Upload
phungkhue
View
253
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN IMUNOHISTOKIMIA SUPEROKSIDA
DISMUTASE JARINGAN GINJAL TIKUS YANG DIBERI
10% PROTEIN DARI TEPUNG TEMPE DAN TEPUNG
KEDELAI REBUS GMO DAN NON-GMO
NURVIKA DEWI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran
Imunohistokimia Superoksida Dismutase Jaringan Ginjal Tikus yang Diberi 10%
protein dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus GMO dan Non-GMO
adalah benar karya saya dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2017
Nurvika Dewi
NIM B04130005
ABSTRAK
NURVIKA DEWI. Gambaran Imunohistokimia Superoksida Dismutase Jaringan
Ginjal Tikus yang Diberi 10% Protein dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai
Rebus GMO dan Non-GMO. Dibimbing oleh TUTIK WRESDIYATI dan MADE
ASTAWAN
Tempe merupakan pangan tradisional hasil fermentasi kedelai
menggunakan kapang Rhizopus sp. Kedelai dan tempe mengandung isoflavon yang
berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan adalah penangkap radikal bebas.
Antioksidan adalah suatu molekul yang mampu menghambat atau mengurangi
reaksi oksidasi substrat dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus yang diberi 10% protein dari
tepung tempe dan tepung kedelai GMO maupun Non-GMO. Penelitian ini
menggunakan 15 ekor tikus galur Sprague Dawley, tikus dibagi menjadi lima
kelompok perlakuan berdasarkan sumber protein yang diberikan. Masing-masing
kelompok diberi ransum dengan kadar protein 10% dari kasein, tepung tempe GMO,
tepung kedelai GMO, tepung tempe Non-GMO, dan tepung kedelai Non-GMO.
Penelitian ini dilakukan selama 90 hari. Jaringan ginjal tikus diproses dengan dibuat
preparat histologi dan dilakukan pewarnaan imunohistokimia untuk melihat
kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian tepung tempe GMO maupun Non-GMO mampu meningkatkan
kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus yang lebih baik dibandingkan
dengan tepung kedelai GMO maupun non-GMO. Perlakuan tepung tempe dan
kedelai GMO maupun Non-GMO mampu meningkatkan kandungan Cu,Zn-SOD
yang lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan kasein. Kandungan Cu,Zn-SOD
yang tertinggi terdapat pada jaringan ginjal tikus yang diberi ransum tepung tempe
Non-GMO. Kedelai dan tempe dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan
antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus.
Kata Kunci: antioksidan Cu,Zn-SOD, GMO, jaringan ginjal, kedelai, tempe
ABSTRACT
NURVIKA DEWI. Profile of Immunohistochemistry Superoxide Dismutase in
Rat’s Kidney Tissue that Fed with 10% Protein Tempe Flour and Boiled Soybean
GMO and Non-GMO. Supervised by TUTIK WRESDIYATI and MADE
ASTAWAN.
Tempe is a traditional food that made by soybean fermentation using
Rhizopus sp. Soybean and tempe contain isoflavone as an antioxidant. Antioxidant
is a free-radical scavenger. Antioxidant is a molecule that have an ability to inhibit
or reduce substrate oxidation reaction in the body. This research was aimed to
analyze Cu,Zn-SOD antioxidant in rat’s kidney tissue which fed with 10% protein
tempe flour and soy flour of GMO or Non-GMO. Fifteen Sprague Dawley rats were
used in this research, they were devided into five treatment group based on protein
sources in their feed. Each treatment was fed with 10% protein from casein, GMO
tempe flour, GMO soy flour, Non-GMO tempe flour, and Non-GMO soy flour. This
research was conducted for ninety days. Rat’s kidney tissues was processed by
histological preparation with immunohistochemical stain’s to identify Cu,Zn-SOD
antioxidant content. These results showed that GMO or Non-GMO tempe flours
had an ability to increase Cu,Zn-SOD antioxidant content in rat’s kidney tissue
better than GMO or Non-GMO soy flour. The GMO or Non-GMO tempe and soy
flours were more effective than casein treatment in order to increase the Cu,Zn-
SOD antioxidant content. The treatment of Non-GMO tempe showed the best result
in increasing Cu,Zn-SOD antioxidant content. Soybean and tempe can be used to
increase Cu,Zn-SOD antioxidant contet in rat’s kidney tissue.
Keywords: Cu,Zn-SOD antioxidant, GMO or Non-GMO, kidney tissue, soybean,
tempe
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
GAMBARAN IMUNOHISTOKIMIA SUPEROKSIDA
DISMUTASE JARINGAN GINJALTIKUS YANG DIBERI
10% PROTEIN DARI TEPUNG TEMPE DAN TEPUNG
KEDELAI REBUS GMO DAN NON-GMO
NURVIKA DEWI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul
Gambaran Imunohistokimia Superoksida Dismutase Jaringan Ginjal Tikus yang
Diberi 10% Protein dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus GMO dan Non-
GMO disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof Drh Tutik
Wresdiyati, PhD PAVet selaku dosen pembimbing I tugas akhir yang telah sangat
sabar memberikan bimbingan, banyak arahan dan saran kepada penulis untuk
membantu menyelesaikan tugas akhir ini dan tak lupa terima kasih juga atas
perhatiaan, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
pribadi yang lebih baik. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya penulis ucapkan
kepada Prof Dr Ir Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing II tugas akhir yang
begitu sabar memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis untuk
menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dirjen DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui Penelitian Strategi
Aplikasi (PSA) tahun 2016 atas nama Prof Dr Ir Made Astawan, MS.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Heru Setijanto, PAVet(K)
selaku dosen pembimbimg akademik yang telah memberikan bimbingan, motivasi
dan arahan kepada penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. Terima kasih kepada staf Laboratorium Histologi FKH IPB, Drh Adi
Winarto, PhD PAVet, Drh Sri Rahmatul Laila, Pak Iwan dan Pak Maman atas
bantuan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian.
Ungkapan terima kasih dan rasa sayang juga disampaikan kepada bapak, ibu,
keluarga serta teman-teman semua atas segala doa, kasih sayang, perhatiannya,
waktu, bantuan, dukungan, motivasi dan kebersamaan kepada penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis menyadari pada karya ilmiah masih ada kekurangannya, sehingga
diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
Bogor, November 2017
Nurvika Dewi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kedelai 2
Tempe 3
Antioksidan 3
Radikal bebas 4
Ginjal 5
Teknik Pewarnaan Imunohistokimia 5
METODE 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Bahan 6
Alat 6
Metode 6
Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
SIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 21
DAFTAR TABEL
1 Hasil pengamatan kualitatif kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD
pada jaringan ginjal tikus percobaan 10
2 Hasil pengamatan kuantitattif kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD
dengan berbagai tingkatan pada jaringan ginjal tikus percobaan 12
DAFTAR GAMBAR
1 Fotomikrograf berbagai tingkatan kandungan antioksidan
Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus percobaan yang
diwarnai secara imunohistokimia 9
2 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus percobaan
pada bagian medula yang diwarnai dengan imunohistokimia
terhadap kandungan Cu,Zn-SOD 10
3 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus percobaan
yang diwarnai dengan imunohistokimia terhadap kandungan
antioksidan Cu,Zn-SOD 11
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis statistik profil kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD
pada jaringan gijal tikus percobaan dengan berbagai tingkatan 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia sebagai sumber protein adalah kedelai. Kedelai termasuk kacang-
kacangan yang memiliki kadar protein yang tinggi berkisar antara 30-35%, dan
pada varietas unggul dapat mencapai 40-44% (Yuwono et al. 2012). Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 tingkat konsumsi kedelai sangat tinggi dan
produksi kedelai di Indonesia saat ini hanya 900 ribu ton, sehingga Indonesia harus
mengimpor kedelai dari luar negeri. Setiap tahun indonesia mengimpor kedelai dari
luar negeri untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Jenis kedelai dari luar
negeri pada umumnya berupa kedelai transgenik atau kedelai genetically modified
organism (GMO) (Suwarno et al. 2014).
