Upload
zazu-setyas
View
18
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
m
Citation preview
GAWAT JANIN
Gawat janin menunjukkan suatu keadaan bahaya yang relatif dari janin
yang secara serius, yang mengancam kesehatan janin.1 Istilah gawat janin (fetal
distress) terlalu luas dan kurang tepat menggambarkan situasi klinis.
Ketidakpastian dalam diagnosis gawat janin yang didasarkan pada interpretasi
pola frekuensi denyut jantung janin menyebabkan munculnya istilah-istilah
deskriptif misalnya “reassuring” (meyakinkan) atau “nonreassuring” (meragukan,
tidak meyakinkan).2 Gawat janin juga umum digunakan untuk menjelaskan
kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk
yaitu menyebabkan kerusakan atau kematian janin jika tidak diatasi secepatnya
atau janin secepatnya dilahirkan. Hipoksia ialah keadaan jaringan yang kurang
oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang kurang. Asidemia
ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan menurunnya fungsi
respirasi atau akumulasi asam.
Kegawatan yang kronik dapat timbul setelah suatu periode waktu yang
panjang selama periode antenatal bila status fisiologis dari unit ibu-janin-plasenta
yang ideal dan normal terganggu. Hal ini dapat dipantau melalui evaluasi dari
pertumbuhan janin intar uteri, keadaan biofisikal janin, cordosintesis, dan
velosimetri Doppler. (springer) Gawat janin akut disebabkan oleh suatu kejadian
yang tiba-tiba yang mempengaruhi oksigenasi janin 1. Gawat janin selama
persalinan menunjukkan hipoksia (kurang oksigen) pada janin. Tanpa oksigen
yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan
menunjukkan deselerasi (perlambatan) lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia
menetap, glikolisis (pemecahan glukosa) anaerob menghasilkan asam laktat
dengan pH janin yang menurun.
Sebagian besar diagnosis gawat janin didasarkan pada pola frekuensi
denyut jantung. Penilaian janin ini adalah penilaian klinis yang sarna sekali
subyektif dan pastilah memiliki kelemahan dan harus diakui demikian. Salah satu
penjelasannya adalah bahwa pola-pola ini lebih merupakan cerminan fisiologi
daripada patologi janin. Pengendalian frekuensi denyut jantung secara fisiologis
terdiri atas beragam mekanisme yang saling berkaitan dan bergantung pada aliran
darah serta oksigenasi. Selain itu, aktivitas mekanisme-mekanisme pengendali ini
dipengaruhi keadaan oksigenasi janin sebelumnya, seperti tampak pada
insufisiensi plasenta kronik, sebagai contoh. Yang juga penting, jika janin
menekan tali pusat, tempat aliran darah terus menerus mengalami gangguan.
Selain itu, persalinan normal adalah proses yang menyebabkan janin mengalami
asidemia yang semakin meningkat (Rogers dkk., 1998). Dengan demikian,
persalinan normal adalah suatu proses saat janin mengalami serangan hipoksia
berulang yang menyebabkan asidemia yang tidak terelakkan. Dengan kata lain,
dan dengan beranggapan bahwa “asfiksia” dapat didefinisikan sebagai hipoksia
yang menyebabkan asidemia, persalinan normal adalah suatu proses yang
menyebabkan janin mengalami asfiksia.2
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat janin
terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Penurunan aliran
darah plasenta akibat kontraksi dapat menyebabkan kompresi terhadap tali pusat.
Sehingga pada wanita yang mengalami persalinan lama hal ini dapat
menyebabkan kegawatan pada bayi melalui mekanisme di atas. Kegawatan akut
dapat terjadi akibat abrupsio plasenta, prolaps tali pusat (terutama dengan
presentasi bokong), keadaan hipertonik uterine dan penggunaan oksitosin.
Hipotensi dapat terjadi akibat anestesi epidural atau posisi supine, dimana hal ini
dapat mengurangi aliran darah vena cava kembali ke jantung. Penurunan aliran
darah pada hipotensi dapat menyebabkan kegawatan pada janin.5,6
Hendaknya kita dapat menganalisa kondisi janin dan ibu,untuk kemudian
membuat pemeriksan khusus dalam membuktikan kebenaran analisa tersebut.
Kondisi klinik yang berkaitan dengan hipoksia ialah :
1. Kelainan pasokan plasenta : solutio plasenta, plasenta previa, postterm,
prolapsus tali pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan janin terhambat,
isufisiensi plasenta
2. Kelainan arus darah plasenta : hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi
hipertonik,
3. Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit jantung.
