37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut, merupakan aset pembangunan Indonesia yang penting, karena wilayah ini didukung oleh dua komponen utama yang menjadi tulang punggung pengembangannya. Pertama, komponen biofisik; wilayah pesisir dan laut Indonesia yang membentang kurang lebih 81.000 km garis pantai dan menyebar pada sekitar 17.508 pulau dengan sekitar 5,8 juta km 2 wilayah perairan termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), memiliki potensi sumberdaya hayati yang melimpah dan beragam jenisnya, dimana sumbernya tersebut memiliki nilai penting baik dari sisi pasar domestik maupun pasar internasional. Kedua, Komponen sosial ekonomi: sebagian besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60 %) hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun). Hal ini disebabkan secara administratif, sebagian besar daerah kabupaten dan kota terletak di wilayah pesisir.

DocumentI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DocumentI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut, merupakan aset pembangunan Indonesia

yang penting, karena wilayah ini didukung oleh dua komponen utama yang

menjadi tulang punggung pengembangannya. Pertama, komponen biofisik;

wilayah pesisir dan laut Indonesia yang membentang kurang lebih 81.000 km

garis pantai dan menyebar pada sekitar 17.508 pulau dengan sekitar 5,8 juta

km2 wilayah perairan termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),

memiliki potensi sumberdaya hayati yang melimpah dan beragam jenisnya,

dimana sumbernya tersebut memiliki nilai penting baik dari sisi pasar domestik

maupun pasar internasional. Kedua, Komponen sosial ekonomi: sebagian

besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60 %) hidup di wilayah pesisir

(dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun). Hal ini disebabkan secara

administratif, sebagian besar daerah kabupaten dan kota terletak di wilayah

pesisir. Berdasarkan wilayah kecamatan, dari 4.028 kecamatan yang ada

terdapat 1.129 kecamatan yang dari segi topografi terletak di wilayah pesisir,

dan dari 62.472 desa yang ada sekitar 5.479 desa merupakan desa-desa

pesisir (Dahuri et al, 2001).

Wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif.

Namun dibalik potensi tersebut, pembangunan biasanya juga dipusatkan di

daerah pesisir, sehingga sering menimbulkan dampak negatif terhadap potensi

sumberdaya tersebut. Aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya

Page 2: DocumentI

alam seperti industri, pertanian, perikanan, permukiman, pertambangan,

navigasi, pariwisata, sering tumpang tindih, sehingga tidak jarang manfaat

atau nilai guna ekosistem tersebut turun. Aktifitas-aktifitas tersebut seringkali

memberikan dampak pencemaran dan sedimentasi di wilayah pesisir.

Pemanfaatan kawasan pesisir selama ini memberikan dampak positif

berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir dan devisa negara.

Namun, pada kegiatan pemanfaatan ekosistem ini cenderung dilakukan

secara tidak terkendali, sehingga memberikan implikasi munculnya dampak

negatif yaitu terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut (Sugandhy,

1996). Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung terus menerus akan

menimbulkan resiko terhadap perubahan serta pencemaran lingkungan pesisir

dan laut yang^ semakin parah dan pada akhirnya akan berdampak lanjut pada

penurunan kondisi kehidupan manusia khususnya di wilayah pesisir Kota

Makassar.

Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut Kota Makassar

sering terjadi karena belum adanya pola pemanfaatan tata-ruang yang baku

dan dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan.

