19

Click here to load reader

FILSAFAT DEDET

Embed Size (px)

DESCRIPTION

filsafat

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. KELAHIRANNYASyeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H. Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

B. NASAB / GARIS KETURUNANBeliau adalah keturunan ke 13 Rasulullah SAW. Bukan hanya itu, nasab atau keturunannya itu juga merupakan jalur emas, karena ayahnya keturunan langsung Hasan Bil Ali Bin Abi Thalib, sementara Ibunya Keturunan Husain, adik kandung Hasan, dua cucu Rasulullah yang terkasih. Ia anak pasangan Abu Musa (yang bergelar Abu Shalih) dan Fatimah.

C. MASA MUDA DAN PENDIDIKANNYAAl-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah. Beberapa Karomah sudah nampak sejak ia masih kecil, sementara masa mudanya penuh dengan semangat menuntut ilmu-ilmu agama. Dalam usia belasan tahun pada 488 H / 1095 M, ia berangkat ke Bagdad untuk belajar. Sebelum berangkat Ibunya membekalinya 400 keping emas, warisan almarhum ayahandanya yang dijahitkan di mantelnya. Sang Ibu berpesan agar ia tidak berdusta dalam segala hal dan dalam berbagai kesempatan. Iapun berangkat mengendarai kereta kuda.Sampai di Hamadan, ia dihadang segerombolan perampok yang menanyakan apakah ia membawa uang, iapun menjawab sejujurnya. Tapi justru karena kejujuran itulah para perampok malah bingung. Ia lalu diseret untuk menghadap benggol perampok, yang justru tidak percaya bahwa tawanannya membawa uang berupa kepingan-kepingan emas. Akhirnya ia malah di bebaskan, karena kejujuranya. Setelah itu para perampok tersebut insyaf dan bertaubat, yang diikuti oleh seluruh anak buahnya , dihadapan Syekh Abdul Qadir Jailani. Dan seluruh harta rampokan itu dikembalikan kepada pemiliknya.

Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah.Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Yala, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.

BAB IIPEMBAHASAN

A. PEMURNIAN TAUHID DAN KONSEP AKIDAHNYAKondisi sosial politik pada masa al-Jailani ditandai dengan kekacauan pemerintah dan kerusakan umat. Di mana-mana muncul kemunafikan, khurafat, dan bidah. Karena itulah, al-Jailani sangat lantang menyeru pada pemurnian tauhid dan menganggap remeh selain Allah. Ia pun secara tegas mengkritik para pembesar kerajaan, termasuk orang-orang gila harta.Dalam hal ini beliau berkata :"Kamu bersandar kepada dirimu dan semua makhluk, pada harta kekayaanmu, penguasa negerimu, setiap orang yang kamu sandari adalah rusak. Dan setiap orang yang kamu lihat dalam keadaan bahagia dan sengsara juga akan rusak. Wahai hati yang mati! Wahai orang yang musyrik! Wahai para penyembah berhala, penyembah kehidupan dan harta, pengabdi para sultan kerajaan! Ketahuilah, mereka itu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla. Barang siapa menganggap bahwa bahagia dan nestapa itu dari selain Allah, maka mereka bukan hamba-Nya".Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awa,) adalah menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasa dunia.

Dalam melancarkan dakwah Islamnya, al-Jainlani lebih menitik beratkan kepada Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah. Karena Iman merupakan tolak ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, iman memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang muslim atas ketentuan yang berlaku menuru syariat Allah. Sebab baginya Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi kuat dengan ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan.Langkah al-Jailani dalam menyeru umat sangat tepat. Sebab, di saat kekacauan umat sangat memuncak, maka gerakan tauhid dan kembali ke jalan Allah betul-betul diserukan dengan lantang. Sejalan dengan strategi dakwah al-Jailani, Ismail Raji al-Faruqi, cendekiawan muslim kontemporer, mengatakan bahwa esensi peradaban Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang ada. Berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan fondasi dari seluruh kesalehan, religiositas (keberagamaan), dan seluruh kebaikan. Dengan demikian sangat tepat apa yang diupayakan oleh al-jailani.

Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan usaha manusia (afal al-ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabbariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk, yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkannya serta menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu karena usaha mereka.

Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendaat bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Jadi jelaslah di sini bahwa al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, al-Jailani menengahi di antara dua kutup pemikiran yang ekstrim. Manusia, oleh al-Jailani dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih mengetahui segala hikmahnya.Mengenai sifat-sifat Allah yang termaktub di dalam al-Quran dan sunnah, al-Jailani mengimani sepenuhnya tanpa melakukan takwil. Tidak seperti apa yang dilakukan oleh kaum Asyariyah dan Maturidiyah serta Mutazilah. Baginya, apa yang diberitakan oleh al-Quran tentang sifat-sifat Allah itulah yang benar, seperti Dia lah Yang menahan dan memberi, Yang membuat tertawa dan gembira, Yang murka dan Yang marah, Yang mengasihi dan mengampuni. Dia memiliki tangan dan Yang bersemayam (istiwa) di atas Arsy.

B. KONSEP TASAWUF AL JAILAINITasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam (Islamic Mysticim) oleh orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf ini. (1) Ada yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya. (2) Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria. (3) Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah. (4) Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti hikmah. Adapun menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata ash-shafa yang bermakna suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan bermarifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu selain dari Allah.

Pandangan al-Jailani di atas, nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.

Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya. Huruf pertama adalah ta yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai keapada tujuan utamanya, yakni Allah Al-Haq.

Huruf kedua adalah shad yang berarti shafa yang berarti bersih dan bening. Makna shafa disini juga meliputi dua macam shafa, yakni shafa al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkat takut, sesuai dengan Firman Allah :

( : )Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)

Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf Shad ini.

Huruf ketiga adalah waw yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:

( : )Artinya: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus:62)

( : )Artinya: Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. Yunus :64)

Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya

Huruf yang terakhir adalah fa yang melambangkan fana di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana-an manusia akan abadi (baqa) bersama Tuhannya dan Keridhaan Nya.

Pengertian fana al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:

( : )Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. Fathir:10)

Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana.

Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya, menganai permasalahan ini al-jailani berkata :Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.

Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti. Dan, Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir. Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazraah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya :

( : )Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)

BAB IIIPENUTUP

Pada zaman sekarang ini banyak orang yang menempuh jalan sufi, yang pada hakekatnya terkadang mereka belum mengetahui ilmu-ilmu tasawuf dan syariat yang benar benar. Sehingga mengakibatkan mereka menjadi taklid dan ikut melakukan riyadah tarekat, untuk hal semacam ini sebaiknya jangan diikuti sebab dikhawatirkan ia tidak pernah tahu, apakah tarikat itu benar-benar berjalan di atas Al-Quran dan As-sunnah atau malah mungkin menyimpang (penuh dengan bidah).

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syariat Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syariat di antara thariqah, marifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. Syariat laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, marifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syariat dengan istiqamah.

Dari ulasan singkat di atas, dapat kita lihat bahwa konsepsi tasawuf al-Jailani adalah konsepsi tasawuf yang dilandasi al-Quran dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal jamaah. Untuk ikut serta menceburkan diri dalam dunia tasawuf, seseorang harus menjalankan apa-apa yang telah disyariatkan Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad saw dengan sungguh-sungguh dan konsisten.

Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya seharisemalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar dan tausiah.Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.Oleh karna itu penting untuk diketahui bahwa setiap muslim untuk memuliakan ulama dengan sebaik2nya, karna para ulama adalah pembawa wasilah nabi, mereka bagai cahaya dalam kegelapan, memberikan petunjuk bagi kita untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan mengerjakan sunnah Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam dengan tawadhu. Memuliakan ulama namun tetap dalam batas-batas yang telah di tetapkan oleh syariat islam.

Tugas Teori Kebjkan Publik

RINGKASAN BUKUANALISIS KEBIJAKSANAANDari Formula Ke Implementasi Kebijasanaan Negara( Oleh Dr. Solichin Abdul Wahab, M.A. )

OLEH :

TRI WAHYUDIG2 C1 14055KELAS C

JURUSAN ADMINISTRASI PEMBANGUNANPROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSTAS HALU OLEO2014