Upload
tondy
View
105
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
berkaitan dengan Law dalam access administration is speed on
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik
Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar
suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum
sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.
Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV
dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka
kekuatan suatu negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada
hukumnya sendiri. Untuk itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara
yang memiliki kewenangan dalam menegakan hukum.
Pelaksana penyelenggara negara dalam menegakan hukum
berkaitan dengan warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku sebagai hukum positif. Apabila terjadi pelanggaran
hukum, maka hukum harus ditegakan dan diselesaikan dengan menempuh
jalur hukum melalui badan-badan peradilan. Amandemen Undang-Undang
Republik Indonesia Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman,
perubahan tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
1
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,
Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 dan diatur pula pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Walaupun badan-badan peradilan itu berada di bawah Mahkamah
Agung bukan berarti Mahkamah Agung dapat mempengaruhi putusan badan
peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat
membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam
Tingkat Kasasi. Mengingat adanya yurisdiksi peradilan dalam upaya
menegakan hukum di setiap lingkup peradilan dalam penyelesaian suatu
perkara tentu diakhiri dengan adanya putusan hakim. Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Hakim yang
dimaksud adalah Hakim pada Mahkamah Agung (Hakim Agung) dan hakim
pada badan peradilan yang ada di bawahnya sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (5) dan ayat (6). Oleh karenanya putusan hakim dalam persidangan
untuk menyelesaikan suatu perkara tidak selamanya dapat memberikan rasa
keadilan bagi masing-masing pihak yang berperkara. Oleh karena itu, putusan
hakim pada tingkat pertama dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya
sebagaimana Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
2
tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa "Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang".
Rasa keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau
perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak
memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat
adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.
Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia,
tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang
menang, tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam
mempertahankan hak dan kewajiban1.
Wujud implementasi hukum dalam sebuah sistem hukum nasional
membutuhkan perangkat hukum memadai, sehingga segala keputusannya
dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan. Meskipun tuntutan keadilan
hukum dari masyarakat sangat tinggi ditambah dengan akumulasi
problematika kehidupan yang sangat kompleks, namun perangkat hukum
terutama untuk tercapainya keadilan dalam hukum masih dirasakan sangat
minim. Hal demikian terdapat pada materi undang-undang yang masih sangat
memungkinkan bagi para pelanggar hukum untuk lolos dari jeratan hukum.
Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, Keraguan dan
ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan
1 Sudikno Mertokusumo, “Metode Penemuan Hukum“ (Yogyakarta:UII Press, 2007), hlm 3.
3
tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon
persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara
tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga
negara Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,
Selain itu Pasal 28 huruf D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal
tersebut terkesan utopis karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan
konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia.
Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum,
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
secara khusus mengatur mengenai hak memperoleh keadilan, selanjutnya
dinyatakan bahwa: “Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, setiap warga
negara berhak diperlakukan secara adil dan sama di hadapan hukum, agar
hukum berfungsi secara sungguh-sungguh sebagai sarana untuk mencapai
4
keadilan. Cita-cita tersebut hanya bisa diraih ketika lembaga dan pelaksana
dalam menegakkan hukum tetap konsisten terhadap cita-cita untuk
menegakkan hukum sebaik mungkin dan mencari keadilan bagi semua pihak.
Jika pelaksana dalam menegakkan hukum tidak adil pada setiap perkara
hukum, maka masyarakat tentunya akan mempersoalkan eksistensi hukum
dan pelaksana untuk menegakkan hukum. Keraguan itu bermuara pada
tindakan main hakim sendiri. Tindakan tersebut merupakan akumulasi
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksana dalam menegakkan hukum
yang diduga memanfaatkan hukum untuk kepentingan ekonomi dan politik
kelompok tertentu.
Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi tidak mampu merespon
secara adil persoalan-persoalan hukum. Oleh karena itu, pelaksana demi
menegakkan hukum dituntut untuk lebih serius dan konsisten menegakkan
hukum bagi para pelanggar hukum agar ketegasan hukum memberikan
kepercayaan dan keyakinan kepada para pencari keadilan dan kepastian
hukum sebagai jaminan dari eksistensi hukum. Dalam sistem hukum di
manapun mengenai keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya
melalui lembaga peradilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi
bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya
merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan
yang telah disepakati bersama.2
2 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
5
Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, bila menarik
pernyataan pakar hukum Sunaryati Hartono yang menegaskan perlunya ahli
hukum, praktisi hukum, ataupun akademisi, serta membedakan
pengertian sistem hukum nasional dan hukum positif Indonesia. Mengenai
cara pandang secara konseptual kedua istilah itu memiliki perbedaan yang
sangat esensial. Menurut Sunaryati Hartono dalam makalah yang berjudul
“Landasan, Kerangka dan Struktur, dan Materi Sistem Hukum Nasional
Kita”, beliau kembali menegaskan perbedaan arti kedua istilah tersebut.
Hukum Nasional adalah ius contituendum sedangkan hukum positif adalah
ius constitutum. Hukum positif Indonesia adalah hukum yang kini sudah ada
dan berlaku di Indonesia, sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum
yang belum seluruhnya ada di Indonesia dan karena itu masih dipikirkan
bagaimana membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan
landasannya serta filsafah dan materinya3.
Kenyataan menurut Sunaryati Hartono sejalan dengan pernyataan
pakar hukum Sudiman Kartohadiprodjo, bahwa “Hukum positif dengan nama
asing disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum,
yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi
akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”4.
3 Sunaryati Hartono, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V Babinkumnas, Departemen Kehakiman, Jakarta 21-22 Januari 1986, hlm 3.
4 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni, 1980) Halaman 6
6
Mengutip kembali penegasan Sunaryati Hartono mengenai arti hukum
nasional adalah:5
“Seluruh filsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dari pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran suatu tatanan hukum yang menumbuh kembangkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945”.
Seluruh komponen dalam definisi Hukum Nasional itu merupakan
bagian-bagian yang tidak terlepas dari sistem hukum tersebut. Artinya,
sebagai suatu sistem maka Hukum Nasional terdiri dari sejumlah komponen
atau bagian atau aspek yang terkait satu sama lain oleh paling sedikit satu
asas atau prinsip, dan saling mempengaruhi sehingga perubahan pada
komponen yang satu akan menimbulkan perubahan pula pada komponen-
komponen yang lain6. Pencantuman kata “nasional‟ pada frasa Hukum
Nasional tidak dapat dilepaskan dari asal kata yang membentuknya, yakni
“nation” atau bangsa. Arti bangsa ini menurutnya, jelas tidak sama dengan
arti dari “ras” ataupun “volk” atau “folk” sebab pengertian bangsa yang
dipegang teguh olehnya adalah seperti yang diucapkan oleh Ernst Renan pada
orasi dies Universitas Sorbonne Perancis tahun 1889, yakni “sekelompok
manusia yang sama-sama pernah mengalami penderitaan yang sangat parah
sehingga merasa senasib sepenanggungan dan karena itu mempunyai tekad
5 Sunaryati Hartono, Potitik Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tanggal 5 Desember 1994 di Bandungan, Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.
6 Op.cit, hlm 3.
7
untuk terus hidup sebagai satu kelompok di masa depan secara turun
temurun”. Jadi, ditegaskan oleh Sunaryati Hartono, pembentukan suatu
bangsa (nation) tidaklah berdasarkan pada persamaan keturunan seperti
dalam hal kelompok yang dinamakan ras; tidak juga didasarkan pada
persamaan budaya atau agama seperti di dalam hal suatu “volk” terjadinya
persamaan nasib atau pengalaman bersama yang sangat berat dan
menyedihkan (faktor historis) sehingga kelompok manusia itu merasa senasib
sepenanggungan (faktor psikologis) dan mempunyai tekad untuk tetap hidup
di dalam kebersamaan untuk selama-lamanya secara turun temurun (faktor
politik)7. Selaras dengan pengajaran mengenai Hukum Nasional menurut
Sunaryati Hartono yang dikemukakan pada tahun 2006 yakni:8
“Dengan demikian, jelas pula mengapa pengertian hukum nasional diartikan pula sebagai keseluruhan sistem hukum yang berdasarkan UUD 1945 dan bertujuan mewujudkan cita-cita (visi dan misi) bangsa sebagaimana sudah diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, Dengan kata lain, hukum nasional itu bukan Hukum Adat; bukan pula Hukum Islam, ataupun sistem hukum modern, atau yang baru sama sekali yang tidak ada, baik hubungan batin maupun hubungan hukum dengan Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm dan Batang Tubuh UUD 1945 sebagaimana ia akan berkembang dari waktu ke waktu. Jika demikian, Hukum Adat, Hukum Islam, bahkan hukum asing (Belanda, Amerika, Perancis, Cina, dsb. nya) dan Hukum Internasional merupakan bahan dan atau unsur-unsur (sumber hukum materiil) yang dapat digunakan dalam dan bagi pembangunan nasional dan pengembangan Hukum Nasional, sepanjang unsur-unsur itu sesuai dengan falsafah bangsa dan Negara, serta asas-asas dan falsafah hukum yang disebut maupun
7 Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan oleh Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan teks di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum Universitas Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, 15 September 2008, dengan judul “Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.
8 Sunaryati Hartono, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung, 2006, hlm. 21.
8
tersirat di dalam UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 itu, termasuk Pancasila”.
Upaya menegakan hukum maka undang-undang memegang peranan
penting agar hukum itu sendiri dapat dilaksanakan. Faktor yang menghambat
penegakkan hukum adalah dari undang-undang itu sendiri, karena
ketidak jelasan Pasal dalam undang-undang, misal Pasal yang menimbulkan
multi tafsir, sehingga undang-undang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
maksud dari tujuan pembentukannya. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian.
Kajian yang dapat dilakukan dengan menggunakan hermeneutika hukum atau
undang-undang. Objek kajian hermeneutika hukum dapat berupa teks hukum,
naskah-naskah hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam atau
konstitusi sebuah negara. Pendapat ini juga benar, sebab dokumen sejarah
atau tatanan norma dalam kehidupan bernegara itu tidak semuanya bisa
dipahami oleh rakyatnya9.
Dengan demikian peranan hukum bagi pembangunan pemerintahan,
bagi legislatif dan eksekustif, hukum yang mengikat dan dipatuhi haruslah
berbentuk tertulis. Karena hukum tertulis merupakan aturan yang bersifat
riil dapat dibuktikan, karena berbentuk dan memuat norma-norma yang
bersanksi dan harus dipatuhi tidak saja masyarakat namun juga pemerintah
dan negara. Pemerintah memegang peranan penting dalam menjalankan
pembangunan baik spirituil maupun materil. Pembangunan ditujukan pula
bagi terlaksananya kesejahteraan rakyat.
9 Jazim Hamidi, Mengenal Lebih Dekat Hermeneutika Hukum, Dalam Butir-butir Pemikiran Dalam Hukum, Memperingati 70 tahun Prof. Dr.. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 82.
9
Pelaksanaan tersebut tidak lepas dari upaya menegakan hukum yang
dilaksanakan dalam setiap badan peradilan di bawah naungan Kekuasaan
Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah Agung. Untuk itu Mahkamah
Agung bersfungsi melakukan penafsiran hukum terhadap Pasal yang tidak
jelas untuk kemudian diterapkan dalam suatu perkara di persidangan
disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding) dilanjutkan dengan
penciptaan hukum (rechtsschepping) menjadi pembaharu hukum
(rechtsvorming).
Konsep keadilan merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan
bagi penyelengagara negara, dengan memberikan jaminan atas rasa
keadilan terutama keadilan dalam konteks hukum nasional, hukum tentu
harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan Nasional, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial10.
Sebagaimana tujuan Nasional dalam konteks hukum Nasional untuk
mencapai tujuan nasional tidak lepas dari peran lembaga-lembaga negara
yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu
kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif
dikenalnya istilah distribution of power, sebagaimana teoti trias politica
menurut John Locke dan Montesque namun tidak diadopsi secara murni di
10 Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, 1988, him. 20.
10
Indonesia11.
Pembagian lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda
dan saling bersinergi untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam konteks
hukum Nasional, maka kekuasaan negara memiliki konsekuensi
berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai peran
Lembaga Yudikatif yang diatur dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan” selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.
Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan
bahwa Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan
lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah
dilakukan dengan baik. Dengan demikian fungsi Mahkamah Agung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan II, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagai Perubahan atas Undang-
11 Saldi Isra; 2013 Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 73
11
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh ada campur tangan pihak-
pihak lain, baik internal lembaga yang ada di bawah Mahkamah Agung,
maupun pengaruh pihak eksternal yakni Lembaga Eksekutif dan Lembaga
Legislatif. Hal ini selaras dengan konsiderans faktual Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang Mahkamah Agung yang dinyatakan: “bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung…”. Berdasarkan atas Pasal 24 dan 25 maka
penulis menerapkan Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Memandang
hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukan, Bersifat preskriptif, Mencerminkan law
in books atau das sollen atau apa yang seharusnya, kajiannya lebih
menekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu, Metode yang
digunakan adalah yuridis-normatif yang pada dasarnya mengkaji hukum
dalam kepustakaan, misalnya: penelitian inventarisasi hukum positif,
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum in
concreto, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhada taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, Kajian normatif terhadap hukum antara
lain Ilmu Hukum Pidana Positif, Hukum Tata Negara Positif, dan Hukum
Perdata Positif12.
Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman
12 Yesmil Anwar & Adang.2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta. Grasindo, 2008. Hlm 109.
12
memiliki kewenangan memeriksa dan memutus mengenai adanya
pengajuan: a) Permohonan kasasi; b) Sengketa tentang kewenangan
mengadili; c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Agung; d) Disamping tiga wewenang tersebut
Mahkamah Agung juga mempunyai wewenang menguji secara materiil
hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung; dan e) Berwenang
melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan serta
pengawasan administratif pada semua badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Maka dari
poin-poin wewenang Mahkamah Agung di tingkat kasasi sesuai Pasal 50
ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan dapat
“membatalkan putusan” atau “mengabulkan penetapan pengadilan-
pengadilan dari semua lingkungan peradilan”, karena dengan pertimbangan
yakni bahwa pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah
casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi
hukum untuk mencapai kesatuan peradilan yang dilakukan oleh raja beserta
13
dewannya yang disebut Coseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan
kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga
kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan yang menjembatani
pembuat undang-undang dengan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21
Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de
casssation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru
pula oleh negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia.
Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit.
Penafsiran secara lebih adalah D. Simon yang mengatakan ”jika hakim
memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan
kehakiman”. Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi
memutus padahal hakim pertama telah membebaskan. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah
Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-
pengadilan lain, tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan
kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan
uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih
lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat
mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari
masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-
undangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika
14
kehidupan masyarakat itu sendiri13.
Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi
kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya Kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili perkara
kasasi adalah untuk menjaga agar hukum tidak dilanggar, agar tidak salah
menerapkan hukum serta menjaga agar cara-cara mengadili dari pengadilan
yang lebih rendah tidak disalahgunakan. Pengadilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung sebagai fungsi pelaksana Keuasaan Kehakiman adalah
Pengadilan tingkat pertama, sebab pada hakikatnya adalah pengadilan yang
bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan
kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta
demikian. Oleh karena itu, pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai
judex facti, sedangkan pengadilan tingkat banding bertugas menjawab
persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar dalam memeriksa
fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu peristiwa kongkret
tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan hukum yang
berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tersebut. Sementara
itu, upaya tingkat kasasi bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan
tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku
terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu, pengadilan
tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata sebagai judex juris.
