241
i No shadow without light, No success without struggle.

From a Shadow

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sebuah novel dari Banon Agung Wijaya (inspired by. JKT48) genre: romance, horror, thrillerSINOPSIS:Semua berawal dari bayangan samar-samar yang terealisasikan menjadi sebuah sketsa seorang wanita.Wanita yang tiba-tiba datang dan sempat mengisi satu karakter dalam kehidupan.Kisah persahabatan yang berawal dari rumah pohon pun terjalin.Rumah pohon, rumah dimana tempat mereka berempat menggantungkan mimpinya.Siapa yang tahu, akhirnya melibatkan seorang member JKT48 dan penulis muda di dalam kisahnya.Hingga sempat terpisah dan bertemu kembali dengan sebuah kenangan manis dan duka yang sangat pahit. Bahkan kejadian aneh pun sering meneror setelah pertemuan itu, Seakan-akan kehidupan seperti skenario dalam dimensi paralel.Tapi apakah mereka bisa mengembalikan kehidupannya menjadi nyata dan bisa keluar dari perangkap paralel itu?

Citation preview

Page 1: From a Shadow

i

No shadow without light,

No success without struggle.

Page 2: From a Shadow

ii

Page 3: From a Shadow

iii

BANON AGUNG WIJAYA

From

A

Shadow

Penerbit

Page 4: From a Shadow

iv

From A Shadow

Oleh: Banon Agung Wijaya

Copyright © 2014 by Banon Agung Wijaya

Penerbit

CABINTHEORIES

www.cabintheories.blogspot.com

[email protected]

Desain Sampul:

Hari Abriyoko

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

Page 5: From a Shadow

v

thanks to

Allah SWT atas inspirasi yang terus mengalir di otak

saya, sehingga bisa menetaskan novel ini.

Kak Funy, Adhi Mursyid, Utari Widri, Risda,

Devicia yang sudah bersedia membantu saya dalam

pembuatan review cerita.

Mas Yoko yang membuat cover novel ini jadi lebih

cakep dari penulisnya.

Teruntuk Khusus

Beby Chaesara Anadila, Ratu Vienny Fitriliya,

Althea Callista yang sudah menjadi inspirasi cerita

dalam novel ini.

Dan semua sahabat, teman dan rekan yang selalu

meyakinkan bahwa tulisan ini berharga.

―Banon Agung Wijaya―

Page 6: From a Shadow

vi

Page 7: From a Shadow

1

Prolog

esekali hati ini bermimpi, impian yang terlihat

mustahil oleh logika. Namun tidak dengan bocah

yang lahir dari keluarga broken home ini, sebut saja

Caesar Wijaya. Teriakan-teriakan amarah yang terus

terlontar dari mulut kedua orang tuanya sudah tersimpan

di dalam telinganya saat masih berumur 2 tahun. Ke-

tidakpahaman hanya bisa membuatnya menangis dan

membuat keadaan semakin parah. Tangisan itu perlahan-

lahan mereda setelah seorang kakak perempuan muncul di

hadapannya. Bianda Komala Wijaya, sosok kakak yang

memiliki selisih umur 4 tahun dengan Caesar itu selalu

berusaha memberikan gurauan untuk adiknya. Seolah lupa

akan bentakan-bentakan yang baru saja Caesar dengar,

senyuman bahkan tawa kecil tampak jelas hinggap

menghiasi raut wajahnya yang masih polos.

Waktu terus berjalan, saat itu Caesar genap

berumur 3 tahun. Sepi, tak ada lagi teriakan-teriakan

S

Page 8: From a Shadow

2

amarah itu terdengar dalam telinganya seiring terpisahnya

dua sosok pahlawan yang telah berhasil menghadirkannya

untuk merasakan udara di dunia. “CERAI!” kata terakhir

yang Caesar dengar tanpa ia pahami.

Kini Caesar tumbuh menjadi seseorang yang

memiliki berbagai kepribadian. Berbanding terbalik

dengan Bianda, ia sangat cerdas dalam bidang akademik.

Hal itulah yang membuat Caesar menjadi bahan per-

bandingan otak oleh mamanya. Walaupun begitu, Bianda

tetaplah Bianda. Sosok kakak yang selalu ikut mendorong

adiknya untuk mencapai semua yang menjadi impian

adiknya sendiri. Namun, kehidupan orang tua mereka

sudah tidak saling menyentuh. Caesar memilih tinggal

dengan papanya di Bandung dan sebaliknya dengan

Bianda yang memilih dengan mamanya yang tetap tinggal

di Semarang.

Berbagai kepribadian yang Caesar miliki, ternyata

hanya untuk menutupi karakter aslinya yang mungkin

tidak perlu untuk publik ketahui. Kadang ia bersifat

kekanak-kanakan dan kadang juga ia bisa menjadi

pendiam. Itu ia lakukan seolah-olah untuk menghipnotis

Page 9: From a Shadow

3

teman-temannya yang hanya mengetahui sisi luarnya.

Dengan itu, Caesar memiliki daya yang cepat untuk

memahami sifat orang lain, sehingga ia selalu tepat dalam

memilah-milah teman. Mulai sejak TK, Caesar sudah

memiliki banyak teman dengan kemampuan bergaulnya

yang cukup unik itu.

Apapun yang Caesar lakukan itu lebih dari cukup

untuk benar-benar menutupi karakter aslinya. Dibalik

semua itu, Caesar adalah sosok manusia yang sangat

dewasa, ia sangat pandai dalam mengontrol emosinya.

Kedewasaan itu terlapisi lagi dengan sifat pendiamnya. Ia

diam bukan berarti tidak tahu apa-apa di sekitarnya,

Caesar tahu dan paham namun ia lebih memilih untuk

menghindari kegaduhan. Caesar bukan benci perdebatan

namun ia menganggap pencarian solusi lebih utama

dibanding membicarakan masalah. Caesar memang diam,

namun sebenarnya ia pun jengah. Caesar tahu namun tidak

ingin ribut. Ia paham namun tidak ingin menggurui.

Caesar memang diam, ia punya solusi namun tidak

mencari publikasi. Caesar berkontribusi namun tidak

dengan sok aksi. YA! Caesar diam karena ia memilih

untuk diam, ia diam bukan berarti tak pernah berpikir,

Page 10: From a Shadow

4

bukan karena tidak peduli. Caesar diam karena menurut-

nya itu lebih baik.

Menjajali berbagai macam teman bahkan sahabat

sudah menjadi hal biasanya bagi Caesar. Namun, dengan

urusan percintaan di masa remaja, baru-baru ini ia mulai

merasakannya. Hati yang berdebar-debar, darah deras

mengalir dan tubuhnya yang kian bergetar saat

berhadapan dengan seseorang teman satu kelasnya saat ia

masih SMP di Bandung. Beby Chaesara Anadila, itulah

sosok wanita yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan Caesar

dan berhasil membekukan hatinya. Senyumannya yang

manis itu selalu membuat waktu terasa begitu cepat

apabila sedang berdua dengannya. Hingga kini Caesar

duduk di kelas 3 SMP, hampir tiga tahun mereka satu

kelas. Tidak bisa dipungkiri, perasaannya kepada Beby

kini semakin menjadi-jadi.

Lantas mengapa Caesar tidak berniat untuk

menyatakan perasaanya kepada Beby? Bukannya tidak

berniat, melainkan ia tahu dan sangat kenal karakter Beby.

Wanita ini cukup dewasa, sehingga memaksa Caesar

untuk menunggu waktu yang tepat.

Page 11: From a Shadow

5

I

(SATU)

Page 12: From a Shadow

6

itik-titik hujan menghiasi jendela ruang kelas,

pelangi yang samar-samar akan hilang seperti

memberikan senyuman terakhir pada hari itu. Bel

istirahat berbunyi, jemarinya yang beberapa jam tadi

bercumbu dengan bolpoin, kini mengalihkan gerakannya

ke dalam tas dan mulai meraih sebuah laptop. Seperti

biasa, laptop berwarna hitam itu tidak pernah absen berada

di atas meja Caesar saat istirahat. Wifi kelaspun menjadi

santapan sehari-hari Caesar saat teman-temannya

memanjakan perutnya di kantin sekolah. Bukan, bukan

tugas yang dicarinya, melainkan sosial media yang

mungkin sudah ada dalam template otak Caesar. Entah

apa yang membuat Caesar betah membolak-balikan scroll

mouse ke atas dan ke bawah. Matanya seakan-akan seperti

binatang buas yang sedang mengintai mangsanya. Hingga

bel masuk berbunyi, Caesar yang tidak menemukan hal

menarik selama istirahat tadi langsung menutup laptopnya

dan mengembalikan ke dalam tasnya.

T

Page 13: From a Shadow

7

Pelajaran Bahasa Perancis. Caesar sudah tidak

mengacuhkan pelajaran yang penulisannya berbeda

dengan cara mengucapkannya ini. Sulit untuk mencerna

pelajaran yang terlalu membosankan ini. Dengan raut

wajah yang sudah merindukan rumah, Caesar mengambil

secarik kertas kosong dalam kolong mejanya. Tatapan

kosong Caesar ke arah kertas itu sesekali membentuk

wajah sosok wanita, jemarinya mulai bercumbu dengan

bolpoin kembali. Tanpa disadari, Caesar menggambar

sosok wanita dalam kekosongan tadi. Gambar itu menarik

perhatian Triyan, teman sebangku Caesar.

“Eh, lagi ngapain sih?” tanya Triyan penasaran.

“Ha?” Caesar melongo, terkejut. “Eh… enggak

kok, coret-coret aja.”

Triyan masih tidak percaya dan semakin

penasaran, ia merebut kertas itu dari tangan Caesar.

“Terus ini gambar apa?”

“Oh ini, mungkin bidadari dalam dimensi

paralelku,” jelas Caesar, nyengir.

Page 14: From a Shadow

8

Triyan tersenyum geli. “Yaelah mblo, sadar woi

sadar! Cewek di dunia tinggal milih, masih aja cari dari

dimensi lain,” ejeknya kemudian.

“Kalo di dunia bidadari cuma ada satu kayaknya,”

kata Caesar yang terlontar dari mulutnya tiba-tiba.

“Wih, normal juga akhirnya! Siapa? Beby?”

Triyan tertawa geli, meledek kembali.

“Ah, ngawur…”

“Hayooo ngaku aja deh…”

Caesar nyengir malu, “Udah ah udah, nggak usah

di bahas!”

“Tuh, Beby ngliatin mulu tuh. Kya kya

kyaaaa…”

“Eh udah lu diem aja deh,” sela Caesar.

“Tapi kan…”

Page 15: From a Shadow

9

“Eh pada ngributin apa sih? Heboh amat dari

tadi,” sela Ginsa yang duduk di belakang Caesar dan

Triyan.

“Ini loh Gin, Caesar suka…”

“Sialan! Diem aja woi,” bisik Caesar yang

memotong perkataan dan menutup mulut Triyan.

“Masalah cowok, Gin!” jelas Caesar kepada Ginsa.

“Iya deh iya jangan salah tingkah gitu ah, Sar!”

ejek Triyan sambil menampar kecil pipi Caesar.

“Ah kalian emang pasangan gay, absurd…,” sahut

Ginsa.

“Whatever… Toss dulu, Sar!”

“Ih najis, nggak mau, Yan! Dibilang gay mau-

mau aja sih lu,” ucap Caesar dengan wajah jijik.

“Ah kamu, biasanya gimana sih, Mas Boy?” canda

Triyan sambil mencolek pipi Caesar layaknya banci.

Suasana bosan itu berbalik penuh canda dan tawa

tak terkecuali dengan Ginsa. Waktu terasa semakin cepat

Page 16: From a Shadow

10

dimakan obrolan tak jelas itu. Hingga mereka tak

menyadari pelajaran Bahasa Perancis sekaligus pelajaran

terakhir telah usai. Pulang.

Guru Bahasa Perancis sudah meninggalkan kelas.

Semua penghuni kelas pun beranjak dari tempat

duduknya, napas lega akhir pekan mulai terasa.

“Tuh, Beby mau pulang… samperin gih!” ujar

Triyan sambil mendorong Caesar.

Caesar berjalan mendekati Beby, “Beby…”

“Eh Caesar, ada apa?”

“Nanti malem kamu kosong nggak?” tanya

Caesar. “Kalo iya, main yuk!” ajaknya kemudian.

“Eh ayok! Kebetulan lagi nggak ada kerjaan nih,”

jawab Beby.

Caesar melompat dan terbang kegirangan dalam

hati. “YESSS!”

“Yes?”

Page 17: From a Shadow

11

“Eh enggak, ya udah entar malem aku jemput

kamu ya,” ujar Caesar.

“Ciyeeee… kayaknya ada yang mau kencan nih!”

seru Ginsa, menyela.

“Udah Gin, nggak usah cemburu… kamu kencan

sama aku aja,” sahut Triyan yang juga ikut menyela.

“Iya ayok, gay!”

“Nggak ada gay yang mau kencan sama cewek

kalik,” ucap Triyan, ketus.

“Sekali gay tetap gay!” ejek Ginsa, melet.

“Udah pernah dicium anak bunglon? Aku cium

nih lama-lama,” canda Triyan.

Beby tertawa geli. “Bunglon-nya gay dong!”

sahutnya kemudian.

“Iya bener, Beb!” tambah Ginsa.

Page 18: From a Shadow

12

“Gila semua!” sahut Caesar, tersenyum geli. “Eh

gimana kalo entar malem mainnya barengan biar rame

gitu,” ucapnya kemudian.

“Bisa jadi!” sahut Triyan dan Ginsa bersamaan.

“Ciyeeee nyautnya sama, jodoh!” celetuk Beby.

“Kalo aku jodohnya siapa ya?” gumam Caesar

sambil tersenyum melihat ke atas.

“Jodohnya Beby aja gimana?” sahut Triyan

kembali.

“Eh…jodohnya kamu aja gimana?” tanya Caesar

yang berbalik menirukan gaya Triyan saat menirukan

banci.

“Udah mulai deh! Pasangan gay berserakan,”

sahut Ginsa.

Mereka berempat tertawa geli.

“Yaudah pulang yok, entar malem kamu-kamu

dandan yang cantik ya?” ucap Triyan menunjuk Ginsa dan

Page 19: From a Shadow

13

Beby. “Kalo nggak cantik, aku karungin buang ke laut,”

canda Triyan kemudian.

“Bandung ada laut ya?” tanya Caesar tertawa

sinis.

“Udah bunglon, gay, bloon lagi!” sahut Ginsa.

“Tapi kamu suka kan?” tanya Triyan yang

semakin menggila.

“Udah-udah, entar malem kumpulnya di rumah

Beby aja ya,” ujar Caesar.

“Yap! Eh Sar, kayaknya aku lagi krisis bensin

deh,” ucap Triyan, nyengir.

“Yaelah bro, bilang aja mau nebeng! Iya deh iya,”

sahut Caesar.

“Aihhh, Mas Boy baik deh,” celetuk Triyan

dengan kembali menirukan gaya banci.

“PFFFFFTTTTTTT!!”

Page 20: From a Shadow

14

Matahari telah kembali ke peraduan, bumi

berganti rupa menjadi hitam pekat ditelan kegelapan

malam. Gemerlap bintang berserakan dan berkedip-kedip

di langit. Seperti hati Caesar yang sedang terbang kesana

kemari tak berarah. Terbayang-bayang senyuman Beby di

kepalanya.

Caesar menancapkan gas mobilnya menuju rumah

Triyan. Lampu menerangi seluruh penjuru jalan malam ini

dan berhasil membuat Caesar tersenyum bebas.

Tangannya seakan-akan terhipnotis untuk membuka

jendela mobilnya. Suara nyanyian pemusik jalanan,

deretan bangunan dan orang-orang yang berlalu lalang

bagaikan lukisan tiga dimensi yang menghiasi hatinya

malam ini. Tak terasa rumah Triyan sudah di depan

matanya. Terlihat sosok pria dengan kemeja putih dan

rambut sedikit klimis berdiri di depan pagar. Triyan.

Page 21: From a Shadow

15

Caesar menyodorkan kepala keluar jendela

mobilnya. “Eh, malem-malem ada sales mangkal!”

ejeknya kemudian.

“Tai ah tai, cepetan berangkat!” sahut Triyan

sambil masuk ke dalam mobil Caesar.

“Aiiihhh, mau ketemu Ginsa aja abis minyak

rambut berapa botol itu?” ejek Caesar kembali.

“Minyak jelantah, Sar!” jawab Triyan, kesal.

Caesar menancapkan gas mobilnya kembali, kali

ini menuju rumah Beby. Canda tawanya dengan Triyan

tak henti-hentinya terlontar sepanjang perjalanan. Seperti

hanya melangkahkan kaki, tak terasa sampai di rumah

Beby. Nampak Ginsa telah sampai lebih dulu.

“Ciyeeee, bunglon gay rapi banget! Mau

dimakamin dimana nih?” celetuk Ginsa.

“Nah kan, Yan!” tambah Caesar.

“Dimakamin di hatimu aja deh, Gin!” sahut

Triyan, nyengir.

Page 22: From a Shadow

16

“Eh ngomong-ngomong Beby mana, Gin?” tanya

Caesar sambil menengok sekelilingnya.

“Itu… tadi katanya lagi ada telepon. Kenapa?

Udah nggak sabar nih yeeee.” ujar Ginsa.

Triyan menunjuk seseorang yang berjalan

mendekat. “Nah itu Beby!”

“Halo kalian!” seru Beby. “Udah lama ya

nunggunya? Maaf ya barusan ada telepon penting,”

tambahnya kemudian.

“Nggak kok, telepon dari siapa, Beb?” tanya

Triyan penasaran.

“Weitsss, bab beb bab beb enak aja lu…” sahut

Caesar menyela.

Triyan mendengus kesal. “Lah kan emang

namanya Beby, nyeeeeet!”

“Nggak boleh nggak boleh! Mulai sekarang

manggilnya Dila aja biar enak didengernya,” sahut Caesar

kembali.

Page 23: From a Shadow

17

“Siapa lu?”

“Security-nya Beby!”

“Katanya Dila?”

“Oh iya lupa, security-nya Dila!”

“PFFFFTTTTTTT!!”

Beby menghela napas. “Udah, stop! Tadi itu

telepon dari Jepang…”

“Hah Jepang?” sela Triyan.

“Dengerin dulu! Jadi gini, katanya aku kepilih

buat audisi masuk JKT48,” jelas Beby.

“JKT48? Makanan apa itu? Kantin sekolah jual

nggak?” celetuk Triyan.

“Kalo dari telepon tadi, JKT48 itu punya basis

idol group yang mau dibentuk sama produser sekaligus

pencipta lagu terkenal di Jepang,” jelas Beby kembali.

Ginsa menatap Beby dengan kening yang

mengerut. “Idol group? Bedanya sama girlband?”

Page 24: From a Shadow

18

Beby tersenyum. “Beda banget, JKT48 itu batu

lompatan buat ngembangin bakat kita. Jadi, mereka cari

cewek-cewek yang mau belajar dan bisa berkomitmen.”

“Ya udah nggak ada salahnya mencoba, Dil!”

sahut Caesar menyemangati.

“Nggak yakin kuat sama golden rules-nya, Sar!

“Separah apa sih?”

“Banyak larangan deh pokoknya, pacaran aja

dilarang.”

“Waduh! Hancur Sar hancur!” celetuk kembali

terlontar dari mulut Triyan.

“Sssttt…diem aja deh, lu!” bisik Caesar. “Terus

kenapa kalo dilarang pacaran? Masa depan kan lebih

penting, Dil!” tambahnya untuk menyemangati Beby.

Beby menatap ke atas, mengerutkan kening. “Iya

juga sih, ya udah deh aku usahain.”

Page 25: From a Shadow

19

“Nah, gitu dong!” sahut Ginsa sambil menepuk

bahu Beby. “Kita mau kemana sekarang?” tanyanya

kemudian.

“Aku lagi pengen lihat pemandangan malam

Bandung dari atas,” usul Beby.

“Pas! Ke Bukit Moko aja yuk, aku ada villa di

situ,” tambah Caesar.

“Oh yang kamu ceritain ada rumah pohonnya itu,

Sar?” tanya Triyan.

“Nah iya bener banget,” ujar Caesar kembali.

“Asik! Ayo berangkat!” seru Ginsa.

Berangkat. Kata terakhir di rumah Beby sebelum

Caesar mulai menancapkan gas mobilnya kembali.

Seluruh jendela mobil terbuka. Angin malam kebebasan

menerjang tubuh empat sekawan ini. Canda tawa terus

tetap menghiasi sepanjang perjalanan mereka, seakan

dunia hanya milik mereka berempat. Villa megah milik

Caesar sudah terlihat oleh mata. Tiba-tiba Caesar

menginjak rem mobilnya.

Page 26: From a Shadow

20

“Loh kok berhenti?” tanya Beby.

“Jagung bakar!!!” seru Caesar.

Tiga pasang mata yang semula menatap Caesar,

kini mengalihkan pandangannya keluar mobil dan

mendapati seorang penjual jagung bakar. Dengan cekatan

Triyan keluar mobil mendekati penjual jagung bakar itu,

Caesar, Beby dan Ginsa mengekor. Jagung bakar menjadi

bumbu penyedap suasana malam ini.

Melihat villa yang berdiri kokoh di depan mata,

langkah kaki Triyan melambat. Dengan menggeleng-

gelengkan kepalanya seakan menginjak istana yang bisa

membuatnya lepas dari semua masalah dalam kehidupan.

Namun, sesuatu yang lebih sederhana berhasil

membutakan matanya. Rumah mungil yang bertengger di

pohon itu membuatnya seperti hidup kembali. Triyan

berlari mendekat, menginjak anak tangga hingga bisa

melihat bebas suasana malam Bandung dari atas rumah

pohon. Matanya berkaca-kaca, melongo.

“Beby, Ginsa! Kalian udah berapa lama tinggal di

Bandung?” tanya Triyan, berseru.

Page 27: From a Shadow

21

“Dari lahir mungkin,” ujar Beby.

“Yap! Kenapa?” tambah Ginsa.

Triyan tersenyum bebas. “Belasan tahun tinggal di

Bandung, mungkin hari ini pertama kalinya kalian akan

lihat surganya Bandung!” Kedua tangannya menunjuk ke

depan. “Disini!” tambahnya.

Dengan penasaran, Beby dan Ginsa bergegas

untuk menyusul Triyan ke atas diikuti Caesar dari

belakang. Mereka berempat pun kini sudah menginjakkan

kaki bersama di atas rumah pohon itu. Sebuah gitar klasik

tertata rapi di dalamnya. Buku-buku yang berjejeran di

dalam lemari kayu menjadikan nuansa klasik dalam

ruangan mungil ini lebih terasa. Beby berjalan-jalan dan

sesekali menyentuh perabot-perabot bernuansa klasik ini.

Tangannya mulai meraih secarik kertas yang tergeletak di

atas meja. “FROM A SHADOW” satu-satunya tulisan di

dalam kertas tersebut yang membuatnya bertanya-tanya

dalam hati.

“Itu tulisanku,” ucap Caesar dari belakang.

Page 28: From a Shadow

22

Beby sedikit kaget. “Apa artinya?”

“Entah, tiba-tiba aja tanganku gerak sendiri buat

nulis itu,” jelas Caesar.

“Aneh, kenapa harus berawal dari bayangan?”

tanya Beby.

Caesar tersenyum. “Mungkin semua keberhasilan

berasal dari hal kecil.”

“Terus?”

“Bayangan adalah sesuatu yang kecil dan kadang

tidak terlihat, kita butuh cahaya untuk bisa melihatnya

lebih jelas.”

“Hubungannya sama keberhasilan?”

“Cahaya bagaikan keringat dan air mata saat kita

berusaha meraih mimpi yang bahkan bakal bisa mem-

buahkan keberhasilan.”

Beby menatap mata Caesar, keduanya saling

bertatapan sekarang. Mulutnya perlahan-lahan mengem-

Page 29: From a Shadow

23

bang dan menghasilkan sebuah senyuman bersama.

Hingga akhirnya mereka tak sanggup menahan tawanya.

“Temen-temen sini!” seru Ginsa dari luar.

“Ada apa, Gin?” tanya Triyan mendekat.

Ginsa menunjuk ke atas. “Coba lihat bintang di

sana, mereka selalu bersama.”

“Romantis banget ya,” sela Beby.

“Yap! Apa kita bisa selamanya bersama seperti

bintang-bintang itu?” tanya Ginsa lirih.

“Gin, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi,

perpisahan sebelum kematian ada bukan untuk

selamanya,” ujar Triyan.

“Bener banget, hanya maut yang bisa membuat

selamanya kita berpisah,” tambah Beby.

“Aku cuma nggak pengen pisah sama kalian aja,

aku berharap kita bisa selalu bersama-sama kayak

sekarang ini,” ujar Ginsa kembali dengan meneteskan air

mata.

Page 30: From a Shadow

24

“Nggak bisa, Gin! Kita semua punya keperluan

hidup masing-masing. Cepat atau lambat keadaan akan

memaksa kita untuk berpisah,” tegas Caesar.

“Udahlah Gin, pisah nggak berarti lupa satu sama

lain kan?” ujar Beby menenangkan Ginsa.

“Iya bener tuh, aku janji deh suatu hari nanti kita

bisa kumpul disini lagi,” tambah Caesar. “Senyum dulu

gih!” tambahnya kembali dengan mengusap air mata

Ginsa.

Caesar berjalan masuk ke dalam dan kembali

keluar dengan membawa pensil dan beberapa lembar

kertas kecil.

“Gini aja deh, coba tulis disini ajakan kalian buat

ke rumah pohon ini lagi,” suruh Caesar.

“Buat apa, Sar?” tanya Triyan menyela.

“Simpen kertas itu. Besok kalo kita udah bener-

bener pisah dan pengen kumpul lagi kesini, kirim aja

kertas itu ke salah satu orang di antara kita,” tambah

Caesar.

Page 31: From a Shadow

25

Beby menatap Caesar dengan mengerutkan

keningnya. “Kamu yakin ini bakal berhasil?”

Caesar menghela napas. “Aku yakin, asalkan

kertas ini bener-bener kamu simpen di tempat yang

bahkan lebih aman dari hati kalian.”

Seketika, tiga remaja yang semula hanya menatap

Caesar dengan penuh kekhawatiran terdiam tak

menjawab. Kini, raut wajahnya berubah dengan senyuman

tanda kepercayaan bahwa kelak akan bertemu kembali.

Malam ini menjadi malam yang sangat panjang

untuk empat sekawan itu. Segala suka dan duka tumpah di

malam ini. Air mata, senyuman hingga tawa memenuhi isi

rumah mungil di atas pohon yang mungkin akan menjadi

sejarah persahabatan mereka kelak.

Kini, rumah mungil di atas pohon sudah menjadi

saksi biksu semua kisah persahabatan yang terlahir dari

sebuah bayangan. Semua luka yang ada telah terkubur di

dalamnya, melebur dan berubah menjadi senjata untuk

bisa lebih dewasa.

Page 32: From a Shadow

26

II

(DUA)

Page 33: From a Shadow

27

Bulan demi bulan berganti.

Suasana dingin di tengah malam menusuk tubuh

Caesar. Ia terbangun dari dunia mimpinya. Matanya

perlahan-lahan terbuka. Tak terlihat apa-apa, gelap.

Ternyata listrik di rumahnya mati. Caesar beranjak dari

tempat tidurnya dan mendekati meja belajar. Di dalam

kegelapan, tangannya meraba-raba hingga meraih sebuah

lampu emergency. Cukup untuk penerangan. Ia tak

langsung kembali ke tempat tidur melainkan membuka

satu per satu buku pelajaran di atas meja belajarnya,

mengingat pagi hari nanti adalah hari terakhirnya

mengikuti kegiatan di sekolah. Dengusan napasnya

terdengar jelas setelah tangannya meraih buku Bahasa

Perancis. Caesar hanya membolak-balik buku itu. Ia

terdiam saat mendapati gambaran hasil tatapan kosongnya

dulu. Senyuman mengembang di bibirnya dengan hati

yang terus bertanya-tanya, “Siapa sosok wanita di dalam

kertas ini?” Cukup lama Caesar memandangi gambar itu,

matanya sudah mulai terasa berat, namun ia tetap tidak

beranjak dari meja belajarnya. Alhasil, kepalanya

tergeletak di atas meja belajar dengan mata yang memaksa

Page 34: From a Shadow

28

untuk menutup kembali. Ketiduran.

Suara alarm handphone dengan volume maksimal

berhasil menusuk gendang telinga Caesar. Lagi-lagi

mimpinya terpenggal. Kepala yang semula tergeletak di

atas meja belajar seolah bergerak seperti kaki yang

tertusuk duri dengan refleks yang cukup cepat. Caesar

beranjak dari meja belajarnya. Tubuhnya terdorong untuk

membuka jendela kamar. Udara pagi menyeruak dari tirai-

tirai langit. Sang fajar yang sudah nampak di ufuk timur

memancarkan sinarnya dengan anggun. Suara ayam

berkokok pun sudah mulai bersaut-sautan.

Seketika terdiam. Caesar menghela napas kejutan

mengingat pengumuman kelulusan hari ini. Ingatan itu

cukup membuat pikirannya berserakan. Denyut jantung

terasa semakin cepat. Ia bergegas untuk mempersiapkan

diri pergi ke sekolah menghadapi kenyataan. Senam

jantung. Butuh waktu setengah jam, semua sudah siap.

Mengayuh sepeda menuju sekolah.

“Dila!!!” seru Caesar, melihat Beby berjalan kaki.

Beby menoleh dengan wajah sedikit cemberut.

Caesar mengayuh sepedanya mendekati Beby.

Page 35: From a Shadow

29

“Kok jalan kaki?” tanya Caesar.

“Ban sepedaku bocor Sar, barusan aku titipin

bengkel sepeda,” ujar Beby tambah manyun.

“Yaudah nggak usah cemberut gitu, entar tambah

jenong lho,” ejek Caesar, tertawa.

Beby tambah cemberut. “Ih kamu malah

ngeledek…”

“Tuh tuh, lihat ayam di sana, pada ngetawain

kamu tuh, denger nggak? Senyum gih!” ujar Caesar

menunjuk sekumpulan ayam.

Beby menoleh. Senyuman bahkan tawa kecil

mengembang di wajahnya. “Itu emang ayam ketawa Sar,

gila kamu!”

“Ciye… ciye… nah gitu dong senyum, sini

bonceng aku aja!”

Beby tersenyum kembali dan langsung duduk di

bagian belakang sepeda Caesar dengan memangku tas

ransel berwana coklat. Perjalanan yang masih cukup jauh

memancing obrolan antara mereka berdua.

