Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT
KEAGAMAAN NON MUSLIM
(Analisis Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S. H)
Oleh :
SITI RAHMILAH ISNAENI
NIM: 1110043100028
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2017 M/1438 H
iv
ABSTRAK
Siti Rahmilah Isnaeni, NIM: 1110043100028, Hukum Menggunakan Atribut
Keagamaan Non Muslim (Analisis Fatwa MUI No 56 Tahun 2016), program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1438 H/2017 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai proses istinbat
Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan fatwa no 56 tahun 2016 tentang hukum
menggunakan atribut keagamaan non muslim dimana MUI memberikan ketentuan
hukum yaitu haramnya menggunakan atribut keagamaan non muslim, serta haram
pula mengajak dan memerintahkan menggunakan atribut keagamaan non muslim.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data yang berasal dari buku-buku
referensi dan naskah-naskah yang berkaitan dengan aribut keagamaan non muslim.
Yaitu menggunakan kitab-kitab primer yang berhubungan dengan penelitian ini,
seperti kitab fiqh, dan buku-buku skunder lainnya, internet dan media informasi
lainnya..
Hasil penelitian mengenai fatwa tersebut bahwa ditujukan kepada umat Islam
dan menjaga akidah dan keyakinannya, serta melarang pihak manapun untuk
mengajak atau memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut
keagamaaan non muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan
keyakinannya.
Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
Atep Abdurofiq, M.Si
Daftar Pustaka : Tahun 1992 s.d. Tahun 2016
vi
لرحيمٱنم لرح ٱللٱمبس
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa Allah
SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT
KEAGAMAAN NON MUSLIM (Analisis Fatwa MUI No 56 Tahun 2016). Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.
Selama penulisan skripsi ini peneliti banyak kesulitan dan hambatan untuk
mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari
berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu peneliti
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum dan Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA, sebagai Sekretaris Program
vii
Studi Perbandingan Mazhab Hukum yang telah banyak memberi arahan, saran
serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan bapak Atep Abdurofiq, M.Si
pembimbing skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag, yang telah
menjadikan bagian dari Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dalam
masa jabatan sebelum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum periode
baru.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,
semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.
6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik
dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.
7. Keluarga tercinta terutama kepada kedua orang tua tercinta ayahanda (Saut
Sofyan), ibunda (Tati Sarwijati), Suami (Rahmatullah) dan anak tercinta (Arkan
Sa’id Khalfani) dan seluruh keluarga besar yang tiada pernah berhenti untuk
selalu berdoa serta memberi nasihat dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi
ini selesai.
8. Teman-teman seperjuangan, Humairoh, Restu, Latifah, Azis, Muhtadin, Fika
Hilman, Ida, Rizky dan seluruh sahabat PMH angkatan 2010 yang selalu
viii
memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada penulis. Terima
kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka.
Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah terlupakan.
9. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa
sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan yang telah
diberikan dengan balasan yang berlipat ganda.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa
meridhai setiap langkah kita. Amin
Jakarta, 07 Juni 2017 M
12 Ramadhan1438 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Review Study Terdahulu ............................................................. 7
E. Metode Penelitian ........................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 9
BAB II: TASYABBUH
A. Larangan Tasyabbuh Dalam Islam .............................................. 11
B. Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Hadits ................................................ 15
C. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non Muslim ................................. 18
D. Bentuk-Bentuk Tasyabbuh .......................................................... 20
BAB III : METODE ISTINBAT FATWA MUI NO 56 TAHUN 2016
A. Profil Majelis Ulama Indonesia... ................................................ 26
B. Metode Istinbat MUI Dalam Menetapkan Fatwa ... .................... 34
C. Fatwa MUI No 56 Tahun 2016... ................................................ 37
x
BAB IV : ANALISIS FATWA MUI MENGENAI HUKUM
MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM
Analisis Istinbat Hukum Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 .............. 49
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 56
B. Saran-saran .................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah merupakan konsekuensi hidup manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah. Manusia ditakdirkan makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kelebihan
akal dari makhluk lainnya. Kenyataannya, manusia tidak selalu menggunakan akal
sehatnya, bahkan ia lebih sering dikuasai nafsunya, sehingga ia sering terjerumus
ke dalam apa yang disebut dehumanisasi, yaitu proses yang menyebabkan
kerusakan, hilang, atau merosotnya nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah perlunya
agama bagi manusia.1
Kehidupan beragama tidak terlepas dari pemenuhan spiritual yang telah
diajarkan oleh setiap agama. Setiap umat beragama dituntut untuk melaksanakan
ibadah tersebut sebagai nilai keluhuran rohani dan tingkat pengabdiannya kepada
Tuhan. Pengamalan spriritual tersebut meliputi aspek eksoteris dan esoteris.
Dalam aspek eksoteris, setiap agama memiliki cara atau bentuk jasmaniah yang
dapat diamati di dalam praktek upacara ritual yang dilakukan masing-masing
agama. Sedangkan dalam aspek esoteris, setiap agama memiliki substansi yang
sama, yakni hubungan yang bersifat rahasia antara seorang hamba dengan
1Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2008), h. 5.
2
Tuhannya. Aspek esoteris dalam setiap agama memiiliki kesamaan rohaniah
mengenai ajaran kecintaan terhadap Tuhan.2
Adanya keberagaman alam dan keberagaman ciptaan-ciptaan Allah yang
cukup banyak, menjadi saksi adanya Sang Pencipta, yaitu Allah Swt, karena tidak
ada dzat yang berani mengaku telah menciptakan dan mengadakan dunia ini selain
Allah Swt. Sebagaimana akal manusia yang memustahilkan adanya sesuatu tanpa
ada yang menciptakannya. Bahkan ia juga memustahilkan adanya sesuatu yang
paling remeh tanpa ada yang mengadakan.3
Para pemimpin Islam sendiri, khususnya para ulama dan mubaligh,
seringkali mengemukakan bahwa Islam agama yang toleran, yang menghargai
agama-agama lain. Banyak dukungan ajaran untuk pandangan serupa itu. Yang
amat diperlukan sekarang ialah sosialisasi pandangan itu sehingga diketahui,
dimengerti dan dihayati serta diamalkan oleh semua lapisan umat Islam. Sekalipun
ajaran lebih berat sebagai keharusan (yang dalam banyak hal pelaksanaannya akan
sangat tergantung kepada kenyataan), namun kesadaran mengenai hal itu tentu
akan menghasilkan tindakan yang berbeda daripada jika orang tidak
menyadarinya.4
2Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin :Tashawwuf dan Taqarrub,
(Jakarta: Atisa, 1992), h.184.
3Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,
Penerjemah: Andi Subarkah, (Solo: Insan Kamil, 2008), h .6.
4M. Quraish Shihab, Kerukunan Beragama Dari Perspektif Negara, HAM, Dan Agama-
agama, (Jakarta:PT.MUI,1996,), h. 47.
3
Toleransi dalam pergaulan antar umat beragama berpangkal dari penghayatan
ajaran agama masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama sikap toleransi
harus dikembangkan untuk menghindari konflik. Biasanya konflik antar umat
beragama disebabkan oleh sikap merasa paling benar dengan cara mengeliminasi
kebenaran orang lain. Sikap kaum muslim kepada penganut agama lain jelas,
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan
tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalankan hubungan
kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka.
Islam sama sekali tidak melarang orang Islam memberikan bantuan kepada siapapun
selama mereka tidak memusuhi orang Islam, tidak melecehkan simbol-simbol
keagamaan mereka atau mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Kaum
muslimin diwajibkan oleh Al-Qur’an melindungi rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang non-muslim. Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin
diperintahkan agar bersikap toleran. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya
terbatas pada urusan yang bersifat duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah,
syariah, dan ibadah.
Kerjasama yang baik antara muslim dan non-muslim itu telah dibuktikan dan
ditulis dalam sejarah dengan sangat jelas. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
melakukan hubungan sosial dengan non-muslim seperti Waroqah bin Naufal yang
beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragama Yahudi, bahkan
Nabi sendiri pernah meminta suaka politik dengan menyuruh sahabat untuk berhijrah
4
meminta perlindungan kepada Raja Najasyi (Nigos) dari Habsyah yang beragama
Nasrani. Imam Bukhari menceritakan dari Anas: “ketika Nabi wafat, baju beliau
masih digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal beliau
bisa meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukannya untuk
mengajarkan kepada umatnya bahwa kerjasama dengan orang-orang non-muslim
adalah sikap dan pandangan Islam. Yusuf Qaradhawi lebih lanjut menceritakan
bahwa Nabi menerima hadiah-hadiah dari orang-orang non-muslim, meminta
pertolongan dari mereka baik dalam situasi aman maupun perang melawan musuh,
sepanjang hal itu dilakukan dalam kerangka semata-mata membantu dan bukan untuk
tujuan lain yang merugikan dan membahayakan.
