14
Diterima: 3 Oktober 2015 Disetujui: 30 Oktober 2015 Direview: 21 Oktober 2015 HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius Sembiring* Abstract Abstract Abstract Abstract Abstract: State’s possession of agrarian resources , called as State’s right of control is the authority of the State attained through the atribution principle of the 1945 Constitution. In the National Land Law, the State’s right of control is the delegation of the public’s right to the State to manage resources, and was called as the highest right of the nation. Based on this delegation, the State has the authority to formulate policies, execute regulations, and also to arrange, manage, and control agrarian resources. To avoid misconducts on the implementation of the State’s right of control, the State authorities are limited by 3 (three) aspects, which are: the objective of the right itself for the greatest prosperity of the people; individual right and legal entity; and ulayat right of land of traditional society. On the implementation, State’s right of control was delegated to particular authorities (agrarian/land, forestry, and mining agencies), in which these authorities issuing civil rights such as ‘land right’ and ‘land permit’. Keywor eywor eywor eywor eywords ds ds ds ds: state’s right of control, agrarian resources, delegation of authority. Intisari Intisari Intisari Intisari Intisari: Penguasaan negara atas sumber daya agraria (SDA) yang disebut dengan hak menguasai negara (HMN) merupakan wewenang yang diperoleh negara berdasarkan prinsip atribusi dari UUD 1945. Dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, HMN tersebut merupakan pelimpahan hak publik berupa amanat untuk mengelola dari Hak Bangsa – sebagai hak yang tertinggi – kepada negara. Atas dasar pelimpahan tersebut, negara berwewenang untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan terhadap SDA. Untuk menghindari kesewenang-wenangan dari HMN tersebut, maka kewenangan negara dibatasi oleh 3 (tiga) hal yaitu: oleh tujuan dari HMN itu sendiri yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat; oleh hak perseorangan dan badan hukum; serta oleh hak ulayat masyarakat adat. Dalam pelaksanaannya HMN itu dilimpahkan pada otoritas tertentu (pertanahan, kehutanan, dan pertambangan) dan kemudian oleh otoritas tersebut diterbitkan hak yang berkarakter perdata seperti ‘hak atas tanah’ dan ‘izin’ kepada pihak tertentu. Kata kunci Kata kunci Kata kunci Kata kunci Kata kunci: hak menguasai negara, sumber daya agraria, pelimpahan wewenang. *Dosen STPN, Doktor Ilmu Hukum UGM. Email: [email protected] A. Pendahuluan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, demikian bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini menjadi landasan konstitusional “negara” untuk melakukan penguasaan atas sumber daya agraria 1 (SDA) yang lazim disebut dengan Hak Menguasai Negara (HMN). Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dikemukakan mengenai HMN tersebut, yaitu: (1) Atas dasar apa negara mempunyai wewenang untuk menguasai SDA? (2) Bagaimanakah konsepsi HMN tersebut? (3) Wewenang apa sajakah yang dimiliki oleh negara atas penguasaan SDA itu? (4) Apakah kewenangan HMN tersebut dapat dilimpahkan dan bagaimanakah proses pelimpahan itu dilakukan? (5) Wewenang apa sajakah yang diperoleh oleh otoritas yang menerima pelimpahan HMN tersebut? Tulisan ini dimaksudkan melakukan pengkajian terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas; dan kajian tersebut dilakukan dengan pendekatan normatif khususnya terhadap peraturan perundang-un- dangan yang terkait dengan HMN. Kajian ini secara

HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

Diterima: 3 Oktober 2015 Disetujui: 30 Oktober 2015Direview: 21 Oktober 2015

HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIAJulius Sembiring*

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: State’s possession of agrarian resources , called as State’s right of control is the authority of the State attainedthrough the atribution principle of the 1945 Constitution. In the National Land Law, the State’s right of control is thedelegation of the public’s right to the State to manage resources, and was called as the highest right of the nation. Based onthis delegation, the State has the authority to formulate policies, execute regulations, and also to arrange, manage, andcontrol agrarian resources. To avoid misconducts on the implementation of the State’s right of control, the State authoritiesare limited by 3 (three) aspects, which are: the objective of the right itself for the greatest prosperity of the people; individualright and legal entity; and ulayat right of land of traditional society. On the implementation, State’s right of control wasdelegated to particular authorities (agrarian/land, forestry, and mining agencies), in which these authorities issuing civilrights such as ‘land right’ and ‘land permit’.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: state’s right of control, agrarian resources, delegation of authority.

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari: Penguasaan negara atas sumber daya agraria (SDA) yang disebut dengan hak menguasai negara (HMN) merupakanwewenang yang diperoleh negara berdasarkan prinsip atribusi dari UUD 1945. Dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional,HMN tersebut merupakan pelimpahan hak publik berupa amanat untuk mengelola dari Hak Bangsa – sebagai hak yangtertinggi – kepada negara. Atas dasar pelimpahan tersebut, negara berwewenang untuk merumuskan kebijakan, melakukanpengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan terhadap SDA. Untuk menghindari kesewenang-wenangan dari HMNtersebut, maka kewenangan negara dibatasi oleh 3 (tiga) hal yaitu: oleh tujuan dari HMN itu sendiri yaitu untuk mencapaisebesar-besar kemakmuran rakyat; oleh hak perseorangan dan badan hukum; serta oleh hak ulayat masyarakat adat. Dalampelaksanaannya HMN itu dilimpahkan pada otoritas tertentu (pertanahan, kehutanan, dan pertambangan) dan kemudian olehotoritas tersebut diterbitkan hak yang berkarakter perdata seperti ‘hak atas tanah’ dan ‘izin’ kepada pihak tertentu.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: hak menguasai negara, sumber daya agraria, pelimpahan wewenang.

*Dosen STPN, Doktor Ilmu Hukum UGM.Email: [email protected]

A. Pendahuluan

“Bumi dan air dan kekayaan alam yangterkandung didalamnya dikuasai oleh negara dandipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuranrakyat”, demikian bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD1945. Pasal ini menjadi landasan konstitusional“negara” untuk melakukan penguasaan atas sumberdaya agraria1 (SDA) yang lazim disebut dengan HakMenguasai Negara (HMN).

Terdapat beberapa pertanyaan yang dapatdikemukakan mengenai HMN tersebut, yaitu: (1)

Atas dasar apa negara mempunyai wewenang untukmenguasai SDA? (2) Bagaimanakah konsepsi HMNtersebut? (3) Wewenang apa sajakah yang dimilikioleh negara atas penguasaan SDA itu? (4) Apakahkewenangan HMN tersebut dapat dilimpahkan danbagaimanakah proses pelimpahan itu dilakukan?(5) Wewenang apa sajakah yang diperoleh olehotoritas yang menerima pelimpahan HMNtersebut?

Tulisan ini dimaksudkan melakukan pengkajianterhadap pertanyaan-pertanyaan di atas; dan kajiantersebut dilakukan dengan pendekatan normatifkhususnya terhadap peraturan perundang-un-dangan yang terkait dengan HMN. Kajian ini secara

Page 2: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

120 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

umum adalah tentang SDA, namun pada bagiantertentu dikhususkan pada tanah, hutan, dantambang saja.

B. Dasar Penguasaan SDA oleh Negara

Sebagai sebuah negara hukum, maka seluruhtindakan negara haruslah mempunyai dasarkewenangan atau legitimasi. Prinsip negara hukumyang sedemikian rupa disebut ‘asas legalitas’.Penguasaan negara (Indonesia) atas SDAmemperoleh legitimasi berdasarkan pada Pasal 33ayat (3) UUD 1945. Dasar perolehan kewenangantersebut dalam Hukum Administrasi Negaradisebut dengan ‘atribusi’.2 Selain itu, terdapatbeberapa teori tentang dasar perolehan kewenanganoleh negara, yang dalam tulisan ini difokuskan padateori ‘kedaulatan’ dan teori ‘kontrak sosial’.

