Upload
others
View
42
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB
MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH
(Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah
Mut’ah)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Agama (M.Ag.)
Ceceng Mumu M uhajirin
NIM: 2113034000022
Dosen Pembimbing: Dr. Sahabuddin, Lc., M .A.
MAGISTER JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
:
ST}RAT PERI\TTATAAN
Yang bstaoda a$n di hwah ini :
Nama
NIM
Fakultas
Jurusan/ Prodi
Alamat
fasimelaya
Hp
Alamatdi Tangsel
Ceceng Mumu Muhqiirin
2tl3g3d000pl22
USuhddin
Iladis
Tamansari Kel.Tamaqiaya Ko. Tamansari Kota
081381224426
Padgi r ^{rer RT/RW 00UOA7, Ket Padgi l^ama Kec.
Judul Tesis
Pondok Alerr, Kota Tangerang S€latan
: IL DI&IIADIS SI]NM DAIlLfr{ KITAB MAT"AEI ALt rsE' n er-ruraa vA ANaNtilE
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa i
l. Tesis yaag saya qiukao adalah ben*r asli krya ilmiah yaag mya tulis
$endiri.
2. Bilamaoa t€sis Glah dimunaqasyahkan dan diwqiibkan revisi, maka s6y6
bersedia merevisi dalam uaktu 2 (dua) bulan tshitung dari tanggal
munaqasyalL jika lebih dari 2 (&n) bulan revisi tesis belrm terselesaikan"
maka saya bersdia dinyatakm gpgur de bersedia muoaqqsyah kembati
dengan biaya sendiri
3. Apabila kemrdian hari temyata diketahui bahwa knyatssebut bukan karya
ilmiah saya (plagiasi), maka saya bersedia meoaoggmg sarksi rmtuk
dibatalkan gelar kesarjnlaan saya
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnyaF,-.*.Y
w
Iar@l9FeSmai 2018
Nn/{.2tt30-34$00022
PEXTrcESAHAN PA}iIITTA UNAN
Tesis bedldd Hadis.hrds Smi drle Kit* Ilfu'& At-Nif i llXnab' Va
Al-SrnoEb telah diujikm dalam sidang mrnqasah Program Magiste Fakultas
Ushultddin LJIN $yuif Hidcyatutlah Jetcta pad* tmggal 19 Februai 2018.
Tesis ini telah ditqima sobagsi sakh satu syrat memperoleh gelr Magister
Agama (M.A$ pada progran Strdi Tafsir Hdis Kosentrasi Hdis.
Jakrtq /5 &{i 2018
SidogMtne1ryab
Ketua Sidmg
WV^Dr. Atiyetult lytM-A"
Penguji I
Pembimbing Tesis
1!t
tx
.1
tt*tautma, M.A
v
MOTTO
مام العمريطي: قال اإل
ع ف ر ه اعتقاد بس ح تيف ال اذ
تفع ين لمد تق يع لممن وكل
Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar
keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu,
ia tidak akan dapat mengambil manfaatnya
Keberkahan hidup itu ada pada
HALAL, ORANG TUA, DAN GURU
Perhatikan dan renungkan kebaikan serta perhatian
orang tua, keluarga, para guru, teman, dan “orang-
orang sekitarmu”
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya Tesis ini aku pesembahkan kepada:
Istriku Arini Gina Aza & Putri pertamaku Naffa Karima Nuroin (10 bulan)
Kedua Orang Tua
Hidupku ada, karena hidupmu ada. Banyak hal yang telah engkau
korbankan untuk hidupku, tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dalam suka
maupun duka. Semoga hal-hal tersebut menjadi pahala agung dan muliah di
sisi Allah S.W.T. Amin.
Kakakku dan adikku tercinta
Kakak-kakaku (Teteh Enung, Teteh Dede, Teteh Yayi, Aa Cecep), yang selalu
memberi dukungan moral dan material selama pencarian ilmu ini. Semoga
rumah tangga kalian tetap dalam bingkai yang penuh dengan hiasan cinta,
kasih sayang, dan sejahtera. Dan untuk Adik-adikku (Salman Alfarisi dan
Muhammad Tafrij Muwahhid). Semoga kalian menjadi teman seperjuangan
di masa yang akan datang. Amin.
Almamaterku
Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kehadiranmu di hatiku sejak tahun 2014 telah banyak
mempengaruhi pemikiranku. Semoga ilmu dan pengalaman yang kau
berikan bermanfaat dan barakah. Amin.
DDII BAZNAS
Melalui program beasiswa KSU (Kaderisasi Seribu Ulama), DDII dan BAZNAS
telah menjadi sponsor atas kelancara perkuliahan magister ini. Semoga
program ini menjadi amal jariyah bagi seluruh jajaran staf dan
kepengurusan DDII dan BAZNAS serta para MUZAKKI. Amin.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penulisan skripsi ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987.
I. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif ……. Tidak dilambangkan أ
Ba’ b be ة
Ta’ t te د
Tsa’ s| Es titik atas ث
Jim j Je ج
Ha’ h} ha titik bawah ح
Kha’ kh Ka dan ha خ
Dal d De د
Zal ż Zet titi katas ذ
Ra’ r Er ر
Zai z zet ز
viii
Sin s Es ش
Syin sy Es dan ye ش
Shad ṣ Es titik bawah ص
Dhad ḍ de titik bawah ض
Ta’ ṭ Te titik bawah ط
Za’ ẓ Zet titik bawah ظ
Ayn …‘… Koma terbalik di atas‘ ع
Gayn g Ge غ
Fa’ f Ef ف
Qaf q Qi ق
Kaf k Ka ك
Lam l El ل
Mim m Em و
Nun n En
Waw w We و
Ha’ h Ha
Hamzah …’… apostrof ء
ix
Ya’ y Ye
II. Konsonan rangkap karena tasydid ditulis rangkap:
ditulis muta‘aqqi >din
ditulis ‘iddah
III. Ta’ marbutah di akhir kata
1. Bila dimatikan, ditulis h:
ditulis hibah
ditulis jizyah
(ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah
terserap kedalam bahasa Indonesia seperti zakat, shalat dan sebagainya,
kecuali dikehendaki lafalaslinya).
2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t:
ditulis ni’matullah
ditulis zaka>tul-fit}ri
IV. Vokal pendek
ditulis a contoh ditulisd}araba (fathah) ــ
ditulis i contoh ditulisfahima (kasrah) ــ
ditulis u contoh dituliskutiba (dammah) ــ
V. Vokal panjang:
1. Fathah+alif ditulis ā (garis di atas)
ditulis j āhiliyyah
2. Fathah+alif maqsur, ditulis ā (garis di atas)
يتعقدي
عدح
هجخ
جسيخ
عخ هللا
زكبح انفطر
ضرة
فهى
كتت
جبههيخ
يسع
x
ditulis yas‘ā
3. Kasrah+ya’ mati, ditulis ī (garis di atas)
ditulis majī >d
4. Dammah+wau mati, ditulis ū (garis di atas)
ditulis fur ūd
VI. Vokal rangkap:
1. Fathah+ya’ mati, ditulisai
ditulis bainakum
2. Fathah+wau mati, ditulis au
ditulis qaul
VII. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata, dipisahkan dengan
apostrof
ditulis a’antum
ditulis u‘iddat
ditulis la’insyakartum
VIII. Kata sandangAlif+Lam
1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al-
ditulis al-Qur’a>n
ditulis al-Qiya>s
2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, sama dengan huruf qamariyah
ditulis al-Syams
ditulis al-Sama>’
يجيد
فروض
ثيكى
قىل
ااتى
اعدد
شكرتىنئ
انقرا
انقيبش
انشص
انسبء
xi
IX. Huruf besar
Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
X. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut
penulisannya
ditulis z|awi> al-furu>d
ditulis ahl al-sunnahi.
ذوي انفروض
انسخأهم
xii
ABSTRAK
Ceceng Mumu Muhajirin
Hadis-hadis Sunni dalam Kitab Mut’ah al-Nisa>’fi> al-Kita>b wa al-Sunnah
(Analisis terhadap Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Mut’ah)
Ja’far Subhani adalah representasi ulama Syi’ah Is|na> ‘Asyariyyah
kontemporer yang hidup di abad ke-21. Dia senantiasa mendakwahkan ajaran-ajaran
Syi’ah ‘Asyariyyah, termasuk ajaran nikah mut’ah di dalamnya. Sebagaimana ulama
pendahulunya, Ja’far Subhani, secara konsisten berpandangan bahwa nikah mut’ah
adalah ajaran yang absah dan tidak pernah terjadi penghapusan hukum tentang
legalitasnya. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah bukti konkrit
yang menghimpun pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang kontinuitas legalitas
nikah mut’ah. Dalam kitab tersebut, Ja’far Subhani melakukan konstruksi legalitas
nikah mut’ah dengan menggunakan hadis-hadis Sunni. Padahal seluruh ulama Sunni
telah menyatakan-berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis-bahwa praktek nikah mut’ah,
status hukumnya telah dihapus dan diharamkan sampai hari kiyamat. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk menganalisis pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang
hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.
Penelitian terhadap pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis
Sunni tersebut, menggunakan teori kritik hadis yang dirumuskan oleh Mus}t}afa> al-A’z}ami dan teori validitas yang dirumuskan oleh Abdul Mustaqim. Berdasarkan
teori kritik hadis Mus}t}afa> al-A’z}ami, sebuah produk pemikiran yang berupa
interpretasi atau pun analisis-analisis terhadap sebuah data bisa dinilai valid jika
tidak terjadi kekacauan (id}t}ira>b) setelah dilakukan verifikasi dengan langkah-
langkah berikut: jam’ al-Us}ul ka>ffah (mengumpulkan data-data yang asli dari
sumbernya secara sempurna), is|ba>t s}ih}h}ah al-nus}u>s} (validasi keaslian teks), tah}li>l al-nus}u>s} li al-tah}aqquq min ma’na> al-alfaz} min mura>dif al-mu’allif (analisis ma’na teks
untuk mengetahui maksud author teks), dan marh}alah al-naqd al-salabi> li ma’rifah s}idq al-ra>wi wa ‘ada>latihi (analisis integritas periwayat hadis). Adapun teori
kebenaran yang dirumuskan Abdul Mustaqim adalah teori kebenaran koherensi,
korespondensi, dan pragmatisme.
Berdasarkan metode penilitan di atas, pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani
tentang hadis Sunni adalah hasil rekonstruksi atas pengutipan riwayat-riwayat d}a’if, interpreatasi subjektif, merubah redaksi matan hadis, dan inkonsistensi dalam
penilaian hadis. Sehingga, penulis menilai bahwa pemikirannya tentang hadis-hadis
Sunni tidak valid.
xiii
البحث ملخص
تشيتشينج مومو مهاجرين
المتعة في الكتاب والسنة أحاديث أهل السنة في كتاب
بحاني عن أحاديث نكاح المتعة( التعليق و )بحث فهم جعفر الس
بحاني جعفر رأي عن يبحث البحث هذا ة الحاديث وفهم درجة بيان في الس هلأ عند المروي
نة تعة نكاح عن الس تعة ) كتابه في الم نة الكتاب في النساء م بحاني جعفر ). والس و الس من ه
لماء يعة ع راءأنشر علي ي واظب كان ين والعشر الواحد القرن في عاش الذي رية عش اإلثني الش
يعة م ون له فع كما عشرية اإلثني الش تقد كم في ومنها .منه م الم تعة نكاح ح و الم نكاح بأن يجزم وه
تعة وخ غير جائز الم ا منس تعة ) كتابه في بينه كم نة الكتاب في النساء م الكتاب هذا وفي (والس
بحاني وشيد ن بي نة هلأ بأحاديث ذاه وتفكيره رأيه في الس فق وا قد أنه م مع , الس وا ات علي وجزم
رمة تعة نكاح ح دا حراما الم ؤب وخ وأنه م و فهذا, منس بب ه الكتاب هذا تأليف إلي دفعه الذي الس
تعة ) ة الكتاب في النساء م ن (والس
بحاني جعفر رأي بحث في الباحث وينهج ه ل أو .نهجين م الس ه الحديث نقد في منهج استعمل فإن
يخ نهج م ة في نهجه م ثانيا, عظمي ال يم صطف الش لحي نظري ه (validity )ة الص استعمل فإن
ستقيم عبد منهج يخ نهج م علي بناء .الم فكيرات أن عظمي ال يم صطف الش تك ون والراء الت
وص الن وتثبيت ال صول جمع بعد م ضطربة غير كانت إذا صحيحة لتحقيق وذلك وتحليلها ص
ها الذي المعاني ؤلف ي ريد وصدقه الراوي عدالة معرفة في الم
ا فكيرات وأم وافقة كانت اذا صحيحة فتك ون الت هي ة التي ال م ور باعتبار م
واف ق ( coherence)التساق وبناء . .(pragmatism )والبرجماتية (correspondence )والت
بحاني جعفر رأي فإن , المنهج هذا علي ة أهل أحاديث حول الس ن عتم الس واية نقل يعل دام الر
عيفة فسيرات الض ة والت جعفر تفكير أن الباحث جزم فبذلك .الحديث متن وتحريف الشخصي
بحاني نة أهل أحاديث حول الس تعة ) كتابه في الس .ة ح ي ح ص ر ي غ ( ة ن والس الكتاب في النساء م
xiv
ABSTRACT
Ceceng Mumu Muhajirin
Hadiths Ahl- al-Sunnah in the book "Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah
(Analysis Commentary and interpretation of Ja’far Subhani about marriage of
mut’ah hadiths)
Ja'far Subhani is the twelve-year-old Shia scholar who lives in the 21st
century. He, as did his first scientists, continues to report the teachings of the
Twelve Shiites, including the mut’ah. He insists that the mut’ah is one of the true
teachings of Islam, and that Islam will never eliminate his legality. The book " Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah " is a proof reference to the thoughts of the
continuation of the legality of mut’ah according to Jafar al-Sobhani. In that book,
Jafar Subhani tries to construct his thoughts in the Hadiths of the Ahl al-Sunnah,
and whereas they have argued that the marriage of mut’ah is forbidden, and its
ruling is haraam eternally. So this academic problem motivates this search.
The researcher in the research of the ideas of Jafar Subhani, used two
theories. They are the theory of hadith criticism poured by Must}afa> Al-Az}ami> and
the theory of validity poured bya Abdul Mustaqim. Based on the first theory, that
the thought will be true if it is not disturbence after the consideration of these
stages. There are collection of all the assets and proof of texts, text analysis to
verify the meaning of the words of the author, and external criticism to know the
accuration of the narrator and his integrity. Based on the second theory, the thought
would be true if it was approved by the following theories. There are coherence,
correspondence, and pragmatism.
Based on this approach, Jafar Subhani's thought about the hadiths of Ahl al-
Sunnah had been constructed with the transmission of the h{adith d}a’i>f, subjective
interpretations and falsification of the hadith. Thus, the researcher argued that the
thought of Ja’far Subhani on the hadith of the Ahl al-Sunnah in his book "The
pleasure of women in the Qur'aan and Sunnah" are not valid.
xv
KATA PENGANTAR
Alhamdu lilla>hi rabb al-‘a>lami>n, dengan qudrah dan iradah-Nya, Allah
s.w.t menggerakkan diri yang lemah ini untuk menyelesaikan penelitian yang
cukup berliku-liku. Dengan rahma>n dan rahi>m-Nya, segala hambatan dan
kesulitan, bisa dilalui dengan mental kesiapan dan kesanggupan yang Engkau
berikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Panutan
semua makhluk, yang senantiasa menegakan kebenaran dan kejujuran yaitu Nabi
Muhammad SAW.
Tema yang penulis teliti adalah Hadis-hadis Sunni dalam Kitab Mut’ah Al-
Nisa<’ Fi< Al-Kita<b Wa Al-Sunnah. Pada dasarnya penelitian ini disusun untuk
memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Akan tetapi
tidak hanya itu, semoga tulisan ini menjadi langkah awal bagi penulis untuk
memperoleh mentalitas keilmuan baru dalam wilayah al-dira>sah al-
isla>miyyah.A<mi>n.
Penelitian ini merupakan penelitian lintas madzhab yang sudah penulis
niatkan sejak waktu yang cukup lama. Sejak pertama kali mengenal kajian hadis
dan ilmu hadis madzhab Syi’ah, penulis langsung tertarik untuk mengkaji lebih
mendalam lagi. Nikah Mut’ah adalah salah satu topik yang sangat populer di
masyarakat baik Sunni atau pun Syi’ah. Gari pembeda antara keduanya, Sunni
memandang bahwa ajaran nikah mut’ah sudah final tentang penghapusannya.
Sedangkan Syi’ah tidak mengakui tentang penghapusan hukum nikah tersebut.
Bahkan penolakan terhadap penghapusan tersebut direkonstruksi dengan
menggunakan hadis-hadis Sunni. Oleh karena, penelitian ini pada dasarnya
adalah klarifikasi dan sekaligus menguji validitas pemahaman dan komentar
ulama Syi’ah kontemporer, Ja’far Subhani, terhadap hadis-hadis Sunni tentang
nikah Mut’ah.
xvi
Dalam proses penyusunan Tesis ini, peneliti banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, motivasi, saran dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu
peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta
Pembantu Dekan.
3. Dr. Atiyatul Ulya, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister Hadis
Fakultas Ushuluddin.
4. Maulana, M.Ag. selaku sekretaris Progam Studi Magister Fakultas
Ushuluddin.
5. Toto, S.Th.I, selaku Pegawai Tata Usaha Fakultas Ushuluddin.
6. Dr. Sahabuddin, Lc., MA., selaku Dosen Pembimbing, yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan
inspirasi sejak awal penyusunan hingga selesainya skripsi ini di tengah
kesibukannya.
7. Guru-guru kami, para dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah menyampaikan ilmu-ilmunya serta karyawan Fakultas
Ushuluddin yang telah memfasilitasi dan memperlancar proses perkuliahan.
8. Ibu dan Bapak, serta kerabat-kerabat yang selalu mengiringi do’a dalam
perjalanan hidup ini.
xvii
9. DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesi) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat
Nasional) tahun 2014 yang telah bekerja sama atas terselenggaranya program
beasiswa KSU (Kaderisasi Seribu Ulama) dan menjadi sponsor penulis
sampai program studi magister selesai.
10. Teman-teman angkatan 2014 Mahasiswa Magister Fakultas Ushuluddin. Kita
adalah generasi penerus nilai-nilai agama dan bangsa. Semoga 15 tahun ke
depan kita mampu membangun peradaban mulia yang bermanfaat bagi
masyarakat sekitar. A>mi>n. . .
Walaupun tesis ini telah selesai dalam pengerjaannya, namun masukan
dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan. Karena penulis
menyadari karya ini masih ada kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Semoga
karya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, dan mampu
memberikan sumbangsih bagi dunia intelektual, khususnya dunia Tafsir Hadis.
A>mi>n.
Tangerang Selatan, 19 Februari 2018
Penulis
Ceceng Mumu Muhajirin
xviii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................. i
Halaman Nota Dinas ........................................................................................................ ii
Surat Pengesahan ............................................................................................................. iii
Surat Pernyataan............................................................................................................... iv
Halaman Motto ................................................................................................................ v
Halaman Persembahan ..................................................................................................... vi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin ................................................................................... vii
Abstrak ............................................................................................................................ xii
Kata Pengantar ................................................................................................................ xv
Daftar Isi ......................................................................................................................... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah .......................................................................................... 8
C. Perumusan Masalah ............................................................................................ 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………..... ................ 12
F. Metode Penelitian ............................................................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 19
BAB II.OTENTISITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI DAN SYI’AH .................... 21
A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syiah ...................................................... 21
1. Konsep Hadis Menurut Sunni ................................................................ 21
2. Konsep Hadis Menurut Syiah ................................................................ 23
xix
B. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni dan Syiah ..................................... 26
1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni .............................................. 26
2. Sejarah Kodifikasi Versi Syiah .............................................................. 30
C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni dan Syiah ....................... 34
1. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni ................................ 34
2. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Syiah ................................ 37
D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut
Sunni dan Syiah........................................................................................... 38
1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut
Sunni ...................................................................................................... 38
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut
Syiah ...................................................................................................... 39
E. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut Sunni
dan Syiah ....................................................................................................... 41
1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut
Sunni ...................................................................................................... 41
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut
Syiah ...................................................................................................... 45
F. Perbedaan Sunni dan Syiah tentang Standarisasi Kesahihan Hadis ............. 49
BAB III. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS JA’FAR SUBHANI } ................ 53
A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah ..................................................................... 53
B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa
al-Sunnah ...................................................................................................... 61
1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah ................................... 61
2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah Mut’ah .................................. 63
xx
C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani .................................................................... 68
1. Kedudukan Sunnah ................................................................................ 68
2. Pencetus Ilmu Dirayah ........................................................................... 70
3. Hadis Mutawatir dan Ahad .................................................................... 71
4. Klasifikasi Hadis Ahad .......................................................................... 76
5. Periwayat Maqbu>l .................................................................................. 79
6. Istilah-istilah Hadis Syiah ..................................................................... 81
7. Nasikh Mansukh .................................................................................... 86
8. Keadilan Sahabat ................................................................................... 87
9. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani ...................................................... 93
BAB IV. VALIDITAS PEMIKIRAN JA’FAR SUBHANI TENTANG HADIS-HADIS
NIKAH MUT’AH DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA
AL-SUNNAH ...................................................................................................... 94
A. Nikah Mut’ah di Awal Islam .......................................................................... 94
B. Riwayat Tafsiriyyah Surat Al-Nisa’ 24 ........................................................... 104
1. Makna istimta>’ ........................................................................................... 107
2. Tafsir Al-Nisa’ Ayat 24 .............................................................................. 112
3. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Para Sahabat dan Tabi’in .......................... 120
4. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Ibnu Umar ........................................... 125
C. Keberatan Ali bin Abi Thalib atas Fatwa Umar bin Khattab ............... 127
D. Hadis-hadis Dhoif tentang Penghapusan Nikah Mut’ah ................................. 141
1. Hadis mi>ra>s| Riwayat Ibnu Mas’ud ............................................................. 142
2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi Thalib ................................................ 145
3. Hadis Penghapusan Nikah Mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n ............... 150
E. Kontradiksi Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah ............................................ 157
xxi
BAB V. PENUTUP ......................................................................................................... 164
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 164
B. Saran-saran ....................................................................................................... 172
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 173
CURRICULUM-VITAE
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis dalam perspektif Sunni dan Syi’ah pada dasarnya mengandung arti
catatan biografi yang berasal dari figur sentral dan diriwayatkan melalaui jalur
periwayatan terpercaya. Sebagaimana dalam tradisi Sunni, hadis dalam tradisi
Syi’ah, merupakan asosiasi dari dua sistem konstruktif, yaitu sanad (aspek
wuru>d) dan matan (aspek d}ila>lah). Dalam tradisi ilmiah Sunni dan Syi’ah, sanad
dan matan hadis adalah dua aspek penting yang harus diteliti dalam rangka
klarifikasi dan verifikasi tentang validitas dan originalitas sebuah hadis.
Untuk melakukan kerja ilmiah tersebut, baik Sunni atau pun Syi’ah
masing-masing menggunakan pisau analisis dengan pendekatakan Ilmu Riwayah1
dan Ilmu Dirayah. Kedua ilmu ini masing-masing diakui oleh Sunni dan Syi’ah
sebagai sebuah produk asli yang diwariskan oleh ulama-ulama mereka
sebelumnya. Terlepas dari perdebatan2 tentang siapa pertama kali yang
1 Imam Suyuti (w. 911 h.) dalam pendahuluan kitab Tadri>b al-Ra>wi>, mengutip pendapat
Al-Akfani (w. 794 h.) bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Riwayah adalah ilmu yang membahas
cara meriwayatkan sabda, perbuatan Nabi saw, serta tentang periwayatannya, pemeliharaannya,
dan penguraian lafazh-lafazhnya. Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu yang membahas hakikat
periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, tentang rawinya, serta
syarat-syarat rawinya, dan yang berkaitan dengannya. Lihat Tadri>b al-Ra>wi, Juz 1, (Beirut:
Maktabah Al-Kaitsar, 1415 H), h. 25
2Hasan Shadr (w. 1354 h.), dalam kitabnya, Ta’si>s al-Syi>’ah, menjelaskan bahwa pencetus
ilmu dirayah dari kalangan Syiah adalah al-Ha>kim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah al-Ha>fiz{ al-Naisa>b>u>ri> (w. 405 h.), yang terkenal dengan sebutan Imam Hakim. Dalam penulisan
naman`ya, Hasan al-Shadr mencantumkan al-ima>miy al-Syi>’iy. Ini menandakan bahwa ulama
Syiah seperti Hasan Shadr mengklaim bahwa Imam Hakim termasuk salah satu ulama hadis
Syiah. Hasan Shadr menegaskan bahwa ulama besar seperti Ibnu Taimiyyah dan al-Dzahabi
menyatakan kesyiahan Imam Hakim. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-Dzahabi dalam Taz|kirah Al-H}uffa>z} ketika memaparkan riwayat hidup Imam Hakim. Lihat dalam Hasan al-Shadr, Ta’si>s al-Syi>’ah, (Irak: Dar al-Kutub al-‘Iraqiyyah, 1901), h.294. Sedangkan menurut Ja’far Subhani,
2
mencetuskan ilmu riwayah dan ilmu dirayah, pada umumnya dua kelompok Islam
ini menggunakan term-term konseptual ilmu hadis yang sama, termasuk ilmu
turunan Ilmu Hadis seperti ‘Ilm Rija>l al-H}adi>s|, ‘Ilm Na>sikh Mansu>kh Hadis, Ilm
Jarh wa Ta’dil, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, dan lain sebagainya. Melihat
perkembangan Ilmu Hadis Sunni dan Syi’ah, kitab-kitab ilmu hadis secara
implisit ingin menyuarakan pada dunia akademik bahwa teori-teori Ilmu Hadis
yang ditawarkan bukan sekedar plagiasi atau rekayasa, tetapi merupakan hasil
penelitian yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu.
Ilmu Hadis Sunni dan Ilmu Hadis Syi’ah, pada dasarnya memiliki tujuan
yang sama terkait penyelesaian problematika kajian hadis, yaitu aspek wuru>d dan
aspek d}ila>lah.3 Tetapi masing-masing memiliki corak perbedaan yang signifikan.
Ketika berbicara tentang definisi hadis S}ah}i>h}, hadis D}a’i>f, atau periwayat s|iqah,
maka masing-masing memiliki stressing makna yang berbeda dan tentunya
memiliki implikasi yang berbeda pula. Sehingga pernyataan-pernyataan
keagamaan tentang satu masalah jarang sekali berada dalam kesepakatan. Ini
ulama Syiah yang pertama kali mencetuskan Ilmu Dirayah adalah Jamaluddin Ahmad bin Musa
bin Ja’far bin Thawus (w.673 h.), yang terkenal dengan sebutan Ibnu Thawus. Tentang kesyiahan
Imam Hakim, Ja’far Subhani berpendapat bahwa Imam Hakim hanya sebagai syi>’iyyun bi al-ma’na> al-‘a>m (seorang syiah ima>miy dalam berarti umum). Dikatakan syiah karena Imam Hakim
termasuk ulama yang benci terhadap musuh-musuh Ali dan pecinta ahubait. Lihat Ja’far Subhani,
Us}u>l al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah, (Beirut: Dar Jawwad al-A’immah, 2012), h. 10.
Sedangkan dalam karya-karya Ahusunah dipaparkan ada dua nama yang dianggap
pencetus ilmu dirayah. Yaitu Hakim Naisaburi (w. 405 h.) dengan karyanya Ma’rifah Ulu>m al-H}adi>s| dan Abu Muhammad al-Hasan Ramahurmuzi (w. 360 h.) dengan karyanya al-Muh}addis| al-Fa>s}il bayn al-Ra>wi> wa al-Wa>’iz}. Namun karena dilihat dari tahun wafatnya, mayoritas ulama
hadis memilih Ramahurmuzi sebagai pencetus ilmu dirayah.
3 Pembagian dua problematika kajian hadis ini, penulis dapatkan dari Dr. Atiyatul ‘Ulya,
MA saat menyampaikan perkuliahan Pemikiran Hadis Kontemporer di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3
merupakan konsistensi atas penerapan doktri Syi’ah, yaitu ima>mah yang
terformulasi dalam kajian hadis.
Dalam bidang keagamaan, Ilmu Hadis adalah salah satu disiplin ilmu
yang dimiliki Syi’ah dan sarat dengan konsep ima>mah. Secara tegas ulama
Syi’ah mensyaratkan hadis harus perkataan, perbuatan, dan penetapan yang
disandarkan kepada seorang imam yang ma’s}u>m. Dalam definis hadis Syi’ah,
ima>mah dan ke-ma’s}u>m-an seorang periwayat sangat dipertimbangkan. Ketika
tidak sampai kepada seorang periwayat yang ma’s}u>m maka secara tegas Ilmu
Hadis Syi’ah menyatakan bahwa itu tidak termasuk hadis. Tetapi konsep ke-
ma’s}u>m-an dan ima>mah seorang periwayat tidak mutlak pada imam dua belas.
Ketika mendefinisikan hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan kata kunci yang digunakan
adalah ima>miyy, bukan ima>m4. Dua istilah, ima>miyy dan ima>m memiliki
stressing pemaknaan yang signifikan. Ketika yang digunakan dalam definisi
hadis s}ah}i>h} adalah istilah ima>m maka perbendaharan hadis Syi’ah akan banyak
yang tidak memenuhi kriteria. Sehingga banyak periwayatan yang tertolak.
Karena itu istiah ima>miy secara tidak langsung memperluas akseptabilitas
periwayatan yang tidak hanya bersandar pada seorang imam, tetapi juga
bersandar pada periwayatan seorang periwayat yang meyakini keimaman imam
dua belas.
Sama dengan ulama Sunni, ada dua macam hadis yang memiliki kualitas
terpercaya dan kuat untuk dijadikan h{ujjah dalam istinba>t} hukum. Yaitu hadis
4 Ja’far Subhani, Us}u>l al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah, (Beirut: Dar Jawwad al-
A’immah, 2012), h. 52.
4
s}ah}i>h} dan hadis h}asan. Di dalam dua hadis ini, secara tegas, ketersambungan
kepada seorang imam atau periwayat ima>miy menjadi syarat mutlak. Dalam Ilmu
Hadis Sunni, yang menjadi garis pembeda hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan adalah
kualitas akurasi5 hafalan dan kredibelitas seorang periwayat
6. Sedangkan
menurut Ilmu Hadis Syi’ah, yang menjadi pertimbangannya adalah legal formal
tentang ‘ada>lah seorang periwayat. Jika periwayat tersebut adalah seorang
ima>miy, tetapi tidak ada dalil tentang ‘ada>lah-nya maka hadis seperti itu disebut
hadis h}asan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa untuk level hadis yang akan
dijadikan argumen dalam istinba>t} hukum, Ilmu Hadis Syi’ah secara ketat
mensyaratkan ima>miy bagi seorang periwayat hadis, baik ada bukti dalil atau
tidak tentang ‘ada>lah-nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh salah satu pemikir
hadis Syi’ah kontemporer bernama A<ya>tullah al-Uz}ma> al-Syaikh, Ja’far Subhani
dalam salah satu karyanya, Us}u>l al-H}adi>s| wa ah{ka>muhu> fi> ‘Ilm al-Dira>yah.
Ja’far Subhani, walaupun cukup tegas dalam membumikan konsep
ima>mah dalam kajian ilmu hadis-sebagaimana dalam karyanya- tetapi dia juga
5 Pada dasarnya ahi hadis awal sampai abad ketiga hijriyyah tidak secara eksplisit
mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shohih. Mereka hanya menetapkan kriterian-
kriteria informasi yang diperoleh, misalnya : periwayatan hadis tidak diterima kecuali kalau
diriwayatkan oleh orang-orang s}iqah, riwayat orang yang sering berdusta dan mengikuti hawa
nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah tertolak, kita harus
memperhatikan tingkah laku personal dan ibadah yang meriwayatkan hadis, riwayat orang yang
kesaksiannya ditolak akan, maka riwayatnyapun tidak diterima. Lihat dalam Kamarudin Amin,
Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), h. 16.
6Dalam tradisi Sunni, kriteria hadis s}ah}i>h} tidak mempertimbangkan ketokohan,
sebagaimana dalam tradisi Syiah. Ulama-ulama Sunni secara objektif pure mendasarkan ke-
s{ah}i>h}an hadis pada kualitas integrits personalnya. Bahkan tidak mempertimbangkan status
madzhab, Ahusunah, Syiah, atau Mu’tazilah, bahkan Khowarij. Imam Nawawi sebagaimana
dalam kitab Tadri>b al-Rawi, mensyaratkan hadis shohih sebagai berikut:
اهو و ل م دهاتص ن ابطين بالعدولس يرمنالض ل شذوذ غ علة و
Lihat Suyuti Tadrib al-Ra>wi> fi Syarh} Taqri>b al-Nawa>wi>, (Beirut: Darul Fikr, 1988), h. 63.
5
inklusif terhadap riwayat-riwayat Sunni. Dalam kajian hadis, Ja’far Subhani
adalah salah satu ulama hadis yang banyak mengutip hadis-hadis Sunni dalam
karya-karyanya. Salah satunya adalah kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-
Sunnah. Dalam karyanya tersebut Ja’far Subhani mengutip hadis-hadis riwayat
al-Bukha>ri, Muslim, al-Tirmiz|i>, Ah}mad ibn H}anbal dan lainnya.7
Ja’far Subhani adalah ulama Syi’ah Is|na> ‘Asyariyyah kontemporer yang
hidup di abad ke-21. Dia senantiasa mendakwahkan ajaran-ajaran Syi’ah
‘Asyariyyah, termasuk ajaran nikah mut’ah di dalamnya. Sebagaimana ulama
pendahulunya, Ja’far Subhani, secara konsisten berpandangan bahwa nikah
mut’ah adalah ajaran yang absah dan tidak pernah terjadi penghapusan hukum
tentang legalitasnya. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah
bukti konkrit yang menghimpun pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang
kontinuitas legalitas nikah mut’ah. Dalam kitab tersebut, Ja’far Subhani
melakukan konstruksi legalitas nikah mut’ah dengan menggunakan hadis-hadis
Sunni. Padahal seluruh ulama Sunni telah menyatakan-berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadis-bahwa praktek nikah mut’ah, status hukumnya telah dihapus dan
diharamkan sampai hari kiamat.
Menurut penulis, buku Mut’ah al-Nisa> fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah
buku yang memuat dialektika dua pemikiran maz|hab Islam, yaitu Sunni dan
Syi’ah. Disebut sebagai kitab dialektis karena sang penulis, Ja’far Subhani,
adalah seorang ulama besar bermadzhab Syi’ah yang membela dan mengakui
legalitas nikah mut’ah dengan menggunakan dalil-dalil hadis yang dikutip dari
7 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum: Muassasah Imam
Shodiq, 1423 H), h. 47-51.
6
kitab-kitab ulama Sunni. Seorang pembaca, interpreter, atau komentator
bermadzhab Syi’ah sangat menarik dan penting dikaji ketika membaca hadis-
hadis Sunni.
Nikah mut’ah adalah salah satu wacana yang banyak dibicarakan oleh
berbagai kalangan dan madzhab. Sunni dan Syi’ah adalah dua madzhab besar
yang memberi perhatian khusus tentang persoalan ini. Secara umum dua
madzhab Islam tersebut tidak bertemu pada satu pendapat yang sama tentang
status hukumnya. Sunni merupakan madzhab yang mewakili tentang keharaman
nikah mut’ah. Sedangkan Syi’ah tampil sebagai kelompok yang
membolehkannya. Wacana ini menjadi lebih intensif lagi ketika sebagian
penganut Sunni yang menyamakan nikah mut’ah dengan perzinahan. Padahal
ulama-ulama Sunni yang mengharamkan nikah mut’ah tidak sampai menyatakan
demikian. Menurut Quraish Shihab pandangan seperti ini dilatarbelakangi
dengan adanya praktek mut’ah yang tidak mengindahkan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh ulama yang membolehkannya.8 Dalam hal ini Ja’far
Subhani salah satu pemikir hadis yang melakukan kajian nikah mut’ah dengan
pendekatan hadis Nabi. Dengan mengutip hadis-hadis Sunni, Ja’far Subhani
kembali memperkuat pandangan madzhabnya tentang hukum nikah mut’ah.
Berangakat dari teori ‚kesadaran keterpengaruhan sejarah‛ (Historically
Effected Consciousness ), maka sikap Ja’far Subhani diasumsikan terpengaruh
dengan pemikiran madzhabnya. Selain itu, dengan latar belakang keilmuan dan
doktri maz|hab-nya, sikapnya terhadap hadis-hadis sunni tersebut akan menuai
8 Quraish Shihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 207-208
7
ragam pandangan. Sebagian akan menilai Ja’far Subhani hanya mencari dan
memunculkan titik kelemahan-kelamahan yang terdapat pada riwayat-riwayat
Sunni. Meskipun bagi sebagian lainnya pengutipan Ja’far tersebut dinilai sebagai
dialog akademik dan pemikiran hadis dalam rangka mengembangkan objektifitas
dalam membaca dan menilai sebuah riwayat9. Oleh karena itu menurut penulis,
penting melakuan penelitian terhadap sikap ilmiah Ja’far Subhani tersebut.
Berdasarkan data-data teoritis di atas penulis memiliki alasan objektif
terkait pentingnya penelitian hadis-hadis Sunni dalam karya Ja’far Subhani
tersebut. Pertama, sampai saat ini Syi’ah berikut simbol, gagasan, dan ajarannya
masih dipandang sebelah mata termasuk oleh sebagaian masyarakat Indonesia.
Syi’ah memperoleh justifikasi general sebagai kelompok sesat sehingga apa pun
yang keluar dari Syi’ah menjadi hal yang harus ditolak. Kedua, justifikasi yang
dilontarkan kepada Syi’ah pada dasarnya berawal dari pandangan seseorang
terhadap gejolak konflik Sunni-Syi’ah zaman klasik, tanpa mempertimbangakan
adanya pergeseran pemikiran di kalangan Syi’ah sendiri. Sehingga penelitian
terhadap karya original ulama Syi’ah penting untuk dilakukan, dalam rangka
klarifikasi dan memahami pemikiran hadis Syi’ah secara objektif. Ketiga, Ja’far
Subhani adalah tokoh representatif ulama Syi’ah kontemporer yang banyak
merespons wacana-wacana yang tengah membumi dengan pendekatan hadis
9Dalam setiap pendahuluan kitab-kitab yang ditulisnya, Ja’far Subhani sering
mengungkapkan:
اف ق د لن او ذهفيح ةه اس ر لسل ةالد س اانالمت ه ح طر لين اول ةع كون انعسي,الب حثط سيل ة ت وحيدو ةلت لم قريبالك ت و ي افيالخط ذ قله رفيخل ف ال يس فيه اف الخل ف,الح وه ينج وجب حتيواصولهالد ست اء ي د اء الع غض الب ا,و إنم هو و اخل ف ويفيم ل يههللاصلير سلمع .و
Lihat pendahuluan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum: Muassasah
Imam Shodiq, 1423 H), h. 4
8
Nabi. Dengan hadirnya di era kontemporer ini, penting dijadikan rujukan terkait
perkembangan kajian hadis Syi’ah kontemporer. Keempat, Ja’far Subhani lahir
dan hidup pada kondisi hermeneutik yang kental dengan doktrin-doktrin Syi’ah
Imamiyyah, sehingga aktifitas keilmuan yang sampai melintas ke pengutipan-
pengutipan riwayat Sunni akan menjadi topik menarik. Karena di satu sisi, Ja’far
Subhani konsisten dalam membumikan kaidah-kaidah ilmu hadis Syi’ah, tetapi
di sisi lain banyak mengutip hadis-hadis Sunni. Selain itu, sikap akademis
seperti ini akan memperlihatkan objektifitas atau subjektifitas Ja’far Subhani
dalam mengapresiasi hadis-hadis Sunni.
B. Pembatasan Masalah
Ja’far Subhani melakukan konstruksi argumentasi pemikirannya tentang
nikah mut’ah dengan pendekatan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis baik riwayat
sunni atau Syi’ah. Adapun penelitian ini fokus pada objek primer yaitu hadis-
hadis sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah. Peneliti juga
menjadikan hadis-hadis riwayat Syi’ah sebagai objek sekunder guna
mempertajam analisis dan sebagai data pelengkap dalam membantu pengambilan
kesimpulan. Selanjutnya, penelitian ini akan mengarah pada analisis kajian sanad
dan matan beserta analisis terhadap komentar-komentar yang dilakukan Ja’far
Subhani terhadap riwayat-riwayat sunni dan kemudian didialogkan dengan
komentar-komentar ulama sunni sebagai data pembanding.
Sunni yang dimaksud dalam penelitian ini adalah firqah isla>miyyah yang
dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.10
Dialah kelompok yang
10 Istilah ini tidak dikenal di zaman Nabi saw mau pun di masa khulafa>’ al-Ra>syidi>n.
Bahkan tidak dikenal di zaman Bani Umayyah (41 – 133 H/ 611 – 750 M). Istilah ini untuk
9
mempunyai pengikut terbanyak di dunia Islam di banding pengikut-pengikut
madzhab lain. Madzhab ini didefinisikan sebagai madzhab yang berpegang pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dan mengikuti jama>’ah. Jama>’ah di sini maksudnya
adalah mayoritas kalangan sahabat baik masalah akidah atau pun hukum agama
Islam.11
Istilah ‚hadis Sunni‛ dan ‚hadis Syi’ah‛ pada dasarnya tidak pernah
digunakan dalam karya ulama klasik dalam kitab hadis atau pun ilmu hadis, baik
di kalangan Sunni atau pun Syi’ah. Dua istilah ini muncul dari pengamatan dan
penelitian atas dinamika wacana ilmu hadis,12
khususnya di kalangan Syi’ah yang
memasukan konsep ima>mah atau ima>mi dalam kajian ilmu hadis. Munculnya
dua istilah ini merupakan kesimpulan dari konstruksi epistimologi hadis Sunni
dan Syi’ah. Epistimologi tersebut bisa dilihat dari tiga poin pokok, yaitu sumber
pertama kali dipakai pada pemerintahan Abu> Ja’far Al-Mans{u>r (137 – 159 H/ 754 – 775 M) dan
kholifah Harun Al-Rasyid (170 – 194 H/ 785 – 809 M), keduanya adalah dari dinasti Abbasiyyah
(750 – 1258 M). Istilah ini semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan Khalifah Al-
Ma’mun (198 – 218 H/ 813 – 833 M). Pada zamannya, Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah, aliran
yang mendasarkan ajaran Islam pada Al-Qur’an dan akal sebagai madzhab resmi negara, dan ia
memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti paham ini terutama yang berkaitan
kemakhukan Al-Qur’an. Untuk itu Al-Ma’mun melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian
akidah terhadap para pejabat dan para ulama. Materi pokok yang diujikan adalah masalah Al-
Qur’an. Ketika itu mayoritas umat mempunyai kepercayaan bahwa Al-Qur’an adalah qodim .
Salah seorang yang kuat dan gigih mempertahankan paham ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal
(164 – 241 H). Penggunaan istilah ini makin populer setelah munculnya Abu Hasan Al-‘Asy’ari
(260 – 324 H/ 873 – 935 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w. 944 M) yang melahiran aliran
‘Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di bidang teologi. Dalam hubungan ini Ah al-Sunnah wa al-jama>’ah dibedakan dari Mu’tazilah, Qodariyyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain.
(‚Sunni‛, dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298 - 299) baca juga Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press 1986), h. 62 – 65
11‚Sunni‛, dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298
12 Beberapa penulis yang secara komprehensif mengkaji epistimologi hadis Sunni dan
Syiah adalah Ali Ahmad Salus dengan karyanya Ensiklopedi Sunnah-Syiah yang memaparkan
perbandingan dari sudut hadis dan fikih, Quraish Shihab dalam karyanya Syiah Sunni
mungkinkah bergandengan tangan? yang memaparkan perbandingan dari sudut teologi dan fikih.
Selain itu ada Fadhullah Muhammad Said yang melakukan penelitian hadis-hadis Ahusunnah
dalam tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i.
10
hadis, hakikat hadis, dan verifikasi otentisitas hadis. Sehingga yang dimaksud
hadis-hadis Sunni dalam penelitian ini adalah hadis-hadis yang bersumber dari
Nabi saw dan yang perawinya tidak disyaratkan harus periwayat yang
bermadzhab khusus seperti bermadzhab Syi’ah, Sunni, atau pun Khawarij. Tetapi
yang ditekankan adalah persambungan sanad, memiliki kredibilitas yang baik,
terhindar dari syaz| dan ‘illat.13 Hal ini berbeda dengan epistimologi Syi’ah.