Kemudian berkelanjutan pada masa sesudah Nabi Muhammad selama
berabad-abad lamanya, tanpa ada perasaan risih dan beban psikologis sedikitpun, dan
menemui masa suram setelah terjadinya Perang Salib sampai dewasa ini dengan
terjadinya konflik antar agama yang seharusnya tidak terjadi. Seperti kita ketahui
bahwa fenomena keberagamaan masyarakat muslim akhir-akhir ini memperlihatkan
citra anti keragaman dan anti kebebasan. Mereka menyudutkan dan menuduh
sekelompok masyarakat muslim lain yang tengah memperjuangkan kebebasan dan
toleransi sebagaimana yang diajarkan Islam. Mereka menganggapnya sebagai kaum
sekularis dan agen Barat yang kafir. Meskipun Islam adalah agama misi, namun tetap
menekankan sikap toleran dan persebaran Islam. Islam melarang sikap permusuhan
5
dan menebar kebencian di antara manusia. Cara-cara kekerasan dan kebatilan dalam
berdakwah justru akan merendahkan citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. 5
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum
menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Fatwa bernomor 56 Tahun 2016 yang
dikeluarkan Rabu, 14 Desember 2016 ini ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa
MUI Prof Dr Hasanuddin AF, MA dan Sekretaris Dr Asrorun Ni'am Sholeh,
MA. Ada dua ketentuan hukum yang menjadi kesimpulan dalam fatwa MUI ini.
Pertama, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram. Kedua,
mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim
adalah haram. Disebutkan, latar belakang keluarnya fatwa ini adalah adanya
fenomena di masyarakat di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam,
sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut
dan/atau simbol keagamaan non muslim yang berdampak pada siar keagamaan
mereka.6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada penelitian ini penulis akan membatasi pembahasan hanya beberapa pendapat
ulama Mazhab (diantara banyak mazhab yang ada) tentang Tasyabbuh yang terdapat
5 Abdul Azis, Kerukunan Beragama Sebagai Jalan Hidup Modern Tinjauan Sosiologis,
(Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h.183.
6 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses
pada 14 April 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-
muslim.html.
6
kontradiktif didalamnya. Untuk mempermudah pembahasan masalah di atas, penulis
kemudian merumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut :
Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa
no 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan peneliti adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan
fatwa no 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim.
Dari uraian penelitian diatas diharapkan memberi manfaat sebagaimana berikut:
a. Manfaat teoritis
1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang
hukum Islam.
2. Penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pemahaman terhadap
masalah yang diteliti.
b. Manfaat praktis
1. Untuk memberikan kebijakan dan keputusan mengenai atribut keagamaan
non muslim.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan sebagai bahan
kajian dan perbandingan bagi para mahasiswa syari’ah khususnya yang
tertarik mengkaji tentang tinjauan hukum menggunakan atribut keagamaan
non muslim..
7
D. Review Studi Terdahulu
Dalam karya ilmiah ini, penulis menemukan data yang berhubungan dengan
bahasan hukum menggunakan atribut non muslim. Untuk menentukan arah
pembahasan dalam skripsi ini penulis menelaah yang pernah membahas tentang judul
yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi.
1. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Toleransi Antar Umat Beragama
(Telaah terhadap Fatwa MUI dalam Perayaan Natal Bersama) ” oleh Nur
Hafidhotun Ni’mah, 131410000111 Tahun 2015. Dalam skripsi ini
membahas mengenai analisis fatwa MUI dalam perayaan natal besama.
Sedangkan penulis membahas analisis fatwa MUI mengenai hukum
menggunakan atribut keagamaan non muslim.
2. “Hukum Merayakan Ibadah Non Muslim” oleh Muhammad Irsyad Noor,
111004310003 Tahun 2015. Dalam skripsi ini membahas mengenai hukum
dari merayakan ibadah non muslim. Sedangkan penulis membahas
mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim
berdasarkan fatwa MUI.
3. “Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Aborsi Akibat Pemerkosaan” oleh Andi Mutia Pilka, 10721000095 Tahun
2012. Dalam skripsi ini membahas mengenai analisis fatwa MUI mengenai
hukum aborsi akibat perkosaan. Sedangkan penulis membahas analisis
fatwa MUI mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim.
8
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis teliti adalah penelitian deskripsi dari obyek-
obyek yang diamati dengan situasi yang telah diteliti. Penulisan skripsi ini
berdasarkan peta suatu penelitian melalui studi kepustakaan (Library Research)
yang relevan dengan pokok-pokok permasalahan dan diupayakan jalan
pemecahannya. Agar skripsi ini memenuhi kriteria karya tulis ilmiah yang
bermutu dan mengarah pada obyek kajian yang sesuai dengan metode
pendekatan, maka dalam melakukan penelitian penulis menggunakan metode
pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut:7
2. Sumber Data
a. Sumber data primer
Dalam penelitian ini yang menjadi data primernya adalah fatwa MUI
nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non
muslim
b. Sumber data sekunder
Sedangkan data sekundernya adalah diperoleh dari buku-buku yang
relevan dengan kajian ini seperti dalam buku fiqih, artikel dan sebagainya.
7 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 5
9
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini bersifat kepustakaan maka metode pokok yang
penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode dokumentasi, yaitu
mengumpulkan dan menelusuri buku-buku dan tulisan yang relevan dengan tema
kajian ini.
4. Analisis Data
Analisis data dalam skripsi ini penulis menggunakan analisis kualitatif
dengan metode deskriptif analisis.8 Setelah data terkumpul dan penulis kaji
kemudian penulis menganalisisnya dengan pendekatan normatif yakni al-Qur’an
dan al-Hadits serta pendapat para fuqoha.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta terbitan tahun 2015
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas serta mempermudah
pembahasan,secara global dalam skripsi ini, penulis membagi menjadi lima bab,
untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut.
8 Suharsimi Arikunto, Suatu Pendekatan Praktek Penelitian, (Yogyakarta: Cipta, tth,) h. 206.
10
Bab I Pendahuluan, dalam bab pendahuluan ini penulis menerangkan latar
belakang masalah pokok permasalahan, manfaat dan tujuan penulisan skripsi,
metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
Bab dua berisi tinjauan umum tentang tasyabbuh, dasar-dasar tasyabbuh
kemudian hukum tasyabbuh dan bentuk-bentuk tasyabbuh.
Bab tiga berisi tentang, profil MUI dan metode istinbat hukum MUI dalam
menetapkan nomor fatwa 56 tahun 2016
Bab empat berisi analisis metode istinbat hukum fatwa mengenai hukum
menggunakan atribut keagamaan non muslim.
Pada bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-
saran.
11
BAB II
TASYABBUH
A. Larangan Tasyabbuh dalam Islam
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti
meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih
berarti peniruan dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa)1. Dikatakan artinya
serupa dengannya, meniru, dan mengikutinya.
Bagi al-Munawi, tasyabbuh bermaksud berhias seperti mana mereka berhias,
berusaha mengenali sesuai dengan perbuatan mereka, berakhlak dengan akhlak
mereka, berjalan seperti mereka berjalan, menyerupai mereka dalam berpakaian dan
sebahagian perbuatan mereka. Adapun tasyabuh yang sebenarnya adalah bertepatan
dari segi aspek zahir dan batin.2
Berkaitan dengan larangan tasyabbuh ini, Allah SWT berfirman:
1Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed.3, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), h. 89
2 Muhammad „Abd Ra‟uf al-Munawi, Faid al-Qadir Syarh Jami‟ al-Saghir (Beirut Dar al-
Ma‟rifah, 1408 H), h. 6.
12
Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah :120).
Pada ayat di atas, Allah SWT memberi khabar pada kata “millatahum”
maksudnya adalah agama mereka.3, tetapi ketika melarang, Allah SWT
mengungkapkannya dengan kata “ahwa‟ahum” karena kaum Nasrani dan yahudi
tidak akan senang kepada kamu kecuali mengikuti agama mereka secara mutlak.4
Termasuk dalam mengikuti adalah dengan menyerupai mereka karena menyerupai
mereka berarti mengikuti keinginan mereka. Maka, orang-orang kafir senang jika jika
orang-orang Islam menyerupai sebahagian daripada urusan mereka. Ini disebabkan
dengan menyerupai satu urusan, boleh menjadi pendorong untuk menyerupai dalam
hal-hal lain.5
Berkaitan dengan sikap orang-orang muslim terhadap non-muslim, suatu
ketika sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah SAW mereka berkata,
“As-Saamu „laikum.” (semoga kematian menimpamu menjawab). Maka Aisyah
berkata, “aku memahami kalimatnya.” (semoga kematian dan laknat menimpa
kalian). Maka Rasulullah SAW berkata, “Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya
3 Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin As- Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain berikut
asbâbun nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, vol. 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996),
h.63. 4 Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr
Beirut-Libanon, 2003), h. 19.
