Upload
buixuyen
View
226
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
HERPES ZOSTER LUMBOSAKRAL SINISTRA
SETINGGI L4-L5-S1
PADA SEORANG WANITA 43 TAHUN
DENGAN KANKER SERVIKS STADIUM IIIB
PASKA TERAPI RADIASI EKSTERNA 33 FRAKSI
Oleh :
dr Ni Nyoman Tri Priliawati
drNyomanSuryawati, M. Kes, Sp.KK
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP
SANGLAHDENPASAR
2015
2
PENDAHULUAN
Herpes zoster (HZ) merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi virus
varisela-zoster (VZV) laten di ganglia sensoris. dengan manifestasi klinis berupa
ruam kulit vesikular akut yang nyeri dan distribusinya sesuai peta dermatom.1
Resiko untuk terkena herpes zoster meningkat apabila terjadi penurunan sistem
imunitas seluler seiring dengan meningkatnya usia atau yang disebabkan oleh
kondisi imunkompromais serta tindakan medis tertentu.2 Kondisi
imunkompromais tersebut antara lain : infeksi Human immunodeficiency virus
(HIV), resipien transplantasi organ, pasien yang menerima terapi
immunomodulating (contoh :kortikosteroid), dan penyakit keganasan. Tindakan
medis yang dapat meningkatkan resiko herpes zoster misalnya : manipulasi bedah
dan terapi radiasi pada tulang belakang.3, 4
Hampir sebanyak 1 juta kasus herpes zoster baru terjadi tiap tahun di
Amerika serikat.5 Insiden herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia, di
mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari
10% di bawah 20 tahun.6Di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar,
dalam rentang waktu dari bulan Januari 2010 sampai Desember 2014 didapatkan
adanya 322 pasien herpes zoster (2,05%) dari total kunjungan pasien sebanyak
15.664 pasien. Kelompok umur yang tersering adalah usia 51-60 tahun sebanyak
75 pasien (23,3%) dengan dermatom yang paling banyak terlibat adalah torakal 44
pasien (58,6%), diikuti ophtalmika 13 pasien (17,3%), lumbosakral 7 pasien
(9,3%), fasial 5 pasien (6,6%), generalisata 4 pasien (5,3%) dan servikal 3 pasien
(4,0%).7
Herpes zoster dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
meningkatkan beban ekonomi bagi penderitanya. Lebih dari 50% pasien
melaporkan adanya gangguan tidur akibat nyeri, tidak menikmati hidup, dan
kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.8 Mortalitas pada herpes zoster
lebih umum terjadi pada penderita lanjut usia dan imunkompromais. Dalam
rentang waktu dari tahun 1979-2007, angka insiden herpes zoster sebagai
penyebab kematian di Amerika Serikat berkisar antara 0,19-0,51 per 1 juta jiwa.9
3
Berikut dilaporkan satu kasus herpes zoster lumbosakral L4-L5-S1 sinistra
pada seorang wanita 43 tahun dengan kanker serviks stadium IIIb paska radiasi
eksterna 33 fraksi. Kasus ini dilaporkan untuk menambah pemahaman mengenai
herpes zoster pada pasien kanker paska radioterapi serta penatalaksanaannya
KASUS
Seorang wanita, berusia 43 tahun, suku Bali datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUP Sanglah, Denpasar pada tanggal 13 Juli 2015 dengan nomor
catatan medis 01633404. Pasien merupakan pasien konsul dari Bagian Kebidanan
dan Kandungan dengan Kanker Serviks stadium IIIb paska terapi radiasi eksterna
33 kali curiga herpes zoster.
Penderita mengeluh timbul gelembung-gelembung berair pada bokong
kiri, paha kiri, betis kiri dan kaki kiri sejak kurang lebih 3 hari yang lalu. Pada
awalnya, sekitar 5 hari yang lalu, penderita merasakan nyeri pada area bokong kiri
yang disertai dengan demam dan badan terasa lemas. Dua hari kemudian mulai
muncul bercak-bercak kemerahan di bokong kiri yang keesokan harinya diikuti
dengan munculnya gelembung-gelembung berair berukuran kecil sampai besar di
atas area kemerahan di bokong kiri. Gelembung berair semakin bertambah banyak
dan mulai muncul di paha kiri, betis kiri sampai kaki kiri. Penderita mengeluh
nyeri seperti terbakar pada area gelembung berair sampai penderita kesulitan
berjalan dan kadang-kadang penderita juga merasakan gatal pada area tersebut.
Penderita juga mengeluhkan nyeri pada inguinal kiri.
Penderita pernah menderita penyakit cacar air sewaktu masih berumur
belasan tahun. Anggota keluarga yang saat ini tinggal serumah dengan pasien
maupun orang-orang di lingkungan sekitar pasien tidak ada yang memiliki
keluhan yang sama dengan pasien.
Penderita sempat memeriksakan diri ke dokter dengan mendapatkan terapi
asam mefenamat dan cetirizine namun tidak tampak adanya perbaikan. Riwayat
pengolesan minyak tradisional tidak ada. Riwayat alergi obat dan makanan tidak
ada.
