Upload
eka-damayanti
View
229
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
UJIAN NASIONAL (UN) SEBAGAI TES EVALUASI DAN PREDIKTIF
MASUK PERGURUAN TINGGI
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan nasional berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun
2003 didefinisikan sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pada prinsipnya
pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk
watak dan peradaban yang bermartabat, dan mencerdaskan bangsa. Sedangkan
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratif dan
bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional tersebut dapat dicapai melalui jalur pendidikan
formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pendidikan formal
menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 merupakan jalur pendidikan yang
terstuktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi. Salah satu ciri khas dari pendidikan formal adalah dengan
adanya pengukuran hasil belajar atau evaluasi belajar yang bersifat sistematis
(Suprijanto, 2008).
Tyler (dalam Arikunto, 2009) mengatakan bahwa evaluasi merupakan
sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa
dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang
belum dan apa sebabnya. Dalam arti luas, Mehrens dan Lehmann (dalam
Purwanto, 2008) mengemukakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses
merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang diperlukan untuk
membuat alternatif-alternatif keputusan.
Azwar (2007) mengemukakan jenis keputusan dalam pendidikan, yakni
keputusan didaktik, keputusan administratif dan keputusan bimbingan
1
penyuluhan. Keputusan didaktik diperlukan guna memenuhi kebutuhan
pengajaran seperti keputusan yang menyangkut ketepatan kurikulum yang
berlaku. Selanjutnya keputusan administratif untuk memenuhi kebutuhan
administratif seperti keputusan mengenai nilai yang hendak diberikan pada subjek
atau keputusan mengenai kelulusan. Sedangkan keputusan bimbingan penyuluhan
untuk memberikan bimbingan dalam penjurusan dan penentuan karir.
Berkaitan dengan evaluasi hasil belajar siswa, Djaali (2006) menyatakan
bahwa tes merupakan suatu cara atau alat untuk mengadakan evaluasi yang
berbentuk suatu tugas atau serangkain tugas yang harus dikerjakan oleh siswa atau
sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku atau prestasi
siswa sebagai peserta didik. Dalam tes prestasi belajar, yang hendak diukur ialah
tingkat kemampuan seorang siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang
diajarkan kepadanya. Oleh karenanya, kedudukan tes prestasi dalam pengambilan
keputusan sangat penting.
Banyak sekali keputusan pendidikan yang diambil berdasarkan hasil tes
prestasi belajar, misalnya pemberian nilai suatu mata pelajaran, penentuan lulus
atau tidaknya siswa, perlu atau tidaknya penyelenggaraan kegiatan belajar
tambahan, perlu tidaknya pengulangan suatu mata pelajaran tertentu dan lain-lain.
Azwar (2007) mengemukakan bahwa berbagai macam keputusan pendidikan itu
menempatkan tes prestasi belajar dalam beberapa fungsi, yaitu fungsi
penempatan, fungsi formatif, fungsi diagnostik dan fungsi sumatif.
Dalam hal fungsi sumatif, Azwar (2007) memaparkan bahwa penggunaan
hasil tes prestasi untuk memperoleh informasi mengenai penguasaan pelajaran
yang telah direncanakan sebelumnya dalam suatu program pelajaran. Hasil tes
sumatif dapat dipakai untuk menentukan apakah dengan nilai yang telah
diperolehnya itu siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak lulus pada program
pendidikan tersebut atau apakah dapat melanjutkan ke jenjang program yang lebih
tinggi.
Pengertian lulus dan tidak lulus di sini menurut Purwanto (2008) berarti
dapat tidaknya siswa melanjutkan ke modul berikutnya, dapat tidaknya seorang
siswa mengikuti pelajaran pada semester berikutnya, dapat tidaknya siswa
2
dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi, dapat tidaknya seorang siswa dinyatakan
lulus dari sekolah yang bersangkutan atau dapat tidaknya seorang siswa di terima
di sekolah yang lebih tinggi. Jadi, jelas kiranya bahwa tes sumatif dilakukan setiap
akhir tahun ajaran yang berupa Ujian Nasional (UN) dan tes ujian masuk
perguruan tinggi yang berupa Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Ujian Nasional (UN) yang dilaksanakan mulai tahun 2009 ini merupakan
perubahan nama dari Ujian Akhir Nasional (UAN) yang berlaku mulai tahun
2002. Istilah UAN sebelumnya disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional
(EBTANAS). Perubahan nama mulai dari EBTANAS ke UAN ke UN hanya
merupakan bukti penyempurnaan tes dari kekurangan yang ada sebelumnya. Tapi
perubahan tersebut tidak mengurangi esensial tujuannya yakni untuk mengetahui
sejauh mana prestasi atau penguasaan dan pencapaian belajar siswa.