5 Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 19.
13
Allah mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” Aisyah berkata, “wahai
Rasulullah, apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah
SAW menjawab, “Aku telah berkata „wa‟alaikum‟ (dan bagimu juga).6
Berkaitan dengan dengan sikap terhadap non muslim, Allah SWT berfirman:
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
(Q.S. Al-Mumtahanah : 8)
Ketika berbicara tentang sikap adil, ayat yang sama juga mengantarkan pada
hal yang menyinggung sikap adil ini dan berbuat baik kepada orang sepanjang dia
tidak memerangi atau mengusir kaum muslimin.7 Seorang Filosofis Mr. N.E. Algra
mengatakan bahwa keadilan itu adalah persoalan kita semua dalam suatu masyarakat
setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban itu. Orang tidak boleh
netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.8
6 Sa‟id bin ShabirAbduh, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid‟ahkan,
Penerjemah Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 324.
7 Jamȃl al-Dȋn „Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah
Shofiyullah (Bandung: Penerbit Marja, 2006), h.193.
8 Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya (Bandung :
Remadja Karya Offset, 1989), h. 25.
14
Dengan demikian, jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah jalan Allah dan
syari‟at-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya
agar manusia berlaku adil. Dengan keadilan, bumi dan langit akan menjadi makmur.
Apabila tampak tanda-tanda keadilan dan tampak keadilan itu dengan cara apapun,
maka itulah syari‟at Allah dan rasul-Nya.9
Sunnah Allah juga memutuskan bahwa segala perkara manusia dalam dunia
yang dilaksanakan dengan sikap adil sekalipun perkara dosa lebih sering sukses
dibandingkan perkara yang dilaksanakan dengan sikap zalim sekalipun tidak dalam
perkara dosa. Oleh karena itu, ada yang berkata: “sesungguhnya Allah akan
menegakkan negara yang adil sekalipun negara kafir, dan Dia tidak akan menegakkan
negara yang zalim sekalipun negara itu negara muslim.” Ada juga yang berkata:
“dunia akan abadi dengan keadilan walalupun bersama kekafiran, dan tidak akan
abadi dengan kezaliman walaupun bersama keislaman. Sebab, keadilan adalah sistem
segala sesuatu. Maka apabila perkara dunia dilaksanakan dengan adil, pasti akan
sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak tidak mendapatkan bagian apa- apa, dan
apabila tidak dilaksanakan dengan adil, pasti tidak akan sukses sekalipun pelakunya
di akhirat kelak mendapatkan balasan atas keimanannya.10
9 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid, (Jakarta:
Amzah, 2005), h. 204.
10
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h, 207.
15
B. Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Hadits
Allah SWT berfirman
Artinya : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada
mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik”.(Q.S. Al-Hadid: 16)
Ketika masa telah berlalu lama, maka diubahlah Kitab Allah dengan tangan-
tangan mereka sendiri dan mereka menukarnya dengan harga yang teramat sedikit
dan melemparkannya dibelakang punggung mereka, dan mulailah menghadapkan diri
terhadap pendapat-pendapat yang bersimpang siur. Mereka bertaklid kepada beberapa
orang laki-laki mengenai urusan agama merekadan menjadikan pendeta-pendeta dan
uskup-uskup mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Karena itulah hati mereka
menjadi keras, mereka tidak lagi mau menerima nasihat. Hati mereka tidak menjadi
lunak ketika mendengar berita baik atau kabar ancaman. “Dan kebanyakan diantara
mereka adalah orang-orang yang fasik.” Yaitu, fasik di dalam amal-amal mereka.
Hati-hati mereka rusak dan amal-amal mereka semuanya batil. Hal ini sebagaimana
16
Itulah sebabnya Allah SWT melarang orang-orang beriman bersikap sama
dengan mereka dalam perkara apa pun, baik masalah pokok ataupun masalah furu‟.11
Nabi Muhammad SAW bersabda:
ث نا عبد الرحمن بن ث نا أبو النضر حد ث نا عثمان بن أبي شيبة حد حدان بن ع ث نا حس طية عن أبي منيب الجرشي عن ابن عمر قال ثابت حد
هم )رواه قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم من تشبو بقوم ف هو من 12ابوداود(
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu AnNadhr berkata, telah menceritakan kepada kami
'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin
Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Barang siapa bertasyabuh (menyerupai)
dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka".(H.R Abu Daud).
Imam at-Tirmidzi berkata : ه أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال ليس عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جد
شارة هوا بالي هود ول بالنصارى فإن تسليم الي هود ال بالصابع منا من تشبو بغيرنا ل تشب شارة 13)رواه الترمذى( بالكف وتسليم النصارى ال
Artinya : “bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai dengan selain
kami. Janganlah menyerupai orang yahudi dan orang Nasrani. Maka apabila
11
Muhammad Nasib al-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, vol. 4
(Jakarta: Gema Insani Press), h. 599.
12
Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1992), h. 315.
13
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Wa Dhoif Sunan At-Tirmidzi, (Tt.,Tp., T.th.),
Juz 6, h. 195.
17
berdamai dengan yahudi isyaratnya dengan jari-jari dan apabila berdamai dengan
Nasrani isyaratnya dengan telapak tangan.” (H.R Tirmidzi)
Hadits-hadits lain berkenaan dengan Tasyabbuh :
1. Syariat makan sahur untuk membedakan dengan ahli kitab.
و بن العاص عن عمرو بن العاص قال رسول الله صلى الله عليو و عمر عنحرفصل ما ب ين صيامنا وصيام أىل الكتاب أكلة سلم 14)رواه ابوداود( الس
Artinya : Dari „Amru bin „Ashr.a., Rasulullah SAW bersabda: “pebedaan puasa kita
dengan puasa ahli kitab, ialah makan sahur”.
2. Disyariatkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk membedakan dengan
kaum musyrikin.
د بن زيد عن نافع ث نا عمر بن محم ث نا يزيد بن زريع حد هال حد د بن من ث نا محم عن حدرواخالفوا ال قال صلى الله عليو وسلم ابن عمر عن النب اللحى ، مشركين ، وف
وارب 15 (رواه بخارى) وأحفوا الش
Artinya : “meriwayatkan kepada kami Sahal Ibn Utsman, meriwayatkan Yazid Ibn
Zura‟ dari Umar Ibn Muhammad meriwayatkan kepada kami Nafi dari Ibn Umar
berkata: Rasulullah SAW bersabda berbedalah kalian dengan orang- orang musyrik
cukurlah kumis dan panjangkan jenggot”. (H.R Bukhari)
3. Larangan membangun masjid di kuburan karena menyerupai Ahli al-Kitab.
Rasulullah SAW bersabda:
14
Sulaiman bin Al-Asy‟ats As-Sijistani, Sunan Abu Daud (T.tp : Daar Fikr, T.t,) Juz 1, h.
716
15
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Qohiroh
: Daarul Hadits, T.t), Juz 19 h. 428.
18
لكم كانوا ي تخذون ق ب ور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألآ .وإن من كان ق ب 16()رواه مسلم إني أن هاكم عن ذلك ,القب ور مساجد ألآ فلا ت تخذوا
Artinya : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan
kubur-kubur para nabi dan orang-orang Saleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah,
janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya
saya melarang kalian dari hal tersebut”. (HR. Muslim).
4. Larangan berpakaian seperti pendeta
ي ، عن علي بن أبي طالب : أن رسول الله صلى اللو عليو وسلم ن هى عن لبس القسىب ، وعن قراءة القرآن في الركوع 17)رواه احمد( والمعصفر ، وعن تختم الذ
Artinya : “Dari „Ali bin Abi Thalib r.a., katanya Rasulullah Saw telah melarang
berpakaian seperti pendeta dan memakai pakaian tercelup dengan warna kuning,
memakai cincin emas dan membaca Qur‟an dalam ruku‟.”(H.R. Ahmad)
C. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non Muslim
Ibn Taimiyyah menjelaskan dua penyerupaan yang bukan termasuk syariat
Islam :
a. Perbuatan tasyabbuh yang menggunakan ilmu pengetahuan dan itu merupakan
perbuatan yang menjadi ciri khas bagi agama lain. Perbuatan ini dilakukan
bertujuan agar mengikuti agama tersebut. Perbuatan tersebut adalah haram karena
merupakan dosa besar dan mendekatkan kepada kekufuran.
16
Abi Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi, Al Mushannaf Fi Al Ahadits
Wa Al Atsar, (Riyadh: Daar Al-Salafiyyah, 1409 H), Juz 2, h. 269.
