Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FINANCIAL TECHNOLOGY (PEER TO PEER
LENDING) DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
SKRIPSI
Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh
YOLANDA PUSVITA SARI
8111416024
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. –Qs. Al Baqarah 216
Persembahan
1. Allah S.W.T yang telah
memberikan nikmat dan karunia-
Nya.
2. Kedua Orang tua saya tercinta
Bapak Pungut dan Ibu Betty
Lusiana yang tiada henti
memberikan doa dan dukungan
baik moral maupun material, serta
selalu membantu saya ketika
mengalami kesulitan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Teman-teman seperjuanganku
Fakultas Hukum UNNES 2016.
4. Almamaterku Universitas Negeri
Semarang
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT untuk segala rahmat
dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesehatan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Financial Technology (Peer to Peer
Lending) dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”.
Penyelesaian skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan skripsi ini,
diantaranya yaitu :
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. selaku Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Dr. Rodiyah, S.Pd., S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang.
3. Prof. Dr. Martitah, M.Hum. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
4. Dr. Ali Masyhar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
5. Tri Sulistiyono, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
viii
6. Dr. Duhita Driyah Suprapti, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing
skripsi yang telah sabar dalam membimbing, memberikan petunjuk, arahan,
dan kritik yang membangun serta saran dalam menyelesaikan skripsi.
7. Ratih Damayanti, S.H., M.H. selaku Dosen Wali yang telah membantu
dalam proses perkuliahan.
8. Dosen dan Staf Akademika Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
9. Seluruh insan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 3 Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
10. Kedua Orang Tua tercinta Bapak Pungut dan Ibu Betty Lusiana, beserta
keluarga lainnya atas segala bantuan, bimbingan, dorongan serta do’a restu.
11. Okti Putri Andini, Lowrenszya Siagian, Ardi Natakusuma Sanjaya dan
Ahmadi yang telah memberikan segala bantuan dan dorongan dalam
penyusunan kripsi.
12. Teman-teman seperjuangan angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang serta semua pihak yang telah membantu dengan sukarela
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga segala bantuan dan kebaikan tersebut mendapat pahala yang
melimpah dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan memberikan tambahan, dan wawasan yang semakin luas bagi pembaca.
Semarang, 3 Agustus 2020
Penulis
ix
ABSTRAK
Sari, Yolanda Pusvita. 2020. Financial Techology (Peer to Peer Lending) dalam
Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Skripsi Bagian Perdata.
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing : Dr. Duhita
Driyah Suprapti, S.H., M.Hum.
Kata Kunci : Financial Technology; Peer to Peer Lending; Hukum
Perlindungan Konsumen
Financial technology (peer to peer lending) merupakan platform yang
mempertemukan antara pemberi dengan peminjam melalui internet dengan proses
yang mudah dan cepat. Namun dibalik kemudahannya terdapat permasalahan
hukum didalamnya yang dapat merugikan konsumen financial technology (peer to
peer lending). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan serta
regulasi tentang financial technology (peer to peer lending) di Indonesia serta
mengetahui tentang sistem perlindungan konsumen pengguna jasa financial
technology (peer to peer lending) dalam persfektif hukum perlindungan konsumen
di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yuridis empiris. Sumber
data primer diambil dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sedangkan
data sekunder di dapat dari Perundang-undangan, buku, jurnal, artikel ilmiah terkait
dengan penelitian.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : (1) Perkembangan financial
technology (peer to peer lending) di Indonesia sudah ada dari tahun 2015, namun
belum ada regulasi yang mengaturnya. OJK selaku Pengawas dan Regulator
mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi sebagai regulasi layanan financial technology
(peer to peer lending) di Indonesia. (2) Perlindungan konsumen dalam financial
technology (peer to peer lending) sangat diperlukan, karena saat masih ada
permasalahan yang muncul mengenai layanan financial technology (peer to peer
lending) di Indonesia.
Simpulan dalam penelitian ini : (1) Adanya POJK Nomor 77/POJK.01/2016
sebagai regulator yang memberikan petunjuk jalan bagi penyelenggara yang terlibat
dalam layanan financial technology (peer to peer lending) sesuai dengan apa yang
seharusnya. (2) Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen dan POJK Nomor
1/POJK.07/2013, bahwa kehadirannya saling melengkapi satu sama lain dalam
memberikan perlindungan konsumen layanan financial technology (peer to peer
lending) di Indonesia. Saran dalam penelitian ini : (1) Perlu adanya edukasi kepada
masyarakat mengenai risiko dalam layanan financial technology (peer to peer
lending) agar masyarakat lebih berhati-hati. (2) Para pihak pengguna jasa financial
technology (peer to peer lending) yang terikat perjanjian, yakni harus membaca dan
memahami secara benar mengenai syarat, ketentuan dan risiko pada setiap layanan
financial technology (peer to peer lending) untuk mengurangi risiko.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ ii
PENGESAHAN .................................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................. v
MOTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2.Identifikasi Masalah ................................................................................... 7
1.3.Pembatasan Masalah ................................................................................... 7
1.4.Rumusan Masalah ...................................................................................... 8
1.5.Tujuan Penelitian ........................................................................................ 8
1.6.Manfaat Penelitian ...................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 11
2.1.Penelitian Terdahulu ................................................................................. 11
2.2.Landasan Teori ......................................................................................... 13
2.2.1.1.Teori Perlindungan Hukum .......................................................... 13
2.3.Landasan Konseptual ................................................................................ 15
2.3.1. Tinjauan Umum Tentang Financial Technology .................................. 16
2.3.1.1.Pengertian Financial Technology ................................................ 16
2.3.1.2.Jenis-Jenis Financial Technology ................................................ 18
2.3.2. Tinjauan Umum Tentang Peer to Peer Lending ................................... 21
2.3.2.1.Pengertian Peer to Peer Lending ................................................. 21
xi
2.3.2.2.Pihak-Pihak Peer to Peer Lending ............................................... 22
2.3.2.3.Cara Kerja Peer to Peer Lending ................................................. 25
2.3.3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen ................. 26
2.3.3.1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ............................... 26
2.3.3.2. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen ..................... 29
2.3.3.3. Hak dan Kewajiban Konsumen .................................................. 32
2.4.Kerangka Berpikir ................................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 36
3.1. Pendekatan Penelitian ............................................................................... 36
3.2. Jenis Penelitian ......................................................................................... 37
3.3. Fokus Penelitian ....................................................................................... 38
