Upload
karina-apriela
View
217
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
elektrolit
Citation preview
GANGGUAN ELEKTROLIT
Elektrolit merupakan molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan, dan sel-
sel tubuh. Molekul ini, baik yang bermuatan positif (kation) dan negatif (anion),
mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan pH dan nilai asam basa dalam
tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan di antar dan di dalam sel melalui proses
yang dikenal sebagai osmosis; serta berperan serta dalam fungsi regulasi sistem
neuromuskular, endokrin, dan ekskresi.
Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu
(seperti, natrium, kalium, kalsium, dan magnesium) dalam darah. Obat-obatan, penyakit
kronik, dan trauma (seperti luka bakar, fraktur, dan lain-lain) dapat menyebabkan konsentrasi
elektrolit tertentu dalam tubuh menjadi terlalu tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo-). Jika
hal ini terjadi, dapat menghasilkan ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit.
Kata kunci: gangguan elektrolit; elektrolit; natrium; kalium; kalsium; magnesium; klorida
PENDAHULUAN
Terdapat beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan
klorida yang secara normal terdapat dalam tubuh. Elektrolit tersebut, yang juga dikenal
sebagai garam tubuh, diperlukan dalam jumlah tertentu di dalam tubuh. Namun, terkadang
kadar elektrolit dapat meningkat atau menurun dalam keadaan tertentu. Hal ini yang dikenal
sebagai gangguan elektrolit.2
NATRIUM
Natrium mengatur jumlah total air dalam tubuh. Selain itu, transmisi natrium keluar
dan masuk sel juga berperan penting dalam fungsi tubuh. Banyak proses dalam tubuh,
terutama di otak, sistem saraf, dan otot, yang memerlukan sinyal listrik untuk komunikasi.
Perpindahan natrium sangat penting dalam menyalurkan sinyal-sinyal listrik. Terlalu banyak
atau sedikit natrium dapat menyebabkan kerusakan sel.3
Kadar normal natrium dalam serum adalah 135–145 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan natrium per hari ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.5\
1
HIPERNATREMIA4
Hipernatremia hampir selalu disebabkan oleh kehilangan air melebihi kehilangan
natrium (kehilangan cairan hipotonik) atau retensi natrium dalam jumlah yang besar. Bahkan
ketika kemampuan ginjal untuk memekatkan urine rusak, rasa haus paling efektif mencegah
hiponatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sakit dan tidak bisa minum,
sangat tua, sangat muda, dan pasien tidak sadar. Pasien dengan hipernatremia dapat memiliki
jumlah total natrium tubuh yang rendah, normal, atau tinggi.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah
Pasien ini kehilangan baik natrium maupun air, tetapi kehilangan air melebihi
kehilangan natrium. Kehilangan hipotonik dapat disebabkan oleh renal (diuresis osmotik)
atau ektrarenal (diare atau berkeringat). Pada kasus lainnya, pasien biasanya memiliki
manifestasi berupa tanda-tanda hipovolemia. Konsentrasi natrium dalam urine biasanya lebih
dari 20 mEq/L pada sebab renal dan kurang dari 10 mEq/L pada sebab ekstrarenal.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal
Pasien ini umumnya bermanifestasi dengan kehilangan air tanpa hipovolemia berlebih
kecuali jika terjadi kehilangan air yang masif. Jumlah total natrium biasanya normal.
Kehilangan air yang murni dapat terjadi melalui kulit, traktus respiratorius, atau ginjal.
Penyebab utama hipernatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal adalah
diabetes insipidus (pada pasien sadar). Diabetes insipidus ditandai dengan rusaknya
kemampuan ginjal untuk memekatkan urine baik karena menurunnya sekresi ADH (diabetes
insipidus sentral) ataupun karena kegagalan ginjal untuk berespon normal terhadap ADH
sirkulasi (diabetes insipidus nefrogenik). Selain itu, ‘hipernatremia esensial’ dialami oleh
pasien dengan gangguan sistem saraf. Pasien ini memiliki osmoreseptor dengan ambang batas
osmolalitas yang tinggi.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi
Kondisi ini kebanyakan merupakan hasil dari pemberian larutan saline hipertonik
(NaCl 3% atau NaHCO3 7.5%). Pasien dengan hiperaldosteronisme primer dan sindroma
Cushing dapat mengalami sedikit peningkatan konsentrasi natrium serum sejalan dengan
peningkatan retensi natrium.
