Upload
sofinakusnadi
View
270
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pembacaan jurnal THT Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis
Citation preview
Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasal dan
Asma: Aspek Klinis dan Radiologis, Alergi, dan Penanda
Inflamasi
Jūratė Staikūnienė, Saulius Vaitkus1, Lidija Marija Japertienė2, Silvija
Ryškienė3
Kata Kunci: rinosinusitis kronik; polip nasal; asma
Abstrak: Rinosinusitis kronik (cronic rhinosinusitis, CRS) baik yang
disertai dengan ataupun tidak disertai dengan polip nasal mewakili stage inflamasi
yang berbeda dari sebuah penyakit inflamasi kronis mukosa cavum nasi dan sinus
paranasal. Koeksistensi rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan asma serta
karakteristik proses inflamasi yang hampir mirip diantara keduanya, agaknya
menunjukkan proses terjadinya penyakit yang mirip. Dalam penelitian ini, kami
mengevaluasi berbagai perbedaan temuan-temuan radiologis foto sinus, inflamasi
sistemik dan penanda alergi, serta fungsi paru penderita rinosinusitis kronik
dengan polip nasal dan asma.
Sebanyak 121 pasien rinosinusitis kronik dirujuk menuju institusi
kesehatan tersier untuk dievaluasi; sedangkan terdapat 23 pasien yang sehat
sebagai kelompok kontrol. Pada pasien ini dilakukan CT scan sinus dan endoskopi
nasal. Rinitis alergi didiagnosa berdasarkan anamnesis riwayat kesehatan pasien
dan hasil tes alergi (skin prick test) yang positif terhadap beberapa alergen
tertentu. Intoleransi terhadap aspirin dinilai berdasarkan anamnesis riwayat. Selain
itu juga dilakukan pengukuran kadar IgE total, IgE spesifik Aspergillus fumigatus,
hitung leukosit dan eosinofil pada darah perifer.
Pada 84 pasien (69.4%) ditemukann terjadinya polip nasal, sementara pada
pasien tersebut ditemukan terjadinya asma terkait polip nasal (91.7%) dan rinitis
(45.5%). Sebanyak 44 pasien rinosinusitis kronik yang juga menderita polip nasal
dan asma memiliki berbagai karakteristik, sbb: terjadi pada kelompok usia yang
lebih tua (P<0.01), ditemukannya berbagai tanda dan gejala pada nasal dan
saluran pernapasan yang lebih kentara yang berlangsung lebih lama (P<0.001),
tingginya berbagai tindakan pembedahan yang telah dilakukan sebelumnya
(P<0.01), gambaran penyakit sinus pada foto nCTscan yang lebih parah
(P<0.001), tingginya hitung total leukosit dan osinofil serta kadar IgE total
(P<0.01), terjadinya obstruksi bronkial (P<0.05), insidensi terjadinya rinitis alergi
yang lebih (P<0.01), dan sensitivitas yang tinggi terhadap tungau rumahan D.
pteronyssinus (47.7%, P<0.01) dan alergen yang berasal dari berbagai jamur
(29.5%, P<0.01) dibandingkan dengan pasien dengan rinosinusitis kronik
terisolasi. Perluasan perubahan hasil CT scan sinus nampak lebih kentara pada
individu asmatik dan berhubungan dengan durasi terjadinya asma yang lebih lama
(P<0.0001), tindakan pembedahan sebelumnya yang lebih sering (P=0.001),
hitung jumlah leukosit dalam darah (P=0,025, dan usia (P=0.039).