3.4. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 39
3.5. Sumber Data ............................................................................................. 39
3.5.1. Sumber Data Primer ............................................................................. 40
3.5.2. Sumber Data Sekunder......................................................................... 41
3.6. Teknik Pengambilan Data ......................................................................... 41
3.7. Validitas Data ........................................................................................... 43
3.8. Analisis Data ............................................................................................ 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 47
4.1. Hasil Penelitian ......................................................................................... 47
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 47
4.1.1.1. Otoritas Jasa Keuangan .............................................................. 47
4.1.1.2. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional .............................. 50
4.1.2. Perkembangan dan Regulasi yang Mengatur tentang Financial
Technology (Peer to Peer Lending) di Indonesia ........................................... 51
4.1.3. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Financial Technology (Peer to
Peer Lending) dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen ................. 58
4.2. Pembahasan .............................................................................................. 64
4.2.1. Perkembangan dan Regulasi yang Mengatur tentang Financial
Technology (Peer to Peer Lending) di Indonesia .................................... 64
4.2.2. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Financial Technology (Peer
to Peer Lending) dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen ...... 72
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 84
xii
5.1. Simpulan .................................................................................................. 84
5.2. Saran ........................................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 87
LAMPIRAN .................................................................................................... 91
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 11
Tabel 4.1. Financial technology (peer to peer lending) yang sudah terdaftar dan
berizin yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.............................................. 67
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1. Kerangka Berpikir ............................................................................ 35
Bagan 3.1. Alur Analisis Data ............................................................................ 46
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Penetapan Dosen Pembimbing ............................................. 91
Lampiran 2. Surat Kepada Otoritas Jasa Keuangan ............................................ 92
Lampiran 3. Surat Telah Melakukan Penelitian di Otoritas Jasa Keuangan ......... 93
Lampiran 4. Surat Kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional ............. 94
Lampiran 5. Surat Kuasa Konsumen .................................................................. 95
Lampiran 6. Dokumentasi Hasil Penelitian......................................................... 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan pelayanan jasa-jasa perbankan yang dilakukan
melalui internet semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan
teknologi informasi yang semakin cepat. Faktor inovasi produk dan
perkembangan teknologi sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dengan perkembangan industri perbankan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan sehingga menjadi lebih cepat, bagus dan efisien (Atrorf et al,
2002:1). Salah satu contoh perkembangan perbankan yang memudahkan
nasabah adalah dengan adanya fasilitas pembiayaan teknologi, fasilitas
pembiayaan yang dibutuhkan oleh para pencari dana menjadi lebih mudah
dengan dukungan teknologi. Masyarakat dimudahkan karena didukung oleh
kemajuan teknologi dan fasilitas elektronik. Masyarakat tidak lagi
menerima informasi dari media massa yang harus menunggu waktu lama,
sehingga kehadiran teknologi ini membuat informasi yang diinginkan dapat
diperoleh dalam hitungan menit atau detik, yaitu dengan media internet atau
melalui teknologi informasi (Riswandi, 2006:2).
Saat ini, era digital merupakan tantangan yang harus dirubah
menjadi peluang karena memberikan lebih banyak fleksibilitas dan
fungsionalitas di beberapa aspek (Inna & Marina, 2016). Sektor keuangan
menjadi salah satu sektor usaha yang mengalami perubahan signifikan, yang
dikenal dengan istilah teknologi finansial atau financial technology.
Perkembangan financial technology yang sangat pesat perlu diatur oleh
2
hukum untuk pengembangan industri itu sendiri juga untuk melindungi
masyarakat selaku pengguna. Pemerintah melalui Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan sebagai badan yang berwenang mengatur financial
technology sesuai dengan kategorinya, telah mengeluarkan peraturan teknis
dalam regulasi terkait financial technology, diantaranya yakni Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan Bank
Indonesia No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Finansial.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, berbunyi
sebagai berikut:
“Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter,
stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran,
keamanan, dan keandalan sistem pembayaran”.
Menurut Hsueh dan Kuo (2017) dikutip dalam (jurnal Nugroho &
Rachmaniyah, Vol.4, April 2019:34-46) bahwa financial technology
(fintech) dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu:
a. Third-party payment systems merupakan sistem pembayaran
melalui pihak ketiga. Contohnya sistem pembayaran mobile,
platform pembayaran yang menyediakan jasa seperti transfer
dan pembayaran bank.
b. Peer to Peer (P2P) Lending merupakan platform yang
mempertemukan pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang
3
membutuhkan dana melalui internet. Jadi platform ini
memberikan jasa kepada kreditur dan debitur untuk membantu
memenuhi kebutuhannya masing-masing secara efisien.
c. Crowdfunding merupakan sebuah konsep suatu program yang
dipublikasikan secara umum melalui internet, yang mana jika
masyarakat tertarik dengan konsep tersebut akan memberikan
dukungan secara finansial dan investor akan mendapatkan
imbalan sesuai kesepakatan.
Alternatif-alternatif yang dihadirkan menjadi pilihan dalam
mengambil keputusan dalam hal kekurangan finansial. Saat ini, jenis
financial technology yang berkembang pesat di Indonesia ialah financial
technology payment (layanan pembayaran berbasis teknologi informasi)
dan financial technology peer to peer lending (layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi). Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77/Pojk.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau di kenal dengan
financial technology (peer to peer lending), berbunyi sebagai berikut:
“Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman
dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata
uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan
menggunakan jaringan internet”.
Financial technology (peer to peer lending) hadir untuk menjawab
permasalahan akses keuangan masyarakat pada lembaga keuangan
konvensional. Sebelumnya, berhubungan dengan lembaga keuangan
(perbankan) konvensional merupakan hal yang cukup rumit dan
4
menghabiskan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, financial
technology (peer to peer lending) menawarkan kemudahan dan kecepatan
dalam proses transaksi keuangan masyarakat, khususnya peminjaman dana
(Saksonova et al, 2017). Financial technology (peer to peer lending)
menjadi alternatif investasi dan sumber pendanaan yang sangat praktis bagi
masyarakat di Indonesia sehingga terdapat risiko yang harus ditanggung
oleh penerima dana.
