33
1 HACCP PEMBEKUAN UDANG DI PT. MISAJA MITRA PATI MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH PENGENDALIAN Kualitas Hasil Perikanan Yang dibina oleh Prof. Ir. Sukoso, M.Sc, P.hd Oleh Kelas P1 Ovilia Maya Puspabuana 115080300111008 Febri Wahyu Isdiansyah 115080300111099 Bangkit Dwi Cahyo 115080300111038 UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN 2014

Haccp Pembekuan Udang Di Pt. Misaja Mitra Pati

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HACCP adalah suatu alat (tools) yang digunakan untuk menilai tingkat bahaya, menduga perkiraan risiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam pengawasan, dengan menitikberatkan pada pencegahan dan pengendalian proses dari pada pengujian produk akhir yang biasanya dilakukan dalam cara pengawasan tradisional (Suklan, 1998). Sudarmaji (2005), menyatakan bahwa Hazard Analysis adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat diterima yaitu segala macam aspek mata rantai produksi pangan yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan pangan. Bahaya tersebut meliputi: a) Keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan mentah, b) Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada produk antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi, c) Kontaminasi atau kontaminasi silang (cross contamination) pada produk jadi atau pada lingkungan produksi. Critical Control Point (CCP) atau titik pengendalian kritis adalah langkah pengendalian yang diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau menghilangkan bahaya atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995). Titik pengendalian kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi bahaya. CCP dibagi menjadi dua yaitu CCP-1 dan CCP-2. CCP-1 adalah sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, sedangkan CCP-2 adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi. Handoyo (2013), menyatakan bahwa dalam penerapannya, sistem HACCP memiliki tujuh prinsip yang harus dilaksanakan yaitu: 1) melakukan analisis bahaya, 2) menentukan titik pengendalian kritis (Critical Control Point), 3) menentukan batas kritis, 4) menetapkan suatu sistem pemantauan (monitoring) terhadap setiap CCP, 5) melakukan tindakan korektif apabila pemantauan mengindikasikan adanya CCP yang tidak berada di bawah kontrol, 6) melakukan dokumentasi terhadap seluruh prosedur dan catatan yang berhubungan dengan prinsip dan aplikasinya, 7) menetapkan prosedur verifikasi untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif (Handoyo, 2013).

Citation preview

1

HACCP PEMBEKUAN UDANG DI PT. MISAJA MITRA PATI

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

PENGENDALIAN Kualitas Hasil Perikanan

Yang dibina oleh Prof. Ir. Sukoso, M.Sc, P.hd

Oleh

Kelas P1

Ovilia Maya Puspabuana 115080300111008

Febri Wahyu Isdiansyah 115080300111099

Bangkit Dwi Cahyo 115080300111038

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

2014

2

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan komoditi ekspor hasil perikanan terbesar Indonesia di atas

komoditas ikan tuna yang menempati urutan kedua. Dilihat dari data volume ekspor udang

Indonesia ke mancanegara dari bulan Januari sampai dengan November pada tahun 2008

mencapai 158.000 ton sedangkan volume ekspor ikan tuna hanya mencapai 111.000 ton.

Volume ekspor udang ini meningkat dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya mencapai

154.747 ton (DJP2HP 2009). Sebagai komoditi perdagangan ekspor maka udang

senantiasa dituntut memiliki mutu yang prima. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem

jaminan, pengendalian dan pengawasan mutu hasil perikanan.

Kendala yang sering muncul pada berbagai perusahaan pengolahan udang adalah

kekurangan bahan baku udang, kesalahan label produk, adanya embargo oleh importir

karena teridentifikasinya senyawa antibiotik, masalah sanitasi dan lain sebagainya. Maka

untuk mengantisipasi masalah tersebut perusahaan pengolahan udang diwajibkan

melakukan kebijakan dalam penerapan program manajemen mutu terpadu yang

berkonsepsi pada prinsip Hazard Analysis Critical Control point (HACCP). HACCP

merupakan merupakan manejemen khusus untuk bahan makanan termasuk hasil perikanan

yang didasari pada pendekatan sistematika untuk megantisipasi kemungkinan terjadinya

bahaya (Hazard) selama proses produksi serta menentukan titik kritis yang harus

dilaksanakan pengawasan secara ketat. Tujuan utama menerapkan HACCP adalah

memberikan jaminan mutu meningkakan mutu produk, meminimalkan kecacatan produk dan

keluhan konsumen serta memberikan efisiensi jaminan mutu. Keuntungan lain dari

penerapan HACCP adalah penggunaan sumberdaya secara lebih baik dan pemecahan

masalah lebih tepat (Mayes 2001).

Sistem HACCP dikenal secara luas oleh industri pangan sebagai suatu tindakan

pengendalian terhadap risiko bahaya yang dapat memberikan efek merugikan terhadap

keamanan pangan (Asian Productivity Organization 2005). Hal ini berbeda dengan cara

3

sebelumnya bahwa sistem pengendalian mutu dilakukan hanya dengan pengawasan aspek-

aspek keamanan pangan pada produk akhir, dengan demikian apabila ditemukan

ketidakamanan pada produk akhir, baru dilakukan suatu tindakan koreksi. Hal ini merupakan

tindakan yang kurang efektif karena prasyarat yang mendasar dalam pengendalian risiko

bahaya seperti prasyarat kelayakan dasar yang terdiri atas cara penanganan dan

pengolahan produk yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices – GMP) serta

persyaratan sanitasi dan higiene (Sanitation Standard Operating Procedures–SSOP), tidak

dievaluasi terkait dengan ketidakamanan produk sepanjang rantai produksi. Pada sistem

HACCP ditekankan tindakan pencegahan pada setiap tahapan produksi terhadap terjadinya

risiko bahaya yang akan mengakibatkan ketidakamanan produk udang beku (Mayes 2001).

4

2. PEMBAHASAN

2.1 Tahapan Pengembangan/Rancangan HACCP

2.1.2 Penyusunan dan Pelatihan Tim HACCP

Tim HACCP harus memiliki pegetahuan dan pengalaman multi disiplin dalam

mengembangkan dan menerapkan sistem manejemen keamanan pangan. Keahlian yang

dicakup diantaranya tentang produk, proses dan sistem manajemen keamanan pangan

yang diterapkannya. Tim HACCP di PT Misaja Mitra yaitu Factory Manager, Kepala Bagian

QC, Kepala Bagian Pembelian dan Proses, Supervisor Proses, QC staff dan QC

Laboratorium.

2.1.3 Identifikasi Konsumen

Produk udang kupas (Peeled) beku yang dihasilkan PT Misaja Mitra Pati merupakan

produk dengan mutu ekspor yang ditujukan untuk negara Jepang dan Eropa. Dengan

diterapkannya HACCP dalam unit pengolahan udang diharapkan dapat menghindari dan

mencegah bahaya-bahaya yang kemungkinan beresiko buruk terhadap konsumen dan

menghasilkan produk yang aman,bermutu tinggi, dan tidak merugikan secara ekonomi.

2.1.4 Deskripsi produk

Deskripsi produk adalah sebuah daftar yang berisikan seluruh jenis produk akhir yang

dicakup dalam konsep HACCP. Dengan deskripsi produk ini maka akan lebih mudah

diidentifikasi mengenai produk udang tersebut. Deskripsi udang beku dapat dilihat pada

Gambar 1.