4
Riwayat penyakit sistemik lain, sudah sejak 2 tahun belakangan ini
penderita didiagnosa dengan kanker serviks stadium IIIb oleh Dokter Spesialis
Kandungan dan Kebidanan yang sudah dikonfirmasi melalui pemeriksaan
histopatologi. Penderita sudah menjalani terapi radiasi eksterna sebanyak 33 kali
untuk penyakitnya ini. Terapi radiasi terakhir pada bulan Maret 2015. Penderita
memiliki riwayat MRS di awal tahun 2015 selama kurang lebih 3 bulan lamanya
karena keluhan badan lemas yang dirawat bersama antara bagian Kebidanan dan
Kandungan dengan Bagian penyakit dalam. Saat itu, penderita didiagnosis dengan
penyakit ginjal kronik stadium III et kausa obstruksi nefritik disertai Congestive
Heart Failure et causa Hypertension Heart Disease dan anemia ringan dari
bagian penyakit dalam yang diterapi dengan terapi cairan, transfusi Packed Red
Cell, asam folat 2x2 mg per oral, captopril 3x 12,5 mg per oral, dan Caco3 3x500
mg PO.
Riwayat sosial pasien, penderita adalah seorang pedagang baju keliling
namun sejak divonis sakit kanker penderita sudah tidak bekerja lagi dan lebih
banyak menghabiskan waktunya di rumah. Penderita memiliki seorang suami dan
4 orang anak.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien baik, kesadaran
kompos mentis, berat badan 53 kg tinggi badan 150 cm,Visual Analog Scale
(VAS) 4 tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80x/menit, frekuensi
pernapasan 20x/menit, suhu aksila 36,4° C. Pada status generalis didapatkan
kepala normosefali, kedua mata tidak tampak anemia, ikterus maupun hiperemia,
pupil isokor, reflek cahaya positif. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan
didapatkan kesan tenang dan pada leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening. Pada pemeriksaan toraks didapatkan suara jantung (S1 dan S2)
tunggal, regular, tidak terdapat murmur. Suara nafas paru-paru vesikular, tidak
ditemukan adanya rhonki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen, hepar
dan lien tidak teraba, bising usus dalam batas normal, tidak terdapat distensi
abdomen. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di daerah inguinal kiri pada
penderita. Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat, tidak terdapat edema pada
kedua tungkai bawah.
5
Status dermatologi pada regio bokong kiri, paha kiri, betis kiri, kaki kiri,
dan telapak kaki kiri tampak vesikel, multiple, dinding tegang, diameter 0,2-0,5
cm, berisi cairan serous, bergerombol, di atas kulit yang eritema (Gambar 1a-1e).
Tampak pula bula, multiple, diameter 0,5-2cm, berisi cairan serous, bergerombol,
di atas kulit yang eritema (Gambar 1a-1e). Pada area paha kiri dan betis kiri
tampak papula eritema multiple, bentuk bulat, diameter 0,1-0,4 cm (Gambar 1b
dan 1c). Status dermatologi dapat dilihat pada Gambar 1.
1a 1b
b
1c 1d
1e
Gambar 1. Pemeriksaan fisik pada pasien 1a. Tampak vesikel dan bula multipel pada
bokong kiri. 1b. Vesikel, bula, dan papul eritema multipel pada paha kiri sampai kaki
kiri tampak dari posterior. 1c.Vesikel, bula, dan papul eritema multipel pada paha
kiri sampai kaki kiri tampak dari lateral. 1d. Bula pada punggung kaki kiri. 1e. Bula
multipel pada telapak kaki kiri
6
Diagnosis banding pada pasien ini antara lain :herpes zoster, zosteriform herpes
simplex, zosteriform cutaneous metastasis, radiodermatitis, dan dermatitis
kontak.Dilakukan pemeriksaan sitologi (hapusan Tzanck) pada penderita yang
mendapatkan adanya multinucleated giant cells. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pasien
kemudian didiagnosis kerja dengan herpes zoster lumbosakral L4-L5-S1 sinistra.
Penatalaksanaan yang diberikan kepada penderita adalah pemberian obat
anti virus Asiklovir 5x800 mg/hari per oral selama 10 hari. Untuk mengatasi nyeri
diberikan asam mefenamat 3x500 mg/hari per oral disertai pemberian vitamin
neurotropik B1B6B12 (B1 1x100 mg, B6 1x10 mg, B12 1x200 mcg) untuk
menjaga dan menormalkan fungsi saraf. Sedangkan untuk pengobatan topikal
diberikan bedak salisil 1% dan mentol 0,5%, pada lesi yang basah diberikan
kompres dengan larutan salin 3x/hari selama 15 menit setiap kali kompres, dan
apabila vesikel atau bula pecah diberikan krim natrium fusidat yang dioleskan
pada lesi erosi 2 kali dalam sehari. Pasiendiberi komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) tentang penyakit yang dideritanya, cara mengobati penyakitnya,
dan kemungkinan terjadinya neuralgia paska herpetika. Selain itu juga disarankan
untuk menghindarkan penularan terhadap orang lain, minum air yang banyak,
boleh mandi, dan larangan mengoleskan bahan-bahan lain ke lesi kulitnya selain
yang dianjurkan oleh dokter. Pasien juga tidak boleh melakukan manipulasi
terhadap lesi kulitnya sendiri. Pasien direncanakan untuk kontrol kembali ke
poliklinik kulit dan kelamin 7 hari lagi.
PENGAMATAN LANJUTAN PERTAMA (Tanggal 21 Juli 2015, hari ke-9)
Pada tanggal 21 Juli 2015, pasien datang kontrol ke poliklinik kulit dan kelamin
divisi dermatologi umum RSUP Sanglah dengan keluhan nyeri dan rasa seperti
terbakar pada kaki kiri sudah berkurang. Vesikel dan bula pada bokong kiri dan
ekstremitas bawah kiri penderita tampak beberapa sudah pecah dan mengempis
meninggalkan lesi berupa erosi, krusta kecoklatan, dan bula dinding kendur.
Tidak didapatkan adanya lesi kulit baru.
