Upload
cabintheories
View
1.659
Download
5
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sebuah novel dari Banon Agung Wijaya (inspired by. JKT48) genre: romance, horror, thrillerSINOPSIS:Semua berawal dari bayangan samar-samar yang terealisasikan menjadi sebuah sketsa seorang wanita.Wanita yang tiba-tiba datang dan sempat mengisi satu karakter dalam kehidupan.Kisah persahabatan yang berawal dari rumah pohon pun terjalin.Rumah pohon, rumah dimana tempat mereka berempat menggantungkan mimpinya.Siapa yang tahu, akhirnya melibatkan seorang member JKT48 dan penulis muda di dalam kisahnya.Hingga sempat terpisah dan bertemu kembali dengan sebuah kenangan manis dan duka yang sangat pahit. Bahkan kejadian aneh pun sering meneror setelah pertemuan itu, Seakan-akan kehidupan seperti skenario dalam dimensi paralel.Tapi apakah mereka bisa mengembalikan kehidupannya menjadi nyata dan bisa keluar dari perangkap paralel itu?
Citation preview
i
No shadow without light,
No success without struggle.
ii
iii
BANON AGUNG WIJAYA
From
A
Shadow
Penerbit
iv
From A Shadow
Oleh: Banon Agung Wijaya
Copyright © 2014 by Banon Agung Wijaya
Penerbit
CABINTHEORIES
www.cabintheories.blogspot.com
Desain Sampul:
Hari Abriyoko
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
v
thanks to
Allah SWT atas inspirasi yang terus mengalir di otak
saya, sehingga bisa menetaskan novel ini.
Kak Funy, Adhi Mursyid, Utari Widri, Risda,
Devicia yang sudah bersedia membantu saya dalam
pembuatan review cerita.
Mas Yoko yang membuat cover novel ini jadi lebih
cakep dari penulisnya.
Teruntuk Khusus
Beby Chaesara Anadila, Ratu Vienny Fitriliya,
Althea Callista yang sudah menjadi inspirasi cerita
dalam novel ini.
Dan semua sahabat, teman dan rekan yang selalu
meyakinkan bahwa tulisan ini berharga.
―Banon Agung Wijaya―
vi
1
Prolog
esekali hati ini bermimpi, impian yang terlihat
mustahil oleh logika. Namun tidak dengan bocah
yang lahir dari keluarga broken home ini, sebut saja
Caesar Wijaya. Teriakan-teriakan amarah yang terus
terlontar dari mulut kedua orang tuanya sudah tersimpan
di dalam telinganya saat masih berumur 2 tahun. Ke-
tidakpahaman hanya bisa membuatnya menangis dan
membuat keadaan semakin parah. Tangisan itu perlahan-
lahan mereda setelah seorang kakak perempuan muncul di
hadapannya. Bianda Komala Wijaya, sosok kakak yang
memiliki selisih umur 4 tahun dengan Caesar itu selalu
berusaha memberikan gurauan untuk adiknya. Seolah lupa
akan bentakan-bentakan yang baru saja Caesar dengar,
senyuman bahkan tawa kecil tampak jelas hinggap
menghiasi raut wajahnya yang masih polos.
Waktu terus berjalan, saat itu Caesar genap
berumur 3 tahun. Sepi, tak ada lagi teriakan-teriakan
S
2
amarah itu terdengar dalam telinganya seiring terpisahnya
dua sosok pahlawan yang telah berhasil menghadirkannya
untuk merasakan udara di dunia. “CERAI!” kata terakhir
yang Caesar dengar tanpa ia pahami.
Kini Caesar tumbuh menjadi seseorang yang
memiliki berbagai kepribadian. Berbanding terbalik
dengan Bianda, ia sangat cerdas dalam bidang akademik.
Hal itulah yang membuat Caesar menjadi bahan per-
bandingan otak oleh mamanya. Walaupun begitu, Bianda
tetaplah Bianda. Sosok kakak yang selalu ikut mendorong
adiknya untuk mencapai semua yang menjadi impian
adiknya sendiri. Namun, kehidupan orang tua mereka
sudah tidak saling menyentuh. Caesar memilih tinggal
dengan papanya di Bandung dan sebaliknya dengan
Bianda yang memilih dengan mamanya yang tetap tinggal
di Semarang.
Berbagai kepribadian yang Caesar miliki, ternyata
hanya untuk menutupi karakter aslinya yang mungkin
tidak perlu untuk publik ketahui. Kadang ia bersifat
kekanak-kanakan dan kadang juga ia bisa menjadi
pendiam. Itu ia lakukan seolah-olah untuk menghipnotis
3
teman-temannya yang hanya mengetahui sisi luarnya.
Dengan itu, Caesar memiliki daya yang cepat untuk
memahami sifat orang lain, sehingga ia selalu tepat dalam
memilah-milah teman. Mulai sejak TK, Caesar sudah
memiliki banyak teman dengan kemampuan bergaulnya
yang cukup unik itu.
Apapun yang Caesar lakukan itu lebih dari cukup
untuk benar-benar menutupi karakter aslinya. Dibalik
semua itu, Caesar adalah sosok manusia yang sangat
dewasa, ia sangat pandai dalam mengontrol emosinya.
Kedewasaan itu terlapisi lagi dengan sifat pendiamnya. Ia
diam bukan berarti tidak tahu apa-apa di sekitarnya,
Caesar tahu dan paham namun ia lebih memilih untuk
menghindari kegaduhan. Caesar bukan benci perdebatan
namun ia menganggap pencarian solusi lebih utama
dibanding membicarakan masalah. Caesar memang diam,
namun sebenarnya ia pun jengah. Caesar tahu namun tidak
ingin ribut. Ia paham namun tidak ingin menggurui.
Caesar memang diam, ia punya solusi namun tidak
mencari publikasi. Caesar berkontribusi namun tidak
dengan sok aksi. YA! Caesar diam karena ia memilih
untuk diam, ia diam bukan berarti tak pernah berpikir,
4
bukan karena tidak peduli. Caesar diam karena menurut-
nya itu lebih baik.
Menjajali berbagai macam teman bahkan sahabat
sudah menjadi hal biasanya bagi Caesar. Namun, dengan
urusan percintaan di masa remaja, baru-baru ini ia mulai
merasakannya. Hati yang berdebar-debar, darah deras
mengalir dan tubuhnya yang kian bergetar saat
berhadapan dengan seseorang teman satu kelasnya saat ia
masih SMP di Bandung. Beby Chaesara Anadila, itulah
sosok wanita yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan Caesar
dan berhasil membekukan hatinya. Senyumannya yang
manis itu selalu membuat waktu terasa begitu cepat
apabila sedang berdua dengannya. Hingga kini Caesar
duduk di kelas 3 SMP, hampir tiga tahun mereka satu
kelas. Tidak bisa dipungkiri, perasaannya kepada Beby
kini semakin menjadi-jadi.
Lantas mengapa Caesar tidak berniat untuk
menyatakan perasaanya kepada Beby? Bukannya tidak
berniat, melainkan ia tahu dan sangat kenal karakter Beby.
Wanita ini cukup dewasa, sehingga memaksa Caesar
untuk menunggu waktu yang tepat.
5
I
(SATU)
6
itik-titik hujan menghiasi jendela ruang kelas,
pelangi yang samar-samar akan hilang seperti
memberikan senyuman terakhir pada hari itu. Bel
istirahat berbunyi, jemarinya yang beberapa jam tadi
bercumbu dengan bolpoin, kini mengalihkan gerakannya
ke dalam tas dan mulai meraih sebuah laptop. Seperti
biasa, laptop berwarna hitam itu tidak pernah absen berada
di atas meja Caesar saat istirahat. Wifi kelaspun menjadi
santapan sehari-hari Caesar saat teman-temannya
memanjakan perutnya di kantin sekolah. Bukan, bukan
tugas yang dicarinya, melainkan sosial media yang
mungkin sudah ada dalam template otak Caesar. Entah
apa yang membuat Caesar betah membolak-balikan scroll
mouse ke atas dan ke bawah. Matanya seakan-akan seperti
binatang buas yang sedang mengintai mangsanya. Hingga
bel masuk berbunyi, Caesar yang tidak menemukan hal
menarik selama istirahat tadi langsung menutup laptopnya
dan mengembalikan ke dalam tasnya.
T
7
Pelajaran Bahasa Perancis. Caesar sudah tidak
mengacuhkan pelajaran yang penulisannya berbeda
dengan cara mengucapkannya ini. Sulit untuk mencerna
pelajaran yang terlalu membosankan ini. Dengan raut
wajah yang sudah merindukan rumah, Caesar mengambil
secarik kertas kosong dalam kolong mejanya. Tatapan
kosong Caesar ke arah kertas itu sesekali membentuk
wajah sosok wanita, jemarinya mulai bercumbu dengan
bolpoin kembali. Tanpa disadari, Caesar menggambar
sosok wanita dalam kekosongan tadi. Gambar itu menarik
perhatian Triyan, teman sebangku Caesar.
“Eh, lagi ngapain sih?” tanya Triyan penasaran.
“Ha?” Caesar melongo, terkejut. “Eh… enggak
kok, coret-coret aja.”
Triyan masih tidak percaya dan semakin
penasaran, ia merebut kertas itu dari tangan Caesar.
“Terus ini gambar apa?”
“Oh ini, mungkin bidadari dalam dimensi
paralelku,” jelas Caesar, nyengir.
8
Triyan tersenyum geli. “Yaelah mblo, sadar woi
sadar! Cewek di dunia tinggal milih, masih aja cari dari
dimensi lain,” ejeknya kemudian.
“Kalo di dunia bidadari cuma ada satu kayaknya,”
kata Caesar yang terlontar dari mulutnya tiba-tiba.
“Wih, normal juga akhirnya! Siapa? Beby?”
Triyan tertawa geli, meledek kembali.
“Ah, ngawur…”
“Hayooo ngaku aja deh…”
Caesar nyengir malu, “Udah ah udah, nggak usah
di bahas!”
“Tuh, Beby ngliatin mulu tuh. Kya kya
kyaaaa…”
“Eh udah lu diem aja deh,” sela Caesar.
“Tapi kan…”
9
“Eh pada ngributin apa sih? Heboh amat dari
tadi,” sela Ginsa yang duduk di belakang Caesar dan
Triyan.
“Ini loh Gin, Caesar suka…”
“Sialan! Diem aja woi,” bisik Caesar yang
memotong perkataan dan menutup mulut Triyan.
“Masalah cowok, Gin!” jelas Caesar kepada Ginsa.
“Iya deh iya jangan salah tingkah gitu ah, Sar!”
ejek Triyan sambil menampar kecil pipi Caesar.
“Ah kalian emang pasangan gay, absurd…,” sahut
Ginsa.
“Whatever… Toss dulu, Sar!”
“Ih najis, nggak mau, Yan! Dibilang gay mau-
mau aja sih lu,” ucap Caesar dengan wajah jijik.
“Ah kamu, biasanya gimana sih, Mas Boy?” canda
Triyan sambil mencolek pipi Caesar layaknya banci.
Suasana bosan itu berbalik penuh canda dan tawa
tak terkecuali dengan Ginsa. Waktu terasa semakin cepat
10
dimakan obrolan tak jelas itu. Hingga mereka tak
menyadari pelajaran Bahasa Perancis sekaligus pelajaran
terakhir telah usai. Pulang.
Guru Bahasa Perancis sudah meninggalkan kelas.
Semua penghuni kelas pun beranjak dari tempat
duduknya, napas lega akhir pekan mulai terasa.
“Tuh, Beby mau pulang… samperin gih!” ujar
Triyan sambil mendorong Caesar.
Caesar berjalan mendekati Beby, “Beby…”
“Eh Caesar, ada apa?”
“Nanti malem kamu kosong nggak?” tanya
Caesar. “Kalo iya, main yuk!” ajaknya kemudian.
“Eh ayok! Kebetulan lagi nggak ada kerjaan nih,”
jawab Beby.
Caesar melompat dan terbang kegirangan dalam
hati. “YESSS!”
“Yes?”
11
“Eh enggak, ya udah entar malem aku jemput
kamu ya,” ujar Caesar.
“Ciyeeee… kayaknya ada yang mau kencan nih!”
seru Ginsa, menyela.
“Udah Gin, nggak usah cemburu… kamu kencan
sama aku aja,” sahut Triyan yang juga ikut menyela.
“Iya ayok, gay!”
“Nggak ada gay yang mau kencan sama cewek
kalik,” ucap Triyan, ketus.
“Sekali gay tetap gay!” ejek Ginsa, melet.
“Udah pernah dicium anak bunglon? Aku cium
nih lama-lama,” canda Triyan.
Beby tertawa geli. “Bunglon-nya gay dong!”
sahutnya kemudian.
“Iya bener, Beb!” tambah Ginsa.
12
“Gila semua!” sahut Caesar, tersenyum geli. “Eh
gimana kalo entar malem mainnya barengan biar rame
gitu,” ucapnya kemudian.
“Bisa jadi!” sahut Triyan dan Ginsa bersamaan.
“Ciyeeee nyautnya sama, jodoh!” celetuk Beby.
“Kalo aku jodohnya siapa ya?” gumam Caesar
sambil tersenyum melihat ke atas.
“Jodohnya Beby aja gimana?” sahut Triyan
kembali.
“Eh…jodohnya kamu aja gimana?” tanya Caesar
yang berbalik menirukan gaya Triyan saat menirukan
banci.
“Udah mulai deh! Pasangan gay berserakan,”
sahut Ginsa.
Mereka berempat tertawa geli.
“Yaudah pulang yok, entar malem kamu-kamu
dandan yang cantik ya?” ucap Triyan menunjuk Ginsa dan
13
Beby. “Kalo nggak cantik, aku karungin buang ke laut,”
canda Triyan kemudian.
“Bandung ada laut ya?” tanya Caesar tertawa
sinis.
“Udah bunglon, gay, bloon lagi!” sahut Ginsa.
“Tapi kamu suka kan?” tanya Triyan yang
semakin menggila.
“Udah-udah, entar malem kumpulnya di rumah
Beby aja ya,” ujar Caesar.
“Yap! Eh Sar, kayaknya aku lagi krisis bensin
deh,” ucap Triyan, nyengir.
“Yaelah bro, bilang aja mau nebeng! Iya deh iya,”
sahut Caesar.
“Aihhh, Mas Boy baik deh,” celetuk Triyan
dengan kembali menirukan gaya banci.
“PFFFFFTTTTTTT!!”
14
Matahari telah kembali ke peraduan, bumi
berganti rupa menjadi hitam pekat ditelan kegelapan
malam. Gemerlap bintang berserakan dan berkedip-kedip
di langit. Seperti hati Caesar yang sedang terbang kesana
kemari tak berarah. Terbayang-bayang senyuman Beby di
kepalanya.
Caesar menancapkan gas mobilnya menuju rumah
Triyan. Lampu menerangi seluruh penjuru jalan malam ini
dan berhasil membuat Caesar tersenyum bebas.
Tangannya seakan-akan terhipnotis untuk membuka
jendela mobilnya. Suara nyanyian pemusik jalanan,
deretan bangunan dan orang-orang yang berlalu lalang
bagaikan lukisan tiga dimensi yang menghiasi hatinya
malam ini. Tak terasa rumah Triyan sudah di depan
matanya. Terlihat sosok pria dengan kemeja putih dan
rambut sedikit klimis berdiri di depan pagar. Triyan.
15
Caesar menyodorkan kepala keluar jendela
mobilnya. “Eh, malem-malem ada sales mangkal!”
ejeknya kemudian.
“Tai ah tai, cepetan berangkat!” sahut Triyan
sambil masuk ke dalam mobil Caesar.
“Aiiihhh, mau ketemu Ginsa aja abis minyak
rambut berapa botol itu?” ejek Caesar kembali.
“Minyak jelantah, Sar!” jawab Triyan, kesal.
Caesar menancapkan gas mobilnya kembali, kali
ini menuju rumah Beby. Canda tawanya dengan Triyan
tak henti-hentinya terlontar sepanjang perjalanan. Seperti
hanya melangkahkan kaki, tak terasa sampai di rumah
Beby. Nampak Ginsa telah sampai lebih dulu.
“Ciyeeee, bunglon gay rapi banget! Mau
dimakamin dimana nih?” celetuk Ginsa.
“Nah kan, Yan!” tambah Caesar.
“Dimakamin di hatimu aja deh, Gin!” sahut
Triyan, nyengir.
16
“Eh ngomong-ngomong Beby mana, Gin?” tanya
Caesar sambil menengok sekelilingnya.
“Itu… tadi katanya lagi ada telepon. Kenapa?
Udah nggak sabar nih yeeee.” ujar Ginsa.
Triyan menunjuk seseorang yang berjalan
mendekat. “Nah itu Beby!”
“Halo kalian!” seru Beby. “Udah lama ya
nunggunya? Maaf ya barusan ada telepon penting,”
tambahnya kemudian.
“Nggak kok, telepon dari siapa, Beb?” tanya
Triyan penasaran.
“Weitsss, bab beb bab beb enak aja lu…” sahut
Caesar menyela.
Triyan mendengus kesal. “Lah kan emang
namanya Beby, nyeeeeet!”
“Nggak boleh nggak boleh! Mulai sekarang
manggilnya Dila aja biar enak didengernya,” sahut Caesar
kembali.
17
“Siapa lu?”
“Security-nya Beby!”
“Katanya Dila?”
“Oh iya lupa, security-nya Dila!”
“PFFFFTTTTTTT!!”
Beby menghela napas. “Udah, stop! Tadi itu
telepon dari Jepang…”
“Hah Jepang?” sela Triyan.
“Dengerin dulu! Jadi gini, katanya aku kepilih
buat audisi masuk JKT48,” jelas Beby.
“JKT48? Makanan apa itu? Kantin sekolah jual
nggak?” celetuk Triyan.
“Kalo dari telepon tadi, JKT48 itu punya basis
idol group yang mau dibentuk sama produser sekaligus
pencipta lagu terkenal di Jepang,” jelas Beby kembali.
Ginsa menatap Beby dengan kening yang
mengerut. “Idol group? Bedanya sama girlband?”
18
Beby tersenyum. “Beda banget, JKT48 itu batu
lompatan buat ngembangin bakat kita. Jadi, mereka cari
cewek-cewek yang mau belajar dan bisa berkomitmen.”
“Ya udah nggak ada salahnya mencoba, Dil!”
sahut Caesar menyemangati.
“Nggak yakin kuat sama golden rules-nya, Sar!
“Separah apa sih?”
“Banyak larangan deh pokoknya, pacaran aja
dilarang.”
“Waduh! Hancur Sar hancur!” celetuk kembali
terlontar dari mulut Triyan.
“Sssttt…diem aja deh, lu!” bisik Caesar. “Terus
kenapa kalo dilarang pacaran? Masa depan kan lebih
penting, Dil!” tambahnya untuk menyemangati Beby.
Beby menatap ke atas, mengerutkan kening. “Iya
juga sih, ya udah deh aku usahain.”
19
“Nah, gitu dong!” sahut Ginsa sambil menepuk
bahu Beby. “Kita mau kemana sekarang?” tanyanya
kemudian.
“Aku lagi pengen lihat pemandangan malam
Bandung dari atas,” usul Beby.
“Pas! Ke Bukit Moko aja yuk, aku ada villa di
situ,” tambah Caesar.
“Oh yang kamu ceritain ada rumah pohonnya itu,
Sar?” tanya Triyan.
“Nah iya bener banget,” ujar Caesar kembali.
“Asik! Ayo berangkat!” seru Ginsa.
Berangkat. Kata terakhir di rumah Beby sebelum
Caesar mulai menancapkan gas mobilnya kembali.
Seluruh jendela mobil terbuka. Angin malam kebebasan
menerjang tubuh empat sekawan ini. Canda tawa terus
tetap menghiasi sepanjang perjalanan mereka, seakan
dunia hanya milik mereka berempat. Villa megah milik
Caesar sudah terlihat oleh mata. Tiba-tiba Caesar
menginjak rem mobilnya.
20
“Loh kok berhenti?” tanya Beby.
“Jagung bakar!!!” seru Caesar.
Tiga pasang mata yang semula menatap Caesar,
kini mengalihkan pandangannya keluar mobil dan
mendapati seorang penjual jagung bakar. Dengan cekatan
Triyan keluar mobil mendekati penjual jagung bakar itu,
Caesar, Beby dan Ginsa mengekor. Jagung bakar menjadi
bumbu penyedap suasana malam ini.
Melihat villa yang berdiri kokoh di depan mata,
langkah kaki Triyan melambat. Dengan menggeleng-
gelengkan kepalanya seakan menginjak istana yang bisa
membuatnya lepas dari semua masalah dalam kehidupan.
Namun, sesuatu yang lebih sederhana berhasil
membutakan matanya. Rumah mungil yang bertengger di
pohon itu membuatnya seperti hidup kembali. Triyan
berlari mendekat, menginjak anak tangga hingga bisa
melihat bebas suasana malam Bandung dari atas rumah
pohon. Matanya berkaca-kaca, melongo.
“Beby, Ginsa! Kalian udah berapa lama tinggal di
Bandung?” tanya Triyan, berseru.
21
“Dari lahir mungkin,” ujar Beby.
“Yap! Kenapa?” tambah Ginsa.
Triyan tersenyum bebas. “Belasan tahun tinggal di
Bandung, mungkin hari ini pertama kalinya kalian akan
lihat surganya Bandung!” Kedua tangannya menunjuk ke
depan. “Disini!” tambahnya.
Dengan penasaran, Beby dan Ginsa bergegas
untuk menyusul Triyan ke atas diikuti Caesar dari
belakang. Mereka berempat pun kini sudah menginjakkan
kaki bersama di atas rumah pohon itu. Sebuah gitar klasik
tertata rapi di dalamnya. Buku-buku yang berjejeran di
dalam lemari kayu menjadikan nuansa klasik dalam
ruangan mungil ini lebih terasa. Beby berjalan-jalan dan
sesekali menyentuh perabot-perabot bernuansa klasik ini.
Tangannya mulai meraih secarik kertas yang tergeletak di
atas meja. “FROM A SHADOW” satu-satunya tulisan di
dalam kertas tersebut yang membuatnya bertanya-tanya
dalam hati.
“Itu tulisanku,” ucap Caesar dari belakang.
22
Beby sedikit kaget. “Apa artinya?”
“Entah, tiba-tiba aja tanganku gerak sendiri buat
nulis itu,” jelas Caesar.
“Aneh, kenapa harus berawal dari bayangan?”
tanya Beby.
Caesar tersenyum. “Mungkin semua keberhasilan
berasal dari hal kecil.”
“Terus?”
“Bayangan adalah sesuatu yang kecil dan kadang
tidak terlihat, kita butuh cahaya untuk bisa melihatnya
lebih jelas.”
“Hubungannya sama keberhasilan?”
“Cahaya bagaikan keringat dan air mata saat kita
berusaha meraih mimpi yang bahkan bakal bisa mem-
buahkan keberhasilan.”
Beby menatap mata Caesar, keduanya saling
bertatapan sekarang. Mulutnya perlahan-lahan mengem-
23
bang dan menghasilkan sebuah senyuman bersama.
Hingga akhirnya mereka tak sanggup menahan tawanya.
“Temen-temen sini!” seru Ginsa dari luar.
“Ada apa, Gin?” tanya Triyan mendekat.
Ginsa menunjuk ke atas. “Coba lihat bintang di
sana, mereka selalu bersama.”
“Romantis banget ya,” sela Beby.
“Yap! Apa kita bisa selamanya bersama seperti
bintang-bintang itu?” tanya Ginsa lirih.
“Gin, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi,
perpisahan sebelum kematian ada bukan untuk
selamanya,” ujar Triyan.
“Bener banget, hanya maut yang bisa membuat
selamanya kita berpisah,” tambah Beby.
“Aku cuma nggak pengen pisah sama kalian aja,
aku berharap kita bisa selalu bersama-sama kayak
sekarang ini,” ujar Ginsa kembali dengan meneteskan air
mata.
24
“Nggak bisa, Gin! Kita semua punya keperluan
hidup masing-masing. Cepat atau lambat keadaan akan
memaksa kita untuk berpisah,” tegas Caesar.
“Udahlah Gin, pisah nggak berarti lupa satu sama
lain kan?” ujar Beby menenangkan Ginsa.
“Iya bener tuh, aku janji deh suatu hari nanti kita
bisa kumpul disini lagi,” tambah Caesar. “Senyum dulu
gih!” tambahnya kembali dengan mengusap air mata
Ginsa.
Caesar berjalan masuk ke dalam dan kembali
keluar dengan membawa pensil dan beberapa lembar
kertas kecil.
“Gini aja deh, coba tulis disini ajakan kalian buat
ke rumah pohon ini lagi,” suruh Caesar.
“Buat apa, Sar?” tanya Triyan menyela.
“Simpen kertas itu. Besok kalo kita udah bener-
bener pisah dan pengen kumpul lagi kesini, kirim aja
kertas itu ke salah satu orang di antara kita,” tambah
Caesar.
25
Beby menatap Caesar dengan mengerutkan
keningnya. “Kamu yakin ini bakal berhasil?”
Caesar menghela napas. “Aku yakin, asalkan
kertas ini bener-bener kamu simpen di tempat yang
bahkan lebih aman dari hati kalian.”
Seketika, tiga remaja yang semula hanya menatap
Caesar dengan penuh kekhawatiran terdiam tak
menjawab. Kini, raut wajahnya berubah dengan senyuman
tanda kepercayaan bahwa kelak akan bertemu kembali.
Malam ini menjadi malam yang sangat panjang
untuk empat sekawan itu. Segala suka dan duka tumpah di
malam ini. Air mata, senyuman hingga tawa memenuhi isi
rumah mungil di atas pohon yang mungkin akan menjadi
sejarah persahabatan mereka kelak.
Kini, rumah mungil di atas pohon sudah menjadi
saksi biksu semua kisah persahabatan yang terlahir dari
sebuah bayangan. Semua luka yang ada telah terkubur di
dalamnya, melebur dan berubah menjadi senjata untuk
bisa lebih dewasa.
26
II
(DUA)
27
Bulan demi bulan berganti.
Suasana dingin di tengah malam menusuk tubuh
Caesar. Ia terbangun dari dunia mimpinya. Matanya
perlahan-lahan terbuka. Tak terlihat apa-apa, gelap.
Ternyata listrik di rumahnya mati. Caesar beranjak dari
tempat tidurnya dan mendekati meja belajar. Di dalam
kegelapan, tangannya meraba-raba hingga meraih sebuah
lampu emergency. Cukup untuk penerangan. Ia tak
langsung kembali ke tempat tidur melainkan membuka
satu per satu buku pelajaran di atas meja belajarnya,
mengingat pagi hari nanti adalah hari terakhirnya
mengikuti kegiatan di sekolah. Dengusan napasnya
terdengar jelas setelah tangannya meraih buku Bahasa
Perancis. Caesar hanya membolak-balik buku itu. Ia
terdiam saat mendapati gambaran hasil tatapan kosongnya
dulu. Senyuman mengembang di bibirnya dengan hati
yang terus bertanya-tanya, “Siapa sosok wanita di dalam
kertas ini?” Cukup lama Caesar memandangi gambar itu,
matanya sudah mulai terasa berat, namun ia tetap tidak
beranjak dari meja belajarnya. Alhasil, kepalanya
tergeletak di atas meja belajar dengan mata yang memaksa
28
untuk menutup kembali. Ketiduran.
Suara alarm handphone dengan volume maksimal
berhasil menusuk gendang telinga Caesar. Lagi-lagi
mimpinya terpenggal. Kepala yang semula tergeletak di
atas meja belajar seolah bergerak seperti kaki yang
tertusuk duri dengan refleks yang cukup cepat. Caesar
beranjak dari meja belajarnya. Tubuhnya terdorong untuk
membuka jendela kamar. Udara pagi menyeruak dari tirai-
tirai langit. Sang fajar yang sudah nampak di ufuk timur
memancarkan sinarnya dengan anggun. Suara ayam
berkokok pun sudah mulai bersaut-sautan.
Seketika terdiam. Caesar menghela napas kejutan
mengingat pengumuman kelulusan hari ini. Ingatan itu
cukup membuat pikirannya berserakan. Denyut jantung
terasa semakin cepat. Ia bergegas untuk mempersiapkan
diri pergi ke sekolah menghadapi kenyataan. Senam
jantung. Butuh waktu setengah jam, semua sudah siap.
Mengayuh sepeda menuju sekolah.
“Dila!!!” seru Caesar, melihat Beby berjalan kaki.
Beby menoleh dengan wajah sedikit cemberut.
Caesar mengayuh sepedanya mendekati Beby.
29
“Kok jalan kaki?” tanya Caesar.
“Ban sepedaku bocor Sar, barusan aku titipin
bengkel sepeda,” ujar Beby tambah manyun.
“Yaudah nggak usah cemberut gitu, entar tambah
jenong lho,” ejek Caesar, tertawa.
Beby tambah cemberut. “Ih kamu malah
ngeledek…”
“Tuh tuh, lihat ayam di sana, pada ngetawain
kamu tuh, denger nggak? Senyum gih!” ujar Caesar
menunjuk sekumpulan ayam.
Beby menoleh. Senyuman bahkan tawa kecil
mengembang di wajahnya. “Itu emang ayam ketawa Sar,
gila kamu!”
“Ciye… ciye… nah gitu dong senyum, sini
bonceng aku aja!”
Beby tersenyum kembali dan langsung duduk di
bagian belakang sepeda Caesar dengan memangku tas
ransel berwana coklat. Perjalanan yang masih cukup jauh
memancing obrolan antara mereka berdua.
30
“Dil, kamu deg-degan nggak sih?” tanya Caesar
dengan mengayuh sepedanya.