Disamping itu, potensi multi-guna yang inherent pada sumberdaya pesisir dan

laut menyebabkan banyak pihak yang berupaya untuk memanfaatkannya

sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Untuk menanggulangi masalah

tersebut di atas, diperlukan suatu bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir

dan laut yang berdimensi ekologis, teknologis, ekonomis dan sosial politik

yang bertolak pada aspek berwawasan lingkungan. Sehubungan dengan itu,

Page 3: DocumentI

maka dibutuhkan suatu penelitian tentang "Model Pengelolaan Wilayah Pesisir

secara terpadu dan berkelanjutan" yang dapat digunakan sebagai acuan bagi

segenap sektor yang berkepentingan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa wilayah pesisir dan laut

merupakan ekosistem unik yang tersusun dari berbagai komponen yang sating

berhubungan timbal balik satu sama lain. Wilayah pesisir dan laut Kota

Makassar memiliki empat dimensi persoalan yang saling terkait satu sama lain

(Gambar 2). Keempat dimensi itu adalah: kependudukan, degradasi lahan,

konflik kepentingan dan pencemaran. Keempat dimensi itu pada dasarnya

merupakan penjabaran dari tiga dimensi utama, yaitu: sosial, ekonomi dan

lingkungan. Untuk memperjelas saling keterkaitan kelima dimensi itu, disusun

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana membuat konsep penataan ruang berdimensi sosial, ekonomi

dan lingkungan di kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

b. Bagaimana membuat model pengelolaan wilayah pesisir yang

memberikan manfaat semua stakeholders tanpa mengabaikan

prinsip konservasi lingkungan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merancang model pengelolaan wilayah

pesisir secara terpadu dan berkelanjutan;

a. Mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir perairan pantai Makassar

Mengetahui tingkat kesesuaian lahan pesisir Kota Makassar bagi berbagai

Page 4: DocumentI

peruntukan yang mengintegrasikan kepentingan ekosistem darat dan laut

Menyusun strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir perairan pantai

Makassar secara berkelanjutan

b. Membangun model pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar dilihat dari

aspek ekonomi, sosial, ekologi dan landscape terhadap ruang

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

masukan dalam menyusun rencana pembangunan wilayah pesisir dan

laut.

b. Bagi pelaku industri dan jasa penelitian ini bermanfaat untuk memahami

strategi dan prospek pengembangan usaha sehingga terbangun

Kemitraan (partnership) dengan berbagai pihak terkait atas dasar saling

menguntungkan.

c. Bagi penduduk setempat penelitian ini bermanfaat untuk

membantu memahami proses perencanaan pembangunan wilayah

sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat

produktif yang sangat potensial untuk dikembangkan dan salah satunya

wilayah pesisir Kota Makassar. Sebagai salah satu wilayah unggulan daerah.

Pola pengelolaan wilayah pesisir yang belum menerapkan konsep

pengelolaan yang berkelanjutan, sehingga berbagai kendala sering dihadapi

Page 5: DocumentI

terutama masyarakat yang bergerak di wilayah pesisir adalah pada sistem

budidaya dan penangkapan diantaranya adalah limbah pencemaran dan

wilayah pemanfaatan, tingkat mortalitas dalam budidaya sangat tinggi, dan

zona penangkapan serta wilayah pelayaran sering tumpang tindih.

Pengelolaan wilayah pesisir dikatakan berkelanjutan jika sistem

tersebut menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat

memberikan solusi yang optimal terhadap konflik antara pembangunan

ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup. WCED (1987) mendefinisikan

pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan ummat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan

kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Atas dasar

definisi tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung lima dimensi

utama yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan

kelembagaan. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria

tersendiri yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan.

untuk menentukan keberlanjutan dari sistem ini secara keseluruhan {multi

dimensi) maupun masing-masing dimensi dilakukan dengan menghitung

indeks keberlanjutan wilayah pesisir (Ikb-Coastal) dengan menggunakan

metode multivariabel non parametrik yang disebut multidimensional scaling

(MDS).

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka akan digunakan

analisis Sistem Dinamis dengan aplikasi program "Powersim" agar dinamika

antar variabel dapat terlihat. Model dinamis yang akan digunakan dalam

Page 6: DocumentI

analisis ini adalah Model Batas Keberhasilan (Muhammadi et a/, 2001).