2
Manifestasi Klinis Hipernatremia
Manifestasi neurologis mendominasi pasien dengan hipernatremia dan biasanya
diakibatkan oleh dehidrasi selular. Kelemahan, letargi, dan hiperrefleksi dapat berlanjut
menjadi kejang, koma, bahkan kematian. Gejala ini lebih berhubungan dengan perpindahan
air keluar dari sel otak daripada kadar absolut hipernatremia. Penurunan cepat dari volume
otak dapat menyebabkan rupturnya vena cerebral dan mengakibatkan perdarahan fokal
intraserebral atau subarakhnoid. Kejang dan kerusakan neurologis serius biasa terjadi,
terutama pada anak dengan hipernatremia akut ketika kadar natrium plasma melebihi 158
mEq/L. Hipernatremia kronik biasanya lebih dapat ditoleransi daripada bentuk akut. Setelah
24–48 jam, osmolalitas intraseluler mulai meningkat akibat peningkatan konsentrasi inositol
dan asam amino (glutamin dan taurin). Sejalan dengan peningkatan zat terlarut intraseluler,
cairan dalam sel saraf pun mulai kembali normal.
Pengobatan untuk Hipernatremia
Pengobatan untuk hipernatremia bertujuan mengembalikan osmolalitas plasma ke
nilai normal sejalan dengan koreksi masalah yang mendasarinya. Kekurangan air sebaiknya
dapat dikoreksi dalam waktu 48 jam dengan larutan hipotonik seperti dekstrosa 5% dalam air.
Abnormalitas volume ekstraseluler juga harus dikoreksi. Pasien hipernatremia dengan
penurunan jumlah total natrium tubuh sebaiknya lebih dahulu diberi cairan isotonik untuk
mengembalikan volume plasma ke normal daripada terapi dengan larutan hipotonik. Pasien
hipernatremia dapat berujung pada kejang, edema otak, kerusakan neurologis permanen,
bahkan kematian.
Pertimbangan Anestesi
Hipovolemia dapat mencetuskan vasodilatasi atau depresi kardiovaskular dari agen
anestesi serta merupakan predisposisi untuk hipotensi dan hipoperfusi jaringan. Adanya
penurunan volume distribusi dari obat mengakibatkan perlunya penurunan jumlah obat untuk
kebanyakan agen intravena, di mana penurunan cardiac output dapat mempertinggi uptake
dari anestesi inhalasi.
Operasi elektif sebaiknya ditunda pada pasien dengan hipernatremia signifikan (>150
mEq/L) sampai sebabnya dapat diperbaiki dan kekurangan cairan dikoreksi. Kekurangan air
maupun cairan isotonik sebaiknya dikoreksi lebih dahulu daripada pelaksanaan operasi.
3
HIPONATREMIA4
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik oleh peningkatan absolut dari
TBW (Total Body Water) ataupun kehilangan natrium melebihi kehilangan air. Kapasitas
normal ginjal untuk mengencerkan urine dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg dapat
mengekskresikan lebih dari 10L air per hari, jika diperlukan. Oleh karena kemampuan yang
hebat ini, hiponetremia hampir selalu diakibatkan oleh defek pada kapasitas pengenceran
urine (osmolalitas urine 100mOsm/kg). Hiponatremia tanpa abnormalitas dari kapasitas
pengenceran ginjal (osmolalitas urine <100 mOsm/kg) biasanya dihubungkan dengan
polidipsia primer atau ‘reset’ osmoreseptor; kedua kondisi terakhir ini dapat dibedakan
dengan pembatasan cairan.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah
Kehilangan cairan yang mengakibatkan hiponatremia dapat berasal dari renal atau
ekstrarenal. Kehilangan akibat sebab renal, kebanyakan berhubungan dengan diuretik
thiazide dan menghasilkan kadar natrium urine lebih dari 20 mEq/L. Kehilangan akibat sebab
ekstrarenal biasanya berhubungan dengan gastrointestinal dan menghasilkan urine dengan
kadar natrium kurang dari 10 mEq/L. Pengecualian utama ialah hiponatremia akibat muntah,
yang dapat menghasilkan kadar natrium urine lebih dari 20 mEq/L. Hai ini disebabkan oleh
bikarbonaturia pada alkalosis metabolik yang disertai dengan ekskresi natrium untuk menjaga
netralitas muatan pada urine.
Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi
Kelainan edematosa ditandai dengan peningkatan baik jumlah total natrium tubuh
maupun TBW. Ketika peningkatan air melebihi natrium, hiponatremia terjadi. Kelainan
edematosa meliputi gagal jantung kongestif, sirosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik.
Hiponatremia pada keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan progesif dari ginjal untuk
mengekskresi air dan biasanya paralel dengan keparahan penyakit yang mendasarinya.
Mekanisme patofisiologinya meliputi penglepasan ADH nonosmotik dan penurunan aliran
cairan ke segmen pengenceran tubulus distal di nefron. Volume ‘efektif’ sirkulasi darah
berkurang.
Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal
Hiponatremia dengan tidak adanya edema atau hipovolemia dapat dilihat pada
insufisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme, terapi obat (klorpropamid dan siklofosfamid), dan
4
SIADH (Syndrome of Inappropriate AntiDiuretic Hormone). Hiponatremia yang
berhubungan dengan hipofungsi adrenal merupakan akibat dari ko-sekresi ADH dengan CRF
(Corticotrophin-Releasing Factor).
Manifestasi Klinis Hiponatremia
Gejala hiponatremia terutama berupa gangguan neurologis dan diakibatkan oleh
peningkatan air intraseluler. Tingkat keparahannya berhubungan dengan kecepatan terjadinya
hipoosmolalitas ekstraseluler. Gejala awal biasanya nonspesifik dan meliputi anoreksia, mual,
dan kelemasan. Edema otak yang progresif, bagaimanapun, mengakibatkan letargi, konfusi,
kejang, koma, bahkan kematian. Manifestasi serius dari hiponatremia umumnya berhubungan
dengan konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L.
Pengobatan Hiponatremia
Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan pada koreksi baik
penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium plasma. Saline isotonik umumnya
merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan penurunan jumlah total
natrium tubuh. Saat penurunan cairan ekstraseluler dikoreksi, diuresis air yang spontan akan
mengembalikan kadar natrium plasma ke normal. Hal sebaliknya, pembatasan cairan
merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan jumlah total natrium
tubuh yang normal atau meningkat. Terapi spesifik seperti penggantian hormon pada pasien
dengan hipofungsi adrenal atau tiroid, dan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan
cardiac output pada pasien dengan gagal jantung dapat diindikasikan. Demeclocycline, obat
yang mengantagonis aktivitas ADH pada tubulus renalis, sudah terbukti dapat menjadi terapi
tambahan yang berguna untuk pembatasan cairan pada pasien dengan SIADH.
Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia sering merupakan manifestasi yang serius dari penyakit yang
mendasarinya dan memerlukan perhatian terhadap evaluasi preoperatif. Konsentrasi natrium
plasma di atas 130 mEq/L umumnya dianggap aman untuk pasien yang akan dibius umum.
Konsentrasi natrium plasma sebaiknya dikoreksi hingga di atas 130 mEq/L untuk semua
operasi elektif, bahkan bila gejala tidak ada. Konsentrasi yang lebih rendah akan
menyebabkan edema otak yang dapat bermanifestasi intraoperatif yaitu penurunan MAC
(Minimum Alveolar Concentration) atau agitasi, konfusi, somnolen postoperatif.
5
KALIUM
Kalium, ion intraseluler utama dalam tubuh, berperan penting dalam menentukan
potensial membran sel. Walaupun konsentrasi kalium ekstraseluler rendah, kadar kalium pada
cairan ekstraseluler diregulasi secara hati-hati, karena perubahan pada konsentrasi
ekstraseluler dapat menimbulkan gangguan fungsi saraf dan kardiovaskular yang mengancam
jiwa. Perpindahan kalium antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluluer dapat
berhubungan dengan perubahan hormon serta pH pada cairan ekstraseluler.4
Kadar normal kalium dalam serum adalah 3.5–5.5 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan kalium ialah 1–2 mEq/hari.5
HIPERKALEMIA4
Hiperkalemia terjadi saat kadar kalium plasma melebihi 5.5 mEq/L. Hiperkalemia
jarang terjadi pada individu normal karena kapasitas ginjal yang luar biasa untuk
mengekskresi kalium. Ketika intake kalium meningkat, ginjal dapat mengekskresikan
sebanyak 500 mEq kalium per hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan penting
dalam mencegah peningkatan akut kadar kalium plasma.