17
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut:
A‟lama Al Kitab, 1998), Juz 30, h. 434.
19
b. Orang yang mengerjakan tidak mengetahui hakikat dari apa yang ia kerjakan, yaitu
terbagi dua:
1. Perbuatan yang pada dasarnya diambil daripada agama lain. Yang dikerjakan
dalam keadaan yang sama ataupun dengan beberapa perubahan dari segi
waktu, tempat, perbuatannya dan lain-lain. Inilah tasyabbuh yang melibatkan
masyarakat umum seperti „khamis raya‟ atau perayaan krismas orang-orang
Nasrani. Maka sesungguhnya mereka yang terlibat dalam perbuatan tasyabbuh
ini biasanya anak-anak dari orangtuanya dan kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui asal-usul dari perbuatan tersebut.
2. Perbuatan yang tidak diambil dari orang kafir, tetapi melakukan perbuatan
tersebut dengan pola yamg sama, maka perbuatan tersebut tidak dikategorikan
sebagai perbuatan tasyabuh, tetapi ia tidak membedakan diri dengan orang
kafir. Status makruhnya atau haramnya perbuatan ini tergantung atas dalil-dalil
syara‟ meskipun ia merupakan bentuk dari perbuatan tasyabbuh. Ini karena
penyerupaan kita (orang Islam) tidak lebih utama daripada penyerupaan
mereka terhadap kita. Maka disunnahkan bagi umat Islam untuk meninggalkan
tasyabbuh untuk kemaslahatan perbedaan. Seperti memanjangkan janggut,
memakai alas ketika salat dan sujud. Perbuatan ini dapat menjadi makruh
seperti mengakhirkan berbuka puasa.18
18
Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirȃt al-Mustaqȋm: Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr
Beirut- Libanon, 2003), h.203.
20
D. Bentuk-Bentuk Tasyabbuh
Dalil-dalil menunjukan terhadap penyerupaaan dengan non-muslim dalam
semua yang dilarang darinya, dan perbedaan di dalam hal yang disyariatkan ada
dalam hal yang wajib dan adapula dalam hal yang sunah dalam beberapa tempat. dan
telah diterangkan perintah-perintah apa saja yang telah Allah dan Rasul-nya bedakan
dalam syariat, begitu juga dalam pekerjaan yang dengan niat menyerupai dengan
mereka (non muslim) atau tidak dengan niat.
Bentuk-bentuk yang dapat menyerupai mereka ada 3 bagian. Pertama, bagian
yang disyariatkan dalam agama kita dan juga disyariatkan bagi mereka non-muslim
atau kita tidak tahu bahwa hal tesebut disyariatkan pula bagi mereka dan tetapi sama-
sama kita kerjakan. Bagian yang tadinya disyariatkan kemudian dinasakh dalam Al-
Qur‟an. Bagian yang tidak ada dalam syariat sama sekali dan itu adalah hal yang
baru. Dan inilah 3 bagian tersebut:
a. Pertama, sesuatu yang disyariatkan baik bagi muslim maupun non muslim atau
disyariatkan kepada kita dan mereka mengerjakannya. Seperti puasa „asyuro atau
sholat dan puasa. Maka di sini terdapat perbedaan dalam hal mengamalkannya,
seperti diperintahkan bagi kita untuk berbuka dengan yang manis-manis dan pada
saat magrib, berbeda dengan Ahli kitab. Diperintahkan bagi kita untuk
mengakhirkan sahur, berbeda dengan Ahli kitab. Seperti diperintahkan bagi kita
21
untuk shalat diatas alas, berbeda dengan shalatnya orang Yahudi. Dan masih
banyak lagi dalam ibadah dan kebiasaan.19
Rasulullah SAW bersabda :
رناعن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليو وسلم اللحد لنا والشق لغي20)رواه ابوداود(
Artinya : “Dari Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW bersabda: liang Lahat
bagi kita, dan diluar liang Lahat untuk selain kita.”(H.R Abu Daud)
b. Kedua, sesuatu yang disyariatkan kemudian dihapus. Seperti hari Sabtu,
menjawab shalat atau puasa hari Sabtu. Janganlah melaksanakan hal ini karena
ini adalah ibadah wajib bagi mereka (yahudi), atau segala sesuatu yang
diharamkan bagi mereka.
Hal-hal besar yang disyariatkan dalam ibadah, seperti shalat atau dzikir,
atau sedekah/zakat, atau ibadah haji dan juga adat istiadat. Dan jangan mengikuti
pekerjaan yang membuat kita meninggalkan amal ibadah wajib.
Rasulullah SAW bersabda:
)رواه عيدنا قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم يا أبا بكر إن لكل ق وم عيدا وىذا21بخارى(
19
Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.166.
20
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Wa Dhoif Sunan Abu Daud, (T,tp., T,p., T,th),
Juz 7, h. 208.
21
Matan Sahih al-Bukhori. Kitab Jum‟ah, (Jedah: Al-Haramain, T.th), h.170.
22
Artinya : “Rasulullah SAW bersada : wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi
setiap kaum terdapat hari raya, dan inilah hari raya kita (Idul Fitri dan Idul
Adha).” (H.R Bukhari).
c. Ketiga, sesuatu yang baru dari ibadah atau adat kebiasaan atau dari keduanya.
Yaitu lebih buruk dari yang paling buruk. Maka apabila ada orang muslim
membuat sesuatu yang baru adalah sangat buruk. Maka, bagaimana mungkin
menjalankan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Nabi SAW ? sesuatu yang baru
itu bagi orang-orang kafir. Maka menyetujuinya adalah buruk.22
Tidak
mengucapkan salam kepada Ahlu Dzimmah.
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda:
لام ، وإذا لقيتم أحدىم في طريق فاضطروه إلى ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بالس23)رواه مسلم(أضيقو
Artinya : “sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : janganlah kalian mulai
mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, dan jika kalian
bertemu dengan salah seorang diantara mereka di jalan, maka pepetlah
jalannya itu ke arah yang lebih sempit.”
Dari Annas r.a. ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
قال قال النبى صلى الله عليو وسلم إذا سلم عليكم أىل الكتاب ف قولوا وعليكم24()رواه بخارى
22
Ibn Taymiyyah, Iqtida‟ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.169. 23 Shahih Muslim, Kitab as-Salâm jil. 4, hadis no. 2167 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, T.th. ),
h.1707.
23
Artinya : “diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Jika ahlu kitab mengucapkan salam kepadamu maka jawablah „Wa
„Alaikum‟. (H.R Bukhari).
Selain dari pada itu terdapat beberapa kaidah umum yang telah
digariskan oleh para ulama yang dapat menjadi kriteria utama bagi
mengklasifikasikan sebuah amalan sebagai tasyabbuh dan dalam menetapkan
sikap yang perlu diambil dalam berhadapan dengan isu ini. Antara kriteria
tersebut adalah:
1. Setiap amalan tergantung kepada niatnya. Maksud terpenting dari
disyari‟atkannya niat adalah untuk membedakan ibadah dari adat, dan
membedakan ibadah dari ibadah lainnya. Contoh, menahan diri dari
perbuatan yang membatalkan puasa, adakalnya hal itu dilakukan karena
memang pantangan terhadap makanan, karena membahayakan, karena
proses pengobatan, karena memang tidak butuh terhadapa makanan
tersebut, atau karena diet. Duduk di Masjid adakalanya untuk istirahat,
tujuan untuk iktikaf, melihat-lihat, dan lain-lain.25
2. Diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka, ada berupa kekufuran,
ada yang sekedar haram, namun ada juga yang mubah, yakni bila terlepas
dari kerusakan yang ditimbulkan dari penyerupaan diri tersebut. Perbedaan
24
Muhammad bin Futuh Al-Humaidi, Al-Jami‟ Baina As-Shahihain Al-Bukhari wa Muslim,
(Libanon: Daar Ibn Hazm, 2002). Juz 2, h. 379.
25
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004), h. 20.
24
antara satu dengan yang lain pada umumnya mudah dibaca. Namun
seringkali tidak nampak jelas bagi orang-orang awam.26
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan hikmah dalam sikap
membedakan dengan orang kafir yang dapat menyokong kaidah ini dalam
karya beliau Ahkam Ahl al-Dzimmah, yaitu :
Demi mencapai perbedaan yang menyeluruh (dengan orang bukan
Islam), dan tidak menyerupai mereka dalam penampilan luaran, dan
melaluinya dapat mengelakkan daripada penyerupaan dari aspek batin. Ini
karena penyerupaan dalam salah satu dari aspek berkenaan akan
mengundang kepada penyerupaan kepada aspek yang lainnya. Ini
merupakan hal diketahui secara pemerhatian. Tidaklah dimaksudkan
dengan perubahan dan perbedaan dalam aspek pakaian dan selainnya hanya
untuk membedakan orang kafir dan Muslim semata, bahkan ia dibina atas
beberapa objektif lain. Antara objektif yang utama ialah bagi meninggalkan
segala faktor yang dapat mengakibatkan penyetujuan dan penyerupaan
dengan mereka secara batin. Nabi SAW mengajarkan kepada umatnya
untuk meninggalkan penyerupaan dengan orang bukan Islam.27
26
Kaidah ini boleh didapati dalam Ibn Taimiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqim, h. 201.
