32
DIVISI ADIKSI FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA OBESITAS DAN PENATALAKSANAANYA PENULIS: Dr. LUH NYOMAN ALIT ARYANI, SpKJ(K) PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

DIVISI ADIKSI

FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR

PENYEBAB TERJADINYA OBESITAS

DAN PENATALAKSANAANYA

PENULIS:

Dr. LUH NYOMAN ALIT ARYANI, SpKJ(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Page 2: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Batasan Pembahasan ..................................................................................... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ...................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4

2.1 Definisi Food Addiction ................................................................................ 4

2.2 Epidemiologi Food Addiction (FA) .............................................................. 5

2.3 Kriteria Diagnosis Food addiction ................................................................ 7

2.4 Patofisiologi Food addiction ....................................................................... 11

2.5 Jenis-Jenis Food Addiction .......................................................................... 17

2.6 Skrining Food Addiction ............................................................................. 19

2.7 Penatalakanaan Food Addiction .................................................................. 21

BAB III RINGKASAN ......................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

Page 3: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sistem Homeostasis Asupan Makanan di Otak . ................................. 12

Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi

lainnya . ................................................................................................................. 15

Gambar 3 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar. ............................................ 23

Page 4: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar ............................................... 22

Page 5: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adiksi makanan atau food addiction (FA) dalam kurun waktu 10 tahun

belakangan ini semakin banyak kasusnya, namun sedikit literatur yang ditemukan

untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya food addiction ini dapat terjadi dan apa

saja dampak buruknya.

Satu dekade belakangan ini food addiction menjadi topik yang banyak

dibahas oleh pakar ilmiah, dimana telah dihipotesiskan bahwa seseorang dapat

saja mengalami adiksi terhadap makanan tertentu. Pada studi binatang

diperlihatkan bahwa mengkonsumsi makanan yang tinggi gula, tinggi lemak

(seperti kue keju), diasosiasikan dengan perubahan neurobiologi dari sistem

reward di otak, seperti menurunnya regulasi reseptor dopamin dan merupakan

indikator dari adiksi yang mengakibatkan peningkatan motivasi, withdrawl, dan

toleransi (Schulte et al, 2016).

Obesitas adalah salah satu efek buruk yang diakibatkan oleh food

addiction ini. Meningkatnya kasus food addiction ini, meningkat pula kasus

obesitas di masyarakat. Jika seseorang mengalami obesitas, mereka akan berisiko

tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular seperti mengalami penyakit

jantung, hipertensi dan diabetes militus. Selain itu dengan obesitas fungsi aktifitas

sehari-hari juga akan terganggu (seperti tidak dapat berlari dan berjalan selincah

Page 6: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

2

orang yang non obesitas) dan kurang percaya diri karena memiliki badan yang

tidak proposional.

Angka prevalensi obesitas di Amerika terus meningkat jumlahnya, dimana

lebih dari 85% orang dewasa diramalkan akan memiliki berat badan berlebih

(overweight) dan obesitas pada tahun 2030. Biaya kesehatan yang dianggarkan

juga diprediksi akan meningkat dari 10% menjadi 15% untuk 15 tahun kedepan

dalam mengatasi masalah obesitas ini. Sangat jarang yang dapat sukses mengatasi

masalah penambahan berat badan ini. Salah satu faktor yang berperan penting

untuk mengatasi masalah ini adalah bagaimana mengetahui makanan tertentu

dapat menstimulasi adiksi pada seseorang yang menyebabkan overeating (Schulte

et al, 2015).

Food addiction akan dibahas dalam referat ini untuk mengenali bagaimana

dapat terjadi sehingga efek buruk seperti obesitas ini dapat dicegah. Banyak orang

akhirnya membeli obat pelangsing, namun setelah berhenti minum obat kembali

lagi mengalami perilaku makan yang banyak dan akhirnya terjadi lagi

peningkatan berat badan.

Penyakit adiksi ini adalah penyakit modern yang secara langsung ataupun

tidak langsung mempengaruhi semua fase dari siklus kehidupan seseorang. Sama

halnya dengan adiksi alkohol dan rokok yang merupakan bentuk tertua dari

penyalahgunaan zat yang menjadi masalah besar pada orang muda. Food

addiction adalah adiksi yang sulit untuk ditegakkan dan diperlukan banyak studi

untuk menghadapi masalah ini (Dimitrijevic et al, 2014).

Page 7: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

3

Sangat diperlukan bagaimana mengenali secara awal orang yang

mengalami food addiction sehingga obesitas yang akan terjadi dapat dicegah

sedini mungkin. Referat ini akan membahas tentang food addiction sebagai faktor

risiko obesitas dan akan mengulas sedikit tentang bagaimana cara mengatasinya.