5

Gambar 1. Deskripsi udang kupas beku

Sumber: Bagian Produksi PT Misaja Mitra Pati (2009)

6

2.1.5 Membuat Diagram Alir Proses Produksi Udang Kupas (Peeled) Beku

Proses pembuatan produk udang kupas (peeled) beku meliputi penerimaan bahan

baku, koreksi I, pencucian I, pemotongan kepala, pencucian II, pemisahan ukuran dan

grading machine, pengupasan, pembuangan usus, koreksi II, pencucian III, penimbangan/

pelabelan, penyusunan, pembekuan, glazing, metal detector, packing, cold storage, dan

ekspor. Secara ringkas proses pembuatan produk udang kupas beku dapat dilihat dari

diagram alir proses pembuatan produk udang kupas beku pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan produk udang kupas beku

2.1.6 Verifikasi Diagram Alir

Tim HACCP harus memverifikasi keakuratan diagram alir yang ada di lapangan.

Tujuan dari dibuatnya diagram alur proses pembekuan udang ini yaitu sebagai dasar untuk

menganalisa bahaya pada setiap tahap proses. Diagram alir tersebut dibuat berdasarkan

7

pengamatan tahap proses produksi yang dijalankan. Tahapan ini sangat penting karena

menjadi dasar atau sarana untuk menganalisa bahaya. Diagram alir tersebut telah

ditetapkan atau dinyatakan valid dalam pertemuan/rapat tim HACCP, artinya sudah sesuai

dengan kondisi sebenarnya.

2.1.7 Menerapkan Tujuh Prinsip HACCP pada Produk Udang Kupas Beku

Penerapan 7 prinsip HACCP harus sesuai dengan aturan yang telah distandarkan di

seluruh dunia dan harus taat azas, artinya tiap tahap harus dilakukan sesuai urutannya serta

sistematik sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Penerapan 7 prinsip HACCP meliputi

2.1.7.1 Analisis bahaya ( Hazard Analysis)

Analisa bahaya di PT Misaja Mitra Pati dilakukan dengan melakukan pengamatan

pada tiap tahapan proses pembuatan produk udang kupas beku, sejak udang dipanen,

diterima, diolah hingga menjadi produk yang siap dipasarkan dan membuat dugaan

kemungkinan/resiko bahaya yang akan timbul dari tiap tahapan. Analisa bahaya meliputi

tahapan proses, penyebab bahaya, bahaya potensial yang terjadi, kategori bahaya,

pengendalian, peluang bahaya (probabilty), tingkat keparahan (severity), dan upaya

pencegahan. Kategori bahaya yang mungkin ditemukan ada 3 jenis yaitu, bahaya

keamanan pangan (food safety), mutu pangan (wholesomeness) dan penipuan ekonomi

(economic frauds). Ruang lingkup dalam penyusunan HACCP ini meliputi seluruh bahaya

yang terkait yaitu bahaya fisik, kimia dan biologi. Produk yang dipilih adalah udang kupas

(Peeled) beku.

a. Bahaya biologis

Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan bahaya biologis pada HACCP,

yaitu pertama faktor intristik seperti pH, kadar air, struktur biologis dan lain-lain. Faktor

bahaya yang kedua adalah faktor ekstrinsik seperti suhu, kelembaban dan lain-lain. Bahaya

potensial biologis pada proses udang kupas (Peeled) beku dapat dilihat pada Tabel 12.

8

Tabel 12. Pengelompokan bahaya biologis

Kelompok bahaya Jenis

Bakeri 1. S. aurreus 2. V. chlorela 3. V. parahaemolyticus 4. E. choli 5. Salmonella spp.

b. Bahaya kimia

Kontaminasi bahan kimia dapat terjadi pada bahan baku dan pada tahap produksi.

Bahaya potensial kimia pada proses udang kupas(Peeled) beku dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Pengelompokan bahaya kimia

Kelompok bahaya Jenis

Kimia 1. Klorin 2. Senyawa antobiotik

Chloramphenicol

Nitrofurant

OTC / CTC Sumber: Thaheer (2005)

c. Bahaya fisik

Secara umum, bahaya fisik banyak disebabkan adanya benda asing yang seharusnya

tidak terdapat dalam lingkup ruang produksi atau dapat disebabkan oleh pekerja. Bahaya

potensial fisik pada proses udang kupas (Peeled) beku dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Pengelompokan bahaya fisik

Kelompok bahaya Sumber

Logam Meja, mesin sortasi, alat pemotongan, triple pan, perhiasan

Serangga Ruang proses, lingkungan kotor, bahan baku

Penanganan kasar Pekerja

Sumber: Thaheer (2005)

Prinsip pertama konsep HACCP adalah melakukan analisa bahaya. Analisa bahaya

adalah proses pengumpulan dan menilai informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai

dapat terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata terhadap

keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP. Di dalam analisa bahaya

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut .

1. Menganalisa semua potensi bahaya yang mungkin timbul pada setiap tahapan proses

dan kemungkinan penyebabnya.

9

2. Menentukan kategori-kategori bahay food safety (biologi, kimia, fisika), wholesomeness

atau economic fraud.

3. Menganalisa keterkaitan antara suatu bahaya dan penyebabnya dengan SSOP dan

GMP.

4. Menganalisa peluang terjadinya bahaya dan tingkat keseriusan bahaya yang terjadi.

5. Mengidentifikasi apakah suatu potensi bahaya nyata atau tidak.

6. Memberikan alasan secara jelas mengapa suatu bahaya dinyatakan nyata atau tidak.

7. Melakukan tindakan pencegahan agar bahaya atau penyimpangan yang terjadi tidak

melampaui batas kritis atau critical limit.

Berdasarkan table analisa bahaya pada proses pembekuan udang entuk kupas

didapatkan 3 jenis bahaya yang signifikan, yaitu bahaya yang tidak dapat dieliminasi dengan

menerapkan GMP ataupun SSOP. Bahaya signifikan terletak pada tahap penerimaan bahan

baku, tahap pendeteksian logam dan tahapan penyimpanan. Pada tahap penerimaan bahan

baku bahaya signifikan yang timbul adalah karena adanya residu antibiotik. Residu antibiotic

yang mungkin terdapat pada udang adalah chloramphenicol (CAP) dan Oksitetracikline

(OTC). Bahaya ini termasuk bahaya yang dapat mempengaruhi keamanan pangan. Pada

tahap pembekuan terdapat bahaya yang signifikan dan dapat mempengaruhi mutu dari

produk, yaitu berupa driploss. Driploss merupakan kerusakan karakteristik udang

dikarenakan pembekuan terjadi dalam waktu yang lambat/terlalu lama. Walaupun produk

awwet, tetapi jika telah mengalami driploss, produk sudah turun mutunya. Pada tahap

pendeteksian logam didapatkan bahaya yang signifikan yang dapat mempengaruhi

keamanan pangan berupa logam atau benda asing lainnya yang mungkin terbawa ke dalam

produk, baik yang berasal dari tambak (dalam hal ini supplier) ataupun yang berasal dari

pecahan alat karyawan selama proses produksi berlangsung. Penerapan system HACCP

pada proses produksi produk udang kupas (Peeled) beku di PT Misaja Mitra Pati adalah

sebagai berikut :