Memegang peranan sebagai Judex Juris, Mahkamah Agung hanya
menilai masalah penerapan hukum yang dijalankan oleh pengadilan
13 Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 292
15
sebelumnya, apakah sudah tepat dilaksanakan. Masalah penilaian fakta-
fakta (judex factie) dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan
tidak termasuk wewenang Mahkamah Agung, tetapi kewenangan
Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Oleh karena itu,
kewenangan Mahkamah Agung dalam mengadili perkara kasasi hanya
terbatas pada menyelidiki apakah putusan yang dimintakan kasasi
bertentangan dengan penerapan hukum atau acara mengadili apakah
pengadilan di bawahnya telah melampaui batas-batas kewenangan atau
tidak. Suatu putusan untuk dapat dikatakan terpenuhi dalam arti dikabulkan
atau hasil putusan yang dibatalkan oleh Hakim Agung sebagai pelaksana
Mahkamah Agung menurut ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung
adalah:
1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana (Pasal 51 Undang-Undang
Mahkamah Agung), sebagaimana diuraikan pada substansi dan amar
putusan.
2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara
tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi
Pengadilan Tingkat Pertama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Agung.
Mengenai Pasal 50 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Apabila Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara
tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan
Tingkat Pertama”.
16
Negara yang menganut tradisi hukum Eropa kontinental, umumnya
mengenal istilah dari makna Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah
Agung yang disebut sebagai yurisprudensi mengacu kepada putusan
pengadilan tingkat tinggi (biasanya pengadilan tertinggi) tentang suatu hal.
Meskipun tidak mengikat secara formal, putusan ini secara praktek
mempunyai pengaruh kuat dan sering diterapkan hakim di pengadilan lebih
rendah di kemudian hari apabila fakta-fakta dalam sidang perkara yang
berlangsung mirip dengan fakta dalam kasus di mana yurisprudensi
ditetapkan. Di negara Common Law, istilah ini biasanya mengacu kepada
filsafat hukum.” Jadi, dalam sistem Anglo-Saxon adalah “Preseden”.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo14:
menyatakan bahwa “Preseden ini merupakan satu lembaga yang lebih
dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System.
Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu
hampir seluruhnya terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil
ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah
dimulai sejak akhir abad ketigabelas...” Sifat preseden dalam sistem
peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat ‘the binding
force of precedent’ (preseden yang mengikat) dan ‘persuasive precedent’
(preseden yang persuasif). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan
yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan.
Sebagai penjelasannya, dapat menyimak pengertian kedua istilah di
atas dalam Black Law’s Dictionary: “Binding Precedent: a precedent that a
14 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Hlm 113
17
court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable
holding of a higher court in the same jurisdiction”. (Terjemahan bebasnya
adalah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya, pengadilan
di tingkat bawah terikat pada putusan pengadilan di atasnya dalam satu
yurisdiksi yang sama). Contohnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah
Agung (Supreme Court) di Australia mengikat pengadilan-pengadilan
negeri atau tinggi di Australia dinyatakan: Persuasive precedent: a
precedent that a court may either follow or reject, but that is entitled to
respect and careful consideration. For example, if the case was decided in
a neighboring jurisdiction, the court might evaluate the earlier court’s
reasoning without being bound to decide the same way.”
(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang boleh diikuti atau
ditolak oleh pengadilan, tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hati-
hati sebagai pertimbangan). Contohnya, jika ada kasus yang diputus di
sebuah negara Anglo-Saxon, pengadilan di negara Anglo-Saxon lain (yang
memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar putusan itu
tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah
Agung di Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilan-
pengadilan yang memiliki yurisdiksi ‘tetangga’ dengannya, seperti
pengadilan di Australia. Ini disebabkan karena konsep negara mereka yang
masih menganut negara persemakmuran.
Sementara, di sistem Eropa Kontinental (civil law system) yang
dianut oleh Indonesia, dikenal istilah yurisprudensi. Yurisprudensi dapat
18
digolongkan sebagai ‘persuasive precedent’. Namun, sifat persuasifnya
hanya berlaku di negara Indonesia. Hal itu berbeda dengan preseden
persuasif yang terdapat di negara-negara Anglo-Saxon yang tetap
disarankan untuk mengikuti preseden di negara persemakmuran yang lain.
Karena itulah, yurisprudensi Mahkamah Agung tidak wajib diikuti oleh
pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan-pengadilan tinggi di
Indonesia, melainkan hanya disarankan untuk diikuti.
Jika uraian di atas berlaku di negara yang menganut sistem hukum
civil law, maka Ahmad Kamil dan M. Fauzan menguraikan sistem common
law mengakui bahwa putusan pengadilan adalah hukum. Dan hakim disebut
sebagai pencipta hukum (judge made law)15. Jika terdapat pertentangan
antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yurisprudensi yang
dimenangkan. Sementara, sistem civil law memiliki ciri bahwa hakim
hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis, jika terjadi pertentangan
antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yang dimenangkan
adalah undang-undang. Peranan Hakim Agung dalam membentuk
yurisprudensi ini terutama dilakukan oleh Mahkamah Agung di Indonesia
dalam wujud produk-produk hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga
yang memutus terhadap permohonan di tingkat kasasi. Penanganan dari
upaya hukum kasasi tidak lepas dari pelaksana produk hukum Mahkamah
Agung yaitu Hakim Agung sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
15 Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, hlm. 9
19
Mahkamah Agung pada Pasal 4 ayat (2) Pimpinan dan Hakim Anggota
Mahkamah Agung adalah Hakim Agung, memiliki fungsi utama menjaga
kesatuan hukum, artinya senantiasa mengeluarkan putusan yang bersifat
konsisten dan berkualitas.
Ketentuan ini merupakan pernyataan yang memberikan makna
bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dituntutan agar putusan
Mahkamah Agung berkualitas, relevan dengan adanya kemungkinan secara
langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa disebutkan bahwa dalam
tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan yang “tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara
mengadili tidak dilaksanakan berdasarkan undang-undang; atau dianggap
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan”. Intinya, Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus
permohonan kasasi, berwenang membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan, jika putusan atau penetapan itu tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dinamika Mahkamah Agung saai ini mempunyai kecenderungan
memperluas kewenangannya. Mahkamah Agung secara historis
mengadopsi konsep kasasi, namun tidak menerapkan prosedur Renvoi
(Penunjukan Kembali dalam kenyataan tersebut memiliki mekanisme
20
bertahap), sehingga hakim agung dalam tingkat kasasi pada akhirnya
diperbolehkan juga memeriksa fakta karena tidak perlu merujuk ke
pengadilan yang seharusnya berwenang memeriksa fakta tersebut.
ketidakjelasan tafsiran atas apa yang diuji terhadap suatu perkara sehingga
dapat dikatakanlah, Mahkaman Agung benar-benar membutuhkan adanya
pemeriksaan atas fakta. Akibatnya, mekanisme kasasi sebenarnya telah
berubah menjadi suatu mekanisme banding yang sempurna16.
Muncul suatu wacana mengenai bagaimana Mahkamah Agung
kemudian memutus hal-hal yang berkaitan dengan fakta. dengan tidak
adanya lagi suatu pembatas, ditambah kecenderungan Mahkamah Agung
memperluas ruang lingkup kasasi, maka dengan sendirinya para pihak,
dalam kondisi apapun, akan mencoba membawa sengketanya ke tingkat
yang tertinggi, yang memberi kecenderungan menganggap bahwa
Mahkamah Agung dalam penerapan hukumnya dinilai tidak lagi konsisten.
Ini bisa kita lihat dari putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang
tidak lagi mengindahkan permasalahan prosedural, tidak menyaring
permohonan yang mengandung pertanyaan hukum, serta tak mencoba
membatasi ukuran hukum tak tertulis yang bisa dijadikan sumber hukum.
Mahkamah Agung juga tidak secara tegas menentukan batasan yang
menjadi acuannya sendiri, langkah Mahkamah Agung ini menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Hakikat Mahkamah Agung yang merupakan harapan sebagai
16 Lembaga Peneliti Hukum Independen, Pengamat Hukum Indonesia, Pemerhati Mahkamah Agung, Rubrik: Selasa, 17 Juli 2012.
21
pelaksana Kekuasaan Kehakiman hendaknya dapat mewujudkan
perlindungan berdasarkan hukum yang berkeadilan bagi negara dan rakyat
sudah merupakan kewajiban untuk lebih fokus menangani perkara-perkara
yang menjadi fenomena keadilan seperti masalah pidana, perdata, dan tata
usaha negara dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Bilamana
kekuasaan Mahkamah Agung itu dipertahankan, perlu dibuat mekanisme
atau proses yang bisa memastikan pencari keadilan (“justice seekers”)
mendapatkan proses yang adil, objektif dan transparan (“fair trial”).
Ketentuan hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan II terhadap Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dengan
demikian dari hasil penelitian perubahannya saat ini belum mencerminkan
prinsip-prinsip itu sebagaimana terlihat dalam Pasal 31 dan Pasal 31A dan
Peraturan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Kajian terhadap putusan Mahkamah Agung yang menimbulkan
masalah semakin kompleks, sebab hasil putusan Mahkamah Agung banyak
yang masih sangat tidak fair dan objektif, kenyataan yang terjadi secara
praktik dari pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung hasilnya diperoleh
penjatuhan sanksi sepihak oleh Mahkamah Agung, meskipun pada dasarnya
Judex Juris tidak berkewenangan melakukan proses klarifikasi dan
investigasi termasuk saksi-saksi serta memeriksa fakta-fakta sebagaimana di
persidangan pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Idealnya, Mahkamah
Agung hanya menilai hasil pemeriksaan yang berupa putusan melalui
22
prosedur Judex Facti. Membuktikan ketidak patuhan terhadap kode etik dan
pedoman Perilaku Hakim, dengan demikian upaya membongkar praktik-
praktik “abuse” peradilan yang sifatnya masif, sistemik dan terstruktur”
diperlukan17.
Selanjutnya berdasarkan penelitian melalui diskusi hukum
"Konsistensi Mahkamah Agung dalam Memutus perkara" dalam rangka
peluncuran jurnal Dictum oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Indepedensi Peradilan (LeIP) di Jakarta intinya bahwa18:
“Mahkamah Agung dalam Memutus perkara yang terjadi saat ini dapat dikatakan inkosistensi sebagaimana Sebastian Pompe yang meragukan apakah masalah Inkostensi putusan ini merupakan masalah dari sistem hukum yang digunakan atau hanya masalah administrasi peradilan semata. Penyebabnya adalah telah terjadinya pergeseran paradigma dalam sistem civil law maupun common law saat ini, tudingan bahwa perbedaan sistem menyebabkan terjadinya inkonsistensi putusan menjadi kurang relevan. Dalam sistem civil law, yang selama ini precedent dianggap tidak penting, saat ini telah terjadi pergeseran. Di negara-negara yang menerapkan sistem ini, putusan hakim yang telah ada mulai dipatuhi dan diikuti oleh hakim-hakim lainnya. Sementara sistem common law, yang selama ini dianggap selalu berdasarkan precedent, malah mulai membatasi precedent. Bahkan menurut Pompe, di Indonesia sebelum tahun empat puluhan, sistem precedent telah diterapkan. Putusan Mahkamah Agung sebelumnya diikuti oleh hakim-hakim yang lain. Ini bisa dilihat dari putusan-putusan hakim-hakim pada masa itu yang tersusun rapi dilengkapi dengan indeks dan referensi silang lainnya”.
Ahli hukum Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa “putusan yang konsisten bisa dicapai dengan kemahiran melakukan penelusuran pada sumber-sumber hukum, baik formil maupun materil. "Saat ini kesulitan melakukan penelusuran adalah karena amburadulnya dokumentasi bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun bahan hukum sekunder. Karena itu, hakim dalam membuat putusan hanya menggunakan bahan-bahan hukum
17 Renstra Mahkamah Agung 2010-2014. hlm 17.18 http://new.hukumonline.com/berita/baca/banyak-penyebab-putusan-ma-tidak-
konsisten
23
berdasarkan ingatan dan pengalaman. Karena ingatan dan pengalaman hakim yang satu berbeda dengan yang lain, amar-amar putusan mereka akan lebih bernuansa personal dari pada bernuansa institusional yang akan relatif konsisten”.
Apabila merujuk pada putusan Mahkamah Agung di negara Indonesia
menurut kajian terhadap mekanisme putusan konsistensi Mahkamah Agung
disadari masih masih sangat jauh dari harapan untuk dicapai. Namun
diharapkan Mahkamah Agung mampu memperhatikan setiap putusan
Mahkamah Agung walau berbeda-beda dalam pertimbangan hukumnya
namun wajib memperhatikan perihal yang memuat argumentasi hukum yang
jelas, runtut dan komprehensif akan mengetahui jelas akan kekurangannya,
saat ini putusan Mahkamah Agung tidak cukup menguraikan dengan jelas
alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum. seperti beberapa
putusan Mahkamah Agung hanya memutus sebatas, “Menimbang Bahwa
Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dibenarkan karena Judex
Facti tidak melanggar hukum”, Mahkamah Agung tidak menerangkan
secara argumentatif di mana letak tidak melanggar hukumnya itu. Dengan
demikian putusan Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya dinilai
tidak efektif dijabarkan secara tegas dan jelas tidak hanya ketentuan hukum
saja namun asas dan teori hukum dan dinamika perkembangan yang ada
dimasyarakat pula secara komprehensif wajib dijadikan wacana dalam suatu
putusan Mahkamah Agung, terlebih lagi Mahkamah Agung tidak lagi
menilai atau mengkoreksi atas putusan peradilan dalam yurisdiksinya
melainkan seolah-olah memeriksa fakta yang melampaui batas-batasnya
24
sebagai Judex Juris19.
Berkaitan mengenai uraian pergeseran paradigma di atas maka dapat
dapat diperoleh melalui hasil gagasan kontroversial manusia sepanjang
perjalanan sejarah peradabannya, suatu produk pilihan dari kurun ke kurun
yang dilakukan para elit pemikir tatkala mereka harus mencari dan
menemukan hukum yang paling signifikan guna melestarikan eksistensi
manusia sosio-politik manusia, maka tak salah kalau Thomas Kuhn
mendalilkan bahwa paradigma itu sesungguhnya merupakan produk
pergeseran pangkal berpikir manusia. Kuhn menggunakan istilah
‘paradigma’ tidak hanya untuk mengisaratkan adanya pola atau pangkal
berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik
antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut
paradigm shift20.
Thomas Kuhn, seorang filsuf dan ahli fisika, dalam kapasitasnya
sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan sepanjang sejarah
peradaban yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan
dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya
mengembangkan pola atau model berpikir yang sama guna mendefinisikan
pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu
pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai penunjang
kehidupan yang sesuai. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan
19 Ibid (Data diolah dalam menanggapi Konsistensi Mahkamah Agung)20 : Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University
Press, 1962). Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Karya, 1986).
25
dengan keyakinan paradigmatik yang “tak lekang di panas dan tak lapuk di
hujan” tidaklah selamanya bisa bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah
ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau
beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu
dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm
shift.21 Sejumlah gugus pengetahuan yang “normal dan harus dikukuhi
sebagai hal yang benar” ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu
tertentu, sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus
teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat didayagunakan
secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan,
demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk
mencari teori-teori pengetahuan baru atas dasar konsep-konsep yang baru
pula untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan
bersaranakan pengetahuan-pengetahuan berparadigma lama, begeser ke
pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun atas dasar paradigma yang
baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang
lama ke yang baru.
Demikianlah, dalam dinamika pengetahuan dan ilmu hukum,
perkembangan intelektual manusia pun tidaklah pernah berlangsung secara
lempang-lempang dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a
mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang
mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama sebagai “ilmu yang
dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya” gagal menjawab
21 Ibid
26
masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan
anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma
baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini
akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan
menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama.
Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang
meminggirkan paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak
akan lenyap begitu saja dari percaturan.
