Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
GAMBARAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BADUTA
(6-23 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ABELI
KECAMATAN ABELI KOTA KENDARI
TUGAS AKHIR
Disusun sebagai salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan
Diploma III Gizi
OLEH :
SUTRYANI
NIM. P00331016056
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
PRODI D-III GIZI
2019
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Gambaran
Kejadian Stunting Pada Anak Baduta ( 6 – 23 Bulan) Di Wilayah Kerja
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Kota Kendari” dapat penulis ajukan.
Proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini telah melewati perjalanan
panjang dalam penyusunan yang tentunya tidak lepas dari bantuan moril dan
material pihak lain. Karena itu sudah sepatutnya penulis dengan segala
kerendahan dan keiklasan hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Askrening SKM, M Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kendari
2. Ibu Sri Yunanci V,G, SST,MPH selaku Ketua Jurusan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Kendari dan pembimbing pendamping yang telah
ihklas berbagi ilmu guna membantu penulis dalam penyususnan proposal
karya tulis ilmiah ini.
3. Ibu Euis Nurlela, S.Gz, M, Kes selaku Ketua Prodi D-III Gizi Politeknik
Kesehatan Kemenkes Kendari
4. Ibu Dr. Suriana Koro, SP, M, Kes selaku pembimbing utama yang
senantiasa memberikan masukan dan bimbingan guna keberhasilan
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini
5. Seluruh dosen pengajar dan staf Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kendari
iv
6. Rekan-rekan mahasiswi Alih Jenjang Poltekes Jurusan Gizi angkatan 2016
yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penusunan proposal Karya Tulis Ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih teristimewa penulis persembahkan kepada
kedua orang tua tercinta Ayahanda Alm.H.Rongahina dan Ibunda
HJ.Djanuati yang telah memberikan kasih sayang dan doa restu,
sehingga dengan ridho Allah SWT, penulis sukses menyelesaikan kuliah
pada poltekes Jurusan Gizi Kendari. Tak lupa pula untuk Suami Tercinta
Suwartono, SE dan untuk anak anakku tersayang Andra Hardiyanto,
SH, Aken Camala, Akbar Ryandana kalian adalah motivator dan
pengabdian terbaikku.
Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
proposal ini. Atas kritik dan saran, penulis ucapkan terima kasih.
Kendari, Agustus 2019
Penulis
v
GAMBARAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BADUTA
( 6 – 23 Bulan) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ABELI
KECAMATAN ABELI KOTA KENDARI
RINGKASAN
Sutryani
di bawah bimbingan Suriana koro dan sri Yunanci
Latar belakang: Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator status gizi
kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka
panjang. Stunting merupakan salah satu masalah terbesar di Indonesia yang belum
teratasi sepenuhnya. Di provinsi Sulawesi Tenggara, dari 100 Balita, terdapat 12
Balita kurus, 30 Balita stunting (kerdil) dan 5 Balita yang mengalami kegemukan.
Penelitian ini bertujuan utntuk mengetahui gambaran kejadian stunting pada anak
baduta ( 6 – 23 bulan) di wilayah kerja puskesmas abeli kecamatan abeli kota
kendari.
Metode: Metode yang digunakan dalam survey penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan dilaksanakan pada bulan
Juni 2019 di Kecamatan Abeli Kota Kendari. Sampel yang digunakan sebanyak
65 orang anak baduta. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling.
Hasil : kejadian stunting pada anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah kerja
Puskesmas Abeli sebanyak 16 orang anak (24,6%), berat badan lahir rendah
(BBLR) dengan kejadian stunting sebanyak 6 anak (9,2%), tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting sebanyak 25 ibu yang kategori pendek ( 38,5% ) dan
penyakit infeksi dengan kejadian stunting sebanyak 14 anak (21,5%) yang
menderta ISPA dan 18 anak (27,7%) yang menderita Diare
Penelitian ini menyarankan Perlu adanya program yang terintegrasi dan
multisektoral untuk menanggulangi kejadian stunting pada baduta dan perlu
adanya edukasi kepada masyarakat khususnya ibu baduta terkait jenis makanan
yang baik untuk pertumbuhan anak.
Kata kunci : stunting, BBLR, Tinggi badan ibu, ISPA, Diare, Baduta
Daftar bacaan : 37 ( 1997 – 2018)
vi
DESCRIPTION OF INCIDENCE STUNTING IN CHILDREN UNDER
TWO YEARS (6 - 23 Months) IN WORKING AREA OF
PUBLIC HEALTH CENTER ABELI DISTRICT ABELI
KENDARI CITY
ABSTRACT
Sutriani
supervised by Suriana Koro and Sri Yunanci V.G
Back ground: Stunting or short is one indicator of chronic nutritional status that
illustrates stunted growth due to long-term malnutrition. Stunting is one of the
biggest problems in Indonesia that has not been completely resolved. In Southeast
Sulawesi province, out of 100 under five years, there are 12 underweight, 30
stunted and 5 overweight. This study aims to determine the description of the
incidence of stunting in children under two years (6 - 23 months) in the work area
of Abeli Public Health Center, Abeli District, Kendari City.
Method : The method used in this research survey is a descriptive research
method with a quantitative approach and do in June 2019 in Abeli District,
Kendari City. The sample used was 65 children under two years. The sampling
technique used was purposive sampling.
Result: the incidence of stunting in children under two years (6-23 months) in the
working area of Abeli Public Health Center as many as 16 children (24.6%), low
birth weight (LBW) with stunting as many as 6 children (9.2%), maternal height
with stunting as many as 25 mothers in the short category (38.5%) and infectious
diseases with stunting as many as 14 children (21.5%) ISPA and 18 children
(27.7%) diarrhea.
This research recommended the need for an integrated and multisectoral program
to tackle the incidence of stunting in under two years and the need for education to
the community especially mothers related to the type of good food for growing
children.
Keywordd: Stunting, low birth weight, maternal height, ISPA, diarrhea, under
two years
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH ...................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka ................................................................................. 8
B. Kerangka Teori ................................................................................ 18
C. Kerangka Konsep ............................................................................ 19
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................... 20
B. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 20
C. Populasi dan Sampel....................................................................... 20
D. Variabel Penelitian ......................................................................... 21
E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................. 21
F. Analisa Dan Cara Penyajian Data .................................................. 22
G. Definisi Operasional ....................................................................... 22
viii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ................................................................................................. 25
B. Pembahasan ..................................................................................... 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................... 40
B. Saran ................................................................................................ 40
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul tabel Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Distribusi Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Tahun 2018
Karakteristik Responden
Karakerietik Sampel Penelitian
Distribusi Sampel Menurut Status Gizi Sampel Tenggara
Distribusi Sampel Menurut BBLR Sampel
Distribusi Sampel Menurut tinggi badan ibu Sampel
Distribusi Sampel Menurut penyakit ISPA Sampel
Distribusi Sampel Menurut penyakit diare Sampel
Distribusi Gambaran BBLR Dengan Kejadian Stunting
Distribusi Gambaran Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian
Stunting
Distribusi Gambaran ISPA Dengan Kejadian Stunting
Distribusi Gambaran Diare Dengan Kejadian Stunting
26
27
28
29
29
29
30
30
31
31
32
32
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Daftar Gambar Halaman
Gambar 1
Gambar 2
Kerangka Teori Penelitian
Kerangka Konsep
18
19
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator status gizi kronis
yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka
panjang. Stunting di negara berkembang terjadi pada masa anak dibawah lima
tahun, faktor penyebab stunting pada anak disebabkan tiga hal yaitu asupan zat
gizi, penyakit infeksi serta interaksi ibu dan anak yang ketiganya sangat
ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan dalam keluarga.
Disebutkan juga bahwa beberapa penyebab stunting pada masa balita, pada
negara berkembang faktor utamanya adalah tidak cukupnya asupan makanan,
infeksi dan berat badan waktu lahir (Atmarita 2004).
Ada dua faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita
yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Kejadian stunting secara langsung
dipengaruhi oleh pola makan dan adanya penyakit infeksi, sedangkan penyebab
tidak langsungnya adalah ketersediaan pangan, status gizi ibu saat hamil,
pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, pendidikan orang tua, pekerjaan ibu
dan status ekonomi keluarga ( Bappenas RI, 2013).
2
Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat
perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit
tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan
risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO,
2010).
Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat
perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit
tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan
risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO,
2010).
Data WHO 2017, untuk dunia anak balita yang menderita status gizi
buruk dengan prevalensi stunting sebanyak 151 juta anak atau 22%. sedangkan .
Tahun 2017 di Indonesia stunting 29.6% (WHO,2017).
WHO (World Health Organization) menetapkan batas toleransi stunting
(bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan
balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah
3
penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori
sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan
WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk.
Hasil penelitian Koro, S (2015) di kabupaten Timor Tengah Selatan
menemukan ada 1416 anak yang stunting dengan prevalensi stunting (total)
adalah 40,7%.. Sementara hasil Pemantauan Status Gizi (PSG,2017) untuk
Provinsi Sulawesi Tenggara diperoleh angka prevalensi stunting sebanyak
36,4%.