Begitu pula dengan Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
yang merupakan perubahan nama dari Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) yang sebelumnya bernama Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) yang sebelumnya lagi disebut Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(Sipenmaru). Perubahan nama itu juga tidak mengurangi fungsinya sebagai tes
seleksi untuk memprediksi kemampuan calon mahasiswa di tingkat lebih tinggi
dan sebagai proses seleksi. Sebab jumlah lulusan SMA yang ingin belajar di
perguruan tinggi semakin meningkat sehingga daya tampung perguruan tinggi
semakin lama semakin tidak sebanding.
Menurut Suryabrata (dalam Pratomo & Suryabrata, 1991) bahwa
penerimaan mahasiswa baru diperguruan tinggi harus bersifat selektif dengan
beberapa alasan, yaitu (1) perguruan tinggi merupakan tempat penyiapan calon-
calon pemimpin masyarakat yang akan datang, posisi-posisi penting dalam suatu
negara oada umumnya dijabat oleh mereka yang pernah menyelesaikan
pendidikan tinggi, (b) kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi merupakan
kesempatan langka, karena itu hanya disediakan bagi mereka yang berhak
mendapatkannya, (c) human talent adalah sesuatu yang sangat berharga, tidak
3
seorang pun bersedia menyianyiakannya, dan (d) pendidikan tinggi merupakan
suatu upaya yang sangat mahal, karena itu harus dimanfaatkan dengan baik.
Dalam sistem seleksi, suatu tes musti memiliki prediction effectiveness
mempunyai makna bahwa hasil seleksi dapat meramalkan keberhasilan
mahasiswa. Dalam jangka pendek berarti mahasiswa yang terpilih oleh sistem
seleksi akan menunjukkan prestasi yang baik dan dapat menyelesaikan
pendidikannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam jangka panjang,
hal ini mempunyai makna bahwa lulusan perguruan tinggi kelak dapat berkarya di
masyarakat dengan baik (Pratomo & Suryabrata, 1991).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
EBTANAS/UAN/UN merupakan evaluasi akhir sekolah untuk mengetahui hasil
prestasi belajar siswa dan juga bisa dijadikan sebagai prediksi keberhasilan siswa
tersebut dalam menempuh pendidikan berikutnya. Sedangkan tujuan pelaksanaan
Sipermaru/SPMB/SNMPTN adalah juga untuk memprediksi kemampuan calon
mahasiswa yang akan memasuki pendidikan perguruan tinggi. Kedua jenis tes
prestasi ini tiap tahun dilaksanakan. Menurut penulis, kenapa tidak tes
EBTANAS/UAN/UN dijadikan sebagai tes masuk perguruan tinggi, apakah tes
tersebut selain berfungsi sebagai tes evaluasi juga bisa berfungsi sebagai tes
prediktif?
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Belajar dan Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur
yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang
pendidikan. Hal ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian
tujuan pendidikan sangat tergantung pada proses belajar yang dialami
siswa baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau
keluarganya sendiri.
Skinner (dalam Hill, 2009) mendefinisikan belajar sebagai suatu
proses adaptasi atau penyesuaian diri yang berlangsung secara progresif.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya, Skinner percaya bahwa
proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila
diberikan penguat (reinforcer).
Selanjutnya Chaplin (2002) mendefinisikan belajar sebagai (1)
perolehan dari sebarang perubahan yang relatif permanen dalam tingkah
laku, sebagai hasil dari praktek atau hasil pengalaman, (2) proses
mendapatkan reaksi-reaksi, sebagai hasil dari praktek dan latihan khusus.
Hal yang sama dikemukakan oleh Cronbach (dalam Djamarah, 2002)
bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Jadi dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian aktivitas
untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu tersebut selama berinteraksi dengan lingkungannya. Prestasi
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena
kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil
dari proses belajar.
5
2. Ciri-ciri Belajar
Menurut Djamarah (2002) bahwa jika hakikat belajar adalah perubahan
tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke
dalam ciri-ciri belajar, yaitu:
a. Perubahan yang terjadi secara sadar
b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
3. Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan
menjadi tiga macam (Djamarah, 2002; Syah, 2003), yakni: (1) faktor
stimuli belajar (faktor yang mendorong atau menggerakkan individu untuk
melakukan kegiatan belajar); (2) faktor metode belajar (cara atau metode
yang dipakai dalam proses pembelajaran); (3) faktor individual
(seseorang/individu yang sedang menjalani proses belajar itu sendiri).
Sedangkan, dilihat dari munculnya faktor-faktor tersebut dapat dibedakan
menjadi dua, yakni:
a. Faktor internal
Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak (intern) meliputi faktor
fisiologis dan faktor psikologis meliputi kecerdasan/intelegensi, bakat,
minat dan motivasi. Kecerdasan, merupakan kemampuan belajar yang
disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang
dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya
intelegensi yang menunjukkan kecapakan sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Menurut Kartono (1995), kecerdasan merupakan salah
satu aspek penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya belajar
seseorang. Jika seseorang (siswa) mempunyai tingkat kecerdasan normal
atau di atas normal, secara potensial ia dapat mencapai prestasi yang
6
tinggi. Dalam hal ini, kecerdasan/intelegensi merupakan faktor yang
sangat penting bagi seseorang dalam mencapai prestasi belajar.
Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang
sebagai kecakapan pembawaan. Dalam hal ini, bakat lebih dekat
pengertiannya dengan kata aptitude yang berarti kecakapan, yaitu
mengenai kesanggupan-kesanggupan tertentu. Bakat merupakan potensi
atau kemampuan; jika diberi stimulus akan menjadi kecakapan yang nyata.
Dalam proses belajar terutama belajar keterampilan, bakat memegang
peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan prestasi yang baik.
Seseorang akan berprestasi secara maksimal jika dia mendapatkan
stimulus untuk belajar sesuai dengan bakat atau potensi yang ada dalam
dirinya.
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenai beberapa kegiatan. Menurut Winkel (1996) minat merupakan
kecenderungan yang menetap dalam subyek untuk merasa tertarik pada
bidang atau hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang
itu. Minat mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pencapaian
prestasi belajar. Sebagai contoh, pelajaran yang menarik minat siswa, akan
lebih mudah dipelajari dan ditangkap oleh siswa; dan begitu pula
sebaliknya. Maka, Apabila seseorang mempunyai minat yang tinggi
terhadap sesuatu hal, ia akan terus berusaha untuk melakukan hal tersebut
sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai.
Motivasi adalah daya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Motivasi ini akan menggerakkan seseorang untuk mencapai
sesuatu yang diinginkan. Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni: (a) motivasi intrinsik; yakni motivasi yang bersumber dari dalam
diri seseorang – terungkap dalam bentuk kesadaran pribadi untuk
melakukan sesuatu; (b) motivasi ekstrinsik; yakni motivasi yang
bersumber dari luar diri seseorang yang menyebabkan siswa tersebut
melakukan kegiatan belajar. Prestasi belajar seseorang sangat dipengaruhi
7
oleh motivasi ini, baik yang datang dari dalam maupun dari luar diri
seseorang.
b. Faktor eksternal.
Faktor Eksternal merupakan faktor yang timbul dari luar diri individu
itu sendiri. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor ekternal
yaitu: keadaan keluarga, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan
masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat; tempat
seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Keluarga juga dapat dipahami
sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Situasi keluarga yang
kondusif (misalnya adanya rasa aman) sangat berpengaruh bagi
keberhasilan seseorang dalam belajar. Situasi yang kondusif dalam
kehidupan keluarga, misalnya perhatian dari orangtua, dapat menjadi daya
dukung serta motivasi eksternal bagi anak dalam belajar.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang penting
dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Karena itu lingkungan
sekolah yang baik dapat mendorong siswa belajar lebih maksimal.
Keadaan sekolah ini dapat meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan
guru dengan siswa, media pembelajaran dan kurikulum.
Situasi atau keadaan lingkungan masyarakat merupakan salah satu
faktor yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalam
proses pelaksanaan pendidikan. Keadaan lingkungan dapat menjadi
hambatan bagi anak dalam mencapai prestasi belajar tetapi juga dapat
mendukung anak dalam mencapai prestasi belajar yang lebih baik.
Keadaan lingkungan masyarakat di sini, menyangkut budaya, kebiasaan,
maupun pola hidup yang terjadi di masyarakat. Seseorang (siswa) yang
bertempat tinggal di suatu lingkungan yang memiliki budaya atau
kebiasaan belajar yang baik, kemungkinan besar siswa tersebut akan
mendapat pengaruh positif dan sebaliknya, jika lingkungan masyarakatnya
tidak kondusif akan berpengaruh buruk pada anak dalam belajar.
8
4. Prestasi Belajar
Prestasi dapat didefinisikan sebagai (1) pencapaian atau hasil yang
telah dicapai setelah melakukan suatu pekerjaan atau aktivitas tertentu; (2)
sesuatu yang telah dicapai; (3) satu tingkat khusus dari kesuksesan karena
mempelajari tugas-tugas, atau tingkat tertentu dari kecakapan/ keahlian
dalam tugas-tugas tertentu. Dalam konteks pendidikan (akademis), prestasi
merupakan satu tingkat khusus perolehan atau hasil keahlian dalam karya
akademis yang dinilai oleh para guru, melalui tes-tes yang dibakukan, atau
lewat kombinasi ke dua hal tersebut (Chaplin, 2002).
Selanjutnya Winkel (1996) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah
suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam
melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.
Sedangkan menurut Nasution (1996) prestasi belajar merupakan
kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berpikir, merasa dan berbuat.
Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni:
kognitif, afektif dan psikomotorik, sebaliknya dikatakan prestasi kurang
memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga
kriteria tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi
belajar merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki seseorang (siswa)
dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh
dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang mestinya harus
sesuai dengan tingkat keberhasilan seseorang dalam mempelajari materi
pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk penilaian.