10

1. Penerimaan bahan baku

Bahaya potensial ditahap ini disebabkan kontaminasi bakteri patogen akibat suhu

penyimpanan udang tidak sesuai standar (>50C). Tindakan pencegahan yang dilakukan

adalah memeriksa suhu dan kesegaran udang saat bahan baku datang. Ruang penerimaan

bahan baku yang dekat dengan pintukeluarnya sampah juga dapat mengkontaminasi bahan

baku yang masuk. Bahaya potensial lainnya yang dapat terjadi adalah dekomposisi bahan

baku (udang), hal ini bisa disebabkan karena proses penanganan yang salah. Tindakan

pencegahan yang dilakukan adalah pelaksanaan penanganan dengan rantai dingin dan

mengontrolnya dengan GMP. Bahaya potensial selanjutnya adalah residu antibiotik dan

nitrofuran akibat pengunaan antibiotik selama budidaya. Residu antibotik sebagai bahaya

potensial yang nyata dapat terjadi jika tidak dilakukan kontrol yang tepat. Tindakan

pencegahan yang dilakukan adalah melakukan pengujian residu antibiotik setiap bahan

baku yang datang ke perusahaan dan adanya jaminan atau garansi dari supplier bahwa

udang miliknya bebas antibotik dapat ditunjukkan dengan adanya sertifikat bebas antibiotik.

2. Koreksi

Bahaya potensial pada tahap ini yaitu penurunan mutu dan ukuran, hal ini bisa

dikarenakan kesalahan manusia pada saat penanganan. Tindakan pencegahan yang

dilakukan adalah dengan melakukan penanganan dengan benar dan tetap memperhartikan

rantai dingin dalam penanganan dan dapat terkontrol dengan GMP. Bahaya potensial

lainnya yaitu adanya kontaminasi dari pekerja dan pertumbuhan bakteri akibat penggunaan

suhu yang tidak sesuai standar. Hal tersebut dapat terkontrol dengan GMP dan SSOP.

3. Pencucian

Bahaya potensial yang ada pada tahap ini disebabkan oleh kontaminasi air,

dekomposisi apabila air pencucinya suhunya >50C serta adanya residu klorin akibat dari

kelebihan penggunaan klorin dalam pengolahan. Tindakan pencegahan yang tepat adalah

memeriksa suhu air secara berkala, mengganti air jika sudah 3 kali dipakai dan

mengkontrolnya dengan SSOP.

11

4. Sortasi

Bahaya potensial pada tahap ini adalah adanya kesalahan ukuran akibat kesalahan

dari mesin ataupun karyawan saat dilakukan sortasi. Kesalahan ukuran sebagai bahaya

potensial yang nyata dapat terjadi jika tidak dilakukan kontrol dengan tepat. Tindakan

pencegahan yang dilakukan adalah pemeriksaan ulang oleh petugas QC, pengontrolan

dengan GMP.

5. Penimbangan

Bahaya potensial ditahap ini disebabkan kurangnya berat produk akibat kesalahan

karyawan yang menimbang dan timbangan yang digunakan. Bahaya ini terjadi apabila tidak

dilakukan kontrol yang tepat. Tindakan pencegahan yang dilakukan adalah mengkalibrasi

timbangan secara periodik, pemeriksaan timbangan oleh staf QC dan pelatihan yang baik

untuk karyawan yang melakukan penimbangan.

6. Penyusunan dalam inner pan

Bahaya potensial ini yang dapat terjadi yaitu dekomposisi dari bahan baku, hal ini bisa

dikarenakan penggunaan temperature yang tidak standar. Bahaya ini termasuk dalam

kategori mutu (wholesomeness). Peluang terjadinya dekomposisi termasuk dalam kategori

rendah. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengecek bahan baku

dan memastikannya tetap segar.

7. Pembekuan

Bahaya potensial pada tahapan proses pembekuan adalah terjadinya kekurangan

yang diakibatkan oleh pembekuan yang lambat. Bahaya ini termasuk dalam kategori

economic fraud, peluang terjadinya kekurangan berat termasuk dalam kategori rendah.

Bahaya ini dapat dicegah oleh GMP, dengan melakukan pembekuan cepat (- 400C).

8. Glazing

Bahaya potensial yang dapat terjadi yaitu yang bisa disebabkan oleh suhu yang tidak

standard an kontaminasi pada air yang digunakan. Bahaya ini termasuk dalam kategori

keamanan pangan (food safety) dan peluang terjadinya termasuk dalam kategori rendah.

Hal ini dapat dikontrol dengan SSOP dan GMP.

12

9. Metal detecting

Bahaya potensial ditahap ini disebabkan terdapatnya metal atau logam pada produk

akibat adanya benda logam yang masuk atau kontaminasi lingkungan. Bahaya ini terjadi

apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat. Bahaya terdapatnya logam tidak dapat dicegah

oleh GMP dan SSOP, tetapi yang dapat dilakukan adalah pengontrolan produksi yang layak

sehingga kontaminasi tidak terjadi dan dilakukan pengecekan mesin deteksi logam setiap 1

jam ketika dipakai.

10. Pengepakan/pelabelan

Bahaya potensial pada tahap ini adalah kesalahan dalam melakukan pelabelan, hal ini

terjadi dikarenakan kesalahan manusia. Bahaya ini termasuk dalam kategori economic

fraud, peluang terjadinya termasuk dalam kategori sedang (medium) dan tidak bisa

dikendalikan oleh GMP maupun SSOP. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu

dengan check fisik atau penglihatan, jika tidak terkontrol berbahaya kesalahan pelabelan

akan terjadi.

11. Gudang penyimpanan dingin

Bahaya potensial yang dapat terjadi yaitu dehidrasi penurunan berat, hal ini bisa

disebabkan karena fluktuasi naik turunnya suhu gudang penyimpanan. Bahaya ini termasuk

dalam kategori mutu (wholesomeness), peluang terjadinya termasuk dalam kategori rendah.

Hal ini dapat dilakukan pencegahan dengan melakukan pengontrolan suhu setiap waktu

dengan menjaga naik atau turunnya suhu maximal 20C, dan dapat dikendalikan dengan

SSOP.

12. Pengisian barang ke container ekspor

Bahaya potensial yang dapat terjadi adalah kerusakan pada produk, hal ini dapat

dikarenakan pada proses penanganan yang kasar. Bahaya ini termasuk dalam kategori

mutu (wholesomeness), peluang terjadinya termasuk dalam kategori rendah. Tindakan

pencegahannya yaitu melakukan proses penanganan dengan baik dan benar tidak secara

kasar, hal ini dapat dikontrol dengan GMP. Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah

mengidentifikasi ketiga bahaya tersebut dengan menggunakan pohon keputusan.

13

Berdasarkan hasil pohon keputusan akan diketahui apakah ketiga bahaya tersebut

termasuk titik kendali kritis (Critical Control Point) atau bukan.

2.1.8 Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point/CCP)

Titik kendali kritis merupakan tahapan, langkah atau prosedur dimana pengendalian

dapat diterapkan dan bahaya keamanan dapat dihilangkan atau direduksi hingga batas yang

dapat diterima. Setiap tahapan yang menyebabkan adanya bahaya yang nyata harus

diidentifikasi lebih lanjut untuk meyakinkan apakah tahapan tersebut termasuk dalam CCP

atau tidak. Identifikasi dapat dilakukan dengan menilai CCP dan dapat dilakukan

diantaranya mengunakan decision tree atau diargram pengambilan keputusan. Identifikasi

CCP . Melalui pohon keputusan yang telah ditabulasikan, diperoleh 2 bahaya signifikan

yang termasuk dalam titik kendali kritis. Bahaya signifikan yang termasuk ke dalam CCP

adalah adanya residu antibiotic pada bahan baku udang.

