Upload
aldhian
View
9
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman
flora dan fauna. Salah satu dari kekayaan fauna tersebut adalah spesies penyu laut.
Di alam terdapat tujuh spesies penyu laut yang hidup di berbagai perairan di dunia
(Pritchard, 1979 dalam Ariane 1994). Enam diantaranya pernah ditemukan
bereproduksi di perairan Indonesia. Jenis-jenis penyu tersebut adalah; penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan/ bromo
(Caretta caretta), penyu sisik semu (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing
(Dermochelys coriacea), dan penyu pipih (Natator depresus). Dari keenam jenis
penyu tersebut, penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik semu
(Lepidochelys olivacea), merupakan dua jenis penyu yang paling banyak dijumpai
dan terdistribusi luas di perairan Indonesia (Tomascik et al., 1997 dalam
Purwanasari, 2006).
Semua spesies penyu yang ada di dunia oleh Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) dimasukkan ke
dalam Apendix I sebagai hewan yang terancam punah dan dilindungi serta tidak
diperkenankan untuk diperdagangkan (Zamani, 1998). Di Indonesia perlindungan
terhadap semua jenis penyu laut telah ditetapkan di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 dan dipertegas dengan Peraturan
Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi. Dalam peraturan pemerintah tersebut ditetapkan semua
jenis penyu dilindungi. Beberapa tempat juga telah ditetapkan sebagai kawasan
perlindungan penyu di Indonesia di antaranya, Taman Nasional Meru Betiri,
2
Taman Nasional Alas Purwo, Suaka Margasatwa Jamursba Medi Irian Jaya dan
beberapa tempat lainnya (Purwanasari, 2006).
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN) mengkatagorikan penyu hijau sebagai salah satu spesies penyu laut yang
terancam punah dan tidak dapat bertahan jika faktor-faktor penyebab kepunahan
masih terus berlangsung (Ariane, 1994). Secara umum, penyebab penurunan
populasi penyu hijau di alam dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu;
faktor alam dan faktor anthropogenic. Faktor alam berhubungan dengan
perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah, seperti; abrasi pantai,
perubahan suhu pasir, penyakit dan predator alami. Sedangkan faktor
anthropogenic merupakan ancaman yang berhubungan dengan adanya aktifitas
manusia, baik pemanfaatan terhadap pantai habitat peneluran maupun
pemanfaatan terhadap spesies penyu, misalnya; pemanfaatan penyu dan telur
penyu serta interaksi terhadap aktifitas perikanan (Purwanasari, 2006).
Perubahan iklim (global warming) memberikan pengaruh terhadap
perubahan suhu alam, sehingga memberikan efek secara tidak langsung terhadap
seluruh makhluk hidup (Lanfredi et al., 2008). Perubahan suhu ini memberikan
dampak langsung pada suhu pasir tempat penyu hijau bertelur. Ackerman (1981)
menyatakan bahwa suhu pasir sarang berpengaruh terhadap masa inkubasi telur
penyu laut, karena semakin rendah suhu pasir maka masa inkubasinya semakin
lama. Lebih lanjut, Ariane (1994) mengemukakan bahwa kestabilan suhu pasir
pada pusat sarang telur penyu merupakan faktor penentu terhadap keberhasilan
penetasan telur penyu.
3
Nuitja (1983) menyatakan bahwa di Citirem pada kedalaman 15 cm
menunjukkan kisaran suhu yang besar (26,6oC – 35,2oC), dengan bertambahnya
kedalaman sarang 30 – 60 cm, maka kisaran suhu semakin kecil (28,5oC – 33,3oC)
dan keberhasilan penetasannya adalah 70,0% - 78,3%. Hal ini membuktikan
bahwa kedalaman sarang dapat mempengaruhi kestabilan suhu pasir.
Salah satu habitat peneluran penyu Hijau di Indonesia adalah Pantai
Sukamade yang terletak di Dusun Sukamade, Desa Sarongan, Kecamatan
Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur yang merupakan
bagian dari kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Untuk menunjang
upaya pelestarian dan pengembangan populasi penyu, terutama penyu hijau, perlu
dilakukan penelitian mengenai aspek ekologi peneluran penyu laut guna
memperbesar persentase tingkat keberhasilan penetasan telur penyu dalam
kegiatan konservasi penyu di Taman Nasional Meru Betiri. Penelitian ini
diharapkan akan dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kegiatan
konservasi penyu yang dikemudian hari dapat diminimalisasi sehingga mampu
meningkatkan perannya dalam konservasi penyu secara umum.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
perumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Apakah kedalaman sarang penetasan telur yang berbeda dapat
mempengaruhi keberhasilan masa inkubasi telur penyu hijau (C. mydas)?
2. Apakah kedalaman sarang penetasan telur yang berbeda dapat
mempengaruhi persentase keberhasilan penetasan penyu hijau (C.
mydas)?
4
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kedalaman sarang
penetasan yang berbeda terhadap masa inkubasi dan persentase keberhasilan
penetasan telur penyu hijau (C. mydas) di Pantai Sukamade, Taman Nasional
Meru Betiri.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kedalaman sarang
penetasan telur penyu hijau (C. mydas) yang paling baik sebagai penunjang upaya
pelestarian dan pengembangan populasi penyu, terutama penyu hijau di Taman
Nasional Meru Betiri, Banyuwangi, Jawa Timur.