1.2 Batasan Pembahasan

Tinjauan pustaka ini akan membahas bagaimana food addiction sebagai

faktor risiko terjadinya obesitas, makanan apa saja yang menyebabkan terjadinya

food addiction dan bagaimana penanganannya.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas proses terjadinya food

addiction dan bagaimana dapat menyebabkan terjadinya obesitas. Akan diuraikan

juga tentang pengukuran food addiction dengan kuisioner serta cara-cara

mengatasi terjadinya food addiction. Dengan mengetahui proses terjadinya food

addiction diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi pasien yang mengalami

food addiction yang ditemukan pada saat praktik dilapangan.

Page 8: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Food Addiction

Sekitar tahun 1956 yang lalu, Randolph adalah orang yang pertama kali

memperkenalkan istilah food addiction (food addiction) sebagai adaptasi yang

spesifik kepada satu atau lebih mengkonsumsi makanan dengan gejala yang sama

pada proses adiksi zat lainnya. Adapun food addiction pada waktu itu yang

banyak ditemukan adalah berupa adiksi mengkonsumsi jagung, susu, telur dan

kentang (Hebebrand et al, 2014).

Belakangan ini banyak studi kualitatif yang dilakukan oleh Pretlow (2011)

mengindikasikan ada 3 gejala food addiction pada anak :

Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang besar selama periode

waktu yang panjang

Ketidak berhasilan dalam mencoba untuk berhenti atau mengurangi

jumlah makanan yang dikonsumsi

Terus mengkonsumsi makanan walaupun mengetahui efek negatif dari

makanan tersebut.

Dalam studi yang sama, 77% dari anak makan dalam jumlah yang lebih

banyak dibandingkan sebelumnya dan saat mereka ditanya kenapa?, 15% dari

mereka menjawah lebih puas jika makan dengan porsi saat ini.

Page 9: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

5

Penelitian Gearthardt et al (2011) dengan memakai (Yale Food Addiction

Scale) YFAS menunjukkan gejala yang paling sering ada pada orang dewasa yang

mengalami food addiction adalah :

Keinginan yang menetap atau gagal untuk mengurangi jumlah

makanan yang dikonsumsi.

Terus mengkonsumsi makanan walaupun mengetahui efek negatifnya

Memerlukan banyak waktu untuk mencoba mengurangi jumlah

makanan yang dikonsumsi.

Penelitian terakhir, gejala ini tampak pada orang yang obesitas yang

memiliki kebiasaan makan berlebih (Dimitrijevic, 2014).

Obesitas adalah salah satu efek samping karena food addiction.

Didapatkan 40% orang yang mengalami food addiction menunjukkan obesitas dan

ini mengindikasikan adanya hubungan yang sanga erat antara kebiasaan makan

dan penambahan berat badan (Lerma et al, 2016). Dengan mengetahui food

addiction ini bisa mencegah terjadinya ketergantungan yang dapat digunakan

sebagai strategi pencegahan obesitas (Lerma et al, 2016 & Hebebrand et al, 2014).

2.2 Epidemiologi Food Addiction (FA)

Epidemiologi food addiction ini secara pasti belum ada data yang

menunjang karena masih sedikit penelitian tentang food addiction ini. Dari 23

studi tentang food addiction didapatkan angka prevalensi pada masyarakat umum

antara 5,4%-56,8% yang mengalami food addiction sedangkan pada orang yang

obesitas didapatkan sebesar 24,9% yang mengalami food addiction (Pursey et al,

Page 10: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

6

2014). Data ini menunjukkan bahwa food addiction meningkat pada orang

obesitas.

Prevalensi obesitas berdasarkan perhitungan WHO didapatkan 600 juta

jiwa diseluruh dunia dan ini diperkirakan akan meningkat terus jumlahnya jika

tidak segera ditangani (Lerma et al, 2016). Di Amerika terdapat 1 dari 3 orang

dewasa mengalami obesitas dan 1 dari 5 dari anak anak mengami obesitas

(Ziauddeen et al, 2015). Dari seluruh penderita obesitas didapatkan sekitar 36,9%

pria dan 38% wanita. Data ini secara signifikan meningkatkan risiko kondisi

kronis yang berhubungan dengan obesitas seperti penyakit kardiovaskular dan

diabetes militus tipe 2 yang akan berdampak pada penurunan kualitas hidup

(Pursey et al, 2014).

Banyak studi menyebutkan bahwa food addiction berperan terhadap

munculnya obesitas (Lerma et al, 2014 & Schulte et al, 2016). Salah satu

contohnya terjadi pada orang dewasa di Australia dan Amerika 86% dilaporkan

adiksi terhadap makanan tertentu, terutama yang terdiri dari makanan dengan

kadar gula yang tinggi dan 80% mereka percaya bahwa makanan tersebut menjadi

adiksi sama seperti zat alkohol, rokok dan kokain. Sebanyak 72% dari mereka

menyetujui bahwa adiksi makanan ini adalah sebagai penyebab obesitas (Schulte

et al, 2016).