GMO merupakan organisme (hewan dan tumbuhan) yang telah mengalami
modifikasi genom (rangkaian gen kromosom) sebagai akibat ditransformasikannya
satu atau lebih gen asing yang berasal dari organisme yang lainnya, sehingga
mendapatkan kualitas yang unggul. Gen yang disisipkan pada kedelai GMO berasal
dari bakteri Agrobacterium tumefaciens atau Bacillus thuringiensis sehingga
kedelai tahan terhadap herbisida (Herlanti 2014). Kedelai GMO memiliki
peningkatan produktivitas dan nilai gizi tanaman diantaranya yaitu ketahanan
terhadap patogen, toleran terhadap herbisida, tahan terhadap zat kimia, dan tahan
terhadap kondisi lingkungan yang buruk (Natarajan et al. 2014).
Masyarakat Indonesia pada umumnya mengolah kedelai menjadi berbagai
bahan pangan diantaranya tempe, tahu, kecap, dan tauco. Tempe merupakan pangan
tradisional yang banyak digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. Kedelai yang
diolah menjadi tempe lebih aman dikonsumsi dari pada kedelai mentah. Proses
pengolahan tempe yaitu pemanasan dan fermentasi dapat menghilangkan zat
antigizi pada kedelai. Zat antigizi yang dihilangkan yaitu antitripsin, hemaglutinin
atau lektin, dan asam fitat (Astawan 2009). Tempe maupun kedelai memiliki
kandungan bioaktif, salah satunya adalah isoflavon.
Isoflavon merupakan kandungan bioaktif pada kedelai dan tempe yang
berperan sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan suatu molekul yang mampu
menghambat, menunda atau mengurangi reaksi oksidasi substrat dalam tubuh
(Wresdiyati 2017). Antioksidan dapat digolongkan berdasarkan sumbernya yaitu
antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari
enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan endogen enzimatis diantaranya yaitu
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase, sedangkan
antioksidan endogen non-enzimatis yaitu glutathion, bilirubin, melatonin, dan lain-
lain. Antioksidan eksogen yaitu yang berasal dari luar tubuh seperti makanan yang
mengandung vitamin C, vitamin E, dan isoflavon (Birben et al. 2012).
Radikal bebas (reactive oxygen species/ROS) merupakan suatu molekul yang
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya
(Wresdiyati 2017). Senyawa ini memliki sifat reaktif yang dapat dihasilkan dari
metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, zat kimia yang ada pada makanan, sinar ultra violet dan polutan lainnya. Selain itu, radikal bebas dapat
mengganggu proses produksi DNA, lapisan lipid pada dinding sel, memengaruhi
2
pembuluh darah, mengganggu produksi prostaglandin serta protein lain dalam
tubuh. Tubuh manusia dapat menetralisir radikal bebas dengan mekanisme
pertahanan tubuh yaitu dengan memproduksi antioksidan (Werdhasari 2014).
Hasil dari penelitian Suwarno et al. (2014) dalam jangka pendek maupun
panjang menunjukan bahwa mengonsumsi tempe yang berasal dari kedelai GMO
tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan. Tempe yang berasal dari kedelai
GMO memberikan dampak positif bagi kesehatan karena memiliki kandungan
antioksidan, namun masih minimnya informasi mengenai pengaruh pada
kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang dikaitkan dengan pangan GMO.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada
organ ginjal tikus yang diberi pakan tepung tempe dan tepung kedelai rebus GMO
maupun Non-GMO. Percobaan pada penelitian ini dilakukan pada tikus selama 90
hari yang mengacu pada European Food Safety Authorithy (EFSA, 2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil imunohistokimia Cu,Zn-
SOD pada jaringan ginjal tikus yang diberi 10% protein dari tepung tempe dan
tepung kedelai rebus GMO dan Non-GMO.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
kandungan antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) pada jaringan ginjal tikus
yang diberi 10% protein dari tepung tempe dan tepung kedelai GMO maupun Non
GMO.
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai merupakan komoditi utama pangan Indonesia setelah padi dan
jagung. Kedelai memiliki nama latin yaitu Glycine max yang termasuk dalam famili
Leguminosae, genus Glycine, dan spesies max. Tanaman kedelai di Indonesia
digolongkan berdasarkan warna biji dan umur panen. Berdasarkan umur panen,
kedelai dibedakan menjadi tiga diantaranya yaitu kedelai genjah (umur 78-85 hari),
kedelai tengahan (umur 85-95 hari) dan kedelai dalam (umur > 95 hari). Jenis
kedelai berdasarkan warna biji dibedakan menjadi kedelai hitam, kedelai kuning
serta kedelai hijau. Komponen gizi yang terkandung dalam ketiga jenis warna
tersebut secara kimia tidak terdapat perbedaan (Astawan 2009).
Sumber protein dalam kedelai sangat lengkap diantaranya yaitu karbohidrat,
serat, sejumlah vitamin, mineral dan antioksidan yang berguna untuk kesehatan
tubuh. Kandungan protein yang terdapat pada kedelai mentah yaitu sekitar 35-38%.
Antioksidan yang terdapat di dalam kedelai diantaranya vitamin E, vitamin A,
provitamin A, vitamin C, dan senyawa flavonoid. Golongan isoflavon yang terdapat
pada kedelai yaitu glikosida (genistin, daidzin, dan glisitin). Kedelai sangat baik untuk mencegah terjadinya kanker dengan fungsi dari senyawa isoflavon (He dan
Chen 2013). Konsumsi kedelai yang baik yaitu diolah menjadi bahan pangan
3
dengan cara fermentasi seperti kecap, tempe, tauco, oncom dan non fermentasi
misalnya susu, tahu, tepung dan aneka makanan lainnya. Produksi kedelai di
Indonesia pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 0.86% atau sebanyak
963.18 ribu ton biji kering dibandingkan tahun 2014, namun hal tersebut masih
kurang untuk memenuhi kebutuhan pangan yang diolah dari bahan kedelai.
Kekurangan kebutuhan kedelai memaksa pemerintah untuk melakukan impor agar
kebutuhan terpenuhi. Sebagian besar kedelai impor berasal dari negara yang
membudidayakan kedelai transgenik atau kedelai GMO (BPS 2015).