Page 36: From a Shadow

30

“Dil, kamu deg-degan nggak sih?” tanya Caesar

dengan mengayuh sepedanya.

“Deg-degan banget, Sar! Aku takut sama

pengumuman nanti,” sahut Beby.

“Oh…”

“Kamu nggak deg-degan?”

Caesar hanya mengangguk.

“Andai kamu tahu, aku deg-degan banget

boncengin bidadari,” gumam Caesar dalam hati.

Gerbang sekolah yang terbuka lebar memberikan

senyuman untuk satu langkah menuju impian yang masih

tergantung jauh. Murid-murid berkerumun di depan papan

pengumuman. Berdesak-desakan untuk mencari serangkai

nama di antara ratusan nama murid lain dalam kertas yang

menempel rapi di papan pengumuman. Sudah tertera jelas,

nama Caesar, Triyan, Beby dan Ginsa dinyatakan lulus.

Teriakan histeris dan loncatan-loncatan girang menunjuk-

kan kelegaan dalam hati mereka. Berhasil melalui satu

langkah lagi menuju cita-cita.

Page 37: From a Shadow

31

Malam ini malam special. Acara perpisahan

dengan tema “The Last Couple” mengundang perhatian

seluruh murid. Tak terkecuali dengan empat sekawan ini.

Dengan tema pasangan terakhir, sudah pasti Caesar

memilih Beby dan sebaliknya Triyan memilih Ginsa.

Semua ini seperti nyata, sudah menjadi harapan Caesar

dan Triyan kelak.

Acara yang sangat meriah, canda tawa dan tangis

haru bercampur aduk mengingat memori-memori yang tak

terlupakan tiga tahun silam. Hingga di penghujung acara,

tiba-tiba Triyan memberanikan diri untuk membuktikan

kepada Ginsa bahwa dirinya bukan gay.

“Gin, kamu suka boneka teddy bear?” tanya

Triyan gemeteran.

“Suka banget, lucu tau….”

“Nih aku bawain buat kamu,” ucap Triyan dengan

menyodorkan boneka itu kepada Ginsa.

“Ih…. ini lucu banget, Yan!” seru Ginsa.

Page 38: From a Shadow

32

“Iya aku tau ini lucu, tapi lebih lucu mana sama

yang di belakangnya?”

“Maksudnya?”

“Coba baca aja tulisan di belakangnya….”

Gin, sebenernya selama ini aku suka sama kamu…

Kamu mau nggak jadi teddy bear-ku?

- Triyan -

Senyuman dan anggukan kepala Ginsa setelah

membaca pesan kecil di belakang boneka itu

menunjukkan perasaan yang sama dengan Triyan.

“Aku nyatain! Triyan sudah nggak gay lagi!” seru

Ginsa dengan maksud bahwa Triyan sudah punya

pasangan lawan jenis dan tidak pantas lagi untuk disebut

gay.

Page 39: From a Shadow

33

Seruan Ginsa menarik perhatian orang-orang di

sekitarnya, tak terkecuali dengan kedua sahabatnya.

Terkejut.

“Ciye… ciye….,” sela Beby.

“Aku terharu…,” tambah Caesar.

“Aum… aum… kalian kapan nyusul?” celetuk

Triyan yang membuat Caesar salah tingkah.

Salah tingkah itu menjadi awal Caesar untuk

memberanikan melakukan seperti yang dilakukan Triyan.

Menurutnya, sekarang ini waktu yang tepat. Caesar

mengajak Beby mencari minum.

“Dil, aku mau ngomong sesuatu nih sama kamu,”

ucap Caesar menahan laju Beby.

Beby terhenti. “Iya ngomong aja…”

“Ehm, sebenernya aku…”

“Eh tunggu bentar, ada telepon!” sahut Beby

memotong kata-kata Caesar setelah handphone-nya

bordering. Ia berjalan sedikit menjauhi Caesar untuk

mengangkat panggilan tersebut.

Page 40: From a Shadow

34

Tiba-tiba, Beby berlari dan serontak tidak sengaja

langsung memeluk Caesar.

Beby bergegas melepaskan pelukan itu setelah

sadar kalau ternyata ia memeluk Caesar. “Eh, maaf

banget… nggak sengaja…”

“Nggak masalah,” ujar Caesar, santai. “Kok

keliatannya seneng gitu, ada apa?” tanyanya kemudian.

“Aku lolos audisi JKT48, Sar. Aaaaaaaaa…..

seneng banget!” jawab Beby cukup histeris.

“Wih beneran? Wah selamat ya!” sahut Caesar

memberi selamat. “Bener kan, usaha keras pasti ada

hasilnya, nggak bakal sia-sia deh,” tambahnya.

“Iya bener Sar, makasih banget udah

nyemangatin,” balas Beby. “Oh iya, tadi kamu mau

ngomong apaan?” tanya Beby penasaran.

"Ehmm...Eng... gak... kok,” jawab Caesar terbata-

bata. “Cuma mau bilang nanti kalau udah pisah, jangan

lupa sama aku ya, apalagi kalau nanti kamu jadi member

JKT48," jawabnya kemudian, berubah pikiran yang

semula ingin menyatakan perasaan pada Beby menjadi

Page 41: From a Shadow

35

down setelah mengetahui Beby lolos audisi JKT48, karena

dalam idol grup tersebut ada golden rules dilarang untuk

berpacaran.

"Iya, aku janji nggak akan ngelupain kamu. Oh

iya, kemarin aku iseng buat sketsa wajah anak-anak

sekelas. Nah, ini aku bawa sketsa wajahmu. Maaf kalo

jelek, tapi mungkin bisa jadi kenang-kenangan," ucap

Beby sambil memberikan hasil karyanya pada Caesar.

Page 42: From a Shadow

36

Page 43: From a Shadow

37

“Wah! Kalo ini mah nggak pantes dikatain jelek

woi, makasih banget ya. Maaf belum bisa kasih apa-apa

buat kamu, tapi aku janji suatu hari nanti aku akan

berusaha buatin sketsa wajahmu," ucap Caesar.

Beby tertawa. “Iya, nyantai aja kalik… Eh, udah

malem nih pulang yuk!" ajak Beby kemudian.

Dengan cekatan, Caesar melirik jam tangannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.13. Caesar langsung

mengantar Beby pulang ke rumahnya.

Malam tanpa senyuman bulan dan kedipan

bintang mewakili perasaan Caesar saat ini. Perasaan

bangga tapi kecewa bercampur aduk di dalam hatinya.

Bangga karena seseorang yang sangat ia cintai hampir bisa

meraih mimpinya. Kecewa karena belum dapat

memilikinya dan akan berpisah jauh dengan orang itu.

Senyuman palsu selalu mengembang saat Caesar

bertatapan dengan Beby. Perjalanan terasa sepi. Tak ada

canda dan tawa seperti biasa. Hal ini memaksa Beby untuk

memulai pembicaraan.

“Sar… kok diem?” tanya Beby.

Page 44: From a Shadow

38

Caesar tetap terdiam.

Beby mendengus sedikit kesal.”Woi, Saaarrrr!!”

serunya kemudian.

Caesar tersadar dari lamunannya. “Eh… iya… ada

apa?”

“Nyetir kok melamun sih?” tanya Beby kembali.

“Nggak, lagi bayangin aja kalo kamu bener-bener

jadi member JKT48,” jelasnya dengan senyuman palsu

yang mengembang kembali.

“Ah kamu ini, ya udah doain aja ya,” ujar Beby.

Caesar hanya mengangguk, tersenyum.

“Oh ya, entar jadinya mau ngelanjutin sekolah

dimana kamu?” tanya Beby kemudian.

Caesar menatap mata Beby. “Kayaknya aku balik

Semarang bareng Triyan, Ginsa juga, Dil. Kamu?”

tanyanya balik.

“Yaaaaahh! Nggak ketemu lagi dong, bakal

kangen kamu Sar,” keluh Beby. “Tergantung sih, kalo

bener-bener jadi member JKT48 aku homeschooling di

Page 45: From a Shadow

39

Jakarta,” jelasnya kemudian.

Caesar mencengkeram tangan Beby dengan erat.

“Aku yakin kok, besok kita bakal ketemu lagi.

Inget kataku dulu nggak? Kita bakal kumpul lagi di rumah

pohon kelak… Asalkan kamu masih nyimpen kertas

ajakan itu.”

“Iya Sar, inget banget. Kertas itu bakal aku

simpen di tempat yang lebih aman dari hati,” sahut Beby.

Caesar tertawa kecil. “Itu kan kata-kataku?”

Lagu “Hari Untukmu” milik Rocket Rockers dan

canda tawa persahabatan berlomba-lomba memenuhi

setiap sisi mobil Caesar. Di akhir lagu, Caesar mematikan

mesin mobilnya di tepi jalan.

“Loh kok berhenti?” tanya Beby kebingungan.

“Nggak cuma mau ngomong sesuatu aja buat

kamu,” jelas Caesar dengan raut wajah yang cukup serius.

“Silahkan…”

Caesar menatap tajam mata Beby. “Kamu tahu

arti impian?” tanyanya kemudian.

Page 46: From a Shadow

40

“Sesuatu yang ingin diraih,” sahut Beby singkat.

“Oke, coba lihat kedai kopi disana!” Caesar

menunjuk kedai kopi di sebrang jalan. “Sekarang,

mimpiku ada disana.”

Beby melongo kebingungan. “Maksudnya?”

“Mimpi kecilku, membawakan kamu bunga

edelweiss yang ada di dalam kedai itu,” jelas Caesar.

Beby masih tetap tidak paham maksud Caesar.

“Tunggu disini!”

Caesar keluar dari mobilnya, berjalan menuju

kedai kopi sepi pengunjung itu. Tak butuh waktu yang

lama, Caesar keluar dengan membawa sesuatu yang

dijanjikannya tadi.

“Ini maksudnya apa sih?”

Caesar tersenyum. “Mungkin ini semua terlihat

konyol di matamu.”

“Yap, that’s true!” sela Beby.

Page 47: From a Shadow

41

“Nggak sadar ya? Barusan kamu menyaksikan

seseorang yang berjuang meraih mimpi kecilnya,” ujar

Caesar dengan tetap mengembangkan senyumannya.

“Mimpi kecil?”

“Dengerin aku, bunga edelweiss di tanganku ini

dijual mahal sama pemiliknya, tapi aku berhasil bawain

buat kamu tanpa ngeluarin uang sepeser pun,” jelas

Caesar.

“Gimana caranya?”

“Gimana caranya itu nggak penting, yang penting

sekarang kamu harus tau kalau semua mimpi sekecil

apapun harus diperjuangin. Dan yang paling penting,

jangan takut melangkah buat meraihnya,” jelas Caesar

panjang lebar.

Kening Beby yang mengerut dan anggukan

kepalanya menunjukkan bahwa ia mulai mencerna

perkataan Caesar.

“Mungkin ada kalanya kamu terjatuh, tapi

berusalah menjadikan luka itu sebagai senjata untuk lebih

dewasa,” tambah Caesar.

Page 48: From a Shadow

42

Hingga akhirnya Beby benar-benar tahu apa

maksud ini semua. Ternyata, semua yang baru saja Caesar

lakukan hanya untuk memberi motivasi terakhir sebelum

mereka berpisah.

“Stop, I know what your mean! Sebelumnya

makasih banget buat semua ini,” sahut Beby menyela.

Caesar yang masih menatap Beby hanya

tersenyum dan mengangguk.

“Kalo boleh jujur, kamu teman paling spesial, Sar.

Seumur hidup baru kali ini nemu cowok yang punya

karakter luar biasa dan sekarang dia ada tepat di depanku,”

ujar Beby memuji. “Kita sama-sama berjuang buat meraih

dan menyatukan mimpi kita kelak di rumah pohon,”

tambahnya kemudian.

Caesar terdiam mendengar pujian Beby. Ia hanya

mengacungkan jari kelingkingnya di depan Beby.

Mengerti apa maksudnya, Beby pun langsung mengaitkan

jari kelingkingnya ke jari kelingking Caesar dengan arti

sebuah perjanjian antara mereka berdua. Senyuman

mereka berdua seakan-akan menjadi kekuatan Caesar

untuk menghidupkan kembali mesin mobilnya. Malam

Page 49: From a Shadow

43

yang spesial dengan seseorang spesial berakhir di depan

rumah Beby.

Hari demi hari pun berganti, audisi demi audisi

pun dilalui oleh Beby dengan penuh semangat. Hingga

akhirnya final audisi pun tiba.

"Beby, tetep semangat ya! Inget kata-kataku,

jangan takut buat melangkah. Aku bakal terus ada di

belakang buat mendukungmu," ucap Caesar lewat telepon.

"Makasih banget, Sar! Aku janji nggak bakal

ngecewain kamu, aku janji bisa lolos di final audisi ini,"

jawab Beby.

“Ehm… sebenernya aku cuma takut kamu

ngelupain aku saat namamu udah dikenal banyak orang

nanti,” ucap Caesar kembali.

"Sar, coba ambil sketsa wajahmu buatanku itu!”

suruh Beby.

Page 50: From a Shadow

44

Caesar pun bergegas mengambil gambar yang

diletakkan satu wadah dengan barang-barang yang sangat

berharga baginya.

“Udah…”

“Coba lihat, di gambar itu kamu selalu tersenyum.

Kenapa? Karena gambar itu tahu bagaimana perasaan

seseorang yang menggambarnya. Aku harap kamu bisa

seperti itu, Sar!" jelas Beby yang berhasil membuat Caesar

tersenyum lega.

Page 51: From a Shadow

45

III

(TIGA)

Page 52: From a Shadow

46

aesar sudah bisa menghembuskan napas lega

sekarang. Libur panjang akhir semester sudah

menanti di depan mata. Memori akan bilangan

aljabar dan rumus-rumus lainnya tertimbun rapi di dalam

otaknya. Cuci otak.

Secangkir coklat panas menemani pagi hari yang

cukup cerah ini. Sebuah gazebo kayu di halaman rumah

menjadi tempat memanjakan diri. SLURRRRPPPP!

Seduhan untuk yang kesekian kalinya, lirikan matanya

mendapati sebuah kertas bertuliskan “FROM A

SHADOW” terselip di celah-celah kayu. Kertas yang ia

bawa kembali dari rumah pohon waktu itu. Lagi-lagi

tatapan kosong Caesar membentuk sesuatu. Kini bukan

bayangan manusia melainkan bayangan akan kata-kata

yang terangkai sederhana namun penuh akan makna.

Terdiam dan memandang kosong ke atas cukup lama,

tiba-tiba terdengar langkah seseorang mendekat.

“Caesar, lagi ngapain dek?” tanya papanya

dengan suara berat khas yang mengalir dari pita suaranya.

Caesar menoleh, menghela napas dan tersenyum.

C

Page 53: From a Shadow

47

“Lagi bosen aja di dalem rumah, Pa!” jawab

Caesar. “Papa kok rapi banget?” tanyanya kemudian.

“Kamu libur berapa minggu?” tanya papanya

balik.

“Dua minggu, Pa!”

"Mau nggak ikut Papa ke Jakarta seminggu?”

“Serius, Pa?”

“Lah mau berapa rius lagi? Udah cepet packing

dulu gih!”

Caesar beranjak dan melompat kegirangan dari

gazebo. “WHOAAAHH, JAKARTA I’M COMING!!!”

Kebosanan berbalik menjadi kebebasan. Dengan

terampil, tangannya mulai meraih beberapa pakaian dari

dalam lemarinya. Tak butuh waktu lama, Caesar siap

untuk meluncur untuk merasakan udara ibukota.

Matanya tak lepas dari pemandangan di luar

jendela mobilnya. Seakan-akan seperti menyapu setiap

sudut jalan yang dilaluinya.

“Emang ya, dari kecil sampai sekarang kamu

nggak berubah,” ucap Papa tiba-tiba.

Page 54: From a Shadow

48

Kening Caesar mengerut.

“Nggak berubah?”

“Iya, selalu melongo kalau lihat jalan.”

Caesar tertawa kecil. “Sebenernya ke Jakarta mau

ngapain sih, Pa?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan.

“Jadi gini, Papa ada urusan sama temen kerja

Papa. Nah, kebetulan kamu libur panjang… kalo di rumah

sendirian kasihan, ya udah Papa mau ajak kamu jalan-

jalan sekalian,” jelas Papa. “Mau kan? Kalo nggak mau,

turun aja!” candanya kemudian.

“Oh gitu, Papa aja yang turun!” balas Caesar,

tertawa. “Terus entar kita tinggal dimana, Pa?”

“Di apartemen temen Papa…”

“Oh kirain di musholla,” celetuk Caesar kembali

tertawa.

Papanya hanya terdiam ketus.

“Nggak lucu… nggak lucu…,” ujarnya membalas.

Laju mobil sejajar dengan rasa kantuk Caesar saat

ini. Rintik hujan yang mulai membasahi jalan, seperti

Page 55: From a Shadow

49

membawa memori-memori persahabatan di setiap

tetesnya. Kembali, tatapan kosong Caesar keluar jendela

menghadirkan rangkaian kata-kata itu lagi. Dengan

cekatan, tangannya meraih pensil dan secarik kertas di

atas dashboard mobilnya. Ia mengeluarkan bayangan itu

dari otaknya menjadi tulisan. Dan benar, satu paragraf

yang ia tulis seperti sebuah prolog dalam cerita. Perlahan-

lahan bayangan itu kosong dan hilang. Seiring dengan

hilangnya bayangan itu, tanpa sadar Caesar memejamkan

matanya yang sudah menahan rasa kantuk beberapa waktu

tadi.

Tepat di belakang gedung yang menjulang tinggi

dengan 22 lantai itu, deru suara mobilnya perlahan-lahan

hilang. Papa mematikan mesin mobil yang baru saja ia

parkirkan di sebelah mobil Jeep berwarna coklat.

“Caesar… ayo bangun, dek!” seru Papa sambil

menepuk pipi Caesar.

Caesar hanya mengolet tanpa membuka mata.

Page 56: From a Shadow

50

“Dek bangun dek… udah sampai Jakarta!!!”

Terkejut, mata Caesar langsung terbuka lebar. Ia

mendapati gedung bertingkat di depan matanya. Beberapa

kali ia mengucek matanya. Melongo.

“Ini beneran udah di Jakarta, Pa?”

“Bukan… ini di Hawaii… ya iyalah Jakarta, ayo

cepet bangun gih!”

“Maksudnya ini tempat apa, Pa?”

“Oh, ini apartemen temen Papa yang udah Papa

certain tadi.”

“Hmm……. bentar, Pa, kok perasaan cepet banget

ya?”

“Cepet gimana? Kamu aja tidur udah 2 jam, ngiler

lagi tuh…,” sahut Papa sambil menunjuk mulut Caesar.

Caesar mengusap mulutnya, ternyata kering.

“Ih enggak, Pa….,” ujar Caesar sedikit kesal dan

membuat Papanya tertawa.

Langkah malas Caesar memaksa untuk keluar dari

mobil dan mendorong untuk masuk ke dalam lobby

Page 57: From a Shadow

51

apartemen mengikuti papanya. Matanya yang masih

cukup berat lebih sering mendapati orang-orang dari

negara lain khususnya dari Arab yang berlalu lalang di

sekitar lobby.

Tiba-tiba Papa menghentikan langkah kakinya,

tangannya merogoh kantong dan mengeluarkan

handphone-nya. Jemarinya mulai menyentuh layar,

memasukkan serangkaian nomor, call. Terdengar dari

percakapannya, Papa sedang menelpon seseorang untuk

menjemputnya di lobby ini.

Tak butuh waktu lama setelah Papa mengakhiri

komunikasi tadi, terlihat dari kejauhan seseorang

berpawakan tinggi dan cukup kekar dengan rambut hitam

bergelombang, tersenyum dan mendekat ke arah Papa.

Melihat dari raut wajahnya, perkiraan Caesar, pria ini

berusia seperti papanya, di tengah empat puluhan.

“Hahaha… Halo apa kabar Pak Rio?” sapa pria itu

sambil menjulurkan tangan ke Papa.

“Selalu sehat! Tambah kekar aja sekarang?” balas

Papa sambil menyambut uluran tangan tadi, bersalaman.

Page 58: From a Shadow

52

“Biar nggak ada yang berani macem-macem sama

anakku, Pak!” canda pria itu. “Ayo langsung ke dalam

aja…,” ajaknya kemudian.

Papa mengikuti arah pria itu berjalan. Setelah

berbincang-bincang di dalam lift, Caesar mulai tahu siapa

pria yang terlihat akrab dengan papanya itu. Ternyata pria

itu adalah teman lama Papa saat di Semarang, bernama

Pak Reyhan. Pak Reyhan memiliki satu anak perempuan

dan ia sudah lama ditinggal istrinya meninggal dunia.

Lift terbuka, sampai lantai tujuan. Tiga pengguna

lift tadi belok ke kiri, berjalan sembilan langkah dan

terhenti di depan ruangan milik Pak Reyhan.

Ruangan yang cukup luas untuk dua penghuni dan

cukup rapi untuk seorang pria. Setelah duduk beberapa

menit di sofa, terdengar sayup-sayup suara dentingan

piano yang beralun dengan nada-nada yang merdu.

“Hmm… jadi ini yang namanya Caesar, kelas

berapa?” tanya Pak Reyhan.

“Iya, baru lulus SMP kemarin…,” jawab Caesar

tersenyum.

Page 59: From a Shadow

53

“Loh berarti sama kayak anak saya dong?” tanya

Pak Reyhan kembali. “Sini…,” ajaknya kemudian sambil

menggeret tangan Caesar.

Tubuh Caesar tergeret mendekati arah suara

dentingan piano tadi beralun. Semakin jelas nada-nada

yang bersatu menjadi sebuah alunan musik yang

menyejukkan hati. Kembali terhenti di depan ruangan.

Saat tangan Pak Reyhan mulai membuka pintu, seketika

suara dentingan piano itu berhenti. Terlihat sosok wanita

berambut hitam lurus sebahu dengan jemarinya yang

menghentikan sentuhan dengan tuts piano.

“Itu dia…..,” ucap Pak Reyhan sambil menunjuk

wanita itu. “Namanya Althea Callista,” tambahnya

kemudian.

Caesar terdiam, jantungnya berdebar-debar cukup

kencang. Pertemuan yang cukup mengejutkan antara

Caesar dengan Althea ternyata bukan pertemuan pertama

kalinya. Mereka berdua sudah pernah bertemu

sebelumnya, bahkan bersahabat. Iya, Althea adalah

sahabat lama Caesar saat TK yang pindah ke Jakarta

karena mamanya meninggal saat itu.

Page 60: From a Shadow

54

Perlahan-lahan Althea mendekati Caesar dengan

wajah yang masih tidak percaya.

“Kamu beneran Caesar yang dulu sering

boncengin aku pulang sekolah itu kan?” tanya Althea

menatap tajam mata Caesar.

Caesar terdiam sejenak, memandangi Althea yang

dulu ia kenal masih sama-sama bersuara anak kecil kini

tumbuh menjadi sosok wanita yang sangat cantik.

Pertanyaan singkat Althea seakan-akan mengembalikan

memori Caesar dua belas tahun lalu. Namun, sebagai

seorang lelaki, Caesar masih kuat menahan rasa harunya

saat itu. Menahan dengan senyuman.

“Iya Al, aku Caesar Wijaya… dulu kita sering beli

es krim di depan sekolah,” jawab Caesar. “Aku kangen

kamu, Al!” ucapnya kemudian.

Mendengar jawaban pasti dari Caesar, betapa

terkejutnya Althea bahkan bibirnya menjadi beku

mengiringi air mata haru yang berlinangan tanpa komando

hingga membasahi pipinya. “Inget juga nggak, waktu

ngumpulin stick es krim-nya, terus dikubur di bawah

Page 61: From a Shadow

55

pohon di belakang sekolah?” tanya Althea kembali hingga

membuat memori-memori itu berdatangan kembali.

Caesar mengangguk dan tersenyum menahan air

matanya yang sudah hampir keluar. “Ssssttttt… iya aku

inget semua, Al….,” ucapnya kemudian dengan tegar

sambil mengusap air mata Althea.

“Andai aja waktu itu bisa terulang lagi…..,” kata-

kata yang terlontar dari mulut seorang sahabat kecilnya ini

selalu memaksa Caesar untuk lebih tegar.

Caesar melirik ke arah Pak Reyhan. Papa Althea

itu memberikan kode dengan senyuman dan anggukan.

Caesar tahu apa yang harus ia lakukan, ia tersenyum

kembali, untuk menenangkan sahabatnya itu.

“Kalo kamu mau, sekarang bisa kok……,” ucap

Caesar.

“Kebetulan di gudang ada sepeda, di kulkas juga

ada es krim tuh!” sela Pak Reyhan.

Seketika kening Althea mengerut setelah

mendengar pernyataan dari papanya.

“Papa?”

Page 62: From a Shadow

56

“Sudahlah, Al, Papa juga pernah muda….”

“Ah Papa………”

Suasana haru yang semula memenuhi satu petak

ruangan ini telah tergusur oleh candaan Pak Reyhan,

canda tawa pun pecah.

“Yaudah ayo, Al!” seru Caesar.

Dengan cekatan dan wajah kegirangan, Althea

bergegas mengeluarkan sepedanya dari dalam gudang.

Dibawah mentari senja, Caesar mengayuh sepeda dengan

bobot juataan memori masa lalu di dalam setiap putaran

roda. Nostalgia. Senyuman terpancar jelas dari wajah

Althea, seakan-akan ia telah menemukan kembali

pangerannya yang telah lama hilang. Dalam otaknya

hanya ada kenangan masa lalunya yang terulang kembali

saat ini.

Caesar terus mengayuh sepeda itu ke arah pohon

besar yang berada di taman, belakang apartemen. Tiba-

tiba ia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Terdiam

hingga menghentikan laju sepeda. Ia pernah merasakan

hal yang sama seperti ini. De Javu. Bukan dengan Althea,

Caesar teringat kembali di saat berangkat sekolah sebelum

Page 63: From a Shadow

57

pengumuman kelulusan. Lagi dan lagi, kini bayangan

Beby Chesara Anadila seperti muncul tepat di depannya.

Kenangan lain bercampur aduk di dalam otaknya.

“Sar, kok berhenti?”

Serontak Caesar tersadar dari lamunannya.

“Ha?” melongo. “Nggak kok…,” ucapnya

kemudian.

Althea tersenyum. “Hayo… lagi ngalamunin

apa?”

“Beneran nggak ngapa-ngapain, cuma kangen aja

kalo lihat pohon segede itu…,” sahutnya untuk mengalih-

kan perhatian. “Kalo dulu, kita mesti makan es krim

bareng di bawah pohon segede itu,” tambahnya.

“Yaelah Sar, ya udah kesana aja lagian aku kan

juga bawa es krim,” ajak Althea.

Caesar tersenyum, badannya mulai tegak, kakinya

juga mulai mengayuh kembali sepeda putih itu hingga di

bawah pohon yang cukup besar tujuannya. Kembali,

jutaan memori masa lalunya meledak. Di tengah canda

Page 64: From a Shadow

58

tawa kedua pasangan sahabat ini, tiba-tiba Althea

memeluk Caesar.

“Sar, dari dulu sampai sekarang, cuma kamu yang

bisa bikin aku tertawa lebar kayak gini,” ucap Althea yang

masih erat memeluk sahabat kecilnya itu. “Kamu nggak

berubah ya, Sar…,” tambahnya dengan perlahan-lahan

melepaskan pelukan itu.

Caesar menatap tajam mata Althea, kedua tangan-

nya memegang erat bahu Althea.

“Lihat aku, Al…,” ucap Caesar yang terlihat

serius.

Althea manggut-manggut.

“Aku manusia biasa, bukan Power Rangers yang

bisa berubah…,” candanya dengan perlahan-lahan

melepaskan bahu Althea. Suasana cair kembali dengan

candaan itu, keduanya cekikikan. Dengan bahu yang

masih terguncang, mereka berdua memakan es krim

bersama hingga senja menyapa dan hujan rintik-rintik pun

yang mengakhirinya.

Page 65: From a Shadow

59

Malam ini rasanya berbeda, jauh lebih indah dari

malam-malam lainnya. Kembali Caesar dan Althea

mengenang masa lalunya. Kali ini mereka berdua

memandangi langit penuh bintang berkedip riang, seakan-

akan bintang itu tersenyum melihat mereka duduk berdua.

“Eh lihat itu Caesar, ada bintang jatuh!" teriak

Althea sambil menunjuk ke arah bintang itu semakin

menghilang.

Caesar merogoh kantongnya dan meraih sesuatu.

“Wuih iya-iya, aku juga lihat, Al!" sahutnya.

Ternyata Caesar mengambil secarik kertas kosong

yang tergambar sosok perempuan hasil tatapan kosongnya

saat di sekolah waktu itu.

"Ngapain kamu, Caesar? Itu gambar siapa?"

tanya Althea penasaran.

"Gini, kan katanya kalo ada bintang jatuh apa

yang kita harapkan bisa terkabul kan? Nah, aku pengen

Page 66: From a Shadow

60

ketemu sama orang yang ada di gambar ini, Al…," jelas

Caesar.

“Terus itu gambar siapa?”

“Aku juga nggak tau, makanya itu aku pengen

ketemu sama orang di gambar ini, Al.”

“Kok bisa gitu sih?”

“Gini ceritanya… waktu itu pas pelajaran Bahasa

Perancis ngebosenin banget kan tuh ya, nah aku ngambil

kertas, terus coret-coret nggak jelas… eh malah jadi

gambar kayak gini…”

“Oh gitu, ya udah semoga orangnya ada di dunia

ini,” ucap Althea, tersenyum.

“Kamu nggak ngeharapin sesuatu, Al?”

"Ehm... kalo aku berharap persahabatan kita bisa

sampai selamanya," kata Althea tersenyum kembali

dengan mata berkaca-kaca.

Mendengar perkataan itu Caesar langsung meraih

jari kelingking Althea dan mengaitkannya ke jari

kelingkingnya erat-erat.

Page 67: From a Shadow

61

"Al, tatap mataku… inget kata-kataku ini! Setiap

ada pertemuan pasti ada perpisahan, tapi entah kapan. Aku

selalu berdoa untukmu, kita akan bisa selalu bersama

merintis hari esok menuju cita-cita dan harapan kita,

melewati goresan takdir berdua, kamu dan aku. Karena

kamu adalah sahabatku dan inilah janjiku, aku akan selalu

mencoba ada untukmu walau hanya dalam mimpi, kamu

tak akan pernah terhapus dalam kenanganku, karena kamu

terindah. Aku bangga punya sahabat sepertimu, Al…."

