Upload
dinhmien
View
334
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
FORMULASI DAN UJI STABILITAS MINUMAN
FUNGSIONAL BERBAHAN DASAR LINTAH LAUT
(DISCODORIS SP.)
ASRI SILVANA NAIU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Formulasi dan Uji Stabilitas
Minuman Fungsional Berbahan Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.) adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2010
Asri Silvana Naiu
NRP C351080031
ABSTRACT
Asri Silvana Naiu. Stability Testing and Formulation of Functional Beverages
based sea slug (Discodoris sp.). Under direction of Tati Nurhayati dan
Nurjanah.
Since long time ago people who live in some seaboards of Indonesia
have been exploiting of fresh sea slugs (Discodoris sp.) which provide health
benefits for human body. For the purpose, we conducted research about
antioxidant activity and formulation on functional foods formulas based sea
slugs. At this research, we made six kinds of formula with composition of sea
slugs as treatment. We added ginger and citric acid as aroma and taste
neutralizers for the sea slugs. They were applied in the same number for all
formulas. Dry sea slug powder, dry ginger powder, and citric acid were
formulated in a teabag, then the antioxidant activity was tested by applying of
DPPH method. Observation based on the temperature and volume of water,
and infusing time. The result showed that Formula 3 which contained of 0,24
grams dry sea slug powder that was infused over 20 minutes in 70 ml water of
hot water 90 oC had highest antioxidant activity by 46,16%. There was a
synergistic effect of antioxidant to Formula 3. Based on the product stability
testing by chemical and microbiology measurements showed that the product
had shelf-life by 33 days in 20oC storage condition.
Key words: Discodoris sp., antioxidant, formulation, stability
RINGKASAN
Asri Silvana Naiu. Formulasi dan Uji Stabilitas Minuman Fungsional Berbahan
Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.). Dibimbing oleh Tati Nurhayati dan
Nurjanah.
Lintah laut (Discodoris sp.) secara empiris telah dimanfaatkan sebagian
orang di pesisir Indonesia untuk menambah stamina dan vitalitas tubuh.
Pemanfaatan lintah laut untuk menjadi pangan fungsional yang dapat
dikonsumsi secara luas oleh masyarakat masih terbentur pada letak geografis
dan cara penyajian. Meskipun serbuk kasar serta ekstrak polar yang bersifat
antikolesterolemia dan antioksidan telah dipelajari sebelumnya, namun perlu
dilakukan penelitian mengenai formulasi dan uji stabilitas produk untuk
memperoleh manfaat dari pangan fungsional berbasis lintah laut. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan kondisi penyajian minuman fungsional terbaik
untuk mendapatkan aktivitas antioksidan tertinggi, membuktikan pengaruh
pencampuran bahan-bahan baku terhadap dampak sinergis antioksidan pada
minuman fungsional, dan menentukan formula minuman terbaik yang memiliki
masa simpan maksimum melalui pengujian stabilitas produk berdasarkan waktu
penyimpanan. Hipotesis penelitian ini adalah kondisi penyajian berpengaruh
terhadap aktivitas antioksidan minuman fungsional, konsentrasi dan kombinasi
bahan campuran berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan formula minuman,
dan masa simpan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia produk minuman
fungsional
Penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan contoh,
tahap formulasi pangan fungsional, dan tahap uji stabilitas produk. Analisis
yang dilakukan meliputi analisis proksimat, analisis organoleptik, dan analisis
aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH. Uji stabilitas dilakukan
pada formula terpilih meliputi uji aktivitas antioksidan, uji total
mikroba/kapang, nilai pH, total asam tertitrasi, dan indeks bias.
Hasil analisis organoleptik menunjukkan bahwa semakin banyak serbuk
lintah laut dalam kemasan kantong maka semakin rendah nilai organoleptiknya.
Produk formula 1, 2, dan 3 dengan konsentrasi serbuk kering masing-masing
0,19 g, 0,21 g, dan 0,24 g memiliki nilai organoleptik tertinggi di antara enam
formula yang dibuat.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata nilai aktivitas
antioksidan tertinggi diperoleh pada formula 3 dengan konsentrasi lintah laut
sebanyak 0,24 gram. Formula 3 memberikan hasil terbaik dengan rata-rata
persentasi penghambatan radikal bebas DPPH sebesar 46,16% pada kondisi
volume air celup 70 ml yang bersuhu 90 oC selama 20 menit. Kombinasi
antara bahan-bahan dalam formula memberikan dampak sinergis pada aktivitas
antioksidan formula 3.
Hasil uji stabilitas pada produk formula 3 menunjukkan bahwa
perubahan aktivitas antioksidan memperlihatkan kecenderungan yang sama,
yaitu semakin lama waktu penyimpanan, semakin berkurang aktivitas
antioksidannya. Produk memiliki masa simpan hingga 112,24 hari jika
disimpan pada suhu 20 oC. Berdasarkan pengujian mikrobiologi TPC, masa
simpan produk pada penyimpanan suhu ruang (30 °C) adalah 24 hari dan pada
suhu 20 oC adalah 33,33 hari, sedangkan berdasarkan pengujian total kapang,
maka umur simpan produk pada suhu 30 oC yaitu selama 127 hari. Hasil
pengamatan terhadap nilai pH menunjukkan bahwa masa simpan pada suhu
30 oC adalah 59 hari. Berdasarkan pengujian total asam tertitrasi selama
penyimpanan menunjukkan bahwa konsentrasi TAT tertinggi sebesar 9,216 ml
N NaOH/100 ml, di bawah standar yang ditetapkan, yaitu 122,5 ml N
NaOH/100 ml. Pengamatan terhadap indeks bias menunjukkan rata-rata nilai
yang setara dengan nilai indeks bias air, yaitu 1,333. Perubahan yang tidak
signifikan pada nilai indeks bias, menjadikan produk tidak dapat diduga umur
simpannya berdasarkan nilai tersebut.
Berdasarkan pengujian stabilitas, maka produk minuman fungsional
memiliki umur simpan 24 hari pada penyimpanan suhu ruang, dan dapat
bertahan hingga 33 hari jika disimpan pada suhu 20 oC.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
FORMULASI DAN UJI STABILITAS MINUMAN
FUNGSIONAL BERBAHAN DASAR LINTAH LAUT
(DISCODORIS SP.)
ASRI SILVANA NAIU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENELITIAN
Judul Tesis : Formulasi dan Uji Stabilitas Minuman Fungsional Berbahan
Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.)
Nama : Asri Silvana Naiu
NIM : C351080031
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. Dr.Ir. Nurjanah, M.S.
Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Teknologi Hasil Perairan
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi.,M.Si. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:
iii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November2009 hingga Agustus
2010 ini ialah pangan fungsional, dengan judul Formulasi dan Uji Stabilitas
Minuman Fungsional Berbahan Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.).
Penelitian ini didanai oleh Program Hibah Penelitian Unggulan IPB
tahun 2009 atas nama Dr. Ir. Nurjanah, MS.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi.,M.Si
dan Ibu Dr.Ir. Nurjanah, MS sebagai dosen pembimbing I dan II yang telah
memberikan bimbingan, arahan, saran, dan motivasi kepada penulis. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami, anak-anak, dan seluruh
keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dan kesabarannya, serta rekan-rekan
seangkatan di program studi Teknologi Hasil Perairan atas kebersamaan dan
semangatnya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi
yang memerlukan.
Bogor, November 2010
Asri Silvana Naiu
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 17 Agustus 1970 dari ayah
Abd. Kadir Naiu (Alm.) dan ibu Hj. Annie Walalangi sebagai putri keenam dari
tujuh bersaudara.
Setelah tamat dari SMA Negeri I Manado pada tahun 1989, penulis
melanjutkan pendidikannya di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan jurusan
Pengolahan Hasil Perikanan. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program
magister pada program studi Teknologi Hasil Perairan IPB diperoleh pada
tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti).
Selama mengikuti program S2, penulis pernah mengikuti seminar-
seminar mengenai bioteknologi dan pengolahan produk yang diselenggarakan
oleh Balai Besar Riset Bioteknologi dan Pengolahan Produk Kelautan dan
Perikanan, baik sebagai peserta maupun sebagai pemakalah.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar sejak tahun 2005 di Fakultas
Pertanian jurusan Teknologi Perikanan Universitas Negeri Gorontalo, di
Gorontalo.
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ x
1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4 Hipotesis ............................................................................................... 4
1.5 Roadmap Kegiatan Penelitian ............................................................... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.) dan Komponen Bioaktifnya ................... 6
2.2 Antioksidan ........................................................................................... 9
2.3 Tren Pangan Fungsional di Indonesia ................................................. 11
2.4 Karakteristik Bahan-Bahan Campuran ............................................... 13
2.4.1 Jahe (Zingiber officinalle Roscoe) ........................................ 13
2.4.2 Rosella (Hibiscus sabdariffa) ............................................... 14
2.4.3 Asam sitrat ............................................................................ 15
2.5 Uji Stabilitas Minuman Fungsional .................................................... 16
3 METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 19
3.1 Bahan dan Alat .................................................................................... 19
3.2 Prosedur Penelitian ............................................................................ 19
3.2.1 Tahap pengambilan dan preparasi sampel ............................ 19
3.2.2 Tahap formulasi minuman fungsional .................................. 20
3.2.3 Tahap pengujian stabilitas terhadap masa simpan produk ... 21
3.3 Analisis ............................................................................................... 23
3.3.1 Analisis proksimat ................................................................ 23
3.3.2 Analisis aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1959 diacu
dalam Molyneux 2004) ....................................................... 24
3.3.3 Uji Organoleptik (SNI 1996) ................................................ 25
3.3.4 Uji stabilitas .......................................................................... 25
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................ 27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 30
4.1 Komposisi Kimia Bahan-Bahan Baku ................................................ 30
vi
4.1.1 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.) ....................... 30
4.1.2 Komposisi kimia jahe (Zingiber officinale) ......................... 31
4.1.3 Komposisi kimia rosella (Hibiscus sabdariffa) .................... 32
4.2 Aktivitas Antioksidan Bahan-Bahan Baku ......................................... 33
4.2.1 Aktivitas antioksidan Discodoris sp ..................................... 33
4.2.2 Aktivitas antioksidan jahe (Zingiber officinale Rosc) .......... 35
4.2.3 Aktivitas antioksidan rosella (Hibiscus sabdariffa) ............. 36
4.3 Formulasi Awal Minuman Fungsional ............................................... 38
4.3.1 Analisis organoleptik ............................................................ 38
4.3.2 Aktivitas antioksidan produk formula awal ......................... 40
4.4 Reformulasi Minuman Fungsional ..................................................... 42
4.4.1 Analisis organoleptik ............................................................ 42
4.4.2 Aktivitas antioksidan produk minuman reformula ............... 47
4.4.3 Pengaruh sinergisme antioksidan pada formula minuman
fungsional ............................................................................ 53
4.5 Pengujian Stabilitas Produk ................................................................ 60
4.5.1 Aktivitas antioksidan ............................................................ 60
4.5.2 Nilai pH ................................................................................ 63
4.5.3 Total Plate Count dan Kapang .............................................. 65
4.5.4 Total asam tertitrasi (TAT) ................................................... 69
4.5.5 Indeks bias ............................................................................ 71
5 SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 73
5.1 Simpulan ............................................................................................. 73
5.2 Saran ................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 75
LAMPIRAN ....................................................................................................... 83
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan jumlah produk suplemen makanan di Indonesia tahun
1990-2000 ................................................................................................. 12
2 Formulasi awal produk dalam satu kantong teh celup ............................. 20
3 Reformulasi produk berdasarkan hasil uji sinergis antioksidan dan
organoleptik .............................................................................................. 21
4 Model perlakuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan ....................... 28
5 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.) ........................................... 30
6 Komposisi kimia jahe merah berdasarkan berat kering ........................... 31
7 Komposisi kimia kelopak bunga rosella kering ....................................... 32
8 Hasil analisis organoleptik pada formulasi awal ...................................... 39
9 Hasil analisis organoleptik produk reformulasi ........................................ 43
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Road map penelitian ................................................................................... 5
2 Lintah laut (Discodoris sp.). ....................................................................... 7
3 Bagan alir penelitian. ................................................................................ 22
4 Aktivitas antioksidan serbuk kering Discodoris sp. ................................. 33
5 Aktivitas antioksidan serbuk kering jahe (Z. officinale Rosc.). ............... 35
6 Aktivitas antioksidan serbuk kering rosella (H. sabdariffa). ................... 37
7 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi. ....... 37
8 Kenampakan minuman fungsional lintah laut yang diformulasi
dengan jahe dan rosella. ........................................................................... 40
9 Hasil pengujian aktivitas antioksidan formula awal 1 (lintah laut
0,18 g, jahe 0,62 g, rosella 0,85 g) ........................................................... 41
10 Hasil pengujian aktivitas antioksidan formula awal 2 (lintah laut
0,198 g, jahe 0,62 g, rosella 0,85 g). ........................................................ 41
11 Hasil uji kesukaan panelis terhadap kenampakan. ................................... 44
12 Hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma. ............................................. 45
13 Hasil uji kesukaan panelis terhadap rasa. ................................................. 46
14 Total nilai organoleptik dari semua formula minuman fungsional
berbahan dasar lintah laut (Discodoris sp.). ............................................. 47
15 Aktivitas antioksidan Formula 1 pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda. ................................................................ 48
16 Aktivitas antioksidan Formula 2 pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda. ................................................................ 49
17 Aktivitas antioksidan Formula 3 pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda. ................................................................ 50
18 Aktivitas antioksidan formula-formula minuman fungsional. ................. 51
19 Aktivitas antioksidan jahe (0,25 g) pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda. ................................................................ 53
20 Aktivitas antioksidan asam sitrat (0,02 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda. .................................................. 54
21 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,19 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda. .................................................. 55
22 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,21 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda. .................................................. 56
ix
23 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,24 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda. .................................................. 57
24 Perubahan aktivitas antioksidan selama penyimpanan suhu ruang
(30 oC), suhu 35
oC, dan suhu 45
oC. ....................................................... 60
25 Hubungan antara suhu dan laju penurunan aktivitas antioksidan. ........... 61
26 Perubahan nilai pH produk formula 3 selama penyimpanan ................... 63
27 Hubungan laju peningkatan nilai pH (ln) dengan suhu penyimpanan. .... 64
28 Peningkatan sel mikroba (TPC) selama penyimpanan pada suhu
ruang, 35 oC, dan 45
oC. ........................................................................... 66
29 Perubahan jumlah kapang selama penyimpanan pada suhu ruang,
suhu 35 oC, dan suhu 45
oC. ..................................................................... 68
30 Penurunan total asam tertitrasi selama penyimpanan pada suhu
ruang, 35 o
C, dan 45 oC. ............................................................................ 69
31 Hubungan laju penurunan total asam tertitrasi (ln) dengan suhu
penyimpanan. ........................................................................................... 70
32 Nilai indeks bias air celupan produk formula 3 selama penyimpanan. .... 71
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Score Sheet Uji Hedonik ............................................................................. 84
2 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan formula 1 .. 85
3 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan formula 2 .. 86
4 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan formula 3 . 87
5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut antar perlakuan dan formula ....... 88
6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan jahe ........... 89
7 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan asam sitrat . 90
8 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah laut
(0,19 g) ........................................................................................................ 91
9 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah laut
(0,21 g). ....................................................................................................... 92
10 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah laut
(0,24 g) ........................................................................................................ 93
11 Persamaan regresi linier pada tiga suhu penyimpanan ............................... 94
12 Aplikasi data hasil regresi pada model Arrhenius ...................................... 95
13 Perhitungan masa simpan mengikuti reaksi ordo 0 .................................... 96
14 Perhitungan masa simpan menggunakan konsep Q10 ................................. 97
15 Data pengamatan jumlah TPC dan kapang selama penyimpanan .............. 98
16 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (TPC) selama
penyimpanan ............................................................................................... 99
17 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (kapang) selama
penyimpanan ............................................................................................. 101
18 Data pengamatan nilai pH selama penyimpanan pada suhu ruang
(30 oC), suhu 35
oC, dan 45
oC. ................................................................ 102
19 Data nilai rata-rata total asam tertitrasi selama penyimpanan yang
dinyatakan dalam ml N NaOH/100 ml ..................................................... 103
20 Data nilai rata-rata indeks bias produk formula 3 selama penyimpanan
yang dinyatakan dalam oBrix. ................................................................... 104
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usaha memperoleh komponen aktif dari suatu organisme untuk
mengatasi penyakit telah dimulai sejak tahun 1970 dan mengalami kemajuan
yang pesat lebih dari tiga dasawarsa ini. Banyak komponen alami dari laut
yang telah diisolasi dan dibuat obat untuk mengatasi infeksi jamur, TBC,
infeksi cacing, malaria, bakteri, virus, nyeri, kanker dan peradangan. Namun
komponen-komponen alami tersebut dalam uji klinis masih sangat terbatas
sementara potensi penggalian obat dari laut masih sangat diharapkan. Beberapa
komponen alami dari laut dan telah diisolasi, misalnya Briostatin dari bryozoan
Bugula neritim yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap sel-sel kanker;
Discodermolida, yaitu agen antitumor yang diisolasi dari spons Discodermia
spp.; Ecteinascidian-743 yang merupakan turunan alkaloid tetrahidrosoquinon
dari tunicata Esteinascidia turbinata untuk mengatasi sarkoma (tumor) pada
jaringan halus; Astaxantin, yaitu agen antioksidan yang kuat dari Alga laut dan
krustasea sebagai agen kemopreventif (Anonim 2009), Ara-C, yaitu agen
antikanker yang diisolasi dari spons Cryptotethia crypta; Ziconotide yang
merupakan turunan peptida dari moluska Conus magus sebagai obat analgesik
(Wojnar 2008), dan seskuiterpenoid dari lintah laut jenis Dysidea yang
mempunyai aktivitas antibakteri dan antifungi (Ciavatta et al. 2007).
Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan gastropoda laut yang tidak
bercangkang dan biasanya berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik
putih dan garis pada bagian atas badannya. Lintah laut tersebar ke seluruh
penjuru dunia dengan jumlah terbesar dengan berbagai macam jenis ditemukan
di perairan tropis. Lintah laut merangkak sepanjang dasar atau melekat pada
permukaan tanaman, pada batu-batuan berlumpur atau berpasir biasanya dalam
air pada daerah pasang surut yang rendah, bergerak lambat, dan menghasilkan
lendir untuk mencegah kekeringan (Rumpho et al. 2000).
Hasil penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa lintah laut
mengandung steroid yang bersifat anabolik dan androgenik. Witjaksono (2005)
melaporkan bahwa fraksi nonpolar dan minyak yang terdapat pada daging
2
lintah laut mengandung senyawa fenol, sterol, asam lemak tidak jenuh
majemuk dan asam lemak jenuh. Nurjanah (2010) menyatakan bahwa aktivitas
antioksidan lintah laut pada penelitian pendahuluan sebesar 86% dan penelitian
lanjutan memperoleh aktivitas antioksidan sebesar 69,04-92,96% dengan
rendemen 4,3-5,9%. Berdasarkan hasil ekstraksi dalam penelitian yang
dilakukan oleh Andriyanti (2009), diketahui bahwa fraksi polar dari lintah laut
mengandung senyawa-senyawa kimia protein, karbohidrat dan gula pereduksi.
Selain itu juga mengandung komponen-komponen bioaktif, seperti alkaloid dan
flavonoid yang terdeteksi cukup kuat serta fenol hidrokuinon yang terdeteksi
pada ekstrak akuabides. Cavas et al. (2005) menunjukkan bahwa Oxynoe
olivacea dan Lobiger serradifalci dari kelas gastropoda lain, memiliki
aktivitas enzim antioksidan, yaitu superoxide dismutase (SOD), katalase
(CAT), dan glutatione peroxidase (GSH-Px). Ibrahim (2001) menyatakan
bahwa sebagian besar masyarakat Bajo di Buton telah memanfaatkan lintah laut
ini sebagai bahan aprodisiaka dan untuk menjaga stamina tubuh nelayan.
Penelitian yang memanfaatkan lintah laut sebagai basis dalam formulasi
minuman fungsional belum pernah dilakukan, baru sampai pada tahap uji
khasiat yang dilakukan oleh Nurjanah (2010). Penelitian ini diharapkan dapat
melanjutkan mata rantai penelitian yang telah dilakukan khususnya untuk
mendapatkan formulasi minuman berbasis antioksidan dari lintah laut yang
selain memiliki sifat fungsional juga memiliki mutu organoleptik yang dapat
diterima.
Pengembangan formulasi minuman menjadi penting untuk keperluan
pabrikasi sehingga dapat menghasilkan pangan fungsional yang bisa diterima
oleh masyarakat dari segi sensorinya. Pencampuran rempah-rempah dalam
formulasi minuman dapat dilakukan selain untuk memperoleh suatu kombinasi
antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi, juga dapat memberikan rasa
dengan nilai sensori yang lebih tinggi pula. Jahe dan bunga rosella merupakan
salah satu rempah dan tumbuhan yang dapat ditambahkan dalam formulasi
minuman. Selain dapat menghilangkan rasa anyir dari lintah laut, keduanya
telah terbukti memiliki sifat fungsional lainnya yang salah satunya adalah
memiliki aktivitas antioksidan. Namun, sebelum dibuat formulasi perlu
3
dilakukan pengujian untuk melihat pengaruh antioksidan dalam masing-masing
bahan bila dicampur, besifat sinergis atau antagonis.
1.2 Perumusan Masalah
Pemanfaatan lintah laut segar di beberapa daerah pesisir di Indonesia
sebagai bahan aprodisiaka yang berkhasiat bagi tubuh sudah dilakukan sejak
lama. Bagi sebagian besar masyarakat tidaklah mudah untuk menerima lintah
laut sebagai makanan sehari-hari karena dapat menimbulkan rasa jijik saat
mengkonsumsinya dalam bentuk segar. Zat aktif yang terdapat dalam lintah
laut melalui beberapa penelitian sebelumnya terdeteksi mengandung aktivitas
antioksidan yang jika dikonsumsi dapat berpengaruh baik pada tubuh, karena
dapat menangkal radikal-radikal bebas. Radikal bebas yang terdapat dalam
tubuh dapat memicu terjadinya berbagai penyakit, seperti tumor, kanker,
peningkatan kadar kolesterol dalam darah dan penyakit jantung.
Untuk memberikan kepraktisan dalam mengonsumsi lintah laut, maka
perlu dibuat suatu jenis sediaan dalam bentuk minuman fungsional. Serbuk
kering lintah laut, jahe, rosella, dan atau pemberi rasa asam lainnya dicampur
dalam suatu formulasi kemudian dikemas menyerupai teh celup. Penggunaan
bahan-bahan campuran tersebut diduga dapat mempengaruhi nilai sensoris dan
kestabilan antioksidan dalam minuman fungsional yang akan dibuat. Oleh
karena itu perlu dicari suatu formulasi gabungan yang tepat untuk mendapatkan
suplemen yang memenuhi standar karakteristik pangan fungsional dengan masa
simpan yang lama.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Menentukan kondisi penyajian minuman fungsional terbaik untuk
mendapatkan aktivitas antioksidan tertinggi,
2. Menentukan konsentrasi dan pencampuran bahan-bahan baku terhadap
dampak sinergis antioksidan pada minuman fungsional,
3. Menentukan formula minuman terbaik yang memiliki masa simpan
maksimum melalui pengujian stabilitas produk berdasarkan waktu
penyimpanan.
4
1.4 Hipotesis
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka hipotesisnya adalah sebagai
berikut :
a) Kondisi penyajian berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan minuman
fungsional,
b) Konsentrasi dan kombinasi bahan campuran berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidan formula minuman,
c) Masa simpan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia produk minuman
fungsional.
1.5 Roadmap Kegiatan Penelitian
Penelitian-penelitian mengenai lintah laut sebelumnya telah diteliti baik
menyangkut struktur anatomi dan fisiologisnya maupun komponen bioaktif
yang terkandung di dalamnya. Roadmap kegiatan penelitian khususnya
terhadap lintah laut Discodoris sp. dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Sampel lintah laut (Discodoris sp.)
