26
16 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Filologi 1. Pengertian Filologi Pada mulanya, istilah ”filologi (philologia)” lahir dan berkembang di kawasan kerajaan Yunani, yaitu kota Iskandariyah. Pada saat itu filologi diartikan sebagai suatu keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya (Baroroh- Baried, 1985: 1). Salah satu tujuan dari diadakannya pengkajian terhadap teks yang ada di dalam naskah lama pada saat itu adalah untuk menemukan bentuk teks yang asli serta untuk mengetahui maksud dari pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang arti asliya ”kegemaran berbincang-bincang”. Makna filologi berkembang lagi menjadi ”cinta kepada kata sebagai pengejawantahan pikiran, kemudian menjadi ”perhatian terhadap sastra” dan akhirnya ”studi ilmu sastra” (Wagenvoort,1947: 41 dalam Sulastin-Sutrisno, 1981: 1). Menurut Saputra (2008: 79), pengertian ”kata” pada ”cinta kepada kata” dapat diperluas lagi menjadi bahasa dan berkembang lagi menjadi ”kebudayaan”, sehingga studi filologi berarti studi tentang kebudayaan masa lalu melalui naskah dan teks. Dalam Kamus Istilah Filologi, filologi didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya (Sulastin- Sutrisno, 1981: 7). Webster’s New International Dictionary memberikan batasan

Filologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semster Akhir

Citation preview

Page 1: Filologi

16  

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Filologi

1. Pengertian Filologi

Pada mulanya, istilah ”filologi (philologia)” lahir dan berkembang di

kawasan kerajaan Yunani, yaitu kota Iskandariyah. Pada saat itu filologi diartikan

sebagai suatu keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa

tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya (Baroroh-

Baried, 1985: 1). Salah satu tujuan dari diadakannya pengkajian terhadap teks

yang ada di dalam naskah lama pada saat itu adalah untuk menemukan bentuk

teks yang asli serta untuk mengetahui maksud dari pengarangnya dengan jalan

menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya.

Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang arti

asliya ”kegemaran berbincang-bincang”. Makna filologi berkembang lagi menjadi

”cinta kepada kata sebagai pengejawantahan pikiran, kemudian menjadi

”perhatian terhadap sastra” dan akhirnya ”studi ilmu sastra” (Wagenvoort,1947:

41 dalam Sulastin-Sutrisno, 1981: 1). Menurut Saputra (2008: 79), pengertian

”kata” pada ”cinta kepada kata” dapat diperluas lagi menjadi bahasa dan

berkembang lagi menjadi ”kebudayaan”, sehingga studi filologi berarti studi

tentang kebudayaan masa lalu melalui naskah dan teks.

Dalam Kamus Istilah Filologi, filologi didefinisikan sebagai ilmu yang

menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau

yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya (Sulastin-

Sutrisno, 1981: 7). Webster’s New International Dictionary memberikan batasan

Page 2: Filologi

 17

sesuai dengan arti kata philogia yang diperluas dengan pengertian: ilmu bahasa

dan studi tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang beradab seperti

diungkapkan terutama dalam bahasa, sastra, dan agama (Sulastin-Sutrisno, 1981:

8). Kemudian Darusuprapta (1990: 3) menambahkan pengertian filologi, yaitu

suatu disiplin ilmu yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan

mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaannya.

Boeckh (dalam Wellek dan Warren, 1956: 27) mendefinisikan filologi

sebagai “knowledge of the known”, artinya bahwa filologi juga dapat didefinisikan

sebagai ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.

Pendapat tersebut berarti bahwa pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan

dalam peninggalan tulisan masa lampau dapat disebut sebagai pintu gerbang

untuk mengungkapkan khazanah masa lampau.

Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi lahir disebabkan oleh beberapa faktor.

Menurut Baroroh-Baried (1994: 2), faktor-faktor penyebab lahirnya filologi

sebagai disiplin ilmu adalah sebagai berikut.

a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan. b. Anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa

lampau masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang

panjang. d. Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan

masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya pembacanya masa kini.

e. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

filologi merupakan salah satu disiplin ilmu atau keahlian yang mengkaji dan

mempelajari tentang hasil budaya dalam arti luas (bahasa, sejarah, sastra, dan

Page 3: Filologi

 18

kebudayaan) yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau dengan

tujuan untuk mengungkapkan khazanah budaya serta perkembangan kerohanian

suatu bangsa dalam segi kebudayaannya dalam arti yang luas. Oleh karena itu,

filologi dapat digolongkan sebagai disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan

untuk mengungkapkan hasil budaya manusia pada masa lampau yang termuat di

dalam naskah dan teks lama.

2. Objek Penelitian Filologi

Setiap kajian ilmu mempunyai objek penelitian. Kajian ilmu filologi juga

mempunyai objek sebagai sasaran untuk penelitiannya. Objek dari penelitian

filologi berupa naskah dan teks.

a. Naskah

Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan

pemikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau (Baroroh-

Baried, 1985: 54). Pendapat tersebut kemudian diperkuat dengan pendapat yang

dinyatakan oleh Suyami (1996: 220), yaitu naskah merupakan salah satu saksi dari

suatu dunia berbudaya dan tradisi peradaban yang menginformasikan budaya

manusia pada masanya.

Naskah juga didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan baik asli

maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang

merupakan bacaan dengan isi tertentu (Onions dalam Darusuprapta, 1984: 1).

Kemudian, Baroroh-Baried (1985: 55) menyebut naskah lama yang berupa tulisan

tangan dengan istilah handschrift dan manuskrip.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah dapat

didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan yang asli maupun salinannya dan

Page 4: Filologi

 19

merupakan salah satu saksi dari dunia berbudaya serta tradisi peradaban yang

mengandung teks atau rangkaian kata-kata sebagai hasil ungkapan pemikiran dan

perasaan budaya masa lampau. Ungkapan pemikiran dan perasaan tersebut dapat

berupa ide-ide dan gagasan-gagasan nenek moyang yang bernilai dan dapat digali

untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.