Obesitas tidak diakibatkan hanya oleh faktor genetik saja, tetapi banyak

diperkirakan adanya peranan faktor lingkungan seperti kebiasaan makan makanan

lezat (palatable food) yang berisiko menyebabkan food addiction (seperti

makanan tinggi gula, lemak dan garam). Prevalensi obesitas yang tinggi ini

Page 11: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

7

menjadikan banyak perhatian para peneliti diakhir dekade belakangan ini untuk

mencari faktor yang menyebabkan terjadinya food addiction ini dan efek

psikologis pada peningkatan berat badan (Hebebrand et al, 2014).

2.3 Kriteria Diagnosis Food addiction

Kriteria diagnosis gangguan berkaitan dengan zat dan gangguan adiksi

berdasarkan DSM 5 dan APA 2013 dibagi menjadi dua, yaitu gangguan yang

berkaitan dengan zat itu sendiri dan gangguan yang berkaitan dengan non-zat

seperti gangguan berjudi, adiksi game internet, adiksi sex atau adiksi belanja.

Untuk food addiction itu sendiri merupakan kelompok yang termasuk dalam

gangguan adiksi yang berkaitan dengan zat (Hebebrand et al, 2014).

Adapun kriteria adiksi penyalahgunaan zat secara umum berdasarkan pada

DSM 5 adalah sebagai berikut (APA, 2013) :

Kelompok pertama (kriteria nomor 1-4) adiksi zat ini menunjukkan

adanya gangguan kontrol perilaku terhadap zat itu sendiri yang berupa :

1. Seseorang yang mengkonsumsi zat tertentu dalam jumlah besar atau dalam

periode yang lama yang intens.

2. Keinginan yang menetap untuk menghentikan penggunaan zat tersebut tetapi

sering gagal.

3. Memerlukan waktu dan kesempatan yang tepat untuk mendapatkan,

mengkonsumsi zat dan pulih kembali dari efek zat tersebut.

4. Craving adalah manifestasi sebagai keinginan untuk menggunakan zat

tersebut yang dapat terjadi kapan saja.

Page 12: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

8

Kelompok kedua (Kriteria nomor 5-7) menandakan adanya gangguan

kehidupan sosial pada individu yang menggunakan zat tersebut yang berupa :

5. Penggunaan zat menyebabkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas sekolah,

pekerjaan, atau rumah.

6. Adanya masalah sosial atau interpersonal yang menetap akibat dari pemakaian

zat tersebut

7. Berkurangnya aktifitas rekreasi, pekerjaan akibat penggunaan zat tersebut.

Kelompok ketiga (nomor 8-9) disertai adanya kriteria risiko penggunaan

terhadap zat tersebut yang berupa :

8. Akan mengalami bahaya jika digunakan secara terus menerus

9. Individu terus menerus mengkonsumsi zat tersebut walaupun zat tersebut

menimbulkan masalah fisik dan mental.

Kriteria kelompok terakhir menunjukkan adanya efek farmakologi zat itu

sendiri dalam tubuh (kriteria nomor 10 dan 11) yang berupa :

10. Adanya gejala toleransi yang ditandai dengan peningkatan jumlah dari

kebutuhan zat tersebut untuk menimbulkan efek yang sama dan berkurangnya

efek yang ditimbulkan jika menggunakan dosis yang sama.

11. Adanya gejala putus zat (withdrawl)

Adiksi zat adalah kelompok dari gejala kognitif, perilaku dan psikologis

yang diasosiasikan dengan penggunaan berkelanjutan terhadap zat tersebut

walaupun zat tersebut mengakibatkan masalah yang berat. Untuk mendiagnosis

gangguan akibat penggunaan zat pada food addiction, diperlukan minimal 3 gejala

berikut :

Page 13: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

9

1. Toleransi

Penelitian dilaboratrium dengan menggunakan tikus menunjukkan

adanya toleransi terhadap makanan, akan tetapi studi dari manusia masih

sedikit, mungkin karena kesukaran metodelogi. Braun et al menyatakan

dalam penelitiannya bahwa food addiction menunjukkan meningkatnya

jumlah dan frekuensi makanan. Mereka mengeluarkan banyak waktu

untuk makan dan tidak bisa mengontrol perilaku untuk makan.

2. Gejala putus zat (withdrawl)

Studi pada binatang menunjukkan bahwa gejala putus zat dapat terjadi

jika ia tidak mendapatkan input makanan sesuai dengan keinginannya.

Saat binatang yang sebelumnya di diberikan makanan yang sangat lezat

(hyper-palatable) seperti sugar sampai ia makan banyak maka pada suatu

saat makanan tersebut dibatasi, kemudian mereka tampak menunjukkan

gejala yang sama seperti putus zat karena obat (seperti tremor, panas, dan

agresif). Tikus tersebut juga mengalami craving dengan gejala sama

dengan putus zat karena amphetamin. Namun pada manusia memerlukan

investigasi yang lebih detail lagi mengenai kriteria ini.

