9
ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI BIOETANOL DARI LIMBAH KAYU SENGON ( for Bioethanol Production Yeast Mixed Formulation Made from Sengon Wood Waste) Ina Winarni, Sri Komarayati, & Djarwanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378 ; Fax. (0251) 8633413 E-mail : [email protected] Diterima 23 Agustus 2016, Direvisi 9 Februari 2017, Disetujui 22 Mei 2017 ABSTRACT Currently, bioethanol is one of biofuels which is potentially developed for new and renewable alternative energy. Bioethanol could be fermented from agriculture and forest wastes, with pre-treatment and hydrolysis process before the fermentation. Those process could be carried out by an addition of microbe (yeast). In order to gain greater ethanol content, yeast mixing formulation is crucial to obtain optimum ethanol content. This paper studies the formula of yeast mixing for optimum ethanol production of sengon wood waste. Formulation was conducted by mixing Aspergillus oryzae, Saccharomyces cerevisae, Rhyzopus oryzae and other substances with various treatments. Commercial yeast of 3 – 9% Sacharomyces cerevisae was used as a comparable control. Results showed that 7% yeast mixing was effective to produce 1.569% ethanol content from lignocellulose fermentation. The ethanol content is relatively greater than those of commercial yeast which constitutes of about 0.652% ethanol content. Keywords: Yeast mixing, sengon wood waste, commercial yeast, fermentation, ethanol ABSTRAK Saat ini, bioetanol merupakan salah satu sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berpotensi dikembangkan sebagai sumber energi alternatif baru dan terbarukan. Bioetanol dapat diperoleh dari fermentasi limbah pertanian dan kehutanan, dengan sebelumnya melalui perlakuan pendahuluan dan hidrolisis. Proses tersebut dapat dilakukan dengan bantuan mikroba (ragi). Untuk mendapatkan kadar etanol yang tinggi perlu dilakukan pencarian formulasi ragi campuran untuk proses fermentasi. Tulisan ini mempelajari formulasi ragi campuran yang efektif dari fermentasi sabetan kayu sengon untuk menghasilkan kadar etanol yang optimal. Formulasi dilakukan dengan mencampur Aspergillus oryzae, Saccharomyces cerevisae, Rhyzopus oryzae dan campuran bahan lainnya dengan beberapa variasi perlakuan. Ragi komersial digunakan sebagai kontrol pembanding dengan konsentrasi 3 – 9%. Sacharomyces cerevisae Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragi campuran dengan konsentrasi 7% paling efektif digunakan pada fermentasi lignoselulosa dengan hasil kadar etanol sebesar 1,569%. Kadar etanol yang dihasilkan lebih tinggi dari kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi dengan ragi komersial sebesar 0,652%. Kata kunci: Ragi campuran, sabetan kayu sengon, ragi komersial, fermentasi, etanol 135 Penelitian Hasil Hutan Vol. 35 No. 2, Juni 2017: 135-143 DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.2.135-143

FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

  • Upload
    lamdang

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

ISSN: 0216-4329 TerakreditasiNo.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI BIOETANOLDARI LIMBAH KAYU SENGON

( for Bioethanol ProductionYeast Mixed FormulationMade from Sengon Wood Waste)

Ina Winarni, Sri Komarayati, & Djarwanto

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610

Telp. (0251) 8633378 ; Fax. (0251) 8633413E-mail : [email protected]

Diterima 23 Agustus 2016, Direvisi 9 Februari 2017, Disetujui 22 Mei 2017

ABSTRACT

Currently, bioethanol is one of biofuels which is potentially developed for new and renewable alternative energy. Bioethanol could be fermented from agriculture and forest wastes, with pre-treatment and hydrolysis process before the fermentation. Those process could be carried out by an addition of microbe (yeast). In order to gain greater ethanol content, yeast mixing formulation is crucial to obtain optimum ethanol content. This paper studies the formula of yeast mixing for optimum ethanol production of sengon wood waste. Formulation was conducted by mixing Aspergillus oryzae, Saccharomyces cerevisae, Rhyzopus oryzae and other substances with various treatments. Commercial yeast of 3 – 9% Sacharomyces cerevisae was used as a comparable control. Results showed that 7% yeast mixing was effective to produce 1.569% ethanol content from lignocellulose fermentation. The ethanol content is relatively greater than those of commercial yeast which constitutes of about 0.652% ethanol content.