Menurut teori kedaulatan, ditemukan argumen-tasi hukum bahwa HMN merupakan turunan dariteori kedaulatan (sovereignty theory). Jean Bodinmengatakan bahwa kedaulatan merupakan atributmaupun ciri khusus dan bahkan menjadi hal yangpokok bagi setiap kesatuan yang berdaulat atauyang dikenal dengan sebutan negara. Tidak adakekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat mem-batasi kekuasaan negara.

Teori kedaulatan ini kemudian melahirkan teorimenguasai negara atas seluruh wilayah dalamkedaulatan negara yang bersangkutan termasukisinya. Berdasarkan kedaulatan tersebut maka“harta kekayaan (property) yang menjadi hak warganegara tergantung pada diskresi dari pemegangkedaulatan (when property comes to citizens fromsovereigns, the right by which citizens hold the prop-erty depends on the discretion of the sovereign)”(Suparjo 2014, 37).

Sebaliknya jika warga negara mendapatkanpemilikan terhadap property melalui usahanyasendiri maka akan tunduk pada tiga prinsip hakyang dimiliki pemegang kedaulatan, yaitu: “Thef irst is the right of the sovereign to make laws thatoblige citizens to accommodate the use of their prop-

erty to the interest of the state. The second is the rightof the state to collect a portion of the citizens’s prop-erty as tribute or taxes. The third is the sovereign’sright to eminent domain” (Suparjo 2014, 37-38).

“Montesquieu (1689-1755) memisahkan secarategas penguasaan negara tersebut antara konsepimperium versus dominium” (Abrar Saleng2004,8). “Imperium adalah konsep mengenai therule over all individuals by the Prince, sedangkandominium adalah konsep the rule over things by theindividuals” (Abrar Saleng 2004,8). “Konsep inimerupakan cikal bakal pembedaan kekuasaanpolitik dan ekonomi atau pembedaan kedaulatanpolitik dan ekonomi. Bahkan telah dilembagakandalam ilmu hukum melalui pembedaan antararejim hukum publik (political law) dan hukumprivat (civil law) dengan obyek yang terpisah satusama lain” (Abrar Saleng 2004,8).

“Sejalan dengan berkembangnya f ilsafat AbadPertengahan yang mencapai puncaknya pada abadke-19 yang mengagungkan hak milik dan HukumPerdata, maka perbedaan antara dominium (hakmilik) dan imperium (hak penguasa untuk mengaturpenggunaan barang-barang) menjadi menghilangdan semuanya disamakan menjadi dominium”(Sunarjati Hartono 1976, 46). Lahirlah apa yangkemudian dikenal dengan ‘domeinleer’, yaitu bahwatidak ada sesuatu barangpun yang tidak dimiliki,baik oleh perseorangan, maupun oleh negara.Sehingga res communes, res publicae, res sanctae(res sacrae atau res religiosae)3 dimiliki oleh negara(Sunarjati Hartono 1976, 46).

Dihubungkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD1945, maka “hak dan wewenang dari negara terse-but haruslah diartikan dalam arti imperium dalamHukum Romawi, atau wewenang negara sebagaipengertian dalam Hukum Publik, bukan dalam artidimiliki atau dominium dalam Hukum Romawi atauhak milik sebagai pengertian Hukum Perdata”(Sunarjati Hartono 1976, 48). Hal tersebut sejalandengan ‘konsepsi hubungan negara dengan tanah’4,dimana negara merupakan personif ikasi rakyat,

Page 3: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

121Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

jadi bukan sebagai perorangan atau badan kene-garaan. Hak negara adalah hak kommunes atauhak imperium, yaitu hak menguasai tanah ataupenggunaannya” (Iman Soetiknyo 1990, 20).

Dihubungkan dengan beberapa teori tentangnegara, yaitu teori individualistis5, teori golongan6,dan teori integralistik7; the Founding Fathers dalammenyusun Dasar Negara dan Konstitusi Negaramengkonstruksikan negara sebagai personif ikasidari seluruh rakyat dengan teori integralistik, se-hingga hubungan negara dengan tanah yang ber-bentuk kommunes tersebut diwujudkan secaraabstrak dalam hak yang disebut Hak Bangsa.

Teori lainnya yaitu teori ‘kontrak sosial’ yangmenyatakan bahwa negara menguasai tanah (danSDA lainnya) karena adanya perjanjian yangmenyerahkan kekuasaan kepada negara untukmenguasai (mengatur) pemilikan dan penggunaanSDA tersebut. J.J. Rousseau menyebutkan bahwakekuasaan Negara sebagai suatu badan atauorganisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjianmasyarakat (contract social) yang esensinya meru-pakan suatu bentuk kesatuan yang membela danmelindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadidan milik setiap individu (Abrar Saleng 2004, 8).“Dalam perjanjian itu setiap individu melepassebagian kekuasaannya kepada negara. Olehnegara, kekuasaan itu dijalankan tidak tanpa batas(postestas legibus omnibus soluta) namun terikatpada ketentuan hukum alam, hukum Tuhan (legesnaturae et devinae) serta hukum yang umum padasemua bangsa yang dinamakan leges imperii(undang-undang dasar)” (Abrar Saleng 2004, 8).

C. Konsepsi HMN

Iman Soetiknyo (1990, 52-53) menegaskanbahwa wewenang penguasaan oleh negara meliputiseluruh bumi, air dan ruang angkasa di wilayahNegara Republik Indonesia, baik yang: (1) di atasnyasudah ada hak-hak perorangan/keluarga, apapunnama hak itu; (2) di atasnya masih ada hak ulayatdan hak-hak semacam itu, apapun nama hak

tersebut; dan (3) di atasnya tidak ada hak-haktersebut sub a dan b, dan/atau sudah tidak adapemegang hak-hak tersebut, (misalnya bekas tanahSwapraja, tanah bekas hak-hak Barat, tanah takbertuan, hutan negara dan lain-lain sebagainya.

Dengan demikian, penguasaan oleh negara yangdisebut dengan HMN merupakan hubungan hukumantara negara sebagai subyek dengan SDA sebagaiobyek. Hubungan hukum tersebut melahirkan ‘hak’untuk menguasai SDA dan sekaligus ‘kewajiban’bagi negara dalam penggunaan SDA tersebut yaituuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengandemikian HMN merupakan instrumen, sedangkandipergunakannya untuk kemakmuran rakyatmerupakan tujuan (objectives).”

Penguasaan oleh Negara tersebut tidaklah dalamarti memiliki (eigensdaad), karena apabila hakpenguasaan negara diartikan sebagai eigensdaadmaka tidak akan ada jaminan bagi pencapaiantujuan hak menguasai tersebut, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut BagirManan, dalam hal penguasaan oleh negara tersebut,“negara hanya melakukan bestuursdaad danbeheersdaad,” yang memberi kewenangan kepadanegara untuk mengatur, mengurus dan memeliharatermasuk mengawasi. Jadi hakekatnya “hakmenguasai untuk mengurus” atau beheerrecht itubukanlah sejenis hak keperdataan, melainkan suatukewajiban sosial bagi orang (corpus) untuk men-jaga dan mengurus, yang dalam konteks Negaradisebut kewajiban publik (publiek verplichting ataupublic responsibility).