Suasana haru kembali datang malam ini, tapi

Caesar tak ingin terus larut dalam suasana itu. Ia berjalan

dan mengambil sebuah gitar yang tergeletak di sebelah

pintu. Mungkin ia akan menghilangkan suasana hari itu

dengan menyanyikan lagu. Dan benar, Caesar memetik

gitarnya, menyanyikan lagu Ipang ― Sahabat Kecil, Althea

pun berhasil terhipnotis untuk ikut menyanyi bersama.

Page 68: From a Shadow

62

-

Baru saja berakhir hujan di sore ini

Menyisakan keajaiban, kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan dan tetap mengaguminya

Kesempatan seperti ini tak akan bisa di beli

Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu

Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan

Tak akan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak mau datang

lagi. Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu

Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya

Janganlah berganti, janganlah berganti, janganlah berganti

Tetaplah seperti ini…

Janganlah berganti, janganlah berganti, janganlah berganti

Tetaplah seperti ini…

Page 69: From a Shadow

63

Hari kedua di Jakarta.

Pagi yang cerah, di antara kicau burung dan

nyanyian hari-hari, Caesar memandangi kertas yang

tergambar sosok wanita itu. Rasa penasaran selalu

menghantuinya, ia selalu bertanya-tanya kepada dirinya

senidiri siapakah sosok wanita yang ada di kertas itu.

Tiba-tiba ada suara orang lari dari kejauhan dan terus

mendekati Caesar.

“Halo Caesar…,” seru Althea mengagetkan

Caesar dengan menepuk bahunya.

Tubuh Caesar terguncang.

“Eh kamu, Al… pagi-pagi udah ngagetin aja,”

ucapnya kemudian.

Althea menggembungkan pipinya, manyun. “Ya

maaf…”

Caesar tersenyum, jemarinya sedikit mencubit

gemas dagu sahabatnya itu.

“Ya udah nggak usah cemberut gitu kali, jelek

tau…,” ucapnya kembali, masih tersenyum gemas.

Page 70: From a Shadow

64

Tanpa kata, Althea menjulurkan tangannya dan

menunjukkan secarik kertas bertuliskan “FROM A

SHADOW” kepada Caesar. Kepala Caesar miring,

mendekati kertas itu, alisnya naik.

“Eh ini kok―” sahut Caesar sebelum kata-

katanya terputus oleh selaan Althea.

“Iya, ini aku nemu di depan kamarmu tadi,” jelas

Althea. “Punyamu?” tanyanya kemudian.

“Ehm… iya…”

“Boleh aku nebak artinya?”

Caesar tersenyum, manggut-manggut.

“Berawal dari bayangan…,” Althea menatap

langit-langit, berpikir keras.

“Dua juta rupiah!!!” seru Caesar, bercanda.

“Belom, Sar…”

“Itu udah bener kok artinya―”

“Aku kan bukan nebak artinya, maksudnya tadi

mau nebak maknanya,” sela Althea. “Hmm… menurutku

itu maknanya, semua hal yang nyata berawal dari

Page 71: From a Shadow

65

bayangan yang maya, bener nggak sih?” jelas dan

tanyanya kemudian dengan tertawa kecil.

Mendengar perkataan Althea, Caesar tercengang.

Hatinya spontan bertanya-tanya. Mengapa Althea bisa

tahu makna tulisannya? Padahal selama ini nggak pernah

ada seorang pun yang tahu sebelum Caesar yang memberi

tahunya sendiri. Apa Althea bisa membaca pikiran orang

lain? Itu mustahil, ia hanya manusia biasa. Lantas, kenapa

dia bisa―?

Cukup lama Caesar terdiam hingga Althea

menggadangkan tangannya di depan wajah Caesar.

“Eh…,” Caesar mulai tersadar dari lamunannya.

“Kok kamu bisa tahu maknanya, Al?” tanyanya

penasaran.

“Kamu suka nulis ya?” Althea membalikan

pertanyaan.

Caesar menggaruk kepalanya. “Nggak tau… tapi

aku bingung, akhir-akhir ini aku jadi sering melamun,

terus kadang tanganku serasa gerak sendiri nulis sesuatu

nggak jelas kayak gitu, Al.”

Page 72: From a Shadow

66

“Kok bisa gitu?”

“Entah…”

“Bentar, aku mau cerita,” ucap Althea, menelan

ludah. “Dulu―sebelum aku bisa main piano, aku sempet

suka nulis. Nah, gejalanya seperti yang kayak kamu lakuin

tadi, akhirnya aku bisa memaknai sebuah rangkaian kata

yang nggak jelas itu.” jelasnya.

“Jadi, maksudmu aku seorang penulis?” tanya

Caesar kembali.

“Belom!” tegas Althea. “Kamu bisa disebut

seorang penulis, kalau kamu udah bisa nerbitin buku

kamu,” jelasnya kembali.

Caesar tidak menjawab dan hanya memandangi

Althea dengan wajah yang tidak paham.

“Yap, mungkin kamu masih bingung, boleh aku

ngelanjutin tulisanmu ini satu paragraf lagi?” tanya Althea

meminta izin.

Caesar menganggukkan kepala yang berarti ia

mengizinkan Althea. Tak butuh waktu lama seperti

Page 73: From a Shadow

67

mengerjakan soal, Althea yang sudah mahir dalam

merangkai kata sudah menuliskan satu paragraf itu.

Page 74: From a Shadow

68

Tulisan Althea membuat Caesar kembali ter-

cengang, ternyata sahabat kecilnya memiliki pemikiran

dasar yang dewasa. Hal itu membuatnya mengerti bahwa

kedewasaan seseorang tak bisa dihitung dari umur.

“Apa yang harus aku lakuin, Al?” tanya Caesar

tiba-tiba.

Althea menghela napas kembali dan menjelaskan.

“Kalau kamu ingin membuat satu buku, lanjutin ceritamu

setelah paragraf yang aku buat ini,”

“Hmm… siap kapten!” tegas Caesar, seakan-akan

melaksanakan perintah atasannya.

“Tapi inget, harus fokus dan konsisten di ceritamu

itu, jangan cuma jadi moody-writer,” jelas Althea kembali,

memberikan masukan.

Caesar tersenyum sumringah, bahkan ia

mengangkat tangan kanannya ke depan dahinya―hormat

layaknya anak buah terhadap pemimpinnya. Hal itu

membuat Althea tertawa hingga melayangkan tamparan

kecilnya di pipi Caesar.

Caesar mengusap pipinya.

Page 75: From a Shadow

69

“Kok nampar sih?”

“Aku sayang kamu, Sar!” selarik kata ini

membuat ruangan menjadi sunyi seketika.

Matanya saling memandang seakan-akan bertanya

apa maksud kata itu. Althea langsung mengalihkan

pembicaraan dengan menggeret Caesar hingga ke samping

meja belajarnya. Althea menulis sesuatu di dalam secarik

kertas.

“Apa maksudnya?” tanya Caesar, melongo.

Althea tersenyum lega, perkataan keceplosan tadi

sudah teralihkan.

Page 76: From a Shadow

70

“Nggak―Cuma ntar semisal kamu udah punya

buku sendiri, aku berharap tulisan ini nempel jelas di

pembatas bukunya―kalo nggak keberatan sih,” jelasnya

kemudian.

“Itu sih gampang, Al, emang artinya apa sih?”

tanya Caesar penasaran.

Althea terlihat salah tingkah ketika mencari arti

tulisan itu, tapi akhirnya ia mendapatkan ide untuk

beralasan kembali.

“Itu… itu… nggak ada artinya,” sahutnya terbata-

bata. “Ya anggep aja itu tanda tanganku tapi berupa gituan

lah pokoknya,” jelasnya dengan lagak aneh.

“Iya deh iya, apa sih yang nggak buat kamu,” ujar

Caesar sambil mencubit pipi Althea, gemas.

Tangan yang semula menempel pipi Althea,

dengan cepat mengalihkan gerakannya saat handphone-

nya berdering―merogoh kantong dan mengeluarkannya.

Pada layar, tertera jelas panggilan masuk dari

Triyan―Accept.

“Halo, ada apa vrooh?” sapa Caesar.

Page 77: From a Shadow

71

“Posisi lagi di Jakarta, kan?” tanya Triyan

Caesar menanya balik. “Kok tau?”

Triyan mendengus kesal.

“Yaelah, rumah aja sebelahan, gimana nggak bisa

tahu, peaaaa…. Ini aku juga lagi di Jakarta soalnya,”

jelasnya kemudian.

“Ngapain, jangan-jangan kangen nih?” canda

Caesar.

“Anjirrrr, entar malem gue certain lah… pokok-

nya lo kudu bisa keluar ke QQ Kopitiam FX, gue tunggu!”

ujar Triyan, menyuruh bahkan memaksa.

“Haha sialan baru berapa hari di Jakarta udah

pake lo-gue, oke sip dah!” ejek Caesar sekaligus

menyetujui ajakan paksa Triyan.

Mendengar perstujuan dari mulut Caesar, tanpa

membalas satu kata pun, Triyan langsung memutuskan

panggilan tersebut. Sudah biasa, Caesar paham apabila

temannya itu sudah mematikan panggilan, berarti lagi

krisis pulsa. Cukup mengerti.

Page 78: From a Shadow

72

“Siapa, Sar?” tanya Althea yang mendengarkan

percakapan tadi.

“Temen dari Semarang, kebetulan juga lagi main

di Jakarta,” jawab Caesar. “Oh iya, entar malem bisa

nganterin ke QQ Kopitiam FX nggak, Al?―Sekalian

nongkrong gitu,” tanyanya kemudian.

“Ya udah berangkat aja sih, lagian aku juga

pengen keluar,” jelas Althea menyetujui.

Pukul 19.30, Caesar masih asyik memainkan

game dalam PSP-nya. Berkali-kali ia merubah posisi

duduknya dan berkali-kali raut wajahnya berganti. Kadang

terlihat saat bahagia saat sukses menyelesaikan misi

game-nya dan terlihat marah dengan dahi yang mengerut

jika gagal. Hebat sekali―benda mati bisa mengendalikan

emosi manusia. Matanya yang dari tadi hanya me-

mandangi layar empat inci itu, kini mendapati Althea

dengan sweater Navajo-nya sedang berjalan menuju

Page 79: From a Shadow

73

Caesar dan menjulurkan tangan, memberikan kontak

mobil.

“Buat apa?” tanya Caesar seperti orang bego.

“Buat mas kawin,” celetuk Althea. “Hadeeeeeh,

katanya tadi suruh nganterin ke QQ Kopitiam?” tanyanya

kemudian, sedikit kesal.

“Oh iya, bloon jadi lupa sendiri gini, bentar ya

aku ganti baju dulu!” sahut Caesar sambil berlari menuju

kamar.

Mengenakan pakaian santai―kaos biru dongker

dengan tulisan berwarna kuning keemasan “silence is

better than bullshit”dan celana pendek casual berwarna

cokelat, Caesar keluar dari kamarnya. Mengambil kontak

mobil dari tangan Althea, mereka berdua langsung menuju

QQ Kopitiam di FX Sudirman Mall dengan Honda Civic

merah milik Althea.

Di tengah perjalanan―di dalam mobil, Althea

sempat bertanya pada Caesar tentang gambar sosok wanita

misterius itu.

“Sar, aku boleh tanya sesuatu?”

Page 80: From a Shadow

74

“Boleh aja lah, tanya apa Al?

"Dari kemarin, aku selalu lihat kamu memandangi

sosok wanita yang kamu gambar di kertas itu, kenapa?"

tanya Althea.

"Entahlah Al, aku juga bingung…," jawab Caesar

singkat.

Althea menghela napas.

"Kenapa nggak kamu buang aja? Lagian itu cuma

gambaran aja, takutnya kamu malah terobsesi," tanyanya

kemudian.

"Rasanya berat, Al. Gambar itu seakan-akan nyata

dan bayangan itu selalu ada dalam otakku, andaikan―"

"Iya udah nggak usah dibahas lagi, aku tau

perasaanmu kok, simpen aja gambar itu," sahut Althea

yang memotong perkataan Caesar.

“Kayaknya perkataanmu tadi ada benernya,

Al…,” ujar Caesar. “ Kamu mau nggak nyimpen gambar

ini? Biar aku bisa ngelupainnya pelan-pelan, tapi jangan

dibuang loh…,” mohon Caesar.

Page 81: From a Shadow

75

“Oke, Sar! Nyantai aja kali…”

Akhirnya, beberapa menit setelah berbincang-

bincang di dalam mobil, mereka pun sampai tujuannya

yaitu di FX Sudirman Mall. Tidak menunggu lama,

keduanya langsung menuju QQ Kopitiam di lantai dasar.

QQ Kopitiam sudah di depan mata. Terlihat

seseorang pria mengenakan kemeja bermotif jangkar

duduk di sudut Coffee Shop itu―Triyan, ia dating lebih

awal. Mereka pun langsung menghampirinya.

“Woy!” seru Caesar menepuk bahu Triyan dari

belakang.

“Anjirrrr lu ngagetin aja,” ucap Triyan setelah

tubuhnya terguncang, sedikit kaget.

Caesar hanya tertawa dan langsung duduk di kursi

yang berada di depan Triyan, Althea mengikutinya.

Melihat Althea, Triyan melongo kebingungan seperti

melihat mahkluk asing dari planet lain.

Caesar menepuk pipi Triyan berulang kali

“Ngapain melongo gitu? Kenalin nih, temenku―”

Page 82: From a Shadow

76

Triyan langsung menjulurkan tangannya dan tetap

melongo seakan-akan Althea menghipnotisnya. Althea

menyambut dan membalas juluran tangan Triyan. Cukup

lama mereka berdua bersalaman tak lepas.

“Inget yang di Semarang woy!” seru Caesar.

Triyan menelan ludah.

Tiba-tiba Althea berdiri.

“Hmm… bentar ya, aku mau ke toilet…,” ucap

Althea dan langsung bergegas menuju toilet di lantai 4.

Althea sudah tak terlihat dari dalam coffee shop

itu. Triyan pun langsung tersadar dari hipnotis tidak jelas

tadi, lalu mendekat ke Caesar.

“Itu siapa, Sar? Cantik ameeeetttt!” tanya Triyan.

“Kan aku udah bilang tadi… itu temenku,” jawab

Caesar. “Ginsa kan juga cantik?” tanyanya kemudian yang

bermaksud memancing.

Triyan kembali menelan ludah.

“Hmm… Sar… Sebenernya aku udah putus sama

Ginsa,” jelas Triyan terbata-bata.

Page 83: From a Shadow

77

Caesar terkejut, tubuhnya terguncang saat

mendengar perkataan Triyan yang baru saja dilontarkan.

Alhasil, tak sengaja Caesar merobek daftar menu yang

berada dalam gengamannya.

“Hah?!!!” serunya kemudian, terkejut.

“Bentar, aku jelasin dulu―aku putus baik-baik

kok, nggak ada masalah. Semua udah dipikirin matang-

matang. Ginsa juga udah paham, kalau sahabat jadi pacar

entar ending-nya malah nggak bener. Jadi sebenernya kita

cuma break aja, nunggu waktu yang pas, udah gitu aja

sih,” jelas Triyan panjang lebar.

“Syukurlah……,” sahut Caesar singkat dengan

mengelus dadanya. “Mbak… mbak….,” seru Caesar

kemudian memanggil pelayan coffe shop itu.

Pelayan tersebut pun mendekat.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?”

“Pesen kopi susu panas satu, lemon tea satu ya,

mbak!” ujar Caesar memesan secangkir kopi sekaligus

mengembalikan daftar menu. “Maaf mbak agak robek, ini

tadi kelakuan temenku abis putus sama pacarnya, nggak

Page 84: From a Shadow

78

tega ngerobek fotonya malah daftar menu yang jadi

pelampiasan, maafin ya mbak?” ujarnya kemudian dengan

menunjuk Triyan yang tidak tahu apa-apa dan

menertawakannya.

“Ih apa sih lu? Nggak mbak, dia tukang fitnah…

Hati-hati dimodusin lho mbak, bentar lagi mau culik

mbaknya kan lu?” Triyan membalas fitnah.

“Hahanjirrr nggak mungkin, parah!” sahut Caesar

cekikikan.

Pelayan itu terlihat tersenyum menahan tawanya.

“Oke, tunggu bentar ya…,” ujarnya sebelum melayani

pesanan Caesar.

“Sar, gue mau tanya, emang lo nggak kangen

sama Beby?”

Caesar menghela napas panjang.

“Kalo kangen mah udah pasti, Yan, tapi aku

berusaha buat ngelupain dia sementara, aku nggak mau

ngehalangin mimpinya. Aku udah janji sama dia, Yan,”

jawab Caesar, menjelaskan.

Page 85: From a Shadow

79

“Iya sih, gue suka gaya lo, bro! Emang bisa

tahan?” celetuk Triyan sekaligus bertanya.

“Kalo nggak tahan, pasti udah aku samperin lah

mumpung sedeket ini, theater-nya aja di atas sini―di

lantai empat,” jelas Caesar kembali.

“Oh iya, malah baru nyadar gue…,” ucap Triyan

dengan tertawa kecil.

Di sisi lain ada Althea yang sedang menuju toilet

yang berada di lantai empat itu. Awalnya, ia berniat untuk

naik escalator, tetapi setelah melihat lift terbuka, tanpa

pikir panjang ia langsung memasukinya.

Saat lift berada pada lantai dua, pintu lift terbuka.

Terlihat gadis seperti berseragam SMA berparas manis

memasuki lift itu. Iya, hanya ada mereka berdua di dalam

lift. Althea terlihat cuek dan tidak menghiraukannya.

Tiba-tiba handphone-nya bergetar, ia langsung merogoh

kantongnya. Handphone itu satu kantong dengan kertas

yang tergambar sosok wanita buatan Caesar itu. Tanpa

disadari, kertas itu pun jatuh dari kantongnya saat lift

terbuka di lantai empat. Althea meninggalkan lift itu

Page 86: From a Shadow

80

sambil membuka pesan dari Caesar yang berisikan kalau

ia memesankan minuman untuknya.

Setelah dari toilet, Althea kembali ke QQ

Kopitiam. Lemon Tea―minuman favorit Althea sudah

tersedia di depan matanya. Althea bahagia, ternyata

Caesar masih ingat minuman favoritnya sejak TK dulu.

Satu jam berlalu, mereka telah berbincang-

bincang cukup lama. Perbincangan yang membuat Triyan

dan Althea lebih mengenal satu sama lain. Hingga

akhirnya, Althea mengajak Caesar pulang. Ia berpikir

sudah larut malam untuk seorang wanita berada di luar

tempat tinggal. Malam itu ditutup dengan canda tawa

dalam perbincangan yang selalu hadir di saat Caesar dan

Triyan bertemu. Seperti biasa.

Hari ketiga di Jakarta.

Awan pagi menyelimuti langit ibukota. Cahaya

sang mentari pun hanya terlihat samar-samar. Jemari

Althea menari di atas tuts-tuts piano klasik miliknya.

Page 87: From a Shadow

81

Denting piano yang mengalun anggun memenuhi setiap

sudut ruangan tertutup di sebelah Timur ruang keluarga,

Althea sering menyebutnya “Dream Room” ―ruangan

yang menyimpan jutaan mimpi Althea di dalamnya.

Seketika alunan nada-nada piano itu terhenti oleh suara

yang sayup-sayup terdengar dari luar ruangan itu.

“Pak Rio, mau kemana?” tanya Pak Reyhan

setelah melihat papa Caesar berjalan tergesa-gesa keluar

dari kamarnya.

“Mau beliin si Caesar obat, Pak,” jawab Pak Rio,

menghentikan langkahnya.

Pak Reyhan menutup korannya, merubah posisi

duduknya, tegap.“Loh, Caesar sakit?” tanyanya kembali.

“Iya, kelihatannya demam tadi…”

Mendengar perkataan dari Pak Reyhan itu, Althea

bergegas keluar dari kamarnya dan menghampiri Caesar.

Dan benar, Caesar terbaring lemah di tempat tidurnya,

wajahnya pucat. Ia terlihat menggigil walaupun selimut

tebal sudah menutupi tubuhnya.

Page 88: From a Shadow

82

“Ya ampun, Sar, kenapa?” tanya Althea penasaran

sekaligus khawatir.

Dengan pura-pura kuat, Caesar menoleh ke arah

Althea, tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan

maksud bahwa ia baik-baik saja. Namun, Caesar tidak

dapat menyembunyikan lagi wajahnya yang semakin

pucat. Hal itu menarik Althea untuk mendekatinya, ia

menjulurkan tangan kanannya menyentuh kening

sahabatnya itu.

“Panas―tidak mungkin jika Caesar baik-baik

saja, dia pasti hanya berpura-pura kuat di hadapanku,

mungkin Caesar tak ingin merepotkanku,” pikir Althea

dari dalam hati. “Tunggu bentar, Sar!” ucapnya kemudian

sambil bergegas keluar dari kamar Caesar.

Beberapa menit kemudian, Althea kembali dengan

menenteng baskom kecil berisi air hangat dan washlap

berwarna biru muda yang menggantung di tepi baskom.

Althea bermaksud ingin menurunkan panas Caesar dengan

mengompresnya. Melihat perlakuan Althea terhadapnya,

Caesar tercengang. Baru kali ini ia mengenal wanita yang

Page 89: From a Shadow

83

sangat perhatian dengannya bahkan melebihi perhatian

dari mamanya dulu.

Caesar memegang erat telapak tangan Althea yang

sedang menjamahi keningnya. “Makasih banget, Al…,”

ucapnya kemudian dengan suara berat.

Tiba-tiba seseorang masuk tanpa mengetuk pintu,

ternyata Pak Rio.

“Ini obatnya, dek!” ucap Pak Rio dengan

menunjukkan obat yang baru saja ia beli untuk anaknya.

“Ini obat penurun panas, ini sakit kepala, yang ini

antibiotik, semuanya diminum 3 kali sehari habis makan

ya! Sekarang kamu makan dulu gih, biar bisa minum

obat,” ucap serta suruhnya kemudian, menjelaskan dan

menunjukkan satu per satu obat sekaligus dosis yang harus

diminum Caesar.

“Biar aku yang nyuapin, Om…,” sahut Althea,

menyela.

Lagi-lagi perkataan Althea membuat Caesar

tercengang hingga ia sempat berpikir, ada apa dengan

Althea? Caesar tidak pernah merasa member apapun

Page 90: From a Shadow

84

kepadanya bahkan menyelamatkan hidupnya. Lantas

mengapa Althea terlihat seperti ingin berbalas budi.

Pemikiran itu seketika terhapus, Caesar mendapatkan

alasan yang positif. Ia berpikir, mungkin itulah yang

namanya persahabatan, selalu ada dalam keadaan apapun

hingga bisa merasakan apa yang bisa dirasakan

sahabatnya. Dan mungkin Althea sedang merasakan sakit

seperti yang dirasakan Caesar saat itu, sehingga Althea

berusaha untuk memberikan perhatian lebih untuk

sahabatnya itu.

Tetap saja, Caesar tidak ingin merepotkan orang

lain meskipun itu sahabatnya sendiri. Sebelum Althea

bergegas untuk mengambil makanan untuknya, Caesar

menarik sahabatnya tersebut. “Nggak usah, Al, aku bisa

sendiri…”

Althea mencoba melepaskannya, namun

genggaman Caesar cukup erat, ia pun menghela napas.

“Sar, aku tahu kamu orang yang kuat, aku tahu kamu bisa

mandiri, tapi kali ini keadaanmu bener-bener drop, kamu

harus cukup istirahat. Tenang aja, aku nggak ngerasa

direpotin sama sekali kok, aku cuma pengen kamu bisa

Page 91: From a Shadow

85

cepet sembuh, aku nggak mau lihat kamu sakit-sakitan

gini, Sar. Aku tahu, kamu ke Jakarta buat liburan, buat

seneng-seneng, bukan buat ngerasain sakit kayak gini.

Aku mohon kali ini biar aku yang nyuapin kamu…,” ujar

Althea panjang lebar hingga membuat Caesar melepaskan

tangannya dan membiarkan sahabatnya untuk melakukan

yang terbaik.

Suap demi suap hingga akhirnya Caesar berhasil

menghabiskan buburnya ditambah tiga butir obat dengan

bantuan tangan sahabatnya. Althea pun mendengus lega.

“Sekarang kamu istirahat yang cukup, semoga

cepet sembuh ya…,” ucap Althea lirih dengan merapikan

tempat tidur sahabatnya, Caesar hanya membalas dengan

anggukan lemahnya.

Althea langsung meninggalkan Caesar untuk

beristirahat. Saat keluar dari kamar Caesar, Althea

mendapati Pak Rio sedang duduk santai di teras dengan

secangkir kopi menemaninya. Althea mendekati,

menanyakan sesuatu.

“Om….,” sapa Althea santun.

Page 92: From a Shadow

86

Dengan cekatan, Pak Rio sedikit menyeruput kopi

panasnya dan meletakkan kembali ke meja di sampingnya.

Mengalihkan kepalanya, menoleh ke arah suara Althea

menyapanya. “Eh iya, ada apa, dek?” balasnya kemudian.

“Cuma mau tanya aja, Om,” ucap Althea sedikit

menghela napas. “Kalo boleh tahu, Caesar suka lagu yang

kayak gimana ya, Om?” tanyanya kemudian.

“Dia sih universal, asalkan kedengaran enak di

telinganya, pasti dia suka. Tapi, akhir-akhir ini dia lagi

suka sama… apa itu namanya? Je… Ka… Te… Jakarta

Empat Delapan… atau apa gitulah, pokonya ada empat

delapannya…,” jelas Pak Rio. “Kenapa?” tanyanya

kemudian.

“Oh JKT48… nggak apa-apa sih, Om, tanya aja,

hahahaha….,” sahutnya cengengesan.

“Ah kamu ini, sama aja kayak Caesar, kalo

ditanyain jawabnya gitu…”

Jodoh mungkin, Om! Ups…,” celetuknya dengan

menutup mulut, malu. Hal itu membuat Pak Rio tertawa

hingga akhirnya suara tawa keduanya pecah dan

Page 93: From a Shadow

87

berlomba-lomba dengan suara gemercik hujan pagi itu.

Seketika suara tawa itu terhenti dengan sepotong

pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Pak Rio yang

mengejutkan Althea.

“Kamu suka sama Caesar?” tanya Pak Rio

tersebut, terang-terangan.

Setelah beberapa detik terdiam dan berkali-kali

menelan ludah, Althea memberanikan diri untuk mulai

menjawab pertanyaan itu.

“Ehmm… hmm… aku… aku―” jawabnya

terbata-bata sebelum Pak Rio menyelanya.

Senyuman Pak Rio mengembang setelah melihat

Althea yang salah tingkah itu. Tanpa jawaban, Pak Rio

sudah bisa menebak perasaan hati Althea dari bahasa

tubuhnya. Tiba-tiba, tangan Pak Rio menepuk pelan bahu

Althea.

“Sabar ya dek, kamu kenal Caesar kan? Tahu

gimana karakternya kan? Dia emang gitu, tapi tenang aja,

dia kelihatan cuek, padahal sebenernya dia itu perhatian.

Om tahu, dia sering berpura-pura nggak peka sama orang

Page 94: From a Shadow

88

lain dan nggak mau ikut campur urusan orang lain dan

kadang jadi pendiam seketika. Tapi asalkan kamu tahu,

diamnya Caesar itu bukan berarti nggak tau apa-apa, dia

menguji kesabaran orang lain, kadang dia lebih tau dari

kita yang lebih banyak bicara. Nah, dari situlah dia bisa

tahu bahkan memahami karakter orang lain tanpa harus

mengenal orang itu lebih dalam. Makanya dia nggak

pernah salah dalam memilih teman, jadi kamu harus ekstra

sabar, gitu aja sih,” ucap Pak Rio menjelaskan karakter

anaknya kepada Althea.

“Iya bener, Om, lama-lama aku juga ngerasain itu

sendiri,” ucap Althea, beberapa kali menganggukkan

kepalanya dan melihat ke atas seperti sedang berpikir.

Perbincangan yang cukup memakan waktu itu

membuat keduanya bisa mengenal satu sama lain. Dari

balik jendela, Pak Reyhan mengintip anaknya yang

terlihat bahagia saat bercanda dengan Pak Rio, hati papa

Althea itu ikut merasakan kebahagiaan anak tunggalnya

tersebut. Jelas saja, anaknya yang jarang sekali tersenyum

dan sulit sekali dalam bersosialisasi, dapat berbalik 360°.

Page 95: From a Shadow

89

Pak Rio dan Caesar lah orang yang bisa menaklukan

Althea dari karakternya itu selain papanya sendiri.

Hujan hari itu tak kunjung berhenti, awet seperti

penyakit yang sedang menggerogoti tubuh Caesar yang

semakin menjadi-jadi, suhu tubuhnya meningkat. Namun,

Caesar tetaplah Caesar, seperti apapun keadaanya, ia tetap

“stay strong” bahkan ia tak ingin diam saja dengan selalu

mencari kesibukan.

Tubuhnya yang lemah perlahan-lahan melata

menuju tepi kasur. Hanya ingin meraih gitar di samping

kasurnya saja, rasanya seperti memanjat pohon kelapa

yang menjulang tinggi, berat sekali.

Belum sampai tangannya untuk meraih gitar itu,

tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.

“Masuk aja!” seru Caesar, mempersilahkan.

Terlihat Althea masuk dan ingin cepat-cepat

mendekati Caesar seperti ingin menunjukkan sesuatu.

Page 96: From a Shadow

90

Tangan kirinya menggengam iPod putih miliknya dengan

headset yang menancap di atasnya.

“Halo, Sar! Lagi ngapain?” tanya Althea basa-

basi.

“Sebenernya mau main gitar sih,” jawab Caesar

dengan suara yang masih lemahnya.

Althea mendengus kesal. “Ya ampun, Sar, kamu

nggak boleh banyak gerak, sebelum bener-bener fit,”

ucapnya kemudian.

“Ya maaf…”

Althea tersenyum ringan, “Ya udah, lain kali

nggak boleh diulangin lho,” ucapnya. “Ini aku punya lagu

bagus, dengerin ya,” tambahnya sambil menempelkan

headset ke kedua telinga Caesar.

Terdengar sebuah lagu yang tak asing di telinga

Caesar. Namun, seseorang telah membuat lagu itu berbeda

dengan dentingan piano yang khas dan suara anggunnya.

Lagu Temodemo no Namida milik JKT48 berhasil

memaksa Caesar menahan air matanya.

