Upload
nguyenthuan
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanfaatan Ampas Buah Merah dalam Pakan terhadap Performa Ayam Pedaging
Hasil pengamatan penelitian selama 5 minggu pemeliharaan dengan
penambahan ampas buah merah (ABM) dalam ransum basal ayam pedaging
terhadap performa ayam tercantum pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil pengamatan performa dan luas permukaan villi usus halus ayam pedaging selama penelitian
Peubah Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
Konsumsi ransum kumulatif (g/ekor) Pertambahan bobot badan (g/ekor) Konversi ransum Bobot badan akhir (g/ekor) Persentase karkas (%) Tingkat kematian (%) Indeks performa Luas permukaan villi (μm2)
3 148.5 + 275.4 1 639.6 + 200.9 1.92 + 0.072 1 826.6 + 218.7 65.40 + 1.831 7.5 + 9.57 289.46 + 46.43 1.822 + 0.480b
2 987.3 + 117.2 1 596.3 + 117.3 1.87 + 0.123 1 779.1 + 121.7 67.05 + 1.859 2.5 + 5.00 295.15 + 35.08 2.584 + 0.588a
2 990.8 + 138.4 1 593.8 + 167.9 1.88 + 0.161 1 769.1 + 170.6 65.65 + 2.288 5.0 + 10.00 281.53 + 42.61 2.826 + 0.241a
3 097.4 + 105.5 1 639.8 + 70.7 1.88 + 0.029 1 828.1 + 75.8 68.55 + 1.063 2.5 + 5.00 301.56 + 18.00 2.716 + 0.342a
2 961.5 + 128.9 1 507.2 + 95.6 1.96 + 0.071 1 683.9 + 100.8 67.47 + 1.513 2.5 + 5.00 261.89 + 23.93 2.836 + 0.265a
Keterangan : T0 (ransum basal tanpa penambahan ABM), T1 (ransum basal + ABM 0.5%), T2 (ransum basal + ABM 1.0%), T3 (ransum basal + ABM 1.5%) dan T4 (ransum basal + ABM 2.0%); Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan
terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, bobot
badan akhir, persentase karkas, tingkat kematian dan indeks performa ayam
pedaging umur 5 minggu, namun penambahan ABM dalam ransum basal ayam
pedaging secara nyata (P<0.05) mempengaruhi luas permukaan villi usus halus,
40
dengan semua perlakuan ABM (T1, T2, T3 dan T4) memiliki luas permukaan villi
usus halus yang nyata lebih luas dibanding perlakuan kontrol (T0).
Saluran cerna merupakan alat penghubung antara lingkungan internal dan
eksternal dengan fungsi utamanya sebagai penyerap zat-zat makanan.
Karakteristik morfologi saluran cerna terutama usus halus pada ayam menentukan
fungsi usus pada pertumbuhan ayam (Yamuchi dan Isshiki 1991). Morfologi
mukosa usus halus terdiri atas villi yang berfungsi memperluas area penyerapan
nutrien pakan dan pada permukaan villi terdapat mikrovilli sebagai penjuluran
sitoplasma yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan. Semakin luas
permukaan villi usus semakin besar peluang terjadinya absorbsi pada saluran
cerna Silva et al. (2007). Hasil yang berbeda nyata antara semua perlakuan
penambahan ABM terhadap luas permukaan villi usus halus dibandingkan dengan
perlakuan kontrol disebabkan karena kandungan zat aktif ABM berupa senyawa
karotenoid yang merupakan pro vitamin A dan di dalam tubuh dapat diubah
menjadi vitamin A yang berfungsi untuk pertumbuhan dan memelihara membran
mukosa yang normal (Wahju 2004). Karotenoid dan tokoferol (vitamin E) juga
berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas yang dapat
terjadi juga dalam saluran pencernaan, sehingga mukosa usus halus ayam yang
diberi tambahan ABM dalam ransumnya dapat berkembang lebih baik.
Ransum yang dikonsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk
hidup pokok, produksi dan pertumbuhan. Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan
T0, T1, T2, T3 dan T4 tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, meskipun
susunan ransum pada T4 tidak sama kadar protein kasarnya (tidak iso protein).
