14
FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN SEBAGAI PENDEKATAN KONTEMPORER Muhammad Burhanuddin Ubaidillah 1 Abstract: The interpretation of al-Qur'an textual-literal and ignoring revelation and interpretation context, the results of previous scholars' studies, especially in the fields of interpretation and fiqh which have been considered final, cause every new problem does not refer to al-Qur’an as a source of teachings Islam to explore meaning in accordance with the current social context. This condition is supported by the fact of social context in the XXI th century is different from the socio-historical context of muslim society when the al-Qur'an was revealed, it was necessary to reinterpret the Qur'an text according to the present context with methodologies and approaches could be scientifically accounted for. This article is intended to review fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdulah Saeed using his a new approach that is contextualist approach, which noticed to the socio-historical context that they can be separated from the reluctance of legalistic-literalistic approaches has been dominated interpretation of tafsīr and fiqh. Fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdullah Saeed, in fact, applied in four rigid steps, they are; encounter with the world of the text, critical analysis, meaning for the first recipients and meaning for the present. The Abdullah Saeed's aim is to look for justification of the al-Qur'an interpretation based on the socio-historical context in reinterpreting the Qur'anic tests according to the present social reality. Keywords: fiqh tafsīr, ta’wīl, contextualist approach, socio-historical context Pendahuluan Farid Essack menyatakan bahwa praktik hermeneutika (tafsīr ta’wīl) sebenarnya sudah dilakukan umat Islam sejak lama, terutama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, seperti kajian asbāb al-nuzūl dan nāsikh wa al-mansūkh. 2 Tafsīr didefinisikan Amir Abdul Aziz sebagai ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dalam segi asbāb al- nuzūl, muhkam dan mutasyābih, nāsikh dan mansūkh, dan lain sebagainya. Sedangkan ta’wīl didefinisikan dengan mengalihkan ayat kepada makna yang lain agar bisa lebih dimengerti. Jika tafsīr berkaitan dengan penjelasan lafadz al-Qur’an dari satu segi saja, maka ta’wīl berkaitan dengan pemilihan satu makna dari berbagai makna yang berbeda. 3 Menurut Hasan Hanafi, tafsīr ta’wīl tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu tentang penerimaan wahyu, sejak dari tingkat perkataan 1 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. 2 Farid Essack, Qur’an: Pluralism and Liberation (Oxford: One World, 1977), 161. 3 Amir Abdul Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 142-144.

FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM

PENAFSIRAN AL-QUR’AN SEBAGAI PENDEKATAN

KONTEMPORER

Muhammad Burhanuddin Ubaidillah1

Abstract: The interpretation of al-Qur'an textual-literal and ignoring revelation and

interpretation context, the results of previous scholars' studies, especially in the fields of

interpretation and fiqh which have been considered final, cause every new problem does

not refer to al-Qur’an as a source of teachings Islam to explore meaning in accordance

with the current social context. This condition is supported by the fact of social context

in the XXIth century is different from the socio-historical context of muslim society

when the al-Qur'an was revealed, it was necessary to reinterpret the Qur'an text

according to the present context with methodologies and approaches could be

scientifically accounted for. This article is intended to review fiqh tafsīr and ta’wīl

offered by Abdulah Saeed using his a new approach that is contextualist approach,

which noticed to the socio-historical context that they can be separated from the

reluctance of legalistic-literalistic approaches has been dominated interpretation of tafsīr

and fiqh. Fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdullah Saeed, in fact, applied in four rigid

steps, they are; encounter with the world of the text, critical analysis, meaning for the

first recipients and meaning for the present. The Abdullah Saeed's aim is to look for

justification of the al-Qur'an interpretation based on the socio-historical context in

reinterpreting the Qur'anic tests according to the present social reality.

Keywords: fiqh tafsīr, ta’wīl, contextualist approach, socio-historical context

Pendahuluan

Farid Essack menyatakan bahwa praktik hermeneutika (tafsīr ta’wīl) sebenarnya

sudah dilakukan umat Islam sejak lama, terutama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,

seperti kajian asbāb al-nuzūl dan nāsikh wa al-mansūkh.2 Tafsīr didefinisikan Amir

Abdul Aziz sebagai ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dalam segi asbāb al-

nuzūl, muhkam dan mutasyābih, nāsikh dan mansūkh, dan lain sebagainya. Sedangkan

ta’wīl didefinisikan dengan mengalihkan ayat kepada makna yang lain agar bisa lebih

dimengerti. Jika tafsīr berkaitan dengan penjelasan lafadz al-Qur’an dari satu segi saja,

maka ta’wīl berkaitan dengan pemilihan satu makna dari berbagai makna yang

berbeda.3

Menurut Hasan Hanafi, tafsīr ta’wīl tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori

pemahaman, tetapi juga ilmu tentang penerimaan wahyu, sejak dari tingkat perkataan

1Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. 2Farid Essack, Qur’an: Pluralism and Liberation (Oxford: One World, 1977), 161. 3Amir Abdul Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 142-144.