Keywords: Yeast mixing, sengon wood waste, commercial yeast, fermentation, ethanol

ABSTRAK

Saat ini, bioetanol merupakan salah satu sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berpotensi dikembangkan sebagai sumber energi alternatif baru dan terbarukan. Bioetanol dapat diperoleh dari fermentasi limbah pertanian dan kehutanan, dengan sebelumnya melalui perlakuan pendahuluan dan hidrolisis. Proses tersebut dapat dilakukan dengan bantuan mikroba (ragi). Untuk mendapatkan kadar etanol yang tinggi perlu dilakukan pencarian formulasi ragi campuran untuk proses fermentasi. Tulisan ini mempelajari formulasi ragi campuran yang efektif dari fermentasi sabetan kayu sengon untuk menghasilkan kadar etanol yang optimal. Formulasi dilakukan dengan mencampur Aspergillus oryzae, Saccharomyces cerevisae, Rhyzopus oryzae dan campuran bahan lainnya dengan beberapa variasi perlakuan. Ragi komersial digunakan sebagai kontrol pembanding dengan konsentrasi 3 – 9%. Sacharomyces cerevisae Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragi campuran dengan konsentrasi 7% paling efektif digunakan pada fermentasi lignoselulosa dengan hasil kadar etanol sebesar 1,569%. Kadar etanol yang dihasilkan lebih tinggi dari kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi dengan ragi komersial sebesar 0,652%.

Kata kunci: Ragi campuran, sabetan kayu sengon, ragi komersial, fermentasi, etanol

135

Penelitian Hasil Hutan Vol. 35 No. 2, Juni 2017: 135-143

DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.2.135-143

Page 2: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

136

I. PENDAHULUAN

Saat ini konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri sudah di atas 1,5 juta barel per hari, sementara produksinya di bawah 800.000 barel per hari. Terlebih lagi pada awal abad ke-21 sektor transportasi telah menggeser sektor industri sebagai pengguna energi terbesar, dengan pangsa lebih dari 90% bersumber dari persediaan BBM di Indonesia. Padahal persediaan energi fosil, khususnya minyak atau oli cadangannya terbatas dan tidak dapat diperbarui. Untuk itu, dibutuhkan energi alternatif yang dapat digunakan untuk menghemat persediaan minyak bumi, dan juga ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi tingkat polusi akibat emisi gas buang kendaraan (Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan yang berasal dari Bahan Bakar Nabati (BBN), seperti singkong, jagung, sorgum, limbah pertanian, kehutanan, dan alga. Limbah industri kehutanan seperti penggergajian kayu yang mengandung bahan berlignoselulosa juga berpotensi sebagai bahan baku BBN karena keberadaannya yang melimpah. Salah satu energi alternatif yang menjanjikan dari BBN adalah bioetanol. Bioetanol baik digunakan sebagai bahan bakar karena pada saat pembakaran karbon dioksida yang dihasilkan akan dilepaskan dan diserap oleh tanaman. Dengan demikian, penggunaan bioetanol dapat mengurangi pemanasan global. Salah satu cara untuk me ubah lignoselulosa menjadi etanol ngadalah dengan menggunakan enzim melalui proses hidrolisis, kemudian dilanjutkan dengan penambahan ragi (fermentasi) untuk menghasil-kan etanol. Kelemahan proses ini adalah harga enzim yang cukup tinggi sehingga biaya produksi menjadi tinggi, rendahnya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa dan adanya zat penghambat yang dapat mengurangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol (Stenberg, Terborg, Gable, & Zacchi, 1998). Perlakuan pendahuluan, yaitu berupa delignifikasi atau pengurangan kadar lignin pada sampel (substrat) merupakan perlakuan pendahuluan yang harus dilakukan, karena tanpa delignifikasi, konversi selulosa menjadi sangat rendah (≤ 20%) (Lynd, 1996). Salah satu metode

delignifikasi adalah dengan proses alkali atau kraft pulping. Setelah proses hidrolisis, tahapan penting lainnya adalah proses fermentasi, yaitu pemecahan glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida dengan bantuan mikroba (ragi) (Mosier & Wyman, 2005). Contoh ragi yang sering digunakan pada fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerevisia,karena memiliki daya konversi menjadi etanol sangat tinggi, metabolismenya sudah diketahui, metabolit utama berupa etanol, karbon dioksida, air dan sedikit menghasilkan metabolit lainnya ,(Usmana, Rianda, & Novia, 2012). Ragi ini telah banyak diproduksi secara komersi l dengan merk adagang fermipan untuk pembuatan roti. Permasalahannya adalah masih rendahnya etanol yang dihasilkan karena adanya inhibitor seperti 5-H F Aidroksimetil ulfural (HMF) dan sam L P hal inievulinik (AL). ada proses fermentasi dapat menghambat kerja ragi (Koppram & Olsson, 2014). Salah satu metode untuk meningkatkan produksi bioetanol yaitu dengan mencari formulasi ragi campuran Saccharomyces cerevisiae dan ragi lainnya yang tepat untuk proses fermentasi agar dapat menghasilkan bioetanol yang tinggi Tulisan ini mempelajari formulasi. ragi efektif proses campuran yang dalam fermentasi limbah kayu untuk menghasilkan kadar bioetanol tinggi.

