Upload
duongnhu
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Membaca
Keterampilan berbahasa terdiri atas empat keterampilan yang saling berkaitan yang
disebut catur tunggal. Empat keterampilan tersebut adalah membaca, menulis,
menyimak, dan berbicara. Dalam kajian ini akan dibahas salah satu dari empat
keterampilan tersebut yaitu membaca. Berikut diuraikan tentang pengertian membaca
dan tujuan membaca.
2.1.1 Pengertian Membaca
Pengertian membaca sebagai sebuah istilah sangat beraneka ragam. Membaca dalam
arti yang sederhana adalah menyuarakan huruf atau deretan huruf yang berupa kata
atau kalimat. Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui
media kata-kata/bahasa tulis (Tarigan, 1990: 7).
Adapun hakikat membaca adalah melihat tulisan dan menyuarakan atau tidak
bersuara (dalam hati) serta mengerti isi tulisannya (Zainuddin, 1992: 72). Membaca
adalah usaha untuk mendapatkan sesuatu yang ingin diketahui, mempelajari sesuatu
yang ingin dikerjakan, atau mendapat kesenangan dan pengetahuan dari suatu tulisan
(Semi, 1993: 100).
7
Membaca dimaksudkan untuk melafalkan bunyi yang tertulis kemudian menangkap
gagasan yang terkandung dalam rangkaian bunyi (Pranowo, 1996: 88). Membaca
berarti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau
hanya di dalam hati); mengeja atau melafalkan apa yang tertulis (Depdikbud, 1997:
72).
Membaca bukanlah suatu proses ekafaktor, melainkan keterampilan dan kemampuan
yang interaktif dan terpadu (Harjasujana, 1986: 9). Dalam komunikasi lisan, seperti
yang telah dikatakan, lambang-lambang bunyi bahasa diubah menjadi lambang-
lambang tulisan atau huruf, dalam hal ini huruf-huruf menjadi alfabet lain
(Tampubolon, 1987: 5). Membaca pada dasarnya adalah proses kognitif. Walaupun
pada taraf-taraf penerimaan lambang-lambang tertulis diperlukan kemampuan-
kemampuan motoris berupa gerakan-gerakan mata, kebanyakan dari kegiatan-
kegiatan membaca sebagai proses kognitif adalah kegiatan-kegiatan pikiran atau
penalaran termasuk ingatan (Tampubolon, 1990: 6).
Membaca merupakan perbuatan yang dilakukan berdasarkan kerja sama dari berbagai
keterampilan, yaitu mengamati, memahami, dan memikirkan (Burhan, 1991: 91). Di
dalam konteks pembelajaran, membaca dipandang sebagai suatu proses menuju
pemahaman sebagai produk yang diukur. Pada proses itu terjadi peralihan informasi
yang dikandung oleh lambang grafis yang mewakili kata (Semi, 1993: 99).
2.1.2 Tujuan Membaca
Tarigan (1986: 9—10) berpendapat bahwa tujuan utama dalam membaca adalah
untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, dan memahami isi bacaan.
8
Makna, arti erat sekali berhubungan dengan maksud, tujuan, atau intensif kita dalam
membaca. Berikut ini dikemukakan beberapa tujuan membaca:
1) membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for
details or facts) adalah membaca untuk mengetahui penemuan-penemuan yang
telah dilakukan oleh para ahli. Apapun yang telah diperbuat oleh tokoh, apa yang
telah terjadi pada tokoh khusus;
2) membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas) adalah
membaca untuk mengetahui masalah apa yang dialami oleh tokoh, dan
merangkum hal-hal yang dilakukan oleh tokoh untuk mencapai tujuannya;
3) membaca untuk mengetahui urutan atau susunan organisasi cerita (reading for
sequence or organization) adalah membaca untuk mengetahui setiap bagian
cerita. Dengan membaca dapat diketahui apa yang terjadi pada awal cerita sampai
selesai;
4) membaca untuk menyimpulkan (reading for inference) adalah membaca untuk
mengetahui mengapa para tokoh berbuat demikian, apa yang dimaksud
pengarang dengan cerita atau bacaan itu, dan mengapa terjadi perubahan pada
tokoh;
5) membaca untuk mengelompokkan, mengklasifikasikan (reading for classify)
adalah membaca untuk menemukan atau mengetahui hal-hal yang wajar dan tidak
wajar, apa yang lucu dalam bacaan, dan apakah bacaaan itu benar atau tidak;
6) membaca untuk menilai, mengevaluasi (reading for evaluate) adalah membaca
untuk mengetahui apakah suatu buku atau bacaan itu cocok untuk kita baca.
Apakah kita dapat berbuat seperti halnya tokoh yang ada dalam cerita apabila hal
itu kita nilai baik;
9
7) membaca untuk mempertentangkan atau memperbandingkan (reading to
compare or contrast) adalah membaca untuk mengetahui bagaimana caranya
kehidupan tokoh mengalami perubahan, bagaimana hidupnya berbeda dari
kebiasaan hidup yang kita kenal. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana dua
buah cerita mempunyai persamaan atau perbedaan;
Menurut Semi (1993: 100), tujuan pengajaran membaca adalah sebagai berikut:
1) menambah kecepatan dan memahami bacaan;
2) mengajarkan bagaimana siswa mendapatkan pendekatan membaca terhadap
berbagai variasi bahan bacaan;
3) memperbaiki dan meningkatkan kemampuan membaca oral;
4) meningkatkan kemampuan mengapresiasi dan memperoleh kesenangan estetik
para pembaca karya sastra;
5) meningkatkan minat baca siswa agar senang membaca sebanyak-banyaknya dan
memungkinkan siswa dapat menjadi pembaca yang teliti sepanjang hayatnya.