Page 97: From a Shadow

91

Hujan rintik-rintik yang mulai turun, aku pun menutup layar kisah ini..

Bagai menurunkan layar warna perak, itulah cinta pertama diriku..

Ku terus menunggu. di jalan yang kedua, ku ingin panggil namun ku

tak bisa…….

Saat kulihat kebawah, bunga ajisai pun menangis.

Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu..

Kau jalan berlalu di depan mataku.

Walaupun jadi begini, aku tetap melihatmu dari tempat ini.

Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu,

Kau bahkan tidak menoleh ke arahku.

Walaupun kupakai payung, pipiku pun tetap basah.

Diri ini tak berdaya, Temodemo no namida…

Di jalan yang penuh kesedihan ini, aku berjalan seorang diri.

Dalam hati ini, diriku tersesat rasa sayang tak seorang pun tahu..

Bunga ajisai yang suka akan hujan., .memejamkan mata di hari

cerah…

Mendung yang jauh di sana, apakah kau yang memikirkannya?

Page 98: From a Shadow

92

Walau sesedih apa pun juga, walaupun tak bisa juga, biarkan aku

tetap menjadi gadis…

Ku tak akan melupakan jejak langkah kenangan. bertemu

denganmu……

Walau sesedih apa pun juga, walaipun tak bisa juga,..

Suatu hari ku pasti kan teringat..

Walaupun harapan aku tidak juga terwujudkan..

Ku kan terus bersinar, Temo demo no koi yo…..

Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu,

Kau jalan berlalu di depan mataku.

Aku tetap melihatmu dari tempat ini…..

Walau ku sangat ingin bertemu, walau ku menyukaimu..

Kau bahkan tidak menoleh ke arahku…

Walaupun kupakai paying, pipiku pun tetap basah.

Diri ini tak berdaya, Temodemo no namida……

Setelah lagu itu selesai, Caesar melepaskan

headset di telinganya, matanya terlihat berkaca-kaca. Dan

setelah sempat terdiam sejenak, tiba-tiba ia mengubah

Page 99: From a Shadow

93

posisi badannya yang semula tiduran, perlahan-lahan

bangun dari kasurnya dan serontak memeluk erat Althea.

“Tuhan hebat ya, Al? Udah nyiptain malaikat

mungil yang rela buang-buang suara indahnya, cuma buat

ngehibur mahkluk parasit,” kata Caesar masih dalam

pelukan Althea.

Mendengar kata-kata itu, Althea melepaskan

pelukan Caesar. Tangannya memegang erat kedua tangan

Caesar hingga matanya pun menatap tajam mata

sahabatnya itu.

“Caesar, dengerin aku, mungkin dia berpikir

dirinya hanya parasit, tapi dia nggak pernah tahu kalau

ternyata malaikat mungil itu menganggapnya sebagai

mukjizat yang diturunkan Tuhan untuknya…,” balas

Althea.

Kali ini, perkataan Althea benar-benar membuat

hati Caesar menjadi lemah, hingga air matanya memaksa

untuk keluar, menetes membasahi pipi.

“Aku sayang kamu, Al…,” ucap Caesar yang tiba-

tiba terlontar mantap dari mulutnya dan berhasil membuat

tubuh sahabatnya terguncang, tercengang mendengarnya.

Page 100: From a Shadow

94

Althea yang sempat salah tingkah, kini sudah

menata rapi hati dan pikirannya. Namun, tubuhnya tertarik

untuk kembali memeluk Caesar dan mulutnya pun tak

sengaja berani mengucap balasan untuk sahabatnya.

“Maaf kalo aku plagiat, soalnya aku cuma bisa

meniru kata-katamu tadi―aku juga sayang kamu, sahabat

kecilku…,” bisik Althea, lirih.

Hari keempat di Jakarta.

Malam yang dingin disertai rintik hujan membuat

suasana malam itu semakin dicekam oleh kesunyian, hawa

dingin mulai menyeruak dari balik kisi-kisi jendela tempat

dimana Caesar duduk. Malam ini serasa berbeda dengan

malam kemarin. Malam yang kelam ini melengkapi hati

Althea yang sedang gelisah. Althea yang daritadi mondar-

mandir menarik perhatian Caesar yang sedang asyik

membaca novel.

Page 101: From a Shadow

95

Malam yang dingin disertai rintik hujan membuat

suasana malam itu semakin dicekam oleh kesunyian, hawa

dingin mulai menyeruak dari balik kisi-kisi jendela tempat

dimana Caesar duduk. Malam ini serasa berbeda dengan

malam kemarin. Malam yang kelam ini melengkapi hati

Althea yang sedang gelisah. Althea yang daritadi mondar-

mandir menarik perhatian Caesar yang sedang asyik

membaca novel.

"Eh, kamu kenapa, Al? Perasaan dari tadi mondar-

mandir mulu, cari apa sih?" tanya Caesar.

"Eh... ehm... kamu tau kertas itu nggak?" sahut

Althea berbalik tanya.

“Kertas apa sih?”

“Kertas yang kamu titipin ke aku, Sar!”

“Loh bukannya kemarin langsung kamu masukin

kantong ya?”

Althea tampak lesu.

"Iya, tapi udah aku cari-cari dari tadi nggak ada,

Sar….."

Page 102: From a Shadow

96

"Coba inget-inget dulu, kemarin kamu kemana

aja?" tanya Caesar.

“Aku cuma ke toilet,” ujar Althea. “Atau jangan-

jangan…..,” gumamnya kemudian.

"Jangan-jangan apa, Al?" tanya Caesar, menyela.

“Kertas itu jatuh di lift, Sar!” seru Althea.

"Serius? Ada orang di lift selain kamu nggak?”

tanya Caesar. “Siapa tau dia nyimpen kertas itu,"

tambahnya.

"Seingetku ada cewek pake seragam kayak

seragam SMA, aku sempet liat namanya… kalo nggak

salah Beby Chaesara Anadila," jelas Althea.

Tiga kata terakhir yang terlontar dari bibir Althea

adalah sebuah nama seseorang yang dulu dekat dengan

tubuh Caesar dan baru saja menghilang dari otaknya. Kini

nama dan memori-memori itu datang kembali. Mata

Caesar nampak berbinar-binar mendengar nama itu

menusuk gendang telinganya.

"Apaaaa?!! Bener itu namanya?" tanya Caesar

memastikan.

Page 103: From a Shadow

97

“Iya kayaknya, emang kenapa, Sar?”

"Eh.. ehmm.. dia… dia itu member JKT48, Al!"

sahut Caesar. “Dia sahabatku, Al…,” gumamnya dari

dalam hati, berniat untuk merahasiakan persahabatannya

dengan Beby.

Althea semakin kebingungan."Hah? Gila, terus

gimana Sar?" tanyanya kemudian.

"Oh, aku ada ide!" sahut Caesar.

Caesar langsung membeberkan idenya itu ke

Althea. Akhirnya Althea memutuskan bertanggung jawab

membantu Caesar untuk mencari kertas itu yang

diyakininya berada di tangan salah satu member JKT48

yaitu Beby. Salah satu cara untuk bertemu dengan Beby

yaitu dengan menonton theater JKT48. Tanpa pikir

panjang, mereka berdua memesan tiket untuk schedule

theater JKT48 yang diadakan 3 hari lagi. Mereka

berharap, setidaknya mereka bisa masuk pada tiket general

agar tidak waiting list karena keadaan yang Caesar belum

sembuh total.

Page 104: From a Shadow

98

Hari kelima tidak ada yang spesial karena keadaan

Caesar yang masih butuh cukup istirahat , hingga sekarang

memasuki hari keenam di Jakarta.

Tangis gerimis dari awan yang menaungi kota

Jakarta jatuh satu-satu. Suasana itu melengkapi hati

Caesar yang sedang gelisah menunggu pengumuman

undian tiket Theater JKT48 tepat pukul 12.00 siang hari

itu. Sepuluh menit lagi jarum pendek pada jam tepat

menunjukan pukul 12.00, Caesar yang tidak sabar

langsung membuka laptopnya dan stay di official website

JKT48. Refresh dan refresh, itulah tombol harapannya.

Caesar terus berharap agar ia menang undian.

"Caesar coba lihat!" seru Althea sambil me-

nunjukkan laptopnya pada Caesar.

"Alhamdulillah… kamu menang undian, Al.

Semoga aku juga ya," sahut Caesar penuh harapan.

"Coba refresh sekali lagi, siapa tau...."

"Ah... pupus sudah semua harapanku Al,” kata

Caesar memotong perkataan Althea sambil menundukan

kepala, ia kalah undian tiket.

Page 105: From a Shadow

99

"Sabar Sar, kamu nggak boleh putus asa dulu,

masih ada aku," sahut Althea menenangkan Caesar.

"Kamu nggak boleh sendirian, Al!" sahut Caesar.

“Aku harus jaga kamu, oke… aku waiting list,”

tambahnya kemudian.

“Tapi…”

“Tenang, Al, aku kuat kok,” ucap Caesar

meyakinkan sahabatnya.

“Ya udah deh, kalo itu maumu… Aku janji, aku

bakal bantu kamu sampai kertas itu kembali di tanganmu

lagi, Sar…,” ujar Althea, tersenyum yakin.

Hari terakhir di Jakarta, perjuangan baru saja dimulai.

Waiting list, harapan terakhir Caesar untuk

mendapatkan kertasnya. Caesar rela berdiri 8 jam dalam

keadaan yang belum benar-benar pulih, asalkan ia dapat

masuk Theater JKT48 dan mendapatkan kertas itu.

Wajahnya pucat, tubuhnya seperti tidak berdaya lagi,

Page 106: From a Shadow

100

hanya kertas itulah yang bisa memacu hingga ia dapat

berdiri selama itu.

Bingo dimulai. Althea yang memenangkan undian

Theater JKT48 langsung antri di depan pintu masuk

theater. Tiba-tiba terjadi keributan di area waiting list.

Seseorang terlihat tergeletak pingsan di lantai, ternyata

Caesar. Althea panik. Tapi, melihat Caesar sudah banyak

yang membantu, Althea sedikit lega dan tetap ingin

masuk, karena ia ingin menepati janjinya kepada Caesar

untuk membantu mendapatkan kertas itu. Althea masuk

pada bingo ketiga.

Show theater sudah dimulai, Althea masih saja

gelisah dengan keadaan Caesar. Althea bingung apa yang

harus ia lakukan untuk mendapatkan kertas itu. Althea pun

ingat, besok Caesar sudah pulang ke Semarang, tidak

mungkin Caesar bisa mendapatkan kertasnya lagi apabila

Althea tidak melakukan sesuatu.

Hingga di akhir show, Althea berniat untuk

mengatakan apa yang terjadi sebenarnya saat sesi

handshake nanti.

Page 107: From a Shadow

101

Dan benar, sesi handshake dimulai, Althea sudah

berada di depan Beby, tiba-tiba…

"Beby… namaku Althea, maaf kalo kelakuanku

ini kelihatan norak, tapi aku cuma mau ngomong kalo di

luar sana ada seseorang yang jauh-jauh cuma ingin ketemu

sama kamu. Sekarang orang itu lagi pingsan gara-gara WL

yang nggak manusiawi itu. Dia bukan fans, tapi ada alasan

tertentu buat ketemu kamu. Dia mau pulang ke Semarang

besok!" teriak Althea yang membuat seluruh orang di

dalam theater mengalihkan pandangan ke dirinya saat itu.

Sesi handshake terhenti sejenak, “Woi maju woi,

jangan norak gitu dong!!!” teriak beberapa Fans JKT48

dari belakang Althea, namun Althea tetap berhenti dan

mengucapkan perkataan itu lagi untuk Beby. Security pun

langsung menariknya keluar dan menulis namanya dalam

blacklist Theater JKT48, ia tidak boleh menonton theater

itu lagi selama setahun. Althea meneteskan air matanya,

karena ia mengira usahanya saat itu sudah gagal.

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Althea

yang sedang diurus security tadi. Ternyata Beby,

seseorang yang Althea cari itu rela meninggalkan sesi

Page 108: From a Shadow

102

handshake demi masalah itu karena ia tahu siapa

seseorang yang Althea maksud.

“Lepasin dia pak, dia nggak salah…,” ujar Beby

sambil berjalan mendekat.

“Tapi dia…”

“Mohon lepasin dia pak, biar aku yang

ngurusin….,” mohon Beby dengan tegas.

Hingga akhirnya security membebaskan Althea.

"Makasih ya, maaf banget aku udah ganggu, aku

cuma pengen..."

"Ssssssttt…. udah nggak masalah, aku tau kok apa

yang kamu maksud. Dimana temenmu sekarang?" tanya

Beby menyela, gelisah.

Althea menolehkan kepala beberapa kali melihat

sekitarnya.

“Dia… dia… tadi dia pingsan disini, tapi

sekarang…”

Mendengar perkataan Althea yang terbata-bata,

Beby langsung mengalihkan fokusnya, mendekati security

tadi.

Page 109: From a Shadow

103

“Maaf Pak, tadi ada cowok yang pingsan disini,

sekarang dimana ya?” tanya Beby.

“Oh yang badannya tinggi, rambutnya lurus lebat,

hidungnya mancung itu?” tanya balik security itu.

Beby melongo, tatapannya kosong. “Caesar…,”

gumamnya. “Iya bener, sekarang dia dimana, Pak?”

tanyanya kemudian.

“Ehm… kalau nggak salah, tadi papanya jemput

disini, katanya mau balik ke Semarang,” jelas security

tadi.

“Apa?!!” seru Althea yang mendengar perkataan

security itu.

“Anter aku ke Caesar, sekarang!” suruh Beby

tiba-tiba sambil menarik tangan Althea.

Tanpa pikir panjang, Althea bergegas menuju

mobilnya dan mengantarkan Beby ke apartemen-nya.

Althea sangat yakin, Caesar masih ada disana. Saat dalam

perjalanan menuju apartemen, Althea sadar akan sesuatu

yang diucapkan Beby saat di FX Sudirman Mall tadi. Hal

Page 110: From a Shadow

104

itu membuat Althea memulai percakapan di dalam

mobilnya. Percakapan yang cukup mengejutkan.

“Beb,” “Al,” sapa mereka bersamaan, kebetulan

setelah terdiam.

“Eh, iya, kamu dulu deh yang ngomong…” ucap

Beby mengalah.

“Ehm… aku baru sadar, kalo tadi kamu ngucap

nama temenku, kamu kenal?” tanya Althea.

Beby mengangguk dan tersenyum. “Dia sahabatku

waktu SMP, Al…,” jawab Beby. “Kalo nggak ada dia,

mungkin sekarang aku bukan siapa-siapa, dia orang yang

berharga di hidupku, Al, makanya aku berani ninggalin

sesi handshake tadi demi dia,” jelasnya. “Oh iya, kamu

sendiri?” tanya Beby kemudian.

“Sahabat kecilnya,” jawab Althea. “Sama kayak

kamu, mungkin hidupku monoton tanpanya, dia hebat ya,

Beb?” tambahnya kemudian.

“Sahabat kecil? Oh jadi kamu yang namanya

Althea Callista itu? Caesar pernah cerita tentang kamu,

Page 111: From a Shadow

105

katanya kamu itu seseorang yang punya karakter

introvert,” sahut Beby.

“Apa itu introvert?”

“Orang yang pendiam dan lebih suka bergelut

dengan dunia, pemikiran atau batinnya sendiri. Bukan

berarti mereka tidak bisa memberi perhatian bagi

sekelilingnya, tapi 'dunianya' jauh lebih menyenangkan

dan lebih bisa mnghargainya,” jelas Beby.

Althea hanya manggut-manggut memahami

penjelasan Beby itu.

“Jadi dia ngerasa beruntung punya sahabat kayak

kamu, soalnya menurut Caesar orang introvert itu

biasanya orang yang loyal dalam persahabatan, mereka

selalu menganggap suatu persahabatan harus seumur

hidup,” tambah Beby kembali menjelaskan.

Perbincangan itu terus berlanjut hingga akhirnya

Althea mengerti arti dari introvert dan apa hubungannya

dengan dirinya. Dengan itu, mereka berdua bisa saling

dekat sampai mengerti satu sama lain. Mereka harus

membayarnya dengan waktu, tak terasa sudah sampai di

Page 112: From a Shadow

106

depan apartemen Althea. Tak lama, terlihat sebuah mobil

keluar meninggalkan apartemen.

"Itu mobil Caesar!" teriak Althea sambil

menunjuk ke arah dimana mobil Caesar berjalan.

"Cepet kejar, Al!" seru Beby.

Althea langsung membanting stir dan

menghadang mobil Caesar yang sedang berjalan pelan-

pelan itu. Ia bergegas keluar mobilnya dan menuju mobil

Caesar yang sedang dikendarai papa Caesar. Beby pun

mengekornya. Kini mereka sudah berada tepat di depan

mobil Caesar. Belum sempat menjalankan niat Althea

untuk meminta izin kepada Pak Rio, papa Caesar itu sudah

membuka jendela mobilnya.

“Mau ketemu Caesar? Masuk aja, tuh di

belakang,” ucap papa Caesar.

“Makasih Om, maaf kalo nggak sopan,” sahut

Althea, Pak Rio hanya membalas dengan senyuman dan

anggukan kepala.

Althea langsung membuka pintu belakang mobil

dan mendapati Caesar yang terbaring lemah walaupun

Page 113: From a Shadow

107

sudah sadar. Melihat Althea di depannya, Caesar berusaha

bangun untuk keluar dari mobil.

“Udah udah, Sar, kamu masih drop, duduk aja

disitu,” ucap Althea sambil menahan Caesar agar tidak

terlalu memaksakan keadaannya. “Coba lihat, siapa yang

aku bawa? Aku udah nepatin janjiku sekarang,”

tambahnya kemudian.

Caesar sangat terkejut hingga menarik napasnya

dalam-dalam, hanya bisa terdiam menahan kejutan dari

sahabatnya itu.

“Halo kamu, maaf ya udah ganggu, aku cuma mau

ngembaliin kertas ini,” ucap Beby sambil memberikan

kertas milik Caesar itu. “Waktu itu kertas ini jatuh dari

saku celana temenmu. Aku nggak sempat manggil,

soalnya kalah cepet sama jalannya temenmu,” jelasnya

kemudian sambil berkaca-kaca dan berusaha untuk

“stay strong” di hadapan manusia yang bisa membuatnya

menjadi seperti sekarang ini.

Caesar masih terdiam, tubuhnya kaku. Ia

memandangi wajah Beby cukup lama, seperti ada sesuatu

Page 114: From a Shadow

108

dengan wajah sahabatnya itu. Hingga akhirnya ia berhasil

memecahkan misteri dalam hidupnya selama ini.

“Mungkin aku udah nggak butuh kertas itu lagi,”

ucap Caesar tiba-tiba.

“Ha?” reaksi yang sama antara Beby dan Althea

setelah mendengar ucapan Caesar tadi, melongo dan

mengerutkan keningnya.

“Beberapa hari yang lalu, aku pikir kertas itu

hilang sia-sia, tapi ternyata kertas itu udah ada di tangan

orang yang tepat,” jelas Caesar, namun Beby dan Althea

masih tak paham dengan penjelasan itu.

“Aku udah nemuin siapa gambar wanita di kertas

ini dan bayangan yang selalu hinggap di otakku, itu kamu,

Dila!” ucap Caesar, tangannya menjamah pipi Beby.

“Kamu inget sketsa yang kamu gambar buat aku?

Masih inget kalo aku dulu pernah janji mau gantian

gambar sketsa buat kamu? Aku udah bisa nepatinnya

sekarang, ini buat kamu…” jelasnya kembali sambil

memberikan kertas itu kembali pada Beby.

Page 115: From a Shadow

109

“Aku inget banget Sar, dulu aku juga janji nggak

bakal ngelupain kamu, Sar! Ternyata kamu masih seperti

Caesar yang dulu aku kenal.” ucap Beby sambil

meneteskan air mata haru. Melihat Beby yang menangis

Page 116: From a Shadow

110

haru, Caesar langsung mengusap air mata sahabatnya

tersebut.

“Gimana dengan golden rules?” tanya Caesar

tiba-tiba.

“Tenang, Sar, golden rules nggak punya hak buat

selamanya mengekang member, aku juga punya

kehidupanku sendiri,” jawab Beby, tegas.

Caesar sudah merasa cukup untuk Beby, kini ia

sadar ini semua tidak akan terjadi tanpa sahabat kecilnya,

Althea. Hal itulah yang membuat Caesar mengalihkan

perhatiannya untuk Althea.

"Althea, aku nggak tau harus bales apa buat

perjuanganmu, makasih banget udah ngerti aku selama ini,

kamu sahabat kecil yang harus tumbuh bareng sampai

besar nanti, aku janji!" ucap Caesar.

Sama seperti Beby, Althea hanya bisa meneteskan

air matanya dan membuat Caesar mengusap air mata

kedua kalinya untuk orang yang berbeda. Malam itu

rasanya seperti skenario, semuanya tidak bisa dipikir

dengan logika. Saatnya Caesar untuk pulang ke Semarang

Page 117: From a Shadow

111

dan meninggalkan kedua sahabatnya kembali.

Di tengah perjalanan pulang ke Semarang, papa

Caesar terlihat sangat mengantuk. Ia melihat jam

tangannya ternyata sudah hampir jam 12, kecepatan

mobilnya pun terus menaik. Seribu kendaraan disalipnya,

sejuta pepohonan dilaluinya. Jalan tol yang hanya lurus

tak asing lagi baginya. Itu yang membuatnya berani untuk

menambah kecepatan mobilnya yang sedang Ia

kemudikan. Saat itu rem mobil yang ia injak tak dapat

berfungsi, hingga akhirnya setir mobilnya pun tak dapat ia

kendalikan.

Pak Rio melihat sebuah jurang yang sebentar lagi

akan ia lewati dan mungkin sangatlah berbahaya. “Jurang

itu adalah jurang kematian…,” suara itu terdengar di

telinganya tetapi pada saat itu hanya ada dirinya & Caesar

yang sedang menulis sesuatu. Dan sebuah truk yang

membawa banyak angkutan itu terlihat secara tiba-tiba di

pengkolan jalan yang bertepatan di atas jurang itu.

Papa Caesar mencoba menginjak rem mobil itu,

tetapi mengapa ini? Mungkin rem mobilnya blong dan

pada saat itu ia sedang membawa mobilnya dengan

Page 118: From a Shadow

112

kecepatan yang sangat tinggi. Dan pada akhirnya,

“Aaaaaaaaaaaaaaaa!!!” teriaknya. Mobilnya terguling ke

jurang itu. Berbondong-bondong orang terjun ke tempat

kejadian untuk menolongnya. Tetapi, apa daya... Tuhan

sudah merindukan Papa Caesar, namun belum

menginginkan Caesar. Sehingga, Caesar selamat dari

kecelakaan itu namun ia ditinggal oleh sosok ayah yang

sangat ia cintai untuk selamanya. Hal itu juga memaksa

Caesar untuk tinggal serumah dengan mama dan kakaknya

sekarang.

Page 119: From a Shadow

113

IV

(EMPAT)

Page 120: From a Shadow

114

ari demi hari, bulan demi bulan berganti hingga 2

tahun terlewati. Kini Caesar sudah menginjak kelas

3 SMA. Tetap di Semarang, namun tinggal bersama

mama dan kakaknya, tanpa sang papa. Itulah yang

membuat kehidupan dan karakternya berubah, berbeda

dengan ia yang dulu hanya serumah dengan papanya.

KRRRIIIINNNNNGGGGGG!!!!

Bel pulang sekolah berbunyi, suara riuh gembira

mewarnai setiap ruang kelas. Murid-murid beranjak dari

kursi dan meja belajarnya, satu per satu keluar

meninggalkan kelas. Kecuali dengan Caesar, ia malah

masih berdiam diri di tempatnya. Sibuk dengan kertas di

atas meja dan pensil yang ia genggam. Di sudut lain, ada

Neza teman sekelas sekaligus tetangga sebelah rumah

Caesar, yang sedang berjalan akan meninggalkan kelas.

Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melewati samping

Caesar yang menarik perhatiannya.

“Ngapain, jons?” tanya Neza dengan logat Jawa.

Tubuh Caesar terguncang, terkejut, melihat Neza

yang tiba-tiba muncul di sampingnya. “Ehm… enggak

H

Page 121: From a Shadow

115

kok, lagi males pulang aja, lagian di rumah kayak neraka,”

jawabnya kemudian.

“Hah? Neraka?” tanya Neza kebingungan,

melongo.

“Yaps! Aku kan selalu salah kalau di rumah, you

know lah…,” sahut Caesar dengan wajah lesu.

“Oh, yaudah sabar aja Sar, aku percaya mamamu

kayak gitu pasti juga pengen kamu jadi yang terbaik juga

kok,” ujar Neza memberi semangat pada Caesar sambil

menepuk pelan bahu temannya itu.

“Hmm… thanks banget, Nez!” sahut Caesar

dengan tersenyum dan menganggukan kepala.

Neza hanya membalas dengan anggukan,

senyuman dan alisnya yang bergerak ke atas dengan cepat.

Matanya yang mendapati tangan Caesar yang sedang

menggenggam pensil, membuatnya ingat kembali bahwa

itulah yang menghentikan langkahnya dan mengalihkan

perhatiannya.

“Lagi nulis apasih itu, Sar?” tanya Neza sambil

beberapa kali melirik kertas di atas meja Caesar.

Page 122: From a Shadow

116

“Siapa yang nulis?” tanya Caesar balik, sambil

menutupi kertas itu.

“Terus, kalo nggak nulis, itu ngapain?” tanya

Neza kembali mendesak, penasaran.

“Enggak kok, cuma coret-coret aja…,” jawab

Caesar.

“Coret-coret kok terusan?” tanya Neza sekali lagi

semakin mendesak.

“Oh biasalah, kalo lagi nggak ada kerjaan, aku

suka coret-coret nggak penting gini kok,” jelas Caesar.

Neza kembali mengangguk, mulutnya membentuk

huruf O, seakan-akan ia percaya apa yang Caesar katakan,

padahal matanya masih mencuri lirikan ke kertas itu dan

masih penasaran dengan isinya.

“Yaudah pulang yuk, Nez!” ajak Caesar

bermaksud mengalihkan perhatian Neza sebelum

temannya itu lebih penasaran lagi dan terus kembali untuk

mendesak dirinya.

“Ehm… oke deh, ayo!” sahut Neza, mengakhiri

perbincangan di dalam kelas saat itu.

Page 123: From a Shadow

117

HOME HELL HOME. Itulah kata-kata yang

selalu ada di otak Caesar, setiap kali ia akan menginjakan

kaki di rumahnya. Sudah terbukti, belum ada sepuluh

langkah kakinya melangkah di rumah, Caesar sudah

mendapat omelan dari mamanya.

"Ya ampun Sar... darimana aja kamu?!! Harusnya

pulang sekolah udah daritadi, mama nggak mau kamu jadi

cowok jalanan!" seru mama Caesar, mengomel seperti

biasa.

Caesar hanya diam dan tidak menggubris omelan

yang kesekian kalinya dilayangkan oleh mamanya itu. Ia

terus melangkah menuju kamarnya.

"Jawab Sar, darimana aja kamu?!! Jangan diem

aja!"

Caesar tetap diam, ia langsung masuk dan me-

ngunci pintu kamarnya. Di dalam kamar, seperti biasa

Caesar hanya bisa meneteskan air matanya. Ia mulai

merasa tidak kuat dengan perlakuan mamanya itu. Dalam

setiap tetesan air mata itu, selalu ada bayangan papanya

yang sudah tiada. Kadang Caesar berpikir bodoh ingin

menyusul papanya itu di surga.

Page 124: From a Shadow

118

Malam harinya, seperti biasa tradisi yang ada

dalam keluarga tersebut, makam malam bersama. Lagi

dan lagi mama Caesar melontarkan omelan untuk anak

bungsunya itu, kali ini membanding-bandingkan dengan

kakaknya, Bianda.

"Caesar! Kenapa kamu diam saja?!!" bentak

mamanya.

Mendengar bentakan-bentakan itu, Bianda yang

berada di samping Caesar mulai memberanikan diri untuk

menenangkan mamanya, ia tak tega melihat adiknya terus-

terusan menjadi kambing hitam.

"Udahlah, Ma! Jangan bicara kasar seperti itu,

kasihan Caesar. Dia pasti punya usaha sendiri, Ma!" sahut

Bianda yang sudah mulai tidak tega tersebut.

"Usahanya sangat lamban, nggak kayak kamu, Bi!

Setiap ditanya selalu diam saja, entah apa yang dia

pikirkan," ujar mamanya. "Bianda ingin menjadi dokter

sejak SD dan sekarang impiannya sudah terwujud. Caesar

Page 125: From a Shadow

119

kamu harusnya sudah mulai berpikir tentang masa depan-

mu," tambahnya kembali mendesak Caesar. “Bisa tidak?”

tanyanya kemudian, membentak.

Caesar yang sudah mulai tidak tahan dengan

perkataan mamanya, langsung meletakkan sendok yang ia

pegang, kemudian beranjak meninggalkan meja makan

dan berlari menuju kamar.

"Mama keterlaluan!" bentak Bianda sambil ber-

usaha mengejar adiknya

TOK! TOK! TOK!!!

"Dek, ini kakak... maafin kakak ya? Gara-gara

kakak..."

"Udah cukup kak, kakak nggak salah, aku yang

emang nggak berguna... nggak ada untungnya aku hidup

kak, bisanya cuma nyusahin!" sahut Caesar memotong

perkataan Bianda.

"Dek, kamu jangan bilang gitu... kakak mau

cerita, kakak boleh masuk?" tanya Bianda.

“Nggak usah kak, aku nggak pantes lagi disini,

mungkin ini waktunya orang nggak berguna kayak aku ini

Page 126: From a Shadow

120

udah nggak ada di dunia lagi... Maafin Caesar kalo selama

ini ada salah sama kakak...," ujar Caesar.

"Dek kamu mau ngapain sih?" tanya Bianda yang

mulai curiga.

"Jaga mama baik-baik ya kak...," ujar Caesar

kembali.

BRAAAAAKKKKKK!!!

Bianda mendobrak pintu kamar Caesar, ia sangat

terkejut melihat adiknya sedang menggenggam silet.

Dengan sigap, Bianda langsung berlari dan langsung

memegang kedua tangan Caesar.

"Sar... apa-apaan kamu ini? Nggak ada gunanya

kamu ngelakuin kayak gini! Aku kakakmu, aku nggak

suka punya adik yang mudah putus asa kayak gini!"

bentak Bianda.

"Lepasin kak! Biarin Caesar mati, orang bodoh

kayak Caesar udah nggak pantes hidup di dunia lagi kak!"

ujar Caesar sambil menangis.