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2)
penurunan ekskresi kalium di urine, dan (3) peningkatan intake kalium. Peningkatan palsu
konsentrasi kalium plasma dapat terjadi jika terdapat hemolisis sel darah merah pada
spesimen darah (kebanyakan disebabkan torniquet yang lama ketika mengambil darah).
HIPOKALEMIA4
Hipokalemia ditentukan saat kadar kalium plasma kurang dari 3.5 mEq/L dan dapat
terjadi oleh karena: (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2) peningkatan kehilangan
kalium, dan (3) intake kalium tidak adekuat.
Hipokalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen
Hal ini terjadi saat alkalosis, terapi insulin, pemberian β2-adrenergik agonis, dan
hipotermia. Hipokalemia juga dapat terjadi pada transfusi sel darah merah beku; di mana sel-
sel tersebut kehilangan kalium saat proses pengawetan.
Hipokalemia Akibat Peningkatan Kehilangan Kalium
Hal ini hampir selalu disebabkan oleh kelainan ginjal dan gastrointestinal.
Pengeluaran kalium melalui ginjal kebanyakan merupakan hasil dari diuresis atau
6
peningkatan aktivitas mineralokortikoid. Peningkatan kehilangan kalium dari gastrointestinal
kebanyakan disebabkan oleh muntah atau diare. Peningkatan pembentukan keringat kronik
biasanya menyebabkan hipokalemia, terutama saat intake kalium dibatasi. Dialisis dengan
larutan rendah kalium dapat pula menyebabkan hipokalemia.
Hipokalemia Akibat Penurunan Intake Kalium
Oleh karena kemampuan ginjal untuk menurunkan eskresi kalium rendah, yaitu 5-20
mEq/L, adanya penurunan intake kalium sangat berpengaruh terhadap terjadinya
hipokalemia. Intake kalium yang rendah, bagaimanapun, sering meningkatkan efek dari
peningkatan kehilangan kalium.
Manifestasi Klinik Hipokalemia
Efek kardiovaskular paling menonjol meliputi abnormalitas EKG, aritmia, penurunan
kontraktilitas jantung, dan tekanan darah arteri yang labil akibat disfungsi otonom.
Hipokalemia kronik juga dilaporkan dapat menyebabkan fibrosis miokardia. Manifestasi
EKG terutama ialah repolarisasi ventrikel yang tertunda (delayed ventricular repolarization).
Peningkatan automatisitas sel miokardium dan repolarisasi yang tertunda akan berkembang
menjadi aritmia atrium dan ventrikel.
Pengobatan Hipokalemia
Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman (60–80 mEq/hari).
Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan beberapa hari. Penggantian intravena
dengan larutan kalium klorida sebaiknya diberikan pada pasien dengan atau yang beresiko
terhadap manifestasi jantung atau kelemahan otot. Tujuan dari terapi intravena ini adalah
untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya daripada mengoreksi seluruh kekurangan
kalium. Penggantian kalium intravena perifer sebaiknya tidak melebihi 8 mEq/jam karena
efek iritatif dari kalium pada vena perifer. Larutan yang mengandung dekstrosa sebaiknya
dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder dapat
menurunkan kadar kalium plasma lebih jauh lagi.
Pertimbangan Anestesi
Hipokalemia umum ditemukan saat preoperatif. Keputusan untuk melakukan operasi
elektif sering didasarkan pada batas antara 3 dan 3.5 mEq/L. Keputusan ini, bagaimanapun,
sebaiknya juga didasarkan pada tingkat mana hipokalemia berkembang serta ada tidaknya
7
disfungsi organ sekunder. Umumnya, hipokalemia kronik ringan (3–3.5 mEq/L) tanpa
perubahan EKG tidak terlihat meningkatkan resiko anestesi. Hal tersebut tidak berlaku jika
pasien memperoleh digoxin, yang dapat meningkatkan resiko berkembangnya toksisitas
digoxin akibat hipokalemia.
Kalium intravena sebaiknya diberikan bila terjadi aritmia atrium atau ventrikel.