Menurut Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas jasa Keuangan,
Tongam L. Tobing yang dikutip dalam artikel hukumonline.com bertajuk
“perkembangan dan permasalahan hukum financial technology”, di tengah
perkembangan financial technology (peer to peer lending), sayangnya
masyarakat tidak menyadari apakah penyelenggara financial technology
yang meminjamkan dana merupakan perusahaan yang legal atau ilegal.
Terkait hal ini, Otoritas Jasa Keuangan memastikan bahwa penyelenggara
financial technology (peer to peer lending) yang tidak terdaftar atau tidak
berizin dari Otoritas Jasa Keuangan dikategorikan sebagai peer to peer
lending ilegal. Otoritas Jasa Keuangan mengingatkan keberadaan financial
technology (peer to peer lending) ilegal tidak dalam pengawasan pihak
manapun, sehingga transaksi dengan pihak peer to peer lending ilegal sangat
berisiko tinggi bagi para penggunanya.
Semakin berkembangnya layanan financial technology khususnya
terkait peer to peer lending atau pinjaman secara online turut membawa
manfaat terutama kemudahan dalam mendapatkan pinjaman dana secara
cepat, guna turut serta dalam membangun pertumbuhan ekonomi namun
5
disisi lain turut membawa permasalahan-permasalahan baru yang muncul.
Banyaknya aduan terkait tindakan intimidatif, financial technology (peer to
peer lending) ilegal, pelecehan, penyalahgunaan data pribadi debitur
maupun tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan dampak buruk
terhadap konsumen.
Maka dari itu dibutuhkan perlindungan hukum bagi konsumen
pengguna jasa financial technology (peer to peer lending). Selanjutnya
dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberikan
definisi perlindungan konsumen adalah:
“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”.
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan
hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar
fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan
kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen (Rudy et
al, 2016:13).
Shidarta berpendapat sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan
ditarik batasnya. Aspek perlindungannya misalnya bagaimana cara
mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain. Istilah
hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sangat sering
terdengar. Az-Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen
6
merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau
kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan
konsumen.
Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa
konsumen, didalam pergaulan hidup. Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam
berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum
pidana, hukum administrasi negara dan hukum internasional terutama
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan
konsumen (Rudy et al, 2016:18).
Namun batasan definisi mengenai hukum perlindungan konsumen
tidak dapat kita temukan secara tersurat di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Serta bentuk perlindungan apa saja yang bisa
didapat oleh konsumen pengguna jasa financial technology (peer to peer
lending) dari hukum perlindungan konsumen dan sumber-sumber hukum
yang ada di dalamnya perlu digali lebih dalam lagi oleh penulis.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud ingin
mendalaminya lebih dalam dan menuangkannya dalam sebuah penulisan
yang berbentuk penulisan hukum dengan judul:
“FINANCIAL TECHNOLOGY (PEER TO PEER LENDING) DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI
INDONESIA”.
7
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi permasalahan yang mungkin muncul, yaitu:
1. Bahwa sampai sekarang ini telah banyak terjadi perubahan dan
perkembangan dari financial technology (peer to peer lending);
2. Bahwa pengaturan mengenai financial technology (peer to peer
lending) belum ada secara spesifik dalam perkembangan hukum
di Indonesia;
3. Bahwa Otoritas Jasa Keuangan hanya mengawasi penyelenggara
financial technology (peer to peer lending) yang terdaftar
dan/atau memiliki izin dari OJK, sehingga keberadaan financial
technology (peer to peer lending) yang ilegal tidak diawasi oleh
lembaga manapun; dan
4. Bahwa banyaknya permasalahan yang terjadi terhadap
konsumen pengguna jasa financial technology (peer to peer
lending) sehingga perlu adanya hukum perlindungan konsumen
untuk mengatasi masalah tersebut.
1.3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditentukan dari lingkup masalah yang akan
dibahas, maka untuk menghindari agar jangan sampai timbul suatu
pembahasan yang nantinya keluar dari pokok permaalahan dalam kaitannya
dengan judul yang telah dipilih tersebut, maka untuk itu fokus pembahasan
masalah dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
8
1. Perkembangan financial technology (peer to peer lending) di
Indonesia;
2. Regulasi financial technology (peer to peer lending) di
Indonesia berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi; dan
3. Perlindungan konsumen pengguna jasa financial technology
(peer to peer lending) dalam perspektif hukum perlindungan
konsumen di Indonesia.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan dan regulasi financial technology
(peer to peer lending) di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan konsumen pengguna jasa financial
technology (peer to peer lending) dalam perspektif hukum
perlindungan konsumen di Indonesia?
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa perkembangan serta
regulasi tentang financial technology (peer to peer lending) di
Indonesia; dan
9
2. Untuk mengetahui dan menganalisa sistem perlindungan
konsumen pengguna jasa financial technology (peer to peer
lending) dalam perspektif hukum perlindungan konsumen di
Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil baik bagi penulis sendiri maupun bagi
masyarakat pada umumnya. Manfaat penelitian ini dibedakan ke dalam 2
(dua) bentuk, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pikiran untuk pedoman
penelitian selanjutnya serta dapat menjadi pertimbangan ilmu,
khususnya di bidang Ilmu Hukum mengenai Financial Technology
(Peer to Peer Lending) dalam Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia;
b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu Hukum Perdata pada umumnya dan Hukum
Perlindungan Konsumen pada khususnya, terutama mengenai
mekanisme pelaksanaan Financial Technology (Peer to Peer
Lending); dan
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan
bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum
Perlindungan Konsumen dan umumnya Hukum Perdata.
