Upload
trinhtuong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS SEBAGAI PELAPOR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
ADI MAJAFakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya
Pembimbing : Endah Lestari, S.H., M.H.e-mail :[email protected]
Abstrak
At this time money laundering has become a new phenomenon in the world and also an international challenge. In its development to prevent and combat the crime of money laundering was established Law No. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime. The Reporting Party is an important party in carrying out the prevention and eradication of money laundering crime since the reporting parties face to face with the perpetrators of crime who want to do money laundering. With the incorporation of a notary and as a reporter for a suspicious transaction, the notary directly indirectly embodies a clean, peaceful and prosperous country. In addition, the direct report made by the notary has a positive impact on the notary itself. Notary as a reporter in the crime of money laundering, in the PPTPPU Law and Government Regulation no. Law No. 57 of 2003 on Special Protection Procedures for Reporting Party and Witnesses of TPPU (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2003 Number 126, Supplement to State Gazette of the Republic of Indonesia Number 4335) very concerned about legal protection. The protection guarantee has been provided at the time of reporting. Thus the provision of protection is provided before, during or after the case inspection process
Keywords: Legal Protection, Reporting Entity, Money Laundering Crime, and Notary Public..
Latar Belakang Dan Rumusan Masalah
Tindak pidana pencucian uang adalah
kejahatan dengan karakteristik khusus dan juga
merupakan titik tolak dan cara pemberantasan
terhadap kejahatan ekonomi bukan saja dengan
memberantas kejahatan asalnya tetapi juga
memburu hasil kejahatan tersebut dengan
menerapkan ketentuan anti pencucian uang,
bukan saja pelaku kejahatan asalnya tertangkap
tetapi juga ke mana aliran dana hasil
kejahatannya terungkap, dengan menerapkan
ketentuan anti pencucian uang menyertai
kejahatan asal, maka penegak hukum bisa
mendapatkan 2 (dua) sekaligus, yaitu
menangkap pelaku kejahatan asal dan sekaligus
merampas kembali hasil kejahatan untuk
dikembalikan kepada yang berhak1.
Pelaku kejahatan menyembunyikan hasil
kejahatan dalam sistem keuangan atau dalam
berbagai bentuk upaya lainnya. Tindakan
menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana
yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan
untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan.
Praktek pencucian uang merupakan
tindak pidana yang amat sulit dibuktikan, karena
kegiatannya yang amat kompleks dan beragam,
akan tetapi para pakar telah berhasil
menggolongkan proses pencuci
1 Yenti Ganarsih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di Indonesia,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2015, h.1.
uang ini ke dalam tiga tahap yang
masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali
juga dilakukan secara bersama-sama yaitu
placement, layering dan integration .
Pada pasal 17 ayat 1 UU PPTPPU
nampaknya pembuat undang-undang masih
fokus pada pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang pada sektor
Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Kategori
profesi khususnya Notaris dan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) tidak dikategorikan sebagai
pihak pelapor sebagaimana yang ditentukan
dalam pasal 17 ayat 1 UU PPTPPU. Tidak
dikategorikan profesi Notaris dan PPAT sebagai
pihak pelapor dalam mencegah dan
memberantas TPPU mengakibatkan tidak
adanya kewajiban hukum bagi Notaris dan/atau
PPAT untuk melaporkan transaksi
mencurigakan yang dilakukan para pihak. Imbas
dari tidak dimasukannya profesi Notaris sebagai
pelapor atas transaksi mencurigakan adalah
pelaku kejahatan memanfaatkan jasa Notaris
dan PPAT untuk membantu menyembunyikan
dan menyamarkan harta yang diperoleh dari
hasil kejahatan.
Modus-modus pencucian uang yang
akhir-akhir ini sering digunakan oleh para
pelaku adalah dengan membeli real estate /
properti rumah dengan memanfaatkan sarana
profesi Notaris dan PPAT. Para pelaku
kejahatan pencucian uang mengatasnamakan
orang lain sebagai sarana menyembunyikan dan
menyamarkan asal mula harta kekayaan
tersebut.
