16
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 7 Nomor 1 Halaman 1-155 Malang, April 2016 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 1 FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT Ari Kamayanti Peneleh Research Institute, Jalan Warung Buncit Raya 405, Jakarta Selatan. Surel: [email protected] Abstrak: Fobi(a)kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat. Ketaku- tan untuk menerima akuntansi “lain” atau disebut di artikel ini seba- gai fobi(a)kuntansi, di luar akuntansi umum, menimbulkan pengaruh keperilakuan yang beragam. Pada ekstrim tertentu, serangan atas akun- tansi “lain” diekspresikan dalam gerakan takfiri; akuntansi sesat atau kafir. Reaksi yang lebih lembut mengambil bentuk diam atau kepura- puraan. Puisisasi atas reaksi ini mampu memberikan potret terbaik atas ketakutan-ketakutan yang ada. Sebuah pandangan reflektif dari Prole- gomena Al Attas ditawarkan untuk menghentikan fobi(a)kuntansi; seka- ligus mengafirmasi bahwa akuntansi tidak akan dapat dipisahkan dari konsep tauhid. Abstract: Phobi(a)ccounting: Poemization and Reflection of Essence. The fear of accepting “other” accounting or phobi(a)ccounting, besides the mainstream accounting science, results in various behavioural effects. At the utmost active reaction, the assault on alternative accounting was ex- pressed in takfiri; a claim that accounting has gone astray or become infi- del. Subtler reaction takes the form of silence or pretense. Poem-ization of these reactions best portrays the state of phobic minds. A reflective view of accounting through the lens of Al Attas’ Prolegomena is offered to halt the plague of phobi(a)ccounting; and to affirm that the essence of accounting can not be separated from the concept of tawhid. Kata kunci: fobi(a)kuntansi, takfiri, puisi, emosi, perilaku, New Age Movement “Sedang tesis ya?” “Benar, Prof.” “Ambil tema apa?” “Akuntabilitas masjid, Prof.” “Ooo… ya ya… yang bukan akun- tansi itu ya.” Sebenarnya perdebatan “apa sih akun- tansi?” bukan suatu hal yang baru. Gerakan saling menyalahkan tentang mana akun- tansi dan mana yang bukan, sudah menjadi pertarungan antar akademisi di perguruan tinggi seperti Rochester, Berkeley, Stanford, Illinois, Texas, UCLA, NYU di Amerika Seri- kat (Tinker and Puxty 1979). Kemunculan tulisan Burrell dan Morgan (1979) yang ke- mudian dikritisi dan dikembangkan oleh Chua (1986) khusus untuk bidang ilmu akuntansi, memperluas diskursus ontologi akuntansi. Dialektika jawaban atas perta- nyaan-pertanyaan berikut memenuhi ruang diskusi. Apakah akuntansi sains alam atau sains sosial (Stamp 1981; Sterling 1975)? Apakah akuntansi sekadar alat (Amernic dan Craig 2009)? Apakah akuntansi men- ciptakan atau diciptakan realita (Hines et al. 2001; Morgan 1988)? Hingga apakah akuntansi menggambarkan realita sebenar- nya atau hanya simulakra (Macintosh et al. 2000; Mattessich, 2003)? Di Indonesia, khususnya, sejak para- digma non mainstream diperkenalkan me- lalui pendidikan tinggi (Suyunus 2011), perdebatan tentang hakikat akuntansi men- jadi semakin menjadi-jadi. Menariknya, hal Tanggal Masuk: 01 Maret 2016 Tanggal Revisi: 05 April 2016 Tanggal Diterima: 25 April 2016 http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7001

FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 7 Nomor 1 Halaman 1-155 Malang, April 2016 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

1

FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Ari Kamayanti

Peneleh Research Institute, Jalan Warung Buncit Raya 405, Jakarta Selatan.Surel: [email protected]

Abstrak: Fobi(a)kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat. Ketaku-tan untuk menerima akuntansi “lain” atau disebut di artikel ini seba-gai fobi(a)kuntansi, di luar akuntansi umum, menimbulkan pengaruh keperilakuan yang beragam. Pada ekstrim tertentu, serangan atas akun-tansi “lain” diekspresikan dalam gerakan takfiri; akuntansi sesat atau kafir. Reaksi yang lebih lembut mengambil bentuk diam atau kepura-puraan. Puisisasi atas reaksi ini mampu memberikan potret terbaik atas ketakutan-ketakutan yang ada. Sebuah pandangan reflektif dari Prole-gomena Al Attas ditawarkan untuk menghentikan fobi(a)kuntansi; seka-ligus mengafirmasi bahwa akuntansi tidak akan dapat dipisahkan dari konsep tauhid.

Abstract: Phobi(a)ccounting: Poemization and Reflection of Essence. The fear of accepting “other” accounting or phobi(a)ccounting, besides the mainstream accounting science, results in various behavioural effects. At the utmost active reaction, the assault on alternative accounting was ex-pressed in takfiri; a claim that accounting has gone astray or become infi-del. Subtler reaction takes the form of silence or pretense. Poem-ization of these reactions best portrays the state of phobic minds. A reflective view of accounting through the lens of Al Attas’ Prolegomena is offered to halt the plague of phobi(a)ccounting; and to affirm that the essence of accounting can not be separated from the concept of tawhid.

Kata kunci: fobi(a)kuntansi, takfiri, puisi, emosi, perilaku, New Age Movement

“Sedang tesis ya?”“Benar, Prof.”“Ambil tema apa?”“Akuntabilitas masjid, Prof.”“Ooo… ya ya… yang bukan akun-tansi itu ya.”

Sebenarnya perdebatan “apa sih akun-tansi?” bukan suatu hal yang baru. Gerakan saling menyalahkan tentang mana akun-tansi dan mana yang bukan, sudah menjadi pertarungan antar akademisi di perguruan tinggi seperti Rochester, Berkeley, Stanford, Illinois, Texas, UCLA, NYU di Amerika Seri-kat (Tinker and Puxty 1979). Kemunculan tulisan Burrell dan Morgan (1979) yang ke-mudian dikritisi dan dikembangkan oleh

Chua (1986) khusus untuk bidang ilmu akuntansi, memperluas diskursus ontologi akuntansi. Dialektika jawaban atas perta-nyaan-pertanyaan berikut memenuhi ruang diskusi. Apakah akuntansi sains alam atau sains sosial (Stamp 1981; Sterling 1975)? Apakah akuntansi sekadar alat (Amernic dan Craig 2009)? Apakah akuntansi men-ciptakan atau diciptakan realita (Hines et al. 2001; Morgan 1988)? Hingga apakah akuntansi menggambarkan realita sebenar-nya atau hanya simulakra (Macintosh et al. 2000; Mattessich, 2003)?

Di Indonesia, khususnya, sejak para-digma non mainstream diperkenalkan me-lalui pendidikan tinggi (Suyunus 2011), perdebatan tentang hakikat akuntansi men-jadi semakin menjadi-jadi. Menariknya, hal

Tanggal Masuk: 01 Maret 2016Tanggal Revisi: 05 April 2016Tanggal Diterima: 25 April 2016

http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7001

Page 2: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

2 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

ini memicu gerakan takfiri1 atas akuntansi non mainstream, yang dalam artikel ini dise-but sebagai akuntansi “lain” atau vice versa. Penghakiman kekafiran akuntansi “lain”, khususnya, kian banyak didapati dalam ru-ang-ruang diskusi akademik, sebagaimana percakapan nyata antara seorang profesor dan mahasiswanya pada pembukaan artikel ini.

Ada sebagian yang mempercayai bah-wa penelitian di bidang akuntansi keuang-an dan audit adalah penelitian sejati yang merupakan penelitian akuntansi, sedangkan di luar itu bukan. Pandangan ini cenderung “mengafirkan” akuntansi non keuangan, seperti akuntansi manajemen, akuntansi perpajakan, apalagi akuntansi dan relasinya dengan budaya. Sebagian lain mengambil posisi yang lebih fleksibel. Akuntansi mana-jemen, akuntansi sektor publik, atau akun-tansi perpajakan masih dilabeli akuntansi, sedangkan kajian sistem informasi akuntan-si atau pendidikan akuntansi tidak dianggap sebagai akuntansi.

Gejala penolakan atas akuntansi “lain” ini, dalam pandangan saya, adalah bentuk ketakutan berlebihan atas definisi akun-tansi yang tidak sesuai dengan harapan atau persepsi. Dalam ilmu psikologi, gejala ini disebut fobia yaitu suatu kondisi akan ketakutan yang abnormal. Fobi(a)kuntansi adalah sebuah metafora yang saya rasa te-pat untuk menggambarkan penolakan atas keberadaan akuntansi “lain”.