NRC (1994) merekomendasikan kebutuhan energi metabolis untuk ayam
pedaging sebesar 2.800-3.200 kkal/kg dan protein kasar berkisar 20-23%. Secara
numerik, nilai konsumsi ransum perlakuan ABM 1.62-5.94% lebih rendah
daripada perlakuan T0 (tanpa panambahan ABM). Konsekuensi tinggi rendahnya
konsumsi ransum adalah terhadap tinggi rendahnya pertambahan bobot badan,
namun pertambahan bobot badan pada perlakuan T3 (ransum basal + ABM 1.5%)
yaitu 1 639.8 + 70.7 g/ekor atau lebih tinggi 0.012% dari perlakuan kontrol (T0).
Demikian pula bobot badan akhir dan persentase karkas yang masing-masing
sebesar 1 828.1 + 75.8 g/ekor (0.082% lebih tinggi dari T0) dan 68.55% (4.82%
41
lebih tinggi dari T0). Hal ini mengindikasikan bahwa efisiensi penggunaan ransum
pada perlakuan T3 lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol dan didukung oleh
nilai FCR yang lebih rendah 2.08% daripada T0, dengan demikian efisiensi
penggunaan ransum untuk menambah bobot badan dan membentuk karkas lebih
tinggi pada perlakuan T3. Tabel 9 menunjukkan nilai persentase karkas semua
taraf perlakuan ABM lebih tinggi (0.38-4.82%) dibandingkan kontrol, hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ABM cenderung mengurangi pemanfaatan bahan
makanan untuk pertumbuhan bulu, kaki, kepala dan organ dalam dimana bagian-
bagian tersebut dihilangkan serta meningkatkan pemanfaatan bahan makanan
untuk mendapatkan karkas. Hasil ini berkaitan dengan luas permukaan villi usus
halus pada semua taraf perlakuan ABM secara nyata lebih luas dibandingkan
dengan kontrol, yang menyebabkan kesempatan ransum untuk diserap oleh usus
lebih besar untuk menghasilkan bobot karkas yang lebih baik.
Penambahan ABM 1.5% dalam ransum basal (T3) menunjukkan suatu
prestasi performa yang baik pada akhir pemeliharaan secara numerik, yaitu bobot
badan akhir tertinggi dan konversi ransum serta persentase ayam yang mati
rendah. Hasil ini didukung dengan menghitung indeks performa ayam. Indeks
performa (IP) pada perlakuan T3 yaitu 301.56 + 18.00 atau 4.18% lebih tinggi dari
kontrol. Nilai indeks performa yang tinggi akan memberikan keuntungan yang
lebih optimal sehingga keuntungan yang didapatkan peternak akan lebih besar.
Menurut Arifien (1997), nilai indeks performa dapat digolongkan sebagai berikut:
≤ 120 (prestasi sangat jelek), 121-140 (prestasi jelek), 141-160 (prestasi cukup),
161-180 (prestasi baik), 181-200 (prestasi sangat baik) dan >200 (prestasi
istimewa). Nilai indeks performa semua ransum perlakuan seperti terlihat pada
Tabel 9 memiliki prestasi yang istimewa, namun yang tertinggi adalah indeks
performa ayam perlakuan T3.
Perbedaan diantara perlakuan T3 dan perlakuan kontrol juga tampak pada
perlemakan di bagian gizzard, pada kelompok perlakuan kontrol lebih banyak
lemak pada gizzard jika dibandingkan dengan perlakuan ABM (Lampiran 2),
sedangkan lemak subkutan tidak jauh berbeda. Hasil analisis laboratorium (Tabel
10) menunjukkan bahwa karkas dari kelompok yang diberi penambahan ABM
2.0% dalam ransumnya (T4) terkandung 0.0579 ppm (5 kali lebih tinggi dari
42
perlakuan kontrol) senyawa karotenoid dan 0.0294 ppm tokoferol sedangan pada
perlakuan kontrol tidak terdeteksi adanya tokoferol. Berdasarkan penelitian ini
tampak bahwa ransum dengan penambahan ABM menghasilkan karkas dengan
kandungan karotenoid dan tokoferol yang lebih tinggi. Adanya karotenoid dan
tokoferol dalam karkas meningkatkan mutu karkas, kedua zat tersebut berperan
sebagai antioksidan. Karkas perlakuan kontrol mengandung lemak jenuh lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan ABM, sedangkan kandungan lemak tak
jenuh (asam oleat dan linoleat) tidak jauh berbeda. Asam-asam lemak tidak jenuh
dalam peroksidasi lipida, terlebih dahulu mengalami pengurangan hidrogen
sehingga terjadi pembentukan radikal bebas (Wahju 2004).
