Upload
redyhata
View
83
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
Hipertiroid pada Kehamilan
Pendahuluan
Hipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi hormon tiroid
didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau kedua-duanya.
Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik
soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada
usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa
toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena
penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme
dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena
tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di Indonesia
belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa.
Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1.
Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000
dari semua kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan
prematur, abortus dan kematian janin. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit
ditegakkan karena kehamilan itu sendiri menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang
menyerupai keadaan hipertiroidisme. Namun deteksi dini untuk mengetahui adanya
hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan
suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan keadaan hipertiroidisme. Pengelolaan
penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik
keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh
buruk terhadap ibu dan janin.
Faal kelenjar tiroid pada kehamilan normal :
Selama kehamilan faal kelenjar tiroid mengalami peningkatan dan dalam banyak hal aktifitas
kelenjar tiroid menyerupai keadaan hipertiroidisme. Sebelum dikembangkannya teknik
pengukuran kimiawi faal kelenjar tiroid, orang beranggapan bahwa terjadinya struma dan
peningkatan metabolisme basal pada wanita hamil disebabkan karena kelenjar tiroid yang
hiperaktif. Anggapan ini berdasarkan gambaran histologik berupa hipertrofi dan hiperplasi
folikel kelenjar tiroid pada wanita hamil. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa
prevalensi struma selama kehamilan bervariasi secara geografis. Pada suatu studi di
Skotlandia, 70% wanita hamil mengalami struma, lebih banyak dibandingkan dengan wanita
yang tidak hamil (38%). Berbeda dengan penelitian di Islandia, dimana tidak ditemukan
peningkatan kejadian struma selama kehamilan. Juga studi di Amerika Serikat, tidak
menunjukkan peningkatan kejadian struma pada wanita hamil. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa hal ini disebabkan karena kandungan yodium di Islandia dan Amerika Serikat lebih
tinggi daripada di Skotlandia.
Menurut Glinoer, kehamilan merupakan suatu keadaan yang unik, dimana faal kelenjar tiroid
dipengaruhi oleh 3 perubahan, yaitu :
1. Terjadi perubahan dalam ekonomi tiroid karena meningkatnya kadar TBG sebagai
respons terhadap peningkatan kadar estrogen. Akibat peningkatan kadar TBG ini akan terjadi
kenaikan kadar Protein Binding Iodine mulai minggu ke 12 yang mencapai 2 kali kadar
normal. Juga akan terjadi kenaikan kadar T4 dan T3 didalam serum.
Peningkatan kadar TBG serum selama kehamilan disebabkan karena meningkatnya produksi
TBG oleh sel-sel hati dan menurunnya degradasi TBG perifer akibat modifikasi oligosakarida
karena pengaruh kadar estrogen yang tinggi.
2. Terjadi peningkatan sekresi Thyroid Stimulating Factors (TSF) dari plasenta terutama
Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG menyerupai TSH, dimana keduanya
merupakan glikoprotein yang mempunyai gugus alfa yang identik. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa HCG merupakan suatu Chorionic Thyrotropin dimana aktifitas biologik
dari 1 Unit HCG ekivalen dengan 0,5 uU TSH.
3. Kehamilan disertai dengan penurunan persediaan yodium didalam kelenjar tiroid karena
peningkatan klirens ginjal terhadap yodium dan hilangnya yodium melalui kompleks feto-
plasental pada akhir kehamilan. Hal ini akan menyebabkan keadaan defisiensi yodium relatif.
Bersamaan dengan meningkatnya laju filtrasi glomerulus selama kehamilan, ekskresi yodium
meningkat dan terjadi penurunan “ iodine pool”.
