Upload
jimmy
View
108
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jkb
Citation preview
Intensive Care Unit di Rumah Sakit
Jimmy, Jessica The, olivia, Jordy
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaKepaniteraan Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Imanuel Way Halim Bandar LampungPeriode 6 Juli - 25 Juli 2015
Intensive Care Unit di Rumah Sakit
Jimmy, Jessica The, olivia, Jordy
Pendahuluan
Salah satu pelayanan yang sentral di Rumah Sakit adalah pelayanan Intensive
Care Unit (ICU). Saat ini pelayanan di ICU tidak terbatas hanya untuk menangani
pasien pasca bedah saja tetapi juga meliputi berbagai jenis pasien dewasa dan anak
yang mengalami satu atau lebih disfungsi atau gagal organ. Kelompok pasien ini
dapat berasal dari Unit Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang Perawatan, ataupun
kiriman dari Rumah Sakit lain.1
Intensive care mempunyai 2 fungsi utama, yaitu yang pertama untuk
melakukan perawatan pada pasien- pasien gawat darurat dengan potensi “reversible
life thretening organ dysfunction”, yang kedua adalah untuk mendukung organ vital
pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur
intervensi dan risiko tinggi untuk fungsi vital.1
Untuk dapat memberikan pelayanan prima dan manajemen yang efektif dan
efisien, maka ICU harus dikelola sesuai dengan perkembangan Intensive Care
Medicine.1
Pembahasan
1. Definisi ICU
Intensive Care Unit (ICU) adalah bangsal rumah sakit yang menyediakan
perawatan intensif untuk pasien yang dalam kondisi kritis mengancam hidup yang
bertujuan untuk menunjang fungsi-fungsi vital.1 Pasien yang berada di ICU
membutuhkan perhatian medis secara konstan untuk mempertahankan dan menjaga
fungsi tubuh.1,2
Yang membedakan ICU dengan ruang perawatan lain adalah keperawatannya
dan peralatan yang digunakan. ICU dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus
untuk merawat dan mengobati pasien kritis atau yang mengalami disfungsi satu organ
atau lebih akibat penyakit berat yang mengancam nyawa atau komplikasi yang masih
ada harapan hidupnya (reversible). Dalam mengelola pasien ICU, diperlukan dokter
ICU yang memahami teknologi kedokteran, fisiologi, farmakologi dan kedokteran
konvensional dengan perawat yang terlatih, dan apoteker.1,2
2. Tujuan ICU
Tujuan perawatan pasien di ICU yaitu untuk memberikan perawatan yang
intensif untuk menyelamatkan kehidupan pasien, mencegah perburukan dan
komplikasi dengan cara observasi dan monitoring, meningkatkan kualitas hidup dan
mempertahankan kehidupan pasien, mengoptimalkan fungsi organ, mengurangi
angka kematian dan mempercepat proses penyembuhan pasien.1,2
3. Prosedur ICU
Sebelum pasien masuk ke ICU, dokter primer yang merawat pasien baik di IGD
atau bangsal melakukan evaluasi terhadap pasien dan memastikan indikasi masuk ke
ICU. Setelah itu dokter primer melakukan konsultasi dengan dokter ICU, konsultasi
bersifat tertulis namun dalam keadaan yang mendesak dapat dilakukan konsultasi
secara lisan namun tetap diikuti dengan konsultasi secara tertulis.1,2
Pasien dan atau keluarganya wajib diberikan penjelasan secara lengkap tentang
dasar pertimbangan mengapa pasien harus mendapat perawatan di ICU, serta
berbagai macam tindakan yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di
ICU dan prognosa pasien. Kemudian keputusan pasien dan atau keluarganya
dinyatakan di dalam formulir informed consent yang kemudian ditandatangani.1,2
4. Syarat ruang ICU1,2
Letaknya di sentral rumah sakit dan dekat dengan kamar bedah serta kamar
pulih sadar (Recovery Room).
Suhu ruangan diusahakan 22-25°C, nyaman.
Ruangan tertutup & tidak terkontaminasi dari luar.
Merupakan ruangan aseptic & ruangan antiseptic dengan dibatasi kaca-kaca.
Kapasitas tempat tidur dilengkapi alat-alat khusus.
Tempat tidur harus yang beroda dan dapat diubah dengan segala posisi.
Petugas maupun pengunjung memakai pakaian khusus bila memasuki ruangan
isolasi.
Tempat dokter & perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah untuk
mengobservasi pasien.