Larutan bebas glukosa sebaiknya digunakan dan hiperventilasi dihindari untuk mencegah
penurunan kadar kalium plasma lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas terhadap NMBAs
(NeuroMuscular Blocking Agents) dapat terlihat pada beberapa pasien. Dosis NMBAs
sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan untuk mengikuti
tingkat paralisis dan reverse yang adekuat.
KALSIUM
Ion kalsium berperan pada hampir semua fungsi esensial biologik tubuh, meliputi
kontraksi otot, pelepasan neurotransmiter dan hormon, koagulasi darah, serta metabolisme
tulang. Kalsium secara normal memasuki cairan ekstraseluler melalui absorpsi dari traktus
intestinal atau resorpsi tulang. Sebaliknya, kalsium meninggalkan kompartemen ekstraseluler
melalui (1) deposisi di tulang, (2) ekskresi urine, (3) sekresi ke traktus gastrointestinal, dan
(4) pembentukan keringat. Kadar kalsium ekstraseluler diregulasi oleh tiga hormon: hormon
paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon ini terutama bekerja pada tulang,
tubulus distal ginjal, dan usus halus.4
PTH merupakan regulator kalsium plasma yang paling penting. Penurunan kadar
kalsium plasma akan menstimulasi PTH, sedangkan peningkatan kadar kalsium plasma dapat
menghambat sekresi PTH. Efek kalsemik dari PTH berhubungan dengan (1) mobilisasi
kalsium dari tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, dan (3)
peningkatan tidak langsung absorpsi intestinal melalui 1.25-dihidroksikolekalsiferol yang
disintesis di ginjal.4
Vitamin D berupa 1.25-dihidroksikolekalsiferol mencetuskan absorpsi kalsium di
usus, memudahkan kerja PTH di tulang, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus
distal.4
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel parafolikuler
kelenjar tiroid. Sekresinya distimulasi oleh hiperkalsemia dan dihambat oleh hipokalsemia.
Kalsitonin menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urine.4
Kadar normal kalsium dalam serum adalah 2.38–2.66 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan kalsium ialah 0.2–0.3 mEq/kgBB/hari.5
8
HIPERKALSEMIA4
Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai gangguan. Pada
hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak terpengaruh oleh kadar
kalsium. Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme sekunder (gagal ginjal kronik atau
malabsorpsi), peningkatan kadar PTH merupakan respon dari hipokalsemia kronik.
Hiperparatiroidisme sekunder yang memanjang menyebabkan sekresi otomatis dari PTH,
mengakibatkan peningkatan atau normalnya kadar kalsium (hiperparatiroidisme tersier).
Pasien dengan kanker dapat mengalami hiperkalsemia dengan atau tanpa adanya
metastase tulang. Dektruksi tulang secara langsung atau sekresi mediator humoral dari
hiperkalsemia (substansi seperti-PTH, sitokin, atau prostaglandin) mungkin berperan pada
kebanyakan pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan turn-over kalsium
dari tulang dapat dialami oleh pasien dengan kondisi yang lebih jinak seperti penyakit Paget
dan imobilisasi kronik. Peningkatan absorpsi kalsium dari gastrointestinal dapat
menyebabkan hiperkalsemia pada pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan
peningkatan intake kalsium), hipervitaminosis D, dan penyakit granulomatosa (peningkatan
sensitivitas vitamin D).
HIPOKALSEMIA4
Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme biasanya berhubungan dengan hipokalsemia
simptomatik. Hiperparatiroidisme dapat disebabkan oleh pembedahan, idiopatik, atau bagian
dari defek endokrin multipel (kebanyakan akibat insufisiensi adrenal), atau berhubungan
dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium berhubungan dengan kegagalan sekresi
PTH dan efek antagonisnya pada tulang. Hipokalsemia selama sepsis juga dipikirkan akibat
supresi pelepasan PTH. Hipokalsemia oleh karena defisiensi vitamin D dapat diakibatkan
oleh berkurangnya intake (nutrisi), malabsorpsi vitamin D, atau abnormalitas metabolisme
vitamin D.
Pembentukan kelat antara ion kalsium dan ion sitrat pada pengawetan darah
merupakan sebab yang penting dari hipokalsemia perioperatif; mirip dengan penurunan
transien kadar kalsium plasma yang menyertai infus cepat dari albumin volume besar.