Profesi Notaris dan PPAT yang
terhormat yang bertugas melayani masyarakat
dalam bidang hukum perdata seharusnya tidak
dijadikan sarana pencucian uang oleh pelaku
kejahatan. Hal ini justru akan mencoreng profesi
Notaris dan PPAT dan akan memunculkan
stigma negatif di mata masyarakat, oleh karena
itu perlu adanya aturan khusus yang mengatur
mengenai profesi Notaris dan PPAT agar
dimasukan sebagai pelapor yang wajib
melaporkan transaksi mencurigakan yang
dilakukan oleh para pihak.
Dimasukannya Notaris dan PPAT
sebagai pelapor atas transaksi mencurigakan,
maka secara tidak langsung Notaris dan PPAT
berperan secara langsung mewujudkan negara
yang bersih, damai dan sejahtera, selain itu secara
langsung laporan yang dilakukan oleh Notaris
dan PPAT membawa dampak positif bagi Notaris
dan PPAT itu sendiri. Dampak positif pertama
adalah laporan yang dilakukan oleh Notaris dan
PPAT dapat mengembalikan citra Notaris dan
PPAT yang selama ini dianggap sebelah mata
oleh masyarakat.
Berkaitan dengan akta yang dibuat
dihadapan Notaris, dapat saja para pihak yang
merupakan pelaku tindak pidana pencucian uang
yang memanfaatkan jasa Notaris dengan
membuat akta otentik atas suatu transaksi yang
memperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana
(ilegal). Kemungkinan perbuatan ini dilakukan
pelaku agar transaksi pencucian uang tersebut
terhindar dari jeratan hukum karena adanya
kerahasian jabatan yang dimiliki Notaris.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka
penyusun mengambil judul “Perlindungan
Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pelapor
Tindak Pidana Pencucian Uang”. dan dapat
dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
1.Apa peran Notaris sebagai pelapor
tindak pidana pencucian uang?
2.Apa perlindungan hukum terhadap
Notaris sebagai pelapor tindak pidana pencucian
uang?
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum. Penelitian Hukum
(legal Research) adalah menemukan kebenaran
koherensi yaitu apakah aturan hukum sesuai
dengan norma hukum, apakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan
prinsip hukum, dan apakah tindakan seseorang
sesuai dengan norma hukum (bukan hanya
sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum.2
Jenis Penelitian
Jenis penelitiannya dilakukan dengan
menggunakan tipe studi kepustakaan maka
metode yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif.
PEMBAHASAN
Pengertian Notaris
Pada awalnya jabatan Notaris
hakikatnya adalah sebagai pejabat umum
(private notary) yang ditugaskan oleh
kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan
masyarakat akan alat bukti otentik yang
memberikan kepastian hubungan hukum
keperdataan 3 , sepanjang alat bukti otentik tetap
diperlukan oleh sistem hukum negara maka
jabatan Notaris akan tetap diperlukan
2Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cet. Ketiga, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h.417
3 ? Hartati Sulihandri dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta, 2015, h.4
eksistensinya di tengah masyarakat.4
Sejak masuknya notariat di Indonesia
sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh
2 buah reglemen yang agak terperinci, yakni dari
tahun 1625 dan 1765. Di dalam tahun 1822 (Stb.
No. 11) dikeluarkan “Instructie voor de
Notarissen in Indonesia” yang terdiri dari 34
pasal. Pada tahun 1860 diundangkanlah suatu
peraturan mengenai Notaris yang dimaksudkan
sebagai pengganti peraturan-peraturan yang lama,
yaitu Peraturan Jabatan Notaris (Notaris
Reglement) yang diundangkan pada 26 Januari
1860 dalam (Staatblad Nomor 3) dan mulai
berlaku pada 1 Juli 1860. inilah yang menjadi
dasar yang kuat bagi pelembagaan Notaris di
Indonesia. Pada tanggal 6 Oktober 2004 telah
diterbitkan Undang-Undang No. 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya cukup
disingkat menjadi UUJN). Kemudian sekarang
telah dilakukan perubahan terhadap undang-
undang tersebut menjadi Undang-Undang nomor
2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-
satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta
otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya dan memberikan grosse,
salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.
Tugas dan Kewenangan Notaris Notaris berwenang membuat akta
4 ? Ibid
sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau
menurut aturan hukum yang wajib dibuat dalam
bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut
harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan
dengan prosedur pembuatan akta Notaris.
Selanjutnya menurut Pasal 15 ayat (2) UUJN,
Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi);
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (warmeeking);
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan (copy colatio);
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir);
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan
g. Membuat akta risalah lelang.