Naskah lama merupakan produk budaya masa lampau yang ditulis dalam

berbagai aksara yang berkembang pada saat itu. Aksara-aksara yang digunakan

untuk menulis naskah di antaranya adalah aksara Jawa, aksara Arab Pegon, dan

aksara Latin. Aksara Jawa masih dapat dibedakan menjadi beberapa ragam sesuai

dengan gaya penulisannya. Ismaun (1966: 7) menyatakan bahwa ragam aksara

Jawa dapat dibedakan menjadi empat. Keempat ragam aksara yang dimaksud

adalah sebagai berikut.

1. Mbata sarimbag bentuk aksaranya menyerupai rimbag, yaitu cetakan batu merah yang berbentuk persegi mirip dengan batu bata merah.

2. Ngetumbar, cirinya adalah bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar pada sudut-sudutnya tidak lagi berupa sudut siku ataupun sudut lain.

3. Mucuk eri, bentuk aksara Jawa pada bagian tertentu berupa sudut lancip seperti eri (duri).

4. Ragam kombinasi, aksaranya merupakan kombinasi dari ketiga ragam yang telah disebutkan di atas. Kombinasi tidak hanya terjadi pada tiap-tiap aksara, tetapi juga dapat terjadi pada tiap baris, alenia, bahkan pada tiap halaman.

Naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå adalah produk masa lampau yang

mengandung ungkapan pemikiran dan perasaan nenek moyang yang ditulis tangan

dengan menggunakan aksara Jawa. Kemudian, ragam aksara yang digunakan

adalah ragam kombinasi antara ragam aksara ngêtumbar dan mucuk êri. Akan

tetapi, ragam aksara yang digunakan tersebut lebih terdominasi oleh ragam aksara

ngêtumbar.

Page 5: Filologi

 20

b. Teks

Teks artinya kandungan naskah, sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat

dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Onions (1974: 913 dalam

Darusuprapta, 1984: 1), mendefinisikan teks sebagai rangkaian kata-kata yang

merupakan bacaan dengan isi tertentu. Pendapat lain diungkapkan oleh Istanti

(2010: 14) bahwa teks adalah informasi-informasi yang terkandung di dalam

naskah.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan bagian yang

abstrak dari suatu naskah. Teks hanya dapat dibayangkan saja dan dapat diketahui

isinya jika sudah dibaca. Isi dari teks adalah berupa ide-ide, informasi, pesan atau

amanat yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.

Menurut de Han (1993 dalam Baroroh-Baried, 1985: 57), terjadinya teks

diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (1) aslinya hanya ada dalam

ingatan pengarang, (2) aslinya adalah teks tertulis, yaitu berupa kerangka yang

masih memerlukan kebebasan seni, dan (3) aslinya merupakan teks yang tidak

mengizinkan kebebasan dalam pembawaannya karena pengarang telah

menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi

maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literer. Kemudian, untuk mengetahui

kandungan teks dan seluk beluk teks dapat dilakukan penelitian lebih mendalam

dengan tekstologi. Tekstologi, yaitu ilmu yang meneliti tentang penjelmaan dan

penurunan teks serta penafsiran dan pemahaman tentang teks.

Teks Widjåjåkoesoemå adalah salah satu kandungan/muatan naskah Sêrat

Sêkar Wijåyåkusumå. Isi dari teks Widjåjåkoesoemå berupa piwulang laku yang

Page 6: Filologi

 21

dijalankan oleh para abdi dalêm untuk mengambil/memetik bunga wijayakusuma

di Pulau Bandung, Nusakambangan, Donan, Cilacap bersamaan pada waktu

penobatan Raja Paku Buwono VIII.

3. Tujuan Filologi

Filologi mempunyai tujuan tertentu. Tujuan filologi menurut Djamaris

(2002: 9) adalah sebagai berikut.

a. Mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian/ciri khusus penulisan kata dan menterjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia.

b. Menyunting teks dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita.

c. Mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.

d. Sebagai tambahan, tujuan kritik teks adalah membersihkan teks dari kesalahan yang terjadi selama penyalinan berulang kali itu; merekontruksi isi naskah, sehingga naskah telah tersusun kembali seperti semula; dan menjelaskan bagian-bagian cerita yang kurang jelas sehingga seluruh teks dapat dipahami.

Menurut Baried-Baroroh (1985: 5), tujuan filologi dapat dibagi menjadi

dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dan tujuan khusus yang

dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Tujuan umum filologi a) memahami kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan

maupun tertulis. b) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya. c) mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan

kebudayaan. b. Tujuan khusus filologi

a) menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya. b) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya. c) mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya.

Tujuan filologi dalam penelitian ini, yaitu menjadikan naskah Sêrat Sêkar

Wijåyåkusumå terutama teks Widjåjåkoesoemå terbaca, tersunting, teredit

Page 7: Filologi

 22

(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Tujuan lain dari penelitian filologi ini

adalah mengungkapkan kandungan produk budaya masa lampau sehingga dapat

disampaikan kepada masyarakat.