Konsep paradigm shifts (bergeser) membuka kesadaran bersama
bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu juga dalam percaturan hukum tak
akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana “objektivitas” yang
mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang
berjalan dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan
peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk
bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan
baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu
sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh
kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini
telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang “normal dan tak
lagi diragukan legitimasinya”. Kehendak untuk mencari dan menemukan
alur pendekatan selalu saja terjadi dalam sejarah falsafat dan keilmuan
manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada
kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat
27
politik pada banyak permasalahan baru yang menghendaki jawaban-jawaban
yang baru pula.
Pemahaman filsafat yang diterapkan oleh Thomas S. Kuhn apabila
menilai kinerja Mahkamah Agung dihubungkan dengan harapan yang ingin
dicapai mengingat lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi
yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman sebagai pemutus terakhir dari
upaya hukum bagi setiap pencari keadilan, maka wajib mengutamakan
perhatian demi tercapainya tujuan keadilan yang diperoleh dari hasil putusan
sebagai produk hukum Mahkamah Agung bukan berarti perhatian terhadap
kinerja Mahkamah Agung belaka yang dirubah melainkan sistem hukumnya
sendiri pula harus berubah, sebab putusan yang relevan harus ditunjang
dengan adanya perangkat yang terorganisir jelas dan substansi putusan yang
berkualitas dan komprehensif dan tetap patuh terhadap Kode Etik Perilaku
Hakim dengan tidak melampaui batas-batas kewenangan sebagaimana
ketentuan yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang yang
berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dan sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman.
Dengan landasan penelitian yang diperoleh, selanjutnya digunakan
dalam menyusun Disertasi dengan judul: “KEWENANGAN
MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI JUDEC JURIS DALAM MENILAI
FAKTA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN”.
Demi tercapainya kepastian, dan kemanfaatan hukum yang
berkeadilan. Sebagaimana amanat Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang
28
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji adanya peralihan sistem sebagai mekanisme
Mahkamah Agung dalam fungsinya dan tujuannya berpedoman pada
kepatuhan terhadap hukum untuk membentuk putusan yang mewujudkan
keadilan.
Penelitian ini akan berupaya membandingkan dengan negara seperti
Singapura yang bersistem hukum Commond Law (Anglo Saxon) yang juga
mengadopsi sistem hukum Civil law berdasarkan teori Paradigma Shift
menurut filsafat Thomas S. Kuhn begitu pula sebaliknya di negara yang
bersistem Common law mengadopsi sistem hukum Civil Law. kedua sistem
hukum ini faktanya berlaku di Indonesia yang secara praktis mengadopsi
sistem hukum Anglo Saxon seperti the Binding force of Precedent artinya
kekuatan mengikatnya suatu putusan peradilan. Secara garis besar adalah
negara yang bersistim hukum Common Law (Anglo Saxon) menekankan
bahwa Hakim kompetensinya adalah judex juris, putusannya judgement
decision, sedangkan Juri kompetensinya adalah judex facti, putusannya
adalah verdict. Hakim mewakili Negara sedangkan juri mewakili rakyat.
Sistem hukum Civil Law, yaitu sistem hukum yang mengutamakan
kodifikasi hukum dan Undang-Undang atau hukum tertulis sebagai
penjamin asas legalitas dan kepastian hukum seperti yang berlaku di
Indonesia. Namun dalam praktek seiring dengan perjalanan waktu, apabila
dianalisa memiliki manfaat secara internal setelah adanya pengaruh
globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,
29
nampaknya penerapan sistem hukum Civil Law di Indonesia mulai
mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya akademisi maupun praktisi
hukum dari Indonesia yang belajar hukum di negara-negara yang menganut
sistem Common Law. Selain itu terdapat manfaat eksternal yaitu dapat
mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan
negara lain yang berbeda sistem hukumnya. Pergeseran itu antara lain
mulai diakuinya sumber hukum Juriprudensi, yaitu putusan hakim (Judge
Made Law) yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di
Indonesia. Sistem hukum Civil Law memiliki sumber hukum utama yakni
Undang-undang dan Hakim tidak terikat oleh putusan hakim sebelumnya
meskipun dalam perkara yang sama.
Melalui pemahaman ini timbul kesadaran akan pentingnya
mempelajari perbandingan sistem hukum untuk memperoleh pemahaman
yang komprehensif untuk mengadopsi hal-hal positif guna pembangunan
hukum nasional.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan
adalah:
1) Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa
perkara hanyalah sebagai Judec Juris menurut kajian hukum
normatif dan Filosofis?
30
2) Bagaimana seharusnya Mahkamah Agung sebaai Judec Juris
dalam mewujudkan keadilan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis mengenai
kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara disamping
fakta yuridis tersebut, kini dapat dipertemukan beberapa putusan yang
melebihi kewenangan Mahkamah Agung.
2) Untuk memahami dan menilai terhadap kontradiksi antara ketentuan
perundang-undangan secara das sein dan fakta yang terjadi secara das
sollen relevansinya dengan pendapat Satjipto Raharjo menuntut agar
Hakim tidak semata-mata tunduk dan patuh pada undang-undang.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penulisan ini diharapkan berguna secara teoritis maupun
praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kegunaan Teoritis
Merupakan penulisan yang secara teoritis diharapkan berguna untuk
memperluas pengetahuan mengenai:
a) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
31
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah
Agung.
b) Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus
perkara tanpa terikat pada formalitas Perundang-undangan dengan
pergeseran dalam filosofi Paradigma yang berpengaruh pada hasil
putusan Mahkamah Agung.
2) Kegunaan Praktis.
Manfaat secara praktis betujuan untuk menciptakan keadilan dan
kepastian hukum pada masyarakat dari kegunaan ini, yang secara
keseluruhan adalah:
a) Mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus
perkara berkaitan kualitas Mahkamah Agung sebagai Judex Juris
berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.
b) Sebagai wacana bagi penegak hukum untuk mengetahui intensitas
suatu putusan yang berlaku.
c) Untuk memberi pengetahuan melalui dinamika perkembangan dari
adanya pergeseran paradigma sebagai nuansa baru apakah dapat
diterima atau terjadi penolakan apabila Mahkamah Agung
mengambil keputusan di luar Undang-Undang hukum formil.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Sebelum menguraikan mengenai Teori Negara Hukum, maka akan
32
diuraikan mengenai pengertian negara menurut para ahli hukum.
a) Teori Pengertian Negara
Mengenai pengertian negara, terdapat beberapa pengertian yang
diberikan oleh para sarjana sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon,
sebagai berikut:22
1. AristotelesNegara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
2. Jean BodinSuatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
3. Hugo GrotiusNegara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum
4. BluntschiNegara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu.
5. Hans KelsenNegara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.
6. Woodrow WilsonNegara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam wilayah tertentu.
7. DiponoloNegara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu umat di suatu daerah tertentu. Bagaimana bentuk dan coraknya, negara selalu merupakan organisasi kekuasaan. Organisasi kekuasaan ini selalu mempunyai tata pemerintahan. Dan tata pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di daerah tertentu.
Pendapat tentang negara juga dapat dijumpai pada tulisan Miriam
Budiardjo yang mengutip beberapa pemikiran sarjana, seperti:23
1) Rogel H. Soltau, mengemukakan negara adalah alat (agency) atau
22 Max Boli Sabon, dkk, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. hlm. 25.
23 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1977, hlm 39
33
wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-
persoalan bersama atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski, mengemukakan negara adalah suatu masyarakat
yang diintergrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat
adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati
baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
3) Max Weber, mengemukakan negara adalah suatu asosiasi yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam sesuatu wilayah.
4) Robert M. MacIver, berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu
wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh
suatu pemerintah yang untuk suatu pemerintah yang untuk maksud
tersebut diberi kekuasaan memaksa.
Selain para sarjana seperti yang dikutip oleh Max Boli Sabon
dkk dan Miriam Budiardjo, Wirjono Projodikoro juga memberikan
pengertian mengenai negara.24 Negara menurut beliau diartikan sebagai
24 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1974, hlm. 2.
34
suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritoir) tertentu dengan
mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan
keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Dari
pengertian-pengertian tentang negara tersebut, dapat disimak bahwa
pengertian negara menurut Diponolo yang memberikan uraian yang
sederhana, jelas, dan terperinci. Menurut beliau, negara selalu merupakan
organisasi kekuasaan, mempunyai tata pemerintahan dan tata
pemerintahan yang ada selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di
daerah tertentu.
b) Teori Pengertian Hukum
Teori mengenai pengertian hukum pada hakikatnya belum adanya
satu definisi yang baku. Banyak pendapat para ahli mengenai disiplin teori
hukum, antara lain:25
1) Hans Kelsen
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mnegenai hukum yang berlaku
bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud
adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori
hukum murni, makdusnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan
berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak
bersangkut paut dengan hukum. Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu
hukum, dan bagaimana ia ada.
25 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 253
35
2) Friedman
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi
hukum yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori
politik di sisi lain. disiplin teori hukum tidak mendapatkan tempat
sebagai ilmu yang mandiri, maka disiplin teori hukum harus
mendapatkan tempat di dalam disiplin ilmu hukum secara mandiri.26
3) Ian Mc Leod
Teori hukum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik
secara sistematis terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan
hukum atau intitusi hukum secara umum.
4) John Finch
Teori hukum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada
hukum dan kebiasaan yang sifatnya umum pada sutau system hukum
yang bertujuan menganalisis unsure-unsur dasar yang membuatnya
menjadi hukum dan membedakannya dari peraturan-peraturan lain.
5) Jan Gijssels dan Mark van Hocke
Teori hukum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan
tentang hukum. Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang
perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait dengan ajaran hukum
umum. Mereka memandang bahwa ada kesinambungan antara Ajaran
Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:27
26 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1990, hlm. 1
27 Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 54-55
36
Teori hukum sebagai kelanjutan dari Ajaran Hukum Umum
memiliki objek disiplin mandiri, diantara dogmatik hukum di satu
sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Dewasa ini teori hukum diakui
sebagai disiplin ketiga disamping untuk melengkapi filsafat hukum
dan dogmatik hukum, masing-masing memiliki wilayah dan nilai
sendiri-sendiri.
Teori hukum dipandang sebagai ilmu yang bebas nilai, yang
membedakan dengan disiplin lain.
6) Bruggink
Teori hukum seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan system
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan
system tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Pengertian
ini mempunyai makna ganda, yakni definisi teori sebagai produk dan
proses.
c) Teori Pengertian Negara Hukum
Pengertian Negara Hukum sendiri, dalam konsep Eropa
Kontinental dinamakan rechtsstaat, sedangkan dalam konsep Anglo
Saxon dinamakan Rule Of Law. Penegasan Negara Indonesia sebagai
negara hukum telah dinormativisasi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 perubahan ke-4 yang menegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Dengan
penegasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat, dan
37
negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik
anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut.
Adapun negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia tidaklah dalam
artian formal namun negara hukum dalam artian material yang juga
diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau “negara
kemakmuruan” Dalam negara kesejahteraan, negara tidak hanya bertugas
memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta
aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.
Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara
Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie
gagasan bahwa kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi
Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan
kedaulatan hukum.28 Demikian halnya bahwa kedaulatan rakyat adalah
asasnya demokrasi dan demokrasi adalah tumpuannya Negara hukum
dimana tiap Negara hukum mempunyai landasan tertib hukum dan
menjadi dasar keabsahan bertindak29. Setiap Negara bersandar pada
keyakinan bahwa kekuasaan Negara harus dijalankan atas dasar hukum
yang adil dan baik.
Esensi pada suatu Negara hukum, pertama: Hubungan antara yang
memerintah dan diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan
berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat semua pihak
28 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, Hal. 11.
29 Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Total Media, Yogyakarta, 2008, Hal:4.
38
termasuk memerintah; kedua: norma objektif itu harus memenuhi syarat
bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan
berhadapan dengan ide hukum. dalam ini nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat.
Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia
mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat
diusia tuanya, sementara itu dalam dua tulisan pertama, Politeia dan
Politicous, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang balk ialah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang balk. Dalam bukunya
Politicous yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato30 (429-347
S.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin
dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat
diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan
pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.
Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika
didukung oleh muridnya, aristoteles, yang menulisnya dalam buku
Politics. Menurut Aristoteles, suatu negara yang balk ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga
unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:
1. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum,
30 Budiono Kusumahamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, Hal.36-37
39
2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.
3. Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang
dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan
yang dilaksanakan secara despotik.31
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S.M) adalah
negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara
yang balk. Dan bagi Aristoteles32 yang memerintah dalam negara
bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja dan
secara filosofis ditegaskan bahwa, cabang-cabang pengetahuan lainnya,
politik harus mempertimbangkan bukan hanya yang ideal, tetapi juga
berbagai masalah aktual, yaitu konstitusi terbaik yang mana yang dapat
dipraktikkan dalam keadaan tertentu: alat-alat apa yang terbaik untuk
mempertahankan kosntitusi-konstitusi aktual: yang mana konstitusi rata-
rata yang terbaik untuk mayoritas kota: apa perbedaan varietas tipe-tipe
kosntitusi yang utama, dan khususnya demokrasi dan oligarki. Politik juga
harus mempertimbangkan nukan hanya konstitusi-konstitusi, tetapi juga
31 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2010, Hal. 2.32 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN
FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta, 1988, Hal. 153.
40
hukum-hukum, dan hubungan yang tepat antara hukum-hukum dengan
konstitusi-konstitusi. Pernyataan tersebut mengingatkan bahwa Konstitusi
sebagai norma yang mesti menjadi dasar pembentukan norma lainnya dan
tidak boleh ada norma yang melebihinya demikian pada bahwa semua
norma mesti dapat diuji dengan norma yang lebih tinggi.
Dalam kaitannya dengan itu, maka33 peraturan dasar merupakan
landasan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa
yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap
masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus
mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan
tenggelam dalam waktu yang panjang, kemudian kembali muncul secara
eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat
dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami pemikiran Immanuel Kant.
Menurut Stahl34, unsur-unsur negara hukum (rechsstaat) adalah:
1) Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi man usia
2) Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;
3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig
bestuur) ; dan
4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige
overheiddaad).
33 Ridwan HR, Op Cit Hal. 2.34 Aristoteles, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University, New York,
1995, Bentang Budaya, yogyakarta, 2004, Hal: 161
41
Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan oleh F.J. Stahl
adalah konsep pemikiran negara hukum Eropa Kontinental atau yang
dipraktekkan di negara-negara Eropa Kontinental (civil Law). Adapun
konsep pemikiran negara hukum yang berkembang di negara-negara
Anglo-Saxon yang dipelopori oleh A.V. Decey (dari inggris) dengan
prinsip rule of law. Konsep negara hukum tersebut memenuhi 3 (tiga)
unsur utama:
1)Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law), yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of arbitrary power),
dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar
hukum ;
2)Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the
law), Dalil ini berlaku balk untuk orang biasa maupun untuk pejabat ;
3)Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain
dengan Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan
pengadilan.35
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum
tersebut di atas, baik Rechtsstaat maupun Rule of Law, mempunyai
persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok antara Rechtsstaat dengan
Rule of Law adalah, adanya keinginan untuk memberikan jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia. Keinginan memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi itu, telah diimpikan sejak berabad-abad
lamanya dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
35 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008. Hal. 57-58.
42
Penyebab timbulnya penindasan dan pelanggaran teradap hak asasi
manusia itu faktor penyebab utamanya karena terpusatnya kekuasaan
negara secara mutlak pada satu tangan, yakni raja atau negara (absolut).
Karena itu adanya keinginan untuk memisahkan atau membagikan
kekuasaan negara kepada beberapa badan atau lembaga negara lainnya,
merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya pelanggaran
terhadap hak asasi manusia dan sekaligus memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
Dalam perkembangannya36 konsepsi negara hukum tersebut
kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat
diantaranya:
1)Sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
2)Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
3)Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
4)Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5)Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke controle)
yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-
benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
6)Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga
negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;'
36 Ridwan HR, op cit., Hal. 4
43
7)Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang
merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Khusus untuk Indonesia, istilah Negara Hukum, sering
diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats pada
dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang
rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi
sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja.37 Paham rechtstaats
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti
Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham
the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885
menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The
Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo
Saxon atau Common law system.
Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya
Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan
mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan
paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht
pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan
kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara
ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal
dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.38 Friedrich
Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya ; Staat and Rechtslehre II,
37 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989, Hal. 30.38 M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Hal. 73-74.
44
1878 him. 137, memberikan pengertian Negara Hukum sebagai berikut:
Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan
sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman
barn ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya dan batas-batas
kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat
ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak
dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada
seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum,
misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa
tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan.
Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada
Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.39
Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar
dalam abad ke dua puluh di Nederland, menulis karangan tentang Negara
Hukum dimana Paul Scholten menyebut dua ciri daripada Negara Hukum,
yang kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama
daripada Negara Hukum ialah:
1. "er ia recht tegenover den staat", artinya kawula negara itu mempunyai
hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat.
Asas ini sebenarnya meliputi dua segi
a. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya
terletak diluar wewenang negara;
39 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, Hal. 24.
45
b. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan
ketentuan undang-undang, dengan peraturan umum.
2. "er ia scheiding van machten", artinya dalam negara hukum ada
pemisahan kekuasaan.40
Pada bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution, Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of law pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.41
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan
dalam UUD 1945 (setelah amandemen) bahwa, Pasal 1 ayat (3);
"Indonesia ialah hukum (rechtsstaat)". Indikasi bahwa Indonesia
menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah
untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
40 O. Notohamidjojo, Op. cit., Hal. 25.41 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, Hal. 312.
46
2) Memajukan kesejahteraan umum,
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4) Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Instrumen awal fundamental dan fital dalam mewujudkan tujuan
tersebut melalui pembangunan hukum. Kajian dari hasil penelitan tentang
konsep Negara hukum dan prinsip Negara hukum di beberapa Negara,
maka42 tampak unsur-unsur Negara hukum Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :
a. Pancasila dijadikan dasar hukum dan sumber hukum, Pancasila sebagai
kristalisasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat juga memuat prinsip
dalam agama sehingga mempunyai kesamaan dengan nomokrasi Islam.
b. Kedaulatan Negara ada pada rakyat dilaksanakannya oleh lembaga
Negara, yaitu sebagaimana disebut dalam konstitusi yang bermakna
adanya permusyawaratan, hal ini mengingatkan kesamaan dengan
prinsip rule of law.
c. Adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara
(distribution of powers)
d. Kekuasaan atau pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi,
e. Adanya independensi kekuasaan kehakiman,
f. Adanya kerja sama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah
dalam pembentukan hukum dan perundang-undangan,
g. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang
bertanggung jawab.
Pendapat Soediman Kartohadiprodjo tentang hukum dan negara
42 Muin Fahmal, Opcit. Hal: 141
47
dalam kerangka Pancasila terkait kedaulatan rakyat adalah segala aturan
yang bersanksi yang mengatur tingkah laku manusia yang dibentuk
berdasarkan penilaian tentang tingkah laku manusia itu yang pada
dasarnya tergantung dari penglihatan manusia yang menilai tadi tentang
tempat individu dalam pergaulan hidup. Sedangkan negara hukum
Pancasila adalah negara berdasarkan hukum dimana kegiatan
pemerintahan dan negara harus sesuai dengan hukum yang berlandaskan
nilai-nilai Pancasila.43
d) Teori Keadilan
Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)44
John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip
etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang
adil. Rawls mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat yang adil
dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli.
Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran
Utilitarianisme. John Rawls mengambil gagasan dan pemikiran dari
Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh Butler, J.J. Rousseau, David Hume,
J.S. Mill, dan Karl Marx mengenai Teori keadilan.
Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam karya-karyanya
tersebut di atas, terdapat beberapa konsep Rawls yang memperoleh
apresiasi dan perhatian luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1)
Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip
kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip
43 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 78
44 John Rawls dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta 2005, Hlm 5
48
perbedaan (two principle of justices), (2) Posisi asali dan tabir
ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3)
Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling
tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public
reason).
John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan
mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara
prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa
karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract)
yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John
Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian,
gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan
para pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-
teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam
hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan
dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara
sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama
dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,
menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang
telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh
karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
49
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya
yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung
ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya, setiap
teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada
konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk
memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di
dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi
antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status
sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya.
Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan
pihak lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi
asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari
oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan
(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of
society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya
hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai
“pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere), hanya saja
dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of
Nature”.
Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan
oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta
50
dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan
doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut,
Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip
kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya
tersebut sebagai “justice as fairness”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-
masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap
orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang
paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi
orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian
rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota
masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan
posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana
adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang
sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik
(political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi
(freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom
of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip
perbedaan” (difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan
“prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity principle).
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip
51
ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol
sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara
itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung pada bagian (b) tidak
hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun
juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut.
Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya
perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat
dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls.
Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan
kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya
kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai
nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi
setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang
beruntung (the least advantage).
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls
meneguhkan adanya aturan prioritas ketika antara prinsip satu dengan
lainnya saling berhadapan. Jika terdapat konflik di antara prinsip-prinsip
tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua,
sedangkan prinsip kedua (b) harus diutamakan dari prinsip kedua (a).
Dengan demikian, untuk mewujudkan masayarakat yang adil Rawls
berusaha untuk memosisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai
yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan
kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau
52
posisi tertentu. Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya
pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau
membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling tidak beruntung.
Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah
dipastikan akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para filsuf
etik dan politik dari bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak
para pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls, namun tidak
sedikit pula yang menentangnya. Selaku rekan sejawatnya di Harvard
University, Robert Nozick menjadi orang pertama yang melancarkan
kritik secara terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui bukunya
yang berjudul “Anarchy, State and Utopia” (1974). Umumnya hingga
saat ini, kedua buku tersebut selalu dibaca bersandingan untuk
mengetahui pelbagai ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian
justice” terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral principle),
aturan-aturan (roles), jejak sejarah (historical trace), dan keadilan
distibutif (distributive justice).
Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A Critique
and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari persepktif marxist
dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya
“Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama menunjukkan ketidak
setujuannya terhadap konsep keadilan yang didengungkan oleh John
Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi teori
Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis egalitariannya.
53
Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga mempertanyakan
keabsahan dan keberfungsian premis-premis keadilan Rawls apabila
dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat
dunia yang terus berkembang, seperti misalnya terhadap keadilan
internasional (international justice). Namun demikian, bagi John Rawls
kritikan tersebut justru dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan
dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.
Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba
untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya
dalam beragam perluasan masalah (problem of extension) yang muncul di
kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam yang tidak hanya sebatas
bagaimana cara membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana
politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus dipelihara dalam konteks
kekinian serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya keanekaragaman
agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak
saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai “overlapping
consensus” guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan
kesamaan diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan
agama dan filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide
tentang “nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari
seluruh warga negara.
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang
ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih
54
mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, John Rawls
mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan
kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-
nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak
sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai,
logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim atas
kebenaran yang universal (universal truth).
Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-
prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang
memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-
kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk semua
orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai
yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas
dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-
posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan
kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan
sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak
diuntungkan.
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukakann pada konsep yang
awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi “klaim
yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem
kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi
“skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-
55
kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and
liberties). Sebagai tujuan utama dari hukum, maka keadilan sering
menjadi fokus utama dari setiap diskusi tentang hukum. Sayangnya,
karena keadilan merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di
sepanjang sejarah manusia tidak pernah mendapatkan gambaran yang
pasti tentang arti dan makna yang sebenarnya dari keadilan, tetapi selalu
dipengaruhi oleh paham atau aliran yang dianut saat itu. Namun
demikian, apa sebenarnya manusia begitu gencar mencari keadilan di
sepanjang sejarah peradaban manusia? Apakah yang namanya keadilan
memang diperlukan oleh manusia itu? Jawabannya, tentu saja manusia
sangat memerlukan suatu keadilan seperti uraian di bawah ini.45
a) Jawaban secara deontologis etika, yaitu karena keadilan sudah
menjadi hakdari seseorang, seperti kewajiban orang untuk
menceritakan yang benar (tidak berbohong) atau melaksanakan janji
yang telah dibuatnya (pacta sunt servanda);
b) Jawaban dari kaum utilitarian, bahwa keadilan atau persamaan
perlakuan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk
dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau
kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
c) Jawaban dari kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan
memang kebutuhan dalam masyarakat di sepanjang masa.
d) Jawaban dari kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan
kebutuhan jiwa manusia.
45 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 77.
56
e) Jawaban dari kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak
dan tuntunan ilahi terhadap manusia.
Pada masa 300 Sebelum Masehi, pada masa Plato dan Aristoteles,
konsep keadilan pernah bertengger lama bersamaan dengan
perkembangan paham hukum alam dalam sejarah hukum. Bahkan,
hampir-hampir tidak dapat dibedakan antara konsep keadilan dengan
konsep hukum alam itu sendiri. Karena itu, perkembangan hukum alam
di zaman Yunani klasik berjalan seiring dengan perkembangan konsep-
konsep keadilan kala itu, yang menggantikan konsep- konsep keadilan
yang dilandasi pada mitologi (pada kehendak dewa-dewa) menjadi
konsep keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam (yang suci)
berdasarkan atas keinginan yang rasional dan dapat dipahami oleh
rasionalitas manusia. Kemudian, perkembangan historis tentang keadilan
dalam artinya yang modern terjadi dalam beberapa episode, yaitu:
1. episode fajar keadilan (the dawn of justice);
2. episode kepercayaan (the age of faith);
3. episode rasional (the age of reason);
4. episode penuh harapan (the age of hope); dan
5. episode skeptis, dan pesimis.
Episode fajar keadilan (the dawn of justice) di mulai dari awal
kebangkitan hukum yang mempromosikan keadilan. Bagi sistem hukum
Eropa Kontinental, episode ini terjadi di sekitar abad ke-4 dan 5 Masehi,
di mana konsep hukum dan keadilan sedang berkembang pesat di
57
negara Romawi. Sementara itu, untuk sistem hukum Anglo Saxon,
episode fajar menyingsing ini terjadi di sekitar abad ke-12 (dua belas)
dan 13 (tiga belas) yang merupakan era awal kebangkitan sistem hukum
dan keadilan di Inggris. Kemudian, episode kepercayaan (the age of faith)
terjadi di sekitar abad ke-15 dan 16, di mana hukum dan keadilan
dianggap sebagai suatu titah Tuhan. Episode rasional (the age of reason)
terjadi di sekitar abad ke-18, di mana dalam masa-masa ini hukum dan
keadilan diukur dengan memakai ukuran- ukuran rasional sesuai dengan
sistem logika. Dalam tradisi hukum Anglo Saxon keharusan menonjolkan
argumentasi dalam setiap putusan hakim melalui doktrin ratio decidenci,
juga ikut melahirkan yurisprudensi dan aturan-aturan hukum yang
rasional. Sedangkan episode penuh harapan (the age of hope) terjadi di
abad ke-20 (dua puluh), di mana di abad ini hukum sangat diharapkan
untuk dapat memperbaiki keadaan politik, sosial, moral, dan mutu hidup
manusia. Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, di abad ini mulai
disadari bahwa hukum tidak mungkin dikembangkan dengan
menggunakan logika secara deduktif semata-mata. Juga, hukum tidak
mungkin direduksi hanya dalam bentuk undang-undang semata- mata.
Bahkan, sering kali undang-undang hanya merupakan penampungan
aspirasi partai tertentu yang berkuasa di parlemen, sedangkan hukum
seharusnya merupakan aspirasi masyarakat luas yang telah teruji
berabad-abad dalam sejarah hukum.
Kemudian, menurut Munir Fuady, di akhir abad ke-20 memasuki
58
abad 21 (dua puluh satu), perkembangan pemikiran tentang hukum dan
keadilan didominasi oleh rasa frustrasi, skeptis, dan pesimis. Hal ini
dikarenakan tidak kesampaiannya harapan yang terlalu besar di abad ke-
20 (duapuluh) pada peranan sektor hukum dan ilmu pengetahuan, yang
ternyata perannya dapat dikatakan gagal total. Bahkan, yang jelas terjadi
adalah perang dunia pertama dan kedua serta perang-perang lainnya, juga
berbagai pergerakan menuju kerusakan bumi, ketidakadilan, dan
kehancuran manusia. Di samping itu, di paruh pertama abad ke-20, orang
terlalu banyak menggantungkan harapan pada hukum. Padahal, hukum
yang diciptakan oleh manusia ditegakkan dan ditafsirkan oleh manusia
juga, pada hukum tersebut mengandung banyak kelemahannya. Karena
kenyataannya tidak sesuai dengan harapan, maka mulai akhir abad ke-20
dan memasuki abad ke-21, terjadi banyak keputusasaan, frustrasi, skeptis,
dan rasa pesimistis. Hal ini berkembang seiring dengan (atau lebih
tepatnya dipengaruhi) ajaran postmodernisme yang memang sedang
berkembang pesat saat ini. prinsip-prinsip keadilan bersumber dari negara
Yunani klasik yang terus berkembang dan masuk ke dalam hukum
Romawi, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa Kontinental
maupun Anglo Saxon dan terus berkembang sampai dengan keadilan
dalam berbagai sistem hukum modern saat ini.46
Dikemukakan oleh L.J. van Apeldoorn
Menyatakan keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan
46 Ibid
59
persamarataan. bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian
yang sama.47
Juga Aristote1es telah mengajarkannya. Ia mengenal dua macam
keadilan, keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan ditributif
ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut
jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang
sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan
keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang
sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa seseorang. Oleh
Rochmat Soemitro pendapat Aristoteles dirumuskan, bahwa keadilan
terbagi atas dua bagian. Bagian pertama ialah keadilan secara umum.
Sedangkan bagian kedua adalah keadilan secara khusus. Keadilan secara
umum maksudnya bahwa semua orang harus mendapatkan bagian yang
sama tanpa melihat jasa- jasanya. Sedang keadilan secara khusus adalah
keadilan yang hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu saja dimana
terhadap dua orang yang sama diperlakukan tidak sama. Selanjutnya oleh
L.J. van Apeldoorn dinyatakan:
”Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut, disebut teori-teori yang ethis karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori-teori tersebut berat sebelah. Ia melebih-lebihkan kadar keadilan hukum, karena ia tak cukup memperhatikan keadaan sebenarnya. Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan hidup. Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-
47 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hlm. 11
60
tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum. Dan yang terakhir inilah yang harus dilakukan. Adalah syarat baginya untuk dapat berfungsi. Tertib hukum yang tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis, tak mungkin. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidak tentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan itu selalu akan menyebabkan perselisihan antara orang-orang jadi menyebabkan keadaan yang tiada teratur dan bukan keadaan yang teratur”.
Menurut L.J. van Apeldoorn, hukum harus menentukan peraturan
umum, harus menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan;
keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri:
suum cuique tribuere. Jadi dalam hukum terdapat bentrokan yang tak
dapat dihindarkan pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan-tuntutan
keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum. Makin banyak hukum
memenuhi syarat ”peraturan yang tetap”, yang sebanyak mungkin
meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum
itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniuria.
Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan
bahwa penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan
tergantung pada pandangan hidup manusia yang memunculkan penilaian
itu, yakni pada penglihatan manusia yang melakukan penilaian dari
manusia yang perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di
dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo
mulai memfokuskan penelusurannya pada substansi pandangan hidup
yang dianut yang tercermin ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di
61
dalam masyarakat yang bersangkutan.48
- Keadilan Subtantif
Keadilan substantif ini menolak pandangan legalisme yang
menganggap Undang-Undang itu kramat, yakni sebagai peraturan
yang dikukuhkan Allah sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang
berlaku bagi semua perkara, karena bersifat rasional. Keadilan substantif
menganggap bahwa legalisme yang murni tidak mungkin. Sebab semua
penerapan kaidah-kaidah hukum yang umum dan abstrak pada perkara-
perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum baru. Administrasi
seorang pegawai sudah merupakan hukum baru, apalagi putusan-putusan
seorang hakim. Memang tindakan yuridis ini mengandaikan adanya suatu
minimum rasionalitas dalam sistem hukum, tetapi mustahil praktik hukum
menurut suatu metode rasional melulu. Putusan seorang hakim tidak dapat
diturunkan secara logis dari peraturan-peraturan yang berlaku, sebab
peraturan itu tidak sempurna, mungkin juga salah atau kurang tepat,
sehingga menyebabkan ketidakadilan. Argumen yang diajukan oleh L.
Pospisil melawan legalisme ini adalah:49
1) Kalau hukum terletak dalam kaidah-kaidah yang abstrak
(peraturan- peraturan), tidak dimengerti mengapa terdapat ketentuan-
ketentuan yang mati, sebab ketinggalan zaman.
2) Peraturan-peraturan yang abstrak tidak mengungkapkan banyak
tentang “pengawasan sosial” (yang dianggap sebagai inti segala
48 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 22.
49 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 122.
62
hukum).
3) Peraturan-peraturan tidak berguna bagi praktik, sebab para hakim
harus mengambil keputusannya sesusai dengan perkara-perkara yang
sangat berbeda.
Legalisme tersebut diserang juga oleh para penganut realisme
hukum Skandinavia. Menurut mereka, kita harus realistis dan karenanya
tidak menerima peraturan-peraturan pemerintah sebagai sesuatu yang
nyaris sempurna.50 Salah satu tokoh realisme hukum Skandinavia yang
bernama Alf Ross mengemukakan tentang teori realitas sosial yang
menentang teori Kelsen, yang memastikan bahwa keharusan yuridis
adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial, seperti
tradisi Kant dikatakan tentang suatu Sollen yang lepas dari Sein. Karena
pemisahan ini Kelsen terus mencari norma dasar (Grundnorm) untuk
mendasari berlakunya hukum. Tetapi Ross menolak suatu norma yang
lepas dari realitas sosial. Norma-norma yang berlaku hanya berfungsi
dalam batas suatu proses pembuatan Undang-undang dimana kejadian-
kejadian yuridis digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.51
Undang-undang selalu tergabung dalam praktik hidup. Berkat
penggabungan itu, praktik hidup dipandang dalam terang Undang-undang
sehingga mendapat rasionalitas. Umpamanya seorang hakim, yang
berhadapan dengan suatu peristiwa dan yang mengikutsertakan nilai-nilai
hidup praktis dalam pertimbangannya, tidak bertindak secara irasional.
50 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm 181.
51 Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm 61-63
63
Putusan-putusannya (walaupun tidak dapat diturunkan secara silogistik
dari Undang-undang) merupakan bukan hasil emosi, bukan perjuangan
bagi kepentingannya sendiri, bukan tindakan kekerasan, melainkan hasil
dari suatu pertimbangan rasional, sehingga “masuk akal”. Buktinya
pengadilan selalu menyebut alasan-alasan bagi putusan-putusannya,
berdasarkan suatu “logika yuridis”. Keadilan substantif ini juga tidak
sepaham dengan teori hukum kodrat oleh karena Teori hukum kodrat ini
tidak memberi batas jelas tentang apa itu kodrat dan apa ciri-ciri
hakikinya. Kesulitan muncul dari anggapan populer yang menyamakan
begitu saja “yang kodrati” dengan “yang biasa dilakukan”. “sesuai dengan
kodrat” dengan demikian disamakan dengan apa oleh masyarakat
diterima dan diakui sebagai hal yang lazim dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari. Disini ada bahaya bahwa apa yang norma; dilakukan
dipandang pantas menjadi norma bertindak. Padahal yang biasa dan
umum dilakukan belum tentu baik. Hidup sesuai dengan tuntutan hukum
kodrat pada dasarnya tidak menghargai kehormatan atau kemuliaan
manusia yang berakal budi. Meskipun adanya pembedaan antara hukum
kodrat yang berlaku bagi makhluk rasional dan hukum alam yang berlaku
bagi makhluk nonrasional sudah merupakan langkah maju yang keluar
dari kesulitan teori hukum kodrat deterministik, jalan keluar ini tetap saja
membawa kesulitan dalam pelaksanaan hukum positif.
- Keadilan Formal
Keadilan formal ini sesuai dengan teori positivisme yang
mendekati gejala hidup secara alamiah belaka yakni sebagai fakta, dan
64
tidak mau tahu tentang nilainya, akibatnya tuntutan tentang keadilan
disingkirkan dari pengertian hukum. Aliran-aliran yang berhaluan
Marxis menganggap bahwa hukum negara nyaris sempurna sehingga
ungkapan kehendak rakyat. Inti pandangan ini ialah bahwa orang-
orang yang menganggap hukum sebagai “ius” lebih percaya pada
prinsip-prinsip moral walaupun abstrak dari pada kebijaksanaan
manusia. Karenanya makna hukum sebagai hukum yang adil lebih
terjamin dalam perumusan-perumusan abstrak dari pada dalam
putusan-putusan hakim. Sesuatu yang mutlak bagi seorang hakim
untuk menyesuaikan diri dengan perumusan-perumusan yang telah
terwujud dalam Undang-undang. Praktik kehakiman oleh rakyat
seringkali dipandang sebagai penerapan Undang-undang pada perkara-
perkara konkret secara rasional belaka. Pandangan ini disebut
Legalisme atau legisme. Dalam pandangan legisme, Undang-Undang itu
dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah
sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua
perkara, karena bersifat rasional.52
Aliran positivisme hukum memberi nuansa dilosofi pemikiran
tentang hukum. Terdapat sekurang-kurangnya empat pengertian pokok
dalam istilah positivisme hukum, yaitu:
1) Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep
hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, pemikiran
sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris John Austin.
52 Ibid
65
2) Istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai
perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh
dua citi utama: (1) hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan
politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik. Asalkan
dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum
murni dikembangkan oleh Hans Kelsen; (2) hukum tidak berurusan
dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum
yang ada. Pemisahan ini tentu saja penting karena pertimbangan
kepastian hukum. Akan tetapi, pemisaha ini bagi positivisme juga
dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pernyataan moral
yang tidak ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral.
Positivisme hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam
proses judisial dimana hakim mendasarkan keputusannya
sepenuhnya pada peraturan hukum yang ada. Disini keputusan
judisial semata-mata merupakan hasil deduksi peraturan hukum.
Inilah cara berpikir akademis yang mengandalkan kemampuan
berpikir logis. Dengan demikian, positivisme dalam konteks judisial
menunjuk pada proses peradilan dimana keputusan hakim diambil,
menurut istilah Ronald Dworkin, secara mekanistis. Hart menyebut
konsep judisial seperti ini sebagai Automatic atau Slot-Machine.
Proses seperti ini praktis membuat proses litigasi menjadi mubazir.
3) Positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang
berpendapat bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus
dapat dilakukan dengan menujukkan bukti-bukti faktual atau argumen
66
rasional. Kesan seperti ini cukup kuat muncul terutama dalam
pandangan Joseph Raz melalui gagasannya tentang „mitos moralitas
bersama‟ (the myth of common morality). Pandangan ini
beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya
moralitas yang diterima oleh segenap anggota masyarakat.
Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai positivisme
sosiologis, yang juga sangat menekankan watak ilmiah dari hukum.
4) Istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada
pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak
adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi positivisme validitas
hukum tidak tergantung pada validitas moral. Hukum hanya tidak
berlaku atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu
sendiri.
Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami
dan diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam
pembuktian diproses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil,
bukan sekedar kebenaran formil. Disamping itu, perlu disadari juga
bahwa Judicial Activism dapat mengisi kekosongan hukum dalam
menggapai keadilan dalam masyarakat53
Lembaga peradilan adalah perpanjangan tangan dari tujuan
pembentukanhukum, yaitu sebagai alat untuk menemukan keadilan.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang hadir pasca amendemen Undang-
Undang Dasar 1945 juga dibentuk untuk memenuhi hasrat para
53 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011 di Jakarta.
67
justiabelen akan pemenuhan keadilan. Mahkamah Konstitusi melalui
hakim periode kedua telah mengukuhkan dirinya sebagai lembaga
pelindung keadilan substantive (substantive justice). Sebuah semangat
keadilan sesungguhnya bukan keadilan formalistik teks produk
perundang-undangan.54
Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada
bagaimana cara hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan
perkara. Jika hakim Mahkamah Konstitusi gagal mengurai makna
keadilan substantif dalam setiap perkara, maka yang ditemukan adalah
keadilan yang kabur. Adil menurut hakim tapi putusan tersebut tak
mampu memenuhi keadilan yang ingin ditemukan oleh para
pencarinya.
Gerak “langkah” hakim menelusuri ruang dalam sebuah perkara
untuk menemukan keadilan tersebut dikenal dengan konsep judicial
activism. Menurut Kamus Hukum Black, judicial activism dimaknai
sebagai; sebuah filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana
hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya
mengenai kebijakan publik, di antara pelbagai faktor- faktor, untuk
menuntunnya memutuskan sebuah permasalahan.
e) Teori Kepastian Hukum
L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa kepastian hukum adalah
54 Hasil Penelitian, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan Di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif) Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dengan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010, hlm. 10.
68
kepastian suatu undang-undang. Namun kepastian hukum tidak
menciptakan keadilan oleh karena nilai pasti dalam undang-undang
mewajibkan hal yang tentu sedangkan kepentingan manusia/penduduk
tidak tentu. Misal: Undang-undang antar penduduk dibuat secara
umum (yaitu memberi peraturan-peraturan yang umum), walaupun
alasannya tidak selalu tepat, karena beranekawarnanya urusan-urusan
manusia sangat tidak tentu, padahal undang-undang harus menetapkan
sesuatu yang tentu. Tidak sempurnanya hukum, dalam praktek untuk
sebagian tertampung, karena hakim pada melakukan hukum dalam
hal-hal yang nyata, dalam mentafsirkan peraturan-peraturan, dapat
mempergunakan tafsiran bebas untuk menghilangkan atau
mengurangkan ketidak adilan. Tetapi usaha itu mengurangi kepastian
hukum dan tak selamanya dapat dilakukan. Jadi hukum terpaksa harus
mengorbankan keadilan sekedarnya guna kepentingan daya guna: ia
terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan ada terdapat sejumlah
besar peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan
keadilan, melainkan semata-mata didasarkan pada kepentingan daya
guna.55
Rochmat Soemitro berpendapat berbeda, kepastian hukum
adalah keadilan oleh karena kepastian hukum yang terwujud dalam
undang-undang sudah mengakomodasi nilai keadilan. Kepastian
hukum merupakan certainty yakni tujuan setiap undang-undang.
Dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang
55 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hlm. 14
69
mengikat umum harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat
dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti
ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum
banyak bergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan
penggunaan istilah yang sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan
tersebut penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan.
Karena bahasa hukum adalah juga bahasa Indonesia. Maka kepastian
hukum juga banyak bergantung kepada penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Penggunaan bahasa Indonesia tunduk kepada
norma-norma bahasa yang sudah baku. Dalam menyusun undang-
undang yang baik perlu terlebih dahulu dikuasai asas-asas hukum
yang sudah diterima secara umum oleh kalangan orang yang
berprofesi hukum, seperti:45
a. Lex specialis derogat lex generalis;
b. Lex posterior derogat lex anterior;
c. Pacta sunt servanda;
d. Lex locus contractus;
e. Noella poena sine privilegia lege;
f. Azas Non diskriminasi;
g. Domisili, sumber, kebangsaan.
h. Asas keajegan.
i. Asas kontinuitas;
j. Asas keadilan.
70
Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo
Bahwa teori mengenai kepastian hukum dalam upaya memberikan
pendapatnya tentang apa itu kepastian hukum. Menurut ajaran hukum
progresif “Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia”.56
Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya
memuncakpada tuntutan bagi kehadiran hukum progresif. Pernyataan
tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta
tujuannya. Hal tersebut sekaligus merupakan ideal hukum yang menuntut
untuk diwujudkan. Sebagai konsekuensinya, hukum merupakan suatu
proses yang secara terus-menerus membangun dirinya menuju ideal
tersebut. Inilah esensi hukum progresif.
Satjipto Rahardjo menentang pendapat L.J. van Aperldoorn
maupun Rochmat Soemitro. Kepastian hukum bukan terletak pada
pastinya suatu undang-undang. Demikian juga bahwa kepastian hukum
bukan kristalisasi keadilan. Sudah merupakan cap dagang manakala
orang berbicara mengenai hukum. Hukum selalu dibicarakan dalam
kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hakum
sudah menjadi primadona dalam wacana mengenai hukum. Kepastian
56 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2
71
hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.
Menurut Satjipto Rahardjo, ini merupakan beban berlebihan yang
diletakkan di pundak hukum. Lebih daripada itu, pemahaman dan
keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk
menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi
ideologi dalam hukum. Maka pemahaman tentang kepastian seperti
tersebut di atas tidak bisa diterima. Optik tersebut menempatkan hukum
pada satu sudut (saja) dalam jagat ketertiban yang luas sekali.
Pemahaman tentang hukum yang demikian itu berimbas pula pada
pemahaman tentang kepastian hukum. Sejak posisi hukum dalam jagat
ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai institut
nomiatif yang lain dalam masyarakat, maka kaitan antara hukum
dan kepastian hukum menjadi relatif. Hubungan antara hukum dan
kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta
menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa
hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan,
seperti undang-undang. Begitu suatu undang-undang X dikeluarkan,
maka pada saat yang sama muncul kepastian peraturan. Tidak ada
keragu-raguan mengenai hal tersebut, oleh karena siapa pun segera dapat
menyimak kepastian kehadiran undang-undang X tersebut. Sebaiknya
dipisahkan antara kepastian peraturan dan kepastian hukum, agar kita
dapat lebih seksama mengetahui masalah kepastian hukum itu.57
57 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 77
72
Kendati demikian ternyata, bahwa kehadiran suatu peraturan itu
masih juga menimbulkan keragu-raguan, yang berarti berkurangnya
nilai kepastian tersebut. Keadaan tersebut terjadi, oleh karena dalam
jagat perundang-undangan, suatu peraturan, tanpa disadari ternyata
bertentangan dengan peraturan lain.58
Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, ternyata
peraturan bukansatu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya
kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dari
perilaku. Seperti dikatakan oleh Lord Sampford, kepastian itu menjadi
ada karena orang menghendaki bahwa ia ada. Kepastian hukum itu
memang merupakan suatu keadaan yang memerlukan usaha dari
perjuangan dan tidak datang secara otomatis, begitu suatu undang-
undang atau peraturan lain diterbitkan maka ada kepastian. Bukan
demikian pernyataannya. Yang benar adalah kepastian hukum
merupakan wujud dari kepatuhan masyarakat berbangsa dan bernegara
terhadap hukum yang dapat berbentuk undang-undang maupun
kebiasaan, sehingga titik berat dari kepastian bukan pada hukumnya
melainkan pada kepatuhan. Akan sangat berat bagi hukum jikalau
kepastian itu adalah kepastian karena hukumnya.59
Maria Farida Indrarti Soeprapto, melihat kepastian hukum
merupakan kejelasan adanya undang-undang yang pasti dan
diberlakukan di masyarakat. Untuk adanya kepastian hukum maka
58 Ibid hlm. 7859 Ibid hlm. 80
73
suatu undang-undang harus dibentuk berdasarkan pada asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Di sini
nampaknya Maria Farida Indrarti Soeprapto sejalan dengan
Rochmat Soemitro dan berbeda pendapat dengan Satjipto Rahardjo
serta L.J. van Apeldoorn. Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundangan Yang Baik menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, meliputi:60
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan dan
g. keterbukaan.
