259
i PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penegakan Hukum Perambahan Hutan) DISUSUN OLEH : Sadatin Misry NIM:S.330809010 PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

digilib.uns.ac.id...ii PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penegakan Hukum Perambahan Hutan)

Embed Size (px)

Citation preview

i

PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Penegakan Hukum Perambahan Hutan)

DISUSUN OLEH :

Sadatin Misry NIM:S.330809010

PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

ii

PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Penegakan Hukum Perambahan Hutan)

DISUSUN OLEH :

Sadatin Misry NIM:S.330809010

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

1.

Pembimbing I

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP195702031985032001

...………….…

…..………

2.

Pembimbing II

Rofikah, S.H., M.H. NIP.195512121983032001

………………

……..……

Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S.

iii

NIP.194405051969021001

PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Penegakan Hukum Perambahan Hutan)

Disusun Oleh:

Sadatin Misry NIM:S.330809010

Telah disetujui oleh Tim Penguji :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Ketua Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP.19440505 196902 1 001

…...……….…

…......……

2. Sekretaris Dr. I Gusti Ayu KRH, S.H., M.M.

NIP.19721400 8200501 2 001 ……...…….…

...…………

3.

Anggota

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP19570203 198503 2 001

………………

.……..……

4. Anggota

Rofikah, S.H., M.H. NIP.19551212 198303 2 001

…..………..…

.………….

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP.19440505 196902 1 001

........................

...................

Direktur Pasca Sarjana

Prof. Drs. Suranto, Msc, P.hD NIP.19570820 198503 1 004

........................

...................

iv

PERNYATAAN N a m a : SADATIN MISRY N I M : S.330908010

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul:

PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT

BARISAN SELATAN (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Penegakan Hukum Perambahan Hutan) adalah betul karya saya sendiri. Hal-hal

yang bukan karya saya, dalam tesis diberi tanda Citasi dan ditunjukkan dalam

daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti bahwa saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang saya peroleh

dari tesis tersebut.

Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan

SADATIN MISRY

v

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis

yang berjudul “Penanganan Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Penegakan Hukum Perambahan Hutan).

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk dapat dinyatakan lulus

dari Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret.

Terselesaikannya tesis ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran secara ilmiah khususnya kepada Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan dan semua pihak yang peduli terhadap keutuhan keamanan serta

keutuhan kawasan hutan untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan semua

makhluk hidup yang ada dimuka bumi.

Dalam penulisan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan

moril serta bantuan yang berupa informasi dari berbagai pihak. Atas bantuan

maupun bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka dengan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syamsulhadi, Sp.Kj. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Kepala Pusat Pendidikan dan

pelatihan Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk menimba ilmu pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Drs Suranto, M.Sc,.Ph.D selaku direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Moh. Jamin, S.H., M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

vi

5. Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S., Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H,.M.Hum., selaku pembimbing I dan ibu

Rofikah, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang dengan tulus ikhlas

mengarahkan, membimbing, memberi motivasi serta mencurahkan ide-ide

kreatif dalam rangka penulisan tesis ini.

7. Bapak/ibu dosen pengampu pada program studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Ir. Kurnia Rauf, selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan yang memberikan izin lokasi penelitian, sekaligus meluangkan

waktunya untuk berdiskusi serta memberikan masukan dan arahan dalam

penulisan tesis ini. Seluruh rekan-rekan di Kantor Balai Besar Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan yang telah banyak memberikan bantuan

kepada penulis selama menyusun tesis ini.

9. Rekan-rekan rimbawan senasib sepenanggungan Nouvi Lihu, Mufrizal,

Azmardi, Herbert Aritonang, Terima kasih atas segala kerjasamanya selama

menimba ilmu di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

10. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan dukungan moril kepada penulis.

11. Kepada istri tercita K. Indah Susilawati, S.Hut., M.P., anak-anakku Intan dan

Iman, karena tanpa Do’a, bantuan dan pengorbanan kalian tidak mungkin

penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak

terlepas dari berbagai kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan segala

kritik dan saran dari berbagai pihak demi lebih sempurnanya tulisan ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, dan

instansi Departemen Kehutanan, praktisi serta seluruh masyarakat yang berminat

untuk memperluas wawasannya di bidang ilmu hukum pada umumnya.

Surakarta, April 2010 Penulis,

vii

MOTTO

”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,

supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) prbuatan mereka,

agar mereka kembali (ke jalan yang benar).QS: Ar-Ruum 41”

viii

PERSEMBAHAN

Tesis ini kupersembahkan kepada mereka yang telah memberikan motivasi yang terbaik untukku :

Ayah dan Emak tercinta Papah dan Ibu mertua

Istriku Kelana Indah Susilawati Anakku Intan dan Iman

Seluruh saudaraku

ix

ABSTRAK Sadatin Misry, S.330908010, Penanganan Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Perambahan Hutan). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan belum mencapai tujuan yang diharapkan dan memberikan solusi upaya dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Penelitian ini termasuk penelitian non-doktrinal, dengan bentuk penelitian diagnostik, yang bersifat deskriptif dengan konsep hukum yang ke-5 yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan guna mendapatkan data skunder dan data primer. Analisis data menggunakan metode kwalitatif interaktif.

Setelah dilakukan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: 1) Masih terjadi perbedaan persepsi diantara para penegak hukum (kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dalam menterjemahkan arti perambahan hutan, sehingga berpengaruh terhadap penegakan hukum, kewenangan Penyidik pegawai negeri sipil masih dibatasi. 2) Kualitas/profesionalisme aparat penegak hukum di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih rendah dan dari segi kwantitas/jumlah juga masih kurang. 3) Sarana dan prasarana untuk mendukung penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih sangat minim. 4) Kesadaran hukum masyarakat khususnya yang berada disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih kurang, karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki. 5) Budaya masyarakat disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah mulai bergeser kearah lebih modern disebabkan oleh kemajuan teknologi dan pembangunan sehingga kearifan lokal dan ketaatan untuk menjaga lingkungan hidup sudah mulai memudar.

Upaya untuk menangani perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah dengan melakukan penegakan hukum secara preventif, pencegahan tanpa pidana dengan meniadakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perambahan, di iringi tindakan represif, penerapan hukum pidana dengan tahapan 1) koordinasi, 2) sosialisasi dan pendekatan emosional, 3) tindakan (action) 4) pembinaan/pengawasan terhadap perambah pasca tindakan 5) rehabilitasi lahan bekas perambahan.

Sebagai saran yang disampaikan adalah pendekatan integral seperti keterpaduan antara kebijakan penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan, pembenahan kualitas dan kwantitas aparat, pembenahan

x

manajemen organisasi, serta peningkatan kerjasama dan bantuan teknis dalam rangka memperkuat penegakan hukum.

Kata kunci : Penegakan Hukum, Perambahan Hutan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

ABSTRACT Sadatin Misry, S 330908010, 2010. The Deforestation Handling in the Bukit Barisan Selatan National Park (The Analysis of the Factors that Affecting the Effectiveness of the Law Enforcement towards the Deforestation). Thesis: Graduate Program Sebelas Maret University

This research had a purpose to know why the law enforcement against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park is not yet effective, and to give solution on the efforts to enforce the law against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park.

This research was a non-doctrinal research, and the form of the research was diagnostic, which characteristic was descriptive using the fifth law concept, namely that law is the manifestation of the symbolic meanings of the social behavior, such as observable in the interaction among them. The data collection was through the field and library study to get primary and secondary data. The interactive-qualitative method was used to analyze the data.

After the data were analyzed it was concluded that the law enforcements against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park are influenced by several factors namely: 1) There are perception divergences among law enforcement officers (forestry, police, prosecutor, and court) in translating the meaning of deforestation so that it affects the law enforcement, the authority of the civil servant investigators is still restricted. 2) The quality/professionalism of the law enforcement officers in Bukit Barisan Selatan National Park Center is still low, and the quantity/the number of the officers is also low. 3) The means and the infrastructures to support the law enforcement against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park are very limited. 4) There is a lack of law awareness in the community especially of those who live around the Bukit Barisan Selatan National Park; because they are affected by the factors of economy, social, and lack of knowledge. 5) The culture of the community around the Bukit Barisan Selatan National Park area is starting to shift towards modernity, which is caused by technological advance and development, so that the local wisdom and the fidelity to guard the environment are starting to fade.

The efforts to overcome deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park are by implementing preventive law enforcement, to restrain without involving criminal punishment by eliminating the factors causing the deforestation, followed by repressive law enforcement with the following stages: 1) coordination, 2) socialization and emotional approach, 3) action, 4) control/fostering the deforestation actors/illegal loggers after the action, 5) deforested land rehabilitation.

It is suggested that the integral approach such as the unity between the handling the illegal loggers policy and in development policy, the improvement of the officers quality and quantity, the improvement of organizational management,

xi

and the cooperation and technical help improvement to strengthen the law enforcement.

Keywords: Law Enforcement, Deforestation, Bukit Barisan Selatan National Park

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………….………...……….…. i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ………….…..………….… ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ……………….……….….. iii

PERNYATAAN …………………………………………………….…...….. iv

KATA PENGANTAR ………………………….……………..….…...……. v

MOTTO ……………………………………………….…………….….....… vii

PERSEMBAHAN …………………………………….………….…..…..…. viii

ABSTRAK ……………………………………………………………....…... ix

ABSTRACT ……………………………..…….………………………....…. x

DAFTAR ISI………………………………………………………………… xi

DAFTAR BAGAN……………………………………………….………….. xv

DAFTAR TABEL …………………………………………….…………….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….....……. xvii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …….……………………….… 1

B. Rumusan Masalah ………………………..…..………… 8

C. Tujuan Penelitian …………………………....…………. 8

D. Manfaat Penelitian …………………………….………. 9

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori …………..……………….…….………… 10

1. Tinjauan Tentang Perambahan Hutan Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan …………………………………………. 10

2. Taman Nasional ………..………………………….. 15

a. Batasan dan Pengertian ……………….………. 15

xii

b. Konsep tentang Taman Nasional …….……….. 16

3. Tinjauan tentang Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tantang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup………………………………….

22

4. Teori Pemidanaan …………………………………. 25

5. Teori Bekerjanya Hukum …………………………. 34

6. Teori Penanggulangan Kejahatan …………..……... 46

7. Penelitian yang Relevan ……………………….….. 48

B. Kerangka Pikir …………………………………………. 49

BAB III. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian ………………..….……………….…… 53

2. Lokasi Penelitian …………..….….….…………….…… 55

3. Jenis dan Sumber Data ……………………..………….. 55

4. Teknik Pengumpulan Data …………….……..………… 57

5. Teknik Analisa Data ………..……….……………….… 59

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ………………………………………… 62

1. Gambaran Umum Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ……………………………………………...

62

a. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 62

b. Luas dan Kedudukan …………………….…… 63

c. Organisasi dan Tata Kerja …….……...………. 66

d. Kerusakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…………………………………………

67

2. Tinjauan tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi

Penegakan Hukum Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…………………….

68

a. Pengertian Penegakan Hukum ………………... 68

1. Undang-undang......………….……..…….. 72

2. Aparat Penegak Hukum ……………….…. 74

3. Sarana dan Fasilitas …………………..….. 78

4. Masyarakat ………………….…………… 80

xiii

5. Budaya …………………….………...…… 81

3. Upaya Penegakan Hukum terhadap Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan….

83

a. Preventif ……………………………..………. 83

b. Represif ……………………………..……….. 87 B. Pembahasan ……………………………………………. 94

1. Penegakan Hukum terhadap Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan……………. 93

a. Undang-undang …………….………...…….… 95

b. Aparat Penegak Hukum …………………….… 99

c. Sarana dan Fasilitas ………….…...………...… 104

d. Masyarakat ……………………………………. 106

e. Budaya ……………………….……………….. 108

2. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam Penegakan Hukum terhadap Perambahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan …………………...

111

a. Represif Penggunaan sarana pidana (criminal law application)....................................……….. 112

1 Koordinasi ……………………………….. 115 2 Sosialisasi ……………………….……….. 115 3 Pendekatan Emosional ……….………….. 116 4 Tindakat/action ……………….…………. 116 5 Pengawasan ……………………………… 116 6 Rehabilitasi Lahan ……………………….. 116 b. Preventif Penegakan hukum tanpa pidana

(prevention without punishman) ……………… 116 1 Faktor Internal a Lemahnya Pengawasan oleh Petugas.. 118 b Ketidaktegasan dan kurang keseriusan

dalam Menjalankan Aturan..……....... 119 2 Faktor Eksternal a Adanya akses Jalan yang Melintasi

Kawasan……………………………... 120 b Faktor kemiskinan dan kurangnya

Keahlian Masyarakat di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan……… 121

c Tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang masih 121

xiv

rendah ..................................................

d Masih kurangnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam pengamanan kawasan hutan khususnya kawasan Konservasi........... 123

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan …………………….……………………... 120

B. Implikasi ……………………………...………………. 123

C. Saran …………………………….……………………. 124

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xv

DAFTAR BAGAN

Hal

Gambar 1 Teori Bekerjanya Hukum ………………..……….…….. 41

Gambar 2 Teori Penanggulangan Kejahatan ………………………. 46

Gambar 2 Kerangka Pikir………………………………………….. 52

Gambar 3 Analisis Data Interaktif (Interaktif Model of Analisis)…. 60

Gambar 4 Peta Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…. 65

xvi

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1 Tindak Pidana Kejahatan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan………………………………...

10

Tabel 2 Tindak Pidana Pelanggaran hutan dalam Undang-undang

Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan……………...……...

12 Tabel 3 Dasar Penetapan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…...... 63 Tabel 4 Luas Kawasan Per Propinsi / Kabupaten.................................... 64 Tabel 5 Luasa Kawasan Per Wilayah………………………………...... 64 Tabel 6 Luas Kawasan Per Propinsi ....................................................... 65 Tabel 7 Perambahan Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan......................................................................................... 67

Tabel 8 Jumlah Pegawai Negeri Sipil Dan Calon Pegawai Negeri Sipil

Balai Besar TNBBS Menurut Pendidikan……………………..

67 Tabel 9 Grafik Penanganan Kasus Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan 2001 s/d Oktober 2008………………………..

68 Tabel 10 Keadaan Tenaga Perlindungan Hutan........................................ 75 Tabel 11 Pelatihan Tenaga Pengaman Berdasarkan Jenis Pelatihan……. 76 Tabel 12 Sarana Dan Prasarana Pengamanan Hutan…………………… 79 Tabel 15 Register Perkara Perambahan 2007 s/d 2009………………… 89

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam dan komponen

lingkungan hidup yang amat penting dan strategis, yakni sebagai suatu sistem

penyangga kehidupan dengan 3 (tiga) fungsi utamanya yang meliputi fungsi

konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Fungsi-fungsi tersebut

dengan jelas telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-undang nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan.1 Ketiga fungsi tersebut memiliki hubungan

timbal balik dan saling mengisi antara satu sama lainnya. Oleh karena itu,

pengelolaan fungsi tersebut amat penting, demi tercapainya optimalisasi

fungsi secara berkelanjutan serta memberikan makna yang sangat mendalam

bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara kita, masa sekarang dan

masa yang akan datang.

Hutan mampu memberi manfaat tidak langsung yang sering sekali

justru tak ternilai harganya, anatara lain berperan sebagai pengatur sistem tata

air sehingga mampu mencegah banjir dikala musim hujan dan ancaman

kekeringan di musim kemarau. Bahkan dunia Internasionalpun mengakui

keberadaan sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting

terwujudnya keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi

melalui fungsinya untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun

1 Departemen Kehutanan, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan,

Jakarta, 2007

xviii

yang menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin

menipisnya lapisan ozon.2

Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting. Fungsi hidrologi hutan

bersifat lokal dan regional dan fungsi pengaturan iklim, khususnya

pemanasan global dan sebagai sumberdaya hayati bersifat global. Kerusakan

hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling

penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan

hutan merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di

dalam ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi

kerusakan, maka akan menggangu keseimbangan ekosistem di dalam hutan

tersebut. Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan

dampak ikutan terhadap seluruh sistem yang ada di dalam hutan tersebut.

Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan

misalnya terjadinya pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran

musim, khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari

menurunnya jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan

semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan

perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat

hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dengan segala

problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, ketika pemanfaatan

hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat pengusahaan

hutan. Di lain pihak, rakyat yang berabad-abad hidup dalam hubungan

harmonis dengan hutan disekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya

ini, baik langsung maupun tidak langsung. Ironi menyebabkan masyarakat

melakukan berbagai usaha ilegal terhadap hutan, seperti perambahan dan

pencurian kayu, karena mereka tidak lagi difungsikan dalam hubungan

dengan hutan sekitarnya.

Dalam Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945

dalam pasal 33 dijelaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang

2 Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, hal.2

xix

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar

kemakmuran rakyat3. Hal ini juga dipertegas di dalam Pasal 4 Undang-

undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu Semua hutan di dalam

wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai

oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya

wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga

kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bagi generasi

sekarang maupun generasi yang akan datang.

Hutan juga merupakan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan

dan sumber kemakmuran rakyat, kondisinya sekarang cendrung menurun,

oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga

daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif,

bijaksana, terbuka, profesional dan bertanggung-gugat.4 Penguasaan hutan

oleh negara bukan kepemilikan tetapi negara memberi wewenang kepada

pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan

dengan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan mengubah

setatus kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara

orang dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta mengatur perbuatan

hukum menegenai kehutanan.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan konservasi

terbesar ketiga di Sumatera. Pada awalnya Bukit Barisan Selatan merupakan

kawasan Suaka Margasatwa yang ditetapkan pada tahun 1935 melalui Besluit

Van der Gouverneur Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I

(SS I). Ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui surat pernyataan

Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 melalui

3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 4 Penjelasan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Alenia ke-4

xx

SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-lI/1997 tanggal 31 Maret 1997

statusnya berubah menjadi Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Selain kawasan darat seluas ± 356.800 ha, ditetapkan pula Cagar Alam Laut

(CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ± 21.600 ha dalam pengelolaan Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan

No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari 1990.5

Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

(TNBBS) tidak luput dari kerusakan sebagai akibat illegal logging dan

perambahan hutan. Hal ini dapat berdampak pada ancaman kepunahan

keanekaragaman hayati, perubahan iklim lokal dan regional, hilangnya

peluang ekonomi dan pengembangan sektor wisata, kerusakan ekonomi

terutama sektor pertanian dan perikanan akibat banjir dan kekeringan, serta

hilangnya plasma nutfah untuk pengembangan pertanian dalam arti luas di

masa depan.

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada

penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf (b), yang dimaksud dengan perambahan

adalah melakukan kegiatan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin

dari pejabat yang berwenang. Sementara dalam Undang-undang Nomor 5

tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

tidak menyebutkan secara eksplisit tentang arti dari perambahan, dalam pasal

19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dijelaskan bahwa kegiatan yang dapat

merubah keutuhan kawasan suaka alam atau zona inti taman nasional.

Pengerjaan atau pendudukan hutan secara tidak sah merupakan kegiatan

yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan secara ekstrim. Dalam

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dijelaskan dalam

pasal 50 ayat (3) huruf b bahwa yang dimaksud denga merambah adalah

melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang

5 Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Balai

Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik, 2008

xxi

berwenang, perambahan hutan dilakukan dengan mangambil hasil hutan dan

kemudian menkonversi hutan menjadi peruntukan lain secara illegal.

Perambahan hutan dengan segala kompleksitas dan implikasinya

merupakan masalah yang bukan saja dihadapi oleh suatu daerah tertentu,

tetapi menjadi masalah di berbagai kawasan hutan di tanah air, sehingga

perambahan hutan merupakan masalah yang berskala nasional.

Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tanpa mengindahkan

makna dari otonomi secara utuh maka akan menyuburkan indikasi kurang

jelasnya rumusan peraturan perundang-undangan tentang batas-batas

kewenangan, hak dan kewajiban masyarakat dalam bidang tertentu, sehingga

interprestasi hukum dan putusan hukum menghasilkan ketidakadilan.

Kebijakan pemerintah melalui upaya penegakan hukum tidak cukup hanya

dengan peraturan yang baik dan aparat penegak hukum yang disiplin, namun

masih diperlukan peran serta masyarakat untuk mendukung terwujudkan

penegakan hukum.

Akhir-akhir ini kejahatan dibidang kehutanan kehususnya perambahan

hutan intensitasnya semakin meningkat dan telah mengakibatkan kerugian

terhadap negara berupa ancaman kelestarian hutan, kerusakan lingkungan

yang menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap keseimbangan

ekosistem hutan. Langkah-langkah yang telah di tempuh oleh pihak pengelola

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari tindakan pereventif sampai

dengan tindakan represif sudah banyak dilaksanakan, khususnya dalam

peroses penegakan hukum yang melibatkan semua unsur aparat penegak

hukum sampai dengan putusan pengadilan, namun kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa perambahan yang terjadi di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan bukannya berkurang, bahkan masih terus berlangsung sampai

saat ini.

Seperti Taman Nasional lain di Indonesia, kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan juga tidak luput dari berbagai permasalahan, mulai dari

permasalahan keamanan kawasan, kelestarian sumberdaya alam hayati,

xxii

maupun keterbatasan sumberdaya kelembagaan. Secara nyata, telah terjadi

berbagai bentuk gangguan di lapaangan, seperti perambahan (encroachment),

penebangan liar (illegal logging), perburuan liar (illegal poaching), konflik

satwa dengan manusia, tata batas kawasan dan tata ruang/zonasi yang belum

benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan.

Aktivitas perambahan hutan yang dilakukan di kawasan Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan telah berlangsung sejak lama. Berdasarkan

Citra Landsat tahun 2002 teridentifikasi kerusakan Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan seluas ± 57.089 ha (17,5 %) sebagai akibat perambahan hutan

dan illegal logging. Berdasarkan data hasil inventarisasi pada akhir tahun

2003 ditemukan kegiatan perambahan telah mengakibatkan kerusakan dan

konversi areal hutan seluas +30.841,5 Ha dengan jumlah perambah sebanyak

± 15.934 KK, kawasan hutan telah disulap menjadi areal perladangan dengan

jenis tanaman utama kopi, lada, coklat/kakao, nilam dan tanaman pertanian

lainnya seperti padi. Lokasi perambahan terkonsentrasi di daerah Sekincau

(Register 46 B), Rata Agung dan sepanjang batas kawasan di sisi timur dan

barat kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sementara itu, pada

tahun 2005 luas perambahan hutan kembali meningkat yaitu 52.981 Ha

terutama tersebar di Sekincau, Suoh, dan Rata Agung dengan jumlah Kepala

Keluarga (KK) 26.491. Pada tahun 2007, melalui analisis citra satelit

terindentifikasi areal perambahan yang masih aktif seluas 57.089 Ha dengan

jumlah kepala keluarga sebanyak 16.312 KK dan areal perambahan yang

sudah tidak aktif lagi seluas 14.299 Ha.6 . Aktivitas perambahan hutan yang

dilakukan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan telah

berlangsung sejak tahun 1952 dan terus meningkat dari tahun ke tahun

sehingga semakin sulit untuk ditangani.

Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) telah sering dilakukan baik

melalui tindakan represif (operasi rutin, operasi fungsional dan operasi

6 Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Ibid, hal-36

xxiii

penurunan perambah serta operasi gabungan) maupun dalam bentuk kegiatan

pemberdayaan dan pembinaan daerah penyangga yang difokuskan pada

peningkatan ekonomi masyarakat di desa penyangga (desa yang berbatasan

langsung dengan kawasan), penyuluhan dan pembinaan partisipasi

masyarakat, optimalisasi pemanfaatan, namun demikian, upaya tersebut

kurang didukung oleh sumberdaya dan pendanaan yang memadai serta masih

kurangnya dukungan dari pihak pemerintah daerah sehingga hanya efektip

untuk kasus-kasus perambahan dalam skala kecil, sementara tekanan

perambahan makin terus meningkat. Terdapat tiga unsur yang harus

diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum

(rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan

(gerechttigheit)7. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena dengan

kepastian hukum masyarakat akan menjadi lebih tertib, kemanfaatan hukum,

hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia, jadi harus

memberikan manfaat bagi manusia, sedangkan keadilan hukum harus

memberikan rasa keadilan dalam masyarakat bukan sebaliknya hukum

membuat resah masyarakat.

