Upload
dangxuyen
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai
pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan
yang dilaksakan pada hakekatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat itu
sendiri. Sektor peternakan diharapkan dapat mengisi pembangunan dengan
memenuhi kebutuhan akan protein hewani masyarakat dengan tujuan
meningkatkan kesehatan serta kecerdasan warganya. Daging, telur dan susu
merupakan bahan pangan asal hewan yang berkualitas tinggi karena mengandung
protein yang tersusun dari asam amino essensial yaitu asam amino yang tidak
dapat diproduksi oleh tubuh ataupun tidak dapat digantikan oleh sumber makan
lain atau protein nabati. Dengan demikian asupan protein yang cukup dapat
meningkatkan tingkat kecerdasan masyarakat. Disamping itu, sektor ini
diharapkan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan peluang
usaha di bidang peternakan.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Jakarta, maka terjadi pula
peningkatan kebutuhan pangan warga Jakarta, begitu juga penduduk Jakarta Utara
semakin meningkat pula kebutuhan pangannya termasuk yang berasal dari hewan
dan ikan seperti kebutuhan daging ayam di wilayah DKI Jakarta sebanyak
500.000 ekor perhari. Berdasarkan kondisi di atas, yaitu jumlah penduduk Jakarta
termasuk penduduk Jakarata Utara, maka wilayah Jakarta Utara merupakan salah
satu pasar komoditas ternak, Bahan Asal Hewan (BAH) dan ikan yang cukup
besar. Untuk memenuhi kebutuhan daging di masyarakat, pemerintah dan swasta
2
memasoknya dengan mengimport daging, hati dan jeroan sapi serta daging ayam
bagian leher, paha dan bagian lainnya yang tidak dikonsumsi oleh Negara asal.
Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan daging atau ternak selain ikan, warga
Jakarta Utara mendatangkannya dari luar daerah melalui beberapa pintu masuk,
yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menyebabkan pengawasan terhadap
lalulintas atau peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) baik kualitas dan kuantitas
kurang terawasi. Akibatnya lalulintas ternak dan Bahan Asal Hewan (BAH) yang
masuk Jakarta Utara cenderung meningkat sehingga resiko timbulnya penyakit
hewan menular dan zoonosis juga meningkat.
Masyarakat Indonesia mayoritas adalah masyarakat yang hidup di bawah
garis kemiskinan dan kurang memperoleh berbagai informasi mendorong pada
pemikiran membeli kebutuhan pangan seperti daging memilih yang lebih murah
asal bisa dapat makan daging dan tidak merasakan sakit pada saat
mengkonsumsinya. Hal ini memicu tumbuhnya pasar gelap atau ilegal dan
penjualan daging yang tidak ASUH. Sejalan dengan prinsip ekonomi dimana
permintaan yang tinggi akan membuat reaksi penyediaan barang yang tinggi pula,
seperti di daerah Jakarta Barat terdapat daging import ilegal sebanyak 2,7 ton
berasal dari Kanada (http://www.tempointeraktif.com/2004/08/31). Daging ini
dicurigai mengandung penyakit sapi gila. Badan Karantina Pertanian menemukan
sebanyak 23.950 kg hati sapi beku ilegal yang berasal dari AS dan Rusia
(http://www.kompas.com/03/08/05). Di wilayah Jakarta Timur ditemukan 108
kasus penjualan daging ayam mati pada tahun 2004
(http://www.tempointeraktif.com/2005/03/13).
3
Dengan mengabaikan kriteria ASUH maka harga dapat dipastikan lebih
murah. Selanjutnya pedagang seolah berlomba menyediakan permintaan ini.
Dengan demikian peluang beredarnya Bahan Asal Hewan (BAH) yang tidak
ASUH semakin meningkat. Akibatnya lalu lintas ternak dan Bahan Asal Hewan
(BAH) yang masuk Jakarta Utara cenderung meningkat sehingga resiko timbulnya
penyakit hewan menular ke hewan dan bahaya penyakit yang bersumber dari
hewan ternak terhadap manusia (zoonosis) juga meningkat.