Konsepsi HMN ini berbeda dengan asas domeindalam konsepsi Hukum Tanah Kolonial (Belanda)yang diatur dalam Pasal 1 AB 1870. Asas domeinmenegaskan bahwa negara adalah sebagai orga-nisasi kekuasaan publik sekaligus sebagai badanhukum perdata yang dapat dilihat dalam modelpemilikan tanah oleh negara yaitu tanah domeinnegara. Berdasarkan asas domein PemerintahKolonial Belanda menguasai tanah dan melakukanpengelolaan hutan dan tambang di Hindia Belanda.

Page 4: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

122 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Pemerintah Kolonial Belanda menganggapbahwa hutan dan hasil hutan merupakan domeinnegara, dan kemudian menetapkan sebagian besarwilayah di Indonesia sebagai hutan negara yangpengawasan dan pengelolaannya ada padaPemerintah. Di bidang pertambangan, berdasarkanasas bahwa pemilikan atas tanah tidak meliputibahan galian maka untuk menyelidiki danmengusahakan bahan galian ada pada orang-or-ang yang diberi wewenang menurut ketentuandalam UU.

Asas domein mempunyai 2 (dua) sifat, yaitubersifat publiekrechtelijk dan juga privaatrechtelijk.Sifat publiekrechtelijk berasal dari prinsipsouvereiniteit (kedaulatan), dimana dengandikuasainya Indonesia oleh Pemerintah Belandamaka kedaulatan itu berada di tangan PemerintahBelanda. “Tujuan prinsip tersebut untuk mencegahpenjualan tanah yang dilakukan oleh masyarakathukum kepada orang asing, karena denganpenjualan seperti itu menunjukkan bahwakedaulatan itu ada di tangan masyarakat hukumtersebut” (Aboesono, tanpa tahun, 34). Sifatprivaatrechtelijk didasari pertimbangan bahwaperusahaan asing perlu dibantu untuk dapatmengembangkan usahanya di Hindia Belanda.

Konsepsi HMN tidak lepas dari perkembanganNegara Hukum Kesejahteraan (NHK) yang lahirpada akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknyapasca Perang Dunia II. Konsep NHK merupakan“perpaduan dari Negara Hukum dan NegaraKesejahteraan. “Negara hukum (rechtstaat) ialahnegara yang menempatkan hukum sebagai dasarkekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaantersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum yang mengharuskansetiap tindakan negara/pemerintah berdasarkanatas hukum” (Abrar Saleng 2004, 9). Sementaraitu Negara Kesejahteraan adalah negara ataupemerintah tidak semata-mata sebagai penjagakeamanan atau ketertiban masyarakat, tetapipemikul utama tanggung jawab mewujudkan

keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Abrar Saleng 2004,9).

NHK lahir sebagai reaksi terhadap gagalnyanegara Hukum Klasik dan negara Hukum Sosialisyang memiliki perbedaan mengenai dasar danbentuk penguasaan negara atas sumber dayaekonomi. “Negara Hukum Klasik dengan pahamliberalisme mengutamakan pemilikan individu,maka negarapun dikonstruksikan sebagai suatubadan organisasi atau subyek hukum yang dapatmempunyai hak milik atas sumber daya alam.Sebaliknya, pada negara Hukum Sosialis, sumberdaya alam dimiliki oleh negara dan menjadimonopoli negara (Abrar Saleng 2004, 10-12). Sewak-tu dilakukan penyusunan UUD 1945, maka konsepNHK juga mempengaruhi the Founding Fathers.Itulah sebabnya, penguasaan negara atau HMN atasSDA dicantumkan pada Bab tentang ‘KesejahteraanSosial” dalam UUD 1945.

Dalam Bab tersebut, konsep penguasaan SDAoleh negara sebagaimana termaktub dalam Pasal33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Bumi dan air dankekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (garisbawah dari Penulis). Frasa ‘dikuasai oleh negara’sebagaimana terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD1945 selanjutnya diikuti oleh UUPA yang tercantumdalam Pasal 2 ayat (1) UUPA: “Atas dasar ketentuandalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar danhal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alamyang terkandung di dalamnya itu pada tingkatantertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasikekuasaan seluruh rakyat”. (garis bawah dari Penu-lis). Kedua model penguasaan oleh negara tersebutmenunjukkan konsepsi penguasaan pasif (dikuasaioleh negara).

Selanjutnya oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA pengu-asaan oleh negara yang berkonsepsi pasif tersebutdiubah menjadi konsepsi aktif. Pasal 2 ayat (2)

Page 5: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

123Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

UUPA berbunyi: Hak Menguasai dari Negara (garisbawah dari Penulis) termaksud dalam ayat (1) pasalini memberi wewenang untuk:a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bu-mi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hu-bungan hukum antara orang-orang dengan bu-mi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hu-bungan hukum antara orang-orang dan per-buatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.

Perbedaan wewenang penguasaan negara yangberkonsepsi aktif dan pasif tersebut menunjukkanbahwa:1. Penguasaan yang berkonsepsi pasif dengan kata

‘dikuasai’ menunjukkan makna sebagai instru-men dari kata dipergunakan (untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat) sebagai tujuan.

2. Kata ‘dikuasai’ yang berkonsepsi pasif tersebuttermasuk di dalamnya kata ‘dipergunakan’sehingga bentuknya adalah ‘negara menguasaitanah’; jika kata ‘dipergunakan’ tidak meru-pakan bagian dari ‘dikuasai’ maka ditafsirkannegara menguasai pemakaian tanah (Notona-goro 1984, 106).

3. Penguasaan yang berkonsepsi pasif dengan kata‘dikuasai’ merujuk pada negara sebagai subyek,sementara itu penguasaan yang berkonsepsiaktif dengan kata ‘menguasai’ merujuk padapemerintah (dalam arti luas) sebagai subyek.

4. Penguasaan negara yang berkonsepsi aktifdengan kata ‘menguasai’ pada Pasal 2 ayat (2)UUPA tersebut dibatasi dengan kewajibandigunakan untuk mencapai sebesar-besar ke-makmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kese-jahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakatdan negara hukum Indonesia yang merdeka,berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat 3UUPA).

Selanjutnya beberapa pasal yang terdapat dalam

UUPA menambahkan kata ‘langsung’ pada katadikuasai yang berkonsepsi pasif tersebut, yaitu Pasal28 ayat (1) tentang pemberian Hak Guna Usaha,Pasal 37 tentang terjadinya Hak Guna Bangunan,Pasal 41 ayat (1) tentang Hak Pakai, Pasal 43 ayat(1) tentang pengalihan Hak Pakai, Pasal 49 ayat(2) tentang pemberian Hak Pakai untuk keperluanperibadatan dan keperluan suci. Seluruh pasaltersebut menggunakan terminologi “tanah yangdikuasai langsung oleh negara”.

Tidak terdapat penjelasan makna kata ‘lang-sung’ dari frasa tersebut, hanya saja di dalam Penje-lasan Umum UUPA, II dinyatakan bahwa:1. Kekuasaan negara atas tanah yang sudah

dipunyai dengan sesuatu hak dibatasi oleh isidari hak itu, artinya sampai seberapa negaramemberi kekuasaan kepada yang mem-punyainya untuk menggunakan haknya,sampai disitulah batas kekuasaan negaratersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pem-batasan-pembatasannya dinyatakan dalamPasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam Bab II.