Upaya untuk mengatasi dan menangani masalah perambahan hutan

merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian semua pihak

dalam rangka menyelasaikan berbagai persoalan yang terjadi karena ini

menyangkut kepentingan banyak pihak sehingga permasalahannya bersifat

multidimensi, apalagi dengan adanya otonomi daerah dimana daerah diberi

wewenang dalam pengurusan hutan sering mengabaikan makna dari otonomi

daerah itu sendiri. Dari upaya penanganan yang telah dilakukan oleh pihak

Balai Besar Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan bekejasama dengan aparat

penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) dari

tindakan represif dan pereventif yang selalu melibatkan unsur masyarakat

nampaknya belum bisa mengatasi permasalahan yang ada yaitu untuk

menghentikan kegiatan perambahan hutan diwilayah Taman Nasional Bukit

7 Sudikno Manrtokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, penerbit Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145

xxiv

Barisan Selatan sehingga kelestarian dan keutuhan kawasan belum dapat

tercapai.

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul ”PENANGANAN

PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN

SELATAN (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Penegakan Hukum Perambahan Hutan).

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka dalam penelitian ini

perlu di rumuskan suatu permasalahan agar dapat mewujudkan tujuan yang

diharapkan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Mengapa penanganan perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan belum efektif ?

2. Upaya apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani perambahan

hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak efektifnya penanganan

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

2. Untuk mengetahui upaya yang seharusnya dilakukan dalam penanganan

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian tentunya sangat diharapkan untuk dapat memberikan

Manfaat dan kegunaan dari penelitian yang dilakukan. Adapun manfaat dari

penelitian ini adalah:

xxv

1. Manfaat Teoritis.

a. Diharapkan hasil dari penelitian ini nantinya dapat memberikan

sumbangan pemikiran secara ilmiah dalam perkembangan ilmu hukum,

khususnya dalam peneyelesaian perkara tindak pidana dibidang

kehutanan.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan

dan referensi bagi penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk

mengetahui kemapuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah

diperoleh selama di bangku kuliah.

b. Memberikan kontribusi terhadap berbagai pemecahan masalah

khususnya tentang penegakan hukum terhadap perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan daerah lain pada umumnya.

xxvi

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Tindak Pidana Perambahan Hutan dalam Undang-undang nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pemerintah telah menetapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan, sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (3) Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok dibidang

Kehutanan ( Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2823) dinyatakan tidak berlaku, sejauh tidak

bertentangan dengan Undang-undang yang baru sampai dikeluarkannya

peraturan pelaksana berdasarkan Undang-undangNomor 41 Tahun 1999 8.

Undang-Undang Nonor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jenis-

jenis tindak pidana yang termuat di dalam undang-undang ini dibagi

menjadi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Ketentuan tindak pidana

kejahatan dan pelanggaran ini masuk dalam bab tersendiri tentang

ketentuan pidana, yang secara tegas dipisahkan dari jenis sanksi, ganti rugi

dan sanksi administratif, seperti yang terdapat dalampasal 78 ayat (13)

Undang-undang nomor 14 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Tabel 1: Tindak Pidana Kejahatan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan:

No. Pasal Tindak Pidana Kejahatan

1. Pasal 78 (1)

Kejahatan merusak prasarana dan sarana perlindungan kehutanan Pasal 50 ayat (1)

2. Pasal 78 (1) Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan Pasal 50 ayat (2)

3. Pasal 78 (2)

Mengerjakan, menggunakan, menduduki kawasan hutan secara tidak sah Pasal 50 ayat (3) huruf a

8 Nyoman Sarikat putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran kearah Pengembangan Hukum Pidana,

PT. Citra Aditya Bakti, bandung. Hal. 203-204

xxvii

No. Pasal Tindak Pidana Kejahatan

4. Pasal 78 (2)

Merambah hutan Pasal 50 ayat (3) huruf b

5. Pasal 78 (2)

Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan jarak dan radius tertentu Pasal 50 ayat (3) huruf c

6. Pasal 78 (3) dan (4)

Membakar hutan Pasal 50 ayat (3) huruf d.

7. Pasal 78 (5)

Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin (mencuri) Pasal 50 ayat (3) huruf e

8. Pasal 78 (5)

Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf f

9. Pasal 78 (6)

Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. Pasal 50 ayat (3) huruf g

10. Pasal 78 (7)

Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan Pasal 50 ayat (3) huruf h

11. Pasal 78 (9) Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf j

12. Pasal 78 (10)

Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf k

13. Pasal 78 (11)

Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan Pasal 50 ayat (3) huruf l

14.

Pasal 78 (11)

Semua hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara

xxviii

Tabel 2 : Tindak Pidana Pelanggaran hutan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutana

No. Pasal Tindak Pidana Pelanggaran

1. Pasal 78 (8) Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf i

2. Pasal 78 (12)

Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf m

Sumber : Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan perlindungan hutan direktorat jenderal PHKA, Departemen Kehutanan Republik Indonesia tahun 2007. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

mengenal penggolongan tindak pidana formil dan materil, tindak pidana

formil dapat dijumpai di Pasal 78 ayat (1) dan (2), yang merujuk ketentuan

di Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 50 ayat (1) menyatakan: Setiap

orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

Pasal 50 ayat (3) berbunyi: Setiap orang dilarang:

(a). mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

(b). merambah kawasan hutan; (c). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

(d). membakar hutan; (e). menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam

hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;

xxix

(f). menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

(g). melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;

(h). mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

(i). menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;

(j). membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;

(k). membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

(l). membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

(m). mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Penjelasan dari pasal-pasal di atas adalah adanya larangan terhadap orang

dan atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan di kawasan hutan.

Sedangkan untuk rumusan tindak pidana materil, dapat dijumpai dalam

Pasal 78 ayat (1), yang merupakan rujukan Pasal 50 ayat (2). Isi pasal 50

ayat (2) adalah:

”Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”

Pasal ini merumuskan larangan melakukan kegiatan yang

menimbulkan kerusakan hutan. Yang menjadi intinya adalah bukan uraian

perbuatan tetapi perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

Selanjutnya Undang-undang ini sebenarnya mengenal badan hukum

sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan ini diatur di dalam ketentuan

Pasal 78 ayat (14). Pasal ini berbunyi: Tindak pidana sebagaimana

xxx

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan

oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan

sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri

maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana

masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang

dijatuhkan. Pasal tersebut mengatur pertanggungjawaban pidana dari

pengurus badan usaha yang melakukan kejahatan di bidang kehutanan.

Perambahan adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa

mendapat izin dari pejabat yang berwenang.9

Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

selengkapnya menyatakan ” setiap orang dilarang merambah kawasan

hutan”. Dalam penjelasan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang

dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan

tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. jika ketentuan dalam

pasal 50 ayat (3) huruf b jika dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana

dalam pasal 78 ayat (2), maka rumusannya adalah ” barang siapa dengan

sengaja merambah kawasan hutan, diancam dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00

(lima milyar rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana yang terkandung dalam rumusan pasal 50

ayat (3) huruf b junto pasal 78 ayat (2), adalah:

1. barang siapa;

2. merambah kawasan hutan;

3. di ancam dengan pidana.

Perambahan hutan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 50 ayat (3) huruf b

dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan hutan atau

obyeknya adalah kawasan hutan.

9 Penjelasan Pasal 50 Ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

xxxi

2. Taman Nasional.

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional

didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

pariwisata, dan rekreasi.10 Kewenangan pengelolaan taman nasional

berada pada Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Saat ini terdapat

45 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai

Situs Warisan Dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman

nasional tersebut sejak tahun 2004.11

a. Batasan dan Pengertian

1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak

dapat dipisahkan.12

2) Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas

tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai

fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan

secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.13

3) Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam

taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap

persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft

10 Undang-undang No. 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumber Daya Alah Hayati

dan Ekosistemnya, Pasal 1 Angka 14 11 Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Balai

Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, opcit, 2008 12 Undang-undang No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, Pasal 1 Angka 2 13 Undang-undang No. 5 Tahun 1990, Op cit, Pasal 1 Angka 13

xxxii

rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan

penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-

aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Secara

sederhana zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan

taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi

ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

4) Sistem zona adalah pembagian wilayah di dalam kawasan Taman

Nasional menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan

pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka

mencapai tujuan-tujuan pengelolaan Taman Nasional sesuai dengan

fungsi dan peruntukannya.

5) Merambah adalah Melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa

mendapat izin dari pejabat yang berwenang.14

6) Perambah hutan adalah setiap orang yang melakukan kegiatan

berusahatani secara menetap di dalam kawasan hutan atau

mengerjakan/menduduki hutan negara.

b. Konsep tentang Taman Nasional

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka

yang dimaksud dengan zona taman nasional adalah suatu proses

pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang

mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data,

penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik,

perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan

kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat.

Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman

nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat.

14 Ibid, Penjelasan Pasal 50 Ayat (3) huruf b

xxxiii

Zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari:

1) zona inti;

2) zona rimba;

3) zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;

4) zona pemanfaatan; dan

5) zona lain, antara lain: zona tradisional; zona rehabilitasi; zona

religi, budaya dan sejarah; dan zona khusus.

Pengertian dan kriteria dari masing-masing zona dalam kawasan

taman nasional adalah sebagai berikut:

1. zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi

alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum

diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk

perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan

khas. Adapun kriteria zona inti adalah sebagai berikut:

a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman

jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit

penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam

kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli

dan belum diganggu oleh manusia;

c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang

masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;

d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang

cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis

tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan

menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan

contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;

xxxiv

f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar

beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaannya

terancam punah;

g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang

prioritas dan khas/endemik; dan

h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.

2. zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona

perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena

letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan

pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Kriteria zona

rimba adalah sebagai berikut:

a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk

melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari

jenis satwa liar;

b. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang

mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona

pemanfaatan; dan

c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.

3. zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak,

kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk

kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya.

Kriteria zona pemanfaatan adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau

berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya

yang indah dan unik;

b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian

potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata

dan rekreasi alam;

xxxv

c. Kondisi Iingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa

lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan

pendidikan;

d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya

sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan,

pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; dan

e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.

4. zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang

ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh

masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai

ketergantungan dengan sumber daya alam. Kriteria zona

tradisional adalah:

a. Adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non-

kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh

masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya;

dan

b. Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumberdaya

alam hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui

kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran

oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan

hidupnya.

5. zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena

mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan

pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami

kerusakan. Kriteria zona rehabilitasi adalah:

a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara

ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang

pemulihannya diperlukan campur tangan manusia;

b. Adanya invasi spesies yang mengganggu jenis atau spesies

asli dalam kawasan; dan

xxxvi

c. Pemulihan kawasan pada huruf a dan b sekurang-kurangnya

memerlukan waktu 5(lima) tahun.

6. zona religi adalah budaya dan sejarah adalah bagian dari taman

nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan

warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk

kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau

sejarah. Adapun kriteria zona religi adalah sebagai berikut:

a. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara

dan dipergunakan oleh masyarakat; dan

b. Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi

undang-undang maupun tidak dilindungi undang-undang.

7. zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi

yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok

masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal

sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional

antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan

listrik. Kriteria zona khusus adalah:

a. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang

kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut

ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;

b. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi,

fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut

ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional ; dan

c. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.

Adapun peruntukan masing-masing zona dalam kawasan taman

nasional adalah sebagai berikut:

1. zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan

fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan

perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa

xxxvii

liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.

2. zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan

sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan

penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa

migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.

3. zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan

rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan

pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan

penunjang budidaya.

4. zona tradisional untuk pemanfaatan potensi terutama nasional

oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan

pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

5. zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang

rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

6. zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan

melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi

maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan

wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.

7. zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat

yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan

sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya,

serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana

telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik15.

15 Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam.

xxxviii

3. Tinjauan tentang Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Disamping UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, juga

terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

pengelolaan di bidang kehutanan dan konservasi juga terus bertambah,

misalnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungah Hidup, terdapat beberapa pasal yang berhubungan dengan

tindak pidana kehutanan, seperti dalam pasal-pasalnya dijelaskan antara

lain:

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

9 Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.

16 Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

18 Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya16.

16 Ketentuan umun Pasal 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

xxxix

Pasal 4 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:

a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.

Pasal 77

Menteri dapat menerapkan sanksi administrative terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB XIII

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Bagian Kesatu

Umum

Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui

pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara

suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

Pasal 85

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya

pencemaran dan/atauperusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap

lingkungan hidup. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap

tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.

xl

(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 86

(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian

sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan

lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

BAB XIV

PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN Bagian Kesatu

Penyidikan

Pasal 94

(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

xli

BAB XV KETENTUAN PIDAN

Tabel 3 : Tindak pidana dalam Undang-undang ini merupakan kejahatan. salah satu pasal yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan (pasal 97)

Pasal Bunyi Pasal Ketentuan Pidana

Pasal 108

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h( melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar)

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Sumber : Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

4. Teori Pemidanaan

Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat

dibagi dalam tiga kelompok yaitu:

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings

theorieen)

Teori ini menjelaskan bahwa dasar pemberian hukuman pidana

kepada pelaku tindak pidana (penjahat) semata-mata adalah

pembalasan karena telah melakukan kejahatan (quia peccatum est).

Penjatuhan pidana pada dasarnya adalah penderitaan pada penjahat

dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang

lain. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2

arah yaitu:

a. Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan)

Bila seorang melakukan kejahatan maka ada kepentingan

hukum yang dilanggar, untuk mengebalikan ketertiban umum si

pelanggar harus mendapat hukuman. Setiap kejahatan tidak boleh

tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya.

xlii

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di

kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan)

Akibat adanya kejahatan tersebut, timbul suatu penderitaan

baik fisik maupun psikis berupa perasaan tidak senang, sakit hati,

marah, tidak puas dan terganggunya ketenteraman batin yang

bukan saja dirasakan oleh korban namun dirasakan juga oleh

masyarakat. Oleh karena itu untuk menghilangkan atau memuaskan

penderitaan seperti itu (sudut subyektif) maka kepada pelaku harus

diberikan pembalasan yang setimpal (sudut obyektif).

Teori absolute berpendapat bahwa setiap kejahatan harus diikuti

dengan pidana, penghukuman diarahkan kepada pembalasan,

disamping mengandung unsur cinta kasih kepada masyarakat yang

kepentingannya dilanggar. Teori relative menekankan bahwa tujuan

pidana adalah mengamankan masyarakat dengan jalan prevensi umum

yaitu mengandung unsur menakut-nakuti atau mencegah agar

masyarakat tidak melanggar hukum/tidak melakukan kejahatan

melalui foorwardlooking bukan backwardlooking.

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)

Pidana adalah alat untuk mengakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat dimana untuk mewujudkan ketertiban tersebut diperlukan

pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan,

dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam

mencapai ketertiban dalam masyarakat maka pidana mempunyai sifat

(1) menakut-nakuti, (2) bersifat memperbaiki, (3) bersifat

membinasakan, sedangkan sifat pencegahan teori pencegahan teori

relative ini terdiri dari:

xliii

a. Teori pencegahan umum

Teori pencegahan umum penjatuhan pidana bagi orang yang

melakkan kejahatan dimaksudkan agar masyarakat umum menjadi

takut untuk melakukan kejahatan. Penjahat yang dijatuhkan

hukuman pidana dijadikan contoh oleh masyarakat, agar perbuatan

tersebut tidak ditiru dan tidak melakukan perbuatan yang sama.

seperti yang dikemukakan oleh Helena du Rees dalam bukunya

yang berjudul Can Criminal Law Protect the environment, bahwa

the goal of environmental criminal law is to establish sufficiently

severe sanctions for committing environmental crimes so as to

deter potential offenders.17 tujuan hukum pidana lingkungan adalah

untuk menetapkan sanksi yang cukup berat karena melakukan

kejahatan lingkungan sehingga dapat mencegah pelaku lain yang

berniat untuk melakukan.

b. Teori pencegahan khusus

Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dimaksudkan

agar pelakukejahatan tersebut tidak mengulangi perbuatannya dan

mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk melakukan

kejahatan agar tidak mewujudkan niatnya dalam perbuatan nyata.

3. Teori Gabungan (vernegings theorien)

Teori ini mendasarkan pidana pada azas pemblasan dan azas

pertahanan tata tertib masyarakat, teori ini dibedakan menjadi 2

bagian:

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi tidak

boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat

dipertahankannya tata tertib masyarakat.

17 Helena du Rees, “Can Criminal Law Protect the Environmental”, dalam avi brisman, crime-Environment Relationships And Environmental Justice, seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008

xliv

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Kombinasi antara teori absolut dengan relative adalah merupakan

teori gabungan, hukuman dijatuhkan sebagai pembalasan tetapi dengan

tujuan memelihara tertib hukum jadi ada unsur pembalasan sekaligus ada

unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat, sedangkan teori

rehabilitasi lebih mengarahkan agar pelaku diobati, karena meurut teori

ini pelaku dilukiskan sebagai seorang yang ditarik atau degerakkan untuk

melakukan kejahatan oleh sesuatu keuatan diluar kemauan bebasnya.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana

merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri (the

filosophi of crime control). Penggunaan sanksi pidana dalam pengunaan

kejahatan telah menciptakan dua kubu yang saling bertenangan.

Panadangan pertama mengatakan tidak setuju dengan penggunaan sanksi

pidana dalam penaggulangan kejahatan dengan alas an pidana merupakan

peninggalan dari kebiadaban manusia dimasa lalu (a vestig of our savage

post). Pandangan ini menadasarkan bahwa pidana merupakan tindakan

perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Pandanan kedua

adalah pendapat yang setuju penggunaan sanksi pidana dalam

penanggulangan kejahatan. Misalnya Ruslan Saleh menemukan tiga alas

an perlunya sanksi pidana, pertama sasaran yang ingin dicapai tidak

melalui paksaan, kedua untuk adanya usaha perbaikan bagi siterhukum

dan ketiga sebagai bahan I’tibar bagi orang yang belum melakukan

pelanggaran hukum untuk tidak melakukannya18.

Dikemukakan oleh All Ross bahwa sanksi pidana penting untuk

pemberian penderitaan bagi pelaku dan sanksi pidana merupakan

pernyataan pencelaan dari masyarakat/Negara terhadap perbuatan pelaku.

18 Edi Setiadi, Bahan kuiah Sistem Peradilan Pidana pada program Magister Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009, hal-2

xlv

Senada dengan All Ross adalah pendapat Herbert Packer yang

menyatakan bahwa masyrakat masih perlu adanya sanksi pidana,

kemudian sanksi pidana diperlukan untuk menghadapi ancaman dari

bahaya kejahatan dan sanksi pidana merupakan penjamin sekaligus

pengancam bagi kehidupan masyarakat.

Menurut Nigel Walker mengatakan bahwa semestinya prinsif-

prinsif penggunaan sanksi pidana harus menjadi acuan yaitu:

1. hukum pidana jangan digunakan untuk semata-mata pembalasan;

2. hukum pidana jangan dipergunakan untuk menghukum perbuatan

yang tidak merugikan/membahayakan;

3. hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang

dapat diatasi oleh sarana lain yang lebih ringan;

4. jangan mengunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang

timbul dari sanksi pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari

tindak pidana itu sendiri;

5. larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih

berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;

6. hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat

dukungan kuat dari publik19.

Dari uraian diatas perlu kiranya dilihat tentang Pidana dan

Sistem Pemidanaan yang secara konseptual, Barda Nawawi Arief,

mengutip pernyatan L.H.C. Hulsman, mengemukakan bahwa sistem

pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.

Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu

proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah

dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian:

19 Ibid, hal-3

xlvi

a. keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

pemidanaan

b. keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana

c. keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

fungsionalisasi/ operasionalisasi/konkretisasi pidana

d. keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur

bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan

secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).

Dengan mengacu pada pengertian ini, maka semua perundang-

undangan adalah berhubungan dengan hukum pidana

material/substantif. Hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan

pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan

kata lain, sistem pemidanaan terdiri dari subsistem hukum pidana

substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum

pelaksanaan/eksekusi pidana.

Beberapa konsep mendasar yang berhubungan dengan sistem

pemidanaan:

a. Kejahatan dan Pelanggaran

Penggolongan ini diatur di dalam buku tersendiri. Buku II

memuat tentang jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam

golongan kejahatan. Sedangkan tindak pidana yang termasuk di

dalam golongan pelanggaran diatur di dalam Buku III. Kata

kejahatan dan pelanggaran merupakan terjemahan dari istilah

misdrijf dan overtreding dalam Bahasa Belanda.

Sebenarnya tidak mudah membedakan kejahatan dengan

pelanggaran, karena keduanya merupakan perbuatan yang

melanggar hukum. Tetapi ada dua cara untuk menemukan

perbedaan itu, yaitu: pertama, meneliti maksud dari pembentuk

xlvii

undang-undang; kedua, meneliti sifat-sifat yang berbeda antara

tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Bab II KUHP dan

tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Buku III KUHP 20.

b. Tindak Pidana Material dan Formil

Penggolongan tindak pidana ini adalah berdasarkan cara

perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-

undang. Apabila perumusan tindak pidana dirumuskan tanpa

menyebutkan secara rinci kegiatan atau tindak pidananya, tetapi

hanya menyebutkan perbuatan yang menyebabkan suatu akibat

tertentu, maka tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana

material. Apabila tindak pidana itu dirumuskan dengan

menggambarkan wujud perbuatannya tanpa menyebutkan akibat

yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka tindak pidana semacam

itu disebut sebagai tindak pidana formil 21.

c. Unsur Kesengajaan dan Kelalaian dalam Tindak Pidana

Kesengajaan (dolus) menurut teori kehendak (wilstheorie)

dan teori pengetahuan (voorstellingstheorie) adalah adalah

perbuatan atau tindakan yang dikehendaki dan diketahui akan

mewujudkan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan

dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebuah teori lain yang disebut

dengan inkauf nehmen atau oleh Moeljatno disebut dengan teori

“apa boleh buat”, menyatakan bahwa kesengajaan merupakan

perbuatan atau tindakan yang kemungkinan akibatnya diketahui

oleh terdakwa dan sikapnya atas kemungkinan tersebut, andaikata

terjadi, adalah berani mengambil risikonya.22 Sementara, kelalaian

(tidak sengaja atau culpa) adalah tindak pidana yang dilakukan

20 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003,

hlm.32-33. 21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 88-90. 22 Moeljatno, ibid., hlm. 171-177.

xlviii

dalam situasi di mana terdakwa tidak mengetahui sifat melawan

hukumnya perbuatan tersebut.23

d. Subjek Tindak Pidana

Subjek tindak pidana adalah orang yang bisa dikenakan

tanggung jawab pidana. Dalam konsep hukum perdata yang

kemudian diadopsi dalam hukum-hukum publik, orang adalah

istilah yang mencakup dua subjek hukum yakni manusia dan

subjek lain yang oleh hukum ditetapkan sebagai subjek hukum.

Dalam konteks yang terakhir ini, hukum perdata telah

mengkategorikan badan hukum sebagai subjek hukum.24 Namun

dalam perkembangan selanjutnya, subjek hukum pidana tidak

hanya manusia dan badan hukum tetapi juga mencantumkan nama

korporasi. Menurut Sutan Sjahdeini, dalam hukum pidana,

pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Di sana, korporasi

meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.

Cakupannya, bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan

terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah

mempunyai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi

menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer

atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan

usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu hukum.

Sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan

melakukan perbuatan-perbuatan hukum, juga termasuk ke dalam

apa yang dimaksud dengan korporasi.25

23 Moeljatno, ibid., hlm. 185-192. 24 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,

hlm. 73-74. 25 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta,

2006, hlm. 39-47.

xlix

e. Stelsel Pidana

Stelsel pidana mencakup pengaturan tentang jenis-jenis

pidana (strafsoord), berat ringannya pidana (straafmaat) dan cara

bagaimana pidana itu dilaksanakan (strafmodus).26 Di dalam Pasal

10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur mengenai jenis

pidana (hukuman), yang terdiri dari:

Pidana pokok:

(1) pidana mati,

(2) pidana penjara,

(3) pidana kurungan,

(4) pidana denda,

(5) pidana tutupan.

Pidana tambahan:

(1) pencabutan hak-hak tertentu,

(2) perampasan barang-barang tertentu,

(3) pengumuman putusan hakim.

Berkaitan dengan berat ringannya pidana, KUHP menyebut

pidana dengan jumlah/maksimum pidana, minimum pidana dan

pidana yang sudah ditentukan jenis dan jumlah atau bentuknya

(pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara 20 tahun).