5. Sarana & Prasarana ICU1,2
Lokasi: Satu komplek dengan kamar bedah & Recovery Room.
RS dengan jumlah pasien lebih 100 orang sedangkan untuk R.ICU antara 1-2 %
dari jumlah pasien secara keseluruhan.
Bangunan: Terisolasi
Dilengkapi dengan: Monitor, alat komunikasi, AC, pipaair, exhousefan untuk
mengeluarkan udara, lantai mudah dibersihkan, keras dan rata, tempat cuci
tangan yang dapat dibuka dengan siku & tangan, dan pengering setelah cuci
tangan.
R. Dokter & R. Perawat
R.Tempat buang kotoran
R. Tempat penyimpanan barang & obat
R. Tunggu keluarga pasien
R. Pencucian alat
Pengering setelah cuci tangan
Sumber air
Sumber listrik cadangan/generator
Emergency lamp
Sumber O2 sentral
Suction sentral
Lemari instrumen & obat
Laborat kecil
Alat–alat penunjang: Ventilator, nebulaizer, Jacksion Reese, monitor ECG,
tensimeter mobile, defibrilator, termometer elektrik dan manual, infus pump,
syringe pump, O2 transport, CVP, standart infuse, trolly emergency, papan
resusitasi, alat SPO2, suction continous pump dll.
Penilaian terhadap pasien ICU
BERBAGAI MACAM SKOR DALAM TERAPI INTENSIF
A. Glasgow Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale adalah skala neurologis yang bertujuan untuk menilai
secara obyektif kesadaran seseorang pada saat awal serta penilaian selanjutnya.
GCS pada awalnya digunakan untuk menilai tingkat kesadaran setelah terjadi
cedera kepala dan pada saat ini GCS digunakan untuk pertolongan pertama dan
berlaku untuk semua pasien dan trauma akut. GCS dipublikasikan pada tahun 1974
oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett, profesor bedah saraf di Institut Ilmu
Neurologi Universtias Glasgow di rumah sakit umum City’s Southern. GCS
digunakan sebagai bagian dari beberapa sistem skoring ICU, termasuk APACHE
II, SAPS II dan SOFA untuk menilai status dari sistem saraf pusat.3
GCS terdiri dari tiga variabel antara lain: Eye, Verbal, Motor. GCS memiliki nilai tertinggi 15 dan nilai terendah 3. Dapat dikatakan
koma apabila jumlah skor GCS berkisar diantara 8 – 3.4
Kriteria Skala
Eye :
- Dapat membuka mata secara spontan
- Dapat membuka mata dengan rangsang verbal atau perintah
- Dapat membuka mata dengan rangsang nyeri
- Tidak dapat membuka mata
4
3
2
1
Verbal :
- Berbicara normal dan memiliki orientasi
- Confused dan disorientasi
- Mengucapkan kata yang tidak berhubungan
- Mengerang
- Tidak ada respon
5
4
3
2
1
Motor :
- Bergerak mengikuti perintah
- Dapat melokalisir lokasi nyeri bila diberi rangsang nyeri
- Menghindar sebagai respon dari rangsang nyeri
- Fleksi ekstremitas sebagai respon rangsang nyeri (dekortikasi)
- Ekstensi ekstremitas sebagai respon rangsang nyeri (desebrasi)
6
5
4
3
2
- Tidak ada respon 1
Tabel 9, Glasgow Coma Scale
B. Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II)
APACHE II adalah sistem klasifikasi untuk menilai seberapa beratnya suatu
penyakit pada pasien dewasa yang dirawat di ICU, skor ini tidak dapat digunakan
untuk pasien anak – anak atau pasien dibawah usia 16 tahun. APACHE II
dipublikasikan oleh Kasus pada tahun 1985. APACHE II merupakan salah satu dari
beberapa sistem penilaian pasien di ICU. Penilaian APACHE II dimulai sejak 24 jam
pertama saat pasien masuk ICU. APACHE II memiliki rentang skor 0 - 71 dihitung
berdasarkan 12 variabel antara lain; usia, temperature (rectum), Mean Arterial
Pressure (MAP), pH arteri, denyut jantung, frekuensi pernapasan, natrium (Serum),
kalium (serum), kreatinin, hematokrit, hitung jenis leukosit, Glasgow Coma Scale.