4. Cara Kerja Penelitian Filologi

Cara kerja atau langkah kerja penelitian filologi adalah tahapan kerja

dalam penelitian filologi yang memiliki keterkaitan antartahapannya. Adapun cara

kerja atau langkah kerja dari penelitian filologi secara berurutan adalah sebagai

berikut.

a. Pengumpulan Data atau Inventarisasi Naskah

Tahap pertama yang harus dilakukan dalam penelitian filologi adalah

pengumpulan data yang berupa inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah adalah

kegiatan mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah yang

mengandung teks sekorpus. Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus,

yaitu naskah-naskah yang mengandung teks sejudul, yang dapat tercantum pada

sampul naskah luar atau sampul dalam naskah. Meskipun demikian, menurut

Saputra (2008: 81) tidak berarti bahwa naskah-naskah yang mengandung teks

sejudul berarti mengandung teks sekorpus atau sebaliknya ada kemungkinan

naskah-naskah yang tidak sama judulnya tetapi mengandung teks sekorpus.

Sebelum melakukan inventarisasi naskah, langkah awal yang harus

dilakukan adalah menentukan teks atau naskah yang akan diteliti. Kemudian, teks

dan naskah yang akan ditentukan untuk diteliti perlu dipertimbangkan dari

berbagai segi. Menurut Surono (tanpa tahun: 5), penting tidaknya suatu naskah

digarap perlu dipertimbangkan dari berbagai segi di antaranya adalah naskah

Page 8: Filologi

 23

dipertimbangkan dari segi bobot ilmiah, manfaat bagi pembangunan bangsa, dan

sebagainya.

Pengumpulan data atau inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan

beberapa metode, seperti metode studi pustaka dan metode studi lapangan (field

research). Metode studi pustaka menggunakan sumber data berupa katalogus

naskah yang berada di berbagai perpustakaan dan museum.

Katalog adalah buku yang memuat daftar naskah Jawa yang ditulis tangan

ataupun cetak yang menguraikan tentang keadaan naskah atau teks dengan ringkas

(Mulyani, 2009a: 2). Di dalam katalog (Behrend, 1990) disebutkan bahwa jenis isi

naskah Jawa beraneka macam, yaitu jenis (1) sejarah, (2) sarasilah, (3) hukum,

(4) wayang, (5) sastra wayang, (6) sastra, (7) piwulang, (8) Islam, (9) primbon,

(10) bahasa, (11) musik, (12) tari-tarian, (13) adat-istiadat, dan (14) lain-lain,

yaitu teks-teks yang tidak dapat digolongkan ke dalam ketiga belas jenis tersebut

dimasukkan ke dalam jenis teks lain-lain.

Dalam metode studi pustaka, sumber yang digunakan sebagai acuan tidak

hanya mengacu pada satu sumber. Sumber lain yang dapat digunakan selain

katalog adalah berupa buku-buku atau daftar naskah yang terdapat di

perpustakaan, museum, dan instansi lain yang menaruh perhatian terhadap naskah

lama.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa kegiatan inventarisasi naskah selain

dapat dilakukan dengan metode studi pustaka, juga dapat dilakukan dengan

metode studi lapangan (field research). Metode studi lapangan (field research)

merupakan kegiatan inventarisasi naskah yang dilakukan dengan mengadakan

Page 9: Filologi

 24

pelacakan keberadaan naskah di tempat penyimpanan, yaitu sebagai koleksi dari

museum, perpustakaan, maupun koleksi pribadi perseorangan. Beberapa hal yang

perlu diketahui terlebih dahulu dalam melakukan studi lapangan adalah tempat-

tempat yang menyimpan naskah, sehingga diperlukan instrumen penelitian yang

berupa kuisioner yang antara lain berisi pertanyaan tentang asal-usul naskah,

pemilik naskah, fungsi naskah, dan kedudukan naskah tersebut.

Hasil dari pengumpulan data atau inventarisasi naskah adalah berupa

daftar mengenai sejumlah naskah (sekorpus) yang akan menjadi sumber data

penelitian, yaitu judul naskah, nomor koleksi, tempat penyimpanan, pemilik

naskah, dan sebagainya. Saputra (2008: 82) berpendapat bahwa hasil dari

inventarisasi naskah sekaligus memungkinkan dapat menentukan eliminasi naskah

(pencoretan naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai

alasan pada tahap awal).

b. Deskripsi Naskah dan Teks

Deskripsi naskah adalah penyajian informasi mengenai kondisi fisik

naskah-naskah yang menjadi objek penelitian (Saputra, 2008: 83). Selain

melakukan deskripsi naskah, sebaiknya juga melakukan deskripsi teks, hal

tersebut disebabkan karena yang menjadi objek dari penelitian filologi adalah

naskah dan teks. Deskripsi teks adalah penjelasan untuk menggambarkan keadaan

teks untuk memberikan keterangan bagaimana cara mengkaji teks yang akan

diteliti (Mulyani, 2009a: 9). Deskripsi naskah secara terperinci dapat dilakukan

setelah memperoleh naskah melalui inventarisasi naskah.

Page 10: Filologi

 25

Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah adalah metode deskriptif.

Semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah,

ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon, garis besar isi

cerita, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan tahap

penelitian selanjutnya, yaitu berupa pertimbangan (recentio) dan pengguguran

(eliminatio). Kemudian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

melakukan deskripsi naskah (Mulyani, 2009b: 31-32) adalah sebagai berikut.

1) Koleksi siapa, disimpan di mana, nomor kodeks berapa. 2) Judul bagaimana, berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama,

atau berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama. 3) Pengantar (manggala dan doksologi), uraian pada bagian awal di luar isi teks:

waktu mulai penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis, pujaan kepada Dewa Pelindung atau Tuhan Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi perintah atau nabi-nabi.

4) Penutup (kolofon), uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu menyelesaikan penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis.