Genetically modified organism (GMO) merupakan organisme (hewan dan
tanaman) yang telah mengalami perubahan genetik sebagai akibat transformasi dari
satu atau lebih gen asing yang berasal dari organisme atau tanaman sendiri dan dari
yang lain agar menjadi kualitas yang unggul (Herlanti 2014). Kedelai GMO
memiliki karakteristik yang lebih dari kedelai murni diantaranya yaitu tahan
terhadap penyakit dan hama, tahan terhadap herbisida dan ukuran biji yang lebih
besar. Gen yang disisipkan dalam budidaya kedelai GMO yaitu gen yang berasal
dari bakteri Bacillus thuringiensis dan Agrobacterium tumefaciens sehingga
memiliki kualitas yang unggul (Arifin et al. 2016). Keunggulan dari kedelai GMO
dalam proses pembuatan tempe diantaranya efektivitas biaya yang rendah. Selain
itu kedelai GMO dan kedelai Non-GMO memiliki kesamaan ketebalan dengan
kedelai varietas Grobogan (Astawan et al. 2013).
Tempe
Tempe merupakan pangan tradisional Indonesia yang berbahan dasar kedelai
dengan difermentasi menggunakan ragi atau kapang Rhizopus sp. selama proses
fermentasi kapang menghasilkan beberapa enzim yang dapat menghidrolisis
senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga lebih
mudah diserap oleh tubuh (Astawan et al. 2015a). Proses fermentasi kedelai
memiliki nilai gizi yang tinggi karena adanya aktivitas berbagai enzim yang di
hasilkan dari kapang tempe ( Mursyid et al. 2014)
Kedelai yang diolah menjadi tempe lebih aman dikonsumsi dibandingkan
dengan kedelai mentah. Proses fermentasi dan pemanasan dalam pembuatan tempe
dapat menghilangkan zat antinutrisi pada kedelai seperti antitripsin, hemaglutinin
atau lektin, oligosakarida dan asam fitat (Astawan 2009). Kandungan gizi protein
yang dimiliki oleh tempe berpotensi untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh, karena
nilai gizinya sebanding dengan sumber protein hewani (Astawan et al. 2017). Asam
lemak esensial utama yang terdapat pada tempe yaitu asam linoleat, asam oleat, dan
asam linolenat yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh (Nurwati et al.
2016).Tempe selain memiliki kandungan protein yang tinggi, tempe juga
mengandung antioksidan diantaranya isoflavon (Astawan et al. 2015b). Senyawa
isoflavon yang terdapat pada tempe yaitu aglikon (genistein, daidzein, dan glisitein)
yang memiliki bentuk yang bebas sehingga mudah diserap oleh tubuh (Mo et al.
2013). Kandungan antioksidan dalam tempe berkisar 186-191 mg AEAC/kg tempe
(Astawan et al. 2013).
Antioksidan
Antioksidan adalah suatu molekul yang memiliki kemampuan menetralisir
kelebihan radikal bebas dengan mendonorkan elektronnya, melindungi sel dari efek
4
toksik radikal bebas dan berkontribusi dalam pencegahan penyakit degeneratif.
Nama lain dalam senyawa kimia yaitu senyawa pemberi elektron. Manfaat dari
antioksidan diantaranya yaitu memperkuat otot, menunda penuaan, dan mencegah
penyakit. Senyawa antioksidan dapat digolongkan berdasarkan sumber sintesisnya
yaitu antioksidan endogen dan antioksidan eksogen (Wresdiyati 2017).
Antioksidan endogen dibagi menjadi dua jenis yaitu enzimatis dan non-
enzimatis. Jenis-jenis antioksidan endogen enzimatis terdiri dari enzim catalase
(CAT), glutathione peroxidase (GTPx), superoxide dismutase (SOD), dan
glutathione stransferase (GST), sedangkan antioksidan endogen non-enzimatis
yaitu glutathion, bilirubin, oestradiol, melatonin, asam urat, melanin dan lain-lain.
Senyawa antioksidan eksogen merupakan senyawa yang berasal dari luar tubuh
yang membatu untuk menetralkan radikal bebas dalam tubuh yang berlebihan.
Macam-macam antioksidan eksogen yaitu makanan yang mengandung vitamin C,
vitamin E, beta karoten dan senyawa golongan flavanoid (Birben et al. 2012).
Antioksidan endogen dapat mengatasi kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat
radikal bebas. Superoxide dismutase (SOD) merupakan katalisator reaksi dismutasi
dari anion superoksidasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2).
Enzim ini berfungsi sebagai pelindung sel-sel tubuh dan pencegah terjadinya proses
peradangan akibat radikal bebas (Huang et al. 2012).
Berdasarkan adanya logam sebagai kofaktor pada bagian enzim yang aktif
maka enzim SOD dapat dikelompokkan menjadi tiga diantaranya yaitu Cu,Zn-SOD,
Mn-SOD dan Fe-SOD. Jenis Fe-SOD merupakan jenis SOD yang pertama kali
dikenal. Keberadaan Fe sebagai logam kofaktor pada sisi yang aktif mampu
mengidentifikasi sebagian Fe dalam bentuk Fe++ yang berada dalam jumlah
berlebih, sehigga O2 meningkat dan menyebabkan Fe++ teroksidasi. Hal ini
selanjutnya akan meningkatkan penggunaan logam Mn+++ dan terbentuk Mn-SOD.
Kandungan Fe++ yang menipis menyebabkan Cu+ diubah menjadi Cu++ pada
lingkungan dan pada saat itu muncul Cu,Zn-SOD atau disebut SOD1 yang
berfungsi sebagai sistem pertahanan terhadap oksidan. Manusia dan hewan di
dalam tubuhnya tidak memiliki Fe-SOD yang terdapat hanya Mn-SOD, Cu,Zn-
SOD dan SOD ekstraselular (EC-SOD) (Indo et al. 2015).
Radikal bebas
Radikal bebas (reactive oxygen species/ROS) merupakan suatu molekul yang
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluar,
sehingga bersifat sangat reaktif dan tidak stabil (Wresdiyati 2017). Senyawa ini
tidak dapat mempertahankan bentuk aslinya dalam waktu yang lama sehingga akan
menyerang elektron yang stabil disekitarnya. Pembentukan ROS dapat dilakukan
secara in vitro dan in vivo. Bagian terpenting dalam ROS yaitu senyawa oksigen
reaktif yang terdiri dari triplet (3O2), tunggal atau singlet (1O2), anion superoksida
(O2-), radikal hidroksil (-OH) dan nitrit oksida (NO-) (Ardhie 2011). Radikal bebas
akan berusaha mendapatkan pasangan elektron sehingga menjadi stabil dengan cara
mengambil elektron radikal bebas yang lain atau dengan cara mengambil electron
dari biomakromolekul (protein, DNA, lemak dan karbohidrat) yang ada pada tubuh.
ROS dapat merusak biomakromolekul yang ada pada tubuh dan mengganggu
fungsi tubuh (Lu et al. 2010) .
