Upload
nuraniku-unj
View
612
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
Hadiah 3 bidadari
“Dear 3 bidadari”
Aku tak sabar ingin bertemu kalian
Aku ingin cubit pipimu satu persatu
Bercanda bersama, bahagia bersama dan berjuang bersama
Kurasa jika ada kalian otot-otot wajahku tak akan berhenti
bergerak untuk menciptakan senyuman
Jika ada kalian lelah ini tak akan terasa”
anganku seakan tak mau berhenti untuk menulis
surat ini, tapi malam ini, begitu cepat kurasakan
signal lelah dari mataku, padahal aku kan insomnia,
apa malam ini malah jadi handsomnia..hussst hentikan..tak
ada waktu untuk memikirkan yang handsome, tidur lebih baik
bagimu.. ya begitulah batinku sering sekali berdialog. Kucoba
seduh secangkir capucino untuk menguatkan kembali otot
mataku. Nyatanya tidak mempan, baiklah hari ini aku akan
mengalah pada mataku, teringat dari 3 hari yang lalu aku tidak
tidur, karena menyelesaikan deadline novelku. Sebenarnya
aku lebih senang menulis soft news seperti waktu kuliah dulu.
Karena itu, aku sangat suka travelling, meliput kegiatan dan
banyak hal, tapi apa daya, aku harus bisa menulis apapun yang
bisa kukerjakan di tempat tidur, kursi roda, tidak boleh jauh-
jauh.
Tok tok tok, assalamu’alaikum mar’ah “ibu memanggilku sambil
membuka pintu”
Wa’alaikumussalam “ucapku dalam hati”
Ya, hanya dalam hati. Maklum saja karena sejak 2 tahun yang
lalu aku bisu, setelah kedua kaki ku diamputasi. Kecelakaan
tertabrak truk 2 tahun yang lalu, memberikan aku kehidupan
yang harus luar biasa kujalani. Ah, aku jadi ingat sahabat-
sahabat dakwahku, sahabat yang bernaung dalam forum
Alumni Rohis.
“Ayo, mar’ah tidur segera, besok bang dani dari Al-Banna
Publishing, mau ke rumah, mau ngurus royalti menulis kamu”
ucap ibu sambil tersenyum dan mengecup keningku
T
Aku hanya bisa tersenyum, sambil membayangkan wajah bapak
di syurga, dulu pasca kecelakaan bapak benar-benar marah,
dan mencaci maki semua aktivitas organisasiku. Bapakku
bilang aku aktivis bodoh yang percaya dengan ayat-ayat yang
hakikat. Itu karena aku selalu bilang, bahwa Allah pasti akan
menolong aku sesuai dengan janjiNya surat Muhammad ayat
7. Bapakku seorang dosen filsafat, bapak meraih gelar
Doktornya pada jurusan Filsafat di UK, London. Bapak
sangat mengagumi senior-seniornya seperti pak Azumardi
Azra, Komarudin Hidayat, juga Quraisy Syihab dan juga
mengidolakan Aristoteles dan Socrates, pelopor filsafat dari
Yunani. Tentu bertentangan dengan pemikiranku. Aku lebih
menyukai ulama-ulama yang mengedepankan hati untuk
menyelesaikan berbagai masalah umat seperti Imam Ghazali,
Ibnu Athailah, Ibnu Taimiyah, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb
dsb.
Meski bapak sering kesal, bapak sempat bangga padaku, 3 hari
sebelum bapak kembali ke syurga karena usianya yang semakin
lanjut, aku dinobatkan menjadi mahasiswa terbaik saat
wisuda dengan predikat skripsi terbaik, meskipun gelar itu
kudapat 6 tahun lamanya, dan hari itu juga aku mendapatkan
Beasiswa Unggulan DIKTI berupa uang tunai, setelah
beberapa bulan sebelumnya aku apply beasiswa tersebut
melalui seleksi jalur penulis nasional. Aku sudah lama incar
beasiswa ini, karena jarang penulis-penulis nasional yang
memanfaatkan kesempatan ini. Ya begitulah, aku selalu
memanfaatkan hal yang peluangnya besar untukku, karena
aku juga memahami kemampuan diriku. Uangnya akan aku
kumpulkan untuk membeli kaki palsu yang kualitasnya terbaik.
Banyak sahabat yang ingin berfoto denganku saat itu, tanpa
menghiraukan kaki dan suaraku, yang bapakku sering bilang
seperti mayat hidup. Disinilah bapak medekapku erat dan
membisikkan permintaan maaf, atas kekerasan sikapnya
selama ini. Lalu, aku tulis di selembar kertas:
“Sekarang bapak percaya kan? Muhammad ayat 7?
Bapak mengangguk dan meneteskan air mata, sambil
mengucapkan terjemahan Muhammad ayat 7:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong agama
Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu”
Katanya bapak kagum dengan kegigihanku yang sama dengan
Socrates saat diberi hukuman meminum racun, karena
mempertahankan keyakinan dan pemikirannya. Alhamdulillah
bapak mulai suka membaca novel dan kumpulan cerpen yang
kutulis, katanya mirip Imam Ghazali dengan karyanya Ihya
Ulumuddin tapi versi fiksi karena bahasanya yang ringan,
melalui karya Ihya Ulumiddin, yang berarti “Menghidupkan
Kembali Pengetahuan Agama” ia ingin meluruskan aqidah
yang tercoreng oleh pemikiran-pemikiran barat dikarenakan
filsafat. Aku tertegun, sejak kapan bapak membaca kitab ihya
Ulumiddin. Bapak bilang, dia tidak akan pernah menuhankan
pemikirannya lagi, dan tidak memaksaku untuk menikah
dengan Rusydi. Rusydi yang semenjak semester 5 dijodohkan
denganku, karena dia sudah menjadi CEO disebuah
perusahaan, dan keduanya (bapak dan Rusydi) sama-sama
alumni sebuah organisasi yang didalamnya banyak pejabat,
cendikiawan dll yang sangat mengagunggkan prima prinsipa.
Dulu bapak bilang, Cuma Rusydi yang cocok denganku,
bahkan bapakku bangga karena dia tetap mau menikah
denganku meski kaki dan suaraku sudah tak berdaya. Sampai
saat ini, dia yang tengah menempuh studi sarjana nya di
Leiden University, Den Hag, masih sering mengirim pesan
singkat padaku. Pesan-pesan singkat yang dikirimkan juga
kepada wanita-wanitanya. Kalau bukan karena bapak, aku
mungkin tak akan kenal dengan lelaki ini, sms nya terkadang
cuma menjadi debu, diantara sms-sms mutiara yang lain.
