Upload
nunik-eka-diana
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Essay
Citation preview
GANGGUAN KESEHATAN UNGGAS AKIBAT ANTINUTRISI
DALAM BAHAN PAKAN
Pada dasarnya banyak bahan pakan unggas secara potensial mengandung satu
atau beberapa jenis antinutrisi. Hal ini berakibat terjadinya gangguan pertumbuhan,
bahkan gangguan kesehatan, apabila kandungan antinutrisi dalam bahan pakan yang
dikonsumsinya cukup tinggi.
Pengetahuan tentang kandungan antinutrisi dalam berbagai bahan pakan perlu
perlu dimiliki oleh formulator pakan, termasuk para peternak yang mencampur pakan
sendiri. Langkah ini sangat penting sebagai strategi untuk meminimalkan pengaruh-
pengaruh yang merugikan dari antinutrisi.
Telah dikembangkan metode-metode prosesing, baik secara fisik, mekanik
maupun kimiawi yang mungkin dapat diterapkan guna memerangi dan
menghilangkan antinutrisi dalam bahan pakan.
Berbagai Antinutrisi dalam Bahan Pakan
Berbagai jenis tanaman pangan memiliki potensi untuk mensintesis substansi
kimia tertentu sebagai mekanisme untuk mempertahankan diri dari gangguan infeksi
oleh jamur, bakteri dan insekta. Banyak di antara substansi kimia ini ternyata dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia maupun ternak yang
mengkonsumsinya. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan, seperti :
penurunan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), oleh karena dihambatnya
enzim pencernaan tertentu. Gangguan yang lain berupa gangguan kesehatan, seperti
gangguan pernapasan bahkan kematian. Selanjutnya senyawa-senyawa tersebut
dikenal dengan istilah antinutrisi.
Macam antinutrisi pada berbagai bahan pakan berlainan. Senyawa antinutrisi
yang sering ditemukan, antara lain : Protein inhibitor (penghambat protease),
goitrogen, nekaloid, oksalat, fitat, tannin, HCN dan gossipol. Antinutrisi tersebut
seringkali mengikat protein, zat-zat mineral, sehingga pemanfaatan gizi dalam bahan
pakan oleh ternak menjadi berkurang. Sebagai akibatnya akan menimbulkan
gangguan pertumbuhan pada ternak atau gangguan kesehatan yang lain.
Antinutrisi dalam bahan pakan kadang-kadang dihasilkan oleh metabolisme
jamur atau mikroba dalam bahan pakan, atau oleh tumbuhan itu sendiri sebagai
mekanisme untuk mempertahankan diri dari gangguan infeksi atau kelukaan. Hasil
samping atau sisa pengolahan bahan pakan seringkali menimbulkan efek toksik pada
ternak, hal ini diduga adanya kandungan nutrisi dalam bahan limbah atau sisa
pengolahan tersebut. Berikut ini disajikan beberapa bahan pakan dengan
kemungkinan zat-zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya.
Leguminosa
Leguminosa, seperti : kedelai dan kacang tanah merupakan sumber gizi
penting bagi ternak. Namun penggunaannya harus dibatasi, karena leguminosa
mengandung zat-zat antinutrisi, antara lain : Protein inhibitor (penghambat protease),
phytphaemagluttin (Lectin), urease, hypoxygenase, glukoside-sianogenik dan faktor-
faktor antivitamin. Hampir semua leguminosa mengandung unsur penghambat
tripsin, dan akan mengikat tripsin sehingga terbentuk suatu kompleks yang inaktif.
Sebagai akibatnya tripsin tidak dapat berfungsi. Keadaan ini menyerupai dengan
kejadian gangguan sintesis tripsin oleh pankreas. Sebagai konsekuensinya, pankreas
akan mengalami hipertrofi untuk mensintesis tripsin secara berlebih. Hipertrofi
pankreas akan diikuti hambatan pertumbuhan dan menurunnya efisiensi pakan.
Protein inhibitor ternyata mudah diinaktifkan oelh panas.