Sedangkan cara-cara pelaksanaan pidana berbeda-beda berdasarkan

jenis pidananya.

f. Pidana Administrasi

Pidana administrasi tersebar di berbagai undang-undang

sektoral di Indonesia. Pidana ini merupakan bagian dari sanksi

administrasi karena dikenakan kepada pelanggaran-pelanggaran

atas hukum administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief, hukum

26 Muladi, “Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah

Hukum, No. 2 Tahun 1988, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 28.

l

administrasi pada dasarnya adalah hukum mengatur atau hukum

pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam

melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan maka hukum

pidana administrasi sering disebut sebagai hukum pidana

pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan

(ordnungstrafrecht/ordeningstrafrecht). Selain itu, kata Barda,

istilah hukum administrasi juga terkait dengan tata pemerintahan,

sehingga istilah hukum pidana administrasi juga ada yang

menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan

(verwaltungsstrafrehct/bestuursstrafrehct). Dengan demikian,

hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan

menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk melaksanakan

atau menegakan hukum administrasi. Jadi, pidana administrasi

merupakan bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana

di bidang hukum adiministrasi.27

5. Teori Bekerjanya hukum dalam masyarakat

Soejono Soekanto.28 mengemukakan bahwa untuk melihat apakah

hukum itu dapat ditegakkan atau tidak maka dalam pelaksanaan

penegakan hukum di pengaruhi oleh 5 (lima) faktor pokok yaitu:

1. Undang-undang atau peraturan hukum

Undang-undang dalam arti materiil adalah peraturan tertulis

yang berlaku umum yang dibuat oleh penguasa pusat dan daerah

yang sah. Jadi dalam penegakan hukum yang dipengaruhi oleh

Undang-undang adalah:

27 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2003, hlm.14-15.

28 Soejono Soekanto, Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1993. Hal. 5

li

a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-undang.

b. Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk

menerapkan undang-undang.

c. Ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang

mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta

penerapannya.

2. Aparat penegak hukum.

Secara sosiologis penegak hukum mempunyai kedudukan

(status) dan pranan (role) kedudukan (sosial) yang merupakan posisi

tertentu dalam kemasyarakatan. Orang yang mempunyai kedudukan

tertentu dalam masyarakat biasa disebut pmegang peran (role

occupant) peranan tertentu dapat dijabarkan dalam unsusr-unsusr:

a. Peranan yang idial (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expected role)

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)

d. Peranan yang sebenarnya (actual role)

3. Sarana dan fasilitas

Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak

mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana

atau fasilitas antara lain yang mencakup seperti tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup, dan lain sebagainya. Kalau hal-hal

tersebut tidak terpenuhi maka penegakan hukum tidak mungkin akan

bisa mencapai tujuan.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat, maka masyarakat

dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum. Dari sudut sistem

lii

sosial budaya, indonesia merupakan suatu masyarakat yang

majemuk (plural society) terdapat banyak golongan etnik dengan

kebudayaan yang berbeda-beda, disamping itu sebagian besar

penduduk Indonesia tinggal dipedesaan yang tentunya berbeda

dengan ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang timbul di wilayah

pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara

tradisional, demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua masalah

bisa diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara tradisional.

5. Faktor kebudayaan.

Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu dengan faktor

masyarakat, masalah-masalah sistem nilai yang menjadi inti dari

kebudayaan spritual atau non materil, sebagai suatu sistem hukum

mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup

bentuk dari sistem tersebut yang mencakup tatanan lembaga-

lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga hukum

tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Substansi mencakup isi norma-

norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk

menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun

pencari keadilan. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup

nilai-nilai yang mendasari hukum-hukum yang berlaku, nilai yang

merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik

(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap tidak baik atau buruk

(sehingga dihindari).

Implementsi hukum bila dikaitkan dengan badan penegak hukum

dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain undang-undang yang

mengaturnya harus dirancang dengan baik, Pelaksana hukum harus

memusatkan tugasnya dengan baik, hukum agar berfungsi sebagai rekasa

sosial memerlukan pendekatan. Menurut Robert seidman bekerjanya

hukum dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga) kemampuan dasar yaitu

Pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

liii

Menurut Radbruch dalam Sudikno Martokusumo,29 hukum harus

mempunyai 3 (tiga) nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum

yang baik yaitu:

1. Keadilan (gerechttigkeit);

2. Kemanfaatan (zweckmassigkeit);

3. Kepastian hukum (rechtsicherheit).

Walaupun ketiganya merupakan nilai dasar dari hukum, namun

diantara ketiganya terdapat satu Spanungsverhalnis yaitu ketegangan

antara satu dengan yang lainnya, keadaan yang demikian itu dapat

dimegerti karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang lain-lain dan antara

satu dengan yang lain mengandung potensi untuk bertentangan. Apa

yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh

suatu peaturan bisa dinilai tidak sah dari sgi kegunaannya bagi

masyarakat.30

Hukum agar berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial masyarakat

biasa dan pejabat sebagai pemegang law enforcement, maka menurut

teori Robert B. Seidmen yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum

dalam masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu pembuat

hukum (Undang-undang), Birokrat/Penegak hukum dan masyarakat

sebagai obyek hukum31.

Dari penjelasan tersebut diatas kita bisa melihat bahwa:

1. Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang

pemegang peran itu diharapkan bertindak;

2. Bagaimana seorang pemegang peran bertindak sebagai suatu respon

terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan yang

29 Sudikno Mortokusumo, Mengenal Hukum sebuah Pengantar, Liberti, Yogyakarta,

1999, hal.145 30 Satjipto raharjo, Op.cit. hal. 19 31 Esmi Warassih, Peranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama,

Semarang, 2005

liv

ditujukan kepadanya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta

keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lain sebagainya;

3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai

respon terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,

sanksi-sanksi, dan seluruh kekuatan sosial politik dan lain

sebagainya;

4. Bagaimana para pembuat Undang-undang itu akan bertindak

merupakan fungsi peraturan yang mengatur tingkah laku, sanksi-

sanksinya, ketentuan sosial, politik, idiologi, dan lain sebagainya32.

Paul dan Dias dalam Esmi Warassih, mengajukan lima (5) syarat

yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu:

1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap

dan dipahami;

2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi

aturan-aturan hukum yang bersangkutan;

3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah

dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan

juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa;

5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga

masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu

memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif .33

Dalam penelitian ini untuk mengetahui mengapa penegakan

hukum perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

belum mencapai tujuan yang diharapkan maka akan menitikberatkan

penggunaan teori Penegakan hukum yang di gagas oleh Soerjono

Soekanto yang menjelaskan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat

32 Satjipto raharjo, Op.cit, 1986 33 Esmi Warassih. Op cit. hal 105

lv

itu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti Undang-undang, Aparat

Penegak Hukum, Sarana dan Fasilitas, Masyarakat serta Budaya.

Hukum dan ketertiban, seolah-olah keduanya identik. Hukum

pertama-tama menunjukkan keterikatan masyarakat kepada pertauran-

peraturan, kepada prosedur formal, sedangkan ketertiban itu mengandung

ide-ide keteraturan, efisiensi, inisiatif. Jadi hukum dipakai sebagai

lambang suatu yang formal, sedangkan ketertiban merupakan lambang

substansinya34. Penegak hukum yang mencerminkan hamba hukum

maka ia cukup menjalankan ketentuan-ketentuan yang secara jelas sudah

dituangkan dalam bentuk undang-undang serta peraturan lainnya.

Sedangkan aparat hukum yang mencerminkan sebagai hamba masyarakat

ia dituntut lebih dari itu, yaitu sebagai penjaga ketertiban dan dituntut

inisiatif-inisiatif pribadi atau daya kreasi untuk mewujudkan ketertiban

dalam masyarakat.

Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari

satu kompleks tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan,

dengan demikian ketertiban yang ada dalam masyarakat itu senantiasa

terdiri dari ketiga tatanan trsebut. Keadaan yang demikian ini

memberikan pengaruh tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan

dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa dilihat dari peraturan hukum

sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-

hubungan antara orang perorang didasarkan pada hukum atau tatanan

hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo secara sosiologis dapat dilihat adanya 2

(dua) fungsi utama hukum yaitu:

1. Social Control (Kontrol Sosial)

Social Control merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi

warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang

34 Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung,

1977

lvi

telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang

hidup didalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol sosial

ini adalah:

a. Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan

peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang

dengan orang;

b. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat;

c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, dalam hal terjadi

perubahan-perubahan sosial.

2. Social Engineering (rekayasa sosial)

Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib

atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat

hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih peraktis,

yaitu hanya untuk kepentingan sekarang, maka fungsi rekayasa

sosial dari hukum ebih mengarah kepada pembahasan sikap dan

prilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai dengan keinginan

pembuat undang-undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki

itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-

pola tingkah laku yang baru di masyarakat 35

Selanjutnya menurut satjipto Rahardjo adanya faktor-faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan hukum yaitu:

1. Mudah tidaknya ketaatan/pelanggaran hukum itu dilihat/disidik;

2. Siapakah yang bertanggungjawab menegakkan hukum yang

bersangkutan.

Sedangkan syarat-syarat yang menentukan kemungkinan hukum

menjadi efektip adalah implementasinya yaitu :

1. Undang-ndang direncanakan dengan baik;

35 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu

Hukum, Alumni, Bandung, 1977, hal.143

lvii

2. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan

mengharuskan/memperbolehkan (mandatur);

3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan/sifat Undang-undang;

4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan ancaman

pelanggaran;

5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah);

6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral;

7. Pelaksanaan hukum menjelaskan tugasnya dengan baik,

menyebarluaskan undang-undang, penafsiran seragan dan konsisten.

Menurut Robert B. Seidman, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi

oleh kekuatan atau faktor-faktor sosial dan personal. Faktor sosial dan

personal tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sbagai sasaran yang

diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum.

Teori ini dicetuskan oleh Robert B. Seidman yang menyatakan adanya

pengaruh-pengaruh sosial dalam bekerjanya hukum dengan digambarkan

sebagai berikut:

Bekerjanya kekuatan- Kekuatan Personal dan Sosial

Umpan balik umpan balik

Norma Peran yang dimainkan Penerapan Sanksi

Bekerjanya kekuatan Bekerjanya Kekuatan Personal dan sosial Personal dan Sosial Umpan balik

Gambar 1. teori bekerjanya hukum

Lembaga Pembuat Peraturan

Pemegang Peran Penegak Hukum

lviii

Dari bagan tersebut di atas tampak peran dari kekuatan sosial,

yang tidak berpengaruh terhadap rakyat terhadap sasaran yang diatur oleh

hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Dari arah

panah tersebut diatas dapat diketahui, bahwa hasil akhir dari tatanan

masyarakat tidak hanya bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Kita lihat

bahwa tingkah laku rakyat tidak hanya ditentukan oleh hukum,

melainkan juga oleh kekuatan personal dan sosial lainnya. Melihat

permasalahan dalam gambar sebagaimana diterangkan oleh Chamblis &

Seidman memberikan perspektif yang lebih baik dalam memahami

bekerjanya hukum dalam masyarakat36.

Berbicara masalah hukum pada dasarnya kita membicarakan fungsi

hukum didalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum

itu, maka perlu dipahami terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum.

Hoebel dalam Sadjipto Rahardjo.37 mengemukakan ada 4 (empat) bidang

pekerjaan yang dilakukan oleh hukum yaitu:

1. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat

dengan menunjukka perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan

yang boleh dilakukan;

2. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh

melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya;

3. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat;

4. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara

mengatur kembali hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat

dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan

yang boleh dilakukan.

Untuk melihat bekerjanya hukum sebagai suatu pranata dalam

masyarakat, maka perlu dimasukkan suatu faktor yang menjadi perantara

yang memungkinkan teradinya penerapan dari norma-norma hukum itu.

36 Satjipto Rahardjo, ibid, hal. 21 37 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, hal.38

lix

Penerapan hukum di dalam masyarakat hanya dapat terjadi melalui

manusia sebagai perantaranya, masuknya manusia ke dalam pembicaraan

hukum khususnya didalam hubungan dengan bekerjanya hukum itu,

membawa kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia

dalam masyarakat, maka tidak dapat membatasi masuknya pembicaraan

mengenai faktor-faktor yang memberikan beban pengaruhnya(impact)

terhadap hukum, yang meliputi:

a. Pembuatan Hukum

Dalam hubungannya dengan masyarakat, pembuatan hukum

merupakan pencerminan dari model masyarakatnya. Menurut

Chamblis & Seidman terdapat 2 (dua) model masyarakat (Satjipto

Rahardjo, 1980 : 49) yaitu:

1. Model masyarakat yang berdasarkan pada basis kesepakatan

akan nilai-nilai (value consensus) masyarakat yang demikian

akan sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau

ketegangan didalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan

nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupannya, dengan

demikian maslah yang dihadapi oleh pembuatan hukum

hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku didlam

msyarakat.

2. Masyarakat dengan model konflik. Masyarakat dilihat sebagai

suatu hubungan yang sebagian warganya mengalami tekanan-

tekanan oleh sementara warga lain, perubahan dan konflik-

konflik merupakan kejadian yang umum. Sehingga akan

tercermin dalam pembuatan hukumnya.

b. Pelaksanaan Hukum (Hukum sebagai suatu proses)

Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatan sendiri, melainkan

hukum hanya dapat berjalan melalui manusia, manusialah yang

menciptakan hukum, untuk pelaksanaan hukum yang telah dibuat

lx

diperlukan adanya beberapa langkah yang memungkinkan hukum itu

bisa berjalan, pertama, harus ada pejabat sebagaimana yang

ditentukan dalam peraturan hukum, kedua harus ada orang-orang

yang melakukan perbuatan hukum, ketiga orang-orang tersebut

mengetahui adanya peraturan tentang keharusan bagi mereka38.

c. Bekerjanya Hukum Dibidang Pengadilan

Bekerjanya hukum dengan proses peradilan secara

konvensional melibatkan pembicaraan tentang kehakiman, prosedur

berperkara dan lain sebagainya. Masalahnya adalah bagaimana

mengatur penyelesaian sengketa secara tertib berdasarkan prosedur

formal yang ditentukan. Apabila penyelesaian sengketa itu dilihat

sebagai fungsi kehidupan sosial maka keadaannya menjadi lain. Hal

ini yang menjadi masalah adalah bagaimana bekerjanya pengadilan

sebagai suatu peranata yang melayani kehidupan sosial. Dalam

rangka penglihatan ini maka pengadilan tidak dilihat sebagai suatu

badan yang merupakan bagian dari keseluruhan nilai-nilai dan

proses-proses yang bekerja didalam masyarakat tersebut.39

d. Hukum dan Nilai-nilai dalam Masyarakat

Hukum menetapkan pola hubungan antar manusia dan

merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat kedalam

bagan-bagan. Didalam masyarakat ada norma-norma yang

disebutsebagai norma yang tertinggi atau norma dasar. Norma inilah

yang merupakan norma yang paling menonjol yang paling kuat

bekerjanya atas diri anggota-anggota masyarakat seperti halya

dengan norma maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan

tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu

merujuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda,

38 ibid 39 Satjipto Rahardjo, ibid, hal. 53

lxi

norma itu mempunyai suatu perspektif sosial, sedang nilai

melihatnya dari sudut persepektif individual.40

Mengenai validitas pelaksanaan hukum berkaitan erat dengan

masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat, apabila berbicara

masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat maka biasanya pikiran

diarahkan kepada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku

atau tidak. Kelihatannya sangat sederhana padahal di balik

kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang merumitkan. Dalam teori-teori

hukum biasanya dibedakan antara 3 (tiga) macam berlakunya hukum

sebagai kaidah. (Soerjono Soekanto & Mustafa Abdullah), yaitu:

1. Kaidah hukum berlaku secara Yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau apabila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zebenbergen), atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara satu kondisi dan akibatnya ( L.H.A. Logemann).

2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis

Apabila kaidah hukum tersebut efektip artinya: (a). Kaidah hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak bisa diterima oleh warga masyarakat. (b). Kaidah hukum diberlakukan oleh penguasa meskipun tidak diterima oleh masyarakat. (c). Kaidah hukum berlaku karena diterima dan diakui oleh warga masyarakat.

3. Kaidah Hukum berlaku secra filosofis.

Artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut mengenai masalah berfungsinya ketentuan hukum yang berlaku, digunakan konsep kaidah hukum yang berlaku secara sosiologis, dan teori pengakuan.

40 ibid. hal.13

lxii

6. Teori Penanggulangan Kejahatan.

Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang sering dikenal

dengan istilah ”politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang

cukup luas G. Peter Hoefnagels menggambarkan ”Criminal Policy”

dengan skema sebagai berikut 41

ad. of crime.justice in narrow sense: soc. policy crime legislation crime jurisprudence community crime. process in wide sense planning sentencing mental health forensic psychiatary and nat. mental health psicology sot work child forensic social work walfere crime, sentence executonand administrative policy statistic civil law

Dari skema diatas terlihat, bahwa menurut G. Peter Hoefnagels upaya

penaggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman);

c. mempengaruhi pandangan masyarakat menegenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on

crime and punishman/mass media).

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara

garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur ”penal” (hukum pidana)

dan lewat jaur ”non penal” (bukan/di luar huum pidana). dalam

41 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-39

criminal policy

prevention without punishman

crime law application (practical criminology)

influencing view of societynon crime and punishman (mass media)

lxiii

pembagian G.P. Hoefnagels diatas upaya dalam butir (b) dan (c) dapat

disebutkan dalam kelompok ”non penal”.

Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan

kejahatan lewat jalur ”penal” lebih menitikberatkan pada sifat

”repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah

kejahatan terjadi, sedangkan jalur ”non penal” lebih menitikberatkan

pada sifat ”preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian)

sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan yang kasar,

karena tindakan represif pada hakiktnya juga dapat dilihat sebagai

tindakan preventif dalam arti luas.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jaur ”non penal” lebih

bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utaanya

adalah menegenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan, faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan antara lain

berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secra

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan kejahatan.

Dalam salah satu kongres kongres PBB ke-6 tahun 1980 di

ciracas venezuela, antara lain dinyatakan dalam pertimbangan resolusi

mengenai ”Crime tends and crime prevention strategies” 42.

- bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian

kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semuaorang; (the

crime problem impedes progress towards the attainment of an

accebtable quality of life fot all people).

- bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada

penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan

42 Sixth United Nations Congress, Report, 1981, hal-5 dalam Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-41

lxiv

kejahatan; (crime prevention strategies should be based upon the

elimination of causes and conditions giving rise to crime).

- bahwa penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara adalah

ketimpangan sosial, deskriminasi rasial, dan deskriminasi nasional,

setandart hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurupan

(kebodohan) diantara golongan besar penduduk; (the man causes of

crime in mani countries are social inequality, rasial and national

diskrimination. low standart of living, unemployment and liliteracy

among broad section of the population).

7. Penelitian yang relevan

Penelitan yang relevan dengan penelitian ini adalah yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN

HUKUM TERHADAP PELAKU ILLEGAL LOGGING DI KALIMANTAN

BARAT oleh Subaryanto, 2007.

Penelitian tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa dalam

konteks penegakan terhadap kegiatan illegal logging hukum oleh instansi

pemerintah, ternyata tidak mudah untuk di wujudkan. Kerjasama yang

bersifat kuratif dan polisionil seringkali menimbulkan gesekan dengan

kekuasaan, termasuk terjadinya korupsi, kolusi dan nepotismen justru

menyebabkan pemberantasa ileegal logging yang dilakukan tidak

berjalan dengan maksimal. Hasil dari penelitian tersebut digambarkan

bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap

illegal logging di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sintang Propinsi

kalimanatan Barat adalah : 1) dari segi substansi hukum, yaitu masih

adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undanagn yang

memberikan peluang terjadinya illegal logging maupun dalam penegakan

hukumnya, yaitu pasal-pasal yang memberikan alternative penjatuhan

sanksi pidana dengan tidak memberikan sanksi pidana minimum; 2) dari

segi struktur hukum, yaitu masih minimnya jumlah petugas, sarana dan

prasarana bila dibandingkan dengan jumlah dan luas kawasan yang harus

lxv

diawasi. adanya oknum-oknum petugas yang sengaja memanfaatkan

kelemahan peraturan untuk memeberikan kemudahan-kemudahan

terjadinya illegal logging dan pengangkutan kayu hasil hutan secara tidak

sah.; 3) dari kultur hukum, yaitu bergesernya sikap dan pola hidup

masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dari

masyararakat petani/peladang menjadi konsumtif dengan menjadikan

buruh dan penebang liar. Hal ini dipicu adanya kebutuhan yang

meningkat/konsumtif dengan mencari penghasilan yang cepat guna

memenuhi kebutuhan tersebut.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut diatas, Pada

penelitian yang dilakukan oleh Subaryanto fokus analisis adalah

mengenai efektipitas UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

terhadap pemeberantasan illegal logging khususnya terhadap peredaran

hasil hutan (kayu) illegal di Kalimantan Barat. Sedangkan penelitaan ini

difokuskan membahas efektipitas terhadap penanganan perabahan hutan

di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung, Indikator

yang digunakan adalah : a). Kaedah Hukum atau peraturan itu sendiri; b).

Petugas/aparat yang menegakan hukum; c). Fasilitas yang diharapkan

mendukung pelaksanaan hukum; d). Warga masyarakat yang terkena

ruang lingkup peraturan tersebut; dan e). Budaya Hukum

B. Kerangka Pikir

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diundangkan

pada tanggal 30 September 1999 9Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 167, tambahan Lembaraan Negara Republik Indonesia

tahun 1999 Nomor 167), menyatakan bahwa hutan sebagai modal

pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan

penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun

ekonomi, secara seimbang dan dinamis, untuk itu hutan harus diurus dan

dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi

kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang

lxvi

akan datang. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang mempunyai

kewenangan secara yuridis untuk mengatur hutan, pemanfaatan hutan, harus

mampu mengarahkan kebijakannya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

rakyat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, dengan

demikian fungsi dari hutan dapat dilihat baik dari segiekologis, ekonomis dan

segi sosial. Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan dimana

Kementerian Kehutanan mempunyai Unit Pelaksana Teknis yang ada di

Daerah salah satunya Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mencakup

pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian

menyangkut sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini

juga memuat sanksi berupa Pidana, sanksi administratif, dan sanksi denda

atau ganti rugi. Terhadap perkara tindak pidana perambahan hutan

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 50 Ayat (3) setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau

jarak sampai dengan; 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai dan

daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang

terendah dari tepi pantai.

Dalam Pasal 78 Ayat (2) di jelaskan mengenai sanksi pidana yaitu: Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Penjelasan dari bunyi pasal 78 Ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu:

1. Dengan sengaja; 2. Melakukan Perambahan hutan; 3. Diancam dengan pidana.

lxvii

Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagi lembaga

yang berwenang dalam pengelolaan kawasa hutan mempunyai tugas dan

tanggung jawab dalam hal penegelolaan kawasan dan pengamanan kawasan.

Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) telah sering dilakukan baik melalui

operasi represif maupun dalam bentuk kegiatan pemberdayaan dan

pembinaan daerah penyangga (daerah yang berbatasan langsung dengan

kawasan) yang difokuskan pada peningkatan ekonomi masyarakat di desa

penyangga, penyuluhan dan pembinaan partisipasi masyarakat, optimalisasi

pemanfaatan.

Dalam penelitian ini penulis akan menyoroti tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di

Taman Nasonal Bukit Barisan Selatan, oleh karena penulis menekankan

kepada aspek penegakan hukum (baik secara preventif maupun secara

represif) dimana menurut Soerjono Soekanto dalam teori yang digagasnya

bahwa dalam penegakan hukum dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor seperti

Undang-undang, Aparat penegak hukum, Sarana atau fasilitas, Masyarakat

dan Budaya. Skema dapat digambarkan sebagai berikut:

lxviii

Skema dapat digambarkan:

Gambar 2. Kerangka pikir

UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Penegakan hukum perambahan hutan

belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan

Upaya

Represif/ Penerapan hukum pidana (criminal law application)

Preventif/ Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishmant

Faktor yang mempengaruhi: 1. Undang-undang 2. Aparat Penegak Hukum 3. Sarana dan Prasarana 4. Masyarakat 5. Budaya

terwujudnya kelestarian dan keutuhan kawasan

lxix

BAB III METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum non

doktrinal, sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan

penelitian diagnostik yaitu merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan

untuk mendapatkan keterangan menegenai sebab-sebab terjadinya suatu

gejala atau beberapa gejala, dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk

penelitian yang deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang

diteliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,43

Dalam mempelajari hukum tentunya tidak bisa terlepas dari 5 (lima)

konsep hukum menurut Soetandyo wignyosoebroto, sebagaimana dikutif oleh

Stiono, ke 5 (lima) konsep hukum tersebut yaitu:

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan

berlaku universal;

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan

hukum nasional;

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcretto dan

tersistematis sebagai judge made law;

4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai

variabel sosial yang empirik;

5. Hukum adalah manivestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial

sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.