Stunting merupakan salah satu masalah terbesar di Indonesia yang belum
teratasi sepenuhnya. Di provinsi Sulawesi Tenggara, dari 100 Balita, terdapat 12
Balita kurus, 30 Balita stunting (kerdil) dan 5 Balita yang mengalami
kegemukan. Hasil PSG tahun 2016 diperoleh prevalensi balita menurut indeks
TB/U menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek (stunting) di Indonesia
masih cukup tinggi yaitu sebesar 27,5%, dan meningkat pada tahun 2017
sebanyak 29,6%. . Hal ini menunjukkan bahwa jumlah balita pendek dan sangat
pendek lebih dari sepertiga jumlah total balita di Indonesia. Sementara batas Non
Public Health Problem yang ditolerir oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO 2017)
untuk kejadian stunting hanya 20 persen atau seperlima dari jumlah total balita
4
di suatu Negara. Oleh karena itu perlu dilakukan penangan yang serius terkait
masalah ini.
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG 2017) Provinsi Sulawesi Tenggara
menempati urutan ke-6 dari 20 provinsi yang memiliki prevalensi melebihi
angka nasional yaitu 36,4%., dimana prevalensi balita (usia 24-59 bulan)
stunting sebesar 36,4%. Angka ini lebih tinggi dari pada prevalensi nasional
yaitu 29,6%. Sedangkan prevalensi baduta (usia 0-23 bulan) stunting di
Sulawesi Tenggara adalah 25%. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan angka
nasional yaitu 20,1%, sementara prevalensi stunting Kecamatan Abeli tahun
2018 hasil dari PSG 2018 sebanyak 8,28%.
Anak yang memiliki status gizi pendek atau sangat pendek (stunting)
berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah
dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau
intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin.
Stunting merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier yang berkaitan
dengan adanya proses perubahan patologis. Pertumbuhan fisik berhubungan
dengan genetik dan faktor lingkungan.Tinggi badan orang tua dapat
berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Tinggi badan anak memiliki
5
hubungan yang signifikan dengan tinggi badan ibu (Cameron et al 2005,victoria
et al 2008). Faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian stunting antara
lain rendahnya pengetahuan dan perilaku ibu tentang pemberian makan anak
seperti MP ASI.
Menurut Ramli et al. (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor
risiko stunting di Maluku menyatakan bahwa faktor risiko stunting pada anak
adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi. Sementara
menurut Koro, S (2015) jenis kelamin, tinggi badan ibu, paritas, jarak kelahiran
dan penyakit infeksi juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting di kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi NTT.
Hasil penelitian Kusumawati, 2015, faktor yang mempengaruhi stunting
antara lain sebagian besar karena anak mengalami penyakit infeksi, anak
memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir, pemberian makanan tambahan
yang tidak sesuai menurut usia disertai dengan konsistensi makanannya dan
anak yang mengalami berat lahir yang rendah pada saat dilahirkan.
Masa baduta disebut sebagai ‘masa kritis’. Salah satu indikator masa kritis
adalah ketika anak lahir dengan BBLR. Prevalensi BBLR nasional sebesar
11,1%, Besarnya prevalensi BBLR dapat disebabkan oleh bebe-rapa faktor
6
risiko. Hasil penelitan Ernawati et al, menemukan 9,5% bayi dengan berat badan
lahir rendah dan 22% di antaranya mengalami stunting. Menurut Soekirman dan
United Nations Children’s Emergency Fund (UNICEF), status gizi rendah secara
langsung dapat dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang rendah maupun keganasan
penyakit infeksi. Jika tidak ditanggulangi, kondisi ini akan berlanjut hingga anak
tumbuh menjadi remaja.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
tentang kejadian stunting pada anak usia baduta (6 – 23 bulan) di wilayah kerja
Puskesmas Abeli Kota Kendari’
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah Bagaimana gambaran kejadian stunting pada anak Baduta (6-23
bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui gambaran kejadian stunting pada anak Baduta (6-23
bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian stunting pada anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah
kerja Puskesmas Abeli.
7
b. Mengetahui gambaran berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
kejadian stunting pada anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah kerja
Puskesmas Abeli.
c. Mengetahui gambaran tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada
anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli.
d. Mengetahui gambaran penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada
anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Pengembangan ilmu
a. Sebagai salah satu sumber pengembangan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan upaya pencegahan dan perbaikan status gizi pada anak
balita khususnya stunting serta menurunkan risiko kematian dan
kesakitan pada anak 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Abeli.
b. Sebagai salah satu referensi untuk studi lebih lanjut bagi para peneliti
yang tertarik dengan faktor yang berhubungan dengan stunting pada
anak baduta.
2. Manfaat Aplikasi
Merupakan salah satu sumber informasi bagi penentu kebijakan,
perencanaan serta pelaksana program dan instansi terkait lainnya dalam
upaya menanggulangi masalah stunting di wilayah kerja Puskesmas Abeli.
.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pusaka
1. Tinjauan tentang Stunting
Stunting merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier yang berkaitan
dengan adanya proses perubahan patologis. Pertumbuhan fisik berhubungan
dengan genetik dan faktor lingkungan.Tinggi badan orang tua dapat
berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Tinggi badan anak memiliki
hubungan yang signifikan dengan tinggi badan ibu (WHO,2005).
Anak pendek (stunting) merupakan salah satu permasalahan gizi di
Indonesia yang belum terselesaikan. Dampak yang ditimbulkan dari
terjadinya stunting diantaranya adalah terjadinya peningkatan morbiditas
dan mortalitas dan juga masalah perkembangan anak. Selain itu dampak
jangka panjang yang dapat terjadi pada saat dewasa adalah meningkatnya
risiko terjadinya obesitas, resistensi insulin, dan juga diabetes gestational
yang dapat memicu terjadinya penyakit tidak menular atau Non
Communicable Disease (NCD), (WHO,2013)
Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis,
dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita,
termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi
lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi
berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan
(Infodatin, 2016)
9
Anak usia batita memerlukan perhatian khusus dalam konsumsi
makanan. Masa batita anak mengalami penurunan laju pertumbuhan dan
sering mengalami penurunan nafsu makan. Perhatian pada makanan lebih
rendah dibanding masa sebelumnya. Anak mulai dapat memilih antara suka
dan tidak suka terhadap makanan, sehingga diperlukan perhatian khusus
dalam pemberian makanan.4 Pemenuhan asupan yang sesuai dengan
kebutuhan diperlukan agar anak tetap berada dalam pertumbuhan yang
normal (Kusumawati E, Rahardjo S, Sari HP, 2015).
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek menurut umur
hingga melampaui defisit -2 SB dibawah median standar panjang atau tinggi
badan menurut umur.2 telah diketahui bahwa semua masalah anak pendek,
bermula pada proses tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai usia
2 tahun. Apabila dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi
sampai anak usia 2 tahun merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan
manusia, disebut sebagai window opportunity (WHO,2013).
Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator status gizi kronis
yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka
panjang. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi
badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted
10
(pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Z-score untuk kategori
pendek adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek adalah <-3
SD.( Kemenkes. 2010).
Indeks PB/U merupakan indikator yang tepat guna untuk mengukur
riwayat kekurangan gizi di masa lampau, dengan cara mengukur tinggi
badan seorang anak dibanding anak-anak lain seumur, setelah periode
kekurangan gizi berjalan beberapa waktu. Berbeda dengan BB/U, PB/U
bereaksi lebih lambat terhadap perubahan masukan zat gizi, khususnya
energi, protein, kalsium atau seng.( Aritonang I. 2011)
2. Tinjauan Umum Tentang Berat Badan Lahir Rendah
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga dapat menjadi faktor
risiko.Kondisi BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat karena
keterkaitannya dengan angka kematian dan kesakitan. Bayi dengan BBLR
dapat mengalami hambatan pertumbuhan. Kondisi BBLR terjadi karena
janin mengalami kekurangan gizi selama dalam kandungan..(Lestari,
Restika Indah. 2016).
Penelitian di Libya pada anak dibawah lima tahun menunjukkan
bahwa BBLR merupakan salah satu faktor risiko dari kejadian stunting.
Selain itu, penelitian yang dilakukan di Indonesia pada anak usia 1-2 tahun
menunjukkan bahwa riwayat BBLR merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya stunting (Taguri, A.E.,2009)
11
Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting antara lain berat badan
lahir, panjang badan lahir, usia kehamilan dan pola asuh ibu. Defisiensi
energi kronis atau anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.6 Tingginya angka BBLR
diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di Indonesia
(Koro,S.2015)
Penelitian di Malawi dengan desain kohort menunjukkan bahwa berat
badan lahir rendah merupakan prediktor terkuat kejadian stunting pada
balita usia 12 bulan (Espo M., T, Kulmala, K. Maleta, T. Cullinan, M-L
Salin, P Ashorn. 2002). Pertumbuhan linier bayi berat lahir rendah dengan
usia kehamilan ≥37 minggu (disebut bayi IUGR) lebih lambat daripada bayi
normal. Namun, pertumbuhan bayi BBLR prematur (usia kehamilan <37
minggu) dalam lingkungan yang mendukung akan tumbuh lebih baik
daripada bayi IUGR, jika berat lahir bayi sesuai dengan usia kehamilan.(
Rosha BC, Putri DSK, Putri IYS,2013).