5) Ukuran teks: lebar x panjang teks, jumlah halaman teks, sisa halaman kosong. 6) Ukuran naskah: lebar x panjang naskah, tebal naskah, jenis bahan naskah,

(lontar, bambu, dluwang, kertas), tanda air. 7) Isi; lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen, hiasan gambar, prosa

atau puisi, jika prosa berapa rata-rata jumlah baris tiap halaman, berapa rata-rata jumlah kata tiap halaman, jika puisi berapa jumlah pupuh, apa saja nama tembangnya, berapa jumlah bait pada tiap pupuhnya.

8) Termasuk ke dalam golongan jenis naskah apa, bagaimanakah ciri-ciri jenis itu (harus diakui belum ada pembagian jenis naskah yang seragam).

9) Tulisan: jenis aksara/huruf : Jawa/Jawi/Bali/Latin/Bugis/Lampung bentuk aksara/huruf : persegi/bulat ukuran aksara/huruf : besar/kecil/sedang sikap aksara/huruf : tegak/miring goresan aksara/huruf : tebal/tipis warna tinta : hitam/coklat goresan tinta : jelas/kabur

10) Bahasa : baku, dialek, campuran, pengaruh lain. 11) Catatan oleh tangan lain : di dalam teks : halaman berapa, di mana, bagaimana

di luar teks pada pias tepi: halaman berapa, di mana, bagaimana 12) Catatan di tempat lain : dibicarakan dalam daftar naskah/katalogus/artikel

Page 11: Filologi

 26

mana saja, bagaimana hubungannya satu dengan yang lain, kesan tentang mutu masing-masing.

Menurut Saputra (2008: 84), ada dua model deskripsi yang dapat

digunakan, yaitu model tabel dan model paparan. Keduanya masing-masing

mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, kedua model deskripsi

tersebut apabila diterapkan secara bersamaan akan saling melengkapi.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa deskripsi yang disajikan dalam

bentuk tabel dan paparan, masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan.

Adapun keunggulan dari deskripsi yang disajikan dengan model tabel, yaitu

deskripsi naskah dan teks menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca

sedangkan kelemahannya, yaitu deskripsi naskah dan teks yang disajikan kepada

pembaca kurang dapat membawa pembaca berimajinasi terhadap naskah yang

dideskripsikan.

Saputra (2008: 88) menjelaskan bahwa deskripsi naskah yang disajikan

dengan model paparan, secara teknis lebih mudah diterapkan dan juga, lebih

memberikan informasi yang luas mengenai segala hal yang berkaitan dengan

naskah dan segala hal yang ditemui secara inderawi pada setiap halaman naskah.

Adapun kelemahan dari deskripsi model paparan, yaitu pembaca tidak dapat

secara langsung mengetahui rincian informasi mengenai keadaan naskah yang

dideskripsikan karena pembaca harus membaca deskripsi yang disajikan dengan

paparan tersebut secara keseluruhan.

Model deskripsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tabel

dan paparan. Model tabel digunakan dengan tujuan agar deskripsi naskah Sêrat

Sêkar Wijåyåkusumå dan teks Widjåjåkoesoemå menjadi lebih jelas dan mudah

Page 12: Filologi

 27

dipahami. Selanjutnya, hasil deskripsi naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå dan teks

Widjåjåkoesoemå yang dibuat dalam bentuk/model tabel diperluas dengan

deskripsi model paparan.

c. Alih Tulis Teks

Salah satu tujuan dari penelitian filologi adalah pengalihtulisan atau

pengalihaksaraan suatu teks. Artinya, dengan adanya alih tulis pembaca dapat

dengan leluasa membaca teks-teks lama peninggalan nenek moyang dengan

bahasa yang dimengerti oleh pembaca masa kini. Menurut Mulyani (2009b: 20),

suatu teks supaya dapat dibaca dan dipahami hendaknya teks itu (1) ditulis dengan

aksara yang masih berlaku, (2) sudah dibersihkan dari tulisan yang ”rusak”

(korup), dan (3) disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat

masa kini.

Tahap alih tulis teks terdiri atas transliterasi teks, suntingan teks, dan

penyajian aparat kritik. Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga langkah kerja

tersebut adalah sebagai berikut.

a) Transliterasi teks

Transliterasi teks merupakan salah satu tahap atau langkah dalam

penyuntingan teks yang berupa penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu

ke abjad yang lain (Djamaris, 1977: 29). Misalnya, teks yang ditulis dengan huruf

atau aksara Jawa dan Arab Pegon dialihtulis atau diganti ke huruf atau aksara

Latin. Mulyani (2009a: 13) mendefinisikan transliterasi sebagai alih tulis yang

disajikan dengan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang digunakan dalam

naskah yang disalin.

Page 13: Filologi

 28

Sifat aksara pada naskah yang ditransliterasikan berbeda dengan aksara

Latin. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika

melakukan transliterasi teks. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam

transliterasi teks (Mulyani, 2009b: 21) adalah sebagai berikut:

1) tata tulis aksara yang digunakan dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya,

2) sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata),

3) ejaan, yaitu untuk mempertahankan variasi ejaan naskah, pengejaan kata pinjaman terutama dalam teks yang berbentuk puisi, dan

4) pungtuasi, yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat (koma, titik koma, titik, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan tanda petik) serta tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian puisi, yaitu pembatas larik, pembatas bait, dan tembang.

Pada tahap transliterasi teks, seorang filolog mempunyai dua tugas pokok

yang harus dilakukan. Pertama, menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah,

khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa

lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan

penulisan kata menurut EYD dengan tujuan agar bahasa lama dalam naskah tidak

hilang. Kedua, menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku

sekarang, khususnya teks yang tidak menunjukkan ciri bahasa lama yang

disebutkan dalam tugas pertama di atas (Djamaris, 2002: 19-21). Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa ada dua metode transliterasi yang dapat digunakan agar

tugas filolog dapat tercapai, yaitu transliterasi diplomatik dan transliterasi standar.