Sayangnya, gejala ini memiliki dampak bukan hanya pada individu, namun juga pada kelompok. Dalam ranah akademik, penularan fobi(a)kuntansi, terjadi di ruang kelas dan ranah publik saat akademisi ber-interaksi. Mahasiswa adalah pihak yang pa-ling terdampak fobi(a)kuntansi karena kua-sa pendidik yang lebih kuat daripada kuasa mahasiswa. Artikel ini bertujuan mengeks-plorasi keberadaan ketakutan-ketakutan atau fobi(a)kuntansi dari dua sisi, baik dari sisi pendidik maupun mahasiswa, kemudian mengembangkannya ke sebuah puisi sebagai alat terbaik dalam mengekspresikan rasa (Onkas 2012), termasuk rasa takut akan ke-beradaan akuntansi “lain”. Terakhir, sebuah usulan reflektif tentang lingkup dan realitas akuntansi diajukan melalui diskursus onto-

logis kesatuan sains dan agama dalam pers-pektif Prolegomena (Al Attas 2001).

METODEMarks (1969) menjelaskan bahwa

saat seseorang mengalami ketakutan, ada dua bentuk perilaku yang muncul. Perta-ma, perilaku diam atau pasif, yang kedua perilaku reaktif yang bisa mewujud pada penarikan diri, hingga vokalisasi (melakukan aksi). Melalui sebuah interaksi langsung dengan mahasiswa dan pendidik dalam ber-bagai situasi: perkuliahan, seminar, rapat, dan pertemuan organisasi, saya mendapat-kan indeks ungkapan bentuk ketakutan akan keberadaan akuntansi “lain” baik pa-sif maupun reaktif sebagaimana diperlihat-kan di Tabel 1. Ungkapan reaktif cenderung melakukan “penyerangan” terhadap akun-tansi yang tidak sesuai dengan kebenaran pribadi, sedangkan ungkapan pasif cen-derung menghindari atau menerima dengan apatis keberadaan akuntansi “lain”.

Indeks ini adalah ungkapan emosi atau rasa yang berkali-kali terucap dalam ber-bagai situasi. Kompilasi indeks ini kemudian didiskusikan dengan mahasiswa magister akuntansi pada sebuah sesi perkuliahan yang pada saat tersebut membicarakan per-bedaan cara pandang atas akuntansi. Se-banyak 16 mahasiswa turut mengonfirmasi serta memberikan masukan, dan mereka turut menambahkan beberapa ungkapan curahan hati (bertanda *). Dua mahasiswa program doktor ilmu akuntansi turut meng-akui keberadaaan indeks ini. Ungkapan-ungkapan ini selanjutnya digunakan untuk merangkai fobi(a)kuntansi sebagai ekspresi state of minds dari para akademisi yang ha-rus berhadapan dengan “sang lain” di akun-tansi. Penggunaan puisi dalam artikel ini dilandasi pernyataan bahwa:

“The most effective means of express-ing feelings, thoughts and dreams is poetry. Poems are the reflections of life and they deal with various feelings in an effective and smooth way. Poetry is a magical world em-bracing the feeling and dreams of people…”. (Onkas 2012)

Tulisan ini tidak hanya merefleksi-kan fenomena yang ada dengan puisi, na-mun juga menggunakan puisi/syair Molisa

1 Takfiri adalah gerakan mengkafirkan atau mengang-gap apa yang dilakukan orang lain sebagai suatu ke-sesatan.

Page 3: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat 3

Tabel 1. Kompilasi Indeks Perilaku

Indeks Perilaku Pengungkap

Pasif:

“Jadi bunglon aja”

“Cari aman”

“Yang penting lulus”

“Tekanan batin”

“Bingung”

“Kita ini munafik”

“Bermuka dua”

“Pasrah”*

“Untukmu agamamu, untukku agamaku”

Mahasiswa

Mahasiswa

Mahasiswa

Mahasiswa

Mahasiswa

Mahasiswa

Mahasiswa

Mahasiswa

Pendidik dan Mahasiswa

Reaktif:

“Tidak berguna”

“Tidak perlu dipelajari”

“Tidak ilmiah”

“Sesat; tersesat”

“Kembalikan akuntansi ke khittahnya*”

“Ngawur”

“Subjektif, tidak netral”

“NAM (New Age Movement) itu!”

“Kehilangan arah”*

“Aneh-aneh aja”*

“Trus buat apa?”*

“Dukun”*

“Jujur aja”*

“Minta ganti dosen”*

“Otak atik gathuk”

“Akuntansinya mana?”

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Pendidik

Mahasiswa

Mahasiswa

Pendidik dan Mahasiswa

Pendidik dan Mahasiswa

(2010) dan juga syair termasyhur almarhum Gus Dur untuk menggugah kesadaran akan keesaan Tuhan.

Suatu ketakutan muncul karena keti-daktahuan atau ketidakpastian, demikian pula dengan fobi(a)kuntansi. Ketidaktahuan, atau apa yang disebut Ibnu Khaldun sebagai kebodohan atau “ignorance” adalah hal ter-kuat yang mampu menghalangi manusia dalam melihat totalitas (Khaldun 1672:7). Dalam rangka mengatasi ketidaktahuan atau ketidakpastian akan akuntansi “lain” maka perlu dijabarkan hakikat akuntansi

melalui perspektif Al Attas (1981, 2001) yang dapat menunjukkan realitas yang utuh an-tara Tuhan dan pengetahuan. karena “…in-deed,… all nature…proclaims the sacred to those who see the reality behind the appear-ance [akuntansi]” (Al Attas 2001).

Melalui pendedahan tingkatan reali-tas, reklasifikasi akuntansi disusun mulai dari akuntansi yang bersifat praktis, hingga teoretis. Argumentasi tingkatan realitas ini dilakukan menggunakan silogisme rasional dengan menjabarkan berbagai preposisi se-hingga suatu simpulan dapat diambil. Silo-

Page 4: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

4 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

gisme adalah sebuah tradisi yang berangkat dari penalaran deduktif atau normatif yang diturunkan dari scientific methodology posi-tivisme (Ghozali 2004). Teori himpunan, yang juga menggunakan pendekatan ra-sional, digunakan untuk memperkuat letak akuntansi “lain” dalam realitas. Pendekatan ini sengaja digunakan untuk memperte-gas argumentasi atas penyerangan pihak positivis sendiri tentang “kekafiran” akun-tansi lain. Hal ini dilakukan untuk semakin mengu kuhkan bahwa fobi(a)kuntansi adalah fenomena yang muncul karena ketakutan yang justru tidak logis atau tidak rasional, yang muncul karena keterjebakan seseorang dalam satu tingkatan realitas saja.

HASIL DAN PEMBAHASAN Fobi(a)kuntansi Mahasiswa:

Aku cuma bisa pasrah dan jemuLebih baik sepi dalam bingungTerkadang manggut-manggut setuju

Tak apaToh cuma satu semester iniSegera lulus

Jarum detik jam mengapa lambat benar berlalu?Lagi-lagi akuntansi disalahkan dan aku terkurungTekanan batin menyesaki hingga beku kelu

SabarToh cuma satu semester iniSegera lulus

Ah.. percuma berdebat pulaJadi puing tak bersisaBaiknya cari aman sajajadi bunglon berubah warna

Inginnya jujur sajaTetapi kejujuran menakutkanInginnya ganti dosen sajaTetapi kuasa milikku bukan

Peduli apa?!Toh cuma satu semester iniSegera lulus

Mungkin aku perlu jadi munafikAgar hidup tak lagi pelikBermuka dua hindari delikApatis saja ‘tuk bungkam pekik

Akuntansinya mana?Mungkin tersebar di sisa serpih egoku?Biarlah pada akhirnyaUntukmu agamamu, untukku agamaku

Fobi(a)kuntansi Pendidik:

Kalau yang diajarkanTidak diajarkan di tempat lainItu ilmu tiada guna kar’na salah kaprah kreatifTidak perlu dipelajari hal yang tersirat

Celoteh ngawur diteruskanOtak atik gathuk kau bermainIlmu tak seharusnya objektif, tak subjektifKau sesat, menyesatkan, dan tersesat

Satu semester iniHarus segera kusadarkanSebelum mereka lulus

New Age Movement itu!Aneh-aneh saja!Toh kau hanya bisuSaat kutanya “terus buat apa?”!