Bianda berhasil mengambil silet dari tangan

Caesar.

Page 127: From a Shadow

121

PLAAAAAKKK!!

Telapak tangan Bianda melayang di pipi Caesar.

"Lihat kakak dek! Dulu mama udah ngelahirin

kamu sampai bisa sebesar ini, kenapa kamu sia-siain gitu

aja? Harusnya kamu buktiin sama mama kalo kamu bisa

meraih sesuatu yang besar. Sesuatu yang besar nggak

harus dari bidang akademik dek, kakak janji bakal bantu

usaha yang kamu lakukan sebisa kakak!” jelas Bianda.

“Andaikan papa masih ada, kak. Papa nggak

kayak mama, papa selalu sayang Caesar,” sahut Caesar,

air matanya bertambah deras membasahi pipi.

“Terima kenyataan, dek! Papa udah nggak ada,

udah nggak bisa kembali lagi. Sekarang yang ada mama,

coba kamu pikir, kalau mama udah nggak sayang sama

kita, sekarang mungkin kita nggak ada disini, mama kayak

gitu juga gara-gara sayang sama kamu, dek!” jelas Bianda,

menasehati adiknya kembali.

Caesar menundukkan kepalanya, kecewa. “Maafin

Caesar kak, Caesar janji nggak akan ngulangin lagi…,”

ujar Caesar kemudian yang masih menangis dan serontak

Page 128: From a Shadow

122

memeluk erat kakaknya itu.

Dari situlah Bianda mulai memiliki kewajiban

untuk membantu usaha adiknya, walaupun secara diam-

diam. Adik nya pun mulai terbiasa dengan bentakan-

bentakan dari mamanya. Ia menjadikan semua itu untuk

motivasi agar bisa membuktikan kesuksesan bukan hanya

dari bidang akademik saja.

Seperti merpati yang terbang jauh dan pasti

kembali lagi ke sarangnya, melontarkan sebuah janji,

entah kapan pun itu kita harus menepatinya. Kini, Bianda

bagaikan merpati itu. Ia harus berusaha kembali ke

sarangnya, menepati sepatah kata perjanjian dengan

adiknya. Berpikir dan terus berpikir, apa yang harus ia

lakukan saat itu. Hingga akhirnya, ide itu muncul.

Otaknya mengatakan, dirinya harus selalu memantau

Caesar dimana pun itu. Untuk itu, ia harus meminta

bantuan dengan salah satu teman dekat Caesar saat ini,

yang juga menjadi tetangga sebelah rumahnya, Neza.

Page 129: From a Shadow

123

Inilah waktu yang tepat untuk menjelaskan

semuanya pada Neza. Tanpa berpikir lama, Bianda

langsung bergegas menuju rumah tetangganya itu.

Kebetulan sekali, Neza sedang berada di halaman rumah-

nya saat itu. Melihat Bianda di depan pagar, Neza berlari

untuk membukakan pintu dan segera mempersilahkan

masuk.

“Loh mbak, kok tumben pagi-pagi kesini?” tanya

Neza, memulai perbincangan.

“Hmm… aku boleh minta bantuanmu nggak,

Nez?” jawab Bianda.

“Bantuan apa to, mbak? Kok kayaknya serius

banget? Masuk ke dalem dulu aja yok, mbak!” ajak Neza

menggeret tangan Bianda.

Bianda sudah berada di dalam rumah Neza. Sepi.

Cuma ada Neza dan pembantunya di dalamnya. Orang tua

Neza sedang dinas di luar kota. Bianda memanfaatkan hal

itu, ia menjelaskan panjang lebar apa yang sebenarnya

terjadi dan apa yang ia inginkan pada tetangganya itu. Tak

memakan waktu lama, Neza perlahan mulai paham.

Hingga akhirnya…

Page 130: From a Shadow

124

“Gimana Nez, kamu bisa bantu aku?” tanya

Bianda, inti perbincangan tersebut.

“Oh, kalau itu sih gampang, mbak. Tapi emang

sih, akhir-akhir ini Caesar suka aneh sendiri,” ujar Neza.

“Nah itu!” sahut Bianda, tubuhnya lebih mendekat

ke Neza, seakan-akan mendapatkan kode rahasia. “Aneh

gimana, Nez?” tanyanya kemudian.

“Mau minum nggak, mbak?” tanya Neza dengan

wajah polosnya.

Bianda mendengus sedikit kesal, tangannya

menahan Neza yang akan berdiri. “Ah kamu… baru seru-

serunya malah ngelawak,” ujarnya kemudian.

Masih dalam wajah polosnya. “Nggak ngelawak

mbak, kan cuma nawarin minum, siapa tahu Mbak Bianda

haus tapi nggak berani bilang sama aku, gitu. Soalnya,

kalo dehidrasi nanti bisa pingsan, aku juga yang salah,

mbak,” jelas Neza, membuat Bianda geleng-geleng

kepala.

“Yaelah, nggak gitu juga kali, Nez… Nggak usah

repot-repot, aku bentar aja kok, entar malah kelamaan

Page 131: From a Shadow

125

buatin minumnya,” ujar Bianda, menolak.

Neza tersenyum polos. “Nggak lama mbak, nggak

buat kok, cuma ambil aqua di sebelah Mbak Bianda aja

itu loh,” ujarnya kemudian, sambil menunjuk beberapa

aqua gelas yang sudah tertata rapi di atas meja tepat di

samping Bianda.

Bianda terdiam beberapa detik, melongo melihat

aqua tersebut. “PFFFTTTTTTT!!!! Kenapa nggak bilang

dari tadi, aku bisa ngambil sendiri kalo gitu, Nez….,”

sahutnya semakin kesal. “Tetangga macam apa kamu ini,

cantik-cantik agak berserakan gitu otaknya??!!!” ujarnya

kemudian dari dalam hati, batinnya gemas.

Neza malah tertawa geli, membuat Bianda

semakin gemas dengannya. “Udah-udah, Nez, cukup!”

seru Bianda sambil menutupi mulut Neza seakan-akan

sandera. “Fokus lagi, tadi Caesar aneh gimana sih?”

tanyanya kemudian, kembali ke topik.

Neza pun mulai menghentikan tawanya dan fokus

pada topik awal pembicaraan. “Jadi gini lho, akhir-akhir

ini aku sering banget lihat Caesar bawa pensil sama kertas,

Page 132: From a Shadow

126

entah itu buat apa. Setiap aku tanyain, katanya cuma buat

coret-coretan aja gitu, mbak,” jelasnya kemudian.

Kepala Bianda yang semula sejajar dengan kepala

Neza, kini perlahan naik sambil manggut-manggut. Wajah

dan tatapannya pun mengarah ke atas langit-langit seakan-

akan memperoleh pencerahan. “Mungkin ini yang nama-

nya kode,” gumamnya kemudian, tetap menatap ke atas.

“Wih… kode…. Mbak Bianda kayak detektif!”

celetuk Neza, membuat hilang fokus kembali.

“Aissshhhh… kalo gregetan lama-lama kamu tak

makan lho, Nez!” sahut Bianda, semakin gemas dengan

tetangganya yang absurd itu.

“Oooohhhhh… jadi dari tadi itu, Mbak Bianda

laper to? Bilang to, mbak! Mau makan apa?” ujar dan

tanya Neza dengan polosnya, bisa dikatakan sedikit bego.

“Enggak, Nez, Enggaaaaaak!!!” seru Bianda.

“Lama-lama aku bisa overdosis disini, ya udah aku pulang

dulu, Nez! Entar kalo aku butuh bantuanmu, tak kabarin

aja ya,” ujarnya kemudian sambil bergegas meninggalkan

rumah Neza.

Page 133: From a Shadow

127

“Loh mbak, nggak jadi makan?” tanya Neza

kembali, tanpa jawaban.

Misi pertama, mencari tahu apa isi kertas milik

Caesar. Hari Senin, hari yang cukup panjang di sekolah.

Bianda masih bersekongkol dengan Neza, layaknya mata-

mata yang sedang menyelidiki sebuah rahasia. Ponsel

selalu siaga dalam genggaman Bianda. Terlihat, Caesar

baru saja pergi ke sekolah dengan skutermatik-nya. Neza

menyusul dari belakang, masih dalam keadaan normal. Ia

tidak boleh membuat Caesar curiga dengan gerak-

geriknya, harus berhati-hati.

Kimia menjadi pembuka pelajaran pagi itu,

dilanjutkan oleh seni rupa satu jam pelajaran sebelum

istirahat pertama. Seni rupa, pelajaran yang bisa menjadi

bahan untuk mengembangkan rasa kebanggaan dalam

menciptakan ungkapan pikiran dan perasaan. Itu hal yang

wajar. Namun, jika guru dalam bidang itu tidak bisa

menyampaikan materi dengan baik bahkan monoton,

pelajaran tersebut bisa berbalik menjadi pelajaran yang

Page 134: From a Shadow

128

sangat membosankan. Seperti guru yang sedang berdiri di

depan murid-murid dalam kelas itu. Menyampaikan

materi tanpa memiliki kemampuan untuk berinteraksi

dengan muridnya, seakan-akan hanya berbicara dengan

papan tulis. Tak heran semua murid tidak fokus dalam

pelajaran itu sehingga mereka mengerjakan hal lain yang

lebih penting baginya, tak jarang hanya mengobrol dengan

teman lainnya membuat suasana kelas yang semula sunyi

saat pelajaran kimia menjadi ramai tanpa teguran guru

sekali pun.

Caesar pun mulai ikut memperlihatkan

gerakannya. Seperti biasa, pensil dalam genggaman.

Namun, yang membedakan dari biasanya yaitu dengan

adanya buku tulis, lebih tepatnya binder di atas mejanya.

Karena biasanya hanya ada secarik kertas yang terlihat di

atas meja, mungkin kali ini ia benar-benar ingin serius

untuk membuktikan kepada mamanya bahwa ia juga

memiliki bakatnya sendiri.

Sekarang saatnya Neza yang duduk tepat di

belakang Caesar melakukan aksinya. Ia menarik pelan

kursinya, hingga mendapatkan posisi yang nyaman untuk

Page 135: From a Shadow

129

mengintip apa yang Caesar tulis saat itu. Ia berhasil

melihat sekilas tulisan temannya itu. Hampir satu binder

penuh dengan huruf latin dari tangan Caesar.

Neza mencoba hal lain. Ia meraih ponselnya,

ternyata Neza mencoba untuk merekam secara diam-diam

dari belakang. Smartphone dengan kamera 13 megapixels,

berhasil merekam semua itu dengan kualitas tinggi dan

jernih. Video berdurasi 9 menit itu menjadi senjata awal

untuk memecahkan rahasia yang selalu Caesar tutupi

sampai sekarang ini. Misi pertama Neza selesai. Kini, ia

tinggal memberikan video itu pada Bianda dan melakukan

misi selanjutnya dari Bianda esok hari.

Kembali, Bianda sudah berada di rumah Neza lagi

untuk melihat video itu. Serius.

“Eh coba pause dulu, Nez!” ucap Bianda,

menyuruh Neza untuk menghentikan sejenak video itu

pada menit pertama. “Coba deh baca, itu tulisan apa?”

tanya Bianda kemudian.

“Oh… itu kan tulisannya Caesar, mbak?” tanya

balik Neza, pertanyaaan polos seperti biasa yang bisa

membuat kesal orang lain.

Page 136: From a Shadow

130

Bianda mendengus dan mencoba untuk menahan

kesalnya. “Ah susah ngomong sama kamu,” ucapnya. “Iya

tau itu tulisannya Caesar, tapi bacanya apa, Nezaaaaa??”

tanyanya kemudian dengan wajah gemas

“Owalah… bentar aku baca dulu ya mbak,” sahut

Neza sambil membaca tulisan dalam video itu.

“F…FR..FROM…A…SHH…SHADOW......., FROM A

SHADOW!” ejanya kemudian hingga bisa membaca judul

dalam tulisan itu.

Neza hanya dapat membaca judulnya saja, tulisan

lainnya tidak dapat terlihat jelas. Mungkin hanya beberapa

kata saja. Bianda pun menyuruhnya untuk melanjutkan

video itu. Hingga pada pertengahan video, terpampang

jelas nama Beby Chaesara Anadila dalam tulisan itu.

Otomatis Bianda mencari informasi tentang nama

itu melalui internet, hingga akhirnya ia mengetahui Beby

adalah salah satu member JKT48. Otaknya mulai

menghubung-hubungkan satu sama lain. Menemukan

suatu hipotesis, Caesar hanya ingin membuat sebuah cerita

yang terinspirasi dari idolanya. Dalam sudut pandang lain,

hati Bianda bertanya-tanya, “Apa itu semua yang akan ia

Page 137: From a Shadow

131

buktikan kepada mama? Cuma itu?” Hatinya juga

menjawab pertanyaan itu sendiri, “Nggak mungkin, pasti

dibalik itu semua ada hal yang lebih besar yang di-

sembunyikan oleh Caesar.”

Kode demi kode keluar dari satu video tersebut.

Mentari senja saat itu pun mulai samar-samar akan hilang.

Bianda memutuskan untuk memberikan misi selanjutnya

pada Neza saat itu juga.

“Nez, siap misi selanjutnya?”

“Gimana dulu, mbak?”

“Gampang kok, kamu cuma cari karakter lain aja

yang ditulis Caesar di bindernya, gimana bisa nggak?”

“Oke… jika Tuhan merestui, siap komandan!”

Persetujuan dari Neza menutup perbincangan

keduanya hari itu.

Di dalam rumah sendiri, Caesar belum berani

memperlihatkan gerakannya untuk menulis itu semua

secara terbuka. Ia hanya melakukannya di kamar, itu pun

pada waktu tertentu. Sehingga, kakaknya tidak bisa

mengamatinya sendiri untuk saat ini. Kalaupun bisa, salah

Page 138: From a Shadow

132

satu caranya Bianda harus masuk ke kamar Caesar.

Padahal, Caesar jarang sekali keluar kamar saat di rumah.

Namun, Bianda yakin suatu saat nanti ia bisa melakukan-

nya sendiri untuk mewujudkan impian adiknya itu.

Misi kedua di hari selanjutnya. Seperti apa yang

Bianda perintahkan, Neza harus mencari karakter lain

selain Beby di dalam cerita milik Caesar. Kali ini, Neza

harus benar-benar berhati-hati. Satu-satunya cara untuk

bisa menjalankan misi ini yaitu dengan mengambil binder

Caesar. Maka dari itu, Neza harus mencari waktu yang

tepat untuk mengambilnya.

Kebetulan, olahraga mengisi jam kedua pelajaran

pada hari ini. Neza berencana mengambil kertas itu di

tengah pelajaran olahraga. Saatnya bersiap untuk melaku-

kan aksinya.

Hangatnya sinar mentari pagi itu menembus kulit

hingga menusuk tulang murid-murid di lapangan. Seperti

perjanjian guru minggu lalu, olahraga kali ini adalah

Page 139: From a Shadow

133

penilaian lompat jangkit. Tak perlu waktu lama, setelah

pemanasan semua murid langsung menyiapkan diri untuk

itu. Guru pembimbing memutuskan agar murid

perempuan dahulu yang melakukan penilaian. Neza

memanfaatkan hal itu, ia memberanikan diri untuk

melakukan pertama. Semua itu demi keberhasilan misi

hari ini.

HOP―STEP―JUMP!!!

Neza berhasil melakukannya dengan tehnik yang

tepat, hingga ia mendapatkan nilai yang cukup memuas-

kan. Lega. Sudah tidak ada lagi beban pikiran saat itu,

bebas. Saatnya untuk melakukan misi kedua, ia bergegas

kembali ke kelasnya. Tas dengan dominasi warna coklat

tua, menjadi arah fokus matanya saat itu. Ia mendekati tas

itu bahkan tangannya menjamah ke dalamnya. Hingga

akhirnya, Neza berhasil meraih binder dengan cover

berbalut motif etnis Navajo milik Caesar.

Apa yang Neza cari hari ini, sudah berada di

tangannya. Mengingat perintah Bianda, Neza langsung

mencari karakter lain dalam cerita di binder tersebut.

Setelah cukup memakan waktu untuk membaca sebagian

Page 140: From a Shadow

134

isinya, akhirnya Neza menemukan nama lain di dalamnya,

Triyan dan Ginsa. Misi hari itu berhasil, ia mengembali-

kan binder itu seperti semula pada tempatnya. Semua

berjalan normal kembali.

Seperti hari kemarin, sore harinya Bianda sudah

berada di rumah Neza. Saatnya Neza untuk menjelaskan

apa saja yang ia dapatkan di sekolah tadi.

“Gimana Nez, berhasil nggak?” tanya Bianda

memulai perbincangan, serius.

“Ternyata, Tuhan mengizinkan mbak! Disitu ada

dua nama lagi, Triyan sama Ginsa,” jelas Neza. “Oh iya,

aku juga sempet baca sebagian ceritanya lho mbak,”

tambahnya kemudian.

“Nah bagus, gimana intinya?”

Neza menghela napas. “Jadi gini, dulu Caesar itu

pernah punya temen namanya Beby. Nah, dia sempet mau

nyatain perasaannya sama Beby, tapi waktu itu Beby lagi

audisi JKT48,” jelasnya, berhenti sejenak.

“Terus, terus?”

Page 141: From a Shadow

135

“JKT48 kan katanya nggak boleh pacaran kan ya?

Nah, jadi gitu lah ceritanya Caesar ngerelain Beby buat

jadi member JKT48 dulu,” tambah Neza.

“Hubungannya sama Triyan, Ginsa apaan dong?”

tanya Bianda kembali, penasaran.

“Oh iya lupa ceritain, jadi Caesar, Triyan, Ginsa

sama Beby itu empat sekawan dulunya,” jelas Neza

kembali. “Kayaknya ini cerita nyata deh mbak, soalnya di

wallpaper HP-nya Caesar ada foto mereka berempat. Dulu

aku sempet tanya sama Caesar nya langsung sih, katanya

itu temen-temen lamanya gitu mbak,” tambahnya

kemudian, memberi informasi baru.

Informasi baru berhasil menghasilkan hipotesis

baru dalam pikiran Bianda. Kali ini, ia menyimpulkan

bahwa adiknya ingin membuat novel yang terinspirasi dari

pengalaman nyatanya. Cukup jitu apa yang Bianda per-

kirakan, sedikit lagi memecahkan rahasia milik adiknya

selama ini.

Bianda menghela napas. “Jadi, selama ini Caesar

pengen jadi seorang penulis…,” ucapnya dalam lamunan,

menatap langit-langit. “Oke! Sekarang tinggal cari dimana

Page 142: From a Shadow

136

Triyan sama Ginsa itu, dari mereka kita bisa lebih banyak

dapet informasi, Nez…,” tambahnya kemudian setelah

sadar dari lamunan.

“Bentar mbak, aku baru inget… kayaknya aku

punya temen les, namanya Ginsa juga,” sela Neza.

“Coba cari tahu dulu, bener dia atau enggak?

Kamu les hari apa?” tanya Bianda dengan wajah

optimisnya.

“Besok Kamis, mbak!”

“Nah… kamu tahu kan, harus ngapain?”

“Tahu sih mbak, tapi…….”

“Tapi apalagi?”

“Tapi kalo cewek bicara serius sama cewek lain

itu, kelihatan lesbian nggak ya, mbak?” tanya Neza

dengan polosnya.

Mendengar pertanyaan Neza, Bianda tidak

sanggup lagi menahan tawanya, hingga akhirnya tawanya

pun pecah. “Peaaaaa banget, setiap hari kamu dikasih

makan apa sih? Kalo serius gitu bisa kelihatan lesbian,

Page 143: From a Shadow

137

terus dari kemarin kita ngapain aja, Nezaaaaaaa?” ujarnya

kemudian yang masih tertawa geli.

Melihat Bianda yang tertawa terpingkal-terpingkal

itu, Neza bukannya ikut tertawa malah duduk menjauh

dari Bianda dengan wajah sedikit takut.

“Loh, kamu kenapa ke situ?” tanya Bianda yang

melihat Neza menjauh darinya.

“MBAK BIANDA LESBI!!!!”

Parkiran motor yang tertata rapi dengan pohon-

pohon besar yang berjajar di setiap tepinya, membuat

pandangan sekolah menjadi nyaman. Matahari yang sudah

mulai menuju ke arah Barat, tetap memancarkan teriknya.

Satu per satu murid berdatangan menuju motornya

masing-masing. Dengan langkah lesu dan otak yang sudah

butuh istirahat, mereka menancapkan gas motornya untuk

pulang ke rumah. Namun, tak semua murid langsung

meninggalkan sekolah. Seperti skutermatik berwarna biru

Page 144: From a Shadow

138

di ujung parkiran, belum terlihat sosok pemiliknya hingga

hampir satu jam setelah bel pulang sekolah.

Suasana sekolah mulai sepi. Terlihat sosok wanita

dengan rambut panjang yang terkucir ponytail dan

membopong tas ransel putih sedang berjalan menuju

skutermatiknya, ternyata Neza. Ia sengaja untuk tidak

langsung meninggalkan sekolah. Sudah rutin seperti hari

Kamis biasanya, Neza tidak langsung pulang ke rumah

melainkan menuju bimbingan belajar di dekat sekolahnya.

Fisika dan Bahasa Indonesia menjadi santapannya hari ini

di tempat les itu. Neza baru saja ingat, ternyata ada

santapan pelengkap untuk hari ini yaitu misi selanjutnya

dari Bianda.

Ruang les sudah terlihat hampir penuh.

Beruntung, Neza belum terlambat untuk mengikuti

pelajaran Fisika yang baru saja dimulai. Sebelum memilih

tempat duduk, matanya memandangi sekitar mencari

orang yang ia perkirakan teman Caesar itu, Ginsa.

“Nah itu…,” ucapnya dari dalam hati setelah

menemukan Ginsa yang kebetulan juga ada tempat duduk

kosong di sebelahnya. Tanpa berpikir lama, Neza

Page 145: From a Shadow

139

mendekati dan langsung duduk tepat di sebelah Ginsa.

Namun, saat itulah ia bingung apa yang harus ia lakukan.

Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara pada

Ginsa saat istirahat les dan mengikuti pelajaran fisika

terlebih dahulu.

Satu jam sudah Neza lalui bersama pelajaran

fisika. Otaknya mulai penuh dengan rumus-rumus, saatnya

istirahat dan menjalankan misi.

Terlihat Ginsa sedang merapikan buku-buku

fisikanya, inilah waktu yang tepat bagi Neza. Tidak

berpikir lama, Neza pun mendekati Ginsa yang berada

tepat di sebelahnya itu.

“Ginsa…..,” sapa Neza.

Ginsa menoleh “Eh iya, ada apa?” tanyanya

kemudian dengan memberi senyuman.

“Kamu kenal Caesar?” tanya balik Neza tanpa

basa-basi, to the point.

Ginsa pun terkejut mendengar nama itu.

“Cae…sar… Caesar Wijaya?” tanya Ginsa memastikan.

Page 146: From a Shadow

140

“Dia sahabatku, ada apa sama Caesar?” tambahnya

bertanya dengan wajah khawatir.

Hingga akhirnya, Neza pun menceritakan

semuanya pada Ginsa apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa

butuh waktu yang lama, Ginsa langsung paham. Tak

hanya itu, Neza pun berhasil membuat Ginsa mencerita-

kan masa lalunya secara detail. Tak luput dari tiga teman-

nya, Caesar, Triyan dan Beby. Mulai detik itulah semua

rahasia yang Bianda cari selama ini sudah Neza pecahkan.

Sangat lega.

Matahari sudah tak terlihat, saatnya pulang. Napas

lega yang Neza hembuskan dalam perjalanan seakan-akan

dapat mempersingkat waktu. Tak terasa, rumahnya sudah

berada di depan mata. Dan sudah ia tebak sebelumnya,

Bianda sudah hadir di depan beranda rumahnya. Neza

menghela napas, saatnya menceritakan semua yang Ginsa

katakan tanpa mengurangi satu kata pun pada Bianda.

Misi hari ini yang mungkin menjadi misi terakhirnya

berhasil. Kini, saatnya Bianda melakukan sendiri.

Saat itu juga, Bianda dipaksa untuk memutar

otaknya, berpikir keras. Bianda mulai mengerti apa yang

Page 147: From a Shadow

141

dilakukan adiknya selama ini. Caesar yang dulu sama

sekali tidak suka dengan yang namanya menulis, kini telah

berbalik 360ᵒ karena member JKT48 tersebut. Tapi akhir-

akhir ini, Caesar juga sering menyobek kertas dalam

bindernya dan membuangnya di samapah kamarnya.

Mungkin Caesar berpikir itu semua akan sia-sia dan tidak

mungkin lagi dibaca oleh Beby. Bianda berencana

mengumpulkan tulisan-tulisan yang Caesar buat itu dan

menjadikannya sesuatu yang besar bahkan berguna untuk

adiknya.

Waktu terus berjalan, tumpukan kertas di kamar

Caesar pun juga mulai menggunung. Sedangkan satu

bulan mendatang, Bianda sudah harus mengambil S2 di

Jerman. Itu yang mamanya inginkan. Hal itu yang

membuat Bianda harus cepat-cepat mewujudkan mimpi

adiknya. Ia tidak tega meninggalkan di rumah tanpa

dirinya, takut hal yang seperti dulu terulang kembali.

Hari ini Caesar pulang sore, setelah kemarin ia

mendaftar les di sebuah bimbingan belajar. Inilah saat

Page 148: From a Shadow

142

yang tepat untuk memasuki kamar Caesar. Bianda

merogoh dan mengeluarkan semua kertas dalam sampah

itu. Satu per satu kertas ia baca, namun terlihat mustahil

Bianda bisa melakukan semua itu sendirian.

Sebuah niat awal yang manis tidak akan menjadi

pahit apabila bertujuan untuk kebaikan. Usaha keras

selama ini, tidak akan terbuang sia-sia apabila doa

mendampingi setiap satu tetes keringatnya. Bianda

tetaplah Bianda, apapun akan ia lakukan demi seorang

adiknya. Tanpa lelah, ia terus membaca kertas itu

walaupun berjam-jam lamanya. Di situ pula ia berjanji

dalam dirinya sendiri, tidak akan meninggalkan kamar

Caesar sebelum berhasil menjalankan misi terberatnya

hari itu.

Tidak makan dan minum, wajahnya sudah mulai

pucat, keringatnya masih terus bercucuran. Sudah

sembilan jam ia berkutat dengan kertas-kertas itu, masih

ada yang tersisa dan belum ia baca. Tak hanya membaca

saja, Bianda juga harus memahami cerita yang Caesar

tulis agar bisa mengurutkan alur cerita tersebut.

Page 149: From a Shadow

143

Satu jam kembali berlalu, kali ini Bianda sudah

berhasil membaca semua kertas itu. Butuh waktu lagi

untuk mengurutkan cerita itu, padahal sekitar satu jam lagi

Caesar sudah sampai di rumah. Dengan kekuatan daya

ingatnya yang di atas rata-rata, menjadikan ia mudah

memahami cerita itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk

mengingat semua inti, kutipan dan ciri khas dari tulisan

adiknya. Namun dengan itu, ia juga harus mengetikkannya

kembali pada hari itu juga, apabila ingin mendapatkan

hasil yang maksimal dengan kekuatan daya ingatnya.

Dari kejauhan terdengar langkah kaki berjalan

menaiki anak tangga, ternyata Caesar yang baru saja

pulang dan langsung menuju kamarnya. Bianda yang

terlihat sangat pucat, keluar dari kamar adiknya tepat

waktu bahkan ia juga sudah mengembalikan kertas itu

pada tempatnya semula.

“Loh kak, kok tumben nggak keluar?” tanya

Caesar yang berpapasan dengan Bianda saat berjalan

menuruni anak tangga.

Bianda hanya tersenyum dan menggelengkan

kepalanya. Wajah pucatnya membuat Caesar curiga,

Page 150: From a Shadow

144

hingga ia mengekor kakaknya dari belakang. Benar,

beberapa menit kemudian Bianda yang sudah sangat

lemah itu jatuh pingsan. Beruntungnya, Caesar berhasil

menangkapnya dari belakang hingga kakaknya pun jatuh

tepat di pelukannya.

Kegelapan, perlahan-lahan dan samar-samar

cahaya berhasil menembus dinding hitam pekat itu. Sleep

Paralyze―kelumpuhan tidur yang merujuk pada keadaan

ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun

ketika bangun tidur. Rasanya sesak napas seperti dicekik,

dada sesak, badan tidak bisa bergerak dan sulit bersuara.

Wajar saja, Bianda masih dalam keadaan stress dan fisik

yang sedang kelelahan. Otaknya sudah siap untuk bekerja

kembali setelah pingsan, namun tubuhnya masih belum

siap untuk melakukan itu semua. Hal itulah yang

menyebabkan apa yang Bianda rasakan selama beberapa

detik tadi.

Setelah sadar, matanya langsung terbelalak,

tubuhnya terguncang. Melihat kakaknya yang baru saja

sadar, Caesar langsung mengambilkan Bianda makanan.

Suap demi suap sambil memberikan pertanyaan tentang

Page 151: From a Shadow

145

apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya, namun

Bianda tetap tenang dengan jawaban sedikit berbohong-

nya. Caesar pun percaya begitu saja.

Hingga Bianda melahap suapan terakhir dari

adiknya. Tubuhnya sudah lebih memiliki daya daripada

sebelumnya. Caesar berdiri, menyuruh kakaknya untuk

tetap istirahat, lalu ia meninggalkan kamar Bianda.

Sebagai sosok perempuan yang memiliki komitmen besar

untuk melakukan niatnya, Bianda nekad untuk mengetik

semua cerita milik adiknya saat itu juga. Padahal,

sebenarnya tubuhnya belum siap untuk melakukan itu

semua. Namun, ia berpikir apabila menundanya esok hari

pasti hasilnya akan kurang maksimal, daya ingatnya

berkurang.

“LEMBUUUURRRRRRRR!!!”

Jarum pendek jam terus berpindah menunjuk

angka yang berbeda. Bianda masih terus mengeluarkan isi

otaknya menjadi sebuah kata-kata khas milik adiknya.

Paragraf demi paragraf tertulis di lembar kerja Microsoft

Word-nya, hingga terhenti setelah rasa kantuknya tak

tertahan lagi. Tertidur.

Page 152: From a Shadow

146

Paginya saat terbangun kembali, Bianda dikejut-

kan dengan sesuatu di depannya, di dalam laptopnya.

“What the….,” gumamnya dengan mata yang

terbalalak, melongo.