Respons TSH terhadap TRH juga meningkat selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena
pengaruh estrogen, dimana dapat juga terjadi pada wanita2 tidak hamil yang menggunakan
obat2 kontrasepsi. Walaupun terjadi perubahan2 diatas, namun kecepatan produksi hormon
tiroid tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Menurut Burrow, pada wanita hamil
terjadi beberapa perubahan faal kelenjar tiroid seperti tersebut dibawah ini :
I. Meningkat :
A. Laju metabolisme basal
B. Ambilan yodium radioaktif
C. Respons terhadap TRH
D. Thyroxin Binding Globulin (TBG)
E. Tiroksin
F. Triyodotironin
G. Human Chorionic Thyrotropin/ Gonadotropin
H. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
II. Tidak berubah :
A. Konsentrasi tiroksin bebas (fT4)
B. Kecepatan produksi tiroksin
Perubahan faal kelenjar tiroid ibu selama kehamilan diikuti pula oleh perubahan faal kelenjar
tiroid janin. Yodium organik tidak ditemukan dalam kelenjar tiroid janin sebelum usia
kehamilan 10 minggu. Pada usia kehamilan 11-12 minggu, kelenjar tiroid janin baru mulai
memproduksi hormon tiroid. TSH dapat dideteksi dalam serum janin mulai usia kehamilan
10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah sampai usia kehamilan 20 minggu yang
mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian turun sampai 7 uU per ml. Penurunan ini
mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai terjadi pada usia kehamilan 12 minggu
sampai 1 bulan post natal. Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat
dideteksi adanya T4 yang mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu.
Kadar T3 didalam cairan amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan
meningkat. Tetrayodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk
reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin disebabkan karena sistem enzimnya belum matang.
Reverse T3 meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia kehamilan 17 sampai 20
minggu.
Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan
faal kelenjar tiroid janin. Pada saat lahir terjadi peningkatan kadar TSH karena sekresinya
oleh hipofisis meningkat. Kadar TSH neonatus meningkat beberapa menit setelah lahir 7,5
uU/ml dan mencapai puncaknya 30 uU/ ml dalam 3 jam. Karena rangsangan TSH akan
terjadi kenaikan yang tajam dari kadar T4 total dan T4 bebas didalam serum. Kadar T3 juga
meningkat secara dramatis, tetapi sebagian tidak tergantung dari TSH. Hal ini mungkin
disebabkan karena meningkatnya aktifitas jaringan dalam memetabolisir T4 menjadi T3.
Ambilan yodium radioaktif neonatus meningkat mulai 10 jam setelah lahir yang mencapai
puncaknya pada hari kedua dan menurun sampai batas normal seperti orang dewasa pada hari
ke 5 setelah lahir.
Tabel 1 menunjukkan faal kelenjar tiroid ibu dan neonatus
TBG
(mg/dl)
T4
(ug/dl)
T3
(ng/dl)
rT3
(ng/dl)
Wanita tidak hamil
Wanita hamil aterm
Neonatus
4,3
8,7
5,4
7,6
14,3
11,0
111
173
50
40
54
136
Tabel 2 menunjukkan tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi pada saat
baru lahir
T e s Darah ibu Darah tali pusat
T4 serum (ug/100 ml)
fT4 (ng/100 ml)
T3 serum (ng/100 ml)
rT3 (ng/100 ml)
resin T3 uptake
TBG (mg/L)
TSH serum (uU/ml)
10 – 16
2,5 – 3,5
150 – 250
36 – 65
22
30 – 50
0 - 6
6 – 13
1,5 – 3,0
40 – 60
80 – 360
25 – 35
12 – 30
0 – 20
Hipertiroidisme dalam kehamilan
Patogenesis
Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave yang
merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak diketahui
secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan perjalanan penyakitnya, diduga banyak
faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. Dari hasil penelitian, masih timbul
sejumlah pertanyaan yang belum terjawab, antara lain :
Apakah kelainan dasar penyakit tiroid otoimun terjadi didalam kelenjar tiroid sendiri,
didalam sistem imun atau keduanya.
Kalau terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan sistem imun, apakah kelainan primer terjadi
pada fungsi sel T (aktifitas sel T supresor yang meningkat dan sel T helper yang menurun
atau sebaliknya).
Apakah terdapat pengaruh faktor genetik dan lingkungan pada tahap awal terjadinya penyakit
tiroid otoimun.
Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat menyebabkan
kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis Hashimoto) atau menimbulkan
stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit Grave).
Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu :
Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid) karena
pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral.
Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan
imunitas seluler.
Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody (TSAb)
atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal beberapa stimulator
tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave, antara lain :
1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)
2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)
3. Human Thyroid Stimulator (HTS)
4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)
5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)
Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada membran sel folikel
kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid.
Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave berdasarkan hasil
penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas
sel T supresor pada penyakit Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa
pada penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui bahwa dalam
sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam proses produksi antibodi
oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam menekan produksi antibodi
tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang paling dominan, maka produksi antibodi
spesifik oleh sel B dapat mengalami stimulasi atau supresi. Kecenderungan penyakit tiroid
otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun terakhir. Beberapa
hasil studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama
pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya
HLA-B8 pada 47% penderita penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8
pada penyakit Grave diperkuat pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir menyebutkan
bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave berbeda-beda diantara berbagai ras.