Transliterasi diplomatik, yaitu alih tulis dari aksara teks ke dalam aksara

sasaran dengan tidak mengadakan perubahan pada teks yang disalin atau sesuai

apa adanya, sehingga kemurnian teks dapat terjaga dengan mempertahankan

bentuk aslinya dan tidak disesuaikan dengan pedoman Ejaan yang Disempurnakan

Page 14: Filologi

 29

(EYD). Wiryamartana (1990: 30) menambahkan bahwa tujuan transliterasi

dengan terbitan diplomatik, yaitu agar pembaca dapat mengikuti teks, seperti yang

termuat dalam naskah sumber. Tujuan lain dari adanya transliterasi dengan

terbitan diplomatik disebutkan oleh Suyami (2001: 28), yaitu untuk memberikan

deskripsi atau gambaran yang lebih jelas mengenai keseluruhan isi teks dengan

apa adanya.

Transliterasi standar adalah alih tulis yang merupakan pengulangan dari

transliterasi diplomatik dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan untuk

pemahaman teks (Wiryamartana, 1990: 32). Artinya, agar suatu teks dapat

dipahami oleh pembaca maka teks dialihaksarakan dari aksara yang digunakan

dalam teksnya ke dalam aksara sasaran dengan membetulkan teks-teks yang salah

disesuaikan dengan suatu sistem ejaan yang benar atau disesuaikan dengan Ejaan

yang Disempurnakan (EYD).

Pada penelitian ini, metode transliterasi yang digunakan untuk

mentransliterasi teks Widjåjåkoesoemå adalah metode transliterasi standar.

Transliterasi standar digunakan untuk mengalihaksarakan teks Widjåjåkoesoemå

dari aksara Jawa ke dalam aksara Latin yang kemudian disesuaikan dengan sistem

ejaan yang berlaku tanpa mengubah bentuk/ciri khas bahasa lama yang terdapat

dalam teks Widjåjåkoesoemå. Hasil dari transliterasi standar tersebut merupakan

dasar untuk melakukan suntingan teks agar teks yang dihasilkan bersih dari

bacaan yang korup, sehingga dapat memudahkan pembacaan isi naskah bagi

pembaca yang kurang paham terhadap huruf/aksara daerah dan untuk

mempercepat pemahaman isi naskah dalam kepentingan penelitian naskah.

Page 15: Filologi

 30

b) Suntingan teks

Setelah teks ditransliterasikan, langkah selanjutnya adalah mengadakan

suntingan teks. Darusuprapta (1984: 5) mendefinisikan suntingan teks sebagai

suatu cara yang dilakukan dalam langkah kerja penelitian filologi dengan

mengadakan pembetulan-pembetulan, perubahan, penambahan, maupun

pengurangan dengan harapan teks yang dihasilkan bersih dari segala kekeliruan.

Menurut Baroroh-Baried (1985: 69), suntingan teks dapat dibagi menjadi

dua macam, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar.

Suntingan teks diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata

dari naskah tesebut yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada

waktu dan tempat tertentu dan juga, memperlihatkan cara penggunaan tanda baca

yang tepat di dalam teks tersebut (Robson, 1988: 20). Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa suntingan edisi diplomatik dilakukan dengan tujuan agar

pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber.

Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan

membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan serta ejaannya

disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku. Di dalam suntingan teks edisi

standar diadakan pembagian kata, pembagian kalimat, digunakan huruf kapital,

pungtuasi, dan juga diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan yang

terdapat di dalam teks (Baroroh-Baried, 1985: 69). Suntingan teks dengan

melakukan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti dengan tujuan agar

teks dapat dimengerti dan dipahami isinya oleh pembaca.

Page 16: Filologi

 31

Pada penelitian ini, suntingan teks yang digunakan adalah suntingan teks

edisi standar. Suntingan teks edisi standar dilakukan dengan mengadakan

perbaikan pada bacaan yang korup ataupun tidak ajeg yang disesuaikan dengan

sistem ejaan yang berlaku pada masa kini.

c) Penyajian aparat kritik

Penyajian kritik teks dalam penelitian ini disertai dengan adanya aparat

kritik (aparatus criticus). Menurut Mulyani (2009b: 29) aparat kritik (aparatus

criticus) adalah pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan

bacaan (variae lectiones atau varian) yang ada dalam suntingan teks atau

penyajian teks yang sudah bersih dari korup.

Oleh karena itu, aparat kritik digunakan untuk menjelaskan segala

perubahan, pengurangan, dan penambahan yang dilakukan sebagai bentuk

pertanggungjawaban ilmiah dalam suatu penelitian naskah. Jadi, apabila dalam

suatu penelitian diadakan perubahan, penambahan, maupun pengurangan maka

dicatat dalam aparat kritik. Penyajian aparat kritik dalam suntingan disebutkan

oleh Mulyani (2009b: 29-30) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)

dicantumkan di bawah teks sebagai catatan kaki atau (2) dilampirkan di belakang

suntingan teks sebagai catatan halaman.

d. Terjemahan Teks

Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa satu ke bahasa lain atau

pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan teks

dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang tidak paham dengan bahasa teks

dapat memahami isi teksnya, sehingga amanat atau pesan yang disampaikan

penulis dapat dipahami oleh pembaca.

Page 17: Filologi

 32

Proses pemindahan bahasa saat melakukan terjemahan teks harus

dilakukan secara teliti dan jelas agar didapatkan hasil terjemahan teks yang baik.

Menurut Darusuprapta (1984: 9), keberhasilan terjemahan teks bergantung kepada

beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut.

a) Pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap bahasa sumber, yaitu bahasa yang diterjemahkan.

b) Penguasaan yang sempurna terhadap bahasa sasaran, yaitu bahasa yang digunakan untuk menterjemahkan.

c) Pengenalan latar belakang penulisan, baik tentang diri penulisnya maupun masyarakat bahasanya.