II. BAHAN DAN METODE

Bahan utama yang digunakan adalah kayu sengon (Falcataria moluccana) dari Sukabumi, Jawa Barat dan ragi campuran beberapa jenis jamur antara lain Saccharomyces cerevisae; Rhyzopus oryzae, dan Aspergillus oryzae, dan ragi komersial (Saccharomyces cerevisae) sebagai pembanding atau kontrol. Alat yang digunakan antara lain timbangan, kompor listrik, distilator, pengaduk, blender, alkoholmeter, brixmeter, , Gas magnetic stirrerChromatography dengan kondisi kolom OV (GC),

o17; FID detektor; suhu awal 85 C; suhu akhir o o100 C, suhu injektor 150 C dan suhu detektor o200 C dengan pembawa gas nitrogen dan

hidrogen dan , distilator, spektrophotometer

Penelitian Hasil Hutan Vol. 35 No. 2, Juni 2017: 135-143

A. Bahan dan Alat

Page 3: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

137

Formulasi Ragi Campuran untuk Produksi Bioetanol dari Limbah Kayu Sengon(Ina Winarni, Sri Komarayati, & Djarwanto)

penangas air, oven dan cawan petri, hot plate, autoklaf, incubator, jarum ose, tabung reaksi, kantong plastik, kassa, kapas steril, dan pengaduk kaca.

B. Metode Penelitian

1. Pembuatan ragi campuran

Bahan yang digunakan untuk membuat ragi campuran adalah S. cereviceae, R. oryzae, dan A. oryzae. Sebagai bahan pengisi digunakan tepung beras, pati, bawang putih (Alium sativum), cabe alas (Piperretro fractum), lada (Piper nigrum), laos (Alpinia galanga), malt-extract, yeast extract, bacto-agar, dan air suling. Tahapan metode adalah: a) persiapan biakan murni mikroba; b) pencampuran bahan pengisi ; c) pencampuran ragi; dan d) pengujian awal efektivitas. Selanjutnya ragi campuran dengan konsentrasi 3%, 5%, 7%, dan 9% siap digunakan pada proses fermentasi. Pemurnian ragi campuran mengguna-kan metode cawan sebar diikuti dengan metode kuadran untuk memisahkan koloni khamir yang terbentuk (Genhardt et al., 1994). Media yang digunakan adalah Yeast-Malt (YM). Media YM terbuat dari yeast extract dan malt extract yang banyak mengandung nitrogen organik dan senyawa-senyawa karbon sehingga dapat memacu pertumbuhan khamir (Pelczar & Chan, 1988). Metode uji gula pereduksi digunakan untuk menetapkan total gula pereduksi. Dalam suasana alkali, gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5 dinitrosalisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Apabila sampel berada dalam suasana asam, maka harus dinetralkan terlebih dahulu.

2. Perlakuan pendahuluan (delignifikasi) kayu sengon

Kayu sengon tanpa kulit dicacah hingga menjadi lembaran tipis (serpih) dan dikeringkan. Sampel kering udara kemudian dibuat pulp dengan campuran alkali (NaOH 20%) pada suhu pemasakan 90 – 170°C selama 150 menit. Pulp dicuci dengan NaOH 1% dan air kemudian disaring, dibiarkan sampai kering udara hingga dihasilkan pulp kering udara sebagai bahan baku (substrat) yang siap dilanjutkan ke tahap sakarifikasi dan fermentasi. Pulp dilarutkan ke

dalam air sebanyak 15% (w/v). Dilakukan analisa kadar lignin dan selulosa kayu sengon sebelum dan sesudah dibuat pulp dengan metode SNI-0492 (1989) dan Norman dan Jenkins (Wise, 1994).

3. Sakarifikasi dan fermentasi secara simultan

Proses sakarifikasi menggunakan campuran enzim selulase dan β-glukosidase (5 : 1) dengan konsentrasi enzim 10 FPU/g substrat. Sampel berupa pulp sengon seberat 15 g, larutan buffer (100 mL) dan surfaktan (1%) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu disimpan dalam waterbath shaker. Perlakuan tanpa surfaktan dianggap sebagai kontrol perlakuan. Proses sakarifikasi

odilakukan selama 48 jam pada suhu 50 C. Selanjutnya dilakukan proses fermentasi dengan mengukur kadar gula pereduksi sebelum dan sesudah fermentasi.