Satu semester iniHarus segera kuhancurkanSebelum mereka lulus

Kita tinggalkan yang tidak ilmiahBelajar ilmu dukun membuat jengahKita kembalikan akuntansi ke khittahnyaAngka, uang, laporan keuangan, itu harus-nya mudah!

Satu semester iniHarus segera kuluruskanSebelum mereka lulus

Untukmu agamamu, untukku agamaku?Ya! Tapi agamaku yang benar juaKarena kau tak lihat beda api dan abu Tak mampu jawab: Akuntansinya mana?

Jawaban atas: “Akuntansinya mana?” Siapakah Anda?. Apakah “Anda” adalah apa yang Anda lihat saat bercermin? Apakah “Anda” adalah apa yang Anda rasakan atau pikirkan? Atau apakah “Anda” adalah ruh yang bahkan tidak pernah Anda lihat? Apa-kah Anda adalah semua realitas dari yang tampak (tersurat), hingga yang tak tampak (tersirat)? Atau bahkan mungkin apakah “Anda” bukan Anda? Ini semua adalah per-tanyaan tentang hakikat, yang dapat pula

Page 5: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat 5

dipertanyakan pula pada akuntansi: Apa-kah “akuntansi” adalah laporan keuangan? Apakah “akuntansi” adalah perilaku yang ditimbulkan praktik akuntansi? Apakah “akuntansi” adalah pemikiran yang men-dasari praktik akuntansi? Pertanya an yang tidak terjawab akan menyebabkan ketidak-tahuan, sedangkan ketidaktahuan akan menyebabkan ketakutan untuk menerima akuntansi “lain” atau fobi(a)kuntansi. Per-tanyaan-pertanyaan ini sejatinya adalah pertanyaan mengenai hakikat. Orang Yu-nani mengistilahkannya dengan pertanyaan ontologis tentang keberadaan atau realitas.

Diskusi tentang akuntansi dan reali-taspun bukanlah sesuatu yang baru sejak Morgan menulis artikel di Accounting, Or-ganisation, and Society dengan judul “Ac-counting as Reality Construction: Towards a New Epistemology for Accounting Practice” di tahun 1988, dan Hines di jurnal dan ta-hun yang sama yaitu “Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct Reality”. Baik Morgan (1988) maupun Hines (1988) masih mendiskusikan “praktik” akuntansi pada dua tingkatan realitas yang sama, dan menyerang satu isu utama yaitu keberadaan objektivitas.

Menurut Morgan (1988) objektivitas adalah sebuah konsep yang kadaluwarsa, oleh karena itu akuntan perlu menengok subjektivitas untuk mengatasi “mitos” ob-jektivitas. Ya. Objektivitas pada akhirnya hanya menjadi sebuah mitos karena dalam praktiknya, penentuan standar akuntansi yang digunakan sangat tergantung pada kepen tingan tertentu. Akuntan dan peng-guna laporan keuangan menjadi mudah terjebak menganggap akuntansi “objektif” dikarenakan angka akuntansi yang dipan-dang mewakili netralitas. Angka-angka ini mendistraksi fakta yang lebih besar di balik angka, bahwa mereka muncul karena kebi-jakan tertentu digunakan, sedangkan kebi-jakan ditetapkan dalam rangka meraih tu-juan tertentu (yang tidak netral). Misalnya, mahasiswa yang telah lulus kelas Akuntansi Keuangan I akan tahu bahwa perusahaan dapat menampakkan laba yang semakin meningkat, apabila ia menggunakan metode depresiasi menurun berganda (double de-clining balance), daripada metode garis lurus (straight line depreciation) dengan catatan semua faktor ceteris paribus. Angka akhir laba, karena sifat kuantitatifnya, dianggap objektif, walaupun proses menuju akhir tersebut sebenarnya subjektif.

“Rather than cling an outdated con-cept of objectivity, they should con-front the basic subjectivity of their craft and develop means of coping with these limitations” (Morgan 1988:484)

Oleh karena itu, pada artikelnya, Mor-gan (1988) menawarkan sebuah pendeka-tan interpretif menggunakan metafora agar subjektivitas dapat menanggulangi apa yang tidak dapat ditangkap oleh angka semata. Ia menyebutnya sebagai “accounting as an interpretive art”. Dengan demikian, Morgan (1988) mengajukan beberapa tema seperti akuntansi dan budaya organisasi, akuntan-si dan perubahan teknologi, dan akuntansi dan kebijakan ekonomi-politik.

Hines (1988) juga tidak jauh berbeda. Seperti Morgan (1988), ia menggunakan ide tentang objektivitas realitas dan membawa-nya ke diskusi yang lebih dalam dengan me-nyampaikan bahwa justru karena realitas itu subjektif (pada akuntan) maka sebenar-nya, akuntanlah yang memiliki kekuasaan besar dalam menciptakan realitas.

“It seems to me, the power, be-cause people only think of you as communicating reality, but in com-municating reality, you construct reality.” (Hines 1988:257)

Keduanya sudah bisa melihat bahwa realitas akuntansi tidak hanya pada tataran realitas fisik semata, namun juga realitas non-fisik (ide). Tulisan ini ingin mengeks-tensi lebih jauh tingkatan realitas akuntansi dan juga memberikan pandangan alternatif bagaimana realitas dapat dipandang secara lebih holistik, bukan parsial.

Realitas menjadi parsial atau tidak utuh bagi manusia apabila ia tidak mam-pu melihat pusat eksistensi yang bersifat metafisika (melewati realitas fisik). Pada tingkat pandangan ini, maka realitas hanya dianggap sebuah realitas apabila ia memi-liki eksistensi fisik. Ketidakmampuan ini bahkan sudah pernah diangkat jauh sebe-lum Morgan (1988) dan Hines (1988), yaitu oleh Christenson (1983) sebagai awareness atau self-consciousness yang mewujud pada pemilihan metodologi tertentu dalam mem-bangun akuntansi. Sayangnya, pembahasan keberadaan ketidaksadaran ini hanya ber-henti pada kegalauan yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, walau sebenarnya manusia memahami ada-

Page 6: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

6 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

nya sesuatu di balik realitas yang tampak, sebagaimana yang terefleksikan dalam puisi Molisa (2010). “Sesuatu” di balik yang tam-pak ini oleh Molisa (2010) sudah melampaui tataran fisik, bahkan tidak lagi berada pada tataran “ide” saja, namun pada tataran “the One Life” (atau Tuhan?):

“As academicsWe deal in thoughtsBut can our thoughts touch the One Life be-neath it?We are constantly calling forThe need to develop social movementsBut what if the ‘moving’ is much less impor-tant than the Being?We seemTo always want changeBut what if the eternal is where true liberation lies?We seem to love namingI am ‘critical accounting’I am ‘social accounting’But what if It is enoughTo just say ‘I am’?What ifIt is enoughTo simply Be?” (Molisa 2010:533–534)

Kegundahan Molisa (2010) atas seka-dar “naming” atau penamaan merupakan bentuk kesadaran bahwa ada realitas lain daripada realitas fisik. Puisi di atas meref-leksikan realitas substantif. Puisi ini meng-gelitik kesadaran pembacanya bahwa subs-tansi akuntansi tidak terletak pada nama “critical accounting” atau “social accounting”, namun “eternal” atau sesuatu yang abadi. Bagi mereka yang berTuhan, hanya Tu-hanlah yang abadi, hanya Tuhanlah yang memiliki esensi. Molisa (2010) sepertinya mengajak kita memahami ini, namun sekali lagi ia tidak memberikan jawaban justru mengakhirinya dengan pertanyaan “what if it is enough to simply be?”.

Jadi, mau tidak mau, jawaban atas akuntansinya mana harus dimulai dengan pembahasan tentang realitas, sedangkan realitas yang dibahas tidak mungkin hanya berada pada tataran fisik, apabila kita meya-kini keberadaan Tuhan. Realitas, menurut Al Attas (2001:117), adalah “coherent meta-physical system” yang tidak hanya merupa-kan realitas fisik atau eksternal, namun juga meliputi realitas melampaui realitas fisik.

Saya meletakkan tiga proposisi dari “Islam and the Philosophy of Science” Al Attas (2001) di Prolegomena sebagai berikut:

Proposisi 1“Nature can still be regarded as a manifesta-tion form of the sacred” (Al Attas 2001) yang artinya alam masih dapat dilihat sebagai manifestasi dari yang sakral.

Proposisi 2“Nature is not a divine entity, but a symbolic form which manifest the Divine” (Al Attas 2001) yang artinya alam (fisik) bukan entitas murni (Ilahiyah) namun merupakan simbol di mana ada manifestasi Illah.