Konklusi. Data penelitian kami menunjukkan bahwasanya pasien CRS
terbagi kedalam beberapa kelompok yang memiliki ciri-ciri klinis yang berbeda-
beda dan ketika dihubungkan dengan polip nasal dan asma, dapat menyebabkan
gangguan/penyakit respiratorik yang parah, yang memiliki karakteristik, sbb:
sering terjadi pada usia tua, terjadinya gejala-gejala nasal dalam durasi yang lebih
lama, kadar penanda inflamasi sistemik yang tinggi, obstruksi bronkial yang lebih
kentara,dan insidensi terjadinya rinitis alergi
Introduksi
Rinosinusitis kronik (chronic rhinosinusitis, CRS) merupakan sebuah
penyakit inflamatoris dari mukosa cavum nasi dan sinus paranasal yang telah
berlangsung setidaknya lebih dari 12 minggu. Berdasarkan dijumpai ataupun
tidaknya polip nasal pada pemeriksaan endoskopi, secara klinis CRS dibagi ke
dalam CRS dengan atau tanpa polip nasal (nasal polyps, NPs). Patogenesis
terjadinya CRS belum sepenuhnya dapat dipahami, walaupun berbagai faktor
seperti: kerentanan genetik, infeksi, kelainan anatomi, dan ketidakseimbangan
imunologis lokal digadang turut berperan dalam patogenesis terjadinya CRS.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah eosinofil
dalam darah dan parahnya inflamasi eosinofilik yang terjadi berkaitan dengan
danya keterlibatan mukosa sinonasal yang luas, keparahan derajat penyakit sinus
yang terjadi, dan ukuran polip nasal yang terjadi, sehingga dapat dikatakan
bahwasanya CRS baik yang disertai maupun tanpa polip nasal merupakan suatu
penyakit inflamatoris kronis yang rentang gejalanya terbentang pada suatu
spektrum dengan dua ujung. Baru-baru ini diketemukan adanya perbedaan
ekspresi berbagai mediator inflamasi dan karakteristik seluler pada jaringan
mukosa pasien CRS dan polip nasal. Sebagian penelitian telah mengkonfirmasi
bahwasanya eosinofil dan peningkatan berbagai produk lain terkait inflamasi
menjadi tanda khas yang dijumpai pada kasus polip nasal yang terjadi akibat
adanya proses inflamasi. Ditemukan terjadinya peningkatan jumlah berbagai
mediator inflamasi, seperti: interleukin (IL-5) yang merupakan sebuah faktor
diferensiasi dan kehidupan eosinofil, protein kationik eosinofil (eosinophil
cationic protein, ECP), eotaxin yang berperan dalam kemotaksis dan aktivasi
eosinofil, serta IgE baik pada pasien dengan CRS ataupun NP dibandingkan
dengan pasien kelompok kontrol. Dilaporkan berbagai sitokin, metaloproteinase
dan inhinitornya, enzim-enzim pro-inflamasi (group II subfamily secretory
phospholipase A2) mungkin turut berperan dalam patogenesis CRS yang disertai
ataupun tanpa disertai NP.
Lebih lanjut, pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara berbagai
penyakit pada saluran pernapasan atas dan bawah penting adanya karena
seringnya prevalensi terjadinya rinosinusitis dan asma serta beban dan penderitaan
yang ditimbulkannya bagi penderita dan sistem pelayanan kesehatan.
Rinosinusitis terjadi bersamaan (koeksistensi) dengan asma pada 34-50% pasien.
Baru-baru ini, > 84% foto CT scan sinus pasien asma yang hebat menunjukkan
adanya abnormalitas dimana terdapat hubungan antara perubahan hasil CT yang
terjadi dengan eosinofilia pada sputum dan gangguan fungsi paru. Rinosinusitis
dan asma yang terjadi mewakili serangkaian tumpang tindih “overlapping”
penyakit yang terjadi melalui mekanisme yang hampir sama yang didalamnya
terjadi inflamasi kronik serta remodeling pada mukosa saluran napas. Pada CRS
dan NP, pada mukosa sinus dapat dijumpai eosinofiln dan limfosit T yang
mensekresikan interleukin-5, sebagaimana dapat juga dijumpai pada mukosa sinus
pasien asma bronkial. Sumsum tulang dapat berperan dalam menyediakan
hubungan antara saluran pernapasan atas dan bawah dalam menyebabkan
common disease. Peningkatan hitung jumlah eosinofil yang terjadi pada asma
seringkali berhubungan dengan derajat keparahan asma yang terjadi dan penderita
asma seringkali juga menderita poliposis nasal yang lebih parah. Dari sini, masih
terdapat beberapa pertanyaan yang belum dapat terjawab dengan pasti, terutama
berupa faktor-faktor apa sajakah yang menentukan manifestasi klinis pada
gangguan pada saluran napas dan bagaimanakah pendekatan penatalaksanaannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah mencari dan memperbandingkan
hubungan yang mungkin terjadi antara rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan
asma guna mendeteksi perbedaan gambaran radiologis sinus, inflamasi sistemik
dan penanda alergi, serta fungsi paru. Untuk memnuhi berbagai tujuan tersebut,
kami melakukan pengukuran terhadap kadar IgE serum, hitung jumlah leukosit
dan eosinofil, fungsi paru, dan sensitivitas terhadap berbagai inhalan baik pada
pasien dengan atau tanpa NP dan dengan ataupun tanpa asma yang terjadi secara
bersamaan.