Metode terjemahan teks terdiri atas bermacam-macam metode. Menurut

Darusuprapta (1984: 9), metode terjemahan teks tersebut dapat diringkas hanya

menjadi tiga. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah sebagai

berikut.

1) Terjemahan harfiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.

2) Terjemahan isi atau makna, yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.

3) Terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa sasaran secara bebas.

Terjemahan teks pada penelitian ini dilakukan secara kontekstual dengan

menggunakan ketiga metode terjemahan teks. Ketiga metode terjemahan teks

yang dimaksud adalah terjemahan harfiah, terjemahan isi/makna, dan terjemahan

bebas.

B. Pandangan Hidup Orang Jawa

Orang Jawa didefinisikan sebagai mereka yang benar-benar trah

(keturunan) Jawa (Santosa, 2011: 9). Maksudnya, baik secara pribadi maupun

Page 18: Filologi

 33

sosial masih berada dalam ruang lingkup kebudayaan Jawa, meskipun tidak

menetap di Pulau Jawa, tetapi memiliki kesadaran kognitif, afektif, dan

psikomotorik terhadap nilai kebudayaan Jawa dan berperan secara aktif

melestarikan adat dan budaya Jawa. Pendapat yang berbeda mengenai definisi

orang Jawa disebutkan oleh Suseno (dalam Haq, 2011: 4) bahwa orang Jawa

adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan

penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa.

Salah satu ciri masyarakat Jawa adalah masyarakat Jawa memiliki

kepercayaan yang mengakar, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu ’kekuatan’ di

luar alam yang mengatasi orang-orang Jawa. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan

adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Pandangan orang Jawa

yang demikian menurut Haq (2011: 5) dapat disebut dengan kawulå (hamba) dan

Gusti (Tuhan), yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral

manusia adalah untuk mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada

kesatuan terakhir untuk itulah manusia harus menyerahkan diri secara total selaku

kawulå (hamba) terhadap Gusti-nya (Tuhan).

Dengan adanya kapercayaan yang mengakar tersebut, sehingga

menumbuhkan suatu pandangan hidup masyarakat Jawa. Pandangan hidup

merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah suatu

ide, gagasan, cita-cita, pola pikir, paham, kepercayaan, atau kumpulan konsep

yang dijadikan pedoman pengaturan mental dari pengalaman hidup yang

kemudian dapat mengembangkan suatu sikap untuk menentukan tujuan hidup,

moral, serta perilaku seseorang maupun masyarakat (Santosa, 2011: 9).

Page 19: Filologi

 34

Pandangan hidup juga dapat diartikan sebagai pengaturan mental dari pengalaman

hidup yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu sikap terhadap

kehidupannya.

Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada

pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam

adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa meyakini bahwa kehidupan di

dunia sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedudukan manusia

sebagai hamba yang wajib menjalankan segala sesuatu yang telah digariskan

tersebut.

Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala

sesuatu yang ada di dunia ini hakikatnya merupakan satu kesatuan hidup.

Javanisme memandang kehidupan manusia selalu berhubungan erat dalam

kosmos raya.

Menurut pandangan hidup orang Jawa, kehidupan manusia dirumuskan

berada pada dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos (jagad gêdhé) dan

mikrokosmos (jagad cilik). Makrokosmos dalam alam pikiran orang Jawa adalah

sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan

supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Mikrokosmos

dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia

nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan

atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.

Pandangan hidup orang Jawa yang meyakini tentang adanya

keseimbangan yang harmonis antara mikrokosmos dan makrokosmos, dapat

Page 20: Filologi

 35

dilihat dari beberapa perilaku orang Jawa dalam kehidupannya. Menurut Santosa

(2011: 10-21), realitas keseharian hidup orang Jawa yang mencerminkan

pandangan hidup orang Jawa, misalnya: 1) tradisi slamêtan (selamatan), 2)

kebiasaan mempunyai kalangênan (kesenangan terhadap sesuatu), 3) puasa, dan

4) keyakinan mengenai båndhå donyå mung sadêrmå anggadhuh pêparingé Gusti

Kang Akaryå Jagad, yaitu harta benda merupakan anugerah dan titipan dari

Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan 5) kematian, orang Jawa meyakini

bahwa setiap perbuatan akan berpengaruh terhadap kematian seseorang.

C. Laku Manusia Jawa dalam Naskah Jawa

Dari latar belakang pandangan manusia Jawa terhadap kehidupan,

menimbulkan orientasi manusia Jawa dalam segi kehidupannya. Adapun beberapa

orientasi hidup manusia Jawa (Santosa, 2011: 22-25) adalah sebagai berikut.

1. Menjadi manusia unggul, yaitu memilki kemampuan melebihi orang lain memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas, dan memiliki budi yang luhur, bijaksana, dan berwibawa.

2. Hidup tenteram dan berkecukupan, yaitu kehidupan yang harmonis, seimbang, tenteram lahir dan batin.

3. Patêmbayatan hidup, yaitu meliputi kecukupan materi yang harus diusahakan dengan kerja keras, tolong menolong, bahu-membahu, dan membalas budi baik orang lain.

4. Kesempurnaan batin, yaitu memiliki semangat yang tinggi dalam ngudi kasampurnaning batin (berusaha mencapai kesempurnaan batin).

5. Mencari surga, yaitu orientasi manusia Jawa di dunia adalah berbuat amalan yang baik dan benar sebagai bekal kehidupan di akhirat.