Bubuk kering
uji aktivitas antioksidan uji proksimat
DPPH dan NBT
Formulasi minuman fungsional
(dengan jahe dan rosella)
uji stabilitas selama masa simpan uji organoleptik
*aktivitas antioksidan
*uji kimia
*uji mikrobiologi Produk minuman fungsional
Gambar 1 Road map penelitian
Ekstrak minyak
T LC
Steroid
Uji pada ayam
Ibrahim 2001
Bubuk Kering
Ekstrak fraksi polar
Fitokimia uji aktivitas
antioksidan (DPPH)
Andriyanti 2009
Uji proksimat
Minyak ekstrak kering
kloroform
TLC
GC
Witjaksono 2005
Tepung kering
Ekstrak metanol - Uji khasiat antikolesterol
dan anti aterogenik
- Uji efek toksikopatologis
TLC
Uji aktivitas anti- Fraksinasi
Oksidan (NBT) Uji aktivitas antioksidan
Isolasi kolom
Nurjanah 2003-2009
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.) dan Komponen Bioaktifnya
Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan spesies yang termasuk dalam
ordo nudibranchia yang dikenal memiliki corak dan warna yang beraneka
ragam. Nudibranch dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki cangkang,
dan termasuk dalam golongan karnivora yang memangsa sponge dan
invertebrata bertubuh lunak. Selain metabolit-metabolit yang diperoleh dari
mangsanya, nudibranch juga menghasilkan sendiri komponen-komponen
tersebut (Grkovic et al. 2005). Racun dalam tubuh mangsanya tidak
membahayakan hewan ini, melainkan dapat digunakan sebagai suatu alat
pertahanan terhadap musuh. Sedikit dari hewan ini menghasilkan sendiri
racunnya, namun lebih banyak berasal dari makanan yang dimakannya. Spesis
yang memakan racun sponge, akan mengubah dan menyimpan komponen racun
tersebut dalam tubuhnya dan mengeluarkannya melalui sel-sel kulit dan
kelenjar saat mereka diserang (Holland 2009).
Klasifikasi lintah laut secara sistematik menurut Rudman (1999) diacu
dalam Witjaksono (2005), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Phylum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Sub kelas : Opistobranchia
Ordo : Nudibranchia
Sub ordo : Doridina
Famili : Dorodidae
Genus : Discodoris sp.
Lintah laut (Discodoris sp.) memiliki ukuran tubuh yang kecil hingga
medium berbentuk bulat panjang. Mulutnya dilengkapi dengan tentakel-
tentakel kecil berbentuk jari (Sachidhanandam et al. 2000). Tubuh Discodoris
sp. berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian
atas badannya dan tanpa dilindungi oleh lapisan pelindung. Biasanya terdapat
di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut kelam
7
lebih dari satu kilometer dalamnya. Hewan ini berkembang baik di perairan
hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling cerobong-cerobong vulkanis
yang menyembur di laut dalam (Holland 2009). Hewan ini hidup dan
menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau berpasir dan
menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian bawahnya
dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya lambat
(Rudman 1999 diacu dalam Witjaksono 2005). Lintah laut (Discodoris sp.)
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2 Lintah laut (Discodoris sp.).
Beberapa komponen bioaktif yang telah diteliti dari lintah laut dari ordo
Nudibranch diantaranya adalah diterpenoid yang berperan sebagai pertahanan
pada saat metabolisme stress (Cavagnin 2003). Jenis Dysidea menghasilkan
seskuiterpenoid yang mempunyai aktivitas antibakteri dan antifungi (Ciavatta et
al. 2007). Uji fitokimia pada ekstrak metanol dari jenis Discodoris
mendapatkan kelompok alkaloid, steroid, asam amino, saponin, dan fenol yang
diduga berperan sebagai antioksidan (Nurjanah et al. 2010). Alkaloid adalah
senyawa alami amina baik pada tanaman, hewan ataupun jamur dan merupakan
produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder. Senyawa ini
berperan dalam sistem saraf pusat dan merupakan komponen pertahanan dalam
tubuh, selain itu juga dapat bersifat sebagai antimalaria (Sirait 2007).
Flavonoid dan beberapa golongan fenol dapat digunakan untuk mengurangi
8
risiko beberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan,
antiinflamasi, detoksifikasi karsinogen, antikolesterol, dan antiproliferasi (Chen
dan Blumberg 2008). Flavonoid juga dapat menghambat secara efektif kerja
beberapa enzim, yaitu xanthin oksidase, siklooksigenase dan lipooksigenasi
(Hoorn et al. 2002) sehingga dapat mengurangi pembentukan radikal
superoksida yang dapat menyebabkan peradangan (Bodamyali et al. 2002)
Spesies lain dari kelompok nudibranch, Elysia chlorotica telah diuji
untuk mendapatkan komponen antikanker yang juga berfungsi sebagai
pertahanan terhadap predator. Beberapa spesies yang memakan hewan ini
mensintesis dan mengakumulasi racun metabolit sekunder yang dihasilkannya
di dalam mucus kemudian mengeluarkannya dalam jumlah yang besar sebagai
pertahanan diri pada saat diserang. Komponen antikanker yang terdeteksi
merupakan depsipeptida siklik yang dinamakan kahalalide F. Metabolit-
metabolit yang bersifat antikanker yang dihasilkan oleh lintah laut
kemungkinan besar memiliki mekanisme pertahanan terhadap predator atau
sebagai anti predator (Rumpho et al. 2000).
Kelompok nudibranch lainnya, Discodoris indecora menunjukkan
kemampuannya berkamuflase yang sempurna terhadap mangsanya, spons
Ircinia variabilis. Bentuk dan warna hewan ini sangat mirip dengan spons yang
tersebar luas diperairan dangkal di Laut Mediterania. Discodoris indecora
menunjukkan sifat mempertahankan diri saat mendapatkan gangguan dengan
mengeluarkan lendir putih yang banyak yang terdiri atas sejumlah besar
palinurin dan variabilin. Kebanyakan hewan dapat memindahkan metabolit-
metabolit spons dari dalam kelenjar pencernaan ke kelenjar mantelnya (Marin
et al. 1997).
Beberapa produk kimia alami telah diteliti dari spesies-spesies
Dendrodoris denisoni, Ceratosoma amoena, Tambja verconis dan T. morose.
D. denisoni dapat mensintesis cinnamolida dan olepupuane (de novo). Genus
Tambja dikenal karena kemampuannya memisahkan alkaloid Tambjamin dari
tubuh mangsanya, bryozoan Bugula dentate. Namun dalam penelitian lebih
lanjut, ditemukan bahwa tidak semua komponen Tambjamin ada pada
bryozoan. Dengan demikian maka kedua spesies dari genus Tambja di atas
9
tidak hanya dapat memisahkan metabolit sekunder dari mangsanya saja, namun
secara struktural juga dapat memodifikasi komponen-komponen tersebut dan
mengeluarkannya untuk mempertahankan diri dari predator (Grkovic et al.
2005).
Nurjanah (2010) dalam penelitiannya dapat membuktikan bahwa uji
khasiat serbuk kering Discodoris sp. yang telah dilakukan pada kelinci New
Zealand White selama 12 minggu sebanyak 4% dari pakan dapat menurunkan
kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, dan meningkatkan HDL, sehingga
lintah laut ini juga berpotensi selain sebagai antioksidan juga sebagai
antikolesterolemia.
2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah semua zat atau senyawa yang dapat mencegah
terjadinya otooksidasi yang biasanya terjadi pada bahan yang mengandung
lemak. Otooksidasi lipida diawali oleh adanya radikal bebas; hidroperoksida
dihasilkan dari otooksidasi yang terurai menghasilkan radikal bebas yang
merupakan awal dari reaksi-reaksi oksidasi selanjutnya. Pada awalnya
konsentrasi radikal bebas sangat kecil dan oksidasi berjalan lambat. Secara
bertahap, konsentrasi hidroperoksida dan produk-produk oksidasi lainnya
meningkat, konsentrasi radikal bebas terbentuk selama peningkatan proses
penguraian sehingga kecepatan oksidasi meningkat secara eksponensial
(Rahman 2007). Lebih jelas lagi disebutkan bahwa antioksidan adalah senyawa
yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan radikal bebas. Antioksidan
juga dapat menghambat dekomposisi hidroperoksida lemak.
Penggunaan senyawa antioksidan berkembang dengan pesat baik untuk
makanan maupun pengobatan. Antioksidan merupakan komponen yang dapat
mencegah dan menghambat oksidasi lipida atau molekul lain melalui
penghambatan awal atau penggandaan reaksi rantai oksidatif (Javanmardi et al.
2003). Sedikitnya ada empat sumber antioksidan yang umum yaitu (1) enzim,
yang terdiri atas superoksida dismutase, glutatione peroksidase, dan katalase;
(2) molekul-molekul besar, yaitu albumin, ceruloplasmin, ferritin; (3) molekul-
molekul kecil, yaitu asam askorbat, glutatione, asam urat, tokoferol, karotenoid,
(poli)fenol; dan (4) beberapa hormon, yaitu estrogen, angiotensin, melatonin,
10
dan sebagainya (Prior et al., 2005). Antioksidan buatan, yaitu butylhydroxy
anisole (BHA), butylhydroxy toluene (BHT) dan butylhydroquinone (BHQ)
telah digunakan secara luas untuk memperlambat oksidasi lipida namun dewasa
ini antioksidan-antioksidan tersebut ditengarai memberikan dampak buruk bagi
kesehatan.
Berbagai sistem antioksidan telah berkembang untuk melindungi radikal
bebas dan mencegah kerusakan struktur biologi yang penting, seperti membran
lipida, protein, dan DNA. Kapasitas antioksidan adalah sebuah konsep yang
digunakan untuk menggambarkan kemampuan keseluruhan jaringan untuk
menghambat proses yang dimediasi oleh radikal bebas dan mengurangi
kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif.
Setiap orbit yang mengelilingi inti atom ditempati oleh sepasang
elektron. Jika satu molekul kehilangan satu buah elektron, maka molekul
menjadi sebuah radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan oleh karenanya
menjadi sangat reaktif. Radikal bebas kemudian bereaksi dengan molekul apa
saja yang ada di sekelilingnya, dan mengubah molekul tersebut menjadi sebuah
radikal bebas yang kemudian dapat mengawali terjadinya reaksi yang lain.
Secara teori, sebuah radikal bebas dapat menyebabkan sejumlah reaksi yang tak
berkesudahan. Reaksi ini dapat dihentikan melalui reaksi radikal bebas dengan
radikal bebas lain yang membentuk ikatan kovalen molekul atau melalui reaksi
antara radikal bebas dengan antioksidan, enzim antioksidan, atau gabungan
keduanya.
Pertahanan antioksidan yang tidak cukup efisien akan meningkatkan
pembentukan radikal bebas dalam tubuh sehingga kemungkinan besar juga
meningkatkan kerusakan yang biasa disebut dengan oxidative stress/ kerusakan
oksidatif. Jika terjadi kerusakan oksidatif yang ringan, maka jaringan tubuh
meresponnya dengan meningkatkan pertahanan antioksidan, namun jika
kerusakan oksidatifnya berat maka dapat menyebabkan kerusakan sel dan
kematian sel. Fakta yang berkembang menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif
terlibat dalam perkembangan berbagai macam penyakit, yaitu jantung koroner,
kanker, Parkinson dan kelainan neurodegenerative lainnya, radang perut, dan
penyakit paru-paru (Mason 2007).
11
2.3 Tren Pangan Fungsional di Indonesia
Pengembangan pangan fungsional di Indonesia berawal dari pangan
tradisional yang dianggap dan diyakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan
dan terapi penyakit. Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu dengan citarasa khas yang diterima
oleh masyarakat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini
khasiat aneka pangan tradisional, seperti tempe, bawang putih, madu, kunyit,
jahe, kencur, temulawak, asam jawa, sambiloto, daun herbal, daun teh, daun
beluntas, cincau dan aneka herbal lainnya. Jamu sebagai racikan aneka herbal
berkhasiat sangat popular di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa (Ardiansyah
2005).
Saat ini pasar pangan fungsional di Indonesia lebih banyak ditujukan
kepada anak-anak, pria dan wanita usia muda. Asam lemak esensial, seperti
omega 3 dan omega 6 serta kalsium menjadi komponen pangan fungsional
utama yang dipromosikan pada produk-produk pangan fungsional yang
ditujukan kepada anak-anak sebagai target konsumen. Produk pangan
fungsional untuk kalangan dewasa lebih difokuskan sebagai produk pangan
untuk meningkatkan stamina dengan penambahan komponen, seperti zat besi,
kalsium dan komponen bioaktif lain dari ginseng, jahe, dan yohimbi
(Hardinsyah 2004).
Sejalan dengan perkembangan pangan fungsional di Indonesia maka
pemerintah melalui Badan POM telah membuat suatu regulasi pangan
fungsional. Definisi pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang
berdasarkan kajian-kajian ilmuan dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan serta dikonsumsi sebagaimana
layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa
penampakan, warna, tekstur, dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen,
tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah
penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Meskipun
mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak
12
berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (BPOM
2005).
Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi makanan sebagai
sumber zat gizi serta untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di
negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun
1997, konsumen Amerika Serikat (AS) membelanjakan US$ 12,70 miliar untuk
suplemen pangan dan angka tersebut meningkat 13%/tahun (Aarts 1998 diacu
dalam Witwer 1999). Di Indonesia, kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan
oleh industri farmasi dan makanan untuk mempromosikan produk-produknya
melalui pencantuman klaim kesehatan pada label produk maupun iklannya.
Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen makanan meningkat cukup
pesat dalam dasawarsa terakhir, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun
yang diimpor, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan jumlah produk suplemen makanan di Indonesia tahun
1990-2000
Tahun Produksi Produk impor Total (jenis)
dalam negeri
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
8
15
23
75
114
55
86
152
102
90
117
28
84
129
190
397
155
410
579
246
72
109
36
99
152
265
511
210
496
731
348
162
226
Total 837 2.399 3.236
Sumber: Badan POM diacu Sampoerno dan Fardiaz (2001)
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat
berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi
obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih bersifat
pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan fungsional telah beredar
di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional (yoghurt, kefir dan
13
coumiss) sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung
serat larut. Demikian juga dengan produk yang mengandung ekstrak serat yang
bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas.
Jenis minuman, telah tersedia berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan
tubuh yang mengandung komponen aktif rempah-rempah, seperti kunyit asam,
minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat, dan bandrek.
Kelompok senyawa yang dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu
di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi
dasar (karbohidrat, protein dan lemak) yang terkandung dalam pangan yang
bersangkutan, yaitu : (1) serat pangan (dietary fiber), (2) oligosakarida, (3) gula
alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (Polyunsaturated fatty acid
= PUFA), (5) peptida dan protein tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7)
polifenol dan isoflavon, (8) Kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10)
phytosterol, serta (11) vitamin dan mineral tertentu.
2.4 Karakteristik Bahan-Bahan Campuran
Formulasi minuman fungsional berbahan dasar lintah laut (Discodoris
sp.) dilakukan dengan menambah bahan-bahan lain, yang selain dapat
meningkatkan citarasa juga dapat berfungsi sebagai penambah kesehatan.
Bahan-bahan yang dicampur dalam formulasi minuman fungsional ini adalah
jahe dan kelopak bunga rosella.
2.4.1 Jahe (Zingiber officinalle Roscoe)
Jahe merupakan tanaman rumput-rumputan yang hidup merumpun,
berbatang semu, tegak atau condong dengan ketinggian antara 30-100 cm
(Purseglove et al. 1981). Seluruh batangnya tertutup oleh kelopak daun yang
melingkari batang, bunganya berbentuk mayang kuning kehijauan dengan bibir
bunga berwarna ungu.
Bagian jahe yang banyak digunakan manusia adalah rimpangnya.
Rimpang jahe merupakan batang yang tumbuh dalam tanah dan dipanen setelah
berumur 9-11 bulan. Waktu pemanenan jahe tergantung pada tujuan
penggunaannya. Jahe yang digunakan sebagai bahan baku permen, manisan
dan selai dipanen pada saat muda agar tidak terlalu keras, umumnya berumur
14
3-4 bulan (Farrel 1990). Rimpang yang akan digunakan sebagai bumbu atau
untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin dipanen setelah tua karena
kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya lebih tinggi, biasanya berumur 8-10
bulan (Purseglove et al. 1981).
Dua komponen utama yang terdapat pada jahe adalah minyak atsiri dan
oleoresin yang berada di dalam sel-sel minyak pada jaringan korteks dekat
permukaan kulit. Minyak atsiri jahe merupakan komponen pemberi aroma
yang khas, bersifat mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami
dekomposisi dan diperoleh melalui penyulingan uap, pengepresan maupun
ekstraksi menggunakan pelarut organik (Ketaren 1988). Konsistensi minyak
atsiri jahe adalah cairan kental berwarna hijau sampai kuning, berbau harum
tetapi tidak memiliki komponen-komponen pembentuk rasa pedas dan hangat
khas jahe (Purseglove et al. 1981). Oleoresin merupakan campuran minyak
atsiri pembawa aroma dan sejenis damar pembawa rasa (Rismunandar 1988).
Oleoresin jahe lebih banyak mengandung komponen non volatil yang
mempunyai titik didih lebih tinggi daripada komponen volatil minyak atsiri.
Komponen non volatil itu merupakan zat pembentuk rasa pedas jahe dan
memiliki sifat organoleptik seperti rempah-rempah aslinya. Oleh karena itu,
oleoresin tetap memberikan rasa walaupun sebagian minyak atsirinya telah
menguap (Cripps 1973).
2.4.2 Rosella (Hibiscus sabdariffa)
Rosella merupakan tumbuhan perdu yang berasal dari India dengan
tinggi mencapai 3 m. Berbatang bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki
kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal berbentuk bulat, seperti telur
dengan tipe daun menjari. Ujung daunnya tumpul dan pangkalnya berlekuk.
Panjang daun rosella sekitar 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Panjang tangkai daun
4-7 cm dengan penampang bulat dan berwarna hijau (Maryani dan Kristiana
2005). Rosella memiliki bunga tunggal yang tumbuh di ketiak daun. Kelopak
berbunga berwarna merah, berbulu, terdiri atas 8 hingga 11 daun kelopak dan
pangkalnya berlekatan. Mahkota bunganya berwarna kuning berbentuk corong
dan setiap bunga terdiri atas 5 daun mahkota yang panjangnya 3-5 cm.
15
Rosella tumbuh baik pada daerah tropik atau subtropik yang hangat
dengan ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut. Curah hujan yang
diperlukan selama pertumbuhan adalah 182 cm/tahun. Pada 4-5 bulan setelah
tanam, tanaman ini memerlukan banyak sinar matahari untuk mencegah
munculnya bunga prematur yang dapat menyebabkan kualitasnya menjadi
buruk. Rosella dapat langsung diolah setelah dipanen atau dikeringkan agar
lebih awet dalam penyimpanannya. Rasio pengeringan rosella umumnya 10:1,
artinya dari setiap 10 kg kelopak segar akan menghasilkan 1 kg kelopak kering
(Maryani dan Kristiana 2005).
Tee et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah
senyawa aktif rosela berupa senyawa fenolik yang dapat berfungsi sebagai
senyawa antioksidan mencapai 2,96 mg/g kelopak bunga kering. Ekstrak
rosella menunjukkan sifat antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan
BHA atau pun α-tocoferol. Ekstrak sebanyak 200 ppm dapat mengurangi
komponen diene terkonyugasi lebih dari 85%. Rosella merupakan sumber
antioksidan alami yang dapat melindungi tubuh dari kerusakan radikal bebas
dan peroksidasi lemak. Efek proteksi ini disebabkan oleh asam askorbat,
β-caroten, dan komponen fenolik khususnya antosianin.
Menurut Fasoyiro et al. (2005) rosella merupakan sumber penting untuk
vitamin, mineral dan komponen bioaktif, seperti asam organik, fitosterol, dan
polifenol dan beberapa diantaranya memiliki sifat antioksidan. Warna merah
pada kelopak bunga rosella disebabkan oleh pigmen antosianin yang
mengandung delfinindin-3-sambubiosida, sianidin-3-sambubiosida dan
delfinidin-3-glukosa. Sementara kandungan terbesar dalam ekstrak air rosella
ialah asam sitrat, asam askorbat dan asam malat (Blunden et al. 2005).
2.4.3 Asam sitrat
Asam sitrat merupakan intermedier dari asam organik yang secara alami
terdapat dalam berbagai jenis buah dan sayuran. Asam sitrat mudah larut dalam
air, spritus, dan etanol, tidak berbau, berasa sangat asam, jika dipanaskan akan
meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang.
Secara luas asam sitrat digunakan sebagai asidulan, pengatur pH, pemantap
rasa, pengawet, dan bersinergis antioksidan dalam sistim pangan, seperti
16
minuman ringan, jelly, selai, permen, serta sayuran dan buah-buahan yang
dikalengkan (Gu’rsoy 2002).
Asam sitrat disebut juga dengan asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatri-
karboksilat, merupakan asam dengan molekul polifungsional, yaitu satu gugus
hidroksil dan tiga gugus karboksilat (Rukmana 2003). Pada suhu kamar, asam
sitrat berbentuk kristal dan berwarna putih. Serbuk putih kristal dapat berupa
anhidrous (bebas air) atau bentuk monohidrat yang mengandung satu molekul
air untuk setiap molekul asam sitrat. Bentuk anhidrous asam sitrat mengkristal
dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat didapatkan dari kristalisasi
asam sitrat dalam air dingin. Bentuk monohidrat tersebut dapat diubah menjadi
bentuk anhidrous dengan pemanasan di atas 70 oC.
Asam sitrat dapat diekstrak dari sumbernya dengan mengendapkan sitrat
dari larutannya dengan penambahan Ca(OH)2 membentuk endapan kalsium
sitrat. Sitrat dari endapan dipisahkan lagi dengan kolom yang berisi resin
penukar kation (Rohim 1999). Filtrat kemudian dipekatkan dan kadar sitrat
ditentukan dengan HPLC (Rohn dan Hess 1999). Asam sitrat juga dapat
diperoleh melalui fermentasi glukosa dengan penambahan kapang Aspergillus
niger (Ali et al. 2002).
FDA USA mengklasifikasikan asam sitrat ke dalam GRAS (Generally
Recognized as Safe) sebagai zat aditif yang aman digunakan. Pengujian in vivo
pada tikus menunjukkan toksisitas akut yang rendah, yaitu dosis kematian
sebesar 3000 mg/kg bb. Asam sitrat juga tidak bersifat karsinogenik, namun
hanya memberikan pengaruh iritasi pada kulit dan mata, juga dalam pernafasan
jika terhirup dalam jumlah yang banyak (FDA 1973).
2.5 Uji Stabilitas Minuman Fungsional
Bagi semua produk, untuk memperoleh penerimaan dari konsumen
maka kandungan nutrisi serta kualitasnya harus tetap konsisten mulai dari
waktu proses, penyimpanan dan distribusi sampai saatnya produk dikonsumsi.
Selama ini industri farmasi dan makanan telah memiliki pedoman penentuan
stabilitas produk jaminan label, namun tidak demikian bagi nutraceutical,
pangan fungsional maupun food supplement atau makanan tambahan. Maka
untuk menjaga atau mempertahankan penerimaan konsumen dan menghindari
17
tuntutan pemerintah dan undang-undang, maka baik nutraceutical, pangan
fungsional maupun makanan tambahan ini juga harus dievaluasi stabilitasnya
termasuk penentuan daya tahan produk serta jaminan keakuratan seperti yang
tercantum pada label. Manfaat fisiologis yang dicapai adalah produk tersebut
dikonsumsi dan komponen bioaktif tetap ada pada konsentrasi yang
dibutuhkan. Jika kondisi ini tidak tercapai maka nutraceutical maupun pangan
fungsional kehilangan khasiatnya (Shi 2007).
Produk dapat kehilangan daya tahannya dengan berbagai cara.