27
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahlu al-Zimmah, (Dar al-Hadis, 2005), h. 515.
25
3. Segala bentuk hari raya dan hari besar secara umum berpengaruh besar
pada agama dan dunia seseorang. Sebagaimana pengaruh zakat, shaum dan
haji. Oleh sebab itu seluruh syariat telah mengajarkannya :
Firman Allah SWT :
Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah kamui tetapkan syari‟at tertentu yang
mereka lakukan,”(Q.S. Al-Hajj : 67)
Seorang hamba yang yang membiasakan diri melakukan amal
perbuatan yang tidak disyariatkan sebagai bagian dari kebutuhannya,
hasratnya untuk mengamalkan dan mengambil manfaat dari amal perbuatan
yang disyariatkan otomatis akan berkurang, selaras dengan banyak
sedikitnya amal pengganti yang ia biasakan.28
28
Ibnu Taimiyyah, Iqtida‟ al-Sirat al-Mustaqim, h. 198.
26
BAB III
METODE ISTINBATH MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM
MENETAPKAN FATWA NOMOR 56 TAHUN 2016
A. Profil Majelis Ulama Indonesia
1. Sekilas Tentang Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah
bertepatan dengan tanggal 26 Juli tahun 1975 Miladiyah adalah rahmat Allah Swt,
Majelis Ulama Indonesia hadir ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah
pada fase kebangkitan kembali, setelah selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan,
energi bangsa terserap dalam perjuangan politik baik dalam negeri maupun dalam
forum internasional, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun
bangsa yang maju, dan berakhlak mulia.
Ulama Indonesia menyadari dirinya sebagai pewaris tugas-tugas para nabi
(warasatul anbiya) pembawa risalah Illahiyah dan pelanjut misi yang diemban
Rasulullah Muhammad Saw. Mereka terpanggil bersama-sama Pemimpin dan
Cendekiawan Muslim untuk memberikan kesaksian akan peran kesejarahan pada
perjuangan kemerdekaan yang telah mereka berikan pada masa penjajah, serta
berperan aktif dalam membangun masyarakat dan menyukseskan pembangunan
melalui berbagai potensi yang mereka miliki dalam wadah Majelis Ulama Indonesia.
Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia senantiasa ditujukan
bagi kemajuan agama, bangsa dan negara baik pada masa lalu, kini, maupun
27
sekarang. para ulama, pemimpin dan cendekiawan, Muslim menyadari bahwa
terdapat hubungan timbal balik saling memerlukan antara Islam dan negara. Islam
memerlukan negara sebagai wahana mewujudkan nila-nilai universal Islam seperti
keadilan, kemanusiaan perdamaian, sedangkan negara Indonesia memerlukan Islam
sebagai landasan bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh
karena itu, keberadaan organisasi para ulama, pemimpin dan cendekiawan muslim
suatu konsekuensi logis dan prasyarat berkembangnya hubungan yang harmonis
antara berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.Karena umat
Islam bagian terbesar dari bangsa Indonesia, maka wajar jika umat Islam memiliki
peran dan tanggung jawab terbesar pula bagi kemajuan dan kejayaan Indonesia di
masa depan. Namun, suatu hal yang tidak boleh dinafikan bahwa umat Islam
menghadapi masalah internal dalam berbagai aspek, baik sosial, pendidikan,
kesehatan, kedudukan, ekonomi, maupun politik. 1
Di sisi lain, umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat
berat. Antara lain dominasi barat dan ideologi liberalisme kapitalisme yang
berpangkal pada sekulerisme dengan sistem politik dan sistem ekonomi yang sering
dipaksakan berlaku di negeri-negeri lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dapat menggoyahkan etika dan moral, serta budaya global yang didominasi
Barat yang bercirikan pendewaan diri, kebendaan, dan nafsu yang berpotensi
1 Din Syamsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majlis Ulama Indonesia, (Jakarta:
2001), h. 4.
28
melunturkan aspek religiusitas masyarakat, serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia.
Lebih dari pada itu, kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam pikiran
keagamaan. Organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik selain
dapat merupakan kekuatan, juga sering menjelma menjadi kelemahan dan sumber
pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Sebagai akibatnya, umat Islam terjebak
ke dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan dan kehilangan
peluang untuk mengembangkan diri menjadi kelompok yang tidak hanya besar
dalam jumlah tetapi juga unggul dalam kualitas. Sejalan dengan perkembangan
dalam kehidupan kebangsaan dalam era reformasi dewasa ini, yang ditandai dengan
adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru yang
adil, sejahtera, demokratis dan beradab, maka adalah suatu keharusan bagi Majelis
Ulama Indonesia untuk, meneguhkan jati diri dan itikad dengan suatu wawasan untuk
menghela proses perwujudan masyarakat Indonesia baru, yang tidak lain adalah
masyarakat madani (khair al-ummah) yang menekankan nilai-nilai persamaan
manusia (al-musawah), keadilan (al-adalah), dan demokrasi (syuro).2
2. Visi dan Misi
a. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan kebangsaan dan
kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalang potensi dan partisipasi umat
2 Din Syamsudin, h. 6.
29
Islam melalui aktualisasi potensi ulama, pemimpin, aghniya dan cendekiawan
muslim untuk kemajuan dan kejayaan Islam dan umat Islam (izzul-Islam wa
al-Muslimin) guna perwujudannya. Dengan demikian maka posisi Majelis
Ulama Indonesia adalah berfungsi sebagai pertimbangan Dewan Syari‟at
Nasional, guna mewujudkan Islam yang penuh rahmat (rahmat lil-alamin)
ditengah kehidupan umat manusia dan masyarakat Indonesia khususnya.
b. Misi
Menggerakkan kepimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif,
sehingga mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan
memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syari‟ah Islamiyah, dan
menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan akhlak karimah
agar terwujud masyarakat yang khair al-ummah. 3
3. Orientasi dan Peran
Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi perkhidmatan,
yaitu:
a. Diniyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mendasari
semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam
adalah agama yang berdasar pada prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
3 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Buku Panduan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Se-
Indonesia ke-5 Tahun 2015, (Jakarta : Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, 2015), cet.1, h.20.
30
b. Irsyadiyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan dakwah wal
irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta
melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam arti yang seluas-luasnya.
Setiap kegiatan Majelis Ulama Indonesia dimaksudkan untuk dakwah dan
dirancang untuk selalu berdimensi dakwah.
c. Ijabiyah.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan ijabiyah yang
senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat melalui kebajikan (fastabiq al-khairat).
d. Ta‟awuniyah
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mendasari
diri pada semangat tolong menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam
membela kaum dhu‟afa untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat
kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan
dikalangan seluruh lapisan golongan umat Islam. Ukhuwah Islamiyah ini
merupakan landasan bagi Majelis Ulama Indonesia untuk mengembangkan
persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) sebagai bagian integral
bangsa Indonesia dan memperkokoh persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah
basyariyah) sebagai anggota masyarakat dunia.
31
e. Syuriyah.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang menekankan
prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui pengembangan
sikap demokratis, akomodatif, dan aspiratif terhadap berbagai aspirasi yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
f. Tasamuh
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang
mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan
kegiatannya dan senantiasa menciptakan keseimbangan diantara berbagai arus
pemikiran dikalangan masyarakat sesuai dengan syariat Islam.
g. Hurriyah.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan independen
yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh
pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran,
pandangan dan pendapat.
h. Qudwah.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang
mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan
yang bersifat perintisan untuk kebutuhan kemaslahatan umat. MUI dapat
berkegiatan secara operasional sepanjang tidak terjadi tumpang tindih dengan
kegiatan ormas lain.
32
i. Addualiyah.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang menyadari
dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan
perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai dengan
hal itu, Majelis Ulama Indonesia menjalin hubungan dan kerjasama dengan
lembaga atau organisasi Islam internasional di berbagai negara. 4
Majelis Ulama Indonesia mempunyai lima peran utama, yaitu:
a. Sebagai pewaris tugas para nabi (warasath al anbiya‟).