Dalam menjalankan jabatannya Notaris
mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan,
kewajiban Notaris diatur dalam:
Pasal 16, yaitu:a. Bertindak jujur, seksama, mandiri,
tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/ janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repotrorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2(dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,dan Notaris;
m. Menerima magang calon Notaris.
Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang
Istilah pencucian uang atau money
laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di
Amerika Serikat, yaitu ketika Al Capone,
penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci
uang hitam dari usaha kejahatannya dengan
memakai Meyer Lansky, orang Polansia, yaitu
seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al
Capone melalui usaha binatu (laundry)5. Al
Capone membeli perusahaan yang sah dan
resmi yaitu perusahaan pencucian pakaian atau
disebut laundromat yang ketika itu terkenal di
Amerika Serikat kemudian usaha pencucian
pakaian ini berkembang maju, dan berbagai
perolehan uang hasil kejahatan ditanamkan ke
perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang
hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian dan
hasil usaha pelacuran6. Pencucian uang atau
money laundering sampai sekarang masih
belum terdapat definisi atau pengertian yang
universal dan komprehensif.7
Pengertian Tindak Pidana Pencucian
Uang
Pengertian pencucian uang (money
laundering) sejauh ini tidak ada definisi
pencucian uang yang bersifat universal, artinya
setiap negara dapat merumuskan definisi sendiri
sesuai dengan kondisi negaranya8.Definisi
pencucian uang bermula dari pengertian yang
sempit, yaitu hanya dikaitkan dengan kejahatan
obat bius, namun dalam perkembangannya
pencucian uang tidak hanya ditunjukkan untuk
hasil dari drug dan trafficking tetapi juga
kejahatan lain, terutama kejahatan terorganisasi
5 ? Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta,2010, hal. 17.6 ? Ibid.7 ? R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TindakPidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,h. 218 ? Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering),Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2003 hal. 49.
(organized crime)9
Sutan Remy Sjahdeini mendefiniskan
pengertian pencucian uang adalah :
”rangkaian kegiatan yang merupakan
proses yang dilakukan oleh seseorang atau
organisasi terhadap uang haram, yaitu uang dari
Tindak Pidana, dengan maksud
menyembunyikan, menyamarkan asal usul uang
tersebut dari pemerintah ataupun otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap
tindak pidana dengan cara antara lain dan
terutama memasukkan uang tersebut dalam
sistem keuangan (financial system), sehingga
uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan
dengan sistem keuangan tersebut sebagai uang
yang halal”.10
Proses dan Tahapan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Secara umum terdapatbeberapa tahapan
dalam melakukan usaha tindak pidana pencucian
uang, yaitu sebagai berikut:
1 Penempatan (Placement)
Merupakan upaya menempatkan uang tunai yang
berasal dari tindak pidana ke dalam sistem
keuangan (financial system) atau upaya
menempatkan uang giral (cheque, wesel bank,
sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke
dalam sistem keuangan, terutama sistem
perbankan11
2 Transfer (Layering)
9 ? Ibid., hal 51
10 ? Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,2004, hal. 5.
11 ? Yenti Ganarsih, op., cit ,h.55
Merupakan upaya mentransfer harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana (dirty money)
yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia
jasa keuangan sebagai hasil upaya penempatan
(placement) ke penyedia jasa keuangan yang
lain. Dilakukannya layering, membuat penegak
hukum sulit untuk dapat mengetahui asal-usul
harta kekayaan tersebut.
3. Penggabungan (Integration)
Merupakan upaya menggunakan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang telah
berhasil masuk ke dalam sistem keuangan
melalui penempatan (placement) atau transfer
(layering) sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan halal (clean money). Di sini yang
yang “dicuci” malalui placement maupun
layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan
resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama
sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya
yang menjadi sumber dari uang yang dicuci.
Integration ini merupakan tipu muslihat untuk
dapat memberikan legitimasi terhadap uang
hasil kejahatan.12
Dampak dari Tindak Pidana Pencucian
Uang
Adapun dampak dari pencucian uang
adalah sebagai berikut:
1 Merongrong sektor swasta yang sah
(undermining the legitimate private
sectors).
2 Mengakibatkan rusaknya reputasi
negara (reputation risk).