Material dan Metode
Pasien
Kami mengumpulkan berbagai data yang diperoleh dari 121 pasien rinosinusitis
kronis yang dirujuk ke institusi pelayanan kesehatan tersier kami, the Kaunas
Medical University Hospital – Department of Pulmonology and Immunology and
Department of Otorhinolaryngology, sejak tahun 2002 hingga tahun 2005.
Sinusitis kronis didiagnosis melalui anamnesis riwayat, endoskopi nasal, dan
perluasan penyakit sinus pada gambaran CT scan berdasarkan kategori yang
dibuat oleh Lund dan Mackay. Polip nasal dideteksi melalui endoskopi nasal dan
dinilai dalam skala 0-3. Polip yang memiliki sebagai skor 1 apabila masih terbatas
pada meatus media saja, skor 2 apabila telah mencapai konka inferior atau
mengisi cavum nasi. Diagnosis asma dibuat berdasarkan GINA yang diperoleh
melalui anamnesis riwayat dan uji fungsi paru (uji obstruksi bronkial balik,
hiperreaktivitas bronkial terhadap metakolin), kemudiaa dikategorikan derajat
keparahannya ke dalam asma intermiten, ringan, sedang, dan berat. Pasien
kemudian dibagi ke dalam 4 kelompok berdasarkan gambaran CT scan yang
menunjukkan adanya polip dan asma. Kelompok-kelompok tersebut adalah sbb:
CRS, tanpa polip, tanpa asma (kelompok 1, CRS); CRS dengan asma, tanpa polip
(kelompok 2, CRS+A); CRS dengan polip, tanpa asma (kelompok 3, CRS+NP);
CRS dengan polip dan asma (kelompok 4, CRS+NP+A). Diagnosis rinitis alergi
dibuat berdasarkan gejala-gejala yang timbul dan hasil uji skin prick test yang
positif terhadap berbagai alergen inhalan. Intoleransi aspirin dinilai melalui
anamnesis riwayat. Pasien yang menggunakan obat steroid sistemik selama 4
minggu terakhir sebelum pengambilan sampel darah akan dieksklusikan. Kesemua
pasien memberikan informed consent tertulis dan the Ethics Committee of the
Kaunas University of Medicine telah menyetujui metode kerja penelitian ini.
Alergi dan Penanda Inflamasi
Sensitivitas terhadap berbagai alergen dideteksi melalui pelaksanaan skin
prick tests.Sensitisasi terhadap berbagai alergen rumahan diuji menggunakan
ekstrak alergen yang berasaln dari tungau rumahan D. pteronyssinus, bulu kucing,
anjing, kecoak, campuran berbagai jamur seperti: Aspergillus, Penicillium,
Cladosporium, Alternaria spp. (Bayer Corporation, AS). Ekstrak alergen yang
berasal dari serbuk sari dari tanaman Beerch, rumput Timothy, dan Mugwort
digunakan sebagai media dalam mendeteksi adanya sensitivitas kulit terhadap
serbuk sari. Histamin (10 mg/mL) digunakan sebagai kontrol positif, sementara
diluent of allergen extract (terlarutnya ekstrak alergen) digunakan sebagai kontrol
negatif. Skin prick test dinyatakan positif apabila diameter bintul yang terbentuk ≥
3 mm atau lebih dari kontrol negatif. Kadar serum IgE total dan IgE spesifik
Aspergillus fumigatus diukur menggunakan assay ELISA “M.A.S.T. Diagnostica”
(Laboratoriums-Pr.parate GmbH, Jerman) sesuai dengan instruksi pabrik. Kadar
IgE yang > 100 kU/L dan IgE spesifik Aspergillus fumigatus > 0.35 kU/L
dipertimbangkan terjadi peningkatan dari kadar normal. Nilai hitung jumlah
leukosit dan eosinofil pada sampel darah perifer dinilai menggunakan automatic
cell calculator ADVIA 120.