Page 2: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

sampai ke tingkat dunia, dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan

dari pikiran Tuhan sampai manusia.4 Sebagai contoh Fakhruddin al-Rāzi, seorang

mufassir klasik, memasukkan temuan-temuan ilmiah pada masanya ke dalam kitab

tafsirnya Mafātih al-Ghayb untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an dalam bidang

sains.5

Ide perpaduan beberapa disiplin ilmu terus berlanjut di kalangan sarjana muslim

pada abad XX-XXI. Amin al-Khuli, seorang pemikir Islam dalam bidang tafsir dari

Mesir, mengemukakan ide perlunya menggunakan teori-teori sastra modern di samping

teori-teori ilmu tafsir klasik dalam menafsirkan al-Qur’an.6 Ide ini kemudian dilanjutkan

oleh ‘Aisya ‘Abdurrahman bint al-Syati’ yang mengelaborasi keindahan bahasa al-

Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi.7 Muhammad Ahmad Khalaf Allah

meneliti seni Qur’ani dalam memaparkan kisah-kisah tentang umat terdahulu.8 Hasan

Hanafi menggunakan pendekatan tafsīr ta’wīl dalam merekontsruksi ilmu ushul dalam

menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, sekaligus melakukan kajian

kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam Perjanjian Baru. Muhammad Arkoun

juga menggunakan semiotik dalam menginterpretasikan al-Qur’an.

Fazlur Rahman merupakan tokoh garda depan dalam penafsiran al-Qur’an

modern. Orang pertama yang mengkampanyekan gagasan konteks historis al-Qur’an

dalam konteks kekinian pada penafsiran al-Qur’an melalui teori double movement

setelah berinteraksi dengan konsep hermeneutik yang diutarakan Hans George Gadamer

dan Emilio Betti.9 Nasr Hamid Abu Zayd juga salah satu scholar yang menggeluti

secara intensif kajian hermeneutika dalam tafsir klasik, termasuk dalam bukunya

berjudul Ishkaliyat al-Qira’at wa ‘Aliyat al-Ta’wil.10 Pada titik ini, Abdullah Saeed

hadir sebagai pendukung dan penterjemah serta penyempurna gagasan Fazlur Rahman

4Fahrudin Faiz, Hermeneutika Qur’ani (Yogyakarta: Qalam, 2002), 13. 5Rotraud Wielandt, “Tafsir Al-Qur’an: Masa Modern dan Kontemporer,” terj. Sahiron Syamsuddin,

Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 18 (2004), 69-70. 6Amin al-Khuli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab (Kairo: Dar al-

Ma‘rifah, 1961). 7‘A’isya Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1990). 8Muhammad Ahmad Khalaf Allah, al-Fann al-Qasas fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabat al-Anglo

al-Misriyah, 1953). 9Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: a Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the Qur’an”

dalam Soha Taji-Farouki (ed), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (London: Oxford University

Press, 2004), 37-65. 10Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika

Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan (Jakarta: ICIP, 2004).

Page 3: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

ke dalam langkah-langkah rigid penafsiran dan mengulas lebih dalam nilai-nilai dalam

al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam bukunya berjudul Interpreting the Qur’an:

Towards a Contemporary Approach.

Artikel ini mengkaji Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl yang ditawarkan Abdulah Saeed

dengan pendekatan kontekstual yang memperhatikan socio-historical context agar

terlepas dari keterbelengguan legalistic-literalistic approach yang mendominasi

interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan hukum Islam sampai saat ini.

Pembahasan

A. Kegelisahan Akademik Abdullah Saeed

Abdullah Saeed, berangkat dari kegelisahan maraknya tafsir tekstual-literal,

menyatakan perlunya pendekatan baru model contextualist approach.11 Pendekataan ini

diharapkan mampu melepaskan keterbelengguan umat Islam dari legalistic-literalistic

approach yang mendominasi interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan

hukum Islam sampai era modern saat ini.12 Menurut Abdullah Saeed, penafsiran literer

telah mengabaikan konteks pewahyuan maupun penafsiran. Berangkat dari kaca mata

ini, Abdullah Saeed membangun model tafsir peka konteks dalam membangun landasan

teoritis sampai masuk kepada prinsip-prinsip epistimologinya.