4. Fermentasi

Sampel yang telah disakarifikasi ditambah NPK 1% dan Urea 3%. Selanjutnya ditambah ragi campuran yang terdiri dari campuran A. oryzae, R. oryzae dan S. serevisae, sebagai pembanding digunakan ragi komersial yaitu Saccharomyces serevisae dengan konsentrasi ragi campuran dan ragi komersial sebanyak 3%, 5%, 7%, dan 9% (a/b) setiap perlakuan. Proses fermentasi di-lakukan selama 48 – 72 jam, pada suhu 28 – 30°C.

5. Pengujian kadar gula pereduksi dan bioetanol

a. Analisis kadar gula pereduksi Penetapan kadar gula pereduksi menggunakan metode DNS (Miller, 1959). Setelah proses sakarifikasi dan setelah fermentasi diambil 2 mL larutannya dan dianalisa gula pereduksinya.

b. Analisis kadar etanol Analisa kandungan etanol pada sampel menggunakan mesin Gas Chromatography (GC) merk Agilent 6890 N; kolom carbowax 20M, detektor FID, suhu injektor 250°C; suhu awal 60°C dan suhu akhir 140°C dengan kenaikan suhu 3°C per menit.

Penelitian dilakukan dengan metode R A L 4 ancangan cak engkap desain faktorial 2 x 2 x yaitu , jenis sampel (surfaktan dan tanpa surfaktan)ragi ( a ), dan campuran dan komersi l konsentrasi ragi 3% % % dan % dengan kali ulangan., 5 , 7 , 9 dua

C. Analisis Data

Page 4: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

138

Parameter yang diukur adalah kadar gula pereduksi dan kadar etanol.

Yijkl = U + Ai + Bj + Ck +E ijk .................. (1)

Yijkl = pengamatan ; U = nilai tengah; Ai = jenis ragi ke I ; Bj = konsentrasi ragi ke j ; Ck = macam contoh ke k ; (AiBjCk) = interaksi faktor A, B, C; Eijk = galat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar lignin bahan baku kayu sengon adalah 26,32%, setelah dibuat pulp sebagai proses pendahuluan (delignifikasi), kadar lignin turun menjadi 6,16% atau terjadi penurunan sekitar 76,59%. Lignin sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia, sehingga keberadaan lignin sangat menghambat proses degradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa. Diharapkan dengan penurunan kadar lignin, proses sakarifikasi dan fermentasi dapat berjalan

sempurna sehingga dapat menghasilkan kadar etanol tinggi (Risanto, Adi, & Hermiati, 2012; Converse, Ooshima, & Burns, 1990).

A. Analisis Kadar Gula Pereduksi setelah Sakarifikasi

Setelah proses sakarifikasi selesai, gula yang dihasilkan ditambah dengan ragi S. cerevisiae dan dilanjutkan dengan proses fermentasi. Gula tersebut dianalisa kadar gula pereduksinya dengan menggunakan metode DNS. Hasil kadar gula pereduksi sebelum dan sesudah fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat, semua perlakuan (konsentrasi ragi) pada ragi campuran dan komersi l dengan menggunakan Tween 20 amenghasilkan kadar gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa surfaktan). Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa salah satu fungsi surfaktan yaitu memiliki pengaruh positif pada hidrolisis dengan mempercepat reaksi hidrolisis dengan meningkatkan kerja enzim dalam merubah selulosa menjadi glukosa

Sampel

(Samples) Perlakuan (Treatment)

Gula pereduksi

(Reducing sugar, g/l)

Sebelum fermentasi (Before fermentation )

Sesudah fermentasi (After fermentation)

Ragi campuran (Mixed yeast)

3% A 8,23 8,05 B 21,16 5,48

5% A 11,14 3,70 B 16,52 3,43

7% A 10,11 1,17 B 16,19 1,43

9% A 13,37 1,51 B 17,53 1,66

Ragi komersial (Commercial yeast)

3% A 14,75 9,93 B 14,76 6,33 5% A 17,30 4,52 B 18,68 5,26 7% A 16,50 2,74

B 17,34 1,82 9% A 14,05 8,04

B 16,85 8,64

Tabel 1. Kadar gula pereduksi pulp sengon sebelum dan sesudah fermentasi (10 FPU/g substrat)

Table 1. Reducing sugar content of sengon pulp before and after fermentation (10 FPU/g substrat)