“Deg-degan banget, Sar! Aku takut sama
pengumuman nanti,” sahut Beby.
“Oh…”
“Kamu nggak deg-degan?”
Caesar hanya mengangguk.
“Andai kamu tahu, aku deg-degan banget
boncengin bidadari,” gumam Caesar dalam hati.
Gerbang sekolah yang terbuka lebar memberikan
senyuman untuk satu langkah menuju impian yang masih
tergantung jauh. Murid-murid berkerumun di depan papan
pengumuman. Berdesak-desakan untuk mencari serangkai
nama di antara ratusan nama murid lain dalam kertas yang
menempel rapi di papan pengumuman. Sudah tertera jelas,
nama Caesar, Triyan, Beby dan Ginsa dinyatakan lulus.
Teriakan histeris dan loncatan-loncatan girang menunjuk-
kan kelegaan dalam hati mereka. Berhasil melalui satu
langkah lagi menuju cita-cita.
31
Malam ini malam special. Acara perpisahan
dengan tema “The Last Couple” mengundang perhatian
seluruh murid. Tak terkecuali dengan empat sekawan ini.
Dengan tema pasangan terakhir, sudah pasti Caesar
memilih Beby dan sebaliknya Triyan memilih Ginsa.
Semua ini seperti nyata, sudah menjadi harapan Caesar
dan Triyan kelak.
Acara yang sangat meriah, canda tawa dan tangis
haru bercampur aduk mengingat memori-memori yang tak
terlupakan tiga tahun silam. Hingga di penghujung acara,
tiba-tiba Triyan memberanikan diri untuk membuktikan
kepada Ginsa bahwa dirinya bukan gay.
“Gin, kamu suka boneka teddy bear?” tanya
Triyan gemeteran.
“Suka banget, lucu tau….”
“Nih aku bawain buat kamu,” ucap Triyan dengan
menyodorkan boneka itu kepada Ginsa.
“Ih…. ini lucu banget, Yan!” seru Ginsa.
32
“Iya aku tau ini lucu, tapi lebih lucu mana sama
yang di belakangnya?”
“Maksudnya?”
“Coba baca aja tulisan di belakangnya….”
Gin, sebenernya selama ini aku suka sama kamu…
Kamu mau nggak jadi teddy bear-ku?
- Triyan -
Senyuman dan anggukan kepala Ginsa setelah
membaca pesan kecil di belakang boneka itu
menunjukkan perasaan yang sama dengan Triyan.
“Aku nyatain! Triyan sudah nggak gay lagi!” seru
Ginsa dengan maksud bahwa Triyan sudah punya
pasangan lawan jenis dan tidak pantas lagi untuk disebut
gay.
33
Seruan Ginsa menarik perhatian orang-orang di
sekitarnya, tak terkecuali dengan kedua sahabatnya.
Terkejut.
“Ciye… ciye….,” sela Beby.
“Aku terharu…,” tambah Caesar.
“Aum… aum… kalian kapan nyusul?” celetuk
Triyan yang membuat Caesar salah tingkah.
Salah tingkah itu menjadi awal Caesar untuk
memberanikan melakukan seperti yang dilakukan Triyan.
Menurutnya, sekarang ini waktu yang tepat. Caesar
mengajak Beby mencari minum.
“Dil, aku mau ngomong sesuatu nih sama kamu,”
ucap Caesar menahan laju Beby.
Beby terhenti. “Iya ngomong aja…”
“Ehm, sebenernya aku…”
“Eh tunggu bentar, ada telepon!” sahut Beby
memotong kata-kata Caesar setelah handphone-nya
bordering. Ia berjalan sedikit menjauhi Caesar untuk
mengangkat panggilan tersebut.
34
Tiba-tiba, Beby berlari dan serontak tidak sengaja
langsung memeluk Caesar.
Beby bergegas melepaskan pelukan itu setelah
sadar kalau ternyata ia memeluk Caesar. “Eh, maaf
banget… nggak sengaja…”
“Nggak masalah,” ujar Caesar, santai. “Kok
keliatannya seneng gitu, ada apa?” tanyanya kemudian.
“Aku lolos audisi JKT48, Sar. Aaaaaaaaa…..
seneng banget!” jawab Beby cukup histeris.
“Wih beneran? Wah selamat ya!” sahut Caesar
memberi selamat. “Bener kan, usaha keras pasti ada
hasilnya, nggak bakal sia-sia deh,” tambahnya.
“Iya bener Sar, makasih banget udah
nyemangatin,” balas Beby. “Oh iya, tadi kamu mau
ngomong apaan?” tanya Beby penasaran.
"Ehmm...Eng... gak... kok,” jawab Caesar terbata-
bata. “Cuma mau bilang nanti kalau udah pisah, jangan
lupa sama aku ya, apalagi kalau nanti kamu jadi member
JKT48," jawabnya kemudian, berubah pikiran yang
semula ingin menyatakan perasaan pada Beby menjadi
35
down setelah mengetahui Beby lolos audisi JKT48, karena
dalam idol grup tersebut ada golden rules dilarang untuk
berpacaran.
"Iya, aku janji nggak akan ngelupain kamu. Oh
iya, kemarin aku iseng buat sketsa wajah anak-anak
sekelas. Nah, ini aku bawa sketsa wajahmu. Maaf kalo
jelek, tapi mungkin bisa jadi kenang-kenangan," ucap
Beby sambil memberikan hasil karyanya pada Caesar.
36
37
“Wah! Kalo ini mah nggak pantes dikatain jelek
woi, makasih banget ya. Maaf belum bisa kasih apa-apa
buat kamu, tapi aku janji suatu hari nanti aku akan
berusaha buatin sketsa wajahmu," ucap Caesar.
Beby tertawa. “Iya, nyantai aja kalik… Eh, udah
malem nih pulang yuk!" ajak Beby kemudian.
Dengan cekatan, Caesar melirik jam tangannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.13. Caesar langsung
mengantar Beby pulang ke rumahnya.
Malam tanpa senyuman bulan dan kedipan
bintang mewakili perasaan Caesar saat ini. Perasaan
bangga tapi kecewa bercampur aduk di dalam hatinya.
Bangga karena seseorang yang sangat ia cintai hampir bisa
meraih mimpinya. Kecewa karena belum dapat
memilikinya dan akan berpisah jauh dengan orang itu.
Senyuman palsu selalu mengembang saat Caesar
bertatapan dengan Beby. Perjalanan terasa sepi. Tak ada
canda dan tawa seperti biasa. Hal ini memaksa Beby untuk
memulai pembicaraan.
“Sar… kok diem?” tanya Beby.
38
Caesar tetap terdiam.
Beby mendengus sedikit kesal.”Woi, Saaarrrr!!”
serunya kemudian.
Caesar tersadar dari lamunannya. “Eh… iya… ada
apa?”
“Nyetir kok melamun sih?” tanya Beby kembali.
“Nggak, lagi bayangin aja kalo kamu bener-bener
jadi member JKT48,” jelasnya dengan senyuman palsu
yang mengembang kembali.
“Ah kamu ini, ya udah doain aja ya,” ujar Beby.
Caesar hanya mengangguk, tersenyum.
“Oh ya, entar jadinya mau ngelanjutin sekolah
dimana kamu?” tanya Beby kemudian.
Caesar menatap mata Beby. “Kayaknya aku balik
Semarang bareng Triyan, Ginsa juga, Dil. Kamu?”
tanyanya balik.
“Yaaaaahh! Nggak ketemu lagi dong, bakal
kangen kamu Sar,” keluh Beby. “Tergantung sih, kalo
bener-bener jadi member JKT48 aku homeschooling di
39
Jakarta,” jelasnya kemudian.
Caesar mencengkeram tangan Beby dengan erat.
“Aku yakin kok, besok kita bakal ketemu lagi.
Inget kataku dulu nggak? Kita bakal kumpul lagi di rumah
pohon kelak… Asalkan kamu masih nyimpen kertas
ajakan itu.”
“Iya Sar, inget banget. Kertas itu bakal aku
simpen di tempat yang lebih aman dari hati,” sahut Beby.
Caesar tertawa kecil. “Itu kan kata-kataku?”
Lagu “Hari Untukmu” milik Rocket Rockers dan
canda tawa persahabatan berlomba-lomba memenuhi
setiap sisi mobil Caesar. Di akhir lagu, Caesar mematikan
mesin mobilnya di tepi jalan.
“Loh kok berhenti?” tanya Beby kebingungan.
“Nggak cuma mau ngomong sesuatu aja buat
kamu,” jelas Caesar dengan raut wajah yang cukup serius.
“Silahkan…”
Caesar menatap tajam mata Beby. “Kamu tahu
arti impian?” tanyanya kemudian.
40
“Sesuatu yang ingin diraih,” sahut Beby singkat.
“Oke, coba lihat kedai kopi disana!” Caesar
menunjuk kedai kopi di sebrang jalan. “Sekarang,
mimpiku ada disana.”
Beby melongo kebingungan. “Maksudnya?”
“Mimpi kecilku, membawakan kamu bunga
edelweiss yang ada di dalam kedai itu,” jelas Caesar.
Beby masih tetap tidak paham maksud Caesar.
“Tunggu disini!”
Caesar keluar dari mobilnya, berjalan menuju
kedai kopi sepi pengunjung itu. Tak butuh waktu yang
lama, Caesar keluar dengan membawa sesuatu yang
dijanjikannya tadi.
“Ini maksudnya apa sih?”
Caesar tersenyum. “Mungkin ini semua terlihat
konyol di matamu.”
“Yap, that’s true!” sela Beby.
41
“Nggak sadar ya? Barusan kamu menyaksikan
seseorang yang berjuang meraih mimpi kecilnya,” ujar
Caesar dengan tetap mengembangkan senyumannya.
“Mimpi kecil?”
“Dengerin aku, bunga edelweiss di tanganku ini
dijual mahal sama pemiliknya, tapi aku berhasil bawain
buat kamu tanpa ngeluarin uang sepeser pun,” jelas
Caesar.
“Gimana caranya?”
“Gimana caranya itu nggak penting, yang penting
sekarang kamu harus tau kalau semua mimpi sekecil
apapun harus diperjuangin. Dan yang paling penting,
jangan takut melangkah buat meraihnya,” jelas Caesar
panjang lebar.
Kening Beby yang mengerut dan anggukan
kepalanya menunjukkan bahwa ia mulai mencerna
perkataan Caesar.
“Mungkin ada kalanya kamu terjatuh, tapi
berusalah menjadikan luka itu sebagai senjata untuk lebih
dewasa,” tambah Caesar.
42
Hingga akhirnya Beby benar-benar tahu apa
maksud ini semua. Ternyata, semua yang baru saja Caesar
lakukan hanya untuk memberi motivasi terakhir sebelum
mereka berpisah.
“Stop, I know what your mean! Sebelumnya
makasih banget buat semua ini,” sahut Beby menyela.
Caesar yang masih menatap Beby hanya
tersenyum dan mengangguk.
“Kalo boleh jujur, kamu teman paling spesial, Sar.
Seumur hidup baru kali ini nemu cowok yang punya
karakter luar biasa dan sekarang dia ada tepat di depanku,”
ujar Beby memuji. “Kita sama-sama berjuang buat meraih
dan menyatukan mimpi kita kelak di rumah pohon,”
tambahnya kemudian.
Caesar terdiam mendengar pujian Beby. Ia hanya
mengacungkan jari kelingkingnya di depan Beby.
Mengerti apa maksudnya, Beby pun langsung mengaitkan
jari kelingkingnya ke jari kelingking Caesar dengan arti
sebuah perjanjian antara mereka berdua. Senyuman
mereka berdua seakan-akan menjadi kekuatan Caesar
untuk menghidupkan kembali mesin mobilnya. Malam
43
yang spesial dengan seseorang spesial berakhir di depan
rumah Beby.
Hari demi hari pun berganti, audisi demi audisi
pun dilalui oleh Beby dengan penuh semangat. Hingga
akhirnya final audisi pun tiba.
"Beby, tetep semangat ya! Inget kata-kataku,
jangan takut buat melangkah. Aku bakal terus ada di
belakang buat mendukungmu," ucap Caesar lewat telepon.
"Makasih banget, Sar! Aku janji nggak bakal
ngecewain kamu, aku janji bisa lolos di final audisi ini,"
jawab Beby.
“Ehm… sebenernya aku cuma takut kamu
ngelupain aku saat namamu udah dikenal banyak orang
nanti,” ucap Caesar kembali.
"Sar, coba ambil sketsa wajahmu buatanku itu!”
suruh Beby.
44
Caesar pun bergegas mengambil gambar yang
diletakkan satu wadah dengan barang-barang yang sangat
berharga baginya.
“Udah…”
“Coba lihat, di gambar itu kamu selalu tersenyum.
Kenapa? Karena gambar itu tahu bagaimana perasaan
seseorang yang menggambarnya. Aku harap kamu bisa
seperti itu, Sar!" jelas Beby yang berhasil membuat Caesar
tersenyum lega.
45
III
(TIGA)
46
aesar sudah bisa menghembuskan napas lega
sekarang. Libur panjang akhir semester sudah
menanti di depan mata. Memori akan bilangan
aljabar dan rumus-rumus lainnya tertimbun rapi di dalam
otaknya. Cuci otak.
Secangkir coklat panas menemani pagi hari yang
cukup cerah ini. Sebuah gazebo kayu di halaman rumah
menjadi tempat memanjakan diri. SLURRRRPPPP!
Seduhan untuk yang kesekian kalinya, lirikan matanya
mendapati sebuah kertas bertuliskan “FROM A
SHADOW” terselip di celah-celah kayu. Kertas yang ia
bawa kembali dari rumah pohon waktu itu. Lagi-lagi
tatapan kosong Caesar membentuk sesuatu. Kini bukan
bayangan manusia melainkan bayangan akan kata-kata
yang terangkai sederhana namun penuh akan makna.
Terdiam dan memandang kosong ke atas cukup lama,
tiba-tiba terdengar langkah seseorang mendekat.
“Caesar, lagi ngapain dek?” tanya papanya
dengan suara berat khas yang mengalir dari pita suaranya.
Caesar menoleh, menghela napas dan tersenyum.
C
47
“Lagi bosen aja di dalem rumah, Pa!” jawab
Caesar. “Papa kok rapi banget?” tanyanya kemudian.
“Kamu libur berapa minggu?” tanya papanya
balik.
“Dua minggu, Pa!”
"Mau nggak ikut Papa ke Jakarta seminggu?”
“Serius, Pa?”
“Lah mau berapa rius lagi? Udah cepet packing
dulu gih!”
Caesar beranjak dan melompat kegirangan dari
gazebo. “WHOAAAHH, JAKARTA I’M COMING!!!”
Kebosanan berbalik menjadi kebebasan. Dengan
terampil, tangannya mulai meraih beberapa pakaian dari
dalam lemarinya. Tak butuh waktu lama, Caesar siap
untuk meluncur untuk merasakan udara ibukota.
Matanya tak lepas dari pemandangan di luar
jendela mobilnya. Seakan-akan seperti menyapu setiap
sudut jalan yang dilaluinya.
“Emang ya, dari kecil sampai sekarang kamu
nggak berubah,” ucap Papa tiba-tiba.
48
Kening Caesar mengerut.
“Nggak berubah?”
“Iya, selalu melongo kalau lihat jalan.”
Caesar tertawa kecil. “Sebenernya ke Jakarta mau
ngapain sih, Pa?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
“Jadi gini, Papa ada urusan sama temen kerja
Papa. Nah, kebetulan kamu libur panjang… kalo di rumah
sendirian kasihan, ya udah Papa mau ajak kamu jalan-
jalan sekalian,” jelas Papa. “Mau kan? Kalo nggak mau,
turun aja!” candanya kemudian.
“Oh gitu, Papa aja yang turun!” balas Caesar,
tertawa. “Terus entar kita tinggal dimana, Pa?”
“Di apartemen temen Papa…”
“Oh kirain di musholla,” celetuk Caesar kembali
tertawa.
Papanya hanya terdiam ketus.
“Nggak lucu… nggak lucu…,” ujarnya membalas.
Laju mobil sejajar dengan rasa kantuk Caesar saat
ini. Rintik hujan yang mulai membasahi jalan, seperti
49
membawa memori-memori persahabatan di setiap
tetesnya. Kembali, tatapan kosong Caesar keluar jendela
menghadirkan rangkaian kata-kata itu lagi. Dengan
cekatan, tangannya meraih pensil dan secarik kertas di
atas dashboard mobilnya. Ia mengeluarkan bayangan itu
dari otaknya menjadi tulisan. Dan benar, satu paragraf
yang ia tulis seperti sebuah prolog dalam cerita. Perlahan-
lahan bayangan itu kosong dan hilang. Seiring dengan
hilangnya bayangan itu, tanpa sadar Caesar memejamkan
matanya yang sudah menahan rasa kantuk beberapa waktu
tadi.
Tepat di belakang gedung yang menjulang tinggi
dengan 22 lantai itu, deru suara mobilnya perlahan-lahan
hilang. Papa mematikan mesin mobil yang baru saja ia
parkirkan di sebelah mobil Jeep berwarna coklat.
“Caesar… ayo bangun, dek!” seru Papa sambil
menepuk pipi Caesar.
Caesar hanya mengolet tanpa membuka mata.
50
“Dek bangun dek… udah sampai Jakarta!!!”
Terkejut, mata Caesar langsung terbuka lebar. Ia
mendapati gedung bertingkat di depan matanya. Beberapa
kali ia mengucek matanya. Melongo.
“Ini beneran udah di Jakarta, Pa?”
“Bukan… ini di Hawaii… ya iyalah Jakarta, ayo
cepet bangun gih!”
“Maksudnya ini tempat apa, Pa?”
“Oh, ini apartemen temen Papa yang udah Papa
certain tadi.”
“Hmm……. bentar, Pa, kok perasaan cepet banget
ya?”
“Cepet gimana? Kamu aja tidur udah 2 jam, ngiler
lagi tuh…,” sahut Papa sambil menunjuk mulut Caesar.
Caesar mengusap mulutnya, ternyata kering.
“Ih enggak, Pa….,” ujar Caesar sedikit kesal dan
membuat Papanya tertawa.
Langkah malas Caesar memaksa untuk keluar dari
mobil dan mendorong untuk masuk ke dalam lobby
51
apartemen mengikuti papanya. Matanya yang masih
cukup berat lebih sering mendapati orang-orang dari
negara lain khususnya dari Arab yang berlalu lalang di
sekitar lobby.
Tiba-tiba Papa menghentikan langkah kakinya,
tangannya merogoh kantong dan mengeluarkan
handphone-nya. Jemarinya mulai menyentuh layar,
memasukkan serangkaian nomor, call. Terdengar dari
percakapannya, Papa sedang menelpon seseorang untuk
menjemputnya di lobby ini.
Tak butuh waktu lama setelah Papa mengakhiri
komunikasi tadi, terlihat dari kejauhan seseorang
berpawakan tinggi dan cukup kekar dengan rambut hitam
bergelombang, tersenyum dan mendekat ke arah Papa.
Melihat dari raut wajahnya, perkiraan Caesar, pria ini
berusia seperti papanya, di tengah empat puluhan.
“Hahaha… Halo apa kabar Pak Rio?” sapa pria itu
sambil menjulurkan tangan ke Papa.
“Selalu sehat! Tambah kekar aja sekarang?” balas
Papa sambil menyambut uluran tangan tadi, bersalaman.
52
“Biar nggak ada yang berani macem-macem sama
anakku, Pak!” canda pria itu. “Ayo langsung ke dalam
aja…,” ajaknya kemudian.
Papa mengikuti arah pria itu berjalan. Setelah
berbincang-bincang di dalam lift, Caesar mulai tahu siapa
pria yang terlihat akrab dengan papanya itu. Ternyata pria
itu adalah teman lama Papa saat di Semarang, bernama
Pak Reyhan. Pak Reyhan memiliki satu anak perempuan
dan ia sudah lama ditinggal istrinya meninggal dunia.
Lift terbuka, sampai lantai tujuan. Tiga pengguna
lift tadi belok ke kiri, berjalan sembilan langkah dan
terhenti di depan ruangan milik Pak Reyhan.
Ruangan yang cukup luas untuk dua penghuni dan
cukup rapi untuk seorang pria. Setelah duduk beberapa
menit di sofa, terdengar sayup-sayup suara dentingan
piano yang beralun dengan nada-nada yang merdu.
“Hmm… jadi ini yang namanya Caesar, kelas
berapa?” tanya Pak Reyhan.
“Iya, baru lulus SMP kemarin…,” jawab Caesar
tersenyum.
53
“Loh berarti sama kayak anak saya dong?” tanya
Pak Reyhan kembali. “Sini…,” ajaknya kemudian sambil
menggeret tangan Caesar.
Tubuh Caesar tergeret mendekati arah suara
dentingan piano tadi beralun. Semakin jelas nada-nada
yang bersatu menjadi sebuah alunan musik yang
menyejukkan hati. Kembali terhenti di depan ruangan.
Saat tangan Pak Reyhan mulai membuka pintu, seketika
suara dentingan piano itu berhenti. Terlihat sosok wanita
berambut hitam lurus sebahu dengan jemarinya yang
menghentikan sentuhan dengan tuts piano.
“Itu dia…..,” ucap Pak Reyhan sambil menunjuk
wanita itu. “Namanya Althea Callista,” tambahnya
kemudian.
Caesar terdiam, jantungnya berdebar-debar cukup
kencang. Pertemuan yang cukup mengejutkan antara
Caesar dengan Althea ternyata bukan pertemuan pertama
kalinya. Mereka berdua sudah pernah bertemu
sebelumnya, bahkan bersahabat. Iya, Althea adalah
sahabat lama Caesar saat TK yang pindah ke Jakarta
karena mamanya meninggal saat itu.
54
Perlahan-lahan Althea mendekati Caesar dengan
wajah yang masih tidak percaya.
“Kamu beneran Caesar yang dulu sering
boncengin aku pulang sekolah itu kan?” tanya Althea
menatap tajam mata Caesar.
Caesar terdiam sejenak, memandangi Althea yang
dulu ia kenal masih sama-sama bersuara anak kecil kini
tumbuh menjadi sosok wanita yang sangat cantik.
Pertanyaan singkat Althea seakan-akan mengembalikan
memori Caesar dua belas tahun lalu. Namun, sebagai
seorang lelaki, Caesar masih kuat menahan rasa harunya
saat itu. Menahan dengan senyuman.
“Iya Al, aku Caesar Wijaya… dulu kita sering beli
es krim di depan sekolah,” jawab Caesar. “Aku kangen
kamu, Al!” ucapnya kemudian.
Mendengar jawaban pasti dari Caesar, betapa
terkejutnya Althea bahkan bibirnya menjadi beku
mengiringi air mata haru yang berlinangan tanpa komando
hingga membasahi pipinya. “Inget juga nggak, waktu
ngumpulin stick es krim-nya, terus dikubur di bawah
55
pohon di belakang sekolah?” tanya Althea kembali hingga
membuat memori-memori itu berdatangan kembali.
Caesar mengangguk dan tersenyum menahan air
matanya yang sudah hampir keluar. “Ssssttttt… iya aku
inget semua, Al….,” ucapnya kemudian dengan tegar
sambil mengusap air mata Althea.
“Andai aja waktu itu bisa terulang lagi…..,” kata-
kata yang terlontar dari mulut seorang sahabat kecilnya ini
selalu memaksa Caesar untuk lebih tegar.
Caesar melirik ke arah Pak Reyhan. Papa Althea
itu memberikan kode dengan senyuman dan anggukan.
Caesar tahu apa yang harus ia lakukan, ia tersenyum
kembali, untuk menenangkan sahabatnya itu.
“Kalo kamu mau, sekarang bisa kok……,” ucap
Caesar.
“Kebetulan di gudang ada sepeda, di kulkas juga
ada es krim tuh!” sela Pak Reyhan.
Seketika kening Althea mengerut setelah
mendengar pernyataan dari papanya.
“Papa?”
56
“Sudahlah, Al, Papa juga pernah muda….”
“Ah Papa………”
Suasana haru yang semula memenuhi satu petak
ruangan ini telah tergusur oleh candaan Pak Reyhan,
canda tawa pun pecah.
“Yaudah ayo, Al!” seru Caesar.
Dengan cekatan dan wajah kegirangan, Althea
bergegas mengeluarkan sepedanya dari dalam gudang.
Dibawah mentari senja, Caesar mengayuh sepeda dengan
bobot juataan memori masa lalu di dalam setiap putaran
roda. Nostalgia. Senyuman terpancar jelas dari wajah
Althea, seakan-akan ia telah menemukan kembali
pangerannya yang telah lama hilang. Dalam otaknya
hanya ada kenangan masa lalunya yang terulang kembali
saat ini.
Caesar terus mengayuh sepeda itu ke arah pohon
besar yang berada di taman, belakang apartemen. Tiba-
tiba ia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Terdiam
hingga menghentikan laju sepeda. Ia pernah merasakan
hal yang sama seperti ini. De Javu. Bukan dengan Althea,
Caesar teringat kembali di saat berangkat sekolah sebelum
57
pengumuman kelulusan. Lagi dan lagi, kini bayangan
Beby Chesara Anadila seperti muncul tepat di depannya.
Kenangan lain bercampur aduk di dalam otaknya.
“Sar, kok berhenti?”
Serontak Caesar tersadar dari lamunannya.
“Ha?” melongo. “Nggak kok…,” ucapnya
kemudian.
Althea tersenyum. “Hayo… lagi ngalamunin
apa?”
“Beneran nggak ngapa-ngapain, cuma kangen aja
kalo lihat pohon segede itu…,” sahutnya untuk mengalih-
kan perhatian. “Kalo dulu, kita mesti makan es krim
bareng di bawah pohon segede itu,” tambahnya.
“Yaelah Sar, ya udah kesana aja lagian aku kan
juga bawa es krim,” ajak Althea.
Caesar tersenyum, badannya mulai tegak, kakinya
juga mulai mengayuh kembali sepeda putih itu hingga di
bawah pohon yang cukup besar tujuannya. Kembali,
jutaan memori masa lalunya meledak. Di tengah canda
58
tawa kedua pasangan sahabat ini, tiba-tiba Althea
memeluk Caesar.
“Sar, dari dulu sampai sekarang, cuma kamu yang
bisa bikin aku tertawa lebar kayak gini,” ucap Althea yang
masih erat memeluk sahabat kecilnya itu. “Kamu nggak
berubah ya, Sar…,” tambahnya dengan perlahan-lahan
melepaskan pelukan itu.
Caesar menatap tajam mata Althea, kedua tangan-
nya memegang erat bahu Althea.
“Lihat aku, Al…,” ucap Caesar yang terlihat
serius.
Althea manggut-manggut.
“Aku manusia biasa, bukan Power Rangers yang
bisa berubah…,” candanya dengan perlahan-lahan
melepaskan bahu Althea. Suasana cair kembali dengan
candaan itu, keduanya cekikikan. Dengan bahu yang
masih terguncang, mereka berdua memakan es krim
bersama hingga senja menyapa dan hujan rintik-rintik pun
yang mengakhirinya.
59
Malam ini rasanya berbeda, jauh lebih indah dari
malam-malam lainnya. Kembali Caesar dan Althea
mengenang masa lalunya. Kali ini mereka berdua
memandangi langit penuh bintang berkedip riang, seakan-
akan bintang itu tersenyum melihat mereka duduk berdua.
“Eh lihat itu Caesar, ada bintang jatuh!" teriak
Althea sambil menunjuk ke arah bintang itu semakin
menghilang.
Caesar merogoh kantongnya dan meraih sesuatu.
“Wuih iya-iya, aku juga lihat, Al!" sahutnya.
Ternyata Caesar mengambil secarik kertas kosong
yang tergambar sosok perempuan hasil tatapan kosongnya
saat di sekolah waktu itu.
"Ngapain kamu, Caesar? Itu gambar siapa?"
tanya Althea penasaran.
"Gini, kan katanya kalo ada bintang jatuh apa
yang kita harapkan bisa terkabul kan? Nah, aku pengen
60
ketemu sama orang yang ada di gambar ini, Al…," jelas
Caesar.
“Terus itu gambar siapa?”
“Aku juga nggak tau, makanya itu aku pengen
ketemu sama orang di gambar ini, Al.”
“Kok bisa gitu sih?”
“Gini ceritanya… waktu itu pas pelajaran Bahasa
Perancis ngebosenin banget kan tuh ya, nah aku ngambil
kertas, terus coret-coret nggak jelas… eh malah jadi
gambar kayak gini…”
“Oh gitu, ya udah semoga orangnya ada di dunia
ini,” ucap Althea, tersenyum.
“Kamu nggak ngeharapin sesuatu, Al?”
"Ehm... kalo aku berharap persahabatan kita bisa
sampai selamanya," kata Althea tersenyum kembali
dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar perkataan itu Caesar langsung meraih
jari kelingking Althea dan mengaitkannya ke jari
kelingkingnya erat-erat.
61
"Al, tatap mataku… inget kata-kataku ini! Setiap
ada pertemuan pasti ada perpisahan, tapi entah kapan. Aku
selalu berdoa untukmu, kita akan bisa selalu bersama
merintis hari esok menuju cita-cita dan harapan kita,
melewati goresan takdir berdua, kamu dan aku. Karena
kamu adalah sahabatku dan inilah janjiku, aku akan selalu
mencoba ada untukmu walau hanya dalam mimpi, kamu
tak akan pernah terhapus dalam kenanganku, karena kamu
terindah. Aku bangga punya sahabat sepertimu, Al…."