Tabel 10 Kandungan senyawa aktif dalam karkas
Senyawa Aktif Karkas A Karkas B Total Karotenoid (ppm) Total Tokoferol (ppm) Asam Lemak Jenuh
Asam Laurat (mg AL/100 g) Asam Miristat (mg AL/100 g) Asam Palmitat (mg AL/100 g) Asam Stearat (mg AL/100 g)
Asam Lemak Tidak Jenuh Asam Oleat (mg AL/100 g) Asam Linoleat (mg AL/100 g) Asam Palmitoleat (mg AL/100 g) Asam Linolenat (mg AL/100 g)
0.0114 ttd
192.7 196.4 356.9 94.0
168.9 187.3
0 0
0.0541 0.0295
22.5
0 145.6 47.4
179.1 174.5
0 0
Keterangan : A = karkas ayam yang diberi ransum basal (kontrol), B = karkas ayam yang diberi ransum basal + ABM 2.0% (T4), ttd = tidak terdeteksi.
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium PAU IPB, 2009
Secara umum dapat dinyatakan bahwa ransum dengan penambahan ABM
dapat meningkatkan nilai nutrien karkas berupa kandungan karotenoid dan
tokoferol serta menurunkan kandungan asam lemak jenuh dalam karkas. Surai dan
Sparks (2000) menyatakan bahwa penambahan alfa tokoferol 160-200 mg/kg
dalam pakan meningkatkan perlindungan lemak terhadap oksidasi lemak dan
kandungan alfa tokoferol yang terdapat di dalam karkas.
Tingkat kematian merupakan faktor penting dan harus diperhatikan dalam
suatu usaha peternakan ayam. Pada Tabel 9 terlihat persentase kematian tertinggi
terjadi pada kelompok perlakuan T0 (kontrol). Jumlah kematian setiap minggu
yang terjadi selama penelitian dicantumkan seperti dalam Tabel 11.
43
Tabel 11 Persentase kematian ayam selama penelitian
Minggu ke- Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
1 2 3 4 5
1 0 0 0 2
0 0 0 1 0
0 0 1 1 0
0 1 0 0 0
0 0 0 1 0
Total (ekor) (%)
3 7.50
1 2.50
2 5.00
1 2.50
1 2.50
Tabel 11 menunjukkan kematian pada dua minggu awal kemungkinan
disebabkan oleh faktor adaptasi dan ayam kalah berkompetisi sehingga
menyebabkan ayam kerdil karena kekurangan gizi dan akhirnya menyebabkan
kematian. Kematian sering terjadi pada minggu keempat dan kelima, berdasarkan
pengamatan di lapangan gejala yang dialami sebelum mati ayam terlihat sesak
nafas, keluar cairan dari hidung, lesu, kepala menunduk, sayap terkulai.
Berdasarkan tanda-tanda klinisnya, kematian ayam disebabkan terkena penyakit
ngorok atau CRD (chronic respiratory disease), sesuai dengan pendapat Akoso
(1998), penyakit CRD mempunyai tanda-tanda klinis seperti nafas ngorok, bersin
dan kepala tunduk atau dikibaskan untuk mengeluarkan cairan yang mengganggu
pernafasan. Selain itu terdapat pula ayam yang mati tanpa menunjukkan gejala-
gejala klinis sebelumnya. Kematian ini disebabkan oleh sindrom kematian
mendadak (sudden death syndrome). Menurut Akoso (1998) sindrom kematian
mendadak merupakan penyakit metabolik karena peristiwa lipogenesis, keutuhan
selaput sel dan keseimbangan elektrolit intraseluler, ayam tidak menunjukkan
gejala klinis sebelumnya dan secara tiba-tiba menjulurkan leher, tersengal dan
mati.