2. Manfaat Praktis
10
a. Untuk mengembangkan pola pikir dan mengetahui kemampuan
penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh; dan
b. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan
informasi kepada masyarakat pada umumnya dan semua pihak yang
berkepentingan pada khususnya.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penulis memaparkan penelitian terdahulu sebagai bahan
pertimbangan dan untuk menunjukkan orisinalitas dalam penelitian ini,
maka dibawah ini penulis cantumkan beberapa penelitian terdahulu yang
relevan sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas oleh
penulis berupa skripsi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
Terdapat beberapa penelitian yang sudah membahas tentang layanan
financial technology (peer to peer lending) ditinjau dari berbagai sudut
pandang dan perspektif undang-undang tertentu, beberapa penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis
yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Judul Orisinalitas
1. Perlindungan Hukum
Pengguna Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi (peer to
peer lending) Berdasarkan
Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia
Skripsi oleh Aldrian
Vernandito, mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara 2018
Skripsi ini membahas mengenai
Perlindungan hukum bagi pengguna
layanan produk pembiayaan fintech
peer to peer lending khususnya bagi
pemberi pinjaman untuk
meningkatkan kepercayaan
masyarakat modern guna
memperbaiki kebutuhan
permodalan yang sulit untuk
memasuki pasar dalam Lembaga
Keuangan Perbankan.
12
2. Perlindungan Hukum bagi
Pemberi Pinjaman dalam
Penyelenggaraan Financial
Technology Berbasis Peer to
Peer Lending di Indonesia
Skripsi oleh Alfchica Rezita
Sari, mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta 2018
Skripsi ini membahas mengenai
bagaimana perlindungan hukum
bagi pemberi pinjaman dalam
penyelenggaraan financial
technology peer to peer lending di
Indonesia
3. Perlindungan Konsumen
Atas Kerugian Dalam
Penyelenggara Peer to Peer
Lending (Tunaiku) Yang
Batal Terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan
Skripsi oleh Ivanan Elvia
Ningrum, mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta
2019
Skripsi ini membahas mengenai
bagaimana perlindungan konsumen
atas kerugian dalam
penyelenggaraan peer to peer
lending yang batal terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan khususnya
pada penyelenggara tunaiku.
4. Problematik Layanan Utang
Piutang Berbasis Teknologi
Informasi (Peer to Peer
Lending) di Indonesia
Skripsi oleh Afada Hauna
Faisyar, mahasiswa Fakultas
Hukum Bagian Hukum
Perdata Universitas Negeri
Semarang 2019
Skripsi ini membahas mengenai apa
sajakah problematik yang timbul
dari layanan peer to peer lending di
Indonesia dan bagaimana
perlindungan hukum bagi pihak
yang dirugikan atas adanya layanan
peer to peer lending. Ruang lingkup
skripsi ini tidak hanya manusia
(naturlijk person) tetapi juga
membahas badan usaha.
Sumber: Hasil Penelitian yang sudah diolah
Financial Technology (Peer to Peer Lending) dalam Perspektif
Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia memiliki perbedaan dari
penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah dijelaskan pada Tabel 1.
Penelitian ini lebih menekankan kepada perkembangan financial
technology (peer to peer lending) serta perlindungan konsumen bagi
13
pengguna jasa financial technology (peer to peer lending) di Indonesia
khususnya bagi penerima pinjaman dan pemberi pinjaman.
2.2. Landasan Teori
Menurut Vredenbregt (1978:1) istilah teori seperti yang dipakai
secara populer, sering dinilai sebagai spekulasi yang tidak selalu
berhubungan dengan realita. Teori dan penelitian harus secara bersama
berfungsi menambah pengetahuan ilmiah, seorang peneliti ilmu hukum
terutama dalam penelitian ilmu hukum empiris, tidak boleh menilai teori
terlepas dari kenyataan fakta-fakta hukum yang ada di tengah masyarakat.
Teori harus selalu dihubungkan dengan fakta hukum yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan penelitian,
seorang peneliti ilmu hukum harus senantiasa mendasarkan diri pada teori
yang ada, kemudian hasil penelitian yang dilakukan dapat mendukung,
memperluas atau mengoreksi teori tersebut (Nasution, 2008:139). Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan Teori Perlindungan Hukum.
2.2.1. Teori Perlindungan Hukum
Penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum dengan
alasan bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan kekuasaannya kepadanya, untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya dan kepentingan itu merupakan sasaran hak. Pengertian
perlindungan adalah tempat untuk berlindung, hal perbuatan dan sebagainya
(KBBI, 2008:841), sedangkan pengertian hukum adalah keseluruhan asas
dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat dan
bertujuan untuk memelihara ketertiban serta meliputi berbagai lembaga dan
14
proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan dalam
hukum (Mochtar, 2002:2). Secara sederhana perlindungan hukum
merupakan bentuk aturan atau kaidah yang bertujuan untuk melindungi atau
memberikan perlindungan berupa hukum. Sedangkan terkait dengan teori
perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang menjelaskan tentang bahasan
ini, antara lain yaitu Fitzgerald, Satjipto Rahardjo, Phillipus M. Hadjon dan
Lily Rasyidi.
Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond
bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan
dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan
hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan
yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya
merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan
perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan anatara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat
(Satjipto Rahardjo, 2000:53).
Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan reprensif.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
15
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang
reprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan (Satjipto Rahardjo, 2000:54).
Selanjutnya Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Satjipto
Rahardjo, 2000:69). Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B. Wysa Putra
bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang
sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga predektif dan
antipatif (Lily & I.B. Wysa, 1993:118).
Berdasarkan uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa
perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang
bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang
secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan
hukum.
2.3. Landasan Konseptual
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep
khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah
yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. Penulisan
16
kerangka konseptual tersebut, dapat diuraikan semuanya dalam tulisan
karya ilmiah dan/atau hanya salah satunya (Zainuddin Ali, 2013:96).
Kerangka konseptual yang diuraikan penulis hanya memuat definisi
operasional sebagai berikut:
2.3.1. Tinjauan Umum Tentang Financial Technology
2.3.1.1. Pengertian Financial Technology
Perkembangan teknologi digital turut serta mengubah pola
hidup masyarakat termasuk dalam hal bertransaksi, kini masyarakat
dapat menikmati layanan jasa keuangan dimana saja dan kapanpun
hanya dalam satu genggaman melalui smartphone, dimana
masyarakat dapat melakukan beragam hal seperti pembayaran,
melakukan investasi, asuransi hingga mengajukan pinjaman uang.