Menurut Hermawati (1997), Produk Pangan Asal Hewan merupakan
bahan makanan yang mudah rusak atau mudah tercemar baik oleh bakteri yang
berbahaya juga oleh mikrobial maupun yang dapat mengandung residu yaitu
bahan antibiotik, hormon, pestisida logam berat dan juga zat kimia yang
berbahaya lainnya. Cemaran tersebut dapat mengancam kesehatan masyarakat
sebagai konsumen dan berpotensi mengganggu kesehatan manusia (food borne
disease).
Pengawasan merupakan suatu tindakan sikap dalam pengendalian yang
bertujuan menghindari akibat yang tidak dikehendaki. Pengawasan dianggap
tindakan yang paling efektif untuk mencapai tujuan pada pelaksanaan pekerjaan
sesuai dengan apa yang diinginkan. Untuk itu pengawasan dapat dilakukan oleh
pemerintah terhadap masyarakat, masyarakat terhadap pemerintah, masyarakat
terhadap masyarakat dan pemerintah terhadap pemerintah.
Pelaksanaan tugas pemerintah khususnya dalam bidang pengawasan
dewasa ini semakin meningkat, baik kualitas maupun kuantitas seiring dengan
perkembangan aktivitas pembangunan disegala bidang kehidupan. Jika
4
pengawasan dilaksanakan dengan optimal oleh aparat, maka peredaran produk
pangan asal hewan ilegal dan tidak ASUH dapat dicegah.
Disamping sebagai pelayan yang melayani segala keperluan, kebutuhan
masyarakat pemerintah juga mempunyai tugas mengawasi setiap sikap dan
tindakan masyarakat yang menyimpang dari aturan yang ditetapkan baik dalam
bentuk undang-undang, perda, instruksi dan lain-lain.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang konsumsi pangan
adalah suatu kegiatan pengawasan terhadap peredaran Bahan Asal Hewan (BAH)
yang dikelola oleh masyarakat mulai dari proses produksi, diolah atau diproses
sampai diedarkan hingga ke konsumen akhir. Dapat dilihat bahwa peredaran
Bahan Asal Hewan (BAH) ini masih ditemui beberapa kasus daging yang tidak
memenuhi syarat secara teknis dan atau ilegal yang beredar di pasar khususnya
pasar tradisional dan penjualan daging yang tidak ASUH. Prosedur pemasukan
produk pangan hewani bertujuan agar pemerintah dan juga masyarakat
memperhatikan persyaratan teknis kesehatan masyarakat veteriner sesuai
peraturan yang berlaku.
Untuk mencegah masuknya Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU),
terjaminnya keamanan pangan dan menjaga ketentraman bathin masyarakat yang
mengkonsumsinya, maka proses pemasukan produk pangan asal hewan dari luar
Jakarta Utara harus melalui prosedur baku dan analisa resiko. Sehingga produk
pangan asal hewan yang masuk ke wilayah Jakarta Utara harus memenuhi kriteria
ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).
Kegiatan lalulintas Bahan Asal Hewan (BAH) merupakan aspek penting
dalam upaya meningkatkan kemampuan produksi dan jangkauan pasar menuju
5
wilayah konsumen atau untuk diolah lebih lanjut sebagai bahan baku. Sehingga
diharapkan peran dari pemerintah Kotamadya Jakarta Utara untuk memfasilitasi
dan sekaligus menjaga ketersediaan dan terdistribusinya Bahan Asal Hewan
(BAH) yang memenuhi syarat teknis yang menjamin keamanan, kesehatan,
keutuhan serta kehalalan bagi masyarakat sebagai konsumen dan menghindari
kemungkinan masuknya Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU) dari luar
wilayah Jakarta Utara.
Dalam lalu lintas Bahan Asal Hewan (BAH) antar pulau juga harus
diperhatikan resiko penyebaran penyakit dan keamanan konsumen serta status
kehalalannya. Untuk itu peran pengawasan oleh pemerintah menjadi perhatian
baik pada saat ternak akan dipotong (ante mortem) dan setelah dipotong (post
mortem). Setelah menjadi produk untuk dikonsumsi harus diperlakukan dengan
baik yaitu pada saat penyimpanan pengangkutan untuk didistribusikan harus
sesuai dengan persyaratan teknis yang diatur dalam pelaksanaan teknis tata cara
pemotongan dan penanganan hewan ternak sehingga produk pangan asal hewan
ini tetap terjaga kondisinya tidak tercemar.