Rahim (2007: 11-12) mengemukakan tujuan membaca mencakup sebagai berikut:
1) kesenangan;
2) menyempurnakan membaca nyaring;
3) menggunakan strategi tertentu;
4) memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik;
5) mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya;
6) memperoleh informasi untuk laporan lisan atau tertulis;
7) mengonfirmasikan atau menolak prediksi;
10
8) menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh
dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks;
9) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik.
2.2 Membaca Cepat
Membaca cepat adalah sistem membaca dengan memperhitungkan waktu baca dan
tingkat pemahaman terhadap bahan yang dibacanya. Apabila waktu bacanya semakin
sedikit dan tingkat pemahamannya semakin tinggi, maka dikatakan bahwa kecepatan
baca orang tersebut semakin meningkat.
Pada umumnya orang yang belum pernah mendapat latihan membaca pasti memiliki
kecepatan baca yang lebih rendah dari kemampuannya. Ada beberapa hal yang
menyebabkan rendahnya kecepatan baca seseorang, antara lain sebagai berikut.
1) Kebiasaan lama yang telah mendarah daging seperti menggerakkan bibir untuk
melafalkan, menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, dan menggunakan jari
atau benda untuk menunjuk kata-kata yang dibacanya.
2) Tidak agresif (tidak bersemangat) dalam usaha memahami arti bacaan.
3) Persepsinya kurang sehingga lambat dalam menginterpretasikan apa yang
dibacanya.
Hambatan-Hambatan Dalam Membaca Cepat
Pada saat anak belajar membaca, ia mengenal kata demi kata, mengejanya, dan
membedakannya dengan kata-kata lain. Anak juga harus belajar dengan bersuara,
mengucapkan setiap kata dengan penuh agar dapat diketahui apakah ia benar atau
salah. Selagi belajar, anak juga diajari membaca secara struktural, yakni dari kiri ke
kanan dan mengamati tiap kata dengan saksama pada tiap susunan yang ada. Oleh
11
karena itu, pada waktu membaca anak melakukan kebiasaan berikut. (1)
menggerakkan bibir untuk melafalkan kata yang dibaca, (2) menggerakkan kepala
dari kiri ke kanan, (3) menggunakan jari atau benda lain untuk menunjuk kata demi
kata.
Secara tidak disadari, kebiasaan-kebiasaan tersebut diteruskan hingga dewasa.
Semestinya, orang dewasa dapat dengan cepat mengenali frasa, kalimat, dan urutan
ide sehingga kesalahan semasa kanak-kanak tidak perlu lagi dilakukan.
Menurut Soedarso (2006: 5) yang menjadi penghambat membaca cepat adalah
sebagai berikut.
1) Vokalisasi.
Vokalisasi atau membaca dengan bersuara adalah sangat memperlambat membaca,
karena hal itu berarti mengucapkan kata demi kata dengan lengkap. Menggumam,
sekalipun dengan mulut terkatup dan suara tidak terdengar, jelas termasuk membaca
dengan bersuara.
2) Gerakan bibir.
Menggerakkan bibir atau komat-kamit saat membaca, sekalipun tidak mengeluarkan
suara, sama lambatnya dengan membaca bersuara. Kecepatan membaca bersuara
ataupun dengan gerakan bibir hanya seperempat dari kecepatan membaca secara
diam.
3) Gerakan kepala.
Semasa kanak-kanak penglihatan kita masih sulit menguasai seluruh penampang
bacaan. Akibatnya adalah kita menggerakkan kepala dari kiri ke kanan untuk dapat
12
membaca garis-garis bacaan secara lengkap. Setelah dewasa, penglihatan kita telah
mampu secara optimal sehingga seharusnya cukup mata saja yang bergerak.
4) Menunjuk dengan jari.
Semasa baru belajar membaca kita harus mengucapkan kata demi kata apa yang kita
baca. Untuk menjaga agar tidak ada kata yang terlewati maka diperlukan bantuan jari
atau pensil untuk menunjuk kata demi kata. Cara membaca seperti ini sangat
menghambat membaca sebab gerakan tangan lebih lambat daripada gerakan mata.
Kecepatan baca bergantung pada kebutuhan dan bahan yang dihadapinya. Pada
umumnya kecepatan baca dapat dirinci sebagai berikut.
1) Membaca secara skimming dan scanning (lebih dari 1000 kpm).
Tipe membaca seperti ini biasanya digunakan untuk:
(a) mengenal bahan-bahan yang akan dibaca;
(b) mencari jawaban atas pertanyaan tertentu;.
(c) mendapat struktur dan organisasi bacaan serta menentukan gagasan umum
dari bacaan.
2) Membaca dengan kecepatan tinggi (500 – 800 kpm).
Tipe membaca seperti ini biasanya digunakan untuk:
(a) membaca bahan-bahan yang mudah dan telah dikenali sebelumnya;
(b) membaca novel ringan untuk mengikuti jalan ceritanya.
3) Membaca secara cepat (350 – 500 kpm).