5
Produksi ROS akan meningkat dalam kondisi stres oksidatif. Senyawa radikal
bebas dibentuk dari dalam tubuh (endogen) dan dari luar tubuh (eksogen). Radikal
bebas endogen dihasilkan dari proses metabolisme dalam tubuh seperti oksidasi
makanan, oksidasi obat, olahraga yang terlalu lama dan proses oksidasi xanthin,
sedangkan radikal bebas eksogen yaitu terdapat di lingkungan seperti asap rokok,
polutan, ozon, pestisida dan berbagai macam makanan dan minuman. Radikal bebas
dalam jumlah tententu sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk melawan radang,
membunuh bakteri, dan mengatur otot polos dalam organ tetapi dalam jumlah yang
berlebih akan berbahaya (Murphy et al. 2011).
Ginjal
Ginjal merupakan organ vital dalam tubuh yang berfungsi untuk
menjalankan beberapa fungsi penting diantaranya yaitu menjaga tekanan darah dan
keseimbangan elektrolit tubuh. Ginjal memiliki fungsi endokrin, membuang sisa
metabolisme dari darah, dan menjaga keseimbangan air dan elektrolit. Makanan
yang masuk dalam tubuh akan diubah menjadi energi dan di metabolisme dalam
tubuh. Sisa metabolisme energi tersebut selanjutnya oleh ginjal akan di saring dari
berbagai macam senyawa berbahaya sehingga fungsi tubuh tetap normal. Selain itu
organ ginjal akan mengatur hormon dalam tubuh untuk menjaga fungsi tubuh
misalnya hormon renin yang berfungsi untuk mengatur tekanan darah tetap normal.
Ginjal pada jenis spesies tertentu terdiri dari beberapa lobus namun tikus hanya
memiliki satu lobus. Bentuk struktur ginjal pada tikus yaitu seperti kacang buncis
dengan permukaan lebih luas dan batas yang konkaf yang disebut hilus (Price dan
Wilson 2006).
Organ ginjal tersusun atas nefron yang merupakan satu kesatuan fungsi dan
struktur dari ginjal. Nefron tersusun dari beberapa segmen yang mempunyai bentuk
dan struktur yang berbeda-beda disebut corpusculums renalis malphigi yang terdiri
dari glomerulus dan kapsula bowmen. Ginjal merupakan sepasang organ yang
sangat besar yang berada di ruang retroperitoneal yang berbentuk seperti kacang
dengan warna coklat kemerahan. Proses yang terjadi di dalam ginjal yaitu filtrasi,
reabsorpsi dan sekresi. Proses tersebut akan mengekskresikan urin yang
mengandung bahan-bahan sisa metabolisme dalam tubuh (Snell 2006).
Teknik Pewarnaan Imunohistokimia
Teknik pewarnaan imunohistokimia merupakan pewarnaan imunohistokimia
yang menggabungkan tiga disiplin ilmu yaitu imuno, histologi, dan kimia. Prinsip
dasar pewarnaan imunohistokimia yaitu ikatan antara antigen yang ada pada
jaringan dengan antibodi yang spesifik. Antibodi yang diberikan pada organ adalah
antibodi primer dan antibodi sekunder yang akan terjadi ikatan antigen-antibodi.
Reaksi antigen-antibodi yang terjadi selanjutnya divisualisasi dengan
diaminobenzidin (DAB). Hasil yang positif ditunjukkan dengan warna coklat yang
terdapat pada jaringan (Ramos-Vera dan Miller 2014). Menurut Wresdiyati et al.
(2015), pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD dilakukan dengan
menggunakan antibodi monoklonal Cu,Zn-SOD yang berguna untuk mendeteksi
adanya sel-sel penghasil Cu,Zn-SOD yang dapat menunjukkan jumlah sel penghasil
dan juga kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD.
6
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016 hingga Juli 2017.
Tempat penelitian ini dilakukan di laboratorium Histologi, Departemen Anatomi,
Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah ginjal tikus sebanyak 15 buah yang telah diberi
perlakuan berupa pakan yang mengandung tepung tempe dan kedelai GMO dan non
GMO dengan kadar protein 10%, kedelai GMO dan Non-GMO untuk pembuatan
tepung tempe dan tepung kedelai merupakan hasil impor dari USA yang dapat
diperoleh dari Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten
Bogor, larutan bouin, alkohol (70%, 80%, 90%, dan 95%) dan larutan absolut (I, II,
dan III), xylol (I, II, dan III), parafin, aquades, nefron, toulen, aquades, entelan,
metanol, air bebas ion (milli-Q®), posphate buffer saline (PBS), larutan H2O2
(Merck KGaA), normal serum (BSA), antibodi monoklonal Cu,Zn-SOD (Sigma
S2147), background sniper, Trekkie Universal Link, Trekk Avidin-HRP, dan
diaminobenzidine (STUHRP700H-KIT).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, pinset, label,
pensil, sarung tangan, scalpel, tissue basket, bunsen, inkubator, cup untuk
embedding, blok kayu, refrigerator, mikrotom putar, pisau mikrotom, gelas objek,
cover glass, waterbath, mikropipet, mikroskop, dan kamera dino eye.
Metode
Perlakuan pada Hewan Coba
Penelitian ini merupakan penelitian bersama dalam satu payung tentang
tempe yang menggunakan lima kelompok perlakuan dari 13 kelompok. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan acak lengkap (RAL).
Penelitian ini menggunakan 15 ekor tikus galur Sprague Dawley yang dibagi ke
dalam lima kelompok perlakuan. Perlakuan yang diberikan pada masing-masing
kelompok tikus yaitu pakan yang mengandung (a) 10% protein dari kasein, (b)
10% protein dari tepung tempe GMO, (c) 10% protein dari tepung kedelai rebus
GMO, (d)10% protein dari tepung tempe Non-GMO, dan (e) 10% protein dari
tepung kedelai rebus Non-GMO. Tepung tempe dan kedelai rebus yang diberikan
pada tikus percobaan diformulasikan kedalam standar ransum berdasarkan
Association of Official Analytical Chemist (AOAC, 2005) yang dilakukan selama
90 hari (EFSA, 2011). Penggunaan hewan coba pada penelitian ini mengacu pada
Ethical clearence ACUC No:06-2013IPB.
7
Sampling dan Pembuatan Preparat Jaringan ginjal
Sampling dan pembuatan preparat jaringan ginjal tikus mengacu pada
Kiernan (1990). Pembuatan preparat jaringan ginjal dimulai dengan proses
sampling. Sampling dilakukan dengan menganastesi tikus menggunakan kombinasi
ketamin 70 mg/kg BB dan xylazine 20 mg/kg BB secara intraperitoneal, kemudian
tikus dibedah laparotomi untuk diambil organ ginjalnya. Organ ginjal selanjutnya
dicuci menggunakan NaCl fisiologis 0.9%. Tahap berikutnya organ difiksasi
menggunakan larutan Bouin selama 24 jam dan dilakukan stopping point dengan
alkohol 70%. Organ ginjal kemudian dipotong dan dimasukkan ke tissue basket
sebelum dilakukan proses dehidrasi. Dehidrasi dilakukan secara bertingkat dimulai
dari alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95% masing-masing selama 24 jam. Kemudian
organ dimasuk ke dalam alkohol absolut I, II, dan III masing-masing selama satu
jam. Setelah itu organ di Clearing menggunakan xylol I, II, dan III, masing-masing
selama 45 menit.