Pendekatan ini ditawarkan karena adanya gap antara kebutuhan kompleks

muslim yang berkembang pesat pada abad XXI dengan pemahaman ayat al-Qur’an

yang masih diinterpretasikan secara literal dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-

hari, sebagaimana kehidupan sosio-religious pada masa awal Islam. Padahal realitas

konteks sosial abad XXI sangat berbeda dengan konteks sosio-historis masyarakat

muslim pada saat al-Qur’an diturunkan. Abdullah Saeed selanjutnya menyebutkan

tokoh-tokoh kategori ini seperti Ahmad Peryez, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun,

Farid Esack dan Khaled Abou el-Fadl.13 Para reformis Islam ini menangkap adanya

jarak antara al-Qur’an dengan realitas dan menolak pendekatan tradisional dalam

11Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (Oxon: Routledge,

2006), 3. 12Ibid, 1. 13Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction (New York: Routledge, 2008), 220-222.

Page 4: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

menafsirkannya dalam kehidupan sehari-hari yang mereduksi al-Qur’an dibatasi

menjadi kitab hukum.14

Kegelisahan Abdullah Saeed, di samping persoalan di atas, juga dilatarbelakangi

oleh kondisi mayoritas umat Islam yang merasa bahwa hasil kajian ulama terdahulu,

terutama dalam bidang fiqh, sudah final. Hal ini menyebabkan setiap muncul persoalan

baru, para ulama Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam

untuk digali makna yang sesuai dengan konteks sosial kekinian, tetapi hanya merujuk

kepada kitab-kitab fiqh klasik yang secara sosio-historis, kultur dan nilai, berbeda

dengan kondisi masa sekarang.15 Hal ini menyebabkan ilmu-ilmu keislaman mengalami

stagnasi, karena nilai-nilai dan makna yang ada dalam al-Qur’an tidak lagi digali dan

dijadikan rujukan utama.

B. Pijakan Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed

Abdullah Saeed merekontruksi konsep wahyu dalam membangun fiqh tafsīr dan

ta’wīl yang digagasnya. Dia mengakui al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad Saw dan juga mengakui bahwa al-Qur’an yang ada sekarang

itu otentik.16 Namun dia mengkritik ilmuwan muslim klasik yang menganggap wahyu

hanya kalam Tuhan tanpa memberikan perhatian bahwa Nabi Saw dan masyarakat saat

itu tidak memiliki peran di dalamnya. Abdullah Saeed sepakat dengan pemikir

belakangan, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Esack dan Ebrahim

Moosa, yang memasukkan religious personality Nabi Saw dan komunitasnya dalam

peristiwa pewahyuannya.17

Konsep ini tidak berarti wahyu merupakan karya Nabi Saw, tetapi menunjukkan

ada keterkaitan erat antara wahyu, Nabi Saw dan misi dakwahnya dengan konteks

sosio-historis, tempat al-Qur’an diwahyukan. Al-Qur’an diturunkan Allah Swt bukan

dalam ruang hampa budaya. Al-Qur’an, dalam pewahyuannya, benar-benar terlibat aktif

dalam sejarah.18 Abdullah Saeed juga sepakat bahwa al-Qur’an adalah ciptaan Allah

Swt. Namun dalam kapasitas al-Qur’an bisa dipahami manusia, wahyu harus

bersentuhan dengan manusia dan masyarakat yang menjadi subjek penerimanya.

14Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 17. Baca juga Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:

University of Chicago, 1982), 2-5. 15Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 147. 16Ibid, 7. 17Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, 31. 18Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 7.

Page 5: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-historis menjadi elemen

wahyu yang penting, sekaligus menjadi dasar argumennya bahwa interpretasi harus

berangkat dari realitas kondisi tempat wahyu itu diturunkan.19

Gambaran konsep wahyu yang ditawarkan (broader understanding of the

concept of Qur’anic Revelation) disebut sebagai pemahanam yang lebih luas, karena

Abdullah Saeed telah meluaskan konsep wahyu Tuhan. Menurutnya, wahyu tidak

terhenti dengan berhentinya pewahyuan al-Qur’an. Wahyu, meskipun bentuknya tidak

tertulis dan tidak melalui perantara Nabi Saw, akan terus menerus turun kepada manusia

sepanjang masa. Melalui konsep ini Abdullah Saeed ingin menunjukkan bahwa

pewahyuan memiliki keterkaitan dengan peran Nabi Saw dan konteks sosio-historis

pada masa itu.20

Level Pewahyuan al-Qur’an

Tuhan

al-Lauh al-Mahfūdẓ

Langit Dunia

Malaikat Jibril

Nabi Muhammad Saw

al-Qur’an diterima oleh komunitas muslim pertama dan menjadi bagian dari

kehidupan sehari-hari mereka

al-Qur’an ditafsirkan dan diamalkan secara terus menerus; Tuhan tetap memberikan petunjuk-