Tipe membaca seperti ini biasanya digunakan untuk:
(a) membaca bacaan yang mudah dalam bentuk deskripsi dan bahan-bahan
nonfiksi lain yang bersifat informatif;
13
(b) membaca fiksi yang agak sulit untuk menikmati keindahan sastranya dan
mengantisipasi akhir cerita.
4) Membaca dengan kecepatan rata-rata (250 – 350 kpm).
Tipe membaca seperti ini biasanya digunakan untuk:
(a) membaca fiksi yang komplek untuk analisis watak dan jalan ceritanya;
(b) membaca nonfiksi yang agak sulit untuk mendapatkan detail, mencari
hubungan, atau membuat evaluasi ide penulis.
5) Membaca lambat (100 – 125 kpm).
Tipe membaca seperti ini biasanya digunakan untuk:
(a) mempelajari bahan-bahan yang sulit dan untuk menguasai isinya;
(b) menguasai bahan-bahan ilmiah yang sulit dan bersifat teknis;
(c) membuat analisis bahan-bahan bernilai sastra klasik;
(d) memecahkan persoalan yang ditunjuk dengan bacaan yang bersifat
instruksional (petunjuk).
2.3 Membaca Pemahaman
Membaca pemahaman berkaitan erat dengan usaha memahami hal-hal penting dari
apa yang dibacanya. Menurut Soedarso (2006: 58), yang dimaksud membaca
pemahaman adalah kemampuan membaca untuk mengerti ide pokok, detail penting,
dan seluruh pengertian. Pemahaman ini berkaitan erat dengan kemampuan mengingat
bahan yang dibacanya.
Usaha efektif untuk memahami dan mengingat lebih lama dapat dilakukan dengan
cara berikut.
1) Mengorganisasikan bahan yang dibacanya dalam kaitan yang mudah dipahami.
14
2) Mengaitkan fakta yang satu dengan fakta yang lain atau menghubungkannya
dengan fakta dan konteks.
Untuk dapat memahami dengan baik sebuah bacaan, pembaca haruslah bisa menjadi
seorang pembaca yang fleksibel dan efisien. Pembaca yang fleksibel adalah pembaca
yang tidak selalu menyamaratakan kecepatan membacanya. Adakala kecepatan
membacanya diperlambat. Hal itu bergantung dari bahan dan tujuan ia membaca.
Bacaan ringan, misalnya untuk rekreasi atau hiburan, dapat dibaca cepat sekali. Akan
tetapi, tulisan yang bersifat analisa perlu diperlambat cara membacanya. Demikian
juga untuk tulisan yang bersifat ilmiah, kecepatan membacanya perlu dikurangi
seperlunya.
Pembaca yang efisien memunyai kecepatan bermacam-macam, sesuai dengan bahan
yang dihadapinya dan keperluannya. Pembaca yang tidak efisien, dalam satu fiksasi
hanya dapat satu atau dua kata saja yang terserap, sedangkan pembaca yang efisien
dapat menyerap tiga atau empat kata. Efisiensi membaca akan lebih baik, jika
informasi yang dibutuhkan sudah ditentukan lebih dahulu. Konsentrasi perhatian dan
pikiran dapat diarahkan pada informasi itu. informasi yang sudah ditentukan tersebut
disebut informasi fokus.
2.4 Kecepatan Efektif Membaca (KEM)
Kecepatan efektif membaca adalah perpaduan dari kemampuan motorik (gerakan
mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif (ingatan, penalaran)
dalam membaca. Hal ini berarti bahwa kecepatan efektif membaca merupakan
gabungan dari kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan.
15
KEM merupakan kependekan dari kecepatan efektif membaca. KEM merupakan
paduan dari kemampuan visual dan kemampuan kognisi, kemampuan yang
mempertimbangkan kecepatan rata-rata baca dan ketepatan memahami isi bacaan.
(Harjasujana, 1996: 56)
Nurhadi (1987: 31) menjelaskan sebuah istilah yang berkaitan dengan membaca,
yaitu membaca cepat dan efektif. Membaca cepat dan efektif ialah jenis membaca
yang mengutamakan kecepatan, dengan tidak meninggalkan pemahaman terhadap
aspek bacaan.
Istilah “kecepatan membaca” sesungguhnya tidak sepenuhnya menggambarkan
makna yang sebenarnya. Istilah yang digunakan adalah kemampuan membaca.
Kemampuan membaca adalah kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan secara
keseluruhan, dengan memakai istilah ini dapat juga dikatakan bahwa kemampuan
membaca dapat ditingkatkan dengan penguasaan teknik-teknik membaca efisien dan
efektif (DP. Tampubolon, 1987: 7).
Kecepatan membaca sangat bergantung pada bahan dan tujuan membaca, dan sejauh
mana pengetahuan dengan bahan bacaan tersebut. Kecepatan membaca harus beriring
dengan kecepatan memahami bahan bacaan tersebut.
1. Untuk mengukur kecepatan membaca, dapat digunakan rumus menurut Soedarso
(2005: 14) berikut.
Jumlah kata yang dibaca----------------------------------- X 60 = Jumlah kpm (kata per menit)Jumlah detik untuk membaca
16
Kecepatan membaca dan pemahaman bukanlah dua unsur yang terpisah dalam proses
membaca. Keduanya justru merupakan satu kesatuan. Kecepatan membaca jelas
mengacu pada kecepatan memahami bacaan. Pemahaman tidak hanya mengacu pada
seluruh proses membaca, melainkan juga secara khusus pada kualitas pemahaman
bacaan. Dengan rumus menurut Harjasudjana (1996: 69) berikut dapat diperoleh hasil
kecepatan membaca yang efektif dan pemahaman skor jawaban yang diperoleh.