Keterangan (Remarks): A (tanpa surfaktan = control) dan B (surfaktan = surfactant) ; Rata-rata dari dua ulangan (Average from two replicates)

Penelitian Hasil Hutan Vol. 35 No. 2, Juni 2017: 135-143

Page 5: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

139

(Park, Ikeda & Okuda, 2002; Zheng, Pan, Zhang, Wang, & Jenkins, 2008) dan proses sakarifikasi dan fermentasi satu waktu (Simultaneous Saccharification and Fermentation/ SSF) (Alkasrawi et al., 2003), sehingga kadar gula pereduksi dengan penambahan surfaktan akan lebih tinggi dibandingkan tanpa surfaktan (kontrol). Kadar gula pereduksi sebelum fermentasi tertinggi adalah 21,16 g/l pada ragi campuran (3%), sementara itu kadar gula pereduksi ragi komersi l tertinggi adalah sebesar 18,68 g/l (5%).a Nilai gula pereduksi sebelum fermentasi atau besarnya glukosa yang dihasilkan selama proses hidrolisis sangat dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang digunakan pada saat proses hidrolisis. Pada saat proses hidrolisis, rantai panjang polisakarida diputus oleh bantuan enzim yang spesifik, yaitu selulase menjadi gula rantai pendek atau glukosa ehingga kadar gula pereduksi , smenjadi tinggi. Kadar gula pereduksi mengalami penurunan pada semua perlakuan baik ragi campuran maupun ragi komersi l setelah adilakukan fermentasi, hal ini disebabkan sebagian besar glukosa yang dihasilkan pada proses hidrolisis telah diubah menjadi etanol oleh ragi

dengan efisiensi (Taherzadeh & Karimi, 2007), perubahan energi sekitar 97% (Daud, Safii, & Syamsu, 2011). Dalam proses fermentasi, glukosa didegradasi menjadi etanol dan CO melalui suatu 2

jalur metabolisme yang disebut glikolisis. Jalur glikolisis disebut juga sebagai jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (Sebayang, 2006). Menurut

Arnata Anggreni 2013), 1 molekul glukosa dan (dipecah menjadi 2 molekul alkohol dan 2 molekul gas CO . Gas CO yang dihasilkan memiliki 2 2

perbandingan stoikiometri yang sama dengan etanol yang dihasilkan yaitu 1:1. Sehingga setelah fermentasi, kadar gula pereduksi akan mengalami penurunan, karena telah diubah menjadi etanol. Hasil analisis statistik (Tabel 2) menunjukkan bahwa jenis ragi yang digunakan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar gula pereduksi yang dihasilkan. Analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh jenis ragi, konsentrasi ragi, jenis sampel (tanpa surfaktan/ditambah surfaktan) berpengaruh nyata pada kadar gula pereduksi. Dilanjutkan dengan uji beda nyata, ternyata gula pereduksi dari ragi campuran lebih kecil daripada ragi komersial. Untuk variasi konsentrasi ragi baik campuran maupun komersial, setelah uji beda nyata menunjukkan bahwa peningkatan ragi dari 3% 7% me peningkatan sampai mperlihatkankadar gula pereduksi. Akan tetapi peningkatan konsentrasi ragi dari 7 9%% sampai menunjuk-kan penurunan gula sehingga kadar pereduksi, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi optimumragi Sementara itu, p ngaruh pemberi- adalah 7%. ean kadar sangat surfaktan terhadap gula pereduksiberpengaruh nyata. Hasil penelitian menunjukkan kadar gula pereduksi pada sampel tanpa surfaktan (kontrol) lebih kecil dari pada sampel yang diberi surfaktan. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa jenis surfaktan memiliki efek positif pada hidrolisis secara enzimatis pada lignoselulosa,

Tabel 2. Analisis keragaman gula pereduksi Table 2. Analysis of variance on reducing sugar

Sumber keragaman db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

(Source of variance) (db) (Sum of Square) (Mean Square) (F-cal )

A 1 80,28 80,28 61,55 0,0001

B 3 65,99 21,99 16,87 0,0001

C 1 45,49 45,49 34,88 0,0001 D

1

1801,58

1801,58 1381,22 0,0001

ABCD 3 13,53 4,51 3,46 0,0277 Galat (error) 32 41,74 1,30

Total 63 2419,34

Keterangan (Remarks): A=jenis ragi (kinds of yeast); B=konsentrasi ragi (concentration of yeast); C=sampel (sample); D=sebelum/sesudah fermentasi (before/after fermentation)

Formulasi Ragi Campuran untuk Produksi Bioetanol dari Limbah Kayu Sengon(Ina Winarni, Sri Komarayati, & Djarwanto)

Page 6: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

140

mempercepat laju hidrolisis dan menurunkan kadar enzim yang dibutuhkan (Ooshima, Sakata, & Harano, 1986;Helle, Duff, & Cooper, 1993; Wu & Ju, 1998; Zheng et al., 2008).