Gray dan kawan-kawan (1985) menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma
fisik, emosi, struktur keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak terbukti
berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit
Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden
tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester
pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Pada usia
kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untuk remisi dan akan
mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit
Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal
kehamilan. Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga,
respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan remisi. Hal
ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama kehamilan. Pada kehamilan
akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan karena peningkatan
aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor
supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah plasenta
terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini dapat menerangkan mengapa
terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi
peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum.
Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai yang dilakukan oleh Amino
dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita Jepang menderita tiroiditis
postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas dan sulit dideteksi.
Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah melahirkan dengan manifestasi klinis
berupa hipertiroidisme transien diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan.
Pada fase hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan
yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang
sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase
hipotiroidisme dan kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya.
Terjadinya tiroiditis postpartum diduga merupakan “rebound phenomenon” dari proses
otoimun yang terjadi setelah melahirkan.
.
Pengaruh hipertiroidisme terhadap kehamilan
Hipertiroidisme akan menimbulkan berbagai komplikasi baik terhadap ibu maupun janin dan
bayi yang akan dilahirkan.
Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :
I. Komplikasi terhadap ibu :
A. Payah Jantung
Keadaan hipertiroidisme dalam kehamilan dapat meningkatkan morbiditas ibu yang serius,
terutama payah jantung. Mekanisme yang pasti tentang terjadinya perubahan hemodinamika
pada hipertiroidisme masih simpang siur. Terdapat banyak bukti bahwa pengaruh jangka
panjang dari peningkatan kadar hormon tiroid dapat menimbulkan kerusakan miokard,
kardiomegali dan disfungsi ventrikel. Hormon tiroid dapat mempengaruhi miokard baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh langsung :
Hormon tiroid dapat mengakibatkan efek inotropik positip dan kronotropik positip pada
miokard melalui beberapa cara :
1. Komponen metabolisme :
a. Meningkatkan jumlah mitokondria
b. Meningkatkan sintesis protein terutama sintesis miosin yang menyebabkan aktifitas
ATPase miosin meningkat
c. Meningkatkan aktifitas pompa natrium pada sel-sel miokard
d. Meningkatkan ion kalsium miokard yang akan mempengaruhi interaksi aktin-miosin dan
menghasilkan eksitasi kontraksi miokard
e. Menyebabkan perubahan aktifitas adenilsiklase sehingga meningkatkan kepekaan miokard
terhadap katekolamin.
2. Komponen simpul sinoatrial :
Terjadi pemendekan waktu repolarisasi dan waktu refrakter jaringan atrium, sehingga
depolarisasi menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan takikardia sinus dan fibrilasi atrium.
3. Komponen adrenoreseptor :
Pada hipertiroidisme, densitas adrenoreseptor pada jantung bertambah. Hal ini dikarenakan
pengaruh hormon tiroid terhadap interkonversi reseptor alfa dan beta. Hipertiroidisme
menyebabkan penambahan reseptor beta dan pengurangan reseptor alfa.
Pengaruh tidak langsung :
1. Peningkatan metabolisme tubuh :
Hormon tiroid menyebabkan metabolisme tubuh meningkat dimana terjadi vasodilatasi
perifer, aliran darah yang cepat (hiperdinamik), denyut jantung meningkat sehingga curah
jantung bertambah.
2. Sistem simpato-adrenal :
Kelebihan hormon tiroid dapat menyebabkan peningkatan aktifitas sistem simpato-adrenal
melalui cara :
a) Peningkatan kadar katekolamin
b) Meningkatnya kepekaan miokard terhadap katekolamin
Secara klinis akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi pada waktu istirahat, dimana hal ini dapat
pula disebabkan oleh kehamilan itu sendiri. Disfungsi ventrikel akan bertambah berat bila
disertai dengan anemia, preeklamsia atau infeksi. Faktor-faktor risiko ini sering terjadi
bersamaan pada wanita hamil. Davis,LE dan kawan-kawan menyebutkan bahwa payah
jantung lebih sering terjadi pada wanita hamil hipertiroidisme yang tidak terkontrol terutama
pada trimester terakhir.