Embedding dan Pemotongan Organ
Embedding dan pemotongan organ mengacu pada Kiernan (1990). Tahap
embedding dimulai dengan melakukan proses infiltrasi parafin dengan
memindahkan organ dari xylol ke dalam parafin cair I, II, dan III yang berada di
dalam inkubator, masing-masing selama 30 menit. Organ selanjutnya dipindahkan
ke cetakan yang telah berisi parafin cair. Alat pencetak selanjutnya dimasukkan ke
dalam mangkuk atau bak yang berisi air untuk didinginkan. Setelah parafin
membeku, kemudian ditenggelamkan ke dalam air. Tahap selanjutnya dilakukan
blok jaringan dengan cara ditempelkan ke blok kayu agar memudahkan proses
pemotongan organ.
Pemotongan blok jaringan dilakukan menggunakan mikrotom dengan
ketebalan rata-rata tiga mikrometer. Setelah itu organ dipanaskan ke dalam
waterbath dan ditempelkan segera ke gelas objek. Organ yang akan dilakukan
pewarnaan imunohistokimia ditempelkan pada gelas objek yang sudah dilapisi
dengan campuran larutan neofren dan toluene.
Pewarnaan Imunohistokimia
Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mendeteksi profil antioksidan
Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus yang mengacu pada Wresdiyati et al. (2006;
2007; 2015). Proses yang dilakukan yaitu jaringan yang sudah dilekatkan pada
gelas objek dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37 C selama 24 jam agar
jaringan lebih melekat dan tidak mudah lepas. Tahap selanjutnya dilakukan
deparafinisasi dengan menggunakan xylol III, II, dan I masing-masing selama tiga
menit. Setelah itu dilakukan rehidrasi dengan akohol bertingkat yang dimulai dari
alkohol absolut III, absolut II, absolut I, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%,
dan alkohol 70%, masing-masing selama tiga menit. Slide organ selanjutnya dicuci
dengan dimasukkan dalam air milli-Q selama tiga menit.
Tahap selanjutnya dilakukan inaktivasi peroksidase endogen dengan cara
merendam potongan jaringan dalam campuran H2O2 3% yang dilarutkan dalam
metanol selama 15 menit. Slide organ selanjutnya dicuci dengan larutan milli-Q dan PBS, masing-masing selama lima menit sebanyak dua kali. Setelah itu,slide organ
diinkubasi dengan meneteskan normal serum 10% selama 45-60 menit pada
inkubator yang bersuhu 37 ºC, kemudian dilakukan pencucian dengan PBS
8
sebanyak tiga kali dengan waktu masing-masing selama lima menit. Selajutnya
backgroud sniper diteteskan dan diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 15 menit.
Organ kemudian dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali. Tahap berikutnya
antibodi primer anti-SOD (Sigma S2147) diteteskan, setelah itu didiamkan selama
2x24 jam dalam suhu 4 ºC.
Slide organ yang sudah diinkubasi selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak
tiga kali dan kemudian diinkubasi kembali dengan meneteskan Trekkie Universal
Link pada suhu 37 ºC selama 20 menit. Setelah itu, dilakukan kembali pencucian
dengan PBS sebanyak tiga kali dan diinkubasi kembali dengan meneteskan Trekk
Avidin-HRP selama 10 menit dengan suhu 37 C. Organ selanjutnya dicuci dengan
PBS sebanyak tiga kali.
Tahap berikutnya yaitu visualisasi dengan cara slide organ ditetesi larutan
kromogen diaminobenzidine dengan konsentrasi 50% selama empat menit. Organ
selanjutnya direndam dalam air milli-Q selama 10 menit. Kemudian slide organ di-
counterstain dengan meneteskan hematoksilin selama dua menit. Organ direndam
kembali ke dalam air kran selama 25 menit dan selanjutnya direndam dalam
aquades selama 10 menit. Tahap dehidrasi slide organ dilakukan pada alkohol
bertingkat yang dimulai dengan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol
95%, dan alkohol absolut I, II, III selama beberapa detik disetiap masing-masing
tahapan. Tahap terakhir yaitu clearing organ dengan cara dimasukan pada xylol I,
II, dan III, masing-masing selama satu menit dan dilakukan mounting dengan cara
meneteskan entelan pada organ. Setelah itu organ ditutup dengan menggunakan
cover glass.
Analisis Data
Hasil pewarnaan imunohistokimia pada jaringan ginjal tikus diamati secara
kualitatif dan kuantitatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD. Warna coklat yang
terdapat pada jaringan ginjal tikus menunjukkan reaksi positif terhadap antioksidan
Cu,Zn-SOD
Pengamatan secara kualitatif dilakukan pada sitoplasma dan inti sel, baik di
medula maupun korteks, dengan melihat intensitas warna coklat dan
penyebarannya pada jaringan ginjal tikus. Semakin pekat warna coklat dan semakin
luas area penyebarannya menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD semakin banyak.
Pengamatan secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah inti sel
tubulus renalis. Perhitungan dilakukan dengan reaksi pada berbagai tingkatan
Cu,Zn-SOD di inti sel tubulus renalis pada ginjal tikus percobaan (Gambar 1).
Reaksi kandungan Cu,Zn-SOD dibagi menjadi tiga tingkatan kandungan Cu,Zn-
SOD untuk reaksi positif dan satu tingkatan kandungan untuk reaksi negatif. Reaksi
positif terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada berbagai tingkatan di
jaringan ginjal tikus ditunjukkan dengan positif kuat (+++) yang terlihat warna
coklat tua menutupi keseluruhan inti sel, positif sedang (++) dengan warna coklat
sedang yang menutupi sebagian inti sel, dan positif lemah (+) dengan warna
semburat coklat yang menutupi sebagian kecil inti sel. Sedangkan reaksi negatif
ditunjukkan dengan warna biru pada inti yang berarti sel tidak mengandung
antioksidan Cu,Zn-SOD. Perhitungan inti sel tersebut dilakukan dengan perbesaran 40x, pada lima lapang pandang yang berbeda secara acak pada preparat jaringan
menggunakan program software McMaster Biophotonic Image J (Wresdiyati et al.
2006).
9
Data hasil perhitungan inti sel tubulus renalis yang mengandung antioksidan
Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus yang didapat selanjutnya dianalisis
menggunakan program software SPSS release 20. Apabila hasil uji menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0.05) dan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) maka
dilanjutkan dengan uji Duncan.
Gambar 1 Foto mikrograf berbagai tingkatan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan
ginjal tikus percobaan yang diwarnai secara imunohistokimia. Skala = 20 µm
= positif kuat (+++), = positif sedang (++), = positif lemah (+), = negatif(-)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan kualitatif kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan
ginjal yang telah diwarnai dengan teknik imunohistokimia disajikan pada Tabel 1,
Gambar 2, dan Gambar 3. Berdasarkan pengamatan kualitatif, kandungan Cu,Zn-
SOD dapat terlihat dengan intensitas warna coklat yang terdapat pada jaringan
ginjal dan luas area yang berwarna coklat. Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD
pada jaringan ginjal tikus pada keempat kelompok perlakuan yang diberi pakan
mengandung 10% protein tempe dan kedelai GMO maupun Non-GMO lebih tinggi
dibandingkan dengan kasein (Tabel 1) (Gambar 2 dan 3). Hal ini terlihat dari
intensitas warna coklat yang terbentuk pada sitoplasma dan inti, baik medula
maupun korteks, di jaringan ginjal tikus pada keempat kelompok perlakuan lebih
coklat dibandingkan dengan kelompok perlakuan kasein (Gambar 2 dan 3).