Untuk mengetahui bahwa produk pangan asal hewan yang berasal dari
hewan ternak lokal atau dalam negeri dapat dinyatakan baik yaitu memenuhi
kriteria ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), harus berasal dari Rumah Potong
Hewan Ternak yang terawasi dengan baik dan memenuhi syarat pada dokumen
teknis (Surat Keterangan Kesehatan) yang menyertainya. Dengan demikian sangat
diharapkan peran kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) dalam pengawasan
lalulintas Bahan Asal Hewan (BAH) sesuai dengan kebijakan pemerintah yang
berdasarkan persyaratan teknis.
6
Pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante mortem)
dan setelah dipotong (post mortum) merupakan tugas dan fungsi dari Suku Dinas
Peternakan Perikanan dan Kelautan Kotamadya Jakarta Utara. Pemeriksaan ini
dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) yang diawasi terus oleh petugas dan
juga pemeriksaan ini dilakukan pada Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Balai Kesehatan Hewan dan Ikan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian lalulintas Bahan Asal Hewan
(BAH) ini merupakan tugas Seksi Pengawasan Penertiban bersama Seksi
Kesmavet pada Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kotamadya
Jakarta Utara, sehingga perlu mendapat perhatian pada bagian ini untuk tetap
mendapat dukungan dari pimpinan Suku Dinas Peternakan Perikanan dan
Kelautan Kotamadya Jakarta Utara agar masyarakat konsumen di wilayah Jakarta
Utara dapat terlindungi dari bahaya yang disebabkan oleh penyakit yang
disebabkan oleh Produk Pangan Asal Hewan.
Berdasarkan pada keadaan ini penulis melakukan penelitian tentang
Analisis Pelaksanaan Tugas Pengawasan Peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) di
Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kotamadya Jakarta Utara.
1.1.1 Identifikasi Masalah
Dari berbagai permasalahan dalam pengawasan peredaran Bahan Asal
Hewan (BAH) di wilayah Jakarta Utara seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat
diidentidikasi beberapa permasalah sebagai berikut :
a. Masih terdapat Bahan Asal Hewan beredar di pasar secara gelap atau ilegal
dan yang tidak ASUH, seperti masuknya ayam dari luar wilayah Jakarta Utara
7
masih ada yang tidak dilengkapi surat keterangan oleh dokter hewan daerah
asal dan surat keterangan farm atau peternakan sumber ayam tersebut, armada
serta sarana pengangkuatan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku,
pemotongan hewan di luar RPH khususnya kambing. Ini menujukkan masih
kurangnya pengawasan oleh petugas pengawas dan penertiban. Dari hasil
pemeriksaan Laboratorium Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Privinsi
DKI Jakarta, BAH yang beredar di wilayah DKI Jakarta dapat dilihat seperti
pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Pemeriksaan BAH secara mikrobiologi dan residu antibiotik di wilayah DKI Jakarta
NO. WILA YAH
JENIS SAMPEL
JUMLAH SAMPEL
HASIL PENGUJIAN TPC E. COLI SALMONELLA
≤ 104 ≥ 104 < 50 > 50 NEGATIF
POSI TIF
1 Jakarta Selatan
Daging Ayam 34 5 29 30 4 34 0
DagingSapi 56 0 56 49 7 56 0 Telur ayam 15 - - - - 15 0 Susu sapi 15 - 15 - - - -
2 Jakarta Timur
Daging Ayam 39 1 38 39 0 39 0
DagingSapi 51 0 51 51 0 51 0 Telur ayam 15 - - - - 15 0 Susu sapi 15 - 15 - - - -
3 Jakarta Pusat
Daging Ayam 44 21 23 36 8 44 0
DagingSapi 46 11 35 39 7 46 0 Telur ayam 15 - - - - 7 8
4 Jakarta Barat
Daging Ayam 35 2 33 20 15 30 5
DagingSapi 55 5 50 49 6 55 0 Telur ayam 15 - - - - 15 0
5 Jakarta Utara
Daging Ayam 46 36 10 42 4 46 0
DagingSapi 44 14 30 43 1 44 0
Telur ayam 15 - - - - 15 -
Sumber : Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Prov.DKI Jakarta.