Masih tetap terkejut dan baru sadar bahwa ia

sudah menyelesaikan semuanya sebelum tertidur. “Page:

213 of 213” tertulis jelas di sisi kiri bawah lembar kerja-

nya. Senyum leganya mengembang saat melihat ending

cerita yang memiliki alur menarik dengan ciri khas

tersendiri dalam penyampaian kalimatnya. Namun, ia

lebih terkejut dengan otak dan semangat adiknya untuk

melakukan semua itu. Tidak ada penulis yang menulis

ceritanya tanpa mencintai karakter di dalamnya, semuanya

dengan hati.

FILE―SAVE AS―“FROM A SHADOW”―SAVE.

Semua berjalan normal kembali, hingga hari

dimana Bianda harus pergi ke Jerman untuk melanjutkan

pendidikannya pun tiba.

Page 153: From a Shadow

147

Pagi-pagi sekali, Bianda sudah menuju ke

bandara, ia belum sempat berpamitan dengan Caesar.

Akhirnya, setelah sampai di bandara ia memutuskan untuk

menelpon adiknya itu untuk berpamitan.

“Halo, ada apa kak?” sapa Caesar mengawali

percakapan dalam ponsel.

“Dek, kakak pergi ke Jerman dulu ya, maaf nggak

sempet pamit sama kamu, soalnya kamu tidur pules

banget tadi,” jelas Bianda. “Kakak yakin setelah ini kamu

jadi orang hebat…,” tambahnya kemudian, pernyataan

yang terlontar secara tiba-tiba dan terdengar aneh.

“Maksudnya kak?” tanya Caesar penasaran.

“Udah..kamu berangkat sekolah gih, buktiin kalau

kamu diam tapi ternyata kamu orang yang punya bakat,

kakak pergi dulu ya, jangan lupa jaga mama baik-baik!”

sahut Bianda membuat adiknya semakin penasaran.

“Hmm… iyadeh kak, hati-hati ya disana, sering-

sering juga kasih kabar! Jangan jadi warga negara sana ya

kak, entar Kak Bianda lupa sama aku,” ucap Caesar.

Page 154: From a Shadow

148

Bianda tertawa geli, “Ya enggaklah, Sar…,”

sahutnya. “Kamu juga, kalau udah jadi orang besar jangan

lupa sama yang kecil-kecil, soalnya nggak ada yang

kelihatan besar kalau nggak ada yang kecil,” tambahnya

kemudian, seperti ngelantur.

Caesar yang semakin kebingungan dan tidak

paham apa yang kakaknya katakana pun hanya menjawab

singkat, “Oke siap komandan!” Jawaban singkat Caesar,

mengakhiri perbincangan itu. Ia pun segera bergegas

berangkat ke sekolahnya.

Gerbang sekolah sudah terlihat di depan mata.

Hari ini rasanya berbeda, tidak seperti biasanya. Banyak

teman-teman yang menyapa Caesar dengan senyuman

kagum, ia mulai tak paham apa yang terjadi pada hari ini,

mencurigakan. Tatapan orang-orang di sekitarnya tak

jarang menuju padanya, seperti ada yang aneh pada diri

Caesar. Ia tetap meneruskan langkahnya hingga sampai di

depan kelasnya, tiba-tiba…..

“Caesar kamu harus tanggung jawab, aku nangis

lho semalem!!” seru salah satu teman Caesar sambil

mendekati Caesar.

Page 155: From a Shadow

149

Belum sempat mengeluarkan satu kata dalam

mulutnya, “Bangke! hebat kamu, Sar!” seru teman

lainnya.

Lagi dan lagi hingga beberapa teman

mengerumuninya, jawaban ada pada seseorang yang

sedang berlari mendekati kerumunan itu sambil

menggenggam sebuah novel. “Caesaaaaar… aku juga

udah beli novelmu lho, bagus banget!” seru orang itu,

membuat detak jantung Caesar seakan berhenti sesaat.

“Hah? Buku apa ini? Aku nggak……,” ucap

Caesar, terpenggal mendengar nada pesan ponselnya

berbunyi, dengan cekatan ia merogoh sakunya dan meraih

ponsel itu, menjauh dari kerumunan.

Page 156: From a Shadow

150

----------------------------------------------------------------------

From. Bianda Komala Wijaya

----------------------------------------------------------------------

Halo adekku tercinta! Gimana? Udah jadi orang hebat

belum? Hehehehe…

Maafin kakak ya, kakak suka ambilin coret-coretan di

sampah kamarmu :p

Kamu jago banget sih nulisnya, jadinya kakak ngumpulin

semua itu & kakak jadiin novel, eh ternyata ada penerbit

yang mau sama tulisan itu…yaudah pas! :D

Kakak udah nepatin janji kakak lho!

Jangan salahin kakak doang, si Neza juga ikut-ikutan

bantu kakak :p

Oh iya…Beby itu siapa hayooo? Kok tulisanmu isinya

Beby semua? Ciyeee ciyeeee :p

Udah ya kakak mau bobok di pesawat dulu, ngantuk…

Adek kecil sekolah dulu biar pinter (nulis),

HAHAHAHAHA! :* :* :*

----------------------------------------------------------------------

Page 157: From a Shadow

151

“Beby itu… sosok wanita yang pernah hadir

dalam dunia nyataku, namun ia memilih untuk tinggal di

dimensi paralel bersamaku sekarang…,” gumam Caesar

sambil meneteskan air mata.

Baru saja sadar, Bianda mengatakan adanya

orang lain yang membantunya melakukan semua ini.

Caesar langsung mengusap air matanya, berlari mencari

orang itu―Neza. Ternyata, tak perlu mencari, Neza sudah

menunggunya di dalam kelas. Caesar mendekat, tanpa

basa-basi ia memeluk temannya itu.

“Makasih banget, Nez… ternyata selama ini kamu

ngerti aku, aku nggak tau harus ngelakuin apa buat bales

jasamu ini…,” bisik Caesar dalam pelukan.

“Nggak perlu bales, Sar… kata Kak Bianda, kalo

kamu terkenal nanti, kamu harus tetep jadi Caesar yang

dulu aja, gitu…,” sahut Bianda lirih.

Mulai saat itulah Caesar menjadi penulis muda

terkenal, bahkan bukunya sudah dibaca oleh seluruh

member JKT48 khususnya Beby. Selain itu, ia juga telah

berhasil menunjukkan pada mamanya kalau sukses tidak

hanya dalam bidang akademi saja.

Page 158: From a Shadow

152

Hari demi hari berganti.

"Caesar, ini ada kiriman surat buat kamu!" teriak

Mamanya dari teras.

"Surat dari siapa, Ma?" tanya Caesar.

"Nggak tau, ini buka aja." suruh Mama.

Tanpa berpikir lama, Caesar pun membuka surat

yang dilapisi amplop merah hati itu. Ternyata, surat itu

dari SMP Caesar di Bandung yang akan mengadakan

reuni angkatannya besok lusa. Caesar membaca surat itu

semakin ke bawah. Dan suatu hal yang membuat Caesar

terkejut saat ia membaca tulisan "Present: JKT48". Entah

mengapa yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah

Beby. Malam harinya Caesar langsung packing untuk

pergi ke Bandung esoknya.

Acara yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Satu

per satu panitia memberi sambutan meriah saat itu.

Setelah sambutan selesai dilanjutkan perform pertama dari

Page 159: From a Shadow

153

JKT48. Mata Caesar hanya tertuju pada Beby, dia semakin

terlihat dewasa dan bersinar. Perform pertama pun selesai.

Jam demi jam berlalu.

"Semakin malam ya? Sekarang saatnya buat

menunjukkan karya kalian! Boleh berupa puisi, nyanyian

atau apapun. Yang berani langsung angkat tangan ya...

Dibatasi hanya 5 orang!" ucap pembawa acara tersebut.

Semula, Caesar berpikir ingin berpuisi dan

didedikasikan untuk Beby. Karena terlalu lama berpikir, 5

orang pun sudah terpilih tidak termasuk Caesar. Caesar

kecewa, ia sangat ingin menunjukkan kepada Beby bahwa

ia masih menunggunya. Hingga akhirnya, saat karya

terakhir selesai dan JKT48 sudah siap untuk perform

terakhirnya, Caesar memberontak naik ke panggung. Tapi

saat itu juga, Caesar ditarik untuk turun panggung oleh

security. Tiba-tiba...

"Lepaskan dia, Pak! Biarkan saja dia melakukan-

nya...," ucap Beby yang tiba-tiba ada di belakang

Caesar. Caesar pun terkejut, ia tidak menyangka Beby

masih mengingatnya. Hingga akhirnya, Caesar diizinkan

untuk membawakan sebuah puisi di atas panggung itu.

Page 160: From a Shadow

154

Terlihat Beby menyemangati Caesar, tanpa ada persiapan

apapun, kata demi kata terlontarkan dari mulut Caesar

tanpa ia sadari dan membuatnya meneteskan air mata

kembali untuk sahabatnya itu.

“Sesekali hati ini bermimpi

Impian yang terlihat mustahil oleh logika

Dari sudut pandang orang yang berpikir realistis,

Mungkin impian itu hanya sebatas mimpi saat kita tidur

Tapi bagiku berbeda,

Seperti malam ini, mimpi itu nyata

Mimpi itu mendorongku hingga sampai ke atas panggung

ini

Panggung yang bisa menyatukan pandangan mata kita,

Untuk melihat lurus ke depan dalam fokus yang sama

Mimpi itu juga sedang menggerakkan mulutku untuk

berbicara saat ini

Hingga mimpi itu memaksa kalian untuk mengenalnya

Kalian pasti bertanya-tanya,

Apa maksud dari perkataanku tadi?

Page 161: From a Shadow

155

Disini aku akan mengajak kalian untuk bisa mengalahkan

mimpi itu

Aku berisik ya?

Iya aku tahu itu, mungkin sudah dari dulu

Dulu, dimana aku mengenal sosok malaikat tanpa sayap

dengan senyum indahnya

Tapi itu dulu,

Sekarang kita sudah terpisahkan oleh jarak

Buat ketemu aja butuh perjuangan,

Apalagi memandanginya seperti saat dulu

Malam ini cerah ya?

Iya aku tahu itu, secerah hatiku saat ini

Karena malaikat itu sekarang ada di sekitar sini

Aku tahu, sekarang malaikat itu sedang medengarku

Tapi aku juga tahu, kenapa ia tak menghampiriku

Karena malaikat itu punya peraturan emas

Mungkin kalau peraturan itu nggak ada,

Sekarang kalian bisa melihat malaikat itu di sampingku

Tapi sayangnya,

Emas yang melilit di peraturan itu terlalu berharga

Page 162: From a Shadow

156

Aku nggak kecewa kok,

Aku cuma mau bilang,

Dimana pun kamu berada, bayanganmu selalu

menghantui pikiranku

Maaf aku sudah pernah mengisi satu karakter dalam

duniamu

Aku masih menunggumu kembali ke rumah mungil di atas

pohon itu,

Dan sekarang aku masih berusaha mengalahkan mimpi

itu,

Terima kasih sudah mendengarku saat ini,

Terima kasih sudah menjadi inspirasi hidupku,

Terima kasih kamu,

Beby Chaesara Anadila."

Hati Caesar bertanya-tanya setelah ia berhasil

merangkai kata-kata seperti itu, darimana kata itu berasal,

apa ini semua yang dinamakan kata hati? Tanya itu pun

tak terjawab, setelah seseorang berjalan mendekatinya dari

belakang. Beby melangkahkan kakinya perlahan-lahan

Page 163: From a Shadow

157

mendekati sahabatnya, mengangkat mic yang ia genggam

hingga tepat di depan mulutnya, mengeluarkan suaranya.

Sebuah lagu “Kimi Ni Au Tabi Koi Wo Suru”

dari JKT48, ia lantunkan sendiri di atas panggung, tak

segan ia sesekali memeluk tubuh Caesar tanpa

memikirkan bahwa dirinya masih sebagai seorang idola

saat itu.

Di reuni itu, setelah sekian lama

Kau duduk di sebelahku Yang benar, yang paling ingin kutemui

Cinta yang tak berbalas itu

Kau memanjangkan rambut Dan menjadi dewasa

Dirimu sangat bersinar

Dua kali jatuh cinta

Di lubuk hatiku yang dalam

Waktu tertidur pun membuka mata

Ah...

Ketika engkau tersenyum

Page 164: From a Shadow

158

Hatiku menjadi sakit Aku tak mampu berkata

Setelah upacara kelulusan usai Kita tinggal di ruang kelas

"Selalu, selalu menjadi teman ya" Kita semua mengikat janji

Dirimu yang terkunci Di dalam kenangan

Sekarang bangkit kembali

Dua kali jatuh cinta

Sama seperti sebelumnya

Debar yang nostalgik kembali terasa

Ah... Setiap bertemu denganmu

Aku akan jatuh cinta

Sampai berapa kalipun

Dua kali jatuh cinta

Di lubuk hatiku yang dalam

Waktu tertidur pun membuka mata

Ah... Ketika engkau tersenyum

Hatiku menjadi sakit Aku tak mampu berkata

Page 165: From a Shadow

159

Pelukan terakhir Beby untuk sahabatnya

mengiringi lirik terakhir lagu itu. Seperti menonton film

ber-genre romance, teman-teman yang berada di bawah

hanya bisa melongo melihatnya. Sebagian teman-teman

yang sudah mengerti kisah mereka sebelumnya, ikut

meneteskan air matanya. Tak ada satu pun teman-teman

yang menganggap aturan arti cinta dari JKT48 baru saja

dilanggar oleh seorang Beby Chaesara Anadila. Bahkan,

riuh tepuk tangan berlomba-lomba memberikan semangat

untuk sepasang sahabat yang pernah mengisi sekolahnya

dulu.

Seorang penulis muda dan member JKT48

menjadi cerita tersendiri pada reuni malam ini. Di sudut

lain, juga terlihat sepasang sahabat yang bergenggaman

erat dan memberikan senyuman seakan mengisyaratkan

mereka juga salah satu karakter yang berada di dalam

cerita di atas panggung itu. Triyan dan Ginsa masih

memegang janjinya untuk tidak berpacaran sebelum waktu

yang tepat tiba.

Page 166: From a Shadow

160

V

(LIMA)

Page 167: From a Shadow

161

Waktu tetap masih terus berjalan, hingga Caesar

dinyatakan lulus dari SMA-nya.

Liburan kali ini sangat menyiksa bagi seorang

Caesar Wijaya. Monoton. Setiap pagi dia hanya berkutat

dengan laptopnya dan mencari informasi terbaru dari idol

group favoritnya, JKT48. Dia selalu berandai-andai

apabila dia tinggal di Jakarta mungkin tak akan semonoton

seperti saat ini. "Long Distance Idoling" itulah yang

selalu ada dalam pikirannya dan membuatnya terus

berharap untuk pindah ke Jakarta agar bisa selalu dekat

dengan idolanya bahkan sahabatnya itu.

Langit pun terlihat mulai gelap. Rintik-rintik

hujan mengiringi tibanya senja di hari itu. Secangkir susu

coklat panas menjadi sahabat Caesar di hari yang sangat

monoton itu. Tangannya mulai meraih laptop hitam di atas

meja belajarnya. Dengan sigap, ia juga meraih headset-

nya dan langsung menancapkan ke laptopnya tersebut.

AKB48 - After Rain, play! Suara lagu itu berlomba-lomba

memenuhi telinga Caesar dengan volume yang keras.

Hujan pun semakin deras, Caesar masih saja

berkutat dengan laptopnya. Kali ini ia membuka twitter-

Page 168: From a Shadow

162

nya. Scroll mouse berkali-kali dimainkannya. Dia mulai

merasa bosan, tapi dia dikejutkan dengan suatu getaran di

saku celananya. Ternyata ia mendapatkan SMS dari

Triyan. Inti dari SMS itu, Triyan menyuruh Caesar untuk

membuka link yang baru saja dikirimkannya sekarang

juga.

Rasa penasaran itu semakin menjadi-jadi di otak

Caesar. Dengan cekatan ia langsung mengetikkan link

tersebut ke dalam address bar di browser-nya.

Loading.........

"Beby Chaesara Anadila Dikabarkan Akan

Graduate Dari JKT48"

Tulisan itu membuat seluruh tubuh Caesar seakan-

akan kaku tak bisa bergerak. Detak jantungnya semakin

cepat. Beby adalah sahabat berwujud oshimen Caesar

sejak ia mengenal JKT48. Pantas saja tulisan tadi

menjadikan Caesar tak berdaya seperi itu.

Page 169: From a Shadow

163

"Nggak mungkin! Beby nggak mungkin grad, dia

perempuan kuat!" gumam Caesar sambil meraih HP-nya

untuk menelpon Triyan.

"Halo, gimana Sar udah di buka link-nya?" tanya

Triyan dalam ponsel.

"Bullshit! Ini semua belum fix kan?"

"Hmm... aku sih... entar aja bahasnya, jam

sembilan malem kita ketemuan di kafe biasa!"

"Ah! Okelah....aku tunggu jangan molor!"

Jam menunjukkan pukul 20.45, hujan pun tak

kunjung reda. Itu tak menjadi masalah untuk Caesar. Ia

langsung menancapkan gas mobilnya untuk menuju

sebuah kafe tempat nongkrong favorit Caesar dan teman-

temannya. Tepat pukul 21.00, Caesar tiba di kafe itu. Tak

lama kemudian, terlihat sosok pria mendekat Caesar. Itu

Triyan. Tanpa basa-basi ia langsung membahas tentang

rumor graduate Beby.

Page 170: From a Shadow

164

"Udah, Sar! Nyantai dulu ini masih rumor...,"

ucap Triyan yang berusaha menenangkan Caesar.

"Nyantai gimana? Dia sahabat kita, Yan!

Dulu...waktu Ochi grad juga sebelumnya ada rumor kayak

gini dan akhirnya dia fix grad."

"Hmm...yaudah ntar liat dulu tweet terbaru dari

Beby. Coba kamu aktifin mobile notification di HP-mu

biar ntar kalo Beby nge-tweet langsung ada

pemberitahuannya."

"Oke udah, aku takut kalo dia beneran grad," ucap

Caesar dengan wajah lesu.

Tiba-tiba Caesar dikejutkan dengan notifikasi di

HP-nya. Ternyata benar, Beby menyatakan akan

meninggalkan JKT48 di dalam waktu dekat ini.

"Anjiiiiirrrrrr!! Ini apa-apaan? Aku kudu gimana

sekarang?"

"Udahlah kamu tenang dulu, lagian dulu Ghaida

hampir grad dan akhirnya nggak jadi, itu semua gara-gara

semangat dari fans. Daripada kamu marah-marah nggak

jelas gitu mendingan kamu ngelakuin sesuatu biar Beby

Page 171: From a Shadow

165

nggak jadi grad," ucap Triyan yang kembali menenangkan

Caesar.

"Hmm...aku ada ide, aku nggak mau tau gimana

caranya besok kamu antar aku ke sebuah gunung atau

hutan yang ada bunga edelweis-nya!"

"What? Mau ngapain? Gila kamu!"

"Udah anterin aja... aku gamau Beby grad!"

"Hmmm... O... o.... okelahh... kalau kamu nggak

sahabatku aku nggak bakal mau nganterin kamu, Sar! Ada

hutan di dekat sini, tapi lumayan berbahaya. Kamu

beneran mau?"

"Terpaksa mau, demi Beby!"

Pagi ini sangat dingin, cuaca berawan

menyelimuti langit biru di atas sana. Pagi itu juga, Caesar

siap untuk menghampiri Triyan dan menuju hutan yang

dijanjikannya. Tepat pukul 06.15 Caesar sampai di depan

Page 172: From a Shadow

166

rumah Triyan dan terlihat Triyan pun sudah siap untuk

mengantarkannya ke hutan tersebut.

"Ini serius, Sar?" tanya Triyan sambil mengendali-

kan setir mobil Caesar.

"Iyalah.... Empat puluh delapan ribu rius

malahan!" jawab Caesar, bercanda.

"Gila, emang kamu mau ngapain sih?" tanya

Triyan kembali.

Caesar menghela napas. "Rencananya, aku mau

ngeliatin ke Beby perjuangan kita buat mendapatkan

bunga edelweis di hutan itu. Nah, karena itu aku bawa

handycam buat ngrekam gimana prosesnya. Kalo kita

berhasil, entar kita langsung meluncur ke Jakarta buat

ngasih rekaman, bunga edelweis dan sedikit fanletter yang

aku buat tadi malam sebagai gift buat Beby. Harapanku ini

bisa menyadarkan Beby bahwa fans juga berjuang untuk

men-support idolanya, semoga dia mengerti itu." jelasnya

kemudian secara detail.

Setelah lama mereka ngobrol di dalam mobil,

hutan yang menjadi tempat tujuannya pun mulai terlihat.

Page 173: From a Shadow

167

Mereka memakirkan mobilnya di rumah orang sekitar

hutan tersebut.

"Maaf, Pak... kita boleh nitip mobil disini?" tanya

Triyan dengan pemilik rumah.

"Siapa kalian? Mau kemana?" pemilik rumah itu

membalik bertanya.

"Hmm... saya Triyan, ini temen saya Caesar. Kita

mau cari bunga edelweis di hutan itu buat penelitian,"

ucap Triyan sedikit berbohong.

"Oh ya, silahkan! Tapi hati-hati ya, hutan itu

berbahaya, banyak orang masuk hutan itu dan tidak bisa

keluar lagi," ucap pemilik rumah itu.

"Iya... pasti Pak, kita bisa jaga diri kok! Lagian

temen saya ini di SMA ikut ekstrakurikuler pecinta alam!"

sahut Caesar.

"Hussss....!!!" sahut Triyan sambil menginjak kaki

Caesar.

"Yaudah... selamat berpetualang!" ucap pemilik

rumah kembali.

Page 174: From a Shadow

168

Dengan sigap, Caesar langsung menurunkan

peralatan-peralatan yang akan ia gunakan saat berada di

hutan itu. Ia berpikir semuanya sudah lengkap dan ini

saatnya memulai perjuangannya. Handycam dengan tali

yang terbelit di tangan Triyan, selalu fokus pada apa yang

dilakukan Caesar.

Berjam-jam mereka tidak menemukan bunga yang

diinginkannya. Matahari pun mulai terbenam, Caesar

masih terus keras kepala untuk melanjutkan pencarian

bunga itu.

"Sar, gimana kalo kita istirahat dulu, buat tenda

dulu disini gitu?" tanya Triyan yang sudah merasa sedikit

kelelahan.

Caesar melirik jam tangannya. "Aduh,

nanggung,Yan... Kita nggak punya banyak waktu," ucap-

nya kemudian.

Triyan mengerutkan dahinya. “Nanggung

gimana? Ini udah jam sepuluh lebih, Sar!” bentak Triyan

kemudian yang merasa sudah terlalu malam untuk

melanjutkan perjalanan.

Page 175: From a Shadow

169

Mendengar bentakan Triyan, Caesar sedikit kaget

hingga menundukkan kepalanya. "Emm... iya... iyadeh

Yan, maaf... kita istirahat & buat tenda dulu disini,"

jawabnya agak ketakutan dengan bentakan Triyan tadi,

hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk beristirahat

dan melanjutkan pencarian esok hari.

Pukul 04.45 Caesar mulai terbangun dan pikiran-

nya tetap masih mengarah ke bunga edelweis. Akhirnya,

Caesar membangunkan Triyan untuk melanjutkan per-

jalanan mencari bunga tersebut.

Masih seperti hari kemarin, berjam-jam mereka

mencari tak ada hasilnya. Senja pun mulai tiba kembali.

Triyan mulai putus asa, ia menghentikan langkahnya

sambil menurunkan handycam yang daritadi merekam

Caesar. "Sar, semua ini sia-sia, kita nggak akan nemuin

bunga itu," ucapnya tiba-tiba.

Mendengar pernyataan dari temannya itu, kening

Caesar mengerut. "Kamu kenapa sih, kalo nggak mau ikut

aku cari bunga itu ngomong aja?" tanyanya kesal.

"Hmm bukan gitu, bunga edelweis semakin

langka, mungkin di hutan ini udah nggak ada lagi...."

Page 176: From a Shadow

170

Caesar mendengus semakin kesal. "Aku yakin

masih ada bunga itu disini! Kalo nggak niat, kamu pulang

aja Yan, tunggu aku di rumah nanti!" bentaknya

kemudian.

"Sar, stok makanan kita udah habis!” balas Triyan

dengan bentakan bernada lebih tinggi. “Kamu kenapa sih?

Semenjak Beby jadi member JKT48 malah jadi keras

kepala gitu! Kemana kamu yang dulu?" tanyanya

kemudian dengan nada yang masih cukup tinggi.

"Hah? Aku yang dulu? Dulu aku manja, you

know? Semenjak Beby masuk JKT48, aku bisa lebih tau

arti perjuangan! Aku keras kepala? Iya, aku seperti itu

karena aku nggak akan menyerah untuk sesuatu yang

belum tercapai! Aku berusaha untuk tetap melangkah di

jalan yang aku pilih!" bentak Caesar kembali seolah-olah

tak ingin kalah, namun kali ini ia meneteskan air mata di

depan sahabatnya dan membuat Triyan terdiam membisu.

Di tengah bentakan-bentakan itu, Caesar dikejut-

kan oleh sesuatu di sebrang sungai dalam hutan itu. Bunga

yang ia cari-cari akhirnya ada tepat di depan matanya.

Namun, ia harus menyebrangi sungai yang luas itu.

Page 177: From a Shadow

171

Walaupun gelap, dalam dan arusnya deras, Caesar tetap

bertekad untuk menyebranginya seakan-akan ia memiliki

ratusan nyawa.

Melihat Caesar berjalan mendekati sungai, Triyan

juga melihat bunga itu, ia pun juga mengerti apa yang

akan Caesar lakukan saat itu. "Sar, itu aliran sungainya

deras banget, kamu beneran gila apa gimana sih? Aku

sahabatmu, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" seru

Triyan, cemas.

Caesar pun menoleh ke arah Triyan, menatapnya

tajam, penuh keseriusan. "Yan, aku tau kamu sahabat

terbaikku. Tunggu aku di sini, kita bisa berjalan sejauh ini,

jadi aku yakin aku bisa kembali, terus berangkat ke

Jakarta bareng-bareng besok. Kita berjuang bersama-sama

ya…," ucap Caesar dengan memberikan senyuman pada

sahabatnya seakan ia yakin usahanya kali ini akan

berhasil.

" Tapi, Sar….,” bantah Triyan terpenggal.

“Udah percaya sama aku, janji!” sela Caesar

menjulurkan kelingkingnya ke arah sahabatnya itu.

Page 178: From a Shadow

172

Kali ini giliran Triyan yang tak kuasa menahan air

mata khawatirnya. Hingga akhirnya ia mengangkat tangan

kanannya, kelingkingnya menyambut janji Caesar,

anggukan kepalanya menandakan kepercayaan pada

sahabatnya itu.

Dengan keberanian dan ketenangannya, Caesar

langsung menyebrangi sungai itu. Akhirnya, terlihat di

sebrang sungai Caesar berhasil mengambil bunga itu dan

memasukannya ke kantong plastik. Saatnya Caesar

kembali untuk bertemu sahabatnya lagi. Namun, saat ia

menyebrang untuk kembali, aliran sungai terasa semakin

deras.

Caesar memutuskan untuk melemparkan bunga

itu dulu ke Triyan. Sedikit lagi ia berhasil kembali. Tiba-

tiba...

KRRAAAKKKK!!!!

Kaki Caesar menginjak sebuah batu yang licin

dan membuatnya terjatuh. Triyan yang sedang merekam

dengan handycam panik, ia langsung bergerak untuk

menyelamatkan sahabatnya. Tapi... sia-sia sudah, Caesar

hanyut terbawa aliran sungai itu dan hilang. Sudah

Page 179: From a Shadow

173

terlambat, seperti mimpi buruk dalam tidur yang terlihat

mustahil, semuanya berakhir dengan hal yang tidak

berguna. Hanya ada sesal yang ada di dalam hati Triyan

sekarang.

"CAESAAAAAAAAAARRRRRR!!!"

Triyan tak tau harus berbuat apa, ia berlari menuju

jalan keluar hutan itu. Akhirnya, ia berhasil keluar hutan

itu dan meminta bantuan warga sekitar untuk mencari

Caesar. Keluarga Caesar pun sudah datang di tempat

kejadian perkara. Tetap saja, Caesar tidak ditemukan.

Kembali Triyan hanya bisa menyesali itu semua.

Berhari-hari Triyan berada dalam keadaan duka,

tak beda jauh dengan Ginsa yang juga sudah mengetahui

berita itu. Rasanya hanya ingin memutar waktu karena

baginya sahabat memiliki arti yang teramat penting dalam

kehidupan ini. Sahabat akan selalu hadir di tiap kehidupan

kita, ia dapat menghibur kita dikala kita sedih, membuat

kita tertawa, setia menemani dimasa-masa suka maupun

duka, dan selalu sabar dalam menyertai kehidupan kita.

Sahabat tidak akan pernah mencelakakan dan

memanfaatkan kita, ia tak kenal pamrih dan waktu dalam

Page 180: From a Shadow

174

menolong, ia akan melakukan sesuatu disaat kita

membutuhkannya tanpa meminta sesenpun imbalan, balas

jasa, bahkan ucapan terima kasih.

Kita dapat menemukan banyak karakter untuk

dijadikan sahabat, tetapi dalam menemukan sahabat tidak

semudah yang kita bayangkan, tidak cukup dengan

perkenalan yang singkat atau memerlukan waktu yang

lama dalam kita menilai seseorang untuk menjadi sahabat,

karena sahabat akan hadir dengan sendirinya tanpa kita

sadari dan dalam kurun waktu yang tidak dapat kita

tentukan.

Hingga pada suatu hari, Triyan berniat untuk

mewujudkan mimpi sahabatnya. Tak perlu waktu lama, ia

menancapkan gas mobilnya dan langsung meluncur ke

Jakarta.

Gift untuk Beby sudah siap. Triyan menitipkan-

nya ke security dan memohon untuk dikirimkan ke Beby

Page 181: From a Shadow

175

sekarang juga. Saat itu Beby sedang istirahat untuk latihan

terakhir sebelum melakukan theater show terakhirnya.

"Beby, ini ada kiriman buat kamu," ucap security.

"Oh ya, makasih Pak!" jawab Beby.

Melihat gift itu, Kinal sang kapten JKT48 pun

mendekati Beby. "Beb, ini kan terakhir kali kamu ada di

JKT48, nah coba buka dong gift-gift dari fans kamu,

mungkin bisa buat kamu semangat," ucapnya kemudian,

tegas.