Kelompok perlakuan tepung tempe GMO maupu Non-GMO memiliki kandungan
antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan tepung
kedelai rebus GMO maupun Non GMO (Tabel 1). Hal ini dapat dilihat dari
intensitas warna coklat pada sitoplasma dan inti, baik medula maupun korteks, di
jaringan ginjal tikus kelompok perlakuan 10% protein dari tempe GMO maupun
Non-GMO lebih coklat dibandingkan dengan kelompok perlakuan 10% protein dari
kedelai GMO maupun Non-GMO (Gambar 2 dan 3). Kelompok tikus yang diberi
pakan mengandung tempe Non-GMO memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-
SOD yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan kelompok lainnya
(Tabel 1).
10
Hal ini terlihat pada intensitas warna coklat yang ada pada sitoplasma dan inti, baik
medula maupun korteks, jaringan ginjal tikus perlakuan tempe Non-GMO paling
coklat dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya (Gambar 2 dan 3).
Tabel 1 Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus percobaan
Kelompok Perlakuan Medula Korteks
Tubulus Glomerulus
Kasein + + +
Tempe GMO +++ ++++ ++
Kedelai GMO ++ ++ ++
Tempe Non-GMO +++ +++++ +++
Kedelai Non-GMO ++ +++ ++ Keterangan: Positif (+) menunjukan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Semakin banyak nilai
positif menandakan semakin tinggi kandungan antiokdisan Cu,Zn-SOD pada jaringan
ginjal tikus
Gambar 2 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus percobaan pada bagian medula yang diwarnai dengan
imunohistokimia terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Kandungan antioksidan
Cu,Zn-SOD tertinggi terlihat pada kelompok tikus yang diberi pakan mengandung
protein 10% dari tepung tempe Non-GMO. Skala = 50 µm.
11
Gambar 3 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus percobaan yang diwarnai dengan imunohistokimia
terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD
tertingggi terlihat pada kelompok tikus yang diberi pakan mengandung protein 10% dari
tepung tempe Non-GMO. Skala = 20 µm .
Hasil pengamatan kuantitatif didapatkan dari perhitungan jumlah inti sel
tubulus renalis pada ginjal tikus percobaan dengan berbagai tingkatan kandungan
Cu,Zn-SOD seperti disajikan pada Tabel 2. Hasil statistik menunjukkan bahwa
kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus kelompok perlakuan
tempe dan kedelai GMO maupun Non-GMO lebih tinggi dibandingkan kelompok
perlakuan kasein. Hal ini terlihat dari jumlah inti sel yang bereaksi positif kuat
(+++) secara sangat nyata lebih tinggi (P<0.01) pada jaringan ginjal tikus
dibandingkan dengan kelompok kasein (Tabel 2). Selain itu juga ditunjukkan
dengan jumlah inti sel tubulus pada jaringan ginjal tikus kelompok pelakuan kasein
yang bereaksi negatif (-) secara sangat nyata lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan kelompok perlakuan tempe dan kedelai GMO maupun Non-GMO. Hasil ini
menunjukkan bahwa tempe dan kedelai GMO maupun Non-GMO dapat
meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus.
12
Tabel 2 Profil kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada berbagai tingkatan pada
jaringan ginjal tikus percobaan
Kelompok
Perlakuan
Jumlah inti sel tubulus renalis ginjal yang mengandung Cu,Zn-
SOD pada berbagai tingkatan kandungan
+++ ++ + -
Kasein 13,60±3,57a 30,80±8,89a 50,00±4,63b 63,80±7,19e
Tempe GMO 55,20±10,98c 50,20±4,60bc 48,80±5,63b 33,20±2,38b
Kedelai GMO 36,60±11,76b 57,80±11,64c 50,00±8,68b 48,60±6,87c
Tempe Non-GMO 91,80±6,30d 45,60±9,88b 32,00±9,92a 16,80±2,77a
Kedelai Non-GMO 25,80±7,46b 31,80±6,90a 38,20±9,84a 55,80±2,00d
Keterangan: positif kuat (+++), positif sedang (++), positif (+), negatif (-). Huruf yang berbeda pada
kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0.01).
Kasein merupakan sumber protein hewani. Selain itu aktivitas antioksidan
yang terdapat pada kasein juga rendah dan tidak mengandung isoflavon yang
berfungsi sebagai antioksidan (Salami et al. 2011). Sedangkan kedelai dan tempe
merupakan protein nabati yang memiliki senyawa bioaktif isoflavon berfungsi
sebagai antioksidan. Hal ini yang menunjukkan bahwa kandungan antioksidan
Cu,Zn-SOD pada kedelai dan tempe lebih baik dibandingkan dengan kasein
(Bolanho dan Beleia 2011).
Kelompok perlakuan tempe GMO memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-
SOD yang lebih tinggi pada jaringan ginjal tikus dibandingkan dengan kelompok
perlakuan kedelai GMO. Hal ini didukung dengan jumlah inti sel tubulus renalis
yang bereaksi positif kuat (+++) pada kelompok perlakuan tempe GMO secara
sangat nyata lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan kelompok perlakuan
kedelai GMO (Tabel 2). Selain itu juga ditunjukkan dengan jumlah inti sel tubulus
renalis yang bereaksi negatif (-) pada kelompok perlakuan kedelai GMO secara
sangat nyata lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan kelompok tempe GMO
(Tabel 2). Hasil menunjukkan bahwa kelompok perlakuan tempe GMO mampu
meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD lebih baik dibandingkan dengan
kelompok perlakuan kedelai GMO.
Kelompok perlakuan tikus yang diberi ransum tempe Non-GMO memiliki
kandungan antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan
kedelai Non-GMO. Hal ini terlihat pada jumlah inti sel tubulus renalis yang
bereaksi positif kuat (+++) dan positif sedang (++) pada kelompok perlakuan tempe
Non-GMO secara sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan
kelompok perlakuan kedelai Non-GMO (Tabel 2). Kandungan tersebut juga
ditunjukkan dengan jumlah inti sel tubulus renalis yang bereaksi negatif (-) pada
kelompok perlakuan kedelai Non-GMO secara sangat nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok tempe Non-GMO (Tabel 2). Hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian tempe Non-GMO mampu meningkatkan
kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD lebih baik pada jaringan ginjal tikus
dibandingkan dengan pemberian perlakuan kedelai Non-GMO.
