44
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI PEDOMAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL” Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Firla Andina

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTAR

          Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan

rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang

berjudul: “WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI PEDOMAN DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT MULTIKULTURAL”

            Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan

Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan

ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

            Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari

kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah

berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai

dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka

menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.

            Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh

pembaca.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia di kenal sebagai masyarakat multikulturalisme. Istilah multikulturalisme

sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan

cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan.

Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan

kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang

mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar

pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya

memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi

keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai

kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi

kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep

keadilan sosial. Dengan demikian perlu di pahami lebih mendalam bahwa wawasan kebangsaan

bisa menjadi pedoman dalam masyarakat multikulturalisme.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian multikulturalisme?

2.      Bagaimana multikulturalisme menurut Al Qur’an?

3.      Apa yang di maksud multikulturalisme menurut para tokoh?

4.      Bagaimana perjalanan masuknya multikulturalisme ke Indonesia?

5.      Bagaimana konsep multikulturalisme di Indonesia?

6.      Masalah apa saja yang timbul saat adanya multikulturalisme?

7.      Upaya apa saja yang dihadapi di dalam menyikapi sebuah multikulturalisme?

8.      Bagaimana mengenal kebudayaaan Yogyakarta?

9.      Apa perbedaan kebudayaan Jepang dengan kebudayaan yang ada di Indonesia?

10.  Bagaimana peranan norma dan hukum di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulis

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada

pembaca mengenai pengertian multikulturalisme, multikulturalisme menurut islam,

multikulturalisme menurut para tokoh, perjalanan masuknya multikulturalisme ke Indonesia,

konsep multikulturalisme, mengenal kebudayaan Yogyakarta, perbedaan kebudayaan Jepang

dengan kebudayaan di Indonesia dan peranan norma dan hukum di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang

menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial

politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk

menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.

Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau

kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami,

adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika

manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,

pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan

kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian

ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang

dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan

agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari

negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008).

Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep

kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural.

Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap

kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi

secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.

Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To

Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah

bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks

dan tidak monokultur lagi.

Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah

ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara

individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai

penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan

memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat

manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan

pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan

serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini

harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang

multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam

memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara

lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam

perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan

keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,

dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan

Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi

terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan

mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun

secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga

masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam

masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua

kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya

masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan

demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai

dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar

kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya

sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah

multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep

multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa

atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme

menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai

multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung

ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan

berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral,

dan tingkat serta mutu produktivitas.

Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam

pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman

kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan

multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar

negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia

akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang

tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi

norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme

menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat

digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing

homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau

lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta

sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-

speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi

oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di

antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan

Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan

kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa

negara lainnya.

Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar

peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi,

tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik

tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam

komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa

Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-

an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep

Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi

sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.

Ramalan Huntuington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan

mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:

Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia

sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin

meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat

tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah

negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban

dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain

mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung

diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang

bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan

politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah

perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah

pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi

perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini

jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar

budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan

Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan

“multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh.

2.1.1 Multikulturalisme Menurut Al Qur’an

Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui

para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu

mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya,

memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan

rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai

berikut;.

Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah

timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan

pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk

memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. “Tidak

berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu

setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka

sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal

yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada

orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)

Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan

bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya

berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka

mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest

nya.

Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang

kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda

untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan

dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan.

Al Qur’an menyebutkan :

“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya

Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji

kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya

kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu

perselisihkan itu.

Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan

yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan

berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan

dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan

universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di

dunia ini.

Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari

dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus

mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah

konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan

dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk

melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di

massa lampau.

2.1.2 Multikulturalisme menurut Para Tokoh

1)Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di

Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam

mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa

bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam

mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi

budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya

(Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu,

akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan

bersama, tanpa adanya konflik.

Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi

liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.

2.) Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di

negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya

dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep

multikultural yang sebenarnnya.

Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada

keanekaragaman budaya yang sejati.

2.1.3 Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di Indonesia

Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia

terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan

persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan

multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang

memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang

mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli

atau tidak asli.

Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan

demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu.

Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.

Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun

dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.

Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan

ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN,

terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran

produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat

Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan

Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan

kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat

Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan

kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah

multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam

kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme

ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum

dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup

semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya

masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut.

Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa

Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang

terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa

(Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di

dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki

bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di

seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang

majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya.

Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang

lainnya.

Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah

yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik

menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan

Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak

kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit

tentang keunggulan sebuah suku tertentu.

Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik

di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata

karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang

sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh

dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan

yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan

paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.

Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan

konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang

mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara

eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa

kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh.

Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan

moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan

untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku,

agama dan bahasa yang berbeda.

Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran

akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina

persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi

cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap

dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain

dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme,

perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan

“tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah

multikulturalisme dalam arti luas.

Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus

jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila,

yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang

multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka.

Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.

Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-

politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis

antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik,

agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan

itu.

2.1.4 Konsep Multikulturalisme di Indonesia

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk

mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan

dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi

ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan

dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai

permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan

penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan

minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya

sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan

sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.

Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-

ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan

bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya

dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan

landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan

mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi

yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan

sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di

dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan

antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan

sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai

manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang

ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan

pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan

manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya

dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang

dikaji.

Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika

(ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang

memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika

dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika

itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul

digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan

umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber

daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam

masyarakat. Bangsa Indonesia kaya raya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang

berkualitas. Akan tetapi pada masa sekarang ini, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa

yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang tingkat korupsinya

paling tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika

dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-

proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.

Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam

pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi

sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model

multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki

masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia

adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka

Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada

tingkat lokal dan nasional.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat

multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap selanjutnya adalah mengisi struktur-struktur atau

pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi

dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan

dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta

pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum bagi keadilan.

Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi

keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat

nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman

etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai

interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur

kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya

pemberantasan KKN secara hukum.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional

juga mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah,

dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam

kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau

menjadi bagian dari kurikulum sekolah.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui

revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama

(kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak

bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga

integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.

Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang

multikulturalisme Indonesia. Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset

nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku

bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya

upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan

merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur

Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.

Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan

menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan

(mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian

strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak

dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan

mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots.

Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood

atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang

pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan

ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk

memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan

ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan

ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat

daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan

akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.

Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa dipandang perlu

untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama

yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan

agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku

dan kegiatan masyarakat. Berbagai kebudayaan itu jalan beriringan, saling melengkapi dan

saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam

kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat yang multikultural

yang terdapat di Indonesia serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai

aset negara yang dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya adalah

menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat

multikultural yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya.

Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang

baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan

pendayagunaan yang lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri

bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa,

memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, misi utamanya adalah

mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa serta

menjadikannya suatu sinergi nasional.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya

untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran

leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan

untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan

warga negara Indonesia.

Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga

membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan

kebersamaan dan saling bekerjasama.

2.1.5 Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah

Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat

terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang

berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya

konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara. Konflik sosial dalam

masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya

bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam

masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan

anarkis.

Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam

masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso,

Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan

berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera

diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak

hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah

fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu

dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten.

Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar

yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan

doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak

lain.

Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan

etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu

terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang

diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok

masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik

peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat

setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan

agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai

menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik,

apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon,

Poso, Aceh dan lainnya.

2.1.6 Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme

Dengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang

dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme.

Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:

a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana

sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-

ungkapan bangsa.

b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga

budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan

memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.

c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat

diperlukan demi terciptanya persatuan.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau

pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu

problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural

mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan

kepribadian.

Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka

yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat

mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan

merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan

komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang

memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu

berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu

memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.

Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka

Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya

dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan

bersama sebagai bangsa dan negara.

Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural,

hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:

a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada

kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus

praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.

b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui

sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi

(legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.

c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi

ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan

kehidupan kolektif tetap terjaga.

Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk

mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan.

Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah

keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif;

memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan

struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.

Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu

bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan

mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa

yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan

menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu

menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat

dihindari.

2.2Kebudayaan Yogyakarta

1. Grebeg Syawal 1941 Jimawal

Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar tradisi Grebeg Syawal (jawa:

Sawal), Kamis (02/10/2008), dalam Kalender Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Sawal tahun

1941 Jimawal. Rangkaian upacara dimulai dari Pagelaran Kraton dan diakhiri dengan rayahan

gunungan di halaman Masjid Gede Kauman. Upacara tradisional yang digelar setiap tahun ini

merupakan dimaknai sebagai sedekah Sultan kepada rakyatnya.

2. Nyadran Makam Sewu

Nyadran merupakan tradisi melakukan ziarah kubur ke makam leluhur menjelang bulan

Ramadhan (Jawa: Pasa). Di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, setiap

tahunnya digelar tradisi Nyadran yang dikemas dengan ritual budaya menarik. Dilaksanakan

setelah tanggal 20 bulan Ruwah dalam kalender jawa. Ritual ini digelar untuk menghormati

Panembahan Bodo, seorang tokoh penyebar.

3. Tradisi Labuhan Alit di Parangkusumo

Kraton Yogyakarta menggelar tradisi Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Minggu

(03/08/2008). Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Jumenengan Ndalem

(penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap tanggal 30 bulan Rejeb dalam penanggalan

Jawa. Barang-barang tinggalan dalem (milik sultan), baju, kain, serta potongan rambut dan kuku

sultan dilarung ke laut sebagai persembahan bagi penguasa laut selatan.