Dalam tradisi Syi’ah hadis yang dijadikan h}ujjah adalah hadis yang disandarkan
kepada Nabi saw dan Imam Dua Belas. Dalam hal ini Imam Dua Belas sejajar
dengan Nabi saw. Selain itu, perawi hadis dalam tradisi Syi’ah sangat
dipertimbangkan ke-ima>mahan-nya. Berkaitan dengan epistimolgi tersebut,
penulis memposisikan hadis-hadis yang terdapat dalam kutub al-tis’ah adalah
hadis-hadis Sunni. Hal ini karena secara epistimologi perawi-perawi yang
terdapat pada kitab tersebut tidak mensyaratkan rawi seorang Syi’ah atau pun
madzhab lainnya.
Adapun hadis yang dimaksud pada penelitian ini tidak terbatas pada
riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw. tetapi termasuk juga riwayat yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Hal ini menyesuaikan dengan data-data
yang terdapat dalam objek penelitian ini.
Pengarang kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah Ja’far Subhani,
adalah tokoh Syi’ah Ima>miyyah kontemporer. Sehingga Syi’ah dalam penelitian
ini fokus kepada Syi’ah Ima>miyyah atau Syi’ah Isna> ‘Asyariyyah atau
13 ‘Ajaz Khatib, Us}u>luhu wa Mus}t}ala>h}uhu, (Beirut Dar al-Fikr, 1989), h. 250.
11
Ja’fariyyah. Yaitu kelompok yang mempercayai adanya dua belas imam14
yang
seluruhnya adalah keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Al-Zahra,
putri Rasulullh saw. Kelompok ini adalah kelompok mayoritas dari tiga
kelompok besar Syi’ah (Ghula>h, Isma>’iliyyah, dan Zaidiyyah),15
dan menjadi
kelompok terbesar kedua di dunia Islam setelah Sunni yang masih ada sampai
sekarang.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah utama yang akan
dijawab pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pandangan ilmiah Ja’far Subhani tentang hadis-hadis Sunni
dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?
2. Bagaimana validitas pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-
hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar magister bidang hadis. Selain itu penelitian ini bertujuan
untuk memberikan kesadaran akademis kepada para pembaca bahwa setiap
14 Kedua belas imam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH – 40 H), Muhammad
Hasan bin Ali (2 – 50 H), Husein bin Ali (3 – 61 H), Ali bin Husein ( Zainal ‘Abidin) (38 – 50 H),
Abu Ja’far bin Ali (57 – 114 H), Abdullah Ja’far bin Muhammad (83 – 148 H), Abu Ibrahim Musa
bin Ja’far ( 128 – 183 H), Hasan Ali bin Musa (148 – 203 H) , Ja’far Muhammad bin Ali (195 –
220 H), Abu Hasan Ali bin Muhammad (212 – 254 H), Muhammad Hasan bin Ali (232 H – 260
H), dan Abu Qasim al-Mahdi (255 H - ) lalu menghilang sebelum dewasa dan akan muncul
kembali sebagai Imam Mahdi yang dinantikan. Lihat Sunnah Syiah Bergandengan Tangan
Munakinkah? (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 127.
15 Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? (Tangerang:
Lentera Hati, 2014), h. 83.
12
penilaian atas sebuah pemikiran, pendapat, dan pandangan seseorang harus
didasari dengan keilmuan.
Adapun manfaat penelitan ini adalah:
1. Di bidang akademik penelitian ini akan memperkaya informasi
perkembangan mutakhir tentang dinamika kajian hadis di kalangan
madzhab Syi’ah.
2. Pada ranah wacana keagamaan, penelitian ini secara tidak langsung
menjelaskan konstruksi argumen konsep nikah mut’ah dalam madzhab
Syi’ah yang berbeda dengan ajaran nikah mut’ah dalam madzhab Sunni.
3. Pada ranah pergejolakan pemikiran Syi’ah-Sunni, penilitian ini secara tidak
langsung mengarahkan elemen masyarakat untuk tidak mengambil sikap
taqli>d buta dalam justifikasi general dan berhati-hati dalam memberi
stigma negatif.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian dan penelitian pemikiran Syi’ah, pada dasarnya sudah banyak
dilakukan oleh para peneliti baik yang bermadzhab Sunni atau pun Syi’ah
sendiri. Sedangkan penelitian khusus tentang hadis-hadis Sunni yang terdapat
dalam karya-karya ulama Syi’ah masih sangat sedikit. Di bawah ini adalah
beberapa penelitian yang berkaitan dengan kajian pemikiran hadis Syi’ah.
Hadis-hadis Ahlusunah dalam Tafsir Al-Mi>za>n, oleh Fadhlullah
Muhammad Said. Hasil penelitian ini merupakan disertasi Sekolah Paska Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah. Dalam disertasi tersebut Fadhlullah melakukan kritik
sumber dengan fokus pada hadis-hadis Ahlusunah dalam bab rawa>’i> tafsir karya
Muhammad Thabathbai. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan posisinya
13
adalah untuk melihat dinamika hadis-hadis Sunni dalam pemikiran tokoh lainnya
yang hidup lebih belakangan dari era Thabathabai. Selain itu, penelitian penulis
juga akan membuktikan kesimpulan Fadhlullah16
tentang dinamika diskursus
hadis Syi’ah pada tokoh yang beda dan lahir di era yang beda. Sehingga pada
ranah kesimpulan tentang diskursus pemikiran hadis Syi’ah kontemporer bisa
dilihat dari dua tokoh yang sama pemikir hadis dan representatif di kalangan
Syi’ah Imam Dua Belas. Hal ini untuk menghindari penilaian general terhadap
kalangan Syi’ah.
Konsep Hadis Shahih menurut Sunni dan Syi’i. Oleh Fadhlullah
Muhammad Said. Penelitan ini merupakan tesis Sekolah Paska Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis ini fokus pada analisis konsep hadis Syi’ah
Imam Dual belas secara umum, tidak fokus pada satu tokoh. Dalam penelitian
tingkat magister ini, Fadhlullah juga melakukan komparasi tentang unsur-unsur
autentisitas periwayat hadis Sunni dan Syi’i. Rumusan-rumusan masalah yang
dijawab Fadhlullah adalah seputar persemaan dan perbedaan seputar kriteria
hadis S}ah}i>h}, konsep keS}ah}i>h}an suatu hadis, pandangan Sunni dan Syi’i tentang
para sahabat, penetapan kualitas rijal dan periwayat hadis dan implikasi dari
perbedaan perbedaan tersebut dalam memahami sunnah Rasulullah saw.17
Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, merupakan hasil
penelitian Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. Tentunya tesis ini sangat berbeda, karena
16 Fadhullah berkesimpulan bahwa differensiasi hadis Ahusunah dan Syiah tidak hanya
terletak pada sanad tetapi terjadi juga pada substandi hadis, tertutama yang berkaitan dengan
ideologis. Lihat Fadhullah Muhammad Said, ‚Hadis-hadis Ahusunah dalam Tafsir Al-Mizan,‛
(Disertasi S3 Studi Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah, 2011 ), h. xx dan 353.
17 Lihat Fadhullah Muhammad Said, ‚Konsep Hadis Shohih menurut Sunni dan Syi’i,‛
(Tesis S2 Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2004 ), h. 19.
14
objeknya adalah periwayat-periwayat khawarij. Tesis ini berkesimpulan bahwa
semakin tinggi komitmen periwayat terhadap sunnah Nabi maka semakin dapat
menetralisir bias ideologinya. Konsekuensinya persamaan dan perbedaan ideologi
tidak dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis.18
Sunnah Syi’ah Mungkinkah Bergandengan Tangan ?. buku ini
memaparkan kajian atas konsep ajaran dan pemikiran dalam madzhab Sunnah
dan Syi’ah. Buku karya Quraish Syihab ini mengkaji secara kritis ajaran dan
pemikiran madzhab Syi’ah dan sekte-sekte di dalamnya. Kemudian lebih
mengkrucut pada Syi’ah Imam Dua Belas. Karya ini pada dasarnya mengajak
para pembaca yang bermadzhab Sunni melintas dan memahami ajaran dan
pemikiran Syi’ah dan sebaliknya. Dalam paparannya karya ini menampilkan
ragam perbedaan dan persamaan seputar rukun iman dan rukun islam, imamaha,
sikap terhadap para sahabat, raj’ah, bada’, dan taqiyyah, perbedaan-perbedaan
dalam masalah furu’. Walaupun buku ini secara komprehensif mengkaji
pemikiran Syi’ah tetapi belum detail berbicara masalah nikah mut’ah dan tidak
ada kajian mendetail tentang kajian hadis-hadis terkait.19
Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan Syi’ah di Indonesia. Pada
dasarnya buku ini adalah buku panduan lama Majilis Ulama Indonesia yang
ditulis oleh empat orang penulis. Buku ini pada umumya menampilkan sikap
MUI dalam justifikasi pemikiran Syi’ah, khususnya yang ada di Indonesia.
18 Lihat Ahmad Ubaydi, ‚Periwayat Khawari j dalam Literatur Sunni‛(Tesis S2 Sekolah
Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 231
19Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Mungkinkah Bergandengan Tangan ? . (Tangerang:
Lentera Hati, ), h. 252-253
15
Syi’ah dalam buku ini diposisikan sebagai madzhab yang harus dijauhi oleh umat
Islam, tidak ada upaya taqrib al-maz|a>hib. Akhir buku ini memaparkan fatwa-
fatwa MUI terkait kesesatan Syi’ah. Tetapi obejek penyesatannya lebih cendrung
pada madzhab Syi’ah Rafidhoh. Buku ini juga sedikit menyinggung masalah
nikah mut’ah. Tetapi pembahasannya hasa sebatas respons wacana dan tidak
melakukan kritik dalil (hadis) yang menjadi landasan kebolehan nikah mut’ah.20
Syi’ah Menurut Syi’ah. Buku ini ditulis oleh tim Ahli Bait Indonesia
sebagai respons wacana terhadap buku ‚Mengenal dan Mewaspadai
Penyimpangan Syi’ah di Indonesia‛ yang dierbitkan oleh MUI. Karya Ahli Bait
Indonesia ini mencoba menjawab segala bentuk justifikasi negatif terhadap
pengikut Syi’ah. Mulai dari masalah akidah, fikih, Al-Quran, hadis dan lainnya.
Dalam sebagian pembahasannya buku ini menyinggung dan mengklarifikasi
hakikat nikah mut’ah. Buku ini menegaskan bahwa nikah mut’ah bukan praktek
asal kawin tetapi harus mengikuti tata krama tersendiri. Buku ini mencoba
memaparkan beberapa hadis dalam rangka memperkuat sahnya nikah mut’ah.
Tetapi pemaparan tersebut belum masuk pada ranah kritik hadis.21
Sunni-Syi’ah Satu Kitab. Ini adalah merupakan buku ringkasan disertasi
yang ditulis oleh Muhaimin Zein. Dalam buku ini yang menjadi kajian pokoknya
adalah menelaah ulang riwayat-riwayat yang menginformasikan terjadi tahrif
dalam Al-Quran yang riwayat-riwayat tersebut menjadi bahan bakar terjadinya
20Ma’ruf Amin, dkk., Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan Syiah di Indonesia,
(Jakarta: Al-Qolam, 2013), h.55-103
21Tim Ahubait Indonesia, Syiah menurut Syiah, (Jakarta Selatan: DPP Ahubait Indonesia,
2014), h. 166-170
16
konflik Syi’ah Sunni. Buku ini berkesimpulan bahwa riwayat tahrif dalam Al-
Quran yang beredar di masyarakat pada dasarnya berasal dari riwayat lemah,
kalau pun itu S}ah}i>h} hanyalah bentuk penafsiran, qira’ah, dan doa. 22
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
analisis-verifikatif (pemeriksaan pernyataan), yaitu sebuah upaya
mendeskripsikan kritik Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni, dan kemudian
melakukan analisis secara kritis serta melakukan verifikasi atas kritik Ja’far
Subhani tersebut. Dengan menggunakan metode pemeriksaan pernyataan
tersebut penulis akan menguji validitas kritiknya dengan bersandar pada sumber-
sumber yang menjadi acuan Ja’far Subhani. Selain itu, dalam penelitian, penulis
akan melakukan kritik terhadap pernyataan, pandangan, dan penilaian Ja’far
Subhani, yang tentunya dengan disertai sikap menjunjung tinggi objektifitas
ilmiah.
Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primernya adalah buku Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-
Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani. Buku tersebut membahas legalitas
nikah mut’ah dalam perspektif Al-Quran dan Hadis. Sedangkan data sekundernya
adalah seluruh buku, kitab, atau karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan
langsung dengan penelitan, baik karya-karya Ja’far Subhani atau pun karya-karya
ulama lainnya.
22 Muhaimin Zen, Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, ( Jakarta: Nurul Huda, 2013), h. 214-218
17
Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: Pertama, melakukan inventarisasi dan menyeleksi data, yaitu
hadis-hadis Sunni yang terdapat dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-
Sunnah. Kedua, melakukan analisis data melalui metode deskriptif, yaitu dengan
melakukan analisis data. Ketiga, data-data hasil inventarisasi, seleksi, dan
analisis, kemudian diverifikasi melalui sumber-sumber yang menjadi acuan Ja’far
Subhani dan sumber-sumber yang berkaitan lainnya.
Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan interpretatif23
yang validitasnya diukur dengan dua teori. Yaitu teori
kritik hadis yang dirumuskan oleh Mus{t}afa> Al-A’z}ami> dan teori kebenaran yang
dirumuskan oleh Abdul Mustaqim.24
Dalam kitab Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n, Mus{t}afa> Al-A’z}ami>
merumuskan empat langkah25
dalam upaya penyeleksian hadis26
. Yaitu:
1. Mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat terkait ( ة صولكاف األعم ج )
2. Validasi keaslian teks ( صوصةالن ح إثباتص )
3. Menganalisis redaksi untuk mencari makna teks dan maksud autornya
( فؤل رادالم كمنمعنياأللفاظومنم حق النصوصللت تحليل )
23 Interpretasi tidak hanya dimaknai penafsiran tetapi mencakup pandangan, pemberian
kesan, pandangan teoritis seseorang terhadap sesuatu.
24 Dalam penerapannya, peneliti menggunakan empat langkah teori kritik hadis dan tiga
teori kebenaran di atas dengan cara proporsional, menyesuaikan data-data yang penulis teliti
dalam naskah penelitian.
25
Mus{t}afa> A’zhami, Manhj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n, (Riyadh: Maktabah Al-Kautsar,
1990), h. 95-100.
26Pada dasarnya langka-langkah dirumuskan ketika Mus{t}afa> A’zhami > menilai bahwa kritik
yang dilakukan para ulama hadis dan para ahi sejarah ada persamaan. Namun kritik yang
dilakukan oleh para ulama hadis lebih unggul dan lebih mendetail.
18
4. Kritik eksternal, yaitu menganalisis aspek kredibilitas periwayat hadis
( هت دال قالراويوع د بيلمعرفةص ل دالس لةالنق ح ر م )
Adapun teori kebanaran yang dirumuskan Abdul Mustaqim adalah teori
kebenaran koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Teori-teori tersebut pada
dasarnya gabungan teori kebenaran filsafat ilmu yang dikembangakan oleh Bob
Hale, Crispin Wright, dan Harold H. Tusi. Berdasarkan rumusan Abdul
Mustaqim, sebuah interpretasi atau pandangan akan dinilai valid atau benar jika
sesuai dengan teori kebenaran27
koherensi, korespondesi, dan pragmatisme.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.Teori kebenaran koherensi
Teori ini mengatakan bahwa sebuah interpretasi atau penafsiran dianggap
benar jika dia sesuai dengan pernyataan-pernyataan (proposisi) sebelumn\ya dan
secara konsisten menerapkan metodologi yang digunakannya. Dengan kata lain,
jika dalam sebuah kritik atau interpretasi terdapat konsistensi berpikir maka
kritik atau interpretasi tersebut dikatakan benar secara koherensi.28
2. Teori kebenaran korespondensi
Menurut teori ini, sebuah kritik atau interpretasi dikatakan benar apabila
dia berkorespondens, cocok, dan sesuai dengan fakta ilmiah yang ada di
lapangan. Sebuah kritik atau interpretasi disebut benar jika sesuai dengan teori-
teori keilmuan atau bukti yang ada.29
27Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 83\
28
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83
29 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , h. 83
19
3. Teori kebenaran pragmatisme
Menurut teori kebenaran pragmatisme, sebuah kritik atau interpretasi
diakatakan benar jika dia secara praktis mampu memberikan solusi praksis bagi
problem sosial yang muncul. Dengan kata lain dia tidak diukur dengan teori atau
penafsiran lainnya, tapi diukur sejau mana bisa memberikan solusi atas problem
yang dihadapi manusia sekarang ini secara universal.30
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan ditulis dalam bentuk lima
bab yang masing-masing saling berkaitan. Dari setiap bab-bab tersebut akan
dipaparkan dalam bentuk sub-bab guna menampilkan data secara sistemik dan
mudah dipahami alur dinamika hasil penelitiannya.
Bab pertama adalah bab pendahuluan. Pada bab ini dipaparkan latar
belakang penilitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab
ini merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian dengan tujuan utamanya
adalah memaparkan permasalahan akademik yang dijawab dengan pendekatan
yang telah ditentukan.
Bab kedua adalah pembahasan tentang riwayat hidup Ja’far Subhani dan
pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah. Pembahasan ini
untuk menginformasikan kepada para pembaca tentang pemetaan kehidupan
sosial dan kehidupan ilmiah ulama Syi’ah kontemporer tersebut.
30 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83
20
Bab ketiga akan membahas produk pemikiran Ja’far Subhani yang
berkaitan ilmu hadis, guna untuk melihat pemetaan pemikiran Ja’far Subahani
yang merupakan representasi dari ulama besar Syi’ah kontemporer.
Bab keempat merupakan pembahasan inti dalam penelitian ini.
Sebagaimana judul penelitan, bab ini akan menganalisis dan memverifikasi
pemikiran hadis Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni yang berkaitan
dengan nikah mut’ah. Pemikiran Ja’far Subhani yang akan dianalisis pada bab ini
adalah tentang nikah mut’ah pada awal Islam, riwa>yah tafsi>riyyah nikah mut’ah,
legalisasi nikah mut’ah oleh para sahabat dan tabi’in, keberatan Ali bin Abi
Thalib atas fatwa Umar bin Khattab, hadis-hadis lemah tentang penghapusan
nikah mut’ah, naskh dalam nikah mut’ah, dan kontradiksi yang terjadi seputar
hadis-hadis nikah mut’ah.
Bab kelima adalah bagian penutup penelitian. Pada bab ini memuat
pemaparan kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban atas rumusan masalah
penelitian yang telah dirumuskan pada bab pendahuluan. Kemudian bab ini
diakhiri dengan saran-saran guna memberikan informasi akan pentingnya
pengembangan dan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pemikiran Ja’far
Subhani tentang hadis-hadis Sunni.
21
BAB II
OTENSITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI DAN SYI’AH
A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah
1. Konsep Hadis Menurut Sunni
Secara etimologi, hadis bermakna baru (al-jadi>d). Sedangkan secara
terminologi, hadis menurut ‘Abd al-Haq Al-Dihlawi:
س ج صطالحافذثانذ أهى اع صهىانجلل عهىطهك انذذث
1رمششفعه سهىعههللا
Seseungguhnya makna hadis menurut istilah mayoritas ulama hadis adalah setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi saw. Berdasarkan definisi di atas, hadis menurut Sunni berpusat pada satu sumber
utama yaitu Nabi saw. Nabi saw adalah sumber tunggal sumber ajaran hidup yang
terdiri dari Perkataan, perbuatan, sifat, dan penetapan. ‘Ajjaj Khatib dan Abbas
Mutawali Hamdah menambahkan bahwa setiap perjalan hidup Nabi baik yang
terjadi sebelum dan sesudah pengangkatannya menjadi rasul juga termasuk hadis
Nabi saw.2 Adapun sahabat dan tabi’in, walau pun dalam perkembangan ilmu hadis
ada istilah khusus untuk menyebut perkataan, perbuatan, dan pernyataannya tetapi
mereka tidak menjadi sumber utama. Karena keberadaan Nabi di tengah umat adalah
bersifat wah}yi> dan membawa risa>lah sama>wi> yang berbeda dengan para sahabat atau
1‘Abdul Haq Al-Dihlawi, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|, (Beirut: Darul Basyai’i Islamiyyah,
1986), h. 33.
2 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi saw, (Jawa Timur: Jaya Star
Nine, 2015), h. 7.
22
pun orang-orang setelahanya. Posisi mereka hanya sebagai penggati (baca: khalifah)
dan pewaris risalah samawi tersebut. Sebagai pengaruhnya adalah ketika ada
kontradiksi hadis nabi dan hadis para pewarisnya, maka hadis Nabi saw lah yang
menjadi utama.
Dalam diskursus ilmu hadis, ada satu kata yang memiliki makna mirip
dengan hadis, yaitu sunnah. Baik ulama terdahulu atau pun ulama modern, mereka
berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mereka ada yang menyamakan bahwa
sunnah adalah sinonim dari kata hadis. Sebagian lagi berpendapat bahwa sunnah dan
hadis adalah dua kata yang berbeda makna. Yang pertama kali menggunakan kata
sunnah dan kata hadis dalam makna yang berbeda adalah Abdurrahman bin Mahdi.
Ibnu Mahdi pernah berkomentar bahwa ‚Sufya>n al-S|auri> ima<m fi al-h}adi>s| wa lais bi
ima<m fi al-sunnah3 (Sufyan Sauri adalah imam dalam bidang hadis tapi tidak dalam
sunnah)‛. Kendatipun sunnah dan hadis banyak digunakan dalam makna yang
berbeda, tetapi mayoritas ulama hadis bersepakat bahwa hadis dan sunnah adalah
dua kata sinonim.
Adapun menurut para pemikir hadis modern hadis didefinisikan sebagai
berikut: menurut Nurkholis Majid hadis adalah laporan tentang aktifitas Nabi saw.
Menurut Fazlur Rahman hadis adalah sunnah-sunnah yang terkonsep. Sedangkan
3 Muhammad Thahir Al-Jawwabi, Juhu>d al-Muh}addis|in fi Naqd Matn al-H|adi>s| al-Nabawi,
(Tunisia:Yayasan Abdul Karim Abdullah, 1986), h. 66.
23
menurut Syahrur hadis adalah kehidupan Nabi sebagai seorang Rasul dan manusia
biasa dalam kehidupan nyata.4
Dari beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa hadis menurut ulama dan
pemikir hadis Sunni memiliki sumber tunggal yaitu Nabi Muhammad saw.
2. Konsep Hadis Menurut Syi’ah
Menurut Hasan Shadr, ulama Syi’ah kalangan ushululiyyin yang hidup abad
14 h., hadis menurut etimologi adalah mut}laq al-kalam, ucapan. Sedangkan menurut
istilah adalah:
5ارمشش افعه انعصو كلل ذ الو ك
Ucapan yang menceritakan tentang ucapan, perbuatan dan pengakuan imam yang maksum. Penyebutkan kata ma’sum (Arab: al-ma’s}u>m) dalam definisi hadis versi
Syi’ah di atas tersebut, dimaksudkan adalah orang-orangyang bebas dari perbuatan-
perbuatan yang mengandung dosa, baik dosa kecil dan maupun dosa besar. Golongan
Syi’ah secara umum dan khususnya Syi’ah Imamiyah berkeyakinan bahwa mereka
semua maksum.6Dalam pandangan Syi’ah, tidak mungkin nabi berwasiat kecuali
untuk orang yang sama ma’sumnya dengan dirinya, sama dengan para nabi-nabi.
Kalau tidak maksum, tentu mereka tidak ada bedanya dengan manusia pada
4 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi saw, h. 12-13.
5 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy, t.th.), h. 81.
6Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-
Isla>m (al-Qa>hirah: Maktabah Ibn Taimyah, 1414 H.), h. 183.
24
umumnya yang bisa berbuat kesalahan-kesalahan yang mengandung dosa. Sebagai
perbandingannya, Sunni berkeyakinan hanya para nabi-nabi yang maksum. Oleh
kerena itu, mereka tidak membeda-bedakan antara ‘Ali> ibin Abi> Ta>lib dengan
Sahabat yang lain, karena mereka semua adalah sahabat-sahabat nabi.7
Adapun Imam Ma’sum atau Ahlu Bait yang dimaksud di atas, diyakini oleh
Syi’ah ada dua belas orang, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan anak keturunannya, mereka
memiliki akidah mewajibkan pengikutnya menerima segala yang diperintah dan
menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Imam Maksum.8 Adapun Imam Maksum
tersebutialah;(1) ‘Ali > bin Abi> T{a>lib, (2) al-H{asan bin ‘Ali >, (3) al-H{usayn bin ‘Ali >, (4)
Zayna al-‘A<bidi>n ‘Ali > bin al-H{usayn, (5) Muh{ammad bin ‘Ali > al-Ba>qir, (6) Ja’far bin
Muh{ammad al-Sa>diq, (7) Musa> bin Ja’far al-Ka>d{im, (8) ‘Ali > bin Musa> al-Rida>, (9)
Muh{ammad bin ‘Ali > al-Jawa>d, (10) ‘Ali > bin Muh{ammad al-Ha>di>, (11) al-H{asan bin
‘Ali > al-‘Askari >, dan (12) Muh{ammad bin al-H{asan al-Mahdi>.9 Dua belas imam ini
juga disebut sebagai Ahli Bait oleh orang-orang Syi’ah.10
7S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-Taqa>rub wa al-Taba>’ud (Beiru>t:
al-Gadi>r, t.t.), h. 166.
8Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah..., h. 183.
9Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh (al-Riyad: Dar al-Salam,
1995), h. 269.
10Muhammad Tijani As-Samawi, Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah.
Penterjemah, Hasan Musawa (Cianjur: Titian Cahaya, 2005), h. 25.
25
Syi’ah mengakui bahwa segala sesuatu yang datang dari Imam Ma’sum atau
Ahlu Bait11
juga dapat disebut hadis. Paham ini didasari oleh dua faktor. Pertama,
karena ada perintah dari nabi, sebagaimana sabdanya:‚Wahai Manusia,
sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya,
maka kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan
keluargaku‛.12Kedua, karena kedudukan mereka sama dengan nabi, kakeknya, maka
pernyataan para imam Ahlu Bait sama dengan sabda nabi, karena sejatinya mereka
merupakan penerus ajaran-ajaran kakeknya, Nabi Muhammad s.a.w.13
Namun di balik perbedaan pendapat mengenai batasan definisi hadis
tersebut, Sunni dan Syi’ah dalam masalah makna atau pengertian hadis (al-h}adi>s)
dan khabar (al-khabar) ada kemiripan, bahwa ada yang mengartikan dua kata
tersebut sinonim (al-mura>dif), artinya dua lafaz dipakai pada satu makna yang sama.
Namun sebagian ulama ada yang membedakannya, tetapi penyebutan khabar
11Pengertian dari Ahlu Bait (Ahl al-Bayt) secara bahasa adalah pemilik rumah atau anak
keturuanan. Namun dalam pengertian secara istilah ialah keluarga atau keturunan Nabi Muhammad
s.a.w. Penyebutan Ahlu Bait bisa dipahami dalam tiga macam aspek; (1) memiliki hubungan darah
karena keturunan nabi, ini disebut sebagai hubungan darah atau hanya fisik; (2) memiliki hubungan
jiwa dan ruh dengan nabi, berarti belum tentu keturanan nabi; (3) kombinasi dari dua hubungan yang
disebut sebelumnya, yaitu memiliki hubungan darah dan jiwa dan ruh dengan nabi. Lebih tepatnya,
yang dimaksud dengan Ahlu Bait adalah orang-orang yang memiliki hubungan fisik dan rohani
dengan nabi. Lihat dalam penjelasan, Sayid Muhammad Radawi, Imamah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlu Bait As. Penterjemah. A. Kamil (Kuwait: Mua’ssisah ‘Asr al-Zuhur, 2007), h. 81.
12Teks arab dari hadis tersebut ialah: ‚ واكتابفيكمماإنأخذتمبهلنتضل إنيتركت هاالناس ياأي
yang artinya: ‚Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di ,‛هللاعترتيأهلبيتي
tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan pernah
sesat, yaitu; kitabullah dan sanak saudara ahli baitku.‛Hadis ini bisa dicek dalam, Imam al-Tirmi>z}i,
Sunan al-Tirmi>z{i>, no.hadis 3718, Bab, Mana>qib Ahl Bayt al-Nabi> Salla> Alla>h pada CD-ROM,
Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991 edisi 1.2.
13Nasir Makarim Syirazi, Inilah Akidah Syi’ah (Kuwait Mu’assasah Asr al-Zuhur, 2009), h.
55-56.
26
diperuntukkan sesuatu yang datangnya bukan dari nabi, namun ada pula yang
mengkhususkan pemakaian kata khabar oleh para ulama usul fiqih, meskipun
maknanya sama dengan hadis.14
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling
mendasar antara Sunni dan Syi’ah dalam membatasi cakupan pengertian hadis
adalah terletak pada sumber dari hadis tersebut, lebih khususnya lagi tentang
penyisipan eksistensi‚imam yang maksum‛ sebagai sumber hadis. Bagi kalangan
Sunni, segala sesuatu yang datangnya dari Imam Maksum tidak dapat disebut hadis,
karena hadis menurut mereka hanya segala sesuatu yang datang atau disandarkan
kepada nabi. Namun menurut Syi’ah, selain sesuatu yang datangnya dari nabi, dari
para Imam Maksum juga dapat disebut hadis, karena mereka adalah penerus ajaran-
ajaran nabi, dan pangkat mereka sama dengan nabi.
B. Sejarah Kodifikasi Hadis Perspektif Sunni dan Syi’ah
1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni
Sub bab ini berjudul ‚Sejarah Kodifikasi Hadis‛. Sebagai penegasan dari redaksi
tersebut, penulis berpandangan perlu memperjelaskan apa yang dimaksud dengan
istilah kodifikasi atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-tadwi>n, yaitu memiliki
pengertian; sebuah catatan atau tulisan yang kemudian dikumpulkan di dalam satu
14Lihat dan bandingkn antara, Mah{mu>d al-T{ah{h{a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H}adi>s, h. 17 dan
Ja’far al-Subh{a>ni>. Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 19.
27
mushaf (buku).15
Sub bab ini secara fokus akan menyoroti kodifikasi hadis menurut
Sunni dan Syi’ah, sebagaimana berikut:
Dalam kajian Sunni, Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, menjelaskan di dalam
buku ‚Metodologi Kritik Hadis‛ bahwa ada dua versi riwayat hadis yang
kandungannya terkesan bertentangan tentang penulisan hadis pada masa
nabi.16Pertama, adanya riwayat yang menjelaskan tentang diperintahkannya
penulisan hadis. Adapun redaksi hadis perintah tersebut adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ah{mad, berikut ini:
ز ت "... انز ي اك ف ف س ب ث ذ ج ي ش خ ك ي د "ئ ل
‚...Tulislah, dan demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada
yang keluar ucapanku kecuali kebenaran.‛17
Kemudian yang kedua ada riwayat hadis yang menjelaskan larangan
penulisan hadis. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim, berikut teks Arab
dan terjemahannya dari hadis tersebut:
15Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahrani>,Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa
T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr (Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr
wa al-Tawzi>’, 1996), h. 74.
16Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2004),
h. 17-18.
17Lihat dalam, ImamAh}amd,Musnad Ah{mad, no. hadis,6221, Bab, Musnad ‘Abd Alla>h bin
‘Amr bin al-’A<s{ Rad{iya Alla>h Ta’ala> ‘Anhuma>, pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991 edisi 1.2.
28
ال ز ج ىر ك ع ي ز ت ىك ش ع غ آ ان م ش ذ اف ه ث ذ د ى ل ع ج ش د ي
ز ة ه ىك بو ل بل -ع ج س ذا-ل بل أ د ز ع أ ي ف ه ز ج ذ م ع ي انبس ي
‚...Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain al-
Qur'an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa.
Barangsiapa berdusta atas (nama) ku, Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid)
berkata: dengan sengaja, maka henkdaklah menyiapkan tempatnya dari
neraka.‛18
Faktor yang paling mendasar dari larangan penulisan hadis adalah
dikuatirkannya hadis-hadis bercampur aduk dengan al-Qur’an. karena pada masa itu,
al-Qur’an diperintahkan untuk ditulis. Terlepas dari dua riwayat di atas, setidak ada
dua paham ulama menyikapi dua riwayat yang secara harfiah berlawanan; (1)riwayat
pelarangan terhadap sahabat menulis hadis adalah riwayat yang lebih dipegang oleh
oleh sahabat daripada hadis perintah; (2)kekuatan hafalan mereka masih kuat
sehingga sangat memungkinkan meriwayatkan hadis secara lisan tidak akan
mengalami kesalahan.
Masih dalam pendapat Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, pada masa nabi
hidup, penulisan al-Qur’an sedang dalam proses sehingga jika hadis juga
diperbolehkan ditulis dikhawatirkan akan bercampur aduk. Untuk mewanti-wanti hal
ini, maka dilarang menulis hadis. Selain itu,konteks lawan bicara ketika nabi
menyabdakan larangan dan perintah hadis berbeda. Hadis tentang larangan tersebut
lebih awal dari perintah, sekitar awal tahun hijriah dan sedangkan hadis perintah
18Lihat dalam, Imam Muslim,S|ah{i>h{ Muslim, no. hadis,5326, Bab, al-Tas\abbut Fi> al-H{adi>s\ wa
H{ukm Kita>bat al-‘Ilm, pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991 edisi
1.2.
29
pada masa ketujuh hijriah. Hal ini bisa diketahui dari rawi hadis tersebut; hadis
larangan tersebut diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dan hadis perintah
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang diketahui masuk Islam stelah Fath{ al-
Makkah(tahun 8 H).19
Menanggapi dua riwayat penulisan hadis di atas, sebenarnya melalui dua
riwayat hadis tersebut sudah jelas memberikan petunjuk bahwa kodifikasi hadis
telah berlangsung pada masa nabi. Tentu ada alasan ketika nabi melarang sahabat
menulis hadis, bisa jadi nabi tahu kalau di antara mereka ada yang menulis hadis,
tidak mungkin melarang kecuali nabi sudah tahu, atau bisa sebaliknya, riwayat
perintah hadis ditujukan kepada beberapa orang khusus, dan sedangkan riwayat
larangan ditujukan kepada banyak orang dari sahabat-sahabatnya.Pelajaran yang
dapat dipetik adalah bahwa dua riwayat yang terkesan bertolak belakang tentang
perintah/larangan penulisan hadis menunjukkan dekianlah bentuk penulisan hadis
pada masa nabi. Namun penulisanpada masa itu tentunya tanpa ada sanad-sanad.
Selain itu, penulisan pada masa itu masih dalam bentuk tulisan-tulisan pribadi yang
ada pada sahabat-sahabat tertentu dan tidak dipublikasikan ke publik.
Sedangkan menurut ‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, kalau diperincikan lebih detail lagi
mengenai penulisan hadis sebenarnya bisa dikembalikan kepada tiga masa. Pertama,
marh{alah al-jam’i, ialah masa pengumpulan hadis. Ulama yang mengisi masa itu
adalah seperti Imam Ma>lik, beliau mengumpulkan hadis dari Ahli Hijaz, Ibn Jarij di
19Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 17-18.
30
Makkah, al-Awza’i di Syam, Sufyan al-Sawri di Kufah, Hamad bin Abi Sulayman di
Basrah, dan lain-lain. Ulama-ulama tersebut diyakini sebagai kelompok ulama yang
hidup dalam satu masa, tetapi tidak diketahui di antara mereka siapa yang lebih
dahulu melakukan pengumpulan hadis-hadis;(2) marh{alah al-masa>nid, ialah masa
pengumpulan hadis dengan disertakan sanad-sanadnya. Sanad menjadi penting
disertakan dengan matan hadis untuk memberikan indikasi atau untuk membantu
pelacakan siapa saja yang menyampaikan hadis tersebut hingga sampai kepada
nabi;(3) marh{alah al-sih{h{ah, yaitu masa klasifikasi hadis berdasarkan hadis-hadis
yang s}ah}i>h}. Adapun orang yang pertama kali menyusun hadis berdasarkan
kesahihannya dan memisahkannya dengan hadis-hadis yang tidak memenuhi syarat
sahih adalah Imam al-Bukha>ri>.20
Menurut Saifuddin, peneliti kodifikasi hadis kontemporer, menegaskan
bahwa masa puncak kodifikasi hadis Sunni adalah pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n.
Kitab-kitab hadis Sunni mulai muncul pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n tersebut
adalah S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (w. 256 h.), S}ah}i>h} Muslim (w. 261 h.), Sunan Abi< Da>wud
(w. 276 h.), Ja>mi’ al-Tirmiz|i> (w. 279 h.), Sunan al-Nasa>’i> (w.303 h.), dan Sunan Ibn
Majah (w. 273 h.). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis lainnya seperti kitab
20‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir, 2009), h. 69-71.
31
musnad Ah}mad ibn Hanbal (w. 241 h.), Munad Ish}a>q ibn Rah}awaih (w. 237 h.),
Musnad ‘Abd al-H}umaid (w. 249 h.), dan musnad-musnad lainnya.21
2. Sejarah Kodifikasi Hadis Versi Syi’ah
Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad menegaskan, sesungguhnya ulama berselisih
paham kapan kodifikasi hadis dimulai sehingga sampai kepada masa kita ini.
Menurutnya, sebagian ulama mengatakan diperkenalkan pertama kali pada masa
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z. Beliau menulis hadis dari ulama-ulama yang ada di
Madinah karena khawatir akan hilangnya hadis atau adanya perubahan-perubahan
terhadap hadis yang sudah ada.22
Namun dalam penjelasan yang lain, Syi’ah berkeyakinan―mereka secara
tidak langsung tidak sependapat dengan adanya riwayat hadis yang melarang
sahabat menulis hadis, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Sunni di atas
tersebut―bahwa sesungguhnya para sahabat sudah memiliki semangat yang cukup
intensif kepada hadis-hadis pada masa hidup nabi. Oleh karena itu, mereka selalu
menulis hadis yang diperoleh langsung dari nabi.23
Salah satu buktinya, Imam ‘Ali>
adalah salah satu sahabat di antara beberapa sahabat yang intens menulis hadis-hadis
21
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), h. 157.
22Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah al-Ima>miyyah(T.tp.: Nasyr
Hastami> Nama>, 2010), h. 35-38.
23‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir, 2009), h. 71.
32
nabi. Bahkan ‘Ali> adalah sesosok sahabat nabi yang memiliki banyak karya dan
termasuk di antara karya tersebut adalah kumpulan tulisan hadis-hadis.24
Jika ditelisik priodesasinya, penulis menemukan ada dua pendapat terkait
versi priode tentang kodifikasi hadis. Pertama, menurut‘Abd al-Ha>di al-Fad{l terbagi
menjadi dua priode; (1) disebut dengan tahap pengumpulan kecil (marh{alah al-
majmu>’ah al-s}agi>rah) dan tahap yang kedua dikenal dengan sebutan pengumpulan
besar (marh{alah al-majmu>’ah al-kabi>rah). Adapun yang dimaksud dengan priode
yang pertama ialah periwayatan hadis yang ditulis oleh rawi pada masa nabi atau
sahabat. Seorang perawi melihat dan mendapatkan hadis langsung dari nabi, atau
rawi tidak bertemu langsung tetapi mendapatkan hadis tersebut dari imam. Pada
priode ini, hadis masih berserakan dan tersebar dimana-mana, belum dikodifikasikan
dalam satu buku, masih dimiliki oleh individu rawi-rawi yang menulisnya, dan tidak
disertakan dengan sanad-sanadnya; (2)ialah kelanjutan dan penyempurnaan dari
tahap yang pertama. Pada tahap ini, penulisan hadis ditulis lengkap ke dalam kitab-
kitab besar dengan disertakan penyebutan sanad yang lengkap sampai kepada nabi
atau Imam Maksum, dan membuat klasifikasi bab-bab hadis yang disesuaikan
dengan tema-tema khusus, sehingga hadis yang dipaparkan tersusun secara tematis
sesuai dengan kontensnya. Pada tahap yang kedua inilah kemudian dikenal dengan
24Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah al-Ima>miyyah, h. 235.
33
empat kitab sahih di kalangan Syi’ah, yaitu al-Ka>fi, Man La> Yahdarah al-Faqi>h, al-
Tah{dzi>’b, dan al-Istibs}a>r.25
Empat kitab hadis Syi’ah tersebut tidak disebut sebagai kitab hadis sahih,
sebagaimana dalam kitab-kitab hadis Sunni, misalnya karya imam Bukhari yang
kemudian disebut dengan kitab ‚Sahih Bukhari‛, tetapi penekanan penyebutan
istilah sahih adalah pada mata rantai rawi-rawinya, bukan pada kitabnya meskipun
kemudian secara otomatis juga kepada kitab-kitabnya. Alasannya adalah karena
yang dimaksud dengan sahih dalam ilmu hadis versi Syi’ah adalah perawinya terdiri
dari Imam Maksum dan yang adil. Sedangkan hadis-hadis yang termuat di dalam
empat kitab Syi’ah yang muktabar tersebut ada yang terdiri dari hadis sahih, hadis
hasan dan hadis muwassaq.26
Sedangkan versi yang kedua, menurut S{a>lih{ al-Warda>ni >ada tiga priode;
(1)para sahabat menulis hadis yang diperoleh langsung dari Imam‘Ali>. Di antara
sahabat yang terkenal banyak mendapatkan riwayat hadis tersebut ialah Ibn ‘Abba>s,
Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|arr al-Gifa>ri>, dan Abu> Ra>fi’;(2) pada masa ta>bi’i >n dan
ta>bi’ihim. Pada masa kedua ini, kelompok Syi’ah semakin banyak sehingga mereka
pun banyak mengutip hadis dari orang yang tidak diketahui dari siapa, karena
saking banyaknya perawi-perawi hadis dari Syi’ah. (3)Imam Abu> H{ani>fah, Imam
25‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\, h. 77-82.
26‘Abd al-Rah{ma>n Abd Alla>h al-Zar’i, Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n (Kuwait: Da>r al-Arqm,
1983), h. 22-24.
34
Ma>lik, dan Imam Al-Sya>fi’i> semuanya mengambil hadis dari Ja’far al-S{a>diq yang
notabe seorang Syi’ah. Bahkan salah satu guru Imam al-Bukha>ri> pun dari golongan
Syi’ah.27
Dari beberapa pendapat tersebut, ulama Syi’ah memiliki keyakinan penuh
bahwa ‘Ali bin Abi Talib lah orang pertama yang mengumpulkan hadis-hadis nabi.
Mereka berkeyakinan bahwa beliau memiliki sekumpulan tulisan-tulisan yang
diramu dari ucapan-ucapan yang didekte langsung dari nabi kepadanya atau beliau
menulisnya ketika beliau memberikan sebuah khutbah atau menulis perbuatan-
perbuatannya yang diamati.28
Adapun puncak kodifikasi kitab hadis syi’ah adalah pada masa paska atba>’
atba>’ al-ta>bi’i>n yaitu sekitar abad keempat hijriyyah. Adapun kitab hadis syi’ah yang
muncul pada masa ini adalah al-Ka>fi karya al-Kulaini> (w. 329 h.), Man la> Yah}d}uruh
al-Faqi>h karya Ibn Babawaih (w.381 h.), Tahz\i>b al-Ah}ka>m dan al-Istibs}a>r karya Al-
T}u>siy (w. 460 h.), dan Nahj al-Bala>gah karya al-Syari>f al-Rad}liy (w. 406 h.)29
Kesimpulannya, pada masa nabi sudah ada beberapa sahabat yang menulis
apa-apa yang disampaikan oleh nabi kepada mereka. ‘Ali> adalah salah satu sahabat
yang diyakini oleh Sunni sebagai salah satu sahabat yang memiliki catatan-catatan
27S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi’ah..., h. 107-108.
28Lihat dalam kitab,Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah
wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah(T.tp.:Da>r al-Sala>m, 2003), h.181.
29 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, h. 164.
35
hadis nabi, dan juga diyakini oleh Syi’ah sebagai Imam yang Maksum memiliki
banyak karya yang salah satu di antaranya adalah koleksi hadis-hadis nabi. Dalam
hal ini, dua golongan tersebut memiliki kesamaan pendapat.
C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni dan Syi’ah
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadis dari rawi
satu kepada rawi yang lain sehingga sampai kepada nabi.30
Terkadang, dalam
menyampaikan sebuah hadis nabi berhadapan dengan sahabat yang jumlah beraneka
ragam, mulai dari yang berjumlahnya sedikit, satu dan sampai tiga lebih dari seorang
sahabat, serta terkadang menyampaikan hadis kepada jumlah sahabat yang banyak.