Penelitian di Tangerang dengan desian kohort menunjukkan bayi yang
lahir prematur memiliki risiko 2 kali lebih besar dibanding bayi yang lahir
normal untuk menjadi stunting pada usia 6-12 bulan. (Rahayu LS,
Sofyaningsih M,2011). Penelitian di Libya yang menyimpulkan bahwa berat
badan lahir rendah mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 1-2
tahun (p<0.05, OR=1.58). Hal ini dikarenakan tingginya pengaruh berat
badan lahir terhadap kejadian stunting terjadi pada usia 6 bulan awal,
12
kemudian menurun hingga usia 24 bulan. Jika pada 6 bulan awal balita
dapat mengejar pertumbuhan, maka besar kemungkinan balita tersebut dapat
tumbuh secara normal (Taguri, A.E.,2009)
Besar risiko bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah untuk
menjadi stunting pada usia 6-12 bulan adalah 3,6 kali dibanding bayi yang
lahir dengan berat badan lahir normal. Bayi dengan riwayat berat badan
lahir rendah menunjukkan terjadinya retardasi pertumbuhan di dalam uterus
baik akut maupun kronis dan lebih berisiko mengalami gangguan
pertumbuhan di masa anak-anak karena lebih rentan terhadap penyakit
infeksi, seperti diare (Picauly I,Toy SM. 2013)
Walaupun secara statistik hasil penelitian ini menyebutkan bahwa
berat badan lahir rendah bukan merupakan faktor risiko stunting, tetapi bayi
yang lahir dengan berat badan lahir rendah cukup mempengaruhi kejadian
stunting (OR=3,28). Oleh karena itu, orang tua yang memiliki anak dengan
berat badan lahir rendah harus lebih sadar akan kejadian stunting.
Penelitian di Tangerang menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur
berisiko 2 kali pada usia 6-12 bulan untuk mengalami stunting. Hasil
penelitian ini menunjukkan usia kehamilan merupakan faktor risiko
kejadian stunting balita usia 12 bulan. Pertumbuhan pada bayi prematur
mengalami keterlambatan dikarenakan usia kehamilan yang singkat dan
adanya retardasi pertumbuhan linear di dalam kandungan.
13
Bayi yang lahir cukup bulan apabila asupan gizinya kurang juga akan
mengalami growth faltering. Hal ini akan bertambah berat jika ditambah
dengan paparan penyakit infeksi.8 Sebaliknya, bayi prematur yang
mengalami growth faltering jika diberikan dukungan asupan gizi yang
adekuat maka pola pertumbuhan normal dapat terkejar (catch up).
Di negara berkembang bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih
cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena
buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan
negara maju.( Kiely JL,Yu S, Rowley DL,2013)
Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari normal (<2500gram)
mungkin masih memiliki panjang badan normal pada waktu dilahirkan.
Stunting baru akan terjadi beberapa bulan kemudian, walaupun hal ini
sering tidak disadari oleh orang tua. Orang tua baru mengetahui anaknya
stunting setelah anaknya mulai bergaul dengan teman-temannya, sehingga
terlihat anak lebih pendek dibandingkan temannya. Oleh karena itu anak
yang lahir dengan berat badan kurang dibawah normal harus diwaspadai
akan menjadi stunting. Semakin awal dilakukan penangulangan malnutrisi,
maka akan semakin kecil resiko menjadi stunting ( Kiely JL,Yu S, Rowley
DL,2013).
Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar
untuk menjadi ibu yang stunted akan cenderung melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah sepeti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu stunted
14
tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan
membentuk siklus sama seperti sebelumnya ( Kiely JL,Yu S, Rowley
DL,2013).
Semua kelompok lahir berisiko terhadap stunting hingga usia 12
bulan, dengan risiko terbesar pada kelompok anak IUGR (Intra Uterine
Growth Retardation) dan risiko terkecil pada kelompok anak normal. Pada
kelompok IUGR berkontribusi terhadap siklus intergenerasi yang
disebabkan oleh tingkat ekonomi rendah, penyakit dan defisiensi zat gizi.
Hal tersebut menunjukan bahwa, ibu dengan gizi kurang sejak awal sampai
dengan akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang kedepannya akan
menjadi anak stunting (Anugraheni HS,2012.).
Peneliti lain menyatakan berat badan lahir dengan status gizi rendah di
kabupaten dan kotamadya Sumedang, propinsi Jawa Barat menyimpulkan
bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko KEP 10,2
kali dibandingkan dengan berat bayi lahir normal. Dalam penelitian lain,
berat lahir rendah telah diketahui berkorelasi dengan stunting. Dalam
analisis multivariant tunggal variabel berat lahir rendah dapat bertahan, hal
ini menunjukan bahwa berat lahir rendah memiliki efek yang besar terhadap
stunting. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, efek dari berat lahir
rendah terhadap kesehatan anak adalah faktor yang paling relevan untuk
kelangsungan hidup anak (Meilyasari, F. & Isnawati, M, 2014)
15
3. Tinjauan tentang Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan selain ditentukan oleh faktor genetik juga ditentukan
oleh status gizi sewaktu masa kanak-kanak. Keadaan ini dapat diartikan
bahwa gangguan gizi waktu kanak-kanak pengaruhnya sangat jauh, yaitu
produk kehamilan (Nurhadi 2006).
Tinggi badan orang tua juga berkaitan dengan kejadian stunting, ibu
yang pendek emiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hasil
penelitian Zottarelli (2007) di Egypt menunjukkan bahwa anak yang lahir
dari ibu yang tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk
tumbuh menjadi stunting. Penelitian Nasikhah (2012) bahwa tinggi badan
ibu dan tinggi badan ayah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada
balita 24-36 bulan. Hasil penelitian serupa yang dilakukan Rahayu (2012)
menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu atau ayah pendek
berisiko menjadi stunting. Begitu pula penelitian yang dilakukan NA, Amin,
Julia,M. (2014), yang memperoleh ada hubungan tinggi badan ibu dengan
kejadian stunting pada balita usia 6 – 23 bulan.
Penelitian yang bertujuan untuk melihat faktor risiko terjadinya
pertumbuhan yang lambat pada anak baru masuk sekolah di Amerika Latin,
ditemukan faktor genetik yaitu tinggi badan ayah dan tinggi badan ibu
sedikitnya memberikan dampak terhadap laju pertumbuhan anak, selain
riwayat malnutrisi, panjang badan lahir dan kondisi rumah yang tidak
hygienis sebagai faktor risiko utama (Amigo et al. 2001).
16
Faktor konstitusional sebagai determinan stunting adalah tinggi badan
ibu, jenis kelamin dan berat badan lahir (Adair et al. 1997). Tinggi badan
orang tua sebagai penyebab terjadinya perawakan pendek pada anak
ditemukan sebanyak 58,6% (Strufaldi et al. 2005).
4. Riwayat Penyakit Infeksi
Anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki peluang
mengalami stunting (Picauly & Toy 2013). Penyakit infeksi pada anak-anak
antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA didefinisikan sebagai suatu
penyakit infeksi pada hidung, telinga, tenggorokan (pharynx), trachea,
bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14 hari) dengan
tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau batuk pilek dan
atau sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam,
batasan waktu 14 hari diambil menunjukkan berlangsungnya proses akut,
meskipun beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan diare didefinisikan sebagai suatu
penyakit yang ditandai dengan bercak cair lebih dari tiga kali sehari
(Darmadi, 2008).
Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah
tindakan yang paling utama. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan
cara memutuskan rantai penularannya. diharapkan kejadian penularan
penyakit infeksi dapat ditekan seminimal mungkin (Darmadi, 2008).
17
Penyakit infeksi berkaitan dengan kejadian penyakit menular terutama
diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA), dimana faktor ini
banyak terkait dengan mutu pelayanan kesehatan dasar khusunya imunisasi,
kualitas lingkungan hidup serta perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan
hidup seperti ketersediaan air bersih, sarana sanitasi lingkungan serta
perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, buang air
besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya
(Abas 2012 dalam Marfina, 2014).
Hasil penelitian Arifin (2012), diperoleh nilai p value=0,021, yang
berarti ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
stunting. Hasil analisis diperoleh pula nilai OR=2,2 (CI 95% ; 1,126-4,612)
artinya bahwa anak balita dengan riwayat penyakit infeksi mempunyai
risiko 2,2 kali lebih besar terkena stunting dibandingkan anak balita yang
tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi.