Wd
K(X 60) X
Si
B= Kecepatan Efektif Membaca
Agar bisa meningkatkan KEM, umumnya satu dari ketiga hal berikut harus
terpenuhi, yaitu (a) kecepatan meningkat, pemahaman tetap; (b) pemahaman
meningkat, kecepatan tetap; (c) keduanya mengalami peningkatan.
Pembaca yang efektif menggunakan berbagai strategi membaca yang sesuai dengan
teks dan konteks dalam rangka mengkonstruk makna ketika membaca. Strategi ini
bervariasi sesuai dengan jenis teks dan tujuan membaca. Efektif artinya, peningkatan
kecepatan membaca itu harus diikuti pula oleh peningkatan pemahaman terhadap
bacaan. Seorang pembaca yang efektif melihat setiap baris bacaan hanya pada
satuan-satuan pikiran yang ada. Pembaca cepat tidak harus membaca dengan
kecepatan tinggi terus menerus sepanjang bacaan.
Perbedaan pembaca yang efektif dan pembaca yang tidak efektif.
Pembaca yang efektif, yaitu
a) membaca dengan kecepatan tinggi. Biasanya berkisar 250-450 kata per menit
atau lebih;
17
b) kecepatan membaca bervariasi, bergantung pada tujuan, keperluan, dan bahan
bacaan;
c) aspek yang dibaca adalah satuan pikiran, ide, atau kata-kata kunci saja;
d) sedikit terjadi pengulangan gerak mata (regresi). Ketepatan selalu akurat tanpa
banyak berhenti;
e) menggerakkan bola mata 3-4 kali pada setiap baris bacaan;
f) waktu membaca, secara fisik diam;
g) makna yang diambil adalah gagasan-gagasan pokok saja, tanpa banyak melihat
unsur yang kurang menunjang;
h) membaca dengan sikap aktif, kritis, dan kreatif;
i) konsentrasi terhadap bahan bacaan sempurna;
j) membaca dipandang sebagai kebutuhan, bukan suatu tugas atau beban;
k) keperluan atau desakan untuk membaca selalu ada.
Pembaca yang tidak efektif, yaitu
a) membaca dengan kecepatan rendah, umumnya 100-200 kata per menit atau
kurang;
b) membaca dengan kecepatan konstan untuk berbagai keadaan dan kondisi
membaca. Kecepatan itu selalu sama meskipun pada tujuan, bahkan bacaan, dan
keperluan yang berbeda;
c) gerak mata diarahkan/dipusatkan pada kata demi kata dan memahaminya secara
terputus;
d) menggerakkan bola mata 8-12 kali atau lebih pada setiap baris bacaan;
e) memvokalkan (melisankan) bahan bacaan. Proses membaca diikuti gerak mulut
atau anggota badan lainnya;
18
f) menarik makna literalnya dulu (fakta-fakta), unsur subordinat, baru kemudian
menyimpulkan gagasan utamanya;
g) membaca kalimat demi kalimat;
h) konsentrasi tidak sempurna;
i) membaca jika hanya keperluan atau dari paksaan dari orang lain. (Nurhadi,1987:
49)
2.5 Wacana
Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan manusia yang lain.
Penggunaan bahasa tersebut dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kesatuan
dari beberapa kalimat yang satu dengan yang, lain terikat berat. Kesatuan bahasa yang
diucapkan atau tertulis itulah yang dinamakan wacana (Lubis, 1991: 21). Berikut
diuraikan pengertian wacana, ciri-ciri wacana dan macam-macam wacana.
2.5.1 Pengertian Wacana
Wacana sebagai kesatuan yang lengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau
klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi, berkesinambungan, mempunyai
awal dan akhir yang nyata, dan disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 1984:
27).
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang
serasi di antara kalimat itu (Muslich, 1990: 15). Depdikbud (1985: 14) berpendapat
bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap atau satuan gramatikal tertinggi atau
terbesar.
19
Menurut Kridalaksana (1984: 208) wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Menurut A.
Widyamarta (1992: 21) wacana adalah serangkaian kalimat atau proposisi yang
berkaitan sehingga membentuk kesatuan dan keserasian makna. Wacana merupakan
satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam
konteks sosial. Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan hingga terbentuk
makna yang serasi di antara kalimat itu (TBBI, 1993: 34).
2.5.2 Pemahaman Isi Wacana
Menurut Tarigan (1989 :42) aspek-aspek dalam memahami sebuah wacana adalah
sebagai berikut:
1) memahami pengertian-pengertian sederhana yang mencakup
a. kemampuan memahami kata-kata/istilah-istilah baik secara leksikal maupun
secara gramatikal yang terdapat dalam suatu bacaan;
b. kemampuan memahami pola-pola kalimat, bentuk-bentuk kata serta susunan
kalimat-kalimat panjang yang sering dijumpai dalam tulisan resmi;
c. kemampuan menafsirkan lambang atau tanda tulisan yang terdapat dalam
bacaan.
2) memahami signifikasi atau makna yang mencakup
a) kemampuan memahami ide-ide pokok yang ditemukan oleh pengarang;
b) kemampuan mengaplikasikan isi karangan dengan kebudayaan yang ada;
c) dapat meramalkan reaksi-reaksi yang kemungkinan timbul dari pembaca.