Oleh karena itu sudah barang tentu, informasi yang didapat dari jumlah yang relatif
sangat banyak lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang
dibawa oleh segelintir orang saja. Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang
kemudian disebut dengan hadis al-Mutawa>tirdan yang hanya diriwayatkan oleh
beberapa orang dengan jumlah yang mudah teridentifikasi disebut dengan hadis
Ah{ad.Lalu kemudian, jika ditinjau dari jumlah sanad tersebut, dalam kajian ilmu-
ilmu hadis baik versi ulama Sunni dan maupun ulama Syi’ah ditemukan titik
kemiripan di samping juga perbedaan yang cukup mendasar, berikut ini
penjelasannya:
30Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s \(T.tp.:
T.p. t.t.), h. 18.
36
1. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d Menurut Sunni
Definisi hadis mutawatir telah banyak dirumuskan oleh para ulama, namun
tidak ada perbedaan dalam substansinya. Abdullah bin Sirajuddin menyimpulkan
bahwa hadis mutawatir adalah:
ر ذجهغد ثذث ععجع اج بس ي ىعهانكزة إ راط مانعبدح ذ ا
ط ثشش 31اانسبع :انشؤخ ازبئىانذس يسزذ اك
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
diterima dari sekelompok orang yang mustahil mereka bersepakat untuk
berbohong atas Nabi saw dan diriwayatkan secara indrawi, yaitu dengan
indra penghilatan dan pendengaran
Dari definis di atas, syarat hadis mutawatir ada empat. Pertama,
diriwayatkan oleh banyak periwayat. Kedua, jumlah periwayat tersebut mustahil
melakukan sepakat untuk berbohong. Ketiga, diriwayatkan oleh banyak periwayat di
setiap tabaqahnya. Keempat, diriwayatkan dengan panca indra, yaitu pendengaran
dan penglihatan.
Hadis mutawatir terbagi dua model. Pertama mutawatir lafz{iy. Yaitu hadis
mutawatir yang disepakat redaksi – walau pun sepakat secara hukum- dan
maknanya. Contohnya adalah hadis (man kaz|z|ab ‘alayy muta’ammdan). Kedua
mutawatir ma’nawiy. Yaitu hadis yang terjadi perbedaan di kalangan para periwayat
hadis tentang lafal dan maknanya. Contohnya adalah hadis tentang mengangkat
tangan (arab: raf’ al-yad) dalam berdoa. Hadis-hadis tentang mengangkat tangan
31
Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b: Maktabah Darul Falah,
2009), h.. 98.
37
ketika berdoa berjumalah kurang lebih 100 riwayat dan diriwayatkan dalam
peristiwa-peristiwa yang berbeda.32
Hadis mutawatir memiliki kedudukan sebagai ilmu dhoruri, suatu informasi
yang tidak bisa ditolak tentang keberadaannya. Hadis-hadis yang diriwayatkan
secara mutawatir berarti diyakinkan benar berasal dari Nabi saw.
Sedangkan hadis ahad sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar adalah:
ج ش ذ خ خ فاناد انهغ يب: ص ش ذ ش خ الح ف،اد الصط ن ى يب:
ع زار ش ش شط ج ان33
Hadis ahad menurut bahasa adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh satu
orang. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis adalah hadi yang tidak
memenuhi persyaratan hadis mutawar.
Menurut Ibnu Hajar, hadis ahad terbagi menjadi dua bagian. Pertama yang
maqbu>l, yaitu periwayatannya diterima dan ada keharusan mengamalkannya. Kedua
mardu>d, yaitu periwayatannya ditolak dan tidak perlu mengamalkannya.
2. Hadis Mutawatir dan Ahad Menurut Syi’ah
Hadis Mutawa>tir dalam kajian paham Syi’ah ada banyak ragamnya. Namun
definisi tersebut pada dasarnya memiliki makna yang sama. Menurut Hasan Shadr,
hadis mutawatir adalah:
34ش زار راطإىعهانكزةف إي ا ذ د فكمطجمخ سالسه فبثهغذ
32
Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b: Maktabah Darul Falah,
2009), h.. 99.
33Ibnu Hajar, Nuzhah al-Naz}ar fi Tawd}i>h} Nukhbah al-fikar, (Riyadh: Makatabh Al-Malak,
2001), h.. 54.
34Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy, t.th.), h. 99
38
Hadis mutawatir adalah hadis yang jika rantai periwayatannya mencapai
batas jumlah yang dipercaya tidak sepakat berbohong.
Berdasarkan definisi di atas, konsep hadis mutawatir menurut syi’ah sama
sebagaimana definisi ulama Sunni sebelumnya. Hanya saja dalam definis syi’ah
tidak disisipkan perihal keharusan diriwayatkan dengan panca indra, pendengaran
atau penglihatan. Sebagaimana pandangan ulama Sunni, menurut Hasan Shadr hadis
mutawatir juga terbagi dua. Yaitu lafz}iy dan ma’nawiy. Hasan Shadr juga
mencontohkan bahwa di antara hadis mutawatir yang disepakati oleh seluruh ulama
adalah hadis man kaz\z\ab ‘alayya. Sedangkan hadis mutawatir menurut madzhab
syi’ah adalah hadis Ghadir Khum dan hadis al-manzilah (kedudukan Ali).35
Sedangkan hadis ahad menurut Hasan Shadar, sebagaimana mengutip ulama
terdahulunya adalah:
36شد ث اك ار س ذ هل شساء انزار دذغ جه بنى ي
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah periwayat hadisnya tidak mencapai
pada batas mutawatir. Baik periwayatnya berjumlah sedikit atau pun banyak.
Adapun kedudukan hadis ahad dalam pendapat Hasan ada yang bersifat
ma’lu>m al-s}idqi (kebenarannya bersifat pasti), ma’lu>m al-kaz|ib (kebohongannya
bersifat pasti), maz}nu>n al-sidq (kebernarnnya bersifat dugaan), maz|nu>n al-kaz|ib
(kebohongannya bersifat dugaan). Secara umum, hadis ahad, sebagaimana dalam
35
Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100
36 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 279
39
tradisi Sunni, para ulama Syi’ah mengamalkan informasi yang terkandung di
dalamnya.37
D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut Sunni dan
Syi’ah
1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut Sunni
Abdullah Sirajuddin, sebagaimana ulama lainnya, melakukan klasifikasi
hadis ke dua bagian. Pertama populer dengan istilah jihah ta’addud al-ra>wi> (aspek
kuantitas atau jumlah periwayat hadis). Kedua jihah s}ifa>t al-asa>ni>d (aspek kualitas
sanad hadis).38
Dari aspek kuantitas, hadis terbadi menjadi tiga macam. Yaitu hadis
masyhu>r, hadis ‘azi >z, dan hadis gari>b.
Tentang hadis masyhu>r, al-Suyu>t}i> menjelaskan bahwa:
ي ثأكثش يذصسح قش ط ن يبانشس اث ارشدذجهغنى, ,انز س
دثزنك 39نض
Hadis Masyhu>r adalah hadis yang memiliki jalan-jalan periwayatan lebih dari
dua, tetapi jalan periwayatan tersebut tidak sampai pada batas mutawatir.
Disebut masyhu>r karena dengan jelas bisa diketahui keberadaannya.
37
Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100.
38 Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b: Maktabah Darul Falah,
2009), h. 36.
39 Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. 2, (Beirut: Maktabah Al-Kaus|ar, 1415 h.) h. 632.
40
Tentang hadis ‘azi>z, Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> memberikan definisi yaitu:
زعرنكثعذسانثالثخأاثبساعافشديبانعضض
40انغشتعفشديشساعضضاانذذثكفمذيئخالثخانثأالث
Hadis ‘azi>z adalah hadis yang periwayatnya berjumlah dua atau tiga
walaupun setelahnya diriwayatkan oleh seratus periwayat. Terkadang ada
sebuah hadis ‘azi>z sekaligus masyhu>r tetapi juga disebut gharib karena
diriwayatkan oleh periwayat gharib di t}abaqah lainnya.
Adapun hadis ghari>b menurut Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> adalah
سابي شت انغ أغش ش فهىثشاز يفشداسا فثضبدح فشد ا
41ئسبد أ ز ي
Hadis ghari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat yang
menyendiri dalam periwayatannya, dan periwayat lainnya juga tidak
meriwayatkan, atau menyendiri dalam hal memberi tambahan dalam matan
dan sanad.
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut Syi’ah
Hasan Shadr membagai hadis berdasarkan kuantitas periwayat hadis kepada
empat jenis. Yaitu mustafidh, masyhur, aziz, dan gharib.
Tentang hadis Mustafidh Hasan Shadr menjelaskan:
42ض ف ز س ف ثالثخ ي ذ ص أ خ ج ر ش ي مفك ه م فا
40
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s|, (Beirut:
Muassasah Al-Risalah, 2004), h. 183.
41Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s|, h. 184.
41
Maka jika diriwayatkan oleh lebih dari tiga periwayat di setiap tabaqah maka
itu adalah hadis mustafidh.
Tentang hadis masyhur:
43بفانشسمبدافثعض ج انط فكمعثالثخ انشاح صاد ئ
Dan jika periwayat lebih lebih dari tiga di setiap tabaqah atau sebagiannya
maka itu adalah hadis masyhur.
Hadis Gari>b adalah:
س فشد يبا ضبدح ث ا 44ذ اانسز فان
Hadis yang periwayatnya menyendiri baik dalam rantai periwayatan atau pun
dalam matannya.
Adapun hadis ‘aziz adalah:
ااث يبس 45ط ج ض ذانز ع يعن ش انذذث ع ج عكمي اثالثخ ب
Hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga periwayat dari setiap yang
mengumpulkan hadis dan meriwayatkan darinya atas pertimbangan ‘ada>lah
dan dabtnya.
E. Klasifikasi Hadis Ah}a>d Berdasarkan Kualitas Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah
1. Klasifikasi Hadis Ah{a>d Berdasarkan Kualitas Hadis Menurut Sunni
42
Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy, t.th.), h. 158.
43Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 158.
44Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 160.
45 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 164.
42
Sunni membagi hadis Ah{adkepada tiga macam bagian. Yakni, hadis sahih,
hasam dan da’if. Dari ketiga macam tersebut, dua yang pertama disebut dapat
diterima sebagai hujjah atau argumentasi atau disebut dengan al-Khabar al-Maqbu>l,
dan sedangkan hadis Da’if masih diperdebatkan oleh banyak kalangan ulama, tetapi
pendapat mayoritas yang dipegang oleh mereka adalah tertolaknya sebagai hujjah
kecuali dalamfada>’il al-a’ma>l (keutamaan amal). Ia disebut dengan al-Khabar al-
Mardu>d.46Berikut tentang tiga pembagian hadis Ah{adtersebut sebagaimana berikut:
a. Hadis S{ah{i>h} adalah:
ذخ انصذث انذ بأي انذذثف: لذ انع م م ث بد ئس م ص ز انزي،ذ س ان
.العهي لا،ر شبكلب،ز ي ئنىبثظ انضلذ انع ع انضبثظ47
Adapun hadis s}ah}i>h} adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dikutip
dari rawi yang adil dan d}abit}} sampai kepada seluruh tingkatannya dan tidak
syaz} serta tidak ada illatnya.
Melalui definisi tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa syarat hadis
Sahih ada empat macam. Pertama, sanadnya bersambung. Kedua, perawinya
bersifat adil. Artinya, rawi tersebut adalah sesosok orang yang taat
melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah s.w.t.
Ketiga, selain harus memiliki sifat adil juga harus dabit. Dabit disini yang
dimaksud adalah kualitas ingatannya dari apa-apa yang dihafalkannya. Bisa
juga dabit ini disebut dengan cerdas, baik cerdas dalam hafalan dan maupun
46Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 44-77.
47Ibnu S}ala>h, ‘Ulu>m al-H}adi>s|, (Beirut: Darul Fikr, t.th. ), h. 11.
43
tulisan. Keempat, matan hadisnya tidak mengandung syaz. Yaitu, riwayat
yang dibawanya tidak bertentangan dengan riwayat lain yang dibawa oleh
orang-orang yang lebih berkualitas kesiqahannya, atau tidak bertentangan
dengan dalil lain yang lebih argumentati. Karena apabila bertentangan dengan
apa yang diriwayatkan oleh orang-orang berkualitas dan bersambung sanadnya
sehingga hadis itu dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan hadisnya
(matannya) ternyata syadz, maka hadis itu menjadi tidak Sahih.Kelima,
matanya tidak mengandung illat. Maksudnya, tidak cacat, seperti, tidak ada
pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis yang sebenarnya memang
tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari nabi, padahal sebenarnya bukan
berasal dari nabi. Kesimpulannya, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu
sanadnya harus bersambung, adil dan memiliki kualitas ingatan yang tajam,
dan matannya tidak mengalami syaz dan illat.
Perlu dikatahui, bahwa para ulama hadis juga membagi hadis Sahih pada
dua bagian, yaitu S|a>h{i>h{ li Z|a>tihi> dan S|a>h{i>h{ li Gairihi>, perbedaan antara
keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada S|a>h{i>h{ li
Z|a>tihi> ingatan perawinya sempurba, sedang pada S|a>h{i>h{ li gayrihi, ingatan
perawinya kurang sempurna. S|a>h{i>h{ li Gayrihi tidak lain merupakan bentuk dari
hadis H{asan li Z|a>tihi,―sebab tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
suatu hadis dapat diterima kehujjaanya―karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain. Para ulama hadis ulama fiqih dan usul
44
fiqih sepakat menjadikan hadis ini sebagai hujjah yang wajib beramal
dengannya.48
b. Hadis H}asan
Definisi dari hadis Hasan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Namun demikian, definisi yang banyak dipilih adalah:
غش ئنىيزبي ه ث عي ضجط فصمسذثممانعذلانزيخ رايب
49خ هلع ر زش
Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan dari orang yang adil,
kurang sedikit kedabitannya, tidak ada keganjilan dan illatnya.
Perlu dicatat, bahwa status kualitas Hadis hasan tepat di bawah hadis
sahih. Kriterianya pun hampir sama dengan hadis Hasan. Hanya saja,
perbedaanya terletak pada sisi kedhabitan rawinya, baik ingatan atau daya
hafalannya kurang sempurna, tidak sebagaimana dalam hadis Sahih. Hadits
shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus sempurna, sedangkan dalam
hadis hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.50
Sebagaimana hadis Sahih, hadis Hasan juga masih terbagi menjadi dua
macam pembagian, yaitu disebut dengan H}asan li Z|a>tihi dan H{asan li Gayrihi.
Yang dimaksud dengan H}asan li Z|a>tihiadalah hadis yang dengan sendirinya
48Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64.
49 Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 58.
50Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazon, 2010)h. 159.
45
telah memenuhi syarat hadis Hasan. Adapun yang dimaksud denganH{asan li
Gayrihiyaitu hadis Da’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu),
dan sebab-sebab keda’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.51
c. Hadis D}a’i>f
ط ش ش ي ط ش ش ذ م ف ث س انذ فخ ص ع ج بنى ي 52
Yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat hadis hasan, karena
tidak ada satu pun syarat dari syarat-syaratnya yang tidak terpenuhi.
Jika hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi sebagain atau
semua persyaratan hadis Hasan dan Sahih, misalnya sanadnya tidak
bersambung (gayr muttasil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi
keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (illat) pada sanad atau matan.53
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Hadis Menurut Syi’ah
Di atas telah penulis paparkan penjelasan tentang kualitas hadisAh}ad
perspektif Sunni dan klasifikasinya, maka sebagai perbadingannya, penulis di sini
akan memaparkan klasifikasi menurut Syi’ah. Menurut Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-
Ba>bali> dalam karyanya, Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\:, menjelaskan bahwa hadisAh{ad
menurut kelompok Syi’ah terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu hadis Sahih,
Hasan, Muwassaq, dan Da’if. Tiga awal tersebut dapat diamalkan atau dijadikan
51Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64-66.
52 Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 73.
53Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 164.
46
hujjah, karena kualitas sanadnya kuat. Sedangkan yang disebut belakangan, hadis
Daif tertolak karena lemahnya kualitas sanadanya. Empat tingkatan ini pada
hakikatnya tidak lepas memperhatikan dua komponen; atas sanad (eksternal) dan
matan (internal).54
Sementara itu, sebab-sebab pembagian hadis menjadi empat macam tersebut
ada banyak alasan, namun sebab yang paling mendasar di antara beberapa sebab itu
adalah antara lain; karena rentang masa kemunculan hadis sudah sangat jauh maka
perlu membuat klasifikasi istilah sahih dengan yang tidak; bercampurnya riwayat-
riwayat hadis dari yang muktabarah dengan yang tidak; dan kesamarannya riwayat-
riwayat yang diulang-ulang; ulama-ulama kontemporer membutuhkan kaidah-kaidah
yang menjelaskan perbedaan antara hadis yang sahih dengan yang tidak. Adapun
peletak pertama yang membuat klasifikasi hadis menjadi empat macam ada beberapa
perbedaan ulama, ada yang mengatakan adalah Jama>l al-Di>n Ah}mad bin Mu>sa> bin
Ja’far bin T {a>wu>s (w. 664). Namun ada pula yang mengatakan adalah muridnya, yaitu
al-‘Alla>mah al-H{asan bin Yu>suf al-Halli. Meskipun masih diperselisihkan siapa
peletak pertama, tetapi yang jelas klasifikasi hadis tersebut dikenal pada Abad ke
tujuh.55
Empat macam atau tingkatan hadis menurut Syi’ah tersebut di atas
sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
54Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-Ba>balayi>,Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\ (Da>r al-H{adi>s\ Li T{aba>h’ah
wa al-Nasyr, 2000), juz. 1, h. 125.
55Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah
(Lebanon: Da>r al-Ra>fid}i>n, 2013), h. 92-96.
47
a. Hadis S}ah}i>h} ialah
صمسذ رايب‚ ,‛انطجمبدجععيثهف بي لاإلي انعذ م م ث و ص ع ئنىان56
hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam
semua tingkatan dan jumlahnya berbilang.
b. Hadis H}asan ialah:
جأشار عهعذانزفجعي ص غش ي ذح ي ثايبي سذ صم رايب‚
57خذانجبليسجبلانص فثعضعبيعك ‛,
Hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang terpuji dari tetapi tidak
ada nash yang jelas tentang ‘ada>lahnya, dan periwayat tersebut ada di semua
atau sebagian tabaqahnya.
c. Hadis al-Muwas|s|aq atau juga bisa disebut dengan al-Qawiy, ialah
م ز نىش مذر ع سبد ف ميعث األصذبةعهىر صي فطشم خم يبد ‚
,‛فع عهىض ثبل 58
hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang
yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak
akidahnya, seperti dia termasuk salah satu kelompok yang berbeda dengan
imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian
periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.
Ulama yang memperbolehkan mengamalkan hadis Ah{ad secara paten juga
memperbolehkan mengamalkan hadis Sahih selagi tidak ada syadz dan bertentangan
dengan al-Qur’an. Namun eksistensi dari pengamalan hadis Hasan dan hadis al-
Muwassaq terjadi perbedaan pendapat antara ulama. Menurut Abu> al-Fad{l H{afiz\iya>n
56
Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ , h. 92-96.
57 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\, h. 92-96.
58 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\, h. 92-96.
48
al-Ba>buli>dalam karyanya,Risa>lah Fi> Diraya>h al-H{adi>s|,ada ulama yang mengamalkan
hadis Hasan secara mutlak, tetapi ada pula yang menolaknya secara mutlak, dan
yang lain ulama yang lain memisahkan keduanya. Begitu pula hadis al-Muwassaq,
ada ulama yang memperlakukannya sebagaimana hadis Hasan.59
d. Hadis D}a’i>f, ialah
ج يبل ‚ ,‛انثالثخ دذ أ شط عفش ز60
Hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas.
Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang
yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti
orang yang memalsukan hadis.
Adapun hadis-hadis Daif hukumnya bukan berarti tidak dapat
diamalkan. Akan tetapi status hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis
Sahih apabila hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran-ajaran Syi’ah.
Misalnya tentang masalah haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah
manasik haji keBayt Alla>h, melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah
ke makam Nabi Muh{ammad dan para imam mereka.61
Di kalangan ulama syi’ah sendiri, pada dasarnya klasifikasi hadis
berdasarkan kualitasnya menjadi s}ah}i>h}, h}asan, muwas|s|aq, dan d}a’i>f adalah hal
59Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\, juz. 1, h. 126.
60 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah .....h.
92-96.
61Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\, juz. 1, h. 126.
49
yang bersifat kontroversial. Sebagaimana penjelasan-penjelasan di atas, Hasan
Shadr adalah salah satu ulama yang berpendapat tentang adanya klasifikasi
hadis. Dalam pandangan ulama syi’ah lainnya, tidak ada pembagian hadis
menjadi empat bagian sebagaimana penjelasan di atas. Pendapat ini
diperjuangkan oleh ulama syi’ah salah satunya bernama Yusuf Al-Bahrani
yang meninggal pada tahun 1186 h. Dalam kitabnya, dengan tegas dia
menyatakan bahwa pembagian istilah hadis menjadi empat nama adalah
pendapat yang batil.62
Tidak ada pembagian hadis tersebut dikembangkan oleh
ulama syi’ah dari kalangan akhba>riyyun. Sedangkan yang setuju dengan
pembagian hadis berasal dari kalangan ushulilyyun, seperti Hasan Shadr.
F. Perbedaan Sunni dan Syi’ah tentang Standarisasi Kesahihan Hadis
Pada hakikatnya sub-bab ini merupakan kelanjutan dari penjelasan yang lalu.
Hanya saja keterangan yang akan dibahas di dalam sub bab ini lebih menelisik
rincian-rincian dari standar kesahihan hadis baik yang ditinjau dari kajian golongan
Sunni dan maupun menurut Syi’ah. Sejauh pembacaan penulis, selain ditemukan ada
beberapa perbedaan juga ternyata ada beberapa aspek kemiripan di antara kedua
golongan Islam tersebut. Dalam konteks kali ini,kemiripannya adalah bahwa dua
golongan tersebut sama-sama mengharuskan sanad dari sebuah hadis bersambung
(ittis}a>l al-sanad), Sunni mengharuskan bersambung sampai kepada nabi. Namun
menurut Syi’ah mengharuskan bersambung kepada nabi atau imam yang maksum,
62
Yusuf Al-Bahrani, al-H}ada>’iq al-Nad}irah, (Beirut: Darul Kutub Islamiyyah, 1985) h.. 65.
50
selain itu, dua golongan tersebut sama-sama mengharuskan seorang rawi memiliki
sifat adil dan d}abt}. Sedangkan perbedaanya, Sunni mengharuskan sebuah hadis
terhindar dari sya>z\ dan ‘illat, tetapi Syi’ah tidak memasukkan keduanya ke dalam
standarisasi kesahihan hadis, karena keduanya sudah terkandung di dalam
pengertian adil. Penjelasannya sebagaimana berikut ini:
1. Ketersambungan sanad (ittis}a>l al-sanad).
Ulama Sunni tidak sama dalam memahami apa yang dimaksud dengan
bersambungnya sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
bersambung sanad adalah apabila periwayat satu dengan periwayat berikutnya betul-
betul serah-terima hadis (tah}aqquq al-liqa>’). Menurut Imam Suyuti, Imam Al-
Bukha>ri mensyaratkan nyatanya pertemuan antara periwayat hadis dengan gurunya
(al-sima>’ wa al-liqa>’) dan tidak mencukupkan sezaman (al-mu’a>s}arah) dan
pertemuan yang sifatnya masih dugaan (imka>n al-liqa>’)63
Jika di atas adalah kajian standar kesahihan sanad menurut golongan Sunni,
namun standar periwayatan hadis s}ah}i>h} dari golongan Syi’ah, mengharuskan dari
kalangan imam yang maksum. Posisi ‘Ali> dan Imam Ma’sum sama dengan Nabi
Muh{ammad s.a.w.64
Dengan kata lain, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad telah
memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Ada beberapa syarat yang
63
Al-Suyuti, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. I, (Beirut: Al-Kautsar, 1415 h.), h.. 69.
64Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ..., h. 97.Lihat juga dalam
keterangan, Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, t.th.), h. 425-426.
51
harus terpenuhi sebagai seorang rawi agar periwayatannya dapat diterima, yaitu;
sanadnya bersambung kepada imam yang imam maksumtanpa ada keterputusan di
dalamnya,seluruh tingkatan dari seluruh perawi hadis harus dari kalangan Syi’ah
Imamiyah, dan yang terkahirperawinya bersifat adil.65
Dalam standar kesahihan sebuah hadis, ulama-ulama Syi’ah menilai
periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan
lemah atau daifyang tidak boleh diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari
selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka. Atas dasar
penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa mereka menolak hadis-hadis Sahih dari
tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain,
tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha. Alasan logisnya, karena riwayat-
riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam
yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-
riwayat tersebut dinyatakan daif oleh Syi’ah.
Ah}mad H{a>ris Suhaymi> dalam karyanya; Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah
al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah,
menjelaskan bahwa kajian Syi’ah tentang sanad, ketersambungan dan
keterputusannya, pada hakikatnya bertaqlid atau mengikuti kepada kajian ulama
65Abu> Zahrah mengutip pendapat Syaikh H}asan Zaynuddi>n dalam kitabnya Ma’a>lim al-Di>n,
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung
dengan yang ma’s}u>m, diriwayatkan oleh periwayat yang adildan kedabitannya pada seluruh
tingkatannya. Lihat Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu
(Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 425-426.
52
Sunni.66
Hanya saja Syi’ah tidak mengambil periwayatan sebuah hadis dari kalangan
sahabat pada umumnya, karena mereka memiliki kriteria khusus siapa yang berhak
disebut dengan sahabat. Oleh karena itu, tidak semua orang yang dianggap sahabat
oleh kalangan ulama Sunni adalah sahabat oleh kalangan Syi’ah.67
Namun demikian,
sanad Syi’ah Imamiyah lebih sahih dari pada sanad Sunni. Karena mereka tidak
mengambil sebuah riwayat kecuali dari orang s|iqah yang diambil dari imam-imam
mereka yang langsung bersambung kepada kakeknya, nabi, dari Malaikat Jibril yang
datangnya dari Allah s.w.t.68
2. Kualitas intelektual rawi (d}abt} al-ruwa>h).
Tidak ada perbedaan antara ulama Sunni dan Syi’ah mengenai arti dari d}abt}
al-ruwa>h. Mereka sama-sama mengartikannya dengan rawi yang memiliki kekuatan
hafalannya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja sesuai
kehendaknya sendiri, atau arti yang lain ialah seorang rawimampu memahami
pembicaraan sebagaimana mestinya, dan seketika itu dia langsung hafal (ingat)
dengan apa yang didenger dan mampu menyampaikannya sesuai dan sangat persis
dengan yang didengarkan itu.69
Adapun menentukan kualitas ke-d}abt}-an seorang
66Ah}mad H{a>ris Suhaymi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah
Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah (T.tp.: Da>r al-Sala>m, 2003), h. 180.
67S|a>lih} al-Wirda>ni>, ‘Aqa>’id al-Sunnah wa ‘Aqa>’id al-Syi>’ah, h. 110.
68Ah}mad H{a>ris Suhaimi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-
Sunnah..., h. 181.
69Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h.140. Bandingkan dengan, ‘Abd Alla>h
al-Ma>miqa>ti>, Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah (T.tp.: Naka>risy, 2000), h. 334-335.
53
rawi, setidaknya bisa diketahui dari; (1) didapat dari kesaksian atau penjelasan
ulama; (2) berdasarkan kesesuain riwayatnya dengan riwayat orang lain yang
memiliki ke-d}abt}-an maksimal; (3) kalau hanya mengalami satu kesalahan, maka
bisa disebut sebagai rawi yang dabit. Akan tetapi tidak disebut sebagai rawi dabit
apabila selalu mengalami kesalahan.70
3. Periwayat yang adil (‘adalah al-ruwa>h).
Maksud adil pada syarat periwayat yang ketiga ini masih menyisakan
perselisihan pendapat ulama Sunni. Ada yang memberi makna adil dengan beragama
Islam, balig, berakal, takwa, memelihara muru’ah, teguh dalam beragama, tidak
berbuat dosa besar, misalnya syirik, tidak berbuat dosa kecil, tidak berbuat bid’ah,
maksiat. Pada intinya, dua golongan ini memahami ‘adl dengan ketaatan seorang
periwayat terhadap ajaran-ajaran agama Islam.
4. Tentang persyaratan sya>z| dan ‘illah
Kelompok Sunni sebagaimana dalam definis hadis sah}i>h-}nya, meletakan
persyarat dua terakhir ini dengan jelas dan menjadi pertimbangan penting dalam
seleksi periwayatan hadis. Sedangkan dalam kajian Syi’ah dua persyaratan terakhir
tidak tertulis dalam definisi hadis s}ah}i>h}-nya.
70
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h. 142.
55
BAB III
RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS JA’FAR SUBHANI
A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah1
Ja’far Subhani adalah seorang pemuka agama yang selama bertahun-
tahun mengajar dan mendidik murid-murid, menyampaikan tuntunan-tuntunan
agama dalam bentuk tabli>g, meneliti, menulis, dan juga menerjemahkan buku-
buku ilmiah. Semua itu hanyalah contoh kegiatan dan pengabdian yang berharga
dari pemikir besar Islam, ulama kontemporer, faqi>h yang juga pakar di bidang
Us}u>l al-Fiqh, mufassir yang juga ahli di bidang Ilmu Rijal, teolog yang juga
sastrawan, dan filsuf yang juga sejarawan ini. Selanjutnya kita coba menengok
sedikit dari riwayat hidup dia.
Aya>tulla>h Ja’far Subhani lahir pada tanggal 28 bulan Syawal tahun 1347
hijriah. Dia dilahirkan di kota Tabriz dalam keluarga yang terhormat dan terkenal
dengan ilmu, takwa dan kemuliaan. Kedua orang tuanya adalah seorang yang
zuhud dan terkemuka, yaitu Aya>tulla>h Muhammad Husein Subhani Khiyabani.
Dia adalah salah satu ulama dari kota Tabriz yang aktif mengajar, menulis,
1 Sejauh penelusuran, penulis tidak menemukan buku atau kitab khusus yang
menjelaskan perjalanan hidup Ja’far Subhani secara lengkap. Oleh karena itu, sementara penulis
mengacu pada tulisan yang tersebar di internet. Lihat Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
56
memberi petunjuk kepada masyarakat dan mendidik murid-murid lebih dari lima
puluh tahun lamanya.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Ja’far Subhani mempelajari teks-
teks sastra persia di sekolah Mirza Mahmud Fadhil putra Fadhil Maroghi yang
merupakan salah satu murid Syekh Anshari. Di sana dia mempelejarai buku-buku
seperti Gulestan, Bustan, Ta>ri>kh al-Mu’jam, Nis}ab al-S}ibya>n, Abwa>b al-Jina>n
dan lain sebagainya. Kemudian pada usianya yang ke empat belas tahun
(tepatnya pada tahun 1361 h.) dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah
Ilmiah Thalibiah dan menyelesaikan ilmu-ilmu pengantar dan tingkat-tingkat
tinggi atau yang biasa dikenal dengan sutuh. Dia belajar ilmu sastra dari Syekh
Hasan Nahwi dan Syekh Ali Kbar Nahwi, dan dia belajar kitab Mut}awwal,
Mantiq Manz}umah, dan Syarh{ al-Lum’ah dari Mirza Muhammad Ali Mudaris
Khiyabani penulis buku Raih>anah al-Adab (1373 h). Jenjang ini berlanjut selama
lima tahun, yakni sampai tahun 1365 h.2
Di tengah kegiatan belajar dan mengajar serta diskusi, Ja’far Subhani juga
rajin mengarang, di antara karya tulis pada periode itu –yakni ketika dia masih
berusia tujuh belas tahun. adalah dua buku yaitu Mi’yar al-Fikr, buku tentang
logika dan Muhaz|z>ab al-Bala>gah, buku tentang Ilmu Ma’a>ni, Baya>n dan Badi >’.3
Pergolakan di Azarbaijan dan munculnya kelompok demokrat yang
dipimpin oleh Pisyehwar dan Ghulam serta pembentukan pemerintah yang
2Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
3Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
57
tergantung kepada Uni Soviet menyempitkan ruang kegiatan belajar dan
mengajar di sana, itulah sebabnya terpaksa Ja’far Subhani mencari ganti
lingkungan pendidikan, dan akhirnya dia pergi menuju Hauzah Ilmiah Qom.
Kemudian, dia memasuki kota Qom, kemudian dia menyempurnakan pendidikan
tingkat-tingkat tinggi yang tidak sempat dia tuntaskan di Tabriz. Dia
mempelajari sisa buku Fara>’id} al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Haj Mirza Muhammad
Mujahidi Tabrizi (1327-1379 h.) dan Haj Mirza Ahmad Kafi (1318-1412 h.), di
samping itu dia juga mempelajari buku Kifa>yah al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Uzma
Gulpaigani (1414 h.).4
Setelah menyelesaikan tingkat-tingkat tinggi pendidikan pada tahun 1369
h. Ja’far Subhani memulai pelajaran-pelajaran kha>rij al-fiqh (kajian fiqih tingkat
tinggi) dan Us}ul al-Fiqh kepada Aya>tulla>h Uzma Bruwjurdi (1292-1380 h.) yang
mengajarkan kitab al-sholah dan Aya>tulla>h Haj Sayid Muhammad Hujjat
Kuhkamari (1301-1372 hq.) yang pada waktu itu mengajarkan kitab al-bai’.
Aya>tulla>h Bruwjurdi memperkenalkan murid-muridnya dengan pendapat-
pendapat ulama terdahulu, fatwa-fatwa Ahli Sunnah, penelitian sanad hadis,
pemahaman makna hadis, dan kajian-kajian tentang akar permasalahan. Adapun
Aya>tulla>h Hujjah, selain pelajaran-pelajaran yang dia sampaikan dia memiliki
keistimewaan tersendiri di dalam hal klasifikasi pembahasan dan juga
penyimpulan. Selain itu dia juga belajar kepada Aya>tulla>h al-Uz}ma> Imam
Khomaini (1320-1409 h.) yang pada waktu itu mengajarkan Us}ul al-Fiqh bab
istis}ha>b. Ja’far Subhani menghadiri pelajaran Us}ul al-Fiqh Imam Khomaini
4 Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
58
sampai akhir periode pertama dan sejak awal dia sudah berniat untuk mencatat
semua pelajaran itu serta membukukannya. Pelajaran ini berlangsung selama
tujuh tahun. Pada tahun itu pula catatan-catatan Ja’far Subhani tentang pelajaran
ushul fikih Imam Khomaini dicetak.
Di samping belajar ilmu fikih dan Us}ul al-Fiqh, Ja’far Subhani juga rajin
mempelajari filsafat, teologi dan tafsir al-Qur’an. Sejak usia remaja, dia giat
sekali mempelajari ilmu-ilmu akal dan dia menghormati sekali tokoh-tokoh
pemikir, guru-guru logika dan ilmu akal. Itulah sebabnya di kota Tabriz dia
mendatangi Aya>tulla>h Haj Sayid Muhammad Bad Kubeh’i (1390 h.) dan belajar
buku Syarh Qowa’id al-Aqo’id darinya. Setelah itu, dia menyempurnakan
pelajaran-pelajaran itu dengan duduk di bangku pelajaran logika dan filsafat
Aya>tulla>h Allamah Sayid Muhammad Husein Thaba’ Thaba’i (1402 h.). Dia juga
belajar Syarh} Manz}u>mah dan Asfa>r Arba’ah kepada Alla>mah Thaba’ Thaba’i,
selain itu dia juga rutin menghadiri acara malam kamis dan malam jum’at
bersama Allamah yang diisi dengan kajian kritis terhadap filsafat materialisme,
dan buku ‚Ushule Falsafeh wa Rawesye Realisme‛ yang ditulis oleh Syahid
Mut}ahhari> adalah hasil dari pertemuan-pertemuan itu. Kemudian berdasarkan
permintaan Aya>tulla>h Thaba’ Thaba’i, Ja’far Subhani menerjemahkan buku
tersebut ke dalam bahasa arab, dan jilid pertamanya dicetak dengan rekomendasi
langsung dari Allamah.5
Aya>tulla>h Ja’far Subhani sudah mulai mengajar ilmu-ilmu pengantar
ketika dia masih dalam proses belajar –pada tahun 1362 h. kemudian dia datang
5Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
59
ke Hauzah Ilmiah Qom pada usia 18 tahun dan tetap rutin mengajar, tak lama
kemudian dia pun mulai mengajar tingkat-tingkat tinggi. Selama hampir tujuh
tahun dia mengajarkan kitab Mut}awwal, berkali-kali dia mengajarkan kitab
Ma’alim dan Lum’ah, tujuh kali kitab Fara>’id} karya Syekh Anshari –selama 21
tahun–, berkali-kali kitab Maka>sib dan Kifa>yah, dan lima kali dia telah
mengajarkan kitab Syarh} Manz}u>mah –selama 10 tahun–. Kemudian pada tahun
1394 h. dia diminta oleh para murid dan dimotivasi oleh para ulama untuk
membuka pelajaran kha>rij al-fiqh dan Us}ul al-Fiqh, dan \pelajaran kha>rij tersebut
masih berlanjut sampai sekarang. Adapun pelajaran kha>rij Us}u>l al-Fiqh terhitung
sebagai pelajaran yang sangat penting dan salah satu keistimewaannya adalah
setiap hari pelajaran itu dicatat dan dicetak di bawah pantauan dia. Murid yang
hadir di pelajaran kha>rij dia berjumlah lebih dari enam ratus orang.6
Sampai saat ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani telah menyelesaikan pengajaran
kha>rij ushul fikih sebanyak tiga kali, setiap kalinya menghabiskan waktu selama
enam tahun, dan sekarang dia sedang mengajarkannya untuk kali yang keempat.
Banyak sekali catatan hasil pelajaran kha>rij dia, dan salah satu catatan yang
lengkap dari pelajaran kha>rij Us}u>l fiqh dia adalah bernama al-Mahs}u>l fi ‘Ilm al-
Us}u>l yang dicetak di dalam empat jilid. Di samping itu, selama dua puluh tahun
dia teratur mengajarkan kha>rij al-Fiqh, dan berbagai pembahasan telah dia
sampaikan, seperti bab zakat, h{udu>d, diyah, qadha>’, mud}a>rabah (dua kali),
makasib muh}arramah, khiyara>t, irs|, thala>q, nika>h, dan khumus. Dan banyak
sekali dari murid-muridnya yang mencatat rapi pelajaran dia bahkan sebagiannya
6Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
60
sudah tercetak. Selain itu juga, selama bertahun-tahun Aya>tulla>h Ja’far Subhani
mengajarkan kitab Asfa>r Arba’ah kepada murid-muridnya, bahkan di antara
murid-muridnya sekarang sudah menjadi guru filsafat bagi yang lain. Tidak
cukup hanya mengajarkan fiqh, Usu>l al-Fiqh dan filsafat, dia juga telah lama
mengajarkan akidah, teologi, ilmu rijal, dirayah, sejarah islam, syi’ahlogi, al-
Milal wa al-Nih}al, tafsir dan sastra. Bisa dikatakan, di tiap-tiap ilmu itu dia telah
meninggalkan karya yang banyak dan berharga untuk dapat digunakan oleh
masyarakat Islam selanjutnya.7
Sejak majalah Maktabe Islom dirintis, tanggung jawab rubrik tafsir Al-
Qur’an dipikul oleh Aya>tulla>h Ja’far Subhani. Sudah bertahun-tahun lamanya dia
menggeluti terjemahan sekaligus penafsiran al-Qur’an, di antaranya adalah surat
al-Taubah, al-Ra’du, al-Furqa>n, Luqma>n, al-H}ujura>t, al-H}adi>d, al-S}aff, dan surat
al-Muna>fiqu>n. Pada kelanjutannya, dia sampai kepada sebuah kesimpulan
tentang pentingnya tafsir tematis Al-Qur’an, dia yakin bahwa Al-Qur’an telah
membahas berbagai tema dan bukan pada satu tempat saja melainkan di berbagai
tempat yang terpisah, ayat-ayat tentang satu tema tidak berkumpul di satu
tempat, bahkan betapa banyak ayat-ayat tentang satu tema yang tersebar di
beberapa surat, maka sudah barang tentu untuk sampai kepada pandangan dan
kesimpulan yang universal dari ayat-ayat Al-Qur’an tentang tema tertentu harus
dilakukan pengumpulan ayat-ayat yang bersangkutan dan kemudian ayat-ayat itu
diperhatikan secara majemuk serta terkadang juga perlu pada pencerahan dari
sabda-sabda para manusia suci as. Kendatipun demikian, perlu diingat bahwa
7Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
61
ulama pertama yang membuka pintu ke arah tafsir tematis Al-Qur’an adalah
‘Alla>mah Majlisi>. Di dalam kitabnya, yaitu Bih}a>r al-Anwa>r mengumpulkan ayat-
ayat yang terkait dengan tiap-tiap bab, kemudian dia melakukan penafsiran yang
singkat terhadap ayat-ayat itu.
Dalam hal ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani memfokuskan kajian dan
penafsiran terhadap ayat-ayat tentang akidah Islam, kegiatan dia ini akhirnya
menghasilkan sebuah buku tafsir yang luar biasa bernama Mafa>hi>m al-Qur’a>n
dalam tujuh jilid, dan buku tafsir ini mendapatkan perhargaan dari berbagai
ulama dunia Islam sejak pertama dicetak dan disebarkan. Tak lama kemudian,
Aya>tulla>h Subhani juga merasakan kebutuhan masyarakat berbahasa persia
kepada tafsir semacam ini, itulah sebabnya dia segera menuliskan tafsir tematis
al-Qur’an ke dalam bahasa persia dan buku ini berhasil dicetak dan diterbitkan
dengan nama Mansyure Jowide Qur’on yang sekarang sudah mencapai empat
belas jilid.8
Aya>tulla>h Ja’far Subhani, yang sudah mulai menulis sejak dia berusia
delapan belas tahun dan selama 48 tahun berkecimpung di dalam penelitian,
sangat merasakan besarnya nilai hasil-hasil penelitian yang bersumber pada
referensi-referensi yang otentik, karena itu dia senantiasa berpikir dan
berkeinginan untuk mendirikan lembaga khusus bagi para peneliti dan penulis
agar mereka dapat merujuk kepada khazanah perpustakaan secara langsung dan
tanpa melalui prosedur yang rumit serta dapat dengan tenang meneliti dan
menulis tanpa harus memikirkan masalah yang lain. Kemenangan revolusi Islam
8Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.
62
Iran membuka peluang dan kesempatan terwujudnya cita-cita itu, dan berkat
tekad Aya>tulla>h Ja’far Subhani yang bulat serta usaha dia yang keras dan juga
bantuan dari sejumlah orang yang baik maka Yayasan Pendidikan Dan Penelitian
Imam Shadiq as. berhasil didirikan pada tahun 1359 h. dan diresmikan pada hari
raya Ghadir Khum.
Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas, masih banyak karya-
karya Ja’far Subhani lainnya. Penulis menemukan lebih dari delapan kitab hasil
karya Ja’far Subahni untuk berbagai disiplin ilmu. Yaitu9 Ahl al-Bait;
Sima>tuhum wa H}uququhum fi> Al-Qur’a>n, Mausu’ah Ah}a>di>s| Ami>r al-Mu’mini>n,
Mut’ah al-Nisa> fi> Kita>b wa al-Sunnah, Nail al-Witr min Qa>’idah La> D}arara wa
La> D}ira>r, Mut’ah al-Hajj fi D}au al-Kita>b wa al-Sunnah, Irsya>d al-‘Uqu>l ila>
Mabah}is| al-Us}u>l, Niz}am al-H}ukm fi> al-Isla>m, niz}a>m al-Qad}a>’ wa al-Syari>’ah fi>
al-Isla>m, Naz{ariyyah al-Kasb fi> ‘Af’a>l al-‘Iba>d, Mafa>him al-Qur’a>n, al-Milal wa
al-Nihal, al-Ila>hiyyah, al-Ins}af fi Masa>’il Da>ma fi>ha> al-Khila>f, al-Az|a>n Tasyri>’an
wa Fus}u>lan ‘Ala> D}au’ al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah, al-
Wahha>biyyah bain al-Maba>ni< al-fikriyyah wa al-Nata>’ij al-‘Amaliyyah, al-
Wahha>biyyah fi> al-Mi>za>n, al-Wud}u>’ ‘Ala> D}au’ al-Kita<b wa al-Sunnah, al-
Was}iyyah lil Wa>ris}, al-Mutakallim wa al-S}ifa>t al-Khabariyyah, al-Mah}s}u>l fi> ‘Ilm
al-Us}u>l, al-Ira>dah al-Ila>hiyyah, al-Muslim Yaris| al-Ka>fir Du>na al-‘Aks, al-Isla>m
wa Mutat}a>liba>t al-‘As{r, al-Asma> al-S|ala>s|ah, al-Isyha>d ‘Ala> al-T}ala>q, al-Aqsa>m fi<
al-Qur’a>n, al-I’tis}a>m bi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Ift}a>r fi al-Safar, al-Bulu>g|
Haqi>qatuhu>, al-Tauh}i>d wa al-Syirk, al-Tawassul, al-Bida>’, al-Tah}si>n wa al-
9 Nama-nama kitab Ja’far Subhani ini, penulis dapatkan dari kitabnya yang langsung
yang hampir semuanya dalam bentuk PDF.