Antibiotic digunakan para petambak udang untuk mengeliminasi bakteri pathogen,

yang sering mengkontaminasi udang, seperti Salmonella sp, Vibrio parahaemoliticus,

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Antibiotic yang bias digunakan oleh petambak

udang adalah chloramphenicol, chlortetracycline, oksitetrasiklin dan nitrofuran (Furaltadone

AMOZ) dan Furazolidon (AOZ). Antibiotic berbahaya bagi tubuh manusia, jika

penggunaanya tidak dengan resep dokter. Karena dapat menyebabkan resistensi mikroba

target terhadap kinerja antibiotic tersebut.

Bahaya signifikan lain yang termasuk dalam titik kendali kritis adalah bahaya logam

yang ada dalam produk. Logam yang ada dalam produk dapat berasal dari bahan baku

ataupun berasal dari proses pengolahan. Logam yang berasal dari bahan baku biasanya

berasal dari usus udang, karena factor lingkungan biasanya dalam usus udang terdapat

pasir dan bahan yang mengandung logam. Sedangkan asal logam dari proses biasanya

berasal dari alat kerja seperti pecahan meja stainless, wadah untuk penimbangan, inner

pan, dan alat logam lainnya. logam yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran

pencernaan sangat berbahaya karena dapat merusak saluran pencernaan. Metal detector

14

termasuk CCP karena merupakan suatu tahap untuk mereduksi adanya kontaminan dan

bahaya signifikannya dapat berupa pecahan logam yang dapat membahayakan konsumen.

Sedangkan pada packaging dan pelabelan termasuk CCP karena apabila salah pelabelan

akan bisa merugikan perusahaan ataupun nantinya juga konsumen.

2.1.9 Penetapan Batas Kritis (Critical Limit)

Batas kritis merupakan kondisi/keadaan yang memberikan batasan atau perbedaan

antara produk yang aman dan tidak aman. Batas kritis juga dapat diartikan sebagai satu

atau lebih toleransi yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif

dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik (Thaheer 2005). Batas kritis ini

tidak boleh dilampaui karena batas-batas ini sudah merupakan toleransi yang menjamin

bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis ini tidak boleh dilanggar untuk menjamin

keamanan produk akhir. Penentuan batas kritis ini sudah ditetapkan.

2.1.10 Menetapan Prosedur Monitoring (Monitoring Procedure)

Batas kritis yang telah ditetapkan sebagai batasan titik kendali tidaklah dibiarkan

begitu saja, melainkan harus selalu dipantau dan dimonitoring keberadaanya. Hal ini

dilakukan untuk meyakinkan bahwa penanganan terhadap titik kendali kritis masih dalam

kondisi terkendali. Monitoring merupakan tindakan dari pengujian atau observasi yang

dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan ini untuk menjamin

bahwa critical limit tidak terlampaui.

2.1.10.1 Deteksi logam

Pemantauan dilakukan terhadap pecahan logam yang terdapat pada bahan baku

udang dengan melakukan pengecekan dengan mesin metal detektor. Bagian cek metal

memasukkan setiap block beku dalam mesin metal detektor untuk mengetahui ada tidaknya

logam didalam produk. Apabila ditemukan adanya logam maka produk dipisahkan dengan

produk yang lain dan dilakukan tindakan pencatatan dan koreksi nantinya.

15

2.1.10.2 Pengepakan dan pelabelan

Pemantauan dilakukam terhadap label disetiap inner maupun master carton dilakukan

dengan cara mengecek secara visual kebenaran produk dengan wadah ataupun label yang

digunakan. Pengecekan dilakukan pada beberapa sampel produk oleh bagian packaging.

2.1.10.3 Gudang penyimpanan

Bahaya yang muncul adalah produk mencair dikarenakan suhu penyimpanan yang

tidak standar. Pemantauan terhadap suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer

untuk mengetahui suhu produknya di setiap size oleh bagian QC. Pengecekan juga harus

dilakukan oleh bagian QC untuk menanggulangi terjadinya pencairan produk di cold storage

untuk mengetahui keadaan produk.

2.1.11 Menetapkan tindakan koreksi (Corrective Action)

Tindakan koreksi merupakan prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan ketika

kesalahan serius atau kritis ditemukan atau batas kritis terlampaui. Tindakan koreksi secara

terencana dalam HACCP plan, sehingga setiap titik kendali kritis memiliki tindakan koreksi

yang spesifik dan penerapan tindakan koreksi harus jelas orang yang berwenang untuk

melaksanakan tindakan koreksi tersebut. Selain itu tindakan koreksi yang dilakukan

haruslah terekam dan tercatat. Tindakan koreksi harus segera dilaksanakan apabila terjadi

kegagalan dalam pengawasan pada CCP. Tindakan koreksi harus mengurangi atau

mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang terjadi ketika batas kritis terlampaui pada

CCP. Jika bahan baku terbukti mengandung residu antibiotik, tindakan koreksi yang

dilakukan adalah menolak dan mengembalikan bahan baku tersebut kepada suppliernya.

2.1.11.1 Deteksi Logam

Jika mesin deteksi logam berbunyi maka terdapat logam pada produk tersebut.

Tindakan perbaikan yang dilakukan adalah dengan mencairkan blok tersebut dan diambil

potongan logamnya kemudian proses pembekuan diulang kembali. Mesin pendeteksi metal

ini harus di cek dahulu setiap akan digunakna. Tindakan perbaikan ini diawasi oleh QC.

16

2.1.11.2 Pengepakan dan pelabelan

Pengecekan dilakukan secara visual setiap melakukan packaging pada inner maupun

master carton yang digunakan. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan untuk menghindari

bahaya ini adalah dengan dengan melakukan packaging dan pelabelan ulang. Tindakan ini

dikontrol setiap hari oleh bagian QC.

2.1.11.3 Gudang penyimpanan

Tindakan koreksi pada tahap ini yaitu produk ditolak atau tidak diekspor. Tindakan

perbaikan yang dapat dilakukan yaitu apabila produk masih dalam keadaan baik dapat

dilakukan penanganan ulang, tetapi produk yang sudah mengalami kemunduran mutu tidak

dilakukan penanganan ulang kembali.

2.1.12 Menetapkan Prosedur Verifikasi (Verification Procedure)

Verifikasi adalah konfirmasi yang dilakukan dengan menyertakan bukti dan penjelasan

objektif bahwa suatu persyaratan khusus telah terpenuhi (ISO 8402 1994 dalam Thaheer

2005). Verifikasi merupakan metode, prosedur, pengujian, dan cara penilaian lainnya

disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan HACCP plan. Tindakan

verifikasi yang dapat dilakukan adalah : penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat,

pemeriksaan kembali rencana HACCP dan catatan CCP, catatan tertulis mengenai inspeksi

verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP atau penyimpangan dari

rencana dan tindakan koreksi yang dilakukan. Suatu sistem pemeriksaan oleh pihak

perusahaan untuk menentukan efektif tidaknya rencana HACCP. Pelaksanaan verifikasi ini

dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu :

- internal verifikasi oleh pihak perusahaan

- eksternal verifikasi oleh pihak pemerintah (6 bulan atau 1 tahun sekali)

Pada tahap penerimaan bahan baku, metal detecting, pengepakan dan pelabelan,

serta gudang penyimpanan verifikasi yang dilakukan adalah adanya evaluasi oleh kepala

bagian QC.