Pertumbuhan mikroba dalam produk dapat menurunkan sensori penerimaannya
melalui kerusakan atau menimbulkan risiko kesehatan. Perubahan fisik seperti
pengerasan pada buah kering dan melembutnya sereal merupakan mekanisme
lain dari hilangnya daya tahan produk. Akhirnya reaksi kimia dapat terjadi
selama pengolahan dan penyimpanan menghasilkan perubahan-perubahan,
seperti tidak diterimanya perubahan warna, hilangnya nutrisi, dan perubahan
rasa. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami
kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan
kepercayaan (Rahayu et al. 2003).
Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan
adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan
tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Penggunaan
indikator mutu dalam menentukan umur simpan produk siap masak atau siap
saji bergantung pada kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut
dilakukan (Kusnandar 2004). Hasil percobaan penentuan umur simpan
hendaknya dapat memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi
ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi
distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu
normal untuk penyimpanan, yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan
atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau tidak normal akan
mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi
sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004).
Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang
dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori,
18
analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004).
Penentuan umur simpan dengan menggunakan faktor organoleptik dapat
menggunakan parameter sensori (warna, flavor, aroma, rasa, dan tekstur)
terhadap sampel dengan skala 0−10, yang mengindikasikan tingkat kesegaran
suatu produk (Gelman et al. 1990).
19
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat
Bahan baku lintah laut (Discodoris sp.) yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dari perairan Pantai Pulau Belitung, Bangka Belitung. Bahan-bahan
tambahan untuk formulasi meliputi kelopak bunga rosella, jahe dan asam sitrat.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat adalah akuades,
alkohol, NaOH 40%, H3BO3 2%, HCl 0,1 N, dan Indikator Brom Cresol Green-
Metyl Red; analisis aktivitas antioksidan adalah DPPH, dan metanol p.a; analisis
mikrobiologi adalah PCA, PDA, dan asam tartarat 10%; analisis asam tertitrasi
adalah NaOH 0,1%, dan indikator fenolftalein.
Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah, inkubator, otoklaf, hand
refractometer, spektrofotometer model UV-VIS RIS UV 2500, neraca analitik,
pH meter Orion Benchinp model 410 A, tanur, seperangkat alat Soxhlet, labu
Kjeldahl, alat-alat gelas, dan alat-alat uji organoleptik.
3.2 Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap pengambilan dan preparasi
sampel, tahap formulasi minuman fungsional, dan tahap pengujian stabilitas
terhadap masa simpan. Tahap formulasi diawali dengan percobaan trial and error
untuk mengetahui batas penerimaan dari segi organoleptik. Pada tahap ini juga
dilakukan pengujian pendahuluan terhadap aktivitas antioksidan dari masing-
masing bahan serta pencampuran antar dua bahan dan keseluruhan bahan baku
untuk melihat efek sinergis/antagonis dari antioksidan.
3.2.1 Tahap pengambilan dan preparasi sampel
Contoh lintah laut (Discodoris sp.) diambil di perairan P. Belitung dalam
keadaan hidup kemudian dimatikan. Contoh dicuci sampai bersih dengan air
tawar kemudian dikeluarkan jeroannya dan dijemur hingga kering, lalu, dikemas
dalam kemasan plastik. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu
freezer hingga digunakan.
Contoh jahe segar dicuci dengan air dan dikupas kulitnya, selanjutnya
diiris tipis-tipis dan dikeringkan dalam oven bersuhu 50 oC selama satu hari
20
kemudian digiling hingga halus. Bubuk jahe kering disimpan dalam wadah
terutup dan disimpan dalam freezer hingga digunakan. Rosella kering digiling
sampai halus, diayak, dan disimpan dalam freezer hingga digunakan. Pemberi
rasa asam, berupa asam sitrat digunakan sebagai pengganti rosela.
Analisis yang dilakukan pada tahap ini yaitu: (1) analisis proksimat
terhadap masing-masing bahan kering meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar
lemak, dan kadar protein (AOAC 1995), serta (2) analisis aktivitas antioksidan
terhadap masing-masing bahan kering menggunakan metode DPPH (Diphenyl
picrylhidrazyl) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004).
3.2.2 Tahap formulasi minuman fungsional
Pada tahap ini dilakukan formulasi minuman. Formulasi didasarkan pada
hasil percobaan trial and error terhadap karakteristik mutu organoleptik dari
minuman fungsional ini. Berdasarkan percobaan, maka penyajian minuman
adalah berbentuk minuman teh celup yang dikemas dalam kantong teh celup.
Komposisi dari bahan-bahan utama, serta teknik pembuatan yang mencakup suhu
air celupan, volume air, dan lama celupan merupakan perlakuan dalam penelitian
ini. Formulasi awal yang dilakukan sebanyak enam jenis (perlakuan) seperti
terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Formulasi awal produk dalam satu kantong teh celup
Formula Bahan Utama (%) Bahan-Bahan Pembantu (%)
Bubuk Discodoris sp Bubuk jahe Bubuk rosella
1 7,0 23 32
2 7,5 23 32
3 8,0 23 33
4 8,5 23 32
5 9,0 23 32
6 10,0 23 32
Semua produk dari perlakuan formulasi kemudian disterilisasi di bawah
UV selama 1x24 jam. Analisis yang dilakukan meliputi: (1) analisis aktivitas
antioksidan terhadap air celupan dari masing-masing bahan, (2) analisis
organoleptik menggunakan pengujian hedonik, dan (3) analisis aktivitas
antioksidan terhadap formula minuman yang masuk dalam batas penerimaan
berdasarkan uji organoleptik. Pengujian aktivitas antioksidan formula langsung
21
diambil dari air celupan masing-masing formula. Selain itu dilakukan pula
pengujian antar dua bahan untuk melihat bahan-bahan campuran manakah yang
lebih baik pengaruh sinergis/antagonis antioksidannya. Aktivitas antioksidan air
celupan diamati pada suhu air, volume air, serta lama celup yang berbeda.
Berdasarkan hasil pengujian terhadap sifat sinergis antioksidan pada air
celupan formula awal yang menunjukkan hasil negatif, maka dilakukan
reformulasi seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Reformulasi produk berdasarkan hasil uji sinergis antioksidan dan
organoleptik
Formula Bahan Utama (g) Bahan-Bahan Pembantu (g)
Bubuk Discodoris sp. Bubuk jahe Asam sitrat
1 0,19 0,25 0,02
2 0.21 0,25 0,02
3 0,24 0,25 0,02
4 0,26 0,25 0,02
5 0,27 0,25 0,02
6 0,28 0,25 0,02
3.2.3 Tahap pengujian stabilitas terhadap masa simpan produk
Pada tahap ini, produk yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi di
antara perlakuan yang diterima secara organoleptik, dilanjutkan pengujiannya
untuk melihat stabilitas produk terhadap waktu. Pengujian masa simpan
dilakukan dengan percepatan waktu atau model akselerasi menggunakan metode
Arrhenius. Selama masa penyimpanan, produk disimpan pada tiga kondisi suhu
yang berbeda, yaitu suhu ruang, suhu 35 oC, dan suhu 45
oC. Pengamatan
dilakukan pada lima titik waktu dengan periode yang berbeda pada setiap suhu.
Frekwensi pengamatan pada suhu ruang setiap 7 hari, pada suhu 35 oC setiap 5
hari, dan pada suhu 45 oC setiap 3 hari sekali.
Uji stabilitas yang dilakukan pada setiap pengamatan meliputi: (1) uji
aktivitas antioksidan dari formula terpilih, (2) uji total mikroba/kapang, (3) Nilai
pH, (4) total asam tertitrasi, dan (5) indeks bias. Bagan alir penelitian dapat
dilihat pada Gambar 3.
22
Gambar 3 Bagan alir penelitian.
Analisis organoleptik.
Analisis aktivitas
antioksidan pada air celupan
Analisis organoleptik.
Analisis aktivitas
antioksidan pada air celupan
Lintah laut
(Discodoris sp)
Jahe segar
Pemisahan daging
dan jeroan)
Pencucian
daging/mantel
Pencucian Pengeringan
Penggilingan
Bubuk kering
TAHAP KEDUA
Formulasi minuman fungsional
Formulasi minuman fungsional
TAHAP PERTAMA
Preparasi bahan baku
1. Analisis proksimat :
kadar air, abu, protein,
lemak
2. Analisis antioksidan
metode DPPH
Perlakuan 6 formula
Pengayakan
Reformulasi-mengganti
rosella dgn as.sitrat
Formula terbaik
Rosela kering
Pengemasan
TAHAP KETIGA
Pengujian stabilitas produk
Formulasi minuman
fungsional
Penyimpanan pada suhu
ruang, 45oC, dan 55
oC
(model akselerasi)
Formulasi minuman
fungsional
Pengujian stabilitas:
asam tertitrasi, indeks
bias, pH, TPC/ Kapang,
dan aktivitas antioksidan.
Formula dengan masa
simpan terbaik
Produk minuman
fungsional
23
3.3 Analisis
Analisis-analisis dalam penelitian ini dilakukan untuk mengamati
karakteristik kimia yang meliputi analisis proksimat dan uji stabilitas produk, uji
mikrobiologi, mutu organoleptik, dan aktivitas antioksidan dari bahan baku dan
produk jadi.
3.3.1 Analisis proksimat
(a) Kadar air (AOAC 1995)
Sebanyak 1 gram sampel (A) ditempatkan dalam cawan porselin dan
dimasukkan dalam oven pada suhu 105 o
C hingga beratnya konstan, lalu
ditimbang (B). Kadar air dihitung dengan rumus :
Bobot sampel akhir (B)
Kadar air = x 100
Bobot sampel awal (A)
(b) Kadar abu (AOAC 1995)
Sebanyak 1 gram sampel kering ditempatkan dalam wadah porselin dan
dibakar sampai tidak berasap. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 °C
lalu ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :
Bobot abu
Kadar abu = x 100
Bobot sampel kering
(c) Kadar lemak kasar (AOAC 1995)
Sebanyak 2 gram sampel kering disebar di atas kapas yang beralas kertas
saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet.
Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6 jam menguunakan pelarut lemak berupa
heksana sebanyak 150 ml. lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu 100oC selama 1 jam. Kadar lemak dihitung dengan rumus :
Bobot lemak terekstrak
Kadar lemak = x 100
Bobot sampel kering
(d) Kadar protein kasar (AOAC 1995)
Sebanyak 5 gram sampel kering ditempatkan dalam labu Kjeldahl 100 ml
dan ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya
dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai
24
larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%
lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi
campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indicator Brom Cresol Green-Methyl Red
berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml
dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan
HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga
terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung
dengan rumus :
(S-B) x N HCl x 14
% N = x 100
W x 1000 x FP
Keterangan : S = volume titran sampel (ml); B= volume titran blanko (ml); w =
bobot sampel kering (mg). Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar
Nitrogen dengan Faktor Perkalian (untuk berbagai bahan pangan berkisar 5,18-
6,38).
3.3.2 Analisis aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux
2004)
Aktivitas antioksidan yang diukur pada bubuk kering Discodoris sp., jahe,
dan rosela dilakukan dengan menimbang bahan-bahan kering tersebut masing-
masing sebanyak 0,25 gram kemudian dilarutkan dalam 50 ml metanol. Dari
larutan yang terbentuk diencerkan lagi untuk mendapatkan konsentrasi 100, 200,
400, 1000, 2000, dan 4000 ppm. Larutan pereaksi DPPH yang digunakan, dibuat
dengan melarutkan DPPH seberat 0,0197 gram dalam 50 ml metanol p.a untuk
memperoleh konsentrasi 1 mM. Larutan dibuat segar dan dijaga pada suhu rendah
serta terlindung dari cahaya. Sebanyak 4 ml larutan uji direaksikan dengan 1 ml
larutan DPPH dalam tabung reaksi. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37
oC selama 30 menit. Kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Larutan standard dibuat
dengan mencampur 4 ml metanol p.a dengan 1 ml DPPH. Aktivitas antioksidan
masing-masing sampel dinyatakan dengan persentase penghambatan radikal bebas
yang dihitung dengan rumus :
25
absorbansi blanko - absorbansi sampel
% inhibisi DPPH = x 100%
absorbansi blanko
3.3.3 Uji Organoleptik (SNI 1996)
Uji organoleptik merupakan uji dengan menggunakan indera manusia
sebagai instrumennya. Uji ini sering digunakan untuk menilai mutu komoditas
hasil pertanian dan makanan (Soekarto 1990). Ada beberapa cara pengujian
organoleptik seperti uji pembedaan dan uji pemilihan/penerimaan. Dalam
penelitian ini akan dilakukan uji penerimaan dimana setiap panelis diharuskan
mengemukakan tanggapan pribadinya terhadap produk yang disajikan. Tujuan
dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah produk minuman dari campuran
lintah laut, jahe dan rosella ini disukai atau tidak. Uji penerimaan yang dilakukan
adalah uji hedonik dengan menggunakan 30 orang panelis yang semi terlatih.
Lembar penilaian uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1.
Uji hedonik disebut juga uji kesukaan dan dilakukan pada 6 formula
minuman. Pada uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya
terhadap warna, rasa dan aroma minuman. Tanggapan tersebut dapat berupa
kesan suka atau ketidaksukaan dan panelis juga dapat mengemukakan tingkat
kesukaannya (skala hedonik). Skala ini dapat direntang atau diciutkan menurut
skala yang dikehendaki. Pada uji hedonik produk minuman ini, skala hedonik
yang digunakan adalah 1- 7 dimana angka 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3
= agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Data
yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis dengan metode nonparametrik
Kruskal-Wallis dan uji lanjut BNT.
3.3.4 Uji stabilitas
(a) Nilai pH
Setiap formula minuman yang masuk dalam batas penerimaan secara
organoleptik diukur nilai pH. Sebelum pengukuran, pH-meter distandarisasi
menggunakan buffer standar pH 4 dan pH 7.
(b) Indeks bias
Sebanyak 2 tetes sampel diteteskan pada hand refractometre. Indeks bias
dinyatakan dalam o Brix.
26
(c) Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al. 1989)
Pengujian total asam pada formula terpilih dilakukan dengan cara
menempatkan 10 g sampel dalam 250 ml labu takar, kemudian sebanyak 75 ml
akuades ditambakan. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang sudah
distandarisasi dengan asam oksalat hingga indicator fenolftalein 0,1%
menunjukkan titik akhir titrasi yaitu berwarna merah muda/pink. Hasilnya
dinyatakan sebagai ml NaOH 0,1 N per kg bahan.
V1 x N x P
T A = x 100
Volume sampel (ml)
Keterangan :
TA = total asam (ml N NaOH / 100 ml sampel)
V1 = jumlah larutan NaOH yang digunakan (ml)
N = normalitas NaOH hasil standarisasi dengan asam oksalat
P = faktor pengenceran
(d) Pengujian Mikrobiologi (Maturin dan Peeler 2001)
Uji Jumlah Total Bakteri (Total Plate Count)
Sebanyak 1 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan
pengencer. Selanjutnya dilakukan pengocokan hingga homogen dengan vortex.
Pengenceran dan pemupukan dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-2
. Dari
tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam
cawan petri steril (pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PCA (Plate
Count Agar) steril sebanyak 15-20 ml.
Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-
hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan
melingkar atau angka delapan. Setelah medium membeku cawan petri
diinkubasikan dengan posisi terbalik pada incubator suhu 37 oC selama 2 hari (48
jam). Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan Standard Plate Count
(SPC) metode Harrigan.
Uji Kapang/Khamir
Sebanyak 1 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan
pengencer. Selanjutnya dilakukan pengocokan hingga homogen dengan vortex.
Pengenceran dan pemupukan dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-2
. Dari
27
tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam
cawan petri steril (pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PDA (Potato
Dextrose Agar) cair yang telah ditambah asam tartarat steril 10% sebanyak 15-20
ml.
Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-
hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan
melingkar atau angka delapan. Setelah medium membeku cawan petri
diinkubasikan dengan posisi terbalik pada incubator suhu 30 oC selama 2 hari (48
jam). Perhitungan jumlah kapang dan khamir dilakukan dengan metode Harrigan.
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Untuk melihat pengaruh komposisi bahan baku dan teknik pembuatan
minuman formulasi terhadap aktivitas antiosidan menggunakan Rancangan
Percobaan Faktorial dengan 3 faktor serta 3 ulangan. Pemilihan model Faktorial
ini berdasarkan pada efektifitas dan efisiensi waktu pengujian, serta ketelitian
pengamatan terhadap pengaruh-pengaruh faktor perlakuan dalam percobaan.
Pada percobaan faktorial dapat diketahui pengaruh bersama (interaksi) terhadap
data hasil percobaan sehingga pengujian terhadap pengaruh interaksi ini dapat
menjadi dasar dalam membuat rekomendasi atau saran tentang apakah faktor-
faktor utama harus diterapkan bersama atau tidak untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik (Steel dan Torie 1980). Persamaan untuk Rancangan Faktorial
digambarkan sebagai berikut:
Yijkℓ =µ + Ai + Bj + ABij + Ck + ACik + BCjk + ABCijk + €ℓ (ijk)
Keterangan:
Y = aktivitas antioksidan
A,B,C = berturut-turut adalah faktor suhu air, volume air, dan lama celup
i = taraf suhu
j = taraf volume
k = taraf lama celup
ℓ = ulangan
Model perlakuan untuk pengamatan aktivitas antioksidan dapat dilihat
pada Tabel 4.
28
Tabel 4 Model perlakuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan
suhu air celup (A) volume air (B) lama celup (C)
C1 C2 C3
A1 B1 A1B1C1 A1B1C2 A1B1C3
B2
B3
A2 B1 A2B1C1
B2
B3
A2B3C3
A3 B1 A3B1C1
B2
B3
A3B3C3
Analisis lanjutan menggunakan metode Uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Uji
ini untuk mengetahui beda pengaruh masing-masing faktor perlakuan maupun
interaksinya terhadap aktivitas antioksidan.
Pengujian nilai organoleptik yang mencakup penerimaan terhadap
kenampakan, rasa, dan aroma setiap formula dari panelis, menggunakan uji non
parametrik Kruskal-Wallis. Uji nonparametrik ini merupakan alternatif bagi uji F
untuk pengujian kesamaan beberapa nilai tengah dalam analisis ragam untuk
menghindar dari asumsi bahwa contoh diambil dari populasi normal (Walpole
1995). Uji Kruskal-Wallis memiliki formula:
k = banyaknya contoh
n = jumlah panelis tiap contoh
R = rata-rata penilaian
Untuk melihat apakah perbedaan konsentrasi lintah laut memiliki pengaruh
yang sama atau tidak terhadap nilai organoleptik, dibandingkan dengan tabel chi-
square. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dilakukan untuk melihat sejauh
mana perbedaan antar perlakuan.
Semua data pengamatan aktivitas antioksidan dan nilai organoleptik
ditabulasikan dan diolah secara statistik menggunakan perangkat lunak SPSS
16.0.
29
Data pengamatan dari uji stabilitas dianalisis menggunakan teknik regresi
linier, dan dibantu dengan metode Arrhenius untuk menduga umur simpan produk
(Arpah 2001). Model Arrhenius adalah:
k = konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak bergantung pada suhu)
E = energi aktivasi
R = konstanta gas 1,986 kal/mol
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Kimia Bahan-Bahan Baku
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lintah laut
jenis Discodoris sp. yang berasal dari Pantai Pulau Belitung, sedangkan bahan
baku tambahan adalah jahe merah (Zingiber officinale) dan kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa) yang masing-masing dibeli dari pasar tradisional dan super
market Giant, Bogor. Karakterisasi dilakukan terhadap masing-masing bahan
baku, yang meliputi analisis proksimat untuk mengetahui kandungan gizinya.
4.1.1 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.)
Lintah laut yang diambil langsung dimatikan dan dipisahkan dari
jeroannya kemudian dikeringkan. Tujuan dari pengeringan adalah untuk
mengurangi kadar air bahan sehingga lebih awet dan mudah dalam pengangkutan
karena volume dan beratnya menjadi lebih kecil.
Pengujian komposisi kimia lintah laut tanpa jeroan ini dihitung
berdasarkan berat kering bahan, dan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.)
Komponen kimia Nilai (%)
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
8,82
9,81
62,17
2,24
16,96
Berdasarkan hasil pengujian maka mantel lintah laut kering mengandung
protein yang cukup tinggi yang mencapai 62,17%. Jika dibandingkan dengan
lintah laut yang berasal dari P. Buton dalam penelitian yang dilakukan oleh
Nurjanah (2008) terhadap lintah laut kering yang utuh, menunjukkan hasil yang
cukup berbeda (49,60%). Hal ini mungkin disebabkan karena kadar air dalam
penelitian tersebut masih cukup tinggi, yaitu 15,25%. Namun bila dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Andriyanti (2009) menunjukkan nilai yang
31
hampir sama untuk lintah laut kering tanpa jeroan, yaitu kadar air 10,45% dan
kadar protein 59,11%.
Kadar abu menunjukkan nilai yang cukup tinggi, yaitu 9,81%, demikian
pula Nurjanah (2008) dengan nilai kadar abu 11,74% dan 11,97% (Andriyanti,
2009). Hal ini disebabkan oleh habitat lintah laut khususnya jenis Discodoris sp.
yang hidup menempel pada batu-batu karang dan pasir berlumpur di perairan
pantai. Holland (2009) menyatakan bahwa lintah laut biasanya terdapat di
perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut kelam lebih
dari satu kilometer dalamnya.
Rendahnya kadar lemak dalam penelitian ini (2,24%) dibandingkan
dengan yang dilakukan oleh Nurjanah (2008) yang memperoleh nilai 4,58%
mungkin disebabkan oleh organ jeroan yang tidak ikut diuji. Seperti yang
dinyatakan oleh Almatsier (2006) bahwa lemak pada tubuh umumnya disimpan
sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut.
4.1.2 Komposisi kimia jahe (Zingiber officinale)
Jahe yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis jahe merah, dan
bagian jahe yang dianalisis proksimat adalah rimpang atau yang disebut juga
dengan rhizoma. Rimpang jahe dicuci dan dikeringkan dalam oven bersuhu 50 oC
selama 24 jam kemudian dihaluskan hingga berbentuk bubuk kering. Hasil
analisis proksimat dari rimpang jahe merah dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi kimia jahe merah berdasarkan berat kering
Komponen kimia Nilai (%)
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
8,52
5,49
10,08
3,54
72,37
Berdasarkan hasil analisis proksimat pada jahe merah kering maka
komponen terbesar adalah karbohidrat yang mencapai 72,37%. Menurut
Purseglove et al. (1981), karbohidrat pada jahe terutama dari pati berkisar antara
32
40-60%, sedangkan Farrel (1985) menyatakan bahwa karbohidrat pada jahe
adalah 70,8%.
Selain karbohidrat, rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia
lain, yaitu air, abu, protein, minyak atsiri dan oleoresin. Jumlah masing-masing
komponen berbeda-beda pada jahe dari berbagai daerah penghasil, yang
tergantung pada iklim, curah hujan, varietas jahe, dan keadaan tanah (Koswara
1995). Selain itu, komposisi kimia rimpang jahe juga dipengaruhi antara lain oleh
umur panen rimpang, perlakuan masa tanam, perlakuan pasca panen, ekosistem
tempat tanaman jahe ditanam serta pengolahan rimpang (Rismunandar 1988).
4.1.3 Komposisi kimia rosella (Hibiscus sabdariffa)
Bunga rosella dalam penelitian ini adalah H. sabdariffa var. sabdariffa
yang memiliki ciri kelopak bunga berwarna merah. Bagian tanaman rosella yang
diambil untuk dianalisis proksimat adalah kelopak bunga yang telah mengalami
proses pengeringan. Hasil analisis diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi kimia kelopak bunga rosella kering
Komponen kimia Nilai (%)
Air
Abu
Protein
Lemak
12,38
6,64
7,08
1,00
Berdasarkan hasil analisis maka kadar air untuk rosella kering ini masih
cukup tinggi, yaitu 12,38%. Hal ini mungkin disebabkan beberapa hal, antara lain
karena waktu proses pengeringan yang terlalu cepat, suhu udara yang tidak cukup
memadai untuk mengeringkan bahan, dan proses penarikan kembali uap air
setelah dikeringkan selama berada di display penjualan. Seperti yang dinyatakan
oleh Syarief dan Halid (1992) bahwa komoditas pertanian baik sebelum maupun
sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara
sekeliling, dan juga sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke
udara.