Pemberian ransum mengandung tempe GMO maupun Non-GMO mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD lebih baik dibandingkan dengan
pemberian ransum mengandung kedelai GMO maupun Non-GMO. Hal tersebut
dikarenakan tempe merupakan hasil olahan kedelai yang telah difermentasi dengan
Rhizopus oligosporus. Menurut Ferreira (2011) proses pengolahan kedelai menjadi
tempe dapat menurunkan kandungan isoflavon glukosida (genistein, daidzin dan
13
glisitin) pada kedelai yang berubah menjadi isoflavon aglikon (genistein, daidzein,
dan glisitein) pada tempe. Kandungan isoflavon aglikon yang tinggi menyebabkan
kandungan antioksidan pada tempe juga tinggi dibandingkan kedelai yang tidak
difermentasikan. Isoflavon jenis aglikon lebih mudah diserap oleh tubuh karena
memiliki bentuk yang bebas dibandingkan dengan glikosida sehingga di dalam
tubuh banyak terdapat antioksidan untuk menetralkan radikal bebas. Kedelai
memili kandungan aglikon sebesar 10 mg/100 g sebelum difermentasi, kemudian
menjadi sebesar 18 mg/100 g pada tempe (Nakajima et al. 2005).
Kelompok tikus yang diberi pakan mengandung tempe Non-GMO memiliki
kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang tertinggi pada jaringan ginjal tikus
dibandingkan dengan keempat kelompok lainnya. Hal ini terlihat pada jumlah inti
sel tubulus renalis yang bereaksi positif kuat (+++) secara sangat nyata paling tinggi
(P<0.01) dan jumlah inti sel tubulus renalis yang bereaksi negatif (-) secara sangat
nyata (P<0.01) paling rendah pada jaringan ginjal tikus dibandingkan dengan
perlakuan keempat kelompok lainnya (Tabel 2). Kapasitas antioksidan yang ada
pada tempe GMO maupun Non-GMO berkisar antara 186-191 mgAEAC/kg tempe
(Astawan et al. 2013). Kandungan protein yang terdapat pada tempe Non-GMO
tidak berbeda dengan tempe GMO. Menurut Domingo dan Bordonaba (2011)
kedelai GMO bersifat toleran terhadap herbisida terutama yang mengandung
glifosat. Selain itu kedelai GMO tidak mampu mensintesis isoflavon secara optimal
karena adanya penyisipan gen sehingga kandungan isoflavon pada kedelai GMO
rendah (Lappe et al. 2009), namun secara umum tempe GMO maupun Non-GMO
mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang lebih baik
dibandingkan dengan kasein.
SIMPULAN
Pemberian perlakuan 10% protein dari tepung tempe dan tepung kedelai
GMO maupun Non-GMO mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-
SOD yang lebih tinggi pada jaringan ginjal tikus dibandingkan dengan perlakuan
10% protein dari kasein. Pemberian ransum 10% protein dari tepung tempe GMO
maupun Non-GMO memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang lebih baik
pada jaringan ginjal tikus dibandingkan dengan pemberian 10% protein dari tepung
kedelai GMO maupun Non-GMO. Pemberian pakan 10% protein dari tepung
tempe Non-GMO menunjukkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang paling
tinggi pada jaringan ginjal tikus dibandingkan dengan keempat kelompok perlakuan
lainnya. Kedelai dan tempe dapat membantu meningkatkan kandungan antioksidan
Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus.
14
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analysis Chemist. Washington DC
(USA): AOAC Inc.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Tanaman Pangan. Jakarta (ID): BPS.
p. 1-12
[EFSA] European Food Safety Authority. 2011. Guidance on conducting repeated-
dose 90-day oral toxicity study in rodents on whole food/feed. EFSA Journal.
9(12): 1-21.
Ardhie AM. 2011. Radikal bebas dan peran antioksidan dalam mencegah penuaan.
Medicinus. 24(1): 4-9.
Arifin AG, Gond T, Soegianto A, Basuki N. 2016. Respon beberapa kultivar kedelai
terhadap ransformasi genetik menggunakan Agrobacterium tumefaciens. Jurnal
Produksi Tanaman. 4(2): 89-96.
Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya. p. 1-172
Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, dan Ichsani N. 2013.
Karakteristik fisikokimia dan sifat fungsional tempe yang dihasilkan dari
berbagai varietas kedelai. Jurnal Pangan. 22(3): 241-252.
Astawan M, Nurwitri CC, Suliantari, dan Rochim DA. 2015a. Kombinasi kemasan
vakum dan penyimpanan dingin untuk memperpanjang umur simpan tempe
bacem. Jurnal Pangan. 24(2): 125-134.
Astawan M, Wresdiyati T, Saragih AM. 2015b. Evaluasi mutu protein tepung tempe
dan tepung kedelai rebus pada tikus percobaan. Jurnal Mutu Pangan. 2(1): 11-
17.
Astawan M, Wresdiyati T, dan Maknum L. 2017. Tempe Sumber Zat Gizi dan
Komponen Bioaktif untuk Kesehatan. Bogor (ID): IPB Press. p. 1-197.
Birben E, Sahiner UM, Sackesen C, Erzurum S, Kalayci O. 2012. Oxidative stress
and antioxidant defense. World Allergy Organization. 5(1): 9-19.
Bolanho BC, Beleia AP. 2011. Bioactive compounds and antioxidant potential of
soy products. Alimentos Nutriciao Araraquara. 22(4): 539-546.
Domingo JL, Bordonaba JG. 2011. A literature review on the safety assessment of
genetically modified plants. Environment International. 37: 734-742.
Ferreira M. 2011. Changes in isoflavone profile and in the chemical composition of
tempeh during processing and refrigrator. Pesquisa Agropequaria Brasiliera .
46(11): 1555-1561.
He FJ, Chen JQ. 2013. Consumption of soybean, soy foods, soy isoflavon and breast
cancer incidence: differences between chinese women and women in western
countries and possible mechanisms. Food Science and Human Wellness. 2: 146-
161.
15
Herlanti Y. 2014. Analisis argumentasi mahasiswa pendidikan biologi pada isu
sosiosainfik konsumsi genetically modified organism (GMO). Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia. 3(1): 51-59.
Huang TT, Zou Y, Corniola R. 2012. Oxidative stress and adult neurogenesis-Effect
of radiation and superoxide dismutase deficiency. National Institutes of Health
Public access . 23(2012): 738-744.
Indo HP, Yen HC, Nakanishi I, Matsumoto KI, Tamura M, Nagano Y, Matsui
H,Gusev O, Cornette R, Okuda T, Minamiyama Y, Ichikawa H, Suenaga S, Oki
M, Sato T, Ozawa T, Clair DK St, Majima H J. 2015. A mitochondrial
superoxide theory for oxidative strees diseases and aging. Jurnal Of Clinical
Biochemistry and Nutrition. 56(1): 1-7.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. Theory and Practice.
2nd edition. Pergamon Press. Canada. p. 1-433.
Lappe MA, Bailey EB, Childress C, Setchell KDR. 2009. Alterations in clinically
important phytoestrogens in genetically modified, herbicide tolerant soybeans.
Journal Of Medicinal Food. 1(4): 241-245.
Lu JM, Lin PH, Yao Q, Chen C. 2010. Chemical and molecular mechanisms of
antioxsidants: experimental approaches and model systems. Journal Cellular
and Molecular Medicine. 14(4): 840-860.