Hal ini serupa dengan hasil penelitian Nashikhah & Margawati
(2012), yang memperoleh riwayat diare akut merupakan faktor risiko
kejadian stunting (p=0,011) dan nilai OR=2,29 (CI 95% ; 1,69-3,09) dimana
balita yang sering mengalami diare akut berisiko 2,3 kali lebih besar
menjadi stunting. Begitu pula hasil penelitian Priyono.DP, Sulistiyani
(2015) yang memperoleh ada hubungan penyakit infeksi dengan kejadian
stunting anak balita usia 12 -36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Randu
Agung.
18
B. Kerangka Teori
1. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
(sumber: UNICEF,1990 Dalam BAPPENAS, 2011: Anisa, 2012 dalam Trihono, 2015 )
Karakteristik Keluarga:
Pendidikan Orang TuaPekerjaan Orang Tua
Status Ekonomi Keluarga
Karaktersitik Anak:
Usia
Jenis kelamin
Berat lahir
Panjang Lahir
Konsumsi Makanan:
Asupan Energi
Asupan Protein
Status Infeksi
Diare
Ispa
Stunting
(Malnutrisi Kronik)
Faktor genetik
-Tinggi badan oran
tua
- Berat badan orang
tua
Ketersedian dan pola
konsumsi Rumah
Tangga
-Pola Asuh
-Pemberian
ASI/MP-ASI
Pelayanan
Kesehatan
Status Imunisasi
19
2. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep penelitian adalah sebegai berikut:
Gambar 2 : Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
: Variabel terikat
: Variabel bebas
Stunting
(Malnutrisi Kronik)
Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR)
Tinggi Badan Ibu
Penyakit Infeksi:
- ISPA
- Diare
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam survey penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif,dimana hal tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi pada suatu
wilayah ( Suryabrata, 2013). Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data deskriptif mengenai
variabel dependen utama yaitu, status gizi stunting, serta variabel independen,
yaitu Berat badan lahir rendah(BBLR), tinggi badan ibu dan penyakit infeksi.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Puskesmas Abeli selama sebulan
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak baduta (6 – 23
bulan) yang ada di wilayah Puskesmas Abeli
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil secara purposive untuk usia serta
keluarga yang memenuhi kriteria : merupakan keluarga lengkap yang
mempunyai anak usia dibawah dua tahun (0-23 bulan) dan bersedia untuk
dijadikan sampel serta tidak menumpang hidup pada orang tua atau keluarga
lainnya, selanjutnya baduta yang terpilih dilakukan secara random sampling.
21
Responden dalam penelitian ini adalah semua ibu yang anaknya terpilih jadi
sampel.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Terikat
Variable Terikat yaitu status gizi anak stunting usia 6 – 23 bulan
2. Variabel Bebas
Variabel bebas yaitu BBLR, tinggi badan ibu dan penyakit infeksi
E. Jenis dan cara Pengumpulan Data
1. Jenis data
Data dalam penelitan ini adalah data primer dan data sekunder.
Dimana data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung
terhadap responden berdasarkan pertanyaan yang telah tersedia, sedangkan
data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas
Abeli dan instansi kesehatan terkait lainnya.
2. Cara pengumpulan data
Data primer pengumpulannya melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder pengumpulannya dengan
cara melihat dokumen Puskesmas
a. Data status gizi anak diperoleh dengan memakai metode antropometri
yang meliputi pengukuran berat badan dan panjang badan/tinggi badan.
Berat badan diukur dengan menggunakan dacin (salter balance scale)
dengan ukuran terkecil 0,1kg. Panjang badan/tinggi badan, anak yang
22
belum bisa berdiri diukur dengan memakai papan pengukur(length
board) sedangkan tinggi badan ibu diukur dengan memakai alat
microtoice dengan skala 0,1 cm. Indikator penentuan status gizi anak
baduta digunakan indeks PB/U.
b. Data penyakit infeksi diperoleh dengan menanyakan langsung kepada
ibu atau pengasuh anak dengan menggunakan lembar pertanyaan atau
kuesioner sedangkan data berat lahir anak diperoleh dari buku
KIA/KMS anak.
F. Analisis dan Penyajian Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil penelitian
dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi menghasilkan distribusi dan
presentasi dari tiap variabel yang diteliti.
2. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk narasi dan tabel.
G. Definisi Operasional
1. Anak Baduta adalah anak usia 6 sampai 23 bulan laki-laki atau perempuan.
2. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya
malnutrisi asupan zat gizi kronis ditunjukkan dengan nilai Z-score tinggi
badan menurut umur (TB/U atau PB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD)
berdasarkan standar WHO.
23
Kriteria Objektif:
Pendek (Stunting) : Z-Score ≥- 3,0 S/D Z-score < -2,0
Normal : Z-Score ≤-2,0
3. Berat badan lahir rendah adalah berat badan anak balita saat dilahirkan
berdasarkan persepsi ibu dan KMS yang dimiliki.
Kriteria Objektif:
BBLR : Jika berat lahir ≤ 2500 kg
Tidak BBLR : Jika berat lahir > 2500 kg
4. Tinggi badan ibu adalah adalah Pengukuran status tinggi badan ibu
dilakukan dengan menggunakan alat mikrotoa dengan tingkat ketelitian 0,1
cm.
Kriteria Objektif:
Tinggi : Jika tinggi badan ibu < 150 cm
Rendah : Jika tinggi badan ibu ≥ 150 cm
5. Penyakit Infeksi
Adalah riwayat penyakit baik Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas
(ISPA) maupun diare yang pernah diderita anak dalam tiga bulan terakhir
dan saat pengambilan data dinilai dari jawaban responden pada kuesioner
mengenai ISPA dan diare.
a. Riwayat kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas)
Adalah penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh anak selama tiga
24
bulan terakhir saat pengambilan data dengan gejala batuk,
mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak napas.
Kriteria Objektif:
Ya : Jika pernah atau sedang menderita sakit ISPA dalam tiga
bulan terakhir
Tidak : Jika tidak pernah menderita sakit ISPA dalam tiga bulan
terakhir
b. Riwayat kejadian Diare
Adalah penyakit yang pernah atau sedang diderita anak dalam tiga
bulan terakhir dan saat pengambilan data dengan gejala buang air besar
≥ 3 kali sehari dengan konsistensi cair dengan atau tanpa muntah.
Kriteria Objektif:
Ya : Jika pernah atau sedang menderita sakit Diare dalam
tiga bulan terakhir
Tidak : Jika tidak pernah menderita sakit Diare dalam tiga
bulan terakhir
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran Lokasi penelitian
a. Keadaan Wilayah dan Letak Geografis
Keadaan wilayah kerja dan letak geografis serta luas wilayah
Puskesmas Abeli, yaitu:
1) Letak geografis wilayah kerja Puskesmas Abeli secara administrasi
berbatasan dengan:
a) Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kendari
b) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Konda
c) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Moramo
d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Matabubu
Kecamatan Abeli
b. Kependudukan
Tabel 1, menunjukkan bahwa jumlah pria terbanyak terdapat pada
Kelurahan Lapulu sebanyak 2.545 Jiwa, yang terkecil terdapat pada
Kelurahan Talia sebanyak 983 Jiwa. Adapun jumlah wanita terbanyak
terdapat pada Kelurahan Lapulu sebanyak 2.494 Jiwa dan yang terkecil
terdapat pada Kelurahan Talia sebanyak 963 Jiwa. Sedangkan jumlah
rumah terbanyak terdapat pada Kelurahan Lapulu sebanyak 963 Rumah
dan yang terkecil terdapat pada Kelurahan Puday sebanyak 338 Rumah.
26
Tabel.1
Distribusi Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Abeli
Di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli
Tahun 2018
No Kelurahan Jumlah Penduduk Jml Rmh
Tangga Pria Wanita Total
1 Lapulu 2545 2494 5039 963
2 Talia 983 963 1946 450
3 Tobimeita 1299 1273 2572 383
4 Abeli 1187 1164 2351 490
5 Pudai 1065 1044 2109 338
6 Anggalomelai 999 979 1978 345
7 Anggalomelai 1035 1015 2050 430
8 Benua Nirae 1037 1016 2053 438
Total 10.150 9.984 20.098 3.873
2) Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan yang ada di Puskesmas Abeli terdiri dari
puskesmas induk 1 buah, puskesmas pembantu 3 buah, posyandu
17 buah.
27
2. Hasil Penelitian
Data dalam penelitian ini berasal dari responden sebanyak 65 orang
yang diperoleh dengan metode wawancara menggunakan kuesioner.
