Upload
dodat
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaaan Umum Daerah Penelitian
Kota Bogor secara geografis terletak pada koordinat diantara 106° 48‟ BT
dan 6° 36‟ LS dengan jarak ± 56 km dari kota Jakarta dengan luas wilayah 118,50
Km2. Terdiri dari 6 Kecamatan 68 Kelurahan. Kecamatan Bogor Barat termasuk
dalam wilayah Kota Bogor. Kecamatan Bogor Barat terdiri dari 16 Kelurahan,
196 RW, 796 RT dan 53.408 rumah tangga (KK). Kelurahan-kelurahan di
Kecamatan Bogor Barat meliputi Menteng, Pasir Kuda, Pasir Jaya, Pasirmulya,
Gunung Batu, Bubulak, Situgede, Margajaya, Balumbang Jaya, Semplak,
Cilendek Timur, Cilendek Barat, Curug, Loji, Curug mekar dan Sindang Barang.
Secara geografis, Kecamatan Bogor Barat memiliki batas-batas wilayah
disebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, disebelah
Timur oleh Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor,
disebelah selatan oleh Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Ciomas
Kabupaten Bogor dan disebelah utara oleh Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
(Lampiran 1). Luas wilayah Kecamatan Bogor Barat 3.174,00 Ha. Merupakan
lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman,
perkantoran, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian dan lain-lain.
Sarana dan prasarana di Kecamatan Bogor Barat terbagi menjadi prasarana
sosial dan kesehatan. Sarana dan prasarana sosial meliputi tempat ibadah
(152 mesjid), gedung sekolah (210 sekolah). Sarana dan prasarana kesehatan
meliputi rumah sakit (3 buah), puskesmas induk (5 buah), puskesmas pembantu
(4 buah), klinik (23 buah) dan praktek dokter (122 orang), bidan praktek
(25 orang) dan posyandu (208 buah).
Jumlah penduduk Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah dengan
jumlah penduduk terbanyak sebesar 210.450 jiwa. Komposisi penduduk
didominasi oleh penduduk usia muda dengan jumlah yang signifikan pada
penduduk usia produktif dengan perbandingan yang hampir mencapai angka 2 : 1.
Kegiatan perdagangan dan jasa di wilayah Kecamatan Bogor Barat sangat
dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana perhubungan melalui pembangunan
jalan-jalan baru yang memicu investor-investor baru melakukan investasi disektor
perdagangan, jasa dan terutama properti.
62
Karakteristik Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu keluarga kecil yang
beranggotakan ≤ 4 orang dan keluarga besar yang beranggotakan > 4 orang
(BKKBN 1998). Sebaran ukuran keluarga contoh di wilayah penelitian yang
memiliki anak usia 24-59 bulan kelompok stunting maupun normal, lebih besar
berada pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang (56,4%). Rata-
rata keluarga pada kelompok balita normal yaitu 4,4 ± 1,5 orang maupun
kelompok anak stunting yaitu 4,6 ± 1,3 orang seperti disajikan pada Tabel 4.
Menurut Berg (1986) keluarga yang semakin besar akan menurunkan status gizi
anak.
Tingginya persentase besar keluarga dengan jumlah ≤ 4 orang dikarenakan
data yang diperoleh umumnya berasal dari keluarga yang memiliki 1 balita dan
jarak kelahiran anak lebih dari 24 bulan (Lampiran 4). Berdasarkan penelitian
Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota
keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak
sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau. Secara statistik, tidak terdapat
hubungan bermakna (p>0,05) antara besar keluarga dengan status gizi TB/U.
Umur Orangtua
Rata-rata umur ayah pada kedua kelompok balita normal adalah 35,9 ± 8,4
tahun dan sebagian besar (75,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun
sedangkan rata-rata umur ayah pada kelompok anak stunting adalah 35,2 ± 5,9
tahun dan sebagian besar (85,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun.
Sementara rata-rata umur ibu pada kelompok anak normal adalah 30,3 ± 5,9 tahun
dan umur ibu pada kelompok anak stunting adalah 30,3 ± 6,0 tahun. Sebagian
besar (> 90%) umur ibu pada kedua kelompok berada pada kelompok umur 20-40
tahun yang termasuk dalam kategori kelompok dewasa awal. Sementara rata-rata
umur ibu pada kedua kelompok anak adalah 30,3 ± 5,9 tahun berada pada
kelompok umur 20-40 tahun (Tabel 4).
Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam
mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki
pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada
63
pengalaman orang tua terdahulu sebaliknya pada ibu yang lebih berumur
cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan
mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock
1998). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara umur
ayah dan ibu kedua kelompok balita dengan status gizi (TB/U).
Pendidikan Orangtua
Rata-rata lama pendidikan ayah pada kelompok anak normal yaitu 9,4 ± 2,5
tahun dapat dikategorikan pendidikan tinggi sementara pada kelompok anak
stunting yaitu 8,0 ± 2,5 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu 8,1 ± 2,4 tahun pada
kelompok anak normal dan 6,6 ± 1,5 tahun pada kelompok anak stunting dengan
kategori pendidikan rendah.. Menurut Madanijah (2003), tingkat pendidikan
orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak
termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi.
Secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) tingkat pendidikan
ayah dan pendidikan ibu antara kelompok balita normal dan stunting. Berdasarkan
tabulasi silang antar variabel bahwa pendidikan ayah yang tinggi memberikan
kontribusi terhadap pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan
pola asuh lingkungan yang baik (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan pendidikan
orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena orangtua dengan
pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya peranan orangtua
terhadap anak. Semakin tinggi pendidikan diduga semakin baik pengetahuan
gizinya dan ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mengetahui tentang
cara mengolah bahan makanan, cara mengatur menu mengatur makanan anak
sehingga keadaan gizi anak terjamin. Madanijah (2003) menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi,
kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung
mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.
Pekerjaan Orangtua
Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh ayah contoh (100%) pada kedua
kelompok balita mempunyai pekerjaan (bekerja) dan persentase nilai tertinggi
(80%) ibu contoh tidak bekerja. Sebagian besar (63,6%) pekerjaan ayah sebagai
buruh sementara ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu
64
rumah tangga (IRT) (Lampiran 4). Menurut Sukarni (2002), mata pencaharian
memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan.
Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga
Variabel
Kelompok balita Total
p-
value Stunting Normal
n % N % n %
Besar keluarga 0,609
≤ 4 orang 38 54,3 41 58,6 79 56,4
> 4 orang 32 45,7 29 41,4 61 43,6
Rata-rata ± SD 4,6 ± 1,3 4,4 ± 1,5
Umur Ayah 0,134
< 20 tahun 0 0 0 0 0 0
20-40 tahun 60 85,7 53 75,7 113 80,7
> 40 tahun 10 14,3 17 24,3 27 19,3
Rata-rata ± SD 35,2 ± 5,9 35,9 ± 8,4
Umur Ibu 0,331
< 20 tahun 2 2,9 0 0 2 1,4
20-40 tahun 64 91,4 67 95,7 131 93,6
> 40 tahun 4 5,7 3 4,3 7 5
Rata-rata ± SD 30,3 ± 6,0 30,3 ± 5,9
Pendidikan Ayah 0,004*
Rendah 56 80 40 57,1 96 68,6
Tinggi 14 20 30 42,9 44 31,4
Rata-rata ± SD 8,0 ± 2,5 9,4 ± 2,5
Pendidikan Ibu 0,007*
Rendah 66 94,3 55 78,6 121 86,4
Tinggi 4 5,7 15 21,4 19 13,6
Rata-rata ± SD 6,6 ± 1,5 8,1 ± 2,4
Pekerjaan Ayah ----
Bekerja 70 100 70 100 140 100
Tidak bekerja 0 0 0 0 0 0
Pekerjaan Ibu 0,035*
Bekerja 19 27,1 9 12,9 28 20
Tidak bekerja 51 72,9 61 87,1 112 80
Tinggi Badan Ayah 0,310
< 165 cm 40 57,1 34 48,6 74 52,9
≥ 165 cm 30 42,9 36 51,4 66 47,1
Rata-rata ± SD 163,5 ± 6,8 164,8 ± 6,4 164,2 ± 6,6
Tinggi Badan Ibu 0,005*
< 156 cm 63 90 50 71,4 113 80,7
≥ 156 cm 7 10 20 28,6 27 19,3
Rata-rata ± SD 149,7 ± 5,6 1 152,5 ± 6,0
Jumlah Anak Balita 0,664
1 orang 56 80 58 82,9 114 81,4
> 1 orang 14 20 12 17,1 26 18,6
Rata-rata ± SD 1,2 ± 0,4 1,2 ± 0,4
Total 70 100 70 100 140 100
Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) status kerja
ayah dengan status gizi balita (TB/U) namun terdapat perbedaan bermakna
(p<0,05) status kerja ibu dengan status gizi balita (TB/U). Hal ini berarti ibu yang
tidak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak di rumah.
Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan Ibu yang lebih banyak
65
menghabiskan waktu di rumah (tidak bekerja) berpengaruh terhadap balita dengan
riwayat konsumsi ASI dan pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) yang baik
(Lampiran 6).
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga pada kedua kelompok dihitung dengan menggunakan
pendekatan pengeluaran pangan dan non pangan per kapita per bulan. Rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok balita normal adalah 201 291 ±
51 074 sedangkan pada kelompok balita stunting adalah 196 035 ± 41 086.
Berdasarkan batas garis kemiskinan Kota Bogor menurut BPS (2011) sebesar
Rp. 256.414,00 (Kap/bln) maka rata-rata keluarga kedua kelompok balita
termasuk kategori keluarga miskin.
Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran, jenis pengeluaran
serta proporsinya
Pengeluaran
Kelompok balita
Stunting Normal
n % n %
Tingkat Pengeluaran (Rp/Kap/bln)
< Rp. 198.663,- 30 42,9 31 44,3
≥ Rp. 198.663,- 40 57,1 39 55,7
Total 70 100 70 100
Jenis Pengeluaran (Rp/Kap/bln)
Pangan 134 828 ± 30483 139 395 ± 27352
Non Pangan 61 208 ± 30363 61 896 ± 29009
Total 196 035 ± 41086 201291 ± 51074
Proporsi Pengeluaran (%)
Pangan 69,6 ± 11,5 69,9 ± 11,2
Non Pangan 30,4 ± 11,5 30,1 ± 11,2
Total 100 100
Proporsi pengeluaran pangan dan non pangan keluarga pada kedua
kelompok disajikan pada Tabel 5. Terlihat bahwa sebagian besar (>69,5%)
pengeluaran keluarga tiap bulan pada kedua kelompok diperuntukkan untuk
pengeluaran pangan. Hanya sebagian saja yang diperuntukkan untuk keperluan
non pangan yaitu (>30%). Pengeluaran non pangan yang rutin dikeluarkan
sebagian besar keluarga pada kedua kelompok adalah untuk biaya penerangan dan
biaya pendidikan (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh pada
penelitian ini berada pada tingkat ekonomi rendah. Hal ini sesuai dengan data dari
66
Laporan Tahunan Kecamatan Bogor Barat (2010), Kecamatan Bogor Barat
memiliki jumlah KK miskin terbanyak se-Kota Bogor yaitu 11,734 KK (26%)
dari KK seluruhnya yang ada di Kota Bogor.
Tinggi Badan Orang tua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan ayah pada
kedua kelompok balita yaitu 164,2 ± 6,6 cm sedangkan tinggi badan ibu yaitu
151,1 ± 5,9 cm. Tinggi ayah kurang dari 165 cm berdasarkan AKG golongan
umur 19-49 tahun, lebih banyak (52,9%) dari ayah dengan tinggi lebih dari
165 cm (47,1%). Rata-rata tinggi badan ibu pada kelompok balita normal yaitu
152,5 ± 6,0 cm dan kelompok balita stunting yaitu 149,7 ± 5,6 cm. Selisih tinggi
badan ibu pada kedua kelompok yaitu sebesar ± 3 cm (Tabel 4). Tinggi ibu kurang
dari 156 cm berdasarkan AKG golongan umur 19-49 tahun, lebih banyak (80,7%)
dari ibu dengan tinggi lebih dari 156 cm (19,3%).
Berdasarkan uji chi square, tinggi badan ayah tidak berpengaruh (p>0,05)
terhadap status gizi balita (TB/U), namun tinggi badan ibu memberikan pengaruh
(p<0,05) terhadap status gizi balita. Hal ini sejalan dengan penelitian Aditianti
(2010) mengenai „Faktor Determinan Stunting pada anak usia 24-59 bulan di
Indonesia‟ yang menunjukkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu berhubungan
dengan stunting dan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi badan
di atas standar cenderung memiliki anak dengan status gizi (TB/U) normal.
Tabulasi silang antar variabel penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan ayah
berhubungan dengan pendidikan ayah, lebih banyak ayah yang bertubuh kecil
berpendidikan rendah (Lampiran 6).
Jumlah Anak Balita
Sebagian besar (81,4%) keluarga kedua kelompok balita memiliki 1 orang
balita dengan jumlah rata-rata adalah 1,2 ± 0,4 baik pada keluarga balita stunting
maupun keluarga balita normal (Tabel 4). Berdasarkan tabulasi silang antar
variabel, sebaran data tertinggi keluarga dengan memiliki satu orang balita
berhubungan dengan keluarga contoh yang kecil (≤ 4 orang), keluarga dengan
sedikit anak (≤ 2 orang) namun memiliki riwayat kesehatan yang kurang baik dan
lebih banyak memiliki ibu berperawakan kecil (Lampiran 6).
67
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna
(p>0,05) antara jumlah balita dengan status gizi (TB/U). Walaupun dalam
beberapa penelitian menghasilkan hal yang berbeda yaitu salah satu masalah gizi
buruk berasal dari keluarga dengan jumlah anak balita lebih dari satu orang
sebagai gambaran kehamilan dengan jarak terlalu dekat dan berkaitan dengan
perhatian, perawatan dan kasih sayang ibu kepada anak selain itu juga sesuai
dengan peraturan pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian masyarakat
dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Saputra 2009).
Karakteristik Ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (84,3%) umur ibu pada
saat hamil contoh kedua kelompok balita berada pada kelompok umur 20-40
tahun. Umur ibu pada kelompok stunting 26,5 ± 5,9 tahun dan normal 25,9 ± 5,8
tahun (Tabel 6).13,6 persen ibu hamil pada saat umur kurang dari 20 tahun, hal ini
dapat beresiko bagi ibu dan anaknya. Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa
makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta
anaknya. Selanjutnya penelitian Taylor di Thailand (1970) menyebutkan bahwa
ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20
tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih
besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009).
Penelitian menunjukkan secara uji chi square, umur ibu saat hamil tidak terdapat
hubungan yang bermakna dengan status gizi TB/U (p>0,05).
Persentase tertinggi (65%) rata-rata jumlah anak yang dilahirkan ibu contoh
pada kedua kelompok balita adalah dua orang. Selisih rata-rata jumlah balita
antara dua kelompok, terlihat bahwa jumlah anak yang dilahirkan ibu pada
kelompok normal lebih sedikit. Hal ini berdasarkan distribusi contoh yang
diperoleh lebih banyak ibu yang memiliki anak sedikit (≤2 orang). Secara statistik
tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara status gizi TB/U dengan
jumlah anak yang dilahirkan (Tabel 6). Namun tabulasi data antar variabel
menunjukkan sedikit anak (≤ 2 orang) berhubungan dengan riwayat kehamilan
ibu, praktek pemberian makan dan praktek perawatan diri yang baik (Lampiran 6).
Program KB dari BKKBN dengan moto ”dua anak lebih baik” adalah upaya
pemerintah dalam pengaturan kelahiran yang tidak hanya untuk mengendalikan
68
laju pertumbuhan penduduk, menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera selain
itu dengan Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk
perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam
kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009).
Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu
Variabel
Kelompok Balita Total
p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Umur Ibu saat hamil responden 0,811
< 20 tahun 9 12,9 10 14,3 19 13,6
20-40 tahun 60 85,7 58 82,9 118 84,3
> 40 tahun 1 1,4 2 2,9 3 2,1
Rata-rata ± SD 26,5 ± 5,9 25,9 ± 5,8
Jumlah anak yang dilahirkan 0,595
≤ 2 orang 44 62,9 47 67,1 91 65
> 2 orang 26 37,1 23 32,9 49 35
Rata-rata ± SD 2,5 ± 1,3 2,2 ± 1,4
Jarak Kelahiran anak 0,150
< 24 bulan 19 27,1 27 38,6 46 32,9
≥ 24 bulan 51 72,9 43 61,4 94 67,1
Penyakit yang pernah diderita 0,693
ada 18 25,7 16 22,9 34 24,3
tidak ada 52 74,3 54 77,1 106 75,7
Total 70 100 70 100 140 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (>60%) jarak anak yang
dilahirkan pada kedua kelompok balita yaitu berjarak ≥ 24 bulan. Namun
distribusi data yang diperoleh, balita yang jarak kelahiran ≥ 24 bulan lebih tinggi
(72,9%) pada keluarga kelompok balita stunting dibandingkan dengan kelompok
balita normal (61,4%). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, jarak kelahiran
anak ≥ 24 bulan berhubungan dengan jumlah anak lebih sedikit (≤ 2 orang).
Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jarak anak
yang dilahirkan dengan status gizi (p>0,05). Sementara menurut Supariasa (2002),
Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan
mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga. Penelitian Wyon dan Gordon
tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan
bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari
dua tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan
menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009).
Selanjutnya Wong (2008) berpendapat bahwa pengaruh terhadap anak yang lebih
69
tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu
ancaman. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri belum matang
sehingga muncul perasaan terancam.
Sebagian besar (75,7%) ibu contoh kedua kelompok balita tidak memiliki
penyakit berat sebelum kehamilan. Persentase ibu yang sehat (tidak memilki
penyakit) sebelum/saat hamil lebih tinggi (77,1%) pada kelompok balita normal
dibandingkan kelompok balita stunting (74,3%). Sementara 24,3 persen ibu
contoh yang memiliki penyakit antara lain, anemia, hipertensi, jantung, paru-paru,
kista, maag, alergi dan sakit gigi.
Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain
oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat,
tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang
mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk
disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan prematur, lahir mati,
riwayat persalinan dengan tindakan, pre-eklampsia-eklampsia, gravida serotinus,
kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak
(Manuaba 1998). Masalah-masalah yang ditemukan dokter pada wanita hamil usia
lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan disebabkan oleh diabetes, tekanan darah
tinggi dan masalah plasenta. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan
fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia,
varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000).
Hasil tabulasi silang antar variabel, bahwa penyakit yang pernah diderita ibu
berhubungan dengan jenis kelamin dan pendidikan ayah. Hal ini berarti, sebaran
data penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan lebih banyak terdapat
pada anak laki-laki dan lebih banyak memiliki ayah dengan pendidikan yang
rendah. Namun berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara status gizi dengan penyakit yang
pernah diderita ibu sebelum kehamilan (Tabel 6).
70
Karakteristik Anak
Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari
beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran
anak (Hurlock 1997).