Seumur hidupku baru dia lelaki yang berani sekali sms aku
dengan bahasanya, kadang kalau aku balas dengan tegas, dia
bilang aku tidak memanusiakan manusia. Seperti sms yang ini,
kadang aku membacanya dari ujung sedotan, sambil
kuperlihatkan pada ibuku.. ini lho bu lelaki pilihan bapak,
tidak memuliakan aku sebagai wanita yang belum jadi istrinya,
lihat saja sms nya:
“aku mencintaimu lebih tenang dari angin yang mengarungi
musim
lebih panjang dari nafas yang membatasi usia...
ya...tenang dan sangat tenang!”
“Lho itu mah namanya romantis, ibu juga dulu sama bapak
begitu, jangan berlebihan ah kamu “jawab ibu
“Bu, romantis sebelum menikah itu gak berkah lho, gak
bernilai ibadah. kita itu belum mahram, dia yang tiap minggu
ngaji di Bekasi engga sepantasnya ngirim sms kayak gitu sama
Mar’ah, kalo hati Mar’ah lagi kotor juga pasti Mar’ah bisa
kena virus ini” aku membela diri
“yaudah biar bapak kamu seneng, udah bales aja sms nya”
pinta ibu
Saat itu aku balas seperti ini, karena aku tak bisa membalas
dengan sastra jenis begitu:
“ya..tapi sayangnya saat ini musim kekeringan, musim kemarau,
disertai panas yang bertubi-tubi..ketenangan angin pun tak
kian dirasa oleh semua manusia yang kufur, sekalipun para
pecinta..bahkan nikmat nafas yang setiap hari kita hembuskan
saja..semua seolah lupa..karena mengutuk Takdir Tuhan, akan
musim ini...begitulah kisah jiwa-jiwa yang pada akhirnya tak
akan pernah tenang”
Aku sengaja memantaunya lewat berbagai media sosial,
karena aku harus tahu banyak perihal lelaki yang dijodohkan
denganku. Meski dari awal aku sudah menolak, tapi karena
suatu waktu ia terlihat seperti ikhwan, dia bilang mengaji
setiap pekan dengan ustadz di Bekasi, dan dia memahami
semua pemahaman dan aktivitasku, jadi aku hampir
mengiyakan kemauan bapak, karena kupikir kita satu visi. Dan
ternyata itu semua hanya gombal, setampan apapun tidak
akan mau aku menikah dengannya. Tingkahnya seperti Ajo
Sidi, si pembual yang membuat haji Shaleh penunggu Surau
jadi menghabisi hidupnya, dia pandai membuat orang percaya
dengan dalih-dalih Tuhan, persis sekali kisah Robohnya surau
Kami karya AA Navis. Meski dimata bapakku dia tetap lelaki
shaleh. Bapakku selalu membanding-bandingkannya dengan
teman-temanku. Kata bapakku, Rusydi tak perlu ada di
masjid-masjid, tidak aktif kegiatan atas nama dakwah yang
kamu agung-agungkan itu, tapi dia hafal Al-Qur’an 13 Juz,
suaranya bagus, dia kaya dan gayanya tetap keren tidak cupu
seperti teman-teman lelakimu. Dan dulu ketika aku masih bisa
bersuara, aku pasti membalas bapak dengan mengutip
perkataan Imam Mujahid bin Jabr
“Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah
meski ilmunya sedikit, dan orang yang bodoh adalah orang
yang berbuat durhaka kepada Allah meski ilmunya banyak”.
Tapi itu saat aku belum jadi orang sukses seperti yang bapak
mau, setelah aku di wisuda itu, bapakku menyerahkan pilihan
jodoh terserah padaku dan bapak jadi sering menceritakan
kekagumannya dengan ulama sekaliber “Yusuf Qardhawi”,
bapakku bilang fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya selalu
membuat orang lain menghindari perdebatan, meski tetap ada
saja yang mendebatnya, bahkan mencelanya, tapi beliau selalu
berhati-hati dalam menjawab, karena tidak menginginkan
perpecahan, selalu moderat dan menjadi pertengahan dalam
menjawab hal-hal yang khilafiyah (permasalahan yang masih
diperselisihkan para ulama). Bapak bercerita, pada sebuah
konsultasi yang ada pada kitab fatwa kontemporer karya
Yusuf Qardhawi, ada yang menyebutkan bahwa ada celaan
terhadap orang-orang yang berhijab biasa juga kepada Yusuf
Qardhawi sendiri karena lebih membela hijab daripada cadar.
Padahal dalam konsultasi tersebut ada bab yang menyatakan
bahwa yusuf qardhawi membela cadar tapi tidak
mewajibkannya, menurutnya cadar itu sangat baik dibanding
wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang berlenggak
lenggok untuk memikat lelaki. Bahkan beliau menegaskan
bahwa barangkali yang bercadar itu lebih “wara’” karena
kehati-hatiannya. Dan dari situlah bapak mulai merenung atas
yang ia lakukan selama ini, yang memanusiakan manusia, tapi
kadang mengkritik ayat-ayat Tuhan, yang selalu menjudge
bahwa orang berhijab lebar sepertiku adalah teroris, yang
selalu membanggakan bahwa dirinya adalah kaum yang berfikir
seperti yang selalu Tuhan sebut-sebutkan dalam ayatNya.
Dan sambil meneteskan air matanya didepan kursi rodaku
bapak berkata dengan mendalam
“Orang yang beriman adalah orang yang taat pada perintah
Allah. Dan mau seperti apa menjalankannya yang penting
masih sesuai syari’at, karena kita tidak tahu masing-masing
manusia punya penjagaan, kenyamanan sendiri dalam mentaati
perintah RabbNya termasuk wanita-wanita bercadar atau
berhijab lebar sepertimu, selama ini bapak berdosa karena
sering melontarkan fitnah terhadapmu anakku, maafkan
bapak”
Aku yang hanya bisa mendengarkan, saat itu, tersenyum lebar
sambil mataku berkaca-kaca. Aku sujud syukur dalam posisi
duduk ini. Dan rasanya kebahagiaan ini pupus setelah
esoknya, bapak ditemui di kamarnya sudah tak bernyawa lagi,
dalam posisi sujud usai sholat Dhuha, padahal malamnya
sehat-sehat saja. Kata ibu saat itu aku langsung pingsan tak
sadarkan diri, tapi aku yakin di syurga sana bapak benar-benar
dijaga oleh Allah dan diberikan tempat terbaik. Saat secara
medis dichek semua kondisi tubuhnya untuk memastikan apa
yang memicu semua ini, selain karena kondisinya yang sudah
lanjut usia ternyata pada mata nya kekuatan penglihatannya
mulai hilang disebabkan katarak, dan kekuatan penglihatan
yang hilang itu kata dokter diduga karena bapak sering sekali
menangis selama 3 hari itu. Selain itu, memang semenjak
pensiun, bapak lebih sering mengurusi usaha bengkelnya, dan
sering mengawasi saat anak buah nya menggunakan las, karena
kata dokter katarak itu bisa dipicu karena berbagai sinar yang
menyilaukan salahsatunya api las. Dan soal menangis itu aku
yang bercerita pada dokter yang juga ustadz muda itu melalui
secarik kertas, lalu dokter mengutip Surat Yusuf ayat 84
tentang Nabi Yakub a.s yang sangat sedih akibat kehilangan
Nabi Yusuf a.s yang ternyata meninggalnya Yusuf juga
merupakan kabar bohong dari saudara-saudara Nabi Yusuf
as:
“....dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam-
diam menahan amarah terhadap anak-anaknya”
Ya itulah sepenggal cerita tentang aku dan bapakku,
sedangkan ingatanku tentang kecelakaan yang menimpa diriku
sangat menguji keikhlasanku sebagai seorang aktivis dakwah.