Nya kepada mereka yang bertakwa kepada-Nya

Bagan tersebut dijelaskan dalam empat level. Pertama adalah dari Tuhan-al-

Lauh al-Mahfudz-Langit Dunia-Malaikat Jibril. Pada level ini pewahyuan berada pada

level ghaib. Metode transmisinya tidak dapat diketahui dan berada di luar jangkauan

manusia. Kedua adalah Malaikat Jibril-Nabi Muhammad Saw-eksternalisasi-konteks

sosio-historis. Pada level ini pewahyuan memasuki dunia fisik. Pewahyuan pada level

ini berlangsung dalam bentuk yang bisa dipahami manusia. Wahyu diturunkan ke dalam

bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Wahyu difirmankan dalam konteks manusia waktu

19Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 41. 20Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, 32.

Page 6: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

itu dan berhubungan secara mendalam dengan kebutuhan dan persoalan Nabi Saw

beserta umatnya, sebagaimana terbukti rujukan-rujukan al-Qur’an tentangnya.

Ketiga adalah teks-konteks-teks yang lebih luas (enlarged texts). Setelah wahyu

dieksternalisasikan dan dikomunikasikan oleh Nabi Saw kepada komunitas, wahyu

menjadi teks yang berhubungan erat dengan konteks pada masanya. Teks diceritakan,

dibaca, dikomunikasikan, dipelajari, dijelaskan dan diamalkan sebagai sebuah

aktualisasi teks. Teks menjadi bagian vital dari masyarakat dan dipahami dengan cara

yang berbeda-beda. Teks tidak hanya sebatas teks. Teks berkembang, teks dan konteks

aktualisasi pada masanya, dengan aktualisasi teks yang semakin luas dan beragam. Teks

menjadi berkembang dari masa ke masa.

Keempat adalah teks tertutup-komunitas interpretif-konteks-ilham. Setelah Nabi

Saw wafat, teks menjadi final dan tertutup. Namun aspek-aspek tertentu dari

pewahyuan, seperti non-prophetic, non-linguistic dan non-textual, tetap ada. Dua aspek

pewahyuan akan terus berlangsung sepanjang waktu. Pertama adalah praktek bimbingan

wahyu yang dimulai oleh Nabi Saw, generasi muslim pertama dan secara terus menerus

ditrasmisikan kepada generasi-generasi berikutnya. Kedua adalah petunjuk ilahiyah

(inspiration) akan terus menerus diberikan Tuhan kepada mereka yang bertakwa

kepada-Nya dan berusaha untuk tetap dijalan-Nya sepanjang waktu akan terus terjadi

dialektika antara wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Saw (al-Qur’an) dengan

wahyu yang tersebut terakhir. Melalui pemahaman wahyu demikian, konteks sosio-

historis menjadi elemen wahyu yang penting. Wahyu tidak terlepas dari manusia, Nabi

Saw dan komunitas muslim pada masa itu. Pemahaman wahyu yang demikian ini

menjadi dasar argumen-argumennya yang dituangkan dalam tafsirnya, bahwa

interpretasi harus berangkat dari realitas tempat wahyu diturunkan.21

Selain konsep wahyu, Abdullah Saeed menjadikan beberapa tradisi klasik

sebagai batu loncatan yang menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’an berbasis konteks,

bukan hanya diperlukan, namun dianjurkan oleh pengalaman masa lalu. Pertama adalah

fenomena naskh yang menunjukkan bahwa perubahan situasi dan kondisi

memungkinkan perubahan basis etika hukum (ethico-legal texts).22 Setelah diamati,

yang berubah dari ayat-ayat tersebut bukan pesan dasarnya, tetapi bunyi teksnya. Pesan

21Ibid, 41. Baca juga Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 41. 22Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 85.

Page 7: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

dasarnya selalu sama. Menurutnya, pesan-pesan dasar yang selalu tetap tersebut yang

menjadi inti dasar ajaran al-Qur’an.

Konsep naskh didasarkan kepada QS. al-Baqarah: 106.23 Sebenarnya konsep ini

masih sangat polemetis. Secara etimologi, naskh berarti merekam, mengganti,

menghilangkan, menghapuskan dan membatalkan. Secara teknis, naskh sering diartikan

membatalkan sebuah hukum tertentu dengan hukum yang datang belakangan. Meski

demikian, mayoritas ulama mengakui konsep ini sebagai salah satu bahasan penting

dalam uṣhūl fiqh dan ulūm al-Qur’ān. Menurut Abdullah Saeed, salah satu perdebatan

penting dalam naskh adalah gagasan tentang perkembangan hukum al-Qur’an. Kaum

tekstualis dan semi-tekstualis percaya bahwa sekali hukum ditetapkan dalam al-Qur’an

dan hadits, maka akan menjadi berlaku abadi. Dia harus ditaati dan dilaksanakan tanpa

batas waktu, tempat dan kondisi.24 Pemahaman ini menggiring implikasi bahwa hukum

al-Qur’an tidak dapat dijangkau oleh perubahan. Hukum al-Qur’an diyakini abadi, tidak

bisa diubah, permanen dan terkunci. Mereka mengakui adanya perubahan, tetapi yang

berhak mengubah hukum dalam al-Qur’an. Akibatnya, konsepsi metodologis

menyempitkan makna naskh. Naskh dipelajari hanya sebagai fakta sejarah, bukan

pelajaran untuk merumuskan sebuah metode hukum.