Tabel 7 menunjukkan rata-rata z-skor pada kelompok balita stunting sebesar
-2,92 ± 0,69 dan balita normal sebesar -0,95 ± 0,91. Berdasarkan z-skor, balita
umur 24-35 tahun memiliki rata-rata tinggi badan 82,9 ± 4,4 dengan z-skor -2,15
± 1,23 sedangkan rata-rata tinggi badan anak umur 48-59 bulan yaitu 97,4 ± 5,0
memiliki z-skor sebesar -1,83 ± 1,07. Kecenderungan yang diperoleh, pada
kelompok stunting berdasarkan penggolongan umur yaitu semakin tinggi umur
anak semakin membaik pertumbuhan. Sementara pada kelompok balita normal,
fluktuatif. Hal ini menunjukkan jika tidak ditunjang dengan gizi dan pengasuhan
yang baik, maka kecenderungan yang terjadi adalah balita menjadi stunting.
Tabel 7. Rata-rata tinggi badan dan z skor TB/U berdasarkan umur, jenis kelamin
dan urutan anak dalam keluarga
Karakteristik
anak
Kelompok Balita p-
value Stunting Normal
n % Z skor TB/U n % Z skor TB/U
Umur (bulan) 0,570
24 - 35 28 40 -2,99 ± 0,69 22 31,4 -1,07 ± 0,85
36 - 47 24 34,3 -2,97 ± 0,81 25 35,7 -0,70 ± 1,00
48 - 59 18 25,7 -2,73 ± 0,46 23 32,9 -1,12 ± 0,85
Jenis Kelamin 0,310
Laki-laki 30 42,9 -2,88 ± 0,71 36 51,4 -0,85 ± 1,03
Perempuan 40 57,1 -2,95 ± 0,68 34 48,6 -1,06 ± 0,77
Urutan anak dalam keluarga 0,084
Sulung 18 25,7 2,95 ± 0,65 29 41,4 -0,81 ± 1,03
Tengah 9 12,9 2,75 ± 0,42 4 5,7 -0,95 ± 1,23
Bungsu 43 61,4 2,94 ± 0,75 37 52,9 -1,06 ± 0,79
Total 70
70
Rata-rata ± SD -2,92 ± 0,69 -0,95 ± 0,91
Selain itu, penggunaan z-skor untuk mengetahui lebih detail dimana posisi
suatu skor dalam suatu distribusi dan pada penelitian ini, grafik sebaran z-skor
TB/U memiliki kecenderungan ke arah negatif dari grafik referensi standar
WHO/NCHS (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok balita normal
memiliki kecenderungan yang besar untuk menjadi stunting.
71
Gambar 4. Grafik sebaran Z skor TB/U
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur
balita dengan status gizi TB/U tetapi tidak bermakna (p>0,05). Hasil penelitian
Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan
status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al (2009)
prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan.
Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, umur anak berhubungan dengan
praktek pemberian makan. Semakin bertambah umur anak semakin baik pula
praktek pemberian makan yang diberikan ibu contoh (Lampiran 6).
Persentase anak laki-laki pada kelompok balita normal lebih tinggi (51,4%)
dengan rata-rata nilai z-skor -0,85 ± 1,03 daripada anak perempuan (48,6%)
dengan rata-rata nilai z-skor -1,06 ± 0,77. Umumnya anak laki-laki lebih
dibebaskan dalam memilih makanan dan pemberian makanan untuk anak laki-laki
lebih banyak dari anak perempuan. Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana
orangtua memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi
kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003).
Namun demikian berdasarkan hasil uji chi-square tidak terdapat hubungan
bermakna (p>0,05) antara jenis kelamin dengan status gizi.
Menurut urutan kelahiran pada penelitian ini menunjukkan bahwa
persentase tertinggi (57,1%) balita contoh merupakan anak bungsu dengan rata-
rata nilai z-skor -2,07 ± 1,2 dan sebagian besar berada pada kelompok balita
72
stunting (61,4%). Selanjutnya diikuti oleh anak sulung dan persentase kelompok
anak tengah yang lebih tinggi (12,9%) dibanding kelompok balita normal (5,7%).
Menurut Maulani (2002) Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya
akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya.
Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan
rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang
tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Secara statistik, tidak
terdapat perbedaan urutan anak (contoh) yang bermakna (p>0,05) terhadap status
gizi TB/U. Namun tidak sejalan dengan penelitian Macharia et al. (2005)
menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting
pada anak balita.
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu
Pengetahuan gizi dan kesehatan yang dimiliki ibu sangat penting dan
diharapkan anak yang diasuh dan dirawat dapat mencapai tingkat pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal. Pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 24-59
bulan dengan status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berdasarkan kelompok balita
Variabel
Kelompok Balita Total p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu 0,002*
Baik 30 42,9 48 68,6 78 55,7
Kurang 40 57,1 22 31,4 62 44,3
Total 70 100 70 100 140 100
Tabel 8 terlihat bahwa persentase ibu balita contoh dengan pengetahuan gizi
dan kesehatan yang baik, lebih tinggi (55,7%) dibandingkan ibu balita yang
kurang pengetahuan gizi dan kesehatan (44,3%). Berdasarkan pengetahuan gizi
dan kesehatan yang baik, ibu kelompok balita normal memilki nilai yang lebih
tinggi (68,6 %) dibandingkan kelompok balita stunting (42,9%). Sebagian besar
ibu dapat menjawab dengan benar pertanyaan mengenai ASI Ekslusif, susunan
makanan yang bergizi (4 sehat 5 sempurna), sanitasi dan higienis pangan dan
lingkungan, kegiatan posyandu yang meliputi penimbangan, manfaat Iodium
pemberian kapsul vitamin A serta pemantauan tumbuh kembang balita. Namun
73
pengetahuan ibu tentang gizi yang umumnya kurang diketahui adalah pertanyaan
mengenai kolostrum, cara pengolahan bahan pangan, pembuatan larutan oralit,
berat badan lahir normal, fungsi dan sumber bahan pangan zat gizi (Lampiran 5).
Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut
menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola
penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan
makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan
seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007).
Tabulasi silang data antar variabel menunjukkan bahwa ibu dengan
pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berhubungan dengan riwayat kehamilan dan
riwayat konsumsi ASI. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik,
memberikan dampak riwayat kehamilan dan riwayat konsumsi ASI yang baik
(Lampiran 6). Berdasarkan hasil uji chi square, terdapat hubungan positif yang
bermakna (p<0,05) antara pengetahuan ibu dengan status gizi TB/U. Sejalan
dengan hasil Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan
gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang
sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008),
penegetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu.
Riwayat Kehamilan, Kelahiran dan Konsumsi ASI
Riwayat Kehamilan Ibu
Penentuan Riwayat kehamilan ibu meliputi jenis persalinan, tempat
persalinan, komplikasi persalinan, riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan
serta makanan dan minumam yang dikonsumsi selama kehamilan. Tabel 9
menunjukkan rata-rata riwayat kehamilan ibu contoh termasuk dalam kategori
baik sebesar 75,7 persen. Riwayat kehamilan ibu kategori baik pada kelompok
balita normal lebih tinggi (84,3%) daripada kelompok balita stunting (67,1%).
Ibu yang termasuk kategori kurang baik (24,3%) umumnya memiliki komplikasi
pendarahan, pernah mengalami keguguran, mengkonsumsi jamu, tidak
mengkonsumsi suplemen yang diberikan petugas kesehatan dan tidak melakukan
pemeriksaan kehamilan secara berkala.
74
Menurut Arisman (2004) Jika seluruh bahan makanan yang diperlukan
untuk ibu hamil dikonsumsi, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan
terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui
suplementasi. Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus
mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi.
Kebiasaan minum jamu dilakukan beberapa ibu dan merupakan tradisi turun
temurun yang diwariskan dari nenek moyang. Namun dalam pemakaiannya harus
tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan, terutama bila ada riwayat
keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada
trimester pertama merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan, kemungkinan
pada trimester kedua bisa lebih longgar, tapi meskipun demikian harus tetap
berhati-hati, dosis pemakaiannya disesuaikan, disertai pemeriksaan antenatal care
(Melindacare 2010).
Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kehamilan ibu, kelahiran anak dan
konsumsi ASI
Variabel
Kelompok Balita Total p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Riwayat Kehamilan 0,018
Baik 47 67,1 59 84,3 106 75,7
Kurang 23 32,9 11 15,7 34 24,3
Riwayat Kelahiran Anak 0,398
Baik 37 52,9 32 45,7 69 49,3
Kurang 33 47,1 38 54,3 71 50,7
Riwayat Konsumsi ASI 0,693
Baik 52 74,3 54 77,1 106 75,7
Kurang 18 25,7 16 22,9 34 24,3
Total 70 100 70 100 140 100
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
(p<0,05) antara riwayat kehamilan ibu dengan status gizi (TB/U). Menurut Lubis
(2003) Kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu
sebelum dan selama hamil. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan
selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan
dengan berat badan normal.
Variabel lain pada pengukuran riwayat kehamilan ibu yaitu penolong
persalinan dan tempat persalinan. Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10 yaitu
75
ibu contoh lebih banyak dibantu pada saat persalinan oleh bidan (65,7%) dan
dukun bayi (25%). Umumnya ibu contoh lebih banyak berkonsultasi dan
mempercayakan kehamilannya kepada bidan dan dukun bayi daripada dokter. Hal
ini karena juga dipengaruhi faktor biaya yang dikeluarkan bila berkonsultasi
maupun melahirkan di bantu oleh dokter umumnya lebih banyak.
Tempat persalinan yang umumnya digunakan ibu contoh yaitu tempat bidan
(60%). Persentase tertinggi kedua tempat persalinan yang dipilih yaitu di rumah.
Rumah dipilih sebagai tempat persalinan karena selain faktor biaya yang menjadi
alasan utama juga proses persalinan berlangsung sealami mungkin (Tabel 10).
