10
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek "Hamba Allah" Sebuah "Maqam Tanpa Nama" (tulisan ini merupakan bagian dari risalah “Kun Fa Yakuun: Mengenal Diri Mengenal Ilahi”) Risalah Mawas Diri Atmo “Hak Penciptaaan Hanya Milik Allah semata “ Distribusikan secara bebas untuk kepentingan Umat Islam 2005-2057 adalah era tegaknya Cahaya Pemurnian Tauhid Kun Fa Yakuun________________________________________________ 1

Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

"Mengenal Diri dan Mengenal Ilahi" sebagai aforisma sufistik yang menjadi kunci untuk mengenal manusia secara utuh sebagai hamba Allah akhirnya memang akan berbicara tentang akhlak mulia sebagai suatu atribut ketuhanan yang dinisbahkan kepada manusia sebagai suatu hidayah dan anugerah. Ketika manusia tidak menyadari hal ini, maka eksistensinya sebagai citra Tuhan akan jatuh, sejatuh-jatuhnya yang menyebabkan dirinya memiliki derajat yang sangat rendah.

Citation preview

Page 1: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

"Hamba Allah" Sebuah "Maqam Tanpa Nama"

(tulisan ini merupakan bagian dari risalah “Kun Fa Yakuun: Mengenal Diri

Mengenal Ilahi”)

Risalah Mawas Diri Atmo

“Hak Penciptaaan Hanya Milik Allah semata “ Distribusikan secara bebas untuk kepentingan Umat Islam 2005-2057 adalah era tegaknya Cahaya Pemurnian Tauhid

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 1

Page 2: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

"Mengenal Diri dan Mengenal Ilahi" sebagai aforisma sufistik yang menjadi kunci

untuk mengenal manusia secara utuh sebagai hamba Allah akhirnya memang

akan berbicara tentang akhlak mulia sebagai suatu atribut ketuhanan yang

dinisbahkan kepada manusia sebagai suatu hidayah dan anugerah. Ketika

manusia tidak menyadari hal ini, maka eksistensinya sebagai citra Tuhan akan

jatuh, sejatuh-jatuhnya yang menyebabkan dirinya memiliki derajat yang sangat

rendah.

Ketika Nabi SAW bersabda bahwa "sesungguhnya aku diutus untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia", maka ia sebenarnya sedang

menyampaikan suatu Pesan Ilahiah bahwa kebanyakan manusia atau manusia

pada umumnya memiliki akhlak yang belum lengkap dan tidak sempurna. Nabi

Muhammad SAW menyempurnakan akhlak yang mulia mengindikasikan bahwa

manusia sejatinya memang mempunyai akhlak yang mulia (berfitrah suci, dalam

keadaan keseimbangan optimum awal mula) sebagai wujud kesadaran dirinya

bahwa ia memberikan kesaksian atas ke-Esa-an Tuhan. Dengan syariat

kemudian Nabi Muhammad SAW lebih formal lagi memberikan pendidikannya

kepada manusia sebagai suatu instrumen praktis untuk mengubah kualitas-

kualitas Azazil Sang Iblis yang tercela, yang muncul setelah ruh dan jasad

memanusia dan ditempatkan di dunia seperti sombong, iri, dengki, dan lain-

lainnya, menuju kepada kualitas-kualitas yang mulia. Namun, syariat saja tidak

cukup oleh karena syariat memerlukan suatu dorongan internal yang lebih

permanen yang berasal dari qolbu sebagai esensi lathifah manusia sehingga

syariat tidak sekedar “jurus tanpa tenaga”. Hakikat kemudian dinisbahkan juga

kepada manusia agar ia lebih mampu, secara pribadi, untuk mentransformasikan

semua akhlak dan perilakunya sebagai atribut-atribut kemuliaan yang telah

dianugerahkan Tuhannya. Sehingga, dengan Hakikat sebagai akhir perjalanan

suluk-nya dan titik tolak penyingkapan-Nya, maka ia akan mampu melakukan

Lompatan Kuantum dengan penyaksian bahwa Realitas Absolut adalah al-Haqq,

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 2

Page 3: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

sehingga manusiapun hanya mampu mengatakan “Aku mengenal Allah dengan

Allah”.