Hadirnya produk layanan jasa keuangan berbasis teknologi ini, kini
mulai populer dimasyarakat dengan istilah financial technology atau
teknologi finansial (Bachman, 2011).
Menurut International Organization of Securities
Commision (IOSCO) istilah financial technology digunakan untuk
menggambarkan berbagai model bisnis yang inovatif dan teknologi
yang muncul yang memiliki potensi untuk mengubah industri jasa
keuangan (Vieqi Rakhma Wulan, 2017:178). Berdasarkan Pasal 1
angka (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial:
“Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak
17
pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau
efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem
pembayaran” (Jurnal Pagaruyuang, Vol. 2, Juli 2018:25).
Proses financial technology berkisar dari menciptakan software
untuk memproses kegiatan yang biasa dilakukan lembaga keuangan
untuk meningkatkanpengalaman konsumen dan mempersingkat
proses pembayaran menjadi lebih efisien, atau memungkinkan
konsumen memenuhi kebutuhan finansial mereka (Ian Pollar,
2016:15).
Menurut The National Digital Research Centre (NDRC),
financial technology adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
suatu inovasi di bidang jasa finansial, di mana istilah tersebut berasal
dari kata “financial” dan “technology” yang mengacu pada inovasi
finansial dengan melalui teknologi modern (Ernama Santi,
Budiharto, Hendro Saptono, 2017:2). Transaksi keuangan melalui
financial technology ini meliputi pembayaran, investasi, pinjaman
uang, transfer, rencana keuangan dan pembanding produk keuangan.
Industri financial technology merupakan salah satu metode layanan
jasa keuangan yang mulai populer di era digital sekarang ini. Sektor
inilah yang kemudian paling diharapkan oleh pemerintah dan
masyarakat untuk mendorong peningkatan jumlah masyarakat yang
memiliki akses kepada layanan keuangan (Huaiqing, 2015).
Financial technology merupakan implementasi dan
pemanfaatan teknologi untuk peningkatan layanan jasa perbankan
dan keuangan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan rintisan
18
(start-up) yang memanfaatkan teknologi software, internet, dan
komunikasi (Nofie Iman, 2016). Pengaturan dan pengawasan bisnis
financial technology di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga
negara independen yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.1, September 2017:346).
2.3.1.2. Jenis-Jenis Financial Technology
Berikut ini dijelaskan beberapa jenis financial technology
yang telah berkembang di Indonesia (Departemen Perlindungan
Konsumen: 2017), antara lain :
1) Digital Payment
Perusahaan financial technology digital payment
memberikan manfaat layanan berupa pembayaran transaksi
secara online sehingga proses tersebut menjadi lebih praktis,
cepat dan murah. Perusahaan penyedia layanan ini pada
umumnya berbentuk dompet virtual yang dilengkapi dengan
berbagai fitur untuk mempermudah transaksi secara online
antara konsumen dan pemilik usaha atau antar pelaku usaha.
Dalam praktiknya di Indonesia, biasanya perusahaan
financial technology digital payment bekerjasama dengan
berbagai pihak dalam memberikan tawaran promosi
termasuk perusahaan telekomunikasi, merchant atau took,
maupun bank-bank konvensional untuk dapat memberikan
pelayanan transaksi online dengan lebih bervariasi.
2) Financing and Investment
19
Perusahaan financial technology financing and
investment meliputi perusahaan fintech yang memberikan
layanan crowdfunding dan peer to peer lending. financial
technology crowdfunding pada umumnya melakukan
penghimpunan dana untuk suatu proyek maupun untuk
penggalangan dana sosial, sedangkan financial technology
peer to peer lending biasanya memfasilitasi pihak yang
membutuhkan dana pinjaman dengan para pihak yang ingin
berinvestasi dengan cara memberikan pinjaman. Pinjaman
yang diberikan oleh perusahaan fintech peer to peer lending
di Indonesia sangat bervariasi, mulai dari pinjaman modal
usaha, pinjaman kendaraan bermotor, kredit tanpa agunan
(KTA), kredit perumahan rakyat (KPR), pinjaman renovasi
rumah, biaya pernikahan, pinjaman persalinan, dan pinjaman
perjalanan umroh.
3) Account Aggregator
Perusahaan financial technology account aggregator
ini akan menawarkan layanan yang dapat mengakomodasi
seluruh transaksi perbankan tersebut melalui satu platform
saja. Pengguna platform ini diberikan kemudahan dalam
melakukan verifikasi transaksi pelaporan keuangan karena
prosesnya cepat dan singkat. Mekanismenya, konsumen
yang memiliki banyak akun perbankan dapat mendaftarkan
akunnya ke dalam platform ini, yang kemudian dapat
20
digunakan untuk memantau seluruh transaksi perbankan
melalui satu platform tersebut.
4) Information and Feeder Site
Perusahaan financial technology ini memberikan
layanan mengenai informasi yang dibutuhkan oleh para
calon konsumen yang ingin menggunakan suatu produk dan
layanan sektor jasa keuangan. Informasi yang diberikan
dapat berupa informasi seperti kartu kredit, tingkat suku
bunga, reksa dana, premi asuransi, dan sebagainya. Sistem
dari perusahaan financial technology ini dapat memfilter
maupun menyajikan informasi yang diinginkan oleh calon
konsumen. Perusahaan ini juga memberikan layanan
pendaftaran hingga pembelian produk dan/atau layanan
sektor keuangan, seperti pembelian premi asuransi.
5) Personal Finance
Perusahaan financial technology personal finance
melalui platform-nya dapat membantu konsumen dari mulai
pembuatan laporan keuangan yang baik hingga pemilihan
pengelolaan dana yang bijaksana, sehingga menghemat
waktu dan akan mendapatkan laporan sistem pembukuan
yang komprehensif. Dalam perkembangannya di Indonesia,
perusahaan-perusahaan financial technology dalam bidang
ini belum mencapai tingkatan sebagaimana financial
technology robo-adviser seperti yang ada di negara-negara
21
maju.
2.3.2. Tinjauan Umum tentang Peer to Peer Lending
2.3.2.1. Pengertian Peer to Peer Lending
Peer to peer lending adalah praktik atau metode memberikan
pinjaman uang kepada individu atau bisnis dan juga sebaliknya.