2. Kekuasaan negara atas tanah yang tidakdipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorangatau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.Dengan berpedoman pada tujuan yang dise-butkan di atas negara dapat memberikan tanahyang demikian itu kepada seseorang ataubadan hukum dengan sesuatu hak menurutperuntukan dan keperluannya, seperti hakmilik, hak guna usaha, hak guna bangunan atauhak pakai atau memberikannya dalam penge-lolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Depar-temen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untukdipergunakan bagi pelaksanaan tugasnyamasing-masing (Pasal 2 ayat 4). Dalam padaitu kekuasaan negara atas tanah-tanah inipunsedikit atau banyak dibatasi pula oleh hakulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hu-kum, sepanjang menurut kenyataannya hakulayat itu masih ada.

Page 6: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

124 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Penjelasan terhadap penguasaan negara atastanah baik yang sudah ‘dihaki’ maupun belum(tanah negara) tersebut di atas ditanggapi olehOloan Sitorus sebagai tingkat ‘kedalaman’ dariHMN itu. Pengertian ‘kedalaman’ di sini adalahpengaruh dari HMN terhadap ‘hak’ atau ‘kepen-tingan’ dari subyek hukum tertentu yang melekatatas tanah yang dikuasainya (baik penguasaanjuridis dan/atau penguasaan f isik).

Pemaknaan atau persepsi dari pengaruh atau‘kedalaman’ HMN terhadap ‘hak’ dan ‘kepentingan’tersebut menimbulkan 2 (dua) pemaknaan ataupersepsi tentang eksistensi tanah Negara tersebut,yaitu: “... jika kewenangan dari bekas pemeganghak serta merta hilang berarti implikasi HMNterhadap tanah sangat tinggi sehingga status hukumtanah tersebut benar-benar menjadi tanah yangdikuasai langsung oleh Negara. Artinya segalakewenangan bekas pemegang hak secara langsungmenjadi hilang ketika suatu hak atas tanah ber-akhir” (Oloan Sitorus 2008, 8). Dengan demikiandapat dikatakan bahwa wewenang negara yangdikatakan ‘langsung’ atas tanah negara adalah lebih‘luas’, atau lebih ‘penuh’, atau lebih ‘dalam’ diban-dingkan atas tanah yang bukan tanah negara.

Konsepsi selanjutnya adalah bahwa HMN dalamsistem Hukum Tanah Nasional merupakan bagiandari hak penguasaan atas tanah sebagaimanaterdapat dalam UUPA. Menurut Boedi Harsono(1997, 234) Hak Penguasaan Atas Tanah diaturdalam tata jenjang sebagai berikut:a. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal

1, sebagai hak penguasaan atas tanah yangtertinggi, beraspek perdata dan publik;

b. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalamPasal 2, semata-mata beraspek publik;

c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang dise-but dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik;

d. Hak-hak perorangan/individual, semuanyaberaspek perdata, terdiri atas:1) Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak indi-

vidual yang semuanya secara langsung

ataupun tidak langsung bersumber padaHak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16dan 53;

2) Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudahdiwakafkan, Pasal 49;

3) Hak Jaminan atas Tanah yang disebut HakTanggungan, dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51.

Hak Bangsa merupakan “hak penguasaan atastanah (dan sumber daya agraria lainnya) yangtertinggi” (Boedi Harsono 1997, 215), “yang merupa-kan induk semua hak-hak atas tanah yang diaturdalam UUPA” (Suparjo 2014, 195), “yang mem-punyai unsur hukum publik berupa amanat untukmengelola, dan mengandung unsur keperdataanberupa kepunyaan” (Boedi Harsono 1997, 217),Unsur hukum publik dari Hak Bangsa tersebutkemudian pada tingkatan tertinggi didelegasikan8

kepada Negara Republik Indonesia, sebagaiorganisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat1 UUPA). Wewenang yang didelegasikan itulah yangdisebut dengan HMN. Pendelegasian tersebutmerupakan konstruksi hukum yang dikenal dalamSistem Hukum Tanah Nasional, yang analog denganalam pikiran Hukum Adat. “Menurut Hukum Adat,masyarakat hukum adat mempunyai hubunganhukum dengan tanah wilayah beserta isinya yangsecara teknis yuridis disebut dengan beschikkings-recht atau hak ulayat. Kewenangan untuk mengaturpemanfaatannya oleh masyarakat hukum adatdiserahkan kepada para ketua adatnya”.9

D. Wewenang HMN atas SDA

Secara normatif, penguasaan negara terhadapSDA dapat dilihat dalam undang-undang berikutini. Penguasaan negara atas bumi, air dan ruangangkasa sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat(2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok Pokok Agraria; hutan pada Pasal 4 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Minyak dan GasBumi pada Pasal 4 UU No.22 Tahun 2001 tentangMinyak dan Gas Bumi; Air pada Pasal 6 UU No. 7Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air10; Energi pada

Page 7: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

125Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

Pasal 4 UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi; danMineral dan Batubara pada Pasal 4 UU No. 4 tahun2009 tentang Mineral dan Batubara.

Keseluruhan UU tersebut menunjukkan bahwaHMN pada prinsipnya memberi wewenang kepadanegara untuk mengatur atau mengurus penguasaandan penggunaan SDA tersebut. Kewenangantersebut merupakan kewenangan yang berkarakterpublik, artinya penguasaan oleh negara tersebuthanya memberi wewenang kepada negara untukmengatur dan mengurus penguasaan dan perun-tukan SDA tersebut.

Kewenangan yang berkarakter publik tersebutditegaskan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakanbahwa kewenangan dari HMN meliputi:a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaanbumi, air dan ruang-angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang denganbumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hu-bungan hukum antara orang-orang dan per-buatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.

Kewenangan negara sebagaimana dimaksudpada huruf ‘a’ tersebut dijabarkan lebih lanjutdalam beberapa pasal pada Bab I UUPA, khususnyaPasal 14. Penjabaran wewenang negara pada huruf‘b’ lebih lanjut diatur dalam Pasal 4, 6-11 dan keten-tuan dalam Bab II UUPA. Sedangkan wewenangnegara pada huruf ‘c’ merujuk pada ketentuan Pasal12, 13, 26 dan 49 UUPA.

Boedi Harsono menjelaskan bahwa pengertian‘mengatur’ dan ‘menyelenggarakan’ sebagaimanadimaksud pada huruf ‘a’ dilaksanakan oleh lem-baga pembentuk peraturan perundang-undanganseperti TAP MPR, UU/Perpu, PP, KeputusanPresiden dan Keputusan Menteri. Sementara itu,pengertian ‘menentukan’ dan ‘mengatur’ sebagai-mana dimaksud pada huruf ‘b’ dan ‘c’ merupakankekuasaan eksekutif oleh Presiden, Menteri dan

pejabat negara lainnya(Boedi Harsono 1997, 239-240).

Dalam perkembangannya konsep penguasaannegara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(2) UUPA tersebut mengalami perluasan. Pertim-bangan hukum putusan Mahkamah Konstitusidalam perkara pengujian Undang-Undang Minyakdan Gas Bumi (UU No.22 Tahun 2001), Undang-Undang Ketenagalistrikan (UU No. 20 Tahun 2002),Undang-Undang Sumber Daya Air (UU No.7 Tahun2004) dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir danPulau-Pulau Kecil (UU No.27 Tahun 2007);menafsirkan bahwa HMN bukan dalam maknanegara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwanegara merumuskan kebijakan (beleid), melakukanpengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan(bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheers-daad), dan melakukan pengawasan (toezichthou-dendaad).