"Iya...ayo dibuka!!" seru member-member

lainnya.

"Iya deh iya..." jawab Beby.

Hingga akhirnya, Beby membuka gift pertamanya

yang ada di tangan. Itu gift dari Caesar. Beby sangat

penasaran, kenapa di depan terlulis nama "Alm. Caesar

Wijaya"? Setelah dibuka, Beby dikejutkan oleh benda-

benda di dalamnya. Bunga edelweiss, sebuah handycam

dan sebuah kertas kecil. Kertas itu berisi tulisan dari

tangan Caesar sebelum meninggal.

Page 182: From a Shadow

176

Page 183: From a Shadow

177

Beby sedikit tercengang dengan surat itu, tidak

paham dengan sahabatnya. Rasa penasaran itu seakan

menghipnotisnya, dengan sigap tangannya meraih

handycam di dalam paket gift dari Caesar. Tanpa basa-

basi, Beby langsung memutar video di dalamnya. Video

yang tidak seharusnya ia tonton, video yang membuat

seluruh tubuhnya terasa kaku, ketidakpercayaan masih

meracuni pikirannya. Mustahil, Caesar bukan tipikal orang

yang semudah itu untuk melakukan hal yang tidak

berguna. Namun, setelah video itu berkali-kali ia putar,

rasa mustahil ia perlahan-lahan luntur. Air mata

kehilangan membasahi pipinya. Seperti mimpi, ia merasa

bersalah dengan sahabatnya itu.

“Loh Beb, kamu kenapa?” tanya Shania, teman

dekat Beby di JKT48 setelah melihat air mata bebi

berlinangan.

Beby belum bisa menghentikan derasnya air mata

itu, belum bisa menahan rasa sakitnya saat itu. Ia benar-

benar sudah kehilangan sahabat yang sudah berperan

dalam hidupnya sekarang. Tanpa jawaban, ia memberikan

paket gift dalam genggamannya kepada teman dekatnya

Page 184: From a Shadow

178

itu. Dengan rasa penasaran, Shania pun ikut membaca

hingga memutar video itu. Member-member lainnya

mengekor.

Selesai membaca dan menonton paket gift dari

Caesar, semuanya terdiam membisu seketika. Beberpa

dari mereka tak kuasa menahan air matanya. Shania yang

berada di depan Beby, langsung memeluk temannya itu.

Air matanya berlomba-lomba untuk berjatuhan, member

lainnya kembali mengekor, hingga satu petak ruangan

latihan saat itu terpenuhi oleh kesedihan. Semua member

mengerumuni Beby, satu per sayu bergantian memberikan

pelukan untuknya. Semuanya bisa merasakan kesedihan

itu. Beby menceritakan kisahnya dengan Caesar kepada

semua member setelah acara reuninya dulu. Tak heran

apabila semuanya bisa merasakan apa yang dirasakan

Beby saat itu. Hingga akhirnya pada pelukan terakhir dari

Viny, member JKT48 generasi kedua ini menatap Beby

seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Lama ia

terdiam menatap Beby, namun tidak ada satu kata pun

yang terucap dari mulutnya.

Page 185: From a Shadow

179

“Andaikan waktu itu Caesar tahu, kalau aku

nitipin sesuatu ke papanya…” ucap Beby dalam keheni-

ngan di antara tetes air mata, ia juga menyesali kepergian

papa Caesar, ternyata ia pernah menitipkan sesuatu untuk

Caesar padanya sebelum kecelakaan yang dulu

menimpanya. Kertas yang berisi satu kalimat singkat,

namun sudah cukup menjelaskan semua perasaan Beby

untuk sahabatnya selama ini.

“Temen-temen…” panggilnya tiba-tiba, masih di

antara air mata, hingga menjadi pusat perhatian, semua

yang ada di dalam ruangan itu menoleh ke arahnya. “Aku

mutusin buat nggak graduate hari ini, aku pengen

berjuang lebih lama lagi bareng kalian semua, sekaligus

mewujudkan mimpi Caesar,” ucapnya kemudian,

Page 186: From a Shadow

180

membuat detik itu juga adalah detik sejarah bagi semua

hati yang mendengar perkataan itu.

“BEBY CHAESARA ANADILA DIKABARKAN BATAL

GRADUATE DARI JKT48”

Page 187: From a Shadow

181

epilog

Rumah mungil di atas pohon, kini menjadi saksi

bisu pertemuan kembali sebuah persahabatan yang

memiliki jutaan memori tak terlupakan. Suatu luka yang

begitu menyayat, menjadikan mereka lebih dewasa.

Caesar Wijaya memang sudah tidak bersama mereka lagi,

namun kenangan tentang dirinya masih tersimpan rapi di

dalam hati mereka. Sahabat sempurna, tidak akan ada

yang bisa menggantikan Caesar sampai kapan pun.

Kini, Beby, Triyan dan Ginsa sudah berhasil

mengejar mimpinya. Beby yang sukses bersama JKT48, di

sisi lain ada Triyan dan Ginsa yang selalu bersama di

sebuah perguruan tinggi impian mereka berdua.

Hingga suatu hari, Caesar seperti hidup kembali

seakan-akan mengingatkan ketiga sahabatnya tentang

rumah kecil di atas pohon itu. Surat ajakan kecil yang

Page 188: From a Shadow

182

mereka buat saat pertama menjamah rumah itu menjadi

perantaranya.

Hari itu dimana ketiganya kosong, tidak ada satu

pekerjaan yang mengikatnya. Entah inisiatif atau mungkin

ikatan persahabatan, dengan ajaibnya surat itu seperti

menjalankan mereka untuk bertemu kembali pada rumah

dimana mimpi-mimpi mereka gantungkan di dalamnya.

“Udah siap?” tanya Triyan yang sudah akan me-

nancapkan gas mobilnya ke Bandung bersama orang yang

ia cintai, anggukan Ginsa menjadi awal perjalanan

mereka.

Di sisi lain, ada Beby yang juga bersiap di dalam

mobilnya, selain pulang ke rumahnya, ia pergi ke

Bandung sekalian sekaligus untuk mendatangi rumah kecil

di atas pohon itu, didampingi sopirnya.

Villa yang dulu seperti istana megah, kini seperti

rumah kosong yang pernah terjadi pembunuhan di

Page 189: From a Shadow

183

dalamnya. Tidak ada yang merawat. Triyan dan Ginsa

yang sudah sampai di depannya, seperti sudah tidak

memiliki rasa takut. Caesar ada di dalam rumah itu,

tinggal di sini untuk menunggu sahabat-sahabatnya, pikir

mereka berdua.

Setelah berlama-lama memandangi keadaan

sekitar, pohon yang masih berdiri kokoh dari dulu sampai

sekarang menjadi pehatian mereka. Triyan mendekati,

Ginsa mengekor. Terlihat kayu yang masih kuat seperti

dulu menampung mereka berempat, meyakinkan Triyan

untuk naik ke atasnya. Ginsa masih mengekor, percaya

dengan Triyan. Saat kaki Triyan sudah berada di anak

tangga terakhir, matanya sudah bisa melihat keadaan

ruangan di dalam rumah pohon itu. Tidak terawat, hingga

banyak sekali laba-laba yang membuat sarangnya di situ.

Namun, walaupun tidak terawat, semua barang klasik

milik Caesar masih tertata rapi di dalamnya.

Mereka berdua sudah mulai bisa merasakan

kenangan itu. Kenangan dimana pertama kali mereka

berdiri di atas rumah itu bersama-sama untuk melihat Kota

Bandung dari atas. Senyuman keduanya sama-sama

Page 190: From a Shadow

184

mengembang. Hingga akahirnya, Ginsa bergerak untuk

membersihkan rumah pohon itu, giliran Triyan yang

mengekor.

“Gin, aku turun dulu bentar ya, ada yang

ketinggalan di mobil,” ucap Triyan di sela-sela saat

keduanya sibuk membersihkan rumah itu, setelah ada

sesuatu yang menarik Triyan untuk turun kebawah.

Lagi-lagi tanpa jawaban, anggukan Ginsa menjadi

awal langkah Triyan. Ia turun meninggalkan Ginsa,

kemudian tak lama dating kembali dengan membawa

ekspresi wajah yang berbeda dari sebelumnya.

“Kenapa sih, Yan, kok senyum-senyum gitu?”

tanya Ginsa, Triyan masih dengan senyumannya, tak

menjawab satu kata pun. “Woi, jangan kayk orang

kesambet gitu dong!” bentaknya kemudian.

Bentakan itu berhasil memaksa Triyan untuk

mengeluarkan perkataannya. “Emhh… aku ada sesuatu

buat kamu,” ucapnya kemudian.

“Apa? Teddy Bear lagi? Kamu buang-buang uang

aja, udah tiga belas boneka kayak gitu kamu kasih ke aku,

Page 191: From a Shadow

185

cuma beda warna aja, Yan…”

“Enggak Gin, kali ini beda, percaya deh sama

aku,” sela Triyan.

“Beda apanya?”

“Sekarang yang aku bawa boneka Teddy Bear-nya

besar,” jelas Triyan sambil meraih sesuatu dari anak

tangga rumah pohon itu. “Ini Teddy Bear-nya Caesar, Gin!

Taraaaaa!” serunya kemudian, ternyata seorang Beby

Chaesara Anadila sudah berada tepat di atas rumah pohon

kenangan mereka. Ginsa sempat tidak percaya, kini

sahabatnya yang sudah terkenal masih ingat akan

persahabatannya selama ini.

“Arrrrrggggghhhhh Beby, kamu oshimen aku!!!”

teriak Ginsa kegirangan dan serontak memeluk sahabatnya

yang sudah bertahun-tahun hanya bisa melihatnya di

televisi sebagai idola. Air mata haru kembali memenuhi

satu petak ruangan di dalam rumah pohon ini.

Setelah membutuhkan waktu cukup lama, untuk

berbincang-bincang mengenang masa lalunya, Triyan

teringat pada sesuatu.

Page 192: From a Shadow

186

“Gin, ngomong-ngomong kamu kok cepet banget

ya bersihinnya tadi?” tanya Triyan

“Mungkin gara-gara terlalu semangat, Yan…”

jawab Ginsa.

“Atau mungkin ketakutan di atas sendirian?”

tambah Beby, menyeletuk.

“Ah oshiku sekarang suka bercanda, nih,”

“Yaelah Gin, jangan gitu dong manggilnya, aku

kan masih Beby yang dulu ingusan, nggak berubah kok,”

jelas Beby, merendah.

Perkataan itu membuat mata Triyan dan Ginsa

saling bertatapan. “Kamu berubah banget, kamu jadi lebih

cantik sekarang,” ucap Ginsa, memuji sahabatnya.

“Iyalah semua juga gitu, Gin, kalo dibandingin

dulu kan belum bisa dandan,” sahut Beby.

“Tapi Ginsa bener lho, kamu masih buat kita

berdua nggak percaya nggak percaya, auramu sudah aura

idola sekarang,” tambah Triyan, menyela. “Andaikan

Caesar ada di sini ya…,” tambahnya kembali, mengingat-

Page 193: From a Shadow

187

kan pada luka yang semestinya tidak harus ada dalam

cerita persahabatannya.

Semuanya terdiam, pikirannya mulai membayang-

kan kenangan Caesar yang masih membekas di hatinya

masing-masing. Air mata pun keluar bersama beberapa

kenangan yang berhasil mereka ingat saat itu. Masih

terdiam, hingga tiba-tiba dari bawah terdengar suara

langkah kaki menaiki anak tangga. Keajaiban sepertinya

memang sudah sengaja terkumpul untuk hari itu. Seorang

Althea Callista juga hadir di hari itu, hingga membuat

ketiga orang tadi sangat tercengang. Ini mustahil, mungkin

Caesar memang sudah mengajak kita semua yang pernah

mengisi hidupnya untuk berkumpul di atas sini.

“Halo…,” sapa Althea, sedikit canggung.

“Althea? Kamu kok…,” ucap Beby terpenggal.

Triyan tersenyum, ia manusia yang paling tenang

dengan kedatangan Althea dibanding dengan Beby dan

Ginsa.

“Aku yang ngajak dia kesini, Caesar yang

menyuruhku,” jelasnya singkat, namun sudah bisa di-

Page 194: From a Shadow

188

pahami oleh kedua temannya, Althea pun menunjukkan

kertas yang bertuliskan alamat rumah ini berada. Kertas

itu dari Caesar yang dititipkan Triyan saat berada di hutan.

Caesar sempat menjelaskan semuanya tentang Althea.

kepada Triyan saat bermalam di hutan. Saat itu juga,

Althea bergabung dengan mereka bertiga.

Masa lalu dan proses mengejar mimpi mereka

masing-masing menjadi topik perbincangan mereka

berempat. Namun lama-lama perbincangan itu kembali

menuju pada Caesar.

“Andaikan Caesar ada di sini ya,” ucap Triyan

membuka topik tentang kenangannya bersama sahabat

terhebatnya itu. “Sekarang, nggak pernah akan ada lagi

orang yang bisa menjadikan aku lebih dewasa, sekarang

aku harus bisa mandiri tanpanya,” tambahnya kemudian.

“Kalo boleh jujur, sebenernya selama ini cuma

Caesar yang setia jadi temen curhatku setiap ada masalah

sama kamu, Yan…,” ucap Ginsa, ikut masuk dalam topik

perbincangan itu.

Page 195: From a Shadow

189

“Andaikan Caesar tahu, kalau sebenernya dari

dulu aku juga udah punya perasaan yang nggak beda jauh

kayak dia, aku sayang dia…,” tambah Beby.

“Kita sama, dari TK cuma Caesar yang bisa

membuat aku tersenyum lepas selain papaku,” Althea ikut

menambahi. “Pembatas novel pertama Caesar, ada

kenangan sendiri di hatiku, A.C.C.W itu sebenernya

singkatan dari Althea Cinta Caesar Wijaya, entahlah

mungkin Caesar tidak tahu hal itu sampai sekarang,”

tambahnya kembali, menjelaskan arti pembatas novel

yang Caesar tulis, ternyata berawal dari Althea.

“Caesar tahu itu kok, dia udah jelasin ke aku lewat

surat bareng sama gift novel itu buat aku,” ucap Beby.

Perkataan Beby itu memakan waktu yang relatif

sedikit untuk membuat Althea tercengang. Suara langkah

kaki menaikki anak tangga yang menjadi penyebabnya.

Kali ini seseorang yang tidak memiliki hubungan dengan

Caesar berdiri tepat di depan mereka berempat.

“VINY???!!!”

Page 196: From a Shadow

190

Seorang Ratu Vienny Fitriliya, member JKT48

generasi kedua itu membuat Triyan, Ginsa, Beby dan

Althea sangat terkejut.

“Maaf, aku juga mendapat surat ajakan itu sama

seperti kalian semua, sebenernya aku juga nggak tahu

kenapa Caesar menyuruhku buat kesini…”

Page 197: From a Shadow

191

Page 198: From a Shadow

192

Bayangan itu datang kembali, mimpi yang samar-

samar selalu mengahantui setiap tidur malamnya. Saat

terbangun bayangan itu seperti terlihat jelas di depan

matanya walaupun hanya beberapa detik. Entah ilusi mata

atau apalah, itu selalu terjadi beberapa minggu terakhir ini.

Darriel Agatha Wijaya, bocah berpawakan tinggi,

berkulit sawo matang, berambut lurus dan berkacamata.

Sejak berumur 3 tahun, Darriel sudah tinggal bersama

neneknya. Ia ditinggal Mama, Papa dan adiknya saat

kecelakaan pesawat beberapa tahun silam. Hal itu yang

selalu membuatnya kesepian dan menjadi seseorang yang

sangat pendiam. Namun, sejak berumur 13 tahun ia

bermimpi untuk menjadi penulis novel. Darriel tak pernah

absen mengunjungi perpustakaan di ujung kota. Tanpa

adanya bakat, ia selalu mencari referensi buku di

perpustakaan itu. Namun, tak ada satupun inspirasi dan

materi yang ia miliki selama 2 tahun lebih itu. Hingga

akhirnya perpustakaan itupun dikabarkan akan tutup.

Matahari sudah berada di ufuk barat. Darriel

berniat untuk meminjam bahkan membeli satu buku lagi

untuk yang terakhir kalinya di perpustakaan itu.

Page 199: From a Shadow

193

"Maaf dek, perpustakaan ini mau tutup," ujar

seorang kakek penjaga perpustakaan itu.

"Aduh, kek... padahal saya pengen beli satu buku

terakhir di perpustakaan ini, saya siap bayar mahal, kek!"

sahut Darriel.

"Hmm... bukunya udah dipaketin semua jadi

nggak ada satu buku yang tersisa, tapi kalau kamu mau...

ada satu buku favorit kakek dari perpustakaan ini..."

"Nah… itu buku apa ya kek?" sahut Darriel me-

motong pembicaraan kakek itu.

"Gini... jadi ceritanya tiga tahun yang lalu ada

seseorang penulis muda yang ngasih bukunya kesini,

kakek baca-baca ceritanya nggak kayak seorang 16 tahun

yang nulis, dia penulis hebat... kamu mau?" tanya kakek

itu.

"Mau banget, kek!"

Dengan sigap, kakek itupun meraih suatu buku

yang ia simpan di dalam lemarinya. "FROM A SHADOW"

tulisan yang tampak jelas di cover buku tersebut

membuat Darriel penasaran dengan isi buku itu.

Page 200: From a Shadow

194

"Hmm… yaudah ini buat kamu nggak usah bayar,

simpen aja, rawat baik-baik ya…," ujar kakek tersebut

sambil memberikan buku itu kepada Darriel.

"Makasih banget, kek!" sahut Darriel dengan

kegirangan.

Tanpa berpikir lama, Darriel yang masih

kegirangan mendapatkan buku itu langsung menancapkan

gas mobilnya dan bergegas pulang ke rumah. Darriel tak

sabar membaca buku yang ia dapatkan dari kakek tadi.

Namun dalam perjalanan ke rumah, secara tiba-tiba ban

mobilnya bocor, untungnya di sebrang jalan ada bengkel.

Ia langsung banting stir menuju bengkel itu. Sambil

menunggu ban mobilnya ditambal, Darriel membuka buku

yang terbungkus warna krem itu. Pertama kali dibuka, ia

dikejutkan dengan sepucuk kertas dengan tulisan

"Welcome to my parallel dimensions, clear your logic!".

Darriel tidak paham apa arti dari tulisan itu, yang ia

pikirkan hanyalah suatu kata mutiara dari penulis buku itu.

Ia membalik selembar halaman dan terlihat di atas dengan

judul "Behind You", baru selesai membaca judul tersebut

tangan Darriel terasa sangat berat hingga akhirnya buku

Page 201: From a Shadow

195

itu terlepas dari genggaman eratnya. Tiba-tiba dari

belakang, seseorang yang cukup tua dan tidak dikenal

berpenampilan tak beraturan seperti orang gila menepuk

bahu Darriel.

"Bayangan dalam dunia paralel itu nyata...," ujar

orang misterius itu dengan lirih dan langsung berjalan

meninggalkan Darriel.

Ia tak paham apa maksud orang itu, Darriel hanya

berpikir bahwa ia baru saja mendengar kata-kata yang

sama persis dengan apa yang dibacanya dalam buku tadi.

Hal itu membuat Darriel memalingkan wajahnya ke arah

dimana buku itu terjatuh dari tangannya. Ia kembali

dikejutkan oleh buku itu dengan posisi tertutup dan

sepucuk kertas yang menyinggung tentang "dimensi

paralel" itu keluar di atas cover. Darriel mulai curiga

dengan buku itu. Tangan kanannya meraih handphone

yang berada di kantongnya. Dengan cekatan, ia langsung

menyentuh menu internet dan mengetikkan kata "dimensi

paralel" ke dalam address bar.

Page 202: From a Shadow

196

"Dimensi yang menghadirkan

realitas maya dan berjalan sejajar

dengan realitas kita."

Kata-kata itu membuat Darriel bertanya-tanya

dalam hatinya, ia meyakini buku itu datang dari dunia

lain. Setelah beberapa menit, ban mobilnya sudah selesai

diperbaiki. Ia langsung bergegas menuju rumah untuk

menyelidiki kasus ini.

Satu jam lebih akhirnya Darriel sampai di rumah.

Ia berlari menuju kamarnya dengan membawa buku tadi.

Tanpa berpikir lama, ia menekan tombol power pada

komputernya. Saat itu juga, ia menyelidiki darimana buku

itu berasal melalui internet. Ternyata, buku itu ditulis oleh

penulis muda―Caesar Wijaya yang tiga tahun yang lalu

hilang terseret derasnya arus sungai di dalam hutan. Hal

itu membuat Darriel mengerti apa arti dimensi paralel

yang ditulis dalam buku itu. Ia mencoba kembali

membuka halaman dimana terdapat judul "Behind You"

ditulis. Tangannya tidak terasa berat lagi saat

membacanya, namun tiba-tiba...

Page 203: From a Shadow

197

PYAAARRRRRR!!!

Lampu di kamar Darriel pecah. Di dalam

kegelapan, ia langsung mengambil lampu emergency di

sebelah meja belajarnya. Lampu itu cukup menerangi

ruangan kamarnya. Saat ia akan kembali duduk dan

melanjutkan untuk membaca buku tadi, lagi-lagi Darriel

dikejutkan dengan hal aneh. Pintu lemari di kamarnya

terbuka, namun hal itu tidak membuatnya takut. Ia

mendekati lemari itu secara perlahan-lahan, tangannya

mulai meraih ujung pintu lemari dan membukanya hingga

lebar. Seketika seluruh tubuh Darriel dingin dan kaku

ketika melihat boneka dengan posisi duduk dan membawa

amplop misterius di dalam lemarinya. Boneka dan amplop

misterius itu membut Darriel penasaran, sehingga ia

bergegas mengambilnya dan berlari keluar kamarnya.

Tangan dan jemarinya yang masih gemetar itu

membuka dan meraih kertas di dalam amplop misterius

tadi. Kode apa lagi ini? Lagi dan lagi, melihat tulisan

dalam kertas itu Darriel merasa di teror oleh mahkluk dari

alam lain.

Page 204: From a Shadow

198

"Hapus semua logika dalam otakmu!" tulisan

dalam surat misterius itu

Namun hal itu tak membuat keberaniannya luntur,

Darriel melakukan apa yang ditulis dalam kertas itu. Ia

berniat melakukan hal yang tak tahu apa yang harus ia

lakukan sekarang. Menghapus logika dan mempercayai

bahwa semua hal bisa terjadi di dunia ini, yang akhirnya

Darriel lakukan. Hingga akhirnya dengan perlahan ia

dapat membaca isi cerita di bawah judul "Behind You"

tadi. Ternyata, selama hidupnya seorang Caesar Wijaya

menulis tentang sosok wanita yang ingin ia jaga dan selalu

berada di belakangnya untuk mendorong agar bisa meraih

apa yang wanita itu lakukan. Dalam buku itu, sosok

wanita yang dimaksudkan adalah Beby Chaesara Anadila.

Cerita pertama terselesaikan. Jemarinya mulai

membalik lagi halaman berikutnya, kini tulisan baru

terlihat jelas di depan matanya, "Find Yourself!".

"Apa lagi yang harus aku lakukan?" gumam

Darriel.

Bola matanya mulai melirik ke bawah judul itu.

Hal itu terjadi kembali, tangannya terasa berat dan buku

Page 205: From a Shadow

199

dalam genggaman eratnya terlepas hingga terjatuh dalam

keadaan seperti saat di bengkel mobil. Darriel sudah mulai

tertekan dengan teror ini. Ia mengambil buku dan boneka

itu, mengemasnya ke dalam kotak. Saat itu juga, buku dan

boneka yang terkemas kotak dalam genggaman tangannya

ia lemparkan ke sungai kecil di sebrang rumahnya.

Malam yang kelam, seperti tak nyata. Seakan-

akan semua khayalan datang menyerang Darriel malam

ini. Mulai detik itu, Darriel ingin melupakan semua yang

baru saja terjadi. Memori-memori itu dianggapnya tak

pernah hadir dalam hidupnya. Dan hari esok pun sangat

ditunggunya saat ini, ia ingin cepat merasakan kenyataan

kembali. Saatnya tidur.

Roh Darriel melayang-layang dan perlahan-lahan

menginjak dunia mimpi. Dunia mimpi kali ini bisa

dikatakan aneh. Petang, hanya warna hitam, kegelapan

yang ia lihat. Sesekali muncul bayangan yang berjalan

begitu cepat dalam kegelapan. Waktu terus berjalan,

hingga akhirnya mata ilusi dalam roh Darriel melihat

cahaya terang di ujung kegelapan itu. Darriel mencoba

berlari mendekati dan meraihnya, namun semakin ia

Page 206: From a Shadow

200

mendekati cahaya itu semakin menjauh. Hal itu tak

membuatnya putus asa, Darriel tetap berusaha untuk bisa

sedekat mungkin dengan cahaya yang selalu menjauh

darinya itu. Tiba-tiba...

WOOOSSSSHHHH!!

Ia seperti jatuh ke dalam jurang kegelapan tanpa

dasar. Saat itu ia masih dalam keadaan tidur. Rohnya

belum kembali ke dalam tubuhnya, namun otaknya sudah

bisa merasakan dunia nyata. Hingga ia memberontak

untuk bangun. Seakan-akan tubuhnya tertindih oleh

sesuatu yang besar dan membuatnya tak bisa bergerak

bahkan bernapas. Kejadian itu hanya terjadi beberapa

detik, jam menunjukkan pukul 03.13. Darriel terus

memberontak, hal itu membuat ia terjatuh dari kasurnya

saat ia berhasil kembali ke dunia nyata―Sleep Paralyze.

Perlahan-lahan matanya terbuka menghadap kolong

tempat tidurnya. Saat sepenuhnya sadar, ia dikejutkan

dengan boneka yang ia buang di sungai tadi malam.

Boneka itu kembali menerornya dengan amplop dan surat

misterius.

Page 207: From a Shadow

201

"Bunga itu... ada dalam lemarimu!" tulisan dalam

surat misterius itu.

"Oke, oke! Kali ini aku memenuhi permintaanmu.

Tapi tolong siapa pun kamu, jangan ganggu aku terlalu

lama. Aku ingin hidup bebas kembali!" ucap Darriel

sedikit teriak dengan wajah yang cukup kesal.

Darriel bergegas membuka lemarinya, tampak

setangkai bunga edelweis berlumuran darah tergeletak di

ujung lemarinya. Ia memberanikan diri untuk menjulurkan

tangan dan meraih bunga itu. Saat jemarinya mulai

menyentuh bunga itu, terdengar gebrakan dari jendela

kamar yang semula tertutup menjadi terbuka lebar.

Terlihat samar-samar coretan darah di kaca jendela itu

yang bertuliskan, "Kemarilah, lihat aku!". Tulisan itu

seolah-olah seperti menghipnotis Darriel, ia berjalan ke

arah jendela itu. Mula-mula, matanya melirik ke salah satu

sudaut taman di luar kamarnya. Hanya kegelapan yang ia

lihat hingga ia mengalihkan pandangannya perlahan-

lahan. Sampai di sudut lainnya, ia dikejutkan oleh bocah

kecil berwajah pucat dengan kaki berlumuran darah.

Seketika bocah itu menoleh dan tersenyum ke arah Darriel

Page 208: From a Shadow

202

sambil menunjukkan sebuah kertas dengan tulisan

"Seseorang di belakangmu..." Dengan cekatan Darriel

mengalihkan pandangan dan menutup jendelanya. Saat ia

akan membalikkan badannya dan menoleh ke belakang,

telapak tangan yang cukup besar menutupi kedua mata

Darriel dengan sangat erat. Darriel pun memberontak.

"Woy, siapa kamu?!!" teriak Darriel

"Tenanglah, lakukan semua hal yang menurutmu

aneh itu, kamu akan mendapatkan apa yang kamu

inginkan kelak!" jawab mahkluk misterius itu dengan

suara serak dan cukup berat seperti raksasa dalam

dongeng Timun Mas.

Tiba-tiba, obat bius seperti disuntikkan ke dalam

tubuh Darriel hingga ia tak sadarkan diri.

"Iel bangun... kamu kenapa? Sadar Iel!" seru

nenek Darriel yang berusaha menyadarkan Darriel.

"Hah? Dimana raksasa itu?" tanya Darriel

ketakutan saat sadarkan diri.

"Hahahaha... kamu udah gede masih nglindur

aja." celetuk neneknya sambil tertawa geli.

Page 209: From a Shadow

203

"Yaelah... beneran nek, barusan ada raksasa

disini!" sahut Darriel.

"Dasar bocah, udah… ayo bangun bersihin

kamarmu!" suruh neneknya.

Darriel mendengus kesal. Celetuk neneknya tadi

seakan-akan menganggap perkataanya seperti cerita

dongeng anak kecil. Dengan langkah kesal, ia

membersihkan kamarnya. Saat tangannya mulai menarik

bantal, sedikit demi sedikit menjadi tampak jelas di depan

matanya, boneka itu datang lagi dengan amplop misterius

yang sama dan isi surat yang selalu berbeda.

"Keluarlah, kamu akan menemui seseorang wanita

mengenakan kaos bercorak bunga, berjaket coklat dan

bertopi. Berikanlah bunga edelweis itu kepadanya dan

akan kukirimkan lagi hingga 13 bunga untuk hari-hari

selanjutnya. Dan jangan pernah menyinggung tentang hal

aneh selama ini atau kamu akan merasakan akibatnya!"

tulisan dalam surat misterius itu.

Dengan cekatan namun terpaksa, Darriel me-

ngambil bunga edelweis itu dan berlari keluar rumah.

Page 210: From a Shadow

204

Wanita itu benar-benar ada di depan rumahnya, perlahan-

lahan Darriel mendekatinya. Darriel terdiam sejenak.

Saat Darriel mendekat dan terdiam, wanita itu

menolah ke arahnya. Dahinya mengkerut, kepalanya

perlahan-lahan miring menatap Darriel.

"Emm... ada apa kak?" tanya wanita itu.

"Eh.. ehmm.. nggak apa-apa kok, kenalin aku

Darriel Agatha Wijaya, panggil aja Iel…," sahut Darriel

dengan menjulurkan tangannya.

Mendengar perkataan Darriel, wanita itu merasa

ada sesuatu dengan nama itu. Tiba-tiba kepalanya menjadi

terasa pusing. Namun ia tetap menahannya.

"Oh... Aku Viny!" sahut Viny yang tangan kirinya

menahan kepalanya dan tangan kanannya menyambut

juluran tangan Darriel tadi.