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pewaris tugas-tugas para
Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya
suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana yang berdasarkan
Islam. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, Majlis Ulama Indonesia
menjalankan fungsi profetik yakni memperjuangkan perubahan kehidupan
agar berjalan sesuai dengan ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi
akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya
bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia.
b. Sebagai pemberi fatwa.
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat
Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa
Majlis Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat
4 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, h. 24-25
33
Islam Indonesia yang sangat beragam aliran faham dan pemikiran serta
organisasi keagamaannya.
c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri‟ayat Wa khodim al ummah).
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khodim al
ummah), yaitu melayani umat Islam dan masyarakat luas dalam memenuhi
harapan aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam ke-anggotaan ini MUI
senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat Islam, baik langsung atau
tidak langsung akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, MUI
berusaha selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi
umat Islam dan masyarakat luas dalam hubungannya dengan pemerintah.
d. Sebagai gerakan Islah wal-Tajdid.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan sebagai pelapor Islah yaitu
pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam maka MUI dapat menempuh jalan Tajdid yaitu gerakan
pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat
dikalangan umat Islam maka MUI dapat menempuh jalan Taufiq (kompromi)
dan Tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan
tetap terpeliharanya semangat persaudaraan dikalangan umat Islam Indonesia.
e. Sebagai penegak amar ma‟ruf nahi mungkar
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan sebagai wahana tenaga amar
ma‟ruf nahi munkar, yaitu dengan menegakkan kebenaran dan kebatilan
sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan Istiqomah. Dalam menjalankan
34
fungsi ini MUI tampil di barisan terdepan sebagai kekuatan (moral force)
bersama berbagai potensi bangsa lainnya untuk melakukan rehabilitasi sosial.5
B. Metode Istinbath MUI Dalam Menetapkan Fatwa
MUI dalam memutuskan fatwa mempunyai metode dalam menjawab suatu
persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
a. Setiap Keputusan Fatwa MUI harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah
Rasul yang mu‟tabarah serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan
pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma‟,
qiyas yang mu‟tabarah, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalah
mursalah dan sadd az-zari‟ah.
c. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat
Imam Mazhab terdahulu baik, yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang
berbeda pendapat.
d. Pandangan ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya
dipertimbangkan.
e. Setiap masalah yang disampaikan Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari
dengan seksama oleh para anggota Komisi atau Tim khusus sekurang-kurangnya
seminggu sebelum disidangkan.
5 Din Syamsudin, h. 10.
35
f. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat‟iyah) hendaklah Komisi
menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui
ada nash-nya dari Al-Qur‟an dan Sunnah.
g. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan mazhab, maka yang difatwakan
adalah hasil tarjih setelah memperhatikan Fiqh Muqaranah (Perbandingan) dengan
menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaranah yang berhubungan dengan
pen-tarjihan-an. 6
Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensip serta
memperhatikan pendapat pandangan yang berkembang dalam sidang, Komisi
menetapkan Keputusan Fatwa. Setelah ditanda tangani oleh Dewan Pimpinan
dalam bentuk surat Keputusan Fatwa (SKF), harus dirumuskan dengan bahasan
yang dapat dipahami dengan mudah dikalangan masyarakat luas. Dalam SKF
harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta
sumber pengambilanya. Setiap SKF disertai dengan rumusan tindak lanjut dan
rekomendasi dan /jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF
tersebut.
Demikianlah cara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melakukan Istinbath
atau menetapkan suatu permasalahan, tidak serta merta langsung menetapkannya
akan tetapi terlebih dahulu meninjau kembali kepada pendapat-pendapat ulama
terdahulu atau para ahli tentang masalah yang akan ditetapkan.
6 Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Mengenal Lebih Jauh Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: 2001, h. 7-10.
36
Proses Penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Pertama setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat
komisi untuk mengetahui substansi dan duduk masalahnya.
b. Dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah yang
akan difatwakan untuk didengarkan pendapatnya untuk dipertimbangankan.
c. Setelah pendapat ahli didengar dan dipertimbangkan, fuqoha melakukan
kajian terhadap pendapat para imam mazhab dan fuqoha dengan
memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya
dan kemaslahatannya bagi umat.
d. Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang
memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
Jika fuqoha memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat
melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.
e. Jika tadi tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat
melakukan ( الحاق المسائل بنظائرها ) dengan memperhatikan mulahaq bih,
mulahaq ilayh dan wajh al-ilhaq (pasal 5).
f. Apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat
melakukan ijtihad jama‟I dengan menggunakan al qawa‟id al-ushuliyat dan
al-qawa‟id fiqhiyat.
37
Sedangkan kewenangan fatwa MUI adalah masalah-masalah keagamaan
yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional dan
masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah
lain (pasal 10).
Teknik berfatwa yang dilakukan oleh MUI adalah rapat komisi dengan
menghadirkan ahli yang diperlukan dalam membahas suatu permasalahan yang
akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan apabila ada pertanyaan atau ada
permasalahan yang diajukan, baik pertanyaan atau permasalahan itu sendiri berasal
dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan ataupun dari MUI sendiri. 7
C. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Hukum
Memakai Atribut Keagamaan Non Muslim
Pertimbangan MUI dalam menentukan fatwa ini dikarenakan telah terjadi di
masyarakat Fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian
umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau
simbol keagamaan non muslim yang berdampak pada syiar keagamaan mereka.
Untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik
usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya,
bahkan kantor pemerintahan mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim
untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim. Terhadap masalah tersebut,
muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.
7 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 170-171.
38
Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum
menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman. 8
Dalil-dalil yang digunakan dalam penetapan fatwa ;
1. Alquran
Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan meniru perkataan orang-orang
kafir, antara lain:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): „Raa´ina‟, tetapi katakanlah: „Unzhurna‟, dan „dengarlah‟. Dan
bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al- Baqarah: 104).
Firman Allah SWT yang melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang
bathil, antara lain:
Artinya : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil
dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS.
Al-Baqarah : 42)
Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar
agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:
8 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses
pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-
muslim.html.
39
Artinya : "Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)
Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan
syi‟ar selain Islam, antara lain:
Artinya : dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An‟am: 153)
Firman Allah SWT yang tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik
dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam.
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak
40
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil”. (QS. Al- Mumtahanah : 8)
Firman Allah SWT yang mengabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling
berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, antara lain:
Artinya: Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al- Mujaadilah: 22)
2. Hadits Rasulullah Saw antara lain ;
روا اللحى عن ابن عمر عن النبي صلى اللو عليو وسلم قال خالفوا المشركين وف وارب وأحفوا الش
Artinya : Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah
kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
تب عن سنن من كان عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى اللو عليو وسلم قال لت را وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموىم ق لنا يا رسول را شب لكم شب ق ب
اللو الي هود والنصارى قال فمن
41
Artinya : Dari Abi Sa‟id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-
benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki
lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai
Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
يف حتى ي عبد عن ابن عمر قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم بعثت بالسلة والصغار على من اللو ل شريك لو وجعل رزقي تحت ظل رمحي وج عل الذ
هم خالف أمري ومن تشبو بقوم ف هو من Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan
pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta‟ala semata
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku
di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa
yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia
termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad).
هم عن ابن عمر قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم من تشبو بقوم ف هو من Artinya; Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu
Dawud).
ه أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال ليس عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جدشارة هوا بالي هود ول بالنصارى فإن تسليم الي هود ال بالصابع منا من تشبو بغيرنا ل تشب
شارة بالكف وتسليم النصارى ال
Artinya: Dari Amru bin Syu‟aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya
Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai
selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena
sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan
kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-
Tirmidzi).
42
3. Qaidah Sadd al-Dzari‟ah
Qaidah Sadd al-Dzari‟ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang
lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan
mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak
dan bathil.
4. Qaidah Fidhiyyah:
م على جلب المصالح درأ المفاسد مقد “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik
kemaslahatan.”
Dalam menentukan fatwa MUI juga mengacu pada pendapat para ulama-ulama
antara lain; 9
1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam kitab “Mughni al- Muhtaj ila
Ma‟rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:
ومن ، ومن يمسك الحية ويدخل النار ، ويعزر من وافق الكفار في أعيادىم ومن ىنأه بعيده، لذمي يا حاج قال
“Dihukum ta‟zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir
dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan
masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi
„Ya Hajj‟, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di
hari raya (orang kafir)...”.
9 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses
pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-
muslim.html.
43
2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi dalam Kitab “Haqiqat al- Sunnah wa
al-Bid‟ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al- Ibtida‟, halaman 42:
ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادىم ومواسمهم الملعونة كما يفعلو كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم
والتشبو بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد…فيما يفعلونو Termasuk bid‟ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh)
dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan
perayaan- perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana
dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang-
orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan.
Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud
menyerupai”.
3. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-
Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239 :
ادىم بالتشبو بأكلهم ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيوالهدية لهم وقبول ىديتهم فيو وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد
قال صلى الله عليو وسلم } من تشبو بقوم فهو منهم { بل قال ابن الحاج ل يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده ل لحما ول أدما ول
معاونة لهم على كفرىم وعلى ولة ثوبا ول يعارون شيئا ولو دابة إذ ىو المر منع المسلمين من ذلك
Di antara bid‟ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin
mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka
dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima
hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi
perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah
bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari
mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang
muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan
hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh
44
dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan,
karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib
bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut”.
4. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I halaman 373 saat
menjelaskan makna surah al-Baqarah [2] ayat 104:
الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قول وفعلا . فقال أن
“Sesungguhnya Allah melarang orang-orang mukmin untuk menyerupai
orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
5. Pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu‟ al- Fatawa” jilid XXII
halaman 95:
أن المشابهة في المور الظاىرة تورث تناسبا وتشابها في الخلاق والعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan
keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang
tasyabbuh dengan orang kafir.”
6. Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al- Dzimmah,
Jilid 1 hal. 441-442:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة بو فحرام بالتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادىم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا
إن سلم قائلو من الكفر فهو من المحرمات وىو بمنزلة أن يهنئو بسجوده التهنئة بشرب الخمر للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من
وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن ل قدر للدين عنده
45
يقع في ذلك ول يدري قبح ما فعل فمن ىنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطو
“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar- syiar kekufuran yang
khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.
Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti
mengatakan, „Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu‟, atau
dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka
ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini
termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini
pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan
pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan
selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi
ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa,
berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang
kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui
kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa
memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid‟ah atau
kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta‟ala.”
7. Pendapat al-„Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib
Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma‟bud, Juz
XI/hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh:
شبو نفسو بالكفار مثلا من اللباس وغيره أو وقال القارئ: أي من بالفساق أو الفجار أو بأىل التصوف والصلحاء البرار فهو منهم أي
في الثم والخيرAl-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir
seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik,
pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan orang saleh dan baik (maka dia
termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan.”
8. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.
9. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
46
10. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE
tentang Seputar Sya‟airillah.
11. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa
MUI pada tanggal 14 Desember 2016.
Ketentuan Umum Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan Atribut
keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri
khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu,
baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama
tertentu.
Dengan demikian berdasarkan dalil-dalil diatas Majelis Ulama Indonesia
membuat ketentuan hukum yaitu;
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-
muslim adalah haram.
MUI juga mengeluarkan rekomendasi diantaranya;
1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan
memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah
dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
47
2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap
agama. Salah satu wujud toleransi adalah Fatwa Tentang Hukum
Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya,
bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak
memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan
non-muslim.
4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan
agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan
tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-
muslim kepada karyawan muslim.
5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai
warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari‟at agamanya
secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak- pihak yang
membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan
ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti
48
aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada
umat Islam.10
Dari paparan fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 bisa dilihat bahwa
fatwa tersebut ditujukan untuk menjaga akidah umat Islam, dilihat dari dalil-
dalil yang menjadi istinbat fatwa MUI meskipun dalam Alqur‟an dibolehkan
bergaul dan berbuat baik kepada non muslim sebagaimana tercantum dalam
surat Al-Mumtahanah ayat 8, tetapi dengan tegas Allah melarang orang Islam
untuk meniru dan mengikuti orang kafir serta tidak mencampurkan antara haq
dan batil sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 42 dan Al-
Baqarah ayat 104.
Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah perkhidmatan independen
yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh
pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran,
pandangan dan pendapat. Ini bisa dilihat dari adanya rekomendasi untuk
pemerintah dan pimpinan perusahaan yang wajib memberikan perlindungan
kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan
dan syari‟at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi
beragama.
10
Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim”
diakses pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-
non-muslim.html.
49
BAB IV
ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA MENGENAI HUKUM
MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON MUSLIM
A. Analisis Metode Istinbat Hukum Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016
Adanya laporan dari masyarakat sehubungan dengan atribut non muslim
terhadap muslim , dalam hal ini mengenakan atribut Kristen menjelang perayaan
natal, menjadi salah satu pertimbangan Majelis ulama Indonesia mengeluarkan fatwa
no 56 Tahun 2016.
Atribut keagamaan yang dimaksud adalah sesuatu yang dipakai dan
digunakan sebagai identitas, ciri kas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau
umat beragama tertentu, baik terkait maupun keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi
dari agama tertentu.
Penulis di sini memberi contoh atribut-atribut non muslim yang dilarang oleh
Majelis Ulama indonesia yaitu;
1. Menggunakan pakaian yang sudah menjadi adat bagi pemeluk agama-agama non
Islam, seperti tanda salib bagi kaum Nasrani, topi khas Yahudi, serta atribut-atribut
non muslim lainnya.
2. Menyanyikan lagu-lagu bernada kemusyrikan kepada Allah, semisal lagu-lagu gereja,
atau lagu-lagu khas kaum Hindu, atau kaum Budha, serta lagu-lagu kekafiran lainnya,
50
adalah termasuk yang dilarang oleh Allah, dan para pelakunya adalah menjadi musuh
Allah.
3. Memasuki pintu-pintu musuh Allah, antara lain dilarang memasuki tempat-tempat
ibadah non muslim yang difungsikan sebagai tempat penyekutuan kepada Allah,
karena di sanalah mereka menyembah dan memuji tuhan-tuhan mereka. Bahkan
sebab inilah yang menjadikan kemurkaan Allah atas penyekutuan yang dilakukan
oleh kalangan non muslim terhadap-NYA.
4. Melakukan upacara tradisional yang berkonotasi menyembah makhluk lelembut,
seperti upacara melarung sesajen untuk para penghuni laut atau sungai tertentu. Hal
ini juga termasuk penyekutuan terhadap Allah.
5. Memainkan kesenian semacam Barongsai, yaitu tarian adat milik kaum Khong hu cu
(China), atau memainkan kuda kepang (lumping) yang dapat menyebabkan
pemainnya kesurupan hingga tidak sadarkan diri karena kerasukan jin.1
Contoh-contoh di atas tentu dapat dikembangkan lebih luas, agar umat Islam
tidak mengambil resiko dimurkai oleh Allah, saat ia telah meninggal dunia dan
dipanggil menghadap kepada Allah serta dimintai pertanggungjawaban atas segala
amal perbuatannya.
Dalam fatwa MUI memberi ketentuan hukum yaitu;
1 Azis Anwar Fachrudin, “Fatwa MUI, Atribut Natal dan Soal Kerukunan” diakses pada 3
Mei 2017 dari http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/9939/fatwa-mui-atribut-natal-dan-soal-kerukunan.html.
51
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim
adalah haram.2
Istinbat hukum yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkan hukum yang
pengambilan hukumnya bersumber dari Al-Qur'an diantaranya;
- Alquran surat Al Baqarah ayat 104 yang menjelaskan larangan meniru perkataan
orang-orang kafir.
- Al Baqarah ayat 42 menjelaskan mengenai larangan mencampuradukkan yang
haq dengan yang bathil.
- Surat Al Kafirun yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama,
khususnya terkait dengan ibadah.
- Surat Al-An’am ayat 153 yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk,
dan syi’ar selain Islam.
- Surat Al Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tidak melarang orang Islam bergaul
dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam.
- Surat Al-Mujaadilah ayat 22 yang mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak
bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.
Ada juga dasar pengambilan hukum berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang
melarang muslim menyerupai non muslim;
2 Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim” diakses
pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-
muslim.html.
52
روا اللحى عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وف وارب 3وأحفوا الش
Artinya : Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah kaum
musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari
dan Muslim).
يف حتى ي عبد الله عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثت بالسلة والصغار على من خالف أمري ل شريك له وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذ
هم 4ومن تشبه بقوم ف هو من Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang
menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah
bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi
perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari
mereka” (HR. Ahmad).
Istinbat hukum yang diambil dari kaidah fiqih
Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya
boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang
haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.
3 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Qohiroh :
Daarul Hadits, T.t), Juz 20 h. 428.
4 Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut:
A’lama Al Kitab, 1998), Juz 25, h. 450.
53
م على جلب المصالح 5 درأ المفاسد مقد “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik
kemaslahatan.”