Responden disini adalah ibu dari anak balita
a. Karakteristik responden
Distribusi responden berdasarkan karakteristiknya dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2. Karakteristik Responden
Karakteristik Responden n %
Umur (tahun)
21 - 30
31 – 40
41 – 50
35
26
4
53,8
40,0
6,2
Jumlah 65 100,0
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Akademi
Perguruan tinggi
4
10
45
3
3
6,2
15,4
69,2
4,6
4,6
Jumlah 65 100,0
Pekerjaan
IRT
PNS
Pegawai swasta
Jualan
57
1
5
2
87,7
1,5
7,6
3,2
Jumlah 65 100,0
28
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa sebagian besar responden
(53,8%) berumur antara 21 - 30 tahun, sedangkan tingkat pendidikan
responden terbanyak SLTA yaitu sebanyak 45 orang (69,2%) dengan
pekerjaan mayoritas IRT sebanyak 57 orang ( 87,7%).
b. Karakteristik Sampel Penelitian
Distribusi sampel penelitian berdasarkan karakteristiknya dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Karakerietik Sampel Penelitian
Karakteristik Sampel Penelitian n %
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
29
36
44,6
55,4
Jumlah 65 100
Umur (bulan)
6 – 12
13 – 23
15
50
23,1
76,9
Jumlah 65 100
Berdasarkan tabel 3, karakteristik sampel diketahui bahwa jumlah
sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki sebanyak 36 orang ( 55,4%)
dan perempuan 29 orang (44,6%), sedangkan umur sampel sebagian
besar pada kategori 13 – 23 bulan sebanyak 50 orang (76,9%).
29
c. Variabel penelitian
1) Status Gizi
Tabel 4. Distribusi Sampel Menurut Status Gizi Sampel
Status Gizi n %
Normal 49 75,4
Pendek (stunting) 16 24,6
Total 65 100,0
Sumber: Data primer terolah 2019
Tabel 4 memperlihatkan sebanyak 16 anak (24,6%) yang status
gizinya stunting (pendek ) dan sebanyak 49 anak (75,4) yang status
gizinya normal.
2) BBLR
Tabel 5. Distribusi Sampel Menurut BBLR Sampel
BBLR n %
Normal 59 90,8
BBLR 6 9,2
Total 65 100,0
Sumber: Data primer terolah 2019
Tabel 5, memperlihatkan sebanyak 6 anak (9,2%) yang berat
badan lahirnya rendah (BBLR) dan sebanyak 59 anak (90,8%) yang
berat badan lahirnya normal.
3) Tinggi Badan Ibu
Tabel 6. Distribusi Sampel Menurut tinggi badan ibu Sampel
Tinggi badan ibu n %
Tinggi 40 61,5
Rendah 25 38,5
Total 65 100,0
Sumber: Data primer terolah 2019
30
Tabel 6, memperlihatkan sebanyak 25 ibu sampel (38,5%)
yang tinggi badan ibu sampel < 150 cm dan sebanyak 40 anak
(61,5%) yang tinggi badan ibunya ≥ 150 cm.
4) ISPA dan Diare
a) ISPA
Tabel 7. Distribusi Sampel Menurut penyakit ISPA Sampel
ISPA n %
Tidak menderita 51 78,5
Menderita 14 21,5
Total 65 100,0
Sumber: Data primer terolah 2019
Tabel 7, memperlihatkan sebanyak 14 sampel (21,5%)
yang menderita penyakit Infeksi saluran pernapasan bagian atas
(ISPA) dan sebanyak 51 anak (78,5%) yang tidak menderita
penyakit Infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA).
b) Diare
Tabel 8. Distribusi Sampel Menurut penyakit diare Sampel
Diare n %
Tidak menderita 47 72,3
Menderita 18 27,7
Total 65 100,0
Sumber: Data primer terolah 2019
Tabel 8, memperlihatkan sebanyak 18 sampel (27,7%)
yang menderita diare selama 3 bulan terakhir dan sebanyak 47
anak (72,3%) yang tidak menderita diare selama 3 bulan
terakhir.
31
5) Gambaran BBLR dengan kejadian Stunting
Tabel 9. Distribusi Gambaran BBLR Dengan Kejadian Stunting
BBLR
Status Gizi Total
Normal Stunting
n % n % n %
Normal
BBLR
45
4
69,2
6,2
14
2
21,5
3,1
59
6
90,8
9,2
Jumlah 49 75,4 16 24,6 65 100
Sumber: Data primer terolah 2019
Berdasarkan tabel 9, diperoleh 2 (3,1%) anak yang stunting
dengan riwayat BBLR sedangkan dari anak yang lahir normal
terdapat 14 (21,5%) anak yang stunting.
6) Gambaran Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting
Tabel 10. Distribusi Gambaran Tinggi Badan Ibu Dengan
Kejadian Stunting
Tinggi Badan
Ibu
Status Gizi Total
Normal Stunting
n % n % n %
Tinggi
Pendek
30
19
46,2
29,2
10
6
15,4
9,2
40
25
61,6
38,4
Jumlah 49 75,4 16 24,6 65 100
Sumber: Data primer terolah 2019
32
Berdasarkan tabel 10, diperoleh 6 orang anak yang
stunting dengan riwayat tinggi badan ibu yang kategori pendek
sedangkan dari 40 ibu yang berkategori tinggi terdapat 10 anak
yang stunting.
7) Gambaran Penyakit ISPA dengan kejadian Stunting
Tabel 11. Distribusi Gambaran ISPA Dengan KejadianStunting
ISPA
Status Gizi Total
Normal Stunting
n % n % n %
Tidak menderita
Menderita
40
9
61,6
13,8
11
5
16,9
7,7
51
14
78,5
21,5
Jumlah 49 75,4 16 24,6 65 100
Sumber: Data primer terolah 2019
Berdasarkan tabel 11, diperoleh 5 orang anak yang
stunting dengan riwayat menderita ISPA sedangkan dari 51 anak
yang tidak menderita ISPA terdapat 11 anak yang stunting.
8) Gambaran Penyakit Diare dengan kejadian Stunting
Tabel 12. Distribusi Gambaran Diare Dengan Kejadian Stunting
Diare
Status Gizi Total
Normal Stunting
n % n % n %
Tidak menderita
Menderita
38
11
58,5
16,9
9
7
13,8
10,8
47
18
72,3
27,72
Jumlah 49 75,4 16 24,6 65 100
Sumber: Data primer terolah 2019
33
Berdasarkan tabel 12, diperoleh 7 orang anak yang
stunting dengan riwayat menderita diare sedangkan dari 47 anak
yang tidak menderita diare terdapat 9 anak yang stunting.
B. Pembahasan
1. Status Gizi Stunting
Hasil penelitian ini dari 65 anak yang menjadi sampel diperoleh
sebanyak 16 anak (24,8%) yg stunting. diperoleh 2 orang anak yang
stunting dengan riwayat BBLR, 6 orang anak yang stunting dengan
riwayat tinggi badan ibu yang kategori pendek , 5 orang anak yang
stunting dengan riwayat menderita ISPA, 7 orang anak yang stunting
dengan riwayat menderita diare.
Berdasarkan hasil penelitian Kusumawati et al,2015, faktor yang
memengaruhi stunting antara lain sebagian besar karena anak mengalami
penyakit infeksi, anak memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir,
pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai menurut usia disertai
dengan konsistensi makanannya dan anak yang mengalami berat lahir yang
rendah pada saat dilahirkan.
Masalah gizi terutama stunting pada baduta dapat menghambat
perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap
penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan
34
kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF,
2012; dan WHO, 2010).
Anak yang mengalami stunting berdampak pada tingkat
kecerdasannya dan rentan terhadap penyakit, sehingga di masa depan
berisiko menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya, efek jangka
panjang akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara, meningkatnya
angka kemiskinan dan memperluas ketimpangan sosial.
Menurut (Zottare, Sunil, & Rajaram, 2007) usia anak ≥12 bulan
lebih banyak mengalami stunting dibandingkan anak usia <12 bulan. Hal
tersebut disebabkan karena semakin tinggi usia anak maka akan semakin
meningkat kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pembakaran enegri
dalam tubuh. Selain itu, menurut Arifeen et al,2004, status gizi ibu sebelum
dan ketika hamil juga turut berperan mencetuskan kejadian berat badan lahir
rendah (BBLR).
2. Gambaran BBLR Dengan Kejadian Stunting
Hasil penelitian ini mendapatkan 2 anak yang stunting dari 6 anak
yang lahir BBLR. Hasil ini sesuai dengan penelitan Kolbrek (2011), di
Medan yang menunjukkan bahwa balita yang lahir dengan berat badan lahir
rendah berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian di
Nepal (Paudel, et al., 2012) menunjukkan bahwa berat badan lahir yang
rendah memiliki risiko stunting 4,47 kali lebih besar daripada balita dengan
berat lahir normal. Berat badan lahir merupakan salah satu indikator
35
kesehatan pada bayi yang baru lahir. Berat badan lahir merupakan parameter
yang sering dipakai untuk menggambarkan pertumbuhan janin pada masa
kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah akan lebih rentan
terhadap pengaruh lingkungan yang kurang baik di masa mendatang
(Umboh, 2013).
Anak dengan BBLR lebih berisiko untuk terjadi pertumbuhan
stunting dibanding dengan anak dengan berat badan lahir normal (Aridiyah
FO, Rohmawatu N, Ririanty M2015) , Namun bukan berarti anak dengan
BBLR tidak dapat mengejar pertumbuhan. Pengaruh berat badan lahir
terhadap kejadian stunting paling tinggi pengaruhnya pada saat 6 bulan
pertama. Pengaruh tersebut akan menurun hingga usia 24 bulan. Anak
memiliki kemungkinan untuk dapat tumbuh normal apabila dalam 6 bulan
pertama anak tersebut dapat mengejar pertumbuhan (Meilayasari F,
Isnawati,2014) . Selain itu, terdapatnya riwayat BBLR tidak akan
mempengaruhi pertumbuhan anak apabila anak mendapatkan asupan
yang cukup dan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak ( Aridiyah FO, Rohmawatu N, Ririanty M,2015).