Peer to peer lending merupakan salah satu produk dari financial
technology yang mempertemukan pemilik dana atau yang biasa
disebut sebagai peminjam dengan melalui sistem elektronik atau
teknologi informasi. Dengan cara inilah yang menghilangkan fungsi
intermediasi yang selama ini dilakukan oleh lembaga perbankan di
Indonesia.
Pada dasarnya, sistem peer to peer lending ini sangat mirip
dengan konsep marketplace online, yang menyediakan wadah
sebagai tempat pertemuan antara pembeli dengan penjual. Dalam hal
peer to peer lending, sistem yang ada akan mempertemukan pihak
peminjam dengan pihak yang memberikan pinjaman. Jadi, boleh
dikatakan bahwa peer to peer lending merupakan marketplace untuk
kegiatan pinjam meminjam uang.
Peer to peer lending merupakan pola kerjasama antara satu
pihak dengan pihak yang lain. Peer to peer lending melibatkan
pemberi pinjaman atau investor yang memberikan uang secara
langsung kepada peminjam tanpa proses dan struktur lembaga
tradisional (Jurnal Islamic Economics, Vol. 4, Desember 2018:258).
Ketimbang mengajukan pinjaman melalui lembaga resmi seperti
22
bank, koperasi, jasa kredit, pemerintah dan sebagainya yang
prosesnya jauh lebih kompleks, sebagai alternatif masyarakat bisa
mengajukan pinjaman yang didukung oleh orang-orang awam
sesama pengguna sistem peer to peer lending dan oleh karena itulah
maka disebut dengan peer to peer.
2.3.2.2. Pihak-Pihak Peer to Peer Lending
1) Penyelenggara
Penyelenggara peer to peer lending telah diatur
dalam Pasal 1 angka (6) POJK Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Penyelenggara dalam ketentuan
tersebut adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan,
mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi. Bentuk badan hukum
penyelenggara dapat berupa perseroan terbatas atau
koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka
penyelenggara peer to peer lending harus berbentuk badan
hukum dan tidak dapat dilakukan oleh orang-perorangan
maupun kegiatan usaha non-badan hukum seperti
Maatschap, Firma ataupun CV.
Badan hukum yang dapat bertindak sebagai
penyelenggara peer to peer lending hanyalah perseroan
terbatas yang telah mendapatkan pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM atau Koperasi. Ditinjau dari
23
kapasitas hukum, tentu badan hukum memiliki kedudukan
yang lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan non-
badan hukum mengingat badan hukum merupakan subjek
hukum atau pendukung hak dan kewajiban yang dapat
dimintai pertanggungjawaban atas nama badan hukum
tersebut. Dengan ketentuan ini, jelas bahwa Yayasan
maupun badan hukum lainnya tidak dapat menjalankan
kegiatan peer to peer lending. Persyaratan penyelenggara
dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas atau
koperasi ini telah sesuai dengan tujuan kepastian hukum
bagi para pihak dalam kegiatan usaha peer to peer lending
dimana peer to peer lending merupakan kegiatan usaha
yang bersifat mencari keuntungan (profit oriented) dan
melibatkan banyak pihak.
2) Penerima Pinjaman
Penerima pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka (7) POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah orang dan/atau badan hukum yang
mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi. Penerima
pinjaman dalam sistem peer to peer lending harus berasal
dan berdomisili di wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penerima pinjaman dapat berupa orang
24
perseorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia. Berdasarkan ketentuan diatas, penerima
pinjaman dalam peer to peer lending bukanlah perorangan
WNA ataupun badan hukum asing.
Namun, ketentuan tersebut belumlah cukup
mengingat dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan
bahwa penerima pinjaman adalah pihak yang mempunyai
utang tanpa menyebutkan dengan siapa penerima pinjaman
mengikatkan diri dalam perjanjian utang piutang atau
pinjam meminjam. Hal ini seolah-olah penerima pinjaman
memiliki perjanjian pinjam meminjam dengan
penyelenggara peer to peer lending dimana hal tersebut
mirip dengan kegiatan usaha perbankan dalam menerima
dan menyalurkan dana ke masyarakat.
3) Pemberi Pinjaman
Pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka (8) POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
adalah orang, badan hukum dan/atau badan usaha yang
mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam
meminjam berbasis teknologi informasi. Pemberi pinjaman
dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Pemberi
pinjaman terdiri dari orang perseorangan warga negara
25
Indonesia, orang perseorangan warga negara asing, badan
hukum Indonesia/asing, dan/atau lembaga internasional.
Pemberi pinjaman dalam skema peer to peer lending
lebih luas jika dibandingkan dengan penyelenggara peer to
peer lending. Dalam hal ini, orang perorangan baik warga
negara Indonesia maupun warga negara asing dapat
bertindak selaku pemberi pinjaman. Hal yang perlu
diperhatikan agar kegiatan usaha peer to peer lending
memberikan kepastian hukum bagi para pihak yaitu
diperlukan pemberlakuan sistem know your customer guna
menghindari tindakan pencucian uang.
2.3.2.3. Cara Kerja Peer to Peer Lending
1) Sebagai Penerima Pinjaman
Sebagai penerima pinjaman atau peminjam, yang
perlu dilakukan hanyalah mengunggah semua dokumen
yang dibutuhkan untuk mengajukan pinjaman secara online
(yang relatif cepat prosesnya), yang diantaranya merupakan
dokumen berisi laporan keuangan dalam jangka waktu
tertentu dan juga tujuan dalam meminjam tersebut.
Permohonan peminjaman bisa diterima ataupun
ditolak, tentunya tergantung dari beragam faktor. Jika
permohonan ditolak, maka harus memperbaiki segala hal
yang menjadi alasan penolakan. Kemudian jika diterima,
maka suku bunga pinjaman akan diterapkan dan pengajuan
26
pinjaman akan dimasukkan ke dalam marketplace atau
platform yang tersedia agar semua pendana bisa melihat
pengajuan pinjaman.