Tabel 10. Variabel penunjang pada riwayat kehamilan ibu
Variabel lain
Kelompok Balita Total
Stunting Normal
n % n % n %
Penolong persalinan
Dokter 4 5,7 6 8,6 10 7,1
Bidan 41 58,6 51 72,9 92 65,7
Dukun bayi 24 34,3 11 15,7 35 25
Saudara/famili 1 1,4 0 0 1 0,7
Kader 0 0 2 2,9 2 1,4
Tempat persalinan
RS/RB 2 2,9 10 14,3 12 8,6
Bidan 40 57,1 44 62,9 84 60
Dukun bayi 3 4,3 2 2,9 5 3,6
Puskesmas 1 1,4 1 1,4 2 1,4
Rumah 24 34,3 13 18,6 37 26,4
Total 70 100 70 100 140 100
Riwayat Kelahiran Anak
Penentuan riwayat kelahiran anak meliputi panjang dan berat badan,
sumber informasi saat lahir serta riwayat penyakit bawaan yang dimiliki anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase riwayat kelahiran contoh lebih
tinggi (50,7%) berada pada kategori kurang baik dibandingkan kategori baik
(49,3%) (Tabel 9). Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, beberapa anak
yang termasuk dalam kategori kurang baik dikarenakan ibu contoh saat persalinan
dibantu oleh selain dokter maupun bidan yang belum memiliki fasilitas kesehatan
yang memadai sehingga kurang adanya perhatian terhadap pengukuran maupun
penimbangan pada saat bayi lahir serta higienitas peralatan yang digunakan.
Sumber informasi yang didapat mengenai pengukuran panjang maupun berat
76
badan saat lahir mengandalkan pengakuan atau ingatan ibu saja serta adanya
penyakit bawaan saat lahir berupa flek di paru-paru, asma serta alergi.
Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan
pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011) panjang bayi lahir merupakan
pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Berdasarkan hasil
penelitian di Bogor, penambahan panjang bayi berjalan dengan baik hanya sampai
usia 5 bulan setelah itu gangguan pertumbuhan linier mulai terjadi (Schmidt et al.
2002).
Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan
kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g,
sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi
lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan
BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi
normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth
(<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin
(intrauterine).
Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat
kelahiran anak dengan status gizi (TB/U). Berdasarkan tabulasi silang antar
variabel menunjukkan bahwa riwayat kelahiran anak berhubungan dengan urutan
anak dalam keluarga dan praktek pemberian makan. Balita dengan riwayat
kelahiran baik, umumnya dimiliki oleh anak bungsu. Selain itu, dengan riwayat
kelahiran yang baik memberikan dampak yang baik pula terhadap pola asuh
(praktek pemberian makan) yang diberikan ibu (Lampiran 6).
Riwayat Konsumsi ASI
Penentuan riwayat konsumsi ASI contoh meliputi pemberian kolostrum,
ASI eksklusif, makanan-minuman saat lahir, MP-ASI serta pemberian susu
formula. Tabel 9 menunjukkan hasil riwayat konsumsi ASI baik lebih tinggi
(75,7%) dibandingkan riwayat konsumsi ASI yang kurang baik (24,3%). Hasil
riwayat konsumsi ASI baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (77,1%) dari
kelompok balita stunting (74,3%). Berdasarkan hasil data dan wawancara, riwayat
konsumsi ASI yang kurang baik disebabkan antara lain oleh kurangnya
77
pengetahuan mengenai kolostrum, masih menganggap kotor ASI pertama yang
keluar dan khawatir anak akan sakit. Masih ada ibu yang tidak memberikan ASI
eksklusif dengan beberapa alasan karena ASI yang keluar sedikit, anak rewel
sehingga diberikan makan bahkan ada yang memberikan air tajin dengan alasan
agar usus menjadi kuat. Memberikan makanan dan minuman saat lahir seperti
madu. Pemberian MP-ASI yang terlalu cepat (< 6 bulan) seperti pisang mas
dengan alasan untuk membersihkan perut sehingga akan menurunkan konsumsi
ASI dan mengalami gangguan pencernaan atau bisa diare.
Hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
(p>0,05) antara status gizi TB/U dengan riwayat konsumsi ASI. Namun Beberapa
penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap status pemberian ASI
telah banyak dilakukan. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak
usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al. (2003) adalah konsentrasi seng
dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI.
Sementara penelitian di Sudan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status
gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang
berkolerasi dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al.
2000).
Berdasarkan hasil data tabulasi silang antar variabel, menunjukkan riwayat
konsumsi ASI berhubungan dengan status kerja ibu dan pengetahuan gizi dan
kesehatan. Balita dengan riwayat konsumsi ASI baik berasal dari ibu yang tidak
bekerja (ibu rumah tangga) dan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang
baik pula (Lampiran 6).
Pola Asuh Makan dan Kesehatan
Pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal
pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik,
mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga
lainnya (FAO/WHO 1992). Pengasuhan didefinisikan juga sebagai perilaku dan
praktek dari pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam
hal makanan, kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk
tumbuh kembang anak (Engle & Lotska (1999) dalam Jallow 2006).
78
Pola Asuh Makan
Pola asuh makan yang diukur dalam penelitian ini meliputi praktek
pemberian makan dan praktek sanitasi pangan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa persentase tertinggi (63,6%) praktek pemberian makan berada pada
kategori baik dan 36,4 persen termasuk kategori kurang baik. Ibu yang memiliki
praktek pemberian makan kategori baik, lebih tinggi (70%) berada pada kelompok
balita normal dibandingkan kelompok stunting (57,1%). Berdasarkan hasil
wawancara, kategori kurang baik dikarenakan beberapa hal, antara lain: pada
umur kurang dari 6 bulan, balita sudah diberikan makanan padat pertama;
makanan yang diberikan hanya sesuai dengan permintaan atau kesukaan anak
tanpa memperhatikan kandungan gizi yang ada dengan alasan anak rewel; serta
ada beberapa anak yang sulit makan dengan frekuensi makan kurang dari 3 kali.
Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan hubungan praktek
pemberian makan dengan umur balita, banyak anak, riwayat kehamilan ibu, dan
riwayat kelahiran anak kategori baik. Hal ini berarti, sebaran data praktek
pemberian makan yang baik berada pada balita umur 36-47 bulan dan berada pada
keluarga dengan anak kurang dari 2 orang. Praktek pemberian makan baik
dipengaruhi oleh riwayat kehamilan ibu dan riwayat kelahiran anak yang baik
pula. Praktek pemberian makan berhubungan dengan riwayat kesehatan dan
keragaman yang kurang baik. Hal ini mengindikasikan balita dengan riwayat
kesehatan dan keragaman makanan yang kurang baik mendapatkan perhatian yang
lebih (baik) dari ibu balita contoh untuk perbaikan status gizi balita tersebut
(Lampiran 6).
Berdasarkan uji chi square, tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05)
antara praktek pemberian makan dengan status gizi TB/U. Namun penelitian yang
dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36 bulan di Amerika
Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki status gizi yang
lebih bagus. Penelitian Turnip (2008) terhadap positive deviance anak usia 12-24
bulan di Kecamatan Sidikalang, Medan, menghasilkan bahwa anak yang status
gizinya tidak baik memiliki peluang 4,3 kali pada keluarga yang kebiasaan
pemberian makan tidak baik. Selanjutnya Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu yang
benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak.
79
Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan
Variabel
Kelompok Balita Total p-
value stunting normal
n % n % n %
Praktek Pemberian Makan 0,114
Baik 40 57.1 49 70 89 63,6
Kurang 30 42,9 21 30 51 36,4
Praktek Sanitasi Pangan 0,233
Baik 43 61,4 36 51,4 79 56,4
Kurang 27 38,6 34 48,6 61 43,6
Total 70 100 70 100 140 100
Tabel 11 menunjukkan persentase tertinggi (56,4%) praktek sanitasi pangan
yang dilakukan ibu contoh berada pada kategori baik sedangkan 43,6 persen
dikategorikan tidak baik. Praktek sanitasi pangan kategori baik pada kelompok
balita normal lebih rendah (51,4%) daripada kelompok stunting (61,4%).
Berdasarkan hasil wawancara, masih ada ibu yang kadang-kadang bahkan tidak
mencuci tangan dengan sabun sebelum memasak, masih ada ibu yang kadang-
kadang tidak memisahkan makanan mentah yang busuk dengan yang masih baik,
hal ini sebaiknya jangan dilakukan karena biasanya mengandung banyak kuman
pathogen. Masih ada ibu yang menghangatkan kembali makanan lama (<2 jam)
untuk diberikan ke anaknya.
Menurut WHO (2005), mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau
membunuh patogen mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam
mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak
dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan
bagian dari kotoran organik.
Pola asuh makan terkait dengan pemberian makan yang mencukupi
kebutuhan anak, yang pada akhimya akan memberikan sumbangan terhadap status
gizi anak. Hal ini berarti pola asuh makan secara tidak langsung berhubungan
dengan baik buruknya status gizi anak balita. Hasil tabulasi silang antar variabel
diperoleh bahwa praktek sanitasi pangan dipengaruhi oleh status kerja ibu dan
praktek perawatan diri yang baik. Hal ini berarti bahwa ibu yang lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah kemungkinan akan memberikan praktek sanitasi
yang lebih baik dan optimal. Ibu yang memberikan praktek sanitasi pangan yang
80
baik memberikan kontribusi yang baik terhadap praktek perawatan diri
(Lampiran 6).
Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
(p>0,05) antara pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) dengan status gizi
TB/U. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Astari di Bogor (2005)
yang menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata antara keluarga miskin
pada kelompok anak normal dengan pengasuhan yang meliputi praktek pemberian
makan, praktek sanitasi pangan dan praktek sanitasi lingkungan.