7
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, status present dan
status generalis dalam batas normal. Visual Analog Scale 3. Status dermatologis,
lokasi di bokong kiri didapatkan adanya erosi, multiple, bentuk geografika,
ukuran 0,5 x 1cm- 2x2 cm, sebagian ditutupi krusta kecoklatan (gambar 2a). Pada
regio kruris kiri didapatkan adanya erosi multiple, bentuk geografika, ukuran 0,5 x
1 cm- 1x2 cm, sebagian ditutupi krusta kecoklatan (gambar 2b-2e). Didapatkan
pula adanya bula multipel dinding kendor, ukuran diameter 1cm, berisi cairan
hemorrhagik (gambar 2b-2c).
Pasien didiagnosis dengan follow up Herpes zoster lumbosakral L4-L5-S1 sinistra
hari ke-9. Penatalaksanaan pada pasien ini antara lain : terapi anti virus
dilanjutkan dengan pemberian asiklovir 5x800 mg /hari per oral, asam mefenamat
3 x 500 mg per oral, dan vitamin B1B6B12 (B1 1x100 mg, B6 1x10 mg, B12
1x200 mcg) per hari per oral. Pengobatan topikal diberikan kompres dengan
larutan salin pada lesi erosi 3 kali sehari selama 15 menit, kemudian dioleskan
krim natrium fusidat 2 kali sehari pada lesi erosi. Pasien diberikan KIE untuk
minum obat sesuai anjuran dokter, menjaga agar lesi kulitnya tetap bersih, tidak
2a 2b 2c 2d
2e
Gambar 2a-2c tampak erosi multiple ditutupi krusta kecoklatan pada
bokong kiri, paha kiri, dan betis kiri
Gambar 2d tampak erosi multiple ditutupi krusta kecoklatan pada
telapak kaki kiri
Gambar 2e tampak erosi multiple ditutupi krusta kecoklatan pada
punggung kaki kiri
8
boleh menutup lesi kulitnya dengan penutup luka yang adhesive karena dapat
menyebabkan iritasi dan memperlambat penyembuhan.
PENGAMATAN LANJUTAN KEDUA (Tanggal 27 Juli 2015, hari ke-15)
Pada tanggal 27 Juli 2015, pasien datang kontrol ke poliklinik kulit dan kelamin
divisi dermatologi umum RSUP Sanglah dengan keluhan nyeri pada area bokong
kiri dan tungkai kiri yang sempat membaik sebelumnya, sekarang dirasakan
memberat namun tidak didapatkan gelembung berair yang baru maupun lesi kulit
baru yang lain. Lesi kulit lama membaik meninggalkan erosi yang kering dengan
sebagian besar krusta sudah mulai terlepas. Pasien mengatakan bahwa bila
bokong dan kaki kirinya menyentuh sprei saat tidur terasa sangat nyeri seperti
terbakar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan generalis dalam
batas normal. Visual Analog Scale 4. Status dermatologis lokasi bokong kiri, paha
kiri, tungkai kiri, dan kaki kiri didapatkan adanya erosi multiple, bentuk
geografika, ukuran 1,5 x 2 cm -2 x 3 cm, sebagian berkonfluen membentuk
geografika dan sebagian ditutupi krusta kehitaman (Gambar 3a-3e).
9
Pasien didiagnosis dengan follow up Herpes Zoster Lumbosakral L4-L5-
S1 sinistra. Pasien diberikan terapi oral Asam mefenamat 3 x 500 mg dan
amitriptilin 1 x 25 mg, sedangkan pada lesi erosi pasien dianjurkan untuk rutin
melakukan kompres dengan NaCl 0,9% 3 kali dalam sehari selama 15 menit
diikuti dengan pengolesan krim natrium fusidat. Pasien diberikan KIE untuk tidak
menggaruk atau memanipulasi lesi kulitnya dan dijelaskan mengenai komplikasi
nyeri menetap yang mungkin terjadi paska herpes zoster. Pasien direncanakan
untuk kontrol 5 hari kemudian dan menjalani terapi biolaser untuk mengatasi
nyeri.
PEMBAHASAN
Herpes zoster terjadi karena reaktivasi virus varisela zoster (VZV) yang laten di
ganglia sensoris. Imunitas spesifik terhadap virus perlahan-lahan menurun seiring
bertambahnya usia sehingga virus dapat melampaui mekanisme pertahanan ini
dan menyebar dari ganglia melalui akson ke epidermis menyebabkan karakteristik
ruam kulit vesikular herpes zoster yang unilateral pada satu atau beberapa
3a 3b 3c
3d 3e
Gambar 3a tampak erosi multiple pada
bokong kiri
Gambar 3b-3c tampak erosi multiple
sebagian ditutupi krusta kecoklatan pada
bokong kiri, paha kiri,betis kiri, dan
punggung kaki kiri
Gambar 3e tampak erosi multiple ditutupi
krusta kecoklatan pada telapak kaki kiri
10
dermatom.4 Pasien dengan imunkompromais seperti pada penderita kanker dan
penderita yang menjalani tindakan medis tertentu cenderung memiliki
peningkatan risiko untuk menderita herpes zoster bila dibandingkan dengan
individu yang imunkompeten.10
Pada kasus, pasien adalah seorang wanita berusia 43 tahun yang memiliki
riwayat menderita cacar air saat masih berumur belasan tahun. Pasien didiagnosis
menderita kanker serviks sejak tahun 2011 dan saat ini telah menjalani radioterapi
eksternal sebanyak 33 fraksi.