apabila jumlah skor tinggi maka pasien menderita penyakit yang berat serat memiliki
risiko kematian yang lebih tinggi.5
C. Sequential Organ Failure Assessment Score (SOFA Score)
Skor SOFA dibentuk dalam rapat konsensus European Society of Intensive
Care Medicine pada tahun 1994 dan selanjutnya direvisi pada tahun 1996. Setiap
organ dinilai dari 0 (normal) sampai 4 (abnormal), memberikan skor total 0
sampai 24 poin. Tujuan dalam pengembangan skor SOFA adalah untuk
memberikan penilaian terhadap status pasien di perawatan intensif dengan mudah
dan berkesinambungan pada setiap instansi yang terkait.3
Skor SOFA, digunakan untuk menilai status pasien selama tinggal di unit
perawatan intensif (ICU) . Skor SOFA merupakan suatu sistem penilaian untuk
menentukan sejauh mana fungsi organ seorang pasien atau untuk menilai
kegagalan fungsi organ. Skor tersebut didasarkan pada enam variabel antara lain;
fungsi respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular, susunan saraf pusat (SSP), dan
ginjal. Peningkatan skor SOFA selama 24 sampai 48 jam di ICU memprediksi
tingkat kematian minimal 50% sampai 95%. Skor kurang dari 9 memberikan
prediksi kematian pada 33% sedangkan skor di atas 11 bisa mendekati atau dapat
diatas 95%.3
Tabel 11, SOFA Score3
D. Multiple Organ Dysfunction Score (MODS)
MODS dikembangkan pada tahun 1995 sebagai alat penilaian fisiologis untuk
menggambarkan disfungsi organ pada hasil keluaran di ICU. MODS
menggunakan metode pendekatan formal. MODS menggunakan variabel fisiologis
dan bukan menggunakan variabel terapeutik. Para pengembang MODS ingin
meminimalkan bias yang dihasilkan dari pendekatan terapi yang berbeda pada
setiap pasien.3
Sistem Organ 0 1 2 3 4 Nilai
normal
Hematologis :
Trombosit
(103/mm3)
>120 81 - 120 51 – 80 21 – 50 ≤ 20 >120
Hepar :
Bilirubin serum
(mol/L)
≤20 21 – 60 61 – 120 121- 240 >240 ≤20
Ginjal :
Kreatinin serum
(mol/L)
≤100 101 - 200 201 - 350 351 - 500 >500 ≤100
Kardiovaskular :
PAR ≤10 10,1 – 15 15,1 - 20 21 – 30 >30 ≤10
Glasgow Coma
Scale (GCS) 15 13 – 14 10 – 12 7 – 9 ≤6 15
Respirasi :
PO2/FiO2
>300226 - 300 151 - 225 76 - 150 ≤75 >300
Tabel 12, Multiple Organ Dysfunction Score8
Keterangan : PAR (Pressure Adjusted heart Rate). PAR = HR x CVP/MAP. Jika
CVP tidak dapat dinilai maka terdapat nilai konstanta CVP yaitu 8.
PERALATAN1,2
Jumlah dan macam peralatan bervariasi tergantung tipe, ukuran dan fungsi
ICU dan harus sesuai dengan beban kerja ICU, disesuaikan dengan standar
yang berlaku.
Terdapat prosedur pemeriksaan berkala untuk keamanan alat. Peralatan dasar
meliputi: Ventilator, alat ventilasi manual dan alat penunjang jalan nafas, alat
hisap, peralatan akses vaskular, peralatan monitor invasif dan non-invasif.
Defibrilitor dan alat pacu jantung
Alat pengatur suhu pasien
Peralatan drain thorax
Pompa infus dan pompa syringe
Peralatan portable untuk transportasi
Tempat tidur khusus
Lampu untuk tindakan
Peralatan lain (seperti peralatan hemodialisis dan lain-lain) untuk prosedur
diagnostik dan atau terapi khusus hendaknya tersedia bila secara klinis ada indikasi
dan untuk mendukung fungsi ICU.
Protokol dan pelatihan kerja untuk staf medik dan paramedik perlu tersedia
untuk penggunaan alat-alat termasuk langkah-langkah untuk mengatasi apabila
terjadi malfungsi.
6. Pembagian ICU1,2
Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
NICU adalah unit perawatan intensif yang khusus merawat bayi baru lahir yang
sakit atau prematur.
Pediatric Intensive Care Unit (PICU)
PICU adalah unit perawatan intensif yang khusus merawat bayi yang sakit kritis,
anak-anak, dan remaja.
