Upload
palambanmarrungjaya
View
100
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut, merupakan aset pembangunan Indonesia
yang penting, karena wilayah ini didukung oleh dua komponen utama yang
menjadi tulang punggung pengembangannya. Pertama, komponen biofisik;
wilayah pesisir dan laut Indonesia yang membentang kurang lebih 81.000 km
garis pantai dan menyebar pada sekitar 17.508 pulau dengan sekitar 5,8 juta
km2 wilayah perairan termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
memiliki potensi sumberdaya hayati yang melimpah dan beragam jenisnya,
dimana sumbernya tersebut memiliki nilai penting baik dari sisi pasar domestik
maupun pasar internasional. Kedua, Komponen sosial ekonomi: sebagian
besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60 %) hidup di wilayah pesisir
(dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun). Hal ini disebabkan secara
administratif, sebagian besar daerah kabupaten dan kota terletak di wilayah
pesisir. Berdasarkan wilayah kecamatan, dari 4.028 kecamatan yang ada
terdapat 1.129 kecamatan yang dari segi topografi terletak di wilayah pesisir,
dan dari 62.472 desa yang ada sekitar 5.479 desa merupakan desa-desa
pesisir (Dahuri et al, 2001).
Wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif.
Namun dibalik potensi tersebut, pembangunan biasanya juga dipusatkan di
daerah pesisir, sehingga sering menimbulkan dampak negatif terhadap potensi
sumberdaya tersebut. Aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya
alam seperti industri, pertanian, perikanan, permukiman, pertambangan,
navigasi, pariwisata, sering tumpang tindih, sehingga tidak jarang manfaat
atau nilai guna ekosistem tersebut turun. Aktifitas-aktifitas tersebut seringkali
memberikan dampak pencemaran dan sedimentasi di wilayah pesisir.
Pemanfaatan kawasan pesisir selama ini memberikan dampak positif
berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir dan devisa negara.
Namun, pada kegiatan pemanfaatan ekosistem ini cenderung dilakukan
secara tidak terkendali, sehingga memberikan implikasi munculnya dampak
negatif yaitu terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut (Sugandhy,
1996). Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung terus menerus akan
menimbulkan resiko terhadap perubahan serta pencemaran lingkungan pesisir
dan laut yang^ semakin parah dan pada akhirnya akan berdampak lanjut pada
penurunan kondisi kehidupan manusia khususnya di wilayah pesisir Kota
Makassar.
Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut Kota Makassar
sering terjadi karena belum adanya pola pemanfaatan tata-ruang yang baku
dan dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan.
Disamping itu, potensi multi-guna yang inherent pada sumberdaya pesisir dan
laut menyebabkan banyak pihak yang berupaya untuk memanfaatkannya
sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Untuk menanggulangi masalah
tersebut di atas, diperlukan suatu bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir
dan laut yang berdimensi ekologis, teknologis, ekonomis dan sosial politik
yang bertolak pada aspek berwawasan lingkungan. Sehubungan dengan itu,
maka dibutuhkan suatu penelitian tentang "Model Pengelolaan Wilayah Pesisir
secara terpadu dan berkelanjutan" yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
segenap sektor yang berkepentingan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa wilayah pesisir dan laut
merupakan ekosistem unik yang tersusun dari berbagai komponen yang sating
berhubungan timbal balik satu sama lain. Wilayah pesisir dan laut Kota
Makassar memiliki empat dimensi persoalan yang saling terkait satu sama lain
(Gambar 2). Keempat dimensi itu adalah: kependudukan, degradasi lahan,
konflik kepentingan dan pencemaran. Keempat dimensi itu pada dasarnya
merupakan penjabaran dari tiga dimensi utama, yaitu: sosial, ekonomi dan
lingkungan. Untuk memperjelas saling keterkaitan kelima dimensi itu, disusun
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana membuat konsep penataan ruang berdimensi sosial, ekonomi
dan lingkungan di kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
b. Bagaimana membuat model pengelolaan wilayah pesisir yang
memberikan manfaat semua stakeholders tanpa mengabaikan
prinsip konservasi lingkungan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merancang model pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu dan berkelanjutan;
a. Mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir perairan pantai Makassar
Mengetahui tingkat kesesuaian lahan pesisir Kota Makassar bagi berbagai
peruntukan yang mengintegrasikan kepentingan ekosistem darat dan laut
Menyusun strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir perairan pantai
Makassar secara berkelanjutan
b. Membangun model pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar dilihat dari
aspek ekonomi, sosial, ekologi dan landscape terhadap ruang
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu
masukan dalam menyusun rencana pembangunan wilayah pesisir dan
laut.