Penilaian ini merupakan evaluasi belajar yang dicapai seseorang
setelah mengalami pendidikan secara formal dalam jangka waktu tertentu.
Penilaian ini dapat berwujud angka (kuantitatif), misalnya: 10, 9, 8, dst;
dan dapat berwujud peryataan verbal (kualitatif), misalnya: baik sekali,
baik, sedang, kurang, dsb. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan
tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.
9
B. Pengukuran dan Evaluasi Hasil Belajar
1. Pengertian Pengkuran dan Evaluasi
Secara operasional, pengukuran menurut Azwar (2007) didefinisikan
sebagai prosedur pembanding antara atribut yang hendak diukur dengan
alat ukurnya, yang pada intinya pengukuran memiliki karakteristik,
seperti:
a. Proses pembanding antara atribut yang hendak diukur dengan alat
ukurnya
b. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif dalam arti berwujud angka atau
hanya dengan satu atau besaran ukurnya saja
c. Hasilnya bersifat deskriptif, artiya hanya memberikan angka saja
tanpa memberikan interpretasi/penilian secara kualitatif.
Tyler (dalam Arikunto, 2009)mengemukakan bahwa evaluasi
merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh
mana, dalam hal apa dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai.
Selanjutnya Cronbach dan Stufflebeam (dalam Arikunto, 2009)
mengemukakan bahwa proses evaluasi bukan hanya sekedar mengukur
sejauh mana tujuan telah tercapai, tetapi evaluasi juga digunakan untuk
membuat keputusan. Berikutnya Gronlund (1982) dan Johnson dkk (2002)
menambahkan pengertian evaluasi sebagai proses yang sistematis untuk
menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan
pengajaran telah dicapai oleh siswa.
Evaluasi menurut Winkel (2006) merupakan penentuan seberapa jauh
sesuatu berharga, bermutu atau bernilai. Evaluasi terhadap hasil belajar
yang dicapai oleh siswa dan terhadap proses belajar mengajar mengandung
penilaian terhadap hasil belajar atau proses belajar itu, sampai berapa jauh
keduanya dapat dinilai baik. Sedangkan pengukuran berupa suatu
deskripsi kuantitatif tentang keadaan suatu hal sebagaimana adanya, atau
tentang perilaku yang nampak pada seseorang atau tentang prestasi yang
diberikan oleh seorang siswa. Sedangkan menurut Slavin (2003) evaluasi
10
merupakan segala hal yang berkaitan dengan pengukuran formal prestasi
siswa. Evaluasi siswa biasanya fokus pada prestasi akademik tetapi banyak
juga sekolah menggunakannya untuk mengukur perilaku dan sikap.
Hal yang sama dikemukakan oleh Arikunto (2009) bahwa mengukur
adalah membandingkan sesuaru dengan satu ukuran. Pengukuran atau
dalam istilah asing biasa disebut measurement bersifat kuantitatif.
Sedangkan menilai merupakan mengambil suatu keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik dan buruk. Penilaian atau evaluation ini
bersifat kualitatif. Dalam hal mengadakan evaluasi, maka kita akan
melalui dua langkah tersebut, yakni mengukur dan menilai.
Jadi pengukuran dan evaluasi saling terkait satu sama lain.
Pengukuran bersifat kuantitatif sedangkan evaluasi bersifat kualitatif.
Penilain itu sendiri tidak bisa lepas dari proses pengukuran sebab penilaian
adalah kegiatan menafsirkan hasil pengukuran. Salah satu alat yang sering
digunakan untuk melakukan pengukuran dalam bidang pendidikan adalah
tes prestasi belajar.
2. Tes Prestasi sebagai Bentuk Pengukuran dan Evaluasi Hasil Belajar
Menurut Bauer (2000), skor yang diperoleh siswa dalam tes prestasi
belajar kemungkinan tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas
pembelajaran di sekolah. Hal ini dikarenakan kemampuan siswa tidak
semata dipengaruhi oleh pembelajaran di sekolah, tetapi oleh banyak
factor dan bisa jadi karena tes prestasi yang ada tidak memenuhi standar.
Hal ini akan berdampak fatal.
Sehingga agar keputusan pendidikan yang diambil benar-benar tepat,
maka menurut Hadi (2002) bahwa penilaian harus didasarkan pada
informasi-informasi yang memenuhi tiga syarat pokok, yaitu kesahihan
atau validity (mampu menebak sasaran yang ditetapkan dengan tepat,
keandalan atau reliability (taraf kesalahan yang sekecil-kecilnya dan
ketelitian atau accuracy (mampu menembak mendekati sampai sedekat-
dekat titik bidikan.