2) Sebagai Pemberi Pinjaman
Sebagai pemberi pinjaman atau investor, nantinya
memiliki akses untuk menelusuri data-data pengajuan
pinjaman di dashboard yang telah di sediakan. Pemberi
pinjaman dapat melihat data mengenai setiap pengajuan
pinjaman, terutama data relevan mengenai si peminjam
seperti pendapatan, riwayat keuuangan, tujuan peminjaman
(bisnis, kesehatan, pendidikan atau sebagainya) beserta
alasan dan sebagainya.
2.3.3. Tinjauan Umum tentang Hukum Perlindungan Konsumen
2.3.3.1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Di dalam perlindungan konsumen, terdapat dua istilah
hukum yakni hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen
(Az. Nasution, 2004:19). Hukum konsumen (consumer law) dan
hukum perlindungan konsumen (consumer protection law)
merupakan bidang hukum baru dalam akademik dan praktik
penegakan hukum di Indonesia (Yusuf Shofie, 2011:47). Namun
saat ini masih belum jelas apa yang masuk ke dalam materi
keduanya serta apakah kedua cabang hukum itu identik (Shidarta,
2004:11).
27
Menurut Shidarta (2004:11) hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit
dipisahkan dan ditarik batasnya, hal ini mengingat bahwa salah satu
tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat. Hukum konsumen berskala lebih luas meliputi
berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen
di dalamnya, di mana kata aspek hukum termasuk juga hukum
diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum
konsumen adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana cara
mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan dari pihak
lain.
Az. Nasution (2011:37) menjelaskan bahwa hukum
perlindungan konsumen sebagai bagian khusus dari hukum
konsumen. Hukum konsumen mengatur secara umum mengenai
hubungan dan masalah penyediaan barang dan/atau jasa, sedangkan
hukum perlindungan konsumen lebih menitik beratkan pada
masalah perlindungan hukum terhadap konsumen. Definisi yang
diberikan oleh Az. Nasution ini menggunakan kata hukum yang
lebih luas dari undang-undang sehingga tidaklah bergantung pada
ada tidaknya hukum positif yang mengaturnya. Hukum
perlindungan konsumen tidak harus melulu didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang ada. Selanjutnya pengertian
lain yang sangat normatif diberikan oleh Inosentius Samsul
(2011:34) yang menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen
28
adalah peraturan perundang-undangan, baik undang-undang
maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-
putusan hakim yang substansinya mengatur kepentingan konsumen.
Menurut Yusuf Shofie (2011:52-53) perbedaan hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen terletak pada obyek
yang dikaji. Hukum konsumen wilayah hukumnya lebih banyak
menyangkut pada transaksi-transaksi konsumen (consumer
transactions) antara pelaku usaha dan konsumen yang berobyekan
barang dan/atau jasa. Sedangkan dalam hukum perlindungan
konsumen, kajian mendalam terletak pada perlindungan hukum
yang diberikan kepada konsumen dalam melakukan transaksi-
transaksi tersebut. Selanjutnya dalam hukum konsumen bukannya
tidak ada perlindungan hukum terhadap konsumen, namun
perlindungan hukumnya berwujud hak-hak dan/atau kewajiban
pelaku usaha dan konsumen. Sedangkan perlindungan hukum dalam
hukum perlindungan konsumen merupakan campur tangan negara
untuk melindungi individu konsumen dari praktik-praktik bisnis
yang tidak jujur (Shofie, 2011:52-53).
Berdasarkan beberapa pengertian hukum perlindungan
konsumen di atas jika dikaitkan dengan definisi hukum menurut
Mochtar Kusumaatmadja, maka hukum perlindungan konsumen
adalah keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah, lembaga dan
proses yang mengatur kegiatan manusia dalam kaitannya dengan
upaya perlindungan terhadap konsumen. Berdasarkan uraian di atas,
29
maka hukum perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan
bagian khusus dari hukum konsumen, di aman tujuan hukum
perlindungan konsumen secara khusus mengatur dan melindungi
kepentingan konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di
masyarakat.
2.3.3.2. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Asas hukum menurut Paul Scholten adalah kecenderungan
yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis terhadap hukum.
Begitu pula menurut H.J. Hommes, asas hukum bukanlah norma
hukum yang konkrit, melainkan sebagai dasar umum atau petunjuk
bagi hukum yang berlaku (Notohamidjojo, 1975:49). Mirip dengan
pendapat itu, menurut Satjipto Rahardjo asas hukum mengandung
tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan dan cita-cita
sosial dan pandangan etis masyarakat (Sasongko, 2007:36).
Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima)
asas/prinsip dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat
Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi
konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
30
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberi kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan
Dimaksudkan untuk memberi keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.
4. Asas keamanan dan keselamatan
Dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan
dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi
konsumen, dimana negara dalam hal ini turut menjamin
adanya kepastian hukum tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 3 tujuan dari perlindungan
31
konsumen, yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang
jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya
Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa: Pasal 3
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi
pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu
32
merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
2.3.3.3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut Az Nasution dalam bukunya Hukum Perlindungan
Konsumen Suatu Pengantar, menyatakan bahwa: Istilah
“perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik,
melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak.
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan
yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, hak konsumen diatur dalam Pasal 4, yakni:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan.
33
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-
undangan lainnya.
Kebutuhan hidup setiap orang selalu bertambah, hal tersebut
untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Kedudukan konsumen
sekarang ini cenderung berada pada posisi yang lemah,
dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Konsumen yang
benar-benar dilindungi adalah hak-hak konsumen yang disebutkan
di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku
usaha, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan
melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.
Konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, kewajiban
konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Republik
34
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
konsumen secara patut.
35
2.4. Kerangka Berpikir
Financial Technology (Peer to Peer Lending) dalam Perspektif
Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
1. Bahwa sampai sekarang ini telah banyak terjadi perubahan dan perkembangan dari
financial technology (peer to peer lending);
2. Bahwa pengaturan mengenai financial technology (peer to peer lending) belum ada
secara spesifik dalam perkembangan hukum di Indonesia;
3. Bahwa OJK hanya mengawasi penyelenggara financial technology (peer to peer
lending) yang terdaftar dan/atau memiliki izin dari OJK, sehingga keberadaan
financial technology (peer to peer lending) yang ilegal tidak diawasi oleh lembaga
manapun; dan
4. Bahwa banyaknya permasalahan yang terjadi terhadap konsumen pengguna jasa
financial technology (peer to peer lending) sehingga perlu adanya hukum
perlindungan konsumen untuk mengatasi masalah tersebut.