63
Taqbi>h}, al-Bid’ah Mafhu>muha>, al-Basmalah, al-Khumus, al-Jam’ bain al-
S}ala>tain, al-H}aya>h al-Barzakhiyyah, al-H}ujjah al-Gharra>’, al-H}adi>s} al-Nabawi
bain al-Riawa>yah, al-T}ala>q al-Mu’allaq, al-S}aum fi> al-Syari>’ah, al-Salafiyyah
Ta>ri>khan wa Mafhu>man, al-Suju>d ‘Ala> al-Ard}, al-Ziya>rah fi> al-Kita>b wa al-
Sunnah, al-Si>rah al-Nabawiyyah, al-Syafa>’ah fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qabd}
bain al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qasr fi> al-S}ala>h, al’Aul fi> al-Fara>id}, Taz|kirah al-
A’ya>n, Buh}us| Qur’a>niyyah fi al-Tauh}i>d wa al-Syirk, Ru’yah al-H}ila>l, Risa>lah
H}aul Ru’yah Alla<h, S}ala>h al-Tara>wi>h} bain al-Sunnah wa al-Bid’ah, S}iya>nah al-
As|a>r al-Isla>miyyah, Kulliyya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, ‘Ada>lah al-S}ah}abah bain al-‘At}ifah
wa al-Burh}a>n, ‘Is}mah al-Anbiya>’ d fi> al-Qur’a>, dan Us{ul al-H}adi>s
B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah
1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah
Selain konsep ima>mah, nikah mut’ah adalah ajaran yang dimiliki secara
khusus oleh kelompok syi’ah. Tentang konsep nikah mut’ah, para ulama syi’ah
sangat intens melakukan deskripsi dan narasi terkait syarat, rukun, dan yang
membatalkan akad mut’ah. Semua itu tertulis dalam karya-karya mereka. Kitab
Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah salah satu dari sekian banyak
kitab yang menjelaskan nikah mut’ah. Kitab ini hadir ke tengah masyarakat
dalam rangka melestarikan dan menyebarkan pemahaman mereka tentang nikah
mut’ah kepada para generasi mudanya. Penyebaran dan pelestarian tersebut
bukan sebagai bentuk yang lepas dari dalil-dalil hukum. Mereka meyakini
pelestarian nikah mut’ah adalah satu bentuk pengabdian terhadap ilmu
pengtehuan dan menyampaikan ajaran yang yang legal dalam pandangan mereka.
64
Berdasarkan pembacaan penulis terhadap muqaddimah dan kata
pengantar Ja’far Subhani yang tertulis di dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b
wa al-Sunnah dan kitab-kitab lainnya, penulis berkesimpulan bahwa karya-
karyanya ditulis tidak lepas dari konteks gejal sosial keagamaan yang
dialaminya. Ada beberapa point yang penulis temukan terkait motivasi Ja’far
Subhani menulis karya-karyanya. Pertama, Ja’far Subhani tengah melakukan
respons ilmiah terhadap wacana-wacana yang muncul. Kedua, respons-respons
ilmiah tersebut tidak lain untuk melestarikan ajaran-ajaran maz|hab yang
diyakininya dan melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran yang tidak
sejalan dengan pemikiran maz|habnya. Ketiga, respons-respons tersebut sebagian
besar ditujukan kepada pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan
maz|habnya, terutama kelompok wahabi dan sunni. Sampai saat ini, gejolak
politik anatara negara Arab Saudi dan Iran belum sempurna menjalin keselarasan
bahkan beberapa tahun yang lalu hubungan kedua negera arab itu sempat
memanas kembali. Keempat, dalam beberapa kitab, dia juga tengah merespons
dan melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran ulama sunni termasuk dalam
kajian hadis dan ilmu hadis. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah
adalah salah satu bukti otentik akan motivasi Ja’far Subhani dalam
kepenulisannya.
Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah, menurut penulis adalah
kitab yang memaparkan konstruksi ajaran dan konsep nikah mut’ah dengan
pendekatan Al-Quran dan Hadis. Sebagian besar dalil-dalil yang muncul adalah
hadis-hadis dari kitab-kitab sunni. Kitab-kitab sunni yang menjadi rujukan Ja’far
Subhani adalah kitab tafsir dan kitab hadis. Yaitu al-Durr al-Mans|u>r karya Al-
65
Suyuti, Mafa>tih} al-Ghaib, karya Fakhruddin Al-Razi, Tafsi>r al-Thabari karya
Ibnu Jarir Al-T}abari, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Musnad Imam Ah}mad,
Sunan al-Tirmiz|i>, Sunan Al-Da>rimi>, Mushannaf ‘Abdur Razza>q, dan lainnya.
Walaupun kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah kitab yang
tengah merespons pemikiran-pemikiran ulama sunni, tetapi Ja’far Subhani juga
meyakini dan menyadari bahwa nikah mut’ah adalah bagian dari masalah
khilafiyyah, bukan masalah pokok agama yang mengharuskan antara pengkajinya
berselisih dan bermusuhan serta saling menghitamkan satu sama lain. Dalam hal
ini, Ja’far Subhani juga mengutip surat Ali ‘Imra >n ayat 103 yang menjelaskan
tentang kewajiban setiap umat muslim untu tidak berselisih dan menjunjung
tinggi persatuan.10
Dari sini, penulis menilai bahwa Ja’far Subahni
memperlihatkan sikap inklusif dan menerima bentuk perbedaan pendapat dan
pemikiran.
Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, yang memuat 130
halaman, secara garis besar membahas tiga pembahasan pokok. Yaitu nikah
mut’ah dalam Al-Quran, nikah mut’ah dalam sunnah, dan nikah mut’ah dalam
tafsir-tafsir rasional (bi al-ra’y). Ayat Al-Quran yang menjadi fokus pembahasan
adalah ayat surat Al-Nisa ayat 24 yang diyakini sebagai ayat memberikan
legalitas ajaran nikah mut’ah. Sedangkan hadis-hadis yang dikutip adalah hadis-
hadis sunni dan hadis-hadis syi’ah. Adapun tafsir-tafsir bi al-ra’y menjadi bukti
penguat akan rasionalitas nikah mut’ah.
10
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 4.
66
2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah Mut’ah
Islam -sebagai pembawa syariat ilahiyyah terakhir, disampaikan oleh nabi
terakhir, dan melalui kitab terakhir, yaitu Al-Quran-telah mempersiapkan solusi-
solusi kemanusian dalam rangka menyelesaikan permasalahan-permasalahan.
Termasuk dalam masalah-masalah kebutuhan biolgis manusia, Islam sejak abad
ke-14 yang lalu telah memberikan solusi demi terjaganya kehormatan manusia,
yaitu dengan mawarkan ajaran nikah. Dengan akad nikah, dua manusia menjadi
memiliki hak dan kewajiban satu sama lainnya. Dengan memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing tersebut diharapkan dari kelompok terkeceil yang
menjadi bagian dari masyarakat tersebut lahir kehidupan yang menciptakan
keharmonisan. Dalam ajaran syi’ah dan yang disampaikan Ja’far Subhani, untuk
merespons kebutuhan biologis manusia ada dua solusi. Pertama nikah mut’ah
yang disebut sebagai nika>h} mu’aqqat. Kedua, nikah ghoir mu’aqqat, atau nika>h}
da>’im, akad pernikahan yang diakui oleh semua maz|hab. Pada sub-bahasan ini,
penulis akan memaparkan konsep nikah mut’ah yang tertulis dalam kitab Mut’ah
al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.
Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani nikah mut’ah adalah:
تز ع بارة ع الكاملة ر الح المرأة ويج ن إة يكن نفسها لم بينبين ذا و ها
نسب مانع الزوج رضاع من احصان او عد او غير او او منة ذلك
يبالرضاواالتفاقفاذاانتهيمسم جل اليأمسمي ةبمهر ي الموانعالشرع
طالق منغير نمنه األجلتبي 11
Adalah menikahi wanita merdeka dengan syarat tidak ada hal yang
mencegahnya, seperti nasab, sesusuan, bersaumi, masih dalam iddah, dan
11
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum: Mu’assasah Imam
Shodiq, 2002), h. 16.
67
yang lainnya, dengan mahar yang telah ditentukan, atas dasar suka dan
rela serta sepakat sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas
waktu sudah selesai maka mereka berpisah tanpa ada ucapan t}ala>k.
Berdasarkan definisi di atas, secara sederhana nikah mut’ah juga memiliki
rukun yang harus dilaksanakan oleh para pelaksananya. Rukun nikah mut’ah,
sebagaimana penuturan Ja’far Subhani ada empat. Pertama, s}i>gah akad baik ijab
atau qabul. Seperti saya nikahi kamu, saya mengawini kamu, atau saya
bermut’ah padamu. Kedua, al-muh}ill. Yaitu ada laki-laki dan wanita yang siap
nikah mut’ah. Dalam persyaratannya, wanita-wanita yang semahram dengan
wanita yang dinikahinya haram untuk dinikahi sebagaimana dalam nikah da>’im.
Termasuk menikahi bibi bersama keponakannya. Kecuali ada perizinan dari
bibinya. Ketiga, mahar. Syarat-syarat mahar sama sebagaimana dalam nikah
da>’im. Yaitu dimiliki, diketahi dan terukur. Keempat, al-ajal, batas waktu. Jika
tidak ditentukan batas waktu, maka menurut sebagian pendapat akadnya menjadi
batal. Tetapi menurut sebagian lain akadnya berubah menjadi akad nikah
da>’im.12
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan praktek nikah mut’ah banyak
persamaannya dengan praktek nikah da>’im. Namun ada beberapa perbedaan.
Ketentuan-ketentuan praktek nika mut’ah adalah sebagai berikut13
:
1. Pernikahan nikah mut’ah melahirkan hubungan kekeluargaan.
2. Anak kandung istri tidak bisa dinikahi jika telah berhubungan intim
dengan ibunya.
12
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 19.
13 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.
68
3. Tidak ada talak. Talak terjadi secara langsung setelah habisnya batas
waktu.
4. Tidak saling mewarisi, kecuali ada kesepakatan sebelum akad
5. Iddah dua kali haid bagi wanita masih haid
6. Iddah empat pulu lima hari bagi wanita tidak haid lagi
7. Iddah empat bulan dan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal mati
8. Tidak ada iddah jika tidak pernah melakukan hubungan intim bagi
yang habis batas waktunya
9. Boleh melakukan ‘azl tanpa meminta izin
Dari beberapa ketentuan di atas, Ja’far Subhani menilai bahwa semua itu
adalah isyarat bahwa nikah mut’ah sama dengan nikah da>’im yang merupakan
pernikahan yang haqiqi.14
Ada hal yang mendasar dari pemikiran Ja’far Subhani perihal
diperlukannya praktek nikah mut’ah di zaman sekarang. Menurutnya, nikah
mut’ah itu seperti dawa>’ wa lais bi t}a’a>m, ‘ila>j li d}aru>riyya>t maqt}iyyah yuh}awwil
du>n intisya>r al-fasa>d fi> al-mujtama’ al-isla>miyy15 (nikah mut’ah itu obat bukan
makanan pokok, sebuah pengobatan karena kondisi membutuhkan pengobatan
dengan tujuan supaya tidak menyebarnya kerusakan moral di masyarakat). Selain
itu, Ja’far Subhani juga mencoba menghadirkan perkembangan sosial masyarakat
yang lebih menekankan akan perlunya dilakukan praktek poligami. Menurutnya,
kondisi yang dialami oleh para generasi muda zaman sekarang berbeda jauh
14
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.
15Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 9.
69
dengan yang sebelumnya. Salah satunya di kalangan para pelajar atau pencari
ilmu.
Dulu, para pencari ilmu sudah mapan dalam perlawatan mencari ilmu di
usia delapan belasa atau dua puluh tahun dan telah memperoleh ilmu yang
banyak dengan berbagai macam disiplin ilmu. Kemudian di usia tersebut mereka
telah siap untuk membentuk rumah tangga. Mereka tidak perlu menunggu lama
untuk menjalin hubungan pernikahan kecuali mereka yang meninggal di
pertengahan mencari ilmu. Sekarang kondosinya berbeda. Di usia delapan belas
atau sekitar dua puluh tahunan, justru mereka baru memulai perlawatan mencari
ilmu. Bahkan setelah mereka lulus dari bangku perkuliahan, mereka masih
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan diri membangun
rumah tangga, yaitu mencari mata pencaharian sebagai bekal di pernikahannya.
Sehingga di usia tiga puluhan atau kurang mereka belum mapan dan belum
mampu mempersiapkan tempat tinggal untuk keluarga kecilnya. Oleh karena, di
periode ini ada jarak waktu yang cukup lama. Yaitu antara usia kelulusan sampai
menuju pernikahan sekitar sepuluh tahun an. Ini adalah fakta yang terjadi di
masyarakat sekarang dan tidak bisa dihindari.
Menurut Ja’far Subhani, sebagaimana mengutip pendapat filosof William
Russel, kondisi seperti jika dibiarkan bisa memunculkan rusaknya keturuan
dengan menyebarnya prostitusi yang disebabkan oleh tidak adanya solusi dalam
menyikapi pergaulan bebasa antara laki-laki dan perempuan. Menurut Russel,
maka harus ada solusi untuk mencegahnya. Dalam istilah Russel, solusinya
disebut pernikahan tanpa anak, dengan cara melakukan pencegahan-pencegahan
kehamilan. Menurut Ja’far Subhani solusi seperti ini mungkin saja bisa
70
dilakukan, tetapi masih relatif menyulitkan. Karena jika kedua pasangan
melahirkan seorang anak, maka dia adalah anak yang secara hukum. Menurut
Ja’far Subhani solusinya telah disampai oleh ajaran Islam empat belas abad yang
lalu.16
C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani
1. Kedudukan Sunnah
Berdasarkan penjelasan Ja’far Subhani, sunnah menurut etimologi adalah
al-t}ari>qah, jalan. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadis, sunah diartikan
sebagai perkara yang lahir dari Nabi saw yaitu terdari dari ucapan, perbuatan,
penetapan. Sunah merupukan sumber hukum kedua setelah Al-Quran, baik yang
diriwayatkan secara lafz{i> atau ma’nawi>. Sunah tersebut merupakan pemberian
ilahi>yyah, khusus bagi umat Nabi saw. Sehingga atas kekuasanNya, mereka
memberikan perhatian besar terhadap sunah-sunah yang lahir Nabi saw. Dari
waktu ke waktu, mereka meriwayatkan dan menyebarkan sunah nubuwwah
tersebut dan menjadikanny sebagai sumber dasar keyakinan dan ajaran-ajaran
agama.17
Sunah sebagai sebuah sumber aturan yang keluar dari seorang Rasul,
keterkaitannya dengan Al-Quran adalah menjelaskan perkara-perkara yang masih
bersifat global dalam Al-Quran. Al-Quran dan sunah adalah dua sumber ajaran
Islam yang tidak bisa terpisahkan. Sehingga seluruh umat Islam bersepakat
mengakui kedudukan Al-Quran dan sunah sebagai sebuah sumber mendasar
16
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 13
17 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 8
71
dalam menjalankan kehidupan. Bahkan, sebagaimana penuturan Ja’far Subhani,
para Ahlu Bait berpandangan bahwa sunah tidak hanya menjadi pedoman hidup,
Tetapi segala sesuatu di dunia ini terkandung dalam Al-Quran dan sunah. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan oleh Imam Baqir bahwa Allah swt tidak
meninggalkan sesuatu pun yang dibutuhkan manusia kecuali Allah swt
mempersiapkannya dalam Al-Quran dan Sunah. Begitu juga dengan pernyataan
Imam Shodiq yang menyatakan bahwa tidaklah segala sesuatu yang ada di dunia
ini kecuali seluruhnya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.18
Sunah, keterkaitannya dengan Al-Quran, selain menjelaskan yang masih
bersifat global, dia juga memberikan batasan bagi ayat mutlak, takhs}i>s} bagi yang
‘amm, bahkan sunah berfungsi sebagai penjelas aspek teologis dalam Al-Quran.
Kedudukan serta fungsi yang terkonstruksi dalam perkatan, perbuatan, dan
penetepan, tersebut secara lafz}iyyah berasal dari lisan Nabi saw, tetapi secara
substantif, semuanya berasal dari wahyu ilahi. Sehingga Al-Quran dan Sunah
secara substantif, kedudukannya setara yaitu sama-sama melalui proses hasil
pewahyuan. Sebagai contoh adalah ibadah sholat, puasa, zakat, dan sebagainya,
seluruhnya tidak akan bisa dipahami oleh masyarakat kecuali dengan penjelasan
dari seorang utusan ilahi, yaitu Nabi saw. Sehingga di sinilah titik persamaan Al-
Quran dan Sunah.19
Oleh karena itu, Sunah adalah sumber syariat yang sangat
mendasar sebagaimana Al-Quran. Dalam hal ini, memahami ajaran agama tidak
cukup hanya kembali kepada Al-Quran saja, tanpa mengkaji Sunah. Dalam
18
Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-Dira>yah, (Beirut: Imam
Shadiq, 2000), h. 9.
19 Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-Dira>yah, h. 10.
72
pandangan Ibnu Hazm, seseorang yang mencukupkan Al-Quran dalam memahani
ajaran agam Islam dihukumi kafir atas dasar konsensus para ulama.20
2. Pencetus Ilmu Dirayah
Ilmu hadis, sebagai sebuah disiplin ilmu, memiliki kaidah-kaidah teoritis
yang menjadi bukti metodis epistimologinya. Kaidah-kaidah tersebut
diformulasikan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan
seputar hadis, baik dalam lingkup sanad atau pun matannya. Kaidah-kaidah
tersebut terhimpun dalam salah satu bagian ilmu hadis, yaitu ilmu hadis dirayah.
Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau pun
teori-teori yang berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalah, baik
dalam aspek sanad atau pun matan. Pentingnya keberadaan ilmu hadis dirayah,
maka para ulama telah memberikan perhatian besar melalui karya-karyanya
dalam mengembangkan ilmu hadis ini. Baik ulama Syi’ah atau pun ulama Sunni
sama-sama mengembangkan disiplin ilmu hadis ini. Masing-masing kelompok
memiliki pencetus ilmu dirayah.
Dalam kajian ilmu hadis Sunni, ada dua nama yang sering disebut sebagai
pencetus ilmu dirayah. Yaitu Ramahurmudzi (w.360 h.) dengan karyanya al-
Muh}addis| al-Fa>s}il wa al-Wa’i> dan Hakim Naisaburi (w.304 h.) dengan karyanya
Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>s|.21 Sedangkan dalam kajian ilmu hadis Syi’ah, menurut
Ja’far Subhani, pencetus ilmu dirayah adalah Jamaluddin Ibnu Tawus (w. 673 h.),
Al-Hilli (w. 726h.), Ibnu Dawud Al-Hilli (w. 707 h.) seorang ulama hadis yang
20
Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-Dira>yah, h. 11.
21Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Mizan Publika, 2009), h. 11
73
mencetuskan istilah-istilah baru tentang pembagian hadis dalam maz|hab
Imamiyyah. Selain itu, Ja’far Subhani juga menampilkan pendapat Hasan Shadr
tentang pencetus ilmu dirayah. Menurut Hasan Shadr, pencetus ilmu dirayah
adalah Hakim Naisaburi, penulis kitab al-Mustadrak ‘ala> S}ah}i>h{ain, sebagaimana
juga diakui oleh para ulama sunni.
Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani dan Hasan Shadr, maka ulama-
ulama Syi’ah sendiri terjadi perbedaan pendapat tentang pencetus ilmu dirayah.
Dalam hal ini, Ja’far Subhani memberikan penjelasan terkait pandangan Hasan
Shadr yang menyatakan bahwa pencetus ilmu dirayah di kalangan Syi’ah adalah
Hakim Naisaburi. Menurut Ja’far Subhani, jika keberadaan Hakim Naisaburi
diakui Hasan Shadr sebagai seorang ulama kalangan syi’ah imamiyyah, maka
dalam hal ini, Hakim Naisaburi adalah seorang syi’ah bedasarkan definisi yang
luas, syi>’iy ‘a>m, dengan indikator bahwa Hakim Naisabaru salah satu ulama yang
membenci orang-orang yang melakukan penistaan terhadap sahabat Ali bin Abi
Thalib dan mencintai ahlu bait. Selain itu, indikator lainnya adalah Hakim
Naisaburi juga pernah menulis kitab tentang keistimewahan-keistimewahan
Fatimah Al-Zahrah.22
3. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d
Menurut Ja’far Subhani khabar memiliki lima klasifikasi. Pertama,
khabar yang diketahui validitasnya secara pasti. Kedua khabar yang diketahui
validitasnya secara tidak pasti. Ketiga, khabar yang diketahui ketidak
benarannya secara pasti. Keempat khabar yang diketahui ketidak benarannya
22
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 9-10.
74
secara tidak pasti. Kelima, khabar yang validitas dan ketidak benarannya masih
bersifat dugaan.
Dalam hal ini, hadis Mutawa>tir termasuk klasifikasi khabar yang
validitasnya sudah diketahui. Menurut Ja’far Subhani, suatu hadis bisa disebut
Mutawa>tir jika:
23همعليالكذبؤ نمعهتواط ؤم اي د ح قة ب هفيكلط ل سالس فانبلغت
Apabila rantai periwayatan di setiap tabaqah mencapai jumlah yang
mustahil untuk berbohong
Tentang syarat khabar mutawa>tir, penulis menilai bahwa Ja’far Subhani
banyak mengutip pendapat Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy yang tertulis dalam kitab Al-
Mustas|fa>. Di sini, Ja’far Subhani tidak hanya mengutip tetapi juga memberikan
komentar dan kritik pendapat yang dinilai tidak berkesesuaian dengan
pemikirannya. Syarat-syarat khabar Mutawa>tir menurut Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy24
adalah:
Pertama, khabar yang diriwayatkan pasti akan kebenaran informasinya,
bersifat ilmiy, bukan zanniy atau prasangka. Maka jika penduduk kota Baghdad
menginformasikan tentang seekor burung dan mereka masih berprasangka bahwa
itu adalah seekor merpati, atau tentang seseorang yang mereka duga adalah
bernama Zaid, maka hal ini tidak diperoleh ilmu yang pasti bahwa yang terbang
itu adalah merpati atau orang itu adalah Zaid.
23
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 24
24Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.: t.pen.t.th.), h. 138-141
75
Kedua, khabar yang diriwayatkan adalah bersifat pasti, d}aru>ri>, dan
bersandar pada indera, bukan pada akal. Maka jika penduduk Baghdad
menginformasikan tentang fenomena alam atau tentang kebenaran sebagian para
nabi maka informasi seperti ini tidak disebut sebagai ilmu pasti.
Ketiga, karakteristik-karakteristik di atas dan jumlah periwayat yang
mustahil bohong harus ada di setiap t}abaqah. Maka jika periwayatan
diriwayatkan dari t{abaqah ke t}abaqah yang di antaranya tidak memenuhi syarat
periwayatan di atas, maka periwayatan tersebut tidak disebut sebagai informasi
yang pasti, tetapi masih bersifat dugaan.
Keempat, periwayat-periwayat khabar tersebut mencapai pada
kesempurnaan jumlah. Maksud kesempurnaan di sini adalah jumlah sempurna
yang melahirkan sebuah kesepakatan mustahil untuk menyembunyikan
kebenaran.
Terhadap syarat-syarat hadis Mutawa>tir di atas, Ja’far Subhani
memberikan komentar singkat. Contohnya, untuk persyaratan tentang
kesempurnaan jumlah, Ja’far Subhani memberikan komentar:
ننا"يؤمنمعهم ل اليهقو ضاف اني ب ج بلي كاف انهغبر رفت وقدع
25"همعليالكذبد تعم
Dan aku telah mengetahui bahwa syarat tersebut tidak cukup, harus
ditambahkan pendapat kita yaitu terbebas dari unsur kesengajaan untuk
berbuat bohong.
25
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 31.
76
Tentang syarat harus terpenuhinya syarat jumlah dan syarat ilmu pasti di
setiap t}abaqah, Ja’far Subhani memberikan komentar:
حص إ اذا التوات نه اال ل الطبقة في وص و ر ولكن ا لي, الخبر لي ل ذلك نا
الم بخبر المتواتر الم فوف ح الواحد ب للعل فيدة بالقرينة العلم فحصل الم
26الثانية قالتواترفيالطبقة اليتحق حاجة
Jika syarat Mutawa>tir sudah terpenuhi di t{abaqah pertama, tetapi
informasi tersebut sampai kepada kita dengan cara periwayatan khabar
Ah}a>d yang diyakini membawa ilmu pasti maka telah mencapai pada
derajat ilmu pasti dan tidak harus terpenuhi syarat Mutawa>tir di t}abaqah
setelahnya.
Dari beberapa komentar Ja’far Subhani tentang syarat hadis Mutawa>tir
yang disampaikan oleh Abu Hamid Gazali, penulis berkesimpulan bahwa syarat
hadis Mutawa>tir baik menurut Ja’far Subhani atau pun Abu Hamid Gazali adalah
sama. Perbedaannya hanya bersifat interpretatif yang tidak merubah substansi
syarat hadis Mutawa>tir.
Selain itu, Ja’far Subhani juga memberikan tanggapan atas pemikiran
Abu Hamid Gazali tentang syarat hadis Mutawa>tir yang cacat. Dalam kitabnya,
al-Mus}tasfa>, Abu Hamid Gazali mencantumkan syarat hadis Mutawa>tir cacat,
salah satunya adalah keharusan adanya periwayat-periwayat ma’s}u>m di setiap
t}abaqah. Menurut Abu Hamid Gazali, syarat tersebut merupakan syarat hadis
Mutawa>tir yang disampaikan oleh kelompok syi’ah Rafidhah27
. Dalam hal ini,
Ja’far Subhani memberikan sanggahan:
26
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 31.
27 Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.: t.pen..t.th.), h. 160.
77
طوهر منهذاالشرط,ولوش ر ث همأ ب ت سفيك ي ل لعليالشيعةو نهتقو إ
منمستنبطة وينظرية جماععليفت ةاإلي ج همفيح هبعض نماشرط فإ
28الكتابوالسنة
Sesungguhnya dia telah mengada-ada atas nama Syi’ah, sebenarnya
syarat keharusan adanya periwayat ma’s}u>m tidak ada dalam kitab-kitab
mereka. Jika ada, maka syarat tersebut adalah yang disampaikan oleh
sebagian mereka dalam kehujahan ijma>’ atas fatwa masalah khilafiyyah
yang merupakan hasil istinbat dari Al-Quran dan Hadis.
Sejauh pembacaan penulis, yang mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam
hadis Mutawa>tir adalah adalah Ibnu Rawandi yang meninggal pada tahun 911 m.
hal ini disampaikan oleh salah satu ulama Syi’ah, Al’alla>mah Al-H}illi>, dalam
kitabnya Niha>yah al-Wus}u>l. al-H}illi> berpendapat bahwa yang mensyaratkan
periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir adalah Ibnu Rawandi. Tetapi, menurut
Al-H}illi>, pendapat ini adalah pendapat yang salah.29
Tentang Ibnu Rawandi, ‘Abdurrahman Badawi telah menjelaskan secara
khusus tentang biografi, pemikiran, kritik-kritik atas karya-karyanya. Menurut
Abdurrahman Badawi, Ibnu Rawandi adalah puncak maz|hab ilh}a>diyyah, ateisme
dalam Islam. Menurutnya, Ibnu Rawandi pernah melakukan kritik pemikiran
terhadap maz|hab mu’tazilah melalui karnyanya, Fad}ih}ah al-Mu’tazilah, dengan
menggunakan sudut pandang pemikiran maz|hab Syi’ah Ra>fid}ah.30
28
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 33.
29Al-H}illi>, Niha>yah al-Wus}u>l ila> ‘ilm al-Us}u>l, jld. 3, (Qum: Yayasan Imam Sodiq, 1427
h.), hm. 326.
30Abdurrahman Badawi, Min Ta>ri>kh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m, (Cairo: Siina, 1993), h. 89.
78
Berdasarkan verifikasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa ulama syi’ah
tidak mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir. Adapun Ibnu
Rawandi, hanya menggunaka sudut pandang syi’ah Ra>fid}ah dalam menentukan
syarat periwayat ma’s}u>m.
4. Klasifikasih Hadis Ah}a>d
Dalam perkembangan ilmu hadis di kalangan Sunni, hadis pada awalnya
ada dua jenis. Yaitu s}ah}i>h} dan d}a’i>f. Setelah itu Imam Turmudzi
memperkenalkan satu tambahan jenis hadis yaitu hadis hasan. Di masa Imam
Turmudzi, hadis menjadi tiga bagian, s}ah}i>h}, hasan, dan d}a’i>f.31
Dalam kajian ilmu hadis Syi’ah, hadis Ah}a>d terbagai menjadi empat jenis.
Yaitu shahih, hasan, muwas|s|aq, dan hadis d}a’i>f.32
Hadis S}ah}i>h} adalah:
عي م لهفيج ث عنم مامي لالعدلاإلنق صومب ع هاليالم د سن صل ماات 33وذ ذ ش تراه واناع بقات الط
Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke seseorang
yang ma’shum, diriwayatkan oleh periwayat-periwayat pengikut maz|hab
syi’ah imamiyyah di setiap t}abaqah dan terbebas dari sya>z|
Hadis Hasan adalah:
رنغي م مقبول ضةذم عار الم دوحب م ماميم صلسندهكذالكبإماات
عدالت نص ي ه علي م ج م في كو ب رات ع مع ب باق ال ن ه رجالص ي فة
34الصحيح
31
Subhi Shalih, ‘Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t}ala>h}uh, (Beirut: Darul Ilmi, 1995), h. 141.
32 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 50
33 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 50
79
Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke
seseorang ma’shum dan diriwayatkan oleh periwayat bermaz|hab
imamiyyah yang bersifat terpuji dan tidak ada bukti tentang cacat
dan kredibilitasnya, ada di setiap t}abaqah
Hadis Muwas|s|aq adalah:
معفسادعقيدتهيقهصحابعليتوثمادخلفيطريقهمننصاأل
35ولميشتملباقيهعليضعف
Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat bukan pengikut maz|hab
syi’ah ima>miyyah tetapi terbukti sebagai periwayat terpercaya.
Hadis D}a’i>f
مااليجتمعشروطاحدالثالثة
Hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis-hadis di atas; tidak
bersambung ke ma’shum, tidak bermaz|hab imamiyyah, bukan
periwayat yang ‘adl dan terpercaya.
Empat jenis hadis di atas, menurut Ja’far Subhani bisa diterima.
Terutama tiga hadis pertama, s}ah}i>h}, hasan, dan muwassaq. Adapun terhadap
hadis d}a’i>f Ja’far Subhani berpendapat:
ح جو والي ت ب ر اذ حاديثعيففيجميعاألفالض ذ زلنا حصلهناكما
36هبعضادبعض ؤي ماي ب هور ق د عليص ن القرائ
Tidak boleh membuang hadis d}a’i>f di semua hadis yang ada. Karena
terkadang dia memilik banyak indikator yang bisa dijadikan bukti
tentang kebenarannya. Bahkan terkadang hadis-hadis d}a’i>f itu saling
memperkuat sebagian yang lainnya.
34
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 52.
35 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 54.
36Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, (Beirut: Daur Al-
A’immah, 2012), h. 61.
80
Berdasarkan pernyataan Ja’far Subhani di atas, jelas bahwa sikap
terhadap sebuah hadis d}a’i>f sama sebagaimana para ulama sunni. Dalam kajan
hadis sunni, Hadis d}a’i>f bisa diterima dengan syarat kelemahannya tidak patal,
berkaitan dengan keutamaan beribadah yaitu tarhi>b wa targhi>b, tidak diyakinkan
sebagai sabda Nabi saw, memiliki dasar hukum dari hadis s}ah}i>h}, memberi
penjelasan akan ked}a’i>fannya, tidak menggunakan formulasi jazm yang
mengisyaratkan bahwa Nabi saw benar-benar pernah bersabda, tetapi
menggunakan ungkapan tamrid}, seperti ruwiya, qi>la, dan lain-lain.
Selain itu, definisi empat hadis di atas, secara tidak langsung
memperlihatkan bahwa pertimbangan kualitas sebuah hadis yang pertama
adalah kebermaz|haban. Walaupun kualifikasi seorang periwayat belum jelas,
tetapi jika sudah dipastikan bahwa dia seorang bermaz|hab imamiyyah yang
terpuji maka periwayatannya bisa diterima dan lebih diutamakan.
5. Periwayat Maqbu>l
Wacana hadis maqbu>l dan hadis mardu>d merupakan salah satu wacana
penting dalam ilmu hadis. Dalam kitabnya, Ja’far Subhani menjelaskan
mengungkapkan hadis maqbu>l dengan man tuqbal riwa>ya>tuh. Menurut Ja’far
Subhani, syarat-syarat periwayat yang bisa diterima periwayatannya ada lima37
:
37
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 132.
81
1. Islam
Dengan persyaratan ini ulama Syi’ah tidak menerima periwayatan dari orang
kafir seperti Yahudi, Nasrani, Khawarij, Syi’ah Ghulat, Mujassimah. Sedangkan
kafir dzimmi, periwayatannya bisa diterima, khusus dalam permasalahan wasiat.
2. Baligh
Periwayat-periwayat yang meriwayatkan hadis, maka periwayatannya tidak
bisa diterima jika usianya tidak mencapai baligh. Sedangkan yang sudah tamyi>z
terjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, menurut Ja’far Subhani pendapat yang
adalah tidak diterimanya periwayat yang baru mencapai tamyi>z.
3. Berakal
Sebagaimana menurut ulama Suni, periwayatan seseorang yang tidak berakal
maka tidak bisa diterima. Terutama orang yang tidak berakal sejak lahirnya.
4. Ima>miy
Dalam kajian ilmu hadis konsep ima>mi> menjadi pembahasan penting dan
menjadi titik pembeda antara Ilmu Hadis Syi’ah dan Ilmu Hadis Sunni.
Keberadaan syarat ima>mi> adalah sebagai sebuah fakta konsistensinya maz|hab
Syi’ah dalam menerapkan konsep ima>mahnya dalam semua aspek kehidupan dan
ilmu pengetahuan. Ima>miyy di sini tidak berarti harus kedua belas imam, tetapi
seseorang yang meyakini akan keimaman seorang imam yang ada di zamannya.
Menurut Ja’fa Subhani, seandainya imam dua belas harus ada di setipa t}abaqah,
maka akan ada banyak hadis sohih yang tertolak.38
38
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 51.
82
Jadi dalam kajian hadis Syi’ah, keberadaan seorang ima>miyy membawa
pengaruh positif akan kualitas sebuah hadis. ketika dalam rantai periwayatan
tidak ada ada seorang ima>miyy maka kualitas hadisnya akan menjadi lebih
rendah atau dinilai tidak sohih.
5. ‘Ada>lah
Tentang persyaratan ‘adalah bagi seorang periwayat hadis tidak ada
perbedaan yang signifikan antara ulama Sunni dan Syi’ah. ‘adalah adalah suatu
karakater yang secara konsisten menajaga ketaqwaan, meninggalkan dosa besar,
tidak kembali melakukan dosa kecil, dan menjaga kehormatan diri. Adapun
kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh anggota badan maka tidak
mempengaruhi terhadap kualitas ‘adalahnya.
6. D}abt}
Dalam wacana ilmu hadis Sunni populer dengan nama al-d}abt| fi> s}adr dan
d}abt} fi> al-kita>b. Begitu juga dalam tradisi Syi’ah. D}abt} adalah tingkat akurasi
hafalan atau tulisa hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat hadis.
seorang periwayat hadis, baik hafala atau pun tulisan hadisnya diharuskan
memiliki akurasi yang baik. Jika tidak demikian, maka akan berpengaruh
terhadap kualitas periwayatannya. Dalam pembahasan syarat yang satu ini,
seorang periwayat yang mengalami atau memiliki cacat mata, atau ummiy tidak
menjadi penghalang keabsahan periwayatan. Bahkan tidak disyaratkan harus
menguasai suatu disiplin ilmu, seperti ilmu fikih, ilmu hadis, atau pun tidak ada
keharusan harus laki-laki atau pun perempuan.39
39
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 51.
83
6. Istilah-istilah Hadis Syi’ah
Selain pembagian hadis menjadi empat macam, yaitu hadis sohih, hasan,
muwassaq, dan d}a’i>f, nama-nama hadis syi’ah terbagi menjadi dua kelompok.
40Pertama kelompok hadis yang menghimpun empat hadis di atas. Ini disebut
musytarak. Kedua kelompok hadis yang khusus untuk hadis-hadis d}a’i>f. Ini
disebut dengan mukhtas|. Hadis-hadis yang termasuk pada kelompok musytarak
adalah musnad, muttas|il, marfu>’, mu’an’an, mu’allaq, mufrad, mudraj, masyhu>r,
ghari>b, muttafaq ‘alaih, mus}ah}h{af, ‘ali>, syaz|, musalsal, mazi>d, mukhtalif, nasikh-
mansu>kh, maqbu>l, mu’tabar, muka>tab, muh}kam, mutasya>bih, musytabih, maqlu>b,
musyatarak, mu’talif, mudabbaj, riwa<yah al-aqra>n, riwa>yah al-aka>bir ‘an al-
as}agir, sa>biq-la>h}iq, mat}ru>h}, matru>k, nas}, musykil, z}a>hir, mujmal, dan mubayyan.
Sedangkan nama-nama hadis mukhtas} adalah mawqu>f , maqtu>’, munqat}i’,
mu’d}al, mud}mar, mursal, mu’allal, mudallas, mudt{}arib, maqlu>b, muhmal, majhu>l,
dan maud}u>’. 41
Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan dengan ringkas definisi hadis-
hadis di atas berdasarkan definisi yang dijelaskan oleh Ja’far Subhani.
Hadis-hadis musytarak.42
Hadis musnad adalah hadis yang sanadnya
bersambung sampai ke sumber yang ma’shum, baik Nabi saw atau pun para
imam. Hadis muttas}il adalah lebih umum dari pada musnad. Jika musnad
bersambung ke sumber yang ma’shum baik nabi atau pun para imam (marfu>’)
40
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.
41Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.
42Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.
84
atau hanya bersambung ke para sahabatnya (mauqu>f). Hadis marfu>’ adalah hadis
yang disandarkan kepada yang ma’shum, baik nabi atau pun salah satu imam,
berupa ucapan, perbuatan, penetapan, baik bersamung atau pun yang terputus.
Hadis mu’an’an adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat ‘an ... ‘an ...hadis
mu’an’an pada dasarnya termasuk hadis periwayatannya dinilai bersambung
dengan syarat adanya dugaan dan kemungkinan yang kuat proses pertemuan
antara guru dan murid dan terbebas dari sikap tadli>s. Hadis mu’allaq adalah hadis
yang gugur sanad pertamanya, satu atau pun lebih. Hadis mufrad adalah hadis
yang tidak diriwayatkan kecuali oleh satu periwayat saja, atau satu kelompok
saja, atau satu penduduk kota saja. Hadis mudraj adalah hadis yang terdapat kata
atau kalimat yang disisipkan oleh periwayat hadis sehingga sisipan tersbut
dianggap bagian dari hadis. Hadis masyhu>r adalah hadis yang periwayatannya
populer di kalangan ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, dan ahli tasawuf. Jika
periwayatan populer di selainnya maka merupakan hadis d}a’i>f. Hadis ghari>b
adalah hadis yang dalam periwayatannya ada seorang periwayat yang menyendiri
baik dalam sanad, matan, atau dalam sanad dan matannya. Hadis muttafaq ‘alaih
adalah hadis yang disepakati oleh dua periwayat atau lebih. Hadis mus}ah}h}af
adalah hadis yang dalam sanad atau dan matannya terjadi perubahan dalam cara
baca atau perubahan huruf (muh}arraf). 43Hadis ‘ali> adalah hadis yang perantara
periwayatannya lebih sedikit dan bersambung ke sumber yang ma’shum.
Semakin dekat zaman periwayatan kepada sumber yang ma’shum maka sanad
hadis tersebut semakin tinggi kualitas sanadnya. Hadis sya>z| adalah hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat s|iqah tetapi menyalahi periwayatan yang lebih
43
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.
85
populer. Hadis musalsal adalah hadis yang sanadnya menggambarkan cara
periwayat dalam meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya dengan mengikuti
cara periwayat sebelumnya. Hadis musalsal pada dasarnya tidak menentukan
diterima atau ditolaknya sebuah hadis, tetapi lebih mengarah kepada seni dalam
meriwayatkan hadis. Hadis maz|i>d adalah hadis yang mengandung unsur
tambahan dari periwayat hadis baik dalam sanad atau pun dalam matan. Adanya
hadis mukhtalif adalah ketika ada dua hadis yang saling bertentangan.
Pertentangan tersebut baik bersifat pertentangan yang nyata yang tidak bisa lagi
melalui jalan kompromi atau pertentangan yang masih bisa dikompromikan.
Hadis na>sikh mansu>kh adalah menghapus hukum yang muncul terdahulu
dengan dalil sejenisnya dengan syarat seandainya yang menghapus tersebut tidak
ada maka legalitas hukumnya tetap berlaku. Hadis maqbu>l adalah hadis yang
diterima dan diamalkan. Hadis mu’tabar adalah hadis yang diamalkan oleh
banyak orang dan sah dijadikan dalil dalam beristinbat hukum. Hadis muka>tib
adalah hadis yang menceritakan tentang karya-karya imam ma’shum, baik yang
berkaitan penjelasan-penjelasan suatu hukum atau menjawab atas permasalahan-
permasalah. Hadis muh}kam adalah hadis yang maksudnya bisa diketahui secara
jelas dari tekstual redaksinya. Sedangkan hadis mutasya>bih adalah hadis yang
mengandung unsur makna yang tidak kuat. Hadis musytabih adalah hadis yang
mengandung kesamaran dalam benak periwayat bukan dalam tulisannya. Hadis
musytarak adalah hadis yang salah satu periwayatnya tidak jelas antara seorang
yang s|iqah atau tidak. Hadis mudabbaj adalah hadis yang didalamnya ada
periwayat-periwayat yang berdekatan dalam hal umur, sanada, atau pertemuan
dalam mencari ilmu kemudian periwayat-periwayat tersebut saling
86
meriwayatkan. Hadis aka>bir ‘ala> al-s}agha>’ir adalah sebuah hadis yang
didalamnya terjadi periwayat senior meriwayatkan hadis dari periwayat yang
masih junior, atau periwayat sahabat meriwayatkan hadis dari periwayat tabi’in.
Hadis sa>biq la>h}iq adalah hadis ketika ada dua periwayat yang bersama-sama
meriwayatkan hadis dari guru yang sama, kemudian salah satu periwayat
tersebut meninggal. Hadis mat}ru>h} adalah hadis yang berselisih dengan dalil
qat}’iyy dan tidak bisa ditakwilkan lagi. Hadis matru>k adalah hadis yang di antara
periwayatnya ada yang dinilai bohong dan hadisnya tidak diketahui kecual dari
jalur periwayatannya.Hadis musytarak adalah hadis yang banyak mengandung
kata-kata rumit yang tidak bisa dipahami kecuali oleh para ahli. Hadis nas} adalah
hadis yang maknanya jelas yang memiliki makna satu.
Hadis-hadis mukhtas}.44 Hadis mauqu>f ada dua macam. Pertama mauqu>f
mutlq, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat nabi atau sahabat-
sahabat para imam. Kedua mauqu>f muqayyad, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh orang-orang yang bukan dari kalangan sahabat nabi dan bukan dari kalangan
sahabat para imam. 45
Hadis maqtu>’adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat
dari sahabatnya nabi dan para imam. Hadis munqat}i’ adalah hadis yang tidak
bersambung sampai kepada para imam ma’shum karena gugurnya satu periwayat
atau lebih. Hadis mu’d}al adalah hadis yang gugur dua periwayat atau lebih dalam
sanad periwayatannya. Hadis mu’allaq adalah hadis yang gugur sanad
pertamanya, satu periwayat atau lebih. Hadis Mud}mar adalah perkataan sahabat-
sahabat imam ma’s}u>m ‚aku bertanya kepadanya, dia berkata atau menjawab‛
44
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.
45Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.
87
dengan menyembunyikan nama imamnya dengan tujuan taqiyyah. Hadis ini
merupakan hadis yang dimiliki secara khusus oleh kelompok Syi’ah. Hadis
mursal adalah hadis yang diriwayatkan seorang periwayat diterima dari imam
yang ma’shum namu pada dasarnya periwayat tersebut tidak bertemu dengan
imam tersebut. Hadis mu’allal adalah hadis yang di dalam sanad atau matannya
terdapat cacat yang samar dan sulit mendeteksinya kecuali oleh para ahli hadis.
