Upload
qomariah-ria
View
93
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat mini
Citation preview
I. PENDAHULUAN
Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Hormon kortikosteroid sendiri merupakan suatu kelompok
hormon steroid yang dihasilkan sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada
banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya respon terhadap stres, sistem
kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.1
Kortikosteroid dan derivat biologinya diklasifikasikan berdasarkan aktivitas
metaboliknya (glukokortikoid) dan regulasi elektrolitnya (mineralokortikoid)
terhadap metabolisme karbohidrat dan protein. Golongan glukokortikoid adalah
kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan
khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol
dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid
sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.2
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan
deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip
dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak
mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol,
meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi
karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.2,3
II. GLUKOKORTIKOID SISTEMIK
II.1 Farmakologi
Semua steroid termasuk glukokortikosteroid, memiliki struktur berupa
rantai siklopentanoperidofenantren, yang tersusun atas empat rantai dasar
kolesterol, tiga rantai hexana dan satu rantai pentana. Modifikasi pada struktur
empat rantai dasar glukokortikosteroid menghasilkan steroid sintesis dengan
potensi anti inflamasi, efek mineralokortokoid, durasi aksi (waktu paruh) dan
metabolisme yang bervariasi. Perubahan pada struktur dasar yang sama pada
molekul glukokortikostreroid menghasilkan agen topikal yang bervariasi dengan
perbedaan solubilitas, kemampuan lipofilik, kemampuan absorbsi perkutaneus,
dan aktivitas reseptor pengikat glukokortikoid. 1,4
Gambar 1. Struktur kimia kortisol (hidrokortison)4
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari
plasma. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian
dengan bantuan enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom
karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol
yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada
keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.4
Dalam korteks adrenal, kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus
disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk
beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya
disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.4
Tabel 1. Farmakologi Glukokortikoid4
Dosis
equivale
n
Potensi
glukokortikoid
Potensi
mineralokortikoid
Durasi
kerja
(jam)
Waktu paruh
(menit)
Short acting
Kortison 25 0,8 1,6 8-12 60
Hidrokortison 20 1 0,8 8-12 90
Intermediate acting
Prednison 5 4 0,25 24-36 60
Prednisolon 5 4 0,25 24-36 200
methylprednisolon 4 5 0 24-36 180
Tiamsolon 4 5 0 24-36 300
Long acting
Dexamethason 0,75 25-30 0 36-54 200
Betamethason 0,6 30-35 0 36-54 200
II.2 Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif
pada jaringan target, kemudian berikatan dengan reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan bentuk, kemudian menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Induksi sintesis protein ini merupakan efek fisiologis steroid. Pada beberapa
jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis
protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon
steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik
terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.1,4
Gambar 2. Mekanisme kerja glukokortikoid.4
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi
metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan, dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam
sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal,
kortisol disekresi sebanyak 10-20 mg setiap hari. Pada plasma, kortisol terikat
dengan protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan
dengan globulin-α2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan langsung
pada sel target. Jika kadar kortisol dalam plasma melebihi 20-30%, CBG menjadi
jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid
sintetis seperti dexametason, lebih banyak berikatan dengan albumin daripada
CBG.4
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi normalnya sekitar 60-90 menit, waktu
paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol)
diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme, atau
penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi melalui urin sebagai kortisol bebas,
sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan
reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia
sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein. Prednison adalah
prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam
tubuh.4
2.2.1 Anti inflamasi
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara
mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit
fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan
fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap
cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid
lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan
ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.
Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan
molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh
glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa
kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit,
eosinofil, dan basofil dalam sirkulasi berkurang jumlahnya. Perubahan maksimal
terjadi dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut
disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang
dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan
jumlah sel pada tempat inflamasi.4
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel.
Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan.
Efek terhadap makrofag tersebut terutama dengan membatasi kemampuannya
untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor
nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi
inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrin, dan platelet-
aktivating factor.1,4
2.2.2 Anti proliferatif
Fungsi glukokortikoid lainnya adalah sebagai antiproliferatif. Melalui
proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan dengan
kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan.
Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau
menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-
proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid
juga dapat menstabilkan membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat
merusak jaringan tidak dikeluarkan.3,5
2.2.3 Immunosupresif
Efek imunosupresi kortikosteroid terjadi karena kemampuannya dalam
menekan produksi dan kerja dari faktor humoral yang terlibat dalam respon
inflamasi untuk menghambat migrasi leukotrin ke daerah inflamasi, dan
mengganggu fungsi granulosit, sel endotel, sel mast, dan fibroblast.5
2.2.4 Vasokonstriksi
Pada pembuluh darah, glukokortikoid meningkatkan sensitivitas otot polos
terhadap agen stres, seperti katekolamin dan angiotensin II, yang akan
mengurangi nitrit oksida (mediator dilatasi endotel).2
II.3 Dosis Glukokortikoid Sistemik
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,
intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dari
keparahan penyakit.6
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial
dose yang dugunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga
beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu,
kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan
masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek
samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi
umpan balik yang maksimal dari sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari
kadar kortikosteroid rendah dan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis
rendah dari prednison (2,5- 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan
untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.6
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4
minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari
dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang
baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti
dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal
pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari.
Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit
dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari
pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat
tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya
5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang
sehari.7
Tabel 2. Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya7
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis
Erupsi alergi obat ringan
SJS berat dan NET
Eritrodermia
Reaksi lepra
DLE
Pemfigoid bulosa
Pemfigus vulgaris
Pemfigus foliaseus
Pemfigus eritematosa
Psoriasis pustulosa
Reaksi Jarish-Herxheimer
Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Deksametason 6x5 mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 40-80 mg
Prednison 60-150 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 4x10 mg
Prednison 20-40 mg
II.4 Efek Samping
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai manfaat dan indikasi
klinis yang sangat luas. Manfaat dari obat ini cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya
dibatasi. Beberapa efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang antara
lain:4
Pengurangan produksi kortisol. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka
kelenjar adrenal memproduksi sedikit kortisol karena adanya penekanan pada
axis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Sampai dua belas bulan setelah
steroids dihentikan, respon steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma
berkurang sehingga dapat mengakibatkan sakit parah.
Osteoporosis terutama pada perokok, perempuan postmenopausal, orang tua,
orang-orang gizi kurang atau aktivitas yang kurang, dan pasien dengan
diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah
tulang belakang, rusuk, atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini
terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan lebih
dari 7.5 mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien
dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
Penurunan pertumbuhan pada anak-anak.
Kelemahan otot, terutama di bahu dan otot paha.
Nekrosis avascular pada caput femur (pemusnahan sendi pinggul).
Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
Kenaikan lemak darah (trigliserida).
Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan.
Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat
badan dan gagal jantung.
Kegoyahan dan tremor.
Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan
katarak subcapsular posterior.
Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,
kegembiraan, delirium atau depresi.
Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan
(misalnya tuberkulosis).
Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-
inflamasi.
Ada juga efek samping dari pengurangan dosis; termasuk kelelahan, sakit
kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.
Tabel 3. Efek samping dan monitoring pada penggunaan glukokortikoid
jangka panjang6
No
.
Efek samping Monitor
1.2.3.4.
5.6.
7.
8.
HipertensiBerat badan meningkatReaktivasi infeksiAbnormalitas metabolik
OsteoporosisMata Katarak GlaukomaUlkus peptik
Supresi kelenjar adrenal
Tekanan darahBerat badanPPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan hiperlipidemia) Densitas tulang
Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam)Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton pump inhibitorDosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.
III. GLUKOKORTIKOID TOPIKAL
Efektifitas kortiksteroid topikal berhubungan dengan 4 hal yaitu
vasokonstriksi, (antimitosis) antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi.
Kortikosteroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian
superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk
menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-
inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk
mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.
III.1 Golongan Kortikotseroid Topikal
Kortikosteroid topikal terbagi mejadi 7 golongan besar berdasarkan
kemampuan kortikosteroid tersebut menyebabkan efek vasokonstriksi,
antiinflamasi, antiproliferatif, dan immunosupresif. Kortikosteroid topikal
golongan I adalah yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super
poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).6
Tabel 4. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis 6
Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten)
Golongan II: (potensi tinggi)
Golongan III: (potensi tinggi)
Golongan IV: (potensi medium)
Diprolene ointmentDiprolene AF creamPsorcon ointmentTemovate ointmentTemovate creamOlux foamUltravate ointmentUltravate creamCyclocort ointmentDiprosone ointmentElocon ointmentFlorone ointmentHalog ointmentHalog solutionLidex ointmentLidex solutionMaxiflor ointmentMaxivate ointmentMaxivate creamTopicort ointmentTopicort creamTopicort gelAristocort A ointmentCultivate ointmentCyclocort creamCyclocort lotionDiprosone creamFlurone creamLidex E creamMaxiflor creamMaxivate lotionTopicort LP creamValisone ointmentAristocort ointmentCordran ointmentElocon cream
0,05% betamethason dipropionate
0,05% diflorasone diacetate0,05% clobetasol propionate
0,05% halobetasol propionate
0,1% amcinonide0,05% betamethasone dipropionate0,01% mometasone fuorate0,05% diflorasone diacetate0,01% halcinonide
0,05% fluocinonide
0,05% diflorasone diacetate0,05% betamethasone dipropionate
0,25% desoximetasone
0,05% desoximetasone0,1% triamcinolone acetonide0,005% fluticasone propionate0,1 amcinonide
0,05% betamethasone dipropionate0,05% diflorosone diacetate0,05% fluocinonide0,05% diflorosone diacetate0,05% betamethasone dipropionate0,05% desoximetasone0,01% betamethasone valerate0,1% triamcinolone acetonide0,05% flurandrenolide0,1% mometasone furoate
Golongan V: (potensi medium)
Golongan VI: (potensi medium)
Golongan VII: (potensi lemah)