Melalui para nabi dan rasul, wali, dan para pewaris ilmunya, syariat dan hakikat

kemudian menjadi instrumen yang terpadu sebagai pembangun akhlak mulia

tersebut. Apa yang nampak dalam akhlak dan perilaku Nabi Muhammad SAW

sebenarnya dengan jelas menunjukkan bahwa manusia harus mengarahkan

dirinya kedalam "penghambaan" (ubudiyah) mutlak kepada Allah. "Tak seorang

pun di langit dan di bumi , kecuali akan datang kepada Tuhan Yang maha

Pemurah selaku seorang hamba (QS 19:93)". Dengan kata lain, menjadi jelas

bahwa semua makhluk hakikatnya adalah hamba Allah yang mengada di alam

semesta sebagai bagian dari Rahmat dan nafas Kasih Sayang Allah SWT

semata (ar-Rahmaan Ar-Rahiim). Sehingga dapat dipahami kenapa dalam setiap

penciptaan, dalam setiap awal perubahan dan tindakan makhluk, semuanya

mesti dimulai dengan Basmalah; dan dalam setiap akhir perubahan dan tindakan

makhluk mesti diakhiri dengan Hamdalah.

Oleh karena kehambaan makhluk ini, maka semua perintah Allah dan larangan-

larangan-Nya wajib dipatuhi, makhluk harus menyelaraskan diri dengan

sunnatullah-Nya serta ridha atas semua ketentuan-Nya, dan makhluk harus

mengikuti contoh kesempurnaan manifestasi Insan Kamil (akhlak Nabi

Muhammad SAW). Inilah yang tidak dipahami Azazil Sang Iblis ketika

membangkang perintah Allah untuk bersujud menghormati Adam; Namun

Ibrahim memahami ini, sehingga ia ridha untuk mengorbankan Ismail sebagai

wujud kepatuhannya sebagai hamba.

Dihadapan Allah,

semua makhluk adalah sekedar wayang

yang mematuhi-Nya setiap saat.

Dihadapan Allah,

semua makhluk adalah hamba-Nya yang fakir,

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 3

Page 4: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

yang membutuhkan-Nya setiap saat.

Tanpa penghambaan dan kefakiran,

maka manusia menjadi budak Azazil,

yang mewujud dalam kesombongan.

Padahal, kesombongan adalah selendang Kebesaran -Nya,

yang tidak satu makhluk pun boleh mengenakannya.

Menurut Ibnu Arabi, tugas manusia sebagai hamba Allah, dimanapun ia berada,

di zaman apapun, adalah untuk memahami sepenuhnya Kefakiran Radikal si

hamba dari segala sesuatu, terutama dari dirinya sendiri. Tindakan yang

sempurna tentang hal ini kemudian disebut "penghambaan". Menurut Jami,

kefakiran sebagai hamba Allah adalah kefakiran yang menafikan semua afiliasi

amal, status (ahwal), dan peringkat (maqamat) dari dirinya. Seorang sufi yang

menjadi hamba Allah tidak memperhatikan dan menisbahkan lagi status dan

peringkat dirinya pada apapun, bahkan ia sudah tidak memperhatikan dan

mengetahui siapa dirinya. Ia sudah tidak memiliki wujud eksistensi lagi, juga

segala esensi dan atribut diri. Ia terhapus dalam keterhapusan, ia lebur-binasa

dalam keleburan. Sehingga dikatakan oleh Syaikh Abū ‘Abd Allāh Ibn Khafif r.a.,

“Kefakiran adalah kehancuran kepemilikan dan keluar dari hukum-hukum

atribut.” Dengan kata lain, seperti seringkali diungkapkan oleh para sufi,

“Seorang fakir adalah orang yang tidak memiliki dan tidak dimiliki.” Definisi

kefakiran demikian merupakan definisi holistik yang sudah mencakup hakikat

dan ilustrasi tentang “kefakiran radikal” sebagai “penghambaan”. Akan tetapi,

kefakiran radikal sebagai penghambaan bukanlah kefakiran karena pilihannya

sendiri, kefakiran hamba Allah adalah kefakiran yang dipilihkan oleh Allah Yang

Mahabenar untuk dirinya karena motivasi Rahmat dan Kasih Sayang-Nya (ar-

Rahmaan ar-Rahiim).

Maka,

ketika penyingkapan menjadi penyaksian,

ketika kefakiran dirinya menjadi kehambaan,

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 4

Page 5: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

Nabi Muhammad SAW adalah hamba Allah.