17

2.1.13 Prosedur Pencatatan dan Dokumentasi (Record Keeping)

Salah satu kunci dari keberhasilan jalannya sistem HACCP yaitu keakuratan sistem

pencatatan (record keeping). Semua kegiatan yang berhubungan dengan pemantauan CCP

dan kegiatan lainnya yang terkait harus dicatat dengan baik, pencatatan ini akan

menyediakan data dimana terjadi penyimpangan terhadap batas kritis dan tindakan koreksi

untuk mengatasi penyimpangan tersebut. Pada metal detecting dilakukan pencatatan

keadaan mesin metal detecting sebelum dilakukan proses pengemasan produk pada

checking metal detector. Adanya produk yang mengandung logam kemudian dilakukan

pencatatan dalam record sheet of reprocessed untuk kemudian dilakukan proses ulang

setelah logam dihilangkan. Pada pengepakan dan pelabelan dilakukan pencatatan dalam

record of packing and labelling. Pada gudang penyimpanan, keadaan produk dicatat dalam

check product in the cold storage.

2.2 Program Kelayakan Dasar

Program Kelayakan dasar merupakan fondasi awal sebelum konsepsi manajemen

mutu HACCP diterapkan di suatu unit pengolahan. Penilaian kelayakan dasar suatu unit

pengolahan dapat dilakukan dengan menggunakan lembar penilaian yang telah dibakukan.

Nilai dari status kelayakan dasar akan menentukan apakah unit pengolahan mampu

menerapkan dan mengembangkan konsepsi HACCP (Wiryanti dan Witjaksono 2001).

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan, pelaksanaan Good Manufacturing Pratices

(GMP) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) sebagian besar telah

diterapkan oleh perusahaan dengan baik sesuai prosedur yang dituangkan dalam pedoman

mutu perusahaan. Akan tetapi, masih ada beberapa penyimpangan yang terjadi terhadap

kelayakan dasar (GMP dan SSOP).

2.2.1 Good manufacturing practices (GMP)

Good Manufacturing Practices (GMP) yang dilaksanakan pada pembuatan produk

udang kupas (Peeled) beku di PT Misaja Mitra Pati telah memenuhi standar GMP yang

ditetapkan (dalam hal ini perusahaan telah membuat panduan mutu yang menjadi standar

18

GMP). Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kekurangan yang masih perlu

diperbaiki. Penyimpangan-penyimpangan GMP yag terjadi pada proses pembuatan udang

kupas (Peeled) beku di PT Misaja Mitra Pati dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Penyimpangan persyaratan kelayakan dasar pada unit pengolahan.

Penyimpangan Minor Lantai pada ruang pendinginan, es, dan gudang beku tidak dibuat miring.

Penyimpangan Mayor Kabel diruang proses terutama pada saat penimbangan udang tidak

ditutup, dibiarkan menjulur. Tidak mempunyai tempat pencucian alat yang terpisah, pencucian dilakukan langsung ditempat proses. Tempat pencucian tidak mempunyai pintu masuk dan keluar yang terpisah, karena pencucian langsung di ruang proses. Tempat / wadah berisi produk ditumpuk sebelum dan sesudah pencucian karena keterbasan tempat.

Penyimpangan Serius Perusahaan tidak mempunyai fasilitas perban tahan air, karyawan yang

terluka tidak boleh bekerja.

Lantai pada ruang pendinginan, es, dan gudang beku tidak dibuat miring atau kurang

miring. Kemiringan lantai harus 1o untuk menghindari genangan air sehingga air langsung

mengalir ke saluran pembuangan (Wiryanti 2001). Pada ruang proses masih dijumpai kabel

yang menjulur, hal ini dapat membahayakan keselamatan karyawan dalam bekerja apabila

ada kabel yang terkelupas. Tidak mempunyai tempat pencucian alat yang terpisah,

pencucian dilakukan langsung ditempat proses. Hal ini dikarenakan pencucian dilakukan

sekaligus dengan pencucian meja dan dinding apabila pekerjaan setelah selesai yaitu

apabila waktu karyawan ingin pulang. Sehingga dengan ini perusahaan tidak memiliki pintu

masuk dan keluar yang berbeda untuk tempat pencucian alat. Tempat atau wadah berisi

produk biasanya ditumpuk sebelum dan sesudah pencucian. Hal ini dikarenakan untuk

mengefesienkan penggunaan tempat dan memudahkan dalam penanganannya. Tahapan

proses produksi yang panjang dan dengan tujuan untuk mempercepat pekerjaan sehingga

para karyawan terpaksa melakukan hal tersebut. Adanya penumpukan bahan baku ini akan

memberikan peluang timbulnya kontaminasi silang apabila ada salahsatu produk yang

tercemar khususnya yang keadaannya masih basah dan juga penumpukan yang tidak benar

akan menyebabkan kerusakan pada produk. Proses penurunan mutu udang disebabkan

19

oleh faktor-faktor yang berasal dari badan udan itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan

mutu udang ini terjadi secara autolisis, bakteriologis, dan oksidasi (Purwaningsih 2000).

Hasil wawancara di perusahaan, perusahaan tidak mempunyai fasilitas perban tahan

air, namun dalam pelaksanaannya karyawan yang terluka tidak diperbolehkan bekerja

dalam ruang proses. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kemungkinan kontaminasi

silang akibat adanya luka pada karyawan sehingga produk yang dihasilkannya pun terjamin

kualitasnya, dan untuk menjamin pelaksanaan program HACCP yang baik.

Selain penyimpangan diatas, terdapat juga kebiasaan buruk dari para

karyawan/pekerja, yaitu ketidakhati-hatian dan ketidakramahan dalam memperlakukan

peralatan. Ketika pengamatan sering terlihat karyawan yang membawa keranjang fiber

(keranjang limbah maupun wadah) meletakkan keranjang dengan cara membanting dan

melempar, hal ini selain berbahaya terhadap karyawan juga dapat mengurangi keawetan

peralatan. Bahaya lain yang dapat timbul adalah pecahan alat (baik plastik maupun logam)

yang nantinya akan ikut terbawa produk yang diekspor. Menurut Wiryanti (2001), program

HACCP bukanlah merupakan sistem pengendalian mutu yang dapat berdiri sendiri,

melainkan sebagai salah satu bagian dari sistem yang menyeluruh dalam proses

pengendalian mutu. Penerapan program HACCP akan efektif apabila program kelayakan

dasar memenuhi persyaratan yaitu cara penanganan yang baik dan benar serta persyaratan

sanitasi dan higiene yang baik.

2.2.2 Sanitation standart operating procedure (SSOP)

Apabila dengan menerapkan GMP yang baik akan menghasilkan produk yang

bermutu, maka penerapan SSOP yang baik akan menghasilkan produk yang sehat dan

aman, karena bebas dari kontaminan. Penerapan SSOP pada pembuatan produk udang

kupas beku di PT Misaja Mitra Pati juga telah mengikuti prosedur dan standar yang berlaku.