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang , maka janin akan mengalami
retardasi organ bahkan risiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya
redistribusi aliran darah yang akan ditujukan pada organ penting seperti otak dan
jantung dengan mengorbankan visera (hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari
volume cairan amnion yang berkurang (oligohidramnion). Bradikardia yang
terjadi merupakan mekanisme dari jantung dalam bereaksi dari baroreseptor
akibat tekanan (misalnya hipertensi pada kompresi tali pusat) atau reaksi
kemoreseptor akibat asidemia.
Hal – hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan keadaan Gawat Janin:
Denyut jantung janin (DJJ)
Dellinger dkk. (2000) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi
denyut jantung janin intrapartum pada 898 kehamilan dengan menggunakan suatu
sistem klasifikasi yang mereka rancang sendiri. Pola frekuensi denyut jantung
janin selarna persalinan sebelum pelahiran diklasifikasikan sebagai “normal”,
“stres”, atau “gawat”. “Gawat” janin didiagnosis pada 8 (1 persen) rekaman dan
70 persen diklasifikasikan sebagai “normal”. Hampir sepertiga adalah pola
intermediet. Yang digolongkan ke dalam “gawat” janin antara lain tidak adanya
variabilitas plus deselerasi larnbat atau deserasi variabel sedang sampai parah atau
denyut basal kurang dari 110 dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir seperti
seksio sesarea, asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif secara
bermakna berkaitan dengan pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini
menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi mereka secara akurat dapat memprediksi
hasil akhir normal bagi janin serta membedakan gawat janin yang sesungguhnya. 2
Singkatnya, setelah lebih dari 30 tahun pengalaman dengan interpretasi pola
frekuensi denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bukti bahwa beberapa
kombinasi pola frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk
mengidentifikasi janin normal dan abnormal parah. Pola gawat janin yang sejati
tampaknya berupa tidak adanya variabilitas denyut-demi-denyut disertai
deselerasi berat atau perubahan frekuensi basal persisten atau keduanya. Salah
satu penjelasan mengapa manfaat pemantauan frekuensi denyut jantung sulit
dibuktikan secara ilmiah adalah gawat janin semacam itu jarang terjadi sehingga
sulit dilakukan uji klinis yang sahih (Hornbuckle dkk., 2000). 2
Pemantauan dan pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinyu dalam
hubungan dengan kontraksi uterus memberikan sutu penilaian kesehatan janin
yang sangat membantu selama persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan janin
merupakan keterangan dari reaktifitas janin yang normal.2
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin:
1.Bradikardi.
Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.
2.Takikardi.
Akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>160) dapat dihubungkan
dengan demam pada ibu yang sekunder terhadap infeksi intrauterine. Prematuritas
atropine juga dihubungkan dengan denyut jantung janin yang meningkat.
3.Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun.
Yang berarti depresi system saraf otonom janin oleh medikasi ibu (atropine ,
skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesic narkotik).
4.Pola deselerasi.
Deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi
uteriplasenter. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi
uterus adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukkan kompresi sementara
waktu saja dari pembuluh darah umbilicus. Peringatan tentang peningkatan
hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas,
bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.4,7
Air ketuban hijau dan kental (mekonium)
Mekonium akan keluar dari usus pada keadaan stres hipoksia, telah terbukti
bahwa pasase mekonium disebabkan karena rangsangan saraf dari saluran
pencernaan yang sudah matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi
matur, terjadi stimulasi vagal dari kepala atau kompresi tali pusat yang akan
menyebabkan timbulnya peristaltik dan relaksasi dari spinkter ani yang
menyebabkan keluarnya mekonium. Walaupun etiologinya belum dipahami
dengan baik, namun efek dari mekonium telah diketahui.8,9
Pasase mekonium pada janin yang matur difasilitasi oleh myelinisasi serabut
saraf, peningkatan tonus parasimpatis dan bertambahnya konsentrasi motilin
(suatu peptida yang yang merangsang kontraksi usus). Ditemukan adanya
hubungan antara kejadian gawat jain dengan peningkatan kadar motilin. 8,9
Mekonium secara langsung merubah air ketuban, menekan efek antibakteri dan
selanjutnya meningkatkan risiko infeksi perinatal, juga dapat mengiritasi kulit
janin sehingga meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun komplikasi
yang paling berbahaya dari keluarnya mekonium in utero adalah aspirasi air
ketuban yang mengandung mekonium sebelum, selama dan sesudah persalinan.8
Mekonium menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas. Mekonium yang
teraspirasi ke jalan nafas akan menimbulkan fenomena katup bola dimana udara
yang melewati mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal
pada saat ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi ekspirasi paru, kapasitas
residu fungsional dan diameter anteroposterior rongga dada.9
Udara yang terjebak di bagian distal saluran pernafasan menyebabkan
hiperekspansi alveoli dan atelektasis dan menimbulkan terjadinya ventilasi yang
tidak seimbang dan shunt intrapulmoner. Kebocoran udara terjadi pada sekitar 50
% bayi dengan aspirasi mekonium, dan umumnya terjadi pada saat dilakukan
tindakan resursitasi. Hipertensi pulmonar merupakan komplikasi yang sering
ditemukan.8,9
Aspirasi mekonium merupakan penyebab utama dari penyakit yang berat dan
kematian pada bayi baru lahir. Pendidikan obstetri sepanjang abad ini
mengajarkan konsep bahwa keluamya mekonium kemungkinan merupakan
peringatan adanya asfiksia janin. J.Whitridge Williams mengamati pada tahun
1903 bahwa “tanda khas ancaman asfiksia adalah keluamya mekonium”. Ia
menyatakan bahwa keluamya mekonium disebabkan oleh “relaksasi otot sfingter
ani yang dipicu oleh kurangnya aerasi darah janin”. Namun, para ahli kebidanan
juga telah lama menyadari bahwa deteksi mekonium selama persalinan
menimbulkan masalah dalam memprediksi asfiksia atau gawat janin. Memang,
walaupun 12 sampai 22 persen persalinan pada manusia dipersulit oleh
mekonium, hanya sedikit yang mengakibatkan kematian bayi. Dalam sebuah
penelitian baru-baru ini di Parkland Hospital, mekonium terbukti sebagai bahaya
obstetris “risiko-rendah” karena angka kematian perinatal yang disebabkan oleh
mekonium adalah 1 kematian per 1000 kelahiran hidup (Nathan dkk.,1994). Tiga
teori diajukan untuk menjelaskan keluamya mekonium dari janin dan mungkin,
sebagian menjelaskan korelasi yang lemah antara deteksi mekonium dan
mortalitas bayi. Penjelasan patologis menyatakan bahwa janin mengeluarkan
mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dengan demikian mekonium
merupakan tanda gangguan janin (Walker, 1953). Penjelasan lain, keluamya
mekonium in utero mungkin merupakan pematangan normal saluran cerna di
bawah kontrol saraf (Mathews dan Warshaw, 1979). Ketiga, keluamya mekonium
juga terjadi setelah stimulasi vagus akibat terjepitnya tali pusat yang sering terjadi
tetapi berlangsung singkat dan menyebabkan peningkatan peristalsis (Hon et al.,
1961). Dengan demikian, pengeluaran mekonium oleh janin juga mungkin
mencerminkan proses fisiologis. 2
Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir 8000 persalinan yang air ketubannya
tercemar mekonium di Parkland Hospital. Sindrom aspirasi mekonium secara
bermakna berhubungan dengan asidemia janin saat lahir. Hal-hal lain yang secara
bermakna berkaitan dengan aspirasi antara lain seksio sesarea, pemakaian forseps
untuk mempercepat kelahiran, kelainan frekuensi denyut jantung intrapartum,
penurunan skor Apgar, dan perlunya bantuan ventilasi saat lahir. Analisis jenis
asidemia janin berdasarkan gas darah tali pusat menunjukkan bahwa gangguan
janin yang menyertai sindrom aspirasi mekonium merupakan suatu kejadian yang
akut karena sebagian besar janin asidemik lebih memperlihatkan peningkatan
abnormal PC02 daripada asidemia metabolik murni. 2
Yang menarik, hiperkarbia pada janin domba terbukti memicu janin tersengal-
sengal (gasping) dan menyebabkan peningkatan inhalasi cairan amnion (Dawes
dkk., 1972). Jovanovic dan Nguyen (1989) mengamati bahwa mekonium yang
terhirup ke dalam paru menyebabkan sindrom aspirasi hanya pada janin hewan
yang mengalami asfiksia. Ramin dan rekan (1996) berhipotesis bahwa
patofisiologi sindrom aspirasi mekonium melibatkan, tetapi tidak terbatas pada:
hiperkarbia janin-yang merangsang respirasi janin sehingga terjadi aspirasi
mekonium ke dalam alveolus, dan kerusakan parenkim paru akibat asidemia yang
memicu kerusakan sel alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium
dalam cairan amnion lebih merupakan suatu bahaya potensial yang terdapat di
lingkungan janin daripada menjadi penanda sudah terjadinya suatu gangguan.