Berbeda dengan anggapan kaum kontekstualis. Ada sisi-sisi yang terabaikan dari

fakta naskh. Naskh menurut kaum kontekstualis memiliki implikasi logis terhadap

kemungkinan perubahan hukum dalam al-Qur’an. Naskh merupakan gagasan yang

paling relevan untuk menunjukkan Tuhan dalam menurunkan hukum. Tuhan

menyesuaikan dengan audien saat itu. Ketika masyarakat berubah, maka berubah juga

perintah moralnya. Fakta pelajaran fleksibelitas dalam pemberlakuan hukum ini bisa

dilihat pada masa Nabi Saw, sahabat maupun setelah sahabat. Pergeseran ini telah

diakomodir al-Qur’an dengan mengubah beberapa hukum yang telah ditetapkan

menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pada saat itu.

Kaum kontekstualis berupaya mengambil pelajaran dari fakta sejarah, bahkan

membangun metode tafsir dari prinsipnya. Salah satu problem kunci

mengimplementasikan ayat ethico-legal adalah membedakan antara bentuk luar teks

dengan pesan yang terdapat di baliknya.25 Konsep naskh memberikan petunjuk perlunya

23Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Riyad: Mansurat al-Risalah, tt), 232. 24Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 82. 25Ibid, 86.

Page 8: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

membedakan antara redaksi literal teks (form) dan tujuan moral (moral objectives) dari

teks.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa ayat-ayat yang di-naskh menampakkan

bahwa al-Qur’an tidak menghapus tujuan (the objectives), namun justru memperkuat

tujuan melalui tujuan hukum itu sendiri. Sebagai contoh perkembangan hukum minum

minuman keras (khamar). Ketika diamati, tidak ada satu ayat pun tentang khamar yang

menunjukkan pemberlakuan hukum tersebut, yang ada mencegah nilai perusak dari

khamar yang dirubah. Dalam kasus ini, yang diubah hanya sisi operasional dari tujuan

hukum tersebut. Naskh yang demikian, bisa dijadikan salah satu basis reinterpretasi al-

Qur’an. Salah satu kunci naskh yang bisa diambil adalah menjaga al-Qur’an tetap hidup

dan relevan ketika bersentuhan dengan kondisi yang berbeda-beda. Semangat ini harus

tetap dipertahankan dan diperjuangkan, meskipun pewahyuan telah berhenti dan teks

yang ada di hadapan umat Islam telah fixed.

Kedua adalah fleksibilitas yang lahir dari sab’ah ahrūf. Pada masa Nabi Saw

terdapat beberapa kasus yang bisa dijadikan sebagai indikasi adanya fleksibilitas dalam

mendekati al-Qur’an. Al-Qur’an telah berperan aktif, berdialektika dengan cara yang

sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Terbukti al-Qur’an tidak angkuh

mempertahankan dirinya dan memaksa penggemarnya untuk mengikutinya tanpa tawar

menawar apapun. Makna paling umum terhadap istilah sab’ah ahrūf adalah tujuh dialek

utama bangsa Arab yang ada saat al-Qur’an diwahyukan.26 Menurut Qadhi ‘Iyadh, tujuh

dalam hadits di atas tidak bermakna angka tujuh, akan tetapi konsep dalam bahasa Arab

untuk mengatakan banyak.

Persoalan sab’ah ahrūf, dalam dunia tafsir, menjadi problematik hingga saat ini.

Kaum muslim modern pada umumnya menghindari perdebatan ini. Bagi kaum

kontekstualis, fakta fleksibilitas ini menjadi menarik sebagai upaya Nabi Saw dalam

mengakomodir kebutuhan zaman untuk ditarik ke dalam pengalaman sekarang. Nabi

Saw telah memungkinkan fleksibilitas demi menyesuaikan al-Qur’an dengan kebutuhan

umat pada masa itu, maka fleksibilitas itu bisa juga exits demi mengakomodir

kebutuhan umat pada masa sekarang.27

C. Tawaran Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed

26Abdullah Saeed mengutip Manna’ al-Qathan bahwa tujuh dialek itu adalah Quraisy, Huzail, Saqif,

Hawazin, Kinanah, Tamim dan al-Yaman, Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 70. 27Ibid, 76.