Beberapa hari sebelum munculnya erupsi kulit biasanya didahului nyeri
dan parestesia pada dermatom yang terkena. Nyeri yang dirasakan dapat
bervariasi mulai dari gatal, geli, seperti terbakar, atau perih. Dapat juga disertai
dengan demam, sakit kepala, dan badan terasa lemas. Bentuk klinis yang paling
khas dari herpes zoster adalah lokasi dan distribusi ruam kulit yang hampir selalu
unilateral dan umumnya terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh ganglion
sensoris tunggal. Lesi kulit pada herpes zoster bermula dari makula dan papula
eritema yang pertama kali muncul di daerah yang dipersarafi oleh cabang
superfisial dari saraf sensoris yang terkena. Vesikel akan terbentuk dalam 12-24
jam dan berkembang menjadi pustul pada hari ke-3. Lesi kulit juga dapat menjadi
hemoragik, nekrotik, atau bulosa. Pustul mengering dan menjadi krusta dalam 7-
10 hari. Krusta pada umumnya akan menetap selama 2-3 minggu. Kelenjar getah
bening yang mengaliri daerah yang terkena dapat membesar dan nyeri.6, 11, 12
Pada kasus, pasien mengeluh muncul gelembung-gelembung berair pada
bokong kiri, paha kiri, betis kiri dan kaki kiri sejak kurang lebih 3 hari yang lalu.
Pada awalnya, sekitar 5 hari sebelum muncul gelembung berair, penderita
merasakan nyeri pada area bokong kiri yang disertai dengan demam dan badan
terasa lemas. Dua hari kemudian mulai muncul bercak-bercak kemerahan di
bokong kiri yang keesokan harinya diikuti dengan munculnya gelembung-
gelembung berair berukuran kecil sampai besar di atas area kemerahan di bokong
kiri. Gelembung berair semakin bertambah banyak dan mulai muncul di paha kiri,
betis kiri sampai kaki kiri. Penderita mengeluh nyeri seperti terbakar pada area
gelembung berair sampaipenderita kesulitan berjalan dan kadang-kadang
11
penderita juga merasakan gatal pada area tersebut. Penderita juga mengeluhkan
nyeri pada daerah lipatan paha kiri.Dari pemeriksaan fisik pada kasus di daerah
bokong kiri dan ekstremitas bawah kiri didapatkan adanya lesi kulit berupa
vesikel dan bula bergerombol di atas kulit yang eritema dengan distribusi
unilateral tanpa melewati garis tengah sesuai dermatom L4, L5, dan S1.
Terdapat beberapa penyakit kulit yang dapat dijadikan diagnosis banding
pada kasus ini antara lain : zosteriform herpes simplex, zosteriform cutaneous
metastasis, radiodermatitis, dan dermatitis kontak. Infeksi oleh virus herpes
simplex (HSV) adalah salah satu infeksi virus pada kulit dan membran mukosa
yang paling umum terjadi. Terdapat dua tipe antigen utama: HSV-1 umumnya
menyebabkan lesi orolabial dan HSV-2 secara khas menyebabkan lesi pada
genital, walaupun dapat terjadi tumpang tindih dalam hal manifestasi klinis di
antara keduanya. Terlepas dari lokasi infeksi yang khas, HSV juga dapat
mempengaruhi area tubuh lainnya seperti pada herpetic whitlow dan herpes
gladiatorum. HSV dapat bertahan di sensory nerve ganglia setelah infeksi primer,
memasuki periode laten dan setelahnya dapat terjadi kekambuhan yang secara
khas pada penderita imunkompeten tidak seberat infeksi HSV primer. Namun,
pada penderita dengan imunkompromais terjadi peningkatan insiden dan
keparahan infeksi herpetik yang berulang serta dapat muncul dengan perjalanan
penyakit yang atipikal. Rekurensi dapat disebabkan oleh trauma minor, paparan
radiasi ultraviolet, infeksi seperti infeksi saluran napas atas, pembedahan, dan
stres emosional. Secara khas, vesikel muncul di atas dasar yang eritema beberapa
jam sampai beberapa hari setelah gejala prodromal seperti gatal dan sensasi
terbakar pada area tersebut. Vesikel kemudian berubah menjadi krusta dan
sembuh tanpa jaringan parut dalam 7-10 hari. Walaupun pada umumnya muncul
di wajah, terutama di sekitar mulut, lesi herpes simpleks dapat muncul di lokasi
lain pada tubuh. Cenderung untuk muncul kembali pada area tubuh yang sama
namun tidak selalu di lokasi yang sama. Walaupun biasanya bergerombol tidak
teratur, lesi yang muncul dapat tersusun dengan distribusi berupa garis atau
zosteriform terutama apabila berlokasi di regio lumbar atau thorakal bawah.