Menurut hasil penelitian di Kota Banda Aceh, anak yang dilahirkan
dengan BBLR berisiko mengalami stunting (Rahmad et al,2013) , hal ini
juga sama dengan penelitian Mardani et al,2015 yang telah menemukan
bahwa faktor prediksi yang berpengaruh terhadap stunting pada balita
adalah BBLR. Anak yang terlahir dengan BBLR lebih berpotensi stunting
36
dibandingkan anak yang terlahir dengan berat normal. Selain itu, menurut
Lin et al,2007, berat badan bayi lahir rendah (BBLR < 2.500 gram) telah di
identifikasi sebagai faktor risiko penting terkait perkembangan anak
selanjutnya.
Menurut penelitian Abenhaim,(2004), bayi yang disebut lahir rendah
adalah bila berat bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram dan
empat kali lebih tinggi mengakibatkan kematian jika dibandingkan dengan
berat bayi terlahir 2.500 – 3.000 gram. Berat lahir pada umumnya sangat
terkait dengan kematian janin, neonatal dan pasca neonatal, morbiditas
bayi dan anak serta pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang.
Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung dari
generasi ke generasi, anak dengan BBLR akan memiliki ukuran
antropometri yang kurang pada perkembangannya.
3. Gambaran Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 6 anak yang
mengalami stunting dari ibu yang mempunyai tinggi badan termasuk
kategori pendek (<150 cm). Hasil penelitian Dangour,(2002) di
Kazakhastan membuktikan bahwa ibu yang pendek akan melahirkan anak
yang penek pula. Hasil penelitian tersebut dilakukan pada anak berusia 6 –
59 bulan. Selain itu, menurut Hanum,(2014). ibu yang memiliki tinggi
badan pendek (< 150 centimeter) akan meningkatkan kejadian stunting pada
anak. Baik pada penelitian Dangour,(2002), maupun Hanum,(2014)
37
menunjukkan bahwa stunting pada anak disebabkan faktor alami yang
diturunkan oleh ibunya kepada anaknya melalui genotif pendek yang
terdapat pada diri ibu. Senada dengan dua penelitian sebelumnya menurut
Nasikhah,(2012) menunjukkan bahwa anak yang mengalami stunting
terlahir dari ibu yang memiliki tinggi badan pendek. Penelitian ini tidak
meneliti faktor-faktor yang memengaruhi tinggi badan ayah maupun ibu
sehingga tidak dapat dibedakan tinggi badan ayah maupun ibu dipengaruhi
oleh faktor genetik maupun malnutrisi.
Hasil penelitian di Kota Semarang dengan sampel penelitian
balita usia satu sampai dua tahun juga menunjukkan hasil yang berbeda,
yaitu tinggi badan ibu bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting
(Candra A, Puruhita N, Susanto JC,2011). Jika ibu dan ayah tergolong
pendek, anak berpotensi memiliki risiko memiliki tubuh yang pendek pula
karena anak mewarisi gen dalam kromosom yang membawa sifat stunting.
Akan tetapi, tinggi badan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, tidak hanya
faktor genetik saja (tinggi badan orangtua), tetapi juga dipengaruhi
asupan nutrisi dan juga penyakit yang diderita. Jika anak mengalami
stunting karena kurangnya asupan gizi sejak kecil, maka stunting pada
keturunannya masih dapat ditanggulangi (Yustiana K. 2013). Tidak adanya
hubungan antara tinggi badan ibu dengan stunting pada anak dalam
penelitian ini kemungkinan dapat disebabkan karena jumlah sampel yang
diteliti sedikit.
38
4. Gambaran Penyakit Infeksi ISPA Dan Diare Dengan Kejadian
Stunting
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 5 orang anak yang
stunting dengan riwayat menderita ISPA, serta 7 orang anak yang
stunting dengan riwayat menderita diare. Hal ini berkaitan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Naomi, 2012 di Kota Manado yaitu durasi
dan frekuensi penyakit infeksi pada balita dengan terjadinya stunting . Hal
ini disebabkan karena penyakit infeksi dan gangguan gizi yang terjadi secara
bersamaan dan saling mempengaruhi. Interaksi yang sinergis antara
penyakit = penyakit infeksi dan gangguan pertumbuhan dapat
mengakibatkan mekanisme patologik yang bermacam-macam baik secara
sendiri-sendiri maupun bersamaan.
Masa baduta merupakan masa paling rawan terhadap berbagai
masalah kesehatan, karena pada masa ini baduta/bzlita sering terkena
penyakit infeksi sehingga menjadikan anak beresiko tinggi menjadi kurang
gizi. Diare sebenarnya merupakan salah satu gejala dari penyakit
gastrointestinal atau penyakit lain diluar saluran pencernaan. Tetapi
sekarang lebih dikenal dengan penyakit diare. Penyakit diare terutama pada
bayi perlu mendapatkan tindakan secepatnya karena dapat membawa
bencana bila terlambat ditangani.
Penelitian di Malawi menemukan bahwa peningkatan durasi diare
dan ISPA berhubungan dengan penurunan status gizi anak. Peningkatan
39
durasi diare berhubungan dengan penurunan indeks TB/U. Peningkatan
durasi diare, demam, dan ISPA juga berhubungan dengan parameter gizi
lain, yaitu penurunan indeks BB/U. Hambatan pertumbuhan yang
disebabkan oleh diare berhubungan dengan gangguan absorpsi nutrien
selama dan setelah episode diare. Hambatan pertumbuhan yang disebabkan
oleh ISPA berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik dan
gangguan intake makanan selama periode penyakit (Weisz A, Meuli G,
Thakwalakwa C, Trehan I, Maleta K, Manary M.2011).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Gilingan, Surakarta yang menyatakan bahwa frekuensi penyakit infeksi
(ISPA dan diare) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
stunting pada anak usia 12-48 bulan (Efendhi A. 2015). Hal ini disebabkan
stunting tidak hanya dipengaruhi oleh frekuensi penyakit infeksi, tetapi juga
dipengaruhi oleh durasi penyakit infeksi dan asupan nutrien selama episode
penyakit infeksi tersebut (Welasasih BD, Wirjatmadi RB, 2012).
Anak balita stunting mempunyai proporsi yang lebih besar menderita
ISPA dibanding yang tidak. ISPA merupakan infeksi yang umum terjadi
pada anak-anak dan mudah menular. Kebanyakan juga anak mengalami
infeksi yang ringan berupa demam yang disertai batuk dan pilek
berlangsung kurang dari 3 hari. Beberapa kasus juga dapat sembuh sendiri.
40
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Gambaran kejadian stunting pada anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah kerja
Puskesmas Abeli sebanyak 16 anak (24,6%).
2. Gambaran berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian stunting pada
anak Baduta (6-23 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli sebanyak 6
anak (9,2%)
3. Gambaran tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada anak Baduta (6-
23 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli sebanyak 25 ibu baduta yang
kategori pendek ( 38,5% )
4. Gambaran penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada anak Baduta (6-
23 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Abeli sebanyak 14 orang anak
(21,5%) yang menderta ISPA dan 18 anak (27,7%) yang menderita Diare
B. Saran
1. Perlu adanya program yang terintegrasi dan multisektoral untuk
menanggulangi kejadian stunting pada baduta dan perlu adanya edukasi
kepada masyarakat khususnya ibu baduta terkait jenis makanan yang baik
untuk pertumbuhan anak.
41
2. Perlu penelitian lanjutan untuk menganalisis kontribusi asupan energi dan
zat gizi dari MP-ASI dan menganalisis mutu gizi MP-ASI yang diberikan
untuk dijadikan dasar penyusunan menu makanan pada bayi dan balita
dalam hal penanggulangan stunting.
42
DAFTAR PUSTAKA
Aridiyah FO, Rohmawatu N, Ririanty M.2015. FaktorFaktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan.
EJurnal Pustaka Kesehatan. Vol.3. No.1.
Arifin, D. Z., Irdasari, S. Y., & Handayana, S. (2012). Analisis Sebaran dan
Faktor Risiko Stunting pada Balita di Kabupaten Purwakarta. Diakses dari
http://www.pustaka.unpad.ac.id
Anugraheni HS. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di
Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. 2012. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.Tesis p: 30-37.
Aritonang I. 2011. Menilai Status Gizi untuk Mencapai Sehat Optimal. Leutika.
Yogyakarta.
Abenhaim HA, Kinch RA and Usher R. Effect of prepregnancy body mass
indexcategories on obstetric and neonatal outcomes. Obstetric and
Gynaecologic. 2004; 2004; 103: 219-24.
Arifeen SE, Black RE, Caulfield LE, Antelman G, Baqui AH, Nahar Q, et al.