Krisis tiroid
Salah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita hamil dengan hipertiroidisme
adalah krisis tiroid. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus antara lain
persalinan, tindakan operatif termasuk bedah Caesar, trauma dan infeksi. Selain itu krisis
tiroid dapat pula terjadi pada pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak terdiagnosis atau
mendapat pengobatan yang tidak adekuat. Menurut laporan Davis LE dan kawan-kawan, dari
342 penderita hipertiroidisme hamil, krisis tiroid terjadi pada 5 pasien yang telah mendapat
pengobatan anti tiroid, 1 pasien yang mendapat terapi operatif , 7 pasien yang tidak
terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan. Krisis tiroid ditandai dengan manifestasi
hipertiroidisme yang berat dan hiperpireksia. Suhu tubuh dapat meningkat sampai 41oC
disertai dengan kegelisahan, agitasi, takikardia, payah jantung, mual muntah, diare,delirium,
psikosis, ikterus dan dehidrasi.
II. Komplikasi terhadap janin dan neonatus :
Untuk memahami patogenesis terjadinya komplikasi hipertiroidisme pada kehamilan
terhadap janin dan neonatus, perlu kita ketahui mekanisme hubungan ibu janin pada
hipertiroidisme. Sejak awal kehamilan terjadi perubahan-perubahan faal kelenjar tiroid
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sedangkan kelenjar tiroid janin baru mulai berfungsi
pada umur kehamilan minggu ke 12-16. Hubungan ibu janin dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu maupun TSH janin tidak saling
mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4 hanya dalam jumlah sedikit yang dapat
melewati plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan mudah. Oleh karena itu
bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi hipertiroidisme pada janin dan
neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo Mercazole, zat-zat yodium radioaktif
dan yodida, juga propranolol dapat dengan mudah melewati plasenta. Pemakaian obat-obat
ini dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan janin. Pemakaian zat yodium
radioaktif merupakan kontra indikasi pada wanita hamil karena dapat menyebabkan
hipotiroidisme permanen pada janin.
Hipertiroidisme janin dan neonatus :
Hipertiroidisme janin dapat terjadi karena transfer TSI melalui plasenta terutama bila ibu
hamil hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan anti tiroid. Hipertiroidisme janin dapat pula
terjadi pada ibu hamil yang mendapat pengobatan hormon tiroid setelah mengalami operasi
tiroidektomi, sedangkan didalam serumnya kadar TSI masih tinggi. Diagnosis ditegakkan
dengan adanya peningkatan kadar TSI ibu dan bunyi jantung janin yang tetap diatas 160 x per
menit. Kurang lebih 1% wanita hamil dengan riwayat penyakit Grave akan melahirkan bayi
dengan hipertiroidisme. Hipertiroidisme neonatus kadang-kadang tersembunyi, biasanya
berlangsung selama 2 sampai 3 bulan. Hipertiroidisme neonatus disertai dengan mortalitas
yang tinggi. Komplikasi jangka panjang pada bayi yang bertahan hidup akan mengakibatkan
terjadinya kraniosinostosis prematur yang menimbulkan gangguan perkembangan otak.
Kematian biasanya terjadi akibat kelahiran prematur, berat badan lahir rendah dan penyakit
jantung kongestif. Diagnosis hipertiroidisme neonatus ditegakkan atas dasar gambaran klinis
dan laboratorium. Adanya struma, eksoftalmos dan takikardia pada bayi yang hiperaktif
dengan kadar tiroksin serum yang meningkat sudah cukup untuk dipakai sebagai pegangan
diagnosis. Namun dapat pula terjadi gambaran klinis yang lain seperti payah jantung,
hepatosplenomegali, ikterus dan trombositopenia.