Hadis mudallas memiliki tiga definisi. Pertama, seorang periwayat menyatakan
bahwa dia telah meriwayatkan hadis dari guru periwayatan yang sezaman dan
pernah bertemu tetapi pada dasarnya dia tidak pernah mendapatkan hadis dari
gurunya tersebut. Kedua, seorang periwayat hadis menggugurkan guru
periwayatannya yang dinilai lemah dengan tujuannya supaya sanadnya dinilai
baik. Ketiga, seorang periwayat hadis menyamarkan nama guru periwayatannya
dengan nama kunyah atau nama lain dari gurunya yang tidak populer. Definisi ini
dikenal dengan nama tadli>s al-syuyukh. Hadis mud}t}arib adalah hadis yang dalam
matan dan sanadnya terjadi perselisihan. Hadis muhmal adalah hadis yang dalam
sanadnya terdapat periwayat yang tertulis dalam kitab-kitab rijal tetapi belum
ada kesepakatan tenang kualitasnya, terpuji atau tercela. Hadis majhu>l adalah
hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang figurnya tidak dikenal
oleh ahli hadis. Hadis maud}u>’ adalah hadis bohong, hadis yang dibuat-buat dan
merupakan hadis yang paling rendah derajatnya.
Dari sekian nama-nama hadis dalam kajian ilmu hadis syi’ah, pada
umumnya ulama Syi’ah menggunakan istilah yang sama dengan ulama Sunni.
Yang menjadi titik perbedaan adalah mempertimbangkan kema’shuman para
imam untuk sumber periwayatan. Jika dalam hadis Sunni, sumber utama
88
periwayatan hadis adalah Nabi saw. Sedangan Syi’ah tidak hanya berpusat pada
Nabi saw, tetapi juga para imam ma’shum. Selain itu itu ulama Syi’ah juga
memiliki istilah khusus yang berkaitan langsung dengan ajarannya, yaitu hadis
mud}mar sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
7. Naskh Mansu>kh
Nasikh mansukh adalah sebuah metode yang digunakan ketika terjadi
kontradiksi dua dalil yang sudah tidak bisa dikompromikan. Kedua dalil tersebut
adalah benar-benar saling bertentangan bukan karena ragam interpretasi.
Implikasi dari sebuah nasikh mansukh adalah ketetapan legalitas hukum yang
disampaikan oleh dalil terakhir dan hilangnya legalitas hukum yang disampaikan
oleh dalil terdahulunya.
Menurut Ja’far Subhani naskh adalah:
46كانثابتال اله لو هعليوجه مثل دليل ب مالسابق ك الح ع ف ر
Menghapus hukum yang muncul terdahulu dengan dalil sejenisnya
dengan syarat seandainya yang menghapus tersebut tidak ada maka
legalitas hukumnya tetap berlaku.
Tentang penghapusan antara ayat Al Qur’an dan hadis Nabi saw, Ja’far
Subhani sependapat dengan kesepakatan ulama bahwasannya penghapusan
terjadi antara Al-Qur’an dengan Al-Quran, Al-Qur;an dengan khabar Ah}a>d. Ja’far
Subhani juga mengakui adanya perbedaan pandangan tentang penghapusan Al-
Qur’an dengan hadis Ah}a>d. walau pun tidak memperlihatkan pandanganya dalam
karya tersebut, tapi penulis berkesemipulan bahwa Ja’far Subhani sepakat
46
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 88
89
demgan ulama yang berpendapat bahwa dalil-dalil yang berdifat zhonni tidak
bisa menghapus dalil yang bersifat qat’i> .
Jafar Subhani juga menambahkan bahwa untuk mengetahui keberadaan
nasikh mansukh adalah Ada nash langsung dari saw seperti hadis, periwayatan
sahabat, data sejarah, dan ijma.
Dalam pandangan Ja’far Subhani, keberedaan imam dua belas dalam hal
ini adalah sebagai kasyif, celah pembuka yang menghubungkan nashk yang
disabdakan nabi. Fungsingnya untuk menyampaikan yang disampaikan oleh Nabi
saw kepada umatnya melalui perantara imam dua belas karena telah terputusnya
zaman nubuwwah.47
8. Keadilan Sahabat
Sahabat adalah orang yang pertama kali mendengar perkataan, melihat
perilaku, dan menyaksikan penetapan-penetapan Nabi saw tentang sebuah aturan
hidup bersosial dan beragama. Sahabat juga menjadi saksi hidup akan perjalanan
kehidupan Nabi saw sejak berada di tengah masyarakat Arab sampai akhir
hayatnya. Keberadaannya sangat penting karena menjadi pernyambung pesan-
pesan kenabiannya. Sehingga para ulama memberikan ruang khusus dalam
mengkaji keberadaannya sebagai periwayat hadis setelah Nabi saw. Seluruh
sahabat, dalam pandangan ulama Sunni, adalah ‘udul, yang berpengaruh bahwa
sahabat tidak perlu pengkajian lagi tentang periwayatannya, tidak boleh
melakukan celaan kepadanya, dan semua periwayatannya diterima. Argumentasi
47
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 88.
90
keadilan sahabat tersebut berdasar kepada ayat-ayat suci Al-Quran, hadis, dan
ijma’ ulama.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama Sunni, bagi ulama Syi’ah,
termasuk Ja’far Subhani, bahwa keadilan sahabat tidak merata untuk semua
sahabat. Dalam pandangan Ja’far Subhani argumentasi-argumentasi tentang
keadlian sahabat banyak mengandung tendensi dan subjektifitas. Dalam hal ini,
Ja’far Subhani menulis buku yang berjudul ‚’Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah
wa al-Burha>n‛ . Judul tersebut menjelaskan bahwa ada dua perspektif dalam
menyikapi keadilan sahabat. Ada yang memandang dengan subjektifitas dan ada
juga yang objektif berdasarkan dalil-dalil, baik Al-Quran atau pun sunnah.
Penulis berasumsi bahwa pendapat keadilan sahabat menurut mayoritas ulama
Sunni dinilai Ja’far Subhani sebagai pemikiran subjektif, tidak objektif atas
realitas yang terjadi di kalangan sahabat.
Ja’far Subhani menilai bahwa hidup bersahabat dengan Nabi saw dapat
melahirkan pengaruh terhadap kejiwaan para sahabatnya. Hal ini karena Nabi
saw adalah seseorang yang diberi cahaya ilahiyyah sehingga bisa memancarka
hal-hal positif kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Akan tetapi, menurut
Ja’far Subhani, cahaya ilahiyyah tersebut diterima oleh para sahabat dengan cara
berbeda, berdasarkan kadar kemampuannya. Ada yang mencapai pada puncak
kesempurnaan ada juga yang tidak. Perbedaan hasil yang diperoleh dari
persahabatan tersebut terjadi dengan tiga faktor. Yaitu usia, kesiapan jiwa dalam
91
menerima cahaya ilahiyyah, dan perbedaan waktu kebersamaan serta
persahabatan dengan Nabi saw.48
Menurut Ja’far Subhani, seseorang yang baru mencapai usia muda, hati
dan jiwanya seperti tanah yang subur yang dapat tumbuh di atasnya tanaman apa
saja. Artinya sahabat-sahabat yang baru mencapai usia ini lebih mudah dalam
menerima cahaya ilahiyyah dari Nabi saw. Berbeda dengan orang yang sudah
sempurna jiwa dan pemikirannya, pengaruh cahaya ilahiyyah terhadap jiwa dan
alam fikirnya jauh lebih sulit diterima. Selain usia, perbedaan kesiapan para
sahabat dalam menerima hidayah ilahiyyah berbeda-beda. Hal ini berpengaruh
kepada hasil yang didapatkan oleh para sahabat terkait pengaruh yang
dipancarkan oleh cahaya ilahiyyah dari Nabi saw. Seperti halnya orang yang
tengah mencari ilmu pengetahuan, hasil yang didapatkan relatif berbeda sesuai
dengan kesiapan mentalnya ketika mencari ilmu. Selain itu, waktu persahabat
dan kebersamaan para sahabat dengan nabi juga tidak sama. Dalam hal ini, Ja’far
Subhani menjelaskan bahwa sebagian sahabat ada yang bersama nabi sejak
permulaan kerasulan, setelah kerasulan dan sebelum hijrah, ada yang masuk islam
setelah hijrah, selama sebulan, setahun, beberapa hari, dan ada yang bersama nabi
beberapa waktu saja. Menurut Ja’far Subhani, realitas ini menjadi faktor yang
memperkuat bahwa variasi waktu kebersamaan dan persahabatan para sahabat
dengan Nabi saw mempengaruhi akan kualitas keimanan, ketakwaan, keutamaan,
dan kemulian para sahabat.49
48
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, (Qum: Yayasan Imam
Shodiq, 1424 H.), h. 15.
49 Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 16.
92
Menurut Ja’far Subhani, para sahabat memiliki sifat sebagaimana
manusia biasa, tidak seperti malaikat yang selalu benar dalam perbuatan-
perbuatannya. Dia melakukan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan,
sebagaimana para tabi’in dan atba’ tabi’in setelahnya. Maka larangan atau
pengharaman melakukan kritik secara objektif kepada mereka adalah sesuatu
yang tidak wajar.50
Ja’far Subhani menilai bahwa ulama-ulama Sunni telah bersikap
berlebihan dalam memberi penilaitan posistif terhadapa para sahabat, terutama
tentang keadilan sahabat. Di antara sikap berlebihan tersebut adalah:
Pertama, menyatakan adanya sunnah sahabat, sebagaimana adanya
sunnah nabi. Dalam hal ini, Ja’far Subhani merespons pandangan ‘Ajaj Khatib
yang mengatakan bahwa istilah sunnah juga sah disandarkan kepada para
sahabat. dalam arti para sahabat memiliki sunnah-sunnah yang bisa menjadi
hujjah dan sah untuk diikuti. Tentang adanya sunnah sahabat tersebut didasarkan
pada hadis yang menjelaskan bahwa nabi pernah memerintahkan untuk
mengikuti sunnah-sunnahnya dan sunnah-sunnah para khalifah. Selain itu juga
berdasar pada pada hadis yang menjelaskan bahwa hanya ada satu kelompok
yang akan masuk surga yaitu ma> ana> ‘alaih wa as|h}a>bih, yaitu mereka yang
mengikutiku dan sahabat-sahabatku. Sunnah-sunnah yang telah dibuat oleh para
sahabat tersebut di antaranya adalah had minum khamr, kodifikasi Al-Quran atas
usulan sahabat Umar bin Khattab, menseragamkan bacaan Al-Quran dengan satu
dialek, dan sebagainya. Selain itu, Ja’far Subahni juga memberikan respons
terhadap pandangan Abu Zahrah yang mengatakan bahwa para imam maz|hab
50
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 18.
93
telah menjadikan fatwa sahabat sebagai dasar hukum walaupun mereka berbeda
dalam metode penerapannya. Misalnya, Al-Syafi’i menilai bahwa fatwa sahabat
itu bersifat ijtihad. Tetapi ijtihad para sahaba lebih baik dari pada ijtihadnya
sendiri. Sedangkan Maliki menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bagian dari
sunnah. Al-Suyu>t}i> juga memberikan pandangan bahwa sunnah-sunah sahabat
adalah bagian dari agama.51
Penulis menilah bahwa menurut pandangan Ja’far
Subhani tentang sikap tiga ulama di atas adalah sikap yang berlebihan dalam
memposisikan sahabat nabi. Secara tidak langsung, tiga ulama tersebut menilai
bahwa para sahabat memiliki hak untuk membuat syari’at dan menentukan
hukum. Sedangkan Al-Quran sendiri menyatakan bahwa yang berhak atas semua
itu adalah Allah swt.
Kedua, menghindari diri mengkritik sahabat. dalam hal ini, Ja’far Subhani
menyebutkan ulama besar, yaitu Ah}mad ibn Hanbal dan Asy’ari >. Menurut
Ah}mad ibn Hanbal sebaik-baiknya umat setelah wafat Nabi saw adalah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib kemudian
sahabat-sahabat nabi setelah khulafaur rasyidun. Maka seseorang tidak boleh
menyebutkan sesuatu kejelakan mereka dan tidak boleh mencelanya. Barang
siapa yang melakukan demikian, maka seorang pemimpin berkewajiban untuk
mendidiknya dan memberinya sanksi serta memintanya untuk bertaubat atas
sikapnya tersebut. Jika masih tidal bertaubat maka berhak menjilidnya sampai
mau bertaubat. Sedangkan menurut Al-‘Asy’ari bahwa ada sepuluh sahabat yang
disaksikan langsung Nabi saw sebagai ahli surga. Kemudian sahabat-sahabat nabi
51
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 44.
94
selainnya yang tidak membutuhkan lagi kritik. Penulis menilai sikap-sikap ulama
di atas, dalam pandanngan Ja’far Subhani, adalah sikap yang berlebihan. Bahkan
Ja’far Subhani menilai bahwa pernytaan-pernyataan ulama di atas bertentangan
dengan Al-Quran dan Hadis.52
Ketiga, pernyataan sunah itu hakim bagi Al-Quran dengan maksud bahwa
Al-Quran itu membutuhkan sunnah. Ja’far Subhani menyebutkan bahwa
pandanngan tersebut merupakan pernyataan Al-Darimi dalam kitabnya. Tentang
hal, Ja’far Subhani menilai bahwa pernyataan yang ditulis Al-Da>rimi> tidak tepat.
Seharusnya adalah sunah membutuhkan Al-Quran bukan sebaliknya.53
Keempat, riiwayat-riwayat sahabat adalah hujjah tanpa terkecuali. Di
antara sikap berlebihan terhadap sahabat adalah berkesimpulan bahwa setiap
riwayat sahabat adalah hujjah tanpa terkecuali. Hal ini jelas berlebihan karena
derajat kualitas setiap sahabat adalah berbeda. Di antara mereka ada yang belum
kokoh imannya, munafik, dan ada juga yang fasik ketika turunnya Al-Quran. 54
Selain menilai adanya berlebihan dalam bersikap terhadap sahabat, Ja’far
Subhani juga menilai bahwa Al-Quran sendiri membuktikan bahwa sahabat
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan keadilan sahabat.
Pertama, mengabaikan perintah nabi saw di saat perang Uhud. Kedua,
meninggalkan Nabi saw ketika berkhutbah. Ketiga, berkhianat dengan
melakukan nikah sirri. Keempat, penghianatan pada saat perang Badar oleh
52
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 50.
53Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 53.
54Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 57.
95
sebagian sahabat. Kelima, melakukan perbuatan fasik dengan membohongi Nabi
dan para sahabat. Keenam, berselisih tentang masalah domba sampai saling
bermusuhan. Ketujuh, adanya orang-orang munafik yang menyelinap di antara
para sahabat.
D. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani
Berdasarkan kajian biografi, pemikiran, dan karya-karyanya, penulis
memposisikan Ja’far Subhani sebagai seorang ulama syi’ah produktif, banyak
mencurahkan sebagian banyak waktunya untuk dunia akademik. Mengikuti alur
pemikirannya, Ja’far Subhani adalah seorang ulama besar syi’ah yang termasuk
pada kelompok us}u>liyyu>n. Kelompok ushuliyyun adalah nama kelompok ulama
syi’ah yang mengembangkan nalar-nalar ijtihad dengan paradigma ajaran syi’ah
ima>miyyah. Dalam kajian ilmu hadis, alur pemikirannya searah dengan ulama
sebelumnya seperti Hasan Shadr. Kelompok ulama ini, dalam perkembangannya,
bersifat lebih inklusif terhadap kajian hadis dan fikih. Buktinya adalah mereka
sudah banyak mengutip hadis-hadis atau pendapat ulama fikih dari kelompok
Sunni.
97
BAB IV
VALIDITAS KOMENTAR DAN PEMAHAMAN JA’FAR SUBHANI
TENTANG HADIS-HADIS NIKAH MUT’AH DALAM KITAB MUT’AH AL-
NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH
A. Nikah Mut’ah di Awal Islam
Nikah mut’ah adalah salah satu bentuk pernikahan yang umum
dipraktekan oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Setelah Islam datang,
nikah mut’ah masih dipraktekan oleh sebagian masyarakat Arab. Dalam hal ini,
ahli sejarah, ulama Sunni, dan Syiah berpendapat bahwa praktek nikah mut’ah
masih dilakukan oleh segenap masyarakat bahkan para sahabat Nabi saw.
Tentang hal ini, Ja’far Subhani berpendapat bahwa mut’ah adalah jenis praktek
nikah yang populer di awal kedatangan Islam. Pendapat ini sesuai dengan
pandangan ulama besar seperti Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, dalam kitab Al-
Minha>j fi> Syarh} S}ah}i>h} Muslim.1 Quraish Shihab menegaskan bahwa seluruh
ulama baik dari kalangan Sunni atau pun Syiah bersepakat bahwa nikah mut’ah
pernah dibenarkan oleh Rasulullah dan dipraktekan oleh sebagian sahabat2.
Adapun Ja’far Subhani mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ibn Abi> H}a>tim
dari Ibn Abba>s: yaitu:
1Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul
Afkar, t.th.) h. 871
2 Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah
Sunnah, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 213
98
ساءمتعةكانت لفالن جلكاناإلسالم،أو قدمالر سالبلدة، منمعهل
عتهلهصلح جمتاعه،بحفظصلحوالض تزو رىماقدرإلىالمرأةف
ه فرغأن عتهلهوتصلحمتاعهلهفتنظرحاجته،من 3ض
Diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata : nikah mut’ah
itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri
dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya dan yang bisa
menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang wanita sampai
selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu memelihara
barangnya dan melayani urusannya
Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu contoh praktek mut’ah yang
terjadi pada awal Islam adalah praktek mut’ah yang dilakukan oleh seorang
musafir yang tidak ditemani oleh rekan, keluarga, dan bahkan istrinya.
Sebagaimana pemahaman Ja’far Subhani terhadap hadis tersebut, hal ini memang
menjadi fakta bahwa praktek nikah mut’ah sudah menjadi hal umum di kalangan
masyarakat Arab awal Islam. Huruf fa>’ dalam kata fatazawaju al-mar’ah
menunjukan bahwa tindakannya mengambil cara nikah mut’ah adalah tindakan
spontanitas yang tidak membutuhkan pertimbangan yang cukup lama. Karena
memang nikah mut’ah sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Arab pada
saat itu. Tetapi Ja’far Subhani juga mengakui bahwa Nikah Mut’ah yang
dipraktekan pada awal Islam tidak lepas dari konteksnya pada saat itu. Dalam
Istilah Ja’far Subhani nikah mut’ah dilakukan dalam z{uru>f kha>s} (kondisi-kondisi
tertentu) dan gha>yah ‘uqala >’iyyah (tujuan-tujuan kemanusiaan).4 Di sini Ja’far
Subhani juga menegaskan bahwa praktek nikah yang didengungkan oleh
3 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum: Muassasah Imam
Shodiq, 2002), h. 22
4 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 24
99
kalangan Syiah pada dasarnya tidak sekedar menghalalkan, tetapi memiliki
tujuan kemanusiaan demi tercapainya suatu kemaslahatan.
Sebagaimana dalam footnote yang terdapat pada kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi
al-Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani, penulis menemukan bahwa Ja’far
Subhani mengutip hadis riwayat Ibn Abi> H}a>tim dari kitab tafsir al-Durr al-
Mans\u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i> (w.911 h.). Berdasarkan \cetakan Mesir tahun
2003 riwayat tersebut terdapat pada juz 4 halaman 327 5. Jala>luddin Al-Suyu>t}i>
meletakan riwayat tersebut ketika memberikan penafsiran terhadap ayat فما
به ayat ke-24 surat Al-Nisa’. Pada dasarnya, Jala>luddin Al-Suyu>t}i> tidak استمتعتم
hanya menampilkan riwayat Ibn Abi> H}a>tim ketika menafsirkan ayat فمااستمتعتمبه.
Penulis menemukan ada sekitar 32 riwayat yang terdiri dari hadis marfu>’ dan
hadis mauqu>f yang ditampilkan Jala>luddin Al-Suyu>t}i> ketika menafsirkan ayat
tersebut.6
Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang ada dalam
kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah tersebut dengan riwayat yang ada
dalam tafsir karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menemukan adanya perbedaan
redaksi antara Ja’far Subhani dan Jala>luddin Al-Suyu>t}i>. Perbedaan tersebut bukan
merupakan variasi riwayat, tetapi terletak pada penampilan matan yang tidak
sempurna. Ini terjadi dalam riwayat yang dikutip oleh Ja’far Subhani dalam kitab
Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah.7
5Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, Juz 4, (Kairo: Al-
Muhandisin, 2003), h. 327
6 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, h. 327-335
7 Pada tahapan selanjutnya, nama kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah karya
Ja’far Subhani, akan ditulis dengan ringkas menjadi Mut’ah al-Nisa>’
100
Riwayat Ibn Abi> H}a>tim dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r adalah
sebagai berikut:
وأخشج ات أت داذى ػ ل ف ء انغا يرؼح كاد : "قال ػثاط، ات أو
اإلعالو، جم كا ظ انثهذج، قذو انش يؼه ن ؼره نه صهخ ي صهخ وال ض
ج يراػه، تذفظ شأج فرضو فشؽ أه شي يا قذس إن ان ظش داجره، ي نه فر
ؼره، نه هخ وذص يراػه ض ا: " قىل وكا رؼرى ف ته اعر ه غخرها" ي
" ش يذص غ " يغافذ وكا جم، تذ اإلدصا غك انش شاء ير
".شاء ير وطهق 8
Ibn H}a<tim telah meriwayatkan melalui jalur Ibn ‘Abba>s bahwa dia berkata;
nikah mut’ah itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke
suatu negeri dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya
dan yang bisa menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang
wanita sampai selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu
memelihara barangnya dan melayani urusannya dan Ibn ‘Abba>s membaca
ayat ‚fa ma> istamta’tum bihi> minhunn ila> ajal musamma>‛, ayat tersebut
telah terhapus oleh ayat ‚muh}s}ini<n ghair musa>fihi>n‛ dan maksud kata al-
ih{s{a>n adalah seorang laki-laki bisa mempertahankan dan menceraikan
istrinya kapan saja.
Berdasarkan kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r, riwayat yang dikutip
Jala>luddin Al-Suyu>t}i> tersebut bisa ditemukan langsung dalam kitab Tafsi>r al-
Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulillah wa al-S}aha>bah wa al-Ta>bi’i>n karya
Ibn Abi> H}a>tim (w.327 h.) pada urutan riwayat ke 5130 .9
Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang terdapat
dalam kitab Mut’ah al-Nisa> karya Ja’far Subhani dan kitab tafsir al-Durr al-
Mans|u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menilai bahwa Ja’far Subhani tidak
8 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, Jld. 4, h. 327
9Lihat Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Riyadh: Nazzar Al-Baz, 1997), h.
919
101
menampilakan riwayat secara utuh. Secara naratif, riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang
terdapat dalam tafsir al-Durr al-Mans|u>r menginformasikan dua informasi
penting. Pertama, menginformasikan praktek nikah mut’ah. Kedua, di penggalan
matan terakhir tersebut, riwayat Ibn ‘Abba>s juga menginformasikan bahwa
legalisasi nikah mut’ah telah dihapus oleh ayat Al-Qur’an lainnya. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa sahabat Ibn ‘Abba>s mengakui adanya penghapusan dalam
hukum nikah mut’ah.
Berdasarkan riwayat yang dikutip dalam kitab Mut’ah al-Nisa>, informasi
kedua, tentang penghapusan hukum nikah mut’ah–sebagaimana yang terdapat
dalam tafsir Jala>luddin Al-Suyu>t}i>– tidak termuat dalam kutipan Ja’far Subhani.
Riwayat-riwayat yang dikutip Ja’far Subhani tersebut hanya sebatas
menginformasikan praktek nikah mut’ah di awal Islam. Ungkapan Ibn ‘Abba>s
tentang penghapusan nikah mut’ah tidak diinformasikan. Tidak adanya redaksi
penghapusan tersebut masih bersifat belum jelas, karena Ja’far Subhani tidak
banyak menampilkan pandangannya terhadap hadis tersebut. Pertama, apakah
motif tidak menampilkan redaksi penghapusan tersebut hanya sebatas ingin
menjelaskan secara historis tentang praktek mut’ah, sehingga cukup hanya
menampilkan penggalan pertama saja. Kedua, atau sebagai bentuk sikap
responsif Ja’far Subhani atas ketidak-setujuan adannya penghapusan legalitas
nikah mut’ah. Tetapi, penulis menilai bahwa motif Ja’far Subhani adalah yang
kedua, tidak setuju atas keberadaan penghapusan praktek nikah mut’ah. Karena
ketika Ja’far Subhani menerima riwayat Ibn Abi> H}a>tim ini sebagai hadis yang
meriwayatkan historikal nikah mut’ah berarti secara tidak langsung Ja’far
Subhani menerima ke-s}ah}i>h}-an hadis tersebut. Jika hadis tersebut dinilai s}a>h}i>h}
102
maka redaksi penghapusan nikah mut’ah pun harus diakui sebagai informasi yang
valid.
Selain melakukan kritik redaksional, penulis juga mencoba menganilisis
sanad periwayatan riwayat Ibnu Abi Hatim dari aspek kualitasnya. Analisis
kualitas riwayat ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kualitas riwayat
yang dikutip oleh Ja’far Subhani. Karena kitab rujukan yang digunakan Ja’far
Subhani yaitu kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r memuat 32 riwayat. Selain itu,
karena kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r tidak memuat sanad secara utuh, penulis
langsung merujuk kepada karya Ibn Abi> H}a>tim sendiri yaitu Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az}i>m, untuk mendapatkan sanad yang sempurna. Berikut adalah sanad
sempurna yang terdapat dalam kitab tersebut:
ثنا ،سعد أبوحد مان،بنإسحاقثنااألشج دة،بنموسىعنسل :قالعب
دسمعت ،كعب بنمحم 10،عباس ابنعنالقرظ
Berdasarkan rantai periwayatan di atas, riwayat Ibn ‘Abba>s di atas
diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Abu> Sa’i>d al-Asyajj, dari Ish}a>q ibn
Sulaima>n, dari Mu>sa> ibn ‘Ubaidah dari Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy dari
Ibn al-‘Abba>s.
Periwayat Abu> Sa’i>d al-Asyajj. Dalam kitab T}abaqa>t al-H}uffaz} dijelaskan
nama lengkap Abu Sa’i>d al-Asyajj adalah Abu Sa’i>d al-Asyajj ‘Abdillah Sa’i<d
ibn H}as}i>n al-Kindiyy al-Ku>fiyy al-h}a>fiz}. Beliau merupakan salah satu imam di
zamannya yang berguru kepada ‘Abd al-Salam ibn H}arb, Abu Kha>lid al-Ah}mar,
10
Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, h. 919
103
Al-Mah}a>ribiyy, Hasyi>m, dan Khalq. Adapun para ulama yang berguru kepadanya
adalah enam imam mashur (Al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmiz|i>, Al-
Nasa>’i>, dan Ibn Ma>jah), Abu Zur’ah, Ibn Abi al-Dunya>, dan Khalq. Abu Hatim
menilai Abu Sa’i>d al-Asyajj sebagai periwayat yang s|iqah dan S}adu>q serta imam
di zamannya. Abu Sa’i>d al-Asyajj , menurut Abu Hatim, wafat pada tahun 257 h.
Beliau salah seorang periwayat hadis yang berada pada t}abaqah kedelapan.11
Periwayat Ish}a>q ibn Sulaima>n. Beliau memiliki nama lengkap Ish}a>q ibn
Sulaima>n al-Ra>zi>. Sebagaimana penisbatan namanya, beliau lahir di kota Ray,
Iran. Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ish}a>\q ibn Sulaima>n merupakan salah satu
periwayat yang s|iqah dan termasuk di antara wali abda>l serta memiliki sifat
wara’. Beliau wafat pada tahun 200 h, dan merupakan periwayat hadis t}abaqah
ketujuh.12
Periwayat Mu>sa> ibn ‘Ubaidah. Nama lengkapnya adalah Mu>sa> ibn
‘Ubaidah ibn Nasyi>t }. Beliau juga memiki nama kunyah Abu> ‘Abd al-‘Azi>z.
Menurut Ibnu Hibban, beliau wafat pada tahun 153 h. Beliau adalah salah
seorang periwayat hadis yang ahli dalam beribadah tetapi dalam ranah
periwayatan hadis banyak mendapatkan pandangan negatif dari para kritikus
hadis. Menurut Ibnu Hibban beliau memiliki tingkat hafalan yang lemah dan
11Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1983), h. 222
12 Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, h.155
104
pernah meriwayatkan hadis-hadis munkar. Dalam hal ini termasuk Yah}ya> Ma’i’in
benilai bahwa Mu>sa> ibn ‘Ubaidah adalah periwayat yang d}a’i>f.13
Periwayat, Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy. Nama lengkapnya adalah
Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}i> ibn Sali>m ibn Asad al-Quraz|i> Abu> H}amzah.
Beliau berguru kepada beberapa orang sahabat, seperti ‘Abbas ibn ‘Abd al-
Mut}a>lib, ‘Ali> ibn Abi> T}a>lib, Abu> al-Darda>’, Ibn Mas’u>d, dan ‘Amr ibn ‘A<s.}
Menurut Ya’qub ibn Abi> Syaibah, Muhammad ibn Ka’b lahir di akhir khilafah
sahabat Ali> ibn Abi> T}a>lib, dan meninggal pada tahun 17 hijriyyah. Tetapi
menurut penuturan al-Tirmiz|i>, Qutaibah menginformasikan bahwa Muh}ammad
ibn Ka’b tersebut hidup di zaman Nabi saw. Muhammad ibn Ka’b, sebagaimana
penuturan Ibnu Hibban, dia merupakan ulama yang berasal dari kota Madinah
dan mejadi ulama yang terkenal di zamannya.14
Kelima adalah Ibn ‘Abba>s adalah salah satu sahabat yang sekaligus
menjadi sepupu Nabi saw. Dari pamannya ‘Abbas. Di antara keistimewahan
sahabat Ibnu ‘Abbas adalah mendapatkan do’a langsung dari Nabi saw.
‚alla>humma ‘allimhu al-h}ikmah‛ dalam riwayat lain ‚allahumma faqqihhu fi al-
di>n wa ‘allimhu al-ta’wi>l‛. Dengan do’a khusus dari nabi tersebut Ibnu ‘Abbas
memperoleh sebutan h}abr al-‘arab, karena keluasan ilmunya, khususnya dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Raja Jirjir dari Afrika adalah yang pertama kali
memberinya gelar tersebut. Menurut Ibn H}ajar Al-‘Asqalani, dengan mengutip
13Ibnu Hibban, al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n, jld. 2, (Riyadh: Darus Samai’i, 2000), h.
241
14Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 9, (India: Majlis Da’irah Ilmiyyah,
1908), h. 420
105
pendapat Al-Wa>qidi>, Ibnu Abba>s tengah berusia 13 tahun ketika Nabi saw
wafat.15
Setelah menganalisis riwayat-riwayat di atas, penulis memiliki beberapa
catatan. Riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang dikutip Ja’far Subhani tidak ditampilkan
dengan paparan yang sempurna sebagaimana yang tertulis dalam kitab tafsir al-
Durr al-Mans|u>r, kitab yang menjadi rujukan Ja’far Subhani sendiri. Dari kutipan
yang tidak sempurna tersebut informasi yang disampaikan hanya tentang praktek
nikah mut’ah yang dilakukan oleh seseorang di zaman Nabi saw. Padahal pada
penggalan hadis berikutnya (sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Durr al-
Mans|u>r ) menjelaskan terjadinya penghapusan praktek mut’ah yaitu ayat fa ma>
istamta’tum bihi> ila> jal musamma> dihapus oleh ayat muh}s}ini>n ghoir musa>fihi>n.
Penulis berpendapat apapun motif Ja’far Subhani tentang pengutipan yang tidak
sempurna tersebut (hanya sebatas pemaparan data historis saja atau bentuk
responsif akan ketidaksetujuan adanya naskh dalam nikah mut’ah) pengutipan
semacam ini tetap harus ditampilkan secara sempurna. Dan perlu dicatat kalimat
ila> ajal musamma> menurut mayoritas ulama adalah variasi qira>’ah 16
bukan ayat
Al-Qur’an, yang dimungkinkan adalah salah satu bentuk penafsiran salah seorang
sahabat. Kedua, jika mempertimbangkan analisis para periwayat hadis riwayat
Ibnu Hatim tersebut, ada satu periwayat bernama Musa> ibn ‘Ubaidah yang
mendapatkan penilaian negatif dari beberapa kritikus hadis. Sehingga dari sisi
sanad hadis riwayat Ibnu Hatim tersebut berstatus d}a’i >f. Salah seorang ulama
15Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, h. 121-122
16 Muhammad bin Umar Bazmul, Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah wa As|aruha> fi> Al-
Tafsi>r ‛, (Arab Saudi: Ummul Qura, 1413 h.), h. 428
106
hadis yang berkomentar tentang hadis ini adalah Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Dalam
kitab Fath} al-Ba>ri>, Ibnu Hajar berpendapat bahwa sanad hadis ini adalah d}a’i>f.
Bahkan menurutnya, hadis ini adalah hadis sya>z| karena berselisih dengan ‘illah
kebolehan mut’ah pada hadis yang s}ah}i>h}, yaitu riwayat Abu> Jamrah dan Isma>’iliy
yang menjelaskan bahwa ‘illah legalitas nikah mut’ah adalah kondisi darurat,
seperti ketika berperang dan sedikitnya perempuan. Dalam riwayat lain
dijelaskan bahwa legalitas nikah mut’ah seperti halnya legalitas memakan
bangkai pada kondisi tertentu. Artinya Nabi saw melegalkannya hanya dalam
kondisi-kondisi darurat.17
Berdasarkan analisis di atas, riwayat tentang praktek nikah mut’ah pada
awal Islam, jelas diterima oleh Ja’far Subhani sebagai landasan awal untuk
legalisasi nikah mut’ah. Penerimaan terhadap riwayat tersebut memperlihatkan
bahwa Ja’far Subhani telah menilai s}ah}i>h} riwayat tersebut. Akan tetapi,
berdasarkan analisis penulis di atas, pemikiran Ja’far Subhani tersebut tidak bisa
dinilai sebagai sebuah pemikiran yang valid. Karena Ja’far Subhani tidak
menampilkan riwayat Ibn Abi> H}a>tim secara sempurna sebagaimana yang tertulis
dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r. Hal ini bisa menjadi sebuah masalah akademik
karena bagian teks yang tidak ditampilkan memiliki kandungan makna penting.
Yaitu tentang penghapusan nikah mut’ah.
Berdasarkan teori kritik sanad Must}afa> Al-A’z}ami> riwayat yang
ditampilkan Ja’far Subhani adalah tidak sama dengan redaksi aslinya yang
17Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, (Riyadh: Daar Al-Thoyyibah, 2005), h.
425
107
terdapat dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Dalam hal ini, penulis menilai
bahwa Ja’far Subhai belum melakukan validasi keaslian teks sebagaimana yang
tertulis dalam sumber primernya.
Adapun berdasarkan pada teori kebenaran, pemikiran Ja’far Subhani
tentang riwayat Ibn Abi> H{a>>tim tidak koresponden. Karena data atau riwayat
yang ditampilkan tidak sesuai dengan fakta yang ada di sumber aslinya, yaitu
kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r.
B. Riwayat Tafsi>riyyah Surat Al-Nisa: 24
Sebagaimana pandangan mayoritas, ulama syi’ah juga menjadikan Al-
Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum. Namun mereka
menolak keberadaan qiyas.18
Dalam hal ini ulama syi’ah seperti Ja’far Subhani
juga mendasarkan legalitas nikah mut’ah pada Al-Qu’ran. Dengan metodologi
penafsirannya, Ja’far Subhani sebagaimana ulama syi’ah terdahulunya
mendasarkan legalitas nikah mut’ah terhadap surat Al-Nisa ayat 24. Ayat
tersebut menjadi ayat utama yang dipahami sebagai ayat yang menegaskan
hukum halal nikah mut’ah. Di ayat ke 24 tersebut, ada penggalan ayat yang
menjadi penafsiran fokus Ja’far Subhani dan ulama terdahulunya. Yaitu kalimat
fama> istamta’tum bihi> minhunna. Penggalan ayat tersebut dipahami sebagai
ayat yang tengah membicarakan legalitas nikah mut’ah.
18 Qiyas dalam pandangan Syi’ah Imamiyah tidak bernilai hujjah dan orang yang
mengikuti metode qiyas berarti mengikuti teori Iblis, karena Iblis yang pertama kali
mempergunakan qiyas tatkala ia tidak mau sujud kepada Adamh. Hal ini karena Iblis
mengqiyaskan penciptaan dirinya dari api yang lebih mulia dibandingkan dengan penciptaan
Adam dari tanah yang dipandang lebih rendah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz|a>hib
al-Isla>miyyah, (Beirut: Darul Fikr al-‘Arabi, th.th), h. 538
108
Untuk mengarah kepada kesimpulan penafsiran tersebut, terlebih dahulu
Ja’far Subhani mencari korelasi antara ayat 23, 24, dan 25 dari surat Al-Nisa.
Menurut Ja’far Subhani tiga ayat tersebut secara bersamaan memaparkan perkara
yang haram dan yang halal tentang masalah wanita. Ayat 23 dan awal ayat 24
tengah membicarakan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi dengan
pengecualian para perempuan budak muslim. Sedangkan ayat ke 25 secara
khusus memaparkan legalitas nikah budak wanita muslim. Selanjutnya, menurut
Ja’far Subhani ada empat penggalan ayat tersisa. Yaitu, wa uh}illa lakum ma>
wara>’a z|a>likum, an tabtaghu> bi amwa>likum , muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>na, dan
fama> istamta’tum bihi> minhunna.19
Penggalan ayat pertama, wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum, maksudnya
adalah halalnya menikahi wanita wanita selain yang telah disebutkan. Sedangkan
penggalan ayat kedua, an tabtaghu> bi amwa>likum, maksudnya adalah
menjelaskan jalan yang disyari’atkan dalam menikahi wanita yang tidak
disebutkan di ayat 23, awal ayat 24, dan ayat 25 dengan cara memberikan
sebagian hartanya. Menurut Ja\’far Subhani, sampai penggalan ayat tersebut
maka ada beberapa solusi untuk menerapakan jalan yang disyari’atkan tersebut.
Yaitu nikah dengan memberi mahar, menikahi budak perempuan, atau prostitusi.
Kemudian di penggalan ayat keempat, muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>n. Dengan
penggalan ayat tersebut maka solusi dengan cara prostitusi pasti sudah tertolak
dan terlarang. Maka yang tersisa adalah menikahi wanita merdeka dan menikahi
budak wanita. Pada penggalan ayat terakhir, fama> istamta’tum bihi> minhunn,
19 Lihat Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h.29-31
109
secara langsung menegasikan pernikahan budak wanita, karena sudah dijelaskan
pada ayat ke 25. Dari penggalan ayat keempat berarti yang dimaksud dengan wa
uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum adalah menikahi wanita-wanita merdeka. Tetapi
menurut Ja’far Subhani, menikahi wanita merdeka tersebut ada di antara dua
pilihan yaitu nika>h} da>’im dan nika>h} mu’aqqat (nikah mut’ah). Dalam hal ini,
Ja’far Subhani dan ulama syi’ah lainnya memahami penggalan ayat fama>
istamta’tum bihi> minhunn adalah nikah mut’ah. Ada beberapa indikator yang
menjadi dasar penafsiran tersebut. Pertama, makna istimta’ (fama> istamta’tum )
pada saat turunnya ayat adalah al-‘aqd, akad pernikahan bukan menikmati dan
bersenggama dengan perempuan. Kedua, jika tidak dimaknai mut’ah, tetapi
dimaknai al-nika>h} al-da>’im maka akan nampak adanya pengulangan. Dan jika
dimaknai pemberian mahar setelah istimta>’ maka terjadi juga hal pengulangan,
karena sudah dijelaskan di ayat sebelumnya. Ketiga, beberapa sahabat
menafsirkan kata istimta>’ dengan nikah mut’ah. Keempat, adanya pernyataan
sahabat tentang kehalalan nikah mut’ah. Selain itu Ja’far Subhani menyatakan
bahwa ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunna adalah ayat nikah mut’ah dan tidak
pernah terjadi penghapusan. Dalam sub bab ini, penulis memfokuskan pada
indikator ketiga dan keempat.20
1. Makna Istimta>’
Ja’far Subhani berpendapat bahwa Istimta>’ dalam surat Al-Nisa ayat 24
bermakna nikah mut’ah atau akad nikah mut’ah. Pendapatnya tersebut berdasar
pada riwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h:
20 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 29-31
110
جاتش أخشج يغهى ف صذذه ػثذ ت رغ كا قىل للا تانقثضح غر ش ي انر
قق سعىل ػهذ ػه األاو وانذ در تكش وأت -وعهى ػهه للا صه- للا
ش ه ػ ه ف ػ شو شأ ػ ث ت .دش 21
Diriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h bahwa kami dahulu melakukan nikah
mut’ah selama beberapa hari dengan mahar beberapa genggam kurma dan
tepung pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sampai Umar melarang nikah
mut’ah dalam kasus ‘Amr ibn H}urais|.
Dalam kitab S}ah}i>h} Muslim22, riwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h diriwayatkan
oleh Muhammad ibn Ra>fi’ dari’Abd al-Razza>q dari Ibn Juraij dari Abu> al-Zubair
dari sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h.23
Periwayat Muh}ammad ibn Ra>fi’. Muh}ammad ibn Ra>fi’ adalah periwayat
hadis yang lahir pada tahun 170-an h. dan meninggal pada tahun 245 h.
Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam periwayatan hadis berguru kepada ‘Abd al-Razza>q,
Sufya>n ibn ‘Uyainah, ‘Abdullah ibn Idri>s, Abu> ‘Aliyy al-H}anafi> dan periwayat-
periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang berguru kepada Muh}ammad ibn
Ra>fi’ di antaranya al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>’i>, al-Tirmi>z|i> dan
21
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 32
22Tentang hadis Jabir di atas, tidak terjadi perbedaan redaksi matan hadis baik yang
tertulis dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ atau pun dalam kitab S}ah}ih} Muslimh. Redaksi dalam kitab
S}ah}i>h} Muslim adalah sebagai berikut:
ثنى دحد ثنارافع بنمحم اقعبدحد ز ج ابنأخبرناالر رأبوأخبرنىجر ب قولللاعبدبنجابرسمعتقالالز كناققالتمرمنةبالقبضنستمتع اموالد فىعمرعنهنهىحتىبكر وأبى-وسلمعلهللاصلى-للارسولعهدعلىاألث بنعمروشؤن حر
Lihat Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar Dauliyyah, 1998), h. 551
23 Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, h. 551
111
periwayat-periwayat lainnya. Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam pandangan Muslim
dan al-Nasa>’i> adalah seorang periwayat yang s|iqah dan ma’mu>n.24
Periwayat ‘Abd al-Razza>q. Abd al-Razza>q nama lengkapnya adalah Abd
al-Razza>q al-Hamma>m. Abd al-Razza>q adalah periwayat hadis yang lahir pada
tahun 126 h. dan meninggal pada tahun 211 h. Abd al-Razza>q, dalam
periwayatan mengambil hadis dari Ibn Juraij, Hisya>m ibn H}isa>n, ‘Ikri>mah ibn
‘Amma>r dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang
mengambil hadis dari Abd al-Razza>q adalah Muh}ammad ibn Ra>fi>, Ah}mad ibn
H}anbal, ‘Ali> al-Madini>, dan periwayat-periwayat lainnya. Abd al-Razza>q, dalam
pandangan ulama kritikus hadis seperti Ah}mad al-‘Ajal dan Ya’qub ibn Sya>’i>
adalah seorang periwayat s|iqah. Ah}mad al-‘Ajal menambahkan bahwa Abd al-
Razza>q seorang periwayat hadis penganut madzhab syi’ah.25
Periwayat Ibn Juraij. Ibn Juraij memiliki nama lengkap ‘\Abd al-Malik ibn
‘Abd al-‘Azi>z, ibn Juraij al-Makki>, seorang ulama besar dari kota Makkah yang
wafat pada tahun 149 h. Dalam periwayatan hadis, Ibn Juraij meriwayatkan hadis
dari ‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, T}a>wu>s, Ibn Abi> Mali>kah, S}afiyyah bint Syaibah, dan
periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat hadis yang meriwayatkan
dari Ibn Juraij adalah al-Awza>’i>, al-Lais|, ‘I<sa> ibn Yu>nus, Waki>’, Wali>d ibn
Muslim, dan periwayat-periwayat lainnya. Ibn Juraij, menurut ulama seperti
‘Abd al-Razza>q, adalah seorang ulama yang memiliki rasa takut kepada Allah
swt. Sedangkan menurut Ah}mad ibn H}anbal, Ibn Juraij adalah seorang yang
24 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, (Libanon: Darul Afkar Dauliyyah,
2004), h. 3247
25Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2264
112
memiliki kualitas sholat terbaik. Adapun menurut penulis Sair A’la>m al-Nubala>’,
Syams al-Di>n al-Z|ahabi>, Ibn Juraij merupakan periwayat s|iqah tetapi melakukan
tadli>s .26
Periwayat Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair, nama lengkapnya adalah
Muh}ammad ibn Muslim ibn Tadrus Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair lahir tahun 42
h. dan meninggal pada tahun 126 h. Abu> al-Zubair, dalam periwayatan hadis
meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, Ibn ‘Abba>s, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Umar,
‘Abdullah ibn ‘Amr, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat
yang meriwayatkan hadis dari Abu> al-Zubair adalah Ibn Juraij, al-Zuhri>, ‘Isma>’i>l
ibn Umayyah, ‘Ubaidilla<h ibn ‘Umar, ‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, al-A’masy, H}ajja>j
ibn Abi> ‘Usma>n, dan periwayat-periwayat lainnya. Tentang periwayatan hadis,
al-Bukha>ri> dan Abu> H}a>tim al-Ra>zi> menilai Abu> al-Zubair lam yuhtajj bi>h, tidak
bisa dijadikan hujjah hadisnya. Selain itu Ibn H}ajar dan al-Z|ahabi> menilai bahwa
Abu> al-Zubair seorang mudallis. 27
Periwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah seorang
periwayat hadis dari kalangan sahabat yang meninggal pada tahun 78 h. Dalam
periwayatan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h meriwayatkan hadis langsung dari
Rasulullah saw dan sejumlah sahabat. Di antaranya ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, ‘Aliyy
ibn Abi> T}a>lib, Mu’a>z| ibn Jabal, dan sahabat lainnya. Sedangkan periwayat yang
26 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2571
27 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 3698
113
meriwayatkan hadis dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah Abu> al-Zubair, Ibn al-
Musayyab, Muja>hid, ‘Amr ibn Di>na>r, T}a>wu>s, dan periwayat-periwayat lainnya.28
Dari pemaparan biografi periwayat-periwayat hadis di atas, penulis
berkesimpulan bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara ittis}a>l dari periwayat
pertama sampai periwayat terakhir. Walaupun ada periwayat yang diklaim
sebagai periwayat syi’ah yaitu ‘Abd al-Razza>q al-Hamma>m, tetapi
periwayatannya diterima oleh para kritikus hadis. Sehingga hadis Ja>bir ibn
‘Abdilla>h ini sah dinilai sebagai hadis s}ah{ih}.