Pemeriksaan Fungsi Paru (Siprometri)
Semua pengukuran dalam pemeriksaan fungsi paru ini dilakukan dalam
keadaan pasien duduk. Volum ekspirasi paksa 1 detik (forced expired volume in
one second, FEV1) dan kapasitas vital (vital capacity, VC) diperoleh
melaluikurva aliran (flow/volume curves) menggunakan spirometer “Custo VitM”
(Custo Med, Jerman). Tiga nilai VC dan FEV1 paling besar pertama yang
diperoleh melalui teknik ekspirasi yang memuaskan akan digunakan dalam
pengukuran. Kesemua data dinyatakan dalam nilai prediksi normal/predicted
normal values (% pred), selain itu juga dihitung nilai FEV1/VC (%). Standar
spirometri yang digunakan menggunakan standar rekomendasi dari European
Respiratory Society. Fungsi paru dipertimbangkan normal apabila nilai FEV1
80% predicted, FEV1/VC 88% predicted untuk laki-laki dan 89% predicted untuk
wanita.
Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS Windows 12.0 version.
Analisis frekuensi terjadinya berbagai gejala dan distribusi skor Ct scan sinus
diperoleh melalui ANOVA. Perbedaan proporsi diuji menggunakan metode Chi-
square. Ketika dilakukan perbandingan antar kelompok, uji non parametrik
Kruskal-Wallis digunakan untuk menetapkan variabilitas signifikan antar
kelompok. Uji Mann-Whitney kemudian digunakan dalam perbandingan antar
kelompok. Data ditampilkan dalam nilai-nilai individual dan diekspresikan dalam
plot Box-and-Whisker yang mewakili rata-rata, kuartil atas dan bawah, dan nilai
minimum dan maksimum. Korelasi yang terjadi dianalisis menggunakan koefisien
Spearman. Nilai P <0.05 dipertimbangkan secara statistik signifikan.
Hasil
Subyek penelitian berupa 144 orang dimana 121 orang merupakan pasien
yang secara klinis didiagnosis menderita rinosinusitis kronis (41 pria dan 80
wanita), sedangkan sisanya, yakni 23 individu non-atopik tanpa gejala-gejala
nasal (6 pria dan 17 wanita) yang dimasukkan ke dalam kelompok kontrol. Rerata
SD umur pasien dengan rinosinusitis kronis adalah 49.1±13.7 tahun (berkisar
antara 16–73 tahun), sementara rerata SD umur pasien kelompok kontrol adalah
1.9±15.8 years (berkisar antara 16–78 tahun). Pada dua kelompok penelitian ini
tidak dijumpai adanya perbedaan kumur dan jenis kelamin yang signifikan.