Bentuk presentasi infeksi HSV berulang ini menyerupai evolusi dan morfologi
12
herpes zoster dan dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Untuk membedakan
antara HSV dan VZV sebagai penyebab erupsi zosteriform yang berulang tidak
dapat hanya bergantung pada penampakan klinis saja. Adanya multinucleated
giant cell pada kerokan dasar vesikel dalam hapusan Tzanck juga tidak dapat
membedakan antara keduanya. Oleh karena itu, untuk konfirmasi dapat dilakukan
kultur virus, deteksi antigen, teknik serologi dan molekular (contoh: polymerase
chain reaction(PCR)).6, 8, 22
Pada kasus, diagnosiszosteriform herpes simplex dapat disingkirkan karena
dari anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak pernah mengalami lesi kulit berupa
gelembung-gelembung berair di sekitar bibir, di genital, maupun di lokasi yang
sama sebelumnya. Pada penderita tidak dilakukan kultur virus, deteksi antigen,
maupun PCR. Apabila dilakukan kultur virus, pada infeksi oleh VZV akan
terisolasi VZV dari hasil inokulasi cairan vesikel, darah, cairan serebrospinal, atau
jaringan yang terinfeksi. Dapat juga dilakukan identifikasi langsung antigen VZV
atau asam nukleat pada media kultur. Sedangkan dari hasil amplifikasi dengan
PCR pada infeksi oleh VZV akan ditemukan DNA VZV pada spesimen klinis.6, 8
Zosteriform Cutaneous Metastasis merupakan presentasi yang jarang dan
telah dilaporkan pada 0,7-9% dari semua pasien dengan kanker. Ini dapat
merupakan petunjuk mengenai perluasan tumor yang penting atau bahkan
manifestasi awal dari keganasan. Diagnosis ini sebaiknya selalu dipertimbangkan
pada pasien yang mengalami erupsi kulit zosteriform dengan riwayat penyakit
keganasan. Walaupun tidak dapat diprediksi, distribusi metastasis pada kulit
berhubungan dengan lokasi anatomis tumor primer dan cara penyebarannya.
Penampakan klinis yang paling umum berupa nodul multipel, sedangkan yang
lebih jarang antara lain: bentuk inflamasi atau erysipeloid, sclerodermoid,
alopecia neoplastica, atau bullous. Pola zosteriform merupakan tipe cutaneous
metastasis yang sangat jarang dengan hanya sedikit kasus yang dilaporkan.
Banyak kasus dermatomal metastases yang pada awalnya didiagnosis dengan
herpes zoster karena disertai nyeri spontan yang menyerupai gejala klinis herpes
zoster sehingga awalnya diterapi dengan obat antivirus. Namun, berbeda halnya
dengan herpes zoster, pada Zosteriform Cutaneous Metastasislesi kulit tidak
13
membaik dengan pemberian obat antivirus. Bahkan cenderung mengalami
perburukan. Diagnosis pasti dapat dikonfirmasi melalui biopsi kulit yang akan
mendapatkan gambaran perluasan dari kanker. Mekanisme distribusi zosteriform
masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa teori telah diajukan antara
lain: penyebaran limfatik, koebnerization di lokasi infeksi zoster sebelumnya,
implantasi sel tumor melalui pembedahan, dan penyebaran neural melalui dorsal
ganglia.8, 23, 24
Pada kasus, penderita tidak menjalani biopsi kulit. Namun, diagnosis
zosteriform cutaneous metastasis dapat disingkirkan karena setelah pemberian
terapi asiklovir didapatkan adanya perbaikan lesi kulit pada pasien. Lagipula dari
hasil hapusan Tzanck pada lesi kulit penderita didapatkan adanya multinucleated
giant cell sehingga diketahui penyebab lesi kulit adalah salah satu dari virus
herpes bukan perluasan dari kanker.
Dermatitis radiasi atau radiodermatitis adalah lesi kulit pada area yang
terpapar radioterapi akibat radiasi ionisasi, dapat terjadi akut maupun kronis
karena adanya inflamasi yang diperantarai sitokin dan kerusakan DNA.17
Pada
kasus, diagnosis radiodermatitis dapat disingkirkan karena pada radiodermatitis
lesi kulit yang terjadi terbatas pada area yang terpapar radiasi, sedangkan pada
pasien distribusi lesi pada kulit sesuai dermatom L4-L5-S1 yang bukan
merupakan area yang terpapar radioterapi.
Dermatitis kontak dapat terjadi lokal pada area kulit yang kontak dengan
substansi penyebab. Oleh karena itu, harus digali lebih jauh lagi mengenai riwayat
paparan dengan bahan-bahan tertentu sebelum munculnya lesi kulit.6, 8
Pada
kasus, diagnosis dermatitis kontak juga dapat disingkirkan karena riwayat kontak
dengan bahan iritan atau alergen tertentu pada lokasi lesi kulit disangkal oleh
pasien.
Pemeriksaan yang murah dan sederhana untuk mendiagnosis suatu infeksi oleh
virus herpes adalah hapusan Tzanck. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
mengambil spesimen dari kerokan dasar vesikel yang masih baru kemudian
14
diwarnai dengan pewarnaan giemsa. Pada infeksi virus herpes ditemukan adanya
multinucleated giant cells. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara virus
herpes yang satu dengan yang lainnya. Diagnosis definitif infeksi VZV dapat
diperoleh melalui pemeriksaan kultur virus, Polymerase Chain Reaction (PCR),
dan Direct Fluorescent Antibody (DFA).6, 8
Pada kasus, dilakukan pemeriksaan
hapusan Tzanck, dan ditemukan adanya multinucleated giant cells.
Insiden herpes zoster meningkat pada penderita kanker. Hal ini dapat
terjadi karena kanker menyebabkan terjadinya penekanan sistem imun pada
penderitanya melalui mekanisme imunologi yang cukup kompleks.2 Penekanan
sistem imun oleh kanker dapat terjadi melalui serangkaian proses yang menyebar
dari lokasi tumor primer ke organ lymphoid sekunder dan pembuluh darah tepi
yang diperantarai oleh beberapa tumour-derived soluble factors (TDSFs) seperti
interleukin-10 (IL-10), transforming growth factor- (TGF-) dan vascular
endothelial growth factor (VEGF). TDSFs memicu sel myeloid imatur dan
regulatory T cells seiring dengan perluasan tumor, menyebabkan penghambatan
maturasi sel dendritik dan aktivasi sel-T dalam respon imun terhadap tumor. Sel
tumor tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan keadaan pro-inflamasi di
lingkungan sekitar tumor, sedangkan sel imun diatur oleh TDSFs selama keadaan
anti inflamasi diperantarai oleh gangguan pada klirens sel apoptotik yang
menyebabkan pelepasan IL-10, TGF-, dan prostaglandin E2(PGE2) oleh
makrofag. Akumulasi sel apoptotik yang rusak memicu antibody anti DNA
melawan antigen hospes sendiri, yang menyerupai keadaan pseudo-autoimun.