Persyaratan dan prosedur yang digunakan dalam menerapkan SSOP di PT Misaja Mitra

Pati adalah persyaratan legal dan persyaratan/prosedur yang ditetapkan oleh perusahaan.

Secara umum pelaksanaan SSOP di PT Misaja Mitra telah memenuhi dan mengikuti

standard an prosedur yang telah ditetapkan. 8 kunci pokok SSOP telah terpenuhi dengan

20

baik. Namun, masih terdapat dengan perilaku karyawan dan ketersediaan sarana dan

prasarana yang menunjang keberhasilan pelaksanaan SSOP.

Hasil pengamatan di lapangan dari penerapan SSOP masih terhalang oleh

kedisiplinan karyawan. Sedangkan untuk penerapan SSOP dibeberapa bagian lainnya

sudah dapat berlangsung cukup baik, dilihat dari pelaksanaan delapan kunci SSOP. Hal ini

terlihat tahap penerimaam bahan baku sampai ekspor dan juga dalam pengolahan

limbanya. Pada tahap penerimaan bahan baku ditemukan perilaku karyawan yang kurang

baik. Ada beberapa karyawan yang bertugas di bagian penerimaan bahan baku, memakai

seragam kerja tidak sesuai aturan yaitu kerudung bermasker masih terbuka, sehingga

rambut karyawan tersebut terlihat (keluar kerudung) dan dapat mengkontaminasi produk.

Selain itu ada beberapa karyawan di bagian bahan baku yang masih menggunakan

seragam produksi keluar masuk ruang produksi tanpa melakukan penggantian pakaian.

Sehingga hal ini dapat menjadi sumber terjadinya kontaminasi produk.

Pencegahan kontaminasi silang yang merupakan bagian dari SSOP adalah salah satu

permasalahan tersendiri yang banyak di setiap perusahaan pangan. Dalam penerapannya,

perusahaan sudah memiliki prosedur yang baik untuk meminimalisasi hal tersebut tetapi

dalam pelaksanaannya masih terhalang oleh kesadaran para karyawan untuk dapat disiplin.

Seperti untuk menjaga kebersihan tangannya karyawan dituntut untuk melakukan cuci

tangan setiap 30 menit sekali dalam air berklorin dan disemprot dengan alkohol 70%.

Namun, dalam pelaksanaanya masih ada beberapa karyawan yang masih kurang memiliki

kesadaran untuk melakukan hal tersebut, sehingga masih diperlukan suatu upaya untuk

dapat meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan karyawan dalam bekerja dalam hal ini yang

bertugas untuk mengingatkan karyawan untuk melakukan cuci tangan adalah supervisor

yang dibantu dengan alarm/bel yang berbunyi 30 menit sekali dan terpasang di setiap

ruangan produksi.

Penanganan bahan baku di PT Misaja Mitra Pati sesuai dengan syarat sanitasi karena

bahan baku yang masuk dilakukan sampling untuk melihat kualitas udang dan dilakukan

pengujian di laboratorium. Pengujian dilakukan untuk mengetahui kondisi antibiotik dan

21

mikrobiologi telah sesuai dengan persyaratan yang berlaku baik dari perusahaan,

pemerintah maupun negara tujuan ekspor. Bahan tambahan yang digunakan seperti air, es

dan klorin dosis pemakaiannya sudah baik karena penggunaannya telah disesuaikan

dengan persyaratan yang telah ditetapkan perusahaan, pemerintah dan negara tujuan

ekspor. Air yang digunakan telah memenuhi standar mutu karena air tersebut telah diolah di

water treatment, tetapi dalam pemakaiannya semua air yang masuk ruang proses telah

ditambahkan klorin. Perusahaan menambahkan klorin 3-5 ppm untuk pasokan air yang

menuju ruang proses. Hal ini bertujuan selain sebagai pembersih, air juga dapat digunakan

sebagai desinfektan dalam penggunaannya. Penggunaan klorin ini disesuaikan dengan

negara tujuan ekspor dari produk yang akan dihasilkan. Penambahan klorin ini disesuaikan

dengan tujuan ekspor, Negara tujuan utamanya ke Jepang, sedangkan untuk ekspor ke

Eropa tidak digunakan klorin tetapi air ozone. Klorin yang digunakan sebagai disinfektan

yaitu untuk menginaktifkan bakteri dan virus patogenik dalam setiap tahapan proses telah

sesuai dengan ketentuan dimana semakin menuju proses akhir, konsentrasi semakin kecil.

Es yang digunakan perusahaan adalah flake ice, penggunaan flake ice ini bertujuan agar

lebih cepat menurunkan suhu udang.

Produk akhir yang dihasilkan PT Misaja Mitra Pati dari produk udang kupas (peeled)

beku ada beberapa macam jenisnya, kebanyakan pengolahan produk ini disesuaikan

permintaan pasar ataupun ukuran udang yang ada tidak sesuai untuk jenis produk yang

lainnya. Pada penanganannya sudah berlangsung cukup baik dengan tujuan untuk tetap

menjaga kesegaran produk. Hal ini dilakukan dengan pencucian menggunakan klorin dan

juga tetap memperhatikan rantai dingin dalam penanganannya. Pengolahan produk udang

kupas (Peeled) beku dilakukan sesuai dengan diagram alir proses dan secara saniter serta

higienis. Proses pembekuan telah sesuai persyaratan jenis produk, suhu dan waktu

pembekuan. Produk yang sudah dalam bentuk beku telah mempunyai ukuran dan bentuk

yang teratur. Sistem pemberian kode-kode dilakukan pada waktu memproses bahan baku

seperti supplier, size, jenis produk, waktu produksi, tanggal kadaluarsa, dan lainnya. Hal

22

tersebut dilakukan dengan tujuan mempermudah dalam pengawasan mutu dan pelacakan

produk-produk setelah dilepas ke pasar apabila terjadi komplain dari pembeli.

Produk udang kupas yang telah dibekukan biasanya langsung dikemas dengan cepat,

tepat dan saniter dengan tujuan untuk mempertahankan mutu dan mencegah kontaminasi

produk. Apabila tidak dapat langsung dikemas, untuk sementara waktu produk disimpan di

ruang penyimpanan beku. Inner carton dan master carton yang digunakan untuk mengemas

produk telah sesuai dengan persyaratan bahan pengemas sehingga aman bagi produk.

Inner carton terbuat dari bahan dengan campuran lilin, hal ini bertujuan agar wadah tidak

cepat rusak dan menjga suhu produk tetap stabil. Setiap bahan pengemas yang dipakai

telah memuat label yang minimal berisi merk produk, size udang, berat bersih produk, jenis

dan tanggal produksi. Hal ini berguna dalam memberikan informasi kepada konsumen dan

untuk pelacakan produk jika terjadi komplain dari konsumen.

Setiap produk akhir yang telah dikemas langsung disimpan di ruang penyimpanan

beku yang bersuhu -20oC sampai -18oC dan disusun rapi sehingga memudahkan

pengangkutan nantinya dan menerapkan system first in first out dalam pengangkutannya.