Ia adalah rahasia penciptaan,

sebagai Yang Awal dan Yang Akhir,

Yang Lahir dan Yang Batin;

sebagai Muhammad dan Nur Muhammad;

sebagai baju yang dilipat pertama kali dan dikenakan terakhir kali;

sebagai Perbendaharaan Tersembunyi yang maujud (menjadi makhluk);

sebagai manifestasi semua penciptaan makhluk;

sebagai esensi “Basmalah” dan “Kun Fa Yakuun”.

Maka dialah habib Allah (Kekasih Allah),

dimana tersemat padanya Kemahagaungan dan Kemahaindahan-Nya.

Itulah yang dipilihkan baginya oleh-Nya,

ketika Dia hembuskan Rahmat dan Nafas Kasih Sayang-Nya,

untuk ber-tajalli dengan semua Asma dan Sifat-Nya bahwa

hakikat semua makhluk itu tidak ada, maka

Yang Ada hanya Dia.

Sebagai hamba Allah, maka manusia selayaknya dapat menghendaki tiadanya

maqam tertinggi, oleh karena ketinggian adalah milik Allah SWT semata. Maka,

karena penghambaan adalah pilihan yang dipilihkan oleh Allah, kehendak

dirinya yang menghendaki tiadanya maqam tertinggi adalah esensi kebaqaannya

dimana semua kehendak dirinya melenyap secara mandiri menjadi kehendak

Allah semata. Jadi, manusia yang menjadi seorang hamba Allah adalah manusia

yang berada dalam suatu “sudut pandang tanpa sudut pandang”, Ibnu Arabi

menyebutnya “Maqam Tanpa Maqam”, atau saya katakan suatu "Maqam Tanpa

Nama". Setelah sama sekali tidak menonjolkan dirinya di hadapan al-Haqq,

seorang hamba yang sempurna tidak lagi memiliki dirinya sendiri, ia menjadi

terfanakan, dan kemudian menjadi kehilangan segalanya, ia tidak memiliki

peringkat, lantas iapun termurnikan seperti awal mula dan eksis kembali dalam

kebaqaan-Nya, ia pun berdiri pada "Maqam Tanpa Nama". Ia hanyalah hamba

Allah semata.

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 5

Page 6: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

Ketika seorang berada dalam “Maqam Tanpa Nama”, maka si hamba Allah tidak

berada dibawah belenggu perbudakan oleh sesama makhluk ataupun

diperbudak oleh perubahan kehidupan duniawi maupun ukhrawi; ia diabsahkan

dengan tersingkirnya segala macam pembedaan dalam hatinya, sehingga segala

gejala duniawi sama di hadapannya. Ia akan menunggalkan diri kepada Allah

Yang Maha Esa semata. Dan menyaksikan dengan ar-Rububiyah-Nya, ia berada

di pintu surga yang semerbak wanginya tercium di dunia. Tidak ada sesuatupun

yang memperbudaknya, baik perkara duniawi yang bersifat sementara,

pencarian kepuasan hawa nafsu, keinginan, kepemilikan, permintaan, niat,

kebutuhan ataupun ambisi. Al-Husain bin Mansyur lebih lanjut berkomentar,

“Ketika orang mencapai maqam penghambaan, segalanya nampak bebas dari

belenggu penghambaan. Lalu ia melakukannya tanpa beban. Itulah maqam para

Nabi dan kaum shiddiqin.Maksudnya, ia sendiri dipikul oleh maqam tersebut;

tanpa kesusahan, walaupun tetap konsisten dengan syariat.”

Menurut Syekh Ibnu Athaillah as sakandari,

Hamba Allah yang sempurna ini adalah hamba yang telah minum karunia Allah

dari nur Tauhid-Nya; Bertambah kesadarannya. Ia tidak menampakkan sesuatu

selain Allah. Menjadi eratlah kehadirannya di hadapan Allah. Meskipun demikian,

perjumpaannya dengan Allah tidak menghalangi penglihatannya kepada sesama

makhluk, dan penglihatannya kepada makhluk tidak menghalangi pertemuannya

dengan Allah. Dirinya tidak fana di dalam Zat Allah, sehingga tidak terhalang ia

berhubungan dengan makhluk Allah. Demikian juga perasaannya bersama

makhluk Allah tidak mengahalangi fananya ke dalam Zat Allah. Diberikan setiap

bagiannya, dan memenuhi yang mempunyai hak akan hak-haknya.