Post Anesthesia Care Unit (PACU)
PACU adalh unit perawatan intensif pasca operasi dan stabilisasi pasien setelah
operasi bedah dan anestesi. Pasien biasanya berada dalam PACU untuk waktu
terbatas, dan harus memenuhi kriteria sebelum transfer kembali ke bangsal.
Surgical Intensive Care Unit (SICU)
Sebuah layanan khusus di rumah sakit yang lebih besar yang menyediakan rawat
inap untuk pasien sakit kritis pada layanan bedah.
7. Level ICU1,2
Kebutuhan pelayanan ICU berhubungan dengan demografi, ekonomi dan
teknologi, tetapi dapat juga berasal dari aktifitas dokter (misal bedah syaraf, bedah
jantung dll). Biaya ICU mencapai tiga kali dari bed bangsal dalam perharinya.
Ada 3 level ICU di Indonesia :
Level I di rumah sakit daerah tipe (tipe C dan D)
Di sini ICU lebih tepat disebut sebagai unit ketergantungan tinggi (high
dependency). Dapat melakukan observasi ketat dengan EKG monitor dan resusitasi
dengan cepat tetapi ventilator hanya di berikan kurang dari 24 jam.
ICU level I:
- Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang gawat darurat dan
ruang perawatan lainnya.
- Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan.
- Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala.
- Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi jantung paru.
- Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan dipanggil setiap
saat.
- Memiliki jumlah perawat yang cukup dengan sebagian besar terlatih.
- Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan lab. tertentu (hb, ht, elektrolit, gula
darah dan trombosit), rontgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi.
Level II di rumah sakit tipe B
Di sini dapat melakukan ventilasi jangka lama. Dokter residen yang selalu
siap di tempat dan mempunyai fasilitas hubungan dengan fasilitas fisioterapi,
patologi dan radiologi. Bentuk fasilitas penunjang misalnya dialysis, monitor
invasive dan pemeriksaan CT scan.
ICU level II:
- Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan
ruang keperawatan lain.
- Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan.
- Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan
- Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter konsultan Intensive Care atau
bila tidak tersedia, dokter spesialis anestesiologi yang bertanggung jawab
secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan RJP.
- Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat
= 1 : 1untuk pasien ventilator, renal replacement therapy dan 2 : 1 untuk
kasus-kasus lainnya.
- Memiliki perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau
minimal berpengalaman kerja 3 tahun di ICU.
- Mampu memberikan ventilasi mekanik beberapa lama dan dalam batas
tertentu melakukan pemantauan intensif dan usaha-usaha penunjang hidup.
- Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan
diagnostik, dan fisioterapi selama 24 jam.
- Memiliki ruangan isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi.
Level III rumah sakit tertier (tipe A)
Biasanya pada RS tipe A mempunyai semua aspek yang di butuhkan ICU
agar dapat memenuhi peran sebagai RS rujukan.
ICU level III:
- Memiliki ruang khusus, tersendiri di dalam rumah sakit
- Memiliki kriteria penderita masuk, keluar serta rujukan.
- Memiliki dokter spesialis yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan.
- Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi/konsultan Intensive Care atau
dokter ahli konsultan intensive care yang lain yang bertanggung jawab
secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan RJP.
- Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien: perawat
= 1 : 1untuk pasien dgn ventilator, renal replacement therapy dan 2 : 1 untuk
kasus-kasus lainnya.
- Memiliki perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau
minimal berpengalaman kerja 3 tahun di ICU.
- Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan/therapi
intensif baik invasif maupun non invasif.
- Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan
diagnostik, dan fisioterapi selama 24 jam
- Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik tenaga medik
dan paramedik agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.
- Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian.
- Memiliki staf tambahan yang lain : misalnya tenaga administrasi, tenaga
rekam medis, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian2
No.