Mo H, Kariluoto S, Piironen V, Zhu Y, Sanders MG, Vincken JP, Rooijackers JW,
Nout MJR. 2013. Effect of soybean processing on content and bioaccessibility
of folate, vitamin B12 and isoflavones in tofu and tempe. Food Chemistry. 141:
2418-2425.
Murphy MP, Arne H, Nils-Goran L, Barry H, Christopher JC, Balaraman K, Sue
GR, Paul JT, Linda P, David G, et al. 2011. Unraveling the biological roles of
reactive oxygen species. Cell Metabolism. 13(4): 361-366.
Mursyid, Astawan M, Muchtadi D, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Suwarno
M. 2014. Evaluasi nilai gizi protein tepung tempe yang terbuat dari varietas
kedelai impor dan lokal. Pangan. 23(1): 33-41.
Nakajima N, Nozaki N, Ishihara K, Ishikawa A, Tsuji H. 2005. Analysis of
isoflavone content in tempeh, a fermented soybean, and preparation of a new
isoflavone-enriched tempeh. Journal of Bioscience and Bioengineering. 100(6):
685-687.
Natarajan SS, Khan FH, Luthria DL, Tucker ML, Qijiansong, Garrett WM. 2014.
A comparison of protein and phenolic compounds in seed from GMO and Non-
GMO soybean. Journal of Data Mining in Genomics and Proteomics. 5: 161-
169.
Nurwati, Astawan M, Palupi NS, dan Wresdiyati T. 2016. Tempe sebagai pangan
fungsional antidiabetes. Pangan : Media Komunikasi dan informasi. 25(3): 211-
220.
Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta (ID) : EGC. p. 1-734.
16
Ramos-Vara JA, Miller MA. 2014. When tissue antigens and antibodiesget along:
revisiting the technical aspects of immunohistochemistry-the red, brown, and
blue technique. Veterinary Pathology. 51(1): 42-87.
Salami M, Moosavi –Movahedi AA, Moosavi-Movahedi F, Ehsani MR, Yousefi R,
Farhadi M, Niasari-Naslaji A, Saboury AA, Chobert JM, Haertle T. 2011.
Biological activity of camel milk casein following enzymatic digestion. Journal
of Dairy Research. 78: 471-478.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa kedokteran (Liliana Sugiharto,
Penerjemah). Edisi 6. Jakarta (ID) : EGC. p. 1-968.
Suwarno M, Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Mursyid. 2014.
Evaluasi keamanan tempe dari kedelai transgenik melalui uji subkronis pada
tikus. Jurnal Veteriner. 15(3): 353-362.
Werdhasari A. 2014. Peran antioksidan bagi kesehatan. Jurnal Biotek Medisiana
Indonesia . 3(2): 59-68.
Wresdiyati T, Astawan M, Hastanti LY. 2006. Profil imunohistokimia superokside
dismutase (SOD) pada jaringan hati tikus dengan kondisi hiper-kolesterolemia.
Jurnal Hayati . 13(3):85-89.
Wresdiyati T, Fitrhiani D, Adnyane IKM, Novelina S, Aryani S. 2007. Pengaruh
-tokoferol terhadap profil superoksida dismutase dan malondialdehida pada
jaringan hati tikus di bawah kondisi stress. Jurnal Veteriner. 8(4): 202-209.
Wresdiyati T, Karmila A, Astawan M, Karnila R. 2015. Teripang pasir
meningkatkan kandungan antioksidan superoksida dismutase pada pankreas
tikus diabetes. Jurnal Veteriner. 16(1): 145-151.
Wresdiyati T. 2017. Peranan antioksidan dalam penanggulangan penyakit
degeneratif. Makalah Orasi Ilmiah. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. 8 April. Bogor.
p. 1-85
Yuwono S S, Hayati K K, dan Wulan S N. 2012. Karakterisasi fisik, kimia dan
fraksi protein 7S dan 11S sepuluh varietas kedelai produksi indonesia. Jurnal
Teknologi Pertanian. 4(1): 84-90.
17
Lampiran 1 Hasil analisis statistik jumlah inti sel tubuli renalis yang bereaksi positif
kuat (+++) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan
ginjal tikus percobaan.
ANOVA
Positif kuat
Sum of
Squares df Mean
Square F Sig.
Between Groups 18593,200 4
4648,30
0 63,294 ,000
Within Groups 1468,800 20 73,440
Total 20062,000 24
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Positif kuat
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.01
1 2 3 4
Kasein 5 13,6000
kedelai Non GMO 5 25,8000
kedelai GMO 5 36,6000
tempe GMO 5 55,2000
tempe Non GMO 5 91,8000
Sig. 1,000 ,060 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
18
Lampiran 2 Hasil analisis statistik jumlah inti sel tubuli renalis yang bereaksi positif
sedang (++) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada
jaringan ginjal tikus percobaan.
ANOVA
Positif sedang
Sum of
Squares df Mean
Square F Sig.
Between Groups 2758,160 4 689,540 9,035 ,000
Within Groups 1526,400 20 76,320
Total 4284,560 24
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets Positif sedang
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.01
1 2
Kasein 5 30,8000
kedelai Non GMO 5 31,8000
tempe Non GMO 5 45,6000
tempe GMO 5 50,2000
kedelai GMO 5
Sig. ,858 ,415
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
19
Lampiran 3 Hasil analisis statistik jumlah inti sel tubuli renalis yang bereaksi positif
lemah (+) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan
ginjal tikus percobaan.
ANOVA
Positif lemah
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1362,400 4 340,600 7,055 ,001
Within Groups 965,600 20 48,280
Total 2328,000 24
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets Positif lemah
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.01
1 2
tempe Non GMO 5 32,0000
kedelai Non GMO 5 38,2000
tempe GMO 5 48,8000
Kasein 5 50,0000
kedelai GMO 5 50,0000
Sig. ,174 ,800
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
20
Lampiran 4 Hasil analisis statistik jumlah inti sel tubuli renalis yang bereaksi
negatif (-) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan
ginjal tikus percobaan.
ANOVA
Negatif
Sum of
Squares df Mean
Square F Sig.
Between Groups 7041,360 4 1760,340 66,378 ,000
Within Groups 530,400 20 26,520
Total 7571,760 24
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Negatif
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.01
1 2 3 4 5
tempe Non GMO 5 16,8000
tempe GMO 5 33,2000
kedelai GMO 5 48,6000
kedelai Non GMO 5 55,8000
Kasein 5 63,8000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Persiluangan, 3 Agustus 1995 dari Bapak almarhum
Mono dan Ibu Sumarmi. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2013 penulis lulus dari SMA N 1 Rantau Selatan, Sumatera Utara dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan pada jurusan Kedokteran
Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kampus. Organisasi yang
diikuti yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (BEM FKH)
sebagai anggota Departemen Budaya, Olahraga, dan Seni (2014/2015) dan anggota
Departemen Fundrishing and Public Relationship (2015/2016), Himpunan Minat
Profesi Satwaliar sebagai anggota Divisi Pendidikan dan Cluster Herbivora, UKM
Bola Voli IPB sebagai anggota dan mengikuti beberapa kepanitiaan kegiatan
kampus IPB.