11
Azwar (2007) mengemukakan bahwa berbagai macam keputusan
pendidikan itu menempatkan tes prestasi belajar dalam beberapa fungsi,
yaitu:
a. Fungsi penempatan, digunakan untuk pengklasifikasian siswa ke dalam
bidang atau jurusan yang sesuai dengan kemampuan yang telah
diperlihatkannya pada hasil belajar yang telah lalu.
b. Fungsi formatif, digunakan untuk melihat sejauh mana kemajuan
belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu program pelajaran.
c. Fungsi diagnostic, hasil tes prestasi digunakan untuk mendiagnosis
kesukaran-kesukaran dalam belajar, mendeteksi kelemahan-kelemahan
siswa yang dapat diperbaiki segera. Purwanto (2008) menambahkan
bahwa fungsi diagnostic ini akan membantu para konselor sekolah atau
guru pembimbing lainnya untuk mengetahui dalam hal apa siswa
tersebut memerlukan pelayanan remedial dan dapat dijadikan dasar
dalam menangani kasus-kasus tertentu.
d. Fungsi sumatif, penggunaan hasil tes prestasi untuk memperoleh
informasi mengenai penguasaan pelajaran yang telah direncanakan
sebelumnya dalam suatu program pelajaran. Hasilnya dapat digunakan
untuk menentukan apakah siswa tersebut lulus atau tidak atau apakah
siswa tersebut dinyatakan dapat melanjutkan ke jenjang program yang
lebih tinggi.
Bentuk soal dalam tes prestasi belajar, secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori (Azwar, 2007; Arikunto, 2009;
Purwanto, 2008) yaitu: 1) tes uraian, terdiri dari uraian bebas, uraian
terbatas atau isian singkat, uraian berstruktur, dan 2) tes objektif, terdiri
dari pilihan benarsalah, pilihan ganda, dan menjodohkan. Penggunaan tes
pilihan ganda, pada umumnya dijumpai pada ujian yang bersakala
besar/massal karena sifatnya yang obyektif dan mudah penskorannya.
Bentuk soal ini juga dianggap pilihan yang tepat untuk ujian akhir dimana
bahan pelajaran yang hendak diujikan biasanya cukup banyak. Tes pilihan
ganda dapat dilihat di tes UAN dan SPMB
12
Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNM-PTN sebagai tes prestasi yang distandarkan. Tes standar
atau tes yang dibakukan mengandung prosedur yang seragam untuk
menentukan nilai dan administrasinya. Tes standar bisa membandingkan
kemampuan siswa dengan siswa lain pada usia atau level yang sama dan
perbandingan ini bersifat nasional. Tes standar khususnya UN dan
SNMPTN wajib memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas alat tes.
(Santrock: 2007).
Lebih lanjut Santrock (2007) mendefinisikan validitas sebagai sejauh
mana sebuah tes bisa mengukur apa yang hendak diukur dan apakah
inferensi terhadap nilai tes itu akurat atau tidak. Tes standar yang valid
harus mengandung tiga tipe validitas, yaitu: validitas isi, validitas criteria
dan validitas konstruk. Validitas isi, merupakan kemampuan tes untuk
mencakup sampel isi yang hendak diukur. Azwar (2007) mengemukakan
bahwa keseluruhan kawasan isi tidak saja berarti tes itu harus
komprehensif akan tetapi isinya harus pula relevan dan tidak keluar dari
batasan tujuan pengukuran.
Validitas kriteria, yakni kemampuan tes untuk memprediksi kinerja
siswa saat diukur dengan penilain atau criteria lain. Validitas kriteria
bersifat concurrent dan predictive. Menurut Azwar (2007) bahwa apabila
tes prestasi itu dirancang untuk memprediksi performansi di masa yang
akan dating, maka validitas prediktif ini memegang peranan paling
penting. Validitas konstruk, merupakan validitas yang menunjukkan
sejauh mana suatu tes mengukur konstruk tertentu.
Reliabilitas berarti sejauh mana prosedur tes bisa menghasilkan nilai
yang konsisten dan dapat direproduksi. Agar bisa disebut reliable, maka
nilai harus stabil, dependent dan relative bebas dari kesalahan pengukuran
(Fekken dalam Santrock: 2007)
13
C. Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNM-PTN)
Ujian Nasional (UN) yang telah berlaku tahun ini merupakan perubahan
nama dari Ujian Akhir Nasional (UAN) yang berlaku mulai tahun 2002.
Istilah UAN sebelumnya disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional
(EBTANAS). EBTANAS pertama kali dilakukan sejak tahun 1985. Perubahan
nama mulai dari EBTANAS menjadi UAN lalu UN sejalan dengan
peningkatan ketetapan standar kelulusan yang mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Akan tetapi peningkatan standar itu tidak berbanding lurus
dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah.
Standar kelulusan pelaksanaan Ujian Nasional pada tahun ajaran
2008/2009 ini, siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,5
untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Artinya, siswa boleh punya angka
4 hanya di dua mata pelajaran, sedangkan yang lainnya minimal 4,25. (www.
snmptn.or.id.com)
Menurut Khalifah (2009) bahwa ada 6 indikator penting penyebab
merosotnya mutu pendidikan bangsa ini, yaitu (1) rendahnya sarana fisik; (2)
rendahnya kualitas dan kesejahteraan guru; (3) rendahnya prestasi siswa; (4)
rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan; (5) rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan; serta (6) mahalnya biaya pendidikan.