1. Merumuskan Kebijakan (beleid)

Di dalam Kamus Hukum, kata beleid (Belanda)diterjemahkan menjadi kebijakan (Indonesia) danpolicy (Inggris), (Yan Pramadya Puspa 1977, 130).Di bidang pertanahan dikenal terminologi landpolicy (kebijaksanaan pertanahan) atau yang lebihpopuler dengan istilah politik pertanahan.11 Bebe-rapa literatur Hukum Administrasi Negara kadangmenterjemahkan kata beleid tersebut menjadikebijaksanaan. Peraturan ini semacam hukumbayangan dari undang-undang atau hukum. Olehkarena itu, peraturan ini disebut pula dengan istilahpsudo–wetgeving (perundang-undangan semu) atauspigelsrecht (hukum bayangan/cermin), (RidwanHR 2006, 183).

2. Melakukan Pengaturan (regelendaad)

Pengaturan berasal dari kata peraturan (regeling)yang bermakna “tiap keputusan pemerintah(overheidsbesluit) yang langsung mengikat tiappenduduk wilayah negara atau tiap penduduksebagian wilayah negara”( E. Utrecht 1960,13). Dari

Page 8: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

126 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yangdimaksud dengan peraturan adalah peraturanperundang-undangan sebagaimana terakhir diaturdalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPRbersama dengan Pemerintah, dan regulasi olehPemerintah (eksekutif). Dengan wewenang regelentersebut, “peranan pemerintah diperlukan untukmenjamin akses yang adil terhadap tanah sehinggatanah tidak semata-mata digunakan sebagaikomoditas”.12

Maria SW. Sumardjono menyatakan bahwakewenangan negara untuk mengatur itu dibatasioleh dua hal. “Pertama, pembatasannya oleh UUDsehingga pengaturan itu tidak boleh berakibat padapelanggaran hak-hak dasar manusia. Kedua,pembatasan yang bersifat substantif, yaitu men-jawab pertanyaan apakah peraturan yang dibuatitu relevan dengan tujuannya, yaitu untuk terwu-judnya sebesar-besar kemakmuran rakyat”.13

Dengan demikian, “peraturan perundang-undangan yang dibuat itu harus bersifat netralsekaligus berpihak kepada yang lemah, di lainpihak negara wajib mengawasi pelaksanaan pera-turan itu. Dalam hal terjadi konflik negara harusdapat menjadi wasit yang adil. Namun ketika nega-ra menjadi pelaku, maka ia harus tunduk pada pera-turan yang dibuatnya sendiri”.14

3. Melakukan Pengurusan (bestuursdaad)

Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negaradilakukan oleh pemerintah dengan kewenangan-nya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitasperizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi(concessie).15

4. Melakukan Pengelolaan (beheersdaad).

Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukanmelalui mekanisme pemilikan saham (sharehol-

ding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalammanajemen Badan Usaha Milik Negara atau BadanHukum Milik Negara sebagai instrumen kelem-bagaan melalui negara c.q. Pemerintah menda-yagunakan penguasaannya atas sumber sumberkekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besar-nya kemakmuran rakyat.16

Dalam konstruksi hukum agraria kolonialBelanda, ‘beheersrecht’ bukanlah sebuah hakkeperdataan, melainkan kewajiban publik NegaraBelanda untuk mengurus dan merawat tanah miliknegara sebagai harta benda kekayaan (vermogens)tetapnya Negara Belanda (Anonim, 2012, 50).

5. Melakukan Pengawasan(toezichthoudendaad)

Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthouden-daad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalamrangka mengawasi dan mengendalikan agarpelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabangproduksi yang penting dan/atau yang menguasaihajat hidup orang banyak dimaksud benar-benardilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuranseluruh rakyat (Lilis Mulyani 2008, 74).

Ada 3 (tiga) macam bentuk pengawasan yaitu:(1) pengawasan hukum, apakah wewenang sudahdilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yangberlaku (geldelijke controle); (2) pengawasan ad-ministrative (mengukur ef isiensi kerja); dan (3)pengawasan politik, untuk mengukur segi-segikemanfaatan (doelmatigheid controle) (AbrarSaleng 2004, 173).

Terhadap fungsi pengawasan dari HMN tersebutMahkamah Konstitusi (MK) memberikan pendapatdalam judicial review UU No. 19 Tahun 2014 tentangPenetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 tentangPerubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. MKberpendapat bahwa Pemerintah harus melakukanpemantauan, evaluasi, dan pengawasan denganmelihat dari sisi biaya dan manfaat (cost and ben-ef it) yang diberikan kepada masyarakat, bangsa

Page 9: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

127Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

dan negara, dan melakukan perubahan syarat-syarat kontrak karya untuk mengantisipasi dampaknegatif kegiatan penambangan terhadap ling-kungan hidup yang disertai dengan kewajibanuntuk merehabilitasi atau memperkecil dampaknegatif demi kepentingan generasi sekarang mau-pun generasi mendatang.

MK menyatakan bahwa dari kelima fungsiHMN tersebut terdapat peringkat antara fungsiyang satu dengan lainnya. Dalam putusan PerkaraNo. 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,kelima peranan Negara/Pemerintah dalampengertian penguasaan negara itu, jika tidakdimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harusdimaknai secara bertingkat berdasarkan efektif itas-nya untuk mencapai sebesar-besarnya kemak-muran rakyat. Menurut MK, “bentuk penguasaannegara peringkat pertama dan paling pentingadalah negara melakukan pengelolaan secara lang-sung atas SDA agar negara mendapatkan keun-tungan yang lebih besar dari pengelolaan SDA.Peringkat kedua adalah negara membuat kebijakandan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkatketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan”(Yance Arizona 2014, 279).

Selanjutnya agar pelaksanaan HMN itu tidakmenimbulkan kesewenang-wenangan yangmengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM danmenimbulkan kerugian bagi orang dan badanhukum tertentu, maka perlu dilakukan pembatasanterhadap HMN. UUPA di dalam Penjelasan Umummemuat 3 (tiga) pembatasan terhadap HMN, yaitu:(1) oleh tujuan HMN itu sendiri; (2) oleh hak atastanah seseorang dan badan hukum; (3) oleh hakulayat masyarakat hukum adat yang secara faktualmasih eksis.

Pembatasan oleh tujuannya yaitu ‘dipergunakanuntuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’berarti bahwa kata dipergunakan itu merupakantujuan dari pada dikuasai (oleh negara) tersebut(A.P. Parlindungan 1984, 11). Selanjutnya HMN juga

dibatasi oleh hak-hak seseorang dan badan hukum.Penjelasan Umum UUPA menyatakan bahwa“kekuasaan negara mengenai tanah yang sudahdipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi olehisi dari hak itu, artinya sampai seberapa negaramemberi kekuasaan kepada yang mempunyainyauntuk menggunakan haknya, sampai disitulahbatas kekuasaan negara tersebut. Dengan demikianterhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai dengansesuatu hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luasdan penuh daripada tanah-tanah yang sudahdilekati hak oleh seseorang atau badan hukum.Dengan perkataan lain, negara lebih leluasa men-jalankan kekuasaannya atas tanah yang masih ber-status tanah negara.”