Pola Asuh Kesehatan
Penentuan pola asuh kesehatan meliputi praktek perawatan diri anak dan
praktek sanitasi lingkungan. Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase tertinggi
praktek perawatan diri berada pada kategori baik (65%) dan kategori baik
kelompok balita normal lebih tinggi (67,1%) dibandingkan kelompok balita
stunting (62,9%). Berdasarkan hasil wawancara, beberapa kelompok balita yang
termasuk kategori kurang disebabkan antara lain: masih ada contoh yang
menggunakan alat mandi dengan saudara lainnya, masih ada ibu yang tidak
menggantikan baju anak setelah selesai mandi karena dianggap masih bersih,
masih ada ibu pada kedua kelompok anak tidak membersihkan anak bahkan
kadang tidak mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan dan setelah
buang air besar serta kurangnya perhatian ibu terhadap perawatan kebersihan anak
dengan tidak memperhatikan kebersihan kuku dengan memotong secara berkala
seminggu sekali. Menurut WHO (2005) kuku dan tangan yang kotor, tidak dicuci
dengan sabun sebelum makan dapat menjadi lubang entri bagi telur cacing.
Mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau membunuh patogen
mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif
untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak,
minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik
(WHO 2005). Selain itu, Procop & Cockerill (2003) mengatakan bahwa salah satu
pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghentikan penularan diare, antara
lain menjaga higiene pribadi yang baik dengan mencuci tangan setelah keluar dari
toilet terutama selama mengolah makanan.
81
Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan
Variabel
Kelompok Balita Total p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Praktek Perawatan Diri 0,595
Baik 44 62,9 47 67,1 91 65
Kurang 26 37,1 23 32,9 49 35
Praktek Sanitasi Lingkungan 0,038*
Baik 36 51,4 48 68,6 84 60
Kurang 34 48,6 22 31,4 56 40
Total 70 100 70 100 140 100
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (60%) praktek sanitasi
lingkungan berada pada kategori baik dan persentase tertinggi berada pada
keluarga kelompok balita normal (68,6%) dibandingkan kelompok stunting
(51,4%). Menurut Syarief (1997) Selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan,
status gizi seseorang secara langsung dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan
sanitasi, termasuk sanitasi lingkungan pemukiman.
Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05)
antara praktek perawatan diri dengan status gizi TB/U. Namun ada hubungan
yang bermakna (p<0,05) antara praktek sanitasi lingkungan dengan status gizi
TB/U (Tabel 12). Data tabulasi silang antar variabel menunjukkan bahwa praktek
perawatan diri berhubungan dengan urutan anak dalam keluarga, banyak anak,
riwayat kehamilan dan praktek sanitasi pangan. Hal ini berarti praktek perawatan
diri yang baik, lebih banyak berada pada keluarga yang memiliki sedikit anak
(≤ 2 orang), merupakan anak bungsu, riwayat kehamilan ibu yang baik dan
memiliki praktek sanitasi pangan yang baik. Sementara praktek sanitasi
lingkungan berhubungan dengan pendidikan ayah. Hal ini berarti bahwa praktek
lingkungan yang baik juga dapat berasal dari ayah yang berpendidikan rendah
(Lampiran 6).
Variabel lain yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan praktek
sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan jamban keluarga, sumber air untuk MCK
dan ketersediaan tempat sampah (Tabel 13).
82
Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia harus diperhatikan,
karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan kotoran.
Penyakit-penyakit tersebut disebarkan melalui air (water born disease) seperti
penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri (Entjang 2000). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) keluarga contoh sudah
memiliki kesadaran untuk memiliki jamban keluarga sendiri. Sedangkan yang
tidak memiliki jamban sendiri ( 19,3%) umumnya menggunakan kali dan jamban
umum. Jamban umum yang disediakan ada yang terawat dengan kesadaan warga
sendiri namun lebih banyak yang kotor, dalam keadaan terbuka bahkan ada yang
sudah rusak.
Tabel 13. Variabel penunjang pada praktek sanitasi lingkungan
Variabel Kelompok Balita Total
Stunting Normal
n % n % n %
Memiliki jamban keluarga
Ya 49 70 64 91.4 113 80.7
Tidak 21 30 6 8.6 27 19.3
Sumber air untuk MCK
Ledeng 1 1.4 9 12.9 10 7.1
Sumur/pompa 63 90 60 85.7 123 87.9
Mata air 2 2.9 0 0 2 1.4
Air gunung 2 2.9 1 1.4 3 2.1
Sungai 2 2.9 0 0 2 1.4
Tempat sampah
tertutup, di luar
rumah 4 5.7 13 18.6 17 12.1
tertutup, di dalam
rumah 5 7.1 8 11.4 13 9.3
terbuka, di luar
rumah 13 18.6 3 4.3 16 11.4
terbuka, di dalam
rumah 48 68.6 46 65.7 94 67.1
Total 70 100 70 100 140 100
Pada umumnya, sumber air untuk MCK pada keluarga contoh berasal dari
sumur yang ditutup (87,9%). Menurut Entjang (2000) Air sumur merupakan air
dalam tanah dan merupakan sumber utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah
perkotaan. Harus memperhatikan jarak sumur terhadap resapan/septic tank,
mencukupi syarat kesehatan. Air sumur mengandung unsur Fe dan Mn.
Konsentrasi besi yang tinggi dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan
perkakas dapur.
83
Penyimpanan sampah rumah tangga dalam penelitian ini pada umumnya
dengan cara menyediakan tempat sampah terbuka di dalam rumah dan selanjutnya
dibuang di tempat pembuangan sampah umum (62,1%). Berdasarkan kedua
kelompok balita baik stunting maupun normal, melakukan perlakuan terhadap
sampah yang tidak jauh beda (>60%). Tempat pembuangan sampah pada lokasi
penelitian berada di pinggir-pinggir jalan dan tanah kosong. Pertambahan
penduduk perkotaan menyebabkan bertambahnya jumlah maupun ragam kegiatan
masyarakat dan menimbulkan beban pencemaran yang berat. Menurut Entjang
(2000) pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan
dampak pencemaran lingkungan dan pada gilirannya kesehatan manusia dan
makhluk hidup lainnya akan terrganggu.
Riwayat Kesehatan Anak Balita
Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak yang menderita penyakit
infeksi selain mempengaruhi daya imun juga mempengaruhi nafsu makan yang
kemudian akan berpengaruh pada status gizi. Sebaran contoh berdasarkan riwayat
penyakit yang pernah diderita selama 3 bulan yang lalu yaitu 94,3 persen balita
terkena penyakit infeksi. Menurut Martianto et al. (2008) bahwa adanya penyakit
dapat menyebabkan gangguan penyerapan zat-zat gizi yang dikonsumsi oleh anak
balita. Hal ini dapat menjadi penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi.
Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa)
dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah infeksi yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Tabel
14 menunjukkan sebagian besar balita contoh (70,7%) tidak mengalami diare
dalam kurun waktu tiga bulan yang lalu. Pengobatan yang dilakukan ibu pada
anak yang menderita diare, umumnya pergi ke puskesmas dan diberi obat.
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan
yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran
pernapasannya. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak
kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan
lingkungan yang tidak hygiene. Tabel 14 menunjukkan persentase terbesar
(70,7%) kelompok anak yang pernah menderita ISPA. ISPA yang terjadi pada
84
penelitian ini, masih berada dalam kategori ISPA ringan akibat batuk pilek biasa.
Pengobatan yang dilakukan ibu terhadap anaknya antara lain dengan cara,
memberikan obat anakonidin, bodrexin, parasetamol atau contrexin yang dibeli
ditoko obat hingga ada yang dibawa ke puskesmas terdekat. ISPA ringan ini
disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk tersebut
dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti
ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah.
Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA.
Tabel 14 menunjukkan bahwa 15 persen balita pernah mengalami sakit lain
selain penyakit infeksi utama yang umum terjadi pada balita, penyakit tersebut
antara lain sariawan, sakit gigi, eksim, gatal-gatal. Cara pengobatan yang
dilakukan, pergi ke puskesmas dan diberi obat. Untuk Sariawan diberikan borax
glycerine 10%. Untuk penyakit kulit diberikan salep antibiotik. Masih adanya
keluarga terutama ibu yang kurang memperhatikan kebersihan anak terutama
penyebab penyakit kulit, anak yang mandi sehari kurang dari dua kali, peralatan
mandi yang digunakan bersama dengan saudara lain seperti handuk dan pakaian.
Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit anak
Variabel
Kelompok Balita Total
Stunting Normal
n % n % n %
Diare dalam 3 bulan terakhir
Ya 24 34.3 17 24.3 41 29.3
Tidak 46 65.7 53 75.7 99 70.7
ISPA dalam 3 bulan terakhir
Ya 53 75.7 46 65.7 99 70.7
Tidak 17 24.3 24 34.3 41 29.3
Penyakit lain
Ya 12 17.1 9 12.9 21 15
Tidak 58 82.9 61 87.1 119 85
Total 70 70 140 100
Penentuan riwayat kesehatan anak meliputi sebaran kejadian diare, ISPA,
dan penyakit yang pernah diderita contoh selama 3 bulan terakhir bahkan hingga
saat pengumpulan data. Tabel 15 menunjukkan bahwa kelompok balita yang
memiliki riwayat kesehatan baik lebih kecil (22,1%) daripada kelompok balita
yang pernah terkena penyakit (77,9%). Pada kategori sehat, kelompok balita
normal lebih tinggi (30%) dibandingkan kelompok stunting (14,3%). Hal ini
85
didukung oleh hasil tabulasi silang dimana riwayat kesehatan yang baik (sehat)
memiliki besaran nilai yang tinggi dengan beberapa variabel lain yaitu balita dan
anak yang dimiliki sedikit, jarak anak lebih dari 24 bulan, pola asuh makan dan
kesehatan yang baik, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik. Hal ini
diduga menjadi faktor pendukung riwayat kesehatan yang baik pada kedua
kelompok balita walaupun berada pada kondisi keluarga kurang mampu. Secara
statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat kesehatan anak dengan
status gizi TB/U (p>0,05).
Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kesehatan anak
Variabel
Kelompok Balita Total p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Riwayat Kesehatan Balita 0,025*
Sehat 10 14,3 21 30 31 22,1
Sakit 60 85,7 49 70 109 77,9
Total 70 100 70 100 140 100
Pola Konsumsi Makan Balita
Setiap anak akan memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya.
Anak yang berumur 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak balita
3-5 tahun, merupakan konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan
yang disukai. Anak-anak pada usia prasekolah menurut Khomsan (2003), sering
dianggap sedang memasuki fase Jhony won’t eat (anak sering tidak mau makan).
Diusia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak dapat mengerat dan mengunyah
dengan baik walaupun maksimal dan bentuk makanan seperti orang dewasa,
misalnya nasi dapat diberikan, tetapi tetap disertai dengan cairan atau sayuran
berkuah. Kebiasaan makan balita yang bervariasi dalam penelitian ini dilihat dari
hasil Food Frequency Questionnaire sedangkan keragaman menu dilihat dari
variasi jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak balita per minggu yang diacu
dari FFQ yang digunakan oleh FAO bekerjasama dengan FANTA 2006.
Kebiasaan Makan Balita
Menurut Unicef (1998) penyakit yang diderita anak dan asupan makanan
yang tidak cukup penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Dari hasil
penelitian, pola makan balita secara umum hampir sama dengan pola makan
86
keluarga. Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh balita contoh (100 %) baik
kelompok balita stunting maupun normal mengkonsumsi sereal sebagai makanan
pokok yang terdiri dari nasi, mie, roti dan ubi.
Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan seminggu
Kelompok
Makanan
Kelompok Balita Total p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Sereal -----
ya 70 100 70 100 140 100
tidak 0 0 0 0 0 0
Sayuran kaya Vit. A 0.144
ya 52 74.3 59 84.3 111 79.3
tidak 18 25.7 11 15.7 29 20.7
Umbi-umbian 0.382
ya 5 7.1 8 11.4 13 9.3
tidak 65 92.9 62 88.6 127 90.7
Sayuran hijau 0.329
ya 15 21.4 20 28.6 35 25
tidak 55 78.6 50 71.4 105 75
Sayuran lain 0.466
ya 3 4.3 5 7.1 8 5.7
tidak 67 95.7 65 92.9 132 94.3
Buah kaya vitamin A 0.577
ya 19 27.1 22 31.4 41 29.3
tidak 51 72.9 48 68.6 99 70.7
Buah lain 0.673
ya 13 18.6 15 21.4 28 20
tidak 57 81.4 55 78.6 112 80
Organ Daging -----
ya 0 0 0 0 0 0
tidak 70 100 70 100 140 100
Daging (isi) 0.091
ya 4 5.7 10 14.3 14 10
tidak 66 94.3 60 85.7 126 90
Telur 0.215
ya 42 60 49 70 91 65
tidak 28 40 21 30 49 35
Ikan 0.855
ya 20 28.6 23 32.9 43 30.7
tidak 50 71.4 47 67.1 97 69.3
Polong-polongan 0.461
ya 47 67.1 51 72.9 98 70
tidak 23 32.9 19 27.1 42 30
Susu dan produk susu 0.587
ya 49 70 48 68.6 97 69.3
tidak 21 30 22 31.4 43 30.7
Minyak dan Lemak -----
ya 70 100 70 100 140 100
tidak 0 0 0 0 0 0
Coklat. permen. sirup 0.307
ya 34 48.6 28 45.2 62 44.3
tidak 36 51.4 42 60 78 55.7
Rempah, bumbu, minuman -----
ya 70 100 70 100 140 100
tidak 0 0 0 0 0 0
Total 70 100 70 100 140 100
87
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar balita contoh (79,3%)
mengkonsumsi sayuran kaya vitamin A. Persentase tertinggi berada pada
kelompok balita normal (84,3%) dibanding kelompok balita stunting (74,3%).
Sayuran kaya vitamin A terdiri dari labu, wortel, atau ubi jalar yang di dalamnya
oranye dan sayuran lain kaya vitamin A yang tersedia secara lokal (misalnya
paprika). Sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu wortel. Wortel memiliki
kandungan kimia yang komplit seperti vitamin A, B, C, D, E dan K, lemak, hidrat,
kalsium, fosfor, besi, sodium, arang, gula, beta karoten dan lain-lain. Banyaknya
kandungan kimia yang terdapat di dalamnya, menjadikan wortel sangat berguna
untuk menjaga kesehatan mata, mengatasi amandel, gangguan pernafasan dan
meningkatkan kekebalan tubuh (Medicalcare 2010).
Tabel 16 menunjukkan bahwa balita yang mengkonsumsi umbi-umbian
sangat sedikit (9,3%) baik dari kelompok balita normal maupun stunting.
Kelompok pangan umbi-umbian berdasarkan FAO (2011) antara lain
kentang putih, ubi putih, singkong, atau makanan yang berbahan dasar dari
tumbuhan berakar. Umbi kentang memiliki manfaat yang sama dengan jenis-jenis
sayuran lainnya. Setiap 100 gram kentang mengandung kalori 347 kal, protein 0,3
g, lemak 0,1 g, karbohidrat 85,6 g, kalsium 20 mg, fosfor 30 mg, zat besi 0,5 mg,
dan vitamin B 0,04 mg (Samadi 2007). Ubi kaya akan antioksidan, yaitu beta
karoten (vitamin A), vitamin C, dan vitamin E, dan seng. Semakin gelap warna
ubi, semakin banyak antioksidan yang terkandung di dalamnya. Penelitian dari
National Cancer Institute menunjukkan bahwa selain baik untuk mata, beta
karoten juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan yang dapat berperan
penting dalam menstabilkan radikal berinti karbon, sehingga mengurangi resiko
kanker (Astawan & Kasih 2008).
Banyak balita contoh (75%) yang tidak mengkonsumsi sayuran hijau
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi (25%). Kelompok Sayuran hijau dalam
penelitian ini antara lain : bayam, kangkung, daun singkong dan daun katuk.
Komponen yang terkandung dalam pangan yang berwarna hijau yaitu klorofil,
beta-karoten, asam folat, vitamin C, Vitamin K serta berbagai vitamin dan mineral
lainnya. Klorofil melindungi tubuh dari senyawa-senyawa karsinogenik
(penyebab kanker) serta pembentuk sel-sel darah merah karena kemiripan struktur
88
dengan hemoglobin dalam darah sehingga disebut juga sebagai zat antianemia
(Astawan & Kasih 2007). Selanjutnya menurut Apriadji (2007), kelompok
sayuran hijau banyak mengandung beta karoten, salah satu zat gizi antioksidan
yang berperan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Bersama zat-zat antioksidan
lainnya, betakaroten memelihara kesehatan sel-sel saraf otak. Selain itu,
kandungan antioksidan dan serat alami menjaga kesehatan dan melancarkan
saluran pencernaan. Kandungan vitamin K berperan penting dalam proses
pembekuan darah dan pembentukan tulang.
Sedikit balita (5,7%) yang mengkonsumsi kelompok sayuran lain dengan
persentase tertinggi (7,1%) terdapat pada kelompok balita normal. Kelompok
Sayuran lain yang termasuk dalam sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu
kol. Beberapa survei menunjukkan bahwa senyawa kol mengandung zat anti
kanker adalah klorofil, dithiolthione, flavonoid tertentu, isothiocyanate, fenol
(coffeic dan asam ferulat), vitamin E dan vitamin C. Kandungan sulfur didalam
kol juga dapat membantu melenyapkan alkohol dalam darah, selain itu juga
mengobati penyakit kulit (Bangun 2004).
Tabel 16 menunjukkan bahwa kelompok balita yang mengkonsumsi buah
kaya vitamin A lebih sedikit (70,7%). Pada balita yang mengkonsumsi, Kelompok
balita normal lebih tinggi (31,4) dibandingkan dengan kelompok balita stunting
(27,1%). Buah kaya vitamin A yang dikonsumsi oleh balita contoh antara lain
mangga, pepaya, pisang dan melon. Buah yang diperoleh umumnya dibeli di
warung berupa satuan dengan harga Rp. 500 – Rp. 1000,- per buah Vitamin A
merupakan vitamin yang larut dalam lemak, dan merupakan vitamin yang esensial
untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dampak kekurangan
vitamin A sangat bervariasi tergantung tingkatannya, yaitu mulai dari
pertumbuhan yang terhambat, ISPA, kulit yang bersisik, hingga masalah
kebutaan. Merupakan makanan yang tinggi karoten. Berfungsi bagi pertumbuhan
sel-sel epitel dalam pertumbuhan gigi, berpengaruh terhadap kekebalan tubuh
dalam merespon antibody, dan sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada
syaraf dan mata. Dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2004), kebutuhan
tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia.
89
Pada golongan umur balita 1-3 tahun kebutuhan akan vitamin A sebesar 350 RE
sedangkan 4-6 tahun sebesar 460 RE (Almatsier 2004).
Kelompok balita yang mengkonsumsi buah selain buah kaya vitamin A
yaitu salak, jeruk dan semangka. Jeruk dan semangka pada umumnya kaya akan
vitamin C tinggi. Pada Tabel 16 menunjukkan persentase balita yang
mengkonsumsi buah-buahan tersebut sangat sedikit (20%). Dengan persentase
tertinggi pada kelompok balita normal (21,4%) namun selisihnya kecil (18,6%)
dari kelompok balita stunting yang sama-sama mengkonsumsi. Salak merupakan
salah satu jenis tanaman buah tropis asli Indonesia. Kandungan gizi dalam tiap
100 gram buah salak segar, salak mengandung 77 kal, tinggi kalsium (28 mg) dan
fosfor (18 mg) dan bagian yang dapat dimakan dari buah salak yaitu 50%.