B. Kadar Etanol Pulp Kayu Sengon

Larutan hasil sakarifikasi ditambah ragi S. cerevisiae, NPK, dan urea sebagai nutrisi. Etanol hasil fermentasi disebut beer, yang didalamnya masih terdapat campuran substrat maupun gula yang tidak terfermentasi. Untuk mengetahui kadar etanol, dilakukan distilasi guna memurni-kan campuran tersebut yang dilakukan pada suhu 70 – 90°C. Hasil kadar etanol pulp kayu sengon beberapa perlakuan dapat dilihat pada Tabel

bioetanol yang dihasilkan. Semua perlakuan jenis ragi campuran menunjukkan produksi bioetanol lebih tinggi daripada ragi komersial (S. cerevisae) pada konsentrasi 3 – 7%, dan menurun setelah 7%. Demikian pula semua perlakuan yang menggunakan surfaktan menghasilkan kadar etanol yang jauh lebih tinggi dibanding tanpa surfaktan (kontrol). Hal ini disebabkan fungsi dari surfaktan (1) sebagai enzyme-stabilizers dan menjaga denaturisasi; (2) surfaktan dapat mempengaruhi struktur substrat yang digunakan dalam proses sakarifikasi; (3) surfaktan dapat mempengaruhi interaksi enzim dan substrat, khususnya menjaga terjadinya penyerapan enzim pada lignin dan substrat (Ballesteros et al., 1998; Alkasrawi et al., 2003), sehingga enzim dapat bekerja dengan maksimal pada saat hidrolisis dan fermentasi yang mengakibatkan kadar etanol yang lebih tinggi.

Sampel (Samples)

Perlakuan (Treatments)

Kadar Etanol (Ethanol content , %)

Ragi campuran (Mixed yeast)

3% A 0,141

B 0,322

5%

A

0,149

B 0,564 7%

A

0,631

B

1,569

9%

A

0,141

B

0,738

Ragi komersial (Commercial yeast)

3% A 0,030

B

0,546

5%

A

0,266

B

0,563

7%

A

0,549

B

0,652

9%

A

0,150

B 0,269

Tabel 3. Rata-rata kadar etanol pulp kayu sengonTable 3. Ethanol content average of sengon wood pulp

Keterangan (Remarks): Jenis ragi ada dua: ragi campuran (Mixed yeast i.e 1-4) dan ragi komersial (Commercial yeast i.e. 5-8). Konsentrasi ragi (Yeast concentration): 3%, 5%, 7%, 9%. Sampel (Sample): a (tanpa surfaktan= without surfactant) dan b (ditambah surfaktan = surfactant added). Ulangan 2 kali (Two replicates)

Penelitian Hasil Hutan Vol. 35 No. 2, Juni 2017: 135-143

3. Dari Tabel 3, dapat diketahui pengaruh perlakuan, jenis ragi dan konsentrasi ragi terhadap

Page 7: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

141

banyak mengandung glukosa dan

xylosa dengan penambahan tetes tebu (8%v/v) yang dicampur dengan ragi pada proses fermentasi selama 42 jam dapat menghasilkan etanol 53,8 g/l, rendemen 0,45 g/g, dan produktivitas 1,07 g/l/jam (Rivera et al., 2015).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penambahan surfaktan dapat menstabilkan kerja enzim dalam merubah selulosa menjadi gula, sehingga jumlah glukosa total yang dihasilkan (gula pereduksi) menjadi lebih t ing gi dibandingkan tanpa surfaktan. Hal ini akan mengakibatkan gula sebagai sumber makanan untuk ragi semakin banyak untuk dirubah menjadi etanol, baik pada ragi campuran maupun pada ragi komersial. Ragi campuran yang efektif adalah ragi campuran 7% menghasilkan kadar etanol sebesar 1,569%.

B. Saran

Proses delignifikasi harus dilakukan sebelum proses sakarifikasi dan penggunaan surfaktan dapat meningkatkan kadar gula pereduksi dan kadar etanol pulp kayu sengon dengan kombinasi penggunaan ragi racikan pada proses fermentasi.