Rangkaian proses patofisiologi yang dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh,
karena tidak memperhitungkan sekitar separuh kasus sindrom aspirasi mekonium
dengan janin yang tidak mengalami asidemia saat lahir. Disimpulkan bahwa
tingginya insiden ditemukannya mekonium dalam cairan amnion selama
persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi saluran cerna janin yang
merupakan proses fisiologis normal. Namun, mekonium ini dapat menjadi suatu
bahaya potensial lingkungan apabila disertai asidemia janin. Yang penting,
asidemia janin tersebut terjadi secara akut sehingga aspirasi mekonium tidak dapat
diperkirakan dan besar kemungkinannya tidak dapat dicegah. 2
Pemeriksaan pH darah janin
Contoh darah janin memberikan informasi yang objektif tentang status asam basa
janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu sensitive terhadap
perubahan-perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat
diduga bahkan bila janin itu dalam keadaan sehat dan hanya memberi reaksi
terhadap stress dari kontraksi uterus selama persalinan. Oleh karena itu,
pengukuran pH kapiler janin dikombinasikan dengan pemantauan denyut jantung
janin memberikan informasi kesehatan janin yang dapat dipercaya dibandingkan
jika hanya melakukan pemantauan denyut jantung janin saja. 4,10
Pengambilan contoh darah janin diindikasikan bilamana pola denyut jantung janin
abnormal atau kacau. Jika pH kulit kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini
menandakan pH normal. Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20
menandakan hipoksia janin dengan asidosis. Jika hal ini terdeteksi maka persiapan
kelahiran segera dilakukan. Sksiosesaria dianjurkan, kecuali jika kelahiran
pervaginam sudah dekat. 1,7
Jika terjadi pH patologis, hal ini membuat rangsangan pada kemoreseptor, yang
mengakibatkan :
- Takikardi.
- Irama detak jantung irreguler ; rangsangan saraf simpatikus dan saraf vagus
yang bersamaan.
- Detak jantung menurun dan irama tidak teratur.
- Rangsangan saraf vagus mempengaruhi sfingter ani terbuka sehingga
mekonium keluar.
- Metabolisme anaerobik membuat cadangan glukosa menurun dan kontraksi
melemah sehingga terjadi kegagalan total dan janin mati.
Daftar Pustaka
1. Benzion T. 1994. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi.
Jakarta, EGC.
2. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins
Gea. Intrapartum Assessment.. 2002. Williams obstetrics. Ed.22.
Stamford: Appleton and Lange.
3. Hariadi R. Gawat Janin. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1.
Surabaya : Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia.
4. Sutrisno, kurnia E. Fetal Distress (Gawat Janin) . Available at:
URL:http://kbi.gemari.or.id/indexberita.php?catId=1. Accessed June
27,2009
5. The Cleveland Clinic Foundation. Fetal Distress. Available at : URL:
http://my.clevelandclinic.org/healthy_living/Pregnancy/hic_Fetal_Distress
.aspx#content. Accessed June 27,2009
6. Reece EA, Hobbins J. Normal and Abnormal placentation. 2007.
Clinical Obstetrics : The Fetus and Mother. Ed.3. Massachusetts:
Blackwell
7. DeCherney AH, Nathan L. Methods of Assessment for Pregnancy at
Risk. 2003. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment.
Ed.9. California : The McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Clark D, Clark M. Meconium aspiration syndrome. Available at: URL:
http://www.e.medicine.com/cgi-bin/foxweb.exe/screen@do/em/ga?
book=ped&authroid=543&topicid=768. Accessed June 27, 2009.
9. Klingner M, Kruse J. Meconium aspiration syndrome : pathophysiology
and prevention. J Am Board Fam Pract 1999.
10. Datta S. Fetal Distress. 2004. Anesthetic and obstetric management of
high-risk pregnancy.
http://www.dokterirga.com/gawat-janin-2/