Mengkonsumsi salak bermanfaat untuk mengobati diare. Namun, buah salak yang
ada rasa sepetnya tidak dianjurkan bagi penderita maag dan radang usus, karena
kandungan tannin dapat memperparah kondisi usus yang luka dan sulit dicerna
(Rukmana 2008).
Pada kelompok pangan daging (isi), hanya sedikit dari balita contoh (10%)
yang mengkonsumsi, dan kelompok balita normal lebih banyak (14,3%) yang
mengkonsumsi daging dibandingkan kelompok stunting (5,7%). Daging
merupakan protein hewani, asam amino penyusun protein hewani sangat mudah
dicerna, sehingga sangat baik bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan. Daging
ayam dikonsumsi umumnya berasal dari produk sozzis siap makan. Daging sapi
yang dikonsumsi berasal dari bakso dan produk sozzis siap makan. Daging sapi
merupakan sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6, Sumber zat besi yang
baik serta mengandung selenium dan fosfor. Daging ayam merupakan sumber
protein, fosfor, dan kalsium yang baik bagi pertumbuhan balita. Kandungan 100 g
daging ayam mengandung energi 95 kkal, 18,2 g protein, 2,5 g lemak, 14 mg
kalsium, 200 mg fosfor, dan 243 SI vitamin A (Murtidjo 2003).
Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak balita contoh (65%) yang
mengkonsumsi telur dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal
(70%) dibandingkan kelompok balita stunting (60% Telur ayam adalah sumber
protein yang essensial dan kaya vitamin A, sangat penting untuk penglihatan
karena merupakan sumber karotenoid, yaitu lutein dan zeaxanthin yang terdapat
90
pada kuning telur mudah diserap ke dalam retina. Telur juga kaya akan choline
yang sangat penting bagi kesehatan, berperan dalam fungsi otak dan system saraf,
juga baik bagi kesehatan jantung karena mengandung vitamin B12. Dari sebutir
telur dengan berat 50 gram akan diperoleh 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat,
5 gram lemak, serta sejumlah vitamin dan mineral. Telur merupakan sumber
vitamin D alami kedua terbesar setelah minyak hati ikan hiu. Oleh karena itu, telur
sangat baik untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak (Astawan 2009).
Ikan dikenal sebagai makanan berprotein tinggi, terutama ikan laut yang
banyak mengandung asam lemak omega 3. Asam lemak omega 3 mampu
meningkatkan fungsi otak dalam jangka panjang. Selain itu, ikan juga sangat
efektif untuk meningkatkan konsentrasi, meningkatkan daya ingat, mencegah
kepikunan, meningkatkan kecerdasan, memperlancar sel otak, mencegah
penyusutan otak, meningkatkan kemampuan berpikir, serta mengurangi stres dan
depresi. Namun begitu, mengkonsumsi ikan tidak serta merta meningkatkan
semua itu secara instan karena efeknya akan terasa setelah mengkonsumsinya
selama beberapa lama (Medicalcare 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak
balita (69,3%) yang tidak mengkonsumsi ikan. Kelompok balita normal lebih
banyak mengkonsumsi ikan (32,9%) dari pada kelompok balita stunting (28,6%).
Kebiasaan makan balita contoh terhadap polong-polongan sangat tinggi
terutama pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok balita stunting.
Kelompok polong-polongan yang biasa dikonsumsi yaitu kebiasaan makan tempe.
Tempe merupakan olahan dari kacang kedelai yang difermentasi dan merupakan
protein yang sempurna karena mengandung semua asam amino baik yang
essensial maupun non essensial. Bermanfaat untuk pertumbuhan tubuh,
memelihara kesehatan jaringan sel tubuh, dan perkembangan otak. Setiap 100 g
tempe mengandung energy 160 kkal, protein 18,3 g, lemak 4 g, karbohidarat 12,7
g, kalsium 129 mg, dan fosfor 154 mg (Febry & Marendra 2008).
Tabel 16 menunjukkan kebiasaan balita dalam mengkonsumsi susu dan
produk susu bahwa lebih dari separuh (69,3%) balita contoh minum susu.
Persentase tertinggi terdapat pada kelompok balita stunting (70%). Konsumsi susu
pada anak balita bervariasi yaitu susu kental manis, susu bubuk dan susu UHT
(kotak) namun yang paling banyak disukai anak balita yaitu susu kental manis.
91
Susu mengandung kalsium, fosfor, zinc, vitamin A, D, B12, asam amino dan asam
pantotenat. Bagi anak-anak, susu berguna untuk pertumbuhan tulang yang
membuat anak menjadi bertambah tinggi, mencegah kerusakan gigi dan menjaga
kesehatan mulut. Susu mampu mengurangi keasaman mulut, merangsang air liur,
mengurangi plak dan mencegah gigi berlubang (Astawan 2009).
Pemanis yang dikonsumsi balita terdiri dari coklat, permen dan sirup. 44,3
persen balita contoh mengkonsumsi makanan manis dan persentase tertinggi
(48,6%) terdapat pada kelompok balita stunting. Permen adalah sejenis gula-
gula (confectionary) adalah makanan berkalori tinggi yang pada umumnya
berbahan dasar gula, air, dan sirup fruktosa. Kadar gula dalam permen tinggi,
sehingga dapat menyebabkan gigi berlubang.
Seluruh balita contoh (100%) mengkonsumsi rempah, bumbu dan minuman
dikarenakan makanan yang disajikan orangtua balita umumnya diberikan bumbu
dan rempah untuk menambah cita rasa. Hasil wawancara dengan ibu balita
menunjukkan bahwa konsumsi minuman pada anak balita cukup bervariasi bila
dilihat dari macamnya yaitu teh manis, sirup dan jajanan berupa minuma perisa
berupa frutang, ale-ale dan teh sisri. Ada banyak bahan pangan yang dapat
menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kakao,
biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan alga laut dan air
tawar (Shui, 2004). Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki
aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan
flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptide, melanoidin, produk-produk
reduksi dan asam-asam organic lain (Pratta, 1992, di dalam Panjaitan et al. 2008).
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna (p>0,05) antara kebiasaan makan balita dari 16 kelompok makanan
dengan status gizi TB/U. Gambaran mengenai kebiasaan makan anak balita
contoh mencerminkan bahwa beberapa jenis bahan makanan yang sangat kaya
akan zat gizi esensial dan dibutuhkan kelompok anak balita seperti ikan kaya
omega 3 dan daging sebagai sumber protein, susu sebagai sumber protein dan
kalsium, serta sejumlah sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin dan
mineral masih sangat terbatas dan lebih menekankan pada upaya pemenuhan
konsumsi bahan makanan pokok yakni beras. Menurut Depkes (2002b), Pola
92
makan yang sehat berdasarkan PUGS adalah makanan yang mengandung semua
unsur gizi seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, mineral dan air.
Keragaman Makanan Balita
Keragaman makanan dalam penelitian ini mengacu pada kuesioner yang
digunakan FAO bekerjasama dengan FANTA (2006). Dikelompokkan
berdasarkan kandungan makanan yang dikonsumsi dalam seminggu pada setiap
zat gizi dengan cara di skoring. Keragaman makanan dikatakan „rendah‟ jika
mengandung ≤ 3 jenis kelompok makanan yaitu serealia, sayuran hijau dan buah
kaya vitamin A. Dikatakan „sedang‟ jika keragaman makanan terdiri dari 4 hingga
5 jenis kelompok makanan, yaitu serealia, sayuran hijau, buah kaya vitamin A dan
minyak. Dikatakan keragaman „tinggi‟ jika mengandung lebih dari 6 jenis
kelompok makanan dengan penambahan sayuran lain, ikan dan polong-polongan.
Tabel 17 menunjukkan bahwa persentase tertinggi keragaman menu
makanan balita terdapat pada kelompok maksimal 3 jenis kelompok makanan
(88,6%), sementara keragaman menu makanan paling rendah (2,9%) terdapat
pada kelompok lebih dari 6 jenis kelompok makanan. Hal ini mencerminkan
bahwa tidak semua jenis makanan yang disajikan dalam menu keluarga juga
dikonsumsi oleh sebagian besar anak balita. Keadaan tersebut akan membatasi
sejumlah zat gizi yang penting atau esensial untuk mencapai proses tumbuh
kembang yang optimal bagi balita sehingga proses tumbuh kembang akan
terhambat. Keadaan ini harus diperbaiki dan diupayakan untuk lebih variasi menu
yang ada, selalu diganti dengan jenis makanan lainnya dan pengolahannya pun
divariasikan untuk menghindari kebosanan dan meningkatkan ketertarikan dalam
konsumsi jenis-jenis makanan khususnya sayuran hijau dan buah kaya vitamin A.
Tabel 17. Sebaran contoh berdasarkan keragaman makanan seminggu
Variabel
Kelompok Balita Total p-
value Stunting Normal
n % n % n %
Keragaman makanan seminggu 0,054
≤ 3 jenis kel. Makanan (kurang) 66 94.3 58 82.9 124 88,6
4-5 jenis kel. Makanan (sedang) 4 5.7 8 11.4 12 8,6
≥ 6 jenis kel. Makanan (tinggi) 0 0 4 5.7 4 2,9
Total 70 100 70 100 140 100
93
Berdasarkan hasil uji chi square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
bermakna (p>0,05) antara keragaman makanan balita contoh dengan status gizi.
Hasil tabulasi silang antar variabel menghasilkan keragaman makanan rendah
berhubungan dengan praktek pemberian makan yang kurang baik dan terjadi pada
balita yang pernah terkena penyakit infeksi dimasa lalu (Lampiran 6). Penelitian
Sandjaja (2001) dalam Positive Deviance status gizi balita menunjukkan faktor
yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah adanya penyakit infeksi
yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Arimond dan
Ruel (2004) menyatakan keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi
dan makanan dapat terhindar dari kurang gizi.