Tabel 4. Analisis keragaman kadar etanol pulp kayu sengonTable 4. Analysis of variance on ethanol content in sengon wood pulp

Sumber keragaman db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

(Source of variance) (Sum of Square) (Mean Square ) (F-cal)

A 1 0,19 0,19 159,24 0,0001

B 1 1,25 1,25 1056,36 0,0001

C 3 1,73 0,58 485,84 0,0001

ABC 3 0,37 0,12 105,27 0,0001

Galat (Error ) 16 0,02 0,01

Total 31 4,19

Keterangan (Remarks) : A = Jenis ragi (Yeast types); B = sampel (samples); C= Konsentrasi ragi (Yeast concentration); Nyata (Significant); Sangat nyata( Very significant); Tidak nyata (Not significant); P = Peluang (Probability)

Formulasi Ragi Campuran untuk Produksi Bioetanol dari Limbah Kayu Sengon(Ina Winarni, Sri Komarayati, & Djarwanto)

Dibandingkan dengan penelitian Daud et al. (2011) ternyata perlakuan dengan ragi komersial (Sacharomyces cerevicae) sebesar 7% tanpa surfaktan dapat menghasilkan kadar etanol 0,549%, hampir sama dengan perlakuan penambahan S. cerevicae dan A. niger pada sampel kayu sengon yang menghasilkan kadar etanol 0,53%. Kemudian analisis keragaman pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pengaruh macam ragi (A), macam sampel (B), dan konsentrasi ragi (C) berpengaruh sangat nyata pada kadar bioetanol yang dihasilkan. Produksi bioetanol yang dihasilkan oleh ragi campuran 7% maupun ragi komersial 7% masih termasuk rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi proses produksi bioetanol dari lignoselulosa, antara lain: suhu, pH, sumber karbon, sumber nitrogen, dan waktu inkubasi ragi (Anindyawati, 2009). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Noviani, Supartono, dan Siadi, (2014) yang menggunakan ragi komersial Saccharomyces sereviase pada serbuk gergaji kayu sengon laut, ternyata dengan waktu fermentasi 9 hari dapat menghasilkan etanol sebesar 2,99%. Berarti pada penelitian ini masih perlu waktu bagi mikroba bekerja secara maksimal untuk merubah gula menjadi etanol. Rivera et al. (2015) menyatakan pembuatan bioetanol dari ampas tebu (50%) yang

Page 8: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

142

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) yang telah membiayai penelitian ini melalui DIPA P3HH tahun 2014, dan semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian terutama para teknisi di laboratorium Kelti Pengolahan Kimia Energi dan Hasil Hutan Bukan Kayu dan Biologi dan Pengawetan Hasil Hutan, P3HH.

DAFTAR PUSTAKA

Alkasrawi, M., Eriksson, T., Börjesson, J., Wingren, A., Galbe, M., Tjerneld, F., & Zacchi, G. (2003). The effect of Tween-20 on simultaneous saccharification and fermentation of softwood to ethanol. Enzyme and Microbial Technology, 33(1), 71-78. doi: 10.1016/S0141-0229(03)00087-5.

Anindyawati, T. (2009). Prospek enzim dan limbah lignoselulosa untuk produksi bioetanol. Berita Selulosa, 44(1), 49-56.

Arnata, I.W., & Anggreni, A.A.M. (2013). Rekayasa bioproses produksi bioetanol dari ubi kayu dengan teknik ko-kultur ragi tape dan Saccharomyces cerevisiae. Agrointek, 7(1), 21-28.

Ballesteros, I., Olivia, J. M., Carrasco, J., Cabanas, A., Navarro, A. A., & Ballesteros, M. (1998). Effect of surfactants and zeolits on simultaneous saccharif ication and fermentation of steam-exploaded poplar biomass to ethanol. Journal Applied Biochemistry and Biotechnology, 70, 369-381.

Converse, A.O., Ooshima, H., & Burns, D.S. (1990). Kinetics of enzimatic hydrolysis of lignocellosic materials based on surface area of cellulose accessible to enzyme and enzyme adsorption on lignin and cellulose. Journal Applied Biochemistry and Biotechnology, 24, 67-73.

Daud, M., Safii, W., & Syamsu, K. (2011). Biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol menggunakan Aspergillus

niger dan Saccharomyces cerevisae. Jurnal Perennial, 8(2), 43-51.

Helle, S. S., Duff, S. J. B., & Cooper, D. G. (1993). Effect of surfactants on cellulose hydrolysis. Biotechnology and Bioengineering, 42, 611-617.

Koppram, R., & Olsson, L. (2014). Combined substrate, enzyme and yiest feed in simultaneous saccharif ication and fermentation allow bioethanol production from pretreated spruce biomass at high solids loading. Biotechnology for Biofuels, 7(1), 54-63.