Aku yakin ini adalah jawaban atas do’a-do’aku, karena Allah
Maha Tahu apa yang terbaik untuk diriku dan keluargaku.
Sama seperti Allah mengijabah do’aku untuk kakak
perempuanku. Aku selalu berdoa agar kakaku bisa kembali
seperti dahulu, berhijab yang rapi, dan tetap berprestasi,
kagum dengan muslimah-muslimah yang hanya karena Allah
dia mempersembahkan dirinya, tidak terlena dengan tabarruj
(berhias diri) untuk yang bukan mahram nya. Dan ternyata
benar, Allah mengijabah dari arah yang lebih baik dari yang
kupinta, Allah memberikannya pangeran yang sekarang jadi
suaminya, shaleh, penggiat Sunnah, berhati-hati dan
menyarankan kakaku untuk berhijab dengan rapi, longgar
menutupi dada, menggunakan rok, dan lain sebagainya.
Semoga Allah memberkahi keduanya yang kini sedang meniti
keluarga kecilnya di Seoul. Ingat kakaku aku jadi ingat
kecelakaan itu, karena saat itu kakaku sedang sms
menyemangati aku:
“ayoo semangat skripsi!!! ada ikhwan aktivis masjid di Seoul
nih yang cocok buat kamu..uhuuuuy”. Ah, kakaku memang
paling bisa membuat wajahku merona.
Saat kecelakaan itu, aku sedang buru-buru untuk menyiapkan
acara penyambutan siswa baru Rohis di SMA 20 Jakarta,
setelah sebelumnya aku bimbingan skripsi terlebih dahulu di
kampusku. Aku memaksa diriku menggunakan motor baru
yang kudapat dari PLN writing competition sebagai hadiah
utama lomba menulis esai. Karena jika kuhitung-hitung waktu,
tidak akan sempat untuk mengurusi semuanya jika naik patas
biasa, sedangkan aku harus mengurusi banyak hal, sewa LCD
yang harus kuambil di Pulogadung, mengambil pesanan
konsumsi, menjemput pembicara kedua, karena pembicaranya
wanita, mengantarkan kamera segera untuk dokumentasi.
Belum lagi aku kepikiran soal skripsi yang terus menerus di
revisi, karena buah cinta dosen pembimbingku padaku, ya aku
selalu berhusnudzhan. Semua itu aku lakukan sendiri bukan
karena aku individualis, tapi karena semua sahabat-sahabatku
cuti, alias izin untuk tidak mengurusi dakwah sekolah dulu,
diantaranya karena PPL, skripsi, bekerja, persiapan menikah,
keluar negeri dsb. Padahal aku juga merasakan hal yang sama.
Tapi aku senang, karena kerja dakwahku semakin banyak, dan
Allah pasti akan menolong hambaNya yang menolong agama
Allah. Rohis sekolahku ini baru berdiri, birokrasi dengan
sekolahpun belum baik, anggotanya pun baru 5 orang. 3 orang
siswi kupegang dalam mentoring. 2 orang siswa kadang
kugabungkan dalam mentoring, karena belum ada alumni laki-
laki yang mau terjun membimbing mereka.Jadi, memang butuh
kerja keras, dan tidak membebankan pada adik-adik rohis,
biar mereka fokus pada publikasi saja, dan menarik calon
anggota Rohis yang baru. Usai kecelakaan itu, aku kagum
mendengar kabar lewat pesan singkat, dari 3 adik
mentoringku, dan ibuku yang membacakannya. Saat itu aku
sudah sedikit sadar.
“kaka, Alhamdulillah ada 75 orang anggota Rohis yang
mendaftar dan hadir, pembicara mau membantu Rohis kita”
Tapi saat itu mereka belum tahu, kalau aku sedang terkapar
di ruang ICU, bahkan kaki sudah tak jelas bentuk dan rupa
nya. Tiba- tiba bapak, merenggut HP itu dari ibu, dan
membantingnya kearah dinding.
“Rohis, Rohis, Rohis...hidupmu Cuma untuk Rohis?, sekarang
kamu sudah tidak berdaya, kamu tidak bisa jadi apa2, kamu
hanya jadi manusia sampah yang hanya bisa berbaring..ini
semua karena Rohis, Rohis, Rohis ” bapak menyentak
“Pak, sudahlah..mar’ah sedang butuh istirahat, dia baru sadar
lho ini, dan dia harus segera baik psikisnya dan bersiap untuk
amputasi” ujar ibu menenangkan
Sejak awal, aku sudah diberitahu ibu perihal kaki yang hancur
ini dan harus diamputasi. Dzikir-dzikir sore menguatkanku,
dan membuatku cepat sadar. Lagipula, aku harus menerima
kenyataan ini. Dan bersiap memulai hidupku yang baru dan
membahagiakan kedua orangtua lewat pintu yang lain..
tenang.. aku masih punya akal dan hati. Einstein saja yang
begitu geniusnya baru menggunakan 3% otaknya, jadi
sebenarnya otak itu luar biasa. Aku selalu mengagumi karunia
berupa otak yang Allah beri.
Satu hari setelah acara penyambutan anggota baru Rohis itu,
anggota Rohis, alumni Rohis, guru-guru, bahkan 2 pembicara
itu akhirnya tahu kalau kondisiku parah. Mba Eva, seorang
mahasiswa pascasarjana jurusan terapan psikologi anak usia
dini di UI yang mau aku jemput beberapa menit sebelum acara
itu, merasa sangat bersalah, karena dirinya merasa terlalu
manja untuk minta jemput. Memang kecelakaan itu terjadi
saat aku mau belok ke arah Depok, untuk menjemputnya,
setelah 2 jam sebelumnya aku mengantarkan LCD, Konsumsi,
kamera, kemudian bantu-bantu urus perlengkapan dan
memastikan kehadiran pembicara pertama di SMA 20.