33
4.2 Aktivitas Antioksidan Bahan-Bahan Baku
Adanya komponen yang bersifat antioksidan dalam bahan baku dapat
diketahui melalui pengujian aktivitas antioksidan. Dalam penelitian ini semua
bahan yang digunakan dalam formulasi diuji aktivitas antioksidannya
menggunakan metode DPPH (Diphenyl pycrylhydrazyl).
4.2.1 Aktivitas antioksidan Discodoris sp
Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada serbuk kering Discodoris sp.
dengan pelarut metanol menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi, semakin
tinggi reaksi penghambatan radikal bebas DPPH oleh komponen-komponen
antioksidan yang terkandung dalam serbuk kering tersebut. Nilai-nilai
penghambatan radikal bebas DPPH dari masing-masing konsentrasi dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4 Aktivitas antioksidan serbuk kering Discodoris sp.
Berdasarkan hasil pengujian, maka persentasi penghambatan radikal bebas
DPPH tertinggi yaitu 83,29% dapat dicapai pada konsentrasi 4000 ppm.
Konsentrasi yang cukup tinggi ini disebabkan karena bahan yang diuji masih
berbentuk serbuk kering tanpa diekstrak, sehingga masih sangat banyak
dipengaruhi oleh komponen-komponen lain yang menjadi pengotor dalam
pengujian ini. Adapun yang menjadi pertimbangan untuk menguji aktivitas
antioksidan pada serbuk kering tanpa ekstrak ini didasarkan pada tujuan
penelitian, yaitu membuat formula dari serbuk kering Discodoris sp. Selain itu,
6.24 3.4211.17
41.05
50.7
83.29
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 200 400 1000 2000 4000
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Konsentrasi (ppm)
34
penelitian yang menguji aktivitas antioksidan ekstrak lintah laut dari berbagai
pelarut telah dilakukan oleh Nurjanah (2008) yang menggunakan pelarut polar
menghasilkan aktivitas antioksidan sebesar 69,04%-70,43%, dan dari pelarut non
polar dengan nilai 14,08-16,90%. Pengujian yang dilakukan oleh Andriyanti
(2009) menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut dari pelarut polar etanol,
metanol, dan akuabides dapat menghambat radikal bebas pada konsentrasi sebesar
4000 ppm.
Komponen-komponen antioksidan merupakan salah satu produk metabolit
sekunder yang diproduksi oleh organisme. Tidak seperti metabolit primer yang
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, metabolit sekunder lebih berfungsi
sebagai alat pertahanan tubuh yang berperan penting dalam meningkatkan
kelangsungan hidup organisme. Wojnar (2008) dalam tesisnya mengenai
Nudibranch menyatakan bahwa karena ketiadaan cangkang yang dapat
melindungi tubuhnya, maka nudibranch sangat mudah untuk dimangsa. Namun
dengan keterbatasan yang dimilikinya, menjadikan organisme ini mampu
mengembangkan sejumlah strategi pertahanan dirinya yang diimbangi oleh
beberapa adaptasi tingkah laku, anatomi dan fisiologisnya, sedangkan pertahanan
kimia dari nudibranch, yaitu melalui metabolit sekunder yang dihasilkan.
Keberadaan senyawa yang bersifat antioksidan dalam serbuk kering
Discodoris sp. diduga dapat berasal dari makanannya ataupun secara de novo
disintesis oleh Discodoris sp. itu sendiri. Grkovic et al. (2005) menyatakan
bahwa lintah laut adalah organisme yang kaya akan komponen-komponen alam
yang bersifat cytotoxic, antimikroba, antifungal, neurotoxic, dan antimitotik yang
membuat organisme ini tidak dimangsa oleh organisme lain. Produk-produk
pertahanan alami yang disebut juga dengan metabolit sekunder ini dapat berasal
dari makanan yang dimangsanya ataupun secara de novo disintesis dalam
tubuhnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Molo et al. (2008) terungkap
bahwa lintah laut Syphonota geographica mengandung flavonoid apigenin,
genkwanin, dan chrisoeriol, dimana komponen-komponen ini juga terdapat pada
ilalang laut Halophila stipulacea yang merupakan mangsa dari S. geographica.
Pengujian fitokimia yang dilakukan oleh Andriyanti (2009) terungkap bahwa
ekstrak akuabides Discodoris sp. mengandung fenol hidrokuinon, peptida,
35
alkaloid, dan flavonoid. Adanya flavonoid mungkin disebabkan oleh makanan
yang dimangsa mengandung komponen-komponen flavonoid. Secara in vitro,
flavonoid telah terbukti mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Seperti yang
dinyatakan oleh Robak dan Gryglewsky (1988) bahwa flavonoid sebagai
antioksidan, dapat menghambat penggumpalan keeping-keping sel darah,
merangsang produksi nitrit oksida yang dapat melebarkan pembuluh darah, dan
juga dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Disamping berpotensi sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas (free radical scavenger), flavonoid juga
memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antitrombotik, antiinflamasi, dan
antivirus.
4.2.2 Aktivitas antioksidan jahe (Zingiber officinale Rosc)
Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada serbuk kering jahe merah
menunjukkan peningkatan aktivitas seiring dengan meningkatnya konsentrasi.
Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi 100 ppm menunjukkan persentasi
penghambatan radikal bebas DPPH yang paling kecil, yaitu 14,59% dan semakin
meningkat hingga 90,14% pada konsentrasi 4000 ppm.
Gambar 5 Aktivitas antioksidan serbuk kering jahe (Z. officinale Rosc.).
Aktivitas antioksidan yang cukup tinggi pada jahe merah ditunjukkan oleh
nilai konsentrasi serbuk yang relatif rendah, yaitu di bawah 400 ppm dalam
mencapai 50% aktivitas penghambatan radikal bebas DPPH. Nilai aktivitas ini
masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang
dilakukan para peneliti sebelumnya, karena pada pengujian ini hanya
14.59
26.46
59.76
83.891.75 90.14
0
20
40
60
80
100
100 200 400 1000 2000 4000
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Konsentrasi (ppm)
36
menggunakan serbuk kering jahe tanpa diekstrak, sehingga masih banyak
senyawa-senyawa lain yang mempengaruhi nilai pengujian. Disamping itu,
proses pengeringan juga dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan jahe.
Pada proses pengeringan dalam pembuatan serbuk kering jahe sangat
memungkinkan terjadinya degradasi atau kerusakan senyawa–senyawa jahe
seperti senyawa gingerol pemberi rasa pedas yang hanya terdapat pada jahe segar.
Selama pemanasan pada proses pengeringan, gingerol berubah menjadi shogaol
dan zingeron. Pembentukan shogaol dan gingerol akan mengurangi rasa pedas
jahe karena terbentuknya polimer dari shogaol yang tidak pedas, dan menurunkan
aktivitas antioksidannya Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lee et al. (1986) bahwa pemanasan rimpang jahe pada suhu 100 oC selama 10
menit secara nyata mengurangi potensi antioksidan hampir 20%. Pemanasan
selama 30 menit atau lebih ternyata mengurangi aktivitas antioksidan lebih lanjut
tetapi pada kecepatan lebih rendah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stoilova et al. (2006) menunjukkan
bahwa ekstrak jahe dapat menghambat radikal bebas DPPH sebesar 90,1% pada
konsentrasi 20 µg/ml dengan IC50 0,64 µg/ml. Nilai ini masih lebih tinggi
dibandingkan dengan antioksidan sintesis BHT yang memiliki IC50 7,02 µg/ml.
Rajalakshmi dan Narasimhan (1996) menyatakan bahwa komponen gingerol dan
diarylheptanoids yang terkandung dalam jahe memiliki aktivitas antioksidan yang
lebih tinggi dari α-tocopherol. Kikuzaki dan Nakatani (1993) juga meyakini
bahwa dalam jahe terkandung sejumlah senyawa fenolik yang bersifat
antioksidan. Sifat tersebut menyebabkan senyawa fenolik ini dapat melindungi
sel dari kerusakan oksidatif. Tejasari dan Zakaria (2000) menyatakan bahwa pada
kondisi stress oksidatif, senyawa bioaktif dalam rimpang jahe seperti gingerol,
oleoresin, dan shogaol dapat menurunkan kadar MDA limfosit. Aktivitas
antioksidan tertinggi ditunjukkan oleh komponen gingerol. Komponen-komponen
tersebut dapat berperan sebagai peredam radikal bebas endogen atau metabolit
lainnya.
4.2.3 Aktivitas antioksidan rosella (Hibiscus sabdariffa)
Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada serbuk kering rosella
menunjukkan peningkatan aktivitas seiring dengan meningkatnya konsentrasi.
37
Gambar 6 menunjukkan bahwa konsentrasi 100 ppm menunjukkan persentasi
penghambatan radikal bebas DPPH yang paling kecil, yaitu 11,37% dan semakin
meningkat hingga 92,65% pada konsentrasi 2000 ppm, namun sedikit mengalami
penurunan pada konsentrasi yang ditingkatkan. Hal ini mungkin disebabkan
karena komponen antioksidan yang berubah menjadi prooksidan.
Gambar 6 Aktivitas antioksidan serbuk kering rosella (H. sabdariffa).
Gordon (1990) menjelaskan bahwa besar konsentrasi antioksidan yang
ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi,
aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut
menjadi prooksidan (Gambar 7). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi
tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sample yang akan diuji.
AH + O2 ----------------------------- A*
+ HOO*
AH + ROOH ----------------------------- RO* + H2O + A
*
Gambar 7 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi.
Kelopak bunga rosella mengandung asam sitrat dan asam malat yang
memberikan rasa mild asam manis yang segar dengan warna natural alami yang
menarik. Asam sitrat memiliki sifat antioksidan dan dapat bersifat sebagai
pengkelat logam sehingga dapat menambah efek sinergis dengan komponen
antioksidan lainnya. Pewarna alami dari rosella yaitu antosianin juga mempunyai
sifat antioksidan yang kuat. Zat aktif lainnya yang berperan dalam kelopak bunga
rosella, yaitu gossypetin dan glukosida hibiscin, serta mengandung vitamin C
yang tinggi dengan kisaran 260-280 mg/100 g kelopak bunga (Depkes 2005).
11.3718.21
42.05
70.32
92.65 91.35
0
20
40
60
80
100
100 200 400 1000 2000 4000
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Konsentrasi (ppm)
38
Duke (2008) melaporkan bahwa rosella mengandung flavonoid quarsetin,
hibisketin dan sabdaretin selain mengandung mineral dan vitamin. Blunden et al.
(2005) menambahkan bahwa dalam kelopak kering rosella mengandung 1,7-2,5%
antosianin, dan kandungan terbesar dalam ekstrak air rosella, yaitu asam sitrat,
asam askorbat, dan asam malat. Ekstrak rosella mengandung 51% antosianin dan
24% antioksidan (Tsai et al. 2002), dan mengandung flavonoid kuarsetin, luteolin,
dan luteolin glikosida (Salah et al. 2002).
McKay et al. (2010) menyatakan bahwa H. sabdariffa memiliki sifat-sifat
antioksidan, dan ekstrak kelopak bunganya menunjukkan sifat antihipertensi dan
hipokolesterolemik. Setelah enam minggu mengkonsumsi teh rosella dapat
menurunkan kontraksi tekanan darah.
4.3 Formulasi Awal Minuman Fungsional
Minuman fungsional berbahan dasar lintah laut pada awalnya
diformulasikan dengan mencampurkan jahe dan rosella. Rasa pedas dari jahe dan
asam dari rosella dalam formulasi dapat menetralisir rasa dan bau anyir lintah laut
sehingga dapat memberikan rasa segar dan meningkatkan nilai kenampakan
produk minuman.
4.3.1 Analisis organoleptik
Hasil analisis keseluruhan nilai organoleptik dari 30 orang panelis
menunjukkan keenam formula yang dibuat masuk dalam batas penerimaan karena
berada pada kisaran netral hingga agak suka (4 hingga 5). Namun, dari semua
formula tersebut hanya 3 Formula dengan nilai tertinggi, yaitu Formula 1, 2, dan 5
yang akan diuji aktivitas antioksidannya. Ketiga formula tersebut memperoleh
nilai terendah, yaitu 5. Data hasil analisis statistik terhadap keseluruhan nilai
organoleptik formula minuman fungsional terlihat pada Tabel 8.
39
Tabel 8 Hasil analisis organoleptik pada formulasi awal
Formula N Rata-
rata
Std.
Deviasi
Std.
Error
Rata-rata interval pada 95%
Batas bawah Batas atas
1 30 5,31a 1,08 0,20 4,91 5,71
2 30 5,18ab
0,85 0,15 4,86 5,49
3 30 4,61c 0,98 0,18 4,25 4,98
4 30 4,85abc
0,99 0,18 4,47 5,22
5 30 5,08abc
0,84 0,15 4,76 5,39
6 30 4,73bc
0,95 0,17 4,38 5,09
Total 180 4,96 0,97 0,07 4,82 5,10
Hasil uji Kruskal-Wallis menguatkan hasil penilaian bahwa ada beberapa
formula yang berbeda. Hasil uji lanjut dengan BNT menunjukkan bahwa Formula
1 dan 2 berbeda nyata dengan Formula 3 namun tidak berbeda dengan Formula 4
dan 5. Formula 1 juga menunjukkan hasil organoleptik yang berbeda nyata
dengan Formula 6 (p<0,05).
Dilihat dari hasil rata-rata penilaian panelis, maka secara organoleptik
semua formula dapat diterima. Hal ini disebabkan karena rasa amis dan bau anyir
dari lintah laut dapat dinetralisir oleh jahe dan rosella. Selain karena komposisi
lintah laut dalam formulasi yang jauh lebih sedikit, jahe kering dengan kandungan
shogaol dan zingeronnya menyumbangkan rasa pedas, dan dipadu dengan rasa
asam dari rosella. Rasa pedas dan asam ini yang diduga memberikan citarasa
yang enak dalam formula minuman fungsional menyebabkan nilai
organoleptiknya berada pada kisaran disukai oleh panelis. Seperti yang
dinyatakan oleh (Purseglove et al. 1981) bahwa aroma harum khas jahe
disebabkan oleh minyak atsiri, sedangkan rasa pedasnya disebabkan oleh
oleoresin yang komponennya mengandung gingerol, shogaol dan zingeron. Rasa
asam dari rosella berasal dari asam sitrat, asam askorbat, dan asam malat yang
terdeteksi pada ekstrak air rosela (Blunden et al. 2005). Kenampakan warna
minuman formulasi lebih menarik dengan warna merah yang segar dari rosella
(Gambar 8). Warna merah pada kelopak bunga rosella disebabkan oleh pigmen
antosianin. Pigmen antosianin mengandung delphinidin-3-sambubiosida,
cyaniding-3-sambubiosida, dan delphinidin-3-glucose (Fasoyiro et al. 2005).
Antosianin adalah pigmen larut air yang banyak terdapat pada bunga, buah, dan
daun tumbuhan, serta tidak bersifat genotoksik (Francis 2002). Berdasarkan studi
40
yang dilakukan oleh Askari et al. (1996) bahwa minuman yang dibuat dari rosella
tidak memperlihatkan adanya efek toksik.
Gambar 8 Kenampakan minuman fungsional lintah laut yang diformulasi dengan
jahe dan rosella.
4.3.2 Aktivitas antioksidan produk formula awal
Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada dua produk formula awal
dengan komposisi lintah 7% (0.185 g) untuk Formula 1, dan Formula 2 komposisi
lintah 7,5% (0.198 g), masing-masing formula mengandung jahe 23% (0,62 g)
dan rosella 32% (0,85 g) memberikan hasil yang cukup mengejutkan, karena
aktivitas antioksidannya yang sangat kecil bahkan umumnya menunjukkan hasil
negatif. Pengujian dilakukan pada air celupan formula dengan pengamatan
berdasarkan suhu air celupan, volume air celupan, dan lamanya waktu
pencelupan. Suhu air celupan yang diamati, adalah 70 oC, 80
oC, dan 90
oC;
Volume air 50 ml, 70 ml, dan 90 ml; sedangkan waktu celupan, yaitu selama 10
menit, 20 menit, dan 30 menit. Pengamatan pada tiga taraf suhu di atas dilakukan
karena pertimbangan sifat beberapa antioksidan yang peka terhadap panas, dan
faktor penyajian minuman yang menggunakan air panas. Rata-rata orang
membuat air minum panas yang diambil dari termos memiliki suhu 70 oC – 90
oC.
Tiga taraf volume yang dipilih untuk diamati karena mempertimbangkan segi
kepraktisan dalam mengkonsumsi minuman fungsional. Selain itu juga dengan
variasi volume air celupan maka diduga akan mendapatkan hasil aktivitas
antioksidan yang berbeda. Penggunaan tiga tingkat waktu pencelupan akan
41
-60-50-40-30-20-10
01020
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu (°C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
-20
-15
-10
-5
0
5
10
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 C 80 C 90 C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu ( C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
memberikan waktu celup yang optimal untuk menghasilkan aktivitas antioksidan
tertinggi. Grafik hasil pengujian tersaji pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 9 Hasil pengujian aktivitas antioksidan formula awal 1 (lintah laut 0,18
g, jahe 0,62 g, rosella 0,85 g)
Gambar 10 Hasil pengujian aktivitas antioksidan formula awal 2 (lintah laut
0,198 g, jahe 0,62 g, rosella 0,85 g).
Hasil pengujian aktivitas antioksidan yang tersaji pada Gambar 9 dan
Gambar 10 rata-rata menunjukkan hasil negatif. Hal ini mungkin disebabkan
timbulnya sifat antagonis oleh zat-zat aktif yang terkandung dalam lintah laut,
jahe, ataupun rosella. Konsentrasi antioksidan yang tinggi dalam suatu sistim
dapat memicu perubahan menjadi prooksidan. Seperti yang dinyatakan oleh
Pokorny (1987) bahwa pada konsentrasi antioksidan yang tinggi, kecepatan reaksi
mencapai nilai konstan karena terbatasnya radikal-radikal bebas yang ada dalam
42
sistim. Pada kondisi seperti ini, terjadi reaksi antara radikal antioksidan dan
oksigen menjadi radikal bebas.
Penyebab lain adalah tingginya garam kalium yang terkandung dalam
rosella dapat menghilangkan aktivitas antioksidan dalam formula minuman
fungsional. Kalium akan menggantikan atom Hidrogen dari gugus hidroksi
fenolik dari suatu senyawa antioksidan sehingga membentuk garam senyawa
tersebut. Seperti diketahui, bahwa senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan
karena mempunyai gugus hidroksi fenolik, yang kemungkinan berfungsi sebagai
penangkap radikal bebas pada fase pertama mekanisme anti oksidatif.
Berkurangnya gugus hidroksi fenolik akan menurunkan kecepatan penangkapan
radikal bebas yang selanjutnya akan mengurangi kemampuannya dalam
menangkap radikal hidroksida. Terbentuknya garam yang menggantikan gugus
hidroksi fenolik dalam formula minuman fungsional dapat menurunkan jumlah
gugus tersebut sehingga kemampuan menangkap radikal bebas menghilang.
Akibatnya aktivitas antioksidan dalam formula minuman terdeteksi sangat kecil
bahkan negatif. Richardson (2009) menyatakan bahwa komponen-komponen
antihipertensi dalam rosela mencakup asam askorbat, kalsium, kromium, serat,
besi, garam-garam magnesium, mangan, dan kalium.
Berdasarkan hasil di atas, maka dilakukan reformulasi dengan mengganti
bahan rosella dengan asam sitrat. Penggantian ini didasarkan pada percobaan trial
and error terhadap formula baru. Hasil percobaan trial and error menunjukkan
bahwa jahe lebih memiliki keunggulan dalam menetralisir rasa pada formula
dibandingkan rosella. Asam dari rosella digantikan oleh asam sitrat komersial.
4.4 Reformulasi Minuman Fungsional
Produk hasil reformulasi dianalisis organoleptik dan diuji aktivitas
antioksidan air celupannya pada berbagai suhu, volume, dan waktu pencelupan
yang sama dengan perlakuan pada formula awal.
4.4.1 Analisis organoleptik
Hasil analisis organoleptik yang meliputi kenampakan, aroma, dan rasa
tersaji pada Tabel 9.
43
Tabel 9 Hasil analisis organoleptik produk reformulasi
Organoleptik Formula N Rata-rata Std.
Deviasi Std. Error
Rata-rata Interval pada
kepercayaan 95%
Batas
bawah
Batas
atas
Kenampakan 1 30 5,90a 1,094 0,200 5,492 6,308
2 30 5,60ab
0,932 0,170 5,252 5,948
3 30 5,60ab
0,894 0,163 5,266 5,934
4 30 5,30bc
1,119 0,204 4,882 5,718
5 30 5,57abc
0,728 0,133 5,295 5,838
6 30 4,97cd
1,245 0,227 4,502 5,432
Aroma 1 30 5,23a 1,135 0,207 4,809 5,657
2 30 5,13a 0,937 0,171 4,783 5,483
3 30 5,10a 1,213 0,222 4,647 5,553
4 30 5,00a 1,050 0,192 4,608 5,392
5 30 4,77a 1,431 0,261 4,232 5,301
6 30 4,87a 1,074 0,196 4,466 5,268
Rasa 1 30 5,10a 1,689 0,308 4,469 5,731
2 30 5,03a 1,586 0,290 4,441 5,626
3 30 4,90a 1,125 0,205 4,480 5,320
4 30 4,17b 1,262 0,230 3,696 4,638
5 30 3,60b 1,476 0,270 3,049 4,151
6 30 3,53b 1,137 0,208 3,109 3,958
Total
organoleptik
1 30 5,41a 0,970 0,177 5,049 5,773
2 30 5,26a 0,786 0,144 4,961 5,549
3 30 5,20ab
0,771 0,141 4,911 5,487
4 30 4,82b 0,787 0,144 4,529 5,117
5 30 4,64bc
0,802 0,147 4,345 4,944
6 30 4,46bc
0,846 0,155 4,139 4,771
Ket.: Formula 1: komposisi lintah laut 0,19 g Formula 4: komposisi lintah laut 0,26 g
Formula 2: komposisi lintah laut 0,21 g Formula 5: komposisi lintah laut 0,27 g
Formula 3: komposisi lintah laut 0,24 g Formula 6: komposisi lintah laut 0,28 g
Uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan
menggunakan alat indera, yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau, dan
pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui penerimaan terhadap suatu produk
(Soekarto 1985).
a. Kenampakan
Pada umumnya konsumen memilih produk makanan yang memiliki
kenampakan menarik. Oleh karena itu, kenampakan merupakan parameter
44
4.50
5.00
5.50
6.00
1 2 3 4 5 6
5.90
5.60 5.60
5.305.57
4.97
Nila
i org
ano
lep
tik
Formula
organoleptik yang penting karena sifat sensori yang pertama kali dilihat oleh
konsumen (Soekarto 1985). Kenampakan suatu produk akan menjadi daya tarik
yang kuat bagi konsumen sebelum konsumen melihat parameter lainnya, seperti
aroma dan rasa.
Hasil uji kesukaan panelis terhadap kenampakan minuman fugsional
berbahan dasar lintah laut berkisar dari agak suka hingga suka. Nilai tertinggi
dicapai oleh Formula 1 dan nilai terendah dihasilkan pada Formula 6, seperti yang
terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Hasil uji kesukaan panelis terhadap kenampakan.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi
lintah laut memberikan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat
penilaian panelis dalam menilai kenampakan produk minuman ini. Hal ini
mungkin disebabkan karena serbuk lintah laut yang berwarna kelabu, sehingga
semakin banyak jumlah serbuk lintah laut dalam kantong teh yang dicelup dalam
air, semakin mengeruhkan kenampakan air celupan. Dengan demikian, maka
Formula 6 dengan konsentrasi lintah laut tertinggi dalam kantong teh celup
memberikan hasil kenampakan yang terendah.
b. Aroma
Aroma makanan umumnya menentukan kelezatan bahan makanan
tersebut. Aroma lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indera penghidu
(hidung). Keterangan mengenai jenis aroma yang keluar dari makanan dapat
diperoleh melalui epitel olfaktori yang terletak pada bagian atas rongga hidung.