Ironisnya, pemerintah justru menutup mata terhadap permasalahan-
permasalahan ini, sehingga timbul imbalance correlation antara harapan
pemerintah dengan realita di lapangan.
Sudah menjadi tradisi yang sistemik dalam dunia pendidikan nasional
kita bahwa setiap siswa SMA yang telah dinyatakan lulus dari jenjang sekolah
menengah harus mengikuti seperangkat ujian lagi untuk bisa duduk di bangku
perguruan tinggi yang mereka inginkan, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sejak zaman Orde Baru sampai era
reformasi, ujian seperti ini masih terus berlangsung, walaupun dengan nama
dan format yang sedikit berbeda dari masa ke masa.
14
Untuk PTN, pada awalnya ujian ini disebut SKALU (Sekretariat
Kerjasama Antar Lima Universitas) yang pertama sekali dilaksanakan secara
serentak oleh lima perguruan tinggi negeri pada tahun 1976. Kemudian tahun
1979 sistem ini dikembangkan dengan melibatkan lebih banyak perguruan
tinggi negeri, yang dibagi ke dalam beberapa Proyek Perintis. Pada tahun
1983, Depdikbud memutuskan sistem ujian baru baru yang melibatkan semua
PTN di tanah air. Sistem baru itu dikenal dengan nama SIPENMARU (Sistem
Penerimaan Mahasiswa Baru).
Berikutnya pada pada tahun 1989 SIPENMARU dihapus dan berubah
nama menjadi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), dan berubah
lagi menjadi SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2001
menyusul keluarnya SK Mendiknas No. 173/U/2001. Dan sejak tahun 2008,
ujian ini kembali berganti nama dan (juga) sedikit perubahan format. Istilah
SNM-PTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) kemudian
diperkenalkan, menyusul Keputusan Mendiknas No. 006 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penerimaan Calon Mahasiswa Baru.
Pada saat ini, ada ujian sejenis SNMPTN yang dilaksanakan beberapa
PTN dalam menjaring mahasiswa baru mereka, seperti Ujian Masuk Bersama
(UMB) yang dilaksanakan oleh gabungan beberapa universitas di regional
tertentu, atau ujian masuk yang diselenggarakan sendiri oleh perguruan tinggi
tertentu untuk menjaring calon mahasiswanya dengan jadwal ujian biasanya
lebih awal dari SNM-PTN, seperti Seleksi Masuk Universitas Indonesia
(SIMAK UI), Ujian Saringan Masuk (USM) ITB, dan Ujian Masuk
Universitas Gajah Mada (UM UGM).
Dalam peraturan Mendiknas No. 39 Tahun 2007, Pasal 3 disebutkan,
bahwa hasil UN menjadi acuan (1) pemetaan mutu satuan pendidikan; (2)
dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (3) penentuan kelulusan
peserta didik dari satuan pendidikan; dan (4) dasar pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
EBTANAS/UAN/UN merupakan evaluasi akhir sekolah untuk
mengetahui hasil prestasi belajar siswa dan juga bisa dijadikan sebagai
15
prediksi keberhasilan siswa tersebut dalam menempuh pendidikan berikutnya.
Sedangkan tujuan pelaksanaan Sipermaru/UMPTN/SPMB/SNMPTN adalah
juga untuk memprediksi kemampuan calon mahasiswa yang akan memasuki
pendidikan perguruan tinggi. Jadi ada tumpang tindih fungsi ke dua jenis tes
ini. Salah satu solusinya adalah dengan penggabungan antara UN dengan
SNMPTN
Suatu sistem seleksi dituntut mencakup sekurang-kurangnya empat
aspek, yaitu prediction effectiveness, efficiency, representativeness dan
incentives. Prediction effectiveness mempunyai makna bahwa hasil seleksi
dapat meramalkan keberhasilan mahasiswa. Dalam jangka pendek berarti
mahasiswa yang terpilih oleh sistem seleksi akan menunjukkan prestasi yang
baik dan dapat menyelesaikan pendidikannya dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Dalam jangka panjang, hal ini mempunyai makna bahwa lulusan
perguruan tinggi kelak dapat berkarya di masyarakat dengan baik. Efficiency
berkaitan erat dengan efektivitas prediksi, akan tetapi dari segi pertimbangan
ekonomi. Pertambahan kecermatan prediksi memerlukan usaha yang lebih
besar, waktu yang lebih banyak dan tambahan biaya yang lebih tinggi.