Didalam model ini kinerja variabel pada awalnya memberi keberhasilan

(pertumbuhan) yang makin meningkat, namun dengan berjalanya waktu,

keberhasilan rtu sendiri menyebabkan sistem mencapai batas sehingga tingkat

pertumbuhannya mulai diperlambat dan menjadi pembatas pertumbuhan itu

sendiri. Untuk membangun model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

dan berkelanjutan ditentukan salah satu variabel yang mewakili masing-

masing dimensi tersebut.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah melalui

pembangunan bidang perikanan secara terpadu dan berkelanjutan, maka

perlu dirumuskan kebijakan dan formulas strategi kedepan dengan berbagai

skenario pengelolaan untuk dapat menghasilkan Model pengelolaan yang

optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi

dimasa datang digunakan analisis Sistem Dinamik dan Spatial Dinamik

sehingga permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dapat dilihat secara

menyeluruh (holistik) yang melibatkan semua stakeholders yang ada

didalamnya. Secara skematis kerangka pemikiran Model kebijakan

pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu dan berkelanjutan di sajikan pada

Gambar 1.

Page 7: DocumentI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama

dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh

berbagai pihak untuk kepentingan seluruh masyarakat (Alikodra,2006).

Konsep pembangunan berkelanjutan diinterpretasikan oleh para ahli secara

berbeda-beda. Namun demikian konsep pembangunan berkelanjutan

sebenarnya didasarkan pada kenyataan adanya keterbatasan kemampuan

sumberdaya alam dan adanya kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus

meningkat. Kondisi seperti ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan

sumberdaya alam yang efisien (Salim,1988 dan Djajadiningrat,2001).

Disamping itu perhatian dari konsep pembangunan yang berkelanjutan

adalah adanya tanggung jawab moral untuk memberikan kesejahteraan bagi

generasi yang akan datang, sebagaimana konsep pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam undang-undang Republik

Indonesia nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

didefinisikan adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan

lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan

untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa

kini dan generasi masa datang.

Konsep pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan

kepentingan generasi mendatang menjadi penting. Konsep pembangunan

Page 8: DocumentI

yang berkelanjutan (sustainable development) mulai digunakan secara

umum oleh Komisi Pembangunan dan Lingkungan Dunia (World Commission

on Environmental and Development) atau The Burundian Commission pada

tahun 1987. Budiharsono (2006) menyatakan bahwa pembangunan

berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting yakni ekonomi,

sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan

upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta

mengubah pola konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial merupakan

upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan

masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, adapun dimensi lingkungan

adalah upaya pengurangan dan pencegahan terhadap pencemaran serta

konservasi sumberdaya alam (Munasinghe,1992 dan Moffatt, 2001),

menjelaskan bahwa konsep pembangunan yang berkelanjutan

mengintegrasikan tiga aspek kehidupan (ekonomi, sosial dan lingkungan)

dalam suatu hubungan yang sinergis.

Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip keberlanjutan ada tiga

yaitu : (i) dimensi pembangunan; (2) dimensi keadilan; dan (3) prinsip-prinsip

sistemik. Dimensi pembangunan mencakup tiga hal yaitu: (a) menghargai

integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi

lingkungan); (b) perumusan terhadap kebutuhan manusia melalui efisiensi

pemanfaatan sumberdaya (dimensi ekonomi); dan (c) konservasi dan

pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).

Page 9: DocumentI

2.2 Daya Dukung Lingkungan.

Permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan

pembangunan wilayah pesisir seperti pencemaran, kelebihan tangkap, erosi,

sedimentasi, kepunahan jenis dan konflik penggunaan ruang merupakan

akibat dari terlampauinya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh

penduduk serta segenap aktifitas pembangunan terhadap

lingkungannya dimana memiliki kemampuan yang terbatas (Dahuri et al.,,

1996).

Turner (1988) menyatakan bahwa daya dukung merupakan populasi

organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan /areal atau

volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan jumlah atau

mutu. Quano (1993) menyatakan, daya dukung perairan adalah kemampuan

air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa

menyenangkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sebagai

peruntukannya.

Daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu

ekosistem untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi

terjadinya kerusakan lingkungan (Krom,1986). Daya dukung lingkungan

sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang

menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan

tanpa menyebabkan polusi(UNEP,1993).

Scones (1993) membagi daya dukung lingkungan menjadi 2 yaitu : 1.

daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu

Page 10: DocumentI

lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor

kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini

ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan; 2. daya dukung ekonomi adalah

tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan

ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Menurut Poernomo (1997)

daya dukung untuk lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat

dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung

lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi

dari semua unsur atau komponen (kimia, fisika.dan biologi) dalam suatu

kesatuan ekosistem.

Salah satu faktor utama yang menentukan daya dukung perairan

pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut. Suatu perairan khususnya untuk

areal budidaya ikan harus diperhaikan pengurangan oksigen terlarut yang

terjadi serta diikuti oleh meningkatnya krbondioksida, penurunan pH air,

meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya.

Oksigen dipasok melalui dua cara yaitu 1) permukaan air atau

transport melewati kolom air oleh difusi dan turbelensi serta 2) melalui hasil

proses fotosintesa. Aktivitas hewan, tanaman dan bakteri di dalam kolom air

dan sedimen akan mengkonsumsi oksigen melalui proses resfirasi. Jika

proses respirasi memerlukan pasokan oksigen yang berlebih. maka

ketersediaan oksigen akan mempengaruhi kehidupan ikan dan organisms

perairan lainnya. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk

menduga laju beban maksimum yang diperkenankan atau daya dukung

Page 11: DocumentI

(McLean et al, 1993). Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan

bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui

stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi

oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban

nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan.

Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi

sesuai dengan kondisi biogeofisik wilayah dan kebutuhan manusia akan

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) di wilayah

tersebut. Oleh karena itu daya dukung suatu wilayah dapat ditentukan atau

diperkirakan secara : 1). Kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan

wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa

lingkungan yang ada di wilayah pesisir (Dahuri, 2000). Dengan demikian,

tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung wilayah pesisir

untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan adalah :

1) Menetapkan batas-batas, vertikal, horizontal terhadap garis pantai,

wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan

2) Menghitung luasan wilayah pesisir yang dikelola

3) Mengalokasikan (zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi tiga (3) zona

utama yaitu : zona peservasi, zona konsevasi, dan zoa pemanfaatan

4) Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan

zona pemanfaatan.

Selain tahapan yang tersebut di atas juga dilakukan penghitungan

tenang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Page 12: DocumentI

tersedia, Misalnya stock assessment sumberdaya perikanan, potensi hutan

mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas

asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya

alam dan jasa lingkungan.

Analisis tentang konsep daya dukung untuk pembangunan wilayah

pesisir yang lestari harus memperhatikan keseimbangan kawasan. Untuk

kegiatan yang bernilai ekonomi, Dahuri (2000) membagi menjadi 3 kawasan

yaitu :

a. Kawasan preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi

seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan

reproduksinya, dan sifat- sifat alami yang dimiliki seperti green belt,

kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah untuk yang bersifat

penelitian dan pendidikan, rekreasi alam yang tidak merusak, kawasan

ini paling tidak meliputi 20 % dari total areal.

b. Kawasan konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun

tetap dikontrol, seperti perumahan, perikanan rakyat, dan kawasan ini

meliputi tidak kurang dari 30 % dari total area.

c. Kawasan pengembangan intensif termasuk didalamnya kegiatan

budidaya secara intensif. Limbah yang dibuang dari kegiatan ini tidak

boleh meleati batas kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini

mencakup 50 % dari total kawasan.

Page 13: DocumentI

2.3 Eksternalitas

Sebelum berkembangnya ilmu ekonomi mikro yang membahas

tentang eksternalitas, putusan optimal dapat diperoleh tanpa melibatkan

pengaruh pengelolaan sumberdaya yang ada terhadap lingkungan.

Masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa disamping adanya dampak

positif terhadap lingkungan, pengelolaan sumberdaya juga menimbulkan

dampak negatif terhadap lingkungan. sebagai konsekwensinya, masyarakat

menyadari bahwa lingkungan perlu dilestarikan agar kehidupan sekarang

maupun dimasa yang akan datang menjadi baik. (Sudjana dan Riyanto,

1999).

Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam

adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang

diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang

harus ditanggung (Fauzi, 2004).

Menurut Daraba (2001), dalam suatu perekonomian modem, setiap

aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktifitas lainnya. Apabila semua

keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan

melalui wkanisme pasar adalah apa yang disebut eksternalitas.

Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah

ini "mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat

menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam

perhitungan biaya proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui

bahwa pemilikan atau pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh

Page 14: DocumentI

seseorang akan menimbulkan manfaat akan menghasilkan produk yang

bernilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Hal sebaliknya juga

dapat diteliti, yaitu menghasilkan dampak atau barang yang merugikan.

Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu proses yang menimbulkan

manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut eksternalitas. Bila

manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut eksternalitas positif

dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena mekanisme pasar

sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya tidak

memasukkan biaya eksternalitas dalam biaya produksi (WWF, 2004).

Dampak lingkungan atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel

yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas

(kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping

atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu

individu atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak

diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau

perusahaan lain (Fauzi, 2004).

Faktor-Faktor Penyebab Eksternalitas

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena ektivitas manusia yang

tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam

pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah

satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak

terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan

pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur

Page 15: DocumentI

hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak

terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka

eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan,

maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap

ekonomi terutama dalam jangka panjang. Adapun penjelasan mengenai

faktor-faktor penyebab terjadinya eksternalitas adalah sebagai berikut

(Ginting,2002)

1) Keberadaan Barang Publik

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila

dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi

orang lain akan barang tersebut, selanjutnya, barang publk sempurna

(pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan

dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota

masyarakat. Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang

ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran

gabungan (joint suppiy) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya

(non-rivalry in consumption). Cm kedua adalah tidak eksklusif (non-

exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya

diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Satu-

satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan

menetapkan harga (nilai monoter) terhadap barang publik tersebut

sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang

diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau

Page 16: DocumentI

memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan

harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi

lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak

diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik

dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk

melestarikannya. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung

mengakibatkan berkurangnya insentif atau ransangan untuk

memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang

publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup

besar untuk membiayai barang publik yang efisien, karena masyarakat

cenderung memberikan nilai lebih rendah dari yang seharusnya

(udervalued).

2) Sumberdaya Bersama

Keberadaan sumberdaya bersama-SDB (common resources)

atau akses terbuka terhadap sumberdaya tertentu ini tidak jauh

berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.

Sumber-sumberdaya milik bersama, sama halnya dengan

barang-barang publik, tidak eskludabel. Sumber-sumbemya ini terbuka

bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun

tidak seperti barang publik, sumberdaya milik bersama memiliki

persaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi

peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi,

keberadaan sumberdaya milik bersama ini, pemerintah juga perlu

Page 17: DocumentI

mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien.

Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB

ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal

tragedi barang umum (the Tragedy of the Commons).

3) Ketidaksempurnaan Pasar

Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu

partisipan didalam suatu tukar-menukar hak-hak kepemilikan (property

rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa

terjadi pada pasar yang tidak sempurna (Imperfect Maket) seperti

pada kasus monopoli (penjual tunggal).

4) Kegagalan Pemerintah

Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja

diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan

pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak

diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok

tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok

tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent

seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya.

2.4 Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone

Management (ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan

yang luas, sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru bagi masyarakat

dunia. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan

Page 18: DocumentI

(environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara

melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang

kawasan pesisir serta sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat

di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian

merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna

mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses

pengelolaannya dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan

mempertimbangkan aspek social, ekonomi, dan budaya serta aspirasi

masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik

pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia.