Proposisi 3“He is Reality itself” (Al Attas 2001) yang arti-nya hanya Tuhan yang merupakan realitas

Tiga proposisi ini memunculkan analo-gi deduktif melalui ketauhidan yaitu afirmasi keberadaan Tuhan dengan menegasikan hal selain Tuhan (Laa illa ha illAllah)*.

a) Alam adalah manifestasi Tuhan/ Nature is a manifestation of the sacred

b) Tuhan termanifestasi di semua realitas/ The sacred manifests in everything

c) Tuhan adalah REALITAS/ He is REALITY itself

Bagaimana jika proposisi ini kita sub-stitusikan dengan akuntansi? Jika akuntan-si adalah realitas dan Tuhan termanifestasi di semua realitas, maka Tuhan termani-festasi di akuntansi. Semua praktik akun-tansi adalah manifestasi Tuhan, namun bukan Tuhan. Dengan menggunakan proses deduktif maka proposisi selanjutnyapun ter-bentuk untuk menjelaskan letak akuntansi dan relasinya dengan Tuhan.

a) Selain Tuhan bukan REALITAS/ Other than Him is not REALITY*

b) Akuntansi bukan REALITAS/ Accounting is not REALITY

c) Akuntansi adalah simbol manifestasi Tu-han/ Accounting is a symbol that mani-fests the Divine.

Proposisi-proposisi ini, khususnya yang menyatakan “akuntansi bukan reali-tas”, mungkin menjadi sesuatu yang menge-jutkan. Ini tentu sebuah pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Hines (1988) dan

Page 7: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat 7

Morgan (1998) yang mengamini keberadaan akuntansi sebagai konstruksi realitas.

Bagi para rasionalis, proposisi-proposisi ini dapat dipertajam pula melalui teori him-punan sebagai representasi logika matema-tis. Katakan saja, akuntansi disimbolisasi dengan A sedangkan Tuhan disimbolisasi dengan B. Berbasis proposisi di atas, maka:

a) Tuhan termanifestasi di akuntansi meng-arah pada pemikiran bahwa akuntansi adalah subset dari realitas absolut.A ⊆ B

b) Namun, pada saat yang sama, akuntansi bukanlah realitas absolut.A ⊆ B

c) Dengan menggunakan perkembangan berikut, di mana tauhid dijadikan lan-dasan berpikir, maka tidak ada realitas selain realitas Tuhan. A adalah himpu-nan kosong tanpa realitas, sehingga me-nyisakan B sebagai satu-satunya realitas absolut.{} ⊆ B atau ∅ ⊆ B

Jadi, dengan berbasis ketauhidan yaitu mengakui tiada Tuhan selain Allah artinya meniadakan akuntansi sebagai REALITAS. Akuntansi tidak REAL; akuntansi adalah the (un)real. Ini seharusnya menjadi kesadaran tertinggi yang dimiliki setiap manusia yang mengakui keberadaan Tuhan. Mungkin di sini kita perlu berhenti sejenak untuk men-jawab pertanyaan pragmatis yang muncul dari sebagian besar kita.

“Akuntansi dinyatakan tidak nyata atau (UN)REAL, padahal bukankah akuntansi ada dan di-praktikkan? Jika benar bahwa akuntansi tidak nyata, lalu untuk apa perlu ada riset akuntansi?”

Di sinilah sebuah pemahaman lebih mendalam tentang realitas dibutuhkan dan kini saatnya pemikiran Al Attas (2001) ten-tang realitas digunakan.

Manusia yang memegang teguh secular rationalism (Al Attas 2001), memahami eksis-tensi fisik akuntansi, yaitu praktik dan hasil dari praktik akuntansi (laporan keuang an), sebagai sebuah hal yang paling nyata; yang paling riil, dan yang paling “akuntansi”. Bahkan perdebatan berlanjut pada ranah subjektivitas-objektivitas de ngan meletak-kan argumentasi asumsi keilmuan berbasis pemikiran Burrell dan Morgan (1979), pa-dahal dikotomi subjektif dan objektif justru

tidak semakin mendekatkan kita pada reali-tas absolut:

“the truth is at once objective and subjective, like religion and be-lief, are inseparable aspects of one reality. True religion is then not something that can succumb to the confusion arising from ob-jective-subjective dichotomy of the Greek philosophical tradition…that emerges out of the secularizing pro-cess…” (Al Attas 2001)

Ketidakmampuan manusia dalam me-lihat realitas absolutlah yang menyebabkan terjadinya pengotak-kotakkan ilmu, terma-suk ilmu akuntansi. Muncullah kemudian akuntansi objektif/kuantitatif dengan akun-tansi subjektif/kualitatif. Kecintaan manusia terhadap materi serta pengarusutamaannya semakin meneguhkan keobjektifan akun-tansi. Inilah “berhala” yang telah dicoba untuk diruntuhkan oleh Morgan (1988) dan Hines (1988). Namun baik Morgan (1988) dan Hines (1988) masih menempatkan ke-beradaan akuntansi pada tingkatan realitas fisik yang tidak absolut. Jadi, tulisan ini me-nyatakan bahwa jika realitas absolut; atau sesungguh-sungguhnya realitas adalah Tu-han, maka akuntansi bukan realitas. Ini bukan mengatakan bahwa akuntansi tidak ada; ini hanya mengatakan bahwa akun-tansi bukan keadaan yang sesungguhnya. Jika konsep ini sulit untuk dipahami, maka mungkin pertanyaan metaforis berikut bisa menjawab keraguan tentang realitas absolut:

a) Apakah bayangan Anda nyata? Ya.b) Apakah bayangan Anda adalah Anda

yang sebenarnya? Tidak.Berbasis hasil analogi reflektif tersebut,

maka realitas “akuntansi”, yang sebenarnya tidak riil, dapat dipetakan dengan memper-lihatkan “specific difference” dan “essential relation” (Al Attas 2001) antara akuntansi sebagai simbol manifestasi Tuhan dengan sang Realitas sendiri (lihat Gambar 1). Al Attas (2001) menjelaskan bahwa realitas dibagi menjadi tiga tingkatan: realitas fisik (huwwiyah), realitas akal/ide (nutq), dan realitas hakikat/absout (haqiqah). Adalah tugas manusia yang memiliki kesadaran un-tuk me ngaitkan huwiyyah dengan haqiqah. Realitas manifestasi Tuhan dalam akuntansi (atau akuntansi pada tingkat realitas fisik), disebut realitas huwiyyah karena perbe-daannya dengan realitas fisik lain.

Page 8: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

8 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

Poin yang perlu ditekankan kembali adalah manusia yang memiliki kesadaranlah yang memiliki tanggung jawab melakukan essensial relation. Siapa manusia-manusia itu? Sebenarnya tugas tersebut bukanlah tugas yang dibebankan hanya pada satu-dua orang saja, namun pada semua manu-sia. Dalam setiap detik napas, manusia ha-rus selalu mengingat Tuhannya.

إف ذ الصلا متيضق ا ة اوركذاف هللا امايق دوعقو إف مكبونج ىلعو ا ذ أمطا ا متنن

أف اوميق الصلا ة إ الصلا ن ة ىلع تناك اتوقوم اباتك نينمؤملا

Maka apabila kamu telah menye-lesaikan shalat(mu), ingatlah Al-lah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Q.S. An-Nisa’ ayat 103).

Manusia yang mengingat Tuhan, akan selalu merelasikan apapun yang ia lihat, rasa, dengar, sentuh hitung dengan Tuhan. Saat ia melihat daun yang gugur ia merelasi-kan fenomena itu dengan Tuhan.

عو دن ه هملعي ال بيغلا حتافم إ ا ه ال و نم طقست امو رحبلاو ربلا يف ام ملعيوةقرو إ هملعي ال ةبح الو ا ضرألا تاملظ يف إ سباي الو بطر الو نيبم باتك يف ال

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengeta-huinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang ba-sah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz). (Q.S. Al An’am ayat 59)

Manusia-manusia yang selalu meng-ingat keberadaan Tuhan kapanpun dan di manapunlah yang mampu melakukan es-sential relation. Dalam hal ini, demikian pula akuntan. Akuntansi akan dipandang seba-gai representasi dari Tuhan apabila akun-

tan adalah manusia yang memiliki kemam-puan untuk merelasikan akuntansi dengan Tuhan.