Semuanya meminta maaf padaku, dan mereka semua termasuk
2 pembicara itu berkomitmen untuk memajukan Rohis SMAN
20. Aku tak bisa menahan tangisku saat itu, karena entah
knapa aku merasa pundakku jadi tak ada beban. Mungkin
karena kondisinya aku sedang sangat lemah.
“Mar’ah ayo mandi dulu, bang Dani 1 jam lagi akan datang”,
ujar ibu
Ternyata sudah pukul 06.00. Tak terasa tadi malam aku tidak
tidur, padahal tadinya aku berusaha mengalah pada mataku,
tiba-tiba aku teringat point-point SPP (Surat Perjanjian
Penerbit) yang harus aku pelajari dahulu untuk hari ini
tentang hak kewajiban penulis dan penerbit, karena ada 1
novel terbaruku yang berjudul “Cinta dua warna” lolos dan
layak untuk diterbitkan. Jadi saat bertemu bang Dani aku
tidak usah berfikir lama, dan menulis lama,tentang hal-hal
terkait waktu terbit, spesifikasi buku (tebal, jenis kertas,
sampul dan jilidnya), perkiraan harga jual, dan DP royaltinya,
kalau soal royalti dan cara pembayaran, aku samakan
sistemnya dengan yang biasanya, karena sudah lebih dari 5
novelku dan 3 buku remaja Islami yang diterbitkan Al-Banna
Publishing, ya Alhamdulillah dari puluhan karya yang pernah
aku buat ada juga yang lolos cetak. Aku bangga dengan
kepiawaian bang Dani dalam mengelola perusahaan penerbit
itu, karena semua sistemnya sangat baik, menguntungkan satu
sama lain, dan jika terjadi hambatan yang menyebabkan buku
tidak jadi diterbitkan, bang Dani sebagai Publishing Senior
Manager turun langsung untuk berkomunikasi dengan
penulis, dan DP yang sudah diberikan tidak diminta ataupun
diungkit kembali. Karena memikirkan itu semua, akhirnya tadi
malam aku hanya sejenak istirahat dari aktivitas dunia, dan
menyegerakan tubuhku untuk shalat malam, dan membaca Al-
Quran. Disepertigamalam itu, saat aku bermanja dengan
Rabb-Ku, mengadukan semua kerinduan bahkan permasalahan
yang kurasakan. Kenanganku akan kejadian ini selalu
menghiasi malam-malam istirahatku.
“Assalamu’alaikum “Suara seorang laki-laki lembut
memecahkan keheningan
“Wa’alaikumussalam,oalah nak Dani ayo masuk” ujar ibu
Semenjak kecelakaan itu, rasanya laki-laki baik yang ku kenal
dekat hanya bang Dani. Aku mengenalnya dari temanku yang
memberikan rekomendasi trainer untuk menjadi pembicra
saat penyambutan anggota baru Rohis di SMA 20. Ya, dialah
bang Dani, pembicara pertama, yang juga menjengukku waktu
aku terkapar. Dan dia juga, yang sekarang membantu
memajukan rohis di SMA 20, 2 orang siswa yang dahulu
kupegang, sekarang dipegang oleh bang Dani, sedangkan tiga
siswi yang dulu kupegang juga, dipegang oleh mba Eva. Aku
kadang iri dengan mereka, karena dakwahku tidak
seproduktif mereka, aku hanya menulis menulis dan menulis,
karena aku berharap jika aku sudah tidak ada nanti, tulisan-
tulisanku tetap ada untuk mengubah dunia. Seperti Chairil
Anwar yang terkenal dengan karyanya “Aku ingin hidup seribu
tahun lagi”, meskipun sudah tak ada, benarlah bahwa dia
seperti hidup seperti 1000 tahun, karena karyanya tidak habis
dimakan waktu.
“Ana semakin kagum dengan tulisan mar’ah, bahkan
penerbitpun mempercayakan novel baru lagi dari mar’ah, jika
mar’ah tidak keberatan, dan novel cinta dua warna ini ana
yakin akan jadi best seller “ ujar bang Dani sambil membaca
komentarku tentang SPP (Surat Perjanjian Penerbitan) sambil
terus menunduk”
Aku hanya tersenyum dan menulis di kertas
“aamiin...tentu saja bang dani, saya akan berusaha
memberikan yang terbaik ”
Tiba-tiba ibu ikut berbincang disela-sela obrolan kami
“Dani, ditunggu ya undangan pernikahannya, kayaknya cocok
sama eva “ibuku tiba-tiba nyeletuk sambil tertawa”
Ah, ibu bisa saja, mar’ah saja dluan bu, pasti akan
mendapatkan lelaki yang luar biasa “bang dani mengelak
dengan gaya leluconnya tapi malu-malu”
Aku sebenarnya kesal, berasa diledek, wanita dengan
keterbatasan kayak aku ini, dapat teman saja sudah sangat
senang, apalagi mendapat suami yang shaleh, jika tidak
mendapatkannya di dunia, aku sudah siap mendapatkannya di
akhirat.
Dan akupun menulis
Aaamiin, nunggu tabungan terkumpul dulu buat beli kaki
palsu yang berkualitas..hehe
Setelah selesai MoU, bang Dani kembali ke kantornya. Dan
aku merasa sangat rindu dengan suasana dakwah sekolah.
Aku ingin seperti eva, yang sukses dengan gelar magisternya,
dan punya adik2 mentor yang banyak, aku ingin kembali lagi.
Tiba-tiba ada 3 pesan masuk
“kaka...buka chat deh aku mau curhat, kondisinya gawat nih”
fu’ah mengirim SMS
“kaka...aku kangen kaka, kaka masih sibuk nulis ya..terus
kapan kita bisa ketemu?” Rara mengirim SMS
“kaka...aku beneran udah siap nih pake jilbab, ajarin aku ya
pake yang syar’i, tapi aku masih tetep cinta suju..g apa2 ya
kak..hehe” Viona mengirim SMS
Tiga adik yang kukenal lewat chat sejak 6 bulan yang lalu,
mereka mungkin belum tahu kondisiku yang sebenarnya, tapi
mereka bilang sangat nyaman denganku. Kamipun sering
chatting bertiga, mereka adalah siswi dari 3 SMA yang
berbeda, ada Raisya silmi kaffah, biasa dipanggil rara. Ada
Tho’ati marfu’ah biasa dipanggil fu’ah. Ada Viona Schmleider
yang biasa dipanggil viona. Entah bagaimana, mungkin ini
bagian dari rencana Allah, kita seperti keluarga. Meskipun
aku tidak menjadi kaka mentor yang membuat lingkaran
cahaya di masjid-masjid, tapi aku merasa, mereka adalah adik-
adik yang Allah sengaja pertemukan untukku, aku jadi sangat
senang. Usai shalat Dzuhur, aku langsung online, setelah
sebelumnya aku membalas pesan singkat mereka
“baiklah, segera meluncur ke dunia
maya..cihhhhuuuuy..kangen kalian semua..luph u lillah“ aku
membalas pesan mereka
Aku : Hai adik-adiku saya...gimana kabar-kabar? miss
you..ayo..apa yang mau diceritain
Fu’ah: Kaka..aku terpilih jadi kaput di Rohis SMA ku, tapi
aku merasa sendiri disini, hanya abangku yang selama ini
mensupport aku. Abangku minta aku mengaji tiap pekan nya,
untuk menjaga semangat aku di Rohis, aduuuuuh...bingung,
aku disuruh cari guru ngajinya...aku mau ketemu kaka banget
Viona: Kak..miss u too.. aku sekarang sudah berjilbab lho..