Suasana haru kembali datang malam ini, tapi
Caesar tak ingin terus larut dalam suasana itu. Ia berjalan
dan mengambil sebuah gitar yang tergeletak di sebelah
pintu. Mungkin ia akan menghilangkan suasana hari itu
dengan menyanyikan lagu. Dan benar, Caesar memetik
gitarnya, menyanyikan lagu Ipang ― Sahabat Kecil, Althea
pun berhasil terhipnotis untuk ikut menyanyi bersama.
62
-
Baru saja berakhir hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban, kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini tak akan bisa di beli
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak mau datang
lagi. Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti, janganlah berganti, janganlah berganti
Tetaplah seperti ini…
Janganlah berganti, janganlah berganti, janganlah berganti
Tetaplah seperti ini…
63
Hari kedua di Jakarta.
Pagi yang cerah, di antara kicau burung dan
nyanyian hari-hari, Caesar memandangi kertas yang
tergambar sosok wanita itu. Rasa penasaran selalu
menghantuinya, ia selalu bertanya-tanya kepada dirinya
senidiri siapakah sosok wanita yang ada di kertas itu.
Tiba-tiba ada suara orang lari dari kejauhan dan terus
mendekati Caesar.
“Halo Caesar…,” seru Althea mengagetkan
Caesar dengan menepuk bahunya.
Tubuh Caesar terguncang.
“Eh kamu, Al… pagi-pagi udah ngagetin aja,”
ucapnya kemudian.
Althea menggembungkan pipinya, manyun. “Ya
maaf…”
Caesar tersenyum, jemarinya sedikit mencubit
gemas dagu sahabatnya itu.
“Ya udah nggak usah cemberut gitu kali, jelek
tau…,” ucapnya kembali, masih tersenyum gemas.
64
Tanpa kata, Althea menjulurkan tangannya dan
menunjukkan secarik kertas bertuliskan “FROM A
SHADOW” kepada Caesar. Kepala Caesar miring,
mendekati kertas itu, alisnya naik.
“Eh ini kok―” sahut Caesar sebelum kata-
katanya terputus oleh selaan Althea.
“Iya, ini aku nemu di depan kamarmu tadi,” jelas
Althea. “Punyamu?” tanyanya kemudian.
“Ehm… iya…”
“Boleh aku nebak artinya?”
Caesar tersenyum, manggut-manggut.
“Berawal dari bayangan…,” Althea menatap
langit-langit, berpikir keras.
“Dua juta rupiah!!!” seru Caesar, bercanda.
“Belom, Sar…”
“Itu udah bener kok artinya―”
“Aku kan bukan nebak artinya, maksudnya tadi
mau nebak maknanya,” sela Althea. “Hmm… menurutku
itu maknanya, semua hal yang nyata berawal dari
65
bayangan yang maya, bener nggak sih?” jelas dan
tanyanya kemudian dengan tertawa kecil.
Mendengar perkataan Althea, Caesar tercengang.
Hatinya spontan bertanya-tanya. Mengapa Althea bisa
tahu makna tulisannya? Padahal selama ini nggak pernah
ada seorang pun yang tahu sebelum Caesar yang memberi
tahunya sendiri. Apa Althea bisa membaca pikiran orang
lain? Itu mustahil, ia hanya manusia biasa. Lantas, kenapa
dia bisa―?
Cukup lama Caesar terdiam hingga Althea
menggadangkan tangannya di depan wajah Caesar.
“Eh…,” Caesar mulai tersadar dari lamunannya.
“Kok kamu bisa tahu maknanya, Al?” tanyanya
penasaran.
“Kamu suka nulis ya?” Althea membalikan
pertanyaan.
Caesar menggaruk kepalanya. “Nggak tau… tapi
aku bingung, akhir-akhir ini aku jadi sering melamun,
terus kadang tanganku serasa gerak sendiri nulis sesuatu
nggak jelas kayak gitu, Al.”
66
“Kok bisa gitu?”
“Entah…”
“Bentar, aku mau cerita,” ucap Althea, menelan
ludah. “Dulu―sebelum aku bisa main piano, aku sempet
suka nulis. Nah, gejalanya seperti yang kayak kamu lakuin
tadi, akhirnya aku bisa memaknai sebuah rangkaian kata
yang nggak jelas itu.” jelasnya.
“Jadi, maksudmu aku seorang penulis?” tanya
Caesar kembali.
“Belom!” tegas Althea. “Kamu bisa disebut
seorang penulis, kalau kamu udah bisa nerbitin buku
kamu,” jelasnya kembali.
Caesar tidak menjawab dan hanya memandangi
Althea dengan wajah yang tidak paham.
“Yap, mungkin kamu masih bingung, boleh aku
ngelanjutin tulisanmu ini satu paragraf lagi?” tanya Althea
meminta izin.
Caesar menganggukkan kepala yang berarti ia
mengizinkan Althea. Tak butuh waktu lama seperti
67
mengerjakan soal, Althea yang sudah mahir dalam
merangkai kata sudah menuliskan satu paragraf itu.
68
Tulisan Althea membuat Caesar kembali ter-
cengang, ternyata sahabat kecilnya memiliki pemikiran
dasar yang dewasa. Hal itu membuatnya mengerti bahwa
kedewasaan seseorang tak bisa dihitung dari umur.
“Apa yang harus aku lakuin, Al?” tanya Caesar
tiba-tiba.
Althea menghela napas kembali dan menjelaskan.
“Kalau kamu ingin membuat satu buku, lanjutin ceritamu
setelah paragraf yang aku buat ini,”
“Hmm… siap kapten!” tegas Caesar, seakan-akan
melaksanakan perintah atasannya.
“Tapi inget, harus fokus dan konsisten di ceritamu
itu, jangan cuma jadi moody-writer,” jelas Althea kembali,
memberikan masukan.
Caesar tersenyum sumringah, bahkan ia
mengangkat tangan kanannya ke depan dahinya―hormat
layaknya anak buah terhadap pemimpinnya. Hal itu
membuat Althea tertawa hingga melayangkan tamparan
kecilnya di pipi Caesar.
Caesar mengusap pipinya.
69
“Kok nampar sih?”
“Aku sayang kamu, Sar!” selarik kata ini
membuat ruangan menjadi sunyi seketika.
Matanya saling memandang seakan-akan bertanya
apa maksud kata itu. Althea langsung mengalihkan
pembicaraan dengan menggeret Caesar hingga ke samping
meja belajarnya. Althea menulis sesuatu di dalam secarik
kertas.
“Apa maksudnya?” tanya Caesar, melongo.
Althea tersenyum lega, perkataan keceplosan tadi
sudah teralihkan.
70
“Nggak―Cuma ntar semisal kamu udah punya
buku sendiri, aku berharap tulisan ini nempel jelas di
pembatas bukunya―kalo nggak keberatan sih,” jelasnya
kemudian.
“Itu sih gampang, Al, emang artinya apa sih?”
tanya Caesar penasaran.
Althea terlihat salah tingkah ketika mencari arti
tulisan itu, tapi akhirnya ia mendapatkan ide untuk
beralasan kembali.
“Itu… itu… nggak ada artinya,” sahutnya terbata-
bata. “Ya anggep aja itu tanda tanganku tapi berupa gituan
lah pokoknya,” jelasnya dengan lagak aneh.
“Iya deh iya, apa sih yang nggak buat kamu,” ujar
Caesar sambil mencubit pipi Althea, gemas.
Tangan yang semula menempel pipi Althea,
dengan cepat mengalihkan gerakannya saat handphone-
nya berdering―merogoh kantong dan mengeluarkannya.
Pada layar, tertera jelas panggilan masuk dari
Triyan―Accept.
“Halo, ada apa vrooh?” sapa Caesar.
71
“Posisi lagi di Jakarta, kan?” tanya Triyan
Caesar menanya balik. “Kok tau?”
Triyan mendengus kesal.
“Yaelah, rumah aja sebelahan, gimana nggak bisa
tahu, peaaaa…. Ini aku juga lagi di Jakarta soalnya,”
jelasnya kemudian.
“Ngapain, jangan-jangan kangen nih?” canda
Caesar.
“Anjirrrr, entar malem gue certain lah… pokok-
nya lo kudu bisa keluar ke QQ Kopitiam FX, gue tunggu!”
ujar Triyan, menyuruh bahkan memaksa.
“Haha sialan baru berapa hari di Jakarta udah
pake lo-gue, oke sip dah!” ejek Caesar sekaligus
menyetujui ajakan paksa Triyan.
Mendengar perstujuan dari mulut Caesar, tanpa
membalas satu kata pun, Triyan langsung memutuskan
panggilan tersebut. Sudah biasa, Caesar paham apabila
temannya itu sudah mematikan panggilan, berarti lagi
krisis pulsa. Cukup mengerti.
72
“Siapa, Sar?” tanya Althea yang mendengarkan
percakapan tadi.
“Temen dari Semarang, kebetulan juga lagi main
di Jakarta,” jawab Caesar. “Oh iya, entar malem bisa
nganterin ke QQ Kopitiam FX nggak, Al?―Sekalian
nongkrong gitu,” tanyanya kemudian.
“Ya udah berangkat aja sih, lagian aku juga
pengen keluar,” jelas Althea menyetujui.
Pukul 19.30, Caesar masih asyik memainkan
game dalam PSP-nya. Berkali-kali ia merubah posisi
duduknya dan berkali-kali raut wajahnya berganti. Kadang
terlihat saat bahagia saat sukses menyelesaikan misi
game-nya dan terlihat marah dengan dahi yang mengerut
jika gagal. Hebat sekali―benda mati bisa mengendalikan
emosi manusia. Matanya yang dari tadi hanya me-
mandangi layar empat inci itu, kini mendapati Althea
dengan sweater Navajo-nya sedang berjalan menuju
73
Caesar dan menjulurkan tangan, memberikan kontak
mobil.
“Buat apa?” tanya Caesar seperti orang bego.
“Buat mas kawin,” celetuk Althea. “Hadeeeeeh,
katanya tadi suruh nganterin ke QQ Kopitiam?” tanyanya
kemudian, sedikit kesal.
“Oh iya, bloon jadi lupa sendiri gini, bentar ya
aku ganti baju dulu!” sahut Caesar sambil berlari menuju
kamar.
Mengenakan pakaian santai―kaos biru dongker
dengan tulisan berwarna kuning keemasan “silence is
better than bullshit”dan celana pendek casual berwarna
cokelat, Caesar keluar dari kamarnya. Mengambil kontak
mobil dari tangan Althea, mereka berdua langsung menuju
QQ Kopitiam di FX Sudirman Mall dengan Honda Civic
merah milik Althea.
Di tengah perjalanan―di dalam mobil, Althea
sempat bertanya pada Caesar tentang gambar sosok wanita
misterius itu.
“Sar, aku boleh tanya sesuatu?”
74
“Boleh aja lah, tanya apa Al?
"Dari kemarin, aku selalu lihat kamu memandangi
sosok wanita yang kamu gambar di kertas itu, kenapa?"
tanya Althea.
"Entahlah Al, aku juga bingung…," jawab Caesar
singkat.
Althea menghela napas.
"Kenapa nggak kamu buang aja? Lagian itu cuma
gambaran aja, takutnya kamu malah terobsesi," tanyanya
kemudian.
"Rasanya berat, Al. Gambar itu seakan-akan nyata
dan bayangan itu selalu ada dalam otakku, andaikan―"
"Iya udah nggak usah dibahas lagi, aku tau
perasaanmu kok, simpen aja gambar itu," sahut Althea
yang memotong perkataan Caesar.
“Kayaknya perkataanmu tadi ada benernya,
Al…,” ujar Caesar. “ Kamu mau nggak nyimpen gambar
ini? Biar aku bisa ngelupainnya pelan-pelan, tapi jangan
dibuang loh…,” mohon Caesar.
75
“Oke, Sar! Nyantai aja kali…”
Akhirnya, beberapa menit setelah berbincang-
bincang di dalam mobil, mereka pun sampai tujuannya
yaitu di FX Sudirman Mall. Tidak menunggu lama,
keduanya langsung menuju QQ Kopitiam di lantai dasar.
QQ Kopitiam sudah di depan mata. Terlihat
seseorang pria mengenakan kemeja bermotif jangkar
duduk di sudut Coffee Shop itu―Triyan, ia dating lebih
awal. Mereka pun langsung menghampirinya.
“Woy!” seru Caesar menepuk bahu Triyan dari
belakang.
“Anjirrrr lu ngagetin aja,” ucap Triyan setelah
tubuhnya terguncang, sedikit kaget.
Caesar hanya tertawa dan langsung duduk di kursi
yang berada di depan Triyan, Althea mengikutinya.
Melihat Althea, Triyan melongo kebingungan seperti
melihat mahkluk asing dari planet lain.
Caesar menepuk pipi Triyan berulang kali
“Ngapain melongo gitu? Kenalin nih, temenku―”
76
Triyan langsung menjulurkan tangannya dan tetap
melongo seakan-akan Althea menghipnotisnya. Althea
menyambut dan membalas juluran tangan Triyan. Cukup
lama mereka berdua bersalaman tak lepas.
“Inget yang di Semarang woy!” seru Caesar.
Triyan menelan ludah.
Tiba-tiba Althea berdiri.
“Hmm… bentar ya, aku mau ke toilet…,” ucap
Althea dan langsung bergegas menuju toilet di lantai 4.
Althea sudah tak terlihat dari dalam coffee shop
itu. Triyan pun langsung tersadar dari hipnotis tidak jelas
tadi, lalu mendekat ke Caesar.
“Itu siapa, Sar? Cantik ameeeetttt!” tanya Triyan.
“Kan aku udah bilang tadi… itu temenku,” jawab
Caesar. “Ginsa kan juga cantik?” tanyanya kemudian yang
bermaksud memancing.
Triyan kembali menelan ludah.
“Hmm… Sar… Sebenernya aku udah putus sama
Ginsa,” jelas Triyan terbata-bata.
77
Caesar terkejut, tubuhnya terguncang saat
mendengar perkataan Triyan yang baru saja dilontarkan.
Alhasil, tak sengaja Caesar merobek daftar menu yang
berada dalam gengamannya.
“Hah?!!!” serunya kemudian, terkejut.
“Bentar, aku jelasin dulu―aku putus baik-baik
kok, nggak ada masalah. Semua udah dipikirin matang-
matang. Ginsa juga udah paham, kalau sahabat jadi pacar
entar ending-nya malah nggak bener. Jadi sebenernya kita
cuma break aja, nunggu waktu yang pas, udah gitu aja
sih,” jelas Triyan panjang lebar.
“Syukurlah……,” sahut Caesar singkat dengan
mengelus dadanya. “Mbak… mbak….,” seru Caesar
kemudian memanggil pelayan coffe shop itu.
Pelayan tersebut pun mendekat.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Pesen kopi susu panas satu, lemon tea satu ya,
mbak!” ujar Caesar memesan secangkir kopi sekaligus
mengembalikan daftar menu. “Maaf mbak agak robek, ini
tadi kelakuan temenku abis putus sama pacarnya, nggak
78
tega ngerobek fotonya malah daftar menu yang jadi
pelampiasan, maafin ya mbak?” ujarnya kemudian dengan
menunjuk Triyan yang tidak tahu apa-apa dan
menertawakannya.
“Ih apa sih lu? Nggak mbak, dia tukang fitnah…
Hati-hati dimodusin lho mbak, bentar lagi mau culik
mbaknya kan lu?” Triyan membalas fitnah.
“Hahanjirrr nggak mungkin, parah!” sahut Caesar
cekikikan.
Pelayan itu terlihat tersenyum menahan tawanya.
“Oke, tunggu bentar ya…,” ujarnya sebelum melayani
pesanan Caesar.
“Sar, gue mau tanya, emang lo nggak kangen
sama Beby?”
Caesar menghela napas panjang.
“Kalo kangen mah udah pasti, Yan, tapi aku
berusaha buat ngelupain dia sementara, aku nggak mau
ngehalangin mimpinya. Aku udah janji sama dia, Yan,”
jawab Caesar, menjelaskan.
79
“Iya sih, gue suka gaya lo, bro! Emang bisa
tahan?” celetuk Triyan sekaligus bertanya.
“Kalo nggak tahan, pasti udah aku samperin lah
mumpung sedeket ini, theater-nya aja di atas sini―di
lantai empat,” jelas Caesar kembali.
“Oh iya, malah baru nyadar gue…,” ucap Triyan
dengan tertawa kecil.
Di sisi lain ada Althea yang sedang menuju toilet
yang berada di lantai empat itu. Awalnya, ia berniat untuk
naik escalator, tetapi setelah melihat lift terbuka, tanpa
pikir panjang ia langsung memasukinya.
Saat lift berada pada lantai dua, pintu lift terbuka.
Terlihat gadis seperti berseragam SMA berparas manis
memasuki lift itu. Iya, hanya ada mereka berdua di dalam
lift. Althea terlihat cuek dan tidak menghiraukannya.
Tiba-tiba handphone-nya bergetar, ia langsung merogoh
kantongnya. Handphone itu satu kantong dengan kertas
yang tergambar sosok wanita buatan Caesar itu. Tanpa
disadari, kertas itu pun jatuh dari kantongnya saat lift
terbuka di lantai empat. Althea meninggalkan lift itu
80
sambil membuka pesan dari Caesar yang berisikan kalau
ia memesankan minuman untuknya.
Setelah dari toilet, Althea kembali ke QQ
Kopitiam. Lemon Tea―minuman favorit Althea sudah
tersedia di depan matanya. Althea bahagia, ternyata
Caesar masih ingat minuman favoritnya sejak TK dulu.
Satu jam berlalu, mereka telah berbincang-
bincang cukup lama. Perbincangan yang membuat Triyan
dan Althea lebih mengenal satu sama lain. Hingga
akhirnya, Althea mengajak Caesar pulang. Ia berpikir
sudah larut malam untuk seorang wanita berada di luar
tempat tinggal. Malam itu ditutup dengan canda tawa
dalam perbincangan yang selalu hadir di saat Caesar dan
Triyan bertemu. Seperti biasa.
Hari ketiga di Jakarta.
Awan pagi menyelimuti langit ibukota. Cahaya
sang mentari pun hanya terlihat samar-samar. Jemari
Althea menari di atas tuts-tuts piano klasik miliknya.
81
Denting piano yang mengalun anggun memenuhi setiap
sudut ruangan tertutup di sebelah Timur ruang keluarga,
Althea sering menyebutnya “Dream Room” ―ruangan
yang menyimpan jutaan mimpi Althea di dalamnya.
Seketika alunan nada-nada piano itu terhenti oleh suara
yang sayup-sayup terdengar dari luar ruangan itu.
“Pak Rio, mau kemana?” tanya Pak Reyhan
setelah melihat papa Caesar berjalan tergesa-gesa keluar
dari kamarnya.
“Mau beliin si Caesar obat, Pak,” jawab Pak Rio,
menghentikan langkahnya.
Pak Reyhan menutup korannya, merubah posisi
duduknya, tegap.“Loh, Caesar sakit?” tanyanya kembali.
“Iya, kelihatannya demam tadi…”
Mendengar perkataan dari Pak Reyhan itu, Althea
bergegas keluar dari kamarnya dan menghampiri Caesar.
Dan benar, Caesar terbaring lemah di tempat tidurnya,
wajahnya pucat. Ia terlihat menggigil walaupun selimut
tebal sudah menutupi tubuhnya.
82
“Ya ampun, Sar, kenapa?” tanya Althea penasaran
sekaligus khawatir.
Dengan pura-pura kuat, Caesar menoleh ke arah
Althea, tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan
maksud bahwa ia baik-baik saja. Namun, Caesar tidak
dapat menyembunyikan lagi wajahnya yang semakin
pucat. Hal itu menarik Althea untuk mendekatinya, ia
menjulurkan tangan kanannya menyentuh kening
sahabatnya itu.
“Panas―tidak mungkin jika Caesar baik-baik
saja, dia pasti hanya berpura-pura kuat di hadapanku,
mungkin Caesar tak ingin merepotkanku,” pikir Althea
dari dalam hati. “Tunggu bentar, Sar!” ucapnya kemudian
sambil bergegas keluar dari kamar Caesar.
Beberapa menit kemudian, Althea kembali dengan
menenteng baskom kecil berisi air hangat dan washlap
berwarna biru muda yang menggantung di tepi baskom.
Althea bermaksud ingin menurunkan panas Caesar dengan
mengompresnya. Melihat perlakuan Althea terhadapnya,
Caesar tercengang. Baru kali ini ia mengenal wanita yang
83
sangat perhatian dengannya bahkan melebihi perhatian
dari mamanya dulu.
Caesar memegang erat telapak tangan Althea yang
sedang menjamahi keningnya. “Makasih banget, Al…,”
ucapnya kemudian dengan suara berat.
Tiba-tiba seseorang masuk tanpa mengetuk pintu,
ternyata Pak Rio.
“Ini obatnya, dek!” ucap Pak Rio dengan
menunjukkan obat yang baru saja ia beli untuk anaknya.
“Ini obat penurun panas, ini sakit kepala, yang ini
antibiotik, semuanya diminum 3 kali sehari habis makan
ya! Sekarang kamu makan dulu gih, biar bisa minum
obat,” ucap serta suruhnya kemudian, menjelaskan dan
menunjukkan satu per satu obat sekaligus dosis yang harus
diminum Caesar.
“Biar aku yang nyuapin, Om…,” sahut Althea,
menyela.
Lagi-lagi perkataan Althea membuat Caesar
tercengang hingga ia sempat berpikir, ada apa dengan
Althea? Caesar tidak pernah merasa member apapun
84
kepadanya bahkan menyelamatkan hidupnya. Lantas
mengapa Althea terlihat seperti ingin berbalas budi.
Pemikiran itu seketika terhapus, Caesar mendapatkan
alasan yang positif. Ia berpikir, mungkin itulah yang
namanya persahabatan, selalu ada dalam keadaan apapun
hingga bisa merasakan apa yang bisa dirasakan
sahabatnya. Dan mungkin Althea sedang merasakan sakit
seperti yang dirasakan Caesar saat itu, sehingga Althea
berusaha untuk memberikan perhatian lebih untuk
sahabatnya itu.
Tetap saja, Caesar tidak ingin merepotkan orang
lain meskipun itu sahabatnya sendiri. Sebelum Althea
bergegas untuk mengambil makanan untuknya, Caesar
menarik sahabatnya tersebut. “Nggak usah, Al, aku bisa
sendiri…”
Althea mencoba melepaskannya, namun
genggaman Caesar cukup erat, ia pun menghela napas.
“Sar, aku tahu kamu orang yang kuat, aku tahu kamu bisa
mandiri, tapi kali ini keadaanmu bener-bener drop, kamu
harus cukup istirahat. Tenang aja, aku nggak ngerasa
direpotin sama sekali kok, aku cuma pengen kamu bisa
85
cepet sembuh, aku nggak mau lihat kamu sakit-sakitan
gini, Sar. Aku tahu, kamu ke Jakarta buat liburan, buat
seneng-seneng, bukan buat ngerasain sakit kayak gini.
Aku mohon kali ini biar aku yang nyuapin kamu…,” ujar
Althea panjang lebar hingga membuat Caesar melepaskan
tangannya dan membiarkan sahabatnya untuk melakukan
yang terbaik.
Suap demi suap hingga akhirnya Caesar berhasil
menghabiskan buburnya ditambah tiga butir obat dengan
bantuan tangan sahabatnya. Althea pun mendengus lega.
“Sekarang kamu istirahat yang cukup, semoga
cepet sembuh ya…,” ucap Althea lirih dengan merapikan
tempat tidur sahabatnya, Caesar hanya membalas dengan
anggukan lemahnya.
Althea langsung meninggalkan Caesar untuk
beristirahat. Saat keluar dari kamar Caesar, Althea
mendapati Pak Rio sedang duduk santai di teras dengan
secangkir kopi menemaninya. Althea mendekati,
menanyakan sesuatu.
“Om….,” sapa Althea santun.
86
Dengan cekatan, Pak Rio sedikit menyeruput kopi
panasnya dan meletakkan kembali ke meja di sampingnya.
Mengalihkan kepalanya, menoleh ke arah suara Althea
menyapanya. “Eh iya, ada apa, dek?” balasnya kemudian.
“Cuma mau tanya aja, Om,” ucap Althea sedikit
menghela napas. “Kalo boleh tahu, Caesar suka lagu yang
kayak gimana ya, Om?” tanyanya kemudian.
“Dia sih universal, asalkan kedengaran enak di
telinganya, pasti dia suka. Tapi, akhir-akhir ini dia lagi
suka sama… apa itu namanya? Je… Ka… Te… Jakarta
Empat Delapan… atau apa gitulah, pokonya ada empat
delapannya…,” jelas Pak Rio. “Kenapa?” tanyanya
kemudian.
“Oh JKT48… nggak apa-apa sih, Om, tanya aja,
hahahaha….,” sahutnya cengengesan.
“Ah kamu ini, sama aja kayak Caesar, kalo
ditanyain jawabnya gitu…”
Jodoh mungkin, Om! Ups…,” celetuknya dengan
menutup mulut, malu. Hal itu membuat Pak Rio tertawa
hingga akhirnya suara tawa keduanya pecah dan
87
berlomba-lomba dengan suara gemercik hujan pagi itu.
Seketika suara tawa itu terhenti dengan sepotong
pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Pak Rio yang
mengejutkan Althea.
“Kamu suka sama Caesar?” tanya Pak Rio
tersebut, terang-terangan.
Setelah beberapa detik terdiam dan berkali-kali
menelan ludah, Althea memberanikan diri untuk mulai
menjawab pertanyaan itu.
“Ehmm… hmm… aku… aku―” jawabnya
terbata-bata sebelum Pak Rio menyelanya.
Senyuman Pak Rio mengembang setelah melihat
Althea yang salah tingkah itu. Tanpa jawaban, Pak Rio
sudah bisa menebak perasaan hati Althea dari bahasa
tubuhnya. Tiba-tiba, tangan Pak Rio menepuk pelan bahu
Althea.
“Sabar ya dek, kamu kenal Caesar kan? Tahu
gimana karakternya kan? Dia emang gitu, tapi tenang aja,
dia kelihatan cuek, padahal sebenernya dia itu perhatian.
Om tahu, dia sering berpura-pura nggak peka sama orang
88
lain dan nggak mau ikut campur urusan orang lain dan
kadang jadi pendiam seketika. Tapi asalkan kamu tahu,
diamnya Caesar itu bukan berarti nggak tau apa-apa, dia
menguji kesabaran orang lain, kadang dia lebih tau dari
kita yang lebih banyak bicara. Nah, dari situlah dia bisa
tahu bahkan memahami karakter orang lain tanpa harus
mengenal orang itu lebih dalam. Makanya dia nggak
pernah salah dalam memilih teman, jadi kamu harus ekstra
sabar, gitu aja sih,” ucap Pak Rio menjelaskan karakter
anaknya kepada Althea.
“Iya bener, Om, lama-lama aku juga ngerasain itu
sendiri,” ucap Althea, beberapa kali menganggukkan
kepalanya dan melihat ke atas seperti sedang berpikir.
Perbincangan yang cukup memakan waktu itu
membuat keduanya bisa mengenal satu sama lain. Dari
balik jendela, Pak Reyhan mengintip anaknya yang
terlihat bahagia saat bercanda dengan Pak Rio, hati papa
Althea itu ikut merasakan kebahagiaan anak tunggalnya
tersebut. Jelas saja, anaknya yang jarang sekali tersenyum
dan sulit sekali dalam bersosialisasi, dapat berbalik 360°.
89
Pak Rio dan Caesar lah orang yang bisa menaklukan
Althea dari karakternya itu selain papanya sendiri.
Hujan hari itu tak kunjung berhenti, awet seperti
penyakit yang sedang menggerogoti tubuh Caesar yang
semakin menjadi-jadi, suhu tubuhnya meningkat. Namun,
Caesar tetaplah Caesar, seperti apapun keadaanya, ia tetap
“stay strong” bahkan ia tak ingin diam saja dengan selalu
mencari kesibukan.
Tubuhnya yang lemah perlahan-lahan melata
menuju tepi kasur. Hanya ingin meraih gitar di samping
kasurnya saja, rasanya seperti memanjat pohon kelapa
yang menjulang tinggi, berat sekali.
Belum sampai tangannya untuk meraih gitar itu,
tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk aja!” seru Caesar, mempersilahkan.
Terlihat Althea masuk dan ingin cepat-cepat
mendekati Caesar seperti ingin menunjukkan sesuatu.
90
Tangan kirinya menggengam iPod putih miliknya dengan
headset yang menancap di atasnya.
“Halo, Sar! Lagi ngapain?” tanya Althea basa-
basi.
“Sebenernya mau main gitar sih,” jawab Caesar
dengan suara yang masih lemahnya.
Althea mendengus kesal. “Ya ampun, Sar, kamu
nggak boleh banyak gerak, sebelum bener-bener fit,”
ucapnya kemudian.
“Ya maaf…”
Althea tersenyum ringan, “Ya udah, lain kali
nggak boleh diulangin lho,” ucapnya. “Ini aku punya lagu
bagus, dengerin ya,” tambahnya sambil menempelkan
headset ke kedua telinga Caesar.
Terdengar sebuah lagu yang tak asing di telinga
Caesar. Namun, seseorang telah membuat lagu itu berbeda
dengan dentingan piano yang khas dan suara anggunnya.
Lagu Temodemo no Namida milik JKT48 berhasil
memaksa Caesar menahan air matanya.
91
–
Hujan rintik-rintik yang mulai turun, aku pun menutup layar kisah ini..
Bagai menurunkan layar warna perak, itulah cinta pertama diriku..
Ku terus menunggu. di jalan yang kedua, ku ingin panggil namun ku
tak bisa…….
Saat kulihat kebawah, bunga ajisai pun menangis.
Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu..