Pada umumnya, aroma yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak
merupakan berbagai ramuan atau campuran empat aroma, yaitu harum, asam,
tengik, dan hangus (Winarno 1988).
45
4.50
5.00
5.50
1 2 3 4 5 6
5.235.13 5.10
5.00
4.774.87
Nila
i org
ano
lep
tik
Formula
Hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma minuman fungsional berbahan
dasar lintah laut menunjukkan suka (5). Hasil uji kesukaan terhadap aroma
disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma.
Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, penambahan konsentrasi lintah laut
tidak menghasilkan aroma berbeda pada Formula (p>0,05). Ini juga berarti bahwa
penambahan konsentrasi lintah laut dalam kantong teh celup tidak memberikan
penilaian yang berbeda dari panelis terhadap aroma. Hal ini dapat disebabkan
karena perbedaan konsentrasi lintah laut yang tidak cukup besar sehingga berat
molekul senyawa dalam formula dianggap sama. Winarno (1988) menyatakan
bahwa reseptor aroma yang khas dalam sel olfaktori akan menangkap molekul
senyawa aroma yang bentuk dan ukurannya sama dan cocok, sehingga timbul
impuls yang menyatakan mutu aroma tersebut.
Nilai organoleptik untuk aroma yang cukup tinggi ini diduga
disumbangkan oleh komponen minyak atsiri yang terdapat dalam jahe. Minyak
atsiri telah dikenal sebagai komponen volatil (menguap) dalam jahe yang
memberikan rasa khas jahe yang tajam dan pedas. Ada dua hal utama berkaitan
dengan aroma, yaitu bahwa senyawa yang menghasilkan aroma harus dapat
menguap dan molekul-molekul senyawa tersebut mengadakan kontak dengan
reseptor pada sel olfaktori Reineccius (2006).
c. Rasa
Citarasa merupakan gabungan sensasi yang timbul dari sel-sel reseptor
citarasa khusus yang berlokasi di dalam mulut. Citarasa hanya terbatas pada lidah
dan menimbulkan sensasi manis, asam, asin, pahit, dan umami (suatu sensasi rasa
yang diciptakan oleh adanya asam glutamat dan aspartat) (Reineccius 2006).
46
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
1 2 3 4 5 6
5.10 5.03 4.904.17
3.60 3.53
Nila
i org
ano
lep
tik
Formula
Menurut Nasution (1980) rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan
kimiawi oleh indera pencicip (lidah), dimana akhirnya kesatuan interaksi antara
sifat-sifat aroma, rasa, dan tekstur merupakan keseluruhan rasa atau flavor
makanan yang dinilai.
Hasil uji kesukaan panelis terhadap rasa minuman fungsional berbahan
dasar lintah laut berkisar antara agak tidak suka hingga suka. Formula 1
memperoleh hasil tertinggi, yaitu 5 sedangkan Formula 6 dengan nilai terendah
3,5. Hasil uji kesukaan terhadap rasa dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Hasil uji kesukaan panelis terhadap rasa.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan jumlah lintah
laut dalam kantong teh celup memberikan rasa yang berbeda nyata di antara
formula (p<0,05). Hasil uji lanjut mengungkapkan bahwa Formula 1,2, dan 3
tidak berbeda nyata (p>0,05) dan ketiganya berbeda nyata dengan Formula 4,5,
dan 6 (p<0,05). Formula 1,2, dan 3 dikategorikan suka oleh panelis sedangkan
Formula 4,5, dan 6 dinilai agak tidak suka hingga netral. Perbedaan penilaian
terhadap rasa ini disebabkan oleh konsentrasi serbuk lintah laut yang semakin
meningkat pada Formula 4,5, dan 6. Konstannya jumlah jahe dan asam sitrat
dalam semua formula menyebabkan rasa amis yang timbul pada konsentrasi lintah
laut yang tinggi, tidak ternetralisir oleh jahe dan asam sitrat.
d. Total nilai organoleptik
Rata-rata nilai keseluruhan dari uji kesukaan panelis terhadap
kenampakan, aroma, dan rasa diukur sebagai total nilai organoleptik. Hasil
penilaian total organoleptik dapat dilihat pada Gambar 14.
47
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
1 2 3 4 5 6
5.41 5.26 5.204.82 4.64 4.46
Nila
i org
ano
lep
tik
Formula
Gambar 14 Total nilai organoleptik dari semua formula minuman fungsional
berbahan dasar lintah laut (Discodoris sp.).
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi
serbuk kering lintah laut memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat
kesukaan panelis (p<0,05). Semakin banyak serbuk lintah laut dalam kemasan
kantong maka semakin rendah nilai organoleptiknya. Berdasarkan uji lanjut yang
menggunakan uji BNT terungkap bahwa Formula 1, 2 dan 3 tidak berbeda nyata
(p>0,05), namun formula 1 dan 2 berbeda nyata dengan formula 4, 5, dan 6
(p<0,05). Formula 3, 4, 5 dan 6 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
(p>0,05).
Nilai organoleptik menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi
serbuk lintah laut. Hal ini diduga disebabkan karena kenampakan minuman yang
semakin keruh akibat banyaknya partikel yang merembes ke luar kantong.
Akibatnya, semakin banyak endapan dalam minuman tersebut mempengaruhi
penilaian panelis. Nilai citarasa minuman juga jadi berkurang karena semakin
jelas aroma dan rasa amis atau anyir dari lintah laut. Jahe dan asam sitrat yang
digunakan pada semua formula berjumlah tetap, sehingga tingginya konsentrasi
lintah laut tidak dapat lagi dinetralisir rasa dan aromanya oleh jahe maupun asam
sitrat.
4.4.2 Aktivitas antioksidan produk minuman reformula
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan terhadap formula-formula yang
masuk dalam batas penerimaan oleh panelis, sehingga pengujian hanya dilakukan
pada Formula 1, 2, dan 3. Aktivitas antioksidan dari masing-masing formula diuji
pada suhu air celupan, volume air celupan dan waktu celup yang berbeda-beda.
Hasil pengujian aktivitas antioksidan Formula 1 dapat dilihat pada Gambar 15.
48
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Suhu °C dan Volume air celupan (ml)
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
Gambar 15 Aktivitas antioksidan Formula 1 pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi
diperoleh pada volume air celup 70 ml yang bersuhu 90 oC selama 20 menit.
Formula 1 mampu menghambat radikal bebas DPPH dengan rata-rata
penghambatan sebesar 30,44%.
Hasil analisis sidik ragam untuk aktivitas antioksidan Formula 1 dan uji
lanjut untuk melihat perbedaan antar suhu, volume dan waktu celup, serta
interaksi antar ketiga faktor tersebut disajikan pada Lampiran 2. Hasilnya
menunjukkan bahwa masing-masing taraf pada suhu, volume, dan waktu
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Demikian pula pada interaksi
antara suhu dan waktu, volume dan waktu, serta interaksi antara ketiga faktor
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Sedangkan interaksi antara suhu
dan volume menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada uji lanjut
BNJ menunjukkan bahwa waktu celup antara 10 dan 30 menit tidak berbeda nyata
namun keduanya berbeda nyata dengan waktu celup 20 menit. Setiap taraf pada
faktor suhu menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) ditunjukkan oleh
kolom yang berbeda pada setiap taraf. Demikian juga pada faktor volume air
menunjukkan hasil yang berbeda nyata di antara setiap taraf (p<0,05).
49
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Suhu °C dan Volume air celupan (ml)
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
Hasil pengujian aktivitas antioksidan Formula 2 disajikan pada Gambar
16, dan hasil analisis sidik ragam serta hasil uji lanjut BNJ dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Gambar 16 Aktivitas antioksidan Formula 2 pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi
diperoleh pada volume air celup 50 ml yang bersuhu 90 oC selama 20 menit.
Persentasi penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa antioksidan yang
terkandung dalam air celupan Formula 2 rata-rata sebesar 34,39%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada setiap taraf suhu dan
waktu yang diuji berbeda nyata (p<0,05), sedangkan volume tidak berbeda nyata
(p>0,05). Interaksi antara suhu dan volume, suhu dan waktu, serta interaksi ketiga
faktor menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05), namun interaksi antara
volume dan waktu menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05).
Pada uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa suhu air celupan 80 oC dan 90
oC
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dan keduanya berbeda nyata
dengan suhu 70 oC (p<0,05). Volume air celupan 50, 70, dan 90 ml tidak
memberikan hasil yang berbeda nyata (p>0,05). Waktu celup 10 dan 30 menit
tidak berbeda nyata (p>0,05), namun keduanya berbeda nyata dengan pencelupan
selama 20 menit (p<0,05).
50
0
10
20
30
40
50
60
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Suhu °C dan Volume air celupan (ml)
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
Hasil pengujian aktivitas antioksidan Formula 3 terlihat pada Gambar 17,
dan hasil analisis sidik ragam serta hasil uji lanjut BNJ disajikan pada Lampiran 4.
Gambar 17 Aktivitas antioksidan Formula 3 pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi
diperoleh pada volume air celup 70 ml yang bersuhu 90 oC selama 20 menit.
Persentasi penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa antioksidan yang
terkandung dalam air celupan formula 3 rata-rata sebesar 46,16%.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa setiap taraf
perlakuan pada suhu dan waktu memberikan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
sedangkan volume menunjukkan hal yang sebaliknya. Demikian pula dengan
interaksi antara suhu dan volume, serta interaksi antar ketiga faktor menunjukkan
hasil yang berbeda nyata (p<0,05) sedangkan interaksi antara suhu dan waktu,
serta volume dan waktu tidak berbeda nyata (p>0,05).
Hasil uji lanjut menggunakan Uji BNJ menunjukkan bahwa antara suhu air
celup 70 oC dan 80
oC tidak berbeda nyata (p>0,05), namun keduanya berbeda
nyata dengan suhu 90 oC (p<0,05). Waktu celup terbaik diperoleh pada
pencelupan selama 20 menit.
Untuk melihat perbedaan diantara ketiga formula secara statistik dapat
dilihat pada Gambar 18. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata nilai
51
30.44a34.39b
46.16c
05
101520253035404550
1 2 3
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Formula
aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada formula 3 dengan konsentrasi lintah
laut sebanyak 0,24 gram.
Gambar 18 Aktivitas antioksidan formula-formula minuman fungsional.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang disajikan pada Lampiran 5
menunjukkan bahwa baik faktor-faktor perlakuan, konsentrasi formula, maupun
interaksi antara faktor dalam perlakuan dan konsentrasi formula, memberikan
hasil aktivitas antioksidan yang berbeda nyata (p<0,05). Pada uji lanjut dengan
BNJ lebih jelas menunjukkan bahwa Formula 3 memberikan hasil terbaik dengan
rata-rata persentasi penghambatan radikal bebas DPPH sebesar 46,16%.
Senyawa antioksidan yang terdeteksi pada formula minuman fungsional
tidak hanya berasal dari lintah laut tapi juga dari jahe kering dan asam sitrat yang
ditambahkan. Komponen antioksidan dalam lintah laut terdeteksi berasal dari
flavonoid, fenol hidrokuinon dan alkaloid. Komponen-komponen ini terdeteksi
dari hasil uji fitokimia yang dilakukan oleh Andriyanti (2009). Flavonoid dalam
lintah laut kemungkinan berasal dari makanan yang dimangsa mengandung
flavonoid. Alkaloid dapat berasal dari hasil biosintesis dalam tubuh lintah laut
yang banyak mengandung protein. Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang
dihasilkan dari hasil metabolisme normal dalam tubuh, yang komponen-
komponennya mengandung unsur N yang dapat berasal dari asam amino. Selain
itu, dengan kandungan protein yang tinggi maka dapat terhidrolisis akibat suhu air
celup yang tinggi. Asam-asam amino dan peptida-peptida hasil hidrolisis protein
dapat berperan sebagai antioksidan terutama bila bersinergi dengan senyawa
polifenol. Pokornŷ dan Korczak (2001) menyatakan bahwa asam-asam amino
52
dapat merubah radikal hidroperoksida menjadi imina yang lebih stabil, asam
amino yang mengandung sulfur dapat mengurangi radikal hidroperoksida menjadi
turunan hidroksilat yang tidak aktif, bahkan dalam minyak zaitun metionin dan
selenometionin lebih aktif sifat antioksidannya dibandingkan dengan
α-tocopherol. Sinergisitas asam amino dengan komponen polifenol dari jahe
dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dalam formula minuman fungsional ini.
Semua formula yang diuji aktivitas antioksidannya menunjukkan hasil
terbaik pada suhu air celup 90 oC. Hal ini mungkin disebabkan karena komponen-
komponen antioksidan lebih mudah terekstrak pada suhu 90 oC dibandingkan
pada suhu lebih rendah yang digunakan. Seok-Moon et al. (2004) melaporkan
bahwa total kandungan fenol serta aksi penangkapan radikal bebas dari ekstrak air
kulit Citrus unshiu meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan lama
paparan ekstraksi. Su et al. (2007) menyatakan bahwa profil fenol dan aktivitas
antioksidan dari ekstrak teh oolong meningkat seiring dengan meningkatnya suhu
air dan lama pencelupan teh dalam air, meskipun pada suhu yang lebih
ditingkatkan dan waktu celup yang lebih lama lagi dapat menurunkan kandungan
fenolnya. Menurunnya total kandungan fenol disebabkan oleh terjadinya oksidasi
atau polimerisasi senyawa-senyawa fenol akibat panas yang ditingkatkan.
Rata-rata waktu celup terbaik pada semua formula untuk menghasilkan
aktivitas antioksidan tertinggi yaitu selama 20 menit. Semakin lama pencelupan
maka akan semakin banyak komponen antioksidan yang terekstrak dan hal ini
dapat mengakibatkan pembentukan prooksidan. Antioksidan-antioksidan
pemecah rantai oksidasi seperti yang dimiliki oleh senyawa-senyawa polifenol
dapat menurun aktivitasnya seiring dengan peningkatan konsentrasinya.
Pembentukan prooksidan dipengaruhi oleh laju oksidasi akibat konsentrasi
antioksidan yang tinggi dan juga dipengaruhi oleh strukur antioksidan serta
kondisi sampel yang diuji. Pokorny (1987) menyatakan bahwa pada konsentrasi
antioksidan yang tinggi, kecepatan reaksi mencapai nilai konstan karena
terbatasnya radikal-radikal bebas yang ada dalam sistim. Pada kondisi seperti ini,
terjadi pembentukan radikal bebas akibat reaksi antara radikal antioksidan dan
oksigen.
53
0
5
10
15
20
25
30
35
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu (°C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
4.4.3 Pengaruh sinergisme antioksidan pada formula minuman fungsional
Antioksidan-antioksidan sinergistik secara luas diklasifikasikan sebagai
penangkap oksigen dan sebagai kelator. Proses sinergisme antioksidan
berlangsung melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Efek sinergisme
beberapa antioksidan biasanya dapat memperpanjang daya tahan antioksidan
primer, dan aktivitas antioksidan dalam sistim menjadi lebih tinggi dibandingkan
jika komponennya hanya digunakan sendiri (Rajalakshmi dan Narasimhan 1996).
Untuk melihat pengaruh sinergisme antioksidan yang ada dalam formula
minuman fungsional, maka dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap masing-
masing bahan dalam formula tersebut. Pengamatan juga dilakukan terhadap
perbedaan suhu air celupan, volume air celupan, dan waktu pencelupan.
Selanjutnya, hasilnya dapat dibandingkan dengan aktivitas antioksidan pada
Formula 1, 2 dan 3 yang telah diuji.
a. Aktivitas antioksidan pada jahe (dalam semua formula)
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan pada jahe seberat 0,25 g.
Jumlah ini sesuai dengan yang digunakan dalam semua formula yang diuji. Hasil
pengujiannya terlihat pada Gambar 19. Aktivitas antioksidan tertinggi yaitu
32.99% diperoleh pada kondisi suhu air 70 oC sebanyak 90 ml air selama 10
menit pencelupan, sedangkan aktivitas terendah, yaitu 23,46% diperoleh pada
pencelupan dalam 50 ml air dengan suhu 90 o
C selama 10 menit.
Gambar 19 Aktivitas antioksidan jahe (0,25 g) pada suhu air, volume air celupan,
dan waktu celup yang berbeda.
54
02468
1012141618
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu (°C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan jahe pada berbagai suhu,
volume dan lamanya pencelupan disajikan pada Lampiran 6. Hasilnya
menunjukkan bahwa faktor suhu memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05)
sedangkan volume, waktu, dan interaksi-interaksi di antara ketiga faktor tidak
mempengaruhi aktivitas antioksidan jahe (p>0,05). Taraf suhu terbaik untuk
menghasilkan aktivitas tertinggi adalah 90oC, yang secara statistik tidak berbeda
nyata dengan taraf suhu 80 oC.
b. Aktivitas antioksidan pada asam sitrat (dalam semua formula)
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan pada asam sitrat seberat 0,02 g.
Jumlah ini sesuai dengan yang digunakan dalam semua formula yang diuji. Hasil
pengujiannya terlihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Aktivitas antioksidan asam sitrat (0,02 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda.
Aktivitas antioksidan asam sitrat menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan pada asam sitrat mencapai nilai tertinggi yaitu 16,44% pada air
sebanyak 50 ml dengan suhu 70 o
C selama 30 menit dan nilai terendah yaitu
8,77% pada air sebanyak 90 ml bersuhu 90 o
C selama 30 menit.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa perlakuan
suhu dan volume mempengaruhi aktivitas antioksidan asam sitrat (p<0,05)
sedangkan waktu pencelupan tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Berdasarkan
hasil uji lanjut yang menggunakan uji BNJ, suhu 70 oC merupakan kondisi terbaik
untuk mendapatkan aktivitas antioksidan tertinggi dan taraf ini tidak berbeda
nyata dengan suhu 80 oC (p<0,05). Semakin banyak volume air yang melarutkan
55
0
5
10
15
20
25
30
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu (°C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
asam sitrat, makin sedikit aktivitas antioksidan yang diperoleh. Sedangkan
perbedaan waktu pencelupan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata.
c. Aktivitas antioksidan lintah laut dalam formula 1
Hasil pengujian aktivitas antioksidan lintah laut sejumlah 0,19 g, sesuai
dengan konsentrasi yang digunakan dalam formula 1 terlihat pada Gambar 21 dan
hasil analisis sidik ragam serta hasil uji lanjut BNJ terlihat pada Lampiran 8.
Gambar 21 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,19 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lintah laut pada Formula 1 memiliki
aktivitas antioksidan yang tertinggi pada volume air celup 70 ml yang bersuhu
90 oC selama 30 menit. Pada kondisi tersebut, persentasi penghambatan radikal
bebas DPPH oleh senyawa antioksidan yang terkandung dalam air celupan lintah
laut adalah sebesar 28,19%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu air celupan
dan lamanya waktu pencelupan yang diterapkan dalam penelitian ini
menghasilkan aktivitas antioksidan yang tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan
perbedaan volume menghasilkan aktivitas antioksidan yang berbeda nyata
(p<0,05). Berdasarkan uji lanjut dengan BNJ, maka volume air 50 ml berbeda
nyata dengan volume 70 ml dan 90 ml. Hasil rata-rata aktivitas antioksidan
tertinggi diperoleh pada volume air celupan sebanyak 70 ml.
56
0
5
10
15
20
25
30
35
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu (°C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
d. Aktivitas antioksidan lintah laut dalam formula 2
Hasil pengujian aktivitas antioksidan lintah laut sejumlah 0,21g, sesuai
dengan konsentrasi yang digunakan dalam formula 2 terlihat pada Gambar 22 dan
hasil analisis sidik ragam serta hasil uji lanjut BNJ terlihat pada Lampiran 9.
Gambar 22 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,21 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan yang tertinggi
diperoleh pada volume air celup 90 ml yang bersuhu 90 oC selama 10 menit.
Pada kondisi tersebut, persentasi penghambatan radikal bebas DPPH oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam air celupan lintah laut sejumlah 0,21
g adalah sebesar 31,36%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu air
celupan, volume air celupan, dan lamanya waktu pencelupan yang diterapkan
dalam penelitian ini berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan (p<0,05).
Berdasarkan uji lanjut dengan BNJ, maka pada kondisi suhu air 90 oC
memberikan nilai aktivitas tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan suhu 80 oC.
Volume air 50 ml berbeda nyata dengan volume 70 ml dan 90 ml. Hasil rata-rata
aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada volume air celupan sebanyak 90 ml.
waktu pencelupan terbaik diperoleh selama 10 menit dan hasilnya tidak berbeda
nyata dengan waktu 30 menit (p>0,05).
57
05
1015202530354045
50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml 50 ml 70 ml 90 ml
70 °C 80 °C 90 °C
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Suhu (°C) dan volume air celupan (ml)
10 mnt 20 mnt 30 mnt
e. Aktivitas antioksidan pada lintah laut dalam formula 3
Hasil pengujian aktivitas antioksidan lintah laut sejumlah 0,24 g, sesuai
dengan konsentrasi yang digunakan dalam formula 3 terlihat pada Gambar 23 dan
hasil analisis sidik ragam serta hasil uji lanjut BNJ terlihat pada Lampiran 10.
Gambar 23 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,24 g) pada suhu, volume air
celupan, dan waktu celup yang berbeda.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan yang tertinggi
diperoleh pada volume air celup 70 ml yang bersuhu 90 oC selama 20 menit.
Pada kondisi tersebut, persentasi penghambatan radikal bebas DPPH oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam air celupan lintah laut sejumlah 0,24
g adalah sebesar 38,93%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu air celupan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas antioksidan (p<0,05),
sedangkan perbedaan volume air celupan dan lamanya waktu pencelupan yang
diterapkan dalam penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas
antioksidan (p>0,05). Berdasarkan uji lanjut dengan BNJ, maka pada kondisi
suhu air 90 oC memberikan nilai aktivitas tertinggi dan berbeda nyata dengan suhu
80 oC dan 70
oC. Volume air terbaik adalah 70 ml dan waktu pencelupan terbaik
diperoleh selama 20 menit, meskipun hasilnya tidak berbeda nyata dengan volume
air serta waktu celup yang lain (p>0,05).
Berdasarkan hasil pengujian tunggal terhadap bahan-bahan yang
digunakan dalam campuran formulasi, maka terlihat bahwa jahe memiliki
58
aktivitas tertinggi sebesar 32,65%, asam sitrat memiliki aktivitas antioksidan
sebesar 16,44%, lintah laut pada formula 1, 2, dan 3, masing-masing sebesar
28,19%, 31,36%, dan 38,93%. Jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
dari masing-masing formula setelah penggabungan bahan-bahan tersebut, maka
terlihat adanya peningkatan nilai aktivitasnya. Aktivitas antioksidan tertinggi
produk Formula 1 sebesar 39,47%, Formula 2 sebesar 43,85%, dan Formula 3
sebesar 50,29%. Hal ini menunjukkan adanya sinergisme antioksidan di dalam
campuran formula minuman fungsional. Seperti yang dinyatakan oleh Denisov
dan Afanes’ev (2005) bahwa jika ada dua atau lebih bahan inhibitor (antioksidan)
yang ditambahkan secara bersamaan dalam satu sistim, maka dapat terjadi tiga
reaksi, yaitu (1) reaksi aditif, dimana efek penghambatan yang terjadi adalah sama
dengan jumlah masing-masing efek individual, (2) reaksi sinergis, dimana efek
penghambatan yang terbentuk lebih besar dari efek individual, dan (3) reaksi
antagonis, dimana efek penghambatan menghilang. Dalam penelitian ini,
aktivitas antioksidan pada formula 1, 2, dan 3 terjadi seperti pada reaksi ke-2,
yaitu reaksi sinergis karena efek penangkapan radikal bebas lebih besar dari efek
individual dari lintah laut, jahe, dan asam sitrat.