pacarku mutusin aku, karena aku di bilang gak gaul gara-gara
jilbab, gak sexy katanya, tapi seperti yang kaka bilang, lelaki
yang baik, pasti tak akan pernah melarang kita untuk ta’at
pada Allah. Aku butuh kaka banget.
Rara: Kaka, udah liat berita belum? Dua orang korban
tawuran itu berasal dari sekolahku. Sebagai ketua osis aku
harus bertindak tegas nih, kaka tau kan di sekolahku gak ada
pembinaan keagamaan, ini yang miskin dari sekolahku..selama
ini aku hanya berusaha pasang di mading tulisan dan artikel-
artikel kaka, tapi rasanya itu belum maksimal kaka..pada
punya ide gak aku harus gimana? Aku juga butuh kaka banget
Aku: :’) Subhanallah adik-adikku...kalau lewat chat saja tidak
cukup ya? Kaka khawatir kalian tidak senag ketika bertemu
kaka, tapi kaka sangat ingin bertemu dan membantu kalian.
Kaka berharap kalian saja yang menghampiri kaka..
Viona: Kenapa kaka sakit ya? Kaka tumben jawabnya gak
ceria?
Rara: Kaka sayang kita tunggu sampai kaka sembuh ya
Fu’ah: Betul kak, untuk sementara, kami cukup kok dapat
masukan dari kaka.. cepet sembuh ya kaka sayang..apa kak
bahasa arabnya? Syafakillah ya ?
Aku: Hehe, kaka ceria kok..iya betul syafakillah..hehe..Saran
kaka, lebih baik kalian bertiga yang bertemu, saling membantu.
Viona, di sekolahmu baik2 saja kan? Nah sepertinya kamu
butuh kesibukan untuk melupakan masa lalumu, bantuin rara
ya. Fu’ah, kaka mengerti apa yang kamu rasa, bulan ini bikin
acara yang gak bentrok sama acaranya rara, jadi kalian bisa
saling membantu
Viona: Oke kak, tapi rumahku kan di Bekasi
Fu’ah: Eh, gak ada alasan..untuk kebaikan kita harus selalu
siap..tenang neng viona geulis! abang jemput ya..hehe
Rara: Inget kutipan ayat yang ada di novelnya kak mar’ah
tentang Odi yang mau nyelametin anaknya abah Supri
“Berangkatlah dalam keadaan berat maupun ringan!”
Viona: Ia abang Fu’ah..hehe.. pantes juga.. oke ustadzah
rara..wuih pantes juga.. iya donk.. neng geulis muts viona
getoh ..hahay
Aku: Tepok jidat..hehe.. keren kalian keren
Chat ini rasanya menarikku pada kondisi beberapa tahun
silam, saat aku masih sehat, bercanda tawa langsung dengan
anak-anak disela-sela rapat. Aku merasa pundak ini kembali
terisi, tapi tak seimbang. Karena aku tidak terjun langsung
mengurusi ini semua. Ah, aku rindu.
Dua kali seminggu, rapat tentang training “Pemuda, Agent of
Change” dilaksanakan melalui chat, kini semuanya sudah
lengkap, perlengkapan, konsumsi, pembicara, dokumentasi,
dan semuanya, mereka benar-benar berusaha keras untuk
mendapatkannya. Mereka tangguh.
“empat yang kuat berjumlah 400” Rara mengirim pesan satu
hari sebelum acara
“Alhamdulillah Lho kok empat?”balas aku
“Kan tambah kaka satu..jadi empat ” rara membalas
Beberapa jam sebelum kegiatan itu dilaksanakan tiba-tiba rara
meminta aku untuk sambutan, sedangkan kaki palsu yang aku
tunggu dari rumah sakit belum datang juga, harusnya
kemarin. Akhirnya aku hanya bilang minta maaf, karena tidak
bisa membantu langsung. Tapi rasanya mereka semua marah
terutama rara, aku bingung menjelaskannya.
Selama hampir tiga bulan chat maupun sms ku tidak direspon,
aku sedih karena telah melemahkan semangat mereka, tapi
aku tetap menulis untuk mereka, di setiap catatan facebook
mereka. Padahal aku sudah menawarkan untuk bertemu
kembali, karena kali ini sepupuku bisa mengantarkan dan kaki
palsu sudah kugunakan. Tapi aku cuma memberitahu mereka
aku akan diantar sepupuku kali ini. Aku tak berani
menjelaskan kondisiku yang sebenarnya.
“oh jadi Cuma karena sepupu, kaka itu masih di Jakarta, naik
angkot kan bisa..katanya berangkat dalam keadaan berat
maupun ringan..gimana sih? Kami kecewa.. meski kami
akhirnya mendapatkan pengganti kaka yaitu abangnya Fu’ah,
dia menolong kami secara nyata. Sekarang tanpa bantuan
kaka pun, Rara dan teman-teman dibantu abangnya Fu’ah
sudah mendirikan Rohis, kaka tak perlu chat kami lagi ” Rara
membalas via chat
Aku jadi ingat bapakku dan benar-benar merasa menjadi
bangkai hidup, dan seketika tubuhku lunglai, aku melepas
kedua kaki palsuku, rasanya tak berarti lagi, tiba-tiba teman
satu lingkaran cahayaku, ya begitulah ku sebut. Teman
mentoring yang masih terjaga silaturrahimnya meski dia study
di luar mengirimkan pesan yang menguatkanku:
“Allah will never leave you empty, Allah will replace
everything you have lost. If Allah ask you to put something
down, it is because the OMNISCIENT wants you to pick up
something GREATER!”