b. Bagi pelaku industri dan jasa penelitian ini bermanfaat untuk memahami
strategi dan prospek pengembangan usaha sehingga terbangun
Kemitraan (partnership) dengan berbagai pihak terkait atas dasar saling
menguntungkan.
c. Bagi penduduk setempat penelitian ini bermanfaat untuk
membantu memahami proses perencanaan pembangunan wilayah
sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat
produktif yang sangat potensial untuk dikembangkan dan salah satunya
wilayah pesisir Kota Makassar. Sebagai salah satu wilayah unggulan daerah.
Pola pengelolaan wilayah pesisir yang belum menerapkan konsep
pengelolaan yang berkelanjutan, sehingga berbagai kendala sering dihadapi
terutama masyarakat yang bergerak di wilayah pesisir adalah pada sistem
budidaya dan penangkapan diantaranya adalah limbah pencemaran dan
wilayah pemanfaatan, tingkat mortalitas dalam budidaya sangat tinggi, dan
zona penangkapan serta wilayah pelayaran sering tumpang tindih.
Pengelolaan wilayah pesisir dikatakan berkelanjutan jika sistem
tersebut menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat
memberikan solusi yang optimal terhadap konflik antara pembangunan
ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup. WCED (1987) mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan ummat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan
kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Atas dasar
definisi tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung lima dimensi
utama yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan
kelembagaan. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria
tersendiri yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan.
untuk menentukan keberlanjutan dari sistem ini secara keseluruhan {multi
dimensi) maupun masing-masing dimensi dilakukan dengan menghitung
indeks keberlanjutan wilayah pesisir (Ikb-Coastal) dengan menggunakan
metode multivariabel non parametrik yang disebut multidimensional scaling
(MDS).
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka akan digunakan
analisis Sistem Dinamis dengan aplikasi program "Powersim" agar dinamika
antar variabel dapat terlihat. Model dinamis yang akan digunakan dalam
analisis ini adalah Model Batas Keberhasilan (Muhammadi et a/, 2001).
Didalam model ini kinerja variabel pada awalnya memberi keberhasilan
(pertumbuhan) yang makin meningkat, namun dengan berjalanya waktu,
keberhasilan rtu sendiri menyebabkan sistem mencapai batas sehingga tingkat
pertumbuhannya mulai diperlambat dan menjadi pembatas pertumbuhan itu
sendiri. Untuk membangun model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
dan berkelanjutan ditentukan salah satu variabel yang mewakili masing-
masing dimensi tersebut.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah melalui
pembangunan bidang perikanan secara terpadu dan berkelanjutan, maka
perlu dirumuskan kebijakan dan formulas strategi kedepan dengan berbagai
skenario pengelolaan untuk dapat menghasilkan Model pengelolaan yang
optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi
dimasa datang digunakan analisis Sistem Dinamik dan Spatial Dinamik
sehingga permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dapat dilihat secara
menyeluruh (holistik) yang melibatkan semua stakeholders yang ada
didalamnya. Secara skematis kerangka pemikiran Model kebijakan
pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu dan berkelanjutan di sajikan pada
Gambar 1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama
dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh
berbagai pihak untuk kepentingan seluruh masyarakat (Alikodra,2006).
Konsep pembangunan berkelanjutan diinterpretasikan oleh para ahli secara
berbeda-beda. Namun demikian konsep pembangunan berkelanjutan
sebenarnya didasarkan pada kenyataan adanya keterbatasan kemampuan
sumberdaya alam dan adanya kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus
meningkat. Kondisi seperti ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan
sumberdaya alam yang efisien (Salim,1988 dan Djajadiningrat,2001).
Disamping itu perhatian dari konsep pembangunan yang berkelanjutan
adalah adanya tanggung jawab moral untuk memberikan kesejahteraan bagi
generasi yang akan datang, sebagaimana konsep pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam undang-undang Republik
Indonesia nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup
didefinisikan adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan
lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan
untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa datang.