Kondisi alat angkut dan distribusi produk akhir udang kupas beku yang digunakan PT Misaja

Mitra Pati sesuai dengan jenis produk. Suhu kontainer di setting dalam kisaran suhu

penyimpanan beku yang berguna untuk mempertahankan mutu produk yang akan

didstribusikan yaitu bersuhu -18oC.

2.3 Analisis Bahaya pada Pembekuan Produk Udang Kupas Beku

Analisis bahaya yang dilakukan pada produk udang kupas beku di PT. Misaja Mitra

Pati menemukan beberapa bahaya pada tiap tahapan. Jenis bahaya yang timbul

dikelompokkan kedalam 3 kriteria yaitu bahaya yang menyangkut keamanan pangan (food

safety), mutu produk (wholesomenes) dan bahaya yang dapat menimbulkan kerugian

ekonomi (economic froud). Bahaya yang paling banyak timbul adalah bahaya kontaminasi

dari karyawan dan alat, dekomposisi karena perubahan suhu, kesalahan/ketidakhati-hatian

karyawan, dan kerusakan mesin serta alat kerja.

23

Berdasarkan hasil analisa bahaya ditemukan banyak sekali bahaya yang mungkin

timbul selama proses pembuatan produk udang kupas beku berlangsung. Namun, bila

dilihat signifikasinya, hanya 2 bahaya yang termasuk bahaya yang signifikan. Bahaya

tersebut antara lain, adanya residu senyawa antibiotik pada bahan baku yang terjadi pada

tahap penerimaan bahan baku dan bahaya karena adanya logam (baik Fe maupun non-Fe)

pada produk akhir yang terjadi pada tahap pendeteksian logam oleh metal detector. Hasil

analisis bahaya kemudian diuji apakah bahaya tersebut termasuk bahaya yang menjadikan

tahapannya sebagai titik kendali kritis. Pengujian yang dilakukan adalah dengan mengujikan

semua bahaya signifikan denganmenggunakan decision tree (pohon keputusan).

24

2.4 Identifikasi Titik Kendali Kritis/CCP pada Pembuatan Produk Udang

Ya Tidak Modifikasi langkah, proses atau produk

Apakah pengendalian pada tahap ini Ya

diperlukan untuk keamanan ?

Tidak Bukan TKK Berhenti

Tidak Ya

Ya Tidak Berhenti

Ya Tidak

Q1. Apakah ada langkah-langkah pengendalian untuk bahaya teridentifikasi ?

Q2. Apakah tahap ini dapat menghilangkan atau mengurangi kemungkinan adanya

suatu bahaya sampai pada tingkat yang bisa diterima ?

Q3. Dapatkah kontaminasi terhadap bahaya yang teridentifikasi terjadi

sampai melebihi tingkat yang dapat diterima? atau dapatkah kontaminasi itu

meningkat sampai tingkat yang tidak dapat diterima ?

Bukan TKK

Q4. Akankah tahap proses berikutnya menghilangkan bahaya yang

teridentifikasi atau mengurangi kemungkinan terdapatnya bahaya sampai

pada tingkat yang dapat diterima ?

TKK Bukan TKK

25

26

2.4.1 Kupas Beku

Identifikasi Titik Kendali Kritis/CCP merupakan tahap lanjutan setelah tahap analisis

bahaya. Berdasarkan analisis bahaya pada produk udang kupas beku ditemukan 2 bahaya

yang signifikan yaitu residu antibiotik dan logam. Kedua bahaya signifikan tersebut

selanjutnya diuji dengan decision tree, apakah keduanya merupakan CCP atau bukan.

Melalui decision tree diketahui bahwa adanya residu antibiotik pada bahan baku udang dan

logam pada produk akhir, keduanya merupakan CCP. Karena keduanya tidak dapat

ditangani hanya dengan penerapan GMP dan SSOP, dan membutuhkan tindakan

pengendalian.

Bahaya yang dikarenakan residu antibiotik merupakan bahaya yang menyangkut

kesehatan/keamanan konsumen yang mengkonsumsinya, sehingga digolongkan kedalam

27

food safety hazard (bahaya keamanan pangan). Antibiotik digunakan oleh petambak untuk

membunuh mikroba patogen yang biasanya menjangkiti udang yang dibudidayakan. Tetapi

jika antibiotik dikonsumsi oleh manusia yang terbawa pada produk olahan udang secara

terus menerus dapat menyebabkan mikroba target antibiotik tersebut menjadi resisten

(kebal) terhadap kerja antibiotik. Untuk itu tidak boleh ada residu antibiotik di dalam produk.

Bahaya lain yang termasuk CCP adalah adanya logam di dalam produk. Semua

benda asing yang tidak dapat dicerna dan dapat menimbulkan gangguan kerja organ tubuh

tidak boleh ada di dalam produk. Logam sebgai salah satu benda yang tidak dapat dicerna

oleh tubuh merupakan bahaya yang harus dihindari dan dicegah. Bahaya adanya logam di

dalam produk digolongkan ke dalam bahaya keamanan pangan (food safety hazard). Logam

yang ada dalam produk berasal dari pecahan peralatan logam yang terjadi pada saat

tahapan pengolahan berlangsung atauun berasal dari bahan baku itu sendiri. Biasanya

berasal dari usus udang. Untuk produk yang berbentuk blok, seperti produk udang kupas

beku, keberadaan logam sangat susah diamati dengan mata telanjang. Untuk itu dibutuhkan

alat yang dapat mendeteksi keberadaan logam. PT. Misaja Mitra Pati telah memasang alat

deteksi logam sebagai alat yang dapat mendeteksi keberadaan logam pada produk baik

besi maupun non besi dengan ukuran tertentu.

2.5 Pengawasan CCP

Langkah pengawasan titik kendali kritis meliputi tahap penentuan batas kritis,

pemantauan batas kritis, tindakan pengendalian, prosedur verifikasi dan pencatatan

(dokumentasi).

2.5.1 Penentuan batas kritis

Batas kritis adalah keadaan atau kondisi yang menjadi batas suatu produk dalam

kondisi aman atau tidak. Bila suatu kondisi yang menjadi fokus perhatian telah melampaui

batas kritis berarti produk tersebut tidak aman dan demikian juga sebaliknya. Batas kritis

yang ditetapkan oleh PT Misaja Mitra Pati mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI)

01-2705-1992 dan standar yang ditetapkan oleh pihak pembeli (buyer). Standar yang

28

ditetapkan meliputi aspek fisik, kimia dan mikrobiologis. Batas kritis untuk bahaya antibiotik

termasuk ke dalam aspek kimia. Sedangkan batas kritis untuk logam dalam produk

termasuk ke dalam aspek fisik.

Batas kritis untuk antibiotik berbeda untuk masing-masing jenis. Batasan kadar

kloramfenikol dalam produk adalah 1 ppb, Nitrofuran (Furazolidone) 0.3 ppb dan

oksitetrasiklin harus negatif. Sedangkan batasan kritis kandungan logam dalam produk juga

ditentukan.

2.5.2 Pemantauan batas kritis pada tiap titik kendali kritis

Pemantauan batas kritis pada tiap titik kendali kritis merupakan upaya dan langkah

preventif agar bahaya yang menjadi titik kendali kritis tetap terpantau dan dalam kondisi

yang terkendali. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Thaheer (2005), bahwa

pemantauan batas kritis meliputi apa yang dipantau, siapa yang melakukan pemantauan,

kapan dilakukan pemantauan, bagaimana cara pemantauan dan dimana tempat/tahap yang

dipantau.