3. Kegagalan untuk berhenti mengkonsumsi (uncontrol)

Gejala ini sering terjadi pada kasus-kasus food addiction. Sebanyak 37%

anak-anak berkeinginan untuk menurunkan konsumsi makan yang duduk

di bangku sekolah dasar dan sebesar 83% terjadi kegagalan untuk bisa

mencegah keinginan ini.

4. Memerlukan waktu yang banyak untuk menahan diri dari makan

Page 14: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

10

Makanan hyper-palatable adalah makanan yang mengandung kalori

tinggi, tetapi memiliki nutrisi yang rendah karena harganya murah dan

porsi besar. Namun data empiris seberapa banyak orang yang

memerlukan waktu khusus menahan diri untuk makan belum tersedia

5. Mengurangi pekerjaan penting lainnya selain makan

Sebagian besar orang memilih untuk makan yang tidak sehat

dibandingkan yang sehat. Seseorang yang food addiction lebih memilih

mengurangi aktifitas lain mereka dan lebih memilih untuk makan.

6. Terus melakukan walaupun mengalami masalah fisik atau psikis

Studi pada binatang yang terpapar makanan hyper-palatable yang

mengandung banyak gula menunjukkan bahwa walaupun mereka

diberikan aliran shock listrik, mereka terus berlanjut untuk

mengkonsumsi makanan tersebut.

Studi ini dihubungkan dengan manusia yang memberikan hasil

yang serupa. Orang yang diberikan makanan yang adiktif, walaupun

mengetahui efek negatifnya mereka akan tetap memakan makanan

tersebut. Pada penelitian penyakit kardiovaskular, pasien yang di

instruksikan tidak makan cokelat pada penelitian itu, jika mereka

melanggar maka mereka akan dikeluarkan pada penelitian tersebut.

Terdapat 139 orang dari 1200 sampel yang dikeluarkan karena

melanggar ketentuan, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang

mengalami food addiction ini akan terus melakukan makan yang dia

inginkan tanpa menghiraukan kesehatannya.

Page 15: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

11

Diagnosis food addiction dapat ditegakkan disertai dengan minimal

mengalami 3 atau lebih disertai dengan adanya hendaya atau distress, walaupun

peneliti tidak mengukur derajat dari distress atau ketidaknyamanan ini. Studi-studi

sebelumnya menunjukkan bahwa gejala food addiction ini berupa makan dalam

jumlah besar dan dalam waktu yang lama, gagal untuk mengurangi jumlah makan

makan dan tidak menghiraukan konsekuensinya. Gejala yang jarang bisa terjadi

seperti toleransi dan menghabiskan waktu untuk membeli dan mengkonsumsi

makan, gejala putus zat dan berkurangnya interaksi sosial dan aktifitas yang

berupa rekreasional (Pursey et al, 2014 & Dimitrijevic et al, 2014).

2.4 Patofisiologi Food addiction

Page 16: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

12

Gambar 1 Sistem Homeostasis Asupan Makanan di Otak (Moron et al, 2014).

Keinginan untuk makan dan makan yang terjadi pada manusia berdasarakan

sistem reward pada otak yang homeostatis, artinya saling menyeimbangkan.

Sistem homeostatis ini merupakan respon regulasi pusat energi pada signal

hipotalamus yang berintegrasi dengan signal hormon yang mengorganisasi

pancreas, usus halus, liver, jaringan adiposa, dan batang otak (Ziaudeen et al,

2015).

CNS mengatur input dari penyimpanan energi jangka panjang (seperti

leptin) dan signal makan jangka pendek (makanan dan signal rasa kenyang yang

terdapat pada usus) untuk meregulasi asupan makanan dan energy yang

dikeluarkan dengan cara menjaga keseimbangan penyimpanan lemak tubuh yang

stabil sepanjang waktu. Energi positif balance akan menginduksi penghambatan

makan berlebih dan meningkatkan rasa kenyang, maka akan timbul penurunan

rasa nafsu makan. Jika terjadi penurunan energi balance maka CNS merespon

dengan peningkatan asupan makan dan menurunkan signal rasa kenyang yang

akan berdampak meningkatnya rasa ingin makan. Kejadian ini akan terjadi saling

timbal balik mengikuti sistem homeostasis dalam tubuh (Morton et al, 2014).

Pada orang yang mengalami food addiction ditemukan adanya disregulasi pada

sistem reward di otak (Zaudeen et al, 2015).

Meningkatnya penelitian yang saat ini dilakukan tentang food addiction

telah menunjukkan bahwa ada hubungan antara obat serta makanan dengan

kelainan neurobiologi dan perilaku yang terjadi. Makanan terutama yang lezat

(palatable food) banyak ditemukan memberikan proses yang sama pada adiksi zat

Page 17: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

13

dimana sama-sama terjadinya peningkatan dopaminergik dan sistem opioid dalam

otak. Karena kesamaan proses inilah yang digunakan sebagai dasar membuat

adanya food addiction.