2.4.1. Batasan wilayah pesisir

Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa pesisir adalah

suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari

garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori

batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai (long shore)

dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (crosshore) . Untuk

kepentingan pengelolaan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang

sejajar dengan garis pantai relan mudah. Akan tetapi penetapan batas-

batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh

ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain, hal ini dapat

dimengerti sebab suatu negara memiliki karakteristik lingkungan,

sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (Pernetta dan

Milliman,1995 dalam Bengan 2001).

Page 19: DocumentI

Menurut Bengen (2001), wilayah pesisir didefinisikan sebagai

wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan

meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun yang tidak

tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang

surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-

daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti

sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh

kegiatan-kegiatan manusia di daratan.

Gambar 4. Batasan wilayah pesisir

2.4.2. Perencanaan terpadu pembangunan wilayah pesisir

Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan

mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan

pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan

lautan. Perencanaan terpadu lebih merupakan upaya secara terprogram

untuk mencapai tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan

berbagai kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan

Page 20: DocumentI

masyarakat dan pembangunan ekonomi. Keterpaduan juga diartikan

sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan

lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan,

implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen et al.. 1984). Sedangkan

Dahuri, dkk., (1996) dan Rustiandi (2003) menyarankan agar keterpaduan

perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan

lautan, dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan

koordinasi. Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi,

sosial dan lingkungan secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap

perencanaan dan pembanguanan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada

tatanan Konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang

terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan di wilayah pesisir

hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap

pelaksanaan. Sedangkan pada tataran Koordinasi, diisyaratkan perlunya

kerjasama yang harmonis antara stakeholders pemerintah, swasta, dan

masyarakat).

Konsep pembangunan wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan

(PWPLB) mengacu kepada perpaduan antara prinsip pembanguan

berkelanjutan ke dalam praktek pembangunan wilayah (Budiharsono.S,

2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa ada sepuluh pilar yang merupakan

penopang bagi pembangunan wilayah berkelanjutan yaitu; (1)

pembangunan sumberdaya alam berkelanjutan (sustainable natural

resources management); (2) perencanaan partisifatif (participatory

Page 21: DocumentI

planning and sustainable budgeting); (3) Pemberdayaan ekonomi rakyat

(economic empowerment); (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan

sumberdaya manusia (capacity building and human resource

development); (5) Pembangunan sarana dan prasarana (infrastructure

development); (6) Perlindungan sosial (Social protection); (7)

Pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance

development); (8) pengembangan demokrasi substantif inklusif

(democration substantive inclusive development); (9) Perdagangan

internasional dan antar wilayah (interregional and international trade); dan

(10) pertahanan keamanan (defense and security development).

Kesepuluh pilar berada dalam satu bingkai seperti Gambar 5.

Page 22: DocumentI

Gambar 5. Pilar pengelolaan Wilayah pesisir (Budiharsono, 2006)

2.4.3. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan

Berdasarkan Djojobroto (1998), bahwa daerah pesisir Indonesia berbeda-beda

menurut kondisi geografis dan kependudukan. Oleh karena itu, tujuan dan keadaan

lokal juga berbeda sehingga setiap rencana akan memerlukan periakuan yang

berbeda. Cicin-Sain (1998) menyatakan bahwa urutan yang terdiri dari 10 tahap

dapat direkomendasikan sebagai suatu pedoman perencanaan. Tiap tahap mewakili

suatu kegiatan spesifik atau suatu rangkaian *egiatan yang hasilnya memberikan

informasi untuk tahap-tahap berikut : (1) tentukan sasaran dan kerangka acuan, (2)

aturlah pekerjaan, (3) analisis cesolitan yang ada, (4) Identifikasi kesempatan untuk

perubahan, (5) evaluasi cemampuan sumberdaya, (6) Penilaian alternatif, (7) ambil

pilihan yang paling bak. (8) siapkan rencana, (9) Implementasi, (10) Penentuan

revisi rencana. Kesepuluh tahapan ini meringkaskan proses perencanaan yang

menggambarkan arg«ah-langkah yang terlibat dalam perencanaan zona pesisir

secara terpadu.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan ae-ge-olaan

yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan «egatan pemanfaatan

secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan

wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya

mengandung tiga dimensi ; dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis

(Dahuri, et.al., 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi

tugas, wewenang dan tanggung jawab antara sektor atau instansi pemerintah pada

Page 23: DocumentI

tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antara tingkat pemerintah

mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi sampai tingkat pusat

(vertical integration).

Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial dan alam yang

terjalin secara kompleks dan dinamis, maka keterpaduan bidang ilmu mensyaratkan

di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan dengan pendekatan

interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu; ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi,

hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai

ekosiostem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan tain-lain) yang sating

terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai

kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas)

maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan keterkaitan ekologis

tersebut.

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda dengan

sumberdaya terrestehal, untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang

disebut dengan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal

Zone Management, ICZM). ICZM adalah sistim pengelolaan sumberdaya yang

dilakukan oleh pemerintah pada level lokal/ regional dengan bantuan pemerintah

pusat. ICZM berfokus pada pemanfaatan sumberdaya pesisir berkelanjutan,

konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan pantai, dan penanggulangan

bencana alam di wilayah pantai. Konsep ICZM (Clark, 1998) diarahkan untuk

mewarnai pembangunan wilayah pantai melalui pendidikan, pengaturan pengelolaan

Page 24: DocumentI

sumberdaya, dan penilaian lingkungan. Beberapa instrumen utama ICZM adalah: a

Peraturan pemerintah tentang perlindungan bidiversitas dan pengendalian

pemanfaatan sumberdaya pesisir. b Penilaian lingkungan yang dapat memprediksi

dampak dari berbagai kegiatan

pembangunan.

ICZM dipandang efektif untuk memecahkan berbagai permasalahan ingkungan yang

melibatkan interaksi daratan-lautan (termasuk persoalan konflik

pemanfaatan sumberdaya) melalui tahapan-tahapan proses penilaian tingkungan.

Menurut Clark (1996) dan Kay (2005) menyatakan bahwa beberapa persoalan

penting yang dihadapi ICZM adalah sebagai berikut:

a. Deplesi Sumberdaya: Demand terhadap sumberdaya pesisir sampai saat ini

dinilai telah melampaui supplay yang tersedia. ICZM menawarkan konsep

sustainable use management untuk menjamin ketersediaan sumberdaya terbarui

(renewable)

untuk saat ini dan masa yang akan datang.

b. Polusi; Polusi menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung biologis dan

kualitas area wisata.

c. Biodiversitas ; Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan

ekonomi adalah tekanan terhadap species yang memiliki nilai etik dan ekonomi

tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi

species yang terancam punah.

Page 25: DocumentI

d. Bencana Alam; ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan

sumberdaya pantai dari bencana alam (seperti; banjir, siklon dan amblesan tanah)

kedalam perencanaan pembangunan.

e. Kenaikan Permukaan Air laut; Kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30

cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir yang di sebabkan oleh tingginya

konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Atmosfer berpotensi menimbulkan banjir

yang mengancam kehidupan masyarakat.

f. Abrasi pantai; Abrasi pantai adalah masalah yang mengancam masyarakat yang

tinggal didekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-sturuktural

seperti penataan kembali garis pantai dan memberikan jarak aman dari garis pantai

untuk semua kegiatan pembangunan.

g. Pemanfaatan lahan; Pemanfaatan lahan (misalnya: untuk industri dan

permukiman) menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir

(misalnya: penurunan bidiversitas karena polusi). ICZM mengantisipasi hal itu dan

merekomendasikan solusinya.

h. Hinterlands; ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak

negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir.

/. Landscape; Landscape wilayah pesisir bersifat unik sehingga memerlukan

perhatian khusus untuk melindungi dan untuk menjamin akses masyarakat ke

wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan

landscape pesisir.