Hipotiroidisme janin dan neonatus
Penggunaan obat-obat anti tiroid selama kehamilan dapat menimbulkan struma dan
hipotiroidisme pada janin, karena dapat melewati sawar plasenta dan memblokir faal tiroid
janin. Penurunan kadar hormon tiroid janin akan mempengaruhi sekresi TSH dan
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Menurut Cooper DS, frekuensi struma pada
neonatus akibat pengobatan anti tiroid pada wanita hamil diperkirakan 10%. Davis LE dan
kawan-kawan melaporkan bahwa dari 36 ibu hamil hipertiroidisme yang diobati dengan anti
tiroid, terdapat 1 kasus neonatus yang mengalami struma dan hipotiroidisme. Cheron dan
kawan-kawan dalam penelitiannya melaporkan bahwa hanya 1 dari 11 neonatus mengalami
struma dan hipotiroidisme setelah ibunya mendapat terapi PTU 400 mg perhari. Namun
walaupun 10 neonatus lainnya berada dalam keadaan eutiroid, terjadi pula penurunan kadar
tiroksin dan peningkatan kadar TSH yang ringan. Hal ini menunjukkan telah terjadi
hipotiroidisme transien pada 10 neonatus tersebut. Penyebab hipotiroidisme janin yang lain
adalah pemberian preparat yodida selama kehamilan. Dosis yodida sebesar 12 mg perhari
sudah dapat menimbulkan hipotiroidisme pada janin. Hipotiroidisme akibat pemakaian
yodida ini akan menimbulkan struma yang besar dan dapat menyumbat saluran nafas janin.
Untuk mendiagnosis hipotiroidisme pada janin, Perelman dan kawan-kawan melakukannya
dengan pemeriksaan contoh darah janin perkutan melalui bantuan USG, yang menunjukkan
kadar TSH yang tinggi dan kadar tiroksin yang rendah.
Diagnosis
Gambaran klinis
Secara klinis diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan, karena kehamilan
itu sendiri dapat memberikan gambaran yang mirip dengan hipertiroidisme. Pada kehamilan
normal dapat ditemukan pula manifestasi hiperdinamik dan hipermetabolik seperti pada
keadaan hipertiroidisme. Disamping itu penambahan berat badan yang terjadi pada kehamilan
dapat menutupi gejala penurunan berat badan yang terjadi pada hipertiroidisme. Oleh karena
itu pegangan klinis untuk diagnosis sebaiknya jangan dipakai. Walaupun demikian pada
seorang penderita hipertiroidisme Grave yang sudah dikenal, gambaran klinis yang klasik
dapat dipakai sebagai pegangan diagnosis. Tanda klinis yang dapat digunakan sebagai
pegangan diagnosis adalah adanya tremor, kelainan mata yang non infiltratif atau yang
infiltratif, berat badan menurun tanpa diketahui sebabnya, miksedema lokal, miopati dan
onikolisis. Semua keadaan ini tidak pernah terjadi pada kehamilan normal. Bila nadi istirahat
lebih dari 100 kali permenit dan tidak melambat dengan perasat Valsalva, hal ini memberi
kemungkinan kuat adanya hipertiropidisme.
Pasien-pasien dengan hipertiroidisme hamil dapat mengalami hiperemesis gravidarum yang
hanya dapat diatasi dengan obat-obat anti tiroid.
Laboratorium :
1. Kadar T4 dan T3 total
Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena peningkatan kadar TBG
oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan kadar T4 total diatas 190 nmol/liter (15 ug/dl)
menyokong diagnosis hipertiroidisme.
2. Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)
Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena tidak dipengaruhi
oleh peningkatan kadar TBG. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar fT4 dan fT3 sedikit
menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah dapat
menunjukkan hipertiroidisme.
3. Indeks T4 bebas (fT4I)
Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid yang tidak
dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari segi biaya,
pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu kadar
fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari segi diagnostik, pemeriksaan
inilah yang paling baik pada saat ini.
4. Tes TRH
Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil dengan gejala
samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu dan penderita harus
disuntik TRH dulu.
5. TSH basal sensitif
Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes skrining
penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga untuk
hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan tes ini, maka tes TRH mulai
banyak ditinggalkan.
6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)
Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme Grave hamil.
Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :
a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan besar penderita akan
relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak berhasil menekan proses otoimun.
b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI melewati plasenta
dengan mudah.
Penatalaksanaan
Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita hamil, maka
pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan antara penggunaan obat-
obat anti tiroid dan tindakan pembedahan. Namun obat-obat anti tiroid hendaklah
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama.
Obat-obat anti tiroid
Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang kerjanya
menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-
obat anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya
mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini tidak
mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis baru terjadi setelah hormon
tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai keadaan eutiroid tergantung dari jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar
tiroid. Pada umumnya perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan
keadaan eutiroid baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan
metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun PTU
mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain :
a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis
hormon tiroid.
b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU mempunyai
ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.
Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia cutis pada bayi. Oleh
karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan.
Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada
keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan
terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum, dosis
hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis
PTU diberikan 150 mg per hari dan setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari.
Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan
penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya
diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak
menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan
bahwa dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg
PTU perhari pada ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan
masih dapat ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4
dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi.
Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan, sehingga
penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme. Bahkan pada
kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga kadang-kadang
tidak diperlukan pemberian obat-obat anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan
bahwa walaupun terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat
menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk
tetap meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari). Dengan dosis ini
diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap neonatus dari keadaan hipertiroidisme.
Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin karena ibu hamil
yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat pengobatan anti tiroid yang
tidak adekuat. Bila keadaan hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan
pengobatan diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih
sering, misalnya setiap 4 – 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis
tinggi ini berdasarkan hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam
serum pada trimester terakhir masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum.
Namun dosis diatas 600 mg perhari tidak dianjurkan.
Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula mempengaruhi faal kelenjar
tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar.
Oleh karena itu metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah
pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi
faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian
dosis 400 mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus.
Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui
asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan yang
ketat terhadap faal tiroid neonatus.
Beta bloker
Gladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol dapat menyebabkan plasenta yang
kecil, hambatan pertumbuhan janin, gangguan respons terhadap anoksia, bradikardia
postnatal dan hipoglikemia pada neonatus. Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan
sebagai obat pilihan pertama jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil.
Walaupun demikian cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker
pada wanita hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis
bila dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam dengan yodida
biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari. Yodida secara cepat
menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin (efek Wolff-Chaikoff) dan memblokir
sekresi hormon tiroid. Namun pengobatan yodida jangka panjang dapat berakibat buruk
karena menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat
diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.
Tindakan operatif
Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama
karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan. Lagipula tindakan operatif
menimbulkan masalah tersendiri, antara lain :
a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat pengaruh obat-
obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.
b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus,
hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.
c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.
Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat anti
tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan hipertiroidisme
serta apabila terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan
tindakan operatif, keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obat-obat
anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi, pasien hendaknya
diawasi secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-
tanda hipotiroidisme, dianjurkan untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.
Simpulan :
1. Hipertiroidisme dalam kehamilan lebih sering disebabkan oleh penyakit Grave yang
merupakan penyakit otoimun.
2. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan secara klinis sulit ditegakkan, oleh karena itu
perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium penunjang.
3. Pemeriksaan laboratorium yang paling ideal adalah pemeriksaan fT4I, karena tidak
dipengaruhi oleh proses kehamilan.
4. Prioritas penatalaksanaan hipertiroidisme dalam kehamilan adalah dengan pemberian obat-
obat anti tiroid dan PTU merupakan obat pilihan yang paling aman.
5. Propranolol dan preparat yodida hanya diberikan sebagai tambahan pada keadaan
hiperdinamik dan hipermetabolik yang berat dan tidak boleh diberikan lebih dari 1 minggu.
6. Tindakan operatif hanya dilakukan pada keadaan-keadaan :
a. Hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid
b. Obat anti tiroid tidak efektif dalam mengendalikan keadaan hipertiroidismenya
c. Terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma
7. Tindakan operatif sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama.
8. Terapi dengan yodium radioaktif merupakan kontraindikasi pada wanita hamil karena
dapat menimbulkan hipotiroidisme permanen pada janin.
Daftar pustaka :
1. Cheron RG. Neonatal thyroid function after PTU therapy for maternal Graves’ disease. N
Engl J Med.1981;304:525-528.
2. Burrow GN, Fisher DA, Larsen PR. Maternal and fetal thyroid function. N Engl J Med
1994;331:1072–8.
3. Glinoer D. The Regulation of Thyroid Function in Pregnancy: Pathways of Endocrine
Adaptation from Physiology to Pathology. Endocr Rev.1997;l8(3):404-433.
4. Lazarus JH. Hyperthyroidism during pregnancy: etiology, diagnosis and management.
Women’s Health 2005;1:97-104
5. Casey BM, Dashe JS, Wells CE, McIntire DD, Leveno KJ, Cunningham FG. Subclinical
hyperthyroidism and pregnancy outcomes. Obstet Gynecol 2006;107:337-41.
6. Glinoer D. Thyroid dysfunction in the pregnant patient. (Chapter 14.) In: Thyroid disease
manager.2007. www.thyroidmanager.org/Chapter14/14-frame.htm