Ketiga, HMN juga dibatasi oleh keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat yang secarafaktual masih ada. Sekiranya kepentingan umummenginginkan hak ulayat, maka perolehan tanah-nya hanya dapat dilakukan setelah masyarakathukum adat pemegang hak tersebut “didengarpendapatnya” dalam arti diajak bermusyawarahdan diberikan recognitie. Tegasnya, dalam keadaanbiasa, tidak bisa memperoleh tanah ulayat tanpaadanya persetujuan dari masyarakat hukum adatpemegang Hak Ulayat tersebut.17

Terkait dengan pembatasan HMN, Maria S.W.Sumardjono menyatakan bahwa dalam hal fungsi‘mengatur’ dari HMN, maka wewenang untukmengatur itu dibatasi oleh 2 (dua) hal: pertama,pembatasan oleh Undang-Undang Dasar; dan ke-dua, pembatasan yang bersifat substantif.”18

Pembatasan oleh UUD bermakna pengaturan olehnegara tidak boleh berakibat pelanggaran hak-hakdasar manusia, tidak boleh bias terhadap kepen-tingan suatu pihak, terlebih jika hal itu menim-bulkan kerugian kepada pihak lain. Seseorang yangharus melepaskan hak atas tanahnya berhakmemperoleh perlindungan hukum dan penghar-gaan yang adil atas pengorbanannya itu”.19

Pembatasan yang bersifat substantif terkaitpertanyaan apakah peraturan yang dibuat relevan

Page 10: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

128 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

dengan tujuannya, yaitu untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat. Oleh karena itu kewenanganpembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelega-sikan kepada organisasi swasta karena hal yangdiatur berkaitan dengan kesejahteraan umum, saratnilai pelayanan, tapi dapat terjadi konflik kepen-tingan karena pihak swasta merupakan bagian darimasyarakat yang juga ikut diwakili kepentingan-nya”.20

E. Pelimpahan Kewenangan HMN

Wewenang penguasaan SDA oleh negara yangmerupakan pelimpahan ‘hak publik’ dari HakBangsa dapat dilimpahkan kembali. Ragaan berikutmenampilkan pelimpahan HMN pada negara dankemudian oleh negara dilimpahkan kembali padabeberapa otoritas. Oleh otoritas tersebut kemudiandilakukan pengaturan penguasaan, pemilikan,penggunaan, dan pemanfaatan SDA tersebut.

Konsepsi Penguasaan Sumber Daya Agraria

Ragaan tersebut menunjukkan bahwa pengu-asaan negara atas SDA sebagaimana diamanatkanoleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diperoleh negaraberdasarkan prinsip atribusi21. Atas dasar atribusitersebut, negara – dalam hal ini Pemerintah–kemudian melimpahkan wewenang penguasaandan pengelolaan SDA kepada beberapa otoritasberdasarkan undang-undang. Otoritas tersebutadalah: hutan oleh otoritas kehutanan; mineral danbatu bara serta minyak dan gas bumi oleh otoritaspertambangan; tanah oleh otoritas pertanahan22;

pesisir oleh otoritas wilayah pesisir; sumber dayaair oleh otoritas perairan; dan udara, sampai saatini belum diatur dengan undang-undang sehinggabelum diatur otoritas yang berwenang. Di dalamtulisan ini hanya ditinjau wewenang-wewenangyang terdapat pada otoritas pertanahan, kehutanandan pertambangan.

Pelimpahan HMN atas SDA pada otoritaskehutanan melahirkan kewenangan untuk mene-tapkan kawasan hutan23 melalui Keputusan MenteriKehutanan, sedangkan pelimpahan HMN atas SDApada otoritas pertambangan melahirkan kewe-nangan untuk menetapkan Wilayah Pertambangan(WP)24 atas SDA berupa Mineral dan Batubara. WPterbagi atas Wilayah Usaha Pertambangan(WUP)25, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)26,dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN)27.Sementara itu, atas SDA berupa Minyak dan GasBumi Otoritas Pertambangan berwenang mene-tapkan Wilayah Kerja (WK).

Kewenangan untuk menetapkan ‘kawasan’ olehOtoritas Kehutanan, dan ‘Wilayah’ oleh OtoritasPertambangan tersebut merupakan wewenangyang berkarakter publik, yaitu wewenang untukmelakukan pengaturan dalam penggunaan danpemanfaatan SDA berupa hutan dan tambangtersebut. Sementara itu, Otoritas Pertanahan tidakdiberi kewenangan untuk menetapkan kawasanatau wilayah tertentu sebagai wilayah kewe-nangannya, sama halnya dengan otoritas yangmengelola sumber daya air dan wilayah pesisir.Hanya saja, otoritas pertanahan diberi kewenanganuntuk memberikan Hak Pengelolaan28 yangberkarakter ‘publik’ kepada subyek hak tertentu(instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD).

Di dalam kawasan hutan, Otoritas Kehutanankemudian berwenang untuk menerbitkan izinpemanfaatan hutan dan izin penggunaan hutan.Izin pemanfaatan hutan terdiri atas: izin usahapemanfaatan hutan, izin usaha pemanfaatan jasalingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutankayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan

Page 11: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

129Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu. Sementaraitu, izin penggunaan hutan adalah izin pinjam pakaikawasan hutan yang bermaksud menggunakanhutan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan diluar kehutanan. Izin penggunaan kawasan hutanhanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutanproduksi dan kawasan hutan lindung dengan skema‘pinjam pakai’.

Di dalam Wilayah Kerja (minyak dan gas bumi),Otoritas Pertambangan berwenang menerbitkanIzin Usaha dan Kontrak Kerja Sama (KKS). IzinUsaha adalah izin yang diberikan kepada BadanUsaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengang-kutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuanmemperoleh keuntungan dan/atau laba. KKSadalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak ker-ja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploi-tasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnyadipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuranrakyat.

Di dalam Wilayah Pertambangan, OtoritasPertambangan berwenang menerbitkan Izin UsahaPertambangan (IUP). Menurut UU No. 4 Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,IUP adalah izin untuk melaksanakan usahapertambangan. IUP terdiri dari 2 (dua) tahap, yaituIUP Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikanumum, eksplorasi, dan studi kelayakan; dan IUPOperasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruk-si, penambangan, pengolahan dan pemurnian, sertapengangkutan dan penjualan.

Otoritas Pertanahan, yang tidak berwenangmenetapkan kawasan atau wilayah tertentu, mem-punyai wewenang untuk menerbitkan ‘hak atastanah’ dalam hal penguasaan, pemilikan, penggu-naan dan pemanfaatan tanah. Dalam rejim HukumTanah Nasional, hak atas tanah yang berkarakterperdata yang diterbitkan oleh Otoritas Pertanahanadalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan, dan Hak Pakai. Selain itu, hak atastanah yang berkarakter publik yang diterbitkan olehOtoritas Pertanahan adalah Hak Pengelolaan.

F. Catatan Akhir

HMN merupakan kewenangan untuk mengu-asai SDA yang diperoleh oleh negara melaluipelimpahan hak publik dari Hak Bangsa. Atas dasarkewewenang tersebut, negara mengeluarkankebijakan, membuat pengaturan, melakukanpengurusan, pengelolaan dan pengawasan terhadappenguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan SDA. Dalam pelaksanaan ‘menguasai’ itu,HMN dibatasi oleh tujuannya serta oleh hak-haklain yang telah ada atas SDA.

Perlu menjadi catatan tentang konsepsi HMNatas SDA seperti kehutanan dan pertambangan.Catatan tersebut meliputi 2 (dua) hal, yaitu: per-tama, hak penguasaan atas tanah yang tertinggimenurut UUPA adalah Hak Bangsa. Oleh karenaitu pertanyaannya adalah apakah dalam peraturanperundang-undangan lain seperti kehutanan danpertambangan juga menempatkan Hak Bangsasebagai hak yang tertinggi. Kedua, menurut UUPAHMN merupakan pelimpahan hak publik dari HakBangsa kepada negara untuk melakukan ‘penge-lolaan’ SDA tersebut. Pertanyaannya adalah, apakahkonsepsi pelimpahan tersebut juga merupakankonsepsi yang melatarbelakangi penguasaan SDAlainnya dalam peraturan perundang-undangantentang kehutanan dan pertambangan. Mencer-mati peraturan perundang-undangan tentangKehutanan dan Pertambangan tidak terlihat adanyakonsepsi pelimpahan hak publik dimaksud.