Kelima pandangan hidup manusia Jawa di atas saling berhubungan satu

sama lain. Kelima pandangan hidup tersebut adalah sebagai pandangan hidup

primer manusia Jawa yang kemudian akan menurunkan pandangan-pandangan

hidup sekunder manusia Jawa.

Page 21: Filologi

 36

Dengan adanya pandangan hidup kemudian melahirkan orientasi atau cita-

cita hidup orang Jawa, misalnya orientasi untuk hidup sukses di dunia. Untuk

dapat mencapai orientasi hidup tersebut, manusia Jawa berusaha dengan

menjalankan berbagai laku. Laku yang dijalankan tersebut adalah laku yang

berdasarkan pada keyakinan manusia Jawa dalam berbagai segi kehidupannya.

Laku tersebut kemudian mengakar sebagai suatu bentuk laku kejawen yang

mentradisi.

a. Tåpå atau sêmadi

Definisi tåpå dalam arti sempit adalah suatu laku atau jalan hidup untuk

menggapai anugerah Tuhan (wahyu) atau dalam rangka mencapai tujuan mêmayu

hayuning bawånå (menjaga ketenteraman, kesejahteraan, dan keseimbangan

dunia). Pelaku tåpå hanya mencakup pada raja-raja atau orang-orang tertentu.

Kemudian, tåpå diartikan secara luas, yaitu sebagai suatu usaha manusia untuk

mengendalikan diri dari nafsu-nafsu duniawi yang berpengaruh negatif terhadap

diri seseorang.

Laku tåpå biasanya dijalankan bersamaan dengan sêmadi. Sêmadi berasal

dari bahasa Sansekerta, yaitu samadhi yang berarti maju ke depan untuk mencapai

kesempurnaan, memperoleh keyakinan, dan mengatasi kesukaran dalam

kehidupan. Sêmadi juga dapat diartikan sebagai suatu situasi yang sunyi dengan

memusatkan pikiran serta hati nurani dan berkontemplasi.

Laku tåpå sering dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu. Menurut

Santosa (2011: 135), laku tåpå juga dilakukan oleh Panembahan Senapati seperti

yang tercantum dalam Sêrat Wedhåtåmå, yaitu terdapat pada Pupuh Sinom.

Page 22: Filologi

 37

“nuladå laku utamå / tumraping wong tanah Jawi / wong agung ing Ngêksigåndå / Panêmbahan Sénåpati / kepati amarsudi / sudanên håwå lan napsu / pinêsu tåpå bråtå / tanapi ing siyang ratri / amamangun karyå nak tyasing sasåmå //” Terjemahan

Tirulah tindakan atau pekerti utama bagi orang Jawa, yaitu orang besar

dari Mataram, Panembahan Senapati. Beliau selalu berdaya upaya mencegah

keinginan hawa nafsu, dengan disertai laku prihatin bertapa. Di samping itu,

setiap hari selalu membuat orang lain senang.

b. Puasa

Seperti telah disebutkan di atas bahwa puasa biasanya dilakukan oleh

orang Jawa bersamaan dengan tåpå. Selain itu, puasa juga dilakukan oleh orang

Jawa ketika akan menyambut hari-hari keagamaan seperti puasa di bulan

Ramadhan. Di dalam masyarakat Jawa, juga banyak dijumpai orang-orang Jawa

yang melakukan puasa karena adat kepercayaan mereka, misalnya puasa mutih,

puasa wêton, puasa Sênèn Kêmis, dan sebagainya.

Puasa yang dilakukan tersebut mempunyai makna yang penting bagi orang

Jawa. Makna puasa yang dilakukan oleh orang Jawa, yaitu puasa sebagai suatu

bentuk ibadah, puasa digunakan sebagai sarana penguatan batin, dan puasa

digunakan sebagai upaya penyucian batin untuk mencapai kesempurnaan rohani.

Laku puasa sudah ada sejak dahulu dan dicontohkan oleh para leluhur

orang Jawa. Ajaran untuk menjalankan laku puasa tersebut seperti tercantum

dalam kutipan Sêrat Wulangrèh, yaitu pada Pupuh Kinanthi (Widyawati, 2009:

tanpa halaman).

”pådhå gulangên ing kalbu / ing sasmita amrih lantip / åjå pijêr mangan néndrå / kaprawiran kang dèn èsthi / pesunên sarirå nirå / sudanên dhahar lan guling //”

Page 23: Filologi

 38

”dadiå lakunirèku / cêgah dhahar lawan guling / lan åjå kasukan-sukan / anganggoå sawatawis / ålå watêké wong sukå / nyudå prayitnå ing batin //”

Maksud kedua bait Pupuh Kinanthi di atas adalah piwulang untuk

menahan nafsu yang dapat dilakukan dengan cara menjalankan puasa, yaitu

dengan cara mengurangi makan, minum, tidur, dan berpenampilan apa adanya.

Laku tersebut tidak hanya memiliki tujuan yang berdampak bagi dirinya sendiri,

melainkan untuk dapat mempertahankan keseimbangan batin dan untuk dapat

berkelakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan sosial.

c. Menyepi

Menyepi adalah suatu upaya menjalani kesendirian, meninggalkan

keramaian, keluarga, dan pekerjaan dalam waktu-waktu tertentu, dalam rangka

melakukan perenungan, olah batin, sêmadi, dan sebagainya. Menyepi juga dapat

diartikan sebagai laku tåpå yang dilakukan karena didasari oleh suatu tujuan,

misalnya untuk mendapatkan wahyu, untuk merenungi segala perilaku yang

pernah dilakukan, dan sebagainya. Laku nyepi juga merupakan salah satu tindakan

yang dapat dilakukan guna mengasah hati untuk menjadi manusia utama. Hal

tersebut tercermin dalam petikan Sêrat Wédhåtåmå pada Pupuh Sinom

(Hadiatmaja, 2010: 73).