3 Mengurangi pendapatan negara dari
12YentiGanarsih,Op.Cit.,hal.56.
sumber pembayaran pajak (loss revenue).
4 Merongrong integritas pasar keuangan
(undermining the integrity of finacial
markets).
5 Membahayakan upaya privatisasi
perusahaan negara yang dilakukan oleh
pemerintah (risk of privatization efforts).
6 Menimbulkan biaya sosial yang tinggi
(social cost).
7 Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan
ekonomi (economic distortion and
instability).
8 Mengakibatkan hilangnya kendali
pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya (loss of control of economic
policy).
9 Mengakibatkan kurangnya kepercayaan
kepada pasar dan terjadinya penipuan
(fraud), serta penggelapan
(embezzlement).
Peran Notaris Dalam Upaya Pencucian Uang
Pasal 17 ayat 1 UU PPTPPU terdapat
kelemahan karena undang-undang masih fokus
pada pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang pada sektor PJK
(Penyedia Jasa Keuangan),serta Notaris dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak
dikategorikan sebagai pihak pelapor sebagaimana
yang ditentukan dalam pasal 17 ayat 1 UU
PPTPPU, dengan tidak dikategorikannya profesi
Notaris dan PPAT sebagai pihak pelapor dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang, mengakibatkan tidak adanya
kewajiban hukum bagi Notaris dan/atau PPAT
untuk melaporkan transaksi mencurigakan yang
dilakukan para pihak. Imbas dari tidak
dimasukannya profesi Notaris sebagai pelapor
atas transaksi mencurigakan adalah pelaku
kejahatan memanfaatkan jasa Notaris dan PPAT
untuk membantu menyembunyikan dan
menyamarkan harta yang diperoleh dari hasil
kejahatan. Profesi Notaris dan PPAT yang
terhormat yang bertugas melayani masyarakat
dalam bidang hukum perdata seharusnya tidak
dijadikan sarana pencucian uang oleh pelaku
kejahatan, karena akan mencoreng profesi
Notaris dan PPAT, serta akan memunculkan
stigma negatif di mata masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, sebagaimana dalam Pasal 3
(tiga) Peraturan Pemerintah ini ditegaskan
bahwa profesi Notaris sebagai pihak pelapor
atas dugaan tindak pidana pencucian uang atas
akta yang dibuatnya. Peraturan Pemerintah ini
merupakan peraturan pelaksanaan ketentuan
pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No 43 Tahun 2015 menegaskan bahwa ”Pihak
Pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
wajib menyampaikan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK untuk
kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna
Jasa, mengenai pembelian dan penjuaan
properti, pengelolahan terhadap uang, efek,
dan/atau produk jasa keuangan lainnya,
pengelolahan rekening giro, rekening tabungan,
rekening deposito, dan/atau rekening efek,
pengoperasian dan pengelolahan perusahaan,
dan/atau pendirian, pembelian, dan penjualan
badan hukum”. Notaris harus menerapkan prinsip
mengenali pengguna jasa (Know Your
Consumer). Melalui penerapan Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa ini Notaris dapat
melakukan identifikasi dan verifikasi Pengguna,
kemudian tugas yang dibebankan kepada Notaris
adalah adanya keharusan bagi Notaris sebagai
pihak pelapor untuk melaporkan apabila adanya
transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan
oleh pengguna jasa.Menurut pasal 1 ayat (8) PP
RI no 43 tahun 2015, transaksi keuangan
mencurigakan adalah:
1 Transaksi keuangan yang menyimpang
dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola transaksi dari pengguna jasa yang
bersangkutan;
2 Transaksi keuangan oleh pengguna jasa
yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan
transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh pihak pelapor sesuai
dengan ketentuan undang-undang ini;
3 Transaksi keuangan yang dilakukan atau
batal dilakukan dengan menggunakan
harta kekayaan yang diduga berasal dari
hasil tindak pidana; atau;
4. Transaksi keuangan yang diminta oleh
PPATK untuk dilaporkan oleh pihak
pelapor karena melibatkan harta
kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana.
Pasal 18 ayat (3) UU PPTPPU “Kewajiban
menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa
dilakukan pada saat:
a. Melakukan hubungan usaha dengan
pengguna jasa;
b. Terdapat Transaksi Keuangan
Mencurigakan dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing yang
nilainya paling sedikit atau
setara dengan Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah);
c. Terdapat Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang terkait tindak
pidana Pencucian Uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme;atau
d. Pihak pelapor meragukan kebenaran
informasi yang dilaporkan pengguna
jasa.