Antibodi anti DNA dapat diproduksi oleh terganggunya klirens sel apoptotik,
yang merupakan akibat dari defisiensi herediter komplemen C1q, C3, dan C4
yang terlibat dalam pengenalan fagositosis oleh makrofag. Maka kemungkinan
terganggunya klirens sel apoptotik dapat menyebabkan disfungsi imun pada
kanker yang pada akhirnya memudahkan terjadinya reaktivasi virus varisela-
zoster yang laten di dorsal root ganglia.13, 14, 15
Pada kasus, pasien adalah penderita kanker serviks stadium III B yang
berarti sel kanker sudah mengalami perluasan sampai ke tepi pelvis. Tumor sudah
15
melibatkan sepertiga bawah vagina dan terdapat hidronefrosis atau gangguan
fungsi ginjal.
Penampakan klinis herpes zoster pada pasien dengan imunkompromais
seperti pada penderita kanker biasanya identik dengan zoster yang tipikal namun
tidak jarang pula menunjukkan manifestasi yang atipikal dengan lesi yang sulit
sembuh, muncul berulang, dan tampak sebagai krusta kronis atau nodul
verukosa.12, 19
Lesi kulit yang terjadi dapat lebih ulseratif, nekrotik, dan
meninggalkan jaringan parut. Zoster yang melibatkan lebih dari satu dermatom
juga lebih sering terjadi pada penderita yang imunkompromais.12
Gejala
prodromal herpes zoster berupa nyeri pada dermatom yang terkena sebelum
munculnya erupsi kulit juga dirasakanlebih berat pada penderita dengan
imunkompromais dibandingkan dengan penderita yang imunkompeten.6
Pada kasus, sebelum munculnya lesi kulit pasien merasakan nyeri seperti
terbakar pada area bokong kiri dan ekstremitas kiri yang cukup mengganggu
aktivitas pasien karena menyebabkan pasien sampai kesulitan dalam berjalan. Lesi
kulit yang muncul juga melibatkan lebih dari 1 dermatom yaitu pada dermatom
L4, L5, dan S1 berupa vesikel dan bula yang bergerombol di atas kulit yang
eritema.
Terapi radiasi atau yang biasa disebut dengan radioterapi adalah
penggunaan radiasi pengion dalam upaya mengobati penderita kanker. Namun,
radioterapi telah dikaitkan dengan kejadian herpes zoster pada pasien yang
menjalaninya. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena radioterapi
mempengaruhi sistem imunitas seluler, namun faktor-faktor spesifik yang
menyebabkan reaktivasi VZV belum diketahui dengan jelas. Radioterapi
mempengaruhi jaringan yang radiosensitif seperti sumsum tulang. Radioterapi
lokal menyebabkan serangkaian perubahan hematologi selama dan setelah
radioterapi. Hal ini merupakan akibat dari sumsum tulang yang di-iradiasi pada
lapangan penyinaran juga karena efek sitotoksik pada stem cell hematopoietik
yang bersirkulasi. Radioterapi menurunkan jumlah total leukosit pasien hingga
dibawah 1000/μL yang dikenal sebagai radiation-induced
lymphopenia(RIL)sehingga melemahkan kekebalan alamiah tubuh. Mekanisme
16
biologi yang menyebabkan RIL belum dapat diketahui dengan jelas. Radiasi tidak
hanya memiliki efek langsung pada limfosit yang bersirkulasi, namun juga
memiliki efek tidak langsung pada stem cell hematopoietik di sumsum tulang
yang mempengaruhi perkembangan sel T untuk jangka waktu yang lama. Jumlah
limfosit tetap turun bahkan hingga bertahun-tahun setelah menjalani radioterapi.
Pada sebagian besar pasien yang menderita herpes zoster paska menjalani
radioterapi (berkisar dari 71%-100%) lesi kulit vesikular muncul di lapangan
penyinaran.. Diduga bahwa lokasi reaktivasi VZV berhubungan dengan lokasi
tumor itu sendiri dan lokasi penyinaran.Zoster dapat muncul dalam beberapa
bulan sampai 2 tahun setelah menyelesaikan terapi radiasi.16, 17, 18
Pada kasus, pasien menjalani terapi radiasi eksterna untuk mengatasi
penyakit kanker serviks yang dideritanya. Sumber sinar berupa pesawat Cobalt-
60yaitu alat yang digunakan untuk radioterapi dengan jarak sumber ke objek yang
disinari relatif jauh dan memancarkan radiasi gamma dari bahan isotop radioaktif
Co60. Bagian Radioterapi RSUP Sanglah memberikan dosis radiasi secara
bertahap dengan dosis 200 cGy per fraksi yang diberikan 5 x dalam seminggu.
Agar setiap organ yang menjadi target volume mendapatkan dosis secara
homogen radioterapi dilaksanakan menggunakan 2 lapangan radiasi yaitu
lapangan anterior posterior dan posterior anterior. Batas-batas lapangan radiasi
meliputi batas atas L4/L5 vertebral interspace, batas bawah 2 cm di bawah
foramen obturatoria, danbatas lateral 2 cm distal dari pelvic rim. Pasien mulai
menjalani radioterapi sejak bulan November 2014 sampai terapi terakhir yang ke-
33 di bulan Maret 2015. Setelah 4 bulan paska menyelesaikan terapi radiasi
tepatnya pada bulan juli 2015 pasien menderita herpes zoster dengan lesi kulit
yang muncul sesuai dermatom yang dipersarafi oleh saraf-saraf spinalis yang
terlibat dalam lapangan penyinaran yaitu pada dermatom L4, L5, dan S1.