Berdasarkan atas penjelasan dari kelima konsep hukum tersebut,

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non doktrinal penulis

menggunakan konsep hukum yang ke 5 (lima), yaitu Hukum adalah

manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam

interaksi antar mereka. tipe kajiannya sosiologi dan/antropologi hukum yang

43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 2007, hal. 10

lxx

mengkaji ” law as it is in (human) action ” dengan menggunakan metode

penelitian sosiologi dan/atau sosial/non-doktrinal dengan pendekatan

intraksional/mikro dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode

penelitiannya kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji

humaniora dan orientasinya kepada simbolik interaksional.44

Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai

regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam

pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi

manusian yang secara aktual atau pontensial akan terpola. Karena setiap

perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam

pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan

atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini

dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau

penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan

maksud hanya hendak mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan suatu

doktrin. Maka metodenya disebut mentode non doktrinal..45

Berdasarkan konsep hukum ke lima dan dengan pendekatan mikro yang

dilakukan, maka gejala empiris yang diamati dalam penelitian ini adalah yang

berkaitan dengan faktor-faktor Yang Mempengaruhi dalam penanganan

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan selatan.

Penelitian-penelitian non doktrinal yang sosial dan empiris atas hukum

akan menghasilkan teori-teori eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat

berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan

sosial. Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang beruang

lingkup luas, mikro dan pada umumnya amat kuantitatif untuk mengelola

data itu sangat massal terorganisasi dalam suatu gugusan yang disebut the

sosial theoritie of law.

44 Burhan Ashshofa., Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta,

2001, hal .11 45 Op.cit., hal 33-34

lxxi

Menurt Moleong (2004 : 5) mengatakan bahwa metode kualitatif di

gunakan karena beberapa pertimbangan, pertama, menyesuaikan metode

kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua,

metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan

responden.

Dalam penelitian ini dimaksudkan tidak untuk menguji hipotesis

tertentu, tetapi lebih menggambarkan keadaan apa adanya tentang suatu

variabel atau keadaan. Kata-kata yang tergambar dalam penelitian deskriptif

bertolak pada penafsiran data yaitu melalui suatu alur berpikir logis.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dalam penelitian ini di lakukan di:

a. Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;

b. Pengadilan Negeri Liwa di Lampung Barat;

c. Cabang Kejaksaan Negeri Liwa;

d. Kepolisian Resort Lampung Barat;

e. Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat (Dinas Kehutanan dan Sumber

Daya Alam).

3. Data dan Jenis Data

Dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal (normatif)

maka jenis data adalah data sekunder yang mencakup:

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil

penelitian lapangan yang berupa keterangan dan penjelasan yang

diberikan oleh para responden/nara sumber, antara lain Kepala Balai

Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Penyidik Pegawai Negeri

Sipil Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kepolisian

lxxii

Resort Lampung Barat, Cabang Kejaksaan Negeri Liwa, Pengadilan

Negeri Liwa, Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam.

2. Data Sekunder

Data Skunder adalah data yang diperoleh dari bahan perpustakaan46. dan

berbagai hukum yang relevan, atau data yang mendukung atau menunjang

kelengkapan data Primer.

Data sekunder terdiri atas:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat. meliputi peraturan

perundang-undangan dan peraturan lain yang berhubungan dengan

penelitian.

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19945;

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1981;

4. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;

5. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya;

6. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hdup;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Tentang Pengelolaan

Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya,

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

46 Soerjono Soekanto, Op cit, UI Press, Jakarta, 1986

lxxiii

kalangan hukum, bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel,

makalah, literatur, serta surat kabar.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum terstier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder seperti

a. kamus hukum / ensklopedia;

b. kamus umum bahasa Indonesia;

c. Majalah;

d. Surat Kabar;

e. Web site.

4. Teknik Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan data primer, maka teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah wawancara secara mendalam (indefth interview)

observasi dan studi dokumentasi.

1. Wawancara (indefth interview)

Wawancara adalah suatu metode pengumulan data dengan cara

mendapatkan keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu47.

Artinya pengumpulan data dengan menanyakan secara langsung/tatap

muka dengan para responden untuk mendapatkan keterangan atau

informasi mengenai suatu masalah, yang dilakukan dengan sistematis

berdasarkan pedoman yang disusun sesuai dengan tujuan penelitian dan

sifatnya tidak terbatas. Wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh

keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan

penanganan perkara tindak pidana perambahan kawasan hutan Dalam

suatu wawancara terdapat dua pihak yaitu pencari informasi yang bisa

disebut dengan pewawancara atau interviewer, dalam hal ini adalah

penulis. Dipihak lain adalah informen atau responden.

47 Burhan Ashshofa, Op cit, Hal.95

lxxiv

Dalam penelitian ini wawancara mendalam di lakukan terhadap nara

sumber/responden yang telah ditentukan antara lain:

1. Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;

2. Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Wilayah II Liwa;

3. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Wilayah III Krui;

4. Penyidik Pegawai Negeri Spil Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan;

5. Polisi Kehutanan (POLHUT) Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan;

6. Kepolisian Resort Lampung Barat (Unit Reserse Kriminal);

7. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Liwa;

8. Ketua, dan Hakim Pengadilan Negeri Liwa;

9. Pemerintah Daerah Lampung Barat, (Dinas Kehutanan dan Sumber

Daya Alam);

2. Observasi

Metode observasi ini dilakukan selama melangsungkan pengamatan

lapangan termasuk kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain.

Observasi bermanfaat untuk memberikan informasi tambahan tentang

pemahaman suatu konteks dan fenomena yang akan diteliti.

3 . Studi Dokumen

Pengumpulan data sekunder dengan studi dokumentasi sebagai

pelengkap data, dan dokumen-dokumen tersebut diharapkan menjadi

sumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dimungkinkan

dioperoleh melalui wawancara dan observasi. Dokumentasi yang

berhubungan dengan penelitian ini adalah buku-buku, majalah, dokumen,

peraturan-peraturan, dan dokumen pendukung yang berhubungan dengan

penegakan hukum perambahan hutan.

lxxv

5. Teknik Analisis Data

Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metoda ilmiah

karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna

dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Menurut Lexy J. Moloeng

analisis data adalah proses mengatur urutan data dan mengorganisasikannya

ke dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehigga dapat ditemukan

tema dan dapat dirumuskan hipotesiskerja seperti yag disarankan data 48.

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik analisis kualitatif, yaitu cara pemilihan data yang menghasilkan data

deskriptif. Menurut Burhan Ashshofa data deskriptif adalah apa yang

dinyatakan oleh informen secra lisan maupun tulisan dan juga prilaku nyata

di amati dan dipelajari secara utuh. Penerapan metode kualitatif dalam

penelitian ini adalah untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya secara

operasional dengan menggunakan pendekatan deduktif dan interpretasi 49.

Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok

yaitu: Reduksi data, Sajian data, kesimpulan atau verifikasi data 50. Teknik

analisis kualitatif interaktif dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang

utuh antar ke tiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data, serta

verifiksi data) yaitu sebagai berikut:

48 Lexy J. Moloeng, Metode Peneitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2001,

Hal 103 49 Burhan Ashshofa, Ibid, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Hal. 74 50 H.B. Sutopo,Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, surakarta, 2006, hal.120

lxxvi

Gambar 3. Proses Analisis Data Interaktif (Interaktif Model of Analisis).

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah bagian analisis, berbentuk mempertegas,

memperpendek, membuat fokus, dan membuang hal-hal yang tidak

penting dan mengatur datasedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir

dapat disimpulkan51. Menurut B. Miles dan A. Michael Huberman dalam

Tjejep Rohendi Rohidi (1992 : 16) Reduksi data diartikan sebagai proses

pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis

dilapangan. Hal yang sangat penting di dalam reduksi data adalah analisis

yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak

perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga

kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

b. Sajian data

Sajian data berupa rangkaian nformasi yang tersusun dalam bentuk

kesatuan yang dapat dimungkinkan untuk menarik kesimpulan dan

pengambilan tindakan dalam penelitian yang dilakukan. Sajian data

sebaiknya dalam bentuk tabel, gambar, matriks, jaringan kerja, kaitan

51 H.B. Sutopo,Ibid, hal.12

lxxvii

kegiatan sehingga dapat memudahkan peneliti untuk mengambil

kesimpulan. Peneliti diharapkan sejak awal dapat memahami arti dari

berbagai hal yang ditemui sejak dimulainya penelitian, dengan demikian

diharapkan dapat menarik kesimpulan yang terus dikaji dan diperiksa

seiring dengan perkembangan penelitian yang dilakukan.

c. Simpulan dan Verifikasi

Kesimpulan merupakan sebagian dari suatu konfigurasi yang utuh,

kesimpulan di verifikasi selama penelitian berlangsung. Dalam penarikan

simpulan (verifikasi) ini tidak terlepas dari reduksi dan penyajian data,

penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan dari

konfigurasi-konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasi selama

penelitian berlangsung untuk dapat memberikan makna yang telah teruji

kebenarannya. Data yang telah dikumpulkan akan memberikan makna

apabila data-data tersebut dibuat simpulan dan diverifikasi.

lxxviii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum tentang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan a. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan

kawasan konservasi terbesar ketiga di Sumatera. (setelah Taman

Nasional Gunung Leuser di Nangroe Aceh Darussalam, dan Taman

Nasional Kerinci Sebelat di Propinsi Jambi) Pada awalnya Bukit

Barisan Selatan merupakan kawasan Suaka Margasatwa yang

ditetapkan pada tahun 1935 melalui Besluit Van der Gouverneur Indie

No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SS I) dan

diperuntukkan bagi perlindungan hidupan liar khususnya mamalia

besar yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Badak

(Dicerorhinus sumatrensis) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus

sumatranus). Ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui

surat pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal

14 Oktober 1982. 52. Kemudian pada tahun 1997 dibentuk Balai

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melalui SK Menteri Kehutanan

No. 185/Kpts-lI/1997 tanggal 31 Maret 1997. Pada tahun 2004

TNBBS ditetapkan sebagai salah satu dari enam taman nasional yang

ditetapkan sebagai natural wolrd haritage site. Selain kawasan darat,

ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas

± 21.600 Ha dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisn Selatan

melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990

tanggal 15 Februari 1990.53

52 Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober

1982 53 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

lxxix

b. Luas dan Kedudukan

Kawasan TNBBS meliputi areal seluas ± 356.800 Ha yang

membentang dari ujung Selatan bagian Barat Propinsi Lampung

sampai bagian selatan Propinsi Bengkulu yang secara geografis

terletak pada 4°29’ - 5°57’ LS dan 103°24’-104°44’ BT.

Secara administrasi pemerintahan, kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus

(Kecamatan Kotaagung, Wonosobo, Pematang Sawa dan Semaka),

Propinsi Lampung seluas ± 10.500 Ha, Kabupaten Lampung Barat

(Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, Bengkunat,

Balik Bukit, Belalau, Sekincau, Way Tenong, Sumberjaya dan Suoh),

Propinsi Lampung seluas ± 280.300 Ha dan Kabupaten Kaur

(Kecamatan Nasal, Bintuhan, Tanjung Iman, Padang Guci, Muara

Saung, dan Maje), Propinsi Bengkulu seluas ± 66.000 Ha. Sementara

bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional berbatasan

dengan Propinsi Sumatera Selatan, masing-masing dengan Kecamatan

Banding Agung, Kecamatan Pembantu Mekakau Ilir dan Kecamatan

Pulau Beringin, Kabupaten Ogan Komering Ulu.

Tabel 3 : Dasar Penetapan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.54

NO KAWASAN

HUTAN STATUS LUAS (HA) SURAT

KEPUTUSAN MENTERI

TANGGAL LOKASI

01 02 03 04 05 06 07 1. TNBBS TN 356.800 Surat Pernyataan

Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982

14-10-1982 Propinsi Lampung (Kab. Tanggamus dan Kab. Lampung Barat) dan Propinsi Bengkulu (Kab. Kaur)

2. KONSER VASI LAUT

CAL 17.280,75 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

23-08-2000 Propinsi Lampung

JUMLAH 374.080,75 - - - Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

54 Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982 dan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

lxxx

Tabel 4 : Luas Kawasan Per Propinsi / Kabupaten.55

NO. KAWASAN KONSERVASI LOKASI KAWASAN LUAS (HA) PROSENTASE

01 02 03 04 05 1. TAMAN NASIONAL

BUKIT BARISAN SELATAN

PROP. LAMPUNG : 283.145,00 81,40 % - Kab. Tanggamus 10.500,00 3,02 % - Kab. Lampung Barat 272.645,00 78,38 % PROP. BENGKULU : 64.711,00 18,60 % - Kab. Bengkulu Selatan 64.711,00 18,60 %

2. CAGAR ALAM LAUT BUKIT BARISAN SELATAN

PROPINSI LAMPUNG: 17.280,75 - Kab. Lampung Barat 13.804.75 79,89% - Kab. Tanggamus 3.476 20,11%

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

Tabel 5 : Luas Kawasan Per Wilayah

NO.

KAWASAN KONSERVASI

BIDANG PENGELO-LAAN TN

LUAS (HA)

SEKSI PENGELOLA

AN TN

LUAS (HA) RESORT

LUAS (HA)

1. TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN, 356.800 HA

WILAYAH I SEMAKA

178.091 WILAYAH I SUKARAJA

94.765 ULU BELU 6.741 TAMPANG 20.091 WAY NIPAH 16.567 SUOH 37.560 SUKARAJA ATAS 13.806

WILAYAH II BENGKUNAT

83.326 WAY HARU 28.224 PEMERIHAN 17.902 BIHA 21.906 NGAMBUR 15.294

WILAYAH II LIWA

178.709 WILAYAH III KRUI

96.179 PUGUNG TAMPAK

18.493

BALAI KENCANA 17.022 BALIK BUKIT 23.011 LOMBOK 24.238 SEKINCAU 13.415

WILAYAH IV BINTUHAN

82.530 MERPAS 30.504 MAKAKAU ILIR 26.425 MUARA SAUNG 25.601

2. CAGAR ALAM LAUT BUKIT BARISAN SELATAN, 21.600 HA

WILAYAH I SEMAKA

15.777,50 WILAYAH I SUKARAJA

12.301.5 TAMPANG 12.301,5

WILAYAH II BENGKUNAT

3.476 WAY HARU 3.476

WILAYAH II LIWA

1.503,25 WILAYAH III KRUI

1.503,25 PUGUNG TAMPAK

1.503,25

JUMLAH ( 1 + 2 ) 378.400 - 378.400 - 378.400

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

55 - Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus

2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Lampung;

- Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Bengkulu.

- Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Pebruari 1990, bahwa pengelolaan CAL.BBS digabungkan dengan TNBBS.

lxxxi

Secara rinci luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Per-Propinsi

PROPINSI LAMPUNG PROPINSI BENGKULU - Kab. Tanggamus : 10.500 Ha

(2,8% dari luas kabupaten) - Kab. Kaur : 66.000 Ha (30% dari

luas kabupaten)

- Kab. Lampung Barat: 280.300 Ha (55% dari luas kabupaten)

Luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Keseluruhan - Area darat : 356.800 Ha - Cagar Alam Laut : 21.600 Ha - Total Area : 378.400 Ha

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008

Gambar 4 : Peta Kawasan TNBBS

lxxxii

c. Organisasi dan Tata Kerja

Struktur organiasi Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan merupakan Balai Besar Tipe B yang memiliki 3 (tiga) bidang

terdiri dari 1 (satu) bidang teknis dan 2 (dua) bidang pengelolaan

Taman Nasional. Bagan struktur organisasi Balai Besar Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.

BALAI BESAR TNBBS (KOTAAGUNG)

BAGIAN TATA USAHA

SUB BAG. UMUM

SUB BAG PERENCANAA

N DAN KERJASAMA

SUB BAG

DATA EVLAP DAN HUMAS

BIDANG

TEKNIS KONSERV. TN

BIDANG PENGEL.TN. WIL. I SEMAKA

BIDANG PENGEL.TN. WIL. II LIWA

SEKSI PEMANFAATAN

DAN PELAYANAN

SEKSI PERLINDUNGANPENGAWETAN

DAN PERPETAAN

SEKSI PENGELOLA

AN TN WILAYAH I SUKARAJA

SEKSI PENGELOLAAN TN WILAYAH II

BENGKUNAT

SEKSI PENGELOLAAN TN WILAYAH III

KRUI

SEKSI PENGELOLAAN TN WILAYAH IV

BINTUHAN

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

Gambar 2. Bagan Organisasi Balai Besar TNBBS (TIPE B). 56

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

56 Permenhut Nomor : P. 03/Menhut-II/2007 Tanggal : 1 Pebruari 2007

lxxxiii

d. Kerusakan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan akibat perambahan.

Salah satu faktor penyebab kerusakan kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan adalah disebabkan karena perambahan hutan,

disamping terjadi karena illegal logging. Perambahan di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan terjadi semenjak tahun 1950an, dan

sekarang masih merupakan kebun yang masih produktip yang

ditanami dengan tanaman kopi, lada, coklat dan tanaman pertanian

lainnya.

Tabel 7 : Data Perambahan Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .57

TAHUN JUMLAH / LUAS PERAMBAHAN

JUMLAH PERAMBAH YANG TURUN

SAMPAI AKHIR TAHUN 2008

01 02 03 04 sampai tahun

2008 18.015 KK / 57.089 Ha 1.817 KK (3.634 ha) 16.198 KK (53.455 ha) Jumlah 18.015 KK / 57.089 Ha 1.817 KK (3.634 ha) 16.198 KK (53.455 ha)

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008

Tabel 8 : Jumlah Pegawai Negeri Sipil Dan Calon Pegawai Negeri Sipil Balai Besar TNBBS Menurut Pendidikan

NO

TINGKAT PENDIDIKAN JUMLA

H

Jml. total SARJANA SARJANA

MUDA SLTA

SMP SD K NK S.2 K NK Jml. K NK Jml. K NK Jml.

1. 4 10 14 28 5 2 7 18 70 88 5 2 35 95 130

JML 4 10 14 28 5 2 7 18 70 88 5 2 35 95 130

Keterangan : K = Kehutanan NK = Non Kehutanan

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

57 Interpretasi Citra Spot 5, tahun 2005 oleh WCS-IP dan TNBBS.

lxxxiv

Tabel 9 : Grafik Penanganan Kasus Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 2001 s/d Oktober 2008

TANDAK PIDANA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

PERAMBAHAN 0 1 6 10 3 24 5 5

ILLEGAL LOGGING 2 4 12 17 12 6 3 3

PERBURUAN LIAR 0 3 13 9 1 3 6 -

LAIN-LAIN 0 0 0 0 3 0 - 1

TOTAL 2 8 31 36 19 33 14 9

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008

2. Tinjauan tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan

Hukum Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan.

a. Pengertian Penegakan Hukum

Seacara konsepsional menurut Soerjono Soekanto inti dari

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelesaikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.58

Selanjutnya Jimly Asshiddiqie dalam Sabian Utsman membagi

pengertian penegakan hukum menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

1. Penegakan hukum (law enforcement) dalam artian luas yaitu

mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum

58 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1983 hal-5

58 Sabian Utsman, menuju penegakan hukum responsive (konsep Philippe Nonet & Philip Selznick Perbandingan sipil law System & Common Law System Spiral Kekerasan & Penegakan Hukum), Pustaka Plejar, Yogyakarta, 2008

lxxxv

serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau

penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum baik

melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan

mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.

2. Penegakan hukum dalam arti sempit yaitu mencakup kegiatan

penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan

terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih

sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran

aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-

badan peradilan.

Proses penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan

hukumnya dibuat atau diciptakan. Dalam nada yang agak ekstrim bisa

dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum

dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan

hukum yang harus dilaksanakan itu dibuat. Apabila misalnya bedan

Legislatif membuat suatu peraturan yang sulit sekali dilaksanakan

dalammasyarakat, maka saat itu sebenarnya badan tersebut telah

menjadi arsitekbagi kegagalan para penegak hukum dalam menegakkan

aturan tersebut. itulah sebabnya para pembuat Undang-undang juga

merupakan unsur penegak hukum. Kemudian unsur penegak hukum

menempati posisi yang sangat penting, sebab para penegak hukum yang

lebih utama menentukan dilaksanakan atau tidaknya suatu peraturan.

Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan

yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang

dapat diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu

hukum acara seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan

pekerjaan menegakan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini

hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat

lxxxvi

sederhana 59. Dalam kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan

yang terjadi penegakan hukum itu mengandung pilihan dan

kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan yang

kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas tersebut

diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empirik sama

sekali tidak dapat mengabaikannya.60 Menurut Soerjono Soekanto61

menyebutkan bahwa secara konseptual, inti dan arti penegakan hukum

terletak pada kegiatan meyerasikan hubungan niali-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah

dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup. Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, agar suatu penegakan

hukum dapat berjalan ada lima faktor yang harus dipenuhi :

1. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri;

2. Petugas yang menerapkan atau menegakan;

3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan

kaedah hukum;

4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut;

5. Budaya.62

Kelima faktor tersebut harus mempunyai hubungan yang serasi,

kepincangan salah satu unsur akan mengakibatkan bahwa seluruh

sistem akan terkena dampak negatifnya. Selanjutnya Satjipto Raharjo

berpendapat bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam proses penegakan

hukum dibagi dalam dua golongan besar, yaitu unsur-unsur yang

mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat.

59 Satjipto Raharjo, Sosoilogi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah,

Surakarta, Muhamadiyah University Press Tahun 2002 hlm 173 60 Ibid. 61 Soerjono Soekanto, Of cit- hlm 5.

59 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu tinjauan Sosiologis, Bandung Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm. 24

lxxxvii

Sebagai contoh unsur yang mempunyai keterlibatan yang dekat dengan

proses penegakan hukum adalah legislatif atau pembuat undang-undang

dan polisi, sedang unsur pribadi dan sosial mempunyai keterlibatan

yang jauh 63. Hal ini dapat dipahami karena legislatif adalah badan yang

memproduksi peraturan, sedang polisi adalah badan yang melaksanakan

peraturan sehingga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan

proses penegakan hukum, sedang masyarakat adalah obyek yang

terkena peraturan sehingga wajar apabila keterlibatannya dengan proses

penegakan hukum terlihat lebih jauh. Oleh karena itu menurut Satjipto

Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai

keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan

pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan

hukum itu. Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu sangat

tergantung oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.64 Penegakan

hukum dilihat dari kacamata normatif memang merupakan

permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamata

sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang dan

merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda

Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan

serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai

kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya (di bidang

penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat

penuntut umum kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana

pidana) 65

Dari hasil penelitian dan wawancara dalam penegakan hukum

terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

63 Ibid 64 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, Bandung Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. Tahun 2001 hlm.2

lxxxviii

berdasarkan Teori Penegakan hukum yang digagas oleh Soerjono

Soekanto di pengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti materil adalah Peraturan tertulis

yang berlaku umum yang dibuat oleh penguasa pusat dan daerah

yang sah. Aturan merupakan pedoman untuk menjaga keselamatan

kawasan hutan. Aturan-aturan yang diberlakukan terkadang

penerapan dilapangan kurang atau tidak dijalankan sebagaimana

mestinya. Akibatnya kawasan hutan yang dirambah kerusakan yang

terjadi semakin parah.

Mengenai berlakunya undang-undang terdapat beberapa azas

yang tujuannya agar undang-undang tersebut mempunyai dampak

yang positif. Artinya Undang-undang tersebut mencapai tujuannya

sehingga efektif.66

Azas-azas tersebut antara lain yaitu:

1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setlah undang-undang itu dinyatakan berlaku;

2. Undang-undang ang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

3. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampngkan undang-undang yang bersifat umum;

4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu;

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; 6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesejahteraan spritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi).

Dalam mekanisme penyusunan undang-undang merupakan hal

yang sangat penting, karena tidak hanya menyangkut hal teknis

(prosedur) tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan

66 Soerjono Soekanto, Ibid

lxxxix

(stakeholders). Berkaitan dengan keterlibatan para pihak maka isu

yang muncul kemudian adalah keterwakilan (representativeness)

tingkat keterlibatan (degree of participation) dan pegaruh infut yang

diberikan pada produk akhir dari peraturan perundangan.67

Hukum yang berkembang dibidang kehutanan ditandai dengan

terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dalam undang-undang tersebut telah dimuat larangan yang disertai

ancaman pidana, namun keberadaan undang-undang yang spesifik

yang mengatur tentang kehutanan tidak serta merta penegakan

hukumnya menjadi hal yang mudah, penegakan hukum dalam

bentuk preventif dan represif yang terarah dan terukur.