Antinutrisi lain yang hampir selalu ditemukan dalam leguminosa adalah
phytohaemagluttin atau lectin, yang memegang peran penting dalam simbiosis antara
legum dengan bakteri pengikat nitrogen. Lectin terikat secara reversibel dengan gula-
gula yang berkombinasi dengan protein (glikoprotein) pada permukaan mikrovilli
usus halus, dan menimbulkan lesi-lesi serta perkmbangan mikrovilli yang tidak
no9rmal serta gangguan absorbsi nutrisi lewat dinding intestinum. Gangguan absorbsi
(malabsorbsi) dapat terjadi terhadap vitamin B12, glukosa dan asam-asam amino.
Gangguan transport ion lewat intestinum, tidak tercernanya karbohidrat dan protein
bisa terjadi. Adanya lectin pada epithelium intestinum yang reseptornya terdapat di
glikoprotein antara intestinum dengan permukaan bakteri enterik, merupakan perekat
antara intestinum dengan bakteri. Pertumbuhan berlebih bakteri coliform telah
dilaporkan terjadi pada ayam yang ransumnya mengandung kedelai tanpa perlakuan
(prosesing) sebelum penggunaannya sebagai bahan pakan. Lectin menimbulkan lesi-
lesi pada ephitelium intestinum yang diikuti dengan dikeluarkannya endotoksin
bakteri yang masuk ke peredaran darah dan menggangu kesehatan ternak. Ayam
muda sangat sensitif terhadap lectin.
Kedelai juga mengandung urease, yaitu suatu enzim yang berperan untuk
menghidrolisis urea menjadi ammoniak dan CO2.
Goitrogen juga dihasilkan oleh kedelai dan kacang tanah. Goitrogen
merupakan senyawa yang berhubungan dengan aktivitas fungsi kelenjar thyroid.
Cyanogenic-glukoides merupakan senyawa yang membebaskan HCN pada
proses hidrolisis, terdapat pada semua leguminosa.
Faktor antivitamin mungkin ditemukan pada leguminosa, yaitu antivitamin E,
sehingga berakibat terjadinya penurunan tocoferol yang menimbulkan dystrophia
otot pada ayam.
Alipoxidase ditemukan pada kulit kedelai yang akan menurunkan vitamin A
dengan cara merusak karoten.
Protease inhibitor, lectin, urease dan faktor-faktor antivitamin serta
lipoxygenase dapat dirusak oleh panas. Besarnya tingkat kerusakan tergantung kepada
tinggi rendahnya temperatur pemanasan, lama pemanasan, ukuran partikel dan
kondisi-kondisi penguapan. Fermentasi merupakan suatu metode untuk menurunkan
level tripsin inhibitor. Germinasi juga merupakan cara untuk memperbaiki nilai gizi
pada kedelai.
Karbohidrat yang sulit dicerna juga merupakan antinutrisi. Kira-kira 40% dari
tepung kedelai disusun oleh serat kasar, polisakarida serta oligosakarida yang
bervariasi. Diketahui sekitar 15 -22% polisakarida dibentuk oleh acidic polisakarida
sebesar 8 – 10%, arabinogalaktan sebesar 5%, selulosa 1,2% dan starch 0,5%.
Senyawa terakhir tidak dapat dicerna oleh ayam. Starch dan mannan tidak sensitif
terhadap pemanasan dan merupakan antinutrisi bagi ayam. Oligosakarida dalam
kedelai merupakan karbohidrat yang mudah dicerna, akan tetapi menghasilkan
TMEn(Energi termetabolisme sesungguhnya) yang rendah. Sebagai bahan makanan
unggas, biji kedelai memang tidak digunakan dalam bentuk mentah, akan tetapi dalam
bentuk bungkil kacang kedelai yang merupakan limbah dari proses pembuatan
minyak kedelai, dan digunakan sebagi pendamping tepung ikan, sehingga penggunaan
tepung ikan tidak berlebihan.
Penggunaan bungkil kacang tanah untuk unggas kira-kira 0% - 25%.
Penggunaannya untuk membantu menggantikan jagung kuning dan minyak nabati
guna memenuhi kebutuhan energi. Kelemahan penggunaan bungkil kacang tanah
adalah ketersediaannya yang terbatas, hanya ada di daerah-daerah yang memiliki
pabrik pengolah kacang tanah serta penyimpanan bungkilnya yang sulit, karena
mudah tercemar oleh Aspergillus flavus, yaitu jamur yang menghasilkan racun
berbahaya bagi ayam.