Sistim sinergisme dibagi atas tiga kelompok, yaitu (1) satu
inhibitor/antioksidan memutuskan rantai, dan antioksidan lainnya mengurangi
kecepatan otoinisiasi melalui pemutusan hidroperoksida menjadi produk
molekuler, atau mendeaktivasi katalis yang memecah hidroperoksid menjadi
radikal bebas, (2) dua atau lebih substansi baik sebagai inhibitor atau bukan,
bereaksi membentuk suatu antioksidan yang lebih efisien, dan (3) pengaruh
sinergis terjadi melalui interaksi produk-produk intermediate yang terbentuk dari
inhibitor yang ada dalam sistim tersebut (Denisov dan Afanes’ev 2005).
Masing-masing jenis antioksidan memiliki sifat dan cara kerja yang
mungkin tidak sama, namun semuanya memiliki target yang tidak berbeda, yaitu
menekan atau menghambat reaktivitas radikal bebas. Antioksidan yang satu
mungkin dapat berperan sebagai pendonor hidrogen pada radikal phenoksil
sehingga dapat membentuk antioksidan primer. Oleh karena itu antioksidan
fenolik digunakan dalam jumlah yang kecil untuk mendapatkan sinergismenya.
Kondisi asam juga dapat memperbaiki stabilitas antioksidan primer (Rajalakshmi
59
dan Narasimhan 1996). Asam dalam penelitian ini berasal dari asam sitrat. Eskin
dan Przybylski (2001) menyatakan bahwa asam sitrat termasuk dalam antioksidan
sinergis karena dapat berfungsi sebagai pengkelat logam dalam sistem atau pun
dalam sel. Tokoferol, asam askorbat, dan asam sitrat sering digunkan bersama-
sama untuk mendapatkan efek sinergis.
Wahyudi (2006) menemukan adanya efek sinergis dalam gabungan antara
asam sitrat dengan asam askorbat, dan asam askorbat dengan kurkumin.
Gabungan kedua bahan tersebut menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan bahan tunggal.
Menurut Ketaren (1986), sinergis yaitu senyawa yang mempunyai sedikit
sifat antioksidan tetapi dapat memperbesar efek dari antioksidan primer. Asam
askorbat dan asam sitrat memberi efek sinergis terhadap antioksidan lain, dan
sering dipakai sebagai antioksidan dalam pangan. Pokorny (2001) menambahkan
bahwa asam sitrat sangat efektif sebagai agen dalam sinergisme antioksidan baik
pada antioksidan primer maupun penangkap oksigen. Asam sitrat sering dianggap
sebagai antioksidan, meskipun sebenarnya hanya bersifat sebagai pengkelat
logam. Elektron-elektron yang tidak berpasangan dalam struktur molekul memicu
aksi pengkelatan tersebut sehingga membentuk kompleks yang lebih stabil dengan
logam-logam prooksidan. Meskipun dalam sistim nutrisi pangan pengkelat logam
sering dianggap negative karena dapat mengurang ketersediaan kalsium dan besi,
namun disisi lain dapat dihargai karena dapat menurunkan aktivitas prooksidan.
Antioksidan lain dalam formula dapat diperoleh dari asam amino yang
banyak terkandung dalam lintah laut. Hasil pengujian proksimat pada lintah laut
mengandung protein dengan nilai yang sangat tinggi, yaitu rata-rata 62,17%.
Dengan suhu air celupan 90 oC, kemungkinan besar dapat melarutkan protein-
protein yang larut air sehingga dalam air celupan formula diduga mengandung
asam-asam amino. Pokorny (2001) menyebutkan bahwa hidrolisat protein dari
organism air mengandung komponen, baik yang bersifat antioksidan maupun
prooksidan yang pengaruhnya tergantung pada konsentrasi, dan juga mengandung
aktivitas pengkelatan logam. Beberapa contoh asam amino yang diisolasi dari
proteolisat krill ditemukan lebih efektif jika digabungkan dengan antioksidan
fenolik.
60
y = -1.012x + 45.94R² = 0.924
y = -2.335x + 41.83R² = 0.960
y = -4.597x + 40.86R² = 0.973
-100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 5 10 15 20 25 30
Akt
ivit
as a
nti
oks
idan
(%
)
Lama penyimpanan (hari)
Suhu ruang 35 C 45 C
Penelitian lain menyangkut sinergisme dilakukan oleh Soares et al. (2004)
yang menemukan bahwa vitamin C dan asam pitat dapat menghasilkan dampak
sinergis antioksidan dalam menurunkan jumlah flavor teroksidasi pada daging
ayam yang dipanaskan. Vitamin C beraksi dengan cara menghambat inisiasi
rantai, kemudian dilanjutkan oleh asam pitat yang memecah propagasi rantai.
4.5 Pengujian Stabilitas Produk
Selama proses pengolahan dan penyimpanan, mutu pangan akan
mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor, baik faktor
lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Laju interaksi atau laju reaksi
dinyatakan sebagai konsentrasi persatuan waktu (Hariyadi 2006).
Produk formula 3 yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi diuji
stabilitasnya terhadap waktu penyimpanan.
4.5.1 Aktivitas antioksidan
Hasil pengamatan aktivitas antioksidan produk formula 3 pada tiga tingkat
suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Perubahan aktivitas antioksidan selama penyimpanan suhu ruang,
suhu 35 oC, dan suhu 45
oC.
Perubahan aktivitas antioksidan memperlihatkan kecenderungan yang
sama, yaitu semakin lama waktu penyimpanan, semakin berkurang aktivitas
antioksidannya, dan semakin tinggi suhu semakin cepat pula terjadi penurunan
aktivitasnya. Berdasarkan perhitungan yang menggunakan teknik regresi linier
61
(Lampiran 11), diperoleh koefisien korelasi yang cukup tinggi antara waktu
penyimpanan dan aktivitas antioksidan yang disimpan. Demikian pula dengan
hubungan antara laju penurunan aktivitas antioksidan dan suhu penyimpanan
seperti yang disajikan pada Gambar 25, memperlihatkan korelasi yang tinggi
(R2=0,96).
Gambar 25 Hubungan antara suhu dan laju penurunan aktivitas antioksidan.
Pengujian stabilitas antioksidan produk formula 3 diamati melalui laju
penurunan aktivitas antioksidan dengan menggunakan model Arrhenius seperti
terlampir pada Lampiran 12. Persamaan yang didapat dari hasil regresi linier pada
tiga tingkatan suhu tersebut diplotkan ke dalam model Arrhenius. Berdasarkan
pada perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan laju penurunan aktivitas
antioksidan formula 3 adalah : dimana k adalah
laju penurunan aktivitas antioksidan, dan T adalah oK ( suhu (
oC) + 273).
Berdasarkan persamaan di atas, maka dapat dihitung laju penurunan
aktivitas antioksidan jika produk tersebut disimpan pada berbagai suhu. Pada
penyimpanan suhu ruang, jika diasumsikan bersuhu 30 oC, maka laju atau
kecepatan penurunan aktivitas antioksidan adalah 1,012/hari dengan masa simpan
selama 44,58 hari. Berdasarkan perhitungan yang mengikuti reaksi ordo 0
(Lampiran 13), maka masa simpan produk jika di bawah kondisi suhu
penyimpanan 20 oC adalah 112,24 hari.
Aktivitas antioksidan tidak hanya dipengaruhi oleh kerangka strukturnya
yang secara kimia akan bereaksi dengan peroksil dan spesis aktif lainnya, tapi
y = -9176.x + 30,40R² = 0,96
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
0.0031 0.00315 0.0032 0.00325 0.0033 0.00335
Laju
pe
nu
run
anak
tivi
tas
anti
oks
idan
(ln
)
Suhu (1/T) oK
62
juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti konsentrasi, suhu, cahaya, jenis substrat,
status fisik dalam sistim, juga oleh sejumlah mikrokomponen yang beraksi
sebagai prooksidan atau sinergis. Yanishlieva-Maslarova (2001) menyatakan
bahwa konsentrasi awal produk otooksidasi pimer, yaitu hidroperoksida sangat
mengurangi efisiensi dan efektivitas antioksidan yang ditambahkan dalam sistim,
karena sebagai inisiator rantai, hidroperoksida mengurangi waktu bagi inhibitor
untuk menghambat proses pemutusan. Perbedaan suhu dan cahaya juga dapat
merubah mekanisme aksi beberapa antioksidan sehingga berpengaruh terhadap
efektifitas antioksidan. Hal ini diilustrasikan dengan periode induksi yang terjadi
dalam minyak bunga matahari yang disimpan pada suhu kamar di bawah kondisi
cahaya adalah sama dengan periode induksi dalam minyak yang teroksidasi pada
suhu 80oC dalam keadaaan gelap tanpa cahaya. Yang et al. (2010) melaporkan
bahwa aktivitas antioksidan pada serbuk kering mengkudu berkurang sebanyak
23-36% selama penyimpanan pada suhu 24 oC selama 12 jam, namun jika produk
disimpan dalam kemasan, penurunan aktivitas antioksidan menjadi lebih rendah
7-9% dari persentase di atas. Klimczak et al. (2007) menemukan beberapa
komponen yang bersifat antioksidan, seperti vitamin C dan asam hidroksinamat
terkonyugasi dalam minuman jus jeruk mengalami penurunan selama
penyimpanan dalam suhu yang berbeda, namun kandungan flavanon lebih stabil
terhadap penyimpanan. Pokorny (2001) menjelaskan bahwa mikrokomponen
seperti logam-logam berat dapat menjadi promotor oksidasi lipid karena beraksi
sebagai katalisator dekomposisi hidroperoksida lipida menjadi radikal bebas
sehingga dapat mengurangi efektifitas antioksidan.
Penurunan aktifitas antioksidan alami selama pemanasan dan
penyimpanan lebih banyak diakibatkan oleh perubahan-perubahan kimia yang
terjadi di dalam senyawa antioksidan itu sendiri. Secara alami, antioksidan
teroksidasi baik oleh produk oksidasi lipida atau hidroperoksida, maupun oleh
oksigen baik yang larut dalam sistim maupun yang diabsorpsi dari udara.
Oksidasi juga dapat berlangsung meskipun tanpa adanya oksigen karena adanya
ion logam seperti ion-ion ferat. Reaksi-reaksi inilah yang dapat menghambat
aktivitas antioksidan selama penyimpanan. Namun demikian, Sluis et al. (2001)
tidak menemukan adanya pengaruh penyimpanan terhadap aktivitas antioksidan
63
y = 0,010x + 4,476R² = 0,831
y = 0,025x + 4,442R² = 0,843
y = 0,019x + 4,383R² = 0,887
4.34.44.54.64.74.84.9
55.15.2
0 5 10 15 20 25 30
Nila
i pH
Lama penyimpanan (hari)
Suhu ruang 35 C 45 C
apel segar, baik yang disimpan pada suhu dingin maupun di bawah kondisi udara
yang terkontrol lainnya. Penelitian ini diperkuat oleh Boyer dan Liu (2004) yang
menyatakan bahwa kandungan fitokimia yang bersifat antioksidan pada buah apel
tidak banyak dipengaruhi oleh penyimpanan. Quercetin, floridzin, dan antosianin
tidak terpengaruh selama 52 minggu penyimpanan pada suhu ruang, sedangkan
katekin hanya mengalami sedikit penurunan, baik disimpan pada suhu ruang
maupun dalam penyimpanan beku.
4.5.2 Nilai pH
Hasil pengamatan terhadap nilai pH produk formula 3 selama
penyimpanan menunjukkan peningkatan pada ketiga suhu yang diterapkan. pH
awal produk sebesar 4,41 dan semakin meningkat seiring lamanya penyimpanan.
Pada suhu ruang, pH di akhir pengamatan tercatat sebesar 4,76, pada suhu 35 oC
sebesar 4,87, dan pada suhu 45 o
C sebesar 4,65. Peningkatan nilai pH dapat
dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Perubahan nilai pH produk formula 3 selama penyimpanan
Berdasarkan perhitungan dengan teknik regresi linier, maka terdapat
hubungan yang erat antara waktu penyimpanan dengan peningkatan nilai pH pada
setiap suhu yang diterapkan. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi yang
cukup tinggi pada semua suhu penyimpanan (R2 > 0,80). Namun, hubungan
antara suhu penyimpanan yang diterapkan dengan laju peningkatan pH pada
64
Gambar 27 tidak memilki korelasi yang kuat (R2=0,33), artinya bahwa suhu
penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai pH.
Gambar 27 Hubungan laju peningkatan nilai pH (ln) dengan suhu penyimpanan.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Arrhenius
(Lampiran 18) diperoleh laju peningkatan nilai pH adalah sebesar 0,01/hari,
sehingga masa simpan dapat diduga dengan membagi selisih nilai pH dengan laju
peningkatan nilai pH pada suhu tersebut. Pada penelitian ini, berdasarkan nilai
pH, masa simpan produk pada suhu 30 oC yaitu selama 59 hari. dan dengan
menggunakan perhitungan berdasarkan konsep Q10 (Lampiran 14) dan reaksi ordo
0, maka masa simpan produk pada suhu yang lebih rendah, misalnya 20 oC, dapat
diperpanjang menjadi 65,56 hari.
Pengujian stabilitas produk berdasarkan nilai pH ini dilakukan karena ada
penambahan zat pengasam atau asidulan, yaitu asam sitrat dalam formula.
Penambahan asam sitrat ini ditujukan untuk menetralisir rasa amis dalam formula.
Seperti yang dinyatakan oleh Winarno (1988) bahwa asidulan merupakan
senyawa kimia yang bersifat asam yang ditambahkan pada produk pangan sebagai
penegas rasa atau menyelubungi after taste yang tidak disukai. Unsur yang
menyebabkan rasa asam adalah ion H+ atau ion hidrogenium H3O
+.
pH adalah salah satu indikator yang penting dalam menjaga kestabilan
produk pangan. Hal ini dikarenakan pH berkaitan dengan ketahanan hidup
mikroba. Dengan semakin rendahnya pH, maka bahan pangan dapat lebih awet
karena mikroba pembusuk tidak dapat hidup. Dalam penelitian ini, semakin lama
penyimpanan, semakin tinggi nilai pH, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
penyerapan air dari udara sekeliling oleh produk dan adanya reaksi enzimatis yang
y = -3322.x + 6,633R² = 0,33
-5
-4
-3
-2
-1
0
0.00310 0.00315 0.00320 0.00325 0.00330 0.00335La
ju p
eru
bah
an
nila
i pH
Suhu (1/T) oK
65
mungkin terjadi dalam produk, serta aksi-aksi mikrobiologi. Selama
penyimpanan, dapat terjadi penguapan asam-asam organik yang mempunyai
rantai karbon pendek, selain itu juga dapat disebabkan oleh oksidasi asam di
dalam produk. Dengan adanya proses tersebut maka kandungan asam pada
produk menjadi berkurang. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa peningkatan
nilai pH kemungkinan disebabkan oleh mikrooragnisme yang hidup, seperti
bakteri dan khamir. Kamir dan kapang dapat memecah asam yang secara alamiah
terdapat dalam bahan pangan, sehingga mengakibatkan kenaikan pH yang
memungkinkan tumbuhnya bakteri pembusuk. Jay (2000) menyatakan bahwa
bakteri Clostridium acetobutylicum meningkatkan pH substrat dengan mereduksi
asam butirat menjadi butanol, Enterobacter aerogenes memproduksi acetoin dari
asam piruvat. Jika asam-asam amino terdekarboksilasi, maka terjadi peningkatan
pH akibat hasil dari amina.
Peningkatan nilai pH juga berpengaruh terhadap kestabilan antioksidan.
Laleh et al. (2006) menyatakan bahwa peningkatan nilai pH dapat menyebabkan
kerusakan antosianin yang lebih besar. Pada pH yang tinggi, garam-garam dapat
membentuk basa quinoidal yang merupakan pigmen yang tidak stabil.
4.5.3 Total Plate Count dan Kapang
Hasil pengamatan terhadap jumlah mikroba (TPC) menunjukkan bahwa
semakin lama waktu penyimpanan semakin banyak jumlah mikroba. Pengamatan
pada TPC menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada hari-hari
pertama penyimpanan yang diamati pada semua suhu,. Hasil pengamatan jumlah
TPC disajikan pada Gambar 28. Data pengamatan TPC dan Kapang dapat dilihat
pada Lampiran 15.
66
y = 45311x - 24922R² = 0.602
y = 21635x - 14828R² = 0.966
y = 21010x + 65607R² = 0.829
1
10
100
1000
10000
100000
1000000
10000000
0 5 10 15 20 25 30
Jum
lah
se
l (cf
u/m
l)
Lama penyimpanan (hari)
Suhu ruang 35 C 45 C
Gambar 28 Peningkatan sel mikroba (TPC) selama penyimpanan pada suhu ruang,
35 oC, dan 45
oC.
Peningkatan jumlah sel mikroba menunjukkan hasil yang berbeda pada
setiap suhu penyimpanan. Pada suhu ruang 30 oC terjadi peningkatan yang pesat
pada pengamatan hari terakhir, yaitu rata-rata sebesar 1,53x106; pada suhu 35
oC
pada akhir pengamatan tercatat 4,55x105 , dan pada suhu 45
oC sebesar 3,10x10
5.
Menurut Standar Nasional Indonesia, jumlah maksimum koloni bakteri dalam
produk pangan adalah sebesar 5,0x105. Dengan demikian, maka dapat dihitung
umur simpan produk, jika batas maksimum telah ditetapkan sebesar 5,0x105.
Berdasarkan perhitungan dengan teknik regresi linier (Lampiran 16), maka
dapat dihitung masa simpan pada suhu ruang, 35 oC dan 45
oC berturut-turut,
yaitu selama 24,66 hari, 20,23 hari, dan 14,86 hari. Melalui perhitungan
menggunakan reaksi ordo satu (Lampiran 16) dari persamaan Arrhenius, maka
produk yang disimpan pada suhu 20 oC akan memiliki umur simpan selama 33,33
hari.
Masa simpan yang singkat berdasarkan uji total bakteri diduga disebabkan
karena kontaminasi produk selama penanganan, sehingga jumlah bakteri yang
terdeteksi di akhir penyimpanan masih tinggi. Agar dapat menekan jumlah
bakteri pada produk akhir, dapat dilakukan dengan memperhatikan sanitasi
lingkungan sejak pasca panen, penanganan dan penyiapan komoditas, proses
pengolahan produk, hingga pengemasan. ICMSF (2001) menyatakan bahwa
penerapan Good Handling Processing (GHP) dalam suatu industri makanan
merupakan upaya-upaya dalam mencegah terjadinya kontaminasi pada produk
sehingga dapat menghasilkan produk akhir yang bermutu tinggi.
67
Segovia et al. (2007) menguji jumlah mikroorganisme pada ikan kering
yang meningkat hingga 105 cfu/g pada hari penyimpanan 21 hingga 28 hari,
namun kemudian mengalami penurunan total bakteri.
Laju peningkatan jumlah bakteri sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama
penyimpanan. Hal ini diduga disebabkan oleh jenis dan sifat bakteri itu sendiri.
Berdasarkan suhu, maka bakteri dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu (1)
bakteri psikrofil yang hidup pada suhu rendah <15 oC, (2) bakteri mesofil yang
hidup pada suhu optimum 30-35 oC, dan bakteri termofil yang hidup pada suhu
>45 oC.
Peningkatan nilai pH selama penyimpanan produk juga berpengaruh
terhadap jumlah bakteri. Bakteri tumbuh baik pada pH yang mendekati normal,
meskipun ada beberapa bakteri yang dapat tumbuh di bawah pH 4. Membran sel
bakteri relatif bersifat impermiabel atau menahan ion-ion H+ dan OH
-. Jika
ditempatkan dalam kondisi yang bersifat asam, maka sel-sel harus menahan
masuknya ion-ion H atau dengan cepat mengeluarkannya kembali. Aktivitas
metabolik bakteri menyebabkan medium atau substrat menjadi kurang asam,
sedangkan yang tumbuh pada pH tinggi cenderung untuk mengurangi pH medium
(Jay 2000).
Pengamatan terhadap jumlah kapang menunjukkan hasil yang berbeda di
antara suhu penyimpanan. Pada suhu 35 oC tidak terjadi peningkatan jumlah
kapang hingga akhir penyimpanan, namun pada suhu ruang 30 oC terdapat 20
koloni kapang, dan pada suhu 45 oC tercatat hingga 1,0x10
2 pada akhir
pengamatan. Angka terakhir ini merupakan batas maksimum kehadiran kapang
dalam produk makanan berdasarkan SNI. Perubahan jumlah kapang disajikan
pada Gambar 29.
68
y = 7.857x - 20R² = 0.945
y = 15.48x - 18.21R² = 0.892
1
10
100
1000
0 5 10 15 20 25 30
Jum
lah
se
l (cf
u/m
l)
Lama penyimpanan (hari)
Suhu ruang 35 C 45 C
Gambar 29 Perubahan jumlah kapang selama penyimpanan pada suhu ruang, suhu
35 oC, dan suhu 45
oC.
Berdasarkan pada perhitungan dengan persamaan regresi linier dan model
Arrhenius (Lampiran 17), maka dapat diketahui laju peningkatan jumlah kapang
adalah sebesar 0,769/hari bila disimpan pada suhu 30 oC. Jika batas maksimum
kapang ditetapkan sebesar 1,0x102 maka umur simpan produk yaitu selama 127
hari.
Pada penelitian ini, kapang terdeteksi lebih tinggi pada kondisi
penyimpanan suhu 45 °C dibandingkan pada penyimpanan suhu 35 °C dan suhu
ruang. Hal ini mungkin disebabkan karena selama penanganan dan pengolahan
produk telah terkontaminasi dengan jenis kapang yang tahan panas. Kapang
merupakan mikroorganisme yang banyak tersebar di berbagai tempat, sehingga
sangat mudah mencemari substrat atau media yang cocok bagi pertumbuhannya.
Ketahanan panas mikroorganisme cenderung meningkat ketika suhu inkubasi
meningkat, khususnya bagi mikroorganisme pembentuk spora. Meskipun pada
umumnya kapang agak sensitif terhadap panas, namun spora aseksual kapang
cenderung lebih resisten terhadap panas dibandingkan dengan bentuk mycelia.
Jenis Sclerotia adalah kapang yang paling resisten dan dapat menjadi penyebab
kebusukan pada buah kaleng (Jay 2000). Ranalli dan Howell (2002) menemukan
bahwa jumlah kapang yang diuji pada beras yang disimpan selama 15 minggu
tidak mengalami peningkatan yang nyata. Pertumbuhan kapang dapat terjadi
dalam dua minggu jika aw produk 0,85 tanpa ada kombinasi perlakuan dengan
69
y = -0.026x + 9.294R² = 0.902
y = -0.090x + 9.216R² = 0.994
y = -0.086x + 9.159R² = 0.913
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 5 10 15 20 25 30
Tota
l asa
m t
ert
itra
si(m
l N N
aOH
/10
0 m
l)
Lama penyimpanan (hari)
Suhu ruang 35 C 45 C
pengawet lainnya, namun tidak akan tumbuh hingga 25 minggu jika ditambahkan
kalium sorbat dan kalsium propionat (Jay 2000). Hasil penelitian Karunakaran et
al. (2001) terhadap jumlah kapang pada gandum menunjukkan bahwa waktu
simpan yang aman untuk gandum yang berkadar air 19% adalah 2,5 hari pada
suhu penyimpanan 30-35 oC dan 37 hari pada suhu penyimpanan 10
oC. Gandum
yang berkadar air 17% memiliki masa simpan yang lebih lama, yaitu 5 hari pada
suhu penyimpanan 35 oC, 7 hari pada suhu 30
oC, dan 15 hari pada suhu 25
oC.
4.5.4 Total asam tertitrasi (TAT)
Hasil pengamatan terhadap total asam tertitrasi produk formula 3 selama
penyimpanan menunjukkan penurunan pada ketiga kondisi suhu yang diterapkan.