Food addiction merupakan bagian dari proses impulsif dan kompulsif

yang terjadi pada seseorang yang mengalami food addiction. Impulsif disini berati

ketidakmampuan dalam menghentikan pikiran untuk melakukan sesuatu yang

diatur pada sirkuit otak ventral striatum yang berhubungan ke talamus dan menuju

ventromedial prefrontal cortex (VMPFC) dan anterior cingulate cortex (ACC).

Kompulsif berarti ketidakmampuan untuk menghentikan tindakan yang diatur

oleh sirkuit otak bagian dorsal striatum yang berhubungan dengan talamus dan

orbitofrontal cortex (OFC). Tindakan impulsif seperti pikiran untuk makan pada

food addiction dapat menjadi kompulsif dalam melakukan tindakan makan karena

rangsangan terus menerus di ventral striatum berpindah ke bagian dorsal striatum

(Stahl, 2013).

Neurotransmiter yang berperan dalah food addiction ini adalah dopamin.

Sistem dopamin melibatkan sejumlah besar hal yang berkaitan dengan perilaku

termasuk proses reward dan motivasi. Dopamin yang meningkat pada

penggunaan zat dan makanan palatable di daerah mesolimbik dan Nukleus

accumbens (NAc).

Studi neuroimaging juga menunjukkan adanya aktifasi sel didaerah NAc

pada pusat otak jika terpapar oleh zat dan makanan pada orang yang adiksi dan

obesitas. Orang yang adiksi dan obesitas menunjukkan lebih sedikit jumlah

reseptor Dopamin D2 pada otaknya, yang diperkirakan mereka akan kurang

Page 18: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

14

sensitif pada stimulus reward dan makanan atau obat yang dikonsumsi.

Berkurangnya reseptor D2 pada striatum ini menyebabkan berkurangnya

metabolisme di cerebri (prefrontal dan orbitofrontal kortek) yang menghambat

kontrol untuk mengkonsumsi. Mekanisme ini menjelaskan bahwa orang yang

obesitas memerlukan aktivasi reward dan perhatian yang lebih besar dibandingkan

orang normal dalam merespon makanan palatable (Lerma et al, 2016).

Page 19: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

15

Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi

lainnya (Sthal, 2013).

Page 20: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

16

Adanya hubungan penggunaan zat dengan fungsi ego yang terganggu

(seperti ketidakmampuan dalam menghadapi kenyataan) (Sadock & Sadock,

2015). Makan berlebih ini dilakkan untuk mengatasi stress dalam mengatasi rasa

cemas atau depresi dalam menghadapi suatu masalah (Dimitrijevic et al, 2014).

Food addiction ini merupakan suatu keadaan learning dan conditioning,

dimana jika terdapat stimulus berupa makanan palatable, akan terjadi peningkatan

dopamine di sistem limbic, yang meliputi amigdala dan cingulate anterior.

Setelah otak mengenal makanan ini, maka akan terjadi proses mekanisme learning

dan terjadi perubahan perilaku adiksi untuk mencari makanan palatable tersebut.

Adanya gejala craving terjadi jika adanya ketersediaan zat atau makanan

palatable, seperti ada seseorang teman yang mengkonsumsi makanan palatable.

Kondisi learning dan conditioning ini adalah sebagai psikopatologi dari food

addiction ini (Sadock & Sadock, 2015).

Karena proses psikopatologis yang sama dengan penggunaan zat, maka

food addiction ini juga dipengaruhi oleh adanya faktor keturunan.

Ditinjau dari faktor neurokimia pada food addiction, neurotransmitter yang

berperan paling besar adalah opioid, catecholamine (biasanya dopamin) dan

sistem GABA. Neuron dopamin pada VTA sangat penting dalan terjadinya food

addiction ini, karena neuron ini tujuannya ke korteks dan system limbic, terutama

pada nuklues accumbens. Jalur ini meliatkan sensasi sistem reward dan mediator

utama dari efek terjadinya adiksi. Locus ceroleus sebagai pusat neuron

andrenergik yang besar juga terlibat dalam system reward ini.

Page 21: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

17

2.5 Jenis-Jenis Food Addiction

Model percobaan pada tikus menunjukkan adanya 3 gejala yang penting dalam

adiksi zat yaitu berupa adanya toleransi, dependence (ketergantungan), dan

withdrawl (gejala putus zat). Toleransi disini berati adanya perubahan perilaku

dari sub selular seperti desensitasi reseptor dan down-regulasi pada otak yang

ditandai dengan peningkatan jumlah zat yang diperlukan untuk dapat

menghasilkan efek neurobiologi yang sama. Pada model percobaan tikus ini

tentang food addiction juga mengalami hal yang sama, yang ditandai dengan

peningkatan jumlah makan.

Menurut kriteria DSM 5 Saat ini tidak ada satu makanan yang

menimbulkan gangguan penggunaan zat pada manusia karena kurangnya

penelitian klinis untuk mendeteksi makanan spesifik yang menyebabkan food

addiction ini. Secara teori masih kurang jika dibandingkan dengan gangguan

penggunaan zat lainnya dari luar seperti alkohol, ganja, nikotin dan opiat.