Hipokalsemia yang menyertai pankreatitis akut disebabkan oleh presipitasi kalsium dengan
lemak (penyabunan) yang diikuti oleh pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak;
hipokalsemia yang menyertai emboli lemak juga memiliki dasar yang serupa.
9
Penyebab lainnya dari hipokalsemia meliputi calcitonin-secreting medullary
carcinoma dari tiroid, penyakit metastase osteoblastik (kanker payudara dan prostat), dan
pseudohipoparatiroidisme (tidak respon terhadap hormon paratiroid). Hipokalsemia transien
juga dapat menyertai pemberian heparin, protamin, dan glukagon serta transfusi darah masif
(dari sitrat).
Manifestasi Klinis Hipokalsemia
Manifestasi meliputi parastesia, konfusi, stridor laringeal (laringospasme), spasme
karpopedal, spasme masseter, dan kejang. Iritabilitas jantung dapat menuju aritmia.
Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung, hipotensi, dan
keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga dilaporkan.
Pengobatan Hipokalsemia
Hipokalsemia simptomatik merupakan kedaruratan medis yang harus diterapi nsegera
dengan kalsium klorida (larutan 10% 3–5 ml) atau kalsium glukonat (larutan 10% 10–20
mL). Untuk mencegah presipitasi, kalsium intravena sebaiknya tidak diberikan dengan
larutan yang mengandung bikarbonat dan fosfat. Pada hipokalsemia kronik, kalsium oral
(CaCO3) dan penggantian vitamin D biasanya diperlukan.
Pertimbangan Anestesi
Hipokalsemia sebaiknya dikoreksi preoperatif. Kadar ion kalsium serial sebaiknya
diawasi intraoperatif pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis sebaiknya dihindari
untuk mencegah penurunan kadar kalsium lebih lanjut. Kalsium intavena dapat diberikan
menyertai tansfusi cepat dari produk darah berupa sitrat atau larutan albumin volume besar.
Efek potensiasi inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatil sebaiknya dapat
diperkirakan. Respon terhadap NMBAs tidak konsisten dan memerlukan pengawasan ketat
dengan stimulator saraf.
MAGNESIUM
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, berfungsi sebagai kofaktor
berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total magnesium tubuh yang disimpan di cairan
ekstraseluler, 67% terdapat di tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler.4
Kadar magnesium normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan magnesium ialah 0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.5
10
HIPERMAGNESEMIA4
Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan dengan kelebihan
intake (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium), kerusakan ginjal (GFR < 30
mL/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenik juga terjadi selama terapi
magnesium sulfat pada hipertensi gestational yang berpengaruh pada ibu dan janin. Penyebab
lainnya berupa insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium.
HIPOMAGNESEMIA4
Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit. Hipomagnesemia
umumnya berhubungan dengan defisiensi dari komponen intraseluler seperti kalium dan
fosfor. Defisiensi magnesium disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi
gastrointestinal, dan peningkatan ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis dapat menyebabkan
hipomagnesemia transien di mana ion magnesium diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan
yang dapat menyebabkan pengeluaran magnesium oleh ginjal meliputi etanol, teofilin,
diuretik, cisplatin, siklosporin, dan amfoterisin-B.
Manifestasi Klinis Hipomagnesemia
Kebanyakan pasien dengan hipomagnesemia tidak menunjukkan gejala, tetapi
anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesia, konfusi, ataksia, dan kejang dapat menonjol.
Hipomagnesemia biasanya berhubungan dengan hipokalsemia (kerusakan sekresi hormon
paratiroid) dan hipokalemia (akibat pembuangan oleh ginjal). Manifestasi jantung meliputi
iritabilitas listrik dan potensiasi intoksikasi digoxin; kedua faktor ini diperburuk oleh
hipokalemia. Hipomagnesemia juga berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi
atrium. Pemanjangan interval P–R dan QT dapat nampak seiring dengan hipokalsemia.
Pengobatan Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral (magnesium sulfat heptahidrat
atau magnesium oksida) atau intramuskular (magnesium sulfat). Menifestasi serius seperti
kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1–2 g (8–16 mEq atau 4–8 mmol)
diberikan secara lambat selama 15–60 menit.