Mungkin pada poin ini kita akan diha-dapkan pada pertanyaan lain: jika akuntansi adalah representasi Tuhan, mengapa masih ada akuntansi yang masih mengakomodasi perhitungan bunga (riba) yang dilarang Tu-han? Bukankah jika demikian, akuntansi yang ribawipun juga manifestasi dari Tu-han? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan kembali pada kapasitas manusia itu sendiri. Sebelum memberikan jawaban yang ilmiah dengan pendekatan Al Attas (2001), saya akan mencoba memberikan jawaban meta-foris dari sebuah cerita yang saya dengar beberapa waktu silam.

Alkisah terdapat dua orang sa-habat. Sahabat pertama adalah seorang tukang cukur, dan sa-habat yang kedua sedang berada di toko pangkas rambut saha-bat pertama, mencukur rambut-nya. Terlibatlah keduanya dalam perbincangan hangat. Sahabat pertama mengatakan;

“Saya tidak percaya ada Tuhan”.

“Mengapa?” Tanya sahabat kedua.

“Kalau Tuhan ada, mengapa ma-sih ada kejahatan, kemiskinan, dan hal-hal buruk lain di dunia ini? Untuk itulah saya menolak keberadaan Tuhan.”

Sahabat kedua diam. Setelah rambutnya dicukur dan ia mem-bayar jasa sahabat pertama, ia mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan toko tersebut. Ses-aat kemudian ia kembali masuk ke toko cukur sahabat pertama sambil menggandeng seseorang berambut gondrong.

“Saya juga tidak percaya kalau tu-kang cukur itu ada di dunia ini,” kata sahabat pertama, “Jika tu-kang cukur ada, mengapa masih banyak orang di luar sana yang berambut gondrong?”

Giliran sahabat pertama terdiam mencerna.

Page 9: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refl eksi Hakikat 9

Moral dari cerita ini adalah bahwa ke-sadaran mengakui dan merelasikan Tuhan dengan apapun berbeda dari satu manusia dengan manusia lain. Kapasitas ini disebut Al Attas (2001) sebagai mafhum (yang di In-donesia dicerap sebagai kata “paham”) dan mahiyah.

Idealnya, jika kita mengakui ke-beradaan Sang Hakikat dan mampu melihat bagaimana imanensi Hakikat ada di setiap huwiyyah, simbol akan benar-benar menjadi representasi Hakikat. Namun bagi yang tidak mampu merelasikan Hakikat dan simbol, ia akan terus berputar di tataran realitas fi sik. Manifestasi Tuhan dalam simbol tetap ada, namun bagi manusia yang tidak sadar, tidak ada manifestasi Tuhan di sana.

Katakan saja, praktik perhitungan riba adalah realitas fi sik atau huwiyyah. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan: jika semua simbol fi sik adalah manifestasi Tu-han, apakah mungkin Tuhan termanifestasi dalam praktik yang dilarangNya? Bagi saya, jawabannya adalah “ya”. Tuhan yang ter-manifestasi dalam praktik riba adalah sifat-Nya yang membenci riba. Manusia yang sa-dar akan relasi fi sik dan hakikat akan segera melakukan pensucian terhadap praktik riba karena membaca kebencian Allah yang ter-manifestasi pada riba. Di sisi lain, manusia yang tidak sadar dan tidak bisa membaca kebencian Tuhan akan praktik riba akan tetap mengembangkan ilmu riba dan se-

gala turunannya. Baginya itu semua hanya praktik, dan tidak menyangkut masalah ketuhanan sama sekali.

Gambar 1 menjelaskan bahwa ma-nusia akan semakin memahami realitas absolut apabila ia mampu menggerakkan kesadarannya ke tingkat yang lebih tinggi. Apabila ia sadar bahwa dalam praktik ada keberadaan ide/konsep/notion, maka ia sudah mendapatkan kesadaran untuk me-mahami atau mafhum. Pada tingkatan yang lebih jauh, jika manusia, melalui kapasitas-nya untuk melakukan rasionalisasi (sound reason) dan mengaktifkan indera dan intu-isinya (sound senses), mampu melihat bah-wa ide/konsep terkait dengan Tuhan maka ia telah mendapatkan mahiyah. Dapat di-sintesiskan bahwa tingkat kesadaran/pema-haman manusialah yang mengarahkannya mendapatkan pengetahuan, apakah itu par-sial atau utuh (mafhum/mahiyah). Artinya, jika seorang peneliti meneliti simbol akun-tansi, yaitu akuntansi yang harus terpisah dari aspek selain akuntansi (specifi c diffe-rence) atau realitas fi sik semata (huwiyyah) maka sebenarnya ia meneliti sesuatu yang jauh dari realitas absolut (haqiqah).

Pada akhirnya, setelah penelitian se-lesai, ia harus menyampaikan “kebenaran” hasil dari sound reason dan sound senses-nya. Manusia memiliki kapasitas ekspresi linguistik (Al Attas 2001) untuk menerjemah-kan dan menyampaikan apa yang ia dapat-

Gambar 1. Realitas “Akuntansi”

Page 10: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

10 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

kan. Kapasitas ini sangat tergantung pula pada tingkat kesadaran yang dimilikinya. Nasr (1988) menjelaskan kondisi kesadaran manusia tertinggi adalah saat ia mampu me-lihat pusat eksistensi, yaitu saat ia menjadi ulul albab.

Jika pemahaman akan realitas ini dibawa ke akuntansi, bentuk fisik akuntansi yang tampak dan berwujud akan menjadi realitas fisik/huwiyyah. Pada realitas fisik terdapat bidang kajian pengakuan, pengu-kuran, penyajian, pengungkapan laporan dan pelaporan baik dari akuntansi keuang-an, akuntansi biaya, akuntansi manaje-men, dan lain-lain. Praktik nyata tersebut, jika dipahami dasar-dasar pemikiran atau perkembangan pemikiran, akan mengarah pada kajian ide, realitas ‘aql, seperti pemiki-ran akuntansi, kesejarahan akuntansi, dan akuntansi serta budaya. Semakin bergeser ke kanan (ke realitas hakikat), maka akun-tansi fisik semakin tidak tampak, namun semua masih akuntansi hingga akhirnya akuntansi meniada saat mencapai kesada-ran puncak.

Peta “realitas” akuntansi ini mem-berikan suatu usulan lingkup dan makna akuntansi berbasis tauhid sebagai dasar argumentasi fundamental untuk menjawab “mana akuntansinya”. Walau demikian, jika setelah segala daya upaya dilakukan untuk menjelaskan realitas akuntansi tetap ada saja yang mempertanyakan “mana akuntan-sinya?”, hal ini bisa saja jadi karena dua skenario berikut:

Ia belum berhasil menampilkan essen-tial relation antara apa yang ia teliti dengan realitas fisik akuntansi (huwiyyah). Misal-nya saja, apabila seseorang mengambil tema akuntabilitas berbasis budaya dengan mengeksplorasi nilai-nilai budaya, digu-gat karena belum menampilkan akuntansi, maka peneliti tersebut bisa jadi belum me-nampilkan keterkaitan antara ide atau ni-lai budaya dengan implikasi praktis pada akuntansi.

Penanya belum mencapai tingkat ke-sadaran akan realitas di luar realitas fisik atau terlampau takut untuk menerima reali-tas lain di luar realitas yang ia yakini benar. Pada kondisi ini, jika skenario pertama telah dipenuhi, maka tidak ada yang dapat dilaku-kan kecuali memahami ketakutan atau keti-daksadaran penanya.

Lalu apa masalahnya jika seseorang tidak berkenan melihat realitas lain? Pada

posisi pragmatis, tentu saja kita bisa me-ngatakan “suka-suka mereka” atau “apa uru-sannya dengan saya?” Ya. Setiap orang be-bas memilih realitas mana yang paling disu-kainya. Masalahnya, pilihan untuk meyakini hanya keberadaan realitas fisik, atau meng-akui realitas fisik dan hakikat namun tidak bisa melihat relasi di antara ke duanya, me-miliki implikasi yang tidak ringan. Implikasi peradaban! Mengapa demikian?

Pemisahan dua realitas ekstrem: hu-wiyyah dan haqiqah, adalah sekularisme. Sekularisme yang merasuki cara memban-gun ilmu (Al Attas 1981), termasuk akun-tansi, adalah modus untuk menjauhkan kesadaran akan keberadaan realitas fisik yang sebenarnya tidak nyata dengan ke-beradaan realitas hakikat. Jikapun sese-orang menyadari keberadaan realitas fisik dan keberadaan realitas hakikat, namun gagal mendapatkan essential relation antara keduanya, maka sekularisme telah dapat dikatakan berhasil. Era modernitas telah memisahkan keduanya dalam rangka men-capai puncak keilmiahan dengan menjauh-kan pemikiran kekanak-kanakan karena mempercayai Tuhan yang imajiner:

“The origin is always the same; and it is connected with that in-quisition into the essence of things which characterize the infancy of the human mind, occasioning, first, the conception of God,…which be-came in time imaginary fluids…”(Comte 1896:228).

