembaga untuk menampung para homoseksual yang terjaring razia agar mereka bisa

kembali menjadi jati diri yang sebenarnya.

Daftar Referensi

A. Buku

Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003).

Ahmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo, 1995.

Ann Landers. Problema dan Romantika Remaja (Terjemahan). Bina Pustaka: Jakarta.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975).

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007.

Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Bandung: Bumi Aksara.

Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I),

(Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2004).

Lili Rasjid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Masyarakat dan Indonesia, Bandung:

Alumni, 1982.

M. Hasan Ali. Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum

Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).

Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV. Haji

Masagung).

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988).

Mohd. Idris Ramulyono, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang No.

1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Muhammad bin Ibrahim Az-Zulfi, Homoseks, (Bandung:Hikma, 2005).

Page 19: Filkum Perkawinan Sejenis

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya:

Airlangga Press University, 2008.

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2000.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Palembang: PT.

Rambang, 2006.

Yatimin, Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam, (Penerbit Amzah, 2003).

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

B. Media Internet

Adam Fadhlurahman, Kasus Pernikahann Sejenis Apakah Umar Hanya Korban Icha,

http://www.kompasiana.com.

Bhakti, Journal Item 18, bh4kti.multiply.com,

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk.

Kompilasi Hukum Islam.