4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan Diponegoro

Grebeg Selarong sebuah tradisi budaya digelar di pelataran Goa Selarong yang terletak di

Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Minggu (27/07/2008) lalu, masyarakat sekitar selarong untuk

keempat kalinya menggelar tradisi ini. Warga berpakaian tradisional Jawa memadati pelataran

goa bersejarah tersebut. Grebeg Selarong kali ini diselenggarakan secara sederhana. Tanpa

prosesi kirab, hanya membawa sebuah gunungan berukuran kecil berhias hasil.

2.3 Perbandingan Kebudayaan Jepang dengan Indonesia

Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap

komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu.

Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan

antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua

budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan

bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang

berbeda.

Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang

disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan

hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya

sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga

nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik,

memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang

mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara

nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.

2.3.1 Tradisi penamaan di Jepang

Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus

dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi

dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi

pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya

umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama

keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang

wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun

demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Tradisi di

Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke,

diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

2.3.2 Tradisi penamaan di Indonesia

Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga.

Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku

mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia

• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki)

atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko,

Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.

• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata.

Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep

• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.

• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan

nama keluarga.

Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh

agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik

biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dan sebagainya.

2.3.3 Perbandingan kedua tradisi

a.) Persamaan antara kedua tradisi

Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang

mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di

Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan

salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.

b.) Perbedaan antara kedua tradisi sebagai berikut :

1.      Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di

2.      Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan

2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama

keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama

keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri.

Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.

3.      Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah

(sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan

resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak.

4.      Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan penghormatan dan kasih sayang

Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk

mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam

mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dan sebagainya.

a.) Ojigi

Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya

saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua

jenis ojigi : ritsurei dan zarei . Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat

melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan,

sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi

yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei,

keirei, eshaku . Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas

perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan

sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat.

Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa

maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan,

ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat

mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.

b.) Jabat tangan

Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan

keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan

merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada

kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun

berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang

diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari

batin.

c.) Cium tangan

Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada

orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya.

Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab.

Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria

terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik

Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada

pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.

d.) Cium pipi

Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau

sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini

tidak ditemukan di Jepang.

e.) Sungkem

Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain.

Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid

kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan,

atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang

tua, dan meminta doa restunya.

Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan

rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang

maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya

Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan

bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan

sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan

ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.

2.4 Norma Sosial dan Norma Hukum

Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan,

yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap tindak di dalam

kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-

norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama.

Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan norma-norma tersebut

sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu

apabila dilihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat

perbedaan-perbedaan pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau

dikatakan sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang

dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma hukum.

1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya

Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaidah

atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup

manusia yaitu:

a.) aspek hidup pribadi, meliputi:

Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau

kehidupan beriman.

Ø Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada

kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten).

b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi:

Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan

hidup bersama.

Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup

bersama.

Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh

warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud

berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat mengatur

semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman

hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.

2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum

Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang

ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan

tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat

berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku

pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan.

Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda dengan

manusian lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu diatur oleh

suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut dengan kaidah atau

norma.

Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan

manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan

berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap

hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya.

Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu

muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.

Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut, apabila terjadi

pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan,

dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi

maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma

sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur

ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata, oleh seseorang atau suatu

kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak secara sosial diakui. (T.O. Ihromi, 1986:

5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat

menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk

menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.

Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang berkaitan dengan

pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai

kedudukan yang penting dalam pengaturan penyelenggaraan negara. Di sisi lain norma-norma

sosial lainnya atau norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha

mewujudkan kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat.

3. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hukum

Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup

yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin membuat

suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang

dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan

demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang

memuaskan. (apeldoorn, 1982: 13). Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian

hukum antaralain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana

pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adala sebagai berikut:

1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,

2.) Hukum sebagai disiplin,

3.) Hukum sebagai kaidah,

4.) Hukum sebagai tata hukum,

5.) Hukum sebagai petugas (hukum),

6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,

7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,

8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,

9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)

Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari

kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi ius).

Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau masyarakat primitif atau

yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang

menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial

politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk

menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.

Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau

kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami,

adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika

manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,

pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Multikulturalisme juga berkaitan dengan kebudayaan misalkan kebudayaan yang ada di

Yogyakarta ada Grebeg Syawal 1941 Jimawal, Nyadran Makam Sewu dan lain-lain. Selain itu

juga berkaitan dengan tradisi di Jepang dengan di ndonesia serta norma sosial dan norma hukum

yang ada di Indonesia.

3.2 Saran

Wawasan nusantara yang berpedoman sebagai masyarakat yang multikulturalisme seharusnnya

menjadi motivasi bagi masyarakat khususnya masyarakat Indonesia.Kita sebagai masyarakat

Indonesia harus melaksanakan bukan malah meninggalkan tradisi serta aturan dan hukum yang

berlaku di Indonesia. Dan seharusnya kita bangga terhadap bangsa kita dengan adanya tradisi di

setiap daerah masing-masing. Oleh karena itu pertahankanlah tradisi-tradisi yang masih ada di

daerah kita.