Istinbat hukum yang dilakukan MUI sebagai cara dalam menetapkan hukum,
dengan cara beristinbat maka akan ada satu hukum baru sebagai penjelas dari nas
yang danni, (dalil yang menunjukkan makna, akan tetapi mengandung hal-hal untuk
mentakwilkan dan penyimpangan dari arti sesungguhnya atau dengan arti lain), dan
berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak terdapat secara jelas dalam al-Qur’an
maupun sunnah. Namun pada hakikatnya istinbat yang dilakukan MUI bukanlah
penetap dan pembuat hukum karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa
yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT, dan tiada hukum
kecuali dari Allah SWT. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum yang dapat
dicapai oleh MUI melalui istinbatnya itu adalah hukum Allah dalam fatwa MUI.
Istinbat hukum yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkan hukum yang
pengambilan hukumnya bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan
metode yang dipakai oleh MUI dalam beristinbat} dengan secara tidak langsung,
maksudnya yaitu berkiblat pada pendapat terdahulu (pendapat para fuqaha) dan
menggunakan qaidah-qaidah fiqhiyah. Yang sesuai dengan metode istinbat} yang ada
dalam hukum Islam (yang terletak dalam ushul fiqih).
5 Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, Adhwa’ Al-Bayan, (T,Tp.,T.p., T.th), Juz 4 h. 462.
54
Dengan beristinbat hukum yang dilakukan MUI akan membawa dan akan
memelihara kemaslahatan umat, karena dengan beristinbat maka akan mendapatkan
satu hukum baru yang dibutuhkan oleh umat yang dalam kebimbangan dan kesulitan
dalam menentukan hukum yang bertentangan dengan satu kondisi ataupun zaman.
Dalam menetapkan suatu hukum istinbat anggota MUI (komisi) yang hadir
jumlahnya sampai dianggap cukup memadai oleh pimpinan rapat, dan dalam hal-hal
tertentu rapat dapat menghadirkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah
yang akan dibahas.6
Dari paparan diatas penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan MUI
sebagai penjaga dan pengayom umat Islam sudah tepat yaitu dengan tegas
menyatakan Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram. Dan
Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim
adalah haram. MUI sudah menjalankan tugas utamanya dalam memelihara dalam
memelihara keyakinan dalam praktik keagamaan umat Islam.
Secara jelas fatwa tersebut ditujukan kepada umat Islam dan menjaga akidah
dan keyakinannya, serta melarang pihak manapun untuk mengajak atau
memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaaan non
muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan keyakinannya. Sehingga tidak
6 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 150
55
ada alasan non muslim memaksakan kehendak muslim untuk menggunakan atribut
kagamaan non muslim dengan alasan seni, marketing atau alasan apapun.
Menurut penulis banyaknya pihak-pihak yang masih mewajibkan muslim
menggunakan atribut keagamaan non muslim, sehingga berdampak adanya
pengawalan fatwa MUI, hanya saja untuk memberi pemahaman terhadap pihak-pihak
tersebut bukan untuk melakukan eksekusi dan sweeping oleh ormas Islam karena
yang berhak melakukan eksekusi adalah pemerintah. Maka dari itu pemerintah harus
melindungi masyarakat agar mencegah tejadinya pemaksaan kepada masyarakat
muslim untuk menggunakan atribut non muslim.
Fatwa tersebut dibuat dalam kerangka penghormatan kepada prinsip
kebhinekaan dan kerukunan beragama di Indonesia dan kerukunan beragama di
Indonesia. Makna dari kebhinekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk
perbedaaan terhadap dalam keyakinan agamanya sehingga harus saling menghormati
dan tidak memaksakan keyakinan tersebut pada orang lain. Setiap bentuk pemaksaan
keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi.
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis penulis tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non
muslim, maka penulis simpulkan sebagai berikut:
Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan fatwa no 56 tahun 2016 telah
memberikan ketentuan hukum yaitu menggunakan atribut keagamaan non muslim
haram dan mengajak menggunakan atribut keagamaan non muslim haram. Dasar dan
metode fatwa MUI tentang diharamkannya menggunakan atribut keagamaan non
muslim pertama menggunakan dasar Al-Qur'an, al-Hadits, Ijma, kaidah ushul fikih.
Menggunakan atribut keagamaan non muslim ialah bertentangan dengan hukum dan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’, karena
meskipun dalam Alqur’an dibolehkan bergaul dan berbuat baik kepada non muslim
sebagaimana tercantum dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, tetapi dengan tegas Allah
melarang orang Islam untuk meniru dan mengikuti orang kafir serta tidak
mencampurkan antara haq dan batil sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah
ayat 42 dan Al-Baqarah ayat 104.
57
B. Saran-Saran
Setelah penulis menuangkan beberapa pembahasan mengenai Fatwa MUI
dalam menetapkan hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim, maka
penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi orang-orang Islam hendaknya tidak menggunakan atribut keagamaan non
muslim karena dikhawatirkan terjadinya pencampuran akidah.
2. Pimpinan perusahaan diharapkan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan
atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
3. Pemerintah diharapkan dapat mencegah, mengawasi, dan menindak pihak- pihak
yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan,
pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan
penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.
58
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawa’id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004).
Abduh, Sa‟id bin Shabir, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan,
Penerjemah Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005).
Albani, Al, Muhammad Nashiruddin, Shahih Wa Dhoif Sunan Abu Daud, (T,tp.,
T,p., T,th).
Albani, Al, Muhammad Nashiruddin, Shahih Wa Dhoif Sunan At-Tirmidzi, (Tt.,Tp.,
T.th).
Bukhari, Al, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah, Shahih Bukhari,
Qohiroh : Daarul Hadits, T.th).
Bukhari, Imam, Matan Sahih Al-Bukhori :Kitab Jum’ah, (Jiddah: al-Haramain, T.th).
Hajjaj, Abi Husain Muslim bin, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1992).
Hanbal, Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal,
(Beirut: A‟lama Al Kitab, 1998).
Humaidi, Al, Muhammad bin Futuh, Al-Jami’ Baina As-Shahihain Al-Bukhari wa
Muslim, (Libanon: Daar Ibn Hazm, 2002).
Jauziyyah, Al, Ibnu Qayyim , Ahkam Ahlu al-Zimmah, (T.Tp : Dar al-Hadis, 2005).
Jaza‟iri, Al Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang
Muslim, Penerjemah: Andi Subarkah (Solo: Insan Kamil, 2008).
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid,
(Jakarta: Amzah, 2005).
Kufi, Al, Abi Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Al Mushannaf Fi Al
Ahadits Wa Al Atsar, (Riyadh: Daar Al-Salafiyyah, 1409 H).
Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002).
Muhaimin, Tadjab, ABD. Mudjib. Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya
Ab ditama, 1994).
59
Muhammad, Jamȃl al-Dȋn „Athiyyah, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah
Shofiyullah (Bandung: Penerbit Marja, 2006).
Mulia, Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam
Islam. (T.tp: T.p., T.th).
Munawi, Al, Muhammad „Abd Ra‟uf, Faid al-Qadir Syarh Jami’ al-Saghir (Beirut
Dar al- Ma‟rifah, 1408 H).
Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya
(Bandung : Remadja Karya Offset, 1989).
Rifa‟I, Al, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah
Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, T.th).
Saleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta:PT.Grafindo
Persada, 2008).
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Mengenal Lebih Jauh Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: T.p, 2001).
Shihab, M. Quraish, Kerukunan Beragama Dari Perspektif Negara, HAM, Dan
Agama-agama, (Jakarta: PT.MUI, 1996).
Sijistani, As, Sulaiman bin Al-Asy‟ats, Sunan Abu Daud (T.tp : Daar Fikr, T.th).
Suyuthi, As, Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin, Tafsir al-Jalâlain berikut
asbâbun nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 1996).
Syamsudin, Din, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majlis Ulama Indonesia,
(Jakarta: T.p, 2001).
Sya‟rawi, Asy, M. Mutawalli, Anda bertanya islam menjawab. (Jakarta: Gema Insani
Press,1999).
Syinqithi, Asy, Muhammad Al-Amin, Adhwa’ Al-Bayan, (T,Tp.,T.p., T.th).
Syukur, Amin Pengantar Studi Islam, (Semarang : CV. Bima Sakti, 2003).
Shahih Muslim, Kitab As-Salâm, (Beirut al-Arabi : Daar Ihya, T.th ).
60
Taymiyyah, Ibn, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm,
(Beirut: Dar El-Fikr, 2003).
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002).
Ya‟qub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin :Tashawwuf dan
Taqarrub, (Jakarta: Atisa, 1992).
Fachrudin, Azis Anwar “Fatwa MUI, Atribut Natal dan Soal Kerukunan” diakses
pada 3 Mei 2017 dari http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/9939/fatwa-mui-atribut-
natal-dan-soal-kerukunan.html.
Majelis Ulama Indonesia, “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim”
diakses pada 3 Mei 2017 dari http://mui.or.id/2016/12/22/hukum-
menggunakan-atribut-keagamaan-non-muslim.html.