Representativeness berarti bahwa sistem seleksi dapat menjaring mahasiswa
dari berbagai lapisan social dan kelompok. Incentives berarti sistem yang ada
memberikan ransangan bagi berbagai pihak untuk berusaha lebih aktif agar
siswa dapat melampaui sistem seleksi (Pratomo & Suryabrata, 1991)
Penambahan fungsi ujian nasional sebagai salah satu acuan seleksi
penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri sangat dimungkinkan
asalkan dengan syarat kredibilitas UN harus segera ditingkatkan. Berkenaan
dengan penggabungan tersebut, Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan
bahwa hal itu sudah dibicarakan para rektor sejak tahun lalu. Jadi tidak ada
lagi seleksi tersendiri, tapi sudah digabung antara UN dengan SNMPTN
(www.snmptn.or.id.com)
16
BAB III
PEMBAHASAN
Pemerintah telah melaksanakan Ujian Nasional (UN) untuk semua siswa yang
duduk di bangku terakhir Sekolah Menengah Atas (Kelas XII). Kalau UN
dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran siswa selama
duduk di bangku SMA atau sederajat, sebagaimana tersebut dalam Pasal 2
Permendiknas No. 77 Tahun 2008 tentang UN SMA/MA Tahun 2009, maka
seharusnya hasil UN ini telah menggambarkan kemampuan seorang siswa untuk
layak atau tidak diterima di perguruan tertinggi tertentu.
Menurut analisis penulis, sebaiknya pemerintah mengintegrasikan fungsi
hasil UN, baik sebagai bahan evaluasi kelulusan maupun acuan seleksi di PTN
dengan pertimbangan dan saran tertentu. Pertama, asumsi bahwa Ujian Nasional
(UN) merupakan salah satu bentuk tes hasil belajar yang bersifat sumatif yang
dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran dalam batas waktu
tertentu. Tes Ujian Nasional (UN) ini dilaksanakan dari tahun ke tahun, oleh
karena itu tes ini sudah dikategorikan sebagai tes standar dengan kontrol terhadap
validitas isi senantiasa dilakukan jelang pelaksanaan tes. Sebagai sebuah tes yang
sudah distandarkan, maka tentunya tes Ujian Nasional (UN) ini juga memiliki
fungsi prediktif. Artinya tes ini dibuat untuk mampu memprediksi performansi di
masa yang akan datang. Selanjutnya juga karena dalam proses belajar terjadi
transfer of learning, maka prestasi belajar di SMA berkaitan dengan prestasi
belajar di perguruan tinggi kelak.
Kedua, pelaksanaan UN telah menghabisakan anggaran lebih satu triliun
rupiah ini akan terasa ’sia-sia’ jika nilai UN sama sekali ’tidak dianggap’ dalam
menentukan diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa di PT. dengan
penggabungan UN dengan SNM-PTN sangat jelas akan lebih mambantu para
calon mahasiswa untuk menekan anggaran pengeluaran mereka. Potensi
pengeluaran biaya yang totalnya bisa miliaran rupiah yang dikeluarkan oleh
ratusan ribu tamatan SMA dalam memperebutkan satu kursi di PTN.
17
Ketiga, dengan tumpang tindih fungsi UN sebagai prediktif dan SNMPTN
sebagai penjaringan masuk maka seakan ada missing link dalam sistem
pendidikan menengah dengan perguruan tinggi. Dunia pendidikan tinggi berjalan
dengan logikanya sendiri, dan pengelola pendidikan menengah juga berjalan
dengan caranya sendiri. Dengan penggunaan nilai UN sebagai dasar pertimbangan
diterima atau tidaknya seorang siswa di PT maka akan menegaskan bahwa sistem
pendidikan dasar dan menengah kita berada dalam satu kesatuan dengan sistem
dalam melaksanaan pembangunan di bidang pendidikan nasional.
Berdasarkan ketiga asumsi dia atas, maka penting mencari solusi agar hasil
UN bisa menjadi pertimbangan diterima tidaknya seorang calon mahasiswa di
perguruan tinggi. Hal pertama yang harus dilakukan saat ini adalah meningkatkan
kredibilitas pelaksanaan UN. Sebab, seperti yang muncul di berbagai pemberitaan,
masih rentan terjadi penyimpangan dalam UN, misalnya kebocoran soal,
beredarnya kunci jawaban palsu yang menyesatkan sehingga satu sekolah tidak
ada yang lulus, dan kasus lainnya yang mereduksi tujuan UN sebagai sebuah tes
evaluasi hasil belajar.
Hal yang kedua adalah dengan melibatkan PTN dalam pengawasan agar bisa
dipastikan bahwa UN bisa berlangsung sesuai aturan yang berlaku, jujur,
transparan, dan akuntabel pelaksanaannya. Dan untuk masalah yang terkait soal-
soal UN yang dianggap oleh PTN belum cukup representatif mengukur
kompetensi yang diperlukan oleh perguruan tinggi, maka kenapa pemerintah
(BNSP sebagai pihak pelaksana UN dan dirjen Dikti) tidak bekerjasama
memperbaiki kualitas isi soal UN.
Walaupun pada kenyataannya untuk sukses di perguruan tinggi, bukan hanya
aspek kognitif saja yang dibutuhkan, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik.