Kepada siapa kita harus “berterima-kasih” (?) atas sebagian besar parsialitas cara pandang? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus mengajak Anda berkelana ke masa lalu, ke tahun 1637 dan 1848; tahun di mana filosofi rasionalisme dan positivisme lahir.

Adalah seorang filsuf Prancis, René Descartes, penulis buku Discours de la methode, yang melahirkan konsep pemusat-an kebenaran pada manusia melalui Cogito Ergo Sum/Je pense donc je suis; yang arti-nya kata “Aku ada karena Aku berpikir”. Penekanan pada “Aku dan pikiran” ini me-nasbihkan cara pandang Descartes sebagai flosofi Rasionalisme, dan para pengikutnya disebut dengan para Cartesian. Dalam hal ini, banyak pemikir yang melakukan pemba-caan yang salah atas kepercayaan Descartes tentang Tuhan.

Page 11: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat 11

“Part of the answer is that Des-cartes believed—and there is no good reason to doubt his sincer-ity—that there was another source of clarity and transparency besides the natural light…he articulates the idea of a ‘double source’ of clar-ity or transparency (duplex claritas sive perspicuitas), one coming from the natural light, the other from divine grace…[however] someone taking the Cartesian line seems to face the challenge of showing how submitting oneself to the super-natural light in the first place can be rationally defensible, given that the objects of faith are, ex hypothe-si, not susceptible of confirmation by the light of reason (Cottingham 2008:228-229).

Sebenarnya, Descartes sendiri tidak pernah menegasikan Tuhan dalam penca-rian ilmu pengetahuan. Konsep “kebenaran” atau “kejelasan” (clarity), dalam mensahih-kan ilmu harus melewati apa yang disam-paikan Descartes sebagai Duplex Claritas Sive Perspicuitas. Duplex mengisyaratkan dua kebenaran: yaitu kebenaran “natural light” atau kebenaran empiris dan kebena-ran Ilahiyah atau kebenaran “divine grace”. Walaupun demikian, kesalahan mendasar yang disadari akibat penekanan yang ter-lalu besar pada akal, pada akhirnya men-ciptakan ambiguitas bagi para pengikutnya. Pertanyaan mulai bermunculan, “bagaima-na mungkin seseorang yang rasional bisa meyakini Tuhan apabila Tuhan sendiri tidak bisa dirasionalisasi? Bagaimana iman yang “not susceptible of confirmation by the light of reason” (tidak bisa dikonfirmasi melalui ra-sionalisasi) diyakini sebagai sumber kebena-ran bagi orang-orang yang mementingkan rasionalisme?

Terlepas dari ambiguitas tersebut, Cogito Ergo Sum menjadi filosofi rasiona-lisme yang akhirnya merajai pembangunan ilmu pengetahuan. Kegamangan akan ke-beradaan Tuhan dan posisiNya dalam sains akhirnya terselesaikan saat Positivisme lahir di tahun 1848.

Positivisme adalah aliran kepercayaan yang dibawa oleh “nabi” positivisme yaitu Auguste Comte. Pada tahun 1848, Comte menegaskan bahwa untuk mencapai tingkat intelektual yang tertinggi, manusia harus membebaskan dirinya dari agama atau ke-

percayaan pada Tuhan yang “fictitious” (fik-tif) (Comte 1896:7) dan konsep Tuhan yang hanya merupakan “imaginary fluids” (karan-gan imajiner) (Comte, 1896:228). Dunia ideal bagi Comte adalah dunia yang memusatkan kebenaran pada rasionalitas manusia. Comte tidak menolak moralitas universal, namun ia menolak moralitas yang bersandar pada agama. Moralitas Positivisme harus bersan-dar pada kebermanfaatan sosial, dan inilah yang menjadikannya “agama baru” yaitu The Religion of Humanity (Comte, 1848:340).

"Positive morality differs therefore from that of theological as well as of metaphysical systems. Its prima-ry principle is the preponderance of Social Sympathy... The intuitive methods of metaphysics could nev-er advance with any consistency beyond the sphere of the individ-ual. Theology, especially Christian theology, could only rise to social conceptions by an indirect process, forced upon it, not by its principles, but by its practical functions… It is true that the first training of our higher feelings is due to theologi-cal systems; but their moral value depended mainly on the wisdom of the priesthood… The moral value of Positivism, on the contrary, is in-herent in its doctrine, and can be largely developed, independently of any spiritual discipline, though not so far as to dispense with the necessity for such discipline. Thus, while Morality as a science is made far more consistent by being placed in its true connection with the rest of our knowledge, the sphere of natural morality is widened by bringing human life, individually and collectively, under the direct and continuous influence of Social Feeling" (Comte, 1848:99).

Tuhan digantikan oleh zat yang diang-gap Comte lebih tinggi. Hal ini terbukti dari penggunaan huruf kapital untuk mene-gaskan Social Sympathy dan Social Feel-ing. Melalui sains positiflah, manusia dapat bermanfaat lebih banyak bagi orang lain, akhirnya menjadi agama yang menuntun manusia kepada fungsi kemanusiaannya (humanisme). Dalam penegasan ini, bah-kan Comte meletakkan teologi Kristen infe-rior dari moralitas positivisme. Bagi Comte,

Page 12: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

12 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

agama hanya melatih “rasa” subjektif indi-vidual keberadaan tentang Tuhan, namun akhirnya nilai moral hanya dapat tergantung pada kebijakan para pendetanya. Jika pen-deta mengatakan sesuatu dianggap baik, ba-rulah kemudian sesuatu tersebut dipraktik-kan. Atas dasar argumentasi inilah, Comte menyatakan bahwa agama (Katolik dan Kris-ten) tidak bisa digunakan lagi karena tidak bisa memuaskan keinginan intelektual dan sosial.

“In the ancient world Catholic edu-cation would have been too revolu-tionary; at the present time it would be servile and inadequate. Its func-tion was that of directing the long and difficult transition from the so-cial life of Antiquity to that of Mo-dern times. Personal emancipation once obtained, the working classes began to develop their powers …they soon became conscious of in-tellectual and social wants which Catholicism was wholly incapable of satisfying”. (Comte 1848:182)

Jadi, inilah kesuksesan positivisme sebagai pemicu perpisahan antara manusia dan Tuhan yang menjadi fase awal pem-bentukan manusia-manusia “mesin”. Se-bagaimana yang dijelaskan Comte di atas, positivisme menjadi gerbang masuk ke cara pandang modernisme; sebuah transisi dari kelawasan “antiquity” menuju modernitas

Pendidikan akuntansi sebagai pem-bebas fobi(a)kuntansi. Perlu dipahami, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi ketakutan, ketidaksadaran, atau menurut Khaldun (1672), kebodohan, adalah melalui pendidikan. Pendidikan Barat yang menjun-jung tinggi modernism dan positivisme tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan peradaban namun justru akan menimbul-kan krisis:

“Much has been written in the West itself, ... the basis of these teach-ings many have come to under-stand the deeper reasons for the crises of modernism, … [it] has re-sulted in unprecedented conflicts on so many levels, in the rise of in-dividualism resulting in the weak-ening of the social order, in the spread of psychological imbalance among so many members (Nasr 2013:11).

Oleh karena itu, dalam rangka meng-utuhkan pendidikan (akuntansi) untuk membentuk manusia yang mampu mema-hami Realitas Absolut, sebuah upaya yang kreatif dan tidak meletakkan Barat sebagai benchmarking pendidikan perlu disegerakan. Konsep pendidikan utuh tidak hanya me-letakkan akal sebagai sound reason, namun mengembalikan sound senses dalam ranah pencarian dan pemahaman akuntansi.