Herpes zoster akut diterapi dengan agen antivirus asiklovir, valasiklovir,
dan famsiklovir. Agen-agen antivirus ini di-fosforilasi oleh thymidine kinase virus
dan cellular kinases menjadi bentuk triphosphate yang dapat menghambat
replikasi virus.19
17
Penatalaksanaan herpes zoster pada penderita dengan imunkompromais
dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan derajat keparahannya, yakni terapi untuk
pasien dengan imunkompromais ringan sampai sedang dan terapi untuk pasien
dengan imunkompromais berat. Yang termasuk dalam kategori imunkompromais
ringan sampai sedang antara lain pasien herpes zoster dengan kanker dan HIV.
Penatalaksanaan untuk kelompok pasien dengan imunkompromais ringan sampai
sedang adalah asiklovir oral 800 mg diminum 5 kali dalam sehari selama 7 sampai
10 hari, atau valasiklovir 1 gram setiap 8 jam selama 7 sampai 10 hari oral, atau
famsiklovir 500 mg setiap 8 jam selama 7 sampai 10 hari oral disertai dengan
observasi klinis yang ketat. Sedangkan yang termasuk dalam kategori
imunkompromais berat antara lain : (1) resipien allogeneic hematopoietic stem
cell transplants 4 bulan paska transplantasi, (2) resipien hematopoietic stem cell
transplant dengan graft-versus-host disease akut atau kronis sedang sampai berat,
(3) resipien transplantasi organ yang mendapat terapi anti penolakan yang agresif,
atau (4) resipien transplantasi organ yang dicurigai mengalami herpes zoster
dengan visceral dissemination (contoh : encephalitis atau pneumonitis). Pada
kelompok pasien ini, asiklovir intravena dengan dosis 10 mg/kg (atau 500 mg/m2)
setiap 8 jam selama 7 sampai 10 hari merupakan terapi yang direkomendasikan.6,
21 Herpes zoster dapat sangat nyeri sehingga dibutuhkan terapi anti nyeri yang
adekuat. Untuk nyeri yang ringan sampai sedang dapat dipertimbangkan
pemberian paracetamol, NSAIDs, atau tramadol. Sedangkan untuk nyeri sedang
sampai berat dapat diberikan opioid seperti morphine dan oxycodone. Apabila
nyeri sedang sampai berat tidak terkontrol dengan opioids, pertimbangkan
Gambar 4 tampak persiapan terapi radiasi eksterna
pada seorang pasien kanker serviks dengan
sumber sinar pesawat Cobalt-60 milik bagian
Radioterapi RSUP Sanglah Denpasar
4
18
pemberian gabapentin atau pregabalin, tricyclic antidepressants (TCAs), atau
kortikosteroid.6, 19, 20
Pada kasus, pasien termasuk dalam kategori imunkompromais ringan
sampai sedang sehingga penatalaksanaan yang diberikan kepada penderita adalah
pemberian obat anti virus Asiklovir oral 800 mg diminum 5 kali dalam sehari
selama 10 hari. Untuk mengatasi nyeri diberikan asam mefenamat 3x500 mg/hari
per oral disertai pemberian vitamin neurotropik B1B6B12 (B1 1x100 mg, B6
1x10 mg, B12 1x200 mcg) untuk menjaga dan menormalkan fungsi saraf.
Sedangkan untuk pengobatan topikal diberikan bedak salisil 1% dan mentol 0,5%
pada lesi vesikuler, sedangkan pada lesi vesikel yang telah pecah dikompres
dengan larutan salin 3x/hari selama 15 menit setiap kali kompres, dan diberikan
krim natrium fusidat yang dioleskan pada lesi erosi 2 kali dalam sehari.
Lesi kulit pada herpes zoster biasanya akan membaik dalam 10 sampai 15
hari dan krusta biasanya menghilang dalam 4 minggu, namun jaringan parut dan
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi paska inflamasi dapat menetap selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Herpes zoster jarang berakibat fatal pada
pasien yang imunkompeten, namun dapat mengancam nyawa pada pasien dengan
imunkompromais berat. Herpes zoster diseminata pada penderita dengan
imunkompromais dapat berujung pada kematian karena encephalitis, hepatitis,
atau pneumonitis. Morbiditas biasanya terbatas pada nyeri di dermatom yang
terkena. PHN merupakan komplikasi tersering dari herpes zoster. Komplikasi
tersering ke-dua adalah munculnya infeksi bakteri sekunder.6, 8, 11, 19, 20
Pada kasus, lesi kulit sudah membaik dalam 2 minggu dan krusta sudah
menghilang dalam 1 bulan meninggalkan kulit yang hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi. Komplikasi yang didapatkan pada kasus adalah PHN. Nyeri
dirasakan menetap sampai lebih dari 1 bulan setelah awitan munculnya vesikel
pada kulit.
Pasien sebaiknya diberikan informasi mengenai penyakit herpes zoster dan
komplikasinya seperti nyeri yang menetap paska zoster (PHN). Selama fase akut,
pasien sebaiknya disarankan untuk menghindari kontak dengan orang lanjut usia
di sekitarnya, orang dengan imunkompromais di sekitarnya, wanita hamil, atau
19
orang yang belum memiliki riwayat terkena cacar air sebelumnya. Pasien juga
disarankan untuk mandi dan minum obat yang diberikan sesuai anjuran dokter.