3) dapat mengevaluasi isi dan bentuk-bentuk karangan.
4) Dapat menyesuaikan kecepatan membaca dengan tujuan yang hendak dicapai.
20
2.5.3 Tingkat Kemampuan memahami Wacana
Kemampuan wacana merupakan kemampuan untuk mengetahui dan mengerti isi
bacaan secara tepat dan cepat dengan cara melihat hubungan makna yang terdapat
dalam bacaan. Seseorang dikatakan mampui memahami wacana apabila ia mengerti
tentang kata-kata, kalimat, paragraf, dan ide-ide atau pesan yang ingin disampaikan
melalui tulisannya.
Konsep tingkat kemampuan ini mengacu pada konsep Penilaian Acuan Patokan
(PAP) yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro (1988: 363), yaitu penentuan batas
minimal kelulusan dan pemberian nilai tertentu dapat dilakukan dengan perhitungan
persentase. Tingkatan kemampuan memahami wacana adalah sebagai berikut.
85% —100% termasuk tingkatan kemampuan baik sekali;
75% —84% termasuk tingkat kemampuan baik;
60% —74% termasuk tingkat kemampuan cukup;
40% —59% termasuk tingkat kemampuan kurang;
0% —39% termasuk tingkat kemampuan sangat kurang.
(Nurgiyantoro, 1988: 363)
2.6 Prosedur Close atau Teknik Uji Rumpang
Dalam kajian ini akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan teknik uji rumpang,
yaitu pengertian uji rumpang, fungsi uji rumpang, kegunaan uji rumpang, kriteria
pembuatan uji rumpang, serta keunggulan dan kelemahan uji rumpang.
2.6.1 Pengertian Teknik Uji Rumpang atau Prosedur Close
Diungkapkan oleh Hardjsudjana (1996: 115) bahwa teknik uji rumpang mula-mula
diperkenalkan oleh Wilson Taylor (1953) dengan nama 'cloze procedure'. Teknik ini
21
diilhami oleh suatu konsep dalam ilmu jiwa Gestal, yang dikenal dengan istilah
'clozure'. Konsep ini menjelaskan tentang kecenderungan manusia untuk
menyempurnakan suatu pola yang tidak lengkap secara mental menjadi satu kesatuan
yang utuh; kecenderungan untuk mengisi atau melengkapi sesuatu yang
sesungguhnya ada, tampak dalam keadaan yang tidak utuh; melihat bagian-bagian
sebagai suatu keseluruhan.
Seperti dijelaskan oleh Sadtono (1982: 2) istilah 'clozure' mengandung makna
sebagai persepsi (penglihatan dan pengertian) yang penuh atau komplit dari gambar
atau keadaan yang sebenarnya tidak sempurna. Persepsi keadaan yang sempurna itu
diperoleh dengan cara tidak menghiraukan bagian yang hilang atau bagian yang tidak
sempurna itu; atau dengan cara mengisi sendiri bagian yang hilang atau kurang
sempurna tadi berdasarkan pengalaman yang telah lampau. Berdasarkan konsep
tersebut Taylor mengembangkannya menjadi sebuah alat ukur keterbacaan wacana
yang diberinya nama 'cloze procedure'. Istilah itu selanjutnya disebut sebagai
'prosedur/teknik uji rumpang'. Robert (1980: 71) mengangkat definisi yang dibuat
langsung oleh Taylor (1953) selaku pencipta teknik ini.
Damayanti (1995: 71) merumuskan sebuah yang definisi uji rumpang sebagai berikut.
The cloze procedure as amethod of intercepting a message from ‘transmitter’(writer or speaker) mutilating it’s language patterns by deleting parts, and soadministering it to ‘receivers’ (readers or listeners) that their attempts tomake patterns whole again yield a considerable number of cloze units.
Dengan definisi di atas, diketahui bahwa teknik uji rumpang merupakan suatu
metode yang sengaja dirancang untuk melatih daya tangkap pembaca terhadap pesan
penulis dengan memotong pola bahasa pada bagian-bagian tertentu dengan
22
melesapkan/merumpangkannya. Setelah itu para pembaca dituntut mampu
mengolahnya menjadi pola yang utuh, seperti wujudnya semula, dengan cara
mengisi bagian yang dirumpangkan.
Teknik uji rumpang merupakan metode penangkapan pesan dari sumbernya (penulis
atau pembicara), mengubah pola bahasa dengan jalan melesapkan bagian-bagiannya,
dan menyampaikannya kepada si penerima (pembaca dan penyimak) sehingga
mereka berupaya untuk menyempurnakan kembali pola-pola keseluruhan yang
menghasilkan sejumlah unit-unit kerumpangan yang dapat dipertimbangkan.
Melalui prosedur isian rumpang, pembaca diminta untuk dapat memahami wacana
yang tidak lengkap (karena bagian-bagian tertentu dari wacana tersebut telah dengan
sengaja dilesapkan) dengan pemahaman yang sempurna. Bagian-bagian kata yang
dihilangkan itu biasanya kata ke-n digantikan dengan tanda-tanda tertentu (garis lurus
mendatar atau dengan tanda titik-titik). Penghilangan atau pelesapan bagian-bagian
kata dalam prosedur/teknik uji rumpang mungkin juga tidak berdasarkan kata ke-n
secara konsisten dan sistematis. Kadang-kadang pertimbangan lain turut menentukan
kriteria pengosongan atau pelesapan kata-kata tertentu dalam wacana itu. Misalnya
saja, kata kerja, kata benda, kata penghubung,atau kata-kata tertentu yang dianggap
penting, bisa juga merupakan kata yang dihilangkan atau dilesapkan. Tugas pembaca
adalah mengisi bagian-bagian yang dilesapkan itu dengan kata yang dianggap tepat
dan sesuai dengan tuntutan maksud wacana.