Analisis Hubungan Faktor-Faktor Terkait Resiko Stunting
Hasil analisis regresi logistik yang dilakukan untuk mengetahui variabel
yang memiliki hubungan bermakna (p<0,05) dengan stunting yaitu riwayat
kesehatan balita, status kerja ibu dan pendidikan ibu. Nilai R2 Nagelkerke sebesar
0.303 yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penelitian ini terhadap stunting anak usia 24-59 bulan sebesar 30.3 persen dan
selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti (Lampiran 7).
Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,236 kali lebih
kecil pada anak balita yang memiliki ibu berpendidikan tinggi (lebih dari
9 tahun) dengan nilai OR=0.236; 95%CI:0,057-0.973. Berarti balita yang memiliki
ibu dengan pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), memberikan dampak yang baik
terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita.
Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan pengetahuan gizi dan
kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan pola asuh lingkungan (Lampiran 6). Hal ini
menunjukkan pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena
orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya
peranan orangtua terhadap anak. Menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan
positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan
anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan
gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Selanjutnya penelitian Aditianti
(2010) menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap
94
stunting anak usia 24-59 bulan di Indonesia. Pendidikan ibu mempunyai
hubungan dengan sanitasi lingkungan dan personal hygiene yang kurang.
Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,328 kali lebih
kecil pada anak balita yang memiliki riwayat kesehatan yang baik (tidak pernah
terkena penyakit infeksi) dengan nilai OR=0.328; 95%CI: 0.129-0.835. Berarti
balita yang memiliki masa lalu kesehatan yang baik tanpa penyakit infeksi
memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal.
Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Apabila anak menderita infeksi
saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan
terjadinya kekurangan gizi. Sementara kebutuhannya meningkat karena anak
mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan,
karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk
glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak.
Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang
kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan
perkembangannya terganggu (Supariasa 2002).
Tabel 18. Hasil regresi logistik stunting
Variabel B OR
Exp(B)
95.0% C.I.for
EXP(B)
Sig.
Lower Upper
Riwayat kesehatan balita (sehat = 0)
(sakit = 1) -1.114 0.328 0.129 0.835 0.019
Pekerjaan ibu (tidak bekerja =0)
(bekerja = 1) -1.151 0.316 0.109 0.920 0.035
Pendidikan ibu (tinggi = 0)
(rendah = 1) -1.445 0.236 0.057 0.973 0.046
Tinggi badan ibu (≥ 156 cm = 0)
(< 156 cm = 1) -1.072 0.342 0.117 1.006 0.051
Prak sanitasi lingkungan (baik = 0)
(kurang = 1) -0.780 0.458 0.205 1.024 0.057
Pendidikan ayah (tinggi = 0)
(rendah = 1) -0.603 0.547 0.220 1.364 0.196
Riwayat kehamilan ibu (baik =0)
(kurang = 1) -0.489 0.613 0.241 1.562 0.305
Peng. gizi dan kesehatan (baik = 0)
(kurang = 1) -0.225 0.799 0.348 1.835 0.596
Constant 4.177 65.141 0.000
signifikan p < 0.05
95
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting
0,316 kali lebih kecil pada anak balita yang ibunya tidak bekerja dibanding balita
yang ibunya bekerja dengan nilai OR=0.316; 95%CI: 0.109-0.920. Berarti dengan
keberadaan ibu di rumah memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan
pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa terhindar dari
masalah stunting. Hal ini juga didukung dengan hasil tabulasi silang yang
menunjukkan bahwa pola pengasuhan baik pada pola asuh kesehatan dan pola
asuh kesehatan, anak terkena infeksi yang rendah serta pengetahuan gizi dan
kesehatan besar jumlahnya terdapat pada anak yang memiliki ibu dengan status
tidak bekerja. Pola asuh yang baik merupakan gambaran dari adanya interaksi
positif antara anak dengan pengasuh utama yang dapat membantu perkembangan
emosi dan psikologis anak. Dengan pola asuh yang baik termasuk dalam
memberikan perhatian dapat menciptakan perkembangan anak yang normal.
Pada umumnya di negara-negara berkembang pelaku utama pengasuhan
bagi bayi dan anak balita dalam rumah tangga adalah ibu. Hasil penelitian Rogers
dan Youssef (1988) menunjukkan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang
lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam
keluarga misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Selanjutnya, penelitian di
daerah rural Chad Afrika bahwa karakteristik ibu sebagai pengasuh utama anak
usia 12-71 bulan berpengaruh terhadap status gizi anak. Penelitian yang sama
dengan Widayani et al. (2001) menemukan korelasi yang positif antara pola asuh
ibu dengan status gizi anaknya. Proses mengasuh dan mendidik anak memerlukan
waktu yang cukup, walaupun saat ini berkembang bahwa pola pengasuhan itu
yang terpenting adalah kualitasnya, tetap saja diperlukan kuantitas dalam hal ini
waktu kebersamaan ibu dengan anaknya. Seorang wanita pekerja mempunyai
waktu yang terbatas dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Mereka harus
berbagi waktu antara bekerja, pekerjaan domestik dan mengasuh serta mendidik
anaknya.
Menurut Satoto (1997), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah
untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk
mengasuh dan merawat anak. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih
banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak
96
bisa terhindar dari masalah stunting. Sejalan dengan hasil penelitian ini, ditelusuri
dengan tabulasi silang ditemukan bahwa pola asuh yang baik dan riwayat
kesehatan anak pun baik. Tabulasi silang pola asuh yang baik berkaitan dengan
pengetahuan gizi ibu yang baik pula walaupun pendidikan ibu rendah. Berg
(1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar
dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita
khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi
makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik
diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media
massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di samping pendidikan
yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media
massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi
adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi
tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pengetahuan yang bisa
diperoleh, melalui penyuluhan gizi di posyandu dimana merupakan sarana untuk
meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang antara lain
terciptanya sikap positif terhadap gizi, terbentuknya pengetahuan dan kecakapan
memilih dan menggunakan sumber-sumber pangan, timbulnya kebiasaan makan
yang baik serta adanya motivasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal
yang berkaitan dengan gizi. (Suharjo 2003). Sejalan dengan hal ini, menurut
Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu
menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang
lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah,
kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi,
bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.
Faktor-faktor yang merupakan Positive Deviance Masalah Stunting
Untuk mengetahui faktor-faktor yang merupakan positive deviance pada
anak usia 24-59 bulan yang paling berpengaruh maka dilakukan analisis regresi
logistik dari hasil uji chi-square yaitu faktor riwayat kehamilan ibu dan praktek
sanitasi lingkungan, ternyata yang berpengaruh adalah faktor riwayat kehamilan
ibu dan praktek sanitasi lingkungan (Tabel 19). Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0.089
97
yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penelitian ini terhadap positive deviance masalah stunting balita umur 24-59 bulan
sebesar 8.9 persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti
(Lampiran 8).
Tabel 19. Hasil regresi logistik positive deviance
Variabel B OR
Exp(B)
95.0% C.I.for
EXP(B)
Sig.
Lower Upper
Prak sanitasi lingkungan (baik = 0)
(kurang = 1) -0.712 0.491 0.243 0.990 0.047
Riwayat kehamilan ibu (baik =0)
(kurang = 1) -0.954 0.385 0.169 0.879 0.023
Konstanta 0.508 1.662
0.038
signifikan p < 0.05
Tabel 19 menunjukkan bahwa variabel riwayat kehamilan ibu dan praktek
sanitasi lingkungan secara keseluruhan memiliki p-value <0,05, berarti kedua
variabel tersebut berhubungan secara signifikan dan berpengaruh negatif dengan
status gizi TB/U balita umur 24-59 bulan. Hal ini dapat diartikan bahwa anak
balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan baik, berpeluang terhindar
dari stunting 0.385 kali (95%CI: 0.169-0.879) dibanding balita yang memiliki ibu
dengan riwayat kehamilan kurang baik. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki
oleh kelompok balita normal, antara lain: ibu yang tidak pernah mengalami
keguguran, selama kehamilan tidak mengkonsumsi jamu dan melakukan
pemeriksaan kehamilan secara rutin.
Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan
risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih
intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan,
melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat
dilakukan pengobatan (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006),
perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun
pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan
resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan
perawatan kehamilan.
98
Menurut dr. Hasnah Siregar, baiknya minum jamu di saat hamil maupun
setelah melahirkan, Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah
pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang
segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin
kehigienisannya. Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada
riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya
(Melindacare 2010).
Hal ini dapat diartikan bahwa anak balita dengan praktek sanitasi
lingkungan baik, berpeluang terhindar dari stunting 0.491 kali (95%CI: 0.243-
0.990) dibanding balita dengan praktek sanitasi lingkungan kurang baik. Hasil
penelitian ini, didukung oleh beberapa penelitian lain, penelitian Fahrudin (2004)
bahwa sanitasi lingkungan rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita,
antara lain yang berkaitan dengan jenis lantai, tipe rumah, luas ventilasi,
pencahayaan dan kepadatan hunian rumah. Selanjutnya, Turnip (2008) bahwa
variabel kebersihan diri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
status gizi tidak baik, terutama kebersihan tubuh, makanan maupun lingkungan
akan memberi peluang mencegah kejadian penyakit infeksi.
Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal,
antara lain: rumah selalu di pel setiap hari sebelum anak bermain, ada jarak antara
rumah keluarga dengan tetangga, dan memperhatikan kebersihan jamban keluarga
setelah digunakan. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),
kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat, erat kaitannya dengan penyakit ISPA
dan tuberkolosis dan penyediaan air bersih serta sanitasi lingkungan yang tidak
memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare, kecacingan dan
penyakit yang ditularkan oleh vector penular (Ditjen PPM dan PL 2002).