Studi pada binatang dengan menggunakan makanan lezat (palatable food)

sebagai stimulus dan beberapa dari makanan tersebut menjadikan adiksi dengan

memperlihatkan perilaku makan berlebih. Gejala putus zat juga dilaporkan saat

akses makanan dihentikan dan adanya craving pada saat tidak diberikan makanan.

Penemuan ini memperkirakan bahwa tikus sering menjadi sangat termotivasi

untuk makan makanan tertentu seperti makanan dengan kandungan lemak dan

gula tinggi walaupun tidak selalu. Ada beberapa jenis food addiction yang

diketahui, yaitu

1. Adiksi Gula (sugar addiction)

Page 22: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

18

Semua sel yang aerob memerlukan gula untuk proses glikolisis yang

menghasilkan piruvat, dimana piruvat ini adalah bahan yang penting

untuk menghasilkan energi. Manusia menerima gula melalui rasa manis

pada makanan dan akan termotivasi untuk mengkonsumsi makanan yang

manis. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa sinyal opioid

endogen akan aktif saat mengkonsumsi gula (bukan lemak) yang sama

pada mekanisme penyalahgunaan zat yang terjadi pada otak manusia.

Perangsangan ini akan mengubah perilaku menjadi adiktif terhadap gula.

Pada manusia perilaku adiktif ini sering disertai dengan stres psikologis

seperti rasa bersalah, kebiasaan, cemas dan depresi.

2. Adiksi Garam (salt addiction)

Garam meningkatkan persepsi cita rasa bagi orang yang

mengkonsumsinya dan sering ditambahkan dalam jumlah yang banyak

dalam makanan. Garam tidak mengandung kalori, jika dikonsumsi

berlebih akan dibuang melalui urin ke luar tubuh. Dalam individu yang

sehat, konsumsi garam ini disertai dengan mengkonsumsi air dan

bersama sama dikeluarkan oleh ginjal melalui urine dengan mekanisme

deuretiknya. Oleh karena konsumsi garam sering disertai dengan

mengkonsumsi air, maka yang menjadi masalah kesehatan adalah

mengkonsumsi minuman yang mengandung kalori tinggi yang buruk bagi

kesehatan.

Page 23: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

19

Pada studi tikus menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi

antara asupan gula dan sistem reward pada otak tidak selalu terjadi

sedangkan pada manusia belum ada penelitiannya.

3. Adiksi lemak (fat addiction)

Mejaga fungsi normal dari badan memerlukan asupan lemak yang

adekuat dan secara umum disarankan untuk mengkonsumsi 20-35%

lemak. Lemak merupakan salah satu makanan yang gurih yang diterima

oleh sel saraf sensorik yang ada di mulut, sel olfaktorius pada hidung, sel

di saluran cerna hormon pada tubuh dan CNS. Persepsi gurih pada lemak

ini yang menyebabkan timbulnya adiksi pada lemak. Percobaan pada

tikus menunjukkan bahwa tikus yang diberikan makanan yang

mengandung lemak tinggi mengalami penurunan sensitifitas stres dan

terjadi gejala putus zat yang akut saat dilakukan penurunan jumlah lemak

yang diberikan. Secara neurokimia dalam otak, terjadi proses yang sama

seperti mengkonsumsi gula, dimana terjadinya pengeluaran dopamin pada

nukleus akumben yang memberikan rasa senang. Secara untuk, adiksi

lemak ini berbeda dengan adiksi gula, dimana konsumsi lemat yang

tinggi memicu untuk terjadinya peningkatan berat badan dan peningkatan

jumlah sel adiposit dalam tubuh.

2.6 Skrining Food Addiction

Studi empiris dari food addiction ini adalah relatif baru, karena sedikit

instrumen psikometri yang valid yang bisa digunakan untuk menegakkan food

Page 24: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

20

addiction ini. Skala pengukuran food addiction yang paling sering digunakan saat

ini adalah Yale Food Addiction Scale (YFAS). Alat ukur ini dikembangkan pada

tahun 2009 dengan model kriteria dari DSM IV-TR (APA, 2000) mirip dengan

gangguan ketergantugan zat yang memiliki gejala yang sama dengan food

addiction. Validasi dari YFAS ini memiliki = 0,86.

Adapun gejala yang diukur pada YFAS ini adalah sebagai berikut :

1. Jumlah makanan yang dikonsumsi semakin bertambah banyak dan dalam

waktu yang lama.

2. Keinginan yang persisten dan berulang disertai tidak mampu untuk

memberhentikannya.

3. Perlu banyak waktu untuk makan.

4. Berkurangnya aktivitas sosial, pekerjaan, rekreasi yang biasa dilakukan.

5. Adanya kebiasaan makan yang menetap walaupun mengetahui efek

buruknya.

6. Adanya toleransi yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah

yang dikonsumsi dan efek yang dirasakannya semakin menurun.