Konsep pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan
kepentingan generasi mendatang menjadi penting. Konsep pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development) mulai digunakan secara
umum oleh Komisi Pembangunan dan Lingkungan Dunia (World Commission
on Environmental and Development) atau The Burundian Commission pada
tahun 1987. Budiharsono (2006) menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting yakni ekonomi,
sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta
mengubah pola konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial merupakan
upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan
masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, adapun dimensi lingkungan
adalah upaya pengurangan dan pencegahan terhadap pencemaran serta
konservasi sumberdaya alam (Munasinghe,1992 dan Moffatt, 2001),
menjelaskan bahwa konsep pembangunan yang berkelanjutan
mengintegrasikan tiga aspek kehidupan (ekonomi, sosial dan lingkungan)
dalam suatu hubungan yang sinergis.
Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip keberlanjutan ada tiga
yaitu : (i) dimensi pembangunan; (2) dimensi keadilan; dan (3) prinsip-prinsip
sistemik. Dimensi pembangunan mencakup tiga hal yaitu: (a) menghargai
integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi
lingkungan); (b) perumusan terhadap kebutuhan manusia melalui efisiensi
pemanfaatan sumberdaya (dimensi ekonomi); dan (c) konservasi dan
pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).
2.2 Daya Dukung Lingkungan.
Permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan
pembangunan wilayah pesisir seperti pencemaran, kelebihan tangkap, erosi,
sedimentasi, kepunahan jenis dan konflik penggunaan ruang merupakan
akibat dari terlampauinya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh
penduduk serta segenap aktifitas pembangunan terhadap
lingkungannya dimana memiliki kemampuan yang terbatas (Dahuri et al.,,
1996).
Turner (1988) menyatakan bahwa daya dukung merupakan populasi
organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan /areal atau
volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan jumlah atau
mutu. Quano (1993) menyatakan, daya dukung perairan adalah kemampuan
air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa
menyenangkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sebagai
peruntukannya.
Daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu
ekosistem untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi
terjadinya kerusakan lingkungan (Krom,1986). Daya dukung lingkungan
sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang
menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan
tanpa menyebabkan polusi(UNEP,1993).
Scones (1993) membagi daya dukung lingkungan menjadi 2 yaitu : 1.
daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu
lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor
kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini
ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan; 2. daya dukung ekonomi adalah
tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan
ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Menurut Poernomo (1997)
daya dukung untuk lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat
dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung
lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi
dari semua unsur atau komponen (kimia, fisika.dan biologi) dalam suatu
kesatuan ekosistem.
Salah satu faktor utama yang menentukan daya dukung perairan
pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut. Suatu perairan khususnya untuk
areal budidaya ikan harus diperhaikan pengurangan oksigen terlarut yang
terjadi serta diikuti oleh meningkatnya krbondioksida, penurunan pH air,
meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya.
Oksigen dipasok melalui dua cara yaitu 1) permukaan air atau
transport melewati kolom air oleh difusi dan turbelensi serta 2) melalui hasil
proses fotosintesa. Aktivitas hewan, tanaman dan bakteri di dalam kolom air
dan sedimen akan mengkonsumsi oksigen melalui proses resfirasi. Jika
proses respirasi memerlukan pasokan oksigen yang berlebih. maka
ketersediaan oksigen akan mempengaruhi kehidupan ikan dan organisms
perairan lainnya. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk
menduga laju beban maksimum yang diperkenankan atau daya dukung
(McLean et al, 1993). Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan
bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui
stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi
oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban
nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan.
Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi
sesuai dengan kondisi biogeofisik wilayah dan kebutuhan manusia akan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) di wilayah
tersebut. Oleh karena itu daya dukung suatu wilayah dapat ditentukan atau
diperkirakan secara : 1). Kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan
wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan yang ada di wilayah pesisir (Dahuri, 2000). Dengan demikian,
tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung wilayah pesisir
untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan adalah :
1) Menetapkan batas-batas, vertikal, horizontal terhadap garis pantai,
wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan
2) Menghitung luasan wilayah pesisir yang dikelola
3) Mengalokasikan (zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi tiga (3) zona
utama yaitu : zona peservasi, zona konsevasi, dan zoa pemanfaatan
4) Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan
zona pemanfaatan.