Suatu undang-undang yang berkepastian hukum dibentuk
berdasarkan Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal
5 sebagai berikut:52
a) Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
60 Maria Farida Indrarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Jilid I, Kanisius, Jakarta, 2007, hlm
74
yang hendak dicapai.
b) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah
bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c) Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundang- undangannya.
d) Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f) Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang- undangan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
75
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g) Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
f) Teori Kewenangan Administrasi Negara
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah
wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan
dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut
Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah
kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak
pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam
konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep
hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan
dalam konsep hukum publik.61
Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian
kewenangan dan wewenang.54 Kita harus membedakan antara
kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
61 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 8.
76
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan
formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam
rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.62
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum. 63
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:64
Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).
Kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal
62 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000, hlm. 22
63 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 65
64 Stout HD, de Betekenissen van de wet, (Irfan Fachruddin), Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004), hlm. 4.
77
yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu
spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang
diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang
untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau
mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang
diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu
atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi
(Undang-Undang Dasar 1945). Pada kewenangan delegasi, harus
ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan
yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti
pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak
atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat pejabat yang
diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama
mandatori (pemberi mandat).
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada
(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan
yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan
keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut.
Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh
bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,
delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah
78
suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna
mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat
dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.65
Anthon F Susanto berpendapat bahwa umumnya keputusan itu
ditetapkan melalui ketrampilan atau keahlian, seluruhnya dipahami
sebagai sebuah keterkaitan yang bersifat mekanistik. Di luar hal itu
umumnya setiap keputusan akan dipandang tidak bijak, provokatif
bahkan mungkin dipandang tidak waras66.
Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian dikenal
dengan istilah toetsingrecht yang dimasyhurkan oleh Sri Soemantri.58
Dari pandangan Allen dan Thompson serta Sri Soemantri diatas
dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu;
(a) toetsingrecht yang merupakan kewenangan peradilan atau kenal
dengan Judicial Review; (b) toetsingrecht yang merupakan kewenangan
legislatif atau legislative review; dan (c) toetsingrecht yang merupakan
kewenangan eksekutif atau eksekutive review.
g) Teori Mengenai Peradilan
Peradilan kita di Indonesia menganut "sistim kontinental" yang
berasal dari Perancis yaitu sistim kasasi. Dalam sistim tersebut,
Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan tertinggi merupakan
65 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 219
66 Anthon F Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 129.
79
Pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam
penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan Undang-
Undang diseluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil.
Sedangkan di negara sistim Anglo Saxon hamya mengenal banding.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan
dan penetapan dari Pengadilan-Pengadilan yang lebih rendah karena:67
a) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
perbuatm yang bersangkutan;
b) Karena melampaui batas wewenangnya;
c) karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturan-peraturan
hukum yang berlaku (diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 13
tahun 1965).
Sebagai disebutkan di atas sampai saat ini Mahkamah Agung
menggunakan Pasal 131 Undang-Undang No. I tahun 1950 sebagai
landasan hukum untuk beracara kasasi. Dalam tahun 1963 dengan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 Mahkamah Agung
memperluas Pasal 113 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 dengan
menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan di Pengadilan
tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Semula dalam Pasal 113 tersebut,
permohonan kasasi harus diajukan kepada Pengadilan yang putusannya
dimohonkm kasasi"
67 Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5
80
Menurut Soebekti dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung.
Nomor 1 tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi
pada umumnya jauh letaknya dengan tempat tinggal pemohon kasasi
itu. lagi pula berkas-berkasnya disimpan di Pengadilan Negeri.
a. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas adalah "kasasi pihak".
Selain daripada kasasi tersebut, masih ada bentuk kasasi lain
yang disebut dengan permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa
Agung demi kepentingan hukum (Pasal 50 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 tahun1965).
b. Peninjauan kembali. Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13
tahun 1965 disebutkan bahwa: "Terhadap putusan Pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon
peninjauan kambali, hanya apabila terdapat hal-hal atau
keadaankeadaan yang ditentukan dengan Undang-
Undang".Kemudian dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat
hal -hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-
Undang, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh
pihak-pihak yang berkepentingan".
c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini
sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan. Mengapa? Karena
81
hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah dari UndangUndang hanya formil saja
dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak menguji hakim
tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 26 yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih
rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan
pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut
dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Menurut Soebekti68 (dalam karangan mengenai hubungan Mahkamah
Agung dangan Badan Peradilan) menyatakan bahwa sesungguhnya
“toetsingsrecht" itu ada 2 (dua) macam:
1) "Formiele toetsingsrecht" yaitu hak untuk menguji atau meneliti
apakah suatu peraturan dibentuk secara sah dan dikeluarkan oleh
penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu.
2) "Materiele toetsingrecht" yaitu hak untuk menguji atau menilai
apakah suatu peraturan dari segi isinya (materinya) mengandung
68 Ibid
82
pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau
menilai tentang adil tidaknya isi peraturan itu. dan spabila terdapat
pertentangan tersebut atau apabila isi peraturan itu dianggapnya tidak
adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisihkan atau menyingkirkan
peraturan itu. (to set aside).
h) Teori Penemuan Hukum dan Penafsiran Hukum
Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan
penafsiran hukum. Bahwa dalam penemuan hukum dilakukan dengan
metode penafsiran (interpretasi).69 Penafsiran oleh hakim harus menuju
kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum
terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.70
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum
umum pada peristiwa hukum konkrit.71 Sebagai proses pembentukan
hukum, maka penemuan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi
persaturan hukum (das sollen) yang bersifat umum denagn mengingat
akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.72
Penemuan hukum dari berbagai pendapat dapat dikemukakan sebagai
berikut, pertama, merupakan penerapan peraturan pada peristiwa konkrit
atau fakta. Kedua, dilakukan ketika harus menemukan hukum karena
peraturannya tidak jelas atau menemukan hukum dengan cara
69 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 56.70 Ibid.71 Ibid, hlm 37.72 Ibid.
83
pembentukan hukum karena tidak terdapat peraturan.73 Dalam hal ini
muncul dua istilah yang nampak sama yaitu penemuan hukum
(rechtvinding) dan pembentukan hukum (rechtvorming). Menurut
Bambang Sutiyoso demikian,
Istilah penemuan hukum (rechtvinding) dengan pembentukan hukum
(rechtvorming) dapat memunculkan polemic dalam penggunaannya.
Meskipun demikian keduanya mempunyai perbedaan antara satu dengan
yang lain. Istilah rechtvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak
ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan
diketemukan, sedangkan istilah rechtvorming dalam arti hukumnya tidak
ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya
terdapat penciptaan hukum juga.74
Pembentukan hukum tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya sama
sekali, melainkan belum tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Asas-asas
hukum menjadi petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Tugas hakim mengaktualisasikan asas-asas tersebut dengan menggunakan
berbagai metode kajian. kemudian pembentukan hukum terjadi ketika
putusan hakim hadir untuk menyelesaikan masalah.75 Putusan hakim
adalah (sumber) hukum. Sehingga dalam hal ini, pembentukan hukum
sama dengan proses legislasi yang menghasilan undang-undang namun
dilakukan oleh hakim.
73 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum - Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009, hal 26-27.
74 Ibid. hal. 31.75 Bandingkan dengan pendapat Paul Scholten dalam Arief Sidharta (Penerjemah), Struktur
Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 203, hal. 63-68.
84
Penafsiran hukum menjadi bagian dari penemuan hukum. Penafsiran
hukum menjadi metode penemuan hukum yang digunakan dalam
menerapkan hukum (das sollen) pada peristiwa konkrit (das sein).
Terdapat berbagai metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal,
sistematis, historis dan teleologis. Berbagai metode penafsiran digunakan
tidak terpisah, melainkan seringkali bersama-sama (lebih dari satu atau
semua digunakan) ketika melakukan penemuan hukum.
i) Teori Hermeneutik
Jazim Hamidi menempatkan hermeneutika hukum sebagai teori
penemuan hukum baru.76 Bahkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan
bahwa hermeneutika hukum sudah dikenal pada abab 19 sebagai ajaran
penemuan hukum atau ajaran penafsiran hukum yang dikenal dengan
hermeneutika yuridis.77 Bahkan Jazim Hamidi dalam uraiannya tentang
hermeneutika hukum mengajukan 11 (sebelas) metode penafsiran atau
interpretasi hukum.78 Berdasarkan hal tersebut apakah perbedaan
hermeneutika hukum dengan penemuan hukum? Ataukah memang
hermeneutika hukum sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi merupakan
teori penemuan hukum baru?
Gerald Bruns menjelaskan mengenai posisi hermeneutika hukum
sebagai berikut: Adapun mengenai hukum, kita bisa mengawalinya dengan
ketentuan bahwa hermeneutika tidak memandang hukum dalam kaitannya
76 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum – Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, 2005, hal. 39-72.
77 Sudikno Mertokusumo, loc.cit. hal. 37.78 Jazim Hamidi, op.cit. hal. 53-59.
85
dengan urusan konseptual atau metodologis seperti yang dipegang oleh
para teoretisi hukum, apalagi dalam kaitannya dengan persoalan strategi
hukum atau praktik yudisial; melainkan yang menjadi perhatian
hermeneutika adalah kondisi-kondisi di mana semua urusan ini dijalankan.
Bisa dikatakan bahwa minat hermeneutika lebih bersifat ontologis dan
bukan bersifat teknis. Dalam pengertian seperti ini, ‘hermeneutika hukum’
tidak akan sama pengertiannya dengan teori hukum. Sebaliknya,
hermeneutika cenderung agak liar atau bebas dalam pemikirannya
mengenai hukum (atau pokok bahasan apapun). Hal inilah yang agaknya
terjadi ketika kita sampa pada persoalan mengenai hukum dan bahasa, atau
yang dalam hermeneutika disebut sebagai linguistikalitas (sprachlickeit)
hukum.79
Hermeneutika hukum berkaitan dengan ontology hukum maka hukum
tidak dapat direduksi sebagai produk politik semata. Melainkan hukum
adalah produk kebudayaan baik sebagai mahluk social maupun individu.80
Hukum adalah realitas. Realitas hukum dapat mewujud dalam berbagai
bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa realitas hukum
merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak
terbantahkan. Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran
(dan keadilan) menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir
atas teks.
79 Gregory Leyh (Ed.), Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 46.
80 Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hal. 64.
86
Theo Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya
menafsirkan undang-undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran
pelengkap dan penafsiran budaya.81 Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan
mendekatkan penemuan hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.
Hermeneutika hukum yang berasal dari hermeneutika yang diartikan
sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi
mengerti.82 Hermeneutika berhubungan dengan bahasa83 dan disinilah letak
keterkaitan dengan hukum yang mengalami transliterasi dari ide menjadi
teks.
Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap
hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau
bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdepatkan oleh
para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas
intellegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan
penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak
mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.84 Teks menjadi
bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum) membutuhkan ketepatan
pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum oleh para
pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran
budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-
keyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat 81 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 133-135.82 Sumaryono, Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, hal. 24. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.
83 Ibid. hal. 26.84 Ibid. hal. 29.
87
politik, melainkan social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat
tertentu dianggap layak apa tidak.85 Keberhasilan melakukan penafsiran
dari perspektif hermenutika terletak pada talenta bahasa dan talenta
pengetahuan individu.86
Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori
tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah
interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan
yang dipandang sebagai sebuah teks.87 Hermeneutika yang berfungsi
sebagai metode penafsiran mempunyai tugas mengungkapkan dengan
membawa keluar atau mengeluarkan potensi makna dari teks untuk
menangkap inti pesan yang disampaikan melalui teks.88
Terdapat 10 (sepuluh) pengalaman hermeneutis yang menjadi bagian
dari tesis tentang interpretasi yaitu pertama, pengalaman hermeneutis
bersifat historis. Kedua, pengalaman hermeneutis pada dasarnya bersifat
linguistic. Ketiga, pengalaman hermeneutis bersifat dialektis. Keempat,
pengalaman hermeneutis bersifat ontologis. Kelima, pengalaman
hermeneutis merupakan sebuah peristiwa bahasa. Keenam, pengalaman
hermeneutis itu obyektif. Ketujuh¸ pengalaman hermeneutis harus
dibimbing oleh teks. Kedelapan, pengalaman hermeneutis memahami apa
85 Theo Huijbers, op.cit. hal. 134-135. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1344 - 1346 KUHPerdata.
86 Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat – Reader, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hal. 16.
87 Richard Palmer, Hermeneutika – Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.
88 Eksegese berasal dari bahasa Yunani, exegeomai yang berart membawa keluar atau mengeluarkan.
88
yang dikatakan menurut keadaaan sekarang. Kesembilan, pengalaman
hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kesepuluh, estetik harus
ditetapkan di dalam hermeneutika.89
j) Teori Pergeseran Paradigma
Sebutan Paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak
mencolok namun setelah Thomas Khun memperkenalkannya melalui
bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”,
University of Chicago Press, Chicago,1962”. menjadi begitu terkenal yang
membicarakan tentang Filsafat Sains. Khun menjelaskan bahwa
Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-
metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh
suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang
tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis, kepercayaan
terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang
demikian menjadi kurang berwibawa, pada saat itulah menjadi pertanda
telah terjadi pergeseran paradigma. Fungsi dari Paradigma menyediakan
puzzle bagi para ilmuwan. Paradigma sekaligus menyediakan alat untuk
solusinya. Ilmu digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai sebuah kegiatan
menyelesaikan puzzle.Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya dalam
sains, menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran.
Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori
yang lama. Dalam pemikiran Kuhn paradigma secara tidak langsung
89 Richard Palmer, loc.cit. hal. 288-293.
89
mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara dasar. Yaitu: Apa yang
harus dipelajari dan diteliti, Pertanyaan yang harus ditanyakan, Struktur
sebenarnya dan sifat dasar dari pertanyaan itu, Bagaimana hasil dari riset
apapun diinterpretasikan.90
Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode
pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi
setelah sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi
anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma.
Namun demikian ketika banyak anomali-anomali yang mengganggu yang
mengancam matrik(acuan) disiplin maka paradigma tidak bisa
dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan
maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada
periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang
dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa
sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma
mengalami pergeseran maka itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam
tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak
dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terdapat revisi
dari kepercayaan ilmiah atau praktek. Thomas Kuhn menyebutkan kurang
lebihnya dalam hal ini yang akan pemakalah jelaskan secara rinci pada
bagian berikutnya yaitu tentang ; pradigma sains yang normal, anomali
90 Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta:Penerbit Jendela, 2002.hal 30
90
munculnya penemuan sains, revolusi sebagai perubahan pandangan atas
dunia, dan pemecahan revolusi.
Teori Paradigma (Shift) Thomas Samuel Kuhn91
1) Pradigma Sains yang Normal
Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) setelah menulis panjang lebar
tentang sejarah ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa
gagasan penting dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ia paling terkenal
karena bukunya The Structure of Scientific Revolutions di mana ia
menyampaikan gagasan bahwa sains tidak "berkembang secara
bertahap menuju kebenaran", tapi malah mengalami revolusi periodik
yang dia sebut pergeseran paradigma. Analisis Kuhn tentang sejarah
ilmu pengetahuan menunjukkan kepadanya bahwa praktek ilmu datang
dalam tiga Tahapan; yaitu:
a. Tahap Pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali dimana tidak ada
konsensus tentang teori apapun. penjelasan Fase ini umumnya
ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap.