2.5.3 Penentuan tindakan pengendalian

Jika penentuan batas kritis dilakukan untuk mengendalikan terjadinya bahaya yang

mempengaruhi keamanan pangan, maka perlu dirancang suatu tindakan yang harus

dilakukan apabila kadar bahaya telah melampaui batas kritis yang telah ditetapkan. Untuk

itulah pentingnya dilakukan tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian untuk setiap

bahaya yang termasuk dalam titik kendali kritis berbeda antara satu bahaya dengan bahaya

yang lain. Apabila dalam pengujian ditemukan masing-masing antibiotik dengan kadar

melebihi batas yang telah ditentukan, maka bahan baku udang akan ditolak dan tidak akan

diproses lebih lanjut. Karena bahan baku telah mengandung residu antibiotik akan tetap

mengandung antibiotik walaupun telah dilakukan pengolahan. Sedangkan tindakan yang

dilakukan oleh perusahaan bila ditemukan produk yang mengandung logam dengan ukuran

melebihi batas yang telah ditentukan adalah dengan menahan produk tersebut. Bila

berkemungkinan dapat dibersihkan dan dipastikan tidak terdeteksi keberadaan logamnya,

maka produk tersebut dapat diolah kembali. Tetapi bila masih terdeteksi keberadaan

29

logamnya, maka produk tersebut diolah menjadi produk non pangan (biasanya dibuat

sebagai pakan ternak).

2.5.4 Prosedur verifikasi

Prosedur verifikasi merupakan upaya untuk melihat apakah sistem HACCP yang telah

direncanakan dan dilaksanakan telah bekerja secara efektif atau belum. Prosedur verifikasi

mencakup beberapa hal, yaitu validasi HACCP, peninjauan hasil pemantauan, pengujian

produk dan auditing. Validasi dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan keakuratan hasil

pengukuran suatu alat sesuai dengan ukuran sebenarnya. Validasi alat dilakukan oleh

perusahaan sendiri dan oleh lembaga yang dapat melakukan kaliberasi pada alat tersebut.

Untuk peninjauan hasil pemantauan dilakukan dengan memeriksa setiap hasil pantauan

yang telah terekam dalam dokumen pemantauan pada tahap pengawasan titik kendali kritis.

Apakah semua tahapan telah sesuai dengan HACCP plan. Pengujian produk dilakukan

dengan menguji semua parameter yang telah distandarkan. Pengujian meliputi parameter

fisik, sensori, visual, kimiawi dan mikrobiologis. Pengujian produk dilakukan oleh pihak

perusahaan (dalam hal ini dilakukan oleh bagian Quality control yang dilakukan dalam

laboratorium perusahaan) dan pengujian produk sebelum diekspor oleh pihak pembeli

(pihak eksternal).

Kegiatan audit dilakukan oleh perusahaan secara berkala setiap harinya dan audit

mutu secara berkala oleh lembaga/badan yang memiliki kompetensi dan kewenagan di

bidang auditing. PT Misaja Mitra Pati telah melakukan proses verifikasi secara internal

maupun eksternal dengan baik. Semua hasil verifikasi tercatat dan tersimpan dengan rapi

serta berada dalam pengawasan dan wewenang divisi Quality Control.

2.5.5 Prosedur pencatatan (Dokumentasi)

Tujuan dilakukan pencatatan (dokumentasi) adalah untuk membuktikan bahwa sistem

HACCP yang dilaksanakan masih relevan untuk dipertahankan atau harus direvisi, serta

menjadi acuan untuk pengambilan keputusan dan kebijakan manajer puncak. Sistem

dokumentasi yang dilakukan oleh PT Misaja Mitra Pati telah memenuhi kriteria

30

pendokumentasian yang baik dan benar. Dokumentasi yang dilakukan oleh PT Misaja Mitra

Pati bersifat tepat waktu, tepat guna, tepat sasaran dan dapat/mudah dipahami.

31

3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis bahaya yang dilakukan terhadap tahap pembuatan produk

udang kupas beku, telah ditemukan dua jenis bahaya yang termasuk kedalam titik kendali

kritis/CCP, yaitu bahaya adanya residu antibiotik pada tahap penerimaan bahan baku dan

bahaya adanya logam pada tahap pendeteksian logam. Bahaya yang teridentifikasi sebagai

CCP tersebut, kemudian diawasi, ditentukan batas kritisnya, dilakukan tindakan

pengendalian, diverifikasi dan didokumentasikan.

Setelah dilihat dari hasil penilain terhadap penerapan sistem HACCP yang sesuai

dengan kriteria tertentu, PT Misaja Mitra Pati memperoleh nilai kelayakan dasar “B”. Hal ini

tidak sesuai dengan dengan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang dikeluarkan oleh

Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (DJP2HP) pada tahun 2007

dengan rating “A” maka perlu dilakukan tindakan koreksi dari perusahaan agar dapat

diperbaiki penyimpanganpenyimpangan yang terjadi.

Secara garis besar penerapan sistem HACCP untuk produk udang kupas beku di PT

Misaja Mitra Pati telah sesuai dengan HACCP plan yang dibuat oleh perusahaan

sebelumnya. Pemantauan (audit) yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan maupun

pihak eksternal merupakan upaya untuk menjaga sistem HACCP yang dilaksanakan tetap

baik dan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.

3.2 Saran

Sebaik apapun suatu sistem dibuat pasti tidak akan mencapai kesempurnaan, tidak

terkecuali sistem HACCP yang diterapkan. Kekeurangan dalam penerapan sistem

manajemen keamanan pangan atau HACCP terletak pada program kelayakan dasar.

Kekurangan tersebut menyangkut perilaku karyawan yang kurang disiplin (kurang sadar

akan pentingnya menerapkan sistem manajemen keamanan pangan) dan ketersediaan

peralatan/sarana kerja. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya peningkatan

32

kualitas sumberdaya manusia di perusahaan untuk dapat meningkatkan kedisiplinan dan

kesadaran karyawan dalam bekerja dan juga perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat

pada setiap tahapan dalam proses.

33

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998. Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis and Critical Control Point) serta Pedoman Penerepannya. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. 2007. RSNI 01-2705-2005. Udang Beku. Jakarta : Dewan

Standarisasi Nasional. Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International Code of Practice

General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food and Agriculture Organization/World Health Organization. Rome, Italy. Direktorat Jendral Perikanan. 2000. Ketentuan Penetapan SSOP Unit Pengolahan.

Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2007. Peraturan No.

PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta :

Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan

Perikanan. Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2009. Perkiraan relasi

ekspor dan proyeksi ekspor hasil perikanan tahun 2009. http://www.dkp.go.id/index.php/ind/news/876. [1 Juni 2009].

Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. CV Liberty. Yogyakarta. Hariadi S. 1994. Pembekuan Udang Jilid I. Surabaya : Karya Anda. Herschdoerfer S.M.1984. Quality Control in The Food Industry. Vol.1. 2nd Ed. London:

Academic Press Inc. Ilyas S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan : Teknik Pembekuan Ikan. Jakarta :

Departemen Pertanian. Mayes J. 2001. HACCP : Principles and Applications. New York : Van Nostrand

Reinhold. Moeljanto.1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar

Swadaya.