Pasal 8 PP 43 tahun 2015 menjelaskan
bahwa:
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 wajib menyampaikan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK
untung kepentingan atau untuk dan atas nama
pengguna jasa, mengenai:
a. Pembelian dan penjualan properti;
b. Pengelolaan terhadap uang, efek,
dan/atau produk jasa keuangan lainnya;
c. Pengelolaan rekening giro, rekening
tabungan, rekening deposito, dan/atau
rekening efek;
d. Pendirian, pembelian, dan pengelolan
perusahaan;dan/atau;
e. Pendirian, pembelian, dan penjualan
badan hukum.
Isi dari pasal 1 ayat (8) Peraturan
Pemerintah No 43 Tahun 2015 tersebut
bertentangan dengan pasal 16 ayat (1) huruf
(f)Undang-Undang No 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 30 Tentang
Jabatan Notaris “merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembutan Akta
sesuai dengan sumpah/janji jabatan,kecuali
undang undang menentukan lain” dengan
menerapkan Asas lex superior derogat legi
inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang rendah (asas hierarki).
3.1 Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah suatu bentuk
pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman, baik fisik maupun
mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan
di sidang pengadilan.13 Perlindungan hukum
adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang
bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis.14
Perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia adalah prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada
Pancasila dan prinsip Negara Hukum
yang berdasarkan Pancasila. Elemen dan
ciri-ciri Negara Hukum Pancasila ialah:
1 Keserasian hubungan antara pemerintah 13http://seputarpengertian.blogspot.co.id/
2014/01/seputar-pengertian-perlindungan-hukum.htmdiakes pada tanggal 27 april 2017 pukul.20.15
14 Ibid
dengan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.
2 Hubungan fungsional yang proporsional
antara kekuasaan-kekuasaan Negara.
3 Prinsip penyelesean sengketa secara
musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir.
4 Keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut,
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
pemerintah diarahkan kepada:
1. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.
2. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah.
3. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui hubungan acaranya.15
Dalam rumusan perlindungan hukum
Philipus M. Hadjon sengaja tidak
mencantumkan pemerintah atau terhadap tindak
pemerintahan dengan pertimbangan dan alasan
berikut :
- Istilah rakyat sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah pemerintah. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang diperintah (the
15 Blog Saiiaa, Teori Perlindungan Hukum Dalam Melihat Peran Lembaga Keuangan Anjak Piutang (factoring),http://anamencoba.blogspot.co.id/2011/03/makalah-anjak-piutang.html diunduh,tanggal 20 Juli 2017
governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti : volks, people, peuple.
- Dicantumkannya terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemeritahan dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi antara rakyat sebagai yang diperintah dengan pemerintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai bagian dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara.16
Pengertian Pelapor
Menurut pasal 1 angka 11 UU PPTPPU
definisi pihak pelapor adalah Setiap Orang yang
menurut Undang-Undang (Pasal 17 ayat 1 UU
PPTPPU) ini wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK. Pada proses sebelum proses
penyidikan dan penyelidikan, dimana pelapor
melaporkan adanya tindak pidana pencucian uang
kepada penyidik dalam hal ini yaitu penyidik,
untuk kemudian laporan tersebut diselidiki
kebenarannya. Pada penjelasan UU PPTPPU
pasal 83 ayat (1) pelapor adalah setiap orang
yang beritikad baik dan secara sukarela
menyampikan laporan terjadinya dugaan tindak
pidana pencucian Uang. Pelapor pada hakikatnya
adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak
memberikan kesaksian dipersidangan. Pelapor
dapat juga sebagai korban dari tindak pidana itu
sendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
16Phihpus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 1
Pasal 1 ayat (1)
”Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.”
Pasal 1 ayat (2)
“Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.”
Pelapor harus diberi perlindungan
hukum dan keamanan yang memadai atas
laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya
dengan jaminan perlindungan hukum dan
keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu
keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak
lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak
pidana yang diketahuinya kepada penegak
hukum, karena khawatir atau takut jiwanya
terancam oleh pihak tertentu.