Elocon lotionKenalog ointmentKenalog creamSynalar ointmentCordran creamCutivate creamDermatop creamDiprosone lotionKenalog lotionLocoid creamSynalar creamTridesilon ointmentValisone creamAclovate ointmentAclovate creamAristocort creamDesowen creamKenalog creamKenalog lotionLocoid solutionSynalar creamSynalar solutionTridesilon creamValisone lotionObat topical dengan hidrokortison, dekametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone
0,1% triamcinolone acetonide
0,025% fluocinolone acetonide0,05% flurandrenolide0,05% fluticasone propionate0,1% prednicarbate0,05% betamethasone dipropionate0,1% triamcinolone acetonide
0,025% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate0,05% aclometasone
0,1% triamcinolone acetonide0,05% desonide0,025% triamcinolone acetonide
0,1% hydrocortisone butyrate0,01% fluocinolone acetonide
0,05% desonide0,1% betamethasone valerate
III.2 Peggunaan Berdasarkan Potensi
Penggunaan kortikosteroid topikal harus mempertimbangkan indikasi dan
berdasarkan pada potensi kortikosteroid tersebut. Kortikotseroid dengan potensi
yang berbeda memiliki indikasi yang berbeda pula. Kortikosteroid dengan potensi
kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu
diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap
penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
III.2.1 Kortikosteroid Potensi Lemah
Kortikosteroid potensi lemah digunakan pada kelainan akut serta pada
penderita anak-anak, usia lanjut dan ibu hamil. Pengobatan kortikosteroid pada
bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak
memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap pemberian
kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang
singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena
kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya.
Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar,
lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi
serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih
berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi.6
Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal
meningkat. Selain itu, pada geriatri juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara
tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.6
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali
dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus
kelahiran prematur, sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan
paru-paru janin (standar pelayanan). Kortikosteroid topikal yang biasa digunakan
pada saat kehamilan adalah hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada
waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan
diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi
melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.6
III.2.2 Kortikosteroid Potensi Sedang
Kortikosteroid potensi sedang digunakan pada kelainan subakut, misalnya
pada dermatitis kontak alergi, dermatitis seboroik, dan dermatitis intertriginosa.6,7
III.2.3 Kortikosteroid Potensi Kuat
Kortikosteroid potensi kuat digunakan pada kelainan kulit yang bersifat
kronis dengan lesi yang tebal, contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik,
dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.6,7
III.3 Dosis Pemberian Kortikosteroid Topikal
Pemberian kortikosteroid topikal dipilih berdasarkan keamanan dan
pertimbangan efek samping serta beberapa faktor lain yang perlu di
pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu
stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis.
Salep (ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit
yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk
pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu
melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi
obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda
pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim
untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu,
krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi
alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan
bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion
mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan
kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel
komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit.
Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah
dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada
daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman
pada pasien.6,7
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit
tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis
ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat
yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya
akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan
timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.5
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi
kuat. Ada beberapa acuan pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni5
1. kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu,
sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah
salah satu dari golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan
hidrokortison asetat 1%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mitsos L, Sasseville D. Systemic Corticosteroid Use in Dermatology:
Defining, Detailing, and Demystifying. Dermatology Round. 2011;7(2):1-4.
2. Shaikh S, et al. Applications of Steroid in Clinical Practice: A Review.
International Scholarly Research Network Anesthesiology. 2012;8(1):1-11.
3. Liu D, et al. A practical guide to the monitoring and management of the
complications of systemic corticosteroid therapy. Allergy, Asthma, & Clinical
Immunology. 2013;9(30):1-25.
4. Jackson S, Nesbitt L. Glucocorticosteroids. In: Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer
J, editors. Dermatology. 3 ed. USA: Elsevier Saunders; 2012. p. 2075-88.
5. Werth V. Systemic Glucocorticoids. In: Goldsmith L, Et al, editors.
Fitzpatrick's Dematology In General Medicine. 8 ed. United State: Mc Graw
Hill Medical Companies; 2012. p. 2714-20.
6. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.