Akhirnya salah satu dari teori ini "menang".
b. Normal Science. Seorang ilmuwan yang bekerja dalam fase ini
memiliki teori override (kumpulan teori) yang oleh Kuhn disebut
sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas
ilmuwan adalah rumit, memperluas, dan lebih membenarkan
paradigma. Akhirnya, bagaimanapun, masalah muncul, dan teori
ini diubah dalam ad hoc(khusus) cara untuk mengakomodasi bukti 91 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), Ikhtisar BAB I
91
eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori
asli. Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan
beberapa fenomena atau kelompok daripadanya, dan seseorang
mengusulkan penggantian atau redefinisi dari teori ini.
c. Pergeseran Paradigma, mengantar pada periode baru ilmu
pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang
ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-
teori baru menggantikan yang lama.
2) Anomali Munculnya Penemuan Sains
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing,
melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang
berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan
anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara
telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang
menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan
eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali.
Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah
disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang
diharapkan. Jadi, intinya bahwa dalam penemuan baru harus ada
penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Dari teori ini
Thomas Kuhn memberikan definisi yang berbeda antara discovery
dan invention, yang dimaksud discovery adalah kebaruan faktual
(penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan)
yang mana keduanya saling terjalin erat satu sama lain.
92
3) Revolusi Sebagai Perubahan Pandangan Atas Dunia
Para sejarahwan menyatakan bahwa jika paradigm-paradigma
berubah, maka dunia sendiri berubah bersamanya, dengan hal
tersebut para ilmuwan mengunakan pedoman-pedoman yang baru
dan menoleh ke tempat-tempat atau lokasi yang baru. Yang lebih
tinggi lagi atau lebih luas dan ini akan menjadikan pandangannya
yang asing. Perubahan-perubahan seperti ini ternyata begitu
berpengaruh. Disini yang perlu diperhatikan yaitu selama proses
revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan
ketika menggunakan instrument-instrument yang sangat
dikenalnya untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya.
Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke
daerah lain dimana objek-objek yang sangat dikenal sebelumnya
tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan
objek-objek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuwan atau
sebagian kecil ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma yang
baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada
paradigma yang telah dibongkar yang sudah tidak mendapat
legitimasi dari masyarakat sains, maka aktifitas-aktifitas risetnya
hanya merupakan taitologi yang tidak nermanfaat sama sekali.
Inilah yang dinamakan perlunya revolusi ilmiah. Menurut Kuhn,
secara manusiawi maka seseorang tidak akan mau untuk
menjatuhkan teori yang dibangunnya sendiri, tetapi justru akan
mempertahankannya sehingga munculah silang pendapat dan
polemik. karena teori itu bukan dilemahkan oleh fakta-fakta.
93
Setelah suatu revolusi sains, banyak pengukuran dan
manipulasi yang lama menjadi tidak relevan dan diganti dengan
yang lain. Akan tetapi, perubahan-perubahan seperti ini tidak
menyeluruh. Apapun yang kemudian dapat dilihatnya, yang
dipandang oleh ilmuwan setelah revolusi masih tetap dunia itu
juga. Selain itu, meskipun ia telah menggunakan mereka dengan
cara yang berbeda, banyak dari bahasanya dan sebagian besar dari
instrumen tempat penelitiannya masih sama dengan sebelumya.
Akibatnya pada waktu revolusinya, tanpa kecuali, mencakup
banyak manipulasi yang sama, di selanggarakan dengan instrumrn-
instrumen yang sama , dan dilukiskan dengan peristilahan yang
sama dengan pendahulunya dari masa sebelum revolusi. Jika
manipulasi-manipulasi yang kekal ini telah berubah semuannya,
maka perubahan ini harus terdapat pada hubungan mereka dengan
paradigma atau pada hasil-hasil mereka yang kongkret.
4) Pemecahan Revolusi
Bahwa kita sudah melihat beberapa alasan mengapa para
pendukung paradigm yang bersaingan mesti gagal dalam membuat
bentuk yang lengkap dan sesuai dengan sentral satu sama yang
lain. Secara kolektif alasan-alasan ini telah digambarkan sebagai
tradisi-tradisi sains normal sebelum dan pada saat revolusi yang
tidak dapat di bandingkan. Pertama-tama para pendukung
paradigm akan berkompentisi akan sering tidak sepakat tentang
daftar masalah yang harus dipecahkan oleh setiap calon paradigm.
94
Standarnya mereka dalam paradigmanya tidak sama, sebagai
contoh: misalnya mengenai perdebatan antara pendukung
Aristoteles dengan pendukung Galileo dalam melihat benda
berayun. Aristoteles membuat teori bahwa benda berayun itu
hanyalah jatuh dengan kesulitan karena tertahan oleh rantai.
Sedang Galileo memandang benda yang berayun itu dari sisi
pendulumnya. Bagaimanapun, yang terlibat lebih dari pada tidak
bisa dibanding-bandingkannya standar-standar. Karena paradigm-
paradigma baru dilahirkan dari yang lama, mereka biasanya
menggunakan banyak kosakata dan peralatan, baik konseptual
maupun manipulative, yang sebelumnya telah digunakan oleh
paradigm-paradigma tradisional. akan tetapi mereka, jarang
menggunakan unsur-unsur pinjaman ini dengan cara yang benar-
benar tradisional. Dalam paradigm yang baru, istilah, konsep, dan
eksperimen lama masuk kedalam hubungan-hubungan baru satu
sama lain.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar baku melainkan
hanyalah menyesuaikan diri terhadap persetujuan masyarakat.
Adanya revolusi sains dengan berbagai teori argumentatifnya akan
membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan
paradigma atau munculnya paradigma baru sebagai akibat dari
revolusi sains tiada lain hanyalah sebuah konsensus atau
kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan
95
akademisi atau masyarakat itu sendiri. Sejauh mana paradigma
baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka disitulah
revolusi sains (revolusi ilmiah) akan terwujud.
2. Kerangka Konsep
a) Konsep Rechtsstaat
Secara istilah kata “Negara Hukum” dalam kepustakaan Indonesia
hak asasi manusia selalu dipadankan dengan istilah-istilah asing antara
lain “Rechtsstaat”, “etat de droit”, “The State in according to law”,
”Legal state” and “The rule of law”. Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 digunakan istilah rechtsstaat diantara dua kurung setelah
kata “Negara Berdasarkan Atas Hukum”. Setelah amandemen ke 4
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, oleh Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”. Notohamidjojo menuliskannya dengan
sebutan “Negara Hukum atau Rechtsstaat”92. Sedangkan Muh. Yamin
menuliskannya dengan “Republik Indonesia ialah Negara Hukum
(rechtsstaat, government of law)”93. Dari istilah yang digunakan oleh
kedua ahli tersebut, sulit untuk menghilangkan nuansa rechtsstaat dari
pengertian istilah “Negara Hukum”. Sunaryati Hartono, menyamakan
arti istilah “Negara Hukum” dengan rule of law, sebagaimana terlihat
dalam tulisannya : “… Supaya tercipta suatu Negara hukum yang
92 Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 27
93 Moh. Yamin,Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 72
96
membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan
The rule of law itu harus dalam arti materiel”.94
Seiring dengan pencetusan gagasan demokrasi, gagasan Negara
hukum juga terbentuk dari sikap perlawanan (antithesis) terhadap
pemerintahan absolute. Gerakan dan pemikiran dimulai oleh beberapa
ahli pikir ketika itu, yang antara lain melahirkan Reformasi,
Renaissance, Hukum Kodrat, Aufklarung95, kaum bourgeoisiedan
kaum monarchomachen.
Immanuel Kant (1724-1804) melalui bukunnya Methapysische
Ansfangsgrunde der Rechtlehre mengemukakan konsep negara hukum
liberal.96Ditambahkan bahwa kekuasaan negara sedapat mungkin di
jauhkan dari masyarakat. Negara hanya ditugaskan sebagai penjamin
keterlibatan dan keamanan masyarakat, sedangkan penyelenggaraan
perekonomian dan kemasyarakatan diserahkan kepada masyarakat
sendiri berdasarkan persaingan bebas Iaissez faire, laissez passer.97
Sehubungan dengan konsep ini Sudargo Gautamamengemukakan :
“Negara hanya mempunyai tugas yang pasif yakni untuk hanya
94 Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung, hlm. 35.95 Rukwana Amawinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat
dan Berkumpul Dalam Pasal 26 UUD 1945. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung, 1986, hlm. 78.
96 Harold H. Titus et al …, , Living Issues In Philosophy, Alih Bahasa H.M Rasyid, Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 151.
97 Tahir Azhary, 1992,Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Medinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 66.
97
bertindak, apabila hak-hak asasi dari pada rakyatnya berada dalam
bahaya atau ketertiban umum dan keamanan masyarakat terancam”.98
Dalam suasana alam pikiran negara hukum liberal, Friederich
Julius Stahldalam bukunya Philosophie des Rechts menyusun unsur-
unsur utama dari negara hukum formal sebagai berikut :
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan
negara harus berdasarkan teori trias politik;
c. Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan atas Undang-
undang(wetmatigheid van bestuur);
d. Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
undang-undang masih melanggar hak asasi (campur tangan
pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada
pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.99
Ide Pemikiran Stahl ditujukan untuk mempertahankan hak-hak
asasi, untuk itu penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar kepada
undang-undang(wetmatigheid van bestuur). Dan agar kekuasaan
negara tidak berada pada satu tangan, harus dibagi menurut teori trias
politika. Selanjutnya apabila pemerintah melanggar hak asasi
seseorang, haruslah ada pengadilan administrasi yang akan
menyelesaikannya.
98 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni Bandung, hlm. 13.
99 Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co. Jakarta, hlm. 151.
98
Perkembangan pemahaman tentang negara hukum terjadi pada
abad ke-20, kedudukan negara sebagai penjaga ketertiban dan
keamanan mulai berubah. Konsepsi nachwachterstaat bergeser
menjadi welvarstaat, yaitu negara menyelenggarakan kesejahteraan
atau yang dikenal juga dengan sebutan verzorgingsstaat100.DeHaan
P.mengemukakan “de moderne staats is niet allen rechtsstaat in de
negentiende eeuwse zin, maar ook verzorgingsstaat of zo men
wilsociale rechtsstaat”.101“Negara modern bukan saja negara hukum
penjaga malam, tetapi juga negara hukum kesejahteraan atau negara
hukum sosial”.
Dengan cara berbeda Bagir Manan mengemukakan bahwa
konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep
negara hukum dan negara kesejahteraan. Dalam konsep ini tugas
negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan
atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggung jawab
mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.102.
Tugas pemerintah telah jauh berkembang dan dengan demikian
banyak urusan kehidupan masyarakat yang harus dikerjakan oleh
pemerintah. Peranan pemerintah yang intervensif memasuki hak asasi
manusia semua segi kehidupan warga masyarakat, pembuat undang-
undang tidak dapat lagi memperkirakan kebutuhan undang-undang
100 Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.PT. Bina Ilmu, Surabaya, Hlm 77.
101 De Haan P. et.al. 1986, BestUndang-undangrech in de Sociale Rechtsstaat, Deel. L, Ontwikkeling, Organisatiate, instrumentarium, Kluwer-Deventer, hlm. 15-16
102 Bagir Manan, 1996, Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, FH UNILA, Bandar Lampung, hlm. 16.
99
dimasa mendatang dan tidak mungkin mengatur segala macam hak,
kewajiban dan kepentingan secara lengkap dalam suatu undang-
undang.103 Karena pendelegasian wewenang pembentukan peraturan
perundang-undangan kepada pemerintah sangat diperlukan dan
pendelegasian bertindak kepada badan pemerintah yang lebih rendah.
Selain itu juga diperlukan adanya kebebasan dalam mengambil
kebijaksanaan, yaitu wewenang yang diberikan kepada pemerintah
untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting
yang mendesak dan belum ada peraturannya, baik untuk mengatur
maupun untuk bertindak.104 Yang lebih dikenal dengan istilah Freies
Ermessen.105
Seiring dengan itu pengertian asas legalitas juga berubah dan
berkembang dari “pemerintah berdasarkan undang–undang”
(wetmatigheid van bestuur) menjadi “pemerintahan berdasarkan atas
hukum” (rechtmatigheid van bestuur). Perubahan ini menunjukkan
terjadinya perubahan nilai, rakyat tidak lagi terlalu konfrontatif
terhadap kekuasaan penguasa dan menganggap pemerintah sebagai
partner untuk mencapai tujuan bersama yaitu kemakmuran. Desakan
mencapai kemakmuran menuntut perubahan pengertian asas legalitas
103 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencaan dan Pelaksanakan Rencana Pembangunan di daerah seta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Desertasi Universitas Padjajaran, Bandung, 1997, hlm. 205.
104 Marbun, S.F, 1977, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm12
105 Sudargo Gautama, op.cit, hlm. 10.
100
yang lebih longgar, menjadi “doel matigheid van bestuur” atau
pemerintahan berdasarkan manfaat.106
Semakin luasnya wewenang yang diberikan kepada pemerintah
dalam negara hukum kesejahteraan tidak menghilangkan sifat sebagai
negara hukum yang sudah dicapai dalam konsep negara hukum liberal.
Dalam suasana sosiale rechtsstaat, Bothlingdalam “De Rechtsstaat
Nederland” sebagaimana disedut Azhary, menyatakan “negara hukum
ialah negara dimana keinginan bebas dari para penguasa dibatasi oleh
batas-batas hukum”.107
Pada suasana negara hukum modern kekuasaan pemerintah
dituntut semakin luas dan luwes. Penerapan tugas-tugas pemerintahan,
terutama pada Freies Ermessen memerlukan tolok ukur hukum yang
lebih luas termasuk hukum tidak tertulis seperti Asas-asas Umum
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) guna
memelihara hak-hak dasar warga dari tindakan pemerintah.
b) Konsep The Rule of Law
Konsep the rule of law awalnya dikembangkan oleh seorang
pemikir berkebangsaan Inggris Albert Venn Dicey melalui karyanya
Introduction toStudy of Law of the Constitution yang diterbitkan
pertama kali tahun 1885. Diceymengemukakan tiga unsur utama the
rule of law yaitu : (a) Supremacy of Law (Supremasi Hukum); (b)
Equality before the law (persamaan dihadapan hukum); (c)
106 Tahir Azhary, 1995,Negara Hukum Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Jakarta, hlm. 56.
107 Azhary, ibid, hlm.54.
101
Constitution based on individual right (konstitusi yang didasarkan
kepada hak-hak perorangan).108
Makna unsur supremasi of law, adalah negara diatur oleh
hukum, seorang hanya dapat dihukum karena melanggar hukum dan
hak kebebasan seorang warga terjamin oleh hukum. Makna dari
equality before the law, adalah semua warga negara dalam
kapasitaspribadi maupun pejabat negara tunduk pada hukum yang
sama (ordinary law) dan diadili oleh pengadilan yang sama (ordinary
court). Perbedaan yang menonjol dari konsep rechtsstaat adalah
bahwa konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan khusus bagi
pejabat publik, sedang pada sistem hukum eropa continental mengenal
badan peradilan khusus bagi pejabat negara dalam mengisi
tindakannya melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan peradilan
administrasi tersendiri dan merupakan suatu ciri spesifik penting yang
menonjol. Constitution based on individual right, konstitusi bukanlah
sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga
membatasi posisi Crown dan aparaturnya.109
Dalam hubungannya dengan supremacy of law, Albert Venn
Dicey menjelaskan sebagai berikut :
“The Absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitary power and
108 Irfan Fachruddin, 2003. Konsekuensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung, hlm.133.
109 Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman, disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 72.
102
excludes the existence of arbitariness of prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the government. Englishmen are rule by the law, and by the law alone, a man may with us can be punished for nothing else”.110
“Supremasi absolute atau keunggulan regular law sebagai
kebalikan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan
adanya kesewenang-wenangan prerogative, ataupun wewenang
diskresi yang luas pada pihak pemerintah. Orang Inggris diatur oleh
hukum, dan hanya oleh hukum, seseorang barangkali dihukum
bersama kami untuk suatu pelanggaran hukum, dia boleh dihukum
tetapi bukan untuk yang lain”.