Syekh Ibnu Ibad menegaskan pendapat Ibnu Athaillah diatas,

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 6

Page 7: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

Hamba Allah yang dekat dengan Allah dan dekat dengan makhluk tidak akan

lupa kepada makhluk ketika berhadapan dengan Khaliq dan tidak menjadi lalai

apabila berada di tengah makhluk. Inilah manusia yang paling istimewa dan

khusus. Hamba Allah seperti ini tidak melupakan sesama hamba-Nya, ketika

sedang asyik masyuk dengan-Nya, dalam ibadahnya, dalam amalnya, dalam

tafakkur-nya dan ibadah lain yang memerlukan konsentrasi. Akan tetapi ia pun

tetap dalam keadaan tafakkur dan tawadu’ ketika berada di tengah-tengah

sesama hamba Allah. Ia tetap ikut mengurus kepentingan manusia akan tetapi ia

tidak larut sehingga lalai kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya.

Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah merupakan suatu teladan manusia,

merupakan contoh nyata dari gambaran Insan Kamil yaitu manusia di “Maqam

Tanpa Nama ”.

Untuk menetapkan dan memantapkan penghambaan mereka, manusia harus

menyadari hubungan-hubungan yang tepat di antara segala sesuatu. Ia menjadi

memahami bahwa apa yang nampak dalam pengertian realitas adalah maya

adanya, semua itu adalah milik Tuhan semata dan akan kembali kepada-Nya.

“innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah dan

sesungguhnya kepada-Nya kami kembali ” (QS Al-Baqarah [2]:156 ). Dalam

kehidupan sehari-hari, maka secara praktis ia harus memantapkan sikap rendah

hati secara sempurna. Manusia tidak dapat membandingkan dirinya sebagai

hamba Allah dengan Allah, bahkan dengan makhluk-Nya pun ia tidak berhak

membandingkan dirinya, karena ia sebenarnya tidak mempunyai alasan untuk

merasa lebih baik, lebih tinggi, lebih suci, dan merasa lebih dari makhluk Allah

lainnya, apalagi merasa sombong dan merasa lebih mulia dari Tuhannya.

Sehingga dalam ketiadaan dirinya, dalam kebingungannya, yang ada hanyalah

“HambaKu…HambaKu…HambaKu Allah….Allah….Allah…” sebagai nuansa

penghabisan yang melenyapkan dirinya.

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 7

Page 8: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

Dalam kehambaan, hakikat dirinya adalah lemah bahkan tiada. Semua amalnya

tidak lebih dari sekedar kewajiban kehambaannya kepada-Nya. Sehingga ia pun

semestinya tidak bergantung kepada amal-amalnya, namun menyadari bahwa

semua amalnya itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan hidayah dan

anugerah Allah kepada-Nya. Jadi, jangan merasa sombong karena ber-KTP

Islam, jangan merasa sombong karena sudah berbaju koko, jangan berasa

sombong karena sudah berjilbab, jangan merasa sombong karena sudah shalat,

jangan merasa sombong karena sudah berhaji, jangan merasa sombong karena

bertasawuf, dan jangan merasa sombong karena merasa sudah beramal lainnya.

Tanpa kehambaan diri dihadapan Allah, maka semua amal tidak seberapa

dibandingkan dengan hidayah dan anugerah Allah yang dilimpahkan setiap saat

sebagai suatu rahmat dan cinta, mulai dari manusia dilahirkan sampai azal tiba.

Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa dimensi syariat harus ditopang oleh

hakikat dimana dengan hakikat setiap segmen terkecil dari waktu si hamba mesti

disertai dengan kesadaran untuk selalu mengingat Allah semata (dzikir).

Manusia yang sempurna adalah manusia yang berkesadaran transenden dan

holistik, yang melakukan penghambaan di hadapan Dzat Yang Maha Pengasih

Lagi Maha Penyayang. Mereka yang menghamba adalah mereka yang

menerima sumber setiap sifat yang ada di dalam dirinya dan yang lain, dan

mereka menyaksikan bahwa penyifatan dirinya dengan semua akhlak yang

mengarah kepada Allah hanya dapat dilalui melalui pelakonan kehidupan

sebagai hamba Allah dengan citarasa (dzauqi) penyingkapan dan penyaksian,

bukan hanya melalui pemahaman rasional (aqli) semata. Hamba Allah adalah

mereka yang memasrahkan diri (Islam) mereka semata-mata hanya kepada

Allah SWT yang Wujud (Ihsan) dan memberikan setiap keyakinan yang menetap

secara mandiri (Iman dan Tauhid), baik berupa akhlak khusus maupun pemberi

rahmat, untuk melayani semua makhluk di semua alam.