Kau jalan berlalu di depan mataku.
Walaupun jadi begini, aku tetap melihatmu dari tempat ini.
Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu,
Kau bahkan tidak menoleh ke arahku.
Walaupun kupakai payung, pipiku pun tetap basah.
Diri ini tak berdaya, Temodemo no namida…
Di jalan yang penuh kesedihan ini, aku berjalan seorang diri.
Dalam hati ini, diriku tersesat rasa sayang tak seorang pun tahu..
Bunga ajisai yang suka akan hujan., .memejamkan mata di hari
cerah…
Mendung yang jauh di sana, apakah kau yang memikirkannya?
92
Walau sesedih apa pun juga, walaupun tak bisa juga, biarkan aku
tetap menjadi gadis…
Ku tak akan melupakan jejak langkah kenangan. bertemu
denganmu……
Walau sesedih apa pun juga, walaipun tak bisa juga,..
Suatu hari ku pasti kan teringat..
Walaupun harapan aku tidak juga terwujudkan..
Ku kan terus bersinar, Temo demo no koi yo…..
Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu,
Kau jalan berlalu di depan mataku.
Aku tetap melihatmu dari tempat ini…..
Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu..
Kau bahkan tidak menoleh ke arahku…
Walaupun kupakai paying, pipiku pun tetap basah.
Diri ini tak berdaya, Temodemo no namida……
Setelah lagu itu selesai, Caesar melepaskan
headset di telinganya, matanya terlihat berkaca-kaca. Dan
setelah sempat terdiam sejenak, tiba-tiba ia mengubah
93
posisi badannya yang semula tiduran, perlahan-lahan
bangun dari kasurnya dan serontak memeluk erat Althea.
“Tuhan hebat ya, Al? Udah nyiptain malaikat
mungil yang rela buang-buang suara indahnya, cuma buat
ngehibur mahkluk parasit,” kata Caesar masih dalam
pelukan Althea.
Mendengar kata-kata itu, Althea melepaskan
pelukan Caesar. Tangannya memegang erat kedua tangan
Caesar hingga matanya pun menatap tajam mata
sahabatnya itu.
“Caesar, dengerin aku, mungkin dia berpikir
dirinya hanya parasit, tapi dia nggak pernah tahu kalau
ternyata malaikat mungil itu menganggapnya sebagai
mukjizat yang diturunkan Tuhan untuknya…,” balas
Althea.
Kali ini, perkataan Althea benar-benar membuat
hati Caesar menjadi lemah, hingga air matanya memaksa
untuk keluar, menetes membasahi pipi.
“Aku sayang kamu, Al…,” ucap Caesar yang tiba-
tiba terlontar mantap dari mulutnya dan berhasil membuat
tubuh sahabatnya terguncang, tercengang mendengarnya.
94
Althea yang sempat salah tingkah, kini sudah
menata rapi hati dan pikirannya. Namun, tubuhnya tertarik
untuk kembali memeluk Caesar dan mulutnya pun tak
sengaja berani mengucap balasan untuk sahabatnya.
“Maaf kalo aku plagiat, soalnya aku cuma bisa
meniru kata-katamu tadi―aku juga sayang kamu, sahabat
kecilku…,” bisik Althea, lirih.
Hari keempat di Jakarta.
Malam yang dingin disertai rintik hujan membuat
suasana malam itu semakin dicekam oleh kesunyian, hawa
dingin mulai menyeruak dari balik kisi-kisi jendela tempat
dimana Caesar duduk. Malam ini serasa berbeda dengan
malam kemarin. Malam yang kelam ini melengkapi hati
Althea yang sedang gelisah. Althea yang daritadi mondar-
mandir menarik perhatian Caesar yang sedang asyik
membaca novel.
95
Malam yang dingin disertai rintik hujan membuat
suasana malam itu semakin dicekam oleh kesunyian, hawa
dingin mulai menyeruak dari balik kisi-kisi jendela tempat
dimana Caesar duduk. Malam ini serasa berbeda dengan
malam kemarin. Malam yang kelam ini melengkapi hati
Althea yang sedang gelisah. Althea yang daritadi mondar-
mandir menarik perhatian Caesar yang sedang asyik
membaca novel.
"Eh, kamu kenapa, Al? Perasaan dari tadi mondar-
mandir mulu, cari apa sih?" tanya Caesar.
"Eh... ehm... kamu tau kertas itu nggak?" sahut
Althea berbalik tanya.
“Kertas apa sih?”
“Kertas yang kamu titipin ke aku, Sar!”
“Loh bukannya kemarin langsung kamu masukin
kantong ya?”
Althea tampak lesu.
"Iya, tapi udah aku cari-cari dari tadi nggak ada,
Sar….."
96
"Coba inget-inget dulu, kemarin kamu kemana
aja?" tanya Caesar.
“Aku cuma ke toilet,” ujar Althea. “Atau jangan-
jangan…..,” gumamnya kemudian.
"Jangan-jangan apa, Al?" tanya Caesar, menyela.
“Kertas itu jatuh di lift, Sar!” seru Althea.
"Serius? Ada orang di lift selain kamu nggak?”
tanya Caesar. “Siapa tau dia nyimpen kertas itu,"
tambahnya.
"Seingetku ada cewek pake seragam kayak
seragam SMA, aku sempet liat namanya… kalo nggak
salah Beby Chaesara Anadila," jelas Althea.
Tiga kata terakhir yang terlontar dari bibir Althea
adalah sebuah nama seseorang yang dulu dekat dengan
tubuh Caesar dan baru saja menghilang dari otaknya. Kini
nama dan memori-memori itu datang kembali. Mata
Caesar nampak berbinar-binar mendengar nama itu
menusuk gendang telinganya.
"Apaaaa?!! Bener itu namanya?" tanya Caesar
memastikan.
97
“Iya kayaknya, emang kenapa, Sar?”
"Eh.. ehmm.. dia… dia itu member JKT48, Al!"
sahut Caesar. “Dia sahabatku, Al…,” gumamnya dari
dalam hati, berniat untuk merahasiakan persahabatannya
dengan Beby.
Althea semakin kebingungan."Hah? Gila, terus
gimana Sar?" tanyanya kemudian.
"Oh, aku ada ide!" sahut Caesar.
Caesar langsung membeberkan idenya itu ke
Althea. Akhirnya Althea memutuskan bertanggung jawab
membantu Caesar untuk mencari kertas itu yang
diyakininya berada di tangan salah satu member JKT48
yaitu Beby. Salah satu cara untuk bertemu dengan Beby
yaitu dengan menonton theater JKT48. Tanpa pikir
panjang, mereka berdua memesan tiket untuk schedule
theater JKT48 yang diadakan 3 hari lagi. Mereka
berharap, setidaknya mereka bisa masuk pada tiket general
agar tidak waiting list karena keadaan yang Caesar belum
sembuh total.
98
Hari kelima tidak ada yang spesial karena keadaan
Caesar yang masih butuh cukup istirahat , hingga sekarang
memasuki hari keenam di Jakarta.
Tangis gerimis dari awan yang menaungi kota
Jakarta jatuh satu-satu. Suasana itu melengkapi hati
Caesar yang sedang gelisah menunggu pengumuman
undian tiket Theater JKT48 tepat pukul 12.00 siang hari
itu. Sepuluh menit lagi jarum pendek pada jam tepat
menunjukan pukul 12.00, Caesar yang tidak sabar
langsung membuka laptopnya dan stay di official website
JKT48. Refresh dan refresh, itulah tombol harapannya.
Caesar terus berharap agar ia menang undian.
"Caesar coba lihat!" seru Althea sambil me-
nunjukkan laptopnya pada Caesar.
"Alhamdulillah… kamu menang undian, Al.
Semoga aku juga ya," sahut Caesar penuh harapan.
"Coba refresh sekali lagi, siapa tau...."
"Ah... pupus sudah semua harapanku Al,” kata
Caesar memotong perkataan Althea sambil menundukan
kepala, ia kalah undian tiket.
99
"Sabar Sar, kamu nggak boleh putus asa dulu,
masih ada aku," sahut Althea menenangkan Caesar.
"Kamu nggak boleh sendirian, Al!" sahut Caesar.
“Aku harus jaga kamu, oke… aku waiting list,”
tambahnya kemudian.
“Tapi…”
“Tenang, Al, aku kuat kok,” ucap Caesar
meyakinkan sahabatnya.
“Ya udah deh, kalo itu maumu… Aku janji, aku
bakal bantu kamu sampai kertas itu kembali di tanganmu
lagi, Sar…,” ujar Althea, tersenyum yakin.
Hari terakhir di Jakarta, perjuangan baru saja dimulai.
Waiting list, harapan terakhir Caesar untuk
mendapatkan kertasnya. Caesar rela berdiri 8 jam dalam
keadaan yang belum benar-benar pulih, asalkan ia dapat
masuk Theater JKT48 dan mendapatkan kertas itu.
Wajahnya pucat, tubuhnya seperti tidak berdaya lagi,
100
hanya kertas itulah yang bisa memacu hingga ia dapat
berdiri selama itu.
Bingo dimulai. Althea yang memenangkan undian
Theater JKT48 langsung antri di depan pintu masuk
theater. Tiba-tiba terjadi keributan di area waiting list.
Seseorang terlihat tergeletak pingsan di lantai, ternyata
Caesar. Althea panik. Tapi, melihat Caesar sudah banyak
yang membantu, Althea sedikit lega dan tetap ingin
masuk, karena ia ingin menepati janjinya kepada Caesar
untuk membantu mendapatkan kertas itu. Althea masuk
pada bingo ketiga.
Show theater sudah dimulai, Althea masih saja
gelisah dengan keadaan Caesar. Althea bingung apa yang
harus ia lakukan untuk mendapatkan kertas itu. Althea pun
ingat, besok Caesar sudah pulang ke Semarang, tidak
mungkin Caesar bisa mendapatkan kertasnya lagi apabila
Althea tidak melakukan sesuatu.
Hingga di akhir show, Althea berniat untuk
mengatakan apa yang terjadi sebenarnya saat sesi
handshake nanti.
101
Dan benar, sesi handshake dimulai, Althea sudah
berada di depan Beby, tiba-tiba…
"Beby… namaku Althea, maaf kalo kelakuanku
ini kelihatan norak, tapi aku cuma mau ngomong kalo di
luar sana ada seseorang yang jauh-jauh cuma ingin ketemu
sama kamu. Sekarang orang itu lagi pingsan gara-gara WL
yang nggak manusiawi itu. Dia bukan fans, tapi ada alasan
tertentu buat ketemu kamu. Dia mau pulang ke Semarang
besok!" teriak Althea yang membuat seluruh orang di
dalam theater mengalihkan pandangan ke dirinya saat itu.
Sesi handshake terhenti sejenak, “Woi maju woi,
jangan norak gitu dong!!!” teriak beberapa Fans JKT48
dari belakang Althea, namun Althea tetap berhenti dan
mengucapkan perkataan itu lagi untuk Beby. Security pun
langsung menariknya keluar dan menulis namanya dalam
blacklist Theater JKT48, ia tidak boleh menonton theater
itu lagi selama setahun. Althea meneteskan air matanya,
karena ia mengira usahanya saat itu sudah gagal.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Althea
yang sedang diurus security tadi. Ternyata Beby,
seseorang yang Althea cari itu rela meninggalkan sesi
102
handshake demi masalah itu karena ia tahu siapa
seseorang yang Althea maksud.
“Lepasin dia pak, dia nggak salah…,” ujar Beby
sambil berjalan mendekat.
“Tapi dia…”
“Mohon lepasin dia pak, biar aku yang
ngurusin….,” mohon Beby dengan tegas.
Hingga akhirnya security membebaskan Althea.
"Makasih ya, maaf banget aku udah ganggu, aku
cuma pengen..."
"Ssssssttt…. udah nggak masalah, aku tau kok apa
yang kamu maksud. Dimana temenmu sekarang?" tanya
Beby menyela, gelisah.
Althea menolehkan kepala beberapa kali melihat
sekitarnya.
“Dia… dia… tadi dia pingsan disini, tapi
sekarang…”
Mendengar perkataan Althea yang terbata-bata,
Beby langsung mengalihkan fokusnya, mendekati security
tadi.
103
“Maaf Pak, tadi ada cowok yang pingsan disini,
sekarang dimana ya?” tanya Beby.
“Oh yang badannya tinggi, rambutnya lurus lebat,
hidungnya mancung itu?” tanya balik security itu.
Beby melongo, tatapannya kosong. “Caesar…,”
gumamnya. “Iya bener, sekarang dia dimana, Pak?”
tanyanya kemudian.
“Ehm… kalau nggak salah, tadi papanya jemput
disini, katanya mau balik ke Semarang,” jelas security
tadi.
“Apa?!!” seru Althea yang mendengar perkataan
security itu.
“Anter aku ke Caesar, sekarang!” suruh Beby
tiba-tiba sambil menarik tangan Althea.
Tanpa pikir panjang, Althea bergegas menuju
mobilnya dan mengantarkan Beby ke apartemen-nya.
Althea sangat yakin, Caesar masih ada disana. Saat dalam
perjalanan menuju apartemen, Althea sadar akan sesuatu
yang diucapkan Beby saat di FX Sudirman Mall tadi. Hal
104
itu membuat Althea memulai percakapan di dalam
mobilnya. Percakapan yang cukup mengejutkan.
“Beb,” “Al,” sapa mereka bersamaan, kebetulan
setelah terdiam.
“Eh, iya, kamu dulu deh yang ngomong…” ucap
Beby mengalah.
“Ehm… aku baru sadar, kalo tadi kamu ngucap
nama temenku, kamu kenal?” tanya Althea.
Beby mengangguk dan tersenyum. “Dia sahabatku
waktu SMP, Al…,” jawab Beby. “Kalo nggak ada dia,
mungkin sekarang aku bukan siapa-siapa, dia orang yang
berharga di hidupku, Al, makanya aku berani ninggalin
sesi handshake tadi demi dia,” jelasnya. “Oh iya, kamu
sendiri?” tanya Beby kemudian.
“Sahabat kecilnya,” jawab Althea. “Sama kayak
kamu, mungkin hidupku monoton tanpanya, dia hebat ya,
Beb?” tambahnya kemudian.
“Sahabat kecil? Oh jadi kamu yang namanya
Althea Callista itu? Caesar pernah cerita tentang kamu,
105
katanya kamu itu seseorang yang punya karakter
introvert,” sahut Beby.
“Apa itu introvert?”
“Orang yang pendiam dan lebih suka bergelut
dengan dunia, pemikiran atau batinnya sendiri. Bukan
berarti mereka tidak bisa memberi perhatian bagi
sekelilingnya, tapi 'dunianya' jauh lebih menyenangkan
dan lebih bisa mnghargainya,” jelas Beby.
Althea hanya manggut-manggut memahami
penjelasan Beby itu.
“Jadi dia ngerasa beruntung punya sahabat kayak
kamu, soalnya menurut Caesar orang introvert itu
biasanya orang yang loyal dalam persahabatan, mereka
selalu menganggap suatu persahabatan harus seumur
hidup,” tambah Beby kembali menjelaskan.
Perbincangan itu terus berlanjut hingga akhirnya
Althea mengerti arti dari introvert dan apa hubungannya
dengan dirinya. Dengan itu, mereka berdua bisa saling
dekat sampai mengerti satu sama lain. Mereka harus
membayarnya dengan waktu, tak terasa sudah sampai di
106
depan apartemen Althea. Tak lama, terlihat sebuah mobil
keluar meninggalkan apartemen.
"Itu mobil Caesar!" teriak Althea sambil
menunjuk ke arah dimana mobil Caesar berjalan.
"Cepet kejar, Al!" seru Beby.
Althea langsung membanting stir dan
menghadang mobil Caesar yang sedang berjalan pelan-
pelan itu. Ia bergegas keluar mobilnya dan menuju mobil
Caesar yang sedang dikendarai papa Caesar. Beby pun
mengekornya. Kini mereka sudah berada tepat di depan
mobil Caesar. Belum sempat menjalankan niat Althea
untuk meminta izin kepada Pak Rio, papa Caesar itu sudah
membuka jendela mobilnya.
“Mau ketemu Caesar? Masuk aja, tuh di
belakang,” ucap papa Caesar.
“Makasih Om, maaf kalo nggak sopan,” sahut
Althea, Pak Rio hanya membalas dengan senyuman dan
anggukan kepala.
Althea langsung membuka pintu belakang mobil
dan mendapati Caesar yang terbaring lemah walaupun
107
sudah sadar. Melihat Althea di depannya, Caesar berusaha
bangun untuk keluar dari mobil.
“Udah udah, Sar, kamu masih drop, duduk aja
disitu,” ucap Althea sambil menahan Caesar agar tidak
terlalu memaksakan keadaannya. “Coba lihat, siapa yang
aku bawa? Aku udah nepatin janjiku sekarang,”
tambahnya kemudian.
Caesar sangat terkejut hingga menarik napasnya
dalam-dalam, hanya bisa terdiam menahan kejutan dari
sahabatnya itu.
“Halo kamu, maaf ya udah ganggu, aku cuma mau
ngembaliin kertas ini,” ucap Beby sambil memberikan
kertas milik Caesar itu. “Waktu itu kertas ini jatuh dari
saku celana temenmu. Aku nggak sempat manggil,
soalnya kalah cepet sama jalannya temenmu,” jelasnya
kemudian sambil berkaca-kaca dan berusaha untuk
“stay strong” di hadapan manusia yang bisa membuatnya
menjadi seperti sekarang ini.
Caesar masih terdiam, tubuhnya kaku. Ia
memandangi wajah Beby cukup lama, seperti ada sesuatu
108
dengan wajah sahabatnya itu. Hingga akhirnya ia berhasil
memecahkan misteri dalam hidupnya selama ini.
“Mungkin aku udah nggak butuh kertas itu lagi,”
ucap Caesar tiba-tiba.
“Ha?” reaksi yang sama antara Beby dan Althea
setelah mendengar ucapan Caesar tadi, melongo dan
mengerutkan keningnya.
“Beberapa hari yang lalu, aku pikir kertas itu
hilang sia-sia, tapi ternyata kertas itu udah ada di tangan
orang yang tepat,” jelas Caesar, namun Beby dan Althea
masih tak paham dengan penjelasan itu.
“Aku udah nemuin siapa gambar wanita di kertas
ini dan bayangan yang selalu hinggap di otakku, itu kamu,
Dila!” ucap Caesar, tangannya menjamah pipi Beby.
“Kamu inget sketsa yang kamu gambar buat aku?
Masih inget kalo aku dulu pernah janji mau gantian
gambar sketsa buat kamu? Aku udah bisa nepatinnya
sekarang, ini buat kamu…” jelasnya kembali sambil
memberikan kertas itu kembali pada Beby.
109
“Aku inget banget Sar, dulu aku juga janji nggak
bakal ngelupain kamu, Sar! Ternyata kamu masih seperti
Caesar yang dulu aku kenal.” ucap Beby sambil
meneteskan air mata haru. Melihat Beby yang menangis
110
haru, Caesar langsung mengusap air mata sahabatnya
tersebut.
“Gimana dengan golden rules?” tanya Caesar
tiba-tiba.
“Tenang, Sar, golden rules nggak punya hak buat
selamanya mengekang member, aku juga punya
kehidupanku sendiri,” jawab Beby, tegas.
Caesar sudah merasa cukup untuk Beby, kini ia
sadar ini semua tidak akan terjadi tanpa sahabat kecilnya,
Althea. Hal itulah yang membuat Caesar mengalihkan
perhatiannya untuk Althea.
"Althea, aku nggak tau harus bales apa buat
perjuanganmu, makasih banget udah ngerti aku selama ini,
kamu sahabat kecil yang harus tumbuh bareng sampai
besar nanti, aku janji!" ucap Caesar.
Sama seperti Beby, Althea hanya bisa meneteskan
air matanya dan membuat Caesar mengusap air mata
kedua kalinya untuk orang yang berbeda. Malam itu
rasanya seperti skenario, semuanya tidak bisa dipikir
dengan logika. Saatnya Caesar untuk pulang ke Semarang
111
dan meninggalkan kedua sahabatnya kembali.
Di tengah perjalanan pulang ke Semarang, papa
Caesar terlihat sangat mengantuk. Ia melihat jam
tangannya ternyata sudah hampir jam 12, kecepatan
mobilnya pun terus menaik. Seribu kendaraan disalipnya,
sejuta pepohonan dilaluinya. Jalan tol yang hanya lurus
tak asing lagi baginya. Itu yang membuatnya berani untuk
menambah kecepatan mobilnya yang sedang Ia
kemudikan. Saat itu rem mobil yang ia injak tak dapat
berfungsi, hingga akhirnya setir mobilnya pun tak dapat ia
kendalikan.
Pak Rio melihat sebuah jurang yang sebentar lagi
akan ia lewati dan mungkin sangatlah berbahaya. “Jurang
itu adalah jurang kematian…,” suara itu terdengar di
telinganya tetapi pada saat itu hanya ada dirinya & Caesar
yang sedang menulis sesuatu. Dan sebuah truk yang
membawa banyak angkutan itu terlihat secara tiba-tiba di
pengkolan jalan yang bertepatan di atas jurang itu.
Papa Caesar mencoba menginjak rem mobil itu,
tetapi mengapa ini? Mungkin rem mobilnya blong dan
pada saat itu ia sedang membawa mobilnya dengan
112
kecepatan yang sangat tinggi. Dan pada akhirnya,
“Aaaaaaaaaaaaaaaa!!!” teriaknya. Mobilnya terguling ke
jurang itu. Berbondong-bondong orang terjun ke tempat
kejadian untuk menolongnya. Tetapi, apa daya... Tuhan
sudah merindukan Papa Caesar, namun belum
menginginkan Caesar. Sehingga, Caesar selamat dari
kecelakaan itu namun ia ditinggal oleh sosok ayah yang
sangat ia cintai untuk selamanya. Hal itu juga memaksa
Caesar untuk tinggal serumah dengan mama dan kakaknya
sekarang.
113
IV
(EMPAT)
114
ari demi hari, bulan demi bulan berganti hingga 2
tahun terlewati. Kini Caesar sudah menginjak kelas
3 SMA. Tetap di Semarang, namun tinggal bersama
mama dan kakaknya, tanpa sang papa. Itulah yang
membuat kehidupan dan karakternya berubah, berbeda
dengan ia yang dulu hanya serumah dengan papanya.
KRRRIIIINNNNNGGGGGG!!!!
Bel pulang sekolah berbunyi, suara riuh gembira
mewarnai setiap ruang kelas. Murid-murid beranjak dari
kursi dan meja belajarnya, satu per satu keluar
meninggalkan kelas. Kecuali dengan Caesar, ia malah
masih berdiam diri di tempatnya. Sibuk dengan kertas di
atas meja dan pensil yang ia genggam. Di sudut lain, ada
Neza teman sekelas sekaligus tetangga sebelah rumah
Caesar, yang sedang berjalan akan meninggalkan kelas.
Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melewati samping
Caesar yang menarik perhatiannya.
“Ngapain, jons?” tanya Neza dengan logat Jawa.
Tubuh Caesar terguncang, terkejut, melihat Neza
yang tiba-tiba muncul di sampingnya. “Ehm… enggak
H
115
kok, lagi males pulang aja, lagian di rumah kayak neraka,”
jawabnya kemudian.
“Hah? Neraka?” tanya Neza kebingungan,
melongo.
“Yaps! Aku kan selalu salah kalau di rumah, you
know lah…,” sahut Caesar dengan wajah lesu.
“Oh, yaudah sabar aja Sar, aku percaya mamamu
kayak gitu pasti juga pengen kamu jadi yang terbaik juga
kok,” ujar Neza memberi semangat pada Caesar sambil
menepuk pelan bahu temannya itu.
“Hmm… thanks banget, Nez!” sahut Caesar
dengan tersenyum dan menganggukan kepala.
Neza hanya membalas dengan anggukan,
senyuman dan alisnya yang bergerak ke atas dengan cepat.
Matanya yang mendapati tangan Caesar yang sedang
menggenggam pensil, membuatnya ingat kembali bahwa
itulah yang menghentikan langkahnya dan mengalihkan
perhatiannya.
“Lagi nulis apasih itu, Sar?” tanya Neza sambil
beberapa kali melirik kertas di atas meja Caesar.
116
“Siapa yang nulis?” tanya Caesar balik, sambil
menutupi kertas itu.
“Terus, kalo nggak nulis, itu ngapain?” tanya
Neza kembali mendesak, penasaran.
“Enggak kok, cuma coret-coret aja…,” jawab
Caesar.
“Coret-coret kok terusan?” tanya Neza sekali lagi
semakin mendesak.
“Oh biasalah, kalo lagi nggak ada kerjaan, aku
suka coret-coret nggak penting gini kok,” jelas Caesar.
Neza kembali mengangguk, mulutnya membentuk
huruf O, seakan-akan ia percaya apa yang Caesar katakan,
padahal matanya masih mencuri lirikan ke kertas itu dan
masih penasaran dengan isinya.
“Yaudah pulang yuk, Nez!” ajak Caesar
bermaksud mengalihkan perhatian Neza sebelum
temannya itu lebih penasaran lagi dan terus kembali untuk
mendesak dirinya.
“Ehm… oke deh, ayo!” sahut Neza, mengakhiri
perbincangan di dalam kelas saat itu.
117
HOME HELL HOME. Itulah kata-kata yang
selalu ada di otak Caesar, setiap kali ia akan menginjakan
kaki di rumahnya. Sudah terbukti, belum ada sepuluh
langkah kakinya melangkah di rumah, Caesar sudah
mendapat omelan dari mamanya.
"Ya ampun Sar... darimana aja kamu?!! Harusnya
pulang sekolah udah daritadi, mama nggak mau kamu jadi
cowok jalanan!" seru mama Caesar, mengomel seperti
biasa.
Caesar hanya diam dan tidak menggubris omelan
yang kesekian kalinya dilayangkan oleh mamanya itu. Ia
terus melangkah menuju kamarnya.
"Jawab Sar, darimana aja kamu?!! Jangan diem
aja!"
Caesar tetap diam, ia langsung masuk dan me-
ngunci pintu kamarnya. Di dalam kamar, seperti biasa
Caesar hanya bisa meneteskan air matanya. Ia mulai
merasa tidak kuat dengan perlakuan mamanya itu. Dalam
setiap tetesan air mata itu, selalu ada bayangan papanya
yang sudah tiada. Kadang Caesar berpikir bodoh ingin
menyusul papanya itu di surga.
118
Malam harinya, seperti biasa tradisi yang ada
dalam keluarga tersebut, makam malam bersama. Lagi
dan lagi mama Caesar melontarkan omelan untuk anak
bungsunya itu, kali ini membanding-bandingkan dengan
kakaknya, Bianda.
"Caesar! Kenapa kamu diam saja?!!" bentak
mamanya.
Mendengar bentakan-bentakan itu, Bianda yang
berada di samping Caesar mulai memberanikan diri untuk
menenangkan mamanya, ia tak tega melihat adiknya terus-
terusan menjadi kambing hitam.
"Udahlah, Ma! Jangan bicara kasar seperti itu,
kasihan Caesar. Dia pasti punya usaha sendiri, Ma!" sahut
Bianda yang sudah mulai tidak tega tersebut.
"Usahanya sangat lamban, nggak kayak kamu, Bi!
Setiap ditanya selalu diam saja, entah apa yang dia
pikirkan," ujar mamanya. "Bianda ingin menjadi dokter
sejak SD dan sekarang impiannya sudah terwujud. Caesar
119
kamu harusnya sudah mulai berpikir tentang masa depan-
mu," tambahnya kembali mendesak Caesar. “Bisa tidak?”
tanyanya kemudian, membentak.
Caesar yang sudah mulai tidak tahan dengan
perkataan mamanya, langsung meletakkan sendok yang ia
pegang, kemudian beranjak meninggalkan meja makan
dan berlari menuju kamar.
"Mama keterlaluan!" bentak Bianda sambil ber-
usaha mengejar adiknya
TOK! TOK! TOK!!!
"Dek, ini kakak... maafin kakak ya? Gara-gara
kakak..."
"Udah cukup kak, kakak nggak salah, aku yang
emang nggak berguna... nggak ada untungnya aku hidup
kak, bisanya cuma nyusahin!" sahut Caesar memotong
perkataan Bianda.
"Dek, kamu jangan bilang gitu... kakak mau
cerita, kakak boleh masuk?" tanya Bianda.
“Nggak usah kak, aku nggak pantes lagi disini,
mungkin ini waktunya orang nggak berguna kayak aku ini
120
udah nggak ada di dunia lagi... Maafin Caesar kalo selama
ini ada salah sama kakak...," ujar Caesar.
"Dek kamu mau ngapain sih?" tanya Bianda yang
mulai curiga.
"Jaga mama baik-baik ya kak...," ujar Caesar
kembali.
BRAAAAAKKKKKK!!!
Bianda mendobrak pintu kamar Caesar, ia sangat
terkejut melihat adiknya sedang menggenggam silet.
Dengan sigap, Bianda langsung berlari dan langsung
memegang kedua tangan Caesar.
"Sar... apa-apaan kamu ini? Nggak ada gunanya
kamu ngelakuin kayak gini! Aku kakakmu, aku nggak
suka punya adik yang mudah putus asa kayak gini!"
bentak Bianda.
"Lepasin kak! Biarin Caesar mati, orang bodoh
kayak Caesar udah nggak pantes hidup di dunia lagi kak!"
ujar Caesar sambil menangis.
Bianda berhasil mengambil silet dari tangan
Caesar.
121
PLAAAAAKKK!!
Telapak tangan Bianda melayang di pipi Caesar.