Selain Ja’far Subhani, ulama sunni juga memposisikan hadis Ja>bir ibn
‘Abdilla>h dalam konteks nikah mut’ah. Misalnya Ibn H}ajar ‘Asqalani> mengutip
hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam kitab Fath} al-Ba>ri> untuk memperkuat bukti
tentang bolehnya pemberian mahar kepada seorang perempuan yang dinikahi
berupa cincin yang terbuat dari besi. Secara tersirat, Ibnu Hajar mengakui bahwa
konteks hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah nikah mut’ah. Dan ditegaskan dengan
kutipan riwayat al-Baihaqi bahwa yang dilarang oleh sahabat Umar adalah nikah
mut’ahnya bukan standar ukuran maharnya. Komentar ulama tentang hadis Ja>bir
ibn ‘Abdilla>h memperkuat pernyataan Ja’far Subhani bahwa istimta>’ dalam hadis
tersebut dipahami dalam konteks nikah mut’ah, dan Ja’far Subhani memahami
kata istimta>’ dengan akad nikah mut’ah.29
28 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4683
29 Ja’far Subhani memperkuat argumentasinya dengan hadis Khuwailah bint H}aki>m :
اببنعمرعلىدخلتحكم بنتخولةأن:عروةعن رضىالخط ةبنربعةإن:فقالتعنهللا مولدة بامرأة استمتعأمرضىعمرفخرجمنهفحملت جرعنهللا متكنتولوالمتعةهذه:فقالفزعاهرداء .لرجمتهفهتقد
Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa Khawlah bint H}aki>m menemui Umar ibn al-Khat}t}a>b dan berkata sesungguhnya Rabi>’ah ibn Umayyah telah bermut’ah dengan seorang
114
Berdasarkan komentar ulama-ulama di atas, baik kalangan Syi’ah atau
pun kalangan Sunni, memposisikan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam konteks yang
sama yaitu nikah mut’ah. Perbedaannya, ulama Sunni tidak mengamalkan hadis
tersebut. Abu al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn al-Jawzi> memasukan hadis Ja>bir ibn
‘Abdilla>h pada deretan hadis musykil dan memberikan ta’wil terhadap hadis
tersebut. Menurut Ibn al-Jawzi> larangan yang terkandung dalam hadis Ja>bir ibn
‘Abdilla>h belum merata ke seluruh sahabat sejak adanya perizinan dari
Rasulullah saw. Sehingga sampai masa kepemimpinan Abu Bakar nikah mut’ah
masih dipraktekan oleh beberapa masyarakat pada saat itu.30
Jauh sebelumnya,
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan bahwa informasi larangan nikah mut’ah
tidak sampai kepada sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dan kepada semua tabi’in yang
meriwayatkan hadis darinya.31
Pada dasarnya hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h
diletakkan pengarangnya dalam Kita>b al-Nika>h}, bab nika>h al-mut’ah annahu>
ubi>h}a s|umma nusikha s|umma ubi>h}a s|umma nusikha wa istaqarra tah}ri>muhu ila
yaum al-qiya>mah. Penamaan bab tersebut menginformasikan bahwa penulis kitab
tersebut mengakui terjadinya penghapusan dalam nikah mut’ah. Tetapi, Ja’far
Subhani tidak mempertimbangkan hal ini. Walau pun demikian, Ja’far Subhani
tetap berkesimpulan bahwa hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h tengah membicarakan nikah
mut’ah dan menjadi argumentasi tentang keberlangsungan legalitas nikah
mut’ah.
wanita sehingga hamilh. Kemudian Umar ibn al-Khat}t}a>b keluar dalam keadaan gemetar dan berkata inilah mut’ah jika aku bertemu dengannya pasti aku akan merajamnyah.
30 Lihat Ibn al-Jauzi>, Kasyf al-Musykil, Jld. 3, (Riyadh: Darul Wathon, 1997), h. 90-91
31 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, h. 169
115
Berdasarkan analisis di atas, pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis Ja>bir
ibn ‘Abdillah (menjadikan makna istimta>’ sebagai praktek mut’ah), bersifat valid
dalam arti kutipan hadisnya sama dengan yang dikutip dalam S}ah}i>h} Muslim.
Selain itu hadis yang dikutipnya memiliki periwayat-periwayat yang terpercaya.
Artinya selain valid, pemikiran Ja’far Subhani tentang hal ini bersifat
koresponden yaitu sesuai dengan data dan fakta ilmiah. Akan tetapi, di sini,
Ja’far Subhani tidak mengakomodasi pendapat Ibn H}ajar al-‘Asqalani> yang
menyatakan bahwa pada saat itu larangan nikah mut’ah belum sampai kepada
sahabat Ja>bir ibn ‘Abdillah. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani terlihat tidak
memiliki informasi yang sempurna tentang Ja>bir ibn ‘Abdillah dalam masalah
nikah mut’ah.
2. Tafsir Al-Nisa ayat 24
Surat Al-Nisa ayat 24 adalah dalil argumentatif tentang legalitas nikah
mut’ah yang dipegang oleh ulama Syi’ah, termasuk Ja’far Subhani. Surat Al-
diposisikan sebagai ayat multitafsir. Pemaknaannya adalah tentang nikah
mut’ah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani mengutip riwayat-riwayat tafsir untuk
mempertegas maksud ayat fa ma istamta’tum bihi> minhunna. Di antara riwayat
tafsir yang menjadi argumentasi J\a’far Subhani adalah riwayat Ibnu ‘Abbas:
فما:قعنأبنضرةقالابنعباسرحهمنطالحاكموصحرجوأخ
هاكذلك!فقالابنرإقان.فقلت:م ىمسمهنإلىأجل نتمبهمتعتماس
32كذلكهاللازلألنعباس:وللا
Diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya melalui jalan periwayatan sahabat
Abu> Nad}rah bahwa Ibnu ‘Abbas membaca fama> istamta’tum bihi> minhunna
32 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39
116
ila> ajal musamma>. Kemudian Abu> Nad}rah bertanya apakah seperti demikan
membacanya? Ibnu ‘Abbas menjawab. Benar sekali Allah menurunkannya
seperti itu.
Riwayat ini, secara literal, jelas bahwa kata ajal musamma> adalah bagian
dari ayat 24 surat Al-Nisa. Riwayat ini, oleh Ja’far Subhani dikutip dari kitab
tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Berdasarkan kitab tafsir tersebut, riwayat Ibnu ‘Abbas
juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibn al-Anba>ri> dalam kitab al-Mas}a>h{if. 33
sedangkan dalam kitabnya, Ja’far Subhani hanya menginformasikan dari H{a>kim
saja.
Dalam kitab al-Mustadrak karya H{a>kim34, riwayat Ibn ‘Abbas tersebut
diriwayatkan dari Abu> Zakariya> al-‘Anba<ri> dariMuh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m
dari Ish}a>q ibn Ibra>hi>m dari al-Nad}ar ibn Syami>l dari Syu’bah dari Abu> Salmah,
dan dari Abu Nad}rah.35
Periwayat, Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari adalah
periwayat yang memiliki nama lengkap Yah}ya> ibn Muh}ammad ibn ‘Abdulla>h ibn
Muh}ammad al’Anbari> dan populer dengan sebutan nama yah}ya> ibn Muh}ammad
33 Lihat Jalal al-Di>n Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, Juz 4, (Kairo:
Al-Muhandisin, 2003), h\. 328
34 Tidak ada perbedaan redaksi tentang riwayat Ibn ‘Abba>s tersebut, baik dalam kitab
Mut’ah al-Nisa>’ karya Ja’far Subhani atau pun dalam kitab Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ainih. Redaksi dalam kitabal-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini adalah sebagai berikut:
أنبؤ،شملبنالنضرأنبؤ،إبراهمبنإسحاقثنا،السالمعبدبنمحمدثنا،العنبريزكراأبوأخبرناامف)،عنهماللارضعباسابنعلىقرأت:قول،نضرةأباسمعت:قال،مسلمةأبوثنا،شعبةقال«ىمسملجأإلىمنهنبهاستمتعتمفما:»عباسابنقالفرضةهنروجأفآتوهنهننمبهتمتعتماسصحححدثهذا«»كذلكللاهالزنألوللا:»عباسابنفقال.hكذلكهارإقنما:فقلت:نضرةأبو
«جاهرخولممسلمشرطعلى
Lihat Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, Jld. II, (Beirut: Darul Kutub
‘Ilmiyyah, 2002), h. 334
35 Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, h. 334
117
al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> lahir pada tahun 268 h. Dan wafat pada tahun 344 h.
Dalam periwayatan hadis Abu> Zaka>riyya meriwayatkan hadis dari Muh}ammad
ibn ‘Abd al-Sala>m al-Naisa>bu>ri>, Muh}ammad ibn ‘Amr ibn al-Nad}ar, Nas}r ibn
‘Aliyy, Yu>suf ibn Mu>sa>, Ibra>hi>m ibn Ish}a>q ibn Yu>suf al-‘Naisa>bu>ri> dan
periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat hadis yang
meriwayatkan hadis dari Abu> Zaka>riyya adalah Ah}mad ibn H}usain al-Naisa>bu>ri>,
Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}anbal, H}asan ibn Muh{ammad, Z}afr ibn Muh}ammad
ibn Ah}mad, Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h ibn H}amdawih} dari periwayat-periwayat
lainnya. Abu> Zaka>riyya dalam pandangan para kritikus hadis memperoleh
penilaian-penilaian positif. Abu> Bakr al-Baih}a>qi> memberikan penilaian ‘a>lim,
adi>b, dan mutqin. Abu> Abdillah al-Naisa>bu>ri> menilainya seorang periwayat yang
‘adl, dan selain periwayat hadis Abu> Zaka>riyya juga seorang ahli tafsir.
Sedangkan menurut al-Z|ahabi>, Abu> Zaka>riyya adalah periwayat yang s|iqah.36
Periwayat Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m. Periwayat Muh}ammad ibn
‘Abd al-Sala>m memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m ibn
Basyar. Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m wafat tahun 286 h. Dalam periwayatan
hadis Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m menyampaikan hadis dari Ish}a>q ibn Ibra>hi>m
ibn H}abi>b, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m ibn ‘Abbad, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m Mukhi>di, H{usain ibn
‘Aliyy ibn Yazi>d dan periwayat lainnya. Sedangkan di antara periwayat hadis
yang meriyatkan hadis Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah Yah}ya> ibn
Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h al-‘Anbari>, Yu>suf ibn Ya’qu>b, Muh}ammad ibn Ya’qu>b,
Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Umar, Muh}ammad ibn Ja’far ibn Muh}ammad dan
36Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4196
118
periwayat lainnya. Tentang penilaian ulama terhadap Muh}ammad ibn ‘Abd al-
Sala>m, penulis baru menemukan penilaian dari al-Z|ahabi>. Menurut al-Z|ahabi> ,
Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah seorang periwayat yang s|iqah¸ ahli
berpuasa, ahli bangun tengah malam, dan seorang ulama rabbaniyy. 37
Periwayat al-Nad}r ibn Syumail. al-Nad}r ibn Syumail memiliki nama
lengkap al-Nad}r ibn Syumail ibn Yazi>d. al-Nad}r ibn Syumail. Populer dengan
sebutan nama al-Nad}r ibn Syumail al-Ma>zini>. al-Nad}r ibn Syumail lahir pada
tahun 123 h. dan meninggal pada tahun 203 h. Dalam periwayatan hadis al-Nad}r
ibn Syumail berguru kepada Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Warad, S}a>lih ibn Abi> al-
Akhd}ar, Syadda>d ibn Sa’i>d ibn Ma>lik, Sulaima>n ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m,
Zaid ibn Muh}ammad ibn Zaid, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan
periwayat yang mengambil hadis dari al-Nad}r ibn Syumail adalah Ish}a>q ibn
Ibra>hi>m al-Naisa>bu>ri>, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-Bagda>di>, Ibn Mazi>d, H{a>ris| ibn Suraij,
H{asan ibn Bakr, H}asan ibn ‘Abdillah. Tentang kualitas periwayatan al-Nad}r ibn
Syumail, mayoritas para kritikus hadis menilainya positif. Para kritikus hadis
seperti Abu> H}a>tim al-Ra<zi>, Ibn Abi> H{a>tim al-Ra>zi>, Ibn H{ajar, danYah{ya> ibn
Ma’i>n menilai al-Nad}r ibn Syumail sebagai periwayat hadis s|iqah.38
Periwayat Syu’bah. Syu’bah, dalam periwayatan hadis memiliki nama
lengkap Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Ward dan populer dengan sebutan nama
Syu’bah al-H}ajja>j al-‘Ataki>. Syu’bah, dalam periwayatan hadis Syu’bah berguru
kepada Abu> Salamah, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>, Aswad ibn Qais, Asy’as
37Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.3491
38Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4091
119
ibn Abd al-Malik, Azraq ibn Qais, Ayyub ibn Kaisa>n, Ibra>him ibn ‘A<mir dan
periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang meriwayatkan
hadis dari Syu’bah adalah al-Nad}ar ibn Syumail, ibn Kharasah, Nas}r ibn ‘Aliyy,
Ha>syim ibn al-Qa>sim, Muh}ammad ibn Ja’far, Hisya>m ibn ‘Abd al-Ma>lik, Hila>l
ibn Faya>d}, Waki>’ ibn al-Jarra>h}, Ya>sir ibn H{amma>d, Yah}ya> ibn Ra>syid dan para
periwayat lainnya. Syu’bah adalah di antara periwayat hadis yang banyak
memperoleh penilaian positif dari para kritikus hadis. Ibnu Hajar memberikan
penilaian terhadap Syu’bah sebagai periwayat s|iqah, h}a>fiz}, mutqin. Sedangkan
Muh}ammad ibn Idri>s al-Sya>fi’iyy pernah memberi pernyataan law la>h ma> ‘arafa al-
h}adi>s| fi> al-‘iraq, jika tida Syu’bah maka hadis tidak akan dikenal di kota Iraq.
Sufya>n al-S|auri> menilainya sebagai ami>r al-mu’mini>n fi> al-h}adi>s|. Bahkan Yah}ya>
ibn Ma’i>n menilai Syu’bah sebagai ima>m al-muttaqi>n.39
Periwayat Abu> Salamah. Abu> Salamah memiliki nama lengkap
‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf. Abu> Salamah lahir pada tahun 22 h. dan
meninggal pada tahun 94 h. Dalam periwayatan hadis Abu> Salamah
meriwayatkan hadis dari Munz|ir ibn Ma>lik, yang terkenal dengan nama Abu> al-
Nad}ar, Na>fi’ ibn Jubair, Fa>t}imah ibn Muh}ammad ibn ‘Abdillah, ‘Amr ibn al-‘As},
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para
periwayat yang meriwayatkan hadis Abu> Salamah adalah Syu’bah al-H{ajja>j, Abu>
Ibra>hi>m, Ah}mad ibn ‘Abdillah ibn H}amdawih, Ayu>b ibn Kaisa>n, Ibra>hi>m ibn
‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf, H}asan ibn Yazi>d ibn Faraokh, dan para periwayat-
periwayat lainnya. Pada umumnya para kritikus hadis seperti Ibn H}ajar, dan
39Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.1980
120
Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai bahwa periwayat Abu> Salamah adalah periwayat s|iqah.
Bahkan al-Z|ahabi pernah menyatakan bahwa ada empat periwayat yang
mendapat gelar buh}u>r, lautan ilmu, yaitu ‘Urwah, Ibn al-Musayyab, ‘Ubaidillah,
dan Abu> Salamah.40
Periwayat Abu> Nad}rah. Nama lengkap Abu> Nad}rah adalah Munz|ir ibn
Ma>lik ibn Qat}’ah. Abu> Nad}rah meninggal pada tahun 108 h. Abu> Nad}rah adalah
seorang periwayat dari kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para
sahabat seperti Anas ibn Ma>lik, Bila>l ibn Rabbah, Hasan ibn ‘Aliyy, Samurah ibn
Jundab, Abu> Hurairah, dan sahabat-sahabat lainnya. Sedangkan para periwayat
yang meriwayatkan hadis dari Abu> Nad}rah adalah Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n
yang populer dengan nama Abu> Salamah, Ibra>hi>m ibn Isma>’i>l, Idri>s ibn Yazi>d,
Bakr ibn ‘Amr, Ja’far ibn Iya>s, Ha>tim ibn Abi> Nas}r, dan periwayat-periwayat
lainnya. Para kritikus hadis seperti Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ibn Hajar, dan Yah}ya> ibn
Ma’i>n menilai bahwa Abu> Nad}rah merupakan periwayat hadis s}iqah. Sedangkan
Ah}mad ibn H}anbal pernah menyatakan ma> ‘alimtu illa> khoir, tidak ada informasi-
informasi terkait Ah}mad ibn H}anbal kecuali kebaikan.41
Berdasarkan pemaparan periwayat-periwayat di atas, penulis
berkesimpulan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut diriwayatkan oleh periwayat-
periwayat yang sudah memenuhi syarat periwayatan yang s}ah}i>h}. Dalam arti
tentang fama> istamta’tum bihi> minhunna ila< ajal musamma> sah disandarkan
kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Sehingga jelas bahwa riwayat tersebut
40Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 287
41Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 529
121
menginformasikan tentang konteks surat Al-Nisa ayat 24. Dalam hal ini Ja’far
Subhani juga memperkuat argumentasinya dengan mengutip riwayat Qatadah
yang menginformasikan bahwa sahabat Ubay bin Ka’ab juga menambahkan
kalimat ila> ajal musamma>.42
Penulis menilai bahwa Ja’far Subhani dalam menarik kesimpulan, hanya
fokus di dua riwayat tersebut. Padahal dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r, Suyuti
memaparkan 32 riwayat yang berkaitan dengan nikah mut’ah. Tentang riwayat-
riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, Abu> ‘Abdilla>h Fakhr al-Di>n al-
Ra>zi>, dalam kitab Mafa>tih} al-Ghaib, berkesimpulan secara garis besar ada tiga
riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.43
1. Ibn ‘Abba>s membolehkan nikah mut’ah secara mutlak:
عمارةقال،قةلالمطباحةباإللالقو :المتعةنعاسعبابنتسؤل:
ه:قاله؟ماف:قلت،نكاح والفاح سال:قالكاح؟نأمهفاحأس
:قلت،ضةحهاعدتنعمقالة؟دعلهاهل:قلت،تعالىقالكمامتعة
القال؟وارثانتهل .44
Pendapat Ibn ‘Abba>s yang membolehkan secara mutlak. ‘Ima>rah berkata:
aku bertanya kepada Ibnu ‘Abba>s tentag mut’ah, apakah mut’ah itu
prostitusi atau nikah? Ibn ‘Abba>s menjawab dia itu bukan prostitusi dan
bukan nikah. Itulah mut’ah. Sebagaimana firman Allah swt. Apakah dia
memilki ‘iddah? Ibn ‘Abbas menjawab: ya. ‘iddahnya adalah satu kali
haid. Apakah mut’ah saling mewarisi? Ibn ‘Abba>s menjawab: tidak.
42
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39
43 Lihat Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, jld 5, (Kairoh.: Darul
Hadis, 2012), h. 273
44Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273
122
2. Ibn ‘Abba>s membolehkan mut’ah dalam keadaan darurat:
اسفالمتعةقالابنعباسعبففتاابنعارروااألشكاذأنالناسلم
لح:إنهاتقلتطالق،لكنباحتهاعلىاإلإبمللاإنماأفتتهل:قات
45مالخنزرلهكماتحلالمتةوالدمولحرطضملل
Sesungguhnya manusia ketika menyebutkan sya’ir-sya’ir tentang fatwa Ibn
‘Abba>s dalam masalah mut’ah yang membolehkan mut’ah secara mutlak Ibnu
‘Abba>s berkomentar: semoga Allah memerangi mereka. Sesungguhnya aku tidak
berfatwa kebolehan nikah mut’ah. Tetapi aku berfatwa bahwa mut’ah itu bagi
orang yang darurat sebagaimana bolehnya memakan bangkai, darah, dan daging
anjing bagi yang mengalami darurat.
3. Ibn ‘Abba>s bertaubat dari fatwanya:
ىعطاءالخرسانعنابنعباسفو.ربؤنهاصارتمنسوخةرأنهأق
قالصارت } منهن به استمتعتم فما { : منسوخةقوله اآلة بقولههذه
{]الطالق: تهن لعد هاالنبىإذاطلقتمالنساءفطلقوهن [1تعالى:}ؤ
ةعتلفالمونقلكموباتهمإنأللدموته:انعورويأضاأنهقال
Sesungguhnya Ibn ‘Abba>s menyatakan bahwa hukum mut’ah itu dihapus.
Diriwayatkan dari ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>, dari Ibn ‘Abba>s bahwa ayat fa ma>
istamta’tum bihi> minhunn telah dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a>
t}allaqtum al-nisa>’ fat}alliqu>hunn li’iddatihinn (Al-T}ala<q: 1). Dan
diriw\ayatkan juga bahwa ketika mendekati ajalnya, Ibn ‘Abba>s berkata: ‚
ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu dari pendapatku tentang mut’ah.
Dalam hal ini, berarti al-Ra>zi> memaparkan secara utuh pemikiran sahabat
Ibnu ‘Abbas tentang nikah mut’ah. Sedangkan Ja’far Subhani tidak
menampilkannya secara utuh.
Jika ditinjau dari perspektif Ilmu Qira’ah, Ibnu Taimiyyah dalam
kitabnya Minha>j al-Sunnah menjelaskan bahwa kalimat ila> ajal musamma> tidak
termasuk qira’ah mutawatir dan tidak ada bedanya dengan khabar ahad tidak ada
45
Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273
123
di mushaf Usmani.46
Al-Syinqithi, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa riwayat-
riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Sa’id bin
Jubair tidak bisa menjadi sandaran bahwa itu adalah bagian dari ayat Al-Qur’an.
Karena adanya konsesus sahabat yang menyepakati bahwa itu tidak termasuk
dalam ayat Al-Qur’an.47
Jika pun bisa dijadikan argumen nikah mut’ah maka
argumentasinya bersifat ah}a>d. Sedangkan dalam kesepakatan ulama yang bersifat
ahad tidak bisa diunggulkan dari yang mutawatir.
Berdasarkan analisi di atas, penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far
Subhani tentang riwayat Ibn ‘Abba>s yang menyisipkan ila> ajal musamma>, adalah
bersifat valid dan koheren. Karena data yang disampaikan sesuai dengan sumber
primernya. Tetapi, dalam hal ini Ja’far Subhani tidak berupaya mengumpulkan
terlebih dahulu riwayat-riwayat nikah mut’ah lainnya yang disandarkan kepada
sahabat Ibn ‘Abba>s. Hal ini penting dilakukan demi menjada keaslian pemikiran
Ibn ‘Abba>s tentang mut’ah. Menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z}ami>, sikap
Ja’far Subhani tersebut tidak memenuhi langkah jam’ al-us}u>l ka>ffah
(mengumpulkan terlebih dahulu riwayat-riwayat secara menyeluruh).
3. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Para Sahabat dan Tabi’in
Ja’far subhani menilai bahwa yang masih menjadi perselisihan di
kalangan ulama adalah keberlangsungan legalisasi nikah mut’ah yang didasarkan
kepada penghapusan nikah mut’ah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat
bahwa nikah mut’ah adalah praktek nikah yang sah dan tidak terjadi adanya
46 Lihat Ibnu Taimiyyah, Miha>j al-Sunnah, jld. 4, (t.kot. th.cet., 1987 ) h. 187-188
47 Al-Syinqithi, Ad}wa>’ al-Baya>n, jld. I, (Jeddah: Daarul ‘Ilmi Fawaid, t.t. ), h. 381
124
penghapusan. Menurut Ja’far Subhani solusi yang tepat atas perselisihan ini
adalah kembali kepada sumber yang paling utama, yaitu ayat Al-Qur’an sendiri
dan hadis Nabi saw.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, surat Al-Nisa ayat 24 adalah ayat
tunggal yang dijadikan dasar legal nikah mut’ah oleh Ja’far Subhani. Selain
makna kata istimta>’ dan makna ila> ajal musamma> yang dinilai memperkuat
pendapat Ja’far Subhani tentang nikah mut’ah, ada beberapa nama sahabat dan
tabi’in yang dianggap telah melegalkan nikah mut’ah setelah wafatnya Nabi saw.
Dalam hal ini, Ja’far Subhani mengutip pendapat Ibn Hazm yang menyebutkan
nama-nama sahabat dan tabi’in yang dinilai pernah menyuarakan legalnya nikah
mut’ah. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani48
menyatakan:
االنو بؤؤت بحن قالوا من لسماء المتعة بمصدرة صرحوا لم ان و
جوزوال ل(قال:حم.وقدذكرهمابنحزمف)المفتواه المتعةنكاح
هللاصلىللارسولعهدعلىحالالوكانأجل إلىالنكاحوهو عل
هللاصلىللارسوللسانعلىتعالىللانسخهامثوسلم وسلمعل
انسخا ومإلىبات امة، للاصلىللارسولبعدتحللهاعلىثبتوقدالق
ه لفمنجماعة وسلمعل حابةمنمنهمعنهمللارضىالس رضىالص
قبكرأبىبنتأسماءعنهمللا د وابن.للاعبدبنوجابر.الص
عباس وابن.مسعود ة: ،أبىبنومعاو ان ثبنوعمروسف وابو.حر
ةابناءومعبدمةوسل.الخدرىسعد للاعبدبنجابرورواهخلف،بنأم
حابةجمععن ةالص هللاصلىللارسولمد ة .وسلمعل أبىومد
،خالفةآخرقربإلىوعمر .بكر ابنعناباحتهافواختلفعمر
رال ب إذاأنكرهاانماانهالخطاببنعمروعن.توقف فهاعلىوعن.ز
48
Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip dalam kitab Mut’ah
al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>
125
شهدلم ها ن،ومنبشهادةوأباحهافقطعدالنعل ابعنعدل طاوسالت
ر بنوسعدوعطاء ة فقهاءوسائر.جب 4950مك
Dan sekarang kami akan menyebutkan nama-nama yang berpendapat
kehalalan nikah mut’ah. Dan walaupun tidak jelas tentang referensi
fatwa-fatwanya, tetapi Ibn Hazm telah menyebutkan mereka dalam
kitabnya al-Muh}alla>:
Dan nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan. Yaitu nikah sampai batas
tertentu. Nikah tersebut halal di zaman Nabi saw. Kemdian Allah
menghapusnya melalui lisan Rasul-Nya secara mutlak sampai hari
kiyamat. Dan sekelompok sahabat telah menetapkan kehalalannya
setelah zaman Rasulullah saw di antaranya Asma>’bint Abi> Bakr, Ja>bir
ibn ‘Abdilla>h, Ibn Mas’u>d, Ibn ‘Abba>s, Mu’a>wiyah ibn Abi> S}afya>n,
‘Amr ibn H}ari>s|, Abu> Sa’i>d al-Khudri>, Salmah ibn Umayyah, dan Ma’bad
anak-anaknya Umayyah ibn Khalaf. Dan Ja>bir ibn ‘Abdilla>h
meriwayatkan dari sekelompok sahabat pada zaman Rasulullah saw,
zaman Abu> Bakr, Umar dan sampai kepada akhir kekuasaan Umar. Dan
telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan nikah mut’ah dalam
riwayat Ibn al-Zubair, dan ditangguhkannya dalam riwayat Ali ibn
T}a>lib. Adapun dalam riwayat Umar, Umar menolak nikah mut’ah jika
tidak didatangkan dua saksi dan menerimanya jika ada dua saksi yang
‘a>dil. Dan dari kalangan tabi’in adalah T}a>wu>s,‘At}a>’, Sa’i>d ibn Jubair,
dan segenap ulama fikih Makkah.
Dalam kitab Al-Muh}alla>, Ibn Hazm, sebagaimana simpulan Ja’far
Subhani, menyebutkan sederatan sahabat dan tabi’in yang pernah melegalkan
nikah mut’ah. Bahkan dalam hal ini, Ibn Hazm menilai bahwa data tersebut
dinilai valid. Ibn Hazm ketika memaparkan pandangannya tersebut menggunakan
ungkapan wa qad s|abata. Tetapi, jika melihat sub judul dan membaca pandangan
Ibn Hazm dengan sempurna maka akan ditemukan bahwa Ibnu Hazm termasuk
kalangan ulama yang mengakui adanya informasi valid tentang penghapusan
49
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 43-45
50 Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip dalam kitab Mut’ah
al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>h. Lihat Ibn Hazm, Al-Muh}alla>, Jld. 9, (Mesir: Al-Muniriyyah,
1351 H.), h. 519-520.
126
praktek nikah mut’ah. Sebelum menyebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in
tersebut, Ibnu Hazm menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah perkara yang tidak
diperbolehkan. Nikah mut’ah pernah dihalalkan tetapi kemudian Nabi saw
mengaharamkannya sampai hari kiamat.
Dari pemaparan pandangan Ibn Hazm tersebut ada dua fakta yang
disampaikan. Pertama, tenta\ng pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw
langsung. Kedua, legalisasi nikah mut’ah setelah wafatnya Nabi saw oleh
beberapa para sahabat dan tabi’in. Tetapi hanya fakta kedua yang diterima oleh
Ja’far Subhani. Ada beberapa riwayat yang menjadi dasar Ja’far Subhani dalam
mempertahankan pandangannya, tentang legalisasi nikah mut’ah oleh sahabat
setelah zaman Nabi saw. Di antaranya adalah:
اقفمصنفالحافظأخرج ز الر الكوفةعبد ث حر ابن عمرو قدم " قال جابر عن اإلسناد بهذا ه
51فاستمتعبموالة فؤتىبهاعمروحبلى،فسؤلهفاعترف،قالفذلكحننهىعنهاعمر
Dalam kitabnya, ‘Abd al-Razza>q meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, dia
berkata ‘Amr ibn H}urais| datang di Kufah, kemudian dia melakukan nikah
mut’ah dengan seorang budak dan ‘Amr membawa budak tersebut sudah
dalam keadaan hamil. Kemudian Umar bertanya kepadanya dan ‘Amr
mengakuinya. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h berkata itu terjadi ketika Umar bin
Khattab melarang nikah mut’ah.
Riwayat yang menjadi penguat pendapat Ja’far Subhani di atas, dikutip
dari Fath} al-Ba>ri>, karya Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Riwayat tersebut, pada dasarnya
tidak berdiri sendiri sebagai sebuah argumentasi. Riwayat tersebut, dalam Fath}
al-Ba>ri>, tengah menceritakan kisah praktek nikah mut’ah yang dilakukan oleh
‘Amr ibn H}urais|. Berdasarkan riwayat, praktek nikah mut’ah yang dilakukan
51 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 113
127
oleh ‘Amr ibn H}urais | tersebut bertepatan dengan larangan nikah mut’ah oleh
sahabat Umar bin Khattab. Berbeda dengan Ja’far Subhani, Ibnu Hajar
menegaskan bahwa yang melarang praktek nikah mut’ah pada saat itu adalah
Umar bin Khattab. Tetapi, fatwanya tersebut bukan hasil ijtihad atau
kebijakannya sendiri, melainkan sesuai dengan larangan Nabi saw. Dalam hal ini,
Ibnu Hajar mengutip beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa tidak ada lagi
perizinan nikah mut’ah setelah adanya larangan langsung dari Nabi saw. Adapun
sikap Jabir bin Abdullah, tentang menghalalkan nikah mut’ah, beserta sahabat
dan tabi’in yang meriwayatkan darinya adalah faktor tidak sampainya larangan
nikah mut’ah kepada mereka.52
Dan penting untuk diketahui bahwa kasus ‘Amr ibn H}urais| tersebut
konteksnya adalah ranah hukum perbudakan. Dalam hadis dijelaskan bahwa
wanita hamil tersebut adalah seorang budak bukan wanita merdeka. Jika hadis ini
dijadikan sebagai landasan legalitas nikah mut’ah maka terjadi inkonsistensi
pemikiran yang dilakukan Ja’far Subhani. Karena pada pembahasan sebelumnya,
Ja’far Subhani menegaskan bahwa salah satu syarat nikah mut’ah adalah status
wanitanya adalah merdeka bukan budak.
Berdasarkan analisis di atas, Ja’far Subhani berarti tidak menampilkan
pemikiran Ibn H}azm secara sempurna. Maksudna, pemikiran yang disampaikan
tidak sempurna sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Muh}alla>, karya Ibn
Hazm. Maka pemikiran Ja’far Subhani tentang legalisasi nikah mut’ah oleh
segenap sahabat dan tabi’in tidak bisa disebut sebagai pemikiran yang valid.
52 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri<, jld. 10, h. 169
128
Selain itu, Ja’far Subhani juga tidak konsisten dalam melakukan konstruksi
legalitas nikah mut’ah. Dalam hal ini, ada dua pemikiran yang tidak koheren.
Yaitu menerima hadis ‘Amr ibn H}urais| yang konteksnya adalah perbudakan dan
keharusan wanita merdeka dalam praktek nikah mut’ah. Sehingga penulis
menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani tidak valid karena tidak sesuai dengan
teori kebenaran koherensi.
4. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Ibnu Umar
Ja’far Subhani adalah salah satu ulama syiah yang berpegang teguh pada
pendapatnya tentang kontinuitas kehalalan nikah mut’ah. Pandangannya tersebut
berdasar pada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa segenap para sahabat
telah berpendapat halal tentang nikah mut’ah. Di antara sahabat yang menjadi
dasar pendapatnya adalah sahabat Ibnu Umar. Riwayatnya adalah sebagai
berikut:
فقالهالمتعةعمرعنبنؤلاالشامسنأهلمالجنرأذيخرجالترمأ
كانأبإنعمرأرأتنبالافقاأباكقدنهىعنهامإناللفقالالشح
رعأمأمبترأبنهارسولللاصلىللاعلهوسلمأأمعننهىعنهاوصقد
53؟للاصلىللاعلهوسلمرسول
Al-Tirmiz|i> telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Syam bertanya
kepada Ibnu Umar tentang mut’ah. Ibnu Umar menjawab mut’ah itu halal.
Laki-laki tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarang mut’ah.
Ibnu Umar menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkan
mut’ah sedangkan Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti
perintah ayahku atau mengikuti perintah Nabi saw.?
Riwayat yang dikutip Ja’far Subhani, secara literal, jawaban-jawaban
Ibnu Umar atas pertanyaan seorang laki-laki menginformasikan bahwa pertama
53 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 49
129
Nabi saw telah melakukan mut’ah. Kedua, Nabi saw juga memerintahkan praktek
mut’ah. Berdasarkan keterangan footnote dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ hadis
yang dikutip Ja’far Subhani tersebut bersumber dari kitab Sunan al-Tirmiz|i>.
Adapun versi lengkap menurut kitab Sunan al-Tirmizi> adalah:
ثنا د بنعبدحد عقوبأخبرنحم ثناسعد بنإبراهمبن صالحعنأبحد
سانبن ثهللاعبدبنسالمأنهاب شابنعنك هحد أهلمنرجالسمعأن
ام سؤلوهوالش متععنعمربنللاعبد للاعبدفقالالحجإلىبالعمرةالت
عمربن فقالحالل ه ام عمربنللاعبدفقالعنهانهىقدأباكإنالش
ت صلىللارسولوصنعهاعنهانهىأبكانإنأرأ هللا أأمروسلمعل
بعأب صلىللارسولأمرأمنت هللا جلقالفوسلمعل رسولأمربلالر
صلىللا هللا صلىللارسولصنعهالقدفقالوسلمعل هللا 54وسلمعل
Diriwayatkan dari ‘Abd ibn H}umaid, dari Ya’qub ibn Ibra>hi>m, dari ayahnya,
dari S}a>lih} ibn Kaysa>n, dari Ibn Syiha>b, dari Sa>lim ibn ‘Abdullah, dia berkata
bahwa dia mendengar laki-laki dari Syam bertanya kepada sahabat Ibnu
Umar tentang haji tamattu’. Ibnu Umar menjawab itu halal. Laki-laki
tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarangnay?. Ibnu Umar
menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkannya sedangkan
Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti perintah ayahku atau
mengikuti perintah Nabi saw.? Laki-laki itu menjawab: tentu perintah Nabi
saw yang diikuti. Karena telah nyata bahwa Nabi saw pun melakukannya.
Setelah melakukan komparasi dua riwayat di atas, versi kitab Mut’ah al-
Nisa>’ dan versi kitab Sunan al-Tirmiz|i>, penulis menemukan perbedaan redaksi
yang signifakan. Perbedaan tersebut, menurut penulis, akan melahirkan simpulan
yang sangat berbeda sekali. Perbedaan tersebut terdapat pada objek materi yang
dipertanyakan seorang laki-laki dari Syam. Berdasar pada kutipan Ja’fa Subhani
objek materi yang dipertanyakan oleh laki-laki tersebut adalah nikah mut’ah.
Kata yang ditampilkan adalah al-mut’ah. Selain itu,penulis menilai bahwa hadis
54 Al-Tirmiz|i>, Sunan al-Tirmiz|i>, jld. 2, (Beirut: Darul Gharb Islami, 1996), h. 175
130
yang tengah dikutip Ja’fa Subhani tersebut, konteksnya dalam rangka
memperkuat pemikirannya bahwa praktek nikah mut’ah masih berstatus halal
sebagaimana jawaban Ibnu Umar.
Adapun objek materi yang dipertanyakan laki-laki dari Syam dalam
kitab Sunan Tirmidzi adalah,’an al-tamattu’ bi al-‘umrah ila> al-h}ajj, deretan kata
tersebut populer diartikan sebagai haji tamattu’. Selain itu al-Tirmiz|i> juga
meletakan hadis ini dalam bab haji tamattu’, kitab al-h}ajj. Sehingga jelas konteks
hadis yang dikutip Ja’fa Subhani adalah haji tamatu bukan praktek nikah mut’ah.
Dari satu riwayat di atas, penulis berkesimpulan bahwa Ibnu Umar tidak
menghalalkan praktek nikah mut’ah karena konteksnya adalah haji tamattu’.
Berdasarkan analisis data di atas, penulis berkesimpulan bahwa Ja’far
telah melakukan falsifikasi data dengan cara merubah redaksi aslinya yaitu al-
tamattu’ dirubah menjadi al-mut’ah. Sehingga berdasarkan teori kritik hadis
pemikiran Ja’far Subhani tidak terkonstruksi dengan data-data yang valid atau
dalam istilah Mus}t}afa> Al-A’z}ami> tidak melakaukan validasi data, is|ba>t al-nus}us|
al-s|ah}i>h}ah. Selain itu, penulis juga menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani
tentang legalisisai sahabat Ibnu Umar tidak koresponden, tidak sesuai dengan
data-data faktual yang ada di sumber primernya, yaitu kitab Sunan al- Tirmiz|i>.
C. Keberatan Ali bin Thalib atas Fatwa Umar bin Khattab
Pada awal pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani
memposisikan nikah mut’ah sebagai obat dan solusi dalam mencegah
menyebarnya kerusakan moral terutama yang di kalangan laki-laki yang belum
mampu melaksanakan nikah da>’im. Ja’far Subhani nikah mut’ah merupakan salah
satu praktek yang diajarkan oleh agama dan menjadi sebuah ajaran mulia yang
131
memiliki misi menjaga kehormatan manusia. Dalam pembacaan Ja’far Subhani,
sahabat Ali bin Abi Tholib sangat keberatan atas sikap sahabat Umar bin
Khattab yang mengeluarkan sebuah fatwa larangan nikah mut’ah. Keberatan
sahabat Ali bin Abi Thalib tersebut diriwayatkan dalam riwayat sebagai berikut:
ناالازمرعنالمتعةلمهعالنلو 55اوشقةشق
Ali berkata ‚kalau Umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang yang
berzina kecuali orang yang benar-benar celaka‛.
Terhadap hadis di atas, Ja’far Subhani tidak mencantumkan rantai
periwayatan kecuali nama sahabat Ali bin Abi Thalib. Selama penulusuran kitab
Mut’ah al-Nisa>’, penulis tidak menemukan sumber-sumber yang menjadi rujukan
hadis tersebut, baik dari karya ulama sunni atau pun karya ulama syiah. Sumber-
sumber rujukan hadis tersebut, penulis temukan dari kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat
fi> al-Isla>m , karya Murtadho ‘Askari, ulama besar syiah yang meninggal pada
tahun 2007. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hadis tentang keberatan
sahabat Ali bin Abi Thalib di atas, banyak ditemukan di kitab-kitab ulama sunni.
Kitab-kitab tersebut adalah tafsir al-Naisa>bu>ri>, Mafa>tih} al-Ghaib, al-Durr al-
Mans|u>r, al-Qut}ubi>, kitab Bida>yah al-Mujtahid, dan .56
Dalam kitab tafsir Mafa>tih} al-Ghaib, al-Ra>zi> mengutip riwayat yang
menjelaskan keberatan sahabat Ali tentang sikap sahabat ‘Umar ibn Khat}t{a>b57
.
Pengutipan tersebut dilakukan al-Ra>zi> ketika menafsirkan ayat fa ma>
istamta’tum bihi> min hunn. Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Ra>zi> bersikap
55 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10
56 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, (Beirut: t.pen. t.t. ), h. 34-35
57 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273
132
inklusif, tidak hanya menampilkan pendapat kelompok Sunni tapi juga pendapat
kelompok Syiah. Menurut al-Ra>zi>, ayat fa ma> istamta’tum bihi> min hunn,
berdasarkan penafsiran para ulama, memiliki dua penafsiran. Pertama, ayat
tersebut ditafsirkan dalam konteks pernikahan da>’im. Ayat ini menjelaskan
tentang kewajiban bagi seorang suami yang telah menikmati anggota tubuh istri
dengan bersetubuh atau pun lainnya. Kedua, ayat ini ditafsirkan dalam konteks
nikah mut’ah. Al-Ra>zi> berpendapat bahwa para ulama bersepakat tentang
kebolehan nikah mut’ah pada awal kedatangan Islam. Namun berbeda pendapat
tentang keberadaan penghapusan nikah mut’ah. Dalam hal ini, al-Ra>zi>
mengatakan bahwa pendapat mayoritas adalah telah terjadinya penghapusan
dalan nikah mut’ah.58
Masih menurut al-Ra>zi>. Ada sebagian kelompok yang menyatkan bahwa
praktek nikah mut’ah masih dibolehkan. Pendapat ini berdasarkan pada tiga
riwayat. Yaitu riwayat Ibn ‘Abba>s, riwayat ‘Imra>n ibn H}us}ain, dan riwayat Ali
bin Abi Thalib, yang menjadi pembahasan fokus pada sub-bab ini.59
Riwayat Ibnu ‘Abbas. Al-Ra>zi> berkesimpulan ada ada tiga riwayat yang
dinisbatkan kepada sahbat Ibnu ‘Abbas. Pertama, riwayat yang menjelaskan
jawaban-jawaban sahabat Ibnu ‘Abbas terhadap pertanyaan seorang tabi’in
bernama ‘Uma>rah. Ibnu ‘Abbas menjawab dan menjelaskan bahwa nikah mut’ah
itu bukan akad nikah, bukan prostitusi, memiliki masa ‘iddah, dan tidak saling
mewarisi. Kedua, riwayat yang menceritakan tentang syair yang dibuat oleh
segenap orang sebagai sebuah respons terhadap fatwa Ibnu ‘Abbas dalam
58 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 272-273
59 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h.. 273
133
masalah mut’ah. Kemudia Ibnu ‘Abbas meresponsnya dengan tegas dan
melakukan pembelaan bahwa dirinya tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang
pembolehan nikah mut’ah secara mutlak. Fatwanya adalah diperbolehkan nikah
mut’ah dalam kondisi darurat sebagaimana diperbolehkannya memakan daging
babi dan anjing. Ketiga, riwayat yang menginformasikan tentang pernyataan
Ibnu ‘Abbas bahwa praktek mut’ah telah dihapus dengan ayat ya> ayyuha> al-
nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’, surat Al-T}alaq ayat 1.. Bahkan dalam riwayat lain,
ketika mendekati ajalnya, Ibnu ‘Abbas menyatakan dirinya bertaubat atas
pandangannya tentang mut’ah.