23
2.6.2 Fungsi Uji Rumpang
Teknik uji rumpang bermanfaat untuk:
1) alat ukur tingkat keterbacaan bermanfaat untuk menguji tingkat kesukaran dan
kemudahan bahan bacaan; mengklasifikasikan tingkat baca siswa (pembaca)
yakni tingkat independen, intruksional, atau frustasi; mengetahui kelayakan
wacana sesuai dengan peringkat pembaca;
2) alat pengajaran membaca bermanfaat dalam hal penggunaan isyarat sintaksis;
penggunaan isyarat semantik; penggunaan isyarat skematik; peningkatan
kosakata; peningkatan daya nalar dan sikap kritis siswa terhadap bahan bacaan.
Berikut ini adalah contoh wacana yang akan dijadikan sebagai alat tes uji rumpang.
Bahasa Pengaruhi Mata Kanan
Bahasa tidak hanya digunakan sebagai sarana berkomunikasi dan berhubungandengan ucapan saja. Respon mata dalam memandang sesuatu juga dipengaruhi olehbahasa. Akan tetapi, pengaruhnya hanya untuk mata kanan. Para peneliti diUniversity of California menguji hipotesis, yang menyatakan bahwa bahasa berperandalam mengatur persepsi atau pandangan seseorang, dengan cara melakukanserangkaian tes warna. Dari teks tersebut, mereka menemukan bahwa manusiamampu mengenali warna lebih cepat dengan mata kanan daripada mata kiri. Hasiltemuan mereka dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences,mereka menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena tubuh bagian kanan diprosesoleh area otak yang mengendalikan bahasa.
Teori bahwa bahasa mempengaruhi ____(1)______ adalah bagian dari hipotesisSapir-Whorf _____(2)_____ ilmu bahasa. Menurutnya, terdapat _____(3)_____sistematik antara bentuk tata _____(4)_____ dari perkataan seseorang dengan____(5)______ pemahaman orang tersebut terhadap ___(6)_______ dan tingkahlakunya. Misalnya, _____(7)_____ yang menggunakan bahasa Inggris____(8)______ dengan jelas batas warna ____(9)______ dan biru tidak seperti_____(10)_____ Mexico yang berbahasa Tarahumara. _____(11)_____ tidakmembedakan penyebutan untuk _____(12)_____ warna tersebut.
Dalam penelitian itu, para peneliti meminta tiga belas orang untuk mengidentifikasiwarna sebuah lingkaran di antara lingkaran-lingkaran warna lainnya. Pada percobaanpertama, seluruh lingkaran berwarna biru dan salah satunya dengan tingkat ketajaman
24
berbeda. Dalam percobaan kedua, digunakan dua warna, hijau dan biru. Parasukarelawan ternyata lebih cepat mengenali perbedaan warna pada percobaan keduajika menggunakan mata kanannya. Adapun pada percobaan pertama tidak adaperbedaan kecepatan.
(Nurhadi, dkk. 2007: 26)
Berdasarkan wacana di atas, terlihat bahwa perumpangan wacana harus mengikuti
kaidah yang telah ditetapkan. Pada wacana di atas, paragraf pertama sengaja
dibiarkan utuh agar pembaca mengerti apa yang dibicarakan dalam wacana tersebut.
Begitu pula dengan paragraf terakhir. Paragraf terakhir sengaja dibiarkan utuh dengan
maksud agar pembaca dapat mengira-ngira seperti apa alur wacana tersebut.
Pelesapan pada wacana di atas, dilakukan dengan konsisten. Pelesapan hanya
dilakukan pada kata kelima, dan jika pada kata kelima itu adalah kata bilangan maka
pelesapan dilakukan pada kata yang selanjutnya. Pelesapan pada wacana di atas tidak
dilakukan berdasarkan jenis katanya, melainkan berdasar pada ketentuan yang ada,
bahwa jika pelesapan tidak didasarkan pada jenis katanya, maka pelesapan dapat
dilakukan pada kata kelima. Berikut adalah teks wacana sebelum dirumpangkan.
Bahasa Pengaruhi Mata Kanan
Bahasa tidak hanya digunakan sebagai sarana berkomunikasi dan berhubungandengan ucapan saja. Respon mata dalam memandang sesuatu juga dipengaruhi olehbahasa. Akan tetapi, pengaruhnya hanya untuk mata kanan. Para peneliti diUniversity of California menguji hipotesis, yang menyatakan bahwa bahasa berperandalam mengatur persepsi atau pandangan seseorang, dengan cara melakukanserangkaian tes warna. Dari teks tersebut, mereka menemukan bahwa manusiamampu mengenali warna lebih cepat dengan mata kanan daripada mata kiri. Hasiltemuan mereka dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences,mereka menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena tubuh bagian kanan diprosesoleh area otak yang mengendalikan bahasa.