Batinku benar-benar terasa lemah, rasanya air mataku sudah
terlalu sulit untuk mengalir. Saat itu aku merasakan
kegersangan yang luar biasa, ada rutinitas yang hilang dari
kehidupanku. Ya..aku rindu, aku rindu pertemuan mentoring
yang rutin sepekan sekali seperti dahulu, keterbatasanku
membuat aku tidak rutin menjalaninya. Aku menyesal karena
tidak menjadi seorang pencari ilmu yang haus seperti Hasan
Al-Banna, imam syafi’i, mungkin inilah teguran untukku. Inilah
teguran untukku, disaat anak-anak itu haus ilmu, maka wajar
mereka jauh dariku, karena akupun tak memiliki itu.
Saat aku merasa lemah seperti ini, ternyata banyak tawaran
dari berbagai penerbit, agar aku menulis kembali, karena
ternyata penjualan novel Cinta Dua Warna sangat laku
dipasaran, bahkan best seller hingga ke Australia, ribuan
eksemplar dikirim sebagai pesanan buruh migran di Hongkong,
dan Al-Banna publishing pun semakin dikenal, bang Dani
sangat berterimakasih padaku, dan Bang Dani bilang owner
Al-Banna publishing akan mengadakan malam penganugerahan
dan akan menghampiri langsung ke rumahku. Aku tahu ini
cara Allah menghiburku.
Tapi, itu tidak mengobati kegersanganku, sedikitpun. Bahkan
ibu, jujur padaku, bingung harus bagaimana membuat aku
tersenyum. Hingga aku merasakan kelelahan yang sangat, dan
aku punya kekhawatiran tak dapat bangun lagi. Jadi aku
mengirimkan sms minta maaf pada semua teman-temanku,
bahkan pada Rusydi. Beberapa membalas, termasuk Rusydi:
“Hai, aku sudah dapat gelarku disini, aku mau menunaikan
amanah bapakmu untuk segera menikahimu duhai embun,
kupikir kamu sudah lupa padaku, juga lupa pada amanah
bapakmu..ik houd van jou”
Aku yang sedang selemah ini membaca itu dengan rasa kesal,
kenapa masih saja dia menggodaku, tiba-tiba mata ini basah
dengan penuh harap memohon agar Allah selalu menjaga
kesucian jiwaku, agar Allah selalu menjaga niatku, Agar Allah
selalu menjaga hatiku, mesti aku tidak tertarik dengan Rusydi,
tapi aku tetap khawatir, setan menyusup ditengah
kekhawatiranku ini, buktinya tanganku inginku membalas sms
nya tapi izzah dan iffahku menahannya, aku beristighfar
sebanyak-banyaknya, kubaringkan tubuhku, dan perlahan aku
pejamkan mataku, dan tak lupa aku berucap syahadat, itu
yang kulakukan setiap kali mau tidur.
Tiba-tiba gelap, air langit turun perlahan membasahai bumi,
disertai gemuruh yang memekakkan telinga, nyatanya aku
sudah tak dikamarku lagi, dari kejauhan ada tiga remaja
dengan payung hitamnya, yang berjalan menuju arahku,
mereka menunduk seolah menunjukkan kesedihan yang luar
biasa. Saudara-saudaraku dari Ciamis, bahkan kakaku dan
suaminya serta putri kecilnya datang ingin menghampiriku,
tapi semuanya berpakaian gelap, ada lelaki gagah, berjanggut,
yang sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana..dia
memayungiku, mengantarku ketempat kerumunan orang yang
tadi kupikir akan datang padaku. Dia tak menatapku, tapi dia
menunjukkan aku tempat yang menakutkan, tempat yang
didalamnya ada makam di tengah lapang luas, dan aku lihat
nisan yang sedang dikerumuni keluargaku “Mar’atus Shalihah
binti Gunawan lahir Jakarta, 17 Oktober 1989, dimakamkan di
Jakarta, 17 Oktober 2015”. Aku menjerit, tubuhku lunglai,
lemah, aku menangis sekencang-kencangnya.
“Mar’ah...Mar’ah...Mar’ah”
Aku mendengar suara ibu memanggilku
“Mar’ah kamu bisa berteriak nak?” Tanya ibu sambil berkaca-
kaca
Sedangkan aku masih belum terlalu sadar akan suasana ini.
“Aku dimana”? tanyaku
“Kamu di kamarmu nak” jawab ibu
“Subhanallah, kamu sudah bisa bicara lagi Nak” ibu
mendekapku erat
Kemudian aku melihat ibu, sujud sebagai tanda syukur.
Aku sadar, tertanya pemakaman tadi hanya mimpi, dan aku
berkaca di cerminku.. ya Rabb.. yang sekarang nyata adalah,
aku bisa berbicara kembali. Engkau menghiburku kembali,
suaraku sudah pulih, aku bisa berbicara lagi,
“Tapi apakah rara, viona dan fu’ah, masih mau menemuiku?”
tanyaku dalam hati
Taman depan rumah yang daun-daunnya semakin rimbun,
bunga bunganya bermekaran, udara sejuk merasuk kedalam
rongga, seolah mendukung kebahagiaanku pagi ini.
Aku duduk di kursi roda, ibu menyuapiku di halaman depan
rumah, ibu tersenyum, karena baru ibu yang tahu, soal
kesembuhan ini.
“Mar’ah, ada yang memintamu untuk ta’aruf melalui umi
Nana, sejak 3 hari yang lalu. Dan hari ini Umi Nana, mau
menjadi pendamping ta’aruf kamu, karena kamu dari kemarin
lemah sekali, jadi ibu yang menyiapkan semuanya, tapi dari
pihak ikhwannya, tidak memerlukan biodatamu lagi, karena
dia sudah mengenalmu” ujar ibu
“Apa? Hari ini bu? Dia tau aku bisu tadinya bu?” selidik aku
“Ya, dia tau semuanya, dia tau aktivitasmu, dia tau
kekurangan anggota tubuhmu, aktivitasmupun dia tau” jawab
ibu
“Lho, aneh ya, kok ada yang mau sama aku ya bu, ibu ada-ada
saja membuatkan aku biodata” aku ragu sambil menggoda ibu
“Kamu harusnya bersyukur Mar’ah, Ibu ingin kamu
berkeluarga nak, dan doa ibu dikabulkan, kamu sembuh” ucap
ibu sambil tersenyum
Lalu dihalaman, aku belajar berjalan....ibu benar-benar
menemaniku, rasanya ku tak ingin meninggalkannya, jika
proses ta’arufnya nanti lancar.
“Assalamu’alaikum”
Suara tiga remaja yang serentak, menghentikkan aktivitasku.
Tiba-tiba tiga remaja itu berlari kearahku, dan memelukku
erat, seperti sudah kenal lama denganku, mereka meneteskan
air mata. Sebelum ta’aruf nanti dimulai sampai selesai, aku
masih harus bertahan dengan kebisuanku, karena itu
kesepakatan aku dan ibu, biar menjadi surprise. Saat mereka
memelukku aku merasa bahagia.