Kemampuan Pelayanan
Primer Sekunder Tersier
1Resusitasi jantung
paru
Resusitasi jantung
paru
Resusitasi jantung
paru
2 Pengelolaan jalan
napas, termasuk
intubasi trakeal dan
Pengelolaan jalan
napas, termasuk
intubasi trakeal dan
Pengelolaan jalan
napas, termasuk
intubasi trakeal dan
ventilasi mekanik ventilasi mekanik ventilasi mekanik
3 Terapi oksigen Terapi oksigen Terapi oksigen
4Pemasangan kateter
vena sentral
Pemasangan kateter
vena sentral dan arteri
Pemasangan kateter
vena sentral dan
arteri, Swan Ganz dan
ICP monitor
5
Pemantauan EKG,
pulsoksimetri, dan
tekanan darah non
invasive
Pemantauan EKG,
pulsoksimetri, dan
tekanan darah non
invasive dan invasive
Pemantauan EKG,
pulsoksimetri, dan
tekanan darah non
invasive dan invasive,
Swan Ganz, ICP dan
ECHO monitor
6Pelaksanaan terapi
secara titrasi
Pelaksanaan terapi
secara titrasi
Pelaksanaan terapi
secara titrasi
7Pemberian nutrisi
enteral dan parenteral
Pemberian nutrisi
enteral dan parenteral
Pemberian nutrisi
enteral dan parenteral
8
Pemeriksaan
laboraturium khusus
yang cepat dan
menyeluruh
Pemeriksaan
laboraturium khusus
yang cepat dan
menyeluruh
Pemeriksaan
laboraturium khusus
yang cepat dan
menyeluruh
9
Memberikan
tunjangan fungsi vital
dengan alat-alat
portabel selama
transportasi pasien
gawat
Memberikan
tunjangan fungsi vital
dengan alat-alat
portabel selama
transportasi pasien
gawat
Memberikan
tunjangan fungsi vital
dengan alat-alat
portabel selama
transportasi pasien
gawat
10
Kemampuan
melakukan fisioterapi
dada
Kemampuan
melakukan fisioterapi
dada
Kemampuan
melakukan fisioterapi
dada
11-
Mampu melakukan
prosedur isolasi
Mampu melakukan
prosedur isolasi
12
-
Melakukan
hemodialisis
intermitten dan
kontinyu
Melakukan
hemodialisis
intermitten dan
kontinyu
8. Indikasi pasien ICU1,2
Kriteria penerimaan ICU memilih pasien yang mungkin memperoleh manfaat
dari perawatan ICU. Penilaian ini sulit ditentukan bila hanya dengan diagnosis saja,
oleh karena itu disarankan agar praktisi ICU memahami alat untuk menilai keparahan
penyakit dan prognosis. Keputusan masuk ICU didasarkan pada beberapa prioritas,
diagnosis, dan parameter obyektif.3
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya
sewaktu waktu karena kegagalan atau disfungsi satu organ atau lebih atau sistem dan
masih ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan
dan pengobatan intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi
sosial yang memungkinkan seorang pasien dapat dirawat di ICU. Beberapa contoh
kondisi pasien yangdapat dipakai sebagai indikasi masuk ke ICU antara lain:
a. Ancaman/kegagalan sistem pernafasan: Gagal nafas, impending
gagal nafas.
b. Ancaman/kegagalan sistem hemodinamik: Shock
c. Ancaman/kegagalan sistem syaraf pusat: Stroke, penurunan
kesadaran.
d. Overdosis obat, reaksi obat dan intoksikasi: Depresi nafas
e. Infeksi berat : sepsis4
Dalam menentukan tindakan kepada pasien harus memperhatikan tingkat
prioritas pasien sehingga penanganan yang diberikan sesuai dan tepat. Prioritas
pasien antara lain :
Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinu,
dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pasien dengan shock septic.
Pasien prioritas 1 umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari terapi yang
diterimanya.
Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien
ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, seperti pemantauan intensif
menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter. Contoh jenis pasien ini
antara lain mereka yang menderita penyakit jantung, paru, atau ginjal akut yang telah
mengalami pembedahan mayor. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam
terapi yang diterimanya.
Prioritas 3
Pasien prioritas 3 sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-
masing atau kombinasinya sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau
mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan
keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, atau sumbatan
jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai
komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 mungkin mendapat terapi
intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai
melakukan intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.5
Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuai untuk
masuk ICU dan hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan luar
biasa atau atas persetujuan kepala ICU. Pasien-pasien tersebut dapat dikeluarkan dari
ICU agar fasilitas yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2,
3 yaitu:
a. Pasien dengan penyakit terminal yang ireversibel (terlalu sakit untuk
mendapatkan perawatan ICU). Untuk contoh: kerusakan otak yang
irreversible, kegagalan sistem multi-organ ireversibel, kanker metastatic, tidak
responsif terhadap kemoterapi dan atau terapi radiasi (kecuali pasien adalah
pada protokol pengobatan khusus), pasien dengan kapasitas pengambilan
keputusan yang menolak perawatan intensif dan atau pemantauan invasif dan
yang menerima perawatan kenyamanan saja, mati batang otak, pasien dalam
keadaan vegetatif persisten, pasien yang tidak sadar secara permanen.
b. Sedikit atau tidak adanya manfaat yang diantisipasi dari perawatan ICU
berdasarkan risiko rendah intervensi aktif yang tidak aman bisa diberikan
dalam pengaturan non-ICU (terlalu baik untuk mendapatkan keuntungan dari
perawatan ICU). Contoh termasuk pasien dengan bedah vaskular perifer,
ketoasidosis diabetik hemodinamik stabil, gagal jantung kongestif ringan,
overdosis obat.