11
Pertimbangan Anestesi
Walaupun tidak ada interaksi anestesi spesifik yang disebutkan, gangguan elektrolit
yang menyertainya seperti hipokalemia dan hipokalsemia sering terjadi dan harus dikoreksi
lebih dahulu dibandingkan dengan pelaksanaan operasi. Hipomagnesemia isolasi sebaiknya
dikoreksi sebelum prosedur elektif sebab dapat menyebabkan aritmia jantung. Lebih lanjut,
magnesium nampaknya memiliki efek antiaritmia intrinsik dan protektif terhadap otak, di
mana seringkali diberikan pada operasi bypass kardiopulmonar.
KLORIDA
Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih banyak pada
kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam darah. Klorida juga merupakan
bagian dari cairan sekresi lambung dan pankreas, keringat, kantung empedu, dan air liur.
Natrium dan klorida merupakan komposisi elektrolit terbesar dalam cairan ekstraseluler dan
berperan dalam menentukan tekanan osmotik. Klorida diproduksi dalam lambung, yang
dikombinaksikan dengan hidrogen untuk membentuk adam hidroklorida. Kontrol klorida
tergantung dari intake klorida, ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam
jumlah kecil dibuang dalam feses.6
Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau pemekatan yang terjadi
di cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara langsung proporsi konsentrasi natrium.
Osmolalitas serum paralel dengan kadar klorida. Sekresi aldosteron meningkatkan reabsorpsi
natrium, yang juga meningkatkan reabsorpsi klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi
cerebrospinal fluid di otak, bergantung pada natrium dan klorida untuk menarik air dan
membentuk proporsi dari cerebrospinal fluid.6
Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida berpindah dari plasma
menuju sel darah merah (disebut dengan chloride shift), bikarbonat berpindah kembali ke
plasma. Ion hidrogen terbentuk, yang kemudian membantu pelepasan oksigen dari
hemoglobin. 6
Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium, bikarbonat, dan klorida),
kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh. Klorida berperan dalam menjaga
keseimbangan asam basa dan bekerja sebagai buffer dalam pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam sel darah merah. Klorida diperoleh dari makanan seperti garam dapur.
Kadar normal klorida dalam serum ialah 97–107 mEq/L.6 Sedangkan kebutuhan
asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.5
12
HIPERKLOREMIA6
Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan hiperkloremia asidosis
metabolik oleh karena iatrogenik pemberian klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan NaCL
0.45%, atau larutan Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh kehilangan ion
bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan peningkatan ion klorida.
Ion klorida dalam bentuk garam asam terakumulasi, dan asidosis terjadi dengan menurunnya
ion bikarbonat. Trauma kepala, peningkatan produksi keringat, kelebihan hormon
mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju peningkatan kadar klorida
serum.
HIPOKLOREMIA6
Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal, suction lambung,
pembedahan lambung, muntah berat, dan diare. Pemberian larutan intravena dengan kadar
klorida rendah, intake natrium yang rendah, penurunan kadar natrium, alkalosis metabolik,
transfusi masif darah, terapi diuretik, luka bakar, dan demam dapat menyebabkan
hipokloremia. Pemberian aldosteron, ACTH, kortikosteroid, bikarbonat, dan laksatif dapat
menyebabkan penurunan kadar klorida serum. Saat klorida menurun (biasanya karena
penurunan volume), ion natrium dan bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk menyeimbangkan
kehilangan klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler, yang meningkatkan pH
dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Martin PF. Electrolyte Disorders. Available from:
http://www.healthline.com/galecontent/electrolyte-disorders. Diunduh tanggal: 18
Januari 2011
2. Pandit M. Electrolyte Imbalance Symptoms. Available from:
http://www.buzzle.com/articles/electrolyte-imbalance-symptoms.html. Diunduh
tanggal: 26 Januari 2011
3. Stöppler MC. Electrolytes. Available from:
http://www.medicinenet.com/electrolytes/article.html. Diunduh tanggal: 18 Januari
2011
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Managemen of Patiens with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2006; 28:662-689
5. Tashiro T. Buku Saku Nutrisi Klinik. 2nd ed. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia; 2003; 94.
6. Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL. Fluid and Electrolytes: Balance and Disturbance.
Brunner and Suddarth's Textbook of Medical-Surgical Nursing. 10th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2003;14:292-293
14