Sound senses atau kekuatan indra dalam memahami ilmu serta menemukan hakikat bukan tidak bisa dilatih. Metode pembelajaran non-mainstream yang me-ngolah rasa, batin, serta intuisi sebenarnya memicu senses yang akan membangun daya aql yang utuh untuk masuk ke tingkat kesa-daran yang lebih tinggi. Beberapa bentuk alternatif pendidikan akuntansi telah di-tawarkan dan dijalankan di tingkat pergu-ruan tinggi seperti pensucian pendidikan akuntansi melalui cinta kepada Tuhan (Mu-lawarman 2008); pengaktifan intuisi atau mata ketiga (Triyuwono 2010), dan pemba-ngunan kesadaran spiritual, kritis, selain rasional (Kamayanti et al. 2012). Hal ini menegaskan kembali apa yang disampaikan Al Attas (2001:124) bahwa “al fikr is the soul movement towards meaning…needs imagina-tion (al-khayal), or in the sense of illuminative experience (al-wijdan).” Manusia selayaknya menggunakan seluruh kapasitas diri, tak hanya otak semata.

Usaha ini semua bukanlah usaha un-tuk memperkenalkan New Age Movement (NAM), sebagaimana dikritisi sebagian prak-tisi pendidikan, yang merupakan pratik-praktik pembangkitan kesadaran melalui:

“…meditation techniques, and me-diumship… as tools to assist per-sonal transformation. Transper-sonal psychology (an approach combining Eastern mysticism and Western rationalism to understand psychological health and spiritual well-being) and other new aca-demic disciplines that study states of consciousness encouraged the belief that consciousness-altering practices” (Melton 2014).

NAM meletakkan “Tuhan” pada sebuah model baru, dan oleh karena itu agama baru. Universalitas moral dan relativitas diang-gap menghancurkan dogma-dogma agama karena mereka digantikan spiritualitas yang bisa dilakukan tanpa Tuhan. Sayangnya,

Page 13: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat 13

penghakiman kesesatan NAM diarahkan pula ke akuntansi karena terkungkungnya mereka dalam penandingan realitas fisik (huwiyyah), bukan realitas ide atau bahkan realitas absolut (haqiqah). Ironisnya, justru akuntansi positif yang jelas-jelas berakar pa-da positivisme August Comte yang menolak Tuhan, dianggap menjadi akuntansi yang paling benar.

Fobi(a)kuntansi “lain”, termasuk pendi-dikan akuntansi “lain”, terjadi karena tidak bisa dipungkiri keutuhan Islam mengarah pada seluruh reason dan senses (rasionali-tas dan pengindraan/rasa) untuk mendapat-kan pemahaman yang utuh pula. Namun menjadi sungguh naïf, jika hanya karena akuntansi serta pendidikan akuntansi yang mentransfer nilai akuntansi “lain” diarahkan ke spiritualitas dan toleransi, maka pendidi-kan semacam ini dicap sesat atas dasar si-logisme hipotetik. Manusia yang melakukan gerakan takfiri atas akuntansi “lain” adalah mereka yang tidak mampu beranjak dari sound reason realitas fisik menuju sound senses realitas hakikat. Ketakutan terjadi karena mereka meyakini logika deduktif yang kuat, yang justru menghalangi mereka dari kebenaran. Mungkin cara yang paling sederhana menjelaskan penjara logika ini adalah melalui analisis Silogisme Hipotetik I: a) Premis mayor: “NAM sesat karena menggunakan

pendekatan spiritual”b) Premis minor: “Pendidikan akuntansi “lain” menggu-

nakan pendekatan spiritual”c) Konklusi: Pendidikan akuntansi “lain”

sesat

Bandingkan dengan Silogisme Hipo-tetik II berbasis realitas notion/aql: nutq berikut:a) Premis mayor: “NAM merelatifkan tuhan dengan semua

bentuk kebenaran”b) Premis minor: “Akuntansi “lain” merelatifkan semua ke-

benaran kecuali Tuhan”c) Konklusi: Akuntansi lain tidak sama

dengan NAM

Silogisme di atas dapat memberikan gambaran bahwa penalaran rasional tidak selalu dapat memberikan kebenaran, apa-lagi jika penalaran hanya dilakukan pada tataran realitas fisik saja.

Kembali pada ide di awal tulisan ini tentang gerakan takfiri, yaitu gerakan yang dengan mudah mengafirkan akuntansi lain, maka sebenarnya secara logis dan rasional, justru akuntansi positiflah yang “kafir”. Bagaimana bila akuntansi positif masuk didedah dengan pendekatan yang sama? Perhatikan Silogisme Hipotetik III:a) Premis mayor: Segala sesuatu yang menolak keberadaan

Tuhan adalah kafirb) Premis minor: Akuntansi positif menolak keberadaan

Tuhanc) Konklusi:

Akuntansi positif adalah kafir

Bersama ini pula, saya ingin mengutip syair yang digubah almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agar tidak dengan mudah mengafirkan hal-hal yang tidak sama de-ngan apa yang diyakini benar:

Astagfirullah robbal baroya…Astagfirulloh minal khootooya…Robbi zidni `ilmannaafii’a…Wawaffikni `amalan sholiha…

Yaa rosulallah salammun’alaik…Yaa rofi’asaaniwaddaaroji…`atfatayaji rotall `aalami…Yauhailaljuu diwaalkaromi…

Ngawiti ingsun nglarasa syi’iranKelawan muji maring pingeranKang paring rohmat lan kenikmatanRino wengine tanpo petungan

Duh bolo konco priyo wanitoOjo mung ngaji syare’at blokoGur pinter ndongeng nulis lan mocoTembe mburine bakal sangsoro

Akeh kang apal Qur’an haditseSeneng ngafirke marang liyaneKafire dewe dak digatekkeYen isih kotor ati akale

Gampang kabujuk nafsu angkoroIng pepaese gebyare ndunyoIri lan meri sugihe tonggoMulo atine peteng lan nistho

Ayo sedulur jo nglaleakeWajibe ngaji sak pranataneNggo ngandelake iman tauhiteBaguse sangu mulyo matine

Page 14: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

14 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

Kang aran soleh bagus atineKerono mapan seri ngelmuneLaku thoriqot lan ma’rifateUgo hakekot manjing rasane

Alquran qodim wahyu minulyoTanpo dinulis biso diwocoIku wejangan guru waskitoDen tancepake ing jero dodo

Kumantil ati lan pikiranMrasuk ing badan kabeh jeroanMu’jizat rosul dadi pedomanMinongko dalan manjing iman

Kelawan Alloh kang moho suciKudu rangkulan rino lan wengiDitirakati diriyadhohiDzikir lan suluk jo nganti lali

Uripe ayem rumongso amanDununge roso tondo yen imanSabar narimo najan pas pasanKabeh tinakdir saking pengeran

Kelawan konco dulur lan tonggoKang podho rukun podho trapsiloIku sunnahe, Rasul kang mulyoNabi Muhammad, Panutan Kito

Ayo nglakoni sakabehaneAllah kang bakal ngangkat drajateSenajan ashor toto dhohireAnanging mulyo maqom drajate

Lamun palarasto ing pungkasaneOra kesasar roh lan sukmaneDen gadang Allah swargo manggoneUtuh mayite ugo ulese

Artinya:Astagfirullah robbal baroya…Astagfirulloh minal khootooya…Robbi zidni `ilmannaafii’a…Wawaffikni `amalansholiha…

Yarosulalloh salammun’alaik…Yaarofi’asaaniwaddaaroji…`atfatayaji rotall `aalami…Yauhailaljuu diwaalkaromi…

Aku memulai menembangkan syi’irdengan memuji kepada Tuhanyang memberi rohmat dan kenikmatansiang dan malamnya tanpa terhitung

wahai para teman pria dan wanitajangan hanya belajar syari’at sajahanya pandai bicara, menulis dan membacaesok hari bakal sengsara

Banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnyasenang mengkafirkan kepada orang lainkafirnya sendiri tak dihiraukanjika masih kotor hati dan akalnyaGampang terbujuk nafsu angkaradalam hiasan gemerlapnya duniairi dan dengki kekayaan tetanggamaka hatinya gelap dan nista

ayo saudara jangan melupakanwajibnya mengkaji lengkap dengan aturannyauntuk mempertebal iman tauhidnyabagusnya bekal mulia matinya

Yang disebut sholeh adalah bagus hatinyakarena mapan sari ilmunyamenjalankan tarekat dan ma’rifatnyajuga hakikat meresap rasanya

Al Qur’an qodim wahyu yang muliatanpa ditulis bisa dibacaitulah nasihat guru mumpuniDitancapkan di dalam dada

Menempel di hati dan pikiranmerasuk dalam badan dan seluruh hatimukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedomansebagai sarana jalan masuknya iman

Kepada Allah Yang Maha Suciharus mendekatkan diri siang dan malamdiusahakan dengan sungguh - sungguh se-cara ikhlasdzikir dan suluk jangan sampai lupa