“mangkono janmå utåmå / tuman tumanêming sêpi / ing sabên rikålå mångså / masah amêmasuh budi / lairé anêtêpi / ing rèh kasatriyanipun / susilå anor rågå / wignyå mêt tyasing sasami / yéka aran wong bérag agåmå //” Terjemahan:

Begitulah manusia utama. Gemar membiasakan diri berada di alam sepi

(menyingkir dari dunia ramai). Pada saat-saat tertentu mengasah hati

membersihkan jiwanya. Manifestasinya dengan cara berpegang teguh pada

Page 24: Filologi

 39

kedudukan sebagai ksatria, bertingkah laku yang baik, pandai membuat senang

orang lain. Kesemuanya itu, adalah gambaran orang yang serba baik dalam

menjalankan agama.

d. Menghormati arwah leluhur

Orang Jawa selain percaya kepada Tuhan sebagai Dzat yang paling tinggi,

mereka juga percaya terhadap adanya roh-roh leluhur. Kepercayaan tersebut

kemudian diaplikasikan dengan adanya bentuk penghormatan di makam para

leluhur dengan cara memberikan sajèn, membakar kemenyan, atau dupa, dan

menabur bunga. Pada zaman sekarang ritus menghormati arwah leluhur seperti itu

disebut dengan ziarah. Para peziarah tersebut biasanya membacakan doa-doa dan

tahlil.

Selain dengan ziarah, untuk menghormati arwah leluhur juga dapat

dilakukan dengan cara mengadakan slamêtan. Slamêtan merupakan unsur penting

yang sering dijumpai dalam setiap bentuk upacara yang ada di dalam tatanan

hidup orang Jawa baik upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, maupun

kematian. Adapun tujuan dari diadakannya slamêtan tidak hanya untuk

memelihara solidaritas masyarakat, tetapi juga dalam rangka memelihara

hubungan baik dengan arwah nenek moyang.

e. Memperbaiki akhlak, moral, dan perilaku

Orang Jawa dituntut untuk berlaku jujur, baik dalam perilaku maupun

tutur kata. Ritualisasi laku tersebut banyak diajarkan oleh nenek moyang yang

tertulis dalam naskah Jawa. Menurut Sêrat Darmo Wasito (Haq, 2011: 82), ada

beberapa hal yang harus dilakukan agar kehidupan seseorang dapat mencapai

Page 25: Filologi

 40

kesuksesan, yaitu dengan bertindak dan berperilaku yang baik di antaranya luruh

(sabar), trapsilå (sopan santun), mardåwå (lembut/halus), manut mring caraning

bångså (patuh dengan tata cara negara), andhap asor (sopan santun), mênêng

(diam), prasåjå (sederhana), têpå salirå (tenggang rasa/saling tolong-menolong),

éling (sadar), dan ulah batin (olah batin).

D. Penelitian yang Relevan

Ada dua judul penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan penelitian

yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) dengan judul

”Tinjauan Filologi Teks Serat Wulang Bratasunu” dan penelitian yang dilakukan

oleh Istikomah (2012) dengan judul ”Tinjauan Filologi Serat Darmawirayat”.

Kedua penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini dalam beberapa hal, yaitu

kesamaan dalam sumber data penelitian yang digunakan dan kesamaan dalam

metode penelitian yang digunakan.

Sumber data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa

naskah lama yang termasuk jenis naskah piwulang yang ditulis dengan

menggunakan aksara Jawa dan bahasa pada teksnya menggunakan bahasa Jawa

Baru. Begitu juga dengan sumber data penelitian yang digunakan oleh Amri

(2010) dan Istikomah (2012), keduanya menggunakan naskah lama yang

dikategorikan sebagai naskah jenis piwulang, ditulis dengan aksara Jawa, dan

menggunakan bahasa Jawa Baru.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh

Amri (2010) maupun Istikomah (ini. Metode deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan isi dari kandungan teks setelah teks tersebut digarap dengan

Page 26: Filologi

 41

metode penelitian filologi. Adapun langkah kerja penelitian yang digunakan

dalam penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) dan Istikomah (2012), juga

mempunyai kesamaan. Langkah kerja penelitian filologi yang dimaksud, meliputi

inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi teks, suntingan teks dengan

penyajian aparat kritik, dan terjemahan teks.

Selain memiliki kesamaan, kedua penelitian di atas juga memiliki

beberapa perbedaan dengan penelitian ini. Adapun perbedaannya, yaitu bentuk

teks dari naskah yang diteliti dan kajian terhadap kandungan teksnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (2010)

menggunakan teks yang digubah dalam bentuk tembang måcåpat, sedangkan teks

yang digunakan dalam penelitian ini digubah dalam bentuk gancaran. Perbedaan

lainnya adalah terletak pada kajian terhadap kandungan teksnya. Penelitian yang

dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (2010) mengkaji tentang nilai-

nilai moral sedangkan penelitian ini mengkaji tentang beberapa laku yang

dijalankan oleh para abdi dalêm ketika diperintah oleh raja untuk mengambil

bunga wijayakusuma di Pulau Bandung, Nusakambangan, Donan, Cilacap.

Meskipun demikian, kedua penelitian tersebut tetap dapat dijadikan

sebagai salah satu acuan atau sumber tertulis dalam penelitian ini. Hal tersebut

berdasarkan pada persamaan-persamaan antara kedua penelitian yang telah

disebutkan di atas dengan penelitian ini, yaitu mendukung penelitian ini dari segi

metode penelitian (langkah-langkah penelitian) dan teori yang digunakan.

2012), yaitu metode penelitian deskriptif filologis. Metode penelitian deskriptif

filologis, juga digunakan dalam penelitian.