Oleh karena itu, agar pelaksanaan HMNtersebut sesuai dengan cita hukum negara KesatuanRepublik Indonesia maka seyogianya dilakukanpersamaan konsepsi dan persepsi tentang HMNserta sinkronisasi peraturan perundang-undanganterkait.

Endnote1 Menurut Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan

Wiradi, jenis-jenis sumber daya agraria adalah (a)tanah atau permukaan bumi; (b) perairan; (c) hutan;(d) bahan tambang (di bawah permukaan bumi dan

Page 12: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

130 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

di bawah laut) seperti minyak, gas, emas, biji besi,timah, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu,dan lain-lain; (e) udara. Jenis sumber daya agrariaini tidak saja merujuk pada ruang di atas bumi danair tetapi juga materi udara (CO²) itu sendiri; lihatM.T. Felix Sitorus “Lingkup Agraria” dalamEndang Suhendar et al (Penyunting), 2002, MenujuKeadilan Agraria. 70 Tahun Gunawan Wiradi,Penerbit Akatiga, Bandung, hlm. 35.

2 Menurut Indroharto, atribusi adalah pemberianwewenang pemerintahan yang baru oleh suatuketentuan peraturan perundang-undangan, yangdalam konteks ini dari UUD kepada Negara, lihatRidwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara,Penerbit P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.104.

3 res communes, res publicae adalah barang-barang yangberada di luar lalu lintas perdagangan dan meru-pakan bagian dari res extra commercium. Res communesadalah barang-barang, termasuk tanah, yangmenurut kodratnya dipergunakan untuk keperluanumum dan tidak dapat dimiliki (udara, air, sungai,dan sebagainya); res publicae adalah barang-barangyang menurut kodratnya dipergunakan untukkeperluan negara; dan res sanctae (res sacrae atau resreligiosae) adalah barang-barang yang dipergunakanuntuk keperluan suci. Lihat Notonagoro, 1984,Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indone-sia, Penerbit Binacipta, Jakarta, hlm. 13; SunarjatiHartono, 1976, op.cit., hlm. 45; dan Iman Sutiknyo,1990, Politik Agraria Nasional. Hubungan Manusiadengan Tanah yang berdasarkan Pancasila, GadjahMada University Press, Yogyakarta, hlm. 22.

4 Terdapat 3 (tiga) model konsepsi hubungan negaradengan tanah yaitu: (1) Negara sebagai subyek yangdapat dipersamakan dengan perorangan yangbersifat privaatrechtelijk, negara sebagai pemilik. Haknegara adalah hak dominium; (2) Negara sebagaisubyek dalam kedudukannya sebagai negara yangbersifat publikrechtelijk. Hak negara adalah hak do-minium juga, di samping itu dapat digunakan hakpublik; dan (3) Negara sebagai subyek yaitu sebagaipersonifikasi rakyat, jadi bukan sebagai peroranganatau badan kenegaraan. Hak negara adalah hak kom-munes atau hak imperium, yaitu hak menguasaitanah atau penggunaannya”, lihat Iman Soetiknyo,1990, op.cit., hlm. 20.

5 Aliran pikiran yang menyatakan bahwa negara ituterdiri atas dasar teori perseorangan, sebagaimanadiajarkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke(abad ke 17), Jean Jacques Rousseau (abad ke 18),Herbert Spencer (abad ke 19), H.J. Laski (abad ke20). Menurut aliran pikiran ini, negara ialah ma-

syarakat hukum (legal society) yang disusun ataskontraknya antara seluruh seseorang dalam masya-rakat itu (contract social). Susunan hukum negarayang berdasar individualisme terdapat di negeriEropah Barat dan di Amerika; lihat MuhammadYamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-UndangDasar 1945, Penerbit Yayasan Prapanca, hlm., 110.

6 Disebut juga class theory sebagaimana diajarkanoleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggapsebagai alat dari sesuatu golongan (sesuatu klasse)untuk menindas klasse lain. Negara ialah alatnyagolongan yang mempunyai kedudukan ekonomiyang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain, yang mempunyai kedudukan yanglembek. Negara kapitalis, ialah perkakasnya bour-geoisie untuk menindas kaum buruh, oleh karenaitu para Marxis menganjurkan revolusi politik darikaum buruh untuk merebut kekuasaan negara agarkaum buruh dapat ganti menindas kaum bourgeoi-sie. Lihat ibid, hlm.110-111.

7 Teori integralistik diajarkan oleh Spinoza, AdamMuller, Hegel, dll. (abad ke 18 dan 19). Menurutpikiran ini negara ialah tidak untuk menjaminkepentingan seseorang atau golongan, akan tetapimenjamin kepentingan masyarakat seluruhnyasebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan ma-syarakat yang integraal, segala golongan, segalabagian, segala anggotanya berhubungan erat satusama lain dan merupakan persatuan masyarakatyang organis. Yang terpenting dalam negara yangberdasar aliran pikiran integral ialah penghidupanbangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepadasesuatu golongan yang paling kuat, atau yang pal-ing besar, tidak menganggap kepentingan seseorangsebagai pusat, akan tetapi negara menjamin kese-lamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persa-tuan yang tak dapat dipisah-pisahkan; lihat ibid,hlm.111.

8 Negara memperoleh kewenangan itu karena tidaksemua permasalahan atau urusan dapat dilakukanatau diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Fungsinegara di dalam penyelenggaraan sebagian kepen-tingan masyarakat itu hanyalah bersifat meleng-kapi. Dalam hal-hal di mana masyarakat dapatmenyelesaikan masalah atau kepentingannyasendiri dan selama hal tersebut tidak bertentangandengan kepentingan atau hak pihak lain, makacampur tangan negara tidak diperlukan. Lihat FranzMagnis-Suseno dalam Maria S.W. Sumardjono,“Kewenangan Negara Untuk Mengatur DalamKonsep Penguasaan Tanah Oleh Negara” dalamSuparjo Sujadi, 2011, Pergulatan Pemikiran dan AnekaGagasan Seputar Hukum Tanah Nasional (Suatu

Page 13: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

131Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

Pendekatan Multidisipliner), Badan Penerbit FHUI,Jakarta, hlm. 24.

9 Maria S.W. Sumardjono, “Kewenangan Negara ....ibid, hlm. 25.

10 UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusidengan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 dibaca-kan pada tanggal 18 Februari 2015.

11 Politik pertanahan diartikan sebagai jawaban ataspertanyaan, apa: yang dilakukan dengan tanah yangada, akan digunakan untuk apa, dengan tujuan apadan hal-hal apa yang harus diadakan atau dilakukanuntuk mencapai tujuan tersebut. Lihat Boedi Har-sono, “Kerangka Persoalan dan Pokok-Pokok Kebi-jakan Pertanahan Nasional” dalam Anonim, 1994,Laporan Seminar “Permasalahan dan Tantangan Poli-tik Pertanahan Dalam PJP II”, Kerjasama FakultasHukum Universitas Gadjah Mada dengan BadanPertanahan Nasional, Yogyakarta, 29 Oktober 1994,hlm.39.

12 Maria SW.Sumardjono, “Kewenangan Negara …op.cit, hlm.23.

13 ibid, hlm.25-26.14 ibid, hlm. 33.15 ibid, hlm.74.16 ibid, hlm. 74.17 Oloan Sitorus dalam http://

gubukhukum.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diunduh padatgl.11 Februari 2014 jam 05.50.