Scanes et al. (2004) menyatakan bahwa persentase mortalitas pada ayam
pedaging dapat dikatakan normal pada persentase kematian 5%. Perlakuan dengan
ABM memiliki persentase kematian yang masih dalam kisaran normal. Persentase
kematian perlakuan ABM dalam ransum secara numerik 33.33-66.67% lebih
rendah dibandingkan perlakuan kontrol, hal ini disebabkan oleh senyawa
antioksidan dalam ABM dapat mencegah terbentuknya radikal bebas dalam proses
metabolisme tubuh ayam sehingga kematian karena gangguan metabolisme dapat
ditekan. Secara umum ayam selama penelitian dalam kondisi kesehatan yang baik.
44
Pemanfaatan Ampas Buah Merah dalam Pakan terhadap Status Kesehatan Ayam Pedaging
Status kesehatan ayam pedaging penelitian dapat dilihat dari perubahan
pada profil darah. Profil darah selama penelitian terlihat pada Tabel 12.
Jumlah Butir Darah Merah
Jumlah butir darah merah (juta/mm3) ayam pedaging yang diberi ABM
dapat dilihat pada Tabel 12. Rataan jumlah butir darah merah sebelum diberikan
perlakuan adalah 1.652 juta/mm3. Hasil penelitian menunjukkan pada hari ke-14
setelah perlakuan terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara perlakuan
T2 (ransum basal + ABM 1.0%) dengan perlakuan kontrol. Vitamin E (tokoferol)
dapat menguatkan dinding kapiler darah dan mencegah terjadinya hemolisis sel
darah merah (Wahju 2004) dan berperan dalam pembentukan sel darah merah
(Winarno 2008). Jumlah butir darah merah setiap perlakuan masih berada pada
kisaran normal, yang menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) bahwa jumlah
butir darah merah berkisar antara 2-3.2 juta/mm3. Berdasarkan penelitian Talebi et
al. (2005), butir darah merah ayam pedaging strain Ross secara nyata meningkat
dengan bertambahnya umur, berkisar antara 1.97-2.83 juta/mm3. Pada
pengamatan hari ke-28 setelah perlakuan (sebelum panen) menunjukkan tidak
terdapat perbedaan pada semua perlakuan terhadap jumlah butir darah merah.
Jumlah butir darah merah pada semua perlakuan masih dalam kisaran normal
sehingga dapat melakukan fungsi darah dengan baik sebagai pengantar zat-zat
makanan ke seluruh jaringan maupun mengangkut hasil limbahnya.
45
Tabel 12 Profil darah ayam pedaging selama penelitian
Peubah Plk Hari ke- 7 14 21 28
Jumlah BDM
(juta/mm3)
T0 2.071 + 0.288 2.040 + 0.098B 2.181 + 0.197 2.425 + 0.235T1 2.199 + 0.322 2.013 + 0.121B 2.135 + 0.102 2.295 + 0.142 T2 1.859 + 0.071 2.238 + 0.056A 2.236 + 0.326 2.063 + 0.147 T3 2.327 + 0.291 1.896 + 0.076B 2.055 + 0.134 2.152 + 0.087T4 2.292 + 0.239 1.871 + 0.101B 2.165 + 0.187 2.149 + 0.124
Kadar Hb
(g%) T0 8.300 + 1.049 7.532 + 0.645 8.740 + 0.507 8.060 + 0.990 T1 9.120 + 1.021 9.220 + 1.958 8.623 + 0.164 8.167 + 0.846 T2 7.810 + 0.263 8.243 + 0.370 8.022 + 0.855 9.000 + 0.688 T3 8.682 + 0.392 8.177 + 0.565 9.627 + 1.050 9.100 + 1.005 T4 8.335 + 0.631 8.287 + 0.743 9.402 + 0.857 8.195 + 0.584
Kadar
hematokrit (%)
T0 22.188 + 1.849b 23.500 + 0.935 24.000 + 1.551 23.625 + 2.125 T1 26.250 + 1.335a 25.000 + 1.275 23.417 + 0.312 24.750 + 0.612 T2 23.125 + 1.635b 23.250 + 0.890 24.938 + 1.717 24.250 + 2.131 T3 26.333 + 1.841a 24.063 + 1.279 24.333 + 1.230 24.313 + 2.204 T4 24.250 + 1.335ab 24.250 + 2.143 24.813 + 0.925 24.000 + 1.541