9. Kontraindikasi pasien ICU1,2
Kontraindikasi yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan
penyakit yang sangat menular, misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang
masuk ICU tidak boleh ada yang mempunyai riwayat penyakit menular.
10. Pengelolaan pasien ICU1,2
Pengelolaan rutin pasien ICU dapat meliputi:
1. Pendekatan pasien seperti anamnesis, serah terima pasien, pemerikasaan fisik,
kajian hasil pemerikasaan, identifikasi masalah beserta penanggulangannya,
dan informasi kepada keluarga.
2. Pemeriksaan fisik dari seluruh aspek fisiologis dan data demografi minimal 1
kali sehari.
3. Pemeriksaan, observasi dan monitoring rutin.
Kardiovaskuler: Peredaran darah, nadi, EKG, perfusi periver, CVP.
Respirasi: Menghitung pernafasan, setting ventilator,
menginterprestasikan hasil BGA, keluhan, pemeriksaan fisik dan foto
thorax.
Ginjal: Jumlah urine tiap jam, jumlah urine selama 24 jam.
Pencernaan: Pemeriksaan fisik, cairan lambung, intake oral, muntah,
diare.
Tanda infeksi: Peningkatan suhu tubuh/penurunan (hipotermi),
pemeriksaan kultur, berapa lama antibiotic diberikan.
Posisi ETT dikontrol setiap saat dan pengawasan secara kontinyu seluruh
proses perawatan.
4. Jalur intra vaskuler.
5. Intubasi dan pengelolaan trachea.
6. Pengelolaan cairan.
7. Perdarahan gastro intestinal.
8. Nutrisi
Nutrisi enteral
Merupakan pemberian nutrient melalui saluran cerna dengan menggunakan
sonde (tube feeding). Nutrisi enteral direkomendasikan bagi pasien-pasien
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya secara volunter melalui
asupan oral. Pemberian nutrisi enteral dini yang dimulai dalam 12 jam
sampai 48 jam setelah pasien masuk ke dalam perawatan intensif (ICU)
lebih baik dibandingkan pemberian nutrisi parenteral. Dapat secara manual
maupun dengan bantuan pompa mesin. Dosis nutrisi enteral biasanya
berkisar antara 14-18kkal/kgbb/ hari atau 60-70% dari tujuan yang hendak
dicapai.
Indikasi:
Pasien dengan malnutrisi berat yang akan menjalani
pembedahan saluran cerna bagian bawah.
Pasien dengan malniutrisi sedang-berat yang akan menjalani
prosedur mayor elektif saluran cerna bagian atas.
Asupan makanan yang diperkirakan tidak adekuat selama > 5-
7 hari pada pasienmalnutrisi, > 7-9 hari pada pasien yang tidak
malnutrisi.
Kontraindikasi Absolut:
Pasien yang diperbolehkan untuk asupan oral non-restriksi
dalam waktu < 7 hari
Obstruksi usus
Pankreatitis akut berat
Perdarahan masif pada saluran cerna bagian atas
Muntah atau diare berat
Instabilitas hemodinamik
Ileus paralitik
Komplikasi :
Komplikasi nutrisi enteral lebih sering terjadi pada pasien yang
membutuhkan perawatan intensif dibandingkan pada pasien yang sakitnya
lebih ringan.