Manusia Sempurna, kendati secara status, peringkat, dan eksistensi dirinya

menjadi musnah, ia bukanlah manusia yang musnah dari eksistensi yang maujud

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 8

Page 9: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

(sebagai manusia yang berjasad dan hidup hasil dari penciptaan). Justru,

mereka sendirilah yang nyata diantara semua makhluk yang ada, karena mereka

mengetahui dirinya sendiri dan yang lainnya untuk apa dia diciptakan. Dia sudah

melampaui “Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu”, dia nyata sekali

sebagai dia yang melihat “Allah dengan Allah”. Dia yang nyata dengan ubudiyah-

nya menyaksikan “Laa ilaaha illa Allaah, Muhammadurrasulullah”.

Setelah menyerahkan ilusi kediriannya di hamparan altar ketiadaan, mereka

tidak tampak seperti halnya batas-batas wujud yang tanpa tapal batas dan

meliputi segala sesuatu (fana), namun kemudian muncul kembali pada bentuk

selanjutnya yang termurnikan di titik keseimbangan optimum awal mula sebagai

penyingkapan diri dari yang wujud (baqa). Setelah menghilangkan berbagai

keterbatasan kemanusiaannya, mereka hidup sebagai wajah-wajah Allah yang

berubah menjadi makhluk. Mereka ada di setiap keadaan, mereka bertindak

pada setiap keadaan sebagai kebutuhan situasi menurut sifat wujud itu sendiri.

Mereka tidak berada dalam suatu maqam yang khusus, bahkan mereka tidak

lagi mengenal maqam-maqam karena semua maqam sudah menyatu menjadi

Hamba Allah sebagai Maqam Tanpa Nama, namun mereka memberi respon

pada setiap keadaan dan situasi dengan potensi dan kapabilitasnya masing-

masing sebagai karakter dasar yang diinginkan Tuhan (sesuai dengan qadā dan

qadarnya). Mereka bisa menampilkan respon yang pantas dan bahkan lebih baik

terhadap sifat-sifat alamiah tentang segala sesuatu, baik yang terjadi di alam

nyata maupun di alam gaib sebagai penerus dari rahmat untuk seluruh alam.

Dalam banyak aspek , maka :

Mereka yang menjadi hamba Allah adalah

mereka yang berjalan selaras dengan Kehendak Allah;

mereka yang menjadi hamba Allah adalah

mereka yang dihatinya tumbuh Sidratul Muntaha,

sebagai Bunga Teratai yang tenang,

yang tumbuh menjulang di suatu tempat tanpa tapal batas,

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 9

Page 10: Hamba Allah Di Maqom Tanpa Nama

Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek

sebagai wujud Kemahagungan dan Kemahaindahan Allah Azza wa Jalla.

Setiap geraknya adalah Kemahalembutan-Nya,

yang mengada dari ar-Rahmaan dan ar-Rahiim-Nya;

Desah nafasnya adalah Rahmat-Nya yang tidak pandang bulu;

Belaiannya adalah Kasihsayang-Nya;

Tatapannya adalah Ketentuan -Nya;

Ucapannya adalah Ilmu-Nya;

Langkahnya adalah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan;

Keputusannya adalah Kemahaadilan dan Kemahabijaksanaan-Nya;

Sedekahnya adalah ketulus ikhlasan yang muncul dari ridha-Nya;

Akhlaknya adalah kesempurnaan Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya;

Ketika ia berbicara tentang ke-Esa-an-Nya,

Ia sebenanya berbicara tentang cinta-Nya,

ia sebenarnya sedang menunjukkan jalan,

untuk kembali kepada-Nya.

Dan dirinya,

tak lebih dari sekedar hamba-Nya,

yang sirna di “Maqam Tanpa Nama”.

Lebak Bulus, 11 November 2004 Atmonadi

Kun Fa Yakuun________________________________________________ 10