Tes UN hanya menguji pencapaian materi pelajaran yang bersifat kognitif saja.
Sedangkan di perguruan tinggi masih diperlukan tes-tes bersifat prediktif
semacam penelusuran potensi akademik dan psikotes. Tes-tes ini tentunya tidak
ditemui di UN yang lebih bersifat menguji pencapaian kompetensi siswa
SMA/SMK/MA. Namun, dengan adanya UN yang disempurnakan, siswa tidak
18
perlu lagi diuji materi yang bersifat elementer di SNMPTN, misalnya Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan hitung-menghitung (Matematika) dasar.
Hal yang ketiga adalah dengan mengkategorikan tingkat kelulusan UN dalam
interpretasi dalam bentuk rekomendasi, yaitu (1) lulus dan layak melanjutkan ke
perguruan tinggi, dan (2) lulus dan layak mencari pekerjaan. Tidak bisa dipungkiri
bahwa keberhasilan UN jika jumlah siswa yang lulus banyak, bahkan akan lebih
baik jika semuanya lulus. Sementara seleksi masuk perguruan tinggi tidak seperti
itu. Kapasitas PTN yang terbatas mengharuskan adanya seleksi untuk menjaring
calon mahasiswa yang terbaik. Jika dalam seleksi yang lulus banyak sedangkan
daya tampung kurang maka akan merepotkan juga.
19
BAB IV
KESIMPULAN
Belajar merupakan usaha yan dilakukan secara sengaja, yang menimbulkan
perubahan perilaku. Kegiatan belajar tidak bisa dipisahkan dengan prestasi
belajar. Kegiatan belajar adalah prosesnya, sedangkan prestasi belajar adalah
hasilnya. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa, maka perlu dilakukan
pengukuran dan penilaian terhadap hasil pengajaran yang telah dilakukan dalam
waktu tertentu.
Salah satu bentuk tes yang telah di kontrol validitas dan reiabilitasnya untuk
mengukur prestasi belajar adalah Ujian Nasional (UN) yang bisa berfungsi ganda,
yakni selain berfungsi sebagai tes hasil evaluasi hasil belajar selama 3 tahun di
sekolah tertentu, maka hasil Ujian Nasional (UN) juga bisa dijadikan sebagai tes
prediktif untuk masuk perguruan tinggi. Akan tetapi untuk sampai pada dua fungsi
Ujian Nasional (UN) secara maksimal, maka perlu persiapan yang cukup matang
dan membutuhkan waktu yang lama.
Salah satu persiapan yang paling dibutuhkan adalah meningkatkan
kredibilitas UN dan mengembalikan fungsi yang sebenarnya sebagai sebuah tes
evaluasi personal keberhasilan siswa selama mereka sekolah di tingkat SMA,
bukan ajang gengsi-gengsian antar kepala sekolah ataupun antar kepala dinas
20
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Azwar, S. 2007. Tes Prestasi. Jakarta: Pustaka Pelajar
Bauer, S.C. (17 September 2000). Should achivemet test be used to judge school quality. Education policy analysis archives, 46, 1-18.
Chaplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press
Djaali. (2006). Hasil belajar evaluasi dalam evaluasi pendidikan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Uhamka Press.
Djamarah, S.B. 2002, Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Gronlund, N.E. (1982). Constructing achievement test. (3rd ed). New York: Prentice
Hadi, S. 2002. Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset
Hill, W.F. 2009. Theories of Learning; Teori-teori Pembelajaran. Bandung: Nusamedia
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 2002. Meaningful Assesment; A Manageable and Cooperative Process. Boston: Allyn & Bacon A Pearson Educational Company
Kartono, K. 1995. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press
Khalifa, S. 2009. UN Formalitas Nasional yang irrasional. (Online. www.acehinstitute.org.id, diakses tanggal 9 Juni 2009)
Nasution, S. 1996. Berbagai Pendekatan Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bina Aksara
Pratomo, S & Suryabrata, S. 1991. Validitas Prediktif NEM SMA, STTB, SMA, TKU, dan Nilai Ujian Tulis SIPENMARU tahun 1988 sebagai Prediktor Prestasi Belajar Mahasiswa Fakultas Non Eksakta Universitas Gadjah Mada. Berkala Penelitian Pasca Sarjana UGM, 4(3A), 517-525
Purwanto, M.N. 2008. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Rosdakarya
21
Santrock, J.W. 2007. Educational Psychology (alih bahasa: Tri Wibowo). Jakarta: Kencana
Slavin, R.E. 2003. Educational Psychology; Theory and Practice. USA: Library of Congress Cataloging in Publication Data
Syah, M. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press
Suprijanto. 2008. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Bumi Aksara
Tanpa Nama. 2009. Dimungkinkan, Ujian Nasional Jadi Acuan Penerimaan Mahasiswa. Online. www . s nmptn .or.id.com , diakses tanggal 9 Juni 2009)
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
Winkel, W.S. Psikologi Pengajaran. 1996. Jakarta: Grasindo
22