Simpulan dari ketiga riwayat tersebut, yang dipaparkan al-Ra>zi> dalam
tafsirnya, menunjukan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas salah satu sahabat yang tidak
setuju akan praktek nikah mut’ah.
Selain riwayat Ibnu ‘Abbas, yang menjadi dasar nikah mut’ah (yang
dikutip al-Ra>zi>) adalah riwayat ‘Imran ibn H}us}ain. Riwayat ‘Imran ibn H}us}ain
tersebut menjelaskan tentang turunnya ayat mut’ah dan tidak ada ayat yang
menghapusnya. Selain itu riwayat ini menginformasikan bahwa Nabi saw tidak
pernah melarang praktek mut’ah tersebut. Karena al-Ra>zi> tidak memberikan
komentar atau pun takhrij terhadap riwayat ini, penulis dalam hal ini melakukan
verifikasi tentang riwayat ‘Imran ibn H}us}ain tersebut. Dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri,>
riwayat tersebut termuat dalam kitab Haji, bab Tamattu’. Ibnu Hajar Asqalani,
yang mensyarah kitab hadis tersebut, menghubungkan riwayat tersebut dengan
masalah haji tamattu’ bukan nikah mut’ah.
Riwayat terakhir yang menjadi dasar nikah mut’ah adalah riwayat sahabat
Ali bin Abi Thalib. Yaitu tentang keberatan sahabat Ali akan fatwa dari sahbat
134
Umar bin Khattab. Akan tetapi dalam hal ini, al-Ra>zi>, setelah memaparkan dalil
yang dijadikan dasar oleh kelompok yang membolehkan nikah mut’ah,
menampilkan satu riwayat lagi yang menjelaskan ketidaksetujuan sahabat Ali
terhdap fatwa sahabat Ibnu ‘Abbas yang berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Dalam
hal ini, sahabat Ali berargumentasi dengan hadis larangan Nabi saw tentang
nikah mut’ah dan memakan daging himar ahliyyah. Dengan mengutip hadis
tersebut, memperlihatkan bahwa al-Ra>zi> ingin menyampaikan bahwa sahabat Ali
sendiri pada dasarnya menolak praktek mut’ah.
Pada kesempatan yang lain, al-Ra>zi> juga memapar argumentasi-
argumentasi kelompok, baik yang mengharamkan atau yang menghalalkan nikah
mut’ah. Setelah memaparkan argumentasi-argumentasi kelompok yang
menghalalkan nikah mut’ah, al-Ra>zi> memberikan komentar dan penolakan
argumentasi yang diawali dengan ungkapan wa al-jawa>b ‘an al-wajh al-awwal. 60
Dengan melakukan verifikasi riwayat tentang keberatan sahabat Ali akan
fatwa sahabat Umar dalam tafsir al-Ra>zi>, penulis berkesimpulan bahwa riwayat
tersebut hanya sebatas data informatif yang tengah menjelaskan dalil-dalil atau
riwayat-riwayat yang dijadikan dasar oleh kelompok yang membolehkan nikah
mut’ah. Keberadaan riwayat tersebut tidak memperlihatkan dan tidak dijadikan
sebagai data argumentatif pemikiran al-Ra>zi > tentang nikah mut’ah. Dan penulis
berkesimpulan, dari penafsiran al-Ra>zi> tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi< min
hunn, al-Ra>zi > salah satu ulama tafsir yang tidak setuju atas praktek nikah mut’ah.
60 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 276-277
135
Dalam kitab Bida>ya>h al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, riwayat yang
semakna dengan riwayat keberatan sahabat Ali atas fatwa sahabat Umar terdapat
pada kitab Nikah, bab al-Ankih}ah} al-Manhiy ‘anha> al-Syar’iy, akad-akad nikah
yang diharamkan. Tetapi yang meriwayatkan hadis tersebut adalah sahabat Ibnu
‘Abbas. Dalam bab ini, Ibnu Rusyd membahas empat macam nikah. Yaitu nikah
Syigha>r, Mut’ah, Muh}allil, dan haramnya lamaran terhadap perempuan yang ada
dalam lamaran orang lain. Dalam pembahasan nikah mut’ah, Ibnu Rusyd
menyatakan bahwa keharaman nikah mut’ah diinformasikan dengan riwayat-
riwayat mutawatir. Tetapi walaupun mutawatir, para ulama berbeda pendapat
tentang waktu diharamkannya nikah mut’ah. Waktu-waktu diharamkannya
tersebut adalah pada saat di Khoibar, Fathu Mekkah, Tabuk, Haji Wada’,
‘Umroh Qodho, dan pada tahun Authos. Menurut Ibnu Rusyd mayoritas para
sahabat dan para ulama dari berbagai penjuru kota sepakat atas keharaman nikah
mut’ah. Bahkan di akhir pembahasan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa akad-akad
nikah yang disebutkan di atas, termasuk nikah mut’ah, adalah akad nikah yang
fa>sid karena ada dalil yang mengharamkannya.61
Selain berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah, Ibnu Rusyd juga
mengakui bahwa ada riwayat yang dinisbatkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas
tentang kehalalan praktek nikah mut’ah. Di sinilah, penulis kitab Bida>yah al-
Mujtahid mengutip riwayat yang semakan dengan riwayat sahabat Ali. Dalam
riwayat ini sahabat Ibnu ‘Abbas juga merasa keberatan atas fatwa sahabat Umar
bin Khattab. Bahkan Ibnu ‘Abbas menambahkan bahwa nikah mut’ah adalah
61 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, jld. 3, (Cairo: Maktabab Ibnu Taimiyyah, 1415 H.),
h. 111-112.
136
bentuk rahmat Allah swt yang dianugerahkan kepada umat Nabi Muhammad
saw.62
Dari pemaparan Ibnu Rusyd tentang nikah mut’ah, penulis berpendapat
bahwa Ibnu Rusyd jelas termasuk kelompok ulama yang tidak mengakui
kehalalan nikah mut’ah. Keberadaan riwayat Ibnu ‘Abbas yang semakna dengan
riwayat Ali hanya sebagai data informatif bukan data argumentatif pendapat
Ibnu Rusyd. Akan tetapi, Ibnu Rusyd tidak memberikan komentar dan kritik
terhadap riwayat-riwayat tersebut.
Setiap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hadis, hal
yang paling penting adalah melakukan kajian sanad dan verifikasi periwayat-
periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Karena Ja’far Subhani tidak
menghadirkan sanad yang lengkap di hadis sahabat Ali bin Abi Thalib, peneliti
berusaha mencari sanad lengkap tersebut, berangkat dari informasi yang terdapat
dalam kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m,63
karya Murtadho ‘Askari.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab tersebut, hadis sahabat Ali bin Abi Thalib
ada juga di kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q dan tafsir al-T|abari>. Dalam kitab-
kitab tersebut penulis menemukan rantai periwayatan yang sempurna.
Dalam kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q hadis sahabat Ali bin Abi Thalib
memiliki sanad berikut:
62 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, h. 111
63 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, h. 34-35
137
64ةوفاقالبالكلعقأندأصننمرجوأخبرجبناقال
Dari kutipan sanad di atas, ada tiga periwayat yang menjadi guru
periwayatan ‘Abd al-Razza>q. Yaitu Ibnu Juraij, man us{addiq, dan Ali bin Abi
Thalib. Tentang biografi Ibnu Juraij penulis telah menjelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat yang
diakui kredibilitasnya baik oleh kalangan sunni atau pun syiah. Sehingga peneliti
dalam pembahasan ini tidak mengkajinya. Di sini penulis fokus pada periwayat
yang menjadi guru periwayatan Ibnu Juraij. Yaitu man us{addiq, orang yang aku
akui kebenarannya. Di sini Ibnu Juraij tidak menyebutkan nama periwayatnya
langsung. Padahal periwayat tersebut dianggap cukup kredibel oleh Ibnu Juraij
dalam periwayatan hadis. Dalam diskursus hadis periwayat seperti ini disebut
sebagai periwayat mubham.
Tentang hadis mubham, Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa hadis
yang periwayatnya tidak disebutkan dengan jelas merupakah salah satu hadis
yang tidak bisa diterima, dengan alasan karena syarat utama diterimanya suatu
hadis periwayatnya harus memiliki kredibilitas yang baik. Menurut Ibnu Hajar,
bagaimana akan diketahui kredibilitasnya jika namanya saja tidak diketahui. Ibnu
Hajar menambahkan bahwa walaupun periwayat hadis tersebut dimubhamkan
dengan menggunakan ungkapan ta’di>l, seperti akhbarani> s|iqah, hadisnya tetapi
tidak bisa diterima. Karena, menurut Ibnu Hajar, bisa jadi periwayat mubham
tersebut dinilai kredibel oleh satu periwayat tapi tidak oleh periwayat lain.65
64 ‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983), h. 500
65 Ibnu Hajar ‘Asqalani, Nuzhah al-Naz}r, (Kairo: Daarul Ma’sur, 2011), h. 116
138
Dalam proses verifikasi, selain pendapat ulama sunni, peneliti juga
melakukan verifikasi pendapat ulama syiah tentang hadis mubham. Berdasarkan
konfirmasi peneliti terhadap beberapa kitab ilmu hadis karya ulama syiah,
penulis tidak menemukan terminologi hadis mubham dalam sub-bab yang
terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Tetapi dalam sub-bab kitab-kitab tersebut
ulama syiah menulis sub-bab dengan ungkapan iz|a> qa>l s|iqah h}addas|ani> s|iqah (jika
seorang periwayat s|iqah berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang periwayat
s|iqah) atau iz|a> qa>l ‘adl h}addas|ani> ‘adl (jika seorang periwayat ‘adl berkata telah
meriwayatkan kepadaku seorang periwayat ‘adl). Ungkapan-ungkapan seperti
itu, dalam kajian ilmu hadis sunni masuk di pembahasan hadis mubham.
Di sini peneliti akan menampilkan dua pendapat ulama syiah yang
berkaitan dengan hadis mubham.
Pertama, pendapat Zainuddin Al-‘Amiliy (w. 911 h.), yang dikenal
dengan sebutan al-Syahi>d al-S|a>ni> :
هونتعندمالبهاذتوارلبمفالعذلكفكلمة قثثنةحدقذاقالالثإ
تمتس ثقةنووازكجله, وغره اطعنده, قد هوجارحهحرعلجلعه بما
66عندهلوعلمبه
Jika seorang periwayat s|iqah, berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang
periwayat s|iqah maka hal itu tidak cukup menjadi dasar untuk mengamalkan
hadis yang diriwayatkannya. Karena pada dasarnya dalam periwayatan
seorang periwayat harus diketahui dan disebutkan namanya. Karena jika
tidak jelas seperti ini ada kemungkinan dia siqah menurut sebagian dan cacat
menurut yang lainnya lagi.
Kedua, pendapat ‘Abd al-Razza>q ibn ‘Aliy Rid}a> al-Hamda>ni> (w. 1338 h.).
dalam kitabnya dia berpendapat:
66 Zainuddin Al-‘Amili, al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah, (Qum: Al-Mufid, 1421 H.), h. 45
139
راطتعلاشبهبناءفاءتكقرباالفاألل نعدثحدالنداوالعلداذاقالالع
الع الردالة اوف تعذي االطمع العر ما تعسضعارعل او وعدمه ره
67.ضعارعلالمالعاالطكانمإاالكتفاءبهمع
Jika seorang periwayat ‘adl atau dua periwayat ‘adl berkata, telah
meriwayatkan kepadaku seorang periwayat yang ‘adl, maka pendapat yang
lebih dekat adalah sah mengamalkan riwayat tersebut, karena terpenuhinya
syarat ‘adl pada periwayat tersebut dan sulitnya mengidentifikasi
keberadaannya. Tetapi jika masih memungkinkan untuk identifakasi maka
periwayatan seperti ini tidak sah jika ada yang menyelesihinya.
Dari dua pendapat ulama syiah di atas bisa ada informasi bahwa ada
perbedaan pendapat tentang hadis mubham. Pendapat yang menerima hadis
mubham berdasar pada alasan bahwa sulitnya mengidentifikasi identitas
periwayat tersebut. Tetapi jika masih memungkinkan untuk identifikasi dan ada
penilaian yang meyelesihinya maka riwayat seperti ini tidak bisa diterima. Oleh
karena itu, oleh ulama syiah lainnya seperti Hasan Shadr Al-Kazhimi (w. 1354
h.) riwayat seperti ini tidak dikategorikan hadis hasan apalagi hadis s}ah}i>h>.68
Dari pendapat-pendapat di atas, hadis tentang keberatan sahabat Ali bin
Abi Thalib terhadap fatwa sahabat Umar bin Khottab yang termuat dalam kitab
Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q adalah jenis hadis mubham. Karena dalam rantai
periwayatannya ada periwayat yang tidak disebutkan namanya. Menurut ulama
hadis sunni jenis hadis seperti ini tidak bisa diterima. Begitu juga dengan ulama-
ulama syiah. Walau pun ada perbedaan pendapat, tapi status hadis tersebut tidak
sampai derajat hasan dan s}ah}i>h.
67 ‘Abd al-Razza>q al-Hamda>ni>, al-Waji>zah fi> ‘Ilm Dira>yah al-H}adi>s|, dalam Abu> al-Fad}l H}a>fizya>n al-Ba>bali>, Rasa>’il fi ‘Ilm Dira>yah, jld. 2, (Qum: Daarul Hadis, 1424 H.), h. 565
68 Hasan Shadr Al-Kazhimi, Niha>yah al-Dira>yah, (T.Kot: Maktabah Mu’min Quraisy,
th.), h. 422
140
Selain Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q, hadis tentang keberatan sahabat Ali bin
Abi Thalib, sanad lengkapnya bisa ditelusuri dalam tafsir al-T}abari> karya Ibnu
Jarir Al-T}abari>. Hadis tersebut dalam kitab tafsir al-T}abari > diriwayatkan oleh
Muh}ammad ibn al-Mus|anna, dari Muhammad ibn Ja’far, dari Syu’bah, dari al-
H}akam, dan dari ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib.
Pertama, Muh}ammad ibn al-Mus|anna. Muh}ammad ibn al-Mus|anna
memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn al-Mus|anna ibn ‘Ubaid ibn Qais dan
memiliki nama kunyah Abu> Mu>sa> al-Bas}ri>. Muh}ammad ibn al-Mus|anna lahir
pada tahun 167 h. dan meninggal pada tahun 252 h. Dalam periwayatan hadis
Muh}ammad ibn al-Mus|anna berguru kepada Muhammad ibn Ja’far, Sufya>n ibn
‘Uyainah, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi> dan lain sebagainya. Adapun para
periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari Muh}ammad ibn al-Mus|anna
adalah Abu> Ha>tim al-Ra>zi>, Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ja’far ibn Muh}ammad al-Farya>bi>
dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam periwayatan hadis Muh}ammad ibn al-
Mus|anna banyak mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis. Menurut
Ahmad bin Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah seorang periwayat s|iqah.
Sedangkan menurut Muh}ammad ibn Yahya al-Naisa>bu>ri> Muh}ammad ibn al-
Mus|anna adalah periwayat yang riwayat-riwayatnya bisa dijadikan dasar
argumentasi.
Kedua, Muh}ammad ibn Ja’far. Muh}ammad ibn Ja’far memiliki nama
lengkap Muh}ammad ibn Ja’far al-Haz|l dan memiliki nama kunyah Abu> ‘Abdillah
al-Bis}ri>. Muh}ammad ibn Ja’far meninggal pada tahun 193 h. dalam periwayatan
hadis Muh}ammad ibn Ja’far berguru kepada Syu’bah ibn H}ajja>j, yang sekaligus
menjadi ayah angkatnya, Sufya>n al-S|auri>, ‘Abd al-Malik ibn Juraij, dan
141
periwayat-periwayat lainnya. Adapun periwayat hadis yang meriwayatkan hadis
dari Muh}ammad ibn Ja’far adalah Muh}ammad ibn al-Mus|anna>, Ah}mad ibn
Hanbal, Ish}a>q ibn Ra>hawih, dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam
periwayatan hadis Muh}ammad ibn Ja’far mendapatkan penilaian positif dari
para kritikus hadis. Abu H}a>tim al-Ra>zi> menilai bahwa riwayat-riwayat yang
disandarkan kepada Syu’bah melalui jalur Muh}ammad ibn Ja’far dari lebih
dipercaya. Senada dengan Abu H}a>tim al-Ra>zi>, Ibn al-Muba>rak memberi
pandangan bahwa jika terjadi perselisihan tentang riwayat Syu’bah, maka
merujuklah kepada kitab Muh}ammad ibn Ja’far.
Ketiga, Syu’bah ibn Hajja>j. Tentang biografi Syu’bah ibn Hajja>j telah
penulis jelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Keempat al-H}akam ibn ‘Utaibah. Pembahasan biografi al-H}akam ibn
‘Utaibah adalah pembahasan yang cukup rumit di kalangan para kritikus hadis.
Pasalnya, nama al-H}akam ibn ‘Utaibah menuai ragam interpretasi. Perdebatan
tentang biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah bertitik dua nama ulama Islam yang
muncul di era tabi’in, yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan nama kunyah Abu>
Muh}ammad al-Kindi> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s. Selain hudup di era
yang sama, kedua ulama tersebut juga berasal dari negara yang sama yaitu
Kufah.69
Menurut penuturan Ibnu Hajar ‘Asqalani, Al-Bukha>ri>, Al-Kalbiy, dan
ahl al-nasab bersepakat bahwa dua nama di atas adalah merupakan nama untuk
satu orang ulama.70
Sedangkan menurut Ibn al-Jauzi>, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-
69Ibn H>}ajar al-Asqala>ni<, Taqri>b al-Tahz|i>b, h. 263
70 Ibn H>ajar al-‘Asqalani>, Lisa>n al-Mi>za>n, Jld. 3, (Beirut: Daarul Basya’ir, 2002), h. 249
142
Nahha>s berbeda dengan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>>. al-H}akam ibn ‘Utaibah
al-Nahha>s bukan seorang periwayat hadis, tetapi seorang qa>d}i. Dan ini menjadi
salah satu ketidak-akuratan Imam Bukhori dalam menjelaskan biografi al-H}akam
ibn ‘Utaibah.
Dalam hal ini, peneliti cukup kesulitan dalam melakukan tarji>h pendapat
tentang biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah. Di sini penulis mencoba berhipotesis.
Jika yang dimaksud al-H}akam ibn ‘Utaibah pada hadis keberatan sahabat Ali bin
Abi Thalib tersebut adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s, maka jelas bahwa
riwayat ini terputus dari rantai periwayatan. Pasalnya, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-
Nahha>s, sebagaimana penuturan al-Z|ahabi>, tidak meriwayatkan satu hadis pun.71
al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s adalah seorang qad}i> di kota Kufah
menggantikan qad}i< sebelumnya yaitu Ibn al-Asywa’.72
al-H}akam ibn ‘Utaibah, jika yang dimaksud adalah al-H}akam ibn
‘Utaibah seorang ulama besar yang terlibat dalan periwayatan hadis, berarti dia
adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>>, yang memiliki nama kunyah Abu>
Muh}ammad al-Ku>fi>y. Abu> Muh}ammad al-Ku>fi>y lahir pada tahun 50 h. dan
meninggal pada tahun 115 h. Dalam periwayatan hadis al-H}akam ibn ‘Utaibah
berguru kepada ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Ibra>hi>m al-Nakha>’i>,
Abu> Ja’far Muh}ammad ibn ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Mus}’ab ibn
Sa’d ibn Abi> Waqqa>s}, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para
periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah
71 Al-Z|ahabi>, al-Ka>syif, (Jeddah: Daarul Qiblah, 1992), h. 345
72 Waki>’, Akhba>r al-Qud}a>h, Jld. 3, (Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th ), h. 22-23
143
Syu’bah ibn H}ajja>j, Aba>n ibn S}a>lih}, H}ajja>j ibn Di>na>r, dan periwayat-periwayat
lainnya. Dalam periwayatan hadis, al-H}akam ibn ‘Utaibah banyak mendapatkan
penilaian positif dari para kritikus hadis. Menurut Yah}ya> ibn Ma’i>n periwayat al-
H}akam ibn ‘Utaibah adalah periwayat yang s|iqah. Sedangkan menurut Ah}mad
ibn ‘Abdilla>h al-‘Ajali>, al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah periwayat yang s|iqah dan
s|abat. Begitu juga menurut Ibnu Hajar dalam, sebagaimana mengutip pendapat
al-Nasa>’i>, bahwa al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah seorang periwayat s|iqah. Tetapi
Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Ibn Sa’d bahwa periwayat al-H}akam ibn
‘Utaibah terkadang melakukan tadli>s.73 Jika al-H}akam ibn ‘Utaibah melakukan
tadli<s , berarti tadli<s tersebut dilakukan atas nama sahabat Ali bin Abi Thalib.
Karena sebagaimana dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, hadis tentang keberatan
sahabat Ali akan fatwa sahabat Umar bin Khatab, riwayatnya disandarkan
kepada sahabat Ali bin Abi Thalib.74
Berangkat dari penuturan Ibn Sa’d yang dikutip oleh Ibnu Hajar tentang
tadli>s al-H}akam ibn ‘Utaibah, penulis mencoba melakukan komparasi biografi
Ali bin Abi Thalib dan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Menurut penuturan ‘Abd al-
Malik ibn H}usain, seorang ahli sejarah, Ali bin Abi Thalib meninggal pada tahun
40 h. Sedangkan al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah dijelaskan, lahir pada
tahun 50 h. Artinya ada jarak waktu lima tahun di antara dua periwayat hadis
tersebutyang tidak memungkan terjadi pertemuan atau berada di satu zaman. Di
beberapa kitab biografi periwayat hadis, nama Ali bin Abi Thalib tidak ada
73 Ibnu Hajar, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 1, h. 467
74 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10
144
dalam urutan nama-nama guru periwayatan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sejauh
penelusuran penulis, tidak ada kitab biografi periwayat hadis yang
mencantumkan nama sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai guru periwayatan hadis,
kecuali nama cucunya sendiri, yaitu Ali bin Husain bin Ali yang dikenal dengan
sebutan Zain al-‘Abidi>n.
Dari estimasi data-data di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadis yang
menjelaskan keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib terhadap fatwa sahabat Umar
bin Khattab terjadi keterputusan rantai periwayatan. Dalam arti, hadis tersebut
bukan pernyataan sahabat Ali bin Abi Thalib sebagaimana penilaian Ja’far
Subhani dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani
menerima hadis yang sanadnya tidak bersambung kepada sahabat Ali bin Abi
Thalib. Maka, menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z}ami>, Ja’far Subhani
tidak melakukan langkah kritik periwayat-periwayat hadis, al-naqd al-salabi> li
ma’rifah ‘ada>lah al-ruwa>h. Selain itu, pemikiran Ja’far Subhani tentang
keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib atas fatwa Umar bin Khattab tidak bisa
disebut sebagai pemikiran yang valid. Karena pemikirannya tentang hal ini, tidak
sesuai dengan teori ilmiah yaitu ilmu jarh} wa ta’di>l, sehingga belum memenuhi
persyaratan teori kebenaran korespondensi.
D. Hadis-hadis D}a’i>f tentang Penghapusan Nikah Mut’ah
Pembahasan yang menjadi titik sentral perdebatan legalitas nikah mut’ah
adalah keberadaan penghapusan (naskh). Menurut ulama Sunni, telah terjadi
penghapusan hukum dalam legalitas nikah mut’ah. Sedangkan menurut ulama
Syiah, praktek nikah mut’ah masih diperbolehkan dalam kasus-kasus tertentu.
Dalam hal ini, menurut Ja’far Subhani, penghapusan nikah mut’ah tidak pernah
145
terjadi, kecuali diinformasikan oleh riwayat-riwayat yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Berkaitan dengan hal ini, Ja’far Subhani, dalam
kitabnya, Mut’ah al-Nisa>’, menilai adanya hadis-hadis dho’if dalam kajian nikah
mut’ah terutama dalam masalah penghapusan legalitas hukumnya.
Hadis-hadis yang dinilai tidak s}ah}i>h} dan tidak argumentatif dalam
penghapusan legalitas nikah mut’ah adalah hadis Mira>s|, hadis Khoibar, dan hadis
pengahpusan ayat mut’ah. Hadis Mira>s| adalah hadis riwayat Ibnu Mas’ud yang
menjelaskan bahwa nikah mut’ah tertolak legalitasnya dengan t|ala>q nikah, mi>ra>s|,
dan nafaqah. Hadis Khoibar adalah hadis yang menjelaskan larangan Nabi saw
tentang nikah mut’ah dan memakan daging keledai kampung yang disampaikan
oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Terakhir adalah hadis yang menjelaskan
terjadinya penghapusan ayat mut’ah dengan ayat t\ala>q, mira>s\, ‘iddah, dan
nafaqah.75
1. Hadis Mira>s| Riwayat Ibnu Mas’ud
Hadis yang dinilai tidak argumentatif dan tidak valid oleh Ja’far Subhani
adalah:
قالالمدللابنمسعود عنعب الطخسنعةمنسوخة ت: داقالقوالصها
76اثرةوالمدوالع
Dari Ibnu Mas’ud dia berkata bahwa mut’ah dihapus. Yang
menghapusnya adalah t}ala>q, s{ada>q, ‘iddah, dan mira>s|.
75 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 85-90
76Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 87
146
Sebagaimana keterangan dalam kitab Mut’ah al-Nisa<’, hadis tersebut
terdapat pada kitab hadis Sunan al-Baih|a>qi>, Ibn al-Munz|ir, dan Mus}annaf ‘Abd
al-Razza>q
Riwayat al-Baihaqi>:
مسعودبنللاعبدعنللاعبدصحابأعنمكالحنعةؤطرابناجالحج
77راثوالمةدوالعداقوالصالقالطهاخسنةوخسنمعةتالمقال
Al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, dari al-H}akam, dari sahabat-sahabat Abdullah, dari
Abdullah ibn Mas’u>d. Dia berkata mutlah itu terhapus. Dihapus oleh
talak, sida>q, ‘iddah, mi>ra>s|.
Riwayat ‘Abd al-Razza>q:
ثعشاألأخبرنقالرامعمثدحرجالتعوسماقالرزبدعقال
علعنثارالحعنحدثإسحاقأبااعمسأنهماأرطاةبناجوالحج
المتعةخسوندقة صلكالزكاةونسختم وصلكرمضانخسنقالأنه
عنمحمدعنثدحالحجاجغرعتوسمقالوالمراثوالعدةالطالق
ح بذكلةحلضاتخسونقالعل78
‘Abd al-Razza>q berkata bahwa aku mendengar seorang laki-laki
meriwayatkan kepada Ma’mar, telah memberitakan kepadaku Asy’as| dan
al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, mereka berdua mendengar Abu> Ish}a>q meriwayatkan
kepada al-H}a>ris|, dari Ali bahwa Ali berkata puasa Ramd}an menghapus
segala puasa, zakat menghapus segala bentuk sadaqah, dan mut’ah
terhapus oleh hukum ‘iddah, t}alaq, dan mi>ra>s|.
Dua riwayat di atas, pada dasarnya memiliki makna yang sama. Yaitu
terhapus legalitas nikah mut’ah.
77
Al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra>, jld. 7, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2003), h. 339
78 ‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983), h. 505
147
Kembali ke periwayatan al-Baih}a>qi>\, hadis ini diriwayatkan melalui jalur
periwayatan al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah dari H}akam dari sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud.
Dalam sanad Baih}a>qi> lainnya, periwayat H}akam langusng meriwayatkan dari
sahabat Ibnu Mas’ud, tidak meriwayatkan melalui sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud.
Oleh karena itu, maka penting untuk menjelaskan biografi perwayat-periwayat
hadis tersebut.
Pertama al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah. al-H}ajja>j ibn Art}a’ah memiliki nama
kunyah Abu> Art}a’ah. Menurut Imam Nawawi, al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah adalah
seorang atba>’ al-ta>bi’i>n yang berguru kepada al-Zuhri>, Qatadah, al-Sya’bi’, dan
lain sebagainya. al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah meninggal pada tahun 149 h. Para kritikus
hadis seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, dan Yahya bin Ma’in menilai al-
H}ajja>j ibn Art}a>’ah sebagai periwayat lemah dan suka melakukan tadli>s.79
Kedua periwayat al-H}akam. Menurut periwayatan Baih}aqi>, al-H}akam di
sini maksudnya adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya al-H}akam ibn ‘Utaibah dalam dunia periwayatan hadis tidak terlepas
dari dua nama yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah
al-Nahha>s\. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam perwayatan
hadis, kedua periwayat ini tidak bisa diterima periwayatannya. Karena al-H}akam
ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dinilai tidak pernah hidup sewaktu dengan para sahabat
senior.al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah dijelaskan, lahir pada tahun 50
h. sedangakan sahabat Ibnu Mas’ud meninggal pada tahun 32 h80
. Artinya ada
79Syamsuddin al-Z|ahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 1530
80 Sholahuddin Al-S}afadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jld. 17, (Beirut: Dar Ihya Turas|, 2000),
h. 326
148
jarak waktu 18 tahun di antara dua periwayat hadis tersebut yang tidak
memungkinkan terjadi pertemuan atau berada di satu waktu. Adapun al-H}akam
ibn ‘Utaibah al-Nahha>s\ adalah seorang hakim yang tidak berkecimpung di dunia
periwayatan hadis.
Dari hasil kajian sanad di atas, penulis dalam hal ini sepakat dengan Ja’far
Subhani bahwa hadis mi>ra>s| yang menginformasikan penghapusan nikah mut’ah
adalah riwayat d}a’i >f dan tidak bisa diterima sebagaimana berdasar pada standar
ilmu hadis. Terlebih, para ulama telah membentuk sebuah budaya yang positif
dalam menerima hadis. Selektif dalam menerima hadis-hadis hukum, terutama
yang berkaitan halal-haram, dan mempermudah dalam menerima hadis-hadis
keutaman ibadah.
Sampai di sini, penulis telah menemukan dua periwayatan hadis yang di
dalamnya terdapat periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan penilaian berbeda
terhadap hadis periwayatannya. Sehingga dalam hal ini, penulis menilai telah
terjadi sikap inkonsistensi dalam penilaian hadis oleh Ja’far Subhani.
Berdasarkan teori kritik sanad, Ja’far Subhani tidak teliti dalam menilai sebuah
hadis sehingga terjadi inkonsistensi dalam penilaian hadis. Hadis keberatan
sahabat Ali bin Abi Thalib atas fatwa sahabat Umar bin Khattab diterima oleh
Ja’far Subhani. Padahal dalam riwayat tersebut terdapat periwayat hadis al-
H}akam ibn ‘Utaibah. Sehingga dalam kasus ini, pemikiran Ja’far Subhani tidak
sesuai dengan teori kebenaran koherensi. Karena ada pemikiran yang tidak
konsisten.
149
2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi Thalib
Selanjutnya, hadis yang dinilai dho’if oleh Ja’far Subhani adalah hadis
yang menjelaskan larangan atau penghapusan legalitas nikah mut’ah pada hari
Khoibar. Hadis Khoibar yang dikutip dan ditanggapi Ja’far Subhani adalah:
عنع عةتىعنمهللاصلىللاعلهوسلمنسولبنأبطالبأنرل
81ةسراإلنمالحومحللكروعنأبخالنساءوم
Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah
mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai
kampung.
Hadis di atas, sebagai mana penuturan Ja’far Subhani diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam bab nikah mut’ah.82
Berdasarkan riwayat Imam Muslim, hadis tersebut diriwayatkan oleh
Yahya bin Yahya, dari Malik dari Syihab Al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan, dari
Muhammad bin Ali, dari Ali bin Abi Thalib.
Periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya>. Yah}ya> ibn Yah}ya memiliki nama kunyah
Abu> Zaka>riya> al-Tami>mi>. Yah}ya> ibn Yah}ya lahir pada tahun 142 h. dan
meninggal pada tahun 226 h. dalam periwayatan hadis Yah}ya> ibn Yah}ya berguru
kepada Ma>lik ibn Anas, Kas|i>r ibn Sali>m, Muslim ibn Kha>lid, dan periwayat-
periwayat lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan hadis kepadanya adalah Imam
Al-Bukha>ri>, Imam Muslim, Muh}ammad ibn al-Ra>fi’ al-Qusyairi>, dan periwayat-
periwayat lainnya. Yah}ya> ibn Yah}ya mendapatkan penilaian-penilaian positif
81 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
82Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
150
dari para kritikus hadis. Di antaranya al-Nasa>’i> yang menilai bahwa Yah}ya> ibn
Yah}ya adalah seorang periwayat s|iqah.83
Periwayat-periwayat setelahnya adalah para imam dalam bidang hadis
yang kredibilatasnya sudah tidak dipermasalahkan. Sehingga di sini penulis
mencukupkan penelitian pada periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya saja.
Jika mempertimbangkan kualitas periwayat-periwayat hadis, hadis
khaibar memiliki sanad yang kuat dan diterima oleh semua kritikus hadis. Dalam
hal ini, Ja’far Subhani, tidak mempertimbangkan kualitas sanad tersebut. Dalam
kitabnya, Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani tidak memberikan uraian argumentasi
tentang validitas hadis ini. Ja’far Subhani mencukupkan diri dengan penilaian
bahwa hadis khaibar ini statusnya adalah bohong atas nama sahabat Ali bin Abi
Thalib.84
Dalam kajian hadis Sunni, hadis khaibar mendapatkan perhatian yang
cukup intens. Tidak sedikit para kritikus hadis memberikan kritik terhadap hadis
tersebut, terutama kritik pada aspek matannya. Permasalahan yang menjadi titik
sentralnya adalah perbedaan pandangan tentang kedudukan yaum khaibar atau
zaman khaibar sebagai keterangan waktu untuk larangan memakan daging
keledai, atau keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah, atau keterangan
waktu untuk larangan keduanya.
83 Syamsuddin Al-Z|ahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4213
84 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
151
Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat di atas, bahwa Nabi saw telah
melarang nikah mut’ah dan makan daging keledai di saat perang Khaibar. Hadis
yang diriwayatkan oleh para imam hadis, seperti Imam Muslim dan Imam
Bukhari ini, banyak menuai respons para kritikus hadis.
Secara tekstual hadis di atas menjelaskan bahwa keterangan waktu yaum
khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah. Tetapi menurut
pendapat yang dikutip al-Baih}aqi> bahwa Sufya>n ibn ‘Uyainah menilai bahwa
keterangan waktu tersebut adalah keterangan waktu untuk larangan makan
daging keledai, bukan keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah.
Pandangan ini merujuk kepada hadis riwayat Imam Bukhari.85
Tetapi dalam
riwayat Sufya>n bin ‘Uyainah lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab
S}ah}i>h} Muslim dijelaskan bahwa secara tekstual keterangan waktu tersebut
berkaitan dengan larangan nikah mut’ah. Bahkan menurut riwayat Imam Muslim,
dalam riwayat lain, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari
Zuhri, Rasulullah bersabda secara tegas tentang larangan nikah mut’ah pada saat
Khaibar. Tetapi dalam riwayat lainnya, Sufyan bin ‘Uyainah juga meriwayatkan
dari Zuhri bahwa Rasulullah saw melarang makan daging keledai pada saat
Khaibar, dan nikah mut’ah setelahnya.86
Sejauh penelitian, penulis belum menemukan tarji>h al-dala’il tentang
pemaknaan yang lebih tepat untuk hadis ini, kecuali pandangan Ibn ‘Abd al-Barr
yang menyatakan bahwa mayoritas orang berpendapat bahwa keterangan waktu
85Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, jld. 10, h. 165
86Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165
152
yaum khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan makan daging keledai,
bukan keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah. Selain itu, Ibnu Hajar
mengutip pendapat al-Suhaili> yang mengatakan bahwa laranagan nikah mut’ah di
perang Khoibar tidak diketahui oleh para ahli sejarah dan ahli periwayatan.
Menurut perselisihan dalam hal ini, faktornya adalah terjadi taqdi>m wa ta’khi>r
dalam riwayat Zuhri. Selain itu, Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibn al-Qayyim
yang menegaskan bahwa para sahabat tidak pernah melakukan mut’ah dengan
para wanita yahudi. Atas dasar ini, menurut Ibn al-Qayyim, maka larangan belum
pernah terjadi pada perang Khoibar. Kecuali praktek mut’ah yang dilakukan oleh
orang-orang dari suku Aus dan Khazraj sebelum Islam datang.87
Dari pemaparan Ibn al-Qayyim yang dikutip dalam Fath} al-Ba>ri>, penulis
berpendapat bahwa pada saat perang Khoibar belum ada larangan nikah mut’ah.
Jadi keterangan waktu yaum khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan
makan daging keledai.
Kembali kepada penilaian Ja’far Subhani tentang kelemahan hadis
khaibar. Di sini penulis mencoba memaparkan perbedaan pandangan antara
penulis dengan Ja’far Subhani. Ja’far Subhani menilai bahwa hadis khaibar yang
diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah riwayat bohong.88
Bohong atas
nama sahabat Ali. Dengan alasan bahwa sahabat Ali telah memperlihatkan
ketidak-setujuannya atas penghapusan nikah mut’ah sebagai dalam riwayat
tentang keberatan sahabat Ali atas fatwa sahabat Umar bin Khattab. Kedua
87
Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165
88 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
153
Ja’far Subhani berpendapat sebagaimana pendapat penulis, bahwa di perang
Khaibar belum terjadi larangan nikah mut’ah. Dengan dua alasan ini, Ja’far
Subhani menolak hadis Khaibar yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib.
Sedikit berbeda dengan pandangan Ja’far Subhani, penulis menilai bahwa
hadis Khaibar dengan kualitas sanad yang kuat tidak bisa ditolak. Karena sudah
jelas periwayat-periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut adalah periwayat
s}iqah dan sebagian besar adalah imam dalam periwayatan hadis, seperti Ibnu
Syihab, Malik, dan Muslim. Selain itu tidak ada yang mempermasalahkan sanad
hadis tersebut. Selanjutnya tentang perbedaan para ulama tentang keterangan
waktu yaum khaibar adalah perbedaan riwa>yah bi al-ma’na> yang masih diakui
dan diterima perbedaannya. Terlebih lagi, ada pendapat yang menguatkan bahwa
ahli sejarah dan ahli periwayatan telah menyatakan bahwa di perang khoibar
belum ada larangan nikah mut’ah. Jadi, dalam hal ini penulis tetap menerima
hadis khoibar dengan ragam periwayatannya.89
Berdasarkan analisis pemikiran Ja’far Subhani di atas, di sini penulis
menilai bahwa Ja’far Subhani melakukan fabrikasi, menilai sebuah hadis lemah
bahkan bohong atas nama Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak ada dasar yang
membuktikannya. Sehingga penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani
keluar dari etika teori-teori kritik hadis dan juga tidak sesuai dengan teori
kebenaran korespondensi karena penilainnya tentang hadis tidak berdasar pada
teori-teori ilmu hadis.
89
Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165
154
3. Hadis penghapusan nikah mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa telah terjadi penghapusan
ayat nikah mut’ah, fa> ma> istamta’tum bihi> dengan ayat fa t}alliqu>hunn li
‘iddatihinn. Salah satu riwayatnya disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.
Dalam hal ini Ja’far Subhani menolak periwayatan tersebut dengan alasan bahwa
sahabat Ibnu ‘Abbas adalah murid sahabat Ali bin Abi Thalib yang dipastikan
lebih paham tentang maksud ayat-ayat Al-Qur’an dari sekedar ayat mut’ah
dihapus dengan ayat t}ala>q dan ‘iddah, karena praktek nikah mut’ah sendiri ada
‘iddahnya.90
Riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas tersebut
adalah:
هنأجورنههنفؤتونمبهمتعتتمهعزوجلفمااساسفقولنعبعناب
91هنتعدقوهنلفطلالنساءقتمهااأهاالنبإذاطلقالنسختفرضة
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunn,
menurut sahabat Ibnu ‘Abbas dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a>
t}allaqtum al-nisa>’ fa t}alliqu>hunn li’iddatihinn.
Periwayat Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j. Ah}mad ibn Muh}ammad
ibn al-H}ajja>j periwayat yang meninggal pada tahun 275 h. dan memiliki nama
kunyah Abu> Bakr al-Marwaz|i> . Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j dalam
periwayatan hadis berguru kepada Ah}mad ibn H}anbal, Ha>ru>n ibn Ma’ru>f, Suraij
ibn Yu>nus, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang
meriwayatkan hadis dari Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah
Muh}ammad ibn ‘I<sa> al-Wali>d, Abu> H}a>mid Ah}mad, dan periwayat-periwayat
90
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
91Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 88
155
lainnya. Menurut al-Z}ahabi> , Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah seorang
ima>m, ahli hadis, dan sahabat Ah}mad ibn H}anbal yang wara’. 92
Periwayat Yah}ya> ibn Sulaima>n. Yah}ya> ibn Sulaima>n memiliki nama
kunyah Abu> Sa’i>d al-Ju’fi>. Yah}ya> ibn Sulaima>n meninggal pada tahun 237 h.
Yah}ya> ibn Sulaima>n , dalam periwayatan hadis berguru kepada al-Da>ra>wardi> dan
yang berguru kepadanya adalah Imam Bukhori dan Hasan bin Sufyan. Menurut
al-Nasa>’i> , Yah}ya> ibn Sulaima>n adalah periwayat yang tidak s|iqah.93
Periwayat ‘Aliyy ibn Ha>syim. ‘Aliyy ibn Ha>syim, menurut al-Z|ahabi>
adalah seorang pengikut syiah yang memiliki nama kunyah Ibn al-Bari>d dan
meninggal pada tahun 183 h. Menurut Ibnu Ma’in dan Ali Madini, ‘Aliyy ibn
Ha>syim adalah seorang periwayat s|iqah.94
Periwayat ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni
meninggal pada tahun 155 h. dan memiliki nama kunyah Abu> Mas’u>d. ‘Usma>n
ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni meriwayatkan hadis dari ayahnya sendiri, yaitu ‘At}a>’ al-
Khurasa>ni>. Periwayat hadis yang mereiwayatkan hadis dari‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-
Khurasa>ni adalah Muh}ammad ibn Syu’aib, Wali>d ibn Muslim, dan periwayat-
periwayat lainnya. Menurut Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni,
periwayat yang hadisnya tidak kuat dan tidak bisa dijadikan argumen.95
92Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 915
93 Syamsuddin Al-Dimasqi, al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu> riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah,
jld. 2, (Jeddah: Muassasah Ulumul Qur’an, 1992), h. 367
94 Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2876
95 Abu Hatim, al-Jarh} wa al-Ta’di>l, jld. 6, (Beirut: Darul Kutub, 1952), h. 162
156
Periwayat ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, nama lengkapnya
adalah Ibn Abi> Muslim. Lahir pada tahun 50 h. dan meninggal pada tahun 135 h.
‘At}a>’ al-Khurasa>ni, dalam periwayatan hadis berguru kepada sahabat Abu
Darda’, Ibnu ‘Abbas, Mughirah bin Syu’bah dan periwayat-periwayat lainnya.
Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari ‘At}a>’ al-Khurasa>ni adalah
Ma’mar, Syu’bah, Malik, dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam penilaian para
kritikus hadis, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni mendapatkan penilaian berbeda. Menurut
Ibnu’ Ma’in, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni> adalah seorang yang s|iqah. Tetapi menurut
Daruquthni, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni tidak bertemu dengan sahabat Ibnu ‘Abbas
dalam arti telah melakukan tadli>s dalam periwayatan hadis.96
Periwayat Ibn ‘Abba>s.97
Berdasarkan data biografi dan penilaian para kritikus hadis terhadap
perwiayat-periwayat hadis di atas, penulis menilai bahwa riwayat di atas
memiliki rantai periwayatan yang tidak kuat. Selain ada periwayat yang
melalukan tadli>s, juga ada periwayat lain yang tidak dijadikan sandaran
periwayatannya, yaitu ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. Tetapi penulis masih
menemukan riwayat kuat yang semakna dengan hadis ini. Yaitu hadis riwayat
Ibnu Hibban.
وروىسالمعنعبدللابنعمرأنعمربنالخطابصعدالمنبرفحمد
المتعةوقدنهىرسول بالرجالنكحونهذه ما للاوأثنىعله،وقال:
96Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2689
97 Penulis mencukupkan tanpa penelitian tentang biografi dan pandangan kritikus hadis
tentang sahabat Ibnu ‘Abbash. Karena baik ulama Suni atau pun ulama Syiah, masing-masing
merespons positif terhadap sosok Ibnu ‘Abbash.
157
للاصلىللاعلهوسلمعنها؟،الأجدرجالنكحهاإالرجمتهبالحجارة،
وقال:هدمالمتعةالنكاحوالطالقوالعدةوالمراث
Salim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Umar bin
Khattab menaiki minbar kemudian memuji Allah swt dan Ibnu Umar
bertanya kepada Umar bin Khattab:‛bagaimana pendapatmu tentang para
lelaki yang melakukan nikah mut’ah sedangkan Nabi saw telah
melarangnya?‛Umar bin Khattab menjawab:‛aku akan tidak menemukan
laki-laki yang melakukan nikah mut’ah kecual aku rajam dengan batu‛
kemudian Umar bin Khattab berkata:‛telah membinasakan mut’ah, yaitu
nikah, tolak, iddah, dan pembagian waris‛
Selain itu, dalam pandangan Ibn H}ajar, hadis riwayat Ibn ‘Umar di atas
memiliki sya>hid yang kuat, yaitu riwayat Abu> Hurairah.98
Al-Syauka>ni>, dalam
Nail al-Aut}a>r, juga sependapat dengan Ibnu Hajar. Dia berpendapat bahwa hadis
tersebut termasuk hadis hasan. Menurutnya, keberadaan periwayat Mu’ammal
ibn Isma>’i>l yang dinilai lemah oleh Bukhari tidak dapat menurunkan derajat
hasan menjadi da’i>f. Karena hadis tersebut memiliki syawa>hid dalam riwayat
lainnya.99
Di antara syawa>hid hadis di atas adalah hadis Aisyah, istri Nabi saw:
ثا ىظ ح ودذ وهة ػ ثا ات دذ ا عه ذ قال ذ ت أد ت
ثا صانخ ثغح دذ ثا ػ ىظ دذ ػ ػشوج قال أخثش شهاب ات ت
ش ت انض صوج ػائشح أ ه وعهى أخثشذه انث ػه صه للا ف انكاح أ
انجاههح ذاء أستؼح ػه كا ها فكاح أ جم خطة انىو اناط كاح ي انش
جم إن كذها ثى فصذقها اتره أو ونره انش ش آخ وكاح جم كا قىل انش
طهشخ إرا اليشأذه ثها ي إن أسعه ط ه فاعرثضؼ فال وؼرضنها ي
ها وال صوجها غ در أتذا هها رث د جم رنك ي ه ذغرثضغ انز انش ي
98Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 169
99 Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Aut}a>r, (Beirut: Baitul Afkar, 2004), h\. 1202
158
ذ فإرا هها ث ا أدة إرا صوجها أصاتها د جاتح ف سغثح رنك فؼم وإ
انىنذ غ آخش وكاح االعرثضاع كاح انكاح هزا فكا هظ جر يا انش دو
انؼششج شأج ػه فذخهى هد فإرا صثها ههى ك ان ها ويش ووضؼد د ػه
تؼذ نال هها ذضغ أ هى أسعهد د هى سجم غرطغ فهى إن ي رغ أ در
ؼىا ذها جر انز ػشفرى قذ نهى ذقىل ػ كا اتك فهى ونذخ وقذ يشكى أ ي
ا فال ذغ ه أدثد ي غرطغ ال ونذها ته فهذق تاع رغ أ ته
جم اتغ وكاح انش غ انش انكثش اناط جر شأج ػه فذخهى رغ ال ان ذ ي
جاءها انثغاا وه ك صث ػه سااخ أتىاته ا ذكى ػه ف أساده
دخم ه هد فإرا ػه د هها ووضؼد إدذاه ؼىا د نهى ودػىا نها ج
تانز ذهاون أنذقىا ثى انقافح ته فانراط شو رغ ال اته ودػ رنك ي
ا ذ تؼث فه صه يذ ه للا كاح إال كهه انجاههح كاح هذو تانذق وعهى ػه
100انىو اناط
Diriwayatkan dari Ah}mad ibn S}a>lih}, dari ‘Anbasah, dari Yu>nus, dari Ibn
Syiha>b, dia berkata bahwa ‘Urwah ibn al-Zubair telah memeberitakan
kepadaku bahwa ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad saw memberitakan kepada
‘Urwah ibn al-Zubair bahwa:
Sesungguhnya nikah di zaman jahiliyya ada empat macam. Di antara nikah
model masyarakat sekarang, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau
anak perempuan kepada walinya kemudian membayar mahar dan
menikahinya. Bentuk pernikahan yang lain adalah seorang laki-laki berkata
kata kepada istrinya: ‚pergilah ke si fulan, kemudian minta untuk
digaulinya dan suaminya menjauhinya dan tidak menyentuhnya sehingg
istrinya tersebut jelas telah mengandung janin hasil dari hubungannya
dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, kemudian
suaminya tersebut melanjutkan hubungannya jika suami tersebut
menginginkannya. Hal ini betujuan untuk mendapatkan keturunan anak
yang cerdas. Nikah seperti ini disebut nikah istibd}a>’. Kemudian, ada juga
praktek nikah yang dilakukan oleh sejumlah laki-laki, kurang dari
sepuluhan, dan mereka melakukan hubungan badan dengan satu wanita.
Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anak, setelah beberapa
hari,wanita tersebut memanggil mereka dan tidak ada seorang pun di antara
yang menolak panggilan tersebut sehingga mereka pun berkumpul di rumah
wanita tersebut. Kemudian wanita tersebut berkata kepada laki-laki tadi:
‚sungguh kalian telah mengetahui urusan kalian, sedangkan aku sekarang
100
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, jld. 5, (Beirut: Dar Ibnu Kas|ir, th. ), h. 1970
159
telah melahirkan dan anak ini adalah anakmu wahai fulan‛. Kemudian
wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga
dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itu pun tidak boleh
menolaknya. Terakhir, praktek nikah yang dilakukan para laki-laki yang
melakukan hubungan badan dengan seorang wanita yang tidak akan
menolak setiap ajakan laki-laki tersebut yang mendatanginya, karena
mereka adalah para pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu
mereka sebagai tanda siapa yang menginginkannya maka diperbolehkan
masuk. Kemudian jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka para laki-
laki itu berkumpul di tempat tadi, dan mereka pun mendatangkan ahli
firasat, kemudian dihubungkanlah anak tersebut dengan ayahnya atas
anggapan ahli firasat tersebut. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil
sebagai anaknya, dan laki-laki yang terpilih tidak boleh menolaknya.
Kemudian setelah Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Rasul
dengan jalan yang benar, beliau menghapus semua praktek nikah jahiliyyah
tersebut kecuali nikah sebagaimana yang berjalan sekarang ini.
Setelah melakukan verifikasi terhadap kitab-kitab ulama Sunni, penulis
menilai bahwa riwayat Ibn ‘Abba>s tentang penghapusan ayat mut’ah dengan ayat
‘iddah memiliki kualitas lemah, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan
sanad periwayatannya. Tetapi selain hadis ini ternyata masih ada beberapa hadis
yang memiliki kualitas yang kuat yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah telah
dihapus dengan nikah, t}alaq, ‘iddah, dan pembagian waris. Sehingga hasil dari
verifikasi ini penulis berkesimpulan bahwa Ja’far Subhani belum melakukan
verifikasi riwayat-riwayat secara sempurna. Dalam istilah Mus}t}afa> al-A’z}ami>,
langkah mengumpulkan data secara sempurna (jam’ al-us}u>l ka>ffah) tidak
dilakukan oleh Ja’far Subhani. Sehingga kesimpulannya tidak korespondens
dengan data-data yang ada.
E. Kontradiksi Riwayat Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah
Ibn H}ajar Al-‘Asqala>ni> berpendapat ada enam waktu yang tersirat dalam
riwayat-riwayat pengharaman nikah mut’ah. Yaitu Khaibar, ‘Umrah al-Qad}a>’,
160
Fath} Makkah, Aut}a>s, Tabuk, Haji Wada’.101
Ja’far Subhani dalam karyanya
Mut’ah al-Nisa>’, menyebutkan lebih ringkas waktu-waktu pengharaman nikah
mut’ah menjadi empat. Yaitu Khaibar102
, Tanah Hawazin atau tahun Aut}a>s,
tanah Mekkah atau Fath} Makkah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat
bahwa telah terjadi kontradiksi dan kekacauan riwayat-riwayat (idt}ira>b) yang
menjelaskan pengharaman nikah mut’ah di waktu-waktu tersebut. Riwayat-
riwayat yang dinilai kontradiktif adalah:
1. Riwayat pengharaman di Khoibar. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far
Subhani mengutip riwayat Ali bin Abi Thalib:
عةتهىعنمرسولللاصلىللاعلهوسلمنأنلبنأبطالب عنع
103سةراإلنمومالححللبروعنأكمخوالنساء
Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah
mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai
kampung.
2. Riwayat pengharaman di tanah Hawazin. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’,
Ja’far Subhani mengutip riwayat Iya>s ibn Salamah:
صرسولللاصلىللاعلهوسلمرخ مةعنأبهقاللاسبنسعنإ
104هىعنهانمأوطاسفالمتعةثالثاثعام
101 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 166
102 Tentang pengharaman di Khaibar sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
103 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukha>ri> dalam kitabnya, bab ‚perang Khoibar‛
Tidak ada perbedaan redaksi antara kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab S}ah}i>h{ al-Bukha>ri>h.
104 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 93
Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi
yang samah.
161
Dari Iya>s ibn Salamah, dari ayahnya, berkata bahwa Nabi saw memberi
keringanan nikah mut’ah pada tahun Aut}a>s selama tiga hari kemudian
melarangnya.
3. Riwayat pengaharaman di Fath} Makkah. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa >’,
Ja’far Subhani mengutip riwayat Sabrah
أنأباهغعبنسببعنالر معرسولللاصلىللاعلهوسلمرة زا
نلنا)ثالثنبنللةووم(فؤذعشرةنابهاخمسفؤقم : مكةقالفتح
منأناورجلرسولللاصلىللاعلهوسلمفمتعةالنساءفخرجت
قال-الان-مامةمنالدمالوهوقرب فالجعلهفضل قومول
مهارسولللاصلىللاعلهوحتىحرمنهافلمأخرجثماستمتعت-
105سلم
Dari al-Rabi>’ibn Saburah, berkata bahwa ayahnya berperang bersama
Rasulullah saw pada Fath} Makkah dan kami bertinggal di Mekkah selama
15 hari. Kemudian Rasulullah mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah. Saya bersama seorang laki-laki dari kelompoku keluar. Dia
memiliki keistimewahan dalam hal rupa tetapi tidak istimewa dalam
penampilan. Sab\rah berkata: saya melakukan nikah mut’ah dan tidak
keluar dari kota Makkah sampai Rasulullah mengharamkannya.
Dalam tiga riwayat di atas, menurut Ja’far Subhani telah terjadi
kontradiksi bahkan terjadi kekacauan riwayat (id}t}ira>b). Penulis menilai, letak
kontradiksinya adalah terjadinya proses pengharaman nikah mut’ah di beberapa
tempat dan waktu yang berbeda. Sebagaimana pandangan Ja’far Subhani yang
mempertanyakan proses pengharaman tersebut bahwa, menurutnya, riwayat-
riwayat ini tidak mungkin untuk dilakukan kompromi. Pengharaman di Khoibar
105 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 94
Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi
yang samah.
162
terjadi sekitar tahun ke-7 h. Sedangkan pengharaman di Hawazin, tahun Aut}a>s,
dan pengharaman di Mekkah, Fath} Makkah,terjadi pada tahun ke-8 h. Menurut
Ja’far Subhani, perbedaan-perbedaan seperti ini tidak bisa dikompromikan106
dan
akan melahirkan keraguan tentang pengharaman bagi para pembaca.107
Selain menilainya sebagai riwayat yang kontradiktif, Ja’far Subhani lebih
cendrung terhadap data sejarah, dengan melihat pemaparan-pemaparan kitab-
kitab sejarah, terutama kitab sejarah Ibnu Hisyam. Hasil pembacaan terhadap
data sejarah Ibnu Hisyam tersebut, Ja’far Subhani berkesimpulan bahwa tidak
ada pernyataan pengharaman langsung dari Rasulullah saw yang berkaitan
dengan nikah mut’ah.108
Sebagaimana ulama-ulama Sunni, Ja’far Subhani juga menitik-beratkan
riwayat pengharaman nikah mut’ah pada dua riwayat. Yaitu riwayat Khaibar
dan riwayat Fath} Makkah.
Tentang riwayat khaibar, yang menjelaskan pengharaman nikah mut’ah,
baik Ja’far Subhani atau pun Ibnu Hajar mengambil sikap yang sama bahwa di
Khoibar tidak terjadi pengharaman nikah mut’ah. Karena berdasarkan pada
penelitian sejarah bahwa di Khoibar para sahabat tidak pernah melakukan nikah
mut’ah dengan kecuali orang-orang Yahudi yang telah bersosial dengan
kelompok Aus dan Khazraj sebelum Islam. Pada saat itu belum ada wanita-
wanita muslim. Menurut Ibnu Hisyam, Nabi saw hanya melarang empat hal pada
saat di Khoibar. Yaitu makan daging keledai piaraan, menggauli tawanan-tawana
106Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 95
107Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 103
108Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 96
163
yang hamil, makan daging binatang buas, dan menjual daging domba sampai ada
pembagian.109
Ulama-ulama Sunni pun berpendapat bahwa larangan-larangan yang
terkandung dalam riwayat Khoibar khusus pada larangan makan daging himar.
Adapun dua larangan Nabi saw yang disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi
Thalib kepada sahabat Ibnu ‘Abbas adalah sebuah penegasan karena pada saat itu
Ibnu ‘Abbas menghalalkan nikah mut’ah dan makan daging himar, padahal Nabi
saw melarangnya.110
Adapun larangan di Fath} Makkah, Ibn H}ajar dan Ja’far Subhani
memberikan pandangan yang berbeda. Ibnu Hajar berpendapat bahwa waktu
pengharaman nikah mut’ah adalah pada saat Fath} Makkah yang diharamkan Nabi
saw sampai hari kiyamat. Riwayat nikah mut’ah ketika ‘Umrah al-Qad}a>’ adalah
riwayat lemah, karena di dalam sanad periwayatannya terdapat periwayat Hasan
yang dinilai banyak melakukan irsa>l. Riwayat nikah mut’ah dalam perang Tabuk,
(hadam al-mut’ah al-nika>h} ), tidak dengan jelaskan menjelaskan adanya praktek
mut’ah pada saat itu, tetapi sebagai respons terhadap praktek mut’ah di zaman
terdahulu dan menjadi pesan bahwa praktek nikah mut’ah bukan yang
disyari’atkan dalam Islam. Adapun riwayat nikah mut’ah dalam Haji Wada’,
menurut Ibnu Hajar telah terjadi ikhtila>f dalam riwayatnya, sehingga yang paling
benar tentang pengharaman nikah mut’ah adalah di saat Fath} Makkah.111
109 Ibnu Hisyam, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Daarul Kitab Arabi, 1990) h.
279-280
110 Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 165
111 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 167
164
Tentang pengaharaman nikah mut’ah di Fath{ Makkah, Ja’far Subhani
berbeda pendapat dengan Ibnu Hajar. Sebagaimana pandangannya tentang
pengharaman di Khaibar, Ja’far Subhani berpendapat bahwa tidak pernah terjadi
pengharaman di nikah mut’ah di Fath} Makkah. Ja’far Subhani mendasarkan
pendapatnya pada informasi dari ahli sejarah. Menurut Ja’far Subhani
berdasarkan informasi dari ahli sejarah tidak ditemukan tentang pengaharaman
atau penghalalan nikah mut’ah. Pendapat Ja’far Subahni tersebut merupakan
hasil pembacaannya terhadap pidato Nabi saw pada saat Fath} Makkah, yang
dikutip dari kitab sejarah Ibnu Hisyam.112
Secara literal apa yang disimpulkan Ja’far Subhani adalah benar bahwa
dalam pidato Fath} Makkah kutipan dari Si>rah Ibn Hisya>m tidak ada
pengharaman atau pun penghalalan nikah mut’ah. Tetapi beberapa ahli sejarah
sepertiAbu> Qa>sim Al-Suhaili>,113 Ibn Kas|i>r,114
dan Ibn Qayyim115 menegaskan
bahwa informasi yang paling jelas tentang pengharaman nikah mut’ah adalah
pada saat Fath} Makkah yang diharamkan sampai hari kiyamat. Para ahli sejarah
tersebut mendasarkan pendapatnya atas hadis Ibn Numair riwayat sahabat Rabi’
bin Sabrah.116
Hadis tersebut pada dasarnya berada setelah beberapa hadis
112 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 98
113Abu Qasim Al-Suhaili, al-Raud} al-Unuf, jld. 4, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2009),
h. 75
114 Ibnu Katsir, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1876), h. 336
115 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Za>d al-Ma’a>d, jld. 3, (Beirut: Al-Risalah, 1998), h. 304
116 Hadisnya adalah:
ثنىا حد عمر بن العزز عبد ثنا أبىحد ثنا حد ر نم بن للا عبد بن د محم ثنا أباهحد أن الجهنى سبرة بن بع لر هكانمعرسولللا ثهأن ا»فقال-صلىللاعلهوسلم-حد اسإنىقدكنتأذنتلكمفىاالستمتاعمن هاالن أ
س خل فل شىء امةفمنكانعندهمنهن ومالق مذلكإلى قدحر للا شالنساءوإن تموهن اآت ئابلهوالتؤخذوامم
165
dengan hadis yang sama, yaitu riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu
hadis setelahnya yang semakna dengan hadis tersebut menjelaskan bahwa
pengaharaman nikah mut’ah yang terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah
disampaikan Nabi saw ketika berada di rukun hajar aswad dan pintu ka’bah.117
Berdasarkan analisis data di atas, penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far
Subhani tentang adanya kontradiksi riwayat pengharaman nikah mut’ah dan
tidak pengharaman pada saat Fath} Makkah adalah kesimpulan yang terkonstruksi
oleh analisis yang tidak sempurna dan terkesan tergesa-gesa dalam
menyimpulkan. Sehingga informasi yang disampaikan belum sesuai dengan data-
data secara keseluruhan. Sebuah proses pengumpulan data secara
menyeluruhv(jam’ al-us}u>l ka>ffah) adalah sebuah langkah yang penting dilakukan
supaya hasilnya korespondens dengan data dan fakta yang ada.
\Muh}ammad ibn ‘Abdillah meriwayatkan dari ayahnya, dari ‘Abd al-‘Azi>z ibn ‘Umar, dari al-Rabi>’ ibn Sabrah al-Juhanni>, bahwa ayahnya meriwayatkan kepada al-Rabi> ibn Sabrah al-Juhanni> sendiri, bahwa ayahnya pernah bersama Rasulullah saw dan beliau bersabd: ‚ wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk bermut’ah dan Allah swt telah mengharamkan itu samapai hari kiyamath. Maka barang siapa yang masih terikat dengan pernikahan tersebut bebaskanlah wainita itu dari perbuatan tersebuth. Dan janganlah mengambil lagi sesuatu yang telah diberikan kepada merekah.
117 Hadisnya adalah:
بهذ عمر بن العزز عبد عن مان سل بن عبدة ثنا حد بة ش أبى بن بكر أبو ثناه توحد رأ قال اإلسناد ارسو ر -صلىللاعلهوسلم-لللا قولبمثلحدثابننم كنوالبابوهو نالر .قائماب
Telah meriwayatkan kepada kami, Abu> Bakr ibn Abi> Syaibah, dari ‘Abdah ibn Sulaima>n, dari ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Umar, dengan sanad yang ini, dia berkata: ‚aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara rukun dan pintu Ka’bah, beliau bersabda sebagaimana yang ada dalam riwayat Ibn Numairh.
166
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis
Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, penulis
berkesimpulan bahwa:
1. Pandangan-pandangan ilmiah Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni
dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah menjadikan
hadis-hadis tersebut sebagai dalil konstruktif legalitas nikah mut’ah. Ja’far
Subhani menilai bahwa beberapa hadis yang terdapat dalam kitab-kitab
Sunni juga menginformasikan tentang legalitas nikah mut’ah. Penilaiannya
tersebut dilakukan dengan cara inventarisasi hadis-hadis yang dinilai
mendukung terhadap pemikirannya tentang legalitas nikah mut’ah. Hadis-
hadis Sunni yang diterima oleh Ja’far Subhani, pada umumnya, bukan hasil
analisis teori ilmu hadis, terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l, melainkan
berdasar pada interpretasi. Ini terbukti, ketika Ja’far Subhani menilai sebuah
hadis atau berkomentar tentang seorang periwayat hadis, tidak disertai
dengan analisis pendekatan kritik hadis terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l.
2. Dengan menggunakan teori kritik hadis Mus}t}afa> al-A’z}ami> dan teori
kebenaran Abdul Mustaqim, penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far
Subhani tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b
wa al-Sunnah adalah tidak valid, dengan alasan sebagai berikut:
167
a. Pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah
al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah berdasarkan teori ‚kesadaran
keterpengaruhan oleh sejarah (Historically Effected Consciousness)‛,
telah terpengaruh oleh faktor geo-politik, budaya, dan kehidupan
keagamannya. Yaitu mempertahankan ajaran-ajaran doktrinal madzhab
Syiah. Walaupun dalam proses konstruksi kritiknya tidak
mengedepankan ideologi ima>mah-nya. Hal ini terbukti ketika Ja’far
Subhani mengomentari hadis riwayat Ibnu ‘Abbas, ka>nat al-mut’ah fi>
awwal al-islam. Dalam sanad riwayat tersebut tidak ditemukan
periwayat-periwayat bermadzhab syiah. Selain itu riwayat Jabir bin
‘Abdullah, kunna> nastamti’ bi al-qabd}ah. Riwayat ini juga diterima oleh
Ja’far Subhani. Dalam riwayat tersebut terdapat periwayat bermadzhab
syiah yaitu ‘Abdurrazza>q.
b. Pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani bersifat Subjektif. Pemikiran-
pemikiran tersebut terkonstruksi oleh pengutipan atau pembacaan serta
analisis yang tidak sempurna baik dalam satu hadis atau pemikiran
ulama Sunni, pengutipan hadis atau riwayat d}a’i>f, merubah redaksi
matan hadis, dan inkonsistensi dalam penilaian hadis.
c. Tentang pengutipan dan analisis yang tidak sempurna, ini terjadi ketika
Ja’far Subhani mengutip dan berkomentar riwayat Ibnu’Abbas tentang
praktek mut’ah pada awal Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m.
Dalam riwayat Ibnu Abbas tersebut ada informasi tentang penghapusan
ayat mut’ah di akhir matannya, dan Ja’far Subhani tidak
168
mencantumkannya. Selanjutnya, pengutipan yang tidak utuh terjadi
ketika Ja’far Subhani mengutip dan berkomentar tentang riwayat Ibnu
Abbas, yaitu yang menjelaskan bacaan fama> istamta’tum bihi> minhun
ila> ajal musamma>. Dalam hal ini, Ja’far Subhani tidak membaca secara
utuh riwayat-riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas.
Padahal dalam hal ini ada tiga riwayat yang disandarkan kepada Ibnu
Abbas. Yaitu: pertama, riwayat yang menginformaskan bahwa Ibnu
‘Abbas secara mutlak membolehkan nikah mut’ah. Kedua, Ibnu ‘Abbas
membolehkan nikah mut’ah tetapi dalam kondisi darurat sebagaimana
diperbolehkannya makan dagin anjing dan babi. Ketiga, riwayat yang
menginformasikan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas mengakui telah
terjadinya penghapusan nikah mut’ah dan bertaubat dari fatwa nikah
mut’ah yang pernah dihalalkannya. Selain itu, Ja’far Subhani juga tidak
menyampaikan utuh pemikiran salah satu ulama Sunni yaitu Ibnu Hazm,
sebagaimana yang dikutip Ja’far Subhani dalam kitab Al-Muh}alla>.
Dengan mengutip dari kitab tersebut, Ja’far Subhani berkesimpulan
bahwa ada sederetan sahabat dan tabi’in yang mengakui legalitas nikah
mut’ah. pada jika membuka kitab al-Muh}alla>, secara jelas Ibnu Hazm
termasum ulama yang menolak legalitas nikah mut’ah. Di awal
pembahasan nikah mut’ah telah mengaskan bahwa nikah mut’ah
termasuk yang dilarang. Tentang hal ini sudah dijelaskan secara
terperinci oleh Ibnu Hajar bahwa munculnya dari kalangan sahabat dan
tabi’in yang melegalkan nikah mut’ah karena disebabkan belum
169
meratanya ke penjuruh kota dan desa tentang pengharaman nikah
mut’ah.
Selain itu, ada satu riwayat lagi yang penulis simpulkan bahwa
Ja’far Subhani tidak utuh dalam menganalisis pandangan-pandagan
ulama. Yaitu ketika mengatakan bahwa riwayat pengharaman nikah
mut’ah pada perang Fathu Makkah adalah lemah tidak berasal. Dalam
hal ini, Ja’far Subhani berpandangan bahwa berdasarkan kitab-kitab
sejarah yang terkenal, seperti Si>rah Ibnu Hisyam, dalam kitab tersebut,
menurut Ja’far Subhani, tidak tertulis penghapusan nikah mut’ah di saat
pembebasan kota Makkah. Tetapi beberapa ahli sejarah seperti Abu
Qasim Al-Suhaili, Ibnu Katsir, dan Ibnu Al-Qayyim menegaskan bahwa
informasi yang paling jelas tentang pengharaman nikah mut’ah adalah
pada saat Fath} Makkah yang diharamkan sampai hari kiyamat. Para ahli
sejarah tersebut mendasarkan pendapatnya atas hadis Ibnu Numair
riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah. Hadis tersebut pada dasarnya berada
setelah beberapa hadis dengan hadis yang sama, yaitu riwayat sahabat
Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu hadis setelahnya yang semakna dengan
hadis tersebut menjelaskan bahwa pengaharaman nikah mut’ah yang
terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah disampaikan Nabi saw
ketika berada di rukun hajar aswad dan pintu ka’bah.
Akan tetapi tentang pengharaman nikah mut’ah di Khoibar
penulis sepakat dengan Ja’far Subhani bahwa di Khoibar belum terjadi
pengharaman nikah mut’ah secara abadi. Pengharaman pada saat
170
Khoibar fokus pada pengharaman memakan daging keledai.
Pengharaman dalam arti proses penghapusan nikah mut’ah belum terjadi
di Khoibar. Karena di Khoibar pada saat itu belum terjadi praktek
mut’ah kecuali yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi Khoibar bukan
umat muslim.
d. Tentang pengutipan riwayat d}a’i>f, sikap ilmiah Ja’far Subhani ini
dilakukan pada saat mengutip riwayat Ibnu Abbas tentang praktek nikah
mut’ah di awal Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m. Riwayat
tersebut selain dikutip tidak sempurna oleh Ja’far Subhani, juga dinilai
hadis syadz oleh Ibnu Hajar dan menurut ahli kritikus hadis dalam rantai
periwayatannya terdapat periwayat yang suka meriwayatkan hadis
munkar, yaitu Mu>sa> ibn Ubaidilla>h. Selain riwayat Ibnu Abbas, Jafar
Subhani juga mengutip hadis d}a’i>f yaitu riwayat yang menjelaskan
keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib atas fatwa haram nikah mut’ah
oleh sahabat Umar bin Khattab, lau la> naha> ‘Umar ‘an al-mut’ah ma>
zana> illa< saqiy. Dalam rantai periwayatan hadis tersebut terdapat nama
Hakam bin ‘Utaibah. Terlepas dari perdebatan tentang nama lengkap
Hakam bin ‘Utaibah baik Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindi> atau Hakam bin
‘Utaibah Al-Nahhas tidak memiliki pengaruh dalam merubah derajat
kelemahan hadis tersebut. Dua nama Hakam tersebut lahir di waktu dan
zaman yang sama yaitu sekitar tahun 50 h. Sedangkan sahabat Ali bin
Abi Thalib meninggal pada tahun 40 h.
171
e. Merubah redaksi hadis. Tentang merubah redaksi hadis, penulis temukan
dalam kutipan Ja’far Subhani terhadap riwayat Ibnu Umar yang tengah
menjelaskan tentang pertanyaan yang diberika oleh penduduk Syam
kepadanya. Riwayat ini dikutip Ja’far Subhani dari kitab Sunan
Tirmidzi. Dalam kutipan Ja’far Subhani redaksi yang tertulis adalah
kata al-mut’ah. sedangkan dalam kitab Sunan Tirmidzi redaksinya
adalah al-tamattu’ bukan al-mut’ah. Selain itu, dalam kitab karya Imam
Tirmidzi tersebut tertulis secara jelas bahwa hadis riwayat sahabat Ibnu
Umar tersebut terletak pada kitab haji bab haji tamattu’. Dari sini
penulis berkesimpulan bahwa Ja’far Subhani telah merubah redaksi
hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, kitab haji bab
tamattu’.
f. Inkonsistensi dalam menilai hadis. Inkonsistensi Ja’far Subhani, penulis
temukan ketika merespons dua riwayat yang diriwayatkan memalui
periwayat yang sama yaitu Hakam bin Utaibah. Riwayat-riwayat
tersebut adalah riwayat tentang keberatan sahabat Ali akan fatwa haram
sahabat Umar bin Khattab, lau la> naha> ‘umar..., dan riwayat yang
menjelaskan penghapusan nikah mut’ah dengan talak, nafakah,
pembagian warisan, dan iddah. Terhadap riwayata sahabat Ali bin Abi
Thalib, Ja’far Subhani menerimanya. Sedangakan terhadap riwayat
sahabat Ibnu Mas’ud menolaknya. Padahal dalam rantai periwayatan
dua hadis tersebut ada periwayat yang melakukan tadli>s yaitu Hakam
bin Utaibah yang berdasarkan data kitab-kitab Rijal Hadis tidak pernah
bertemu dengan dua sahabat Rasulullah tersebut.
172
g. Diukur dengan teori kebenaran koherensi, pemikiran Ja’far Subhani
terhadap hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa
al-Sunnah bersifat tidak koheren, tidak konsisten. Penulis menemukan
proposisi-proposisi yang berkaitan dengan argumentasi legalitas nikah
mut’ahnya terjadi inkonsistensi. Yaitu menerima hadis d}a’i>f di satu ke
sempatan dan menolak di kesempatan yang lain dengan periwayat hadis
yang sama lemahnya, yaitu periwayat yang bernama Hakam bin
Utaibah. Walau pun inkonsistensi ini tidak terbukti dan tidak tertulis
langsung dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.
h. Diukur dengan teori kebenaran korespondensi, secara umum kritik-kritik
Ja’far Subhani tidak bersifat koresponden, banyak keluar dari teori-teori
ilmu hadis. Yaitu terkonstruksi atas pengutipan atau pembacaan serta
analisis yang tidak sempurna baik dalam satu hadis atau pemikiran
ulama Sunni, pengutipan hadis atau riwayat yang d}a’i>f, merubah redaksi
matan hadis, dan tidak sesuai dengan teori ilmu hadis maz|hab Syi’ah
sendiri.
i. Diukur dengan teori pragamatis, kritik Ja’far Subhani terhadap hadis-
hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah
secara pragmatis memang memiliki misa dalam rangka memperjuangkan
bahwa nikah mut’ah merupakan solusi dan obat atas problematika yang
ditemukan oleh Ja’far Subhani. Salah satunya menghindarkan pergaulan
bebas atau prostitusi bagi kaum remaja yang masih mempersiapkan diri
untuk membangun rumah tangga namun belum siap secara finansial,
173
terutama mempersiapkan tempat tinggal. Akan tetapi penulis melihat
bahwa misi pragmatis ini belum diakui secara universal oleh seluruh
umat Islam, perihal mempertimbangkan hal yang lebih madharatnya.
Terlebih lagi, fakta di lapangan, bahwa praktek mut’ah di kawasan
negara Iran sendiri langka dilakukan oleh para penganut madzha syiah.
Artinya masyarakat Iran seakan ada sesuatu yang dipertimbangkan jika
ingin melakukan praktek mut’ah. Jika ini benar-benar solusi dalam
rangka menjaga kehormatan, maka telah banyak dilakukan dan banyak
dipraktekan oleh masyarakat setempat. Jumlah peminat atau pelaku
terhadap sebuah solusi menentukan akan relevansi solusi tersebut. Jika
sudah banyak yang melakukan itu artinya tawaran ajaran kemanusiaan
tersebut sudah bersifat solutif. jika masih sedikit atau bahkan langka
orang yang melakukannya berati tawaran kemanusiaan tersebut
konsepnya masih dipertanyakan.
174
B. Saran-saran
Setelah melakukan penelitian terhadap salah satu karya ulama Syiah Is|na>
‘Asyariyyah kontemporer ini, penulis menganjurkan kepada para akademisi
untuk senantiasa bersifat objektif dalam membaca literatur. Objektif di sini
dalam arti berdasar pada teori-teori ilmiah. Sikap seperti ini tidak lain kecuali
demi menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Karena jika sebuah penelitian sudah
tercampuri dengan fanatisme kelompok akan menutup cahaya-cahaya kebenaran.
Dalam penelitian ini, penulis sudah berusaha untuk menjalankan sikap ilmiah di
atas. Ja’far Subhani banyak menulis buku yang membahas isu-isu kontemporer
dengan pendekatan Al-Quran dan Hadis. Sebagaimana kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi>
al-Kita>b wa al-Sunnah, Ja’far Subhani menjadikan hadis-hadis Sunni sebagai
argumentasi untuk merekonstruksi pemikirannya. Sehingga penelitian lintas
madzhab seperti ini perlu dilestarikan demi menjunjung tinggi kejujuran ilmiah.
Berdasar kepada kesimpulan penelitian, penulis meyaikini bahwa praktek
nikah mut’ah adalah praktek pernikahan yang syari’atnya sudah dihapus dan
diharamkan selamanya. Untuk itu, secara pribadi penulis menghimbau kepada
masyarakat untuk membangun kehidupan rumah tangga dengan akad yang sah,
akad yang tidak ada batasan waktu dalam membangun rumah tangga.
Karenabsalah satu prinsip dalam berumah tangga adalah melestarikan keturunan
yang baik dan menjaga keutuhan berkeluarga.
175
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali> Mahdavirad, Muhammad. Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Ind al-Syi>’ah al-Ima>miyyah.
t.tp.: Nasyr Hastami> Nama>, 2010.
‘Askari, Murtadho. al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m. Beirut. t.pen, t.th.
Abdullah al-Zar’i, Abdurrahman. Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n. Kuwait. Da>r al-
Arqa>m, 1983.
Abi Hatim, Ibnu. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Riyadh: Nazzar Al-Baz, 1997.
Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah. Beirut. Darul Fikr
al-‘Arabi, t.th.
Abu> Sya’bah, Muh}ammad bin Muh}ammad al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s \.T.tp.: T.p., t.t.
Abu> Zahra>’, Muhamaad. al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu.
Beiru>t. Da>r al-Fikr, t.th.
Abu> Zahrah, Muhammad. Us{u>l al-Fiqh. Mesir: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1958.
Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r al-
Sala>m, 2003.
Al-‘Amili, Zainuddin. al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Qum. Al-Mufid, 1421 H.
Baihaqi. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2003.
BazRmul, Muhammad Ibnu. Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah wa As|aruha> fi> Al-Tafsi>r ‛. Arab Saudi: Ummul Qura, 1413 h.
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam. Metodologi Kritik Hadis .Jakarta: Rajawali
Press, 2004.
CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991.
Al-Dihlawi, Abdul Haq. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|. Beirut: Darul Basya’ir
Islamiyyah, 1986.
176
Al-Dimasqi, Syamsyddin. al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu> riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah. Jeddah.Muassasah Ulumul Qur’an, 1992.
Al-Dzahabi, Syamsuddin. Sair A’la>m al-Nubala>’. Libanon. Darul Afkar
Dauliyyah, 2004.
Al-Ha>di al-Fad{l, Abd. Usu>l al-H{adi>s\. Beirut. Markaz al-Gadir, 2009.
H>}ajar al-Asqala>ni<, Ibnu. Taqri>b al-Tahz|i>b. t.kot.: Daarul ‘Ashimah, 1420 H.
__________Tahz|i>b al-Tahz|i>b. India: Majlis Da’irah Ilmiyyah, 1908.
__________al-Is}a>bah fi ma’rifah al-Sah}a>bah. Beirut: Dar Al-Kutub, 1995.
__________Lisa>n al-Mi>za>n. Beirut: Daarul Basya’ir, 2002.
__________Nuzhah al-Naz}r. Cairo: Daarul Ma’sur, 2011.
__________Fath} al-Ba>ri>. Bairut: Darul Fikr, 2012.
H{a>ris Suhaymi, Ahmad.Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp. Da>r
al-Sala>m, 2003.
Hatim, Abu. al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Beirut: Darul Kutub, 1952.
Hazm, Ibnu. Al-Muh}alla>. Mesir: Al-Muniriyyah, 1351 H.
Hibban, Ibnu. al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n. Riyadh: Darus Samai’i, 2000.
Hisyam, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Daarul Kitab Arabi, 1990.
Ibn Hazm. Al-Muh}alla>. Mesir. Al-Muniriyyah, 1351 H.
Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, Ibrahim. al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{. Riya>d}: al-Maktabah al-Rasyd, 1998.
Ibnu Hajjaj, Muslim. S}ah}i>h} Muslim. Riyadh. Baitul Afkar Dauliyyah, 1998.
Ibnu Mat{ar al-Zahrani, Muhammad>. Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr . Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr wa al-Tawzi>\,
1996.
Ibrahi>m Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{ .Riyad}: al-Maktabah al-Rasyd, 1998.
Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh (al-Riyad: Dar
al-Salam, 1995.
177
Ilahy al-Zahi>r, Ihsan. al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh. al-Riyad: Dar
al-Salam, 1995.
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Al-Jauzi>, Ibn. Kasyf al-Musykil. Riyadh: Darul Wathon, 1997.
Jawa>d Ka>d}im, Muhammad. al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h } al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah Lebanon: Da>r al-Ra>fid}i>n, 2013.
Katsir, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Darul Ma’rifah, 1876.
Khan, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta. Amazon, 2010.
Al-Ma>mqa>ti>, Abdullah. Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, t.th.
Muhammad Tijani, As-Samawi, Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan Musawa. Cianjur: Titian Cahaya 2005.
Naisaburi, Hakim. al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini. Beirut: Darul Kutub
‘Ilmiyyah, 2002.
Al-Nawawi. Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim. Riyadh: Baitul Afkar, t.th.
Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu. Za>d al-Ma’a>d. Beirut: Al-Risalah, 1998.
Al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n. Mafa>tih} al-Ghaib. Cairo: Daarul Hadis, 2012.
Al-Razza>q, Abd. Mus}annaf. Pakistan: Majlis Ilmi, 1983.
Rusyd, Ibnu. Bida>yah al-Mujtahid. Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1415 H.
Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih . Jakarta. Pustaka Kausar, 1997.
Shadr Al-Kazhimi, Hasan. Niha>yah al-Dira>yah. t.kot.: Maktabah Mu’min
Quraisy, t.th.
Shihab, Quraish. Perempuan. Jakarta. Lentera Hati, 2013.
Shalahuddin Al-Shofadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t. Beirut. Dar Ihya Turas|, 2000.
Shalah, Ibnu. Muqaddimah Ibn al-S}ala>h{. Beirut: Darul Fikr, t.th.
Subh{ani, Ja’far. Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah. Qum: Mu’assasah
Imam Shodiq, 2002.
_________Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Beirut: Da>r Jawa>d al-
Aimmah, 2012.
178
Suh}aymi>, Ahmad Haris. Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r
al-Sala>m, 2003.
Al-Su’u>d, Rabi>’ bin Mah{mu>d. Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-Isla>m .Cairo: Maktabah Ibn Taimyah. 1414 H.
Al-Suyuti, Jalaluddin. al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r. Kairo: Al-
Muhandisin, 2003.
Al-Suyuti, Jalaluddin. T}abaqa>t al-H}uffaz}. Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
1983.
Al-Syaukani, Muhammad. Nail al-Aut}a>r. Beirut: Baitul Afkar, 2004.
Al-Syinqithi. Ad}wa>’ al-Baya>n. Jeddah. Daarul ‘Ilmi Fawaid, th.
Syirazi, Nasir Makarim. Inilah Akidah Syi’ah .Kuwait: Mu’assasah Asr al-
Zuhur, 2009.
Al-T}ah}h}a>n, Mahmud. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s .Riya>d{: Makatabah al-Ma’a>rif
Li Nasyr wa al-Tawzi>’, 2010.
Taimiyyah, Ibnu. Miha>j al-Sunnah. t.kot.: t.cet, 1987.
Tijani As-Samawi, Muhammad. Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan Musawa. Cianjur: Titian Cahaya, 2005.
Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r. Beirut: Darul Gharb Islami, 1996.
Waki>’. Akhba>r al-Qud}a>h. Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th.t.
Al-Warda>ni>, S{a>lih{. ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-Taqa>rub wa al-Taba>’ud. Beiru>t: al-Gadi>r, t.t.
Al-Z|ahabi>, Syamsuddin. al-Ka>syif. Jeddah: Daarul Qiblah, 1992.
CURRICULUM VITAE
Nama : Ceceng Mumu Muhajirin
Tmpt,Tgl lahir : Tasikmalaya, 25 Juli 1988
Alamat : Kp.Tamansari Kel. Tamanjaya Kec.Tamansar Kota
Tasikmalaya
Alamat di Tangsel : Parigi Lama RT/RW 001/007 Kel. Parigi Lama Kec. Pondok
Aren Kota Tangerang Selatan
No HP : 081381224426
Fak/ Jurusan : Ushuluddin/ Hadis
Motto :
:العمريطي اإلمام قال رفع اعتقاده حسب الفتي اذ
ينتفع لم يعتقد لم من وكل
Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat
mengambil manfaatnya
Keberkahan hidup itu ada pada:
HALAL, ORANG TUA, DAN GURU
orang tua, keluarga, para guru, teman, perhatianserta kebaikanPerhatikan dan renungkan dan “orang-orang sekitarmu”
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. MIS Ciledug lulus 2000
2. MTsN Cilendek lulus 2003
3. MAS Tarbiyatul Mu’allimin lulus 2008
4. PM. Mifatahul Hidayah lulus 2008
5. Strata 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Ushuluddin Tafsri-Hadis)
PENGALAMAN ORGANISSI
1. OSIS MTs sebagai anggota tahun 2002
2. PRAMUKA sebagai PRATAMA 2002-2003
3. OSPM Miftahul Hidayah sebagai ketua 2007-2008
4. Staf pengajar di PM. Miftahul Hidayah 2007-2008
5. Pembantu Direktur II pondok pesantren Al-Istiqomah Tasikmalaya 2010-sekarang
6. Staf Pengajar di Pondok Pesantren Al-Istiqamah Kota Tasikmalaya
7. ISMA sebagai koordinator keta’miran 2008-2009
8. Corps Dakwah Pedesaan (CDP) sebagai Da’i reguler, pengasuh TPA, pengasuh
pengajian tahun 2011
9. Bagian Kesiswaan dan staf pengajar di MTs Miftah Assa’adah 2013-sekarang
PENGALAMAN LAIN
1. Delegasi Kwarcab Tasikmalaya di Perkemahan Santri Nusantara 2006, Cibubur
2. Juara II Fahmil Quran se-Kabupaten Tasikmalaya
3. Juara II Tafsir Bahasa Arab Tingkat Kota Tasikmalaya
4. Peraih beasiswa PBSB Kemenag RI 2008
5. Peraih beasiswa KSU BAZNAS 2014
6. Anggota LPPD Khoiru Ummah Tangerang Selatan
7. Wiraswasta “Cahaya Sejahtera H.A. Hamzah” Kambing Aqiqah dan Qurban