Nilai total asam tertitrasi pada awal penyimpanan sebesar 9,216 ml N NaOH/100
ml sampel dan semakin menurun seiring lamanya penyimpanan. Pada suhu
ruang, total asam tertitrasi di akhir pengamatan tercatat sebesar 8,431 ml N
NaOH/100 ml, pada suhu 35 oC sebesar 7,451 ml N NaOH/100 ml, dan pada suhu
45 o
C sebesar 7,843 ml N NaOH/100 ml. Penurunan total asam tertitrasi disajikan
pada Gambar 30.
Gambar 30 Penurunan total asam tertitrasi selama penyimpanan pada suhu ruang,
35 oC, dan 45
oC.
Nilai TAT yang rendah pada formula 3 ini dapat disebabkan karena
penggunaan asam sitrat yang sedikit, dan adanya jahe dalam formula. Prihantini
(2003) dalam penelitiannya mengenai minuman fungsional, menemukan bahwa
70
minuman sari jahe mengandung TAT yang lebih rendah dibandingkan dengan sari
sereh. Koswara (1995) menyatakan bahwa minuman sari jahe memiliki nilai TAT
yang lebih rendah karena jahe banyak mengandung senyawa alkali dan alkali
tanah yang bersifat pembentuk basa seperti kalsium, magnesium, natrium, dan
kalium.
Berdasarkan perhitungan dengan teknik regresi linier, maka terdapat
hubungan yang erat antara waktu penyimpanan dengan peningkatan nilai
penurunan total asam tertitrasi pada setiap suhu yang diterapkan. Hal ini
ditunjukkan dengan koefisien korelasi yang cukup tinggi. Dan untuk melihat
hubungan antara suhu dengan laju penurunan total asam tertitrasi dapat dilihat
pada Gambar 31.
Gambar 31 Hubungan laju penurunan total asam tertitrasi (ln) dengan suhu
penyimpanan.
Hubungan laju penurunan total asam tertitrasi dengan suhu penyimpanan
menunjukkan korelasi yang kurang kuat ditandai dengan koefisien determinasi
yang rendah (R2 = 0,588). Hal ini berarti bahwa perbedaan suhu penyimpanan
kurang berpengaruh pada total asam tertitrasi.
Perhitungan masa simpan tidak dilakukan karena konsentrasi awal TAT
berada jauh di bawah standar yang ditetapkan, yaitu 122,5 ml N NaOH/100 ml.
Penurunan total asam tertitrasi dalam produk mengikuti peningkatan nilai pH.
Semakin tinggi total asam tertitrasi semakin asam produk ditandai dengan nilai
pH yang rendah. Hasil tertinggi total asam diperoleh pada hari ke- 0, dan terjadi
penurunan selama penyimpanan. Hal ini disebabkan asam-asam yang dihasilkan
bila diurai lebih lanjut akan menjadi senyawa volatil (Dwidjoseputro 1985).
y = -6580.x + 20.71R² = 0.588
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
0.00310 0.00315 0.00320 0.00325 0.00330 0.00335
Asa
m t
ert
itra
si (
Ln)
Suhu (1/T) oK
71
y = -8E-06x + 1.333R² = 0.246
y = -1E-06x + 1.332R² = 0.003
y = -2E-05x + 1.333R² = 0.741
1.3325
1.3326
1.3327
1.3328
1.3329
1.333
1.3331
0 5 10 15 20 25 30
Ind
eks
bia
s (°
Bri
x)
Lama penyimpanan (hari)
suhu 30oC suhu 35oC suhu 45oC
4.5.5 Indeks bias
Indeks bias merupakan fungsi dari konsentrasi suatu larutan. Semakin
tinggi konsentrasi zat terlarut, maka nilai indeks bias semakin besar, dan
sebaliknya jika nilai indeks bias menunjukkan skala yang kecil, maka larutan
memiliki konsentrasi zat terlarut yang rendah. Pengukuran indeks bias dilakukan
dengan alat refraktometer, yaitu suatu alat untuk mengukur kadar konsentrasi
bahan terlarut, misalnya gula, garam, dan protein. Konsentrasi larutan akan
berpengaruh secara proporsional terhadap sudut refraksi. Konsentrasi bahan
terlarut merupakan total dari semua bahan dalam air, termasuk gula, garam,
protein, asam-asam, dan sebagainya.
Hasil pengamatan terhadap indeks bias air celupan produk formula 3 tidak
menunjukkan perubahan yang bermakna selama penyimpanan pada tiga taraf suhu
yang diterapkan. Rata-rata nilai indeks bias adalah 1,333. Nilai indeks bias
disajikan pada Gambar 32, dan data pengamatan indeks bias selama penyimpanan
dapat dilihat pada Lampiran 20.
Gambar 32 Nilai indeks bias air celupan produk formula 3 selama penyimpanan.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nilai indeks bias, maka lama
penyimpanan pada suhu 30 oC menunjukkan penurunan zat-zat terlarut dalam air
celupan produk formula 3, dan meningkat di hari akhir penyimpanan. Pada suhu
35 oC menunjukkan nilai yang tidak stabil hingga akhir penyimpanan. Sedangkan
pada suhu 45 oC menunjukkan kecenderungan menurunnya jumlah zat-zat terlarut
dalam air celupan. Namun rata-rata nilai indeks bias yang diamati setara dengan
72
nilai indeks bias air, yaitu 1,333 yang diukur pada suhu 0 oC hingga 40
oC (Mann
1999). Perubahan yang sangat kecil terhadap nilai indeks bias ini diduga karena
konsentrasi zat-zat terlarut selama penyimpanan tidak menunjukkan perubahan
yang berarti.
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa konsentrasi bahan-bahan
terlarut adalah total dari semua bahan dalam air, termasuk gula, garam, protein,
asam-asam, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, tidak ada penambahan gula,
konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan hanya 20 mg yang kemungkinan besar
dapat menguap sebagian selama pencelupan 20 menit dengan air panas.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka indeks bias terdeteksi memiliki nilai
yang rendah. Dengan sedikitnya perubahan pada nilai indeks bias, menjadikan
produk tidak dapat diduga umur simpannya berdasarkan nilai tersebut. Hariyadi
(2006) menyatakan bahwa faktor atau parameter yang dapat menentukan umur
simpan adalah faktor dominan atau faktor kritis yang menyebabkan kerusakan
atau penurunan mutu yang paling cepat.
73
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Bahan baku lintah laut (Discodoris sp.) dan bahan tambahan jahe yang
digunakan dalam formulasi minuman fungsional memiliki aktivitas antioksidan
yang berbeda-beda, baik yang diuji dengan pelarut metanol maupun pelarut
akuades. Nilai aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada pelarut metanol yang
disuspensikan dengan bubuk kering jahe, yaitu sebesar 91,75% dengan
konsentrasi bubuk jahe 2000 ppm. Aktivitas antioksidan lintah laut pada pelarut
yang sama diperoleh nilai 83,29% pada konsentrasi 4000 ppm.
Pengujian aktivitas antioksidan pada air celupan masing-masing bahan
dilakukan untuk dibandingkan dengan aktivitas formula. Hasilnya pada jahe
diperoleh aktivitas aktivitas antioksidan tertinggi yaitu 32,99% pada kondisi suhu
air 70 oC sebanyak 90 ml air selama 10 menit pencelupan, sedangkan aktivitas
terendah yaitu 23,46% pencelupan pada 50 ml air dengan suhu 90 oC selama 10
menit. Aktivitas antioksidan asam sitrat 16,44% pada air sebanyak 50 ml dengan
suhu 70 o
C selama 30 menit dan nilai terendah yaitu 8,77% pada air sebanyak 90
ml bersuhu 90 oC selama 30 menit. Aktivitas antioksidan pada lintah laut untuk
formula 1 sebesar 28,19% pada kondisi volume air celup 70 ml yang bersuhu
90 oC selama 30 menit. Produk Formula 1 menunjukkan aktivitas antioksidan
tertinggi, yaitu 39,47%. Aktivitas antioksidan pada lintah laut untuk formula 2
sebesar 31,36% dan produknya memiliki aktivitas antioksidan tertinggi, yaitu
43,85%. Aktivitas antioksidan pada lintah laut untuk formula 3 sebesar 38,93%,
dan produknya memiliki aktivita antioksidan tertinggi, yaitu 50,29%. Dengan
demikian, maka kombinasi antara bahan-bahan dalam formula memberikan
dampak sinergis pada aktivitas antioksidan formula. Formula 3 dengan
konsentrasi 0,24 gram dalam kantong teh celup memiliki aktivitas antioksidan
rata-rata sebesar 46,16% dengan kondisi pencelupan pada 70 ml air bersuhu 90 °C
selama 20 menit.
Berdasarkan parameter-parameter kimia dan mikrobiologi yang diuji, maka
penyimpanan produk minuman fungsional memiliki umur simpan yang singkat
74
bila hanya disimpan pada suhu ruang, yaitu 24,66 hari, dan dapat bertahan hingga
33,33 hari jika disimpan pada suhu 20 oC.
5.2 Saran
Perlu penanganan yang higienis dan aseptik sejak pasca panen bahan baku
hingga pengemasan produk agar dapat menekan jumlah mikroba TPC.
75
DAFTAR PUSTAKA
Ali S, Ul-Haq I, Qadeer MA, Iqbal J. 2002. Production of citric acid by
Aspergillus niger using cane molasses in a stirrer fermentor.
Electronic J Biotech 5(3): 258-271.
Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut
(Discodoris sp.) asal perairan kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[Anonim]. 2009. Drugs from the sea [editorial]. Indian J Mar Sci 38(1): 7-9.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, dan Budiyanto S. 1989.
Analisis Pangan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: PAU Pangan dan
Gizi IPB.
Ardiansyah. 2005. Pangan tradisional sebagai pangan fungsional.
http://www.beritaiptek.com/pilih berita.php?id=57 (15 Nov 2009).
Arpah. 2001. Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Bogor: Program Studi
Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist . 1995. Official Methods of
Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Virginia
USA : Association of Official Analytical Chemist Inc, Arlington.
Avila C. 1995. Natural products of opisthobranch mollucs: A biological review.
J Oceanogr Mar Biol 3 : 487-559 :
Blunden G, Ali HB, Wabel AN. 2005. Phytochemical, pharmacological and
toxicological aspects of Hibiscus sabdariffa L. J Phytother Res 19 :
369-375.
Bodamyali T, Kancler JM, Millar TM, Blake DR, Stevens CR. 2002. Free
radicals in rheumatoid arthritis : Mediators and modulators. Di dalam :
Fuchs J, Podda M, Packer L, editor. Redox Genome Interaction in
Health and Disease. New York : Marcel Dekker.
[BPOMRI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.
Peraturan Teknis Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional.
Jakarta : BPOM.
Cavagnin M, Carbone M, Mollo E, Cimino G. 2003. Austrodoral and austrodoric
acid: Nor sesquiterpenes with a new carbon skeleton from the antartic
nudibranch Austodoris kerguelensis. Tetrahedron 44(7):1495-1498.
76
Cavas L, Yurdakoc K, Yokes B. 2005. Antioxidant status of Lobiger serradifalci
and Oxynoe olivacea (Opisthobranchia, Mollusca). J Exp Mar Bio Eco
314(2): 227-235.
Chen CYO dan Blumber JB. 2008. Phytochemical composition of nuts. Asia
Pac J Clin Nutr 17(S1) : 329-332.
Ciavitta et al. 2007. Studies of puupehenon-metabolites of Dysidea sp structure
and biological activity. Tetrahedron 63(6):1380-1384.
Crispps MH. 1973. Spice Oleoresin. The process, the market and the future. Di
dalam : Proceeding of the Conference on Spices. London: Tropical
Product Institute.
Denisov ET, Afanes’ev IB. 2005. Oxidation and Antioxidants in Organic
Chemistry and Biology. Boca Raton: CRC Press, LLC.
Duke JA. 2008. US. Department of Agriculture Phytochemistry and
Ethnobotanical Database. http//www.arsgrin.gov/duke/index/html
Dwidjoseputro, D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Malang: Penerbit
Djambatan.
Eskin NAM, Przybylski R. 2001. Antioxidant and shelf life of food. Di dalam:
Eskin NAM, Robinson DR, editor. Food Shelf Life Stability,
Chemical, Biochemical, and Microbiological Changes. Washington
DC: CRC Press, LLC.
Farrel KT. 1990. Spices, Condiments and Seasonings. Connecticut: The AVI
Publishing Company Inc.
[FDA] Food and Drug Administration. 1973. Food & Drug Research
Laboratories, Inc.:Teratologic Evaluation of FDA 71-54 Contract no.
71-260.
Fasoyiro SB, Ashaye OA, Adeola A, Samuel FO. 2005. Chemical and storability
of fruit flavoured (Hibiscus sabdariffa) drinks. J Agric Sci 1(2):165-
168.
Floros JD, Gnanasekharan V. 1993. Shelf life prediction of packaged foods:
chemichal, biological, physical, and nutritional aspects. G.
Chlaralambous (Ed.). London: Elsevier Publ. http://www.pustaka-
deptan.go.id/publikasi/p3274082.pdf. [27 April 2010]
Francis FJ. 2002. Food colorings. Di dalam: Mac Dougall DB, editor. Color in
Food. Cambridge: Woodhead Publicity Limited.
77
Gelman A, Pasteur R, Rave M. 1990. Quality change and storage life of cammon
carp (Cyprinus carpio) at various storage temperatures. J Sci Food
Agric 52: 231−241.
Grkovic T, David R. Appleton DR, Copp BR. 2005. Chemistry and chemical
ecology of some of the common opisthobranch molluscs found on the
shores of ne new zealand. Chemistry in New Zealand: 12-15.
http://nzic.org.nz/CiNZ/CiNZ.html. [23 Maret 2010]
Gu¨rsoy S. 2002. Besinlerde katkı maddelerinin kullanımı ve sitrik asit
toksisitesi. [Thesis] Trakya U¨ niversitesi Fen Bilimleri Enstitu¨su¨.
.
Hariyadi P. 2004. Prinsip-prinsip pendugaan masa kedaluwarsa dengan metode
Accelerated Shelf Life Test [abstrak]. Di dalam: Pelatihan Pendugaan
Waktu Kedaluwarsa (Self Life) Bahan dan Produk Pangan. Bogor, 1-2
Des 2004. Bogor : Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor.
Hardinsyah. 2004. Report of the regional expert consultation of the asia pacific
network for food and nutrition on functional foods and their
implication in the daily diet. Bangkok, 16-19 November 2004.
http://www.fao.org/documents/show.cdr.asp?url
file=/docrep/007/ae532e/ae532e06.htm [21 Nov 2009]
Hong YY. 2004. Harvesting drugs from the seas and how taiwan could
contribute to this effort. Changhua J Med 9:1-6.
Hoorn Van et al. 2002. Accurate prediction of xanthine oxidase inhibition based
on the structure of flavonoids. European J Pharm 451 : 111-118
Holland JS. 2008. Toxic nudibranchs—soft, seagoing slugs—produce a brilliant
defense. http://ngm.nationalgeographic.com/2008/06/ nudibranchs/holland-text. [1 Mei 2010]
Ibrahim M. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah laut
Discodoris sp. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
[ICMSF]. International Commision on Microbiological Specification for Foods.
2005. Microorganism in Food 6. Second edition. Microbial Ecology
of Food Commodities. New York: Kluwer Academic/Plenum
Publisher.
Javanmardi J, Stushnoff C, Locke E, Vivanco JM. 2003. Antioxidant activity and
total phenolic content of Iranian ocimum accessions. J Food Chem
83:547-550.
78
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth edition. Maryland: Aspen
Publisher, Inc.
Karunakaran et al. 2001. Safe storage time of high moisture wheat. J Stored
Products Res 37:303-312.
Ketaren S. 1988. Minyak Atsiri. Jilid I. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
Penerbit UI-Press.
Kikuzaki H, Nakatani N. 1993. Antioxidant effects of some ginger constituents.
J Food Science 58:1407-1409.
Klimczak I, Malecka M, Sziachta M, Swiglo AG. 2007. Effect of storage on
content of polyphenols, vit C, and the antioxidant activity of orange
juice. J Food Composition and Analysis 20(3-4): 313-322.
Koswara S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Koswara S. 2004. Evaluasi sensori dalam pendugaan umur simpan produk pangan
[abstrak]. Di dalam: Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Self
Life) Bahan dan Produk Pangan. Bogor, 1−2 Desember 2004. Bogor:
Pusat Studi Pangan dan Gizi, IPB.
Kusnandar F. 2004. Aplikasi program computer sebagai alat bantu penentuan
umur simpan produk pangan: metode Arrhenius [abstrak]. Di dalam:
Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Shelf Life) Bahan dan
Produk Pangan. Bogor, 1−2 Desember 2004. Bogor: Pusat Studi
Pangan dan Gizi, IPB.
Kustyawati ME, Sulastri R. 2008. Pemanfaatan hasil tanaman hias rosella
sebagai bahan minuman. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan
Teknologi-II. Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Laleh GH, Frydoonfar H, Heidary R, Jameei R, Zare S. 2006. The effect of light,
temperature, pH, and species on stability of anthocyanin pigments in
four berberries species. Pakistan J of Nutr 5(1): 90-92.
Lee YB, Kim YS, Ashmore CR. 1986. Antioxidant property in ginger rhizome
and its application to meat products. J Food Science 51(1):20-23.
Man JM de. 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Gaithersburg,
Maryland: Aspen Publishers, Inc.
Mason P. 2007. Dietary Supplements. Ed ke-3. London : Pharmaceutical Press
79
Marin A, Belluga MDL, Scognamiglio G, Cimino G. 1997. Morphological and
chemical camouflage of the mediterranean nudibranch Discodoris
indecora on the sponges Ircinia variabilis and Ircinia fasciculate.
J Moll Stud 63: 431-439.
Maryani H, Kristiana L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosella. Surabaya:
Agromedia Pustaka.
Maturin L, Peeler JT. 2001. Aerobic plate count. Di dalam : Bacteriological
Analytical Manual Online. Center for Food Safety and Applied
Nutrition. USA: U.S. Food and Drug Administration.
McKay DL, Oliver Chen CY, Saltzman E, Blumberg JB. 2010. Hibiscus
Sabdariffa L. Tea (Tisane) Lowers Blood Pressure in Prehypertensive
and Mildly Hypertensive Adults. J of Nutrition 140(2): 298-303.
Mollo E et al. 2008. Factors promoting marine invasions: A chemoecologycal
approach. PNAS 105(12):4582-4586.
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radicals diphenylpicryilhydrazyl
(DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J Sci
Technol 26(2):211-219.
Nasution A. 1980. Metode Penilaian Citarasa. Bogor: Dept. IKK, IPB.
Nurjanah, Hardjito L, Monintja DR, Bintang M, Priyono DRA. 2010.
Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) sebagai antioksidan dan
antikolesterol. Di dalam: Makalah Seminar Pascasarjana IPB [dalam
proses].
Pokornŷ J, Korczak J. 2001. Preparation of natural antioxidants. Di dalam :
Pokornŷ J et al. (editors). Antioxidant in Food Practical Applications.
Boca Rotan : CRC Press LLC.
Prihantini S. 2003. Formulasi, karakterisasi kimia dan uji aktivitas antioksidan
produk minuman tradisional dari sari jahe (Zingiber officinale R), sari
sereh (Cymbopogon flexuosus), dan campurannya [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Prior RL, Wu X, Schaich K. 2005. Standardized methods for the determination
of antioxidant capacity and phenolics in foods and dietary
supplements. J Agric Food Chem 55: 2698A-J.
Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robbin SRJ. 1981. Spices. Vol 2. New
York: Longman Inc.
80
Rahman MS. 2007. Food preservation: Overview. Di dalam: Rahman MS,
editor. Handbook of Food Preservation. Ed ke-2. Boca Raton : CRC
Press.
Rahayu WP, Nababan H, Budijanto S, dan Syah D. 2003. Pengemasan,
Penyimpanan dan Pelabelan. Jakarta : Badan Pengawasan Obat dan
Makanan.
Rajalakshmi D, Narasimhan S. 1996. Food antioxidants: Sources and methods of
evaluation. Di dalam: Madhavi DL, Deshpande SS, Salunkhe DK,
editors. Food Antioxidants Technological, Toxicological, and Health
Perspectives. New York: Marcel Dekker, Inc.
Ranalli RP, Howell TA. 2002. Effects of storage condition on the total aerobic
and yeast/mold bacterial counts of rough rice during-on farm storage.
J Food Sci 67(2): 808-810.
Reineccius G. 2006. Flavor Chemistry and Technology. Second Edition. Boca
Raton: CRC Press, LLC.
Richardson A. 2009. Roselle (Hibiscus sabdariffa Linn.) reduces high blood
pressure in persons with type 2 diabetes.
http://heartdiseasediabetes.suite101.com/article.cfm/roselle_hibiscus_sa
bdariffa_linn#ixzz0vtoVzz2C (7 Agustus 2010)
Rismunandar. 1988. Rempah-Rempah : Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung:
Penerbit Sinar Baru
Robak J dan Gryglewski RJ. 1988. Flavonoids are scavengers of super oxide
anions. J Biochemistry and Pharmacology 37:837-841.
Rumpho ME, Manhart JR, Summer EJ. 2000. Solar-powered sea slugs.
mollusc/algal chloroplast symbiosis. J Plant Physiology 123:29-38
Sachidhanandam U, Willan RC, Chou LM. 2000. Checklist of the nudibranch
(Opisthobranchia : Nudibranchia) of the South China Sea. The Raffles
Bulletin of Zoology 8 : 513-537
Salah AM, Gathumbi J, Vierling W. 2002. Inhibition of intestinal motility by
metanolic extracts of Hibiscus sabdariffa L. (Malvaceae) in rats.
J Phytoter Res 16:283-285.
Segovia FI, Esriche I, Fuentes I, Serra JA. 2007. Microbial and sensory changes
during refrigerated storage of desalted cod (Gadus morhua) preserved
by combined methods [abstrak]. Int J Food Microbiology 116(1):
64-72.
81
Seok-Moon J et al. 2004. Effect of heat treatment on the antioxidant activity of
extracts from citrus peels. J Agric. Food Chem. 52 (11): 3389–3393
Shi J, Lamin SK, Yukio K. 2007. Supercritical fluid technology for extraction of
bioactive components. Di dalam: Shi J, editor. Functional Food
Ingredients And Nutraceuticals : Processing Technologies. London:
CRC Press. Hlm 3-43
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung : Penerbit ITB.
Sluis AA Van der, Dekker M, de Jager M, Jongen MF. 2001. Activity and
concentration of polyphenolic antioxidant in apple: Effect of cultivar,
harvest year, and storage condition. J Agric Food Chem 49(8): 3606-
3613.
Soares AL, Olivo R, Shimokomahi M, Ida EI. 2004. Synergism between dietary
vitamin E and exogenous phytic acid in prevention of warmed-over
flavor development in chicken breast meat, Pectoralis major M.
Brazilian Archieves of Biology and Technology 47(1): 57-62
Soekarto ST. 1990. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Angkasa Bhatara Karya.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan
atau Sensori. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistic: A
Biometrical Approach. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill Book Co.
Stoilova I, Krastanov A, Stoyanova A, Denev P, Gargova P. 2007. Antioxidant
activity of a ginger extract (Zingiber officinale). J Food Chemistry
102:764-770.
Su X, Duan J, Jiang Y, Duan X, Chen F. 2007. Polyphenolic profil and
antioxidant activity of oolong tea infusion under various steeping
condition. Int. J Mol Sci 8: 1196-1205.
Tee PL, Yusof S, Mohamed S. 2002. Antioxidative properties of roselle
(Hibiscus sabdariffa) in linoleic acid model system. J Nutr Food Sci
32(1): 17-20.
Tejasari, Zakaria FR. 2000. Sifat fungsional jahe: Fraksi 1 dan 2 senyawa
bioaktif oleoresin rimpang jahe (Zingiber officinale Roscoe)
menurunkan produk peroksidasi lipid membran sel limfosit secara in
vitro. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan: 296-
305.
Tranggano. 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additive). Yogyakarta: Pusat
Antar Universitas. Pangan dan Gizi, UGM.