Lynd, L. R. (1996). Overview and evaluation of fuel ethanol from cellulosic biomass?: Technology, economis, the enviroment, and policy. Annual Review of Energy and the Environment, 21, 403-465.

Miller, G. L. (1959). Use of Dinitrosalicylic Acid reagent for determination of reducing sugar. Analytical Chemistry, 31(3), 426-428. doi: 10.1021/ac60147a030.

Mosier, N., & Wyman, C. (2005). Feature of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource Tecnology, 96(6), 673-686.

Noviani, H., Supartono, & Siadi, K. (2014). Pengolahan limbah serbuk gergaji kayu sengon laut menjadi bioetanol meng-gunakan Saccharomyces cerevisae. Indonesian Journal of Chemical Science, 3(2), 147-151.

Ooshima, H., Sakata, M., & Harano, Y. (1986). Enhancement of enzymatic hydrolysis of cellulose by surfactant. Biotechnology and Bioengineering, 28, 1727-1734.

Park, E.Y., Ikeda, Y., & Okuda, N. (2002). Empirical evaluation of cellulase on enzymatic hydrolysis of waste office paper. Biotechnology and Bioprocess Engineering, 7(5), 268-274. doi: 10.1007/ BF02932835.

Pelczar, M., & Chan. (1988). Dasar-dasar mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Risanto, D.S., Adi, L.E., & Hermiati. (2012). Perlakuan gelombang mikro dua jenis kayu

Penelitian Hasil Hutan Vol. 35 No. 2, Juni 2017: 135-143

Page 9: FORMULASI RAGI CAMPURAN UNTUK PRODUKSI …oaji.net/pdf.html?n=2017/3313-1523850931.pdf · kendaraan(Wiraatmaja, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pengembangan

cepat tumbuh untuk produksi bioetanol. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 10(1), 76-91.

Rivera, B. T., Muniz, B. O., Rodriguez, J. G., Cagal, A. C., Gonzales, J. M. D., & Uscanga, M. G. (2015). Bioethanol production from h y d r o l y z e d s u g a r c a n e b a g g a s e supplemented with molasses "B" in a mixed yeast culture. Renewable Energy, 74(1), 399-405.

Sebayang, F. (2006). Pembuatan etanol dari molase secara fermentaso menggunakan sel Saccharomyces cerevisiae yang terimobilisasi pada kalsium alginat. Teknologi Proses, 5(2), 68-74.

Stenberg, K., Tengborg, C., Galbe, M., & Zacchi, G. (1998). Optimisation of steam pretreatment of SO impregnated mixed 2

softwoods for ethanol production. Journal of Chemical Technology and Biotechnology, 71(4), 299-308. doi: 10.1002/ (SICI)1097-4 6 6 0 ( 1 9 9 8 0 4 ) 7 1 : 4 < 2 9 9 : : A I D -JCTB858>3.0.CO;2-Z.

Stenberg, K., Terborg, C., Gable, M., & Zacchi, G. (1998) . Optimal isat ion of steam pretreatment of SO impregnated mixed 2

softwoods for ethanol production. Journal Chemical Technology Biotechnology, 71, 299-308.

Taherzadeh, M. J., & Karimi, K. (2007). Enzyme-based hidrolysis process for ethanol from lignocellulosic materials. BioResources, 2(4), 707-738.

Usmana, A.S., Rianda, S., & Novia. (2012). Pengaruh volume enzim dan waktu fermentasi terhadap kadar etanol (Bahan baku tandan kosong kelapa sawit dengan pretreatment alkali). Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, 18(2), 17-25.

Wiraatmaja, I. (2010). Pengujian karakteristik fisika biogasoline sebagai bahan bakar alternatif pengganti mesin murni. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, 4(2), 145-154.

Wise, L.E. (1994). Wood chemistry. New York: Reinhold Publisher Corporation.

Wu, J., & Ju, L. K. (1998). Enhancing enzymatic saccharification of waste newsprint by surfactant addition. Biotechnology Progress, 14(4), 649-652.

Zheng, Y., Pan, Z.L., Zhang, R.H., Wang, D.H., & Jenkins, B. (2008). Non-ionic surfactants and non-catalytic protein treatment on enzymatic hydrolysis of pretreated creeping wild ryegrass. Applied Biochemistry and Biotechnology, 146, 231-248.

Formulasi Ragi Campuran untuk Produksi Bioetanol dari Limbah Kayu Sengon(Ina Winarni, Sri Komarayati, & Djarwanto)

143