7. Adanya gejala putus zat jika tidak mengkonsumsi makanan tersebut.

8. Mengakibatkan gangguan secara klinis yang bermakna atau distress.

Kuisioner YFAS terdiri dari 25 item self report yang mengukur gejala

food addiction seperti adanya toleransi, putus zat dan ketidak bisa dalam kontrol

diri terhadap makanan. Didalamnya dua tambahan item yang mengukur gangguan

klinis atau distress dari kebiasaan makan ini. Partisipan yang memiliki 3 gejala

atau lebih dan mengalami gangguan fungsi secara klinis atau distress sesuai

Page 25: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

21

dengan ketergantungan zat pada kriteria DSM IV-TR maka ditegakkan sebagai

diagnosis food addiction (MIDSS, 2016).

2.7 Penatalakanaan Food Addiction

Konsekuensi yang paling berat food addiction ini adalah obesitas yang

akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit krdiovaskular dan diabete militus

tipe 2. Efek penyakit yang ditimbulkan ini akan berdampak psikologis, sosial dan

ekonomi bagi keluarga. Banyak uang diinvestasikan untuk mengadakan

penelitian-penelitian baru mencari penanganan food addiction ini. Penanganan

food addiction ini difokuskan dalam hal masalah peningkatan berat badan, dimana

para ahli telah merumuskan beberapa acuan seperti :

1. Tetap makan untuk kebutuhan hidup

Penanganan pertama untuk mengatasi food addiction adalah dengan

pendekatan tetap makan, dimana hal yang sangat berbeda dengan

penanganan adiksi pada alkohol atau obat yang memerlukan abstinensia

terhadap zat tersebut. Para peneliti memperkirakan craving dan

ketidakmampuan mengontrol diri terhadap makanan akan muncul jika

makanan yang inginkan itu tersedia di hadapannya. Sebaiknya hindari

makanan yang menjadi trigger food addiction ini dan mengganti dengan

makanan lainnya.

2. Makan jika merasa lapar

Ada suatu ukuran yang sering digunakan oleh ahli gizi untuk menentukan

derajat rasa lapar. Ukuran itu disebut dengan skala hunger yang terdiri

Page 26: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

22

dari 10 derajat rasa lapar. Kesepuluh derajat tersebut akan dijelaskan

dalam table dibawah ini :

Tabel 1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center

for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016).

Skala Keterangan

1 Melampaui lapar, gejala sakit kepala, tidak dapat

berkonsentrasi dan sempoyongan, masalah dalam koordinasi.

2 Tidak dapat mentoleransi apapun, sangat iritabel dan lapar

dengan energi yang sedikit, mual, merasa sangat lapar

3 Keinginan kuat untuk makan, merasa perut kosong,

koordinasi mulai melemah

4 Mulai berpikir untuk makan, badan memberikan sinyal untuk

makan, sedikit merasa lapar

5 Merasa belum cukup kenyang dan memikirkan untuk makan

yang lainnya.

6 Merasa cukup kenyang

7 Merasa lebih dari kenyang, masih dapat masuk makanan lagi

sedikit namun badan sudah kenyang, tetapi dalam pikiran

masih bisa makan

8 Merasa sangat kenyang, mulai terasa sakit pada perut, namun

aroma yang tercium masih ingin makan

9 Merasa tidak nyaman karena terlalu kenyang, tetap fokus ke

makanan dan lebih nyaman beristirahat, mengurangi aktifitas

sosial

10 Melampaui kenyang, tidak mampu bergerak dari tempak

duduk dan merasa tidak ingin mencari makanan lagi

Tujuan pengobatan food addiction ini adalah makan jika merasa

lapar, dengan skala antara 2-3 dan berhenti makan jika sudah mencapai

skala 5-6. Berikut adalah gambar skala hunger yang digunakan untuk

mengukur derajat kelaparan seseorang.

Page 27: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

23

Gambar 3 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center

for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016).

3. Menghindari stress dan mengontrol emosi

Orang stress mengkonsumsi makanan lebih banyak dibandingkan orang

normal, karena makanan ini dapat mengurangi rasa cemas dan depresi.

Para ahli menyarankan untuk mengatasi food addiction ini, agar

mengindari stress emosional untuk mencegah peningkatan nafsu makan

ini dan diperlukan strategi yang lebih sehat untuk mengatasi perasaan

sedih, cemas, marah dan sebagainya.

4. Latihan fisik yang rutin

Rasa senang tidak hanya diperoleh dari mengkonsumsi cokelat, pizza,

burger, tetapi juga dapat diperoleh dengan berolah raga. Pada studi

binatang diketahui bahwa olah raga dapat meningkatkan reseptor

dopamin di otak.

5. Psikoterapi

Secara umum psikoterapi singkat (brief intervention) digunakan untuk

orang yang mengalami adiksi berat dengan pengobatan minimal 3 bulan.