"Lihat kakak dek! Dulu mama udah ngelahirin
kamu sampai bisa sebesar ini, kenapa kamu sia-siain gitu
aja? Harusnya kamu buktiin sama mama kalo kamu bisa
meraih sesuatu yang besar. Sesuatu yang besar nggak
harus dari bidang akademik dek, kakak janji bakal bantu
usaha yang kamu lakukan sebisa kakak!” jelas Bianda.
“Andaikan papa masih ada, kak. Papa nggak
kayak mama, papa selalu sayang Caesar,” sahut Caesar,
air matanya bertambah deras membasahi pipi.
“Terima kenyataan, dek! Papa udah nggak ada,
udah nggak bisa kembali lagi. Sekarang yang ada mama,
coba kamu pikir, kalau mama udah nggak sayang sama
kita, sekarang mungkin kita nggak ada disini, mama kayak
gitu juga gara-gara sayang sama kamu, dek!” jelas Bianda,
menasehati adiknya kembali.
Caesar menundukkan kepalanya, kecewa. “Maafin
Caesar kak, Caesar janji nggak akan ngulangin lagi…,”
ujar Caesar kemudian yang masih menangis dan serontak
122
memeluk erat kakaknya itu.
Dari situlah Bianda mulai memiliki kewajiban
untuk membantu usaha adiknya, walaupun secara diam-
diam. Adik nya pun mulai terbiasa dengan bentakan-
bentakan dari mamanya. Ia menjadikan semua itu untuk
motivasi agar bisa membuktikan kesuksesan bukan hanya
dari bidang akademik saja.
Seperti merpati yang terbang jauh dan pasti
kembali lagi ke sarangnya, melontarkan sebuah janji,
entah kapan pun itu kita harus menepatinya. Kini, Bianda
bagaikan merpati itu. Ia harus berusaha kembali ke
sarangnya, menepati sepatah kata perjanjian dengan
adiknya. Berpikir dan terus berpikir, apa yang harus ia
lakukan saat itu. Hingga akhirnya, ide itu muncul.
Otaknya mengatakan, dirinya harus selalu memantau
Caesar dimana pun itu. Untuk itu, ia harus meminta
bantuan dengan salah satu teman dekat Caesar saat ini,
yang juga menjadi tetangga sebelah rumahnya, Neza.
123
Inilah waktu yang tepat untuk menjelaskan
semuanya pada Neza. Tanpa berpikir lama, Bianda
langsung bergegas menuju rumah tetangganya itu.
Kebetulan sekali, Neza sedang berada di halaman rumah-
nya saat itu. Melihat Bianda di depan pagar, Neza berlari
untuk membukakan pintu dan segera mempersilahkan
masuk.
“Loh mbak, kok tumben pagi-pagi kesini?” tanya
Neza, memulai perbincangan.
“Hmm… aku boleh minta bantuanmu nggak,
Nez?” jawab Bianda.
“Bantuan apa to, mbak? Kok kayaknya serius
banget? Masuk ke dalem dulu aja yok, mbak!” ajak Neza
menggeret tangan Bianda.
Bianda sudah berada di dalam rumah Neza. Sepi.
Cuma ada Neza dan pembantunya di dalamnya. Orang tua
Neza sedang dinas di luar kota. Bianda memanfaatkan hal
itu, ia menjelaskan panjang lebar apa yang sebenarnya
terjadi dan apa yang ia inginkan pada tetangganya itu. Tak
memakan waktu lama, Neza perlahan mulai paham.
Hingga akhirnya…
124
“Gimana Nez, kamu bisa bantu aku?” tanya
Bianda, inti perbincangan tersebut.
“Oh, kalau itu sih gampang, mbak. Tapi emang
sih, akhir-akhir ini Caesar suka aneh sendiri,” ujar Neza.
“Nah itu!” sahut Bianda, tubuhnya lebih mendekat
ke Neza, seakan-akan mendapatkan kode rahasia. “Aneh
gimana, Nez?” tanyanya kemudian.
“Mau minum nggak, mbak?” tanya Neza dengan
wajah polosnya.
Bianda mendengus sedikit kesal, tangannya
menahan Neza yang akan berdiri. “Ah kamu… baru seru-
serunya malah ngelawak,” ujarnya kemudian.
Masih dalam wajah polosnya. “Nggak ngelawak
mbak, kan cuma nawarin minum, siapa tahu Mbak Bianda
haus tapi nggak berani bilang sama aku, gitu. Soalnya,
kalo dehidrasi nanti bisa pingsan, aku juga yang salah,
mbak,” jelas Neza, membuat Bianda geleng-geleng
kepala.
“Yaelah, nggak gitu juga kali, Nez… Nggak usah
repot-repot, aku bentar aja kok, entar malah kelamaan
125
buatin minumnya,” ujar Bianda, menolak.
Neza tersenyum polos. “Nggak lama mbak, nggak
buat kok, cuma ambil aqua di sebelah Mbak Bianda aja
itu loh,” ujarnya kemudian, sambil menunjuk beberapa
aqua gelas yang sudah tertata rapi di atas meja tepat di
samping Bianda.
Bianda terdiam beberapa detik, melongo melihat
aqua tersebut. “PFFFTTTTTTT!!!! Kenapa nggak bilang
dari tadi, aku bisa ngambil sendiri kalo gitu, Nez….,”
sahutnya semakin kesal. “Tetangga macam apa kamu ini,
cantik-cantik agak berserakan gitu otaknya??!!!” ujarnya
kemudian dari dalam hati, batinnya gemas.
Neza malah tertawa geli, membuat Bianda
semakin gemas dengannya. “Udah-udah, Nez, cukup!”
seru Bianda sambil menutupi mulut Neza seakan-akan
sandera. “Fokus lagi, tadi Caesar aneh gimana sih?”
tanyanya kemudian, kembali ke topik.
Neza pun mulai menghentikan tawanya dan fokus
pada topik awal pembicaraan. “Jadi gini lho, akhir-akhir
ini aku sering banget lihat Caesar bawa pensil sama kertas,
126
entah itu buat apa. Setiap aku tanyain, katanya cuma buat
coret-coretan aja gitu, mbak,” jelasnya kemudian.
Kepala Bianda yang semula sejajar dengan kepala
Neza, kini perlahan naik sambil manggut-manggut. Wajah
dan tatapannya pun mengarah ke atas langit-langit seakan-
akan memperoleh pencerahan. “Mungkin ini yang nama-
nya kode,” gumamnya kemudian, tetap menatap ke atas.
“Wih… kode…. Mbak Bianda kayak detektif!”
celetuk Neza, membuat hilang fokus kembali.
“Aissshhhh… kalo gregetan lama-lama kamu tak
makan lho, Nez!” sahut Bianda, semakin gemas dengan
tetangganya yang absurd itu.
“Oooohhhhh… jadi dari tadi itu, Mbak Bianda
laper to? Bilang to, mbak! Mau makan apa?” ujar dan
tanya Neza dengan polosnya, bisa dikatakan sedikit bego.
“Enggak, Nez, Enggaaaaaak!!!” seru Bianda.
“Lama-lama aku bisa overdosis disini, ya udah aku pulang
dulu, Nez! Entar kalo aku butuh bantuanmu, tak kabarin
aja ya,” ujarnya kemudian sambil bergegas meninggalkan
rumah Neza.
127
“Loh mbak, nggak jadi makan?” tanya Neza
kembali, tanpa jawaban.
Misi pertama, mencari tahu apa isi kertas milik
Caesar. Hari Senin, hari yang cukup panjang di sekolah.
Bianda masih bersekongkol dengan Neza, layaknya mata-
mata yang sedang menyelidiki sebuah rahasia. Ponsel
selalu siaga dalam genggaman Bianda. Terlihat, Caesar
baru saja pergi ke sekolah dengan skutermatik-nya. Neza
menyusul dari belakang, masih dalam keadaan normal. Ia
tidak boleh membuat Caesar curiga dengan gerak-
geriknya, harus berhati-hati.
Kimia menjadi pembuka pelajaran pagi itu,
dilanjutkan oleh seni rupa satu jam pelajaran sebelum
istirahat pertama. Seni rupa, pelajaran yang bisa menjadi
bahan untuk mengembangkan rasa kebanggaan dalam
menciptakan ungkapan pikiran dan perasaan. Itu hal yang
wajar. Namun, jika guru dalam bidang itu tidak bisa
menyampaikan materi dengan baik bahkan monoton,
pelajaran tersebut bisa berbalik menjadi pelajaran yang
128
sangat membosankan. Seperti guru yang sedang berdiri di
depan murid-murid dalam kelas itu. Menyampaikan
materi tanpa memiliki kemampuan untuk berinteraksi
dengan muridnya, seakan-akan hanya berbicara dengan
papan tulis. Tak heran semua murid tidak fokus dalam
pelajaran itu sehingga mereka mengerjakan hal lain yang
lebih penting baginya, tak jarang hanya mengobrol dengan
teman lainnya membuat suasana kelas yang semula sunyi
saat pelajaran kimia menjadi ramai tanpa teguran guru
sekali pun.
Caesar pun mulai ikut memperlihatkan
gerakannya. Seperti biasa, pensil dalam genggaman.
Namun, yang membedakan dari biasanya yaitu dengan
adanya buku tulis, lebih tepatnya binder di atas mejanya.
Karena biasanya hanya ada secarik kertas yang terlihat di
atas meja, mungkin kali ini ia benar-benar ingin serius
untuk membuktikan kepada mamanya bahwa ia juga
memiliki bakatnya sendiri.
Sekarang saatnya Neza yang duduk tepat di
belakang Caesar melakukan aksinya. Ia menarik pelan
kursinya, hingga mendapatkan posisi yang nyaman untuk
129
mengintip apa yang Caesar tulis saat itu. Ia berhasil
melihat sekilas tulisan temannya itu. Hampir satu binder
penuh dengan huruf latin dari tangan Caesar.
Neza mencoba hal lain. Ia meraih ponselnya,
ternyata Neza mencoba untuk merekam secara diam-diam
dari belakang. Smartphone dengan kamera 13 megapixels,
berhasil merekam semua itu dengan kualitas tinggi dan
jernih. Video berdurasi 9 menit itu menjadi senjata awal
untuk memecahkan rahasia yang selalu Caesar tutupi
sampai sekarang ini. Misi pertama Neza selesai. Kini, ia
tinggal memberikan video itu pada Bianda dan melakukan
misi selanjutnya dari Bianda esok hari.
Kembali, Bianda sudah berada di rumah Neza lagi
untuk melihat video itu. Serius.
“Eh coba pause dulu, Nez!” ucap Bianda,
menyuruh Neza untuk menghentikan sejenak video itu
pada menit pertama. “Coba deh baca, itu tulisan apa?”
tanya Bianda kemudian.
“Oh… itu kan tulisannya Caesar, mbak?” tanya
balik Neza, pertanyaaan polos seperti biasa yang bisa
membuat kesal orang lain.
130
Bianda mendengus dan mencoba untuk menahan
kesalnya. “Ah susah ngomong sama kamu,” ucapnya. “Iya
tau itu tulisannya Caesar, tapi bacanya apa, Nezaaaaa??”
tanyanya kemudian dengan wajah gemas
“Owalah… bentar aku baca dulu ya mbak,” sahut
Neza sambil membaca tulisan dalam video itu.
“F…FR..FROM…A…SHH…SHADOW......., FROM A
SHADOW!” ejanya kemudian hingga bisa membaca judul
dalam tulisan itu.
Neza hanya dapat membaca judulnya saja, tulisan
lainnya tidak dapat terlihat jelas. Mungkin hanya beberapa
kata saja. Bianda pun menyuruhnya untuk melanjutkan
video itu. Hingga pada pertengahan video, terpampang
jelas nama Beby Chaesara Anadila dalam tulisan itu.
Otomatis Bianda mencari informasi tentang nama
itu melalui internet, hingga akhirnya ia mengetahui Beby
adalah salah satu member JKT48. Otaknya mulai
menghubung-hubungkan satu sama lain. Menemukan
suatu hipotesis, Caesar hanya ingin membuat sebuah cerita
yang terinspirasi dari idolanya. Dalam sudut pandang lain,
hati Bianda bertanya-tanya, “Apa itu semua yang akan ia
131
buktikan kepada mama? Cuma itu?” Hatinya juga
menjawab pertanyaan itu sendiri, “Nggak mungkin, pasti
dibalik itu semua ada hal yang lebih besar yang di-
sembunyikan oleh Caesar.”
Kode demi kode keluar dari satu video tersebut.
Mentari senja saat itu pun mulai samar-samar akan hilang.
Bianda memutuskan untuk memberikan misi selanjutnya
pada Neza saat itu juga.
“Nez, siap misi selanjutnya?”
“Gimana dulu, mbak?”
“Gampang kok, kamu cuma cari karakter lain aja
yang ditulis Caesar di bindernya, gimana bisa nggak?”
“Oke… jika Tuhan merestui, siap komandan!”
Persetujuan dari Neza menutup perbincangan
keduanya hari itu.
Di dalam rumah sendiri, Caesar belum berani
memperlihatkan gerakannya untuk menulis itu semua
secara terbuka. Ia hanya melakukannya di kamar, itu pun
pada waktu tertentu. Sehingga, kakaknya tidak bisa
mengamatinya sendiri untuk saat ini. Kalaupun bisa, salah
132
satu caranya Bianda harus masuk ke kamar Caesar.
Padahal, Caesar jarang sekali keluar kamar saat di rumah.
Namun, Bianda yakin suatu saat nanti ia bisa melakukan-
nya sendiri untuk mewujudkan impian adiknya itu.
Misi kedua di hari selanjutnya. Seperti apa yang
Bianda perintahkan, Neza harus mencari karakter lain
selain Beby di dalam cerita milik Caesar. Kali ini, Neza
harus benar-benar berhati-hati. Satu-satunya cara untuk
bisa menjalankan misi ini yaitu dengan mengambil binder
Caesar. Maka dari itu, Neza harus mencari waktu yang
tepat untuk mengambilnya.
Kebetulan, olahraga mengisi jam kedua pelajaran
pada hari ini. Neza berencana mengambil kertas itu di
tengah pelajaran olahraga. Saatnya bersiap untuk melaku-
kan aksinya.
Hangatnya sinar mentari pagi itu menembus kulit
hingga menusuk tulang murid-murid di lapangan. Seperti
perjanjian guru minggu lalu, olahraga kali ini adalah
133
penilaian lompat jangkit. Tak perlu waktu lama, setelah
pemanasan semua murid langsung menyiapkan diri untuk
itu. Guru pembimbing memutuskan agar murid
perempuan dahulu yang melakukan penilaian. Neza
memanfaatkan hal itu, ia memberanikan diri untuk
melakukan pertama. Semua itu demi keberhasilan misi
hari ini.
HOP―STEP―JUMP!!!
Neza berhasil melakukannya dengan tehnik yang
tepat, hingga ia mendapatkan nilai yang cukup memuas-
kan. Lega. Sudah tidak ada lagi beban pikiran saat itu,
bebas. Saatnya untuk melakukan misi kedua, ia bergegas
kembali ke kelasnya. Tas dengan dominasi warna coklat
tua, menjadi arah fokus matanya saat itu. Ia mendekati tas
itu bahkan tangannya menjamah ke dalamnya. Hingga
akhirnya, Neza berhasil meraih binder dengan cover
berbalut motif etnis Navajo milik Caesar.
Apa yang Neza cari hari ini, sudah berada di
tangannya. Mengingat perintah Bianda, Neza langsung
mencari karakter lain dalam cerita di binder tersebut.
Setelah cukup memakan waktu untuk membaca sebagian
134
isinya, akhirnya Neza menemukan nama lain di dalamnya,
Triyan dan Ginsa. Misi hari itu berhasil, ia mengembali-
kan binder itu seperti semula pada tempatnya. Semua
berjalan normal kembali.
Seperti hari kemarin, sore harinya Bianda sudah
berada di rumah Neza. Saatnya Neza untuk menjelaskan
apa saja yang ia dapatkan di sekolah tadi.
“Gimana Nez, berhasil nggak?” tanya Bianda
memulai perbincangan, serius.
“Ternyata, Tuhan mengizinkan mbak! Disitu ada
dua nama lagi, Triyan sama Ginsa,” jelas Neza. “Oh iya,
aku juga sempet baca sebagian ceritanya lho mbak,”
tambahnya kemudian.
“Nah bagus, gimana intinya?”
Neza menghela napas. “Jadi gini, dulu Caesar itu
pernah punya temen namanya Beby. Nah, dia sempet mau
nyatain perasaannya sama Beby, tapi waktu itu Beby lagi
audisi JKT48,” jelasnya, berhenti sejenak.
“Terus, terus?”
135
“JKT48 kan katanya nggak boleh pacaran kan ya?
Nah, jadi gitu lah ceritanya Caesar ngerelain Beby buat
jadi member JKT48 dulu,” tambah Neza.
“Hubungannya sama Triyan, Ginsa apaan dong?”
tanya Bianda kembali, penasaran.
“Oh iya lupa ceritain, jadi Caesar, Triyan, Ginsa
sama Beby itu empat sekawan dulunya,” jelas Neza
kembali. “Kayaknya ini cerita nyata deh mbak, soalnya di
wallpaper HP-nya Caesar ada foto mereka berempat. Dulu
aku sempet tanya sama Caesar nya langsung sih, katanya
itu temen-temen lamanya gitu mbak,” tambahnya
kemudian, memberi informasi baru.
Informasi baru berhasil menghasilkan hipotesis
baru dalam pikiran Bianda. Kali ini, ia menyimpulkan
bahwa adiknya ingin membuat novel yang terinspirasi dari
pengalaman nyatanya. Cukup jitu apa yang Bianda per-
kirakan, sedikit lagi memecahkan rahasia milik adiknya
selama ini.
Bianda menghela napas. “Jadi, selama ini Caesar
pengen jadi seorang penulis…,” ucapnya dalam lamunan,
menatap langit-langit. “Oke! Sekarang tinggal cari dimana
136
Triyan sama Ginsa itu, dari mereka kita bisa lebih banyak
dapet informasi, Nez…,” tambahnya kemudian setelah
sadar dari lamunan.
“Bentar mbak, aku baru inget… kayaknya aku
punya temen les, namanya Ginsa juga,” sela Neza.
“Coba cari tahu dulu, bener dia atau enggak?
Kamu les hari apa?” tanya Bianda dengan wajah
optimisnya.
“Besok Kamis, mbak!”
“Nah… kamu tahu kan, harus ngapain?”
“Tahu sih mbak, tapi…….”
“Tapi apalagi?”
“Tapi kalo cewek bicara serius sama cewek lain
itu, kelihatan lesbian nggak ya, mbak?” tanya Neza
dengan polosnya.
Mendengar pertanyaan Neza, Bianda tidak
sanggup lagi menahan tawanya, hingga akhirnya tawanya
pun pecah. “Peaaaaa banget, setiap hari kamu dikasih
makan apa sih? Kalo serius gitu bisa kelihatan lesbian,
137
terus dari kemarin kita ngapain aja, Nezaaaaaaa?” ujarnya
kemudian yang masih tertawa geli.
Melihat Bianda yang tertawa terpingkal-terpingkal
itu, Neza bukannya ikut tertawa malah duduk menjauh
dari Bianda dengan wajah sedikit takut.
“Loh, kamu kenapa ke situ?” tanya Bianda yang
melihat Neza menjauh darinya.
“MBAK BIANDA LESBI!!!!”
Parkiran motor yang tertata rapi dengan pohon-
pohon besar yang berjajar di setiap tepinya, membuat
pandangan sekolah menjadi nyaman. Matahari yang sudah
mulai menuju ke arah Barat, tetap memancarkan teriknya.
Satu per satu murid berdatangan menuju motornya
masing-masing. Dengan langkah lesu dan otak yang sudah
butuh istirahat, mereka menancapkan gas motornya untuk
pulang ke rumah. Namun, tak semua murid langsung
meninggalkan sekolah. Seperti skutermatik berwarna biru
138
di ujung parkiran, belum terlihat sosok pemiliknya hingga
hampir satu jam setelah bel pulang sekolah.
Suasana sekolah mulai sepi. Terlihat sosok wanita
dengan rambut panjang yang terkucir ponytail dan
membopong tas ransel putih sedang berjalan menuju
skutermatiknya, ternyata Neza. Ia sengaja untuk tidak
langsung meninggalkan sekolah. Sudah rutin seperti hari
Kamis biasanya, Neza tidak langsung pulang ke rumah
melainkan menuju bimbingan belajar di dekat sekolahnya.
Fisika dan Bahasa Indonesia menjadi santapannya hari ini
di tempat les itu. Neza baru saja ingat, ternyata ada
santapan pelengkap untuk hari ini yaitu misi selanjutnya
dari Bianda.
Ruang les sudah terlihat hampir penuh.
Beruntung, Neza belum terlambat untuk mengikuti
pelajaran Fisika yang baru saja dimulai. Sebelum memilih
tempat duduk, matanya memandangi sekitar mencari
orang yang ia perkirakan teman Caesar itu, Ginsa.
“Nah itu…,” ucapnya dari dalam hati setelah
menemukan Ginsa yang kebetulan juga ada tempat duduk
kosong di sebelahnya. Tanpa berpikir lama, Neza
139
mendekati dan langsung duduk tepat di sebelah Ginsa.
Namun, saat itulah ia bingung apa yang harus ia lakukan.
Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara pada
Ginsa saat istirahat les dan mengikuti pelajaran fisika
terlebih dahulu.
Satu jam sudah Neza lalui bersama pelajaran
fisika. Otaknya mulai penuh dengan rumus-rumus, saatnya
istirahat dan menjalankan misi.
Terlihat Ginsa sedang merapikan buku-buku
fisikanya, inilah waktu yang tepat bagi Neza. Tidak
berpikir lama, Neza pun mendekati Ginsa yang berada
tepat di sebelahnya itu.
“Ginsa…..,” sapa Neza.
Ginsa menoleh “Eh iya, ada apa?” tanyanya
kemudian dengan memberi senyuman.
“Kamu kenal Caesar?” tanya balik Neza tanpa
basa-basi, to the point.
Ginsa pun terkejut mendengar nama itu.
“Cae…sar… Caesar Wijaya?” tanya Ginsa memastikan.
140
“Dia sahabatku, ada apa sama Caesar?” tambahnya
bertanya dengan wajah khawatir.
Hingga akhirnya, Neza pun menceritakan
semuanya pada Ginsa apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa
butuh waktu yang lama, Ginsa langsung paham. Tak
hanya itu, Neza pun berhasil membuat Ginsa mencerita-
kan masa lalunya secara detail. Tak luput dari tiga teman-
nya, Caesar, Triyan dan Beby. Mulai detik itulah semua
rahasia yang Bianda cari selama ini sudah Neza pecahkan.
Sangat lega.
Matahari sudah tak terlihat, saatnya pulang. Napas
lega yang Neza hembuskan dalam perjalanan seakan-akan
dapat mempersingkat waktu. Tak terasa, rumahnya sudah
berada di depan mata. Dan sudah ia tebak sebelumnya,
Bianda sudah hadir di depan beranda rumahnya. Neza
menghela napas, saatnya menceritakan semua yang Ginsa
katakan tanpa mengurangi satu kata pun pada Bianda.
Misi hari ini yang mungkin menjadi misi terakhirnya
berhasil. Kini, saatnya Bianda melakukan sendiri.
Saat itu juga, Bianda dipaksa untuk memutar
otaknya, berpikir keras. Bianda mulai mengerti apa yang
141
dilakukan adiknya selama ini. Caesar yang dulu sama
sekali tidak suka dengan yang namanya menulis, kini telah
berbalik 360ᵒ karena member JKT48 tersebut. Tapi akhir-
akhir ini, Caesar juga sering menyobek kertas dalam
bindernya dan membuangnya di samapah kamarnya.
Mungkin Caesar berpikir itu semua akan sia-sia dan tidak
mungkin lagi dibaca oleh Beby. Bianda berencana
mengumpulkan tulisan-tulisan yang Caesar buat itu dan
menjadikannya sesuatu yang besar bahkan berguna untuk
adiknya.
Waktu terus berjalan, tumpukan kertas di kamar
Caesar pun juga mulai menggunung. Sedangkan satu
bulan mendatang, Bianda sudah harus mengambil S2 di
Jerman. Itu yang mamanya inginkan. Hal itu yang
membuat Bianda harus cepat-cepat mewujudkan mimpi
adiknya. Ia tidak tega meninggalkan di rumah tanpa
dirinya, takut hal yang seperti dulu terulang kembali.
Hari ini Caesar pulang sore, setelah kemarin ia
mendaftar les di sebuah bimbingan belajar. Inilah saat
142
yang tepat untuk memasuki kamar Caesar. Bianda
merogoh dan mengeluarkan semua kertas dalam sampah
itu. Satu per satu kertas ia baca, namun terlihat mustahil
Bianda bisa melakukan semua itu sendirian.
Sebuah niat awal yang manis tidak akan menjadi
pahit apabila bertujuan untuk kebaikan. Usaha keras
selama ini, tidak akan terbuang sia-sia apabila doa
mendampingi setiap satu tetes keringatnya. Bianda
tetaplah Bianda, apapun akan ia lakukan demi seorang
adiknya. Tanpa lelah, ia terus membaca kertas itu
walaupun berjam-jam lamanya. Di situ pula ia berjanji
dalam dirinya sendiri, tidak akan meninggalkan kamar
Caesar sebelum berhasil menjalankan misi terberatnya
hari itu.
Tidak makan dan minum, wajahnya sudah mulai
pucat, keringatnya masih terus bercucuran. Sudah
sembilan jam ia berkutat dengan kertas-kertas itu, masih
ada yang tersisa dan belum ia baca. Tak hanya membaca
saja, Bianda juga harus memahami cerita yang Caesar
tulis agar bisa mengurutkan alur cerita tersebut.
143
Satu jam kembali berlalu, kali ini Bianda sudah
berhasil membaca semua kertas itu. Butuh waktu lagi
untuk mengurutkan cerita itu, padahal sekitar satu jam lagi
Caesar sudah sampai di rumah. Dengan kekuatan daya
ingatnya yang di atas rata-rata, menjadikan ia mudah
memahami cerita itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk
mengingat semua inti, kutipan dan ciri khas dari tulisan
adiknya. Namun dengan itu, ia juga harus mengetikkannya
kembali pada hari itu juga, apabila ingin mendapatkan
hasil yang maksimal dengan kekuatan daya ingatnya.
Dari kejauhan terdengar langkah kaki berjalan
menaiki anak tangga, ternyata Caesar yang baru saja
pulang dan langsung menuju kamarnya. Bianda yang
terlihat sangat pucat, keluar dari kamar adiknya tepat
waktu bahkan ia juga sudah mengembalikan kertas itu
pada tempatnya semula.
“Loh kak, kok tumben nggak keluar?” tanya
Caesar yang berpapasan dengan Bianda saat berjalan
menuruni anak tangga.
Bianda hanya tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. Wajah pucatnya membuat Caesar curiga,
144
hingga ia mengekor kakaknya dari belakang. Benar,
beberapa menit kemudian Bianda yang sudah sangat
lemah itu jatuh pingsan. Beruntungnya, Caesar berhasil
menangkapnya dari belakang hingga kakaknya pun jatuh
tepat di pelukannya.
Kegelapan, perlahan-lahan dan samar-samar
cahaya berhasil menembus dinding hitam pekat itu. Sleep
Paralyze―kelumpuhan tidur yang merujuk pada keadaan
ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun
ketika bangun tidur. Rasanya sesak napas seperti dicekik,
dada sesak, badan tidak bisa bergerak dan sulit bersuara.
Wajar saja, Bianda masih dalam keadaan stress dan fisik
yang sedang kelelahan. Otaknya sudah siap untuk bekerja
kembali setelah pingsan, namun tubuhnya masih belum
siap untuk melakukan itu semua. Hal itulah yang
menyebabkan apa yang Bianda rasakan selama beberapa
detik tadi.
Setelah sadar, matanya langsung terbelalak,
tubuhnya terguncang. Melihat kakaknya yang baru saja
sadar, Caesar langsung mengambilkan Bianda makanan.
Suap demi suap sambil memberikan pertanyaan tentang
145
apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya, namun
Bianda tetap tenang dengan jawaban sedikit berbohong-
nya. Caesar pun percaya begitu saja.
Hingga Bianda melahap suapan terakhir dari
adiknya. Tubuhnya sudah lebih memiliki daya daripada
sebelumnya. Caesar berdiri, menyuruh kakaknya untuk
tetap istirahat, lalu ia meninggalkan kamar Bianda.
Sebagai sosok perempuan yang memiliki komitmen besar
untuk melakukan niatnya, Bianda nekad untuk mengetik
semua cerita milik adiknya saat itu juga. Padahal,
sebenarnya tubuhnya belum siap untuk melakukan itu
semua. Namun, ia berpikir apabila menundanya esok hari
pasti hasilnya akan kurang maksimal, daya ingatnya
berkurang.
“LEMBUUUURRRRRRRR!!!”
Jarum pendek jam terus berpindah menunjuk
angka yang berbeda. Bianda masih terus mengeluarkan isi
otaknya menjadi sebuah kata-kata khas milik adiknya.
Paragraf demi paragraf tertulis di lembar kerja Microsoft
Word-nya, hingga terhenti setelah rasa kantuknya tak
tertahan lagi. Tertidur.
146
Paginya saat terbangun kembali, Bianda dikejut-
kan dengan sesuatu di depannya, di dalam laptopnya.
“What the….,” gumamnya dengan mata yang
terbalalak, melongo.