Komplikasi Penyebab yang mungkin
Gastrointestinal Nausea / vomitus Ansietas, residu gaster banyak, formula
“malodorous”, obat, letak selang, posisi
penderita tidak tepat, pemberian makanan
yang dingin, kecepatan pemberian yg
cepat
Diare Kecepatan infus cepat, makanan/ obat
hiperosmolar, intoleransi laktosa, terapi
antibiotik, hipoalbuminemia, formula
terkontaminasi bakteri, formula rendah
residu
Konstipasi Formula rendah residu, dehidrasi, obat
Kembung dan kram
abdomen
Gangguan motilitas usus halus dan besar
Metabolik Dehidrasi Demam/ infeksi, intake kurang,
kehilangan cairan berlebih
Peningkatan
elektrolit serum
Peningkatan elektrolit dalam formula,
intake cairan tidak adekuat, kehilangan
cairan berlebih
Penurunan
elektrolit serum
Retensi cairan berlebih, elektrolit tidak
adekuat dalam formula
Hiperglikemia Stres metabolik, riwayat diabetes, glukosa
diet berlebih
Mekanik
Selang makanan
tersumbat
Residu formula berlebih dalam selang
Iritasi dan erosi
nasal
Pemberian obat via selang
Perubahan posisi
selang
Batuk/ muntah
Patologi esofagus:
esofagitis, erosi,
Efek lokal selang nasoenterik
ulkus, perdarahan,
striktur
Fistula
trakeoesofagus
Tekanan berat yang menimbulkan
sklerosis
Tidak enak
nasofaring
Efek lokal
Laring serak,
ulserasi, stenosis
Efek lokal
Aspirasi saluran
cerna
Salah posisi penempatan selang
nasoenterik
Infeksi Pneumonia aspirasi Regurgitasi, salah posisi
Kontaminasi
bakterial dari
makanan enteral
Kontaminasi eksogen
a. Nutrisi parenteral
Pemberian nutrisi melalui vena. Pada pasien yang tidak dapat
mengkonsumsi kebutuhan nutrisi sehari-hari melalui rute enteral.
Indikasi:
Pasien dengan ketidakmampuan absorbsi nutrient melalui GIT.
Hal ini meliputi malabsorbsi berat, short bowel sindrom,
muntah berat, diare, dan enteritis radiasi
Pasien dengan pankreatitis akut berat yang membutuhkan
pengistirahatan bowel
Pasien dengan intake nutrisi enteral tidak adekuat selama 7-10
hari
Obstruksi traktus olimenterus (adhesi, ca esophagus)
Penyakit inflamasi usus halus (Chorn’s disease, colitis ulserasi)
Luka bakar, trauma berat
Pasien pra bedah yang mengalami emasiasi, kehilangan BB ≥
10%
Pasien paska bedah yang tidak mampu makan selama 5 hari
Penolakan atau ketidakmampuan untuk makan seperti koma,
anoreksia nervosa/kelainan neurologis
Kontraindikasi:
Pasien dengan GIT baik, mampu mengabsorbsi nutrien
secara adekuat
Pada krisis hemodinamik (syok, dehidrasi yang belum
terkoreksi)
Gagal napas butuh bantuan respirator
Macam:
Nutrisi Parenteral Perifer (PPN)
Diindikasikan penggunaan jangka pendek pada pasien
yang mengalami gangguan fungsi GIT dan membutuhkan
nutrisi. Juga digunakan pada pasien pasca operasi dini
yang diharapkan untuk mulai makan dalam beberapa hari
sampai satu minggu setelah operasi.
Pada pemberian PPN ini faktor yang perlu diperhatika
yaitu osmolaritas larutan. Dimana osmilaritas tidak boleh
lebih dari 600 – 800 mOsm/L. Dengan perhitungan 50
mOsm/L untuk setiap 1% Dextrose dan 100 mOs/L untuk
setiap 1% amino. Dalam lingkup ini kalori hemat protein
disuplai dengan larutan asam amino D5-10%/3,5% dan
lemak adalah isotonis. Emulsi lemak 20% oleh vena
perifer memberikan hampir 2000 kkal/hr. Elektorlit juga
dapat meningkatkan osmolaritas.
Beberapa komplikasi yang sering muncul pada
penggunaan PPN yaitu tromboplebitis. Komplikasi ini
dapat dikurangi dengan pemberian PPN low osmolaritas.
Beberapa institusi menambahkan heparin atau
hidrokortisol kedalam larutan untuk mengurangi insidensi
phlebitis. Infiltrasi, emboli kateter, dan sepsis mungkin
juga dapat ditemukan pada pemberian PPN. Oleh karena
itu vena kateter harus diganti setiap 48-72 jam.
Nutrisi Parenteral Total (TPN)
TPN diindikasikan untuk pasien yang membutuhkan
nutrisi lebih dari 7-10 hari, dimana membutuhkan jumlah
kalori yang tinggi, restriksi cairan yang berat, atau akses
perifer tidak bagus.
TPN dimulai dengan larutan yang mengandung
konsentrasi kahir 15 – 35% glukosa dan asam amino 3,5 –
5%. Selama masa kritis kebutuhan protein berfluktuasi
antara 2 – 3,5 gr/kgBB.