CBT juga dapat digunakan untuk menatasi pikiran yang salah dengan

kebiasaan makan. Family therapy juga dapat dilakukan untuk mendapat

dukungan dan peringatan dari keluarga jika pasien mengkonsumsi

banyak makan. Psikoterapi grup juga da[at dilakukan dengan dipimpin

Page 28: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

24

oleh pelatih yang sudah ditraining dalam sekelompok grup yang

mengalami food addiction (Sadock & sadock, 2015).

6. Farmakoterapi

Para peneliti mulai mengembangkan obat-obatan baru untuk mengatasi

food addiction ini. Obat baru yang diperkirakan dapat membantu adalah

rimonabant, tetapi masih dilakukan penelitian hanya baru sampai ditahap

hewan. (Dimitrijevic et al, 2014). Obat rimonabant ini memiliki nama

dagang acomplia, zimulti yang bekerja sebagai anorectic antiobesity

drug karena antagonis reseptor u-opioid. Efek utama dari obat ini adalah

berkurangnya rasa lapar, namun karena efek samping pada manusia yang

serius maka ditarik dari peredaran khususnya di Amerika, tetapi obat ini

masih disetujui untuk di Eropa (wikepedia, 2016).

Page 29: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

25

BAB III

RINGKASAN

Food addiction (FA) sebagai adaptasi yang spesifik kepada satu atau lebih

mengkonsumsi makanan dengan gejala yang sama pada proses adiksi zat lainnya

yaitu adanya toleransi, withdrawl, dan ketidakmampuan untuk mengontrol diri

dari makanan palatable.

Food addiction sangat banyak ditemukan pada orang obesitas, dimana saat

ini obesitas adalah masalah besar bagi WHO yang berisiko tinggi akan menjadi

penyakit kardiovaskular dan diabetes militus tipe-2 yang berdampak buruk

penurunan kualitas kehidupan manusia.

Yale Food addiction Scale (YFAS) saat ini sebagai kuisioner yang valid

untuk mengetahui adanya food addiction yang dikembangkan sejak tahun 2009 di

Amerika oleh Gearhardt et al yang digunakan diberbagai negara di seluruh dunia.

Dekade belakangan ini terus dilakukan penelitian untuk mengetahui peran

food addiction dengan kejadian obesitas dan bagaimana penangannya.

Penanganan food addiction yang dapat dilakukan adalah tetap makan untuk

kebutuhan kehidupan, mengkonsumsi makanan jika merasa lapar, menghindari

stress dan mengontrol emosi, berolahraga rutin serta psikoterapi dan

farmakoterapi menggunakan obat antiobesitas seperti rimonabant.

Page 30: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

26

DAFTAR PUSTAKA

Dimitrijevic, I., Popovic, N., Sabljak, N., Trifunovic, V., Dimitrijep, N. 2014.

Food addiction-diagnosis and treatment. Psychiatria Danubina Journal Vol

27, No 1. Pp 101-106.

Hunger Scale. Available at www.http://medical.mit.edu/sites/default/files/

hunger_scales.pdf. (diakses pada tanggal 7 Juli 2016).

Lerma-Carebra, J.M., Carvajal, F., Lopez-Legarrea, P. 2016. Food Addiction as a

new pice of obesity framework. Nutrician Journal. DOI 10.1186/s12937-

016-0124-6

MIDSS. 2016. Yale Food Addiction Scale (YFAS). Available at

www.midss.org/content/yale-food-addiction-scale-yfas. (diakses pada

tanggal 7 Juli 2016).

Morton G., Meek T., Schwartz M. 2014. Neurobiology of Food Intake in health

and disesase. Nat Rev Neurosci. 2014 June : 15(6): 367-

378.doi:10.1038.doi:10.1038/nrn3745.

Rimonabant. Available at www.http://en.m.wikipedia.org/wiki/rimonabant.

(diakses pada tanggal 7 Juli 2016).

Sadock B.J. & Sadock V.A. 2015. Synopsis of Psychiatry. Edisi 11. Wolters

Kluwer. Philadephia, USA. Hal 832.

Schulte, E.M., Avena, N.M., Gearhardt, A.N. 2015. Which Food May Be

Addicttive? The Roles of Processing, Fat content, and Glycemic Load.

Research article Plos One 10(2): e0117959.doi:10.1371/jounal.

Schulte, E.M., Tuttle, H.M., Gearhardt, A.N. 2016. Belief in food addiction and

obesity-related policy support. Plos One 11(1): e0147557.doi:10.1371/

journal.pone.0147557.

Stahl, S. M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis

and Practical Application fourth edition. Obsessive and compulsive

disorder. New York. Cambrige Medicine Press.

Page 31: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

27

Ziaudeen H., Alonso M., Hill J., Kelley M., Khan N. 2015. Obesity anda the

Neurocognitive Basis 0f Food and the Control of Intake. American Society

for nutrision. Adv Nutr 2015;6;474-84;doi:10.3945/an.115.008268.

Page 32: FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR …

28