Masih tetap terkejut dan baru sadar bahwa ia
sudah menyelesaikan semuanya sebelum tertidur. “Page:
213 of 213” tertulis jelas di sisi kiri bawah lembar kerja-
nya. Senyum leganya mengembang saat melihat ending
cerita yang memiliki alur menarik dengan ciri khas
tersendiri dalam penyampaian kalimatnya. Namun, ia
lebih terkejut dengan otak dan semangat adiknya untuk
melakukan semua itu. Tidak ada penulis yang menulis
ceritanya tanpa mencintai karakter di dalamnya, semuanya
dengan hati.
FILE―SAVE AS―“FROM A SHADOW”―SAVE.
Semua berjalan normal kembali, hingga hari
dimana Bianda harus pergi ke Jerman untuk melanjutkan
pendidikannya pun tiba.
147
Pagi-pagi sekali, Bianda sudah menuju ke
bandara, ia belum sempat berpamitan dengan Caesar.
Akhirnya, setelah sampai di bandara ia memutuskan untuk
menelpon adiknya itu untuk berpamitan.
“Halo, ada apa kak?” sapa Caesar mengawali
percakapan dalam ponsel.
“Dek, kakak pergi ke Jerman dulu ya, maaf nggak
sempet pamit sama kamu, soalnya kamu tidur pules
banget tadi,” jelas Bianda. “Kakak yakin setelah ini kamu
jadi orang hebat…,” tambahnya kemudian, pernyataan
yang terlontar secara tiba-tiba dan terdengar aneh.
“Maksudnya kak?” tanya Caesar penasaran.
“Udah..kamu berangkat sekolah gih, buktiin kalau
kamu diam tapi ternyata kamu orang yang punya bakat,
kakak pergi dulu ya, jangan lupa jaga mama baik-baik!”
sahut Bianda membuat adiknya semakin penasaran.
“Hmm… iyadeh kak, hati-hati ya disana, sering-
sering juga kasih kabar! Jangan jadi warga negara sana ya
kak, entar Kak Bianda lupa sama aku,” ucap Caesar.
148
Bianda tertawa geli, “Ya enggaklah, Sar…,”
sahutnya. “Kamu juga, kalau udah jadi orang besar jangan
lupa sama yang kecil-kecil, soalnya nggak ada yang
kelihatan besar kalau nggak ada yang kecil,” tambahnya
kemudian, seperti ngelantur.
Caesar yang semakin kebingungan dan tidak
paham apa yang kakaknya katakana pun hanya menjawab
singkat, “Oke siap komandan!” Jawaban singkat Caesar,
mengakhiri perbincangan itu. Ia pun segera bergegas
berangkat ke sekolahnya.
Gerbang sekolah sudah terlihat di depan mata.
Hari ini rasanya berbeda, tidak seperti biasanya. Banyak
teman-teman yang menyapa Caesar dengan senyuman
kagum, ia mulai tak paham apa yang terjadi pada hari ini,
mencurigakan. Tatapan orang-orang di sekitarnya tak
jarang menuju padanya, seperti ada yang aneh pada diri
Caesar. Ia tetap meneruskan langkahnya hingga sampai di
depan kelasnya, tiba-tiba…..
“Caesar kamu harus tanggung jawab, aku nangis
lho semalem!!” seru salah satu teman Caesar sambil
mendekati Caesar.
149
Belum sempat mengeluarkan satu kata dalam
mulutnya, “Bangke! hebat kamu, Sar!” seru teman
lainnya.
Lagi dan lagi hingga beberapa teman
mengerumuninya, jawaban ada pada seseorang yang
sedang berlari mendekati kerumunan itu sambil
menggenggam sebuah novel. “Caesaaaaar… aku juga
udah beli novelmu lho, bagus banget!” seru orang itu,
membuat detak jantung Caesar seakan berhenti sesaat.
“Hah? Buku apa ini? Aku nggak……,” ucap
Caesar, terpenggal mendengar nada pesan ponselnya
berbunyi, dengan cekatan ia merogoh sakunya dan meraih
ponsel itu, menjauh dari kerumunan.
150
----------------------------------------------------------------------
From. Bianda Komala Wijaya
----------------------------------------------------------------------
Halo adekku tercinta! Gimana? Udah jadi orang hebat
belum? Hehehehe…
Maafin kakak ya, kakak suka ambilin coret-coretan di
sampah kamarmu :p
Kamu jago banget sih nulisnya, jadinya kakak ngumpulin
semua itu & kakak jadiin novel, eh ternyata ada penerbit
yang mau sama tulisan itu…yaudah pas! :D
Kakak udah nepatin janji kakak lho!
Jangan salahin kakak doang, si Neza juga ikut-ikutan
bantu kakak :p
Oh iya…Beby itu siapa hayooo? Kok tulisanmu isinya
Beby semua? Ciyeee ciyeeee :p
Udah ya kakak mau bobok di pesawat dulu, ngantuk…
Adek kecil sekolah dulu biar pinter (nulis),
HAHAHAHAHA! :* :* :*
----------------------------------------------------------------------
151
“Beby itu… sosok wanita yang pernah hadir
dalam dunia nyataku, namun ia memilih untuk tinggal di
dimensi paralel bersamaku sekarang…,” gumam Caesar
sambil meneteskan air mata.
Baru saja sadar, Bianda mengatakan adanya
orang lain yang membantunya melakukan semua ini.
Caesar langsung mengusap air matanya, berlari mencari
orang itu―Neza. Ternyata, tak perlu mencari, Neza sudah
menunggunya di dalam kelas. Caesar mendekat, tanpa
basa-basi ia memeluk temannya itu.
“Makasih banget, Nez… ternyata selama ini kamu
ngerti aku, aku nggak tau harus ngelakuin apa buat bales
jasamu ini…,” bisik Caesar dalam pelukan.
“Nggak perlu bales, Sar… kata Kak Bianda, kalo
kamu terkenal nanti, kamu harus tetep jadi Caesar yang
dulu aja, gitu…,” sahut Bianda lirih.
Mulai saat itulah Caesar menjadi penulis muda
terkenal, bahkan bukunya sudah dibaca oleh seluruh
member JKT48 khususnya Beby. Selain itu, ia juga telah
berhasil menunjukkan pada mamanya kalau sukses tidak
hanya dalam bidang akademi saja.
152
Hari demi hari berganti.
"Caesar, ini ada kiriman surat buat kamu!" teriak
Mamanya dari teras.
"Surat dari siapa, Ma?" tanya Caesar.
"Nggak tau, ini buka aja." suruh Mama.
Tanpa berpikir lama, Caesar pun membuka surat
yang dilapisi amplop merah hati itu. Ternyata, surat itu
dari SMP Caesar di Bandung yang akan mengadakan
reuni angkatannya besok lusa. Caesar membaca surat itu
semakin ke bawah. Dan suatu hal yang membuat Caesar
terkejut saat ia membaca tulisan "Present: JKT48". Entah
mengapa yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah
Beby. Malam harinya Caesar langsung packing untuk
pergi ke Bandung esoknya.
Acara yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Satu
per satu panitia memberi sambutan meriah saat itu.
Setelah sambutan selesai dilanjutkan perform pertama dari
153
JKT48. Mata Caesar hanya tertuju pada Beby, dia semakin
terlihat dewasa dan bersinar. Perform pertama pun selesai.
Jam demi jam berlalu.
"Semakin malam ya? Sekarang saatnya buat
menunjukkan karya kalian! Boleh berupa puisi, nyanyian
atau apapun. Yang berani langsung angkat tangan ya...
Dibatasi hanya 5 orang!" ucap pembawa acara tersebut.
Semula, Caesar berpikir ingin berpuisi dan
didedikasikan untuk Beby. Karena terlalu lama berpikir, 5
orang pun sudah terpilih tidak termasuk Caesar. Caesar
kecewa, ia sangat ingin menunjukkan kepada Beby bahwa
ia masih menunggunya. Hingga akhirnya, saat karya
terakhir selesai dan JKT48 sudah siap untuk perform
terakhirnya, Caesar memberontak naik ke panggung. Tapi
saat itu juga, Caesar ditarik untuk turun panggung oleh
security. Tiba-tiba...
"Lepaskan dia, Pak! Biarkan saja dia melakukan-
nya...," ucap Beby yang tiba-tiba ada di belakang
Caesar. Caesar pun terkejut, ia tidak menyangka Beby
masih mengingatnya. Hingga akhirnya, Caesar diizinkan
untuk membawakan sebuah puisi di atas panggung itu.
154
Terlihat Beby menyemangati Caesar, tanpa ada persiapan
apapun, kata demi kata terlontarkan dari mulut Caesar
tanpa ia sadari dan membuatnya meneteskan air mata
kembali untuk sahabatnya itu.
“Sesekali hati ini bermimpi
Impian yang terlihat mustahil oleh logika
Dari sudut pandang orang yang berpikir realistis,
Mungkin impian itu hanya sebatas mimpi saat kita tidur
Tapi bagiku berbeda,
Seperti malam ini, mimpi itu nyata
Mimpi itu mendorongku hingga sampai ke atas panggung
ini
Panggung yang bisa menyatukan pandangan mata kita,
Untuk melihat lurus ke depan dalam fokus yang sama
Mimpi itu juga sedang menggerakkan mulutku untuk
berbicara saat ini
Hingga mimpi itu memaksa kalian untuk mengenalnya
Kalian pasti bertanya-tanya,
Apa maksud dari perkataanku tadi?
155
Disini aku akan mengajak kalian untuk bisa mengalahkan
mimpi itu
Aku berisik ya?
Iya aku tahu itu, mungkin sudah dari dulu
Dulu, dimana aku mengenal sosok malaikat tanpa sayap
dengan senyum indahnya
Tapi itu dulu,
Sekarang kita sudah terpisahkan oleh jarak
Buat ketemu aja butuh perjuangan,
Apalagi memandanginya seperti saat dulu
Malam ini cerah ya?
Iya aku tahu itu, secerah hatiku saat ini
Karena malaikat itu sekarang ada di sekitar sini
Aku tahu, sekarang malaikat itu sedang medengarku
Tapi aku juga tahu, kenapa ia tak menghampiriku
Karena malaikat itu punya peraturan emas
Mungkin kalau peraturan itu nggak ada,
Sekarang kalian bisa melihat malaikat itu di sampingku
Tapi sayangnya,
Emas yang melilit di peraturan itu terlalu berharga
156
Aku nggak kecewa kok,
Aku cuma mau bilang,
Dimana pun kamu berada, bayanganmu selalu
menghantui pikiranku
Maaf aku sudah pernah mengisi satu karakter dalam
duniamu
Aku masih menunggumu kembali ke rumah mungil di atas
pohon itu,
Dan sekarang aku masih berusaha mengalahkan mimpi
itu,
Terima kasih sudah mendengarku saat ini,
Terima kasih sudah menjadi inspirasi hidupku,
Terima kasih kamu,
Beby Chaesara Anadila."
Hati Caesar bertanya-tanya setelah ia berhasil
merangkai kata-kata seperti itu, darimana kata itu berasal,
apa ini semua yang dinamakan kata hati? Tanya itu pun
tak terjawab, setelah seseorang berjalan mendekatinya dari
belakang. Beby melangkahkan kakinya perlahan-lahan
157
mendekati sahabatnya, mengangkat mic yang ia genggam
hingga tepat di depan mulutnya, mengeluarkan suaranya.
Sebuah lagu “Kimi Ni Au Tabi Koi Wo Suru”
dari JKT48, ia lantunkan sendiri di atas panggung, tak
segan ia sesekali memeluk tubuh Caesar tanpa
memikirkan bahwa dirinya masih sebagai seorang idola
saat itu.
–
Di reuni itu, setelah sekian lama
Kau duduk di sebelahku Yang benar, yang paling ingin kutemui
Cinta yang tak berbalas itu
Kau memanjangkan rambut Dan menjadi dewasa
Dirimu sangat bersinar
Dua kali jatuh cinta
Di lubuk hatiku yang dalam
Waktu tertidur pun membuka mata
Ah...
Ketika engkau tersenyum
158
Hatiku menjadi sakit Aku tak mampu berkata
Setelah upacara kelulusan usai Kita tinggal di ruang kelas
"Selalu, selalu menjadi teman ya" Kita semua mengikat janji
Dirimu yang terkunci Di dalam kenangan
Sekarang bangkit kembali
Dua kali jatuh cinta
Sama seperti sebelumnya
Debar yang nostalgik kembali terasa
Ah... Setiap bertemu denganmu
Aku akan jatuh cinta
Sampai berapa kalipun
Dua kali jatuh cinta
Di lubuk hatiku yang dalam
Waktu tertidur pun membuka mata
Ah... Ketika engkau tersenyum
Hatiku menjadi sakit Aku tak mampu berkata
159
Pelukan terakhir Beby untuk sahabatnya
mengiringi lirik terakhir lagu itu. Seperti menonton film
ber-genre romance, teman-teman yang berada di bawah
hanya bisa melongo melihatnya. Sebagian teman-teman
yang sudah mengerti kisah mereka sebelumnya, ikut
meneteskan air matanya. Tak ada satu pun teman-teman
yang menganggap aturan arti cinta dari JKT48 baru saja
dilanggar oleh seorang Beby Chaesara Anadila. Bahkan,
riuh tepuk tangan berlomba-lomba memberikan semangat
untuk sepasang sahabat yang pernah mengisi sekolahnya
dulu.
Seorang penulis muda dan member JKT48
menjadi cerita tersendiri pada reuni malam ini. Di sudut
lain, juga terlihat sepasang sahabat yang bergenggaman
erat dan memberikan senyuman seakan mengisyaratkan
mereka juga salah satu karakter yang berada di dalam
cerita di atas panggung itu. Triyan dan Ginsa masih
memegang janjinya untuk tidak berpacaran sebelum waktu
yang tepat tiba.
160
V
(LIMA)
161
Waktu tetap masih terus berjalan, hingga Caesar
dinyatakan lulus dari SMA-nya.
Liburan kali ini sangat menyiksa bagi seorang
Caesar Wijaya. Monoton. Setiap pagi dia hanya berkutat
dengan laptopnya dan mencari informasi terbaru dari idol
group favoritnya, JKT48. Dia selalu berandai-andai
apabila dia tinggal di Jakarta mungkin tak akan semonoton
seperti saat ini. "Long Distance Idoling" itulah yang
selalu ada dalam pikirannya dan membuatnya terus
berharap untuk pindah ke Jakarta agar bisa selalu dekat
dengan idolanya bahkan sahabatnya itu.
Langit pun terlihat mulai gelap. Rintik-rintik
hujan mengiringi tibanya senja di hari itu. Secangkir susu
coklat panas menjadi sahabat Caesar di hari yang sangat
monoton itu. Tangannya mulai meraih laptop hitam di atas
meja belajarnya. Dengan sigap, ia juga meraih headset-
nya dan langsung menancapkan ke laptopnya tersebut.
AKB48 - After Rain, play! Suara lagu itu berlomba-lomba
memenuhi telinga Caesar dengan volume yang keras.
Hujan pun semakin deras, Caesar masih saja
berkutat dengan laptopnya. Kali ini ia membuka twitter-
162
nya. Scroll mouse berkali-kali dimainkannya. Dia mulai
merasa bosan, tapi dia dikejutkan dengan suatu getaran di
saku celananya. Ternyata ia mendapatkan SMS dari
Triyan. Inti dari SMS itu, Triyan menyuruh Caesar untuk
membuka link yang baru saja dikirimkannya sekarang
juga.
Rasa penasaran itu semakin menjadi-jadi di otak
Caesar. Dengan cekatan ia langsung mengetikkan link
tersebut ke dalam address bar di browser-nya.
Loading.........
"Beby Chaesara Anadila Dikabarkan Akan
Graduate Dari JKT48"
Tulisan itu membuat seluruh tubuh Caesar seakan-
akan kaku tak bisa bergerak. Detak jantungnya semakin
cepat. Beby adalah sahabat berwujud oshimen Caesar
sejak ia mengenal JKT48. Pantas saja tulisan tadi
menjadikan Caesar tak berdaya seperi itu.
163
"Nggak mungkin! Beby nggak mungkin grad, dia
perempuan kuat!" gumam Caesar sambil meraih HP-nya
untuk menelpon Triyan.
"Halo, gimana Sar udah di buka link-nya?" tanya
Triyan dalam ponsel.
"Bullshit! Ini semua belum fix kan?"
"Hmm... aku sih... entar aja bahasnya, jam
sembilan malem kita ketemuan di kafe biasa!"
"Ah! Okelah....aku tunggu jangan molor!"
Jam menunjukkan pukul 20.45, hujan pun tak
kunjung reda. Itu tak menjadi masalah untuk Caesar. Ia
langsung menancapkan gas mobilnya untuk menuju
sebuah kafe tempat nongkrong favorit Caesar dan teman-
temannya. Tepat pukul 21.00, Caesar tiba di kafe itu. Tak
lama kemudian, terlihat sosok pria mendekat Caesar. Itu
Triyan. Tanpa basa-basi ia langsung membahas tentang
rumor graduate Beby.
164
"Udah, Sar! Nyantai dulu ini masih rumor...,"
ucap Triyan yang berusaha menenangkan Caesar.
"Nyantai gimana? Dia sahabat kita, Yan!
Dulu...waktu Ochi grad juga sebelumnya ada rumor kayak
gini dan akhirnya dia fix grad."
"Hmm...yaudah ntar liat dulu tweet terbaru dari
Beby. Coba kamu aktifin mobile notification di HP-mu
biar ntar kalo Beby nge-tweet langsung ada
pemberitahuannya."
"Oke udah, aku takut kalo dia beneran grad," ucap
Caesar dengan wajah lesu.
Tiba-tiba Caesar dikejutkan dengan notifikasi di
HP-nya. Ternyata benar, Beby menyatakan akan
meninggalkan JKT48 di dalam waktu dekat ini.
"Anjiiiiirrrrrr!! Ini apa-apaan? Aku kudu gimana
sekarang?"
"Udahlah kamu tenang dulu, lagian dulu Ghaida
hampir grad dan akhirnya nggak jadi, itu semua gara-gara
semangat dari fans. Daripada kamu marah-marah nggak
jelas gitu mendingan kamu ngelakuin sesuatu biar Beby
165
nggak jadi grad," ucap Triyan yang kembali menenangkan
Caesar.
"Hmm...aku ada ide, aku nggak mau tau gimana
caranya besok kamu antar aku ke sebuah gunung atau
hutan yang ada bunga edelweis-nya!"
"What? Mau ngapain? Gila kamu!"
"Udah anterin aja... aku gamau Beby grad!"
"Hmmm... O... o.... okelahh... kalau kamu nggak
sahabatku aku nggak bakal mau nganterin kamu, Sar! Ada
hutan di dekat sini, tapi lumayan berbahaya. Kamu
beneran mau?"
"Terpaksa mau, demi Beby!"
Pagi ini sangat dingin, cuaca berawan
menyelimuti langit biru di atas sana. Pagi itu juga, Caesar
siap untuk menghampiri Triyan dan menuju hutan yang
dijanjikannya. Tepat pukul 06.15 Caesar sampai di depan
166
rumah Triyan dan terlihat Triyan pun sudah siap untuk
mengantarkannya ke hutan tersebut.
"Ini serius, Sar?" tanya Triyan sambil mengendali-
kan setir mobil Caesar.
"Iyalah.... Empat puluh delapan ribu rius
malahan!" jawab Caesar, bercanda.
"Gila, emang kamu mau ngapain sih?" tanya
Triyan kembali.
Caesar menghela napas. "Rencananya, aku mau
ngeliatin ke Beby perjuangan kita buat mendapatkan
bunga edelweis di hutan itu. Nah, karena itu aku bawa
handycam buat ngrekam gimana prosesnya. Kalo kita
berhasil, entar kita langsung meluncur ke Jakarta buat
ngasih rekaman, bunga edelweis dan sedikit fanletter yang
aku buat tadi malam sebagai gift buat Beby. Harapanku ini
bisa menyadarkan Beby bahwa fans juga berjuang untuk
men-support idolanya, semoga dia mengerti itu." jelasnya
kemudian secara detail.
Setelah lama mereka ngobrol di dalam mobil,
hutan yang menjadi tempat tujuannya pun mulai terlihat.
167
Mereka memakirkan mobilnya di rumah orang sekitar
hutan tersebut.
"Maaf, Pak... kita boleh nitip mobil disini?" tanya
Triyan dengan pemilik rumah.
"Siapa kalian? Mau kemana?" pemilik rumah itu
membalik bertanya.
"Hmm... saya Triyan, ini temen saya Caesar. Kita
mau cari bunga edelweis di hutan itu buat penelitian,"
ucap Triyan sedikit berbohong.
"Oh ya, silahkan! Tapi hati-hati ya, hutan itu
berbahaya, banyak orang masuk hutan itu dan tidak bisa
keluar lagi," ucap pemilik rumah itu.
"Iya... pasti Pak, kita bisa jaga diri kok! Lagian
temen saya ini di SMA ikut ekstrakurikuler pecinta alam!"
sahut Caesar.
"Hussss....!!!" sahut Triyan sambil menginjak kaki
Caesar.
"Yaudah... selamat berpetualang!" ucap pemilik
rumah kembali.
168
Dengan sigap, Caesar langsung menurunkan
peralatan-peralatan yang akan ia gunakan saat berada di
hutan itu. Ia berpikir semuanya sudah lengkap dan ini
saatnya memulai perjuangannya. Handycam dengan tali
yang terbelit di tangan Triyan, selalu fokus pada apa yang
dilakukan Caesar.
Berjam-jam mereka tidak menemukan bunga yang
diinginkannya. Matahari pun mulai terbenam, Caesar
masih terus keras kepala untuk melanjutkan pencarian
bunga itu.
"Sar, gimana kalo kita istirahat dulu, buat tenda
dulu disini gitu?" tanya Triyan yang sudah merasa sedikit
kelelahan.
Caesar melirik jam tangannya. "Aduh,
nanggung,Yan... Kita nggak punya banyak waktu," ucap-
nya kemudian.
Triyan mengerutkan dahinya. “Nanggung
gimana? Ini udah jam sepuluh lebih, Sar!” bentak Triyan
kemudian yang merasa sudah terlalu malam untuk
melanjutkan perjalanan.
169
Mendengar bentakan Triyan, Caesar sedikit kaget
hingga menundukkan kepalanya. "Emm... iya... iyadeh
Yan, maaf... kita istirahat & buat tenda dulu disini,"
jawabnya agak ketakutan dengan bentakan Triyan tadi,
hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk beristirahat
dan melanjutkan pencarian esok hari.
Pukul 04.45 Caesar mulai terbangun dan pikiran-
nya tetap masih mengarah ke bunga edelweis. Akhirnya,
Caesar membangunkan Triyan untuk melanjutkan per-
jalanan mencari bunga tersebut.
Masih seperti hari kemarin, berjam-jam mereka
mencari tak ada hasilnya. Senja pun mulai tiba kembali.
Triyan mulai putus asa, ia menghentikan langkahnya
sambil menurunkan handycam yang daritadi merekam
Caesar. "Sar, semua ini sia-sia, kita nggak akan nemuin
bunga itu," ucapnya tiba-tiba.
Mendengar pernyataan dari temannya itu, kening
Caesar mengerut. "Kamu kenapa sih, kalo nggak mau ikut
aku cari bunga itu ngomong aja?" tanyanya kesal.
"Hmm bukan gitu, bunga edelweis semakin
langka, mungkin di hutan ini udah nggak ada lagi...."
170
Caesar mendengus semakin kesal. "Aku yakin
masih ada bunga itu disini! Kalo nggak niat, kamu pulang
aja Yan, tunggu aku di rumah nanti!" bentaknya
kemudian.
"Sar, stok makanan kita udah habis!” balas Triyan
dengan bentakan bernada lebih tinggi. “Kamu kenapa sih?
Semenjak Beby jadi member JKT48 malah jadi keras
kepala gitu! Kemana kamu yang dulu?" tanyanya
kemudian dengan nada yang masih cukup tinggi.
"Hah? Aku yang dulu? Dulu aku manja, you
know? Semenjak Beby masuk JKT48, aku bisa lebih tau
arti perjuangan! Aku keras kepala? Iya, aku seperti itu
karena aku nggak akan menyerah untuk sesuatu yang
belum tercapai! Aku berusaha untuk tetap melangkah di
jalan yang aku pilih!" bentak Caesar kembali seolah-olah
tak ingin kalah, namun kali ini ia meneteskan air mata di
depan sahabatnya dan membuat Triyan terdiam membisu.
Di tengah bentakan-bentakan itu, Caesar dikejut-
kan oleh sesuatu di sebrang sungai dalam hutan itu. Bunga
yang ia cari-cari akhirnya ada tepat di depan matanya.
Namun, ia harus menyebrangi sungai yang luas itu.
171
Walaupun gelap, dalam dan arusnya deras, Caesar tetap
bertekad untuk menyebranginya seakan-akan ia memiliki
ratusan nyawa.
Melihat Caesar berjalan mendekati sungai, Triyan
juga melihat bunga itu, ia pun juga mengerti apa yang
akan Caesar lakukan saat itu. "Sar, itu aliran sungainya
deras banget, kamu beneran gila apa gimana sih? Aku
sahabatmu, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" seru
Triyan, cemas.
Caesar pun menoleh ke arah Triyan, menatapnya
tajam, penuh keseriusan. "Yan, aku tau kamu sahabat
terbaikku. Tunggu aku di sini, kita bisa berjalan sejauh ini,
jadi aku yakin aku bisa kembali, terus berangkat ke
Jakarta bareng-bareng besok. Kita berjuang bersama-sama
ya…," ucap Caesar dengan memberikan senyuman pada
sahabatnya seakan ia yakin usahanya kali ini akan
berhasil.
" Tapi, Sar….,” bantah Triyan terpenggal.
“Udah percaya sama aku, janji!” sela Caesar
menjulurkan kelingkingnya ke arah sahabatnya itu.
172
Kali ini giliran Triyan yang tak kuasa menahan air
mata khawatirnya. Hingga akhirnya ia mengangkat tangan
kanannya, kelingkingnya menyambut janji Caesar,
anggukan kepalanya menandakan kepercayaan pada
sahabatnya itu.
Dengan keberanian dan ketenangannya, Caesar
langsung menyebrangi sungai itu. Akhirnya, terlihat di
sebrang sungai Caesar berhasil mengambil bunga itu dan
memasukannya ke kantong plastik. Saatnya Caesar
kembali untuk bertemu sahabatnya lagi. Namun, saat ia
menyebrang untuk kembali, aliran sungai terasa semakin
deras.
Caesar memutuskan untuk melemparkan bunga
itu dulu ke Triyan. Sedikit lagi ia berhasil kembali. Tiba-
tiba...
KRRAAAKKKK!!!!
Kaki Caesar menginjak sebuah batu yang licin
dan membuatnya terjatuh. Triyan yang sedang merekam
dengan handycam panik, ia langsung bergerak untuk
menyelamatkan sahabatnya. Tapi... sia-sia sudah, Caesar
hanyut terbawa aliran sungai itu dan hilang. Sudah
173
terlambat, seperti mimpi buruk dalam tidur yang terlihat
mustahil, semuanya berakhir dengan hal yang tidak
berguna. Hanya ada sesal yang ada di dalam hati Triyan
sekarang.
"CAESAAAAAAAAAARRRRRR!!!"
Triyan tak tau harus berbuat apa, ia berlari menuju
jalan keluar hutan itu. Akhirnya, ia berhasil keluar hutan
itu dan meminta bantuan warga sekitar untuk mencari
Caesar. Keluarga Caesar pun sudah datang di tempat
kejadian perkara. Tetap saja, Caesar tidak ditemukan.
Kembali Triyan hanya bisa menyesali itu semua.
Berhari-hari Triyan berada dalam keadaan duka,
tak beda jauh dengan Ginsa yang juga sudah mengetahui
berita itu. Rasanya hanya ingin memutar waktu karena
baginya sahabat memiliki arti yang teramat penting dalam
kehidupan ini. Sahabat akan selalu hadir di tiap kehidupan
kita, ia dapat menghibur kita dikala kita sedih, membuat
kita tertawa, setia menemani dimasa-masa suka maupun
duka, dan selalu sabar dalam menyertai kehidupan kita.
Sahabat tidak akan pernah mencelakakan dan
memanfaatkan kita, ia tak kenal pamrih dan waktu dalam
174
menolong, ia akan melakukan sesuatu disaat kita
membutuhkannya tanpa meminta sesenpun imbalan, balas
jasa, bahkan ucapan terima kasih.
Kita dapat menemukan banyak karakter untuk
dijadikan sahabat, tetapi dalam menemukan sahabat tidak
semudah yang kita bayangkan, tidak cukup dengan
perkenalan yang singkat atau memerlukan waktu yang
lama dalam kita menilai seseorang untuk menjadi sahabat,
karena sahabat akan hadir dengan sendirinya tanpa kita
sadari dan dalam kurun waktu yang tidak dapat kita
tentukan.
Hingga pada suatu hari, Triyan berniat untuk
mewujudkan mimpi sahabatnya. Tak perlu waktu lama, ia
menancapkan gas mobilnya dan langsung meluncur ke
Jakarta.
Gift untuk Beby sudah siap. Triyan menitipkan-
nya ke security dan memohon untuk dikirimkan ke Beby
175
sekarang juga. Saat itu Beby sedang istirahat untuk latihan
terakhir sebelum melakukan theater show terakhirnya.
"Beby, ini ada kiriman buat kamu," ucap security.
"Oh ya, makasih Pak!" jawab Beby.
Melihat gift itu, Kinal sang kapten JKT48 pun
mendekati Beby. "Beb, ini kan terakhir kali kamu ada di
JKT48, nah coba buka dong gift-gift dari fans kamu,
mungkin bisa buat kamu semangat," ucapnya kemudian,
tegas.
"Iya...ayo dibuka!!" seru member-member
lainnya.