Salah satu alat bukti yang dijelaskan
dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang
pengadilan, dimana keterangan seorang saksi
saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
padanya (Unnus Testis Nullus) dan saksi harus
memberikan keterangan mengenai apa yang ia
lihat, dengar, ia alami sendiri tidak boleh
mendengar dari orang lain (Testimonium De
Auditu). Dalam Pasal 185 ayat (1) sampai
dengan ayat (7) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan :
1 Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah
apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan.
2 Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya.
3 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4 Keterangan beberapa saksi yang berdiri
sendiri-sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai
suatu alat bukti yang sah apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya
suatu kejadian.
5 Baik pendapat maupun rekàan, yang
diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi.
6 Dalam menilai kebenaran keterangan
seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi
satu dengan yang lain
b. persesuaian antara keterangan saksi
dengan alat bukti lain
c. alasan yang mungkin dipergunakan
oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta
segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.
7 Keterangan dari saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain tidak merupakan alat bukti
namun apabila keterangan itu sesuai
dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain.
Adapun syarat untuk dapat menjadi saksi
maupun pelapor dalam tindak pidana pencucian
uang yaitu:
1 Syarat objektif pelapor/saksi
a. Dewasa telah berumur 15 tahun /
sudah kawin
b. Berakal sehat
c. Tidak ada hubungan keluarga baik
hubungan pertalian darah /
perkawinan dengan terdakwa
2 Syarat subjektif saksi
Mengetahui secara langsung terjadinya
tindak pidana dengan melihat, mendengar,
merasakan sendiri.
3. Syarat formil
Saksi harus disumpah menurut
agamanya.17
Pada umumnya semua orang dapat
menjadi saksi maupun pelapor, kecuali menjadi
saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP
yaitu :
1 Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2 Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
17 ? Hamzah. Andi. Hukum Acara Pidana.,Sinar Grafika,Jakarta,2008. h. 78.
3 Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Hubungan kekeluargaan (sedarah atau
semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP
bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat,
martabat atau jabatannya diwajibkan manyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
memberi keterangan sebagai saksi. Menurut
penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan
yang menentukan adanya kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
Secara khusus perlindungan bagi Pelapor
dan Saksi tindak pidana pencucian uang telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57
Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Ketentuan teknis dalam pemberian
perlindungan bagi pelapor dan saksi dalam tindak
pidana pencucian uang diatur melalui Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
(KAPOLRI) Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap
Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang. Ketentuan mengenai
perlindungan khusus ditegaskan dalam pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003
menegaskan bahwa setiap pelapor dan Saksi
dalam perkara tindak pidana pencucian uang
wajib diberikan perlindungan khusus baik
sebelum, selama maupun sesudah proses
pemeriksaan perkara Bentuk perlindungan
khusus yang dimaksud adalah perlindungan atas
keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental,
perlindungan terhadap harta, perlindungan berupa
perlindungan bagi Pelapor, tetapi ketentuan
yang ada dalam undang-undang ini berlaku
untuk saksi dan korban semua tindak pidana
termasuk tindak pidana pencucian uang.
Perlindungan Bagi Pelapor Tindak
Pidana
Pengaturan mengenai perlindungan bagi
pelapor dan saksi dalam UU PPTPPU diatur
dalam bab tersendiri Bab IX. Ada 5 (lima)
pasal yang mengatur mengenai permasalahan
tersebut, yaitu Pasal 83 sampai dengan Pasal 87.
Pasal-pasal tersebut pada pokoknya mengatur
hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 83 ayat (1) dan (2) UU PPTPPU kewajiban untuk merahasiakan indentitas pelopor baik oleh PPATK, penyidik, penuntut umum, maupun hakim. Adapun pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menimbulkan hak bagi pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan;
2. Pasal 84 ayat (1) UU PPTPPU kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus oleh negara terhadap setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan TPPU, baik dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya;
3. Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU PPTPPU pelarangan untuk menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor di sidang pengadilan. Bahkan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan adanya pelarangan tersebut kepada saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut;
4. Pasal 86 ayat (1) UU PPTPPU kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus oleh negara terhadap setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan TPPU, baik dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya; dan
5. Pasal 87 UU PPTPPU. Pemberian jaminan kepada pelapor dan/atau saksi sehingga tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
UU PPTPPU sangat memperhatikan
perlunya pemberian perlindungan baik terhadap
pelapor maupun saksi. Jaminan perlindungan
tersebut telah diberikan pada saat pelaporan.