Teori bahwa bahasa mempengaruhi persepsi adalah bagian dari hipotesis Sapir-Whorf dalam ilmu bahasa. Menurutnya, terdapat hubungan sistematik antara bentuktata bahasa dari perkataan seseorang dengan bagaimana pemahaman orang tersebut
25
terhadap dunia dan tingkah lakunya. Misalnya, orang yang menggunakan bahasaInggris membedakan dengan jelas batas warna hijau dan biru tidak seperti orangMexico yang berbahasa Tarahumara. Mereka tidak membedakan penyebutan untukkedua warna tersebut.Dalam penelitian itu, para peneliti meminta tiga belas orang untuk mengidentifikasiwarna sebuah lingkaran di antara lingkaran-lingkaran warna lainnya. Pada percobaanpertama, seluruh lingkaran berwarna biru dan salah satunya dengan tingkat ketajamanberbeda. Dalam percobaan kedua, digunakan dua warna, hijau dan biru. Parasukarelawan ternyata lebih cepat mengenali perbedaan warna pada percobaan keduajika menggunakan mata kanannya. Adapun pada percobaan pertama tidak adaperbedaan kecepatan.
(Nurhadi, dkk. 2007:26)
2.6.3 Kegunaan Uji Rumpang
Seperti halnya teknik pengajaran membaca yang lainnya, teknik uji rumpang juga
memiliki kegunaan. Kegunaannya antara lain sebagai berikut.
a) Mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana.
1) Menguji tingkat kesukaran dan kemudahan tahap bacaan.
2) Mengklasifikasikan tingkat baca siswa; tingkat independen, instruksional, dan
frustrasi.
3) Mengetahui kelayakan wacana sesuai dengan peringkat siswa.
b) Melatih keterampilan dan kemampuan baca siswa melalui kegiatan belajar
mengajar.
1) Menggunakan isyarat sintaksis.
2) Menggunakan isyarat semantik.
3) Menggunakan isyarat skematik.
4) Meningkatkan kosakata.
5) Melatih daya nalar dalam upaya pemahaman bacaan (Muchlisoh, 1994:190).
26
2.6.4 Kriteria Pembuatan Uji Rumpang
Wilson Taylor dalam Hardjasujana dan Mulyati (1996: 144) sebagai pengembang
teknik ini, mengusulkan sebuah prosedur yang baku untuk sebuah konstruksi wacana
rumpang. Usulannya itu meliputi hal-hal sebagai berikut
a) Memilih suatu wacana yang relatif sempurna yakni wacana yang tidak
bergantung pada informasi selanjutnya;
b) melakukan penghilangan atau pelesapan setiap kata ke-n, tanpa memperhatikan
arti dan fungsi kata yang dihilangkan atau dilesapkan tersebut;
c) mengganti bagian-bagian yang dihilangkan dengan tanda-tanda tertentu, misalnya
dengan garis mendatar (___________);
d) memberi salinan dari semua bagian yang direproduksi kepada siswa atau peserta
tes;
e) mengingatkan siswa untuk berusaha mengisi semua lesapan dengan jalan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap wacana, memperhatikan konteks
wacana, atau memperhatikan kata-kata sisanya;
f) menyediakan waktu yang relatif cukup untuk memberi kesempatan kepada siswa
untuk menyelesaikan tugasnya.
Khusus mengenai strategi pelesapan kata, tampaknya ada beberapa ahli yang berbeda
pendapat. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang mengenai
dampak yang akan ditimbulkan dari pelesapan dimaksud. Secara umum, prosedur uji
rumpang dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni (a) pelesapan setiap kata ke-n
(secara selektif) dan (b) pelesapan secara secara selektif atau random. Strategi
27
pertama melesapkan setiap kata ke-n yang berpedoman terhadap kesistematisan jarak
pelesapan.
Sementara strategi kedua, terutama pelesapan secara random, sama sekali tidak
mempertimbangkan kesistematisan jarak lesapan. Pemilihan dan penentuan kata yang
hendak dilesapkan semata-mata dilakukan secara acak. Namun, strategi pelesapan
kata selektif masih dimungkinkan untuk mempertahankan kriteria kesistematisan,
meskipun kesistematisan di sini patokannya bukanlah terletak pada kriteria kata
selektifnya itu sendiri. Sebagai contoh seseorang yang hendak membuat wacana
rumpang dengan menggunakan strategi lesapan kata selektif, mungkin akan memilih
lesapan pada setiap kata tugas, setiap kata kerja, setiap kata ganti, dan lain-lain.
Para ahli yang berpedoman pada kriteria pembuatan wacana rumpang dengan strategi
pelesapan setiap kata ke-n juga menunjukkan keragaman pendapat, terutama
berkenaan dengan rentang jarak lesapan yang ditetapkannya. Namun, secara umum
pengklasifikasian rentang jarak lesapan bervariasi dari setiap kata ke-5 hingga kata
ke-10.
John Haskall dalam Hardjasujana dan Mulyati (1996: 146) menyempurnakan
konstruksi tersebut dengan variasi sebagai berikut:
a) memilih suatu teks yang panjangnya lebih kurang 250 kata;
b) biarkan kalimat pertama dan kalimat terakhir utuh;
c) mulailah penghilangan itu dari kalimat kedua, yakni pada setiap kata kelima.
Pengosongan ditandai dengan garis lurus mendatar yang panjangnya sama;
28
d) jika kebetulan kalimat kelima jatuh pada kata bilangan, janganlah melakukan
lesapan pada kata tersebut. Biarkan kata itu hadir secara utuh, sebagai gantinya
mulailah kembali dengan hitungan kelima berikutnya.