82
Wahyudi A. 2006. Pengaruh penambahan kurkumin dari rimpang temu giring
pada aktivitas antioksidan asam askorbat dengan metode FTC. Akta
Kimindo 2(1): 37-40.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FG. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Witjaksono HT. 2005. Komposisi Kimia ekstrak dan minyak lintah laut
(Discodoris boholiensis) [Seminar hasil penelitian]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wojnar JM. 2008. Isolation of new secondary metabolites from New Zealand
marine invertebrates [Thesis]. Wellington: Victoria University of
Wellington.
Yang J, Gadi R, Paulino R, Thomson T. 2010. Total phenolic, ascorbic acid, and
antioxidant capacity of noni (Morinda citrifolia) juice and powder as
affected by illumination during storage. J Food Chemistry 122(3):
627-632.
Yanishlieva-Maslarova. 2001. Inhibiting oxidation. Di dalam : Pokornŷ J et al.
(editor). Antioxidant in Food Practical Applications. Boca Rotan :
CRC Press LLC.
Yilmaz S, Fatma U, Yuzbas D, Aksoy H. 2008. Clastogenic effects of food
additive citric acid in human peripheral lymphocytes. Cytotechnology
56:137–144.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1 Score Sheet Uji Hedonik
Nama : ……………………….. Tanggal : …………………
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh minuman yang disajikan
Spesifikasi Nilai Kenampakan
513 624 137 842 357 462
Sangat suka 7
Suka 6
Agak suka 5
Netral 4
Agak tidak suka 3
Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1
Spesifikasi Nilai Bau
513 624 137 842 357 462
Sangat suka 7
Suka 6
Agak suka 5
Netral 4
Agak tidak suka 3
Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1
Spesifikasi Nilai Rasa
513 624 137 842 357 462
Sangat suka 7
Suka 6
Agak suka 5
Netral 4
Agak tidak suka 3
Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1
85
Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan
formula 1
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan Formula 1
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan Formula 1
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig.
Suhu 828,360 2 414,180 147,514 ,000
Volume 110,441 2 55,221 19,667 ,000
Waktu 298,238 2 149,119 53,110 ,000
Suhu*Volume 7,586 4 1,897 ,675 ,612
Suhu*Waktu 106,755 4 26,689 9,505 ,000
Volume*Waktu 86,674 4 21,669 7,717 ,000
Suhu*Volume*Waktu 257,726 8 32,216 11,474 ,000
Galat 151,617 54 2,808
Total 76925,285 81
Total koreksi 1847,398 80
R Squared (R2) = 0,918
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2 3
SUHU
Suhu air 70 °C 27 26,668
Suhu air 80 °C 27
30,179
Suhu air 90 °C 27
34,488
VOLUME
Volume air 90 ml 27 28,973
Volume air 50 ml 27
30,533
Volume air 70 ml 27
31,829
WAKTU
Waktu celup 10 menit 27 28,703
Waktu celup 30 menit 27 29,513
Waktu celup 20 menit 27
33,117
86
Lampiran 3 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan
Formula 2
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan Formula 2
R Squared = ,796
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan Formula 2
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig.
Suhu 78,459 2 39,229 9,858 ,000
Volume 7,070 2 3,535 ,888 ,417
Waktu 211,423 2 105,711 26,564 ,000
Suhu*Volume 125,581 4 31,395 7,889 ,000
Suhu*Waktu 268,983 4 67,246 16,898 ,000
Volume*Waktu 19,153 4 4,788 1,203 ,320
Suhu*Volume*Waktu 127,969 8 15,996 4,020 ,001
Galat 214,893 54 3,980
Total 96875,079 81
Total koreksi 1053,532 80
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1
SUHU
Suhu air 70 °C 27 33,084
Suhu air 80 °C 27
34,642
Suhu air 90 °C 27
35,456
VOLUME
Volume air 70 ml 27 34,021
Volume air 90 ml 27 34,418
Volume air 50 ml 27 34,744
WAKTU
Waktu celup 30 menit 27 33,166
Waktu celup 10 menit 27 33,341
Waktu celup 20 menit 27
36,677
87
Lampiran 4 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan
Formula 3
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan Formula 3
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan Formula 3
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig.
Suhu 84,879 2 42,439 17,754 ,000
Volume 19,960 2 9,980 4,175 ,021
Waktu 75,306 2 37,653 15,752 ,000
Suhu*Volume 32,970 4 8,243 3,448 ,014
Suhu*Waktu 21,838 4 5,459 2,284 ,072
Volume*Waktu 15,223 4 3,806 1,592 ,190
Suhu*Volume*Waktu 118,537 8 14,817 6,199 ,000
Galat 129,082 54 2,390
Total 173068,709 81
Total koreksi
497,794 80
R Squared (R2) = 0,741
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2 3
SUHU
Suhu air 70 °C 27 45,166
Suhu air 80 °C 27 45,740
Suhu air 90 °C 27
47,566
VOLUME
Volume air 90 ml 27 45,682
Volume air 50 ml 27 45,947 45,947
Volume air 70 ml 27
46,842
WAKTU
Waktu celup 10 menit 27 45,010
Waktu celup 30 menit 27
46,093
Waktu celup 20 menit 27
47,369
88
Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut antar perlakuan dan formula
Analisis sidik ragam dari aktivitas antioksidan antar formula
Uji lanjut BNJ terhadap aktivitas antioksidan antar formula
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig
Perlakuan 1753,443 26 67,440 22,045 ,000
Formula 10822,958 2 5411,479 1,769E3 ,000
Perlakuan * Formula 1149,688 52 22,109 7,227 ,000
Galat/ Error 495,593 162 3,059
Total 346869,073 243
Total koreksi 14221,683 242
R Squared (R2) = 0,965
FORMULA N Subset pada α 0,05
1 2 3
1 81 30,445
2 81
34,395
3 81
46,157
P<0,05
89
Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan jahe
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan jahe
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F
Suhu 193,078 2 96,539 4,971
Volume 18,476 2 9,238 0,476
Waktu 90,618 2 45,309 2,333
Suhu*Volume 30,015 4 7,504 0,386
Suhu*Waktu 56,078 4 14,020 0,722
Volume*Waktu 48,647 4 12,162 0,626
Suhu*Volume*Waktu 195,202 8 24,400 1,256
Galat 1048,692 54 19,420
Total 68519,488 81
Total koreksi
1680,807 80
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan jahe
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2
SUHU
Suhu air 90 °C 27 26,968
Suhu air 70 °C 27 28,483 28,483
Suhu air 80 °C 27
30,726
VOLUME
Volume air 50 ml 27 28,064
Volume air 70 ml 27 28,937
Volume air 90 ml 27 29,175
WAKTU
Lama celup 30 menit 27 27,263
Lama celup 20 menit 27 29,187
Lama celup 10 menit 27 29,727
90
Lampiran 7 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan asam
sitrat
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan asam sitrat
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig
Suhu 32,651 2 16,326 7,077 ,002
Volume 378,698 2 189,349 82,083 ,000
Waktu 4,566 2 2,283 ,990 ,378
Suhu*Volume 17,459 4 4,365 1,892 ,125
Suhu*Waktu 1,431 4 ,358 ,155 ,960
Volume*Waktu 6,859 4 1,715 ,743 ,567
Suhu*Volume*Waktu 14,556 8 1,819 ,789 ,615
Galat 124,567 54 2,307
Total 12775,129 81
Total koreksi
580,786 80
R Squared = ,786
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan asam sitrat
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2 3
SUHU
Suhu air 90 °C 27 11,410
Suhu air 80 °C 27 12,474
Suhu air 70 °C 27
12,924
VOLUME
Volume air 90 ml 27 9,787
Volume air 70 ml 27 11,965
Volume air 50 ml 27
15,057
WAKTU
Lama celup 10 menit 27 11,941
Lama celup 30 menit 27 12,374
Lama celup 20 menit 27 12,494
91
Lampiran 8 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah
laut (0,19 g)
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan lintah laut (0,19 g)
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig
Suhu 4,623 2 2,312 ,623 ,540
Volume 192,724 2 96,362 25,957 ,000
Waktu 6,785 2 3,392 ,914 ,407
Suhu*Volume 36,161 4 9,040 2,435 ,058
Suhu*Waktu 13,187 4 3,297 ,888 ,477
Volume*Waktu 16,781 4 4,195 1,130 ,352
Suhu*Volume*Waktu 13,908 8 1,739 ,468 ,873
Galat 200,467 54 3,712
Total 49942,590 81
Total koreksi
484,635 80
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan lintah laut (0,19 g)
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2
SUHU
Suhu air 80 °C 27 24,377
Suhu air 70 °C 27 24,825
Suhu air 90 °C 27 24,927
VOLUME
Volume air 50 ml 27 22,532
Volume air 70 ml 27
25,691
Volume air 90 ml 27
25,907
WAKTU
Lama celup 10 menit 27 24,320
Lama celup 30 menit 27 24,795
Lama celup 20 menit 27 25,014
92
Lampiran 9 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah
laut (0,21 g),
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan lintah laut (0,21 g)
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig
Suhu 146,325 2 73,163 6,524 ,003
Volume 169,392 2 84,696 7,553 ,001
Waktu 100,085 2 50,043 4,463 ,016
Suhu*Volume 52,609 4 13,152 1,173 ,333
Suhu*Waktu 236,493 4 59,123 5,272 ,001
Volume*Waktu 24,331 4 6,083 ,542 ,705
Suhu*Volume*Waktu 39,686 8 4,961 ,442 ,890
Galat 605,545 54 11,214
Total 51198,757 81
Total koreksi
1374,466 80
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan lintah laut (0,21 g)
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2
SUHU
Suhu air 70 °C 27 23,380
Suhu air 80 °C 27 24,419 24,419
Suhu air 90 °C 27
26,605
VOLUME
Volume air 50 ml 27 22,868
Volume air 70 ml 27 25,191
Volume air 90 ml 27 26,345
WAKTU
Lama celup 20 menit 27 23,268
Lama celup 30 menit 27 25,265 25,265
Lama celup 10 menit 27 25,870
93
Lampiran 10 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah
laut (0,24 g)
Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan lintah laut (0,24 g)
Sumber Keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F Prob/Sig
Suhu 262,368 2 131,184 14,802 ,000
Volume 47,477 2 23,738 2,679 ,078
Waktu 3,031 2 1,515 ,171 ,843
Suhu*Volume 58,887 4 14,722 1,661 ,172
Suhu*Waktu 96,746 4 24,187 2,729 ,038
Volume*Waktu 41,076 4 10,269 1,159 ,339
Suhu*Volume*Waktu 125,382 8 15,673 1,768 ,104
Galat 478,573 54 8,862
Total 90491,286 81
Total koreksi
1113,540 80
Hasil uji BNJ dari suhu, volume air, dan lama celupan terhadap aktivitas
antioksidan lintah laut (0,24 g)
FAKTOR N Subset pada α 0,05
1 2
SUHU
Suhu air 80 °C 27 31,377
Suhu air 70 °C 27 32,616
Suhu air 90 °C 27
35,661
VOLUME
Volume air 90 ml 27 32,136
Volume air 70 ml 27 33,717
Volume air 50 ml 27 33,800
WAKTU
Lama celup 30 menit 27 32,945
Lama celup 10 menit 27 33,333
Lama celup 20 menit 27 33,375
94
Lampiran 11 Persamaan regresi linier pada tiga suhu penyimpanan
Data hasil pengamatan aktivitas antioksidan berdasarkan waktu
penyimpanan yang disimpan pada tiga suhu yang berbeda
Suhu dan waktu penyimpanan
Hari ke- Suhu Ruang Hari ke- Suhu 35 oC Hari ke- Suhu 45
oC
0 45,120 0 45,120 0 45,120
7 42,687 5 29,565 3 23,297
14 26,909 10 12,316 6 13,410
21 26,132 15 7,771 10 -9,851
28 17,945 20 -2,359 14 -19,351
Berdasarkan data-data di atas, maka diperoleh persamaan-persamaan linier
sebagai berikut:
Suhu ruang (30 oC) : –
Suhu 35 oC –
Suhu 45 oC : –
Sehingga laju penurunan aktivitas antioksidan (k) untuk masing-masing suhu di
atas adalah:
Suhu ruang (30 oC) : 1,012
Suhu 35 oC 2,335
Suhu 45 oC : 4,597
95
Lampiran 12 Aplikasi data hasil regresi pada model Arrhenius
Model Arrhenius : atau –
T = suhu mutlak (C + 273) R = konstanta gas, 1,986 kal/mol
ln k dan –E/R adalah bilangan konstanta, sehingga persamaan di atas menjadi :
Untuk mendapatkan grafik hubungan antara konstanta penurunan mutu dan suhu,
maka nilai k (lampiran 12) dan 1/T diplotkan dalam grafik berdasarkan tabel di
bawah ini :
Dengan menggunakan teknik regresi linier, maka diperoleh persamaan :
-E/R = B
-E/R = -9177oK
R = 1,986 kal/mol oK
Jadi E = 18224 kal/mol
= A
= 30,41
ko = 1,61 x 1013
Berdasarkan nilai A dan B yang diperoleh, maka model atau persamaan
laju penurunan aktivitas antioksidan formula 3 adalah :
Contoh mencari laju penurunan aktivitas antioksidan (nilai k) pada suhu 20 oC
adalah :
Suhu penyimpanan 1/T ln k
45 oC 0,00314 1,525
35 oC 0,00324 0,848
30 oC 0,00330 0,012
96
Lampiran 13 Perhitungan masa simpan mengikuti reaksi ordo 0
Persamaan untuk menghitung masa simpan yang mengikuti reaksi ordo 0,
yaitu :
t = masa simpan produk
A0 = persentase awal aktivitas antioksidan (45,12%)
A = 0 (batas kadaluarsa)
k = laju penurunan aktivitas antioksidan
Berdasarkan persamaan di atas dan nilai k yang telah diperoleh, maka
dapat dihitung masa simpan produk pada 3 macam suhu penyimpanan, yaitu:
Suhu ruang (30 oC) : = 44,58 hari
Suhu 35 oC = 19,32 hari
Suhu 45 oC : = 9,81 hari
Sehingga untuk penyimpanan pada suhu 20 o
C menjadi:
= 112,24 hari
97
Lampiran 14 Perhitungan masa simpan menggunakan konsep Q10
ts: masa simpan
T: suhu penyimpanan
Contoh:
Untuk menduga masa simpan produk pada suhu 20 oC:
Dik:
= 2,52
Masa simpan produk pada suhu 30 oC adalah 44,58 hari
Penyelesaian:
= 112,34 hari
98
Lampiran 15 Data pengamatan jumlah TPC dan kapang selama penyimpanan
No Kode Sampel Analisis Tingkat Pengenceran Kesimpulan
cfu/ml 101 10
2 10
3 10
4 10
5
1 Hari ke-0
TPC 12 0 0 0 0 <2,5E+2
11 0 0 0 0 <2,5E+2
Kapang 0 0 0 0 0 <1,0E+1
0 0 0 0 0 <1,0E+1
1 Suhu Ruang TPC TBUD TBUD 78 8 0 7,8E+4
TBUD TBUD 74 5 0 7,4E+4
Minggu 1 Kapang 0 0 0 0 0 <1,0E+1
1 0 0 0 0 <2,5E+2
2 Suhu Ruang TPC TBUD TBUD 136 17 0 1,4E+5
TBUD TBUD 137 18 0 1,4E+5
Minggu 2 Kapang 2 0 0 0 0 <2,5E+2
2 0 0 0 0 <2,5E+2
3 Suhu Ruang TPC TBUD TBUD 186 10 0 1,9E+5
TBUD TBUD 170 14 0 1,7E+5
Minggu 3 Kapang 2 0 0 0 0 <2,5E+2
1 0 0 0 0 <2,5E+2
4 Suhu Ruang TPC TBUD TBUD TBUD 172 0 1,7E+6
TBUD TBUD TBUD 135 0 1,4E+6
Minggu 4 Kapang 2 0 0 0 0 <1,0E+1
2 0 0 0 0 <1,0E+1
5 Suhu 35oC TPC
TBUD TBUD 106 11 0 1,1E+5
TBUD TBUD 110 9 0 1,1E+5
hari ke-5 Kapang 0 0 0 0 0 <1,0E+1
0 0 0 0 0 <1,0E+1
6 Suhu 35oC TPC
TBUD TBUD 120 31 0 2,2E+5
TBUD TBUD 114 25 0 1,1E+5
hari ke-10 Kapang 0 0 0 0 0 <1,0E+1
0 0 0 0 0 <1,0E+1
7 Suhu 35oC TPC
TBUD TBUD TBUD 29 0 2,9E+5
TBUD TBUD TBUD 27 0 2,7E+5
hari ke-15 Kapang 0 0 0 0 0 <1,0E+1
0 0 0 0 0 <1,0E+1
8 Suhu 35oC TPC
TBUD TBUD TBUD 46 0 4,6E+5
TBUD TBUD TBUD 45 0 4,5E+5
hari ke-20 Kapang 0 0 0 0 0 <1,0E+1
0 0 0 0 0 <1,0E+1
9 Suhu 45oC TPC
TBUD TBUD 178 19 0 1,8E+5
TBUD TBUD 170 19 0 1,7E+5
hari ke-3 Kapang 1 0 0 0 0 <2,5E+2
0 0 0 0 0 <1,0E+1
10 Suhu 45oC TPC
TBUD TBUD 127 34 0 2,3E+5
TBUD TBUD 170 27 0 2,2E+5
hari ke-6 Kapang 1 0 0 0 0 <2,5E+2
1 0 0 0 0 <2,5E+2
11 Suhu 45oC TPC
TBUD TBUD 216 43 0 3,2E+5
TBUD TBUD 214 38 0 3,0E+5
hari ke-10 Kapang 1 0 0 0 0 <2,5E+2
0 0 0 0 0 <1,0E+1
12 Suhu 45oC TPC
TBUD TBUD 207 35 5 2,8E+5
TBUD TBUD 225 46 5 3,4E+5
hari ke-14 Kapang 0 1 0 0 0 <2,5E+2
1 1 0 0 0 <2,5E+2
99
Lampiran 16 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (TPC) selama
penyimpanan
Berdasarkan data jumlah mikroba pada Lampiran 16, dan dengan
menggunakan model perhitungan reaksi ordo satu dari persamaan Arrhenius,
maka laju peningkatan bakteri dapat dihitung sebagai berikut:
atau
Keterangan:
LnC = Ln jumlah bakteri akhir pengamatan
LnCo= Ln jumlah bakteri awal pengamatan
k = laju peningkatan bakteri
t = masa simpan
k Suhu ruang = = -0,338/hari
k suhu 35 oC = = -0,412/hari
k suhu 45 oC = = -0,561/hari
Berdasarkan nilai-nilai k di atas, maka nilai k pada penyimpanan suhu
yang lain dapat dihitung dengan meregresikan nilai-nilai k tersebut dengan suhu
(oKelvin) untuk mendapatkan hubungan antara laju perubahan mutu dengan suhu
penyimpanan, Selanjutnya Ln k dan 1/T diplotkan dalam sebuah grafik untuk
mendapatkan model persamaan yang akan diterapkan dalam rumus Arrhenius:
atau – ,
Suhu
penyimpanan 1/T k Ln k Model persamaan
30oC 0,00330 0,338 -1,084 y = -3154,x + 9,327
ln k=ln 9,327,e,-3154(1/T)
k= 11237,37,e,-3154(1/T)
35oC 0,00324 0,412 -0,886
45oC 0,00314 0,561 -0,578
100
Jika standar untuk TPC dalam produk makanan telah ditetapkan sebesar
5x105, maka masa simpan produk untuk tiap suhu tersebut dapat diduga, yaitu:
suhu ruang: = 24,66 hari
suhu 35 oC: = 20,23 hari
suhu 45 oC: = 14,86 hari
Untuk menentukan masa simpan pada suhu 20 oC, dihitung nilai k berdasarkan
model persamaan k= 11237,37,e,-3154(1/T)
= x = 0,25/hari,
Selanjutnya perhitungan menggunakan ordo satu, sehingga masa simpan
produk pada suhu 20 oC adalah 33,33 hari.
101
Lampiran 17 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (kapang) selama
penyimpanan
Berdasarkan data jumlah mikroba pada Lampiran 16, dan dengan
menggunakan teknik regresi linier, maka laju peningkatan jumlah kapang (k) pada
setiap suhu penyimpanan dapat dihitung melalui persamaan-persamaannya
sebagai berikut:
Suhu ruang (30oC) : – (k=0,785), r = 0,97
Suhu 35oC
Suhu 45oC : (k=6,233), r = 0,81
Dengan menggunakan model Arrhenius, maka diperoleh nilai k (laju peningkatan
mikroba (kapang) untuk semua suhu yaitu :
Perhitungan masa simpan pada suhu 30 oC, yaitu dengan mengikuti reaksi ordo 0 :
Jika standar jumlah kapang dalam produk adalah , maka dapat dicari
masa simpan untuk suhu penyimpanan 30 oC, yaitu = 127,39 hari,
Dan dengan menggunakan konsep Q10 (Lampiran 15), maka masa simpan untuk
suhu 20 oC dapat diduga dengan mengetahui terlebih dahulu nilai k,
= 0,136/hari
Q10 = = = 5,77
Masa simpan pada suhu 20 oC adalah 5,77 x 127,39 = 735 hari,
Suhu
penyimpanan 1/T k Ln k Model persamaan
30oC 0,00330 0,785 -0,242 y = -13489x + 44,05
ln k=ln 44,05,e,-13489(1/T)
k= ,e,-13489(1/T)
35oC 0,00324 0 0
45oC 0,00314 6,233 1,829
102
Lampiran 18 Data pengamatan nilai pH selama penyimpanan pada suhu ruang
(30 oC), suhu 35
oC, dan 45
oC,
Waktu dan Suhu penyimpanan
hari ke- suhu ruang 30 °C hari ke- Suhu 35 °C hari ke- Suhu 45 °C
0 4,41 0 4,41 0 4,41
7 4,62 5 4,51 3 4,43
14 4,67 10 4,83 6 4,45
21 4,68 15 4,85 10 4,63
28 4,76 20 4,87 14 4,65
Suhu ruang (30oC) : (k=0,010), r = 0,91
Suhu 35oC (k=0,025), r = 0,92
Suhu 45oC : (k=0,019), r = 0,94
Dengan menggunakan model Arrhenius, maka laju peningkatan nilai pH pada
produk formula 3 mengikuti persamaan:
103
Lampiran 19 Data nilai rata-rata total asam tertitrasi selama penyimpanan yang
dinyatakan dalam ml N NaOH/100 ml
Waktu dan suhu penyimpanan
Hari ke- 30 oC Hari ke- 35
oC Hari ke- 45
oC
0 9,216 0 9,216 0 9,216
7 9,118 5 8,824 3 8,824
14 9,019 10 8,235 6 8,529
21 8,824 15 7,843 10 8,529
28 8,431 20 7,451 14 7,843
Berdasarkan perhitungan dengan teknik regresi linier maka, diperoleh model
persamaan pada setiap suhu, yaitu :
Suhu ruang (30 oC) : (k=0,026), r = 0,902
Suhu 35 oC (k=0,090), r = 0,994
Suhu 45 oC : (k=0,086), r = 0,913
Jika diplotkan ke dalam model Arrhenius (lampiran 12 dan 13), maka rata-rata
laju penurunan total asam tertitrasi (k) mengikuti persamaan :
104
Lampiran 20 Data nilai rata-rata indeks bias produk formula 3 selama
penyimpanan yang dinyatakan dalam oBrix,
Berdasarkan data-data di atas, maka diperoleh persamaan-persamaan linier
sebagai berikut :
Suhu ruang (30 oC) : (k= ), r = 0,49
Suhu 35 oC (k= ), r = 0,05
Suhu 45 oC : (k= ), r = 0,86
Waktu dan suhu penyimpanan
Hari ke- 30 oC Hari ke- 35
oC Hari ke- 45
oC
0 1,3330 0 1,3330 0 1,3330
7 1,3330 5 1,3326 3 1,3328
14 1,3328 10 1,3329 6 1,3329
21 1,3326 15 1,3326 10 1,3328
28 1,3329 20 1,3329 14 1,3327