Lalu kuambil kertas dan ku tulis:
“adik-adik manis, kalian siapa? Apakah kalian rara, fu’ah dan
viona” tebak aku
Mereka mengenalkan diri satu persatu sambi menangis dan
meminta maaf
“Kakak, aku viona,anak kecil yang sangat mengagumi kakak,
aku kangen kaka, kenapa kaka gak menceritakan kondisi kaka
sebelumnya, maafkan kami sudah jahat sama kaka”
“Kaka aku Fu’ah, akhwat muda yang ketangguhannya
ditularkan dari kaka..bukankah kaka dulu pernah bercerita
tentang syekh Ahmad Yasin lewat tulisan kaka, meski kakinya
lumpuh, matanya setengah buta, tapi dia tetap memiliki
pengaruh kuat pada anak-anak didikannya, bahkan dia mampu
mendirikan universitas di Gaza”
“Kaka, aku Rara..harusnya kaka tidak perlu malu-malu pada
kami, betul yang fu’ah katakan, Bahkan kaka bilang anak-anak
didikannya selalu yang terdepan dalam menghadapi zionis,
terutama saat intifadhah”
Tiba-tiba ada mas-mas yang membawa kue ulang tahun... dan
anak-anak itu membawakannya untukku:
“Barakallahu fii umrik ya kak.. kita sayang kaka karena Allah”
Mereka mendekapku erat, sambil memberikan bungkusan yang
dikeluarkan dari tas viona..
“ayo kaka dibuka”..ujar viona
Aku buka perlahan bungkus kado bermotif love ini, dan
boneka hello kitty yang sangat lucu ada dibalik bungkusan
kertas itu. Aku baru sadar kalau hari ini ulang tahunku yang
ke 25, aku jadi ingat batu Nisan itu. Rasanya kegersangan itu
tersiram oleh air mata cinta, aku merasa segar kembali,
bahkan lebih dari saat aku tak bisu lagi. Aku mendekap
mereka dan menulis:
“Terimakasih, kaka juga sayang kalian karena Allah, tapi kalian
tau dari mana semua tentang kaka?
“Ada deh” ujar fu’ah, rara dan viona
“Assalamu’alaikum” salam dari wanita lembut mewarnai
suasana ini
“Bun, Mar’ah ditunggu di Mushalla“ Umi Nana meminta izin
pada ibuku
Umi Nana, langsung memintaku untuk segera ke Mushalla
yang tak jauh dari rumahku, tiga bidadari itu ikut ke
mushalla, umi nana juga mendampingiku
Saat itu proses ta’arufnya dimulai, para pendamping meminta
untuk membaca Basmallah dan selalu meluruskan niat karena
Allah, Alhamdulillah semua terjaga, dia dan pendamping
ta’arufnya ada di balik kain putih pembatas wanita dan pria,
begitupun aku. Karena dia pikir aku masih bisu, jadi dia saja
yang memperkenalkan dirinya memperjelas apa yang ada dalam
biodata
Namanya oryza sativa, dipanggil riza, dia 9 tahun lebih tua
dariku, pekerjaannya adalah dokter dan owner disebuah
penerbit
Dia bercerita punya satu adik yang centil, menyebalkan,
adiknya seorang akhwat yang juga ketua keputrian, makanya
salah satu alasan dia memilihku adalah, berharap bisa menjaga
adiknya juga
Tapi aku heran, ekspresi fu’ah dan teman-temannya aneh..
Fuah menggenggamkan tangannya seperti orang kesal,
sedangkan yang lainnya, tertawa ambil ditahan. Mereka
memang lucu.
Dari belakang, aku dengar adik-adik bisik, mempertanyakan
soal nama yang ilmiah
“aih, namanya ilmiah banget sumpah” ujar viona
“maknanya keren kalee..itu kan nama latin dari padi” rara
membela
“ya g apa-apa selagi maknanya baik.. , tau gak Hanzhalah yang
jadi syuhada’ pas malam pertama pernikahannya itu juga
namanya berasal dari nama tumbuhan tau.” Fu’ah menjelaskan
dengan pengetahuannya
Lalu tiba saatnya saling melontarkan pertanyaan, katanya aku
saja yang bertanya, dia sudah yakin semuanya. Aku bertanya
di selembar kertas tentang beberapa hal:
1. Terkait prioritas yaitu Prioritas Dakwah, prioritas
pengeluaran
2. Perencanaan keuangan, pemanfaatan uang, bagaimana
menaikan nilai uang, dan pendapat jika istri kelak tidak
bekerja
3. Program penjagaan ibadah bersama, Pembinaan keluarga
termasuk pola asuh anak
Aku sengaja bertanya, karena aku yakin dia bisa menjawabnya,
agar aku lebih memahaminya, apapun jawabannya itu tidak
penting bagiku, karena kalau tidak sesuai, nanti bisa kita
rundingkan bersama.
Selesai menjawab semua, dia meminta untuk melihat wajahku,
untuk meyakinkan katanya
“ayo mar’ah, nadzor itu bagian dari sunnah Rasul” umi nana
meyakinkan
“umi aku minder, aku cacat umi” tulis aku di selembar kertas
Kemudian umi mengajakku ke pojok Mushalla, Umi
menatapku dan berkata:
“yakinkan dalam dirimu, katakan aku seorang pejuang,
akuseorang mujahidah, aku umat terbaik yang Allah ciptakan,
aku patut dibanggakan karena dalam diriku mengalir berbagai
potensi dan prestasi, aku ingin Allah bangga melihatku”
Aku tak kuasa menahan mutiara dari sudut mata, hampir saja
aku kufur, ya betul aku tak boleh minder.
Saat tabir dibuka, Aku menunduk tak mau melihat, aku yakin
pasti dia tua sekali, tapi karena dia dengan tawadhu mau
menerimaku, bagaimanapun fisiknya ku terima
“Fu’ah ngapain kamu disini? Ujar kak Ryza
Ternyata dia kenal fu’ah dan fu’ah yang pertama ia tatap
karena Fu’ah ada di pojok tembok, sejajar dengan tabir yang
sedang dibuka
“cie bang Ryza” ujar Fu’ah
“Afwan, Fu’ah itu adik ana, Dani yang memberi tahu lokasi
dimana anti tinggal” dia berbicara sambil menunduk kembali
Aku hampir tak percaya sedemikiankan skenario yang Allah
buat.
Kemudian proses nadzor dilanjutkan lagi:
aku hanya bisa menunduk, takut untuk melihatnya, tapi
semakin bangga juga, karena ternyata yang tempo hari dibilang
penggantiku itu adalah kak Ryza, dan ternyata pendamping
ta’aruf itu adalah Bang Dani.