Jumlah BDP (ribu/mm3)
T0 17.950 + 8.319 26.050 + 2.798a 29.450 + 4.822A 22.000 + 2.800 T1 37.450 + 7.327 21.800 + 3.766ab 23.133 + 5.367AB 22.067 + 5.144 T2 30.750 + 11.501 17.750 + 9.314ab 16.350 + 4.055BC 15.333 + 2.510T3 26.267 + 1.087 14.350 + 1.982b 9.600 + 2.786C 16.600 + 2.271 T4 23.550 + 8.087 12.900 + 3.612b 16.050 + 3.456BC 18.500 + 6.077
Jumlah
Heterofil (ribu/mm3)
T0 6.625 + 4.861 7.305 + 3.698 5.034 + 1.658 11.784 + 1.608 T1 12.712 + 7.969 5.712 + 0.693 7.846 + 3.877 11.709 + 3.592 T2 13.534 + 5.812 5.036 + 2.530 5.186 + 2.771 6.429 + 0.772T3 10.333 + 2.144 3.133 + 0.842 3.803 + 2.644 10.818 + 2.304 T4 7.968 + 2.222 1.992 + 0.580 6.366 + 2.283 9.858 + 3.256
Jumlah limfosit
(ribu/mm3)
T0 9.708 + 3.484 17.249 + 2.337 17.626 + 1.907a 8.512 + 1.408 T1 21.085 + 8.540 15.885 + 5.768 11.895 + 4.904ab 9.497 + 2.029 T2 15.781 + 6.047 15.712 + 5.147 8.607 + 4.091b 8.255 + 1.761 T3 10.759 + 2.794 9.842 + 0.826 4.949 + 0.387b 4.745 + 2.317 T4 14.028 + 5.896 9.584 + 3.450 7.421 + 4.980b 7.819 + 3.301
Rasio H/L T0 0.682 + 0.499 0.424 + 0.311 0.286 + 0.082 1.384 + 0.038B
T1 0.603 + 0.280 0.360 + 0.275 0.660 + 0.512 1.233 + 0.235B
T2 0.855 + 0.287 0.321 + 0.074 0.603 + 0.553 0.779 + 0.229B
T3 0.960 + 0.692 0.318 + 0.098 0.768 + 0.437 2.280 + 0.356A
T4 0.568 + 0.181 0.208 + 0.111 0.664 + 0.447 1.261 + 0.792B
Titer ND (Log 2)
T0 4.67 + 0.471A 4.42 + 0.500 4.33 + 0.471 4.25 + 0.833 T1 4.42 + 0.319A 4.00 + 0.471 3.92 + 0.319 4.25 + 0.569 T2 3.06 + 0.125B 4.25 + 0.631 4.25 + 0.319 3.41 + 1.067 T3 3.29 + 0.344B 4.75 + 0.833 3.92 + 0.419 3.83 + 0.639 T4 3.42 + 0.419B 4.50 + 0.793 4.33 + 0.608 4.83 + 0.430
Keterangan : superskrip dengan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), sedangkan superskrip dengan huruf besar menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01)
46
Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) berada di dalam butir darah merah yang berfungsi
membawa oksigen ke jaringan dan mensekresikan CO2 dari jaringan
(Cunningham 2002). Meningkatnya kadar hemoglobin menyebabkan kemampuan
membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan ekskresi CO2 lebih efisien
sehingga keadaan dan fungsi sel akan lebih baik.
Rataan kadar Hb sebelum diberikan perlakuan adalah 6.549 g%. Hasil
penelitian menunjukkan kadar hemoglobin tidak berbeda antar kelompok
penelitian disemua waktu pengamatan. Sintesis hemoglobin dipengaruhi oleh
keberadaan zat gizi dalam pakan, seperti keberadaan zat besi. Mangkoewidjojo
dan Smith (1988) menyatakan bahwa kadar hemoglobin normal berkisar antara
7.30-10.90 g%, sehingga secara umum kadar hemoglobin semua perlakuan masih
dalam kisaran normal.
Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006b), zat besi di dalam darah
berada dalam bentuk hemoglobin yang terdapat di dalam butir-butir darah merah
transferin di dalam plasma darah dan dalam bentuk ferritin. Kandungan zat besi
yang ada di dalam buah merah cukup tinggi (Budi dan Paimin 2005), namun
kemungkinan kandungan zat besi di dalam ABM lebih rendah sehingga
hemoglobin pada ternak perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Hematokrit
Hematokrit merupakan persentase sel darah merah dari total volume darah.