Pemberian perlindungan tersebut diberikan
sebelum maupun sesudah proses pemeriksaan
perkara. Secara materiil, pengaturan mengenai
perlindungan bagi korban dan saksi tindak pidana
pencucian uang dalam UU PPTPPU tidak hanya
sebatas pada perlindungan fisik tetapi juga
perlindungan hukum yang berupa perlindungan
kepada pelapor dan saksi dari adanya gugatan
atau tuntutan baik secara perdata atau pidana.
Pada Pasal 86 ayat (1) UU PPTPPU
bahwa setiap orang yang memberikan kesaksian
dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang
wajib diberi perlindungan khusus oleh negara
dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya. Secara spesifik, pengertian saksi
dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU
Perlindungan Saksi, yang menetapkan bahwa
”saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri”.
Penjelasan Pasal 83 ayat (1) UU
PPTPPU dicantumkan definisi mengenai
“pelapor”, yaitu setiap orang yang beritikad baik
dan secara sukarela menyampaikan laporan
terjadinya dugaan tindak pidana pencucian
uang. Pasal 84 UU PPTPPU diatur bahwa
setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan
tindak pidana pencucian uang wajib diberi
Perlindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya.
Disadari bahwa karena terbatasnya
cakupan pihak-pihak yang akan memperoleh
Perlindungan khusus yang hanya pelapor
dugaan tindak pidana pencucian uang dan saksi
tindak pidana pencucian uang, maka
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57
Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang telah memperluas pengertian
”pelapor” sehingga meliputi:
1 Pihak Pelapor yang karena
kewajibannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan menyampaikan
laporan transaksi keuangan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam
UU PPTPPU;
2 Pelapor yang karena secara sukarela
melaporkan kepada penyidik tentang
adanya dugaan terjadinya tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang. Serta Pihak
Pelapor yang karena kewajibannya
berdasarkan peraturan perundang-
undangan menyampaikan laporan
transaksi keuangan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam UU
PPTPPU juga mendapatkan perlindungan
berupa:
a. Pelepasan dari tuntutan pidana dan
gugatan perdata;
b. Pengecualian dari ancaman dalam
ketentuan kerahasiaan;
c. Kewajiban merahasiakan identitas
Pihak Pelapor bagi pejabat dan
pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, atau hakim.
PENUTUP
Kesimpulan
1.Notaris sebagai pelapor tindak pidana
pencucian uang mempunyai tugas dan
kewajiban sebagai berikut:
1. Notaris harus menerapkan prinsip
mengenali pengguna jasa (Know Your
Consumer). Melalui penerapan Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa ini notaris
dapat melakukan identifikasi dan
verifikasi Pengguna.
2. Adanya keharusan bagi notaris sebagai
pihak pelapor untuk melaporkan apabila
adanya transaksi keuangan mencurigakan
yang dilakukan oleh pengguna jasa
sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak
Pelapor Dalam Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Dengan adanya tugas dan kewajiban
tersebut, Notaris dapat berperan secara
langsung demi mewujudkan negara
yang bersih, damai dan sejahtera,
2 Perlindungan Hukum terhadap Notaris
sebagai pelapor dalam tindak pidana
pencucian uang, dalam UU PPTPPU
dan Peraturan Pemerintah No. 57 tahun
2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus bagi Pelapor dan Saksi TPPU
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4335). sangat diperhatikan
perlindungan hukumnya. Jaminan
perlindungan tersebut telah diberikan
pada saat pelaporan. Dengan demikian
pemberian perlindungan tersebut
diberikan sebelum, selama maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara.
Secara materiil, pengaturan mengenai
perlindungan bagi korban dan saksi
tindak pidana pencucian uang dalam
UU PPTPPU tidak hanya sebatas pada
perlindungan fisik tetapi juga
perlindungan hukum yang berupa
perlindungan kepada pelapor dan saksi
dari adanya gugatan atau tuntutan baik
secara perdata atau pidana.