Karakteristik demografik, klinis, dan fungsi dari kelompok pasien dengan
rinosinusitis kronis terangkum dalam Tabel. Melalui endoskopi nasal, polip nasal
ditemukan terjadi pada 84 pasien (69.4%), dimana > dari separuh (53.6%) pasien
menderita polip derajat #. Skor perubahan yang diamati dari foto CT scan berkisar
antara 1 hingga 24 (13.8±6.9) dengan nilai tertinggi sebesar 24 dalam skala 0-24.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor CT scan dengan jenis
kelamin. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin memiliki
perubahan gambaran radiologis yang lebih besar (rerata skor CT sinus 18.3±6.3)
dibandingkan dengan pasien yang toleran aspirin (rerata skor CT sinus 13.1±6.8)
dengan nilai P=0.005). Lebih dari separuh pasien (64.5%) mengeluhkan adanya
gangguan olfaktorius (gangguan penghidu); hilangnya fungsi penghidu terjadi
pada 30.6% pasien yang hanya menderita polip nasal saja. Tidak terdapat
perbedaan perubahan gambaran radiologis sinus antara pasien dengan hiposmia
dan anosmia, tetapi pada pasien dengan NP derajat yang lebih tinggi memiliki
skor CT sinus yang lebih tinggi (P<0.01). Lebih dari separuh pasien (58.7%) telah
mendapatkan penatalaksanaan berupa tindakan bedah terkait penyakit sinus
kroniknya sebanyak 1 hingga 10 kali (rerata 2.37±2.2), dimana laki-laki lebih
sering meminta dilakukannya tindakan pembedahan (P=0.02). Kurang dari
separuh (2.8%) telah menjalani tindakan pemedahan hingga 10 kali. Asma
ditemukan terjadi pada 48 pasien (39.6%); 32 (66.6%) pasien diantaranya
menderita asma dengan derajat keparahan sedang (moderat). Mayoritas pasien
asma (91.7%) juga menderita NP. Durasi lamanya asma yang diderita pasien asma
tanpa NP berkisar antara 11.7±11.3 tahun, sedangkan pada penderita asma dengan
NP berkisar antara 9.9±9.7. Rinitis alergi dan sensitivitas terhadap alergen umum
terjadi pada 46.6% pasien dan insidensinya berbeda-beda dengan signifikan pada
masing-masing kelompok, lebih sering dihubungkan dengan pasien penderita
asma. Kebanyakan pasien memiliki hasil skin test yang positif hanya terhadap
perennial indoors allergens (21.5%), dapat juga terhadap kedua perennial and
pollen allergens (14%). Kurang dari 1/3 pasien (28.9%) memiliki hasil skin test
positif terhadap tungau rumahan D. pteronyssinus, 14% terhadap kecoak, 13.2%
terhadap berbagai jamur, dan 11.6% terhadap serbuk sari rereumputan. Ditemukan
adanya perbedaan pola sensitisasi yang signifikan terhadap perennial inhalant
allergens pada keempat kelompok tersebut (Tabel). Seropositivitas terhadap IgE
spesifik Aspergillus fumigatus ditemukan pada 19 (30.2%) dari 63 pasien yang
menjalani pemeriksaan.
Pasien CRS nyatanya memiliki hitung jumlah eosinofil yang lebih tinggi
daripada kelompok kontrol (P<0.05) (Gambar 1). Pemeriksaan fungsi paru pasien
CRS menunjukkan adanya penurunan rasio FEV1/VC ratio, sebuah penanda
terjadinya obstruksi bronkial a marker of bronchial obstruction, apabila
dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0.05). Dibandingkan dengan
kelompok kontrol, pasien dengan CRS, NP dan asma (kelompok 4) memiliki
kadar IgE yang lebih tinggi, terjadinya eosinofilia, dan penurunan rasio FEV1/VC
yang signifikan (P<0.01). Umur pasien, durasi terjadinya berbagai gejala nasal,
perubahan gambaran radiologis sinus, parameter imunologis (kadar IgE, hitung
jumlah leukosit dan eosinofil pada darah perifer), pola sensitivitas kulit terhadap
berbagai alergen yang diujikan, dan hasil pemeriksaan fungsi paru dari pasien
CRS tanpa NP tidak berbeda secara signifikan dengan hasil yang diperoleh pada
kelompok pasien CRS tanpa NP yang disertai asma (kelompok 1 dan 2) (Tabel,
Gambar 1). Pasien CRS tanpa asma dan tanpa NP (kelompok 1) secara signifikan
berusia lebih muda, memiliki rerata skor CT yang lebih rendah (P<0.001), dan
hitung jumlah leukosit dan eosinofil yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien yang menderita NP (kelompok 3) (P<0.05). Dalam perbandingan, pasien
yang menderita isolated CRS (kelompok 1) dengan pasien CRS dengan NP dan
asma (kelompok 4), pasien yang berada dalam kelompok 4 ini memiliki
karakteristik umur yang lebih tua (P<0.01), durasi terjadinya berbagai gejala nasal
yang lebih lama (P<0.001), frekuensi dilakukannya pembedahan yang lebih tinggi
(P<0.01), gambaran radiologis CT scan penyakit sinus yang lebih parah
(P<0.001), penanda inflamasi sistemik yang lebih kentara, diantaranya: kadar total
IgE (P<0.01), obstruksi bronkial yang lebih parah (P<0.05), insidensi terjadinya
rinitis alergi yang lebih tinggi (P<0.01) dan sensitivitas terhadap tungau rumahan
D. pteronyssinus (47.7% dibandingkan dengan 15.2%, P<0.01) dan alergen jamur
(29.5% dibandingkan dengan 6.1%, P<0.01). Dalam perbandingan antara pasien
yang menderita Np dengan asma dan yang tanpa disertai asma (kelompok 3 dan
4), pasien yang mengalami berbagai gejala akibat adanya gangguan pada saluran
pernapasan atas dan bawah memiliki nilai hitung jumlah eosinofil yang lebih
tinggi (P<0.05), manifestasi penyakit sinus yang lebih parah (P<0.05), obstruksi
bronkial yang lebih kentara (P<0.01), dan lebih sering terjadinya rinitis alergi
secara bersamaan (P<0.05), sensitisasi terhadap alergen tungau rumahan D.