Nilai hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan sel darah
merah total (Frandson 1992). Semakin besar persentase sel dalam darah berarti
semakin besar hematokrit dan semakin banyak gesekan yang terjadi antara
berbagai lapisan darah.
Rataan hematokrit sebelum diberikan perlakuan adalah 21.733%. Analisis
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar hematokrit pada
perlakuan ABM maupun kontrol, kecuali pada hari ke-7 setelah perlakuan
(P<0.05). Hasil menunjukkan bahwa pemberian ABM selama 7 hari pertama
memberikan peningkatan kadar hematokrit yang lebih tinggi daripada perlakuan
kontrol. Hal ini disebabkan tokoferol yang terkandung dalam ABM dapat
47
menguatkan dinding kapiler darah dan mencegah terjadinya hemolisis sel darah
merah (Wahju 2004) serta berperan dalam pembentukan sel darah merah
(Winarno 2008). Menurut Talebi et al. (2005) rataan kadar hematokrit ayam
pedaging strain Ross adalah 30.73% (28.28-35.43%), sedangkan menurut
Mangkoewidjojo dan Smith (1988) menyatakan bahwa kadar hematokrit normal
berkisar antara 24-43%. Salah satu penyebab perbedaan kadar hematokrit adalah
temperatur lingkungan percobaan. Temperatur tinggi akan menyebabkan
evaporasi cairan dalam tubuh dan berakibat pada meningkatnya jumlah hematokrit
dalam darah. Pada hari ke-28 setelah perlakuan (sebelum panen), kadar
hematokrit tidak berbeda diantara perlakuan dan kadar hematokrit ayam selama
penelitian ini masih dalam kisaran yang normal dan ayam dalam kondisi yang
sehat.
Jumlah Butir Darah Putih
Jumlah butir darah putih (ribu/mm3) ayam pedaging yang diberi ABM
selama 35 hari dapat dilihat pada Tabel 12. Rataan jumlah butir darah putih
sebelum diberikan perlakuan adalah 27.834 ribu/mm3. Jumlah butir darah putih
ayam pedaging selama penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
pada hari ke-14 dan sangat nyata (P<0.01) pada hari ke-21 setelah perlakuan.
Jumlah butir darah putih semua perlakuan secara umum berada dalam kisaran
normal, yang menurut Hodges (1977) jumlah butir darah putih normal pada ayam
berkisar antara 12 000-30 000 /mm3.
Terdapat indikasi bahwa perlakuan ABM hanya mampu meningkatkan
jumlah butir darah putih pada 7 hari pemberian ABM, sedangkan pemberian
ABM 1.5% secara terus-menerus selama 21 hari sangat nyata menekan jumlah
butir darah putih sampai dibawah normal yaitu 9.600 ribu/mm3. Stres dapat
mengganggu pembentukan butir darah putih, ditunjukkan oleh jumlah limfosit
dalam darah juga menurun akibat reaksi neural dan hormonal pada hipotalamus
yang akan melepaskan CRF (corticotropin releasing factor) sehingga menstimulir
adenohypophysis untuk memproduksi ACTH (adrenocorticotropin hormon).
Adanya ACTH akan menstimulasi kelenjar adrenal korteks untuk menghasilkan
glukokortikoid yang berikatan dengan kofaktor pembentuk limfosit sehingga
48
proliferasi limfosit menjadi terhambat. Stres diakibatkan oleh kerja hati yang lebih
keras untuk menetralisir zat-zat yang terakumulasi dari ABM. Pada hari ke-28
setelah perlakuan (sebelum panen) jumlah butir darah putih kembali berada pada
kisaran normal dan ayam dalam kondisi sehat.
Heterofil, Limfosit dan Rasio H/L
Tabel 12 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan yang
diberikan terhadap jumlah heterofil. Diduga hal ini terjadi karena ayam tidak
mengalami infeksi bakteri patogen yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah
heterofil. Jumlah heterofil semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Menurut
Talebi et al. (2005) rataan jumlah heterofil pada ayam strain Ross adalah 7.78
ribu/mm3 (5.53-10.6 ribu/mm3). Pengamatan menunjukkan kecenderungan
peningkatan heterofil pada semua kelompok perlakuan pada hari ke-28 setelah
perlakuan. Menurut Jackson (2007) heterofil dapat meningkat karena pengeluaran
epinefrin dan kortikosteroid, trauma maupun infeksi.