2. Saran
1 Mengenai peran notaris sebagai pelapor
tindak pidana pencucian uang,
meskipun Notaris sudah dikategorikan
sebagai pelapor sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 3 (tiga)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2015, sebaiknya
Notaris harus dimasukkan sebagai
kategori pelapor dalam UU PPTPPU,
agar hal ini tidak bertentangan dengan
pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-
Undang No 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Jabatan
Notaris demi terciptanya kepastian
hukum. Perlu adanya sosialisasi kepada
Notaris dalam melaporkan adanya
Transaksi Keuangan Mencurigakan
kepada PPATK, juga perlu diatur
prosedur dan teknis pelaksanaanya agar
mempermudah pelaporan, sehingga
Notaris dapat segera melaksanakan tugas
dan pekerjaanya kembali untuk melayani
masyarakat,.
2 Sebagai pelapor dalam tindak pidana
pencucian uang, Notaris dalam hal ini
perlu mendapatkan sosialisasi serta
bimbingan yang mendalam terhadap
perannya dalam proses pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, serta dijelaskan tentang adanya
perlindungan hukum sesuai yang
tercantum dalam UU PPTPPU dan
Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus
bagi Pelapor dan Saksi TPPU (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4335), sehingga jelas bentuk hak dan
kewajibannya dalam proses pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, dengan demikian tugas
Notaris sebagai salah satu pelapor
dalam tindak pidana pencucian uang
dapat berlangsung secara efektif dan
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. LITERATUR
Adjie, Habib Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008
Andi Hamzah.. Hukum Acara Pidana.,Sinar Grafika,Jakarta,2008
Fuady Munir. Bisnis kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Citra Aditya Bakti, Bandung,2004
Ganarsih Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering),Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: 2003
_____________, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di Indonesia Jakarta: PT Rajagrafindo persada,2015
Husein Yunus, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 3, 2003
Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum.. Sinar Grafika,Jakarta,2009
Ivan Yustiavandana, , Arman nefi, dan Adiwarman, tindak pidana pencucian uang di pasar modal Ghalia Indonesia,Jakarta,2010
Lumban Tobing G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta,1999
M. Hadjon Phihpus, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987Mahmud Marzuki Peter, Penelitian Hukum,
Edisi Pertama Cet. Ketiga, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
___________________, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana,Jakarta, 2008N Welling Sarah,”Smurf, Money Laundering, and
The U.S.Fed. Criminal Law:The Crime of Structuring Transactions,Flo.L.Rev.,Vol.41,1989
Nasution Bismar, Rezim Anti-Money laundering Di Indonesia, Books Terrace & Library Pusat Informasi Hukum Indonesia, Bandung,2005
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,2004
Sutedi Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,2008
Utami Triwidayati, Peranan dan Hambatan Dalam Menjalankan Fungsi Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dan Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Fakultsa Hukum Universitas Indonesia, 2009
Wiyono R., S.H. “ Pembahasan Undang undang Pencegahan dan pembertantasan Tindak Pidana Pencucian Uang “ Sinar Grafika, Jakarta 2014
2. PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2015 tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak
Pidana Pencucian Uang
Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (KAPOLRI) Nomor
17 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pemberian Perlindungan Khusus
terhadap Pelapor dan Saksi dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang
3. SUMBER LAIN
- Fithriadi Muslim, Journal on anti money Laundering,”Fungsi Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”, Depok, Pusat Kajian Anti Pencucian Uang Indonesia Indonesia Research Center for AMLCFT (IRCA), 2013
- Yunus Husein, “Telaah Penyebab Indonesia Masuk Dalam List Non Cooperative CountriesAnd Territories Oleh FATF On Money Laundering.” (Makalah disampaikan pada Seminar MoneyLaundering Ditinjau Dari Prspektif Hukum Dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001
- Sri Rejeki, Tesis Perlindungan Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta
- Blog Saiiaa, Teori Perlindungan Hukum Dalam Melihat Peran Lembaga Keuangan Anjak Piutang (factoring), anamencoba.blogspot.com /2011 /04 /teori-perlindungan-hukum-dalam-melihat.html, diunduh, tanggal 29 Agustus 2013
- Edu Kasiana, Pengertian Perlindungan Hukum, http://www.pendidikan-news.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html , diunduh , tanggal 19 Agustus 2013
- https://www.narotama.ac.id/ download_berita/Seminar%20Perlindungan%20Hukum%20dan%20Peran%20Notaris%20Sebagai%20Pelapor%20TPPU.pdf diunduh pada tanggal 29 juli 2018