pteronyssinus (47.7% dibandingkan dengan 20%, P<0.01), berbagai jamur
(29.5% dibandingkan dengan 2.5%, P<0.01), dan alergen yang berasal dari anjing
(11.4% dibandingkan dengan 2.5%, P<0.05).
Dalam perbandingan antara pasien CRS tanpa NP dengan asma (kelompok
2) dengan pasien CRS dengan NP tanpa asma (kelompok 2) didapatkan perbedaan
hanya pada nilai FEV (P<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
pasien CRS dengan asma baik yang menderita NP maupun tidak menderita NP
(kelompok 2 dan 4) dalam aspek umur, durasi terjadinya gejala-gejala nasal,
perubahan gambaran radiologis sinus, penanda inflamasi sistemik, fungsi paru,
dan alergi terhadap alergen inhalasi.
Pasien dengan CRS dan asma memiliki perubahan gambaran radiologis
yang lebih kentara dimana abnormalitas yang paling parah ditemukan terjadi pada
asma derajat berat (Gambar 2). Luasnya perubahan CT scan sinus yang terjadi
berkorelasi positif dan signifikan terhadap jumlah tindakan pembedahan yang
dilakukan sebelumnya (r=0.31, P=0.001), angka hitung jumlah leukosit (r=0.24,
P=0.025), durasi terjadinya asma (r=0.36, P<0.0001), dan umur (r=0.19,
P=0.039), selain itu terdapat beberapa temuan diantaranya tingginya hitung
jumlah eosinofil (r=0.2, P=0.072), dan kadar IgE serum (r=0.22, P=0.078). Tidak
dijumpai adanya hubungan yang signifikan antara perubahan gambaran radiologis
sinus dengan hasil pemeriksaan spirometri.
Diskusi
Penelitian baru-baru ini mengenai proses biologis yang terjadi pada saluran
pernapasan mengidentifikasikan bahwasanya inflamasi berperan penting dalam
terjadinya CRS dan asma; meskipun hal ini telah jelas, masih terdapat beberapa
pertanyaan yang tersisa, termasuk mengenai berbagai faktor yang menentukan
manifestasi klinis kelainan yang terjadi pada saluran pernapasan dan pendekatan
penatalaksanaan. Dalam penelitian ini, peneliti bertujuan mengkarakterisisasikan
CRSyang terjadi dan hubungannya dengan polip nasal dan asma. Hasil dari
penelitian ini mengindikasikan adanya perbedaan yang kentara dari berbagai
aspek klinis, diantaranya: gambaran radiologis, alerfi, fungsi paru, dan penanda
inflamasi sistemik diantara beberapa sub-kelompok CRS.