Infant growth patterns in the slum Dhaka in reletion to birth weight
intrauterine growth retardation and prematurity. American Journal Clinical
Nutrition. 2004; 72 (4): 1010-7.
Adair, L. S., & Guilkey, D. K. (1997). Age specific determinant of stunting in
Filipino children. The Journal of Nutrition, 127, 314-320. Diakses dari The
Journal of Nutrition database.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Riset
kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2013.
Candra A, Puruhita N, Susanto JC. Risk Factors of Stunting among 1-2 Years Old
Children in Semarang City. M Med Indones. Volume 45. Nomor 3. 2011.
Dangour AD, Hill HL, Ismail SJ. 2002. Height, weight, and haemoglobin status
of 6 to 59 month old Kazah children living in Kzyl-Oeda Region,
Kazakhtan. Europe Journal Clinical Nutrition.; 56: 1030-8.
Espo M., T, Kulmala, K. Maleta, T. Cullinan, M-L Salin, P Ashorn. 2002.
Determinants of linear growth and predictors of severe stunting during
infancy in rural Malawi. Acta Paediatr, 91 : 1364-1370
43
Efendhi A. Hubungan kejadian stunting dengan frekuensi penyakit ISPA dan
diare pada balita usia 12-48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan
Surakarta (skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta;
2015
Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y, 2014. Hubungan asupan zat gizi dengan
tinggi badan ibu dengan status gizi anak balita. Jurnal Gizi dan Pangan.
2014; 9:1-6.
Infodatin, 2016, Situasi Balita Pendek. Kementerian Kesehatan RI, Pusat Data dan
Informasi
Kusumawati E, Rahardjo S, Sari HP. Model pengendalian faktor risiko stunting
ada anak bawah tiga tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 2015; 9 (3)
Koro,S. 2015. Determinan Stunting Anak 6 - 24 Bulan Di Kabupaten Timor
Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Buku Prosiding Konas
IAKMI
Kiely JL,Yu S, Rowley DL, 2013. Low Birth weight and intrauterine growth
retardation. CDC public health surveillance for women, infants and
children.
Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Bakti
Husada.2013.
Kemenkes. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Jakarta : 4.
Kolbrek, M. (2011). Malnutrition and associated risk factors in children aged 6-59
months in urban Indonesia (Master’s thesis, University of Oslo, Oslo,
Norway). Diakses pada tanggal 30 juli 2019
Lestari, Restika Indah. 2016. Faktor Resiko Kejadian Stunted pada Anak Usia 7-
24 Bulan Di Desa Hargorejoo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon
Progo, Yogyakarta. FIK UMS. Surakarta.
Lin CM, Chen CW, Chen PT, Lu TH, Li CY. Risks and causes of mortality
among low birthweight infants in childhood and adolescence. Paediatric
and Perinatal Epidemiology. 2007; 21: 465-72.
44
Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada balita
usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.
Journal of Nutrition College,3(2), 16-25.Diakses dari http://www,ejournal-
s1.undip.ac.id tanggal 26 januari 2019
Mardani RAD, Wetasin K, Suwanwaiphatthana W. Faktor prediksi yang
mempengaruhi terjadinya stunting pada anak usia dibawah lima tahun.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2015; 11 (1): 1-7
Naomi. Durasi dan Frekuensi Sakit Balita dengan Terjadinya Stunting pada Anak
di Kecamatan Malalayang Kota Manado. Tidak Dipublikasikan. Skripsi.
Manado : Jurusan Kebidanan Poltekes Kemenkes Manado; 2012
Nasikhah, R dan Margawati, A. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada balita
usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition
College,1(1). Diakses dari http://www.ejournal-s1.undip.ac.id tanggal 30
juli 2019
Oktarina Z. Hubungan Berat Lahir dan Faktor-Faktor Lainnya dengan Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Lampung pada Tahun 2010. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2012.
Picauly I, Toy SM. 2013. Analisis determinan dan pengaruh stunting terhadap
prestasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. J Gizi
Pangan 8(1):55-62.
Paudel, R., Pradhan, B., Wagle, R. R., Pahari, D.P., & Onta S. R. (2012). Risk
factors for stunting among children: A community based case control
study in Nepal. Kathmandu University Medical Journal, 10(3), 18-24.
Proverawati Atikah, 2010. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Rahmad AH, Miko A, Hadi A., 2013. Kajian stunting pada anak balita ditinjau
dari pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, status imunisasi dan karakteristik
keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes. 2013;
6 (2): 169-84
Rahayu LS, Sofyaningsih M. Pengaruh BBLR dan pemberian ASI eksklusif
terhadap perubahan status stunting pada balita di kota dan kabupaten
Tangerang provinsi Banten. Prosoding Seminar Nasional. 2011.
45
Rosha BC, Putri DSK, Putri IYS. Determinan Status Gizi Pendek Anak Balita
dengan Riwayat Berat Badan Lahir Rendah di Indonesia (BBLR) di
Indonesia (Analaisis Data Riskesdas 2007-2010). Jurnal Ekologi
Kesehatan. 2013;12:195-205.
Rahayu LS. 2011. Hubungan Tinggi Badan Orang Tua Dengan Status Kejadian
Stunting Usia 6 -12 Bulan Sampai 3 – 4 Tahun. Tesis. Program Pasca
sarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat.Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia; 2000.
Suryabrata.2013.metode Penelitian.Aksara: Bogor
Taguri, A.E., et al. Risk Factor For Stunting Among Under Five in Libya. Public
Health Nutrition. 2009 Aug: 12 (8), 1141-9.
UNICEF. (2013). Improving child nutrition, the achievable imperative for global
progress. New York: United Nations Children’s Fund.
UNICEF. (2012). Ringkasan kajian gizi Oktober 2012. Jakarta: UNICEF
Indonesia.
Umboh, A. (2013). Berat lahir rendah dan tekanan darah pada anak. Jakarta:
Sagung Seto
United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low
Birthweight: Country, Regional and Global Estimates. UNICEF: New
York. 2004.
USAID. Nutrition Assessment For 2010 New Project Design. 2010.
WHO. (2014). WHA global nutrition targets 2025: Stunting policy brief. Geneva:
World Health Organization.
WHO.2013. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences WHO
Conceptual Framework.
Welasasih BD, Wirjatmadi RB. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status
gizi balita stunting. Surabaya: The Indonesian Journal of Public Health.
2012;8(3):99-104.
Weisz A, Meuli G, Thakwalakwa C, Trehan I, Maleta K, Manary M. The
Duration of Diarrhea and Fever is Associated with Growth Faltering in
46
Rural Malawian Children Aged 6-18 Months. Nutrition Journal.
2011;10(25):1-4
WHO. (2010). Nutrition landscape information system (NLIS) country profile
indicators: Interpretation guide. Geneva: World Health Organization.
Yustiana K. 2013. Perbedaan panjang badan bayi baru lahir antara ibu hamil KEK
dan tidak KEK [undergraduate thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro
Zottareli LK, Sunil TS, Rajaram S. Influence of parentral and sosioeconomic
factor on stunting in children under yearin Egypt. Eastem Mediterranean
Health Journal (internet). 2007 (cited 2019 Agustus 16). Available from:
htt://pwww.emro.who.int/emhj/1306.