Page 9: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

Orientasi Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed adalah konteks masa

pewahyuan dan konteks ketika al-Qur’an ditafsirkan.28 Penafsiran ini bergerak untuk

menemukan makna universal dan makna particular, berdasarkan dari tiga prinsip

epistimologis, yaitu (1) pengakuan atas kompleksitas makna, (2) perhatian terhadap

konteks sosio-historis, (3) perumusan hierarki nilai dalam ayat-ayat etika hukum, yang

tetap dan yang berubah merupakan sumbangan Abdullah Saeed di tengah belantara

kaum kontekstualis.

Pada prinsip pertama, pengakuan atas kompleksitas makna, Abdullah Saeed

menolak gagasan kaum tekstualis bahwa makna sebuah kata terhampar dalam objek

yang dituju. Model perujukan makna demikian hanya relevan pada kata-kata tertentu

dan sangat terbatas.29 Makna berubah mengikuti perkembangan linguistik dan budaya

komunitas. Abdullah Saeed memberikan contoh kata buku. Makna inti yang melekat

pada buku berkembang dan berbeda-beda seiring waktu. Buku dahulu dimaknai sebagai

tulisan yang ada pada daun, tulang, kayu dan lain sebagainya. Pada masa berikutnya,

buku adalah tulisan di atas kertas. Selanjutnya setelah ada mesin cetak, buku dikenal

sebagai tulisan yang dicetak, dan terbaru, setelah perkembangan teknologi, buku bisa

berbentuk compact disk (CD), bahkan dalam bentuk pdf.30

Menurut Abdullah Saeed, kaum tekstualis memperlakukan al-Qur’an hanya

sebagai bahasa, tidak sebagai diskursus, bahasa yang lahir dalam konteks tertentu. Farid

Esack juga menyayangkan kondisi ini yang lebih memandang al-Qur’an sebagai kitab

suci semata dibanding sebagai resitasi ataupun diskursus. Oleh karena itu, sebagaimana

disampaikan Abdullah Saeed, perlu adanya pembacaan yang seimbang antara al-Qur’an

sebagai bahasa (text) dan al-Qur’an sebagai diskursus. Ini tidak berarti penafsiran

menjadi arena bebas mendekati teks sesuka dan sekehendaknya, akan tetapi penafsiran

memiliki aturan yang melahirkan batasan batasan dalam menentukan makna. Batasan

tersebut adalah nabi, konteks di mana teks lahir, peran penafsir, hakikat teks itu sendiri

dan konteks budaya.

Makna sebuah teks adalah ketegangan dari aspek-aspek ini. Pemikiran Abdullah

Saeed ini senada dengan pemikiran Gracia dalam limit of meaning. Menurut Gracia, ada

28Ibid, 105. 29Ibid, 102. 30Tzvetan Todorov, Symbolism and Interpretation (Ithaca: Cornell University Press, 1982). Baca juga

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 105.

Page 10: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

beberapa faktor yang membatasi makna sebuah teks, yaitu pengarang, audiens, konteks,

masyarakat, bahasa, teks itu sendiri dan fungsi fungsi kultural.31 Oleh karena itu,

Abdullah Saeed sama sekali tidak meninggalkan penelusuran makna literal teks.32

Pada prinsip kedua, yaitu perhatian terhadap konteks sosio-historis, secara

internal, konteks menjadi basis untuk memahami hubungan antara instruksi ayat-ayat

ethico-legal dan alasan-alasan memperkenalkan perintah-perintah tersebut pada

masyarakat Hijaz abad VII. Menurut Abdullah Saeed, perhatian terhadap konteks

dipinggirkan, baik dalam tradisi tafsir maupun hukum. Hal ini berakibat kepada konteks

sosio-historis kurang memiliki peran signifikan dalam menafsirkan al-Qur’an, terutama

setelah pemapanan hukum Islam abad III Hijriyah. Pada tradisi tafsir, asbâb nuzūl

hanya digunakan untuk mencari rujukan peristiwa ketika sebuah ayat diturunkan,

mencakup waktu, tempat dan orang yang dirujuk oleh ayat. Pada tradisi fiqh, asbâb

nuzūl juga digunakan untuk menentukan kronologis ayat-ayat yang terkait dalam satu

tema. Prinsipnya, pemahaman terhadap asbâb nuzūl belum sampai pada wilayah

konteks yang lebih luas. Sebagai contoh gambaran al-Qur’an tentang surga. Surga

digambarkan dengan sungai yang mengalir, buah-buahan, pohon dan taman yang tidak

lain adalah imajinasi populer masyarakat Hijaz atas kondisi alam mereka yang

gersang.33

Pada prinsip ketiga, perumusan hirarki nilai dalam ayat-ayat etika hukum: yang

tetap dan yang berubah, telah dikenal dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. Hal ini bisa

dilihat melalui penafsiran para proto-contekstualist pada awal periode Islam. Generasi