Rasio kalori (glukosa) terhadap nitrogen (as amino)
harus 200:1. Rasio ini diperlukan untuk menjaga nitorgen
dalam tubuh tetap adekuat. Bila rasio ini tidak
dipertahankan, kelebihan asam amino akan dikeluarkan
melalui urin jika terdapat glukosa yang cukup dan begitu
sebaliknya. Terapi yang optimal membutuhkan 200 kkal
untuk setiap 1 gram nitrogen.
Pemberian nutrisi hanya efektif untuk pengobatan
gangguan nutrisi bukan untuk penyebab penyakitnya.
Status nutrisi basal dan berat ringannya penyakit
memegang peranan penting dalam menentukan kapan
dimulainya pemberian nutrisi parenteral. Sebagai contoh
pada orang-orang dengan malnutrisi yang nyata lebih
membutuhkan penanganan dini dibandingkan dengan
orang-orang yang menderita kelaparan tanpa komplikasi.
Pasien-pasien dengan kehilangan zat nutrisi yang jelas
seperti pada luka dan fistula juga sangat rentan terhadap
defisit zat nutrisi sehingga membutuhkan nutrisi parenteral
lebih awal dibandingkan dengan pasien-pasien yang
kebutuhan nutrisinya normal.
Kebutuhan Harian:
Air : 30 – 35 ml/kg
Ekstra air dibutuhkan untuk mengganti kehilangan air
karena diare, muntah, berkeringat dan panas (ditambah 150
ml setiap kenaikan 1°C).
Energi
Kebutuhan nutrisi dan mineral harian pada dewasa.
Water 30 ml
Energy 125 KJ
(30kcal)
Nitrogen 0,1-0,2 g
Glukosa 3 gr
Lipid 2 gr
Sodium 1-2 mmol
Potasium 0,7 – 1 mmol
Calcium 0,1 mmol
Magnesium 0,1 mmol
Phosporus 0,4 mmol
Nilai energi untuk : Lipid = 9 kcal/g
Karbohidrat = 4 kcal/g
9. Usia lanjut dan penyakit yang serius.
10. Reaksi pasien saat di rawat di ICU.
11. Tujuan akhir pengobatan ICU yang di intervensikan sebelumnya.
Urutan prioritas penanganan kegawatan didasarkan pada 6B yaitu :
B-1 Breath - Sistem pernafasan
B-2 Bleed - Sistem peredaran darah
B-3 Brain - Sistem syaraf pusat
B-4 Blader - Sistem urogenital
B-5 Bowel -Sistem pencernaan
B-6 Bone - Sistem tulang dan persendian
10. Indikasi Keluar ICU
Prioritas 1 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untk terapi intensif telah tidak
ada lagi, atau bila terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek dengan
kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif kecil.
Prioritas 2 dikeluarkan bila kemungkinan untu mendadak memerlukan terapi
intensif telah berkurang.
Prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah
tidak ada lagi, tetapi mungkin pasien dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan
kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kecil.
Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :
Meninggal dunia
Tidak ada kegawatan yang menganca jiwa sehingga dirawat di ruang
biasa atau dapat pulang.
Atas permintaan keluarga atau pasien. Untuk kasus seperti ini keluarga
atau pasien harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan
sendiri.
Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil.
Terapi dan perawatan intensif tidak memberi hasil pada pasien.
pasien tidak menggunakan ventilator. Pasien mengalami mati batang
otak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bader AM, Fischer SP, Sweitzer B. Preoperative Evaluation. In : Miller’s
Anesthesia. 8th ed. Editor: Miller RD. USA. Churchill Livingstone; 2009.p.1002.
2. Arifin J, Harahap MS, Sasongko H. Persiapan Preanestesi. In : Anestesiologi.
Editors: Jatmiko HD, Soenarjo. Semarang. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010.h. 85 – 100.
3. Sessler CN, Gosnell M, Grap MJ, Brophy GT et al. The Richmond Agitation
Sedation Scale: Validity and Reliability in Adult Intensive Care Patients. Am. J.
Respir. Crit. Care. Med; 2006.p.1338 – 44.
4. Ely EW, Truman B, Shintani A et al. Monitoring Sedation Status Over Time in
ICU Patients: The Reliability and Validity of The Richmond Agitation Sedation
Scale (RAAS). JAMA; 2007. p. 289: 2983 – 91.
5. Barone CP, Barone GW, Pablo CS. Postanesthetic Care in The Critical Care Unit.
Crit. Care. Nurse; 2006; 24: 38-45.