Jumlah heterofil (ribu/mm3) ayam pedaging yang diberi ABM selama 35
hari dapat dilihat pada Tabel 12. Rataan jumlah heterofil sebelum diberi perlakuan
adalah 4.388 ribu/mm3. Heterofil berfungsi sebagai jajaran pertama dalam sistem
pertahanan tubuh yang langsung bereaksi apabila terdapat partikel-partikel asing
yang masuk ke dalam tubuh dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang
mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh darah dan
menyerang bakteri untuk dihancurkan dengan cara fagositosis (Frandson 1992).
Heterofil dapat dianggap sebagai garis pertahanan pertama, bergerak cepat ke arah
benda asing dan menghancurkannya segera, tetapi tidak mampu bertahan lama
(Tizard 1982). Pada saat stres dan terjadi inflamasi atau peradangan diketahui
bahwa jumlah heterofil meningkat dengan cepat.
Limfosit memerangi penyakit dengan ikut serta dalam pembentukan
antibodi dan secara normal merupakan bagian terbesar dari butir darah putih yang
terdapat dalam aliran darah. Perlakuan ABM selama 7 hari pertama cenderung
dapat menstimulasi pembentukan limfosit dibandingkan dengan perlakuan
kontrol, hal ini disebabkan kandungan zat aktif ABM berupa vitamin E (tokoferol)
yang dapat berfungsi sebagai penginduksi dalam pembentukan sel, termasuk juga
49
pembentukan limfosit. Beberapa penelitian menyatakan bahwa senyawa
antioksidan betakaroten mampu meningkatkan proliferasi limfosit bursal dan
limpa (Haq et al. 1996) dan vitamin E mampu meningkatkan kekebalan humoral
(Boa-Amponsem et al. 2001) serta meningkatkan status antioksidan ayam (Surai
et al. 1999). Terdapat perbedaan nyata (P<0.05) jumlah limfosit pada hari ke-21
setelah perlakuan yaitu perlakuan T0 (17.249 + 2.337 ribu/mm3) lebih tinggi
jumlah limfositnya dibandingkan dengan T2, T3 dan T4, tetapi T0 tidak berbeda
dengan T1. Penurunan jumlah limfosit terjadi pada semua perlakuan ABM dalam
jangka waktu 21-28 hari, seperti halnya jumlah butir darah putih. Faktor yang
mempengaruhi penurunan jumlah limfosit diantaranya stres.
Talebi et al. (2005) menyatakan rataan jumlah limfosit pada ayam strain
Ross adalah 12.58 ribu/mm3 (6.67–20.36 ribu/mm3). Jumlah limfosit pada semua
perlakuan masih dalam kisaran normal sehingga dapat dikatakan bahwa dengan
perlakuan ABM ayam menunjukkan status kesehatan yang baik, kecuali perlakuan
T3 (ransum basal + ABM 1.5%) pada pengamatan hari ke-21 dan 28 setelah
perlakuan memiliki jumlah limfosit di bawah kisaran normal yang
memperlihatkan bahwa ayam pada saat itu mengalami kondisi stres, hal ini
didukung oleh rasio H/L ayam yang tinggi.
Rasio H/L merupakan indikator untuk mengetahui tingkat cekaman yang
dialami ayam (Graczyk et al. 2003). Cekaman dapat menyebabkan involusi
jaringan-jaringan limfoid sehingga terjadi penurunan jumlah sirkulasi limfosit dan
peningkatan jumlah heterofil (Siegel 1980). Peningkatan jumlah heterofil
menyebabkan ayam kebal terhadap infeksi, tetapi tidak terhadap virus (Zulkifli
dan Siegel 1995).
Rasio H/L sebelum diberikan perlakuan adalah 0.269. Tabel 12
menunjukkan bahwa pada hari ke-28 setelah pemberian ABM kelompok T3 secara
nyata lebih tinggi dari semua perlakuan. Pada hari ke-28 sesudah pemberian ABM
kelompok T3 memiliki rasio H/L sebesar 2.28, ini berarti bahwa pemberian ABM
secara terus-menerus selama 28 hari dapat menimbulkan stres. Talebi et al.