Selain itu juga pasien sebaiknya menjaga ruam kulitnya tetap bersih dan dilarang
untuk menggaruk lesi kulitnya atau melakukan manipulasi terhadap lesi kulitnya
karena dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri sekunder. Pasien tidak
diperbolehkan untuk menutup ruam kulitnya dengan penutup luka yang adhesive
karena dapat menyebabkan iritasi dan memperlambat penyembuhan lesi kulit.
Apabila di kemudian hari pasien kembali demam, agar segera berobat ke dokter
karena hal ini sering merupakan indikasi adanya infeksi bakteri. 6, 19, 20
20
SIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus herpes zoster lumbosakral sinistra setinggi L4-L5-
S1 pada seorang wanita usia 43 tahun dengan kanker serviks stadium IIIb paska
terapi radiasi eksterna. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan sitologi. Pada pasien penderita kanker yang menjalani
radioterapi didapatkan adanya peningkatan risiko untuk terkena herpes zoster. Hal
ini dapat terjadi karena pasien mengalami penurunan sistem imunitas seluler
sehingga memudahkan terjadinya reaktivasi virus varisela zoster. Penatalaksanaan
herpes zoster pada penderita dengan imunkompromais memiliki perbedaan bisa
dari rute pemberian terapi maupun dari durasi pengobatan. Prognosis pada pasien
dubius.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. ChenS.-Y., Suaya, J. A., Galindo, C. M., Misurski, D., Burstin, S., Levin,
M. J., 2013. Incidence of herpes zoster in patients with altered immune
function, 42:325–334.
2. Yenikomshian, M.A. et al, 2015. The epidemiology of herpes zoster and its
complications in medicare cancer patients, 15:106-116.
3. Weinke, T., Glogger, A., Bertrand, I., Lukas, K., 2014. The Societal
Impact of Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia on Patients, Life
Partners, and Children of Patients in Germany, 2014:1-8.
4. Albert, J.M. et al, 2010. Herpes zoster and Post-Herpetic Neuralgia,
11:88-97.
5. Yawn, B.P., et al, 2009. Health Care Utilization and Cost Burden of
Herpes Zoster in a Community Population, 84(9):787-794.
6. Schmader KE, Oxman MN. 2012. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff
Kl, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatric'k Dermatology in General Medicine. 8th
ed: New York : Mc
Graw-Hill;. p. 2383-401.
7. Santosa, C et al. 2015. “Profil Penyakit Herpes Zoster Pada Pasien di
Poliklinik Rawat Jalan RSUP Sanglah Denpasar Bali tahun 2010-2014”
(Penelitian Retrospektif). Denpasar: Universitas Udayana.
8. O’Connor, K.M., Paauw, D.S. 2013. Herpes Zoster, (2013) 503–522.
9. Mahamud, A. Et al. 2012. Herpes Zoster–Related Deaths in the United
States: Validity of Death Certificates and Mortality Rates, 1979–2007,
(7):960–6.
10. Tran, T.N. et al. 2014. Complications of herpes zoster in cancer patients,
(2014): 1–5.
11. Sterling J. C. Virus Infection. In: Burns T, Breathnach S., Cox N.,
Griffiths C., editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Hoboken:
Wiley Blackwell; 2010. P. 1510-1516.
12. James,W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2011. Viral Diseases. In:
Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 11th
ed: ElSevier; p.
376-384.
13. Kim,R., Emi, M., Tanabe, K. 2006. Cancer immunosuppression and
autoimmune disease: beyond immunosuppressive networks for tumour
immunity, (119): 254–264.
14. Whiteside, T.L., 2005. Immune suppression in cancer: Effects on immune
cells, mechanisms and future therapeutic intervention, Seminars in Cancer
Biology xxx (2005) xxx–xxx.
15. Terme, M. Et al. 2012. Cancer-Induced Immunosuppression: IL-18–
Elicited Immunoablative NK Cells, (11):2757–67
22
16. Razzaqhdoust, A. Et al. 2014. Reduction in radiation-induced
lymphocytopenia by famotidine in patients undergoing radiotherapy for
prostate cancer, (1):41-7.
17. Macomber, M.W., et al. 2014. Herpes zoster and radiation therapy: What
radiation oncologists need to know about diagnosing, preventing, and
treating herpes zoster, (4): 58–64.
18. Kapoor, V., et al. 2015. Stem Cell Transfusion Restores Immune Function
in Radiation-Induced Lymphopenic C57BL/6 Mice, 75(17); 1–4.
19. Gan, E.Y., Tian, E.A.L, Tey,H.L., 2013. Management of Herpes Zoster
and Post-Herpetic Neuralgia, (14):77–85.
20. Dworkin, R.H. et al, 2007. Recommendations for the Management of
herpes zoster, (44):p.1-26.
21. Berkey, F.J., 2010. Managing the Adverse Effects of Radiation Therapy,
82(4):381-388.
22. Koh, M.J.A., Seah, P.P., Teo, R.Y.L, 2008. Zosteriform herpes simplex,
Singapore Med J, (2) p 1-2.
23. Kishan, K.Y.H, Rao, G.R.R., 2013. A rare case of zosteriform cutaneous
metastases from squamous cell carcinoma of hard palate, Annals of
Medical and Health Sciences Research. (1) p 127-130.
24. Virmani, N.C., Sharma, Y.K., Deo, K.S., 2011. Zosteriform skin
metastases: Clue to an undiagnosed breast cancer. Indian Journal of
Dermatology (6) p 726-727.