Lebih lanjut Wade and Philips mengetengahkan tiga unsur the
rule of law, yaitu : (a) the rule of law, adalah suatu pandangan filosofis
barat terhadap masyarakat berkaitan dengan demokrasi menentang
otokrasi. (b) the rule of law merupakan doktrin hukum bahwa
pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum. (c) the rule of
law merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh
dalam peraturan-peraturan hukum substantive dan hukum formal.111
Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan dan
persamaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law. Kedua
konsep itu ditopang oleh sistem hukum yang berbeda. Konsep
rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutism sehingga
bersifat revolusioner, bertumpu pada sistem hukum continental yang
110 Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London, hlm 223.
111 Notohamidjojo,O, Logcit ., hlm. 81-82.
103
disebut“civil law”atau “modern roman law”, dengan karakteristik
administrative. Sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara
revolusioner bertumpu pada sistem hukum“common law” dengan
karakteristik judicial.112 Perbedaan itu sekarang sudah tidak
dipermasalahkan lagi, karena keduanya menuju pada sasaran yang
sama, yaitu jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
c) Konsep Negara Hukum Indonesia
Konstitutional Indonesia merupakan sebuah pernyataan bahwa
Indonesia sebagai Negara hukum telah ada sejak masa periode pertama
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan dalam angka 1 tentang sistem Pemerintahan
Negara: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat)”. Berikutnya dijelaskan tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat)”. Dalam konstitusi RIS 1949 dan Undang-
Undang Dasar 1950 dinyatakan : “Negara hukum Indonesia yang
berdaulat sempurna”. Pasal 1 ayat (1) konstitusi Republik Indonesia
Serikat 1949 menegaskan kembali : “… negara hukum yang demokrasi
dan berbentuk kesatuan”. Setelah kembali berlakunya Undang-Undang
Dasar 1945, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum dalam
penjelasan pada angka 1 tentang sistem pemerintahan negara berlaku
kembali. Pernyataan mana pada amandemen ketiga Undang-Undang
112 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.72.
104
Dasar 1945 tahun 2001 ditegaskan dalam batang tubuh, yaitu Pasal 1
ayat (3) dengan menggunakan istilah “negara hukum”.
Secara teoritis, pengertian yang mendasar dari “negara hukum”
sebagaimana yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah
kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk kepada
hukum.113
Lebih lanjut Indroharto merumuskan :
“… tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya”.114
Sedangkan Philipus M. Hadjonmengemukakan bahwa negara
hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan
pemerintah dan rakyat; (b) hubungan fungsional dan proporsional
antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui
musyawarah dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) keseimbangan
antara hak dan kewajiban.115
Lebih lanjut kekuasaan dan susunan badan-badan
penyelenggaraan oleh Undang-Undang Dasar 1945 diselenggarakan
menurut Undang-undang Dasar atau undang-undang. Sesudah
amandemen keempat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah
113 Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang,Makalah,Jakarta, hlm.1.
114 Indroharto (II), Op. Cit., hlm. 83.115 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.85
105
yang dipilih melalui pemilihan umum dan teratur lebih lanjut dengan
undang-undang”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang tidak ada perubahan dalam amandemen menyatakan:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945 (sebelum amandemen) menetapkan :
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil116
dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang…” setelah amandemen kedua Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan: “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang”. Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah117 provinsi, pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
116 Ni’matul Huda, 2005, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 20. Daerah kecil diartikan sebagai pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pemerintahan Daerah hanya ada pemerintahan otonomi (termasuk tugas pembantuan). Prinsip Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 telah sesuai dengan gagasan daerah membentuk Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis.
117 Pemerintahan Daerah indentik dengan otonomi daerah. Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Lihat: Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal. 128.
106
daerah”. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditetapkan dengan
Undang-undang”. Setelah amandemen kedua oleh Pasal 19 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 detetapkan: “Susunan Dewan Perwakilan
Rakyat diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya Pasal 22C ayat (4)
menentukan “Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
diatur dengan undang-undang”. Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 mengatur: “… Badan Pemeriksa Keuangan, yang
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah amandemen
ketiga Pasal 23G ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur :
“Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan undang-undang”. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 mengatakan: “Susunan dan kedudukan badan-badan
kehakiman118 itu diatur dengan undang-undang”. Setelah amandemen
keempat Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan :
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”. Pasal 24A ayat (5) Undang-
Undang Dasar 1945 mengatur: “Susunan, kedudukan, keanggotaan dan
hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang”. Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 mengatakan: “susunan, kedudukan, keanggotaan Komisi
Yudisial diatur dengan undang-undang”. Pasal 24C Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
118 Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
107
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar”. Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: “Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi
diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan pendapat para sarjana dan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta uraian diatas, tidak dapat lain
yang dapat ditangkap bahwa negara Indonesia memiliki ciri negara
hukum pada umumnya. Pemerintah memperoleh kekuasaan dari
hukum dan menjalankan kekuasaan itu menurut hukum dan kekuasaan
juga dibatasi oleh hukum. Hal ini mirip supremacy of law dalam
konsep the rule of law dan asas legalitas atau wetmatigheid van
bestuurr yang kemudian berubah menjadi rechtmatigheid van bestuur
dalam konsep rechtsstaat.Perbedaan yang paling asasi dari negara
hukum Indonesia hanya terletak pada dasar bertumpu yaitu
“Keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat”.119Indonesia
disebut dengan istilah negara hukum Pancasila. Pancasila itu adalah
asas atau “guiding principle” dalam menegara di Indonesia. Sebagai
asas menegara, Pancasila dapat dikatakan sebagai Ideologi Negara.
Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang
fundamental. Dengan demikian, sebagai guiding principle, Pancasila
itu adalah norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan
dan putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan
ekonomi.120
119 Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 145.120 Bambang Priyambodo, Op.Cit, hlm. 77-78.
108
Sebagaimana penguraian yang telah dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan, bahwa proses perumusan Pancasila adalah hasil usaha
para pemimpin pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar
atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta
menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional.
Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan
dan konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan
politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai “guiding
principle”. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam
Undang-undang Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai
kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan
kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai
oleh Pancasila.121
Tampak bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak
dibuat berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan
politik sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak
berdasarkan dan tidak dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh
John Locke, Rousseau, Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir
barat lain yang lebih kemudian. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
oleh para pembentuknya secara sadar disusun berdasarkan suatu
falsafah yang berbeda dengan falsafah yang melandasi dan menjiwai
undang-undang dasar yang ditemukan di dunia barat (Amerika, Eropa,
121 Ibid.
109
Australia, dan lain-lain) dan di negara-negara lain yang dipengaruhi
oleh dunia pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dibaca, dipahamidan
diimplementasikan berdasarkan dari dalam semangat Pancasila.122
d) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan sebagai
pelaksana peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dilakukan
oleh hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum yang
diajukan ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini
merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam sebuah negara
yang berpredikat negara hukum123.
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:
Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, diretiva dan rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial dalam hal-hal yang diizinkan Undang-Undang….
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudial tidaklah mutlak sifatnya karena tugas hukum adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan keadaan bangsa dan rakyat Indonesia.
Montesquie mengemukakan4 pentingnya kekuasaan yudikatif
karena kekuasaan Kehakiman yang independen akan menjamin
122 Ibid.123 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta,
Jakarta, 1984, hal 191-192
110
kebebasan individu dan hak asasi manusia. Prinsip persamaan di
muka hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep rule of
law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:
Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak
dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan eksekutif. Jika
kekusaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan legislatif, kekuasaan
atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan
sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum. Jika
kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan eksekutif, hakim
bisa menjadi penindas, yang perlu digarisbawahi adalah kemandirian
kekuasaan Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi
juga kemandirian dalam proses peradilan yang diindikasikan dari
proses pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada vonis yang
dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai
oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman.124
Kemandirian hakim sangat penting adanya karena hakim secara
fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat
dilihat dari kemampuan hakim menjaga integritas moral dan komitmen
kebebasan profesinya dalam menjalankan amanat adanya campur
tangan pihak lain dalam proses peradilan. Namun yang perlu juga
124 Andi. M. Nasrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta , 2004, hal 32
111
dipahami bahwa jaminan independensi kekuasaan Kehakiman bukan
berarti tidak boleh ada pihak selain dari lembaga peradilan untuk
mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan hakim dan peradilan.7
Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 pasca
amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”.125
Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dapat diartikan pada
suatu kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang
kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang
merdeka juga berarti bebas dari campur tangan pemerintah atau badan
negara yang lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi
penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.126
Mengenai hal ini secara eksplisit telah di amanatkan dalam BAB I
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa
kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri dan terlepas dari
kekuasaan pemerintah, sehingga dipandang perlu melaksanakan
pemisahan tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
125 Ibid126 Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hal 34
112
1) Mahkamah Agung
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai
berikut : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Dari rumusan pasal tersebut Mahkamah Agung bukanlah
satu- satunya pelaku kekuasaan Kehakiman, namun demikian tugas
dan kewenangan Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung memiliki posisi strategis terutama di
bidang hukum dan ketatanegaraan yang diformat :
a. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan;
b. Mengadili pada tingkat kasasi;
c. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang
d. Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang.
Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung diatur tersendiri
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan ke-II
Undang-Undang ini, yang selanjutnya merubah substansi undang-
undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor l4 Tahun 1985.
Perubahan tersebut disamping guna disesuaikan dengan arah kebijakan
113
yang telah ditetapkan dalam Amandemen Undang-Undang Dasar
1945, juga didasarkan atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-Undang
Mahkamah Agung adalah mengenai bertambahnya ruang lingkup
tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung meliputi bidang
pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi dan
finansial badan peradilan yang dikenal sebagai penyatuan atap
lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. Penyatuan atap merupakan
pembaharuan pengelolaan administrasi umum peradilan yang meliputi
keuangan dan ketenagaan sehingga terjadi perubahan paradigma
manajemen keorganisasian.
Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan reformasi di
bidang hukum, namun penyatuan atap berpotensi menimbulkan
monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab setiap
kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan atau
dilaksanakan dengan melampaui wewenang. Untuk itulah perlu ada
jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik terhadap para pencari
keadilan maupun terhadap subyek yang dituntut melalui mekanisme
pengawasan.
2) Kewenangan Pengawasan oleh Mahkamah Agung
Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah
fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 48
114
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu dalam Bab VI Pasal 39
ayat (1) yang dinyatakan bahwa: “Pengawasan Tertinggi pada semua
badan Peradilan dibawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung”
berdasarkan ketentuan Undang- Undang”. Pelaksanaan pengawasan
juga bersandar pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang menyatakan sebagai berikut :
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
tugasnya.
c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dan semua
lingkungan peradilan.
d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran atau
peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua
lingkungan peradilan.
Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut tidak
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara. Dari ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang harus diawasi
oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechstsgang)
115
dengan tujuan agar jalannya peradilan dapat diselenggarakan oleh
pejabat pengadilan dengan seksama dan sewajarnya.
Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi jalannya peradilan,
namun demikian Mahkamah Agung dapat mendelegasikan
kewenangannya pada pengadilan tingkat banding berdasarkan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian kewenangan
pengawasan tersebut. Didalam praktek selama ini Mahkamah Agung
dalam melaksanakan pengawasan telah mendelegasikan kepada para
ketua Pengadilan Tinggi disemua lingkungan peradilan.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan
(library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif
mencakup lima macam penelitian, yaitu penelitian terhadap asas-asas
hukum, penelitian terhadap sisitematika hukum, penelitian terhadap
taraf sinkronisasi hukum, penelitian perbandingan hukum dan
penelitian sejarah hukum, Negara Indonesia adalah Penganut sistem
116
Hukum Civil law atau Eropa Kontinental berbeda dengan Negara
Singapura, karena itu penelitian ini menggunakan perbandingan dengan
Judex Juris Lembaga Hukum Tertinggi di Negara yang bersistem
Common law atau Anglo Saxon.
Proses ilmiah ini mengikuti pedoman Metode Penelitian Ilmu
Hukum Normatif amat berbeda dalam proses ilmiahnya dengan
disiplin-disiplin ilmu lain seperti misalnya dengan ilmu-ilmu sosial.
Ciri-ciri utama dari Metode Penelitian Hukum Normatif ini ialah:127
1) Deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif;
2) Tahap penelitian: Penelitian kepustakaan, data yang dicari adalah
data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer,
sekunder, tersier, dan lain-lain;
3) Konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi landasan
teoritikal penelitian mengacu pada kaidah hukum yang ada dan
berlaku pada ajaran hukum (dan pakar hukum yang terkemuka);
4) Jarang menampilkan hipotesis;
5) Analisis data dilakukan secara kualitatif artinya tanpa menggunakan
angka, rumus statistik, dan matematik.
Penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah penelitian hukum
normatif didukung dengan hasil putusan Mahkamah Agung dan
wawancara dengan aparatur Mahkamah Agung. Penelitian ini pada
hakekatnya hendak mencari model pengambilan keputusan yang paling
127 Lili Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum , Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung, 2011, hlm. 5-11
117
ideal yang dilakukan oleh Lembaga Hukum Tertinggi yakni Mahkamah
Agung dengan paradigma yang tidak terikat dengan Undang-Undang
sebagai hukum formil.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum (perundang-
undangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan referensi khusus
(jurnal, laporan penelitian).
b. Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa terhadap putusan
Mahkamah Agung yang tidak terikat oleh undang-Undang dan
meresponden dari para hakim untuk mengetahui kelebihan maupun
kekurangan jika diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi
dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini digunakan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten. “Dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data
yang telah dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan
analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan
selanjutnya diolah”.128
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data primer
dan data sekunder, sebagai berikut:
128 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 1.
118
a. Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya secara
langsung. Data ini dilakukan dengan cara wawancara terhadap
responden.
b. Data sekunder yakni berupa:
1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun
undang-Undang Mahkamah Agung dan lainnya yang berkaitan
dengan Mahkamah Agung
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil
penelitian para ahli, hasil-hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah,
dan sebagainya.
3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi
petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,
karya ilmiah maupun Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain
sebagainya.129
4. Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan
penelitian di lapangan tentang Sistem Peradilan menyangkut upaya
129 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1985), hal. 45
119
Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus tanpa terikat
dengan Undang-Undang hukum positif, dikaitkan dengan teori hukum
Paradigma Shift dari Thomas S. Khun dan Sartjipto Raharjo.
Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dijadikan sebagai
pegangan untuk diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian
untuk memperoleh hasil dari penelitian dan perubahan yag menjadi
penyebab untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif
artinya data yang bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian ditarik
kesimpulan yang bersifat umum.
G. Orisinalitas Penulisan
Penelitian ini merupakan satu-satunya penelitian di Indonesia pada
Program Doktor Ilmu Hukum yang mengkaji tentang Kewenangan
Mahkamah Agung sebagai Judec Juris dalam menilai fakta untuk
mewujudkan keadilan.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian dalam tahap Seminar Kemajuan Penelitian ini
menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
120
BAB II. Mahkamah Agung dalam Historikal, tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung, hak dan kewajiban Mahkamah Agung,
serta kode etik Mahkamah Agung.
BAB III. Pengaturan tentang Mahkamah Agung, pemaparan hasil
penelitian berdasarkan penerapan metode penelitian dari
konsistensi Mahkamah Agung menerapkan keadilan berkaitan
dengan urgensi Mahkamah Agung, komentar atas upaya
Mahkamah Agung mewujudkan keadilan dari hasil putusan
yang melebihi kewenangan Mahkamah Agung.
BAB IV. Pembahasan diantaranya mengenai, kewenangan Mahkamah
Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judec Juris menurut
kajian hukum normatif dan Filosofis, selanjutnya dapatkah
Upaya Transformatif Konsep yang diterapkan Mahkamah
Agung sebagai Judec Juris dalam mewujudkan keadilan.
BAB V. Penutup berisi uraian Kesimpulan dan Rekomendasi.
121