Secara tiba-tiba dan entah mengapa, Darriel

langsung mengetahui apa yang Viny rasakan saat itu.

"Kamu kenapa? Pusing? Mampir ke rumahku dulu aja..."

Viny menghela napas, ia terlihat berusaha untuk

kuat. "Enggak deh, makasih... aku mau pulang aja..."

Page 211: From a Shadow

205

Saat Viny membalikkan badan untuk meninggal-

kan tempat itu, tiba-tiba tangan Darriel seperti menceng-

keram tangannya untuk menahannya sejenak.

"Ini buat kamu...," Darriel memberikan bunga

edelweis itu.

"Eh... ini kan..."

"Ini apa?" tanya Darriel memotong perkataan

Viny.

"Ehm... bukan, ya udah aku mau pulang...," Viny

menjauhi Darriel dengan membawa bunga itu menuju

rumahnya.

Hal itu terus terjadi hingga 12 hari ke depan.

Setiap malam, Darriel selalu dihantui dengan mimpi yang

sama. Bayangan dalam dimensi paralel itu seakan-akan

berubah menjadi boneka dalam dunia nyata. Entah apa

maksud dari bunga itu dan apa hubungannya dengan Viny.

Setiap pertemuan mereka, tak beda jauh dengan

pertemuan pertama. Mereka selalu sedikit melakukan

percakapan disertai kepala Viny yang pusing secara tiba-

tiba setiap menatap Darriel. Namun, dengan pertemuan

Page 212: From a Shadow

206

berkali-kali itu, Darriel mulai tertarik dengan Viny. Ia

merasa ada yang berbeda dari Viny dengan wanita-wanita

lain.

"Iel, aku...," wajah Viny terlihat pucat di hari

terakhir, ia sudah tidak kuat lagi dengan kepalanya, hingga

akhirnya ia jatuh pingsan.

Darriel yang melihat kejadian tersebut, bergegas

menggotong Viny ke dalam rumahnya dan membaringkan

di atas sofa di ruang keluarga.

"Iel... itu siapa?" tanya neneknya.

"Eh nenek... ini temenku namanya Viny, tadi tiba-

tiba dia pingsan," sahut Darriel

"Pingsan? Duh... ya udah cepetan kamu buatin teh

anget gih, biar nenek yang urus temenmu ini," jawab

neneknya setelah terkejut mendengar seseorang pingsan di

rumahnya.

Tanpa berpikir lama, Darriel bergegas menuju

dapur untuk membuatkan Viny teh hangat. Saat kakinya

sudah mulai menginjak lantai dapur, lagi-lagi boneka itu

datang dengan misi misterius lain kembali.

Page 213: From a Shadow

207

"Ikatlah rambut wanita itu...," tulisan dalam surat

misterius itu kali ini.

"Ah shit! Oke oke okeeeeee!!!" teriak Darriel

yang sangat kesal itu.

"Iel... ada apa?" seru neneknya dari dalam ruang

keluarga yang baru saja mendengar teriakan Darriel itu.

"Nggak nek....," sahut Darriel.

"Mana teh angetnya?" seru neneknya kembali.

"Iya ini nek... gimana nek, Viny udah siuman?"

tanya Darriel, mendekati dan memberikan teh buatnnya ke

neneknya itu.

"Tunggu aja bentar lagi, mungkin dia cuma

kecapekan," jawab neneknya.

"Hmm... atau mungkin dia gerah, coba ikat

rambutnya nek..."

Dengan terampil, tangan neneknya mengikat

rambut Viny. Tiba-tiba sang nenek dikejutkan dengan

tanda lahir di belakang leher Viny.

"Ratu..........," ucap neneknya lirih.

Page 214: From a Shadow

208

Mendengar satu kata aneh dari neneknya, kening

Darriel mengerut. "Apa nek? Siapa Ratu?" tanyanya

kemudian, penasaran.

Neneknya menghela napas. "Bukan siapa-

siapa...Viny kelihatan cantik kayak ratu di kerajaan kalau

rambutnya diikat kayak gini."

Ditengah pembicaraan mereka, tiba-tiba...

"Dimana aku?" tanya Viny yang baru saja sadar.

"Tenang dulu... kamu barusan pingsan, sekarang

kamu ada di rumahku. Oh ya, kenalin ini nenekku...," ujar

Darriel.

Dengan keadaan pengumpulan nyawa, Viny

menoleh lemah ke arah nenek Dariel. "Maaf nek udah

ngrepotin gini...," ucapnya kemudian.

Mata neneknya berkaca-kaca menatap Viny.

"Nggak apa-apa kok. Lagian gara-gara kamu, Darriel jadi

punya temen sekarang, sering-sering main kesini aja..."

Jarum pendek jam terus berjalan, Viny dan Darriel

berbincang-bincang, bertukar nomor dan sempat curhat

Page 215: From a Shadow

209

cukup lama―sesaat setelah neneknya pergi meninggalkan

mereka berdua.

"Iel... tadi nenekmu bilang, gara-gara aku kamu

jadi punya temen sekarang... emang kamu nggak punya

temen?" ucap Viny dengan wajah yang sedikit canggung

untuk menanyakan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.

"Ehmm... aku nggak tau apa artinya temen Vin,

aku udah terbiasa hidup sendiri."

"Iel... denger aku ya, manusia itu mahkluk yang

lemah, mereka nggak bisa hidup sendiri... mereka pasti

bakal membutuhkan seseorang suatu hari nanti. Nah,

orang yang bisa deket sama kamu itu cuma temen...”

"Aku masih punya nenek yang deket sama aku...,"

sahut Darriel memotong kata Viny.

"Dengerin dulu, nggak selamanya kamu bisa

hidup sama nenekmu, nggak selamanya nenekmu akan

bisa terus di sampingmu. Kamu butuh temen, Iel...Temen

itu seseorang yang selalu berdiri untuk membantu kita...,"

ujar Viny kembali.

Page 216: From a Shadow

210

"Entah ya Vin... dari dulu sampai sekarang, baru

ini bisa sedeket ini sama cewek... baru kamu yang bisa,"

ujar Darriel

"Kenapa?"

"Aku minder aja Vin... apalagi kalo cewek itu

cewek yang terkenal gitu, mentang-mentang temennya

banyak bisa sombong kayak gitu..."

Sekarang Viny tahu, Darriel adalah tipikal cowok

yang selalu minder kalau bertemu dengan lawan jenis,

apalagi kalau seseorang itu cukup terkenal, Darriel tidak

akan pernah melirik pun orang itu. Dan ternyata, Viny

adalah wanita pertama yang bisa sedekat ini dengannya.

Hal itu membuat mereka semakin dekat hingga lupa

waktu.

"Iel... sekarang jam berapa?" tanya Viny.

"Jam sebelas lebih, Vin....," jawab Darriel sambil

melirik jam tangannya.

"Aduh...," keluh Viny sambil menepuk dahinya.

"Kenapa Vin?" tanya Darriel penasaran.

Page 217: From a Shadow

211

"Ada sesuatu penting banget nih, aku pulang dulu

ya... tolong pamitin nenekmu, maaf udah ngrepotin...,"

sahut Viny dengan cepat-cepat meninggalkan rumah

Darriel tanpa mendengar ucapan balasan dari Darriel.

Enam hari berlalu, tak ada kabar apa pun dari

Viny.

"Nek, menurut nenek Viny kemana ya? Udah

enam hari dia nggak kesini lagi, malah nggak pernah

keliatan," tanya Darriel.

"Mungkin dia sibuk sama kuliahnya...," jawab

santai dari nenek.

"Masa iya selama hampir seminggu nggak ada

waktu kosong sekalipun?" tanya Darriel kembali.

"Hmm... emang kenapa sih? Jangan bilang kalau

kamu suka sama Viny....," tanya neneknya balik.

"Kalau iya, emang kenapa nek?" sahut Darriel.

Page 218: From a Shadow

212

"Ehmm... menurut nenek lebih baik kalian

temenan dulu aja deh, masih banyak mimpi yang harus

kalian raih...," celetuk neneknya.

"Ah nenek..."

Neneknya tertawa ringan. "Yaudah kalo kangen,

telpon aja gih!"

Jemari Darriel mulai menyentuh layar HP-nya,

contact-Viny-call... Hingga akhirnya Viny mengangkat

panggilan dari Darriel. Viny meminta maaf pada Darriel,

ia mengaku sibuk dengan kuliahnya dan jarang memegang

HP-nya akhir-akhir ini. Sebagai tanda permohonan maaf,

Viny mengajak Darriel ke kafe langganannya malam itu

juga. Darriel terlihat sangat kegirangan mendengar ajakan

Viny itu. Ia langsung menancapkan gas mobilnya menuju

kafe itu.

"Eh Iel... maaf ya telat, udah lama nunggunya?"

"Nggak kok, aku juga barusan nyampek. Oh iya,

kamu ngajak kesini ngapain?"

Page 219: From a Shadow

213

"Sebagai tanda permintaan maafku, kamu boleh

curhat malam ini sepuasmu, aku bakal dengerin," ujar

Viny.

"Hmm...curhat apa ya? Kalau tanya sesuatu aja

sama kamu gimana?" tanya Darriel.

"Tanya apaan?"

"Hmm... menurut kamu pacaran itu buat apasih?"

tanya Darriel yang membuat Viny terkejut mendengarnya.

"Ya mana aku tau, aku aja belom pernah

ngrasain...," jawab Viny.

"Beneran?"

"Iya...."

"Kamu mau nggak jadi pacarku?" pertanyaan

Darriel yang membuat Viny hampir pingsan kembali.

"Nggak lucu ah candaanmu...," Viny dibuat salah

tingkah dengan pertanyaan Darriel tadi.

"Aku serius, Vin!"

"Ehmm... Aku... aku... Maaf Iel, bukannya aku

nggak mau, tapi lebih baik kita temenan kayak gini dulu

Page 220: From a Shadow

214

aja, menurutku pacaran cuma indah di awalnya aja," ujar

Viny.

"Hmm... oke lupain, aku kayak anak kecil ya?

Maaf, tapi aku takut kalau suatu hari nanti kamu ngelupain

aku...," sahut Darriel.

"Nggak Darriel, aku nggak bakal ngelupain

kamu... kamu udah aku anggep kayak kakak sendiri. Jujur

aja aku nggak mau pacaran, itu juga gara-gara aku takut

kehilangan kamu sebagai temen kalau semisal putus

nanti," ujar Viny

Rumus-rumus fisika tampak jelas tertulis di papan

tulis. Seluruh penghuni kelas mulai memaksa otaknya

untuk meladeni rumus-rumus itu. Namun tidak termasuk

Darriel, otaknya tidak fokus, matanya melihat ke atas

dengan pandangan semu serta senyuman yang tak henti-

henti itu. Kata-kata yang Viny lontarkan saat di kafe,

membuatnya seakan-akan terhipnotis.

Page 221: From a Shadow

215

"Eh lo kesambet ya, daritadi senyum-senyum

sendiri...," tanya Arga teman sebangku Darriel.

"Lagi kasmaran, Ga...," bisik Darriel.

"Eh gue nggak salah denger nih? Seorang Darriel

Agatha Wijaya, lagi jatuh cinta? Sama siapa?" tanya Arga

kembali.

"Sama dia, Ga...," Darriel menunjukkan foto

Viny.

"Ahahanjirrr... elo mah delusi!" sahut Arga sambil

menjenggungkan kepala Darriel.

"Delusi apaan sih?" tanya Darriel kebingungan.

"Ini namanya Viny kan? Ini member JKT48

nyeeeet!" jelas Arga yang tidak terima sebagai wota.

"Nggak... nggak mungkin!" sahut Darriel dengan

menggeleng-gelengkan kepala.

"Oke... oke... gini aja, besok ikut aku nonton

perform JKT48 di theater, biar tambah delusi..." ujar Arga.

"Tai ah sama delusi, aku kenal deket sama

Viny....," sahut Darriel kembali.

Page 222: From a Shadow

216

"Tai ah sama sok kenal, besok buktiin aja...," ucap

Arga sebagai wota―Fans JKT48 garis keras,

menantang.

Tiga hari berlalu, mereka berdua sama-sama

mendapatkan verif. Dan benar, dalam panggung itu

tampak jelas wajah Viny ditambah member-call fans yang

menyorakkan nama Viny. Benar! Ternyata, selama ini

Viny berbohong kepada Darriel. Viny sering sekali sibuk

bukan untuk masalah kuliah, ia sibuk oleh latihan dan

theater. Selain itu, Viny tidak mau menerima Darriel juga

dikarenakan golden rules dalam idol group tersebut. Sesi

handshake pun tiba...

"Thanks... udah bohong...," ujar Darriel dengan

wajah kecewa saat bersalaman dengan Viny.

"Iel... aku...," sahut Viny yang ia potong sendiri

karena ia menyadari saat itu masih banyak fans yang ada

disitu.

Page 223: From a Shadow

217

Bulan demi bulan berganti, tak ada lagi terror dari

boneka misterius itu. Kini Darriel mulai melupakan Viny.

Ia tak lagi percaya dengan arti cinta dan persahabatan. Ia

menganggapnya hanya sebuah hubungan maya yang

penuh dengan kebohongan.

Selasa malam. Darriel berniat melanjutkan hobi

lamanya, menulis novel. Sedikit demi sedikit materi ia

dapatkan malam itu. Ia membuka-buka buku referensi

dalam lemarinya. Hingga akhirnya, ia menemukan buku

"FROM A SHADOW" kembali. Hal itu membuatnya

seperti dihantui hal-hal aneh seperti dulu. Ia teringat saat

ia gagal membaca cerita di bawah judul "Find Yourself!"

waktu itu.

Kini ia mencobanya kembali dan ternyata ia

berhasil. Cerita itu menceritakan bahwa kadang sahabat

bisa menjadi cinta. Namun, cinta untuk sahabat berbeda

dengan cinta untuk pacar. Cinta untuk sahabat akan

selamanya ada, sedangkan cinta untuk pacar hanya ada di

awal saja. Hanya keegoisan yang bisa merusak keduanya,

namun hanya sahabatlah yang bisa menerimamu kembali.

Karena sahabat adalah seseorang yang mau menunjukkan

Page 224: From a Shadow

218

di mana letak kesalahanmu, bukan seseorang yang

membicarakanmu di belakang dan membiarkanmu tetap

dengan kesalahan yang kamu perbuat tanpa tahu apa yang

salah.

"Iel... kamu udah tidur?" seru neneknya dari luar

kamar Darriel.

"Belum nek..."

"Nenek boleh masuk? Nenek mau cerita..."

"Boleh nek, masuk aja nggak di kunci kok

pintunya."

Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba nenek Darriel

bercerita menyinggung Mama, Papa dan adik Darriel yang

meninggal karena kecelakaan pesawat beberapa tahun

yang lahu, saat Darriel berumur 2 tahun. Neneknya

berkaca-kaca dan sempat terdiam sejenak.

"Adikmu masih hidup, Iel...," ujar neneknya.

"Apa?!! Nggak... nggak mungkin, kenapa dia

nggak balik? Dimana dia sekarang?" tanya Darriel yang

juga mulai meneteskan air mata.

Page 225: From a Shadow

219

"Kamu inget tanda lahir di belakang leher Viny?

Itu sama persis sama tanda lahir adikmu, Ratu....."

"Jadi maksud nenek, sebenernya Viny itu..."

"Iya bener, Iel... dia hilang ingatan...," sahut

neneknya yang memotong perkataan Darriel.

"Aku harus gimana nek? Aku sayang Viny, cuma

dia yang bisa buat aku tersenyum...," tanya Darriel.

"Satu-satunya cara, kamu harus ngembaliin

ingatannya pelan-pelan, dulu dia suka sama boneka ini...

mungkin ini bisa membantu," jelas neneknya sambil

memberikan boneka panda―boneka yang dulu tidak

pernah absen pada pelukan Viny.

Mulai saat itulah Darriel mencoba untuk

berhubungan kembali oleh Viny. Hingga akhirnya,

hubungan mereka kembali membaik. Dan sejak itulah

Darriel terus mencoba mengembalikan ingatan-ingatan

adiknya itu dengan menyinggung hal-hal yang pernah

Viny lakukan sebelum hilang ingatan. Hingga suatu hari...

"Vin... aku boleh tanya sesuatu?"

"Tanya apa?"

Page 226: From a Shadow

220

"Kamu pernah naik pesawat?"

Viny mulai mengingat. "Hmm... kayaknya sih

pernah, tapi udah lupa kapan. Kenapa?"

"Nggak takut gitu, kalau semisal pesawatnya

jatuh?" tanya Darriel semakin menekan.

Viny pun mulai merasakan pusing, ia menekan

kepalanya dan mencoba untuk kuat.

"Ehmm... nggak... tau... Iel," jawab Viny dengan

kata-kata yang sudah terpatah-patah.

"Oh... kamu pernah punya boneka kayak gini?"

tekanan terus diberikan Darriel dengan menunjukkan

boneka kesayangan Viny dulu.

"Bo...ne..kkkk...," ujar Viny terbata-bata, sudah

tak tahan lagi dengan kepalanya.

Hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Tak butuh

waktu yang lama, Viny perlahan-lahan kembali sadar.

Tiba-tiba...

"Nenek... kakak...," ucap Viny dan serontak

memeluk nenek dan kakaknya itu.

Page 227: From a Shadow

221

Akhirnya Viny ingat dengan memori-memori itu.

Hal itulah yang membuat papa dan mama angkat Viny

merelakannya untuk hidup kembali dengan saudara

kandungnya itu. Semenjak itulah mereka hidup bersama-

sama dengan bahagia.

Selain pertemuan antara adik dan kakak yang

sudah lama terpisah, saat itu juga terungkap tentang

boneka misterius yang selalu meneror Darriel selama ini.

"Vin... aku boleh tanya sama kamu?"

"Boleh... tapi please jangan buat aku pingsan lagi

kak...," ujar Viny dengan bercanda.

Darriel tertawa ringan. "Enggaklah... bunga

edelweis apa kabar?"

"Baik-baik aja, Iel... sekarang dia udah di tangan

temenku, Beby.”

"Hah? Beby? Bukannya dia sahabat seorang

penulis muda yang meninggal itu?" tanya Darriel.

"Nah... kok kakak bisa tau?" tanya Viny balik.

"Aku punya bukunya, Vin..."

Page 228: From a Shadow

222

"Kamu punya buku itu... jadi selama ini kamu

juga kenal sama boneka Caesar Wijaya?"

"Boneka Caesar Wijaya?"

"Iya... boneka yang selalu meneror semua orang

yang berhasil membaca buku itu. Caesar Wijaya tak bisa

lagi hidup di dunia ini, tapi boneka itu dimanfaatkannya

untuk perantara.

"Jadi boneka itu milik Caesar? Jadi selama ini

kamu juga..."

"Iya bener...t api aku udah terbiasa sama terror itu,

aku tau Caesar nggak mau kehilangan sahabatnya. Satu-

satunya cara memberi kabar untuk Beby bahwa ia baik-

baik aja di dalam dunia lain, hanya dengan memberikan

gift melalui boneka itu," jelas Viny.

Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba...

"Tok... Tok... Tok!!!"

Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah

Darriel. Mereka berdua bergegas keluar rumah, tak ada

tanda-tanda manusia berada di sekitarnya. Saat keempat

mata dua orang itu melihat ke bawah, kejutan terakhir ada

Page 229: From a Shadow

223

di depan kakinya. Boneka itu datang kembali. Kali ini,

boneka itu tidak hanya membawa surat misterius, boneka

itu juga membawa 5 box dengan masing-masing nomor di

atasnya.

"Buka box itu, sesuai dengan nomor!" tulisan

dalam surat misterius itu.

Darriel membuka box nomor 1. Nampak dengan

jelas, terdapat surat dan buku di dalamnya.

"Pekerjaan yang sulit dicapai, akan

menghasilkan sesuatu yang sulit juga untuk

dilupakkan. Selamat bertemu adikmu kembali,

semoga bahagia selamanya."

-Caesar Wijaya-

Setelah membuka surat itu, Darriel meraih buku

dengan cover bertuliskan "THE SHADOW'S TERROR". Ia

dikejutkan dengan namanya yang tercantum di dalam

buku itu sebagai author dan Caesar Wijaya sebagai editor.

Page 230: From a Shadow

224

Selain itu, cerita yang ditulis dalam buku itu sama persis

dengan kisah Darriel selama ini. Ternyata, seorang Caesar

Wijaya membuatkan novel yang Darriel impikan sejak

bertahun-tahun silam.

Kali ini box nomor 2, giliran Viny yang mem-

bukanya.

"Katakanlah kejujuran walaupun itu pahit

rasanya. Selamat bertemu kakakmu kembali,

semoga bahagia selamanya."

-Caesar Wijaya-

Box nomor 3, mereka mencoba membuka

bersama-sama, tiba-tiba...

"Tunggu, itu buat aku...," seru seorang wanita

yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah mereka.

"Althea....," sahut Viny dengan sangat terkejut

seorang Althea Callista, teman Caesar sejak TK berada di

depannya saat itu.

Page 231: From a Shadow

225

"Iya Vin, aku sama seperti kalian, boneka itu

menyuruhku membuka box nomor 3 itu...," jelas Althea

dengan mulai membuka box tersebut.

"Sahabat selalu ada untukmu ketika kamu

memiliki masalah. Bahkan memberikan saran yang

bodoh hanya untuk melihatmu tertawa. Sahabat

sejati dapat menunjukkan bahwa hidup tak

seburuk yang kamu pikirkan dan masalahmu tak

sebesar yang kamu takutkan. Thanks for everything

Althea Callista, I'll miss you!"

-Caesar Wijaya-

Box nomor 4.

Seseorang datang lagi. Kali ini, seseorang yang

sangat dicintai oleh Caesar Wijaya. Yang mungkin

menjadi tokoh hidup dalam semua cerita ini. Beby

Page 232: From a Shadow

226

Chaesara Anadila berada di depan mata Darriel, Viny dan

Althea. Sangat tercengang, seperti skenario.

"Sekarang giliranku...," ucap Beby.

Terlihat sepucuk surat dan suatu sketsa gambar.

"Aku masih disini untuk menunggumu, aku

akan tetap menjadi CAESAR untukmu walaupun

hanya dalam dimensi paralel. Jangan takut buat

melangkah, aku akan terus mendukungmu disini.

Tetaplah menjadi Beby Chaesara Anadila yang aku

kenal dulu."

-Caesar Wijaya-

Box terakhir, mereka berempat membuka

bersama-sama. Lirik lagu JKT48 – Kelinci Pertama.

Page 233: From a Shadow

227

Suatu hari di dalam hutan ditemukan

Lubang yang berlanjut terus entah kemana

Di depan kegelapan teman disekitarku

Hanya terdiam mengintip tanpa bergerak

Entah mengapa dada ini bergetar

Ku kan jadi pertama yang berlari

Aku tidak takut pada luka dan sakit

Apa yang terjadi ku tak kan gentar

Pergi untuk mencari impian milikku

Ayo jadi kelinci yang pertama

Daripada berbicara sok tahu tentang

Hal yang asing bagimu ayo mandi lumpur

Di malam sendirian bintang kan jadi teman

Tinggalkanlah jejak langkah diri sendiri

Walaupun jadi sekhawatir apapun

Ku berlari lebih dari siapapun

Setiap terluka jadi makin dewasa

Air mata mengalir dada terasa sakit

Page 234: From a Shadow

228

Meski begitu ku tetap takkan menyerah

Ayo jadi kelinci yang pertama

Siapapun pastilah dapat merasakan

Bahwa dirinya hidup saat darahnya mengalir

Jangan sia-siakan nyawamu

Aku tidak takut pada luka dan sakit

Apa yang terjadi ku tak kan gentar

Pergi untuk mencari impian milikku

Meskipun ada yang menghalangi

untuk sampai ke tujuan

Hari itu, sejarah dalam kisah persahabatan yang

berawal dari rumah mungil di atas pohon terukir kembali.

Pertemuan mengejutkan antara beberapa tokoh dalam

kisah itu kembali terjadi. Namun, ada satu karakter baru

yang tiba-tiba muncul dalam ceritanya–Darriel Agatha

Wijaya. Kata demi kata, mereka yang lebih mengetahui

titik awal kisah ini, menjelaskan secara runtut kepada

Darriel. Hal itu memaksa bayangan-bayangan dalam otak

Page 235: From a Shadow

229

Darriel ikut terjun untuk merasakan suka duka masa per-

sahabatan itu. Dari situlah ia mulai memahami arti teman,

seperti yang pernah dikatakan Viny dulu. Teman akan

menjadi batu yang kokoh untuk menahan diri kita saat

terjatuh.

Berbagai topik sudah menjadi bahan perbincangan

mereka berempat sembari mengenang masa-masa indah-

nya dulu, sekaligus lebih mengenal Darriel sebagai

karakter baru dalam kelompok itu.

“Jadi, selama ini mahkluk dari alam lain itu bener-

bener punya kehidupan yang sejajar sama kehidupan kita

ya?” tanya Darriel sembari mengingat kejadian-kejadian

aneh yang sudah ia lalui beberapa minggu yang lalu.

“Impossible is nothing!” sahut Althea.

“Yeps, kita berempat cuma manusia yang punya

keterbatasan, walaupun nggak kelihatan, kita tetep harus

percaya sama ciptaan Tuhan,” tambah Beby, diikuti

dengan anggukan kepala Viny di sampingnya.

“Kalian emang bener,” ucap seorang pria dari luar

pagar, orang asing yang ternyata daritadi mendengarkan

Page 236: From a Shadow

230

perbincangan di dalam ruang teras.

“Tapi, semua yang kalian rasain kemarin bukan

ulah Caesar Wijaya…,” tambah pria itu sembari membuka

pagar, menampakkan wajahnya. Ternyata Triyan. Ada apa

lagi hari ini? Sungguh penuh dengan kejutan. Selang

beberapa detik dari ucapan terakhir Triyan, terlihat di

belakangnya terdapat dua orang wanita yang mengekor–

Ginsa yang sudah kembali berhubungan dalam status

pacaran dengan Triyan dan seseorang yang telah berjasa

dalam pembuatan novel “FROM A SHADOW”–Neza.

“Triyan? Ginsa?” ucap Beby sangat tercengang

melihat sahabat-sahabatnya juga hadir hari itu, tak jarang

matanya melirik ke arah Neza yang terlihat asing.

Ginsa mengembangkan senyumannya, terlihat

tenang seakan-akan mereka yang membuat skenario pada

hari itu. Dalam senyumannya tersimpan sesuatu hal yang

harus dijelaskan saat itu juga.

“Kenalin… ini Neza, dia salah satu orang yang

udah pernah bantu Caesar dalam pembuatan novelnya,”

ucap Ginsa sambil mendekati empat orang tadi dan

menarik Neza agar ikut mendekat.

Page 237: From a Shadow

231

“Halo… aku Neza!” sapa Neza sambil menjulur-

kan tangannya , masih seperti dulu dengan kepolosan yang

menjadi ciri khasnya. Dengan sigap, empat orang tadi

menyambut juluran tangan Neza.

Di tengah waktu yang termakan oleh perkenalan

itu, Viny sempat mengoreksi perkataan Ginsa tadi. “Gin,

tadi kamu bilang kalo Neza salah satu orang yang udah

bantu Caesar dulu, berarti ada yang lain gitu?” tanyanya

sebagai hasil koreksi.

Belum sempat mendapatkan jawaban dari Ginsa,

“Yeps bener banget! Ada orang lain selain Neza… Kak

Bianda, kakaknya Caesar,” sahut Triyan menjawab

pertanyaan dari Viny yang seharusnya untuk Ginsa,

namun itu tidak akan menjadi masalah, yang terpenting

adalah jawaban.

“Jadi gini, dulu sebelum pindah ke Jerman buat

ngambil S2, Kak Bianda punya janji sama Caesar buat

bantu mewujudkan mimpi adiknya itu. Nah… novel itulah

yang jadi mimpi nyata dari seorang Caesar Wijaya,”

tambah Neza, menjelaskan sebagai orang yang lebih

paham tentang kisah itu.

Page 238: From a Shadow

232

Ginsa menepuk pelan bahu Neza. “Langsung aja

jelasin maksud kedatangan kita kesini aja, Nez…,”

ucapnya kemudian.

“Oh iya… kita kesini disuruh Kak Bianda buat

ngasih ini ke kalian,” ucap Neza kembali sambil

memberikan ponselnya yang sudah stay dalam sebuah

media sosial, sepotong percakapan antara dirinya dengan

Bianda terpampang jelas di depan keempat orang tadi.

Bianda:

Jadi gitu ceritanya, bantu aku Nez!

-------------------------

Neza:

Oh, aku harus gimana kak?

-------------------------

Bianda:

Tolong kasih ini ke mereka………

Page 239: From a Shadow

233

Sebelumnya saya mau minta maaf buat kalian semua,

maaf yang sebesar-besarnya dari dalam hati saya….

Saya mau mengaku kalau akhir-akhir ini saya yang sudah

buat hidup kalian dipenuhi kejadian-kejadian aneh,

Itu semua bukan ulah Caesar, saya yang sudah membayar

orang untuk memberikan kekuatan dalam novel yang

kalian baca.

Sebenernya, semua itu nggak nyata, saat kalian membaca

novel itu… kalian seperti dibawa ke dalam dimensi

parallel dan melakukan perjalanan astral, logika kalian

terhapus, namun sebenernya kalian dalam keadaan

tertidur atau pingsan, bahkan bisa sleepwalking.

Semua itu saya lakukan atas dasar mimpi-mimpi yang

akhir-akhir ini menemani tidur saya, selalu ada Caesar

dan perintah-perintahnya yang seakan-akan harus saya

lakukan dalam kejadian nyata.

Namun, kejadian antara Darriel dan Viny itulah yang

membuat saya tidak yakin kalau Caesar tidak ikut

bermain dalam skenario ini,

Tapi saya tetap mengambil sisi positifnya, “Everything can

happen, when God did it!”

-------------------------

–The End–

Page 240: From a Shadow

234

Page 241: From a Shadow

235

Pemuda berkulit sawo matang ini lahir hampir 17 tahun

yang lalu sebagai manusia berkarakter introvert. Seorang

pelajar yang jarang serius dalam pelajaran. Kadang bisa

menjadi pendiam apabila kamu belum mengenalnya, dan

bisa berbalik 360o apabila sudah mengenalnya lebih dekat.

Hobinya fotografi dan menulis. Baginya, menulis adalah

tempat dimana ia terjun ke dalam dunia kedua yang

dibuatnya sendiri. From a Shadow adalah novel

pertamanya.

Email: [email protected]

Twitter: @cabintheories

Blog: www.cabintheories.blogspot.com