Selain tahapan yang tersebut di atas juga dilakukan penghitungan
tenang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang
tersedia, Misalnya stock assessment sumberdaya perikanan, potensi hutan
mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas
asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya
alam dan jasa lingkungan.
Analisis tentang konsep daya dukung untuk pembangunan wilayah
pesisir yang lestari harus memperhatikan keseimbangan kawasan. Untuk
kegiatan yang bernilai ekonomi, Dahuri (2000) membagi menjadi 3 kawasan
yaitu :
a. Kawasan preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi
seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan
reproduksinya, dan sifat- sifat alami yang dimiliki seperti green belt,
kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah untuk yang bersifat
penelitian dan pendidikan, rekreasi alam yang tidak merusak, kawasan
ini paling tidak meliputi 20 % dari total areal.
b. Kawasan konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun
tetap dikontrol, seperti perumahan, perikanan rakyat, dan kawasan ini
meliputi tidak kurang dari 30 % dari total area.
c. Kawasan pengembangan intensif termasuk didalamnya kegiatan
budidaya secara intensif. Limbah yang dibuang dari kegiatan ini tidak
boleh meleati batas kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini
mencakup 50 % dari total kawasan.
2.3 Eksternalitas
Sebelum berkembangnya ilmu ekonomi mikro yang membahas
tentang eksternalitas, putusan optimal dapat diperoleh tanpa melibatkan
pengaruh pengelolaan sumberdaya yang ada terhadap lingkungan.
Masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa disamping adanya dampak
positif terhadap lingkungan, pengelolaan sumberdaya juga menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. sebagai konsekwensinya, masyarakat
menyadari bahwa lingkungan perlu dilestarikan agar kehidupan sekarang
maupun dimasa yang akan datang menjadi baik. (Sudjana dan Riyanto,
1999).
Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam
adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang
diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang
harus ditanggung (Fauzi, 2004).
Menurut Daraba (2001), dalam suatu perekonomian modem, setiap
aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktifitas lainnya. Apabila semua
keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan
melalui wkanisme pasar adalah apa yang disebut eksternalitas.
Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah
ini "mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat
menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam
perhitungan biaya proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui
bahwa pemilikan atau pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh
seseorang akan menimbulkan manfaat akan menghasilkan produk yang
bernilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Hal sebaliknya juga
dapat diteliti, yaitu menghasilkan dampak atau barang yang merugikan.
Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu proses yang menimbulkan
manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut eksternalitas. Bila
manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut eksternalitas positif
dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena mekanisme pasar
sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya tidak
memasukkan biaya eksternalitas dalam biaya produksi (WWF, 2004).
Dampak lingkungan atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel
yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas
(kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping
atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu
individu atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak
diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau
perusahaan lain (Fauzi, 2004).
Faktor-Faktor Penyebab Eksternalitas
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena ektivitas manusia yang
tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam
pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah
satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak
terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan
pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur
hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak
terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka
eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan,
maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap
ekonomi terutama dalam jangka panjang. Adapun penjelasan mengenai
faktor-faktor penyebab terjadinya eksternalitas adalah sebagai berikut
(Ginting,2002)
1) Keberadaan Barang Publik
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila
dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi
orang lain akan barang tersebut, selanjutnya, barang publk sempurna
(pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan
dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota
masyarakat. Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang
ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran
gabungan (joint suppiy) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya
(non-rivalry in consumption). Cm kedua adalah tidak eksklusif (non-
exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya
diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Satu-
satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan
menetapkan harga (nilai monoter) terhadap barang publik tersebut
sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang
diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau
memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan
harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi
lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak
diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik
dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk
melestarikannya. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung
mengakibatkan berkurangnya insentif atau ransangan untuk
memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang
publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup
besar untuk membiayai barang publik yang efisien, karena masyarakat
cenderung memberikan nilai lebih rendah dari yang seharusnya
(udervalued).
2) Sumberdaya Bersama
Keberadaan sumberdaya bersama-SDB (common resources)
atau akses terbuka terhadap sumberdaya tertentu ini tidak jauh
berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.
Sumber-sumberdaya milik bersama, sama halnya dengan
barang-barang publik, tidak eskludabel. Sumber-sumbemya ini terbuka
bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun
tidak seperti barang publik, sumberdaya milik bersama memiliki
persaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi
peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi,
keberadaan sumberdaya milik bersama ini, pemerintah juga perlu
mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien.
Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB
ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal
tragedi barang umum (the Tragedy of the Commons).
3) Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu
partisipan didalam suatu tukar-menukar hak-hak kepemilikan (property
rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa
terjadi pada pasar yang tidak sempurna (Imperfect Maket) seperti
pada kasus monopoli (penjual tunggal).
4) Kegagalan Pemerintah
Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja
diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan
pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak
diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok
tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok
tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent
seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya.
2.4 Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management (ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan
yang luas, sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru bagi masyarakat
dunia. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan
(environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara
melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang
kawasan pesisir serta sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat
di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian
merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna
mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses
pengelolaannya dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan
mempertimbangkan aspek social, ekonomi, dan budaya serta aspirasi
masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik
pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia.
2.4.1. Batasan wilayah pesisir
Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari
garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori
batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai (long shore)
dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (crosshore) . Untuk
kepentingan pengelolaan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang
sejajar dengan garis pantai relan mudah. Akan tetapi penetapan batas-
batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh
ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain, hal ini dapat
dimengerti sebab suatu negara memiliki karakteristik lingkungan,
sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (Pernetta dan
Milliman,1995 dalam Bengan 2001).
Menurut Bengen (2001), wilayah pesisir didefinisikan sebagai
wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan
meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun yang tidak
tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang
surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-
daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti
sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh
kegiatan-kegiatan manusia di daratan.
Gambar 4. Batasan wilayah pesisir
2.4.2. Perencanaan terpadu pembangunan wilayah pesisir
Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan
pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan. Perencanaan terpadu lebih merupakan upaya secara terprogram
untuk mencapai tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan
berbagai kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan
masyarakat dan pembangunan ekonomi. Keterpaduan juga diartikan
sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan
lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan,
implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen et al.. 1984). Sedangkan
Dahuri, dkk., (1996) dan Rustiandi (2003) menyarankan agar keterpaduan
perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan
lautan, dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan
koordinasi. Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi,
sosial dan lingkungan secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap
perencanaan dan pembanguanan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada
tatanan Konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang
terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan di wilayah pesisir
hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap
pelaksanaan. Sedangkan pada tataran Koordinasi, diisyaratkan perlunya
kerjasama yang harmonis antara stakeholders pemerintah, swasta, dan
masyarakat).
Konsep pembangunan wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan
(PWPLB) mengacu kepada perpaduan antara prinsip pembanguan
berkelanjutan ke dalam praktek pembangunan wilayah (Budiharsono.S,
2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa ada sepuluh pilar yang merupakan
penopang bagi pembangunan wilayah berkelanjutan yaitu; (1)
pembangunan sumberdaya alam berkelanjutan (sustainable natural
resources management); (2) perencanaan partisifatif (participatory
planning and sustainable budgeting); (3) Pemberdayaan ekonomi rakyat
(economic empowerment); (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan
sumberdaya manusia (capacity building and human resource
development); (5) Pembangunan sarana dan prasarana (infrastructure
development); (6) Perlindungan sosial (Social protection); (7)
Pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance
development); (8) pengembangan demokrasi substantif inklusif
(democration substantive inclusive development); (9) Perdagangan
internasional dan antar wilayah (interregional and international trade); dan
(10) pertahanan keamanan (defense and security development).
Kesepuluh pilar berada dalam satu bingkai seperti Gambar 5.