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

masih ada beberapa kelemahan diantaranya mengenai kewenangan

penyidik pegawai negeri sipil seperti yang di sampaikan oleh Maris

Feriyadi, S.H., M.Hum:

“bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil dalam menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik polri sebagai koorwas PPNS, hal ini berbeda dengan kewenangan yang ada pada penyidik pegawai negeri sipil dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan68.

Sama halnya seperti yang disampaikan oleh Dody Saputra Thamrin, S.H., M.H.

“bahwa dalam ketentuan pidana yang dimuat dalam pasal 78 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak ada sanksi minimal melainkan sanksi maksimal, hal ini akan berpengaruh dalam tahap penuntutan 69.

67 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Persepektif Kebijakan Hukum Pidana,

Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2008

68 Wawancara dengan Maris Feriyadi, S.H., M.Hum, Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Kantor Balai Besar TNBBS, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 09.00 WB

69 Wawancara dengan Dodi Saputra Thamrin, S.H., M.H. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui, di kantor Cabang kejaksaan Negeri Liwa di Krui, tanggal, 05 Januari 2010, pukul 08.30 WIB

xc

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam mengadili tindak pidana

di bidang Kehutanan ada beberapa fakta yang muncul dalam

persidangan seperti tersangka tidak mengetahui tentang kawasan

hutan, dan perbuatan yang dilarang. Seiring dengan apa yang

disampaikan oleh Rendra, S.H.,

“bahawa untuk memutus perkara di bidang kehutanan kita melihat fakta-fakta yang muncul dalam persidangan, seperti latar belakang terdakwa dan akibat dari perbuatannya dan sebagainya, serta undang-undang nomor 41 tentang Kehutanan memuat sanksi maksimal bukan sanksi minimal, masih sering terjadi perbedaan persepsi antara jaksa dengan hakim dalam memandang kasus-kasus Kehutanan 70.

2. Aparat Penegak Hukum

Masalah penegakan hukum adalah sangat luas karena

mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung

berkecimpung dibidang penegakan hukum atau Law enforcement.

Secara sosiologis penegak hukum mempunyai kedudukan (status)

dan pranan (role) kedudukan (sosial) yang merupakan posisi tertentu

dalam kemasyarakatan. Orang yang mempunyai kedudukan tertentu

dalam masyarakat biasa disebut pemegang peran (role occupant)

peranan tertentu dapat dijabarkan dalam unsusr-unsur :

a. Peranan yang idial (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expected role)

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)

d. Peranan yang sebenarnya (actual role)

Pihak yang masuk dalam kategori penegak hukum dalam

konteks perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

termasuk Polisi Kehutanan (POLHUT), Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (PPNS) Kehutanan, Polisi, Jaksa dan Hakim, aparat hukum

70 Wawancara dengan Rendera,S.H., Hakim Pengadilan Negeri Liwa, di kantor Pengadilan Negeri Liwa,tanggal, 14 Januari 2010, pukul 11.00 WIB.

xci

tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama tidak akan mampu

untuk melakukan upaya penegakan preventif dan represif tanpa

dukungan masyarakat dan unsur lembaga pemerintahan lainnya,

lebih jauh lagi sering ditemukan faktor teknis dan non teknis yang

mempengaruhi kinerja penegak hukum misalnya deteksi dini yang

memerlukan partisipasi masyarakat, pendanaan penyelidikan,

penyidikan, penahanan dan sebagainya.

Dari hasil penelitian dokumen bahwa keadaan atau Faktual

dari tenaga pengaman hutan di Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan sebagai berikut:

Tabel 10 : Keadaan Tenaga Perlindungan Hutan

NO. UNIT KERJA

JENIS TENAGA

KETERANGAN POLHUT (org)

TPHL (org)

POLHUT DAN TPHL

(org)

PPNS (org)

SATPAM (org)

PABIN (org)

01 02 03 04 05 06 07 08 09 1. BALAI

BESAR TNBBS

57 - 57 16 - 1 - Jumlah PPNS 16 orang (1 orang Peg Non Struktural dan 15 orang fungsional Polhut)

- Anggota SPORC = 7 orang

Keterangan : TPHL : Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil PABIN : Perwira Pembina Polisi Kehutanan (Polri) POLHUT : Polisi Kehutanan SATPAM : Satuan Pengamanan

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

xcii

Tabel 11 : Pelatihan Tenaga Pengaman Berdasarkan Jenis Pelatihan

NO JENIS LATIHAN JUMLAH

INSTANSI / UPT (lokasi pelatihan) WAKTU RENCANA

(orang) REALISASI

(orang) 01 02 03 04 05 06 1. SPORC/Satuan Polhut

Reaksi Cepat 15 7 SECAPA Polri

Sukabumi 8 Nop. – 19 Des. 2008

2. Pengamanan Hutan Partisipatif

2 2 BPPK Bogor 24 Okt. – 7 Nop.2008

3. Penjenjangan Polhut Pelaksana Lanjutan

1 1 Pusdiklat Kehutanan Bogor

18 Juni – 17 Juli 2008

4. Penjenjangan Polhut Pelaksana Lanjutan

2 2 BPPK Bogor 14 Maret -12 April 2008

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008

Penegakan hukum harus didukung oleh aparat yang cakap dan

profesional dalam manjalankan tugas, seperti yang disampaikan oleh

Ir. Kurnia Rauf, yang menjelaskan:

“bahwa Jumlah personil pengamanan hutan yang ada di Balai Basar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Sekarang Berjumlah 57 (limapuluh tujuh) orang personil, dan mengawasi luas kawasan dengan luas ± 356.800 Ha. artinya jumlah tersebut belum sebanding antara rasio kecukupan petugas dengan luas kawasan yang harus dijaga. jadi sekitar perbandingan antara ± 1: 6000 ha. mengingat topografi kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang merupakan tipe berbukit-bukit. Kemampuan teknis aparat yang belum memadai, serta wawasan aparat masih perlu ditingkatkan”71. Hal serupa juga disampaikan oleh Ir. Maryanto:

“bahwa sumber daya manusia baik dari segi kwalitas maupun kwantitas belum memadai dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Serta masih minimnya pengalaman dan pengetahuan aparat, baik Polisi kehutanan maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara langsung menangani masalah perambahan hutan, artinya Rasio perbandingan antara jumlah tenaga pengaman hutan dengan luas kawasan yang harus dijaga belum sesuai”.72

71 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS kotaagung, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 12.30 WIB.

72 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional wilayah II Liwa, di kantor Bidang PTN Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.

xciii

Aparat yang terlibat langsung dalam penanganan perambahan hutan

di taman nasional bukit barisan selatan yang berada pada lapis

pertama yaitu Polisis kehutanan dan penyidik pegawai negeri sipil

kehutanan hal ini seperti yang dijelaskan oleh Maris Feriyadi, S.H.,

M.Hum:

“bahwa tenaga pengaman baik Polisi Kehutanan maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil jumlahnya belum mencukupi jika dibandingkan dengan jumlah luas kawasan yang harus diawasi. Dengan jumlah tenaga pengaman yang masih minim sehingga pengawasan terhadap kawasan hutan belum bisa di cover secara keseluruhan. Kemampuan dan pengetahuan dari aparat dalam mendeteksi terjadinya perambahan hutan masih sangat minim73.

Dalam organisasi Balai besar taman nasional bukit barisan

selatan dibagi dalam resort-resort dalam penyebaran personil

dilapangan untuk lebih efektifnya pengamanan terhadap kawasan

hutan seperti yang disampaikan oleh Yulizar, S.P.:

“bahwa masih minimnya Jumlah aparat Polhut belum mencukupi dalam pangamanan kawasan hutan, seperti pada satu Resort hanya terdapat 2 (dua) sampai 4 (empat) orang personil yang harus mengawasi kawasan hutan seluas ± 28.000 ha. dengan topografi hutan yang berbukit-bukit.serta pemahaman terhadap aturan tentang Kehutanan masih kurang, sehingga menimbulkan keragu-raguan dalam melakukan tindakan74.

Aparat kepolisian yang merupakan criminal just system dalam

menangani kasus kehutanan seperti yang disampaikan oleh M. Daud,

S.H.:

“bahwa dalam tahap penyidikan tindak pidana kehutanan personil polri tidak memiliki kriteria tersendiri, artinya instansi kepolisian yang merupakan korwas dari PPNS memberikan pembimbingan dan pengawasan, dan selama ini banyak kasus-kasus kehutanan yang disidik langsung oleh penyidik pegawai negeri sipil kehutanan,

73 Wawancara dengan Maris Feriyadi, Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku Penyidik Pegawai Negeri sipil, diBalai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, tanggal, 04 januari 2010, pukul 09.00 WIB.

74 Wawancara dengan Yulizar, S.P., Koordinator Resort Pugung Tampak, Seksi Wilayah III Krui, Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Liwa, tanggal,15 Januari 2010, 15.00 WIB.

xciv

namun yang harus diperhatikan yaitu koordinasi antara penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan penyidik Polri masih sangat minim bahkan masih jarang dilakukan dan hanya bersifat insidentil saja 75.

Begitu juga dengan aparat kejaksaan, seperti yang disampaikan

oleh Dody Saputra Thamrin, S.H., M.H. :

“bahwa dalam menangani kasus kehutanan aparat kejaksaan tidak memiliki kriteria tersendiri atau memiliki pendidikan yang khusus dalam melakukan tindakan penelitian berkas, membuat da’waan, melakukan penuntutan, sampai dengan ekskusi, hanya saja yang diutamakan adalah jaksa-jaksa senior yang pernah menangani kasus-kasus kehutanan, serta dalam melakukan rencana penuntutan terhadap suatu perkara di lakukan secara berjenjang mulai dari Jaksa Penuntut Umum – Kacabjari – Kajari 76.

Muara ahir dari peneyelesaian suatu tindak pidana adalah pada

tingkat pengadilan, Sama halnya dengan apa yang disampaikan oleh

Rendra, S.H. hakim pada pengadilan negeri Liwa yang menyatakan:

“bahwa, hakim dalam mengadili kasus-kasus kehutanan yang diutamakan adalah hakim-hakim yang berpengalaman dalam kasus kehutanan, sedangkan dari jumlah sudah mencukupi, akan tetapi masih kesulitan dalam mengumpulkan keterangan dalam persidangan khususnya saksi ahli, dan masih kurangnya pemahaman dalam melihat dampak dari kerusakan yang diakibatkan dari perbuatan terdakwa 77.

3. Sarana dan Fasilitas

Sarana dan prasarana adalah merupakan alat untuk mencapai

tujuan dalam penanganan perambahan hutan, dengan ketiadaan atau

keterbatasan sarana dan prasarana maupun penunjang lainnya akan

sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanganan perambahan

hutan khususnya di Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan. Dari

hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana dan prasarana dalam

75 Wawancara dengan M. Daud, S.H., Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Barat, di kantor POLRES Lampung Barat Liwa, tanggal, 12 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.

76 Wawancara dengan Dody Saputra Thamrin, S.H., M.H. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui, tanggal,05 Januari 2010, pukul 08.30 WIB.

77 Wawancara dengan Rendera,S.H., Hakim Pengadilan Negeri Liwa, di kantor Pengadilan Negeri Liwa,tanggal, 14 Januari 2010, pukul 11.00 WIB.

xcv

menunjang penegakan hukum terhadap tinak pidana perambahan

hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:

Tabel 12 : Sarana Dan Prasarana Pengamanan Hutan

NO. JENIS SARANA DAN PRASARANA SATUAN JUMLAH KETERANGAN

01 02 03 04 05 1. Kendaraan Roda Empat Unit 6 2. Senjata Api Pucuk 36 35 PM.1.A.1dan 1

pistol

3. HT Buah 4 4. Pondok Kerja Buah 28 11 rusak berat 5. Pondok Jaga Buah 28 10 rusak berat 6. Pos Jaga Buah 18 12 rusak berat 7. Shelter Buah 23 15 rusak berat 8. Portal Buah 7 Rusak berat 9. Pintu Gerbang Buah 12

10. SSB/RIG Buah 15 Baik 11. Speed boat Unit 2 2 rusak berat 12. Alat Pemadam Kebakaran Unit - 15 Hand Sprayer

dan 10 Jet Shooter 13. Borgol Buah 5 Baik 14. Kapal Motor 85 PK Unit 1 15. Kantor Sub Seksi Buah 2 16. Pal Batas Buah 1.475 17. Menara Pengamat Pengintai Buah 5 rusak berat 18. Kandang Satwa Buah 4 3 rusak berat,1

baik 19. Sepeda motor unit 31

Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.

Jumlah Sarana prasarana pengamanan hutan masih belum

mencukupi untuk menunjang pelaksanaan tugas aparat

dilapangan. seperti yang disampaiakan oleh Ir. Kurnia Rauf:

“bahwa dalam 1 (satu) Resort pengamanan hutan yang jumlah personilnya ada 2 - 4 orang personil hanya ada 1 (satu) unit kenderaan operasional roda 2 (dua), gedung/Pos kerja sarana prasarananya belum terpenuhi semuanya, serta Kondisi sarana pengaman hutan yang ada saat ini sangat memperihatinkan”78.

78 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagung, tanggal, 04 Januari 2010. ukul 12.30 WIB

xcvi

Sama halnya dengan apa yang disampikan oleh Ir. Maryanto:

“bahwa belum terpenuhinya saranan dan prasarana yang memadai dalam mendukung tugas pengamanan terhadap kawasan. baik sarana yang tidak bergerak seperti kantor resort yang belum dilengkapai dengan sarana prasarana pendukung lainnya, dan sarana mobilitas, sehigga masih berpengaruh terhadap pengelolaan dan pengamanan kawasan taman nasional”79.

Senada juga dengan apa yang disampaikan oleh Maris Feryadi:

“bahwa sebagai dampak dari belum terpenuhinya sarana dan prasarana dalam penanganan tindak pidana perambahan kita masih kurang tanggap dan kurang cepat dalam mengatasinya, karena mengingat topografi dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang berbukit-bukit dan jarak Tempat Kajadian Perkara (TKP) yang cukup jauh dan membuthkan waktu yang lama”80.

4. Faktor Masyarakat

Ukuran atau indikator kesadaran masyarakat terhadap hukum

yaitu terletak pada kepatuhan terhadap ketentuan hukum. Kepatuhan

dan ketaatan masyarakat terhadap hukum akan menunjukkan

efektifitas berlakunya hukum di dalam masyarakat.

Dari hasil wawancara terhadap masyarakat yang ada disekitar

kawasan hutan (tokoh masyarakat) yang berbatasan dengan kawasan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari mereka mengatakan:

”bahwa perambahan terjadi dikarenakan tuntutan ekonomi, dan juga tingkat pengetahuan masyarakat terhadap fungsi dan manfaat dari kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan banyak dari mereka yang belum mengetahui, untuk itu diperlukan sosialisasi atau penyuluhan secara berkala terhadap masyarakat, agar tumbuh kesadaran hukum dalam masyarakat.81

79 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional wilayah II Liwa, di kantor Bidang Pengelolaan TN Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.

80 Wawancara dengan Maris Feriyadi, Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku Penyidik Pegawai Negeri sipil, diBalai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, tanggal, 04 januari 2010, pukul 09.00 WIB.

81 Wawancara dengan Samri Hakim, Peratin (Kepala Desa) Rataagung, Desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional bukit barisan selatan, kec. Lemong, kab. Lampung Barat, tanggal, 18 Januari 2010, pukul 13.00 WIB

xcvii

Disamping itu karena sebagian besar luas daerah Lampung

Barat (salah satu Kabupaten yang merupakan lokasi Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan) yang merupakan kawasan hutan, seperti

yang disampaikan oleh Ir. Amirian, M.P.:

”bahwa mengingat luas wilayah Kabupaten Lampung Barat yang ± 78% wilayahnya adalah kawasan hutan, dan sisanya digunakan untuk pemukiman, perkantoran, pembangunan sarana umum lainnya, sehingga masyarakat melakukan perambahan terhadap hutan, karena diluar kawasan tidak tersedia lahan pertanian, dan mengingat masyarakat Lampung Barat khususnya adalah masyarakat agraris atau bertani yang masih menggunakan pola tradisional, kopi, lada menjadi tanaman komoditinya” 82.

5. Faktor Budaya

Faktor budaya adalah merupakan hasil karya, cipta, dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.83

Kebudayaan dalam penelitian ini yaitu merupakan kebudayaan

(sistem) hukum yang pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik

(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari).

Friedmen menelaah budaya hukum dari berbagai perspektif. Ia

menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub

budaya hukum yang berpengaruh secara positif dan negatif terhadap

hukum nasional. Friedman membedakan antara budaya hukum

internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal

merupakan budaya hukum dari masyarakat yang melaksanakan

tugas-tugas hukum secara khusus (polisi, jaksa dan hakim) dalam

82 Wawancara dengan Ir. Amirian, M.P., Sekretaris Dinas Kehutanan dan SDA kabupaten Lampung Barat, di kantor Dinas Kehutanan dan SDA Lampung Barat, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB

83 Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983 hal-8

xcviii

menjalankan tugasnya atau budaya aparat penegak hukum. Budaya

hukum eksternal yaitu budaya masyarakat pada umumnya. Karena

tuntutan ekonomi maka tidak jarang masyarakat yang berada

disekitar hutan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk melakukan

penebangan dan perambahan terhadap kawasan hutan, kondisi yang

demikian didukung oleh faktor kemiskinan dan masih kurangnya

kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar hutan. keadaan

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang selalu dalam

kemiskinan mengakibatkan budaya hukum masyarakat yang dulunya

sangat menghormati dan mentaati peraturan yang dibuat oleh

pemerintah menjadi luntur.

Dari hasil penelitian terhadap faktor budaya maka budaya

masyarakat khususnya yang berada disekitar kawasan adalah

merupakan masyarakat yang agraris atau bertani yang sudah turun

temurun dari nenek moyang sampai sekarang, dimana pola bertani

masih secara tradisional, Selanjutnya kurangnya keahlian dibidang

lain dapat juga mendorong untuk melakukan kegiatan perambahan

hutan karena tidak ada pilihan lain, dan dilihat dari kepastian usaha

lebih menjanjikan serta dapat menjamin untuk kelangsungan hidup

anggota keluarganya. Perambahan dilakukan dengan harapan kondisi

ekonomi keluarga akan menjadi lebih baik lagi. Biasanya kegiatan

perambah juga dilakukan karena faktor kebiasaan dari generasi yang

sebelum-belumnya dan kebiasaan itu masih terus dipelihara dan

dijalankan oleh generasi selanjutnya.

xcix

3. Upaya yang dilakukan dalam penanganan perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

a. Upaya Preventif

Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) sudah sering

dilakukan baik melalui operasi represif maupun dalam bentuk

kegiatan pemberdayaan dan pembinaan daerah penyangga yang

difokuskan pada peningkatan ekonomi masyarakat di desa

penyangga, penyuluhan dan pembinaan partisipasi masyarakat,

optimalisasi pemanfaatan, Namun demikian, upaya tersebut kurang

didukung oleh input sumberdaya yang memadai dan kurang

mendapat dukungan dari pihak pemerintah daerah sehingga hanya

efektip untuk kasus-kasus perambahan dalam skala kecil, sementara

tekanan perambahan makin terus meningkat 84.

Dari hasil penelitaian penegakan hukum terhadap perambahan

hutan di Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperoleh data

sebagai berikut:

Perambahan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan terjadi sejak lama, tahun 1950an dan sudah menimbulkan

masalah yang sangat besar bagi penyelamatan tujuan dan fungsi

taman nasional dan pembangunan dimasa yang akan datang. Seperti

yang disampaikan oleh Ir. Kurnia Rauf Kepala Balai Besar Taman

nasional Bukit Barisan Selatan bahwa:

“Upaya penegakan hukum terhadap perambahan hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan pendekatan preventif sudah sejak lama kita lakukan seperti menggelar pertemuan-pertemuan atau mengadakan Seminar dan lokakarya dengan Pemerintah Daerah serta jajaran penegak hukum lainnya seperti Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan. dan dengan semua unsur terkait

84 Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Master Plan Penurunan Perambahan, 2009.

c

lainnya, yaitu dengan tujuan untuk membangun visi, misi, dan konsep yang akan dijalankan secara bersama dalam membangun dan mengelola kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan serta tindakan-tindakan yang perlu diselesaikan secara bersama”85.

Selain beberapa usaha yang telah dilakukan oleh pihak

pengelola Balai Taman Nasional bukit Barisan Selatan yaitu

penyuluhan dan sosialisasi tentang fungsi, manfaat dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku terkait dengan kegiatan yang

diperbolehkan dan dilarang dalam kawasan TNBBS dengan sasaran

masyarakat perambah khususnya, yang intinya antara lain:

1) Penegasan kepada perambah bahwa pembukaan lahan dalam

kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk dijadikan

lahan perkebunan dilarang berdasarkan perundang-undangan, dan

dapat diancam dengan pidana.

2) Penertiban para perambah dengan tujuan agar para perambah

tidak melakukan kegiatan illegal dalam kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Seatan.

Upaya penanganan perambahan hutan secara preventif selain melalui

sosialisasi dan penyuluhan dapat pula dilakukan dengan:

1) Pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat yang ada

disekitar hutan, atau peningkatan pengetahuan dan keterampilan

petani dalam mengoptimalkan fungsi dan manfaat Taman

Nasional melalui pemantapan kelembagaan kelompok-kelompok

masyarakat.

2) Peningkatan usaha-usaha ekonomi masyarakat sekitar kawasan.

seperti kegiatan ekonomi yang dapat dikembangkan diantaranya

adalah sebagai berikut:

a. Pengembangan Usaha Jasa Lingkungan dan Pariwisata

85 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf , Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagung, tanggal, 14 Januari 2010, pukul 12.30 WIB

ci

Masyarakat turut terlibat dalam mengembangkan sektor wisata

sebagai pemilik wirausaha wisata (penginapan), home stay,

rumah makan, pemandu wisata (guide) dan lain-lain.

b. Budidaya Tanaman Obat dan tanaman Hias (Anggrek)

TNBBS sebagai sumber plasma nutfah menyediakan berbagai

jenis tumbuhan obat dan anggrek untuk dikembangkan di luar

kawasan konservasi TNBBS untuk dibudidayakan oleh

masyarakat dan setelah pembudidayaannya selesai, tanaman

induk akan dikembalikan lagi ke dalam Taman Nasional.

3). Program Masyarakat Desa Konservasi

Masyarakat dapat mengembangkan peternakan domba dan

sapi, perikanan dengan bantuan dari instansi-instansi terkait.

Pengembangan ternak di sekitar kawasan TNBBS merupakan

alternatif yang cukup baik untuk mengurangi ketergantungan

masyarakat terhadap lahan di dalam kawasan.

4). Pelibatan masyarayarakat dalam Pengamanan Swakarsa.

Masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengamanan

swakarsa dengan tujuan membantu pihak pengelola Taman

Nasional dalam rangka pengamanan kawasan dari segala

ancaman dan gangguan yang akan mengganggu keutuhan

kawasan.

5). Membentuk Kelompok masyarakat Pecinta Alam, Kader

Konservasi, pembinaan keperamukaan, membentuk Sentera

Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP).

Keterangan yang disampaikan oleh Ir. Amirian, M.P.

mengenai upaya penanganan preventif terhadap perambahan hutan

yaitu:

“bahwa tahap Sosialisasi merupakan suatu hal yang wajib dilakukan, dilihat dari kenyataan yang terjadi bahwa masyarakat kita masih banyak yang belum mengetahuai tentang batas kawasan Taman

cii

Nasional dengan hutan lainnya, belum mengetahui tentang guna dan manfaat dari kawasan hutan, serta akibat yang terjadi jika hutan rusak, serta masyarakat masih banyak yang belum mengetahui tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan Taman Nasional. disamping tindakan preventif yang dilakukan juga tindakan represif harus tetap dilakukan agar supaya masyarakat menjadi jera jika ia melakukan kegiatan illegal didalam kawasan hutan, namun sebelum melakukan tindakan represif terlebih dahulu dilakukan tahap-tahap: (1) Melakukan pendataan atau menginventarisir masyarakat yang ada di kawasan Taman Nasional baik dari jumlah, asal-ususl dan keadaan sosial ekonomi masyarakat perambah. (2) Melakukan sosialisasi tentang peraturan-peraturan yang mengatur Taman Nasional terhadap masyarakat perambah di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. (3) Melarang keras kegiatan masyarakat yang melakukan usaha di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.86

Hal senada juga disampaikan oleh Ir. Maryanto:

“ bahwa Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan upaya yang lebih efektif adalah melakukan tindakan preventif disamping tindakan represif artinya kita melakukan pemberdayaan masyrakat yang ada disekitar kawasan hutan dengan cara melibatkan masyrakat secara langsung dalam pengelolaan dan pengembangan Taman Nasional, seperti kegiatan daerah penyangga, dimana masyarakat diberikan bantuan berupa bibit, ternak, dan bantuan lain yang bisa meningkatkan tarap ekonomi masyarakat sekitar kawasan, sehingga mereka tidak selalu menggantungkan hidupnya dengan hutan.87

Pelibatan masyarakat dalam pengamanan dan pengelolaan

kawasan taman nasional memang sangat diperlukan, karena

mengingat kawasan taman nasional bukit barisan selatan banyak

yang berbatasan langsung dengan desa-desa, seperti yang

disampaikan oleh Achmad Sutardi, S.Ip:

86 Wawancara dengan Ir. Amirian, M.P. Sekretaris Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam Kab. Lampung Barat, di kantor dinas Kehutanan dan SDA Lampung Barat, tanggal,20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.