(2005), yang melakukan studi banding terhadap profil darah 4 strain ayam broiler
(Ross, Cobb, Arbor-acres dan Arian), menyatakan bahwa rataan rasio H/L ayam
strain Ross adalah 0.76 (0.27-1.54) sehingga dapat dikatakan bahwa rasio H/L
50
ayam penelitian masih dalam kisaran normal. Kecuali perlakuan T3 pada
pengamatan hari ke-28 setelah perlakuan, nilai H/L di atas kisaran normal yang
menunjukkan bahwa ayam mengalami stres namun tidak mempengaruhi kondisi
kesehatan ayam.
Terjadinya stres akibat pemberian ABM secara terus-menerus dapat
menyebabkan organ hati bekerja lebih keras untuk menetralisir zat-zat yang
terakumulasi dari ABM. Adanya stres ini menyebabkan terjadinya reaksi neural
dan hormonal pada hipotalamus yang akan melepaskan CRF (corticotropin
releasing factor) dan menstimulir adenohypophysis untuk memproduksi ACTH
(adrenocorticotropin hormon). Proliferasi limfosit terhambat akibat adanya
ACTH yang menstimulasi kelenjar adrenal korteks untuk menghasilkan
glukokortikoid yang berikatan dengan kofaktor pembentuk limfosit.
Titer Antibodi terhadap ND
Pemberian ABM tidak mempengaruhi pembentukan antibodi terhadap ND
pada kelompok ayam yang divaksin ND (Tabel 12). Hal ini sejalan dengan hasil
pengamatan terhadap jumlah limfosit dari ayam penelitian yang tidak meningkat
dengan pemberian ABM. Ampas buah merah dengan demikian tidak
menstimulasi pembentukan limfosit yang berdampak pada pembentukan antibodi
oleh sel limfosit tersebut.
Metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingginya titer antibodi ND
di dalam serum adalah uji hambat hemaglutinasi (HI) untuk menggambarkan
tingkat kekebalan ayam setelah divaksinasi dengan vaksin ND (Villegas 1987).
Titer ND ayam pedaging yang diberi ABM selama penelitian dapat dilihat
pada Tabel 12. Rataan titer ND sebelum diberi perlakuan adalah 24.9. Rataan titer
antibodi sebelum perlakuan (umur 3 hari) cukup tinggi, kekebalan anak ayam itu
berasal dari antibodi asal induknya (maternal immunity). Hal ini menunjukkan
bahwa anak ayam memiliki kekebalan yang cukup terhadap ND. Seiring waktu
pemeliharaan antibodi menurun. Antibodi asal induk berada dalam tubuh anak
ayam sampai dengan umur 21 hari (Scanes et al. 2004).
Tabel 12 menunjukkan bahwa pada hari ke-7 setelah perlakuan, titer ND
perlakuan T1 lebih tinggi secara sangat nyata (P<0.01) dibandingkan T2, T3 dan
51
T4, namun tidak berbeda dengan kontrol. Data titer ND menunjukkan bahwa ayam
dengan perlakuan ABM yang divaksin ND melalui tetes mata maupun injeksi
belum mampu menginduksi kekebalan mukosa (seluler) maupun kekebalan
humoralnya.
Pada umur 4 hari (sebelum perlakuan) dilakukan vaksinasi ND pada ayam
melalui tetes mata. Rendahnya antibodi disebabkan karena vaksinasi dilakukan
melalui tetes mata akan menginduksi kekebalan lokal mukosa ayam, sedangkan
kekebalan yang terukur adalah kekebalan humoralnya. Rombout et al. (1992)
menyatakan bahwa sel-sel limfosit pasca vaksinasi dengan ND strain La Sota
menunjukkan adanya penurunan. Jumlah limfosit tiga hari setelah vaksinasi akan
menurun dan kemudian meningkat kembali pada enam sampai sepuluh hari
setelah vaksinasi. Berdasarkan pendapat di atas, seharusnya setelah ayam
divaksinasi melalui injeksi intra muskular umur 21 hari (hari ke-18 setelah
perlakuan) dapat menginduksi kekebalan humoral pada saat pengamatan hari ke-
28, namun pengukuran kekebalan hari ke-28 setelah perlakuan tidak menunjukkan
peningkatan kekebalan. Hasil ini berkaitan dengan jumlah limfosit yang tidak
meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ABM belum mampu
menstimulasi pembentukan antibodi oleh sel limfosit tersebut.