"Iya deh iya..." jawab Beby.
Hingga akhirnya, Beby membuka gift pertamanya
yang ada di tangan. Itu gift dari Caesar. Beby sangat
penasaran, kenapa di depan terlulis nama "Alm. Caesar
Wijaya"? Setelah dibuka, Beby dikejutkan oleh benda-
benda di dalamnya. Bunga edelweiss, sebuah handycam
dan sebuah kertas kecil. Kertas itu berisi tulisan dari
tangan Caesar sebelum meninggal.
176
177
Beby sedikit tercengang dengan surat itu, tidak
paham dengan sahabatnya. Rasa penasaran itu seakan
menghipnotisnya, dengan sigap tangannya meraih
handycam di dalam paket gift dari Caesar. Tanpa basa-
basi, Beby langsung memutar video di dalamnya. Video
yang tidak seharusnya ia tonton, video yang membuat
seluruh tubuhnya terasa kaku, ketidakpercayaan masih
meracuni pikirannya. Mustahil, Caesar bukan tipikal orang
yang semudah itu untuk melakukan hal yang tidak
berguna. Namun, setelah video itu berkali-kali ia putar,
rasa mustahil ia perlahan-lahan luntur. Air mata
kehilangan membasahi pipinya. Seperti mimpi, ia merasa
bersalah dengan sahabatnya itu.
“Loh Beb, kamu kenapa?” tanya Shania, teman
dekat Beby di JKT48 setelah melihat air mata bebi
berlinangan.
Beby belum bisa menghentikan derasnya air mata
itu, belum bisa menahan rasa sakitnya saat itu. Ia benar-
benar sudah kehilangan sahabat yang sudah berperan
dalam hidupnya sekarang. Tanpa jawaban, ia memberikan
paket gift dalam genggamannya kepada teman dekatnya
178
itu. Dengan rasa penasaran, Shania pun ikut membaca
hingga memutar video itu. Member-member lainnya
mengekor.
Selesai membaca dan menonton paket gift dari
Caesar, semuanya terdiam membisu seketika. Beberpa
dari mereka tak kuasa menahan air matanya. Shania yang
berada di depan Beby, langsung memeluk temannya itu.
Air matanya berlomba-lomba untuk berjatuhan, member
lainnya kembali mengekor, hingga satu petak ruangan
latihan saat itu terpenuhi oleh kesedihan. Semua member
mengerumuni Beby, satu per sayu bergantian memberikan
pelukan untuknya. Semuanya bisa merasakan kesedihan
itu. Beby menceritakan kisahnya dengan Caesar kepada
semua member setelah acara reuninya dulu. Tak heran
apabila semuanya bisa merasakan apa yang dirasakan
Beby saat itu. Hingga akhirnya pada pelukan terakhir dari
Viny, member JKT48 generasi kedua ini menatap Beby
seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Lama ia
terdiam menatap Beby, namun tidak ada satu kata pun
yang terucap dari mulutnya.
179
“Andaikan waktu itu Caesar tahu, kalau aku
nitipin sesuatu ke papanya…” ucap Beby dalam keheni-
ngan di antara tetes air mata, ia juga menyesali kepergian
papa Caesar, ternyata ia pernah menitipkan sesuatu untuk
Caesar padanya sebelum kecelakaan yang dulu
menimpanya. Kertas yang berisi satu kalimat singkat,
namun sudah cukup menjelaskan semua perasaan Beby
untuk sahabatnya selama ini.
“Temen-temen…” panggilnya tiba-tiba, masih di
antara air mata, hingga menjadi pusat perhatian, semua
yang ada di dalam ruangan itu menoleh ke arahnya. “Aku
mutusin buat nggak graduate hari ini, aku pengen
berjuang lebih lama lagi bareng kalian semua, sekaligus
mewujudkan mimpi Caesar,” ucapnya kemudian,
180
membuat detik itu juga adalah detik sejarah bagi semua
hati yang mendengar perkataan itu.
“BEBY CHAESARA ANADILA DIKABARKAN BATAL
GRADUATE DARI JKT48”
181
epilog
Rumah mungil di atas pohon, kini menjadi saksi
bisu pertemuan kembali sebuah persahabatan yang
memiliki jutaan memori tak terlupakan. Suatu luka yang
begitu menyayat, menjadikan mereka lebih dewasa.
Caesar Wijaya memang sudah tidak bersama mereka lagi,
namun kenangan tentang dirinya masih tersimpan rapi di
dalam hati mereka. Sahabat sempurna, tidak akan ada
yang bisa menggantikan Caesar sampai kapan pun.
Kini, Beby, Triyan dan Ginsa sudah berhasil
mengejar mimpinya. Beby yang sukses bersama JKT48, di
sisi lain ada Triyan dan Ginsa yang selalu bersama di
sebuah perguruan tinggi impian mereka berdua.
Hingga suatu hari, Caesar seperti hidup kembali
seakan-akan mengingatkan ketiga sahabatnya tentang
rumah kecil di atas pohon itu. Surat ajakan kecil yang
182
mereka buat saat pertama menjamah rumah itu menjadi
perantaranya.
Hari itu dimana ketiganya kosong, tidak ada satu
pekerjaan yang mengikatnya. Entah inisiatif atau mungkin
ikatan persahabatan, dengan ajaibnya surat itu seperti
menjalankan mereka untuk bertemu kembali pada rumah
dimana mimpi-mimpi mereka gantungkan di dalamnya.
“Udah siap?” tanya Triyan yang sudah akan me-
nancapkan gas mobilnya ke Bandung bersama orang yang
ia cintai, anggukan Ginsa menjadi awal perjalanan
mereka.
Di sisi lain, ada Beby yang juga bersiap di dalam
mobilnya, selain pulang ke rumahnya, ia pergi ke
Bandung sekalian sekaligus untuk mendatangi rumah kecil
di atas pohon itu, didampingi sopirnya.
Villa yang dulu seperti istana megah, kini seperti
rumah kosong yang pernah terjadi pembunuhan di
183
dalamnya. Tidak ada yang merawat. Triyan dan Ginsa
yang sudah sampai di depannya, seperti sudah tidak
memiliki rasa takut. Caesar ada di dalam rumah itu,
tinggal di sini untuk menunggu sahabat-sahabatnya, pikir
mereka berdua.
Setelah berlama-lama memandangi keadaan
sekitar, pohon yang masih berdiri kokoh dari dulu sampai
sekarang menjadi pehatian mereka. Triyan mendekati,
Ginsa mengekor. Terlihat kayu yang masih kuat seperti
dulu menampung mereka berempat, meyakinkan Triyan
untuk naik ke atasnya. Ginsa masih mengekor, percaya
dengan Triyan. Saat kaki Triyan sudah berada di anak
tangga terakhir, matanya sudah bisa melihat keadaan
ruangan di dalam rumah pohon itu. Tidak terawat, hingga
banyak sekali laba-laba yang membuat sarangnya di situ.
Namun, walaupun tidak terawat, semua barang klasik
milik Caesar masih tertata rapi di dalamnya.
Mereka berdua sudah mulai bisa merasakan
kenangan itu. Kenangan dimana pertama kali mereka
berdiri di atas rumah itu bersama-sama untuk melihat Kota
Bandung dari atas. Senyuman keduanya sama-sama
184
mengembang. Hingga akahirnya, Ginsa bergerak untuk
membersihkan rumah pohon itu, giliran Triyan yang
mengekor.
“Gin, aku turun dulu bentar ya, ada yang
ketinggalan di mobil,” ucap Triyan di sela-sela saat
keduanya sibuk membersihkan rumah itu, setelah ada
sesuatu yang menarik Triyan untuk turun kebawah.
Lagi-lagi tanpa jawaban, anggukan Ginsa menjadi
awal langkah Triyan. Ia turun meninggalkan Ginsa,
kemudian tak lama dating kembali dengan membawa
ekspresi wajah yang berbeda dari sebelumnya.
“Kenapa sih, Yan, kok senyum-senyum gitu?”
tanya Ginsa, Triyan masih dengan senyumannya, tak
menjawab satu kata pun. “Woi, jangan kayk orang
kesambet gitu dong!” bentaknya kemudian.
Bentakan itu berhasil memaksa Triyan untuk
mengeluarkan perkataannya. “Emhh… aku ada sesuatu
buat kamu,” ucapnya kemudian.
“Apa? Teddy Bear lagi? Kamu buang-buang uang
aja, udah tiga belas boneka kayak gitu kamu kasih ke aku,
185
cuma beda warna aja, Yan…”
“Enggak Gin, kali ini beda, percaya deh sama
aku,” sela Triyan.
“Beda apanya?”
“Sekarang yang aku bawa boneka Teddy Bear-nya
besar,” jelas Triyan sambil meraih sesuatu dari anak
tangga rumah pohon itu. “Ini Teddy Bear-nya Caesar, Gin!
Taraaaaa!” serunya kemudian, ternyata seorang Beby
Chaesara Anadila sudah berada tepat di atas rumah pohon
kenangan mereka. Ginsa sempat tidak percaya, kini
sahabatnya yang sudah terkenal masih ingat akan
persahabatannya selama ini.
“Arrrrrggggghhhhh Beby, kamu oshimen aku!!!”
teriak Ginsa kegirangan dan serontak memeluk sahabatnya
yang sudah bertahun-tahun hanya bisa melihatnya di
televisi sebagai idola. Air mata haru kembali memenuhi
satu petak ruangan di dalam rumah pohon ini.
Setelah membutuhkan waktu cukup lama, untuk
berbincang-bincang mengenang masa lalunya, Triyan
teringat pada sesuatu.
186
“Gin, ngomong-ngomong kamu kok cepet banget
ya bersihinnya tadi?” tanya Triyan
“Mungkin gara-gara terlalu semangat, Yan…”
jawab Ginsa.
“Atau mungkin ketakutan di atas sendirian?”
tambah Beby, menyeletuk.
“Ah oshiku sekarang suka bercanda, nih,”
“Yaelah Gin, jangan gitu dong manggilnya, aku
kan masih Beby yang dulu ingusan, nggak berubah kok,”
jelas Beby, merendah.
Perkataan itu membuat mata Triyan dan Ginsa
saling bertatapan. “Kamu berubah banget, kamu jadi lebih
cantik sekarang,” ucap Ginsa, memuji sahabatnya.
“Iyalah semua juga gitu, Gin, kalo dibandingin
dulu kan belum bisa dandan,” sahut Beby.
“Tapi Ginsa bener lho, kamu masih buat kita
berdua nggak percaya nggak percaya, auramu sudah aura
idola sekarang,” tambah Triyan, menyela. “Andaikan
Caesar ada di sini ya…,” tambahnya kembali, mengingat-
187
kan pada luka yang semestinya tidak harus ada dalam
cerita persahabatannya.
Semuanya terdiam, pikirannya mulai membayang-
kan kenangan Caesar yang masih membekas di hatinya
masing-masing. Air mata pun keluar bersama beberapa
kenangan yang berhasil mereka ingat saat itu. Masih
terdiam, hingga tiba-tiba dari bawah terdengar suara
langkah kaki menaiki anak tangga. Keajaiban sepertinya
memang sudah sengaja terkumpul untuk hari itu. Seorang
Althea Callista juga hadir di hari itu, hingga membuat
ketiga orang tadi sangat tercengang. Ini mustahil, mungkin
Caesar memang sudah mengajak kita semua yang pernah
mengisi hidupnya untuk berkumpul di atas sini.
“Halo…,” sapa Althea, sedikit canggung.
“Althea? Kamu kok…,” ucap Beby terpenggal.
Triyan tersenyum, ia manusia yang paling tenang
dengan kedatangan Althea dibanding dengan Beby dan
Ginsa.
“Aku yang ngajak dia kesini, Caesar yang
menyuruhku,” jelasnya singkat, namun sudah bisa di-
188
pahami oleh kedua temannya, Althea pun menunjukkan
kertas yang bertuliskan alamat rumah ini berada. Kertas
itu dari Caesar yang dititipkan Triyan saat berada di hutan.
Caesar sempat menjelaskan semuanya tentang Althea.
kepada Triyan saat bermalam di hutan. Saat itu juga,
Althea bergabung dengan mereka bertiga.
Masa lalu dan proses mengejar mimpi mereka
masing-masing menjadi topik perbincangan mereka
berempat. Namun lama-lama perbincangan itu kembali
menuju pada Caesar.
“Andaikan Caesar ada di sini ya,” ucap Triyan
membuka topik tentang kenangannya bersama sahabat
terhebatnya itu. “Sekarang, nggak pernah akan ada lagi
orang yang bisa menjadikan aku lebih dewasa, sekarang
aku harus bisa mandiri tanpanya,” tambahnya kemudian.
“Kalo boleh jujur, sebenernya selama ini cuma
Caesar yang setia jadi temen curhatku setiap ada masalah
sama kamu, Yan…,” ucap Ginsa, ikut masuk dalam topik
perbincangan itu.
189
“Andaikan Caesar tahu, kalau sebenernya dari
dulu aku juga udah punya perasaan yang nggak beda jauh
kayak dia, aku sayang dia…,” tambah Beby.
“Kita sama, dari TK cuma Caesar yang bisa
membuat aku tersenyum lepas selain papaku,” Althea ikut
menambahi. “Pembatas novel pertama Caesar, ada
kenangan sendiri di hatiku, A.C.C.W itu sebenernya
singkatan dari Althea Cinta Caesar Wijaya, entahlah
mungkin Caesar tidak tahu hal itu sampai sekarang,”
tambahnya kembali, menjelaskan arti pembatas novel
yang Caesar tulis, ternyata berawal dari Althea.
“Caesar tahu itu kok, dia udah jelasin ke aku lewat
surat bareng sama gift novel itu buat aku,” ucap Beby.
Perkataan Beby itu memakan waktu yang relatif
sedikit untuk membuat Althea tercengang. Suara langkah
kaki menaikki anak tangga yang menjadi penyebabnya.
Kali ini seseorang yang tidak memiliki hubungan dengan
Caesar berdiri tepat di depan mereka berempat.
“VINY???!!!”
190
Seorang Ratu Vienny Fitriliya, member JKT48
generasi kedua itu membuat Triyan, Ginsa, Beby dan
Althea sangat terkejut.
“Maaf, aku juga mendapat surat ajakan itu sama
seperti kalian semua, sebenernya aku juga nggak tahu
kenapa Caesar menyuruhku buat kesini…”
191
192
Bayangan itu datang kembali, mimpi yang samar-
samar selalu mengahantui setiap tidur malamnya. Saat
terbangun bayangan itu seperti terlihat jelas di depan
matanya walaupun hanya beberapa detik. Entah ilusi mata
atau apalah, itu selalu terjadi beberapa minggu terakhir ini.
Darriel Agatha Wijaya, bocah berpawakan tinggi,
berkulit sawo matang, berambut lurus dan berkacamata.
Sejak berumur 3 tahun, Darriel sudah tinggal bersama
neneknya. Ia ditinggal Mama, Papa dan adiknya saat
kecelakaan pesawat beberapa tahun silam. Hal itu yang
selalu membuatnya kesepian dan menjadi seseorang yang
sangat pendiam. Namun, sejak berumur 13 tahun ia
bermimpi untuk menjadi penulis novel. Darriel tak pernah
absen mengunjungi perpustakaan di ujung kota. Tanpa
adanya bakat, ia selalu mencari referensi buku di
perpustakaan itu. Namun, tak ada satupun inspirasi dan
materi yang ia miliki selama 2 tahun lebih itu. Hingga
akhirnya perpustakaan itupun dikabarkan akan tutup.
Matahari sudah berada di ufuk barat. Darriel
berniat untuk meminjam bahkan membeli satu buku lagi
untuk yang terakhir kalinya di perpustakaan itu.
193
"Maaf dek, perpustakaan ini mau tutup," ujar
seorang kakek penjaga perpustakaan itu.
"Aduh, kek... padahal saya pengen beli satu buku
terakhir di perpustakaan ini, saya siap bayar mahal, kek!"
sahut Darriel.
"Hmm... bukunya udah dipaketin semua jadi
nggak ada satu buku yang tersisa, tapi kalau kamu mau...
ada satu buku favorit kakek dari perpustakaan ini..."
"Nah… itu buku apa ya kek?" sahut Darriel me-
motong pembicaraan kakek itu.
"Gini... jadi ceritanya tiga tahun yang lalu ada
seseorang penulis muda yang ngasih bukunya kesini,
kakek baca-baca ceritanya nggak kayak seorang 16 tahun
yang nulis, dia penulis hebat... kamu mau?" tanya kakek
itu.
"Mau banget, kek!"
Dengan sigap, kakek itupun meraih suatu buku
yang ia simpan di dalam lemarinya. "FROM A SHADOW"
tulisan yang tampak jelas di cover buku tersebut
membuat Darriel penasaran dengan isi buku itu.
194
"Hmm… yaudah ini buat kamu nggak usah bayar,
simpen aja, rawat baik-baik ya…," ujar kakek tersebut
sambil memberikan buku itu kepada Darriel.
"Makasih banget, kek!" sahut Darriel dengan
kegirangan.
Tanpa berpikir lama, Darriel yang masih
kegirangan mendapatkan buku itu langsung menancapkan
gas mobilnya dan bergegas pulang ke rumah. Darriel tak
sabar membaca buku yang ia dapatkan dari kakek tadi.
Namun dalam perjalanan ke rumah, secara tiba-tiba ban
mobilnya bocor, untungnya di sebrang jalan ada bengkel.
Ia langsung banting stir menuju bengkel itu. Sambil
menunggu ban mobilnya ditambal, Darriel membuka buku
yang terbungkus warna krem itu. Pertama kali dibuka, ia
dikejutkan dengan sepucuk kertas dengan tulisan
"Welcome to my parallel dimensions, clear your logic!".
Darriel tidak paham apa arti dari tulisan itu, yang ia
pikirkan hanyalah suatu kata mutiara dari penulis buku itu.
Ia membalik selembar halaman dan terlihat di atas dengan
judul "Behind You", baru selesai membaca judul tersebut
tangan Darriel terasa sangat berat hingga akhirnya buku
195
itu terlepas dari genggaman eratnya. Tiba-tiba dari
belakang, seseorang yang cukup tua dan tidak dikenal
berpenampilan tak beraturan seperti orang gila menepuk
bahu Darriel.
"Bayangan dalam dunia paralel itu nyata...," ujar
orang misterius itu dengan lirih dan langsung berjalan
meninggalkan Darriel.
Ia tak paham apa maksud orang itu, Darriel hanya
berpikir bahwa ia baru saja mendengar kata-kata yang
sama persis dengan apa yang dibacanya dalam buku tadi.
Hal itu membuat Darriel memalingkan wajahnya ke arah
dimana buku itu terjatuh dari tangannya. Ia kembali
dikejutkan oleh buku itu dengan posisi tertutup dan
sepucuk kertas yang menyinggung tentang "dimensi
paralel" itu keluar di atas cover. Darriel mulai curiga
dengan buku itu. Tangan kanannya meraih handphone
yang berada di kantongnya. Dengan cekatan, ia langsung
menyentuh menu internet dan mengetikkan kata "dimensi
paralel" ke dalam address bar.
196
"Dimensi yang menghadirkan
realitas maya dan berjalan sejajar
dengan realitas kita."
Kata-kata itu membuat Darriel bertanya-tanya
dalam hatinya, ia meyakini buku itu datang dari dunia
lain. Setelah beberapa menit, ban mobilnya sudah selesai
diperbaiki. Ia langsung bergegas menuju rumah untuk
menyelidiki kasus ini.
Satu jam lebih akhirnya Darriel sampai di rumah.
Ia berlari menuju kamarnya dengan membawa buku tadi.
Tanpa berpikir lama, ia menekan tombol power pada
komputernya. Saat itu juga, ia menyelidiki darimana buku
itu berasal melalui internet. Ternyata, buku itu ditulis oleh
penulis muda―Caesar Wijaya yang tiga tahun yang lalu
hilang terseret derasnya arus sungai di dalam hutan. Hal
itu membuat Darriel mengerti apa arti dimensi paralel
yang ditulis dalam buku itu. Ia mencoba kembali
membuka halaman dimana terdapat judul "Behind You"
ditulis. Tangannya tidak terasa berat lagi saat
membacanya, namun tiba-tiba...
197
PYAAARRRRRR!!!
Lampu di kamar Darriel pecah. Di dalam
kegelapan, ia langsung mengambil lampu emergency di
sebelah meja belajarnya. Lampu itu cukup menerangi
ruangan kamarnya. Saat ia akan kembali duduk dan
melanjutkan untuk membaca buku tadi, lagi-lagi Darriel
dikejutkan dengan hal aneh. Pintu lemari di kamarnya
terbuka, namun hal itu tidak membuatnya takut. Ia
mendekati lemari itu secara perlahan-lahan, tangannya
mulai meraih ujung pintu lemari dan membukanya hingga
lebar. Seketika seluruh tubuh Darriel dingin dan kaku
ketika melihat boneka dengan posisi duduk dan membawa
amplop misterius di dalam lemarinya. Boneka dan amplop
misterius itu membut Darriel penasaran, sehingga ia
bergegas mengambilnya dan berlari keluar kamarnya.
Tangan dan jemarinya yang masih gemetar itu
membuka dan meraih kertas di dalam amplop misterius
tadi. Kode apa lagi ini? Lagi dan lagi, melihat tulisan
dalam kertas itu Darriel merasa di teror oleh mahkluk dari
alam lain.
198
"Hapus semua logika dalam otakmu!" tulisan
dalam surat misterius itu
Namun hal itu tak membuat keberaniannya luntur,
Darriel melakukan apa yang ditulis dalam kertas itu. Ia
berniat melakukan hal yang tak tahu apa yang harus ia
lakukan sekarang. Menghapus logika dan mempercayai
bahwa semua hal bisa terjadi di dunia ini, yang akhirnya
Darriel lakukan. Hingga akhirnya dengan perlahan ia
dapat membaca isi cerita di bawah judul "Behind You"
tadi. Ternyata, selama hidupnya seorang Caesar Wijaya
menulis tentang sosok wanita yang ingin ia jaga dan selalu
berada di belakangnya untuk mendorong agar bisa meraih
apa yang wanita itu lakukan. Dalam buku itu, sosok
wanita yang dimaksudkan adalah Beby Chaesara Anadila.
Cerita pertama terselesaikan. Jemarinya mulai
membalik lagi halaman berikutnya, kini tulisan baru
terlihat jelas di depan matanya, "Find Yourself!".
"Apa lagi yang harus aku lakukan?" gumam
Darriel.
Bola matanya mulai melirik ke bawah judul itu.
Hal itu terjadi kembali, tangannya terasa berat dan buku
199
dalam genggaman eratnya terlepas hingga terjatuh dalam
keadaan seperti saat di bengkel mobil. Darriel sudah mulai
tertekan dengan teror ini. Ia mengambil buku dan boneka
itu, mengemasnya ke dalam kotak. Saat itu juga, buku dan
boneka yang terkemas kotak dalam genggaman tangannya
ia lemparkan ke sungai kecil di sebrang rumahnya.
Malam yang kelam, seperti tak nyata. Seakan-
akan semua khayalan datang menyerang Darriel malam
ini. Mulai detik itu, Darriel ingin melupakan semua yang
baru saja terjadi. Memori-memori itu dianggapnya tak
pernah hadir dalam hidupnya. Dan hari esok pun sangat
ditunggunya saat ini, ia ingin cepat merasakan kenyataan
kembali. Saatnya tidur.
Roh Darriel melayang-layang dan perlahan-lahan
menginjak dunia mimpi. Dunia mimpi kali ini bisa
dikatakan aneh. Petang, hanya warna hitam, kegelapan
yang ia lihat. Sesekali muncul bayangan yang berjalan
begitu cepat dalam kegelapan. Waktu terus berjalan,
hingga akhirnya mata ilusi dalam roh Darriel melihat
cahaya terang di ujung kegelapan itu. Darriel mencoba
berlari mendekati dan meraihnya, namun semakin ia
200
mendekati cahaya itu semakin menjauh. Hal itu tak
membuatnya putus asa, Darriel tetap berusaha untuk bisa
sedekat mungkin dengan cahaya yang selalu menjauh
darinya itu. Tiba-tiba...
WOOOSSSSHHHH!!
Ia seperti jatuh ke dalam jurang kegelapan tanpa
dasar. Saat itu ia masih dalam keadaan tidur. Rohnya
belum kembali ke dalam tubuhnya, namun otaknya sudah
bisa merasakan dunia nyata. Hingga ia memberontak
untuk bangun. Seakan-akan tubuhnya tertindih oleh
sesuatu yang besar dan membuatnya tak bisa bergerak
bahkan bernapas. Kejadian itu hanya terjadi beberapa
detik, jam menunjukkan pukul 03.13. Darriel terus
memberontak, hal itu membuat ia terjatuh dari kasurnya
saat ia berhasil kembali ke dunia nyata―Sleep Paralyze.
Perlahan-lahan matanya terbuka menghadap kolong
tempat tidurnya. Saat sepenuhnya sadar, ia dikejutkan
dengan boneka yang ia buang di sungai tadi malam.
Boneka itu kembali menerornya dengan amplop dan surat
misterius.
201
"Bunga itu... ada dalam lemarimu!" tulisan dalam
surat misterius itu.
"Oke, oke! Kali ini aku memenuhi permintaanmu.
Tapi tolong siapa pun kamu, jangan ganggu aku terlalu
lama. Aku ingin hidup bebas kembali!" ucap Darriel
sedikit teriak dengan wajah yang cukup kesal.
Darriel bergegas membuka lemarinya, tampak
setangkai bunga edelweis berlumuran darah tergeletak di
ujung lemarinya. Ia memberanikan diri untuk menjulurkan
tangan dan meraih bunga itu. Saat jemarinya mulai
menyentuh bunga itu, terdengar gebrakan dari jendela
kamar yang semula tertutup menjadi terbuka lebar.
Terlihat samar-samar coretan darah di kaca jendela itu
yang bertuliskan, "Kemarilah, lihat aku!". Tulisan itu
seolah-olah seperti menghipnotis Darriel, ia berjalan ke
arah jendela itu. Mula-mula, matanya melirik ke salah satu
sudaut taman di luar kamarnya. Hanya kegelapan yang ia
lihat hingga ia mengalihkan pandangannya perlahan-
lahan. Sampai di sudut lainnya, ia dikejutkan oleh bocah
kecil berwajah pucat dengan kaki berlumuran darah.
Seketika bocah itu menoleh dan tersenyum ke arah Darriel
202
sambil menunjukkan sebuah kertas dengan tulisan
"Seseorang di belakangmu..." Dengan cekatan Darriel
mengalihkan pandangan dan menutup jendelanya. Saat ia
akan membalikkan badannya dan menoleh ke belakang,
telapak tangan yang cukup besar menutupi kedua mata
Darriel dengan sangat erat. Darriel pun memberontak.
"Woy, siapa kamu?!!" teriak Darriel
"Tenanglah, lakukan semua hal yang menurutmu
aneh itu, kamu akan mendapatkan apa yang kamu
inginkan kelak!" jawab mahkluk misterius itu dengan
suara serak dan cukup berat seperti raksasa dalam
dongeng Timun Mas.
Tiba-tiba, obat bius seperti disuntikkan ke dalam
tubuh Darriel hingga ia tak sadarkan diri.
"Iel bangun... kamu kenapa? Sadar Iel!" seru
nenek Darriel yang berusaha menyadarkan Darriel.
"Hah? Dimana raksasa itu?" tanya Darriel
ketakutan saat sadarkan diri.
"Hahahaha... kamu udah gede masih nglindur
aja." celetuk neneknya sambil tertawa geli.
203
"Yaelah... beneran nek, barusan ada raksasa
disini!" sahut Darriel.
"Dasar bocah, udah… ayo bangun bersihin
kamarmu!" suruh neneknya.
Darriel mendengus kesal. Celetuk neneknya tadi
seakan-akan menganggap perkataanya seperti cerita
dongeng anak kecil. Dengan langkah kesal, ia
membersihkan kamarnya. Saat tangannya mulai menarik
bantal, sedikit demi sedikit menjadi tampak jelas di depan
matanya, boneka itu datang lagi dengan amplop misterius
yang sama dan isi surat yang selalu berbeda.
"Keluarlah, kamu akan menemui seseorang wanita
mengenakan kaos bercorak bunga, berjaket coklat dan
bertopi. Berikanlah bunga edelweis itu kepadanya dan
akan kukirimkan lagi hingga 13 bunga untuk hari-hari
selanjutnya. Dan jangan pernah menyinggung tentang hal
aneh selama ini atau kamu akan merasakan akibatnya!"
tulisan dalam surat misterius itu.
Dengan cekatan namun terpaksa, Darriel me-
ngambil bunga edelweis itu dan berlari keluar rumah.
204
Wanita itu benar-benar ada di depan rumahnya, perlahan-
lahan Darriel mendekatinya. Darriel terdiam sejenak.
Saat Darriel mendekat dan terdiam, wanita itu
menolah ke arahnya. Dahinya mengkerut, kepalanya
perlahan-lahan miring menatap Darriel.
"Emm... ada apa kak?" tanya wanita itu.
"Eh.. ehmm.. nggak apa-apa kok, kenalin aku
Darriel Agatha Wijaya, panggil aja Iel…," sahut Darriel
dengan menjulurkan tangannya.
Mendengar perkataan Darriel, wanita itu merasa
ada sesuatu dengan nama itu. Tiba-tiba kepalanya menjadi
terasa pusing. Namun ia tetap menahannya.
"Oh... Aku Viny!" sahut Viny yang tangan kirinya
menahan kepalanya dan tangan kanannya menyambut
juluran tangan Darriel tadi.
Secara tiba-tiba dan entah mengapa, Darriel
langsung mengetahui apa yang Viny rasakan saat itu.