Berdasarkan hasil pengujian secara mikrobiologi maupun residu antibiotik
diperoleh kelayakan sebagai berikut seperti pada table berikut :
8
Tabel 2. Rekapitulasi Bahan Asal Hewan (BAH) layak dan tidak layak konsumsi di wilayah DKI Jakarta.
No. Jenis Sampel Layak Tidak layak Σ
1 Daging Ayam 54 144 198
2 Daging sapi 25 227 252
Σ 79 371 450
Sumber : Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Prov.DKI Jakarta.
Dari 450 sampel, sebanyak 79 sampel (17,55 %) layak untuk dikonsumsi
sedangkan 371 sampel (82,45 %) tidak layak dikonsumsi. Kondisi tersebut
dikarenakan terkait dengan jumlah TPC yang relatif tinggi.
b. Dalam melaksanakan perlindungan sebagai implikasi pelaksanaan Undang-
undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang dilarang
mengedarkan pangan yang beracun, berbahaya bagi kesehatan jiwa manusia,
pangan yang terdeteksi cemarannya melampaui ambang batas, pangan yang
mengandung bahan terlarang, pangan yang kotor, busuk, tengik, berpenyakit,
dan berasal dari bangkai, pangan yang sudah kadaluarsa. Apabila terjadi
pelanggaran dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Undang-
Undang UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Bab
IV pasal 8 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud. PP No. 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner dalam Bab II pasal 4 disebutkan bahwa
setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat. Kebijakan
yang diambil masih kurang baik, seperti kurangnya melibatkan masyarakat
9
konsumen, masyarakat pemerhati seperti YLKI, MUI, pihak PD. Pasar Jaya
dan pedagang sebagai stakeholder untuk mengawasi masuknya Bahan Asal
Hewan (BAH) dari luar Jakarta, peternak yang memotong hewannya di luar
RPH dan pedagang yang tidak resmi yaitu pedagang di pasar tradisional yang
tidak mempunyai kios penjualan atau pedagang di lapak-lapak di luar PD.
Pasar Jaya menjual Bahan Asal Hewan (BAH) yang tidak ASUH.
c. Masih kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang Bahan Asal Hewan
yang ASUH dan pengaruhnya terhadap kesehatan konsumen, seperti tanda-
tanda ayam tiren atau ayam mati kemarin. Ayam ini mati dalam perjalanan
masuk ke wilayah Jakarta dari daerah asal. Bagaimana ciri daging grobogan
atau daging yang kandungan airnya banyak yaitu sapi dipaksa minum air
yang banyak sebelum sapi dipotong dengan tujuan menambah berat daging
dan hal ini jelas merugikan pembeli. Ayam yang diberi pewarna tekstil yaitu
zat pewarna yang terdiri dari zat kimia berbahaya bagi tubuh manusia karena
ini dapat menjadi residu dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan penyakit
seperti kanker dan lain sebagainya. Zat pewarna tekstil ini tidak direkomendir
oleh pemerintah.
d. Masih ada pedagang yang memanfaatkan kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang Bahan Asal Hewan yang ASUH sehingga pedagang menjual Bahan
Asal Hewan yang tidak ASUH untuk memperoleh keuntungan yang besar.
e. Masih ada pedagang di pasar tradisional yang menjual Bahan Asal Hewan
yang tidak ASUH berdagang di luar kios pasar resmi sementara pihak pasar
jaya tidak mempunyai kewenangan untuk memberi sanksi, karena ini adalah
kewenangan dari pemerintah setempat atau Kelurahan.
10
1.1.2 Rumusan Masalah
Masuknya Bahan Asal Hewan (BAH) ilegal dan tidak ASUH yang beredar
di pasar di wilayah Kotamadya Jakarta Utara, seperti adanya terdapat ayam
bangkai di pasar, daging yang sudah tidak sehat, daging celeng dan masuknya
daging import ilegal diduga mengandung penyakit hewan seperti mulut dan kuku
yang dapat menular kepada manusia (zoonosa).
Permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah
khususnya sektor peternakan yaitu Suku Dinas Peternakan Perikanan dan
Kelautan Kotamadya Jakarta Utara, Seksi Pengawasan dan Penertiban bersama
Seksi Kesmavet dalam pengawasan lalulintas Bahan Asal Hewan (BAH) sesuai
dengan kebijakan yang berdasarkan syarat teknis perlu terus ditingkatkan serta
tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk melakukan upaya mengatasi peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) ilegal
dan tidak ASUH dapat dilakukan dengan suatu perumusan sebagai berikut :
1. Faktor apa yang mempengaruhi peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) yang
tidak ASUH di Kotamadya Jakarta Utara?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pengawasan peredaran
Bahan Asal Hewan (BAH) di Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan
Kotamadya Jakarta Utara?
3. Rekomendasi apa yang harus diambil untuk mewujudkan pengawasan
peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) yang ASUH di wilayah Jakarta Utara?
11
1.2 Tujuan Penelitian
Dari rumusan yang ditentukan di atas maka dapat disampaikan tujuan
penelitian yang ingin dicapai adalah untuk :
1. Mengetahui penyebab peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) yang tidak ASUH
di Kotamadya Jakarta Utara.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengawasan peredaran
Bahan Asal Hewan (BAH) di Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan
Kotamadya Jakarta Utara.
3. Mencari rekomendasi yang tepat untuk mewujudkan pengawasan peredaran
Bahan Asal Hewan (BAH) yang ASUH di wilayah Jakarta Utara.
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Memberi kesempatan bagi penulis untuk menerapkan pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh selama perkuliahan yang disampaikan dalam
bentuk tulisan ini.
2. Sebagai bahan masukan bagi Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan
Kotamadya Jakarta Utara dalam pengawasan peredaran Bahan Asal Hewan
(BAH).
3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat konsumen Produk Pangan Asal
Hewan akan konsumsi Bahan Asal Hewan (BAH) yang ASUH (Aman, Sehat,
Utuh dan Halal).
12
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dapat meluas pada pembahasan fokus dan lokasinya. Untuk
itu dengan keterbatasan yang ada pada penulis, maka perlu untuk dilakukan
batasan-batasan. Dengan batasan ini, diharapkan penelitian ini dapat dilakukan
pembahasan yang lebih jelas.
Penelitian ini pada fokus Pangan Asal Hewan dibatasi pada Bahan Asal
Hewan (BAH) saja dan tidak sampai ke Hasil Bahan Asal Hewan (HABAH).
Bahan Asal Hewan (BAH) adalah pangan asal hewan berupa daging, baik ayam,
sapi, kambing sementara Hasil Bahan Asal Hewan (HABAH) berupa susu, produk
olahan seperti sosis, bakso daging, nuget, yougard. Lokus penelitian ini adalah
wilayah Jakarta Utara tempat penulis bekerja.
Dari pengawasan peredaran Bahan Asal Hewan (BAH) di Jakarta Utara
yang kompleks yang dilakukan, maka penulis membatasi hanya pada faktor yang
dianggap mempengaruhi pengawasan yang digali dari petugas Suku Dinas
Peternakan Perikanan dan Kelautan Kotamadya Jakarta Utara, masyarakat sebagai
konsumen, pedagang. Penulis juga menggali sumber yang dianggap perlu untuk
memperdalam hasil yang ingin diperoleh dari MUI, YLKI dan pihak PD. Pasar
Jaya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perhatian dari MUI,
YLKI dan PD. Pasar Jaya terhadap kebutuhan masyarakat akan perlindungan dari
konsumsi protein hewani dengan menyediakan Bahan Asal Hewan (BAH) yang
ASUH, sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi dengan bathin yang tenang dan
nyaman. Dengan demikian diharapkan pengawasan dapat dilakukan dengan
maksimal untuk mewujudkan maksud tersebut.
13
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerhati dalam hal ini MUI dan YLKI
adalah sebagai juri ketika pemerintah lengah dalam pengawasan secara teknis
sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pemerhati nantinya diharapkan sebagai
partner sekaligus sebagai stakeholder pemerintah dalam pengawasan Bahan Asal
Hewan (BAH) yang ASUH dengan melakukan koordinasi yang sinergi dengan
pemerintah sebagai fasilitator. Stakeholder ini diharapkan dapat memberi suatu
masukan kepada pemerintah untuk menyempurnakan hasil yang akan diperoleh
pada pelaksanaan tugas-tugas dalam agenda pemerintah sebagai bentuk pelayanan
kepada masyarakat.