Singkong (ubi kayu)
Singkong (ubi kayu) sebagai bahan makanan memang tidak pernah dimakan
dalam bentuk mentah sebagaimana ubi manis. Secara fisik, apabila ubi kayu dibuka
kulitnya dan dibiarkan, tidak segera digoreng atau direbus, maka akan berubah warna
menjadi kebiru-biruan. Hal ini menunjukkan adanya sesuatu zat yang perlu
diperhatikan secara serius. Namun apabila ubi kayu t digoreng, dibakar atau direbus,
maka zat yang kebiru-biruan tersebut akan punah. Oleh karena itu diperlukan proses
tertentu sebelum ubi kayu digunakan.
Kandungan energi ubi kayu ± 2970 Kkal/kg, mengalahkan energi dalam
dedak, kacang kedelai dan bungkil kelapa. Oleh karena itu ubi kayu banyak diberikan
kepada unggas pedaging yang memang memerlukan energi tinggi, seperti : ayam
broiler, bebek, angsa dan sejenisnya, tetapi tidak diperlukan untuk anggas petelur.
Cyanogenic-glucosides merupakan senyawa toksik yang terkandung dalam ubi
kayu dan merupakan mekanisme pertahanan tubuh bagi tumbuhan ubi kayu untuk
melindungi dirinya dari serangan insekta. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ubi
kayu mentah tidak dapat digunakan untuk ternak.
Linamarin termasuk dalam Cyanogenic-glucoside. Adanya enzim hidrolitik
berupa ß-glycosidase, linamarin akan terurai dan menghasilkan aseton, glukosa dan
HCN. Terbebasnya HCN inilah yang menyebabkan keracunan pada ternak. Enzim ß-
glycosidase merupakan protein yang mudah rusak selama pemanasan. Jika enzim
tersebut rusak, maka tidak mampu mengkatalisis pembebasan HCN yang toksik tadi.
Pemanasan di bawah matahari terbuka, direbus atau dipanaskan dalam oven dalam
temperatur 700C hingga 800C dapat mengurangi pengaruh racun HCN dalam ubi
kayu.
Ubi kayu juga mengandung tripsin inhibitor dan khemotripsin inhibitor,
meskipun dalam kadar rendah. Antinutrisi ini bisa dirusak dengan cara pemanasan.
Biji Kapas
Biji kapas sebagai bahan pakan ternak dibatasi penggunaannya, karena
mengandung zat antinutrisi yang dikenal dengan sebutan ”gossipol”. Gossipol
merupakan senyawa polifenol dan menyebabkan pucatnya kuning telur pada ayam
atau unggas petelur. Bagi tumbuhan kapas, gossipol merupakan senyawa yang
berperan penting dalam mekanisme pertahanan diri terhadap serangan insekta.
Gossipol bersifat sangat toksik bagi ruminansia maupun monogastrik muda.
Lesi-lesi pada jantung, saluran reproduksi, paru-paru dan hati terjadi pada ayam dan
ruminansia. Oleh adanya gossipol, jika biji kapas digunakan pada ayam petelur, maka
akan terjadi kepucatan pada warna kuning telur.
Sumber Bacaan :
Mohiuddin, S. M., 2000. Handling Mycotoxin Contaminated Feedstuff. Poultry International. Juni, 2000.
Makfoeld, D., 1993. Mikotoksin Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Penerbit Kanisius, yogyakarta.
Nagalakshmi, D. & Rao, Rama S. R., 2000. Fatty Liver syndrome in Layers. Poultry International. Desember, 2000.
Rahayu, ID., 2000. Mengatasi Stres Panas Pada Ayam. Poultry Indonesia. Edisi Mei 2000.
---------------, 2001. Mengatasi Mikotoksin sebagai kontaminan Bahan Pakan Ternak. Poultry Indonesia. Edisi April 2001.
---------------, 2001. Sindrome Hati Berlemak pada Ayam Petelur. Poultry Indonesia. Edisi Juli 2001.
Rao, Rama S. R. & Nagalakshmi, 1998. Shell Quality and Heat Stress. Poultry
International. September, 1998. Tabbu, C.R., 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Asal
Parasit, Noninfeksius dan Etiologi Kompleks. Vpolume 2. Cetakan ke-1. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.