Islam pertama telah menikmati kebebasan yang signifikan dalam menafsirkan al-

Qur’an. Abdullah Saeed mencontohkan hukuman potong tangan bagi pencuri.34

Berdasarkan penyelidikan sejarah, tindakan potong tangan merupakan pilihan yang

paling tepat untuk kondisi saat itu berdasarkan kondisi objektivitas al-Qur’an.35 Banyak

redaksi al-Qur’an yang menunjukkan pengecualian pemberlakuan hukuman potong

31Ibid, 108-109. Baca juga Jorge J. E. Gracia, A Theory of Textuality (Albany: State University of New

York Press, 1995), 114-127. 32Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 114-116. 33Ibid, 122. 34QS. al-Maidah: 41. 35Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 134-135.

Page 11: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

tangan,36 hukuman mati,37 hukuman cambuk38 dan hukuman rajam.39 Dengan demikian,

tujuan utama ayat al-Qur’an adalah pencegahan tindakan yang dilarang.

Fakta sejarah menunjukkan sikap sahabat Nabi Saw mengamalkan ayat di atas.

Ketika menghadapi kasus seseorang yang mencuri tiga kali, sahabat Umar bin Khattab

yang saat itu menjadi khâlifah mengajukan hukuman potong tangan untuknya. Sahabat

Ali yang saat itu menjadi penasehat Umar memberikan usulan yang berbeda.

Menurutnya, hukuman cambuk dan kurungan adalah hukuman yang tepat. Sahabat Ali

menyatakan, “saya malu melihat Tuhan jika meninggalkannya tanpa tangan yang

darinya dia bisa makan dan bersuci untuk shalat.” Sahabat Ali, yang dikenal memahami

al-Qur’an, melakukan pilihan demikian yang menunjukkan bahwa potong tangan bukan

nilai mutlak harus yang diterapkan,40 seperti dikutip Abdullah Saeed dari Asymawi.

Berdasarkan epistimologi di atas, Abdullah Saeed mencoba menawarkan fiqh

tafsīr dan ta’wīl dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Melalui metode ini, dia berharap

para penafsir dapat memaknai al-Qur’an secara interaktif, berpartisipasi aktif dalam

memberikan makna terhadap teks, bukan sekedar pasif menerima makna teks. Penafsir

harus melakukan proses interpretasi secara berkesinambungan (a continuous process)

terhadap teks sesuai dengan socio-historical context-nya, menuju panduan praktis yang

menyajikan langkah demi langkah dalam menafsirkan ayat ayat ethico-legal. Berikut

adalah peta model interpretasi yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed.41

Teks

Stage I: Encounter with the world of the text

Stage II: Critical Analysis

Linguistic

Literary Context

Literary form

Parallel texts

Precedents

Stage III: Meaning for the first Recipients

Socio-Historical context

Worldview

Nature of the message: legal, theological, ethical

36QS. al-Maidah: 42. 37QS. al-Baqarah: 178. 38QS. al-Nur: 5. 39 QS. al-Nisa’: 16. 40Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 136. 41Ibid, 150.

Page 12: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

Message: contextual versus universal

Relationship of the message to the overall message of the Qur’an

Stage IV: Meaning for the Present

Analysis of present context

Present context versus sosio-historical context

Meaning from first recipients to the present

Message: contextual versus universal

Application today

Menurut Abdullah Saeed, tafsir klasik telah mengakomodir tahap I, tahap II dan

sebagian kecil dari elemen tahap III secara baik. Mayoritas elemen tahap III dan IV

belum dipandang sebagai pertimbangan penting dalam menginterpretasikan kandungan

al-Qur’an yang bermuatan ethico-legal. Para mufassir periode formatif yang

diklasifikasikan sebagai tekstualis mufasir sudah menggunakan kriteria linguistik dalam

menginterpretasikan al-Qur’an, namun apriori terhadap konteks sosio-historisnya.

Mereka mengakui generasi Islam awal yang memiliki otoritas dalam mnginterpretasikan

ayat-ayat ethico-legal dari al-Qur’an yang memperoleh dukungan kelompok modern-

textualist sampai sekarang ini.42

Tawaran fiqh tafsīr dan ta’wīl Abdullah Saeed menunjukkan penggunaan

linguistik menjadi langkah pertama dari empat langkah yang ditawarkannya.