No Responden umur(thn) pekerjaan pendidikan TB ibu kategori Baduta seks umur(bulan) TB(cm) Status Gizi BBLR kategori Diare ISPA
1 Mi 36 IRT SLTA 160 Tinggi NN Perempuan 20 79,8 normal 3100 Normal tidak menderita tidak menderita
2 AW 40 IRT SLTP 160 Tinggi SS Laki-laki 20 63,5 pendek 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
3 SW 36 IRT SLTA 167 Tinggi RF Laki-laki 18 62,5 pendek 3100 Normal menderita tidak menderita
4 EA 38 IRT SLTA 166 Tinggi HD Perempuan 14 79,5 normal 2900 Normal menderita tidak menderita
5 ES 31 IRT SLTA 157 Tinggi MF Laki-laki 16 63,5 pendek 2900 Normal tidak menderita tidak menderita
6 FA 23 IRT SLTA 160 Tinggi AF Laki-laki 22 86,6 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
7 LW 25 IRT SLTA 150 Tinggi RI Laki-laki 23 87,1 normal 3100 Normal tidak menderita tidak menderita
8 WN 30 IRT SLTA 150,3 Tinggi AN Laki-laki 23 84,1 normal 3000 Normal menderita menderita
9 HA 30 jualan SLTP 155 Tinggi AD Laki-laki 14 65,5 pendek 2400 BBLR tidak menderita menderita
10 AM 35 IRT SLTA 150 Tinggi SK Perempuan 16 66 pendek 2500 Normal tidak menderita tidak menderita
11 RF 40 IRT SD 146 Pendek AF Perempuan 22 71,5 pendek 2900 Normal menderita tidak menderita
12 SD 29 IRT SLTA 147 Pendek WA Perempuan 23 73 normal 2800 Normal tidak menderita tidak menderita
13 SI 27 IRT SLTP 150 Tinggi CI Perempuan 12 70 normal 3300 Normal tidak menderita menderita
14 EY 30 karyawan Sarjana 155 Tinggi SR Laki-laki 13 72 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
15 JI 30 IRT SLTA 150 Tinggi AA Laki-laki 22 68 pendek 2900 Normal tidak menderita tidak menderita
16 JA 23 IRT SLTA 150 Tinggi MF Laki-laki 23 68 pendek 2800 Normal menderita menderita
17 HL 35 IRT SLTA 152 Tinggi AA Perempuan 15 71 normal 3100 Normal menderita tidak menderita
18 UA 32 IRT SLTA 150 Tinggi DA Laki-laki 23 83,8 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
19 JH 26 swasta Akademi 155 Tinggi EY Perempuan 19 73,2 normal 2400 BBLR tidak menderita tidak menderita
20 WT 42 IRT SLTP 151 Tinggi AY Perempuan 18 71 normal 2500 Normal tidak menderita tidak menderita
21 KT 25 IRT SLTA 155 Tinggi SR Laki-laki 14 74,2 normal 2900 Normal tidak menderita menderita
22 DM 40 IRT SLTA 150,2 Tinggi KA Laki-laki 16 81,5 normal 2800 Normal tidak menderita menderita
23 TN 38 IRT SLTP 150 Tinggi RZ Laki-laki 22 81,7 normal 3300 Normal tidak menderita tidak menderita
24 DI 28 IRT SD 154 Tinggi PP Perempuan 23 82.2 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
25 IR 28 IRT SLTA 148 Pendek AL Perempuan 20 81,7 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
26 NY 40 IRT SLTA 145,6 Pendek MA Laki-laki 11 73,2 normal 2600 Normal tidak menderita tidak menderita
27 SU 26 IRT SLTA 145 Pendek FR Laki-laki 7 69,1 normal 2400 BBLR tidak menderita tidak menderita
28 IW 46 IRT SLTA 150 Tinggi FL Perempuan 12 73,8 normal 2900 Normal tidak menderita menderita
29 RM 24 IRT SLTA 151 Tinggi ZP Perempuan 8 69,1 normal 2800 Normal tidak menderita tidak menderita
30 WK 40 IRT SD 150 Tinggi SS Perempuan 7 68,9 normal 3100 Normal tidak menderita tidak menderita
31 DA 24 IRT SLTP 148 Pendek AR Laki-laki 23 84,1 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
32 HB 33 IRT SLTA 150 Tinggi FZ Perempuan 13 63,5 pendek 2400 BBLR menderita menderita
33 TN 40 jualan SLTA 145 Pendek ZB Perempuan 17 77,8 normal 2500 Normal menderita menderita
34 NC 33 IRT SLTP 150 Tinggi AF Laki-laki 15 82,5 normal 2900 Normal menderita menderita
35 RT 25 IRT SLTA 150,2 Tinggi RA Laki-laki 23 68 pendek 2800 Normal tidak menderita tidak menderita
36 SL 30 IRT SLTP 147 Pendek AG Laki-laki 12 73,8 normal 3100 Normal tidak menderita tidak menderita
37 NY 30 IRT SLTA 151 Tinggi IT Perempuan 23 82,2 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
38 YT 32 IRT SLTA 147,9 Pendek DA Perempuan 11 69,3 normal 3200 Normal tidak menderita tidak menderita
39 YR 25 IRT SLTA 138 Pendek SF Perempuan 13 60,5 pendek 3300 Normal tidak menderita tidak menderita
40 SS 30 IRT SLTP 149,8 Pendek GA Perempuan 21 77,5 normal 2700 Normal menderita menderita
41 MA 32 Pegawai Swasta Sarjana 134 Pendek MH Laki-laki 22 59 pendek 2900 Normal menderita tidak menderita
42 KI 43 IRT SLTA 150 Tinggi SK Perempuan 13 71,1 normal 3500 Normal menderita tidak menderita
43 SQ 36 IRT SLTA 141,2 Pendek SQ Perempuan 14 78 normal 2500 Normal menderita tidak menderita
44 SH 23 IRT SLTA 152,3 Tinggi YM Perempuan 11 80,3 normal 2400 BBLR tidak menderita tidak menderita
45 SS 34 IRT SD 143,3 Pendek MO Laki-laki 12 74 normal 2900 Normal tidak menderita tidak menderita
46 SI 23 IRT SLTA 153 Tinggi WM Perempuan 19 76 normal 2800 Normal tidak menderita menderita
47 WS 29 IRT SLTA 155,8 Tinggi RD Laki-laki 18 79,9 normal 3100 Normal tidak menderita tidak menderita
48 IL 35 swasta Akademi 148,2 Pendek IK Laki-laki 11 76,4 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
49 IR 30 IRT SLTA 154,9 Tinggi HA Laki-laki 12 72,4 pendek 3200 Normal menderita tidak menderita
50 EL 30 IRT SLTA 147,1 Pendek PI Perempuan 16 68,4 pendek 3300 Normal menderita menderita
51 AN 34 swasta Akademi 150 Tinggi IR laki laki 22 87,1 normal 2700 Normal menderita tidak menderita
52 FT 28 IRT SLTA 145,7 Pendek DE laki laki 13 76,3 normal 2900 Normal menderita tidak menderita
53 YY 39 PNS Sarjana 153 Tinggi VI laki laki 10 70,9 normal 3500 Normal tidak menderita tidak menderita
54 BN 25 IRT SLTA 149,3 Pendek RI laki laki 17 83,4 normal 2500 Normal tidak menderita tidak menderita
55 NN 35 IRT SLTA 149 Pendek AG laki laki 23 87,1 normal 2600 Normal tidak menderita tidak menderita
56 GT 30 IRT SLTA 146,7 Pendek BA laki laki 19 81,9 normal 2500 Normal tidak menderita tidak menderita
57 SA 38 IRT SLTA 147 Pendek KS Perempuan 8 66,9 normal 3200 Normal tidak menderita tidak menderita
58 NJ 30 IRT SLTA 141,3 Pendek FK Perempuan 14 70,6 normal 3300 Normal menderita tidak menderita
59 KS 23 IRT SLTP 138,3 Pendek AW Perempuan 22 72,2 pendek 2700 Normal tidak menderita menderita
60 VT 36 IRT SLTA 141 Pendek NS Perempuan 21 74 pendek 2600 Normal tidak menderita tidak menderita
61 DN 27 IRT SLTA 152,3 Tinggi DF laki laki 8 71,2 normal 2300 BBLR tidak menderita tidak menderita
62 KS 27 IRT SLTA 151,1 Tinggi AB laki laki 20 86,5 normal 2900 Normal tidak menderita tidak menderita
63 IN 42 IRT SLTA 156,7 Tinggi SU laki laki 22 87,8 normal 2800 Normal tidak menderita tidak menderita
64 FR 26 IRT SLTA 146,5 Pendek FS laki laki 23 86,2 normal 3100 Normal tidak menderita tidak menderita
65 AL 29 IRT SLTA 154,7 Tinggi TR laki laki 20 82,1 normal 3000 Normal tidak menderita tidak menderita
Master tabel: Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Baduta ( 6 – 23 Bulan) Di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Kota Kendari
Hasil analisis data
status gizi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
normal 49 75,4 75,4 75,4
pendek 16 24,6 24,6 100,0
Total 65 100,0 100,0
BB Lahir
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Normal 59 90,8 90,8 90,8
BBLR 6 9,2 9,2 100,0
Total 65 100,0 100,0
Tinggi badan ibu
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tinggi 40 61,5 61,5 61,5
Pendek 25 38,5 38,5 100,0
Total 65 100,0 100,0
iSPA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
tidak menderita 51 78,5 78,5 78,5
menderita 14 21,5 21,5 100,0
Total 65 100,0 100,0
Diare
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
tidak menderita 47 72,3 72,3 72,3
menderita 18 27,7 27,7 100,0
Total 65 100,0 100,0
Crosstab
status gizi Total
normal pendek
BB Lahir
Normal Count 45 14 59
% of Total 69,2% 21,5% 90,8%
BBLR Count 4 2 6
% of Total 6,2% 3,1% 9,2%
Total Count 49 16 65
% of Total 75,4% 24,6% 100,0%
rosstab
status gizi Total
normal pendek
Tinggi badan ibu
Tinggi Count 30 10 40
% of Total 46,2% 15,4% 61,5%
Pendek Count 19 6 25
% of Total 29,2% 9,2% 38,5%
Total Count 49 16 65
% of Total 75,4% 24,6% 100,0%
Crosstab
status gizi Total
normal pendek
iSPA
tidak menderita Count 40 11 51
% of Total 61,5% 16,9% 78,5%
menderita Count 9 5 14
% of Total 13,8% 7,7% 21,5%
Total Count 49 16 65
% of Total 75,4% 24,6% 100,0%
Crosstab
status gizi Total
normal pendek
Diare
tidak menderita Count 38 9 47
% of Total 58,5% 13,8% 72,3%
menderita Count 11 7 18
% of Total 16,9% 10,8% 27,7%
Total Count 49 16 65
% of Total 75,4% 24,6% 100,0%