Sebagaimana yang telah diketahui, subyek penelitian ini adalah pasien
yang telah mengalami berbagai gejala-gejala nasal yang telah terjadi selama lebih
dari satu dekade yang kemudian dirujuk menuju institusi pelayanan kesehatan
tersier. Pasien-pasien ini memiliki skor CT sinus yang tinggi, dan telah
berulangkali menjalani berbagai tindakan pembedahan terhadap penyakit sinus
yang dideritanya. Pada dasarnya, pasien-pasien ini dapat dikategorikan sebagai
pasien CRS berat dengan gejala-gejala yang sudah parah. Data penelitian kami
menunjukkan bahwasanya pada pasien-pasien ini sering terjadi gangguan
olfaktorius (penghidu), meskipun adanya kehilangan kemampuan penghidu total
lebih spesifik ke arah kasus NP ataupun CRS yang disertai NP. Riwayat
intoleransi terhadap aspirin merupakan salah satu faktor yang memperburuk
terjadinya polip nasal dan seringkali dihubungkan dengan asma. Beberapa peneliti
lain memberikan perhatian khusus terhadap insidensi terjadinya sinusitis pada
pasien asmatik yang kurang terdeteksi melalui pemeriksaan radiografi
konvensional dimana terdapat kesulitan dalam menentukan diagnosis yang akurat
hanya dengan menggunakan pemeriksaan radiografi sinus konvensional. Pada
penelitian kami, digunakan CT scan sebagai teknik radiografi yang paling cocok
guna mempelajari sinus-sinus paranasal. Sebagaimana yang telah dideskripsikan
oleh beberapa peneliti lain, skoring gambaran CT scan dengan menggunakan skor
Lund-Mackay dapat menunjukkan bahwasanya pada pasien NP terjadi opasifikasi
yang lebih ekstensif dibandingkan dengan pasien CRS. Endoskopi nasal
memungkinkan dilakukannya investigasi langsung saluran pernapasan atas dan
perluasan serta derajat keparahan poliposis sinonasal yang terjadi. Yang harus
diperhatikan, hampir lebih dari separuh pasien dengan NP terdeteksi ketika polip
telah memenuhi/menyumbat cavum nasi, dimana hal ini mengindikasikan masih
terdapatnya penatalaksanaan pasien CRS yang inadekuat, inefektif, dan terlambat,
ataupun terlamabat dirujuk menuju sarana pelayanan kesehatan tersier.
CRS dapat dipertimbangkan sebagai kondisi progresif kronik dari kelainan
yang terjadi pada saluran pernapasan atas dimana semakin lama durasi terjadinya
berbagai gejala nasal biasanya menyebabkan perubahan gambaran radiologis
sinus yang lebih kentara (parah) dan tingginya insisdensi terjadinya polip nasal
dan asma. Pada penelitian kami, peneliti menemukan terjadinya 91.7% pasien
yang menderita asma juga menderita NP. Insidensi koeksistensi asma dengan NP
ini juga terjadi pada 34-50% pasien CRS. Yang harus diperhatikan adalah separuh
lebih kasus asma persisten merupakan asma derajat sedang, yang mana data ini
dapat mengklarifikasi mengapa pada pasien asmatik terjadi obstruksi bronkial
yang lebih parah dan penurunan FEV1 yang lebih kentara dibandingkan dengan
pasien CRS tanpa asma dan kelompok kontrol. Penelitian kami mendeskripsikan
adanya keterkaitan antara derajat keparahan penyakit saluran pernapasan atas dan
bawah seperti asma berat yang terdiagnosis bersamaan dengan NP dengan
perubahan gambaran radiologis sinus yang lebih parah.
Sejumlah peneliti telah mengobservasi pola aktivitas beberapa sitokin dan
mediator inflamasi pada bebagai sub-kelompok rinosinusitis kronik. Polip nasal
seringkali dikaitkan dengan inflamasi eosinofilik yang terjadi, yang ditandai
dengan adanya peningkatan kadar protein kationik eosinofil sebagai tanda
terjadinya aktivasi eosinofil dan eotaxin, sebuah CC kemokin yang bekerjasama
dengan IL-5 dalam mengaktivasi esoinofil. Meskipun, kadar beberapa penanda
inflamasi dalam tubuh pasien dengan isolated symptomps CRS tidak jauh berbeda
dengan kadar substansi bersangkutan pada kelompok kontrol, kami membuktikan
bahwa pasien dengan NP dan asma memiliki angka hitung jumlah leukosit,
eosinofil, dan kadar IgE tertinggi. Baru-baru ini terbukti adanya korelasi positif
antara derajat yang diperoleh berdasarkan hasil foto CT scan dengan kedua
penanda inflamasi diatas, begitu pula dengan hitung jumlah leukosit dan durasi
terjadinya asma. Data yang kami peroleh menyatakan bahwasanya CRS dan asma
bukan merupakan proses penyakit yang terlokalisir, melainkan menjadi sebuah
bagian dari penyakit inflamasi sistemik yang mempengaruhi saluran pernapasan
dan nampaknya peningkatan kadar mediator dan sel-sel yang terlibat dalam
inflamasi pada darah perifer berkontribusi terhadap perluasan inflamasi pada nasal
dan paranasal menuju saluran pernapasan bawah.