1. Bagaimana perkembangan dan regulasi financial technology (peer to
peer lending) di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan konsumen financial technology (peer to
peer lending) di Indonesia?
Teori : Teori Perlindungan
Hukum
Regulasi : POJK No. 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi
Perlindungan Konsumen
financial technology (peer to
peer lending)
84
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan
oleh peneliti yaitu tentang “financial technology (peer to peer lending)
dalam perspektif hukum perlindungan konsumen di Indonesia”, maka dapat
ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Dalam perkembangannya di Indonesia, sampai dengan bulan
Februari 2020, sudah ada 161 penyelenggara financial technology
(peer to peer lending) yang sudah terdaftar dan berizin di Otoritas
Jasa Keuangan dan sejak tahun 2018 sampai Maret 2020 sebanyak
1406 penyelenggara financial technology (peer to peer lending)
ilegal di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan selaku Pengawas dan
Regulator mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 hadir sebagai regulator yang memberikan
petunjuk jalan bagi penyelenggara layanan financial technology
(peer to peer lending) yang terlibat didalamnya sesuai dengan apa
yang seharusnya.
2. Perlindungan konsumen dalam financial technology (peer to peer
lending) di Indonesia diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Perlindungan Konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Otoritas Jasa
85
Keuangan mengeluarkan regulasi POJK Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dengan
adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, bahwa
kehadirannya saling melengkapi satu sama lain dalam memberikan
perlindungan konsumen dalam layanan financial technology (peer to
peer lending) di Indonesia.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah dikemukakan
diatas, maka penulis mengajukan beberapa saran, yakni:
1. Saran untuk Otoritas Jasa Keuangan:
a) Perlu adanya edukasi kepada masyarakat mengenai risiko
dan hal apa saja yang perlu diperhatikan mengenai layanan
financial technology (peer to peer lending) agar masyarakat
lebih berhati-hati dan bijak dalam menggunakan layanan
financial technology (peer to peer lending).
2. Saran untuk Masyarakat:
a) Pelajari terlebih dahulu dalam memilih layanan financial
technology (peer to peer lending), karena lebih baik
menggunakan layanan yang telah terdaftar dan/atau berizin
di Otoritas Jasa Keuangan; dan
b) Para pihak pengguna jasa financial technology (peer to peer
lending) yang terikat perjanjian, yakni harus membaca dan
86
memahami secara benar mengenai syarat, ketentuan dan
risiko pada setiap layanan financial technology (peer to peer
lending) untuk mengurangi risiko.
87
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Ali, Zainuddin. 2013. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Ashofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hanitijo, Ronny. 1997. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi.
Bandung: Alfabeta.
Kamus besar bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Konsumen, Departemen Perlindungan. 2017. Kajian Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen OJK.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Hukum Dalam Pembangunan. Bandung.
Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta:UI Press.
Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhajir, Noeng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: CV.
Mandar Maju.
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rasjidi, Lily dan I.B wysa putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:
Remaja Rusdakarya.
Riswandi, Budi Agus. 2006. Hukum Cyberspace. Yogyakarta: Gitanagari.
88
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. 2007. Metodelogi Penelitian Pendidikan Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sunggono, Bambang. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafinda
Persada.
Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: Rineka Cipta.
JURNAL dan ARTIKEL
Atorf, N., Sugiarto, A., Fiscallutfi, I., & Isnaeni, M.Y. 2002. Internet Banking Di
Indonesia. Jurnal Manajemen. Volume 1 Number 1.
At-Tawassuth. Analisis SWOT Financial Technology (Fintech) Pembiayaan
Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam. Volume 3 Nomor 2.
Bachman, Alexander., Becker, Alexander., Buerckner, Daniel., & Hilker, Michael.,
2011. Online Peer to Peer Lending – A Literature Riview. Journal of Internet
Banking and Commerce, Volume 16 Number 2.
Ernama Santi, Budiharto, Hendro Saptono. 2017. Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan TerhadapFinancial Technology (Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016). Diponegoro Law Journal Volume 6,
Number 3.
Hsueh, S.-C., & Kuo, C.-H. 2017. Effective Matching for P2P Lending by Mining
Strong Association Rules. In Proceedings of the 3rd International Conference
on Industrial and Business Engineering - ICIBE. New York, USA: ACM
Press.
89
Ian Pollari F Fin. 2016. The Rise of Fintech Opportunities and Challenges. Jassa
The Finsia Journal of Applied Finance, ISSUE 3. Australia: Klynveld Peat
Marwick Goerdeler.
Inna, R., & Marina, K. 2016. Banking and fintech: a challenge or opportunity? in
Simon, Grima, Frank Bezzina, Inna Romānova, Ramona Rupeika-Apoga (ed.)
Contemporary Issues in Finance: Current Challenges from Across Europe
(Contemporary Studies in Economic and Financial Analysis). Volume 98.
Emerald Group Publishing Limited.
Musdalifa & Irma. 2018. Peran Fintech Dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif
Pada UMKM DIi Indonesia. Jurnal Masharif al-Syariah. Volume 3 Nomor 2.
Nofie Iman. 2016. Financial Technology dan Lembaga Keuangan. Gathering Mitra
Linkage Bank Syariah Mandiri, Yogyakarta.
Nugroho & Rachmaniyah. 2019. Fenomena Perkembangan. Jurnal Ekonomi:
Universitas Kadiri.
Saksonova, S., Kuzmina, I., & Merlino. 2017. Fintech as financial innovation – the
possibilities and problems of implementation. European Research Studies
Journal, XX (3A).
Vieqi Rakhma Wulan. 2017. Financial Technology (Fintech) A New Transaction
In Future. Journal of Electrical Engineering and Computer Sciences , Volume
2, Number 1. Surabaya: Universitas Adi Buana.
Wang, Huaiqing., Chen, Kun., Zhu, Wei., & Song, Zhenxia. 2015. A Process Model
on Peer to Peer Lending. Financial Innovation, Volume 1 Number 3.
PERATURAN
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial.
90
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 Tentang Layanan
Pengaduan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan
dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.