18 Maria SW. Sumardjono, “Kewenangan Negara …op.cit., hlm.25.

19 ibid, hlm. 25.20 ibid, hlm.25-26.21 Disebut juga atribusi dari original legislator dalam

hal ini MPR, lihat Ridwan HR, 2006, op.cit, hlm.104.22 Otoritas pertanahan memperoleh kewenangan

untuk menguasai dan mengelola pertanahanmelalui Peraturan Presiden, untuk yang terkahirlihat Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013tentang Badan Pertanahan Nasional Republik In-donesia. Pasal 2 Perpres ini berbunyi: BPN RImempunyai tugas melaksanakan tugas pemerin-tahan di bidang pertanahan secara nasional, regional,dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan. Sebelumnya kewenanganotoritas pertanahan diatur dengan Peraturan Pre-siden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Perta-nahan Nasional. Pasal 2 Perpres tersebut berbunyi:Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugasmelaksanakan tugas pemerintahan di bidang perta-nahan secara nasional, regional dan sektoral.

23 Dimaksudkan dengan Penetapan Kawasan Hutanadalah Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri KehutananRepublik Indonesia Nomor P.44/MENHUT-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan seba-gaimana terakhir diubah dengan Peraturan MenteriKehutanan Republik Indonesia Nomor :P.62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas PeraturanMenteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Di dalamPeraturan tersebut ditegaskan bahwa PengukuhanKawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan penun-jukan, penataan batas, dan penetapan kawasanhutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukanuntuk memberikan kepastian hukum atas kawasanhutan yang meliputi proses penunjukan kawasanhutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaankawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.

24 Wilayah Pertambangan adalah wilayah yangmemiliki potensi mineral dan/atau batubara dantidak terikat dengan batasan administrasi peme-rintahan yang merupakan bagian dari tata ruangnasional (Pasal 1 angka 29 UU No.4 Tahun 2009tentang Mineral dan Batubara)

25 WUP adalah bagian dari WP yang telah memilikiketersediaan data, potensi, dan/atau informasigeologi (Pasal 1 angka 30 UU No.4 Tahun 2009 ten-tang Mineral dan Batubara).

26 WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukankegiatan usaha pertambangan rakyat (Pasal 1 angka32 UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral danBatubara)

27 WPN adalah bagian dari WP yang dicadangkanuntuk kepentingan strategis nasional (Pasal 1 angka33 UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral danBatubara)

28 Hak Pengelolaan didefinisikan sebagai hak mengu-asai dari negara yang kewenangan pelaksanaannyasebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. (Pasal1 angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/KepalaBPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata CaraPemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negaradan Hak Pengelolaan). Dilihat pada jenis keputusanpemberian haknya, Keputusan Kepala BadanPertanahan Nasional tentang Pemberian HakPengelolaan kepada subyek hak tertentu merupakankeputusan yang bersifat konkret, individual danfinal. Hal tersebut membedakannya dengankeputusan yang diterbitkan oleh otoritas kehutanantentang penunjukan kawasan hutan; dan keputusanyang diterbitkan oleh otoritas pertambangan ten-tang penunjukan wilayah pertambangan dan wila-yah kerja yang bersifat umum dan konkret.

Page 14: HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA Julius

132 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Daftar Pustaka

Aboesono, tanpa tahun, Sedjarah Hukum dan PolitikAgraria di Indonesia. Djilid 1 (DjamanPendjadjahan), Akademi Agraria di Jogjakarta.

Anonim, 2012, Laporan Akhir Tim PengkajianHukum Tentang Pengelolaan Tanah Negara BagiKesejahteraan Rakyat, Pusat Penelitian danPengembangan Sistem Hukum Nasional,Badan Pembinaan Hukum Nasional,Kementerian Hukum dan Hak Asasi ManusiaRepublik Indonesia, Jakarta.

Arizona, Yance, 2014, Konstitusionalisme Agraria,Penerbit STPN Press, Yogyakarta.

Harsono, Boedi, “Kerangka Persoalan dan Pokok-Pokok Kebijakan Pertanahan Nasional” dalamAnonim, 1994, Laporan Seminar “Perma-salahan dan Tantangan Politik PertanahanDalam PJP II”, Kerjasama Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada dengan BadanPertanahan Nasional, Yogyakarta, 29 Oktober1994.

——, 1997, Hukum Agraria Nasional. SejarahPembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Hukum TanahNasional, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Hartono, Sunaryati, 1976, Capita Selecta Per-bandingan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.

HR. Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara,Penerbit P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Mulyani, Lilis, “Pengelolaan Sumber Daya Alam diMata Mahkamah Konstitusi: Analitis KritisAtas Putusan Mahkamah Konstitusi tentangSumber Daya Alam” dalam Jurnal Masyarakatdan Budaya, Volume 10 Nomor 2 Tahun 2008.

Notonagoro, 1984, Politik Hukum dan PembangunanAgraria di Indonesia, Penerbit Binacipta,Jakarta.

Parlindungan, A.P., 1984, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit Alumni,Bandung.

Puspa, Yan Pramadya, 1977, Kamus Hukum. EsisiLengkap Bahasa Belanda, Indonesia danInggeris, Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.

Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan,UIIPress, Yogyakarta.

Sitorus, M.T Felix, “Lingkup Agraria” dalam Endang

Suhendar, Satyawan Sunito, M.T. Felix Sitorus,Arif Satria, Ivanovich Agusta dan Arya HadiDharmawan (Penyunting), 2002, MenujuKeadilan Agraria. 70 Tahun Gunawan Wiradi,Penerbit Akatiga, Bandung.

Sitorus, Oloan, Ig. Indradi, Rakhmat Riyadi, Sapar-diyono, Deden Dani Saleh dan Dominikus B.Insantuan, 2008, “Aspek Hukum TanahNegara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunandi Provinsi Sumatera Utara” dalam Bhumi,Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008.

Suhendar, Endang, Satyawan Sunito, M.T. FelixSitorus, Arief Satria, Ivanovich Agusta, danArya Hadi Dharmawan (Penyunting), 2002,Menuju Keadilan Agraria. 70 Tahun GunawanWiradi, Penerbit Yayasan Akatiga, Bandung.

Sumardjono, Maria S.W., “Kewenangan NegaraUntuk Mengatur Dalam Konsep PenguasaanTanah Oleh Negara” dalam Suparjo Sujadi,2011, Pergulatan Pemikiran dan Aneka GagasanSeputar Hukum Tanah Nasional (Suatu Pen-dekatan Multidisipliner), Badan Penerbit FHUI,Jakarta.

Suparjo, 2014, Manifestasi Hak Bangsa Indonesiadan Hak Menguasai Negara Dalam PolitikHukum Agraria Pasca Proklamasi 1945 HinggaPasca Reformasi 1998 (Kajian Teori KeadilanAmartya K. Sen), Disertasi, Program StudiIlmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sutiknyo, Iman, 1990, Politik Agraria Nasional.Hubungan Manusia dengan Tanah yangberdasarkan Pancasila, Gadjah Mada Univer-sity Press, Yogyakarta.

Yamin, Muhammad, 1959, Naskah PersiapanUndang-Undang Dasar 1945, Penerbit YayasanPrapanca.

Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum AdministrasiNegara Indonesia, Penerbit Fakultas Hukumdan Pengetahuan Masyarakat UniversitasNegeri Padjadjaran.

Oloan Sitorus dalam http://gubukhukum.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diunduhpada tgl.11 Februari 2014 jam 05.50.