Pada sejumlah penelitian dilaporkan dijumpainya hubungan antara alergi
dan sinusitis yang terjadi pada 25-70% pasien, sementara peran serta aktivitas
alergi sendiri belum sepenuhnya diketahui. Data penelitian kami membuktikan
bahwasanya pada hampir separuh kasus CRS juga terjadi rinitis alergi dan
dijumpai adanya hipersensitivitas terhadap alergen yang dihirup, sementara pada
pasien yang rentan alergi mudah terjadi asma. Skin prick test yang kami lakukan
dengan menggunakan beberapa aeroalergen dapat dipertimbangkan sebagai sarana
diagnosis adanya sensitisasi IgE terhadap beberapa alergen yang diujikan karena
sensitif, murah, mudah, dan aman penggunaannya.
Dari berbagai studi epidemiologi, pada pasien asma seringkali dihubungkan
dengan adanya sensitisasi terhadap indoor allergens, khususnya debu tungau
rumahan. Sepertiga dari pasien seringkali memiliki alergi terhadap perennial
indoor allergens dan debu tungau rumahan Dermatophagoides pteronyssinus,
alergen-alergen tadi merupakan agen lokal penyebab alergi yang paling banyak
terjadi. Alergi terhadap perennial allergen ini seringkali menjadi faktor penyebab
inflamasi yang terjadi pada pasien CRS. Sedangkan rinosinusitis yang terjadi
akibat infeksi fungal dapat dengan mudah diidentifikasikan dengan kriteria
diagnostik yang jelas. Dalam penelitian ini kami juga mendeteksi terjadinya alergi
tipe I terhadap alergen jamur yang diperantarai oleh IgE, termasuk alergen jenis
jamur yang paling sering ditemui Aspergillus fumigatus. Sensitivitas kulit
terhadap alergen jamur Aspergillus, yang ditentukan melalui hasil skin prick test
yang positif, dijumpai pada 13.2% pasien, sementara pada hampir sepertiga kasus,
ditemukannya IgE spesifik terhadap Aspergillus fumigatus pada serum. Terdapat
hubungan antara alergen jamur dengan keparahan asma yang terjadi, bahkan
istilah “asma berat dengan sensitisasi fungal” juga telah diajukan oleh beberapa
peneliti. Pada penelitian kami, pasien CRS dan asma seringkali memiliki alergi
terhadap jamur yang telah diketahui berperan sebagai disease-aggravating factor.
Kesimpulan
Data penelitian kami mengindikasikan bahwasanya pasien CRS terdiri
berbagai kelompok yang memiliki karakteristik klinis yang berbeda-beda. CSR
dihubungkan dengan terjadinya polip nasal dan asma sebagai bentuk gangguan
pada saluran pernapasan yang sering terjadi dengan karakteristik sebagai berikut:
pasien yang telah tua, lamanya durasi terjadinya berbagai gejala nasal, perluasan
perubahan gambaran radiologis sinus, obstruksi bronkial yang lebih parah dan
tingginya insidensi terjadinya rinitis alergi dan sensitisasi terhadap berbagai
alergen rumahan. Selain itu juga dijumpai peningkatan berbagai penanda
inflamasi sistemik, diantaranya: hitung jumlah leukosit dan eosinofil serta kadar
IgE yang dapat menyebabkan perluasan penyakit sinus kronis menjadi polip nasal
dan asma. Dari berbagai aspek klinis yang telah diobservasi, pasien CRS baik
yang mengenai saluran pernapasan atas maupun bawah perlu untuk dievaluasi
secara terus menerus dan mendapatkan perawatan yang baik.