Gambar 5. Pilar pengelolaan Wilayah pesisir (Budiharsono, 2006)
2.4.3. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan
Berdasarkan Djojobroto (1998), bahwa daerah pesisir Indonesia berbeda-beda
menurut kondisi geografis dan kependudukan. Oleh karena itu, tujuan dan keadaan
lokal juga berbeda sehingga setiap rencana akan memerlukan periakuan yang
berbeda. Cicin-Sain (1998) menyatakan bahwa urutan yang terdiri dari 10 tahap
dapat direkomendasikan sebagai suatu pedoman perencanaan. Tiap tahap mewakili
suatu kegiatan spesifik atau suatu rangkaian *egiatan yang hasilnya memberikan
informasi untuk tahap-tahap berikut : (1) tentukan sasaran dan kerangka acuan, (2)
aturlah pekerjaan, (3) analisis cesolitan yang ada, (4) Identifikasi kesempatan untuk
perubahan, (5) evaluasi cemampuan sumberdaya, (6) Penilaian alternatif, (7) ambil
pilihan yang paling bak. (8) siapkan rencana, (9) Implementasi, (10) Penentuan
revisi rencana. Kesepuluh tahapan ini meringkaskan proses perencanaan yang
menggambarkan arg«ah-langkah yang terlibat dalam perencanaan zona pesisir
secara terpadu.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan ae-ge-olaan
yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan «egatan pemanfaatan
secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan
wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya
mengandung tiga dimensi ; dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis
(Dahuri, et.al., 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi
tugas, wewenang dan tanggung jawab antara sektor atau instansi pemerintah pada
tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antara tingkat pemerintah
mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi sampai tingkat pusat
(vertical integration).
Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial dan alam yang
terjalin secara kompleks dan dinamis, maka keterpaduan bidang ilmu mensyaratkan
di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan dengan pendekatan
interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu; ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi,
hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai
ekosiostem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan tain-lain) yang sating
terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai
kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas)
maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan keterkaitan ekologis
tersebut.
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda dengan
sumberdaya terrestehal, untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang
disebut dengan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal
Zone Management, ICZM). ICZM adalah sistim pengelolaan sumberdaya yang
dilakukan oleh pemerintah pada level lokal/ regional dengan bantuan pemerintah
pusat. ICZM berfokus pada pemanfaatan sumberdaya pesisir berkelanjutan,
konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan pantai, dan penanggulangan
bencana alam di wilayah pantai. Konsep ICZM (Clark, 1998) diarahkan untuk
mewarnai pembangunan wilayah pantai melalui pendidikan, pengaturan pengelolaan
sumberdaya, dan penilaian lingkungan. Beberapa instrumen utama ICZM adalah: a
Peraturan pemerintah tentang perlindungan bidiversitas dan pengendalian
pemanfaatan sumberdaya pesisir. b Penilaian lingkungan yang dapat memprediksi
dampak dari berbagai kegiatan
pembangunan.
ICZM dipandang efektif untuk memecahkan berbagai permasalahan ingkungan yang
melibatkan interaksi daratan-lautan (termasuk persoalan konflik
pemanfaatan sumberdaya) melalui tahapan-tahapan proses penilaian tingkungan.
Menurut Clark (1996) dan Kay (2005) menyatakan bahwa beberapa persoalan
penting yang dihadapi ICZM adalah sebagai berikut:
a. Deplesi Sumberdaya: Demand terhadap sumberdaya pesisir sampai saat ini
dinilai telah melampaui supplay yang tersedia. ICZM menawarkan konsep
sustainable use management untuk menjamin ketersediaan sumberdaya terbarui
(renewable)
untuk saat ini dan masa yang akan datang.
b. Polusi; Polusi menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung biologis dan
kualitas area wisata.
c. Biodiversitas ; Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan
ekonomi adalah tekanan terhadap species yang memiliki nilai etik dan ekonomi
tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi
species yang terancam punah.
d. Bencana Alam; ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan
sumberdaya pantai dari bencana alam (seperti; banjir, siklon dan amblesan tanah)
kedalam perencanaan pembangunan.
e. Kenaikan Permukaan Air laut; Kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30
cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir yang di sebabkan oleh tingginya
konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Atmosfer berpotensi menimbulkan banjir
yang mengancam kehidupan masyarakat.
f. Abrasi pantai; Abrasi pantai adalah masalah yang mengancam masyarakat yang
tinggal didekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-sturuktural
seperti penataan kembali garis pantai dan memberikan jarak aman dari garis pantai
untuk semua kegiatan pembangunan.
g. Pemanfaatan lahan; Pemanfaatan lahan (misalnya: untuk industri dan
permukiman) menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir
(misalnya: penurunan bidiversitas karena polusi). ICZM mengantisipasi hal itu dan
merekomendasikan solusinya.
h. Hinterlands; ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak
negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir.
/. Landscape; Landscape wilayah pesisir bersifat unik sehingga memerlukan
perhatian khusus untuk melindungi dan untuk menjamin akses masyarakat ke
wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan
landscape pesisir.