87 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan wilayah II Liwa, di kantor Bidang PTN II Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.

ciii

”bahwa penegakan hukum selain dengan tindakan refresip terhadap perambahan yang terjadi di kawasan TNBBS sebaiknya dilakukan dengan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat perambah, serta pemberdayaan masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan agar supaya bisa dialihkan konsentrasi usahanya keluar dari kawasan melalui pelibatan mereka dalam kegiatan wisata alam menjadi pemandu (guide) mengingat banyaknya potensi wisata yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, hal ini secara perlahan-lahan akan melepaskan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan 88.

Dengan adanya otonomi daerah maka keterlibatan pemerintah

daerah dalam pengelolaan taman nasional sangat diperlukan karena

mengingat kepala daerah mempunyai peran yang sangat penting

pada suatu daerah tertentu, seperti yang disampaikan oleh Maris

Feriyadi, S.H., M.Hum:

“ bahwa penegakan hukum terhadap perambahan hutan, kita harus melibatkan semua unsur dalam penaganannya, seperti satuan-satuan kerja pada pemerintahan daerah. tindakan preventif yang kita lakukan akan lebih menyentuh terhadap masyarakat, karena masyarkat merasa dilibatkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga mereka merasa memiliki atau merupakan bagian dari taman nasional dan akhirnya tumbuh kesadaran bagi masyarakat yang nantinya secara sukarela akan berperan dalam pengamanan dan pengawasan kawasan taman nasional 89.

b. Tindakan Refresif

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana

yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan, jadi kebijkan atau politik hukum pidana

juga merupakan bagian dari politik kriminal dengan perkataan lain

dilihat dari sudut politik criminal maka politik hukum pidana

88 Wawancara dengan Achmad Sutardi, S.Ip. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Krui, di kantor Seksi PTN Wilayah IIItanggal,05 Januari 2010, pukul 12.00 WIB

89 Wawancara dengan Maris Feriyadi, S.H., M.Hum. Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku penyidik, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagug, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 09.00 WIB

civ

identik dengan pengertian ”kebijakan penanggulanagn kejahatan

dengan hukum pidana”.90

Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada

hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum

(khususnya hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan

bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Dalam penelitian ini akan dilihat peroses penegakan hukum

terhadap tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di Balai

Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu terhadap

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tepatnya

pasal 50 ayat (3) huruf b yang dijelaskan bahwa:

Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan

radius atau jarak sampai dengan; 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai

dan daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan

pasang terendah dari tepi pantai.

Dalam Pasal 78 Ayat (2) di jelaskan mengenai ketentuan/sanksi pidana yaitu:

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

90 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-24

cv

Penjelasan dari bunyi pasal 78 Ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu:

1. dengan sengaja; 2. merambah kawasan hutan; 3. diancam dengan pidana.

Dari hasil penelitian diperoleh gambaran jumlah perkara

perambahan hutan yang sudah ditangani oleh penegak hukum pada

Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan:

Tabel 15 : Register Perkara Perambahan 2007 s/d 2009

NO KASUS PELANGGARAN BARANG

BUKTI PROSES HUKUM KETERANGAN

01 02 03 04 05 06 1 Perambahan Pasal 50 Ayat (3)

huruf a, b dan d Jo. Pasal 78 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

1 (satu) bilah golok

- Vonis tanggal 29 Januari 2008

- 1 tahun penjara & denda 1 juta subsider 2 bulan kurungan

Daerah Way Mendati Pekon Pekon Mon Kec. Ngambur Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. MULKAN bin ABDULLAH pada tanggal 27 September 2007 dengan LK Nomor : LK. 45/IX/Polhut-BBTNBBS/ 2007.

2 Perambahan Pasal 50 Ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

1 (satu) buah Kored dan 1 (satu) buah arit

- P 21 tanggal 29 Nopember 2007

- Sidang pertama tanggal 22 Januari 2008

Dalam kawasan TNBBS Daerah Sinar Banten Pekon Bandar Dalam Kec. Bangkunat Belimbing Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUKARNA bin MASLAN pada tanggal 02 Oktober 2007 dengan LK Nomor : LK. 50/X/Polhut-BBTNBBS/ 2007.

cvi

NO KASUS PELANGGARAN BARANG BUKTI

PROSES HUKUM

KETERANGAN

4. Perambahan Pasal 50 Ayat (3) huruf b Jo. Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 55 dan 56 KUHP.

1. 1 (satu) arit

- Vonis tanggal 29 Januari 2008

Dalam kawasan TNBBS Daerah Way Pemerihan Pekon Pemerihan Kec. Bangkunat Belimbing Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. JONI bin BAGIONO pada tanggal 03 Oktober 2007 dengan LK Nomor : LK. 51/X/Polhut-BBTNBBS/ 2007.

5 Perambahan Pasal 50 Ayat (3) huruf b dan d Jo. Pasal 78 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

1 (satu) unit handsrayer merk Solo, 2 (dua) buah arit, 1 (satu) bilah golok, dan 1 (satu) korek gas

- 10 bulan penjara & denda 2,5 juta subsider 3 bulan kurungan

Dalam kawasan TNBBS Daerah Way Pemerihan Pekon Pemerihan Kec. Bangkunat Belimbing Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUPARNIANTON bin TOIMIN pada tanggal 03 Oktober 2007 dengan LK Nomor : LK. 52/X/Polhut-BBTNBBS/ 2007.

6 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jo. Pasal 55, 56 KUHPidana

2 (dua) bilah golok bersarung

- P 21 tanggal 13 Februari 2008

- Sidang I tanggal 4 Maret 2008

- Vonis : 2 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp. 2.000.000,- Subsider 3 bulan kurungan

Dalam kawasan hutan TNBBS Daerah Umbul Salam, Dusun Cukuh Pandan, Pekon Tampang Tua, Kec. Pematang Sawa, Kab. Tanggamus yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUYATMIN bin SAMIRJA dan SUMARNO bin MARSUDI sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK.01/I/ Polhut-BBTNBBS/2008 tanggal 26 Januari 2008.

7 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

1 (satu) bilah golok dan 1 (satu) lembar kulit kayu Kuyung ukuran 1,5 m x 20 cm.

- P 21 tanggal 27 Februari 2008

- Sidang pertama tanggal 18 Maret 2008

- Vonis : 8 bulan penjara dan denda Rp. 1.000.000,- Subsider 1 bulan kurungan

Dalam kawasan hutan TNBBS Daerah Rataagung, Kec. Lemong, Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. MAT RASYID bin SAWUMIN sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK.03/II/Polhut-BBTNBBS/2008 tanggal 15 Februari 2008.

cvii

NO KASUS PELANGGARAN BARANG

BUKTI PROSES HUKUM KETERANGAN

8 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

- 2 (dua) bilah golok;

- 1 (satu) bilah koret;

- 1 (satu) unit sprayer;

- 1 (satu) Kg cabe;

- 1 (satu) buah ember.

- P 21 tanggal 9 Juni 2008

- Vonis : 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp. 3.000.000,- Subsider 3 bulan kurungan

Dalam kawasan hutan TNBBS Reg. 49 B Daerah KM 70 Jalan Tembus Krui – Bengkulu, Pekon Rataagung, Kec. Lemong, Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUNARDI bin JUSAR sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK.17/IV/Polhut-BBTNBBS/2008 tanggal 08 Mei 2008.

9 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a, b dan e Jo. Pasal 78 ayat (2), (4) dan (5) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

1 (satu) buah sabit dan 1 (satu) buah cangkul.

- P 21 tanggal 3 Desember 2008

Dalam kawasan hutan Reg.47 B TNBBS daerah Serdang Pekon Way Mengaku, Kec. Balik Bukit, Kab. Lambar yang dilakukan oleh tersangka a.n. PAIYO bin YAHBIN sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK 03/X/POLHUT-BBTNBBS/2008 tanggal 16 Oktober 2008.

10 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

1 (satu) bilah golok

- P 21 tanggal 3 Desember 2008

Dalam kawasan hutan Reg.47 B TNBBS daerah Serdang Pekon Way Mengaku, Kec. Balik Bukit, Kab. Lambar yang dilakukan oleh tersangka a.n. ADIYAR bin RAHDI sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK 04/X/POLHUT-BBTNBBS/2008 tanggal 16 Oktober 2008.

11 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

- 1 (satu) bilah golok ber-sarung;

- 1 (satu) bilah koret;

- 1 (satu) bilah arit.

- P 21 tanggal 7 Januari 2009

Dalam kawasan hutan Reg.22 B Kubunicik TNBBS Pekon Way Haru, Kec. Bengkunat Belimbing, Kab. Lambar yang dilakukan oleh tersangka a.n. ASMUNI bin MAT USIN sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK 28/XI/POLHUT-BBTNBBS/2008 tanggal 20 Nopember 2008.

cviii

NO KASUS PELANGGARAN BARANG

BUKTI PROSES HUKUM KETERANGAN

12 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

2 (dua) bilah golok.

- Telah dilimpahkan ke Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui.P 21 tanggal 25 Maret 2009.

Dalam kawasan hutan TNBBS Reg. 49 B Daerah Rataagung, Pekon Rataagung, Kec. Lemong, Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. HADRI bin ZAINI SANIT sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK. 01 / II / Polhut-BBTNBBS / 2009 tanggal 10 Maret 2009.

Sumber : Register Perkara Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan tahun 2008

Dari hasil wawancara terhadap beberapa responden yang

berhubungan langsung dalam penegakan hukum secara represif

diperoleh data bahwa dalam pelaksanaannya masih banyak faktor-

faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum secara represif

(penggunaan sarana pidana) terhadap perambahan hutan di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan dengan melibatkan aparat penegak

hukm lainnya (polisi, jaksa dan hakim) masih banyak dijumpai

faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaannya seperti

masih minimnya aparat/petugas kehutanan baik Polisi Kehutanan

maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sarana prasarana maupun

dana belum mencukupi, kemampuan aparat masih kurang,

mengingat jumlah perambah sudah begitu banyak sehingga yang

diutamakan adalah perambahan-perambahan yang bersifat baru,

sedangkan untuk perambahan yang sudah terjadi sejak lama kita

masih mencarikan cara-cara penanganan yang terbaik agar tidak

terjadi benturan di masyarakat karena mengingat yang akan di

cix

hadapi adalah masyarakat dalam jumlah banyak yang ekonominya

pas-pasan91.

Seperti apa yang disampaikan oleh Ir. Maryanto:

“bahwa dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan kita masih bersifat sporadis, artinya belum dilaksanakan secara terus-menerus atau kontinyu dan berkesinambungan, disamping itu juga masih minimnya sumber daya aparat kehutanan baik dari segi kwalitas maupun kwantitasnya, serta masih minimnya pendanaan yang tersedia, belum adanya perencanaan yang tepat untuk mengatasi perambah yang jumlahnya sangat banyak dan mereka melakukan perambahan sudah cukup lama, yang terjadi sekarang dalam penegakan hukum yang dilakukan secara represif masih sebatas terhadap perambahan yang masih dalam sekala kecil dan yang membuka lahan baru92.

Sama halnya dengan apa yang disampaikan oleh M. Daud, S.H.

“bahwa hal ini juga ditambah dengan koordinasi dengan aparat penegak hukum khususnya dengan kepolisisan masih sangat minim dan terjadi hanya pada saat insidentil saja belum dilakukan secara berkala. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan secara represif selama ini belum dilakukan secara menyeluruh di seluruh kawasan taman nasional, kasus-kasus yang di tangani masih relatif sedikit atau masih dalam sekala kecil dibandingkan dengan jumlah perambahan yang ada di dalam kawasan Taman Nasional, serta belum adanya persamaan persepsi antara kehutanan dengan Pemerintah Daerah setempat serta aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan hakim) untuk mengambil langkah represif terhadap pelaku perambahan93.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Dodi Setiyawan, S.H.

“bahwa Jumlah kasus kehutanan yang di tangani pada cabang kejaksaan negeri Liwa masih dalam jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah perambahan yang terjadi di dalam kawasan hutan taman nasional, hal ini bisa dilihat dari jumlah perkara yang diajukan kepada kejaksaan baik yang ditangani oleh

91 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf , Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagung, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 12.30 WIB. 92 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan wilayah II Liwa, di kantor Bidang PTN II Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.

93 Wawancara dengan M. Daud, S.H., Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Barat, di Kantor POLRES Lampung Barat Liwa, tanggal,12 Januari 2010, pukul, 09.00 WIB.

cx

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan sendiri maupun yang ditanganai langsung oleh penyidik Polri.

Seperti apa yang disampaikan oleh Ginever Girsang, S.H., M.H.

“bahwa penegakan hukum secara represif yang dilakukan terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan selama ini masih dalam sekala kecil dilihat dari jumlah kasus yang masuk sampai pengadilan jika dibandingkan dengan jumlah perambahan yang ada di Taman Nasional Bukit Barisan selatan, serta belum menyentuh aktor intlektual di lapangan, hal ini bisa kita lihat dari para terdakwa, mereka hanya merupakan masyarakat biasa yang memang karena keadaan ekonomi mereka melakukan perambahan” 94.

B. Pembahasan

Untuk menentukan keberhasilan Penanganan perambahan hutan di

Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan tidak hanya bertumpu pada produk

Undang-undangnya saja tetapi juga terletak pada kemampuan aparat penegak

hukum dan kepatuhan warga masyarakat pada peraturan undang-undang yang

ada. Dalam membahas permasalahan mengapa penegakan hukum terhadap

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan selatan belum mencapai

tujuan yang diharapkan, peneliti menggunakan teori penegakan hukum yang

digagas oleh Soerjono Soekanto. yang menyatakan bahwa dalam penegakan

hukum banyak dipeangaruhi oleh faktor-faktor seperti, Undang-undang, Aparat

penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Budaya.

Secara umum atau secara makro penanganan perambahan di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan baik secara preventif maupun represif belum

sesuai dengan tujuan yang diharapan oleh semua pihak, untuk menjawab

semua itu perlu diuraikan sebagai berikut:

94 Wawancara dengan Ginever Girsang, S.H., M.H. Ketua Pengadilan Negeri Liwa, di kantor Pengadilan Negeri Liwa, tanggal, 14 Januari 2010, pukul, 09.00 WIB.

cxi

1. Penegakan Hukum perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan belum efektif disebabkan karena dipengaruhi oleh:

a. Undang-undang.

Peraturan hukum merupakan hasil karya manusia untuk itu tidak

mungkin akan mencapai kesempurnaan, terlebih lagi kesempurnaan yang

bersifat hakiki. Hal ini disebabkan karena kemampuan manusia untuk

dapat menciptakan hukum di batasi oleh kemampuan yang bersifat

manusiawi yang ada dalam diri manusia. Hukum itu hanya sebagai

sarana, karena itu kalau hukumnya baik maka akan tersedia sarana yang

baik pula. Agar kebaikan dapat terlaksana secara nyata maka sarana yang

sudah ada perlu diterapkan dan digunakan dengan baik yang secara nyata

tergantung dari keinginan dan perbuatan nyata dari manusia yang dapat

ditunjang oleh hukum. Hukum yang baik belum tentu akan menjamin

bahwa kebaikan akan sungguh-sungguh dapat terlaksana, oleh karena itu

demi berhasilnya pengaturan yang baik maka perlu disusun hukum yang

baik dan perlu pelaksanaan yang nyata.

Undang-undang dalam arti materil adalah Peraturan tertulis yang

berlaku umum yang dibuat oleh penguasa pusat dan daerah yang sah.

Aturan merupakan pedoman untuk menjaga keselamatan kawasan hutan.

Aturan-aturan yang diberlakukan terkadang penerapan dilapangan kurang

atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan hutan

yang dirambah kerusakan yang terjadi akan semakin parah.

Mengenai berlakunya undang-undang terdapat beberapa azas yang

tujuannya agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.

Artinya Undang-undang tersebut mencapai tujuannya sehingga efektif.95

Azas-azas tersebut antara lain yaitu:

95 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grapindo Persada, Jakarta, 2008

cxii

1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku;

2. Undang-undang ang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

3. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampngkan undang-undang yang bersifat umum;

4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu;

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; 6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesejahteraan spritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi).

Dalam mekanisme penyusunan undang-undang merupakan hal

yang sangat penting, karena tidak hanya menyangkut hal teknis

(prosedur) tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan

(stakeholders). Berkaitan dengan keterlibatan para pihak maka isu yang

muncul kemudian adalah keterwakilan (representativeness) tingkat

keterlibatan (degree of participation) dan pegaruh infut yang diberikan

pada produk akhir dari peraturan perundangan.96

Hukum yang berkembang dibidang kehutanan ditandai dengan

terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam

undang-undang tersebut telah dimuat larangan yang disertai ancaman

pidana, namun keberadaan undang-undang yang spesifik yang mengatur

tentang kehutanan tidak serta merta penegakan hukumnya menjadi hal

yang mudah, penegakan hukum dalam bentuk prefentif dan represif yang

terarah dan terukur.

Dari hasil penelitian, maka terhadap faktor undang-undang yaitu

Undang-undang Nomor. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di jelaskan

bahwa Undang-undang ini tampaknya memanfaatkan semua sistem

sanksi, baik sistem sanksi administratif, sistem sanksi perdata, maupun

sistem sanksi pidana dalam mempertahankan norma-norma administratif

96 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Persepektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2008

cxiii

di bidang kehutanan. Undang-undang No. 41 tahun 1999 menggunakan

pola ancaman komulatif pidana penjara dan denda, pola ancaman yag

demikian itu merupakan pola ancaman yang bersifat kaku dan imperatif.

Lamanya sanksi pidana penjara dan besarnya pidana denda tidak bisa

dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat keseriusan tindak pidana di

bidang kehutanan. Dalam Undang-undang ini juga menjelaskan subjek

tindak pidana dibidang kehutanan tidak hanya manusia sebagai pribadi,

tetapi juga badan badan usaha sehingga badan usaha atau bisa

dipertanggungjawabkan dan dipidana. Namun sangat disayangkan

didalam undang-undang itu sendiri tidak dijelaskan kapan suatu badan

hukum itu melakukan tindak pidana di bidang kehutanan sehingga sangat

sulit untuk menyeret suatu badan hukum atau badan usaha tersebut ke

pengadilan.97

Dari hasil penelitian dan wawancara dengan (Penyidik PNS,

Penyidik kepolisian, Jaksa dan Hakim) yang pernah menangani kasus

perambahan hutan bahwa dari segi Perundang-undangan yang mengatur

tentang perambahan hutan khususnya di kawasan konservasi dalam

substansinya tidak ada permasalahan yang berarti, karena sudah diatur

secara jelas dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan dalam Pasal 50 Ayat (3) setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

atau jarak sampai dengan; 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai dan

daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang

terendah dari tepi pantai.

97 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 2008

cxiv

Sedangkan dalam Pasal 78 Ayat (2) di jelaskan mengenai sanksi pidana yaitu:

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Penjelasan dari bunyi pasal 78 Ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu:

1. Dengan sengaja; 2. Melakukan perambahan hutan; 3. Diancam dengan pidana.

Tindak pidana perambahan hutan sebagaimana yang di atur dalam

Pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan adalah perbuatan yang melawan hukum yang diancam dengan

hukuman pidana. Namun dalam penerapannya masih sering terjadi

perbedaan persepsi diantara para instansi yang terkait dalam penegakan

hukum terhadap perambahan hutan (Taman Nasional, Pemerintah Daerah

baik Propinsi maupun Kabupaten, Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan) dalam mengartikan perambahan hutan, karena dampak dari

perambahan belum dirasakan secara langsung dan perambahan hutan

masih dianggap dalam tahap wajar sehigga masih ditempatkan pada lapis

kedua dalam penangannya. Kemudian adanya ketentuan dalam Undang-

undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang tidak memuat

sanksi pidana minimum melainkan pidana maksimum sehingga hakim

dalam menjatukan pidana tidak dapat optimal. Dan pada umumnya

pelaku perambahan hutan yang di jatuhi sanksi pidana adalah mereka

yang melakukan perambahan dalam sekala kecil saja.

Pola ancaman pidana kumulatif pidana penjara dan denda, pola

ancaman yang demikian ini merupakan pola yang kaku dan bersifat

impratif, selain itu juga ancaman pidana denda yang begitu tinggi yang

berkisar antara Rp.50.000.000.- sampai dengan Rp.10.000.000.000.-

tidak ada artinya apabila tidak diterapkan secara betul-betul, lebih-lebih

cxv

jika dikaitkan dengan pasal 30 KUHP, pidana denda dapat diganti dengan

kurungan pengganti untuk paling lama 6 (enam) bulan sehingga

seandainya seorang dijatuhi pidana 5 (lima) milyar rupiah subsidair 6

(enam) bulan kurungan sudah barang tentu untuk orang yang pas-pasan

akan memilih menjalani kurungan pengganti 98.

Oleh karena itu hukum dalam bentuk peraturan adalah perwujudan

dari kebijakan publik penguasa dan kebijakan itu tidak dapat dilepaskan

dari isu-isu dan lingkungan politik. Dalam pengertian pembuat undang-

undang yang pada dasarnya akan menghasilkan norma yang berisikan

petunjuk-petunjuk tingkah laku yang merupakan pencerminan dari

kehendak manusia tentang bagaimana masyarakat itu dibina dan kearah

mana masyarakat itu diarahkan. Sehingga hukum itu harus mengandung

ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan yang

muaranya adalah merupakan ide tentang keadilan. Dengan demikian

supaya peraturan itu bisa berlaku maka dalam pembuatan undang-undang

dituntut untuk dapat meramu dunia yang ideal dengan dunia kenyataan,

supaya peraturan yang dibuatnya tersebut selain memberikan kepastian

hukum juga memberikan keadilan dengan memperhatikan kebutuhan dan

kepentingan-kepentingan anggota masyarakat serta memberikan

pelayanan kepada masyarakat.

2. Aparat Penegak Hukum

Masalah penegakan hukum adalah sangat luas karena mencakup

mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung

dibidang penegakan hukum atau Law enforcement. Secara sosiologis

penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan pranan (role)

kedudukan (sosial) yang merupakan posisi tertentu dalam

kemasyarakatan. Orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam

98. Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa pemikiran kearah pengembangan hokum pidana, PT.

Citra Aditiya Bhakti, Bandung 2008, hal : 210-211

cxvi

masyarakat biasa disebut pemegang peran (role occupant) peranan

tertentu dapat dijabarkan dalam unsusr-unsur :

a. Peranan yang idial (ideal role) b. Peranan yang seharusnya (expected role) c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang sebenarnya (actual role)

Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori penegak hukum dalam

kontek perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

termasuk Polisi Kehutanan, Penydik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,

Polisi, Jaksa dan Hakim, aparat hukum tersebut secara sendiri-sendiri

atau bersama-sama tidak akan mampu untuk melakukan upaya

penegakan preventif dan represif tanpa dukungan masyarakat dan unsur

lembaga pemerintahan lainnya, lebih jauh lagi sering ditemukan faktor

teknis dan non teknis yang mempengaruhi kinerja penegak hukum

misalnya deteksi dini yang memerlukan partisipasi masyarakat,

pendanaan penyelidikan, penyidikan, penahanan dan sebagainya.

