Upload
faishal-himawan
View
68
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
HAL WANITA TAMPIL
Karena Kiai Sudrun diketahui orang terkadang melatarbelakangi penciptaan dan
pementasan karya-karya seni—misalnya qasidah, seni hadrah, bahkan seni musik dan teater—
maka banyak ia diserbu pertanyaan, “Apakah wanita Muslimah diperbolehkan untuk tampil di
panggung?”
Dari forum ke forum, ada berbagai “tahap” jawaban Sudrun. Tapi akhir-akhir ini ia
menjawab—“Saya setuju sepenuhnya bahwa wanita dilarang tampil di panggung atau
pokoknya di muka umum!”
Para penganut “wanita dilarang tampil” tentu saja senang mendengar pernyataan
Sudrun. Tapi para penganut “wanita boleh tampil” jadi belingsatan.
“Apa maksud Kiai?” mereka bertanya.
“Ya pokoknya tidak boleh tampil!” jawab Sudrun tegas.
“Tak boleh naik panggung?”
“Tak boleh!”
“Main drama? Baca sajak?”
“Tak boleh!”
“Pidato? Baca Qur’an?”
“Tak boleh!”
“Lho! Bagaimana ini! Bagaimana kalau jalan-jalan keluar rumah? Itu kan namanya
tampil juga di depan umum! Jalan raya kan juga bisa berfungsi seperti panggung?”
“Ya! Wanita tak boleh tampil!”
“Kalau begitu taruh saja kaum wanita di dalam almari atau kulkas, atau bungkus
dalam karung!”
“Lho, kenapa harus begitu?” surun ganti bertanya.
“Katanya tidak boleh tampil…?”
Sudrun tertawa. “Yang namanya wanita tampil itu adalah manusia yang menampilkan
kewanitaannya,” katanya, “kalau Benazir Bhutto berpidato, yang tampil adalah seorang
Perdana Menteri. Benazir menampilkan kepemimpinannya, intelektualitasnya, prestasinya,
fungsi sosialnya—dan bukan kewanitaannya. Kalau Anda pacaran dengan cara silaturrahmi
intelektual atau rohaniah, maka dialog yang terjadi bukanlah terutama dialog antara lelaki
dengan wanita, atau apalagi antara kelelakian dengan kewanitaan; kecuali kalau Anda pacaran
secara anak muda sekarang pada umumnya. Jadi maksud saya “wanita dilarang tampil” ialah
dalam konteks bahwa seorang manusia yang kebetulan berjenis wanita itu tidak boleh
menonjolkan benda atau unsur-unsur kewanitaannya, entah melalui glasnost aurat,
sensualitas, lenggak-lenggok merangsang, atau bentuk ekspresi kewanitaan apa pun. Allah
melarang wanita tampil sesungguhnya dengan maksud agar kaum wanita tertantang untuk
mensosialisasikan prestasi kemanusiaannya. Kalau yang disosialisir adalah anasir seksualnya,
entah lewat pacaran liberal, lewat buka-buka paha di film atau tabloid—itu dilarang oleh
segala pertimbangan kebudayaan dan peradaban yang sehat. Soalnya, kaum lelaki pasti
senang melihat unsur kewanitaan ditonjol-tonjolkan. Tapi lelaki yang punya pikiran tentang
kesehatan rohani, kesehatan mekanisme kultur, atau kesehatan dalam arti apa pun—tentu
meletakkan kesenangannya itu pada nomer dua puluh tujuh. Lelaki yang sehat akal budinya
selalu hidup tidak terutama berdasar kesenangan, tapi kebaikan dan kesehatan…”
Emha Ainun Nadjib. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai. Hal. 191—192.