Untuk dapat melihat perbedaan kedua kriteria pembuatan wacana rumpang untuk
kedua fungsinya tersebut, di bawah ini akan disajikan sebuah pedoman yang
dituangkan dalam bentuk tabel.
Tabel 2.1 Kriteria Pembuatan Wacana Rumpang
Karakteristik Sebagai alat ukur Sebagai alat ajarPanjang wacana Antara 250-350 kata dari
wacana terpilihWacana maksimal 150kata
Delisi atau lesapan Setiap kata ke-n hinggaberjumlah ± 50 buah
Delisi secara selektifbergantung padakebutuhan siswa danpertimbangan guru
Evaluasi Jawaban berupa kata yangpersis dan sesuai dengankunci/teks aslinya “exactwords”
Jawaban boleh berupasinonim atau kata yangsecara struktur dan maknadapat menggantikankedudukan kata yangdihilangkan “contextualmethod”
Tindak lanjut Lakukan diskusi untukmembahas jawaban-jawaban siswa
2.6.5 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Uji Rumpang
Harjasujana dalam Salem (1999: 49) menjelaskan tentang teknik uji rumpang yang
diakui sebagai tes keterbacaan yang valid untuk pembaca yang berbahasa ibu. Hal
ini sesuai dengan pembaca bahasa Indonesia yang umumnya mempunyai bahasa ibu,
bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Pandangan senada dikemukakan pula oleh
Damaianti (1995: 78). Damaianti menuliskan bahwa teknik uji rumpang terbukti
29
sebagai tes yang sangkil dan mangkus. Menurut Djajasudarma dan Nadeak (1996:
64), teknik uji rumpang dipandang sebagai teknik yang relatif lebih objektif
dibandingkan dengan hasil-hasil yang didapat dengan mempergunakan formula lain.
Lebih jauh dijelaskan bahwa sesungguhnya teknik uji rumpang dapat mengukur
keefektifan suatu wacana langsung kepada pembacanya, sedangkan formula lain
mengukur keterbacaan hanya dari wacananya. Selain itu, teknik ini juga berfungsi
sebagai alat ukur pemahaman wacana di samping sebagai alat ukur keterbacaan.
Heilmann dalam Damaianti (1995: 72) mengungkapkan bahwa teknik uji rumpang
berfungsi sebagai sumber informasi mengenai kemampuan pemahaman bacaan
seseorang. Pandangan seperti ini pun dikuatkan oleh Mulyati (1995: 47) yang
menyitir pendapat Bourmuth (1969). Mulyati mengatakan bahwa dari hasil penelitian
Bourmuth diperoleh kesimpulan bahwa teknik uji rumpang mempunyai korelasi yang
tinggi dengan berbagai hasil tes membaca lainnya. Menurutnya, ada dua keunggulan
dari teknik uji rumpang ini. Pertama, teknik ini mencerminkan keseluruhan
pengaruh yang berinteraksi dalam menentukan keterbacaan sebuah wacana. Kedua,
teknik ini mengombinasikan hampir seluruh unsur yang berhubungan dengan
penentuan keterbacaan.
30
Teknik uji rumpang memiliki keunggulan dan kelemahan. Ada beberapa keunggulan
teknik uji rumpang, yaitu
a) dalam menentukan keterbacaan suatu teks, prosedur ini mencerminkan pola
interaksi antara pembaca dan penulis;
b) prosedur isian rumpang bukan saja digunakan untuk menilai keterbacaan,
melainkan juga dipakai untuk menilai pemahaman pembacanya;
c) bersifat fleksibel, yaitu guru akan segera dengan tepat mendapat informasi
mengenai latar belakang kemampuan dan kebutuhan siswanya;
d) di bidang pengajaran, teknik uji rumpang mendorong siswa tanggap terhadap
bahan bacaan;
e) dapat dipergunakan sebagai latihan dan ukuran praktis akan pengetahuan dan
pemahaman tata bahasa siswa;
f) dapat menjangkau sejumlah besar individu pada saat yang sama;
g) dapat melatih kesiapan dan ketanggapan dalam upaya memikirkan dan
memahami maksud dan tujuan penulis atau wacana.
Kelemahan teknik isian rumpang, yaitu
a) ketepatan seseorang dalam pengisian bagian-bagian yang dihilangkan belum
tentu berdasarkan atas pemahamannya terhadap wacana melainkan didasarkan
atas pola-pola ungkapan yang telah dikenalnya. Untuk mengatasi hal ini, guru
31
bisa memilih wacana atau bahan dan disertai dengan diskusi untuk mengetahui
lebih jauh alasan-alasan atau jawaban yang diberikan oleh siswa;
b) hanya cocok digunakan untuk kepentingan membaca dalam hati atau membaca
pemahaman. Dengan demikian, kelemahan-kelemahan siswa dalam hal membaca
nyaring seperti pelafalan, intonasi, penggunaan tanda baca, dan lain-lain tidak
bisa dideteksi dengan teknik ini.
Teknik uji rumpang (metode klos) menurut Heilman, Hittleman, dan Bartmuth
(Sujana dalam Sutrisno, 2006), bukan sekedar bermanfaat untuk mengukur tingkat
keterbacaan wacana, melainkan juga mengukur tingkat keterpahaman pembacanya.
Melalui teknik ini kita akan mengetahui perkembangan konsep, pemahaman, dan
pengetahuan linguistik siswa. Hal ini sangat berguna untuk menentukan tingkat
instruksional yang tepat murid-muridnya.