"Kamu kenapa? Pusing? Mampir ke rumahku dulu aja..."
Viny menghela napas, ia terlihat berusaha untuk
kuat. "Enggak deh, makasih... aku mau pulang aja..."
205
Saat Viny membalikkan badan untuk meninggal-
kan tempat itu, tiba-tiba tangan Darriel seperti menceng-
keram tangannya untuk menahannya sejenak.
"Ini buat kamu...," Darriel memberikan bunga
edelweis itu.
"Eh... ini kan..."
"Ini apa?" tanya Darriel memotong perkataan
Viny.
"Ehm... bukan, ya udah aku mau pulang...," Viny
menjauhi Darriel dengan membawa bunga itu menuju
rumahnya.
Hal itu terus terjadi hingga 12 hari ke depan.
Setiap malam, Darriel selalu dihantui dengan mimpi yang
sama. Bayangan dalam dimensi paralel itu seakan-akan
berubah menjadi boneka dalam dunia nyata. Entah apa
maksud dari bunga itu dan apa hubungannya dengan Viny.
Setiap pertemuan mereka, tak beda jauh dengan
pertemuan pertama. Mereka selalu sedikit melakukan
percakapan disertai kepala Viny yang pusing secara tiba-
tiba setiap menatap Darriel. Namun, dengan pertemuan
206
berkali-kali itu, Darriel mulai tertarik dengan Viny. Ia
merasa ada yang berbeda dari Viny dengan wanita-wanita
lain.
"Iel, aku...," wajah Viny terlihat pucat di hari
terakhir, ia sudah tidak kuat lagi dengan kepalanya, hingga
akhirnya ia jatuh pingsan.
Darriel yang melihat kejadian tersebut, bergegas
menggotong Viny ke dalam rumahnya dan membaringkan
di atas sofa di ruang keluarga.
"Iel... itu siapa?" tanya neneknya.
"Eh nenek... ini temenku namanya Viny, tadi tiba-
tiba dia pingsan," sahut Darriel
"Pingsan? Duh... ya udah cepetan kamu buatin teh
anget gih, biar nenek yang urus temenmu ini," jawab
neneknya setelah terkejut mendengar seseorang pingsan di
rumahnya.
Tanpa berpikir lama, Darriel bergegas menuju
dapur untuk membuatkan Viny teh hangat. Saat kakinya
sudah mulai menginjak lantai dapur, lagi-lagi boneka itu
datang dengan misi misterius lain kembali.
207
"Ikatlah rambut wanita itu...," tulisan dalam surat
misterius itu kali ini.
"Ah shit! Oke oke okeeeeee!!!" teriak Darriel
yang sangat kesal itu.
"Iel... ada apa?" seru neneknya dari dalam ruang
keluarga yang baru saja mendengar teriakan Darriel itu.
"Nggak nek....," sahut Darriel.
"Mana teh angetnya?" seru neneknya kembali.
"Iya ini nek... gimana nek, Viny udah siuman?"
tanya Darriel, mendekati dan memberikan teh buatnnya ke
neneknya itu.
"Tunggu aja bentar lagi, mungkin dia cuma
kecapekan," jawab neneknya.
"Hmm... atau mungkin dia gerah, coba ikat
rambutnya nek..."
Dengan terampil, tangan neneknya mengikat
rambut Viny. Tiba-tiba sang nenek dikejutkan dengan
tanda lahir di belakang leher Viny.
"Ratu..........," ucap neneknya lirih.
208
Mendengar satu kata aneh dari neneknya, kening
Darriel mengerut. "Apa nek? Siapa Ratu?" tanyanya
kemudian, penasaran.
Neneknya menghela napas. "Bukan siapa-
siapa...Viny kelihatan cantik kayak ratu di kerajaan kalau
rambutnya diikat kayak gini."
Ditengah pembicaraan mereka, tiba-tiba...
"Dimana aku?" tanya Viny yang baru saja sadar.
"Tenang dulu... kamu barusan pingsan, sekarang
kamu ada di rumahku. Oh ya, kenalin ini nenekku...," ujar
Darriel.
Dengan keadaan pengumpulan nyawa, Viny
menoleh lemah ke arah nenek Dariel. "Maaf nek udah
ngrepotin gini...," ucapnya kemudian.
Mata neneknya berkaca-kaca menatap Viny.
"Nggak apa-apa kok. Lagian gara-gara kamu, Darriel jadi
punya temen sekarang, sering-sering main kesini aja..."
Jarum pendek jam terus berjalan, Viny dan Darriel
berbincang-bincang, bertukar nomor dan sempat curhat
209
cukup lama―sesaat setelah neneknya pergi meninggalkan
mereka berdua.
"Iel... tadi nenekmu bilang, gara-gara aku kamu
jadi punya temen sekarang... emang kamu nggak punya
temen?" ucap Viny dengan wajah yang sedikit canggung
untuk menanyakan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
"Ehmm... aku nggak tau apa artinya temen Vin,
aku udah terbiasa hidup sendiri."
"Iel... denger aku ya, manusia itu mahkluk yang
lemah, mereka nggak bisa hidup sendiri... mereka pasti
bakal membutuhkan seseorang suatu hari nanti. Nah,
orang yang bisa deket sama kamu itu cuma temen...”
"Aku masih punya nenek yang deket sama aku...,"
sahut Darriel memotong kata Viny.
"Dengerin dulu, nggak selamanya kamu bisa
hidup sama nenekmu, nggak selamanya nenekmu akan
bisa terus di sampingmu. Kamu butuh temen, Iel...Temen
itu seseorang yang selalu berdiri untuk membantu kita...,"
ujar Viny kembali.
210
"Entah ya Vin... dari dulu sampai sekarang, baru
ini bisa sedeket ini sama cewek... baru kamu yang bisa,"
ujar Darriel
"Kenapa?"
"Aku minder aja Vin... apalagi kalo cewek itu
cewek yang terkenal gitu, mentang-mentang temennya
banyak bisa sombong kayak gitu..."
Sekarang Viny tahu, Darriel adalah tipikal cowok
yang selalu minder kalau bertemu dengan lawan jenis,
apalagi kalau seseorang itu cukup terkenal, Darriel tidak
akan pernah melirik pun orang itu. Dan ternyata, Viny
adalah wanita pertama yang bisa sedekat ini dengannya.
Hal itu membuat mereka semakin dekat hingga lupa
waktu.
"Iel... sekarang jam berapa?" tanya Viny.
"Jam sebelas lebih, Vin....," jawab Darriel sambil
melirik jam tangannya.
"Aduh...," keluh Viny sambil menepuk dahinya.
"Kenapa Vin?" tanya Darriel penasaran.
211
"Ada sesuatu penting banget nih, aku pulang dulu
ya... tolong pamitin nenekmu, maaf udah ngrepotin...,"
sahut Viny dengan cepat-cepat meninggalkan rumah
Darriel tanpa mendengar ucapan balasan dari Darriel.
Enam hari berlalu, tak ada kabar apa pun dari
Viny.
"Nek, menurut nenek Viny kemana ya? Udah
enam hari dia nggak kesini lagi, malah nggak pernah
keliatan," tanya Darriel.
"Mungkin dia sibuk sama kuliahnya...," jawab
santai dari nenek.
"Masa iya selama hampir seminggu nggak ada
waktu kosong sekalipun?" tanya Darriel kembali.
"Hmm... emang kenapa sih? Jangan bilang kalau
kamu suka sama Viny....," tanya neneknya balik.
"Kalau iya, emang kenapa nek?" sahut Darriel.
212
"Ehmm... menurut nenek lebih baik kalian
temenan dulu aja deh, masih banyak mimpi yang harus
kalian raih...," celetuk neneknya.
"Ah nenek..."
Neneknya tertawa ringan. "Yaudah kalo kangen,
telpon aja gih!"
Jemari Darriel mulai menyentuh layar HP-nya,
contact-Viny-call... Hingga akhirnya Viny mengangkat
panggilan dari Darriel. Viny meminta maaf pada Darriel,
ia mengaku sibuk dengan kuliahnya dan jarang memegang
HP-nya akhir-akhir ini. Sebagai tanda permohonan maaf,
Viny mengajak Darriel ke kafe langganannya malam itu
juga. Darriel terlihat sangat kegirangan mendengar ajakan
Viny itu. Ia langsung menancapkan gas mobilnya menuju
kafe itu.
"Eh Iel... maaf ya telat, udah lama nunggunya?"
"Nggak kok, aku juga barusan nyampek. Oh iya,
kamu ngajak kesini ngapain?"
213
"Sebagai tanda permintaan maafku, kamu boleh
curhat malam ini sepuasmu, aku bakal dengerin," ujar
Viny.
"Hmm...curhat apa ya? Kalau tanya sesuatu aja
sama kamu gimana?" tanya Darriel.
"Tanya apaan?"
"Hmm... menurut kamu pacaran itu buat apasih?"
tanya Darriel yang membuat Viny terkejut mendengarnya.
"Ya mana aku tau, aku aja belom pernah
ngrasain...," jawab Viny.
"Beneran?"
"Iya...."
"Kamu mau nggak jadi pacarku?" pertanyaan
Darriel yang membuat Viny hampir pingsan kembali.
"Nggak lucu ah candaanmu...," Viny dibuat salah
tingkah dengan pertanyaan Darriel tadi.
"Aku serius, Vin!"
"Ehmm... Aku... aku... Maaf Iel, bukannya aku
nggak mau, tapi lebih baik kita temenan kayak gini dulu
214
aja, menurutku pacaran cuma indah di awalnya aja," ujar
Viny.
"Hmm... oke lupain, aku kayak anak kecil ya?
Maaf, tapi aku takut kalau suatu hari nanti kamu ngelupain
aku...," sahut Darriel.
"Nggak Darriel, aku nggak bakal ngelupain
kamu... kamu udah aku anggep kayak kakak sendiri. Jujur
aja aku nggak mau pacaran, itu juga gara-gara aku takut
kehilangan kamu sebagai temen kalau semisal putus
nanti," ujar Viny
Rumus-rumus fisika tampak jelas tertulis di papan
tulis. Seluruh penghuni kelas mulai memaksa otaknya
untuk meladeni rumus-rumus itu. Namun tidak termasuk
Darriel, otaknya tidak fokus, matanya melihat ke atas
dengan pandangan semu serta senyuman yang tak henti-
henti itu. Kata-kata yang Viny lontarkan saat di kafe,
membuatnya seakan-akan terhipnotis.
215
"Eh lo kesambet ya, daritadi senyum-senyum
sendiri...," tanya Arga teman sebangku Darriel.
"Lagi kasmaran, Ga...," bisik Darriel.
"Eh gue nggak salah denger nih? Seorang Darriel
Agatha Wijaya, lagi jatuh cinta? Sama siapa?" tanya Arga
kembali.
"Sama dia, Ga...," Darriel menunjukkan foto
Viny.
"Ahahanjirrr... elo mah delusi!" sahut Arga sambil
menjenggungkan kepala Darriel.
"Delusi apaan sih?" tanya Darriel kebingungan.
"Ini namanya Viny kan? Ini member JKT48
nyeeeet!" jelas Arga yang tidak terima sebagai wota.
"Nggak... nggak mungkin!" sahut Darriel dengan
menggeleng-gelengkan kepala.
"Oke... oke... gini aja, besok ikut aku nonton
perform JKT48 di theater, biar tambah delusi..." ujar Arga.
"Tai ah sama delusi, aku kenal deket sama
Viny....," sahut Darriel kembali.
216
"Tai ah sama sok kenal, besok buktiin aja...," ucap
Arga sebagai wota―Fans JKT48 garis keras,
menantang.
Tiga hari berlalu, mereka berdua sama-sama
mendapatkan verif. Dan benar, dalam panggung itu
tampak jelas wajah Viny ditambah member-call fans yang
menyorakkan nama Viny. Benar! Ternyata, selama ini
Viny berbohong kepada Darriel. Viny sering sekali sibuk
bukan untuk masalah kuliah, ia sibuk oleh latihan dan
theater. Selain itu, Viny tidak mau menerima Darriel juga
dikarenakan golden rules dalam idol group tersebut. Sesi
handshake pun tiba...
"Thanks... udah bohong...," ujar Darriel dengan
wajah kecewa saat bersalaman dengan Viny.
"Iel... aku...," sahut Viny yang ia potong sendiri
karena ia menyadari saat itu masih banyak fans yang ada
disitu.
217
Bulan demi bulan berganti, tak ada lagi terror dari
boneka misterius itu. Kini Darriel mulai melupakan Viny.
Ia tak lagi percaya dengan arti cinta dan persahabatan. Ia
menganggapnya hanya sebuah hubungan maya yang
penuh dengan kebohongan.
Selasa malam. Darriel berniat melanjutkan hobi
lamanya, menulis novel. Sedikit demi sedikit materi ia
dapatkan malam itu. Ia membuka-buka buku referensi
dalam lemarinya. Hingga akhirnya, ia menemukan buku
"FROM A SHADOW" kembali. Hal itu membuatnya
seperti dihantui hal-hal aneh seperti dulu. Ia teringat saat
ia gagal membaca cerita di bawah judul "Find Yourself!"
waktu itu.
Kini ia mencobanya kembali dan ternyata ia
berhasil. Cerita itu menceritakan bahwa kadang sahabat
bisa menjadi cinta. Namun, cinta untuk sahabat berbeda
dengan cinta untuk pacar. Cinta untuk sahabat akan
selamanya ada, sedangkan cinta untuk pacar hanya ada di
awal saja. Hanya keegoisan yang bisa merusak keduanya,
namun hanya sahabatlah yang bisa menerimamu kembali.
Karena sahabat adalah seseorang yang mau menunjukkan
218
di mana letak kesalahanmu, bukan seseorang yang
membicarakanmu di belakang dan membiarkanmu tetap
dengan kesalahan yang kamu perbuat tanpa tahu apa yang
salah.
"Iel... kamu udah tidur?" seru neneknya dari luar
kamar Darriel.
"Belum nek..."
"Nenek boleh masuk? Nenek mau cerita..."
"Boleh nek, masuk aja nggak di kunci kok
pintunya."
Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba nenek Darriel
bercerita menyinggung Mama, Papa dan adik Darriel yang
meninggal karena kecelakaan pesawat beberapa tahun
yang lahu, saat Darriel berumur 2 tahun. Neneknya
berkaca-kaca dan sempat terdiam sejenak.
"Adikmu masih hidup, Iel...," ujar neneknya.
"Apa?!! Nggak... nggak mungkin, kenapa dia
nggak balik? Dimana dia sekarang?" tanya Darriel yang
juga mulai meneteskan air mata.
219
"Kamu inget tanda lahir di belakang leher Viny?
Itu sama persis sama tanda lahir adikmu, Ratu....."
"Jadi maksud nenek, sebenernya Viny itu..."
"Iya bener, Iel... dia hilang ingatan...," sahut
neneknya yang memotong perkataan Darriel.
"Aku harus gimana nek? Aku sayang Viny, cuma
dia yang bisa buat aku tersenyum...," tanya Darriel.
"Satu-satunya cara, kamu harus ngembaliin
ingatannya pelan-pelan, dulu dia suka sama boneka ini...
mungkin ini bisa membantu," jelas neneknya sambil
memberikan boneka panda―boneka yang dulu tidak
pernah absen pada pelukan Viny.
Mulai saat itulah Darriel mencoba untuk
berhubungan kembali oleh Viny. Hingga akhirnya,
hubungan mereka kembali membaik. Dan sejak itulah
Darriel terus mencoba mengembalikan ingatan-ingatan
adiknya itu dengan menyinggung hal-hal yang pernah
Viny lakukan sebelum hilang ingatan. Hingga suatu hari...
"Vin... aku boleh tanya sesuatu?"
"Tanya apa?"
220
"Kamu pernah naik pesawat?"
Viny mulai mengingat. "Hmm... kayaknya sih
pernah, tapi udah lupa kapan. Kenapa?"
"Nggak takut gitu, kalau semisal pesawatnya
jatuh?" tanya Darriel semakin menekan.
Viny pun mulai merasakan pusing, ia menekan
kepalanya dan mencoba untuk kuat.
"Ehmm... nggak... tau... Iel," jawab Viny dengan
kata-kata yang sudah terpatah-patah.
"Oh... kamu pernah punya boneka kayak gini?"
tekanan terus diberikan Darriel dengan menunjukkan
boneka kesayangan Viny dulu.
"Bo...ne..kkkk...," ujar Viny terbata-bata, sudah
tak tahan lagi dengan kepalanya.
Hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Tak butuh
waktu yang lama, Viny perlahan-lahan kembali sadar.
Tiba-tiba...
"Nenek... kakak...," ucap Viny dan serontak
memeluk nenek dan kakaknya itu.
221
Akhirnya Viny ingat dengan memori-memori itu.
Hal itulah yang membuat papa dan mama angkat Viny
merelakannya untuk hidup kembali dengan saudara
kandungnya itu. Semenjak itulah mereka hidup bersama-
sama dengan bahagia.
Selain pertemuan antara adik dan kakak yang
sudah lama terpisah, saat itu juga terungkap tentang
boneka misterius yang selalu meneror Darriel selama ini.
"Vin... aku boleh tanya sama kamu?"
"Boleh... tapi please jangan buat aku pingsan lagi
kak...," ujar Viny dengan bercanda.
Darriel tertawa ringan. "Enggaklah... bunga
edelweis apa kabar?"
"Baik-baik aja, Iel... sekarang dia udah di tangan
temenku, Beby.”
"Hah? Beby? Bukannya dia sahabat seorang
penulis muda yang meninggal itu?" tanya Darriel.
"Nah... kok kakak bisa tau?" tanya Viny balik.
"Aku punya bukunya, Vin..."
222
"Kamu punya buku itu... jadi selama ini kamu
juga kenal sama boneka Caesar Wijaya?"
"Boneka Caesar Wijaya?"
"Iya... boneka yang selalu meneror semua orang
yang berhasil membaca buku itu. Caesar Wijaya tak bisa
lagi hidup di dunia ini, tapi boneka itu dimanfaatkannya
untuk perantara.
"Jadi boneka itu milik Caesar? Jadi selama ini
kamu juga..."
"Iya bener...t api aku udah terbiasa sama terror itu,
aku tau Caesar nggak mau kehilangan sahabatnya. Satu-
satunya cara memberi kabar untuk Beby bahwa ia baik-
baik aja di dalam dunia lain, hanya dengan memberikan
gift melalui boneka itu," jelas Viny.
Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba...
"Tok... Tok... Tok!!!"
Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah
Darriel. Mereka berdua bergegas keluar rumah, tak ada
tanda-tanda manusia berada di sekitarnya. Saat keempat
mata dua orang itu melihat ke bawah, kejutan terakhir ada
223
di depan kakinya. Boneka itu datang kembali. Kali ini,
boneka itu tidak hanya membawa surat misterius, boneka
itu juga membawa 5 box dengan masing-masing nomor di
atasnya.
"Buka box itu, sesuai dengan nomor!" tulisan
dalam surat misterius itu.
Darriel membuka box nomor 1. Nampak dengan
jelas, terdapat surat dan buku di dalamnya.
"Pekerjaan yang sulit dicapai, akan
menghasilkan sesuatu yang sulit juga untuk
dilupakkan. Selamat bertemu adikmu kembali,
semoga bahagia selamanya."
-Caesar Wijaya-
Setelah membuka surat itu, Darriel meraih buku
dengan cover bertuliskan "THE SHADOW'S TERROR". Ia
dikejutkan dengan namanya yang tercantum di dalam
buku itu sebagai author dan Caesar Wijaya sebagai editor.
224
Selain itu, cerita yang ditulis dalam buku itu sama persis
dengan kisah Darriel selama ini. Ternyata, seorang Caesar
Wijaya membuatkan novel yang Darriel impikan sejak
bertahun-tahun silam.
Kali ini box nomor 2, giliran Viny yang mem-
bukanya.
"Katakanlah kejujuran walaupun itu pahit
rasanya. Selamat bertemu kakakmu kembali,
semoga bahagia selamanya."
-Caesar Wijaya-
Box nomor 3, mereka mencoba membuka
bersama-sama, tiba-tiba...
"Tunggu, itu buat aku...," seru seorang wanita
yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah mereka.
"Althea....," sahut Viny dengan sangat terkejut
seorang Althea Callista, teman Caesar sejak TK berada di
depannya saat itu.
225
"Iya Vin, aku sama seperti kalian, boneka itu
menyuruhku membuka box nomor 3 itu...," jelas Althea
dengan mulai membuka box tersebut.
"Sahabat selalu ada untukmu ketika kamu
memiliki masalah. Bahkan memberikan saran yang
bodoh hanya untuk melihatmu tertawa. Sahabat
sejati dapat menunjukkan bahwa hidup tak
seburuk yang kamu pikirkan dan masalahmu tak
sebesar yang kamu takutkan. Thanks for everything
Althea Callista, I'll miss you!"
-Caesar Wijaya-
Box nomor 4.
Seseorang datang lagi. Kali ini, seseorang yang
sangat dicintai oleh Caesar Wijaya. Yang mungkin
menjadi tokoh hidup dalam semua cerita ini. Beby
226
Chaesara Anadila berada di depan mata Darriel, Viny dan
Althea. Sangat tercengang, seperti skenario.
"Sekarang giliranku...," ucap Beby.
Terlihat sepucuk surat dan suatu sketsa gambar.
"Aku masih disini untuk menunggumu, aku
akan tetap menjadi CAESAR untukmu walaupun
hanya dalam dimensi paralel. Jangan takut buat
melangkah, aku akan terus mendukungmu disini.
Tetaplah menjadi Beby Chaesara Anadila yang aku
kenal dulu."
-Caesar Wijaya-
Box terakhir, mereka berempat membuka
bersama-sama. Lirik lagu JKT48 – Kelinci Pertama.
227
Suatu hari di dalam hutan ditemukan
Lubang yang berlanjut terus entah kemana
Di depan kegelapan teman disekitarku
Hanya terdiam mengintip tanpa bergerak
Entah mengapa dada ini bergetar
Ku kan jadi pertama yang berlari
Aku tidak takut pada luka dan sakit
Apa yang terjadi ku tak kan gentar
Pergi untuk mencari impian milikku
Ayo jadi kelinci yang pertama
Daripada berbicara sok tahu tentang
Hal yang asing bagimu ayo mandi lumpur
Di malam sendirian bintang kan jadi teman
Tinggalkanlah jejak langkah diri sendiri
Walaupun jadi sekhawatir apapun
Ku berlari lebih dari siapapun
Setiap terluka jadi makin dewasa
Air mata mengalir dada terasa sakit
228
Meski begitu ku tetap takkan menyerah
Ayo jadi kelinci yang pertama
Siapapun pastilah dapat merasakan
Bahwa dirinya hidup saat darahnya mengalir
Jangan sia-siakan nyawamu
Aku tidak takut pada luka dan sakit
Apa yang terjadi ku tak kan gentar
Pergi untuk mencari impian milikku
Meskipun ada yang menghalangi
untuk sampai ke tujuan
Hari itu, sejarah dalam kisah persahabatan yang
berawal dari rumah mungil di atas pohon terukir kembali.
Pertemuan mengejutkan antara beberapa tokoh dalam
kisah itu kembali terjadi. Namun, ada satu karakter baru
yang tiba-tiba muncul dalam ceritanya–Darriel Agatha
Wijaya. Kata demi kata, mereka yang lebih mengetahui
titik awal kisah ini, menjelaskan secara runtut kepada
Darriel. Hal itu memaksa bayangan-bayangan dalam otak
229
Darriel ikut terjun untuk merasakan suka duka masa per-
sahabatan itu. Dari situlah ia mulai memahami arti teman,
seperti yang pernah dikatakan Viny dulu. Teman akan
menjadi batu yang kokoh untuk menahan diri kita saat
terjatuh.
Berbagai topik sudah menjadi bahan perbincangan
mereka berempat sembari mengenang masa-masa indah-
nya dulu, sekaligus lebih mengenal Darriel sebagai
karakter baru dalam kelompok itu.
“Jadi, selama ini mahkluk dari alam lain itu bener-
bener punya kehidupan yang sejajar sama kehidupan kita
ya?” tanya Darriel sembari mengingat kejadian-kejadian
aneh yang sudah ia lalui beberapa minggu yang lalu.
“Impossible is nothing!” sahut Althea.
“Yeps, kita berempat cuma manusia yang punya
keterbatasan, walaupun nggak kelihatan, kita tetep harus
percaya sama ciptaan Tuhan,” tambah Beby, diikuti
dengan anggukan kepala Viny di sampingnya.
“Kalian emang bener,” ucap seorang pria dari luar
pagar, orang asing yang ternyata daritadi mendengarkan
230
perbincangan di dalam ruang teras.
“Tapi, semua yang kalian rasain kemarin bukan
ulah Caesar Wijaya…,” tambah pria itu sembari membuka
pagar, menampakkan wajahnya. Ternyata Triyan. Ada apa
lagi hari ini? Sungguh penuh dengan kejutan. Selang
beberapa detik dari ucapan terakhir Triyan, terlihat di
belakangnya terdapat dua orang wanita yang mengekor–
Ginsa yang sudah kembali berhubungan dalam status
pacaran dengan Triyan dan seseorang yang telah berjasa
dalam pembuatan novel “FROM A SHADOW”–Neza.
“Triyan? Ginsa?” ucap Beby sangat tercengang
melihat sahabat-sahabatnya juga hadir hari itu, tak jarang
matanya melirik ke arah Neza yang terlihat asing.
Ginsa mengembangkan senyumannya, terlihat
tenang seakan-akan mereka yang membuat skenario pada
hari itu. Dalam senyumannya tersimpan sesuatu hal yang
harus dijelaskan saat itu juga.
“Kenalin… ini Neza, dia salah satu orang yang
udah pernah bantu Caesar dalam pembuatan novelnya,”
ucap Ginsa sambil mendekati empat orang tadi dan
menarik Neza agar ikut mendekat.
231
“Halo… aku Neza!” sapa Neza sambil menjulur-
kan tangannya , masih seperti dulu dengan kepolosan yang
menjadi ciri khasnya. Dengan sigap, empat orang tadi
menyambut juluran tangan Neza.
Di tengah waktu yang termakan oleh perkenalan
itu, Viny sempat mengoreksi perkataan Ginsa tadi. “Gin,
tadi kamu bilang kalo Neza salah satu orang yang udah
bantu Caesar dulu, berarti ada yang lain gitu?” tanyanya
sebagai hasil koreksi.
Belum sempat mendapatkan jawaban dari Ginsa,
“Yeps bener banget! Ada orang lain selain Neza… Kak
Bianda, kakaknya Caesar,” sahut Triyan menjawab
pertanyaan dari Viny yang seharusnya untuk Ginsa,
namun itu tidak akan menjadi masalah, yang terpenting
adalah jawaban.
“Jadi gini, dulu sebelum pindah ke Jerman buat
ngambil S2, Kak Bianda punya janji sama Caesar buat
bantu mewujudkan mimpi adiknya itu. Nah… novel itulah
yang jadi mimpi nyata dari seorang Caesar Wijaya,”
tambah Neza, menjelaskan sebagai orang yang lebih
paham tentang kisah itu.
232
Ginsa menepuk pelan bahu Neza. “Langsung aja
jelasin maksud kedatangan kita kesini aja, Nez…,”
ucapnya kemudian.
“Oh iya… kita kesini disuruh Kak Bianda buat
ngasih ini ke kalian,” ucap Neza kembali sambil
memberikan ponselnya yang sudah stay dalam sebuah
media sosial, sepotong percakapan antara dirinya dengan
Bianda terpampang jelas di depan keempat orang tadi.
Bianda:
Jadi gitu ceritanya, bantu aku Nez!
-------------------------
Neza:
Oh, aku harus gimana kak?
-------------------------
Bianda:
Tolong kasih ini ke mereka………
233
Sebelumnya saya mau minta maaf buat kalian semua,
maaf yang sebesar-besarnya dari dalam hati saya….
Saya mau mengaku kalau akhir-akhir ini saya yang sudah
buat hidup kalian dipenuhi kejadian-kejadian aneh,
Itu semua bukan ulah Caesar, saya yang sudah membayar
orang untuk memberikan kekuatan dalam novel yang
kalian baca.
Sebenernya, semua itu nggak nyata, saat kalian membaca
novel itu… kalian seperti dibawa ke dalam dimensi
parallel dan melakukan perjalanan astral, logika kalian
terhapus, namun sebenernya kalian dalam keadaan
tertidur atau pingsan, bahkan bisa sleepwalking.
Semua itu saya lakukan atas dasar mimpi-mimpi yang
akhir-akhir ini menemani tidur saya, selalu ada Caesar
dan perintah-perintahnya yang seakan-akan harus saya
lakukan dalam kejadian nyata.
Namun, kejadian antara Darriel dan Viny itulah yang
membuat saya tidak yakin kalau Caesar tidak ikut
bermain dalam skenario ini,
Tapi saya tetap mengambil sisi positifnya, “Everything can
happen, when God did it!”
-------------------------
–The End–
234
235
Pemuda berkulit sawo matang ini lahir hampir 17 tahun
yang lalu sebagai manusia berkarakter introvert. Seorang
pelajar yang jarang serius dalam pelajaran. Kadang bisa
menjadi pendiam apabila kamu belum mengenalnya, dan
bisa berbalik 360o apabila sudah mengenalnya lebih dekat.
Hobinya fotografi dan menulis. Baginya, menulis adalah
tempat dimana ia terjun ke dalam dunia kedua yang
dibuatnya sendiri. From a Shadow adalah novel
pertamanya.
Email: [email protected]
Twitter: @cabintheories
Blog: www.cabintheories.blogspot.com