Dari hasil penelitian dan wawancara dalam hal aparat penegak

hukum baik dalam arti tindakan preventif maupun represif dalam

menangani tindak pidana perambahan hutan di samping jumlahnya

sangat kurang juga kemampuannya masih terbatas. Hal ini dapat dilihat

khususnya pada Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

dimana jumlah petugas/tenaga pengaman baik Polisi Kehutanan

(selanjutnya disingkat POLHUT) maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(selanjutnya disingkat PPNS) masih sangat minim dibandingkan dengan

jumlah luas kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang

mencapai 356.800 ha dengan jumlah tenaga pengaman 57 (limapuluh

tujuh) personil, jadi rasio perbandingannya antara ± 1 : 6000 ha, rasio

kecukupan ini harus ditinjau kembali dengan memperhatikan kondisi

wilayah, sarana prasarana, sosial ekonomi masyarakat dan faktor lain.

cxvii

Sedangkan jumlah seluruh pegawai Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan berjumlah 130 (seratus tiga puluh) orang.99

Terhadap Aparat penegak hukumnya yaitu bahwa dalam Undang-

undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan memberikan kewenangan

kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya meliputi pengamanan hutan diberi wewenang khusus sebagai

penyidik. Setiap memulai penyidikan PPNS memberitahukan dimulainya

penyidikan kepada penyidik Polri dan hasil penyidikan diserahkan

kepada Penuntut Umum melalui pejabat penyidik Polri.100

Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil dalam sistem peradilan

pidana berada dalam satu komponen yang sama dengan penyidik Polri.

Ini diperkuat dengan UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI. Dalam

sebuah pasal disebutkan Polri melakukan koordinasi, pengawasan, dan

pembinaan teknis terhadap PPNS. Sejak berlakunya Undang-Undang No.

8/1981 tentang KUHAP, keberadaan PPNS secara eksplisit diatur Pasal 6

Ayat (1) huruf b, Pasal 7 Ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 109 KUHAP.

Terhadap pelaksanaan tugas penyidikan terhadap Undang-undang

tertentu keberadaan PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik

Polri. PPNS mempunyai fungsi dan peranan sebagai perpanjangan tangan

Polri dalam upaya penegakan hukum, khususnya tindak pidana yang

terjadi di luar KUHP. PPNS merupakan subsistem dari sistem peradilan

pidana (criminal justice system). "PPNS merupakan penyidik yang

mandiri. Artinya fungsi dan perannnya tidak dapat digantikan lembaga

atau fungsi lain. Dalam bertugas, mereka berada di bawah koordinasi

pengawasan dan bimbingan teknis penyidik Polri. Penyidik Pegawai

Negeri Sipil Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya bersifat

fungsional sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi

99 Balai Besar Bukit Barisan selatan, Statistik 2008 hal-41

100 Direktorat Perlindungan Hutan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, Panduan Penyidik Pegawai Negeri sipil, Jakarta,2004

cxviii

wewenang oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-

undang Nomor 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistenya, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, yang secara fungsional melakukan penyidikan tindak pidana

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Penyidik Polri dalam

melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS tidak

membawahi PPNS akan tetapi bersifat pembinaan. Baik diminta ataupun

tidak diminta Penyidik Polri wajib memberikan pembinaan kepada

PPNS. pengertian koordinasi disini adalah suatu bentuk hubungan kerja

antara penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka

peaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penyidikan atas dasar

hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirarki dari masing-

masing instansi 101.

Dari hasil penelitian dan wawancara disimpulkan bahwa kendala

dan masalah dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan

dijumpai dalam berbagai tahapan yakni melihat dari faktor aparat

penegak hukum maka akan berkaitan dengan aspek kwalitas dan kantitas

dari aparat penegak hukum tersebut. Kwantitas berkaitan dengan jumlah

atau cukup tidaknya aparat penegak hukum yang sudah ada selama ini,

sedangkan kwalitas berkaitan dengan kemampuan atau profesionalisme

aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kehutanan

khususnya perambahan hutan. Kekurangan dari segi kwalitas dan

kwantitas dari aparat penegak hukum maka akan meberikan pengaruh

yang sangat besar dalam menangani tindak pidana perambahan hutan.

Disamping itu juga dalam kenyataannya menunjukkan bahwa

aparat penegak hukum baik penyidik PNS maupun Polri, penuntut umum

dan hakim yang memahami ketentuan atau peraturan tentang Kehutanan

jumlah dan kemampuannya masih terbatas, dan dilain pihak harus

disadari bahwa aturan tentang kehutanan ini merupakan lex spesialis 101 Anonimous, Dasar hukum pelaksanaan tugas PPNS, bahan ajar Diklat Jagawana, Sekolah calon Perwira Polri, Sukabumi, 2000

cxix

yang asfeknya sangat luas dan bersifat kompleks yang nantinya akan

berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu (multi disipliner) karena itu perlu

mendidik tenaga-tenaga yang professional aparat penegak hukum

sehingga diharapkan nantinya mereka akan mampu menangani kasus-

kasus tindak pidana kehutanan khususnya perambahan hutan.

Dalam hal penyidikan ini untuk memberikan jaminan bahwa hasil

penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. PPNS

merupakan ujung tombak dalam pengungkapan kasus di bidang

Kehutana khususnya tentang perambahan hutan semua tergantung pada

kejelian, kemahiran, kemampuan serta komitmen dari penyidik. Bila di

bandingkan dengan luas kawasan yang di awasi dengan jumlah penyidik

yang ada di Balai Bsar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan maka

belum sebanding, karena dalam menangani satu kasus tindak pidana

kehutanan minimal diselesaikan oleh 2 (dua) orang penyidik/PPNS agar

hasil penyidikan lebih efektif dan efisien. Sedangkan jumlah keseluruhan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang pada pada Balai Besar Taman

Nasional Bukit Baris Selatan adalah berjumlah 13 (tiga belas) orang

personil102, dan tidak semua Penyidik bisa melaksanakan proses

penyidikan secara optimal.

Pada umumnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah

penyidik polri, namun dalam tindak pidana tertentu selain penyidik

kepolisian, oleh undng-undang dijelaskan secara khusus penyidik dari

lingkungan instansnya sendiri yang dikenal dengan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana pada pasal 1 angka (1) yang dijelaskan bahwa “ Penyidik adalah

pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau penyidik pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan”. Selanjutnya dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana pasal 6 dijelaskan bahwa:

102 Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik 2008

cxx

(1). Penyidik adalah: a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh Undang-undang.

(2). Syarat dan kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan

penyidikan terhadap tindak kejahatan kehutanan (Pasal 78 Undang-

Undang No. 41 Tahun 1999). PPNS Kehutanan melakukan tugas lex

specialist, oleh karena itu PPNS harus lebih menguasai bidangnya

dibandingkan dengan Penyidik Polri. Untuk menjamin kelancaran

penyidikan tindak pidana dibidang kehutanan, sebaiknya penyidikan

dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan bukan

Penyidik Polri. Pengalaman menunjukkan bahwa penyidikan yang

dilakukan sendiri lebih cepat, murah dan tepat, saksi ahli sedapat

mungkin harus dari instansi kehutanan karena secara keilmuan dan

pengalaman lebih menguasai dibidangnya dibandingkan dengan institusi

lain.

3. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan

dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan, dengan ketiadaan

atau keterbatasan sarana dan prasarana maupun penunjang lainnya akan

sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan

khususnya di Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan. Tanpa adanya

sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan

berlangsung dengan optimal. Terhadap faktor sarana atau fasilitas bahwa

dalam penegakan hukum tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka

tidak mungkin penegakan hukum akan lancar dan sesuai dengan apa

yang diharapan, sarana atau fasilitas tersebut antara lain yaitu mencakup

tenaga manusia yang berpendidikan terampil, organisasi yang baik,

peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, khususnya mengenai

cxxi

tindak pidana perambahan hutan karena mengingat lokasi atau Tempat

Kejadian Perkara (TKP) yang berada di dalam kawasan hutan yang

memerlukan biaya yang cukup tinggi karena tidak semua lokasi bisa

dijangkau dengan menggunaan kendaraan baik roda dua maupun roda

empat dan memerlukan waktu yang cukup lama karena tidak menutup

kemungkinan lokasi tersebut tidak dapat dijangkau dalam hitungan

waktu.

Dari hasil penelitian dan wawancara diperoleh bahwa untuk

melakukan pengamanan dan penanganan terhadap perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan jumlah luasan kawasan

yang begitu luas mencapai 356.800 ha dengan jumlah aparat yang masih

terbatas dimana dalam organisasi Taman Nasional dalam pengelolaannya

dibagi dalam resort-resort yang tentunya akan didukung dengan sarana

prasarana yang memadai untuk menunjang pelaksanaan tugas, namun

kenyataannya belum sesuai dengan harapan seperti dalam satu resort

dengan jumlah personil 4 (empat) orang petugas dengan luas wilayah

kerja ± 30.000 ha hanya dilengkapi dengan sarana dan prasarana 1 (satu)

unit kendaraan roda 2 (dua), 1 (satu) sampai 2 (dua) pucuk senjata api

dan 1 (satu) unit pos jaga yang juga belum dilengkapi dengan sarana

prasarana penunjang lainnya yang memadai 103. Pada tingkat resort

merupakan ujung tombak dalam menjalankan fungsi perlindungan dan

pengawasan hutan, namun dengan jumlah petugas sebanyak 2 (dua) sam

pai 4 (empat) orang pada masing-masing resort tentu tidak akan mampu

untuk berbuat maksimal untuk melakukan perlindungan dan pengamanan

kawasan.

Sarana dan prasarana merupakan elemen yang sangat penting

dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan

hutan, oleh karena itu perbaikan dan peningkatan sarana prsarana

merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, sudah saatnya

103. Balai Besar Bukit Barisan selatan, Statistik, 2008

cxxii

pemerintah memperhatikan persoalan ini dengan lebih serius

menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk mendukung

berhasilnya penegakan hukum terhadap perambahan hutan.

4. Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian dan keadilan dalam masyarakat, maka masyarakat

dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum. Dari sudut sistem sosial

budaya, indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk (plural

society) terdapat banyak golongan etnik dengan kebudayaan yang

berbeda-beda, disamping itu sebagian besar penduduk Indonesia tinggal

dipedesaan yang tentunya berbeda dengan ciri-ciri wilayah perkotaan.

Masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak

ditangani dengan cara-cara tradisional, demikian pula diwilayah

perkotaan tidak semua masalah bisa diselesaikan tanpa menggunakan

cara-cara tradisional.104

Masyarakat secara umum memiliki empat ciri utama, yaitu (1)

adanya interaksi antar warga, (2) adanya adat istiadat, norma-norma,

hukum, serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku

warga, (3) adanya kontinuitas dalam waktu, (4) adanya rasa identitas

yang kuat yang mengikat semua warga. Koentjaraningrat merangkum

keempat ciri tersebut menjadi sebuah definisi tentang masyarakat, yaitu

kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat

istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu

rasa identitas bersama.

Masayarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan

sangat erat, susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu

ketertiban. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh

104 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grapindo Persada, Jakarta, 2008

cxxiii

bermacam lembaga secara bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh

karena itu didalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma

yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan

ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan

dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena

adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib.105

Manusia berintegrasi secara terus menerus dengan lingkungan

hidupnya dimana dalam integrasi tersebut manusia akan bisa mengamati

alam sekitarnya dan nantinya akan mendapatkan pengalaman, dari

pengamatan dan pengalamannya tersebut manusia akan mendapatkan

gambaran tertentu tentang lingkungan hidupnya dan akan menimbulkan

kesadaran dalam diri manusia. Bila kesadaran manusia tersebut bersifat

negatif, dalam artian bahwa manusia tersebut tidak memahami dan

menghayati betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup

bagi kelangsungan hidup dan kehidupan dimuka bumi ini. Maka manusia

tersebut akan cenderung bersifat masa bodoh terhadap lingkungan di

sekitarnya, orang yang demikian tidak akan segan-segan untuk

melakukan perbuatan yang berdampak negatif terhadap lingkungannya,

seperti salah satunya membabat/merambah hutan. Terbatasnya kesadaran

masyarakat terhadap lingkungan atau terhadap arti dan manfaat kawasan

hutan bagi kehidupan manusia sekarang dan terhadap generasi yang akan

datang, hal ini disebabkan karena keawaman atau ketidaktahuan

masyarakat terhadap berbagai asfek tentang hutan dan kehutanan.

Analisis faktor yang keempat yaitu faktor Masyarakat, dalam

penanganan perambahan hutan tentang faktor masyarakat dikhususkan

terhadap masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan dan

masyarakat perambah. Dalam kehidupan sehari-hari seorang aparat

penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam manusia

105 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung, 2000, hal-13

cxxiv

dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing, diantara

mereka ada yang taat pada hukum, ada yang pura-pura mentaatinya, ada

yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang terang-

terangan mentaatinya. Hal ini disebabkan salah satunya yaitu tingkat

pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang ada disekitar kawasan

hutan yang pada umumnya masih rendah. serta kearifan lokal yang

merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan

masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan

hidup secara lestari sudah mulai memudar, hal ini disebabkan oleh

tuntutan kebutuhan hidup. Untuk mengatasi permaslahan ini tentunya

harus diambil langkah-langkah positif seperti penyuluhan harus

ditingkatkan khususnya terhadap masyarakat yang ada disekitar kawasan

hutan yang tentunya dengan media yang mudah dimengerti oleh

masyarakat, dengan tujuan untuk meminimalisir konflik-konflik yang

ada.

5. Faktor Budaya

Faktor budaya disini akan dijelaskan tentang budaya hukum yang

di katakana oleh Lawrence Friedman bahwa ada dua budaya hukum yaitu

budaya hukum Internal dan budaya hukum eksternal.

a. Budaya hukum Internal adalah budaya hukum orang-orang yang

bertugas untuk menjalankan hukum termasuk didalamnya adalah

polisi, jaksa dan hakim maupun penyidik pegawai negeri sispil,

budaya hukum seseorang tentunya akan berpengaruh dalam

pengambilan keputusan yang diambilnya. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi putusan seseorang dalam mengambil keputusan yaitu:

dinamika diri individu, dinamika para kelompok orang dalam

organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengruh kebiasaan lama,

adanya pengaruh dari sifat pribadi, adanya pengaruh dari kelompok

luar dan pengaruh masa lalu. budaya hukum internal aparat penegak

hukum agar bisa dikatakan budaya yang baik harus dimulai dari sejak

cxxv

awal rekrutmen pegawai, hal ini harus dilakukan dengan cara

menegakkan prinsip transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas,

sehingga akan dapat menghilangkan pola rekrutmen yang didasari

pada kolusi, korupsi dan nepotisme. Disamping itu juga harus

memperhatikan penempatan aparat yang didasarkan pada faktor

integritas dan moral sehingga diharapkan akan menghasilkan

penegakan hukum yang baik.

b. Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat, yaitu

sejauhmana tanggapan dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap

peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Soerjono soekanto mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah

sebagi hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

dalam pergaulan hidup, artinya budaya hukum masyarakat adalah

pemaknaan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan dari pandangan yang mereka yakini, hal ini berkaitan dengan

seberapa jauh tingkat penerimaan masyarakat terhadap peraturan

perundang-undangan yang telah disosialisasikan oleh instansi yang

berwenang. Apabila sosialisasi telah cukup dilakukan, langkah

selanjutnya adalah tindakan persuasiasif untuk mengarahkan budaya

masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat undang-

undang.

Faktor budaya akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya

pengelolaan hutan dan penegakan hukum terhadap perambahan hutan,

Adanya kenyataan bahwa hampir semua masyarakat disekitar kawasan

hutan adalah masyarakat miskin. masyarakat dipedesaan hanya

mengandalkan sumber mata pencariannya dari sektor pertanian.

Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan

cxxvi

kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang kurang mampu melakukan

perluasan areal pertaniannya masuk kedalam kawasan hutan106.

Angelsen (1998) argued that decisions about agricultural expansion as the proximate cause of deforestation in many frontier areas should be modeled as investment decisions, because forest clearing commonly gives farmers rights to the forest and hence deforestation is a title establishment strategy. 107

Angelsen (1998) berpendapat bahwa keputusan tentang perluasan

pertanian sebagai penyebab terdekat dari deforestasi di daerah perbatasan

banyak harus dimodelkan sebagai keputusan investasi, karena

pembukaan hutan biasanya memberikan hak-hak petani untuk masuk

hutan dan menyebabkan deforestasi merupakan strategi.

Ada dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat

yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi

sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang

dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah

laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan

telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga

adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini

kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses

belajar.

Sedangkan faktor sosial budaya dan faktor sosial lainnya yang

dapat memberikan pengaruh terhadap penanaganan perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah bahwa perambahan yang

terjadi di Taman Nasional bukit Barisan Selatan sudah tejadi sejak tahun

1950an, jika dikaitkan dengan masyarakat yang latar belakang mereka

adalah petani dimana tanaman andalannya adalah kopi, disamping itu

106 Suyanto, Pengaruh Perambahan Terhadap Kawasan Hutan peroduksi Terbatas

(HPT),http://fkkm.org/PusatData/index.php?lang=ind&action=kehutananmasyarakat

107 Angelsen, Arild. 1998. “Agricultural Expansion and Deforestation: Modeling the Impact of Population, Market Forces, and Property Right.” Journal of Development Economics, Vol. 58 (1999) p.185-218.

cxxvii

juga Kabupaten lampung Barat merupakan salah satu daerah penghasil

kopi di Propinsi Lampung dan didukung oleh sumber daya alam yang

subur maka masyarakat menggarap lahan di dalam kawasan hutan karena

lahan yang tersedia tidak mencukupi, hal ini sudah terjadi secara turun

temurun dan masih berlanjut hingga sekarang. Selain itu adalah faktor

agama dan tradisi, setiap agama mengajarkan kepada umatnya untuk

memelihara dan menjaga alam lingkungan hidupnya secara arif dan

bijaksana, alam semesta merupakan titipan sang pencipta kepada umat

manusia, karena itu harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya

dan tidak boleh dirusak. Manusia yang menghayati ajaran agama maka ia

akan selalu menjaga keutuhan dan kelestarian hutan serta keseimbangan

dalam hubungannya dengan sesama manusia, hubungan dengan alam

lingkungannya, dan hubungannya dengan Allah sang pencipta alam

semesta.

2. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam penegakan hukum terhadap

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Berdasarkan teori yang digagas oleh G.P. Hoefnagels tentang

penanggulangan kejahatan bahwa upaya penegakan hukum atau upaya

penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman);

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanan lewat mass media (influencing views of society on crime and funeshman/mass media).108

108 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-40

cxxviii

1. Tindakan represif atau penggunaan sarana pidana (criminal law

application).

Usaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana pidana pada

hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana. Penggunaan Hukum

pidana memang bukanlah sarana utama yang dapat digunakan untuk

menanggulangi kejahatan, karena apabila hukum pidana dipaksakan

dalam menanggulangi kejahatan maka tidak mungkin hukum pidana akan

menjadi salah satu faktor kriminogen karena tidak semua persoalan

hukum penyelesaiannya melalui sistem peradilan pidana. Kalau dilihat

dari sudut kepentingan yang akan dilindungi, sistem peradilan pidana

bertujuan untuk melindungi kepentingan si pelapor (korban), dalam hal

ini kepentingan pemerintah atau kepentingan Negara yang juga bertujuan

melindungi kepentingan masyarakat.

Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan akan melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan

yang ada seperti Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan, mereka berada pada garis terdepan atau lapis pertama dalam

penegakan hukum, sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada lapis

kedua109.

Sasaran akhir dari penegakan hukum terhadap perambahan hutan

adalah terciptanya kondisi hutan yang baik sehingga terjamin kelestarian

dan keutuhannya. Fungsi hutan dapat dipertahankan jika telah

memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan, sehingga masyarakat akan mendukung upaya-

upaya pelestarian hutan. Jadi jelas bahwa tujuan akhir penegakan hukum

terhadap perambahan hutan bukan berarti berapa banyak kasus yang

ditangani dan berapa lama vonis yang dijatuhkan oleh hakim terhadap

para pelaku tindak pidana kehutanan, tetapi yang terpenting adalah 109 Tamen Sitorus, Pola Perlindungan yang Mantap Pada Tingkat Hulu, http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34

cxxix

bagaimana kelestarian dan keutuhan hutan dapat dipertahankan110. Oleh

karena itu Polisi Kehutanan sebagai ujung tombak dalam pengamanan

hutan harus ditempatkan di pos terdepan.

Tugas-tugas Polisi Kehutanan tercermin di dalam kegiatan-kegiatan

yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan untuk

melakukan patroli dan penjagaan, operasi pengamanan hutan baik operasi

fungsional, operasi gabungan maupun operasi khusus. Sehingga peluang

terjadinya gangguan terhadap kawasan hutan harus dicegah sedini

mungkin.

Kewenangan Polisi Kehutanan dalam tindak pidana kehutanan

hanya sampai penangkapan tersangka dan pengamanan barang bukti.

Tugas ini selanjutnya harus segera diserahkan kepada Penyidik Pegawai

Negeri Sipil untuk proses pemeriksaan lebih lanjut. Penyidik Pegawai

Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan penyidikan terhadap

tindak kejahatan dibidang Kehutanan sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan melakukan tugas lex

specialist, oleh karena itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan

harus lebih menguasai bidangnya dibandingkan dengan Penyidik Polri.

Untuk menjamin kelancaran penyidikan dibidang tindak pidana

kehutanan, seharusnya penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai

Negeri Sipil dengan dibawah koorwas Penyidik Polri. PPNS harus

memonitor perkembangan kasus yang sudah divonis oleh hakim dan

berapa lama vonis yang dijatuhkan. Selain itu, mengenai saksi ahli

sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana pasal 1 ayat (28) yang dijelaskan bahwa keterangan ahli adalah

keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan.

110 Tamen Sitorus, Ibid , hal-5

cxxx

Koordinasi harus dibina dan lebih ditingkatkan lagi diantara aparat

penegak hukum Kehutanan, Kepolisian, Kejaksan dan Pengadilan. Hal

ini perlu dilakukan karena selama ini koordinasi diantara aparat penegak

hukum hanya bersifat insidentil saja artinya kalau terjadi kasus baru

dilakukan koordinasi, seharusnya koordinasi dilakukan jangan hanya

bersifat insidentil saja karena dalam penegakan hukum diantara aparat

penegak hukum harus ada persamaan persepsi agar supaya penegakan

hukum mulai dari awal penyidikan, penuntutan hingga putusan

pengadilan dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kedamaian

dalam masyarakat.

Untuk lebih meningkatkan kewenangan penyidik, perlu dilakukan

penyempurnaan terhadap Kitab Undang-unding Hukum Acara Pidana

terutama yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyididk Pegawai

Negeri Sipil antara lain tentang penangkapan dan penahanan tersangka,

penyampaian atau pengiriman berkas kepada penuntut umum ”melalui”

penyidik Polri. Kata-kata penangkapan, penahanan dan melalui, sering

menghambat kelancaran tugas-tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil

terutama apabila ada ”interest tertentu” oleh Penyidik Polri. Kalau kita

melihat dalam KUHAP Pasal 6 ayat (1) KUHAP:

Penyidik adalah: a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dilihat dari bunyi pasal 6 ayat (1) bahwa kedudukan penyidik polri

dengan penyidik pegawai negeri sipil adalah sama, tapi dalam

perakteknya menunjukkan bahwa penyidik pegawai negeri sipil dalam

menyampaikan berkas ke Jaksa penuntut umum harus melalui penyidik

polri. PPNS merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal

justice system). PPNS merupakan penyidik yang mandiri.

Penanganan perambahan hutan di taman nasional bukit barisan

selatan harus dilihat kasus perkasus, artinya tidak bisa disamaratakan,

cxxxi

unsur keadilan tentunya harus seimbang dengan unsur kepastian hukum

walaupun dalam kenyataannnya sulit untuk pencapaian antara kedua

unsur tersebut.

Agar tujuan dari penegakan hukum dapat memberikan kepastian

hukum dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena melihat

dari luasan lahan yang sudah di rambah dan jumlah perambah begitu

banyak, maka sebelum dilakukan tindakan refresip dengan

menggunakan sarana pidana hendaknya dilihat tahapan-tahapan sebagai

berikut:

1. Koordinasi

Tahap koordinasi dilakukan di tingkat Pemerintah Daerah (Propinsi

dan Kabupaten), aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,

pengadilan) Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli dengan

lingkungan, diharapkan agar tercipta kesepakatan bersama dalam

penanganan perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan (membuat suatu konsep dan perumusan yang tepat tentang

upaya penanganan perambah), dengan memperhatikan masalah-

masalah yang berkembang dalam masyarakat. Koordinasi disini

adalah suatu bentuk hubungan kerja antara lembaga dalam rangka

pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penegakan hukum

atas dasar hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirarki

dari masing-masing instansi.