Hidupnya tentram merasa amanmantabnya rasa tandanya imansabar menerima meski hidupnya pas-pasansemua adalah takdir dari Tuhan

Terhadap teman, saudara dan tetanggayang rukun jangan bertengkaritu sunnahnya Rosul yang muliaNabi Muhammad tauladan kita

Ayo jalani semuanyaAllah yang akan mengangkat derajatnyaWalaupun rendah tampilan dhohirnyanamun mulia maqam derajatnya disisi Allah

Page 15: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat 15

Ketika ajal telah datang di akhir hayatnyatidak tersesat ruh dan sukmanyadirindukan Allah surga tempatnyautuh jasadnya juga kain kafannya

Artinya, akuntansi yang paling “akun-tansi” perlu dipertanyakan kembali maksud-nya. Jika akuntansi yang dimaksud adalah simbol fisik terluar, maka ia adalah reali-tas fisik yang semakin jauh dari kebenaran hakiki. Objektivikasi abstrak hakikat adalah reifikasi yang sudah semakin sarat dengan kepentingan dominasi (Bourguignon 2005). Namun jika yang dimaksud adalah akun-tansi yang nyata/riil, maka sebenarnya hal semacam itu juga tidak pernah ada, karena semakin kita memahami keberadaan Tu-han, dan meletakkan tauhid sebagai cara keilmuan kita, maka akuntansi yang nyata tidaklah ada, yang ada adalah Allah dan il-muNya. Laa illa ha illallah.

SIMPULAN

“Phobias are persistent fears in ab-normal context… The more primi-tive the species, …the less is its capacity of learning” (Marks 1969).

Kutipan dari Marks (1969), seorang ah-li psikologi, di atas akan bisa membuat ba-nyak orang marah karena mengklaim hanya spesies primitiflah yang tidak mampu me-miliki kapasitas belajar dan meningkatkan kesadar an. Kesadaran, khususnya yang di-maksud dalam artikel ini, di sini adalah ke-mampuan mengaitkan keberadaan berbagai bentuk realitas dengan Tuhannya.

Mana akuntansinya? Pertanyaan para penderita fobi(a)akuntansi ini telah terjawab di pemetaan realitas akuntansi. Realitas fisik akuntansi mengada saat Tuhan berimanensi dan memanifestasikan dirinya pada simbol-simbol fisik, sedang realitas fisik akuntansi akan meniada sehingga yang ada hanya reali-tas hakikat saat essential relation te rungkap. Kesadaran atau pengetahuan menjadi kata kunci penyelesaian fobi(a)kuntansi.

Perubahan kesadaran hanya akan ter-capai apabila pendidikan yang memicu ter-asahnya sound senses maupun sound reason secara bersamaan dilaksanakan. Penderita fobi(a)kuntansi, yang karena terjebaknya ia di realitas huwiyyah, tidak mampu pula melihat koneksitas, dan secara tergesa-gesa melabeli akuntansi “lain” sebagai sebuah kesesatan, saat mereka merelasikannya dengan gerakan universal kebaikan tanpa

perlu bertuhan (NAM) dengan silogis hipote-tik pada tataran realitas fisik.

Akhirnya, peletakan tauhid sebagai landasan berpikir tentang realitas sudah seharusnya membuka mata kita bahwa apa yang kita sebut dengan akuntansi serta apa yang kita banggakan sebagai akuntansi, sejatinya merupakan ketiadaan yang telah dengan begitu bodohnya kita banggakan serta perdebatkan. Keputusan untuk meya-kini apa yang saya sampaikan di artikel ini, juga sepenuhnya hak Anda. Bukankah apa yang saya tulis adalah simbol fisik mani-festasi Tuhan yang sebenarnya “tidak ada” saat Tuhan ada?

Billahi fi sabilil haq

DAFTAR RUJUKANAmernic, J. and R. Craig. 2009. “Under-

standing Accounting through Concep-tual Metaphor: ACCOUNTING IS AN INSTRUMENT?” Critical Perspectives on Accounting, Vol. 20, No. 8, hlm 875–83.

Al Attas, SMN. 1981. Islam Dan Sekularisme. Penerbit Pustaka. Bandung.

Al Attas, SMN. 2001. Prolegomena: To The Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the World-view of Islam. International Institute of Islamic Thought and Civilization. Ma-laysia.

Bourguignon, A. 2005. Management Ac-counting and Value Creation: The Profit and Loss of Reification. Diunduh July 7, 2013 <http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S104523540300128X>.

Burrell, G. and G. Morgan. 1979. Socio-logical Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. Great Britain: Arena.

Christenson, C. 1983. “The Methodology of Positive Accounting.” The Accounting Review, Vol. LVIII, No. 1, hlm 1–22.

Chua, WF. 1986. “Radical Developments in Accounting Thought.” The Accounting Review, Vol. 6, No. 4, hlm 601–32.

Comte, A. 1896. The Positive Philosophy of Auguste Comte. George Bells & Sons. London.

Ghozali, I. 2004. “Pergeseran Paradigma Akuntansi Dari Positivisme Ke Perspe-ktif Sosiologis Dan Implikasinya Terha-dap Pendidikan Akuntansi Indonesia.” Pidato Guru Besar.

Hines, RD. 1988. “Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct

Page 16: FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT

16 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16

Reality.” Accounting, Organizations and Society, Vol. 13, No. 3, hlm 251–61.

Hines, T., K. Mcbride, S. Fearnley, and R. Brandt. 2001. “We ’ Re off to See the Wizard.” Accounting, Auditing & Ac-countability Journal, Vol. 14, No. 1, hlm 53–84.

Kamayanti, A., I. Triyuwono, G. Irianto, and AD. Mulawarman. 2012. “Philosophi-cal Reconstruction of Accounting Edu-cation : Liberation through Beauty.” World Journal of Social Science, Vol. 2, No. 7, hlm 222–33.

Khaldun, AAM. 1672. The Muqaddimah.Macintosh, NB., T. Shearer, DB. Thornton,

and M. Welker. 2000. “Accounting as Simulacrum and Hyperreality: Perspec-tives on Income and Capital.” Account-ing, Organizations and Society, Vol. 25, No. 1, hlm 13–50.

Marks, IM. 1969. Fears and Phobias. Aca-demic Press. London.

Mattessich, R. 2003. “Accounting Represen-tation and the Onion Model of Reality: A Comparison with Baudrillard’s Orders of Simulacra and His Hyperreality.” Ac-counting, Organizations and Society, Vol. 28, No. 5, hlm 443–70.

Melton, JG. 2014. “New Age Movement: Reli-gious Movement.” Diunduh Januari 14, 2016 <http://www.britannica.com/topic/New-Age-movement)>.

Molisa, P. 2010. “Don’t Look at My Finger; Look at the Moon.” Critical Perspectives on Accounting, Vol. 21, No. 6, hlm 533–35.

Morgan, G. 1988. “Accounting as Reality Construction: Towards a New Episte-mology for Accounting Practice.” Ac-

counting, Organizations and Society, Vol. 13, No. 5, hlm 477–85.

Mulawarman, AD. 2008. “Pendidikan Akun-tansi Berbasis Cinta: Lepas Dari He-gemoni Korporasi Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan Dan Konsepsi Pembelajaran Yang Melampaui.” Ekui-tas, Vol. 12, No. 2, hlm 142–58.

Nasr, SH. 1988. Man and Nature. Iranian Academy Studies. Washington

Nasr, SH. 2013. “Harmony of Heaven, Earth and Man—Harmony of Civilizations.” Procedia - Social and Behavioral Scienc-es, Vol. 77, hlm10–14.

Onkas, NA. 2012. “The Phonetics and Se-mantics Relationship in Poems.” Pro-cedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 46, No. 47, hlm 18–30.

Stamp, E. 1981. “Why Can Accounting Not Become a Science Like Physics?” Aba-cus Vol. 17, No. 1, hlm 13–27.

Sterling, Robert. 1975. “Toward a Science of Accounting.” Financial Analyst Journal, (September-October), hlm 28–36.

Suyunus, Mohamad. 2011. “Mengikuti Per-jalanan Pembawa Bendera Penyeba-ran Pemikiran Radikal Riset Akuntansi Multiparadigma.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 2, No. 1, hlm 104–25.

Tinker, T. and T. Puxty. 1979. Policing Ac-counting Knowledge: The Market Excus-es Affair. Princeton New York: Markus Wiener Publisher.

Triyuwono, I. 2010. “‘Mata Ketiga’: Se Laen, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Tinggi Akuntansi.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1, No. 1, hlm 1–23.