Tafadhal, anti juga boleh melihat calon..ujar bang Dani
kamu tidak mau melihat calonmu, tidak menyesal? Ujar Umi
membisik
Lalu perlahan aku ajak mataku untuk melihatnya, aku pernah
melihatnya, tapi dimana, aku kaget sambil mengingatnya, tak
sengaja aku bicara
“Ustadz dokter?”
Ternyata itu ustadz yang memeriksa bapakku sebelum
dikuburkan
Semuanya melihat kearahku, mereka kaget, aku sudah bisa
bicara, lalu pas sekali ibu datang ke mushalla sambil bawa
minum.
“iya anakku, sudah sembuh dari bisunya tadi pagi, dia mau
memberikan surprise untuk calon suaminya” ujar ibu
Iya, ana ustadz dokter, yang dahulu pernah bertemu anti
sambil menyelami surat yusuf ayat 84 “kak Ryza meyakinkan
Aku merasa sangat malu saat itu karena kekagetanku, adik-
adik mendekapku dan mengucapkan selamat sambil berurai air
mata, begitupun umi Nana, umi di lingkaran cahayaku.
Tabirnya ditutup kembali, dan aku lihat bayang-bayang lelaki
yang sedang bersujud... Alhamdulillah..
Semua pertanyaan sudah saling dilontarkan, dan aku sudah
merasa cocok, begitupun dia, tinggal senin besok, dia dan
keluarganya akan datang ke rumahku untuk menetapkan
tanggal walimah. Hari ini aku bahagia sekali.
Dari balik tabir mushalla, ada dua undangan yang diselipkan,
yang satu dari bang Dani, ternyata dia akan menikah dengan
sahabatku yang sekarang masih di Jerman, yang tempo hari
sms aku.
“Wah, aku bahagia dia akan menikah dengan asmah” ucapku
dalam hati
Undangan yang satu lagi, yaitu undangan malam
penganugerahan, tapi malam selasa, agak mepet waktunya
“kalau pertemuan keluarganya diundur bagaimana?” tanyaku
“kita dan keluarga bertemu saat malam penganugerahan saja
ya” jawab Ryza
“Lho kok bisa gitu? “ Aku bertanya
“Iya mar’ah, owner al-Banna Publishing itu Ryza” Bang Dani
meyakinkan
“Subhanallah semuanya memang rencana Allah” jawab aku
“Mulai dari sekarang, adik-adik yang ada disitu dijagain,
sepertinya sudah cocok dengan anti, dibuat satu kelompok
mentoring saja” kak Riza meminta dengan serius
Usai pertemuan itu, aku dan tiga bidadari menjadi rutin
bertemu sepekan sekali, berganti-ganti tempat mengaji, saling
mengunjungi.
Dan akhirnya usai malam penganugerahan itu, ditetapkanlah
tanggal pernikahan kami, aku dan mas Ryza, Ya kurasa lebih
cocok dipanggil mas.
Hingga 3 minggu kemudian
“saya terima nikahnya mar’atus Shalihah binti Gunawan
dengan mas kawin villa Cisarua dan perpustakaan tarbiyah
dibayar tunai”
Aku tak menyangka mas kawin yang diberikan sangat
berharga, waktu itu mas Ryza bertanya melalui fu’ah, lalu
kujawab, kalau memang itu bagian dari sunnah dan tidak
memberatkan, berikan apapun yang bermanfaat untuk kita
dan aktivitas kita, dan ternyata mas kawin yang diberikan
adalah impianku 4 tahun yang lalu.
Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian hadiah dari mas
Ryza berupa tasmi’ atau hafalan surat Ali Imran 50 ayat, 150
ayatnya lagi nanti dilanjutkan selesai resepsi, di waktu yang
tepat, karena harus bersegera untuk persiapan resepsi.
Semua berjalan lancar, akad dan resepsinya, banyak dihadiri
oleh keluarga, rekan kerja dan teman-teman.
Empat bulan sudah aku dan mas Ryza dan aku hidup bersama,
sudah banyak impian-impian yang kita list bersama, yang utama
untuk dakwah sekolah selain mengelola villa dan
perpustakaan tarbiyah:
1. Bikin sekertariat alumni Rohis
2. Membuka Lembaga Tahsin, tahfidz untuk siswa dan
guru-guru, terutama di SMA 20 dan SMA nya Rara
3. Membuka lembaga jurnalistik Islam
4. Mengelola usaha untuk alumni Rohis
Mas Ryza selalu bilang, kita menikah karena dakwah
“kalau aku terlihat lalai, kamu harus ingatkan, kalau ada
perkara yang membuat rumahtangga ini melemah, kita harus
ingat tujuan besar kita bersatu itu apa” tegas mas Riza
“Iya mas, aku cinta mas Ryza karena Allah” jawab aku
Diapun tetap romantis, sambil menyanyikan lagu Seismic:
Adalah engkau
“Adalah engkau dia yang ku rindu tuk menjadi bunga dihatiku
Menjadi peneduh kalbu di perjalananku, diperjalananku
Tibalah waktu yang lelah kurindu
Tuk selalu bersama denganmu
Telah terbuka pintu itu
Akad tlah teucap sudah
Dinda marilah melangkah
Dinda temanilah aku
Disetiap detikku dengan doamu
Bila terpisahkan waktu tetaplah disini didalam hatiku
Ya Rabbi izinkanlah kami muntuk terjaga selalu dijalanMu
Dinda doamu laksana pelepas dahaga di lelahnya jiwa
Lelahnya jiwa.........
Adalah engkau dia yang ku rindu
Tuk selalu hadir dihidupku
Mengiringi setiap langkah saat menuju acuan hidup ini
Dinda temanilah aku disetiap detikku dengan doamu
Bila terpisahkan waktu tetaplah disini dalam hatiku
Ya Rabbi izinkanlah kami untuk terjaga selalu di jalan Mu
Dinda doamu laksana pelepas dahaga di lelahnya jiwa
Tiga bidadari yang kurasa merupakan perantara Allah untuk
mewujudkan semua keinginanku. Mereka kini sedang
berusaha agar bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang
mereka impikan, dan sekolah dambakan. Mereka sudah
berjanji untuk kembali aktif mengurusi Rohis meski sudah
alumni, bahkan itu kutegaskan dan kuarahkan. Ini pesan
dalam chat sebelum mereka benar-benar fokus pada
impiannya
Fu’ah: “kalau UAN ku dapat nilai terbaik, pasti setiap aku ke
sekolah nanti untuk mengurusi Rohis, guru-guru akan
menyambutku dengan istimewa”
Rara: “kalau aku masuk di Akuntansi UI, pasti derajatku
sebagai murid IPS dimata guru akan naik, dan akan ngaruh ke
Rohis”
Viona: “kalau aku masuk STIS, pasti aku akan langsung
bekerja di BPS dan uangnya untuk bantu-bantu Rohis, aku
harus kaya”