Penggunaan lingustik digunakan dalam pemahaman terhadap arti dari ayat. Menurut

Abdullah Saeed, meaning is often indeterminate. The meaning of those texts are also

inherently unstable, in the sense that certain aspect of meaning we attribute to them

have in fact changed over time. Ini berarti orang Islam tidak boleh menyempitkan

makna ayat pada satu atau dua pemahaman saja, namun harus dibuka kemungkinan

penemuan makna atau pemahaman baru sesuai dengan realitas kontemporer.43

Tawaran fiqh tafsīr dan ta’wīl Abdullah Saeed dalam karyanya Interpreting the

Qur’an: Towards a Contemporary Approach, terlepas dari perdebatan yang terjadi,

adalah upaya mencari justifikasi bahwa menginterpretasikan al-Qur’an berdasar konteks

sosio-historis memiliki argumen yang kuat dalam mereinterpretasi tes-teks al-Qur’an

sesuai dengan realitas sosial kekinian. Pemikiran Abdullah Saeed perlu diapresiasi

sebagai sebuah tawaran yang perlu dipertajam mekanismenya dengan melakukan

42Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 150. Baca juga Sahiron, Agama dan Filsafat Bahasa

(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), 8. 43Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 152.

Page 13: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

interkoneksi dan integrasi antar pakar dalam menjawab persoalan-persoalan kompleks

yang dihadapi umat manusia, khususnya umat Islam.

Penutup

Abdullah Saeed menawarkan fiqh tafsīr dan ta’wīl dengan pendekatan baru

model contextualist approach, berangkat dari maraknya tafsir tekstual-literal, yang

dapat melepaskan keterbelengguan umat dari legalistic-literalistic approach yang

mendominasi interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan hukum Islam

hingga saat ini. Penafsiran literer telah mengabaikan konteks pewahyuan maupun

penafsiran. Masyarakat abad XXI menunjukkan perkembangan yang sangat luar biasa.

Penemuan baru dalam astronomi, persoalan human rights, gender equality, rekayasa

genetika dan berabagai persoalan lainnya, baik terkait dengan religious maupun non-

religious, sacred dan non-sacred dalam teks, al-Qur’an perlu direinterpretasi sesuai

dengan konteks kekinian berbasis pada metodologi dan pendekatan yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Secara garis besar, fiqh tafsīr dan ta’wīl yang ditawarkan Abdullah Saeed

teraplikasi dalam empat langkah rigid, yaitu encounter with the world of the text,

critical analysis, meaning for the first recipients dan meaning for the present. Menurut

Abdullah Saeed, tafsir klasik telah mengakomodir tahap I, tahap II dan sebagian kecil

tahap III secara baik. Kebanyakan elemen tahap III dan IV belum dipandang sebagai

pertimbangan penting dalam menginterpretasikan kandungan al-Qur’an.

Fiqh tafsīr dan ta’wīl Abdullah Saeed adalah upaya mencari justifikasi

interpretasi al-Qur’an berdasar konteks sosio-historis dalam mereinterpretasi tes-teks al-

Qur’an sesuai dengan realitas sosial kekinian. Pemikiran Abdullah Saeed perlu

diapresiasi sebagai sebuah tawaran yang perlu dipertajam mekanismenya dengan

melakukan interkoneksi dan integrasi antar pakar dalam menjawab persoalan-persoalan

kompleks yang dihadapi umat manusia, khususnya umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, ‘A’isya. al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Ma‘arif,

1990.

Page 14: FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM PENAFSIRAN AL

Allah, Muhammad Ahmad Khalaf. al-Fann al-Qasas fi al-Qur’an al-Karim. Kairo:

Maktabat al-Anglo al-Misriyah, 1953.

Essack, Farid. Qur’an: Pluralism and Liberation. Oxford: One World, 1977.

Faiz, Fahrudin. Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Qalam, 2002.

Gracia, Jorge J. E. A Theory of Textuality. Albany: State University of New York Press,

1995.

al-Khuli, Amin. Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab.

Kairo: Dar al-Ma‘rifah, 1961.

al-Qathan, Manna. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Riyad: Mansurat al-Risalah, tt.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. Chicago: University of Chicago, 1982.

Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. Oxon:

Routledge, 2006.

_______. The Qur’an: an Introduction. New York: Routledge, 2008.

_______. “Fazlur Rahman: a Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the

Qur’an” dalam Soha Taji-Farouki (ed). Modern Muslim Intellectuals and the

Qur’an. London: Oxford University Press, 2004.

Sahiron. Agama dan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Todorov, Tzvetan. Symbolism and Interpretation. Ithaca: Cornell University Press,

1982.

Wielandt, Rotraud. “Tafsir Al-Qur’an: Masa Modern dan Kontemporer,” terj. Sahiron

Syamsuddin, Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 18 (2004).