2. Sosialisasi

Pada tahap sosialisasi, sasarannya adalah masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan dan masyarakat perambah khususnya,

sosialisasi penanganan perambah di lakukan dengan menggunakan

media yang bisa diterima oleh masyarakat, dalam tahap sosialisasi

hal yang perlu ditagaskan adalah sesuai dengan tujuannya bahwa

hukum pidana akan diterapkan terhadap ketentuan yang telah

disosialisasikan.

cxxxii

3. Pendekatan emosional

pada tahap ini sasarannya adalah masyarakat perambah, serta

pendataan terhadap masyarakat (sosial ekonomi, asal usul) serta

memberikatan peringatan kepada perambah agar segera

meninggalkan lahan rambahannya.

4. Tindakan (action)

pada tahap tindakan dengan melibatkan semua unsur aparat penegak

hukum (kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) serta

pemerintah daerah, agar penanganan terhadap perambahan dapat

berjalan tanpa adanya benturan-benturan di masyarakat.

5. Pengawasan terhadap masyarakat perambah pasca tindakan

dilakukan secara berkesinambungan dan kontinyu/terus menerus,

agar masyarakat yang telah meninggalkan lahannya tidak kembali

lagi masuk ke hutan dan melakukan perambahan kebali.

6. Rehabilitasi lahan bekas rambahan, melibatkan unsur masyarakat,

dan dilakukan dengan cara transparan, hal ini menunjukkan

keseriusan pemerintah dalam menjaga kelestarian dan keutuhan

kawasan, serta untuk mensejahterakan masyarakat.

2. Penegakan hukum dengan tanpa pidana/tindakan preventif

(prevention without punishman)

Penegakan hukum dengan tindakan tanpa pidana atau tindakan

preventif yaitu menitikberatkan pada sifat prevenventive (pencegahan

/penangkalan /penegndalian) sebelum kejahatan itu terjadi. Upaya

penegakan hukum dengan tindakan preventif atau tanpa pidana lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran

utamanya adalah menanganai faktor-faktor kondusif penyebab

terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat

cxxxiii

pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung

atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan

kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara

makro dan global maka upaya –upaya preventif menduduki posisi kunci

dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. dikatakan posisi

kunci dan strategis khususnya dalam menanggulangi sebab-sebab dan

kondisi-kondisi yang menimbukan kejahatan. Dijelaskan dalam salah

satu kongres Perserikatan Bangsa Bangsa ke-6 tahun 1980 di caracas,

venezuela, antara lain dinyatakan dalam pertimbangan resolusi

mengenai ”Crime tends and crime prevention strategies”. yaitu bahwa

strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan

sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime

prevention strategies should be based upon the elimination of causes

and conditions giving rise to crime)111.

Dari penjelasan di atas bila dikaitkan dengan penegakan hukum

terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

maka terlebih dahulu akan dilihat penyebab timbulnya perambahan

hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:

a. Faktor Internal diantaranya adalah:

1. lemahnya pengawasan oleh petugas terhadap kawasan hutan;

2. ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh petugas.

b. Faktor Eksternal

1. adanya akses Jalan yang memotong kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan;

2. faktor kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;

3. tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang

masih rendah;

111 Barda Nawawi arief, Of. Cit.hal-41

cxxxiv

4. masih kurangnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam

pengamanan kawasan hutan khususnya kawasan Konservasi.

Dari kedua faktor yang telah dijelaskan diatas maka akan

diuraikan satu persatu dari faktor yang menyebabkan perambahan hutan

di Taman Nasional Bukit barisan Selatan yaitu:

a. Faktor internal, faktor yang terdapat pada Balai Besar Taman Nasional itu sendiri.

1. Lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan oleh petugas

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Kurangnya pengawasan terhadap kawasan hutan dapat

disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya : Fasilitas atau sarana

dan prasarana yang tersedia belum memadai atau belum

mendukung untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pengawasan

dan pengamanan yang lebih intensif, Jumlah personil pegawai

kehutanan yang belum seimbang dengan luas kawasan yang harus

di awasi, atau rasio kecukupan antara petugas dengan jumlah luas

kawasan belum sebanding, masalah kesejahteraan petugas, serta

sulitnya medan yang harus dilalui, sehingga menuntut kecakapan

personil untuk mampu mengawasi wilayah dan mengamankan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari segala macam

ancaman terhadap kelestariannya terutama ancaman dari

perambah hutan. Lemahnya pengawasan atau kontrol terhadap

kawasan hutan oleh aparat penegak hukum dapat menyebabkan

masuknya perambah ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat

memberikan anggapan kepada para perambah bahwa tindakan

yang mereka lakukan masih dalam batas yang wajar dalam artian

bahwa memfungsikan kawasan hutan untuk dimanfaatkan atau

untuk dijadikan kebun, sehingga secara ekonomi dapat

meningkatkan kesejahteraan bagi para perambah. Permasalahan

ini harus disikapi secara arif dan bijaksana karena kalau hal ini

cxxxv

dibiarkan secara terus menerus tidak menutup kemungkinan

perambahan yang terjadi akan semakin meningkat dari tahun

ketahun.

b. Ketidaktegasan atau kurang keseriusan dalam menjalankan

aturan.

Ketidaktegasan oleh aparat penegak hukum dalam

menjalankan aturan maka akan membuat Masyarakat semakin

berani untuk merambah kawasan, dikarenakan dari kelompok

mereka yang telah lebih dahulu melakukan perambahan terhadap

kawasan tidak mendapat sanksi yang tegas atas pelanggaran yang

mereka lakukan. sehingga hal tersebut membuat anggota yang

lain termotivasi untuk melakukan tindakan yang sama, yang pada

akhirnya semakin lama mereka mendiami kawasan maka akan

semakin memperkuat eksistensi/keberadaan mereka di dalam

kawasan.

Aturan merupakan pedoman untuk menjaga kelestarian

serta keutuhan kawasan hutan. Aturan-aturan yang diberlakukan

terkadang penerapan dilapangan kurang atau tidak dijalankan

sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan hutan yang dirambah

kerusakan yang dialami akan semakin parah. Bahkan jika aparat

hanya bekerja sebatas menunaikan kewajiban, sekedar

menjalankan perintah pimpinan, atau menjalankan kewenangan,

maka penegakan hukum akan berubah menjadi komoditas belaka.

dan jika didasarkan pada kepentingan pribadi maka akan

menghasilkan konflik kepentingan yang bermuara pada

penegakan hukum yang pilih kasih atau dibeda bedakan.

Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh aparat penegak

hukum akan berpengaruh terhadap kredebilitas institusi di mata

masyarakat.

cxxxvi

2. Faktor eksternal yang terdapat di luar Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan yaitu:

a. Adanya akses Jalan yang memotong kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan;

Dengan adanya ketersediaan jalan yang memotong dalam

kawasan Taman Nasional maka akan sangat berpengaruh

terhadap kelestarian dan keutuhan kawasan. Kemudahan bagi

masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi

bagi perambah untuk melakukan pembukaan lahan di dalam

kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi

mereka untuk mengangkut barang-barang kebutuhan maupun

hasil dari tanaman yang diusahakan di dalam kawasan hutan.

Adanya jalan yang memotong kawasan hutan dapat merupakan

penyebab masuknya pelaku illegal kedalam kawasan. Masyarakat

akan semakin banyak melakukan perambahan hutan sehingga

akibatnya akan semakin memperparah kondisi kawasan itu

sendiri.

Hal ini terbukti dengan adanya pembukaan beberapa jalan

yang melintas dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan, terdapat 9 (sembilan) ruas jalan yang memotong kawasan

Taman Nasional dengan panjang keseluruhan ± 99,5 km, maka

para pelaku illegal yang akan masuk dalam kawasan Taman

Nasional akan lebih mudah untuk menjangkau kawasan. Hal ini

juga merupakan dampak dari pembagunan, disisi lain dengan

adanya akses jalan maka laju roda perekonomian di daerah akan

lebih baik dan bisa mensejahterakan masyarakat, namun disisi

lain khususnya terhadap kawasan Taman Nasional akan

menghadapi ancaman terhadap kelestarian dan keamanan serta

keutuhan kawasan tersebut.

cxxxvii

b. Faktor kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;

Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat

yang ada disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin.

Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri.

Hampir di semua Desa yang berbatasan langsung dengan Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan adalah masyarakat petani,

masyarakat yang hanya mengandalkan sumber mata pencariannya

dari sektor pertanian, data statistik menunjukkan ± 128.485

penduduk sekitar taman nasional bukit barisan selatan adalah

petani. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga

serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang

kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya,

khususnya di Kabupaten Lampung Barat dimana sekitar 78,38 %

dari luas wilayahnya adalah merupakan kawasan hutan baik hutan

peroduksi, hutan lindung serta Taman Nasional dari data

menunjukkan bahwa luas kawasan Taman Nasional Bukit Barisan

yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Barat seluas 272.645,00

ha. dari luas Kabupaten Lampung Barat seluas 507.927 ha, sisa

dari luas Kabupaten yang ada digunakan untuk pembangunan,

sarana/fasilitas umum, perkantoran, pemukiman dan lain-lain.

Mengingat masyarakat Lampung Barat adalah sebagian besar

bermata pencaharian bertani dengan cara tradisional, dengan

lahan yang kurang tersedia maka tidak menutup kemungkinan

masyarakat akan masuk kedalam kawasan Taman Nasional guna

memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidup.

c. Tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang

masih rendah.

Masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan

masyarakat perambah, akan berdampak pada kelestarian dan

cxxxviii

keamanan serta keutuhan kawasan hutan dan keselamatan

lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional

masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan

menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang

kearifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan

desakan ekonomi yang semakin sulit.

Umumnya masyarakat perambah, tingkat pendidikan masih

rendah dengan melihat dari beberapa kasus yang ditangani rata-

rata pelaku perambahan berpendidikan Sekolah Dasar, disamping

itu kurangnya keahlian dibidang lain, maka hal tersebut akan

dapat mendorong mereka untuk melakukan kegiatan perambahan

hutan karena tidak ada alternatif lain, anggapan para perambah

bahwa perambahan yang dilakukan akan membuat kondisi

ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Biasanya kegiatan

perambahan dilakukan karena faktor kebiasaan dari generasi yang

sebelumnya dan kebiasaan itu masih terus dipelihara dan

dijalankan oleh generasi selanjutnya, dilihat dari perambahan

yang terjadi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

yang sudah mulai terjadi sejak tahun 1950an hingga sekarang.

Langkah untuk meningkatkan produktifitas lahan salah satunya

yang harus dimiliki adalah pengetahuan atau kemampuan dalam

pengelolaan lahan dan ketersediaan modal. Sedangkan

masyarakat disekitar kawasan hutan tidak memiliki kemampuan

dan kurang atau tidak memiliki modal keuangan yang mencukupi,

untuk mengatasi masalah seperti ini Pemerintah Daerah dengan

Satuan kerja yang ada seharusnya dapat memberikan penyuluhan

terhadap masyarakat perambah guna untuk meningkatkan tarap

hidup mereka dengan cara intensifikasi lahan, supaya dengan

lahan yang tersedia akan dapat menghasilkan produksi yang lebih.

cxxxix

d. Masih kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam

penaganan masalah perambahan hutan.

Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tanpa

mengindahkan makna dari otonomi secara utuh maka akan

menyuburkan indikasi kurang jelasnya rumusan peraturan

perundang-undangan tentang batas-batas kewenangan, hak dan

kewajiban masyarakat dalam bidang tertentu, sehingga

interprestasi hukum dan putusan hukum menghasilkan

ketidakadilan. Menyikapi hal ini maka antara Taman Nasional

dengan pemerintah daerah harus mensinergikan kebijakannya

sesuai peraturan perundang-udangan yang berlaku dalam

penanganann perambahan yang terjadi di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan.

Berdasarkan teori dari G. Peter Hoefnagels tentang

penanggulangan kejahatan dengan tindakan bukan sarana pidana

atau tindakan preventif maka setelah semua faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya kejahatan atau perambahan hutan

tersebut diselesaikan maka tindakan preventif sudah berjalan.

penanganan perambahan dengan cara preventif di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan sendiri ada beberapa tindakan

preventif yang sudah dilakukan, namun langkah-langkah tersebut

harus melibatkan masyarakat khususnya masyarakat yang ada

disekitar kawasan, sehingga masyarakat akan merasa dilibatkan

dalam pengelolaan kawasan dan dengan sadar mereka akan

merasa memiliki tanggungjawab terhadap keutuhan dan

keamanan kawasan, namun langkah-langkah tersebut kalau tidak

didukung oleh sarana prasarana serta pendanaan yang mencukupi

maka langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan sesuai dengan

tujuan yang diharapkan.

cxl

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pebahasan, maka peneliti dapat mengambil

suatu kesimpulan bahwa:

1. Penanganan perabahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :

a. Undang-undang dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah Undang-undang Nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam tahap aplikasinya dilapangan oleh

aparat penegak hukum (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Polri, Kejaksaan,

dan Pengadilan) masih belum adanya persamaan persepsi dalam melihat

tindak pidana perambahan yang dikategorikan sebagai organized crime

yang telah membahayakan kehidupan manusia dimuka bumi, hal ini

dapat berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim

terhadap pelaku perambahan. Disamping itu juga terdapat ketentuan

bahwa Undang-undang nomor 41 tahun 1999 memuat sanksi pidana

maksimal bukan minimal, serta membatasi kewenangan penyidik

pegawai negeri sipil dalam penyampaian berkas penyidikan kepada

penuntut umum harus melalui penyidik polri, hal ini akan membuat

birokrasi yang panjang.

b. Aparat penegak hukum, akan berkaitan dengan aspek kualitas dan

kuantitas dari aparat penegak hukum tersebut. Kuantitas berkaitan

dengan jumlah atau cukup tidaknya aparat penegak hukum yang sudah

ada selama ini, sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan atau

profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus

kehutanan khususnya perambahan hutan. Kekurangan dari segi kualitas

dan kuantitas dari aparat penegak hukum maka akan meberikan pengaruh

yang sangat besar dalam menangani tindak pidana perambahan hutan.

cxli

c. Sarana dan fasilitas, adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam

penanganan perambahan hutan, dengan ketiadaan atau keterbatasan

sarana dan prasarana serta penunjang lainnya akan sangat mempengaruhi

keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan khususnya di Taman

Nasiona Bukit Barisan Selatan. sarana atau fasilitas tersebut antara lain

yaitu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, serta keuangan/pendanaan yang

cukup.

d. Masyarakat, Indikator kesadaran hukum masyarakat terletak pada

kepatuhan pada ketentuan hukum, kepatuhan dan ketaatan kepada

peraturan hukum kehutanan menunjukkan efektifitas berlakunya hukum

kehutanan di masyarakat. masyarakat dikhususkan terhadap masyarakat

yang berada disekitar kawasan hutan. Dalam kehidupan sehari-hari

seorang aparat penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam

manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing,

diantara mereka ada yang taat pada hukum, ada yang pura-pura

mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula

yang terang-terangan mentaatinya. Hal ini disebabkan salah satunya yaitu

tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang ada disekitar

kawasan hutan yang pada umumnya masih rendah.

e. Budaya, Dari sudut sistem sosial budaya, indonesia merupakan suatu

masyarakat yang majemuk (plural society) terdapat banyak golongan

etnik dengan kebudayaan yang berbeda-beda, disamping itu sebagian

besar penduduk Indonesia tinggal dipedesaan yang tentunya berbeda

dengan ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang timbul di wilayah

pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara

tradisional, demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua masalah bisa

diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara tradisional. Budaya juga

menyangkut budaya hukum yang dibagi dalam dua bagian yaitu budaya

hukum internal yaitu budaya hukum orang-orang yang bertugas untuk

cxlii

menegakkan hukum termasuk polisi, jaksa, hakim serta penyidik pegawai

negeri sipil kehutanan, serta budaya hukum eksternal yaitu budaya

hukum masyarakat, yaitu sejauhmana tanggapan dan ketaatan hukum

masyarakat terhadap peraturan yang telah ditetapkan.

2. Upaya yang seharusnya diakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan dalam menangani perambahan hutan yaitu:

a. Tindakan represif atau penggunaan sarana Pidana (criminal law

application), Upaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana

pidana pada hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana.

Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan akan melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan yang

ada seperti Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

kehutanan yang berada pada garis terdepan atau lapis pertama dalam

penegakan hukum, sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada garis

kedua. tujuan akhir penegakan hukum terhadap perambahan hutan bukan

berarti berapa banyak kasus yang ditangani dan berapa lama vonis yang

dijatuhkan oleh hakim terhadap para pelaku tindak pidana perambahan,

tetapi yang terpenting adalah bagaimana kelestarian serta keutuhan

kawsan hutan dapat dipertahankan, serta keadilan terhadap masyarakat

dapat tercapai.

b. Tindakan preventif atau pencegahan tanpa pidana (prevention without

punishman), upaya penegakan hukum dengan tindakan preventif atau

tanpa pidana lebih bersifat tindakan pencegahan terhadap terjadinya

kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menanganai faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara

lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuh-suburkan kejahatan. Penyebab timbulnya perambahan hutan

di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:

cxliii

1. Faktor Internal, (1). lemahnya pengawasan oleh petugas Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan terhadap kawasan hutan, hal ini karena

dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sarana dan fasilitas yang

tersedia belum memadai, jumlah personil yang belum mencukupi,

sulitnya medan yang harus dilalui, serta kesejahteraan petugas. (2).

Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh petugas Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, hal ini akan berpengaruh terhadap

kredibilitas institusi dimata masyarakat.

2. Faktor Eksternal, (1). adanya akses Jalan yang memotong kawasan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dengan adanya ketersediaan

jalan yang memotong kawasan hutan maka akan memberikan

kemudahan bagi para pelaku illegal masuk kedalam kawasan hutan,

sehingga akan semakin memperparah kondisi kawasan. (2).

kemiskinan masyaraankat yang ada disekitar kawasan hutan Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, hampir semua masyarakat yang

berada disekitar kawasan taman nasional bukit barisan selatan adalah

petani, keterbatasan lahan yang dimiliki oleh warga dan peningkatan

pemenuhan kebutuhan hidup, menyebabkan masyarakat yang kurang

mampu akan melakukan perluasan areal pertaniannya ke dalam

kawasan. (3). tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat

perambah yang masih rendah, dan masih kurangnya keahlian dibidang

lain, maka hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan

perambahan karena tidak ada alternatif lain. (4). masih kurangnya

dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan

hautan, menyikapi masalah ini antara pengelola taman nasional bukit

barisan selatan dengan pemerintah daerah setempat harus dapat

mensinergikan kebijakan penurunan perambah dengan kebijakan

pemabangunan dimasa mendatang.

Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah

melakukan beberapa tindakan preventif yang telah dilakukan dalam

cxliv

rangka mencegah terjadinya perambahan hutan seperti diantaranya

program masyarakat desa konservasi, penguatan daerah penyangga,

pembentukan kader konservasi, pembentukan pengaman swakarsa.

Langkah-langkah tersebut telah dilakukan oleh pihak pengelola

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan namun kalau tidak dilakukan

secara kontinyu dan belum didukung oleh sarana prasarana serta

pendanaan yang mencukupi, maka tindakan tersebut tidak akan dapat

mencapai tujuan yang diharapkan. Disamping tindakan preventif yang

telah dilakukan pihak taman nasional bukit barisan selatan juga

dilakukan tindakan represif seperti operasi rutin, operasi fungsional

serta operasi gabungan penurunan perambah dengan melibatkan unsur

penegak hukum lainnya, langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan

sesuai dengan tujuan yang diharapkan tanpa didukung dengan sarana

prasarana serta pendanaan yang mencukui. Pemerintah daerah

merupakan lembaga yang harus diajak bekerjasama untuk

menyelesaikan perambahan hutan, khususnya dalam pengambilan

kebijakan agar supaya tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.

B. Implikasi

1. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan sudah diaksanakan baik dalam tindakan preventif atau

pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman) maupun tindakan

represif atau penerapan hukum pidana (criminal law application), namun

kenyataannya belum sesuai dengan harapan semua pihak baik pengelola

Taman Nasional sendiri maupun masyarakat secara umum, hal ini karena

disebabkan oleh faktor-faktor seperti Undang-undang yang menjadi acuan

dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan, aparat penegak

hukumnya atau yang melaksanakan undang-undang, sarana dan fasilitas

yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum, masyarakat serta budaya.

Kesemua faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap perambahan

hutan tersebut belum bisa diatasi maka penegakan hukum terhadap

cxlv

perambahan hutan tidak akan efektip, dan keutuhan kawasan hutan Taman

Nasional akan terganggu serta kelestariannya sebagai warisan dunia tidak

dapat dipertahankan.

2. Upaya untuk mempertahankan keutuhan kawasan Taman Nasional bukit

barisan Selatan mutlak harus dilaksanakan baik melalui tindakan preventif

atau pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman) maupu

dengan cara represif (criminal law application) penggunaan sarana pidana,

apabila upaya tersebut belum bisa dijalankan dengan efektif oleh aparat

penegak hukum, maka ancaman terhadap kelestarian dan keutuhan kawasan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan akan semakin meningkat, mengingat

jumlah penduduk terus bertambah dengan tidak didukung dengan

tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup maka masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan akan selalu menggantungkan hidupnya terhadap

hutan, sehingga fungsi hutan sebagai fungsi lindung, fungsi konservasi serta

fungsi produksi tidak bisa dipertahankan, oleh karena itu demi tercapainya

optimalisasi fungsi hutan secara berkelanjutan serta akan memberikan

makna yang sangat mendalam bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan

negara baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.

C. Saran

1. Pembangunan berkelanjutan adalah merupakan visi dan misi dari

pemerintah yang diwujudkan melalui lembaga yang ditunjuk dalam

pengelolaan dan pengamanan hutan secara menyeluruh. untuk itu perlu

diperhatikan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum

terhadap perambahan hutan seperti:

a. Perumusan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di

bidang kehutanan khususnya undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang

merumuskan tentang ancaman hukuman maksimum, seharusnya dimuat

tentang ancaman hukuman minimum, karena hal ini akan berpengaruh

terhdap penuntutan dan pejatuhan pidana atau vonis oleh hakim.

cxlvi

Memformulasikan mekanisme penyampaian berkas perkara dari penyidik

pegawai negeri sipil kehutanan kepada penuntut umum tanpa melalui

penyidik polri, hal ini sesuai dengan prinsif peradilan yang cepat, efisien,

dan biaya murah.

b. Peningkatan kuwalitas dan kuantitas aparat penegak hukum mutlak harus

dilakukan agar dapat meningkatkan profesionalisme aparat dengan

memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan baik

didalam maupun di luar negeri.

c. Pemerintah secara bertahap tidak menunda lagi untuk peningkatan sarana

dan prasarana dalam mendukung pengamanan hutan.

d. Meningkatkan fungsi penyuluhan atau sosialisasi terhadap masyarakat

yang ada disekitar kawasan hutan agar dapat menumbuhkan kepatuhan

dan ketaatan masyarakat terhadap hukum, serta memberikan alternatif

lain agar masyarakat tidak selalu menggantungkan hidupnya dari hutan.

e. Budaya aparat, pembenahan manajemen organisasi harus dilakukan, hal

ini berhubungan dengan Penempatan aparat yang harus sesuai dengan

integritas dan moral yang dimiliki, kesejahteraan aparat harus di

perhatikan untuk meningkatkan kinerja dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan harus

dilakukan guna untuk memberikan contoh dalam kepatuhan hukum

dalam budaya hukum masyarakat, serta nilai kearifan lokal yang ada

dalam masyrakat yang sudah luntur secara perlahan dapat dikembalikan

dengan penyadaran hukum terhadap masyarakat.

2. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan yang harus diutamakan adalah tindakan preventif

(prevention without punishman) atau dengan meniadakan faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya perambahan seperti (1). lemahnya

pengawasan dari aparat terhadap kawasan hutan, (2). ketidaktegasan dalam

cxlvii

menjalankan aturan, (3). adanya jalan yang memotong atau melintasi

kawasan hutan, (4) kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang

berada disekitar kawasan hutan, (5). tingkat pendidikan dan penegtahuan

masyarakat perambah yang masih rendah, (6). serta masih kurangnya

dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan hutan.

langkah ini harus dimulai dari berbagai upaya penyadaran kepada

masyarakat melalui penyuluhan, sosialisasi hingga pola pembangunan

ekonomi dan sumberdaya manusia khususnya desa-desa yang berbatasan

langsung dengan kawasan, dengan keterpaduan antara kebijakan

penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan. serta diiringi

dengan tindakan refresip (criminal law application) yaitu dengan

menggunakan sarana pidana yang bermula dari peringatan, hingga

pemidanaan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat, dengan meningkatkan kerjasama serta bantuan teknis dengan

aparat penegak hukum lainnya dalam rangka memperkuat penegakan

hukum (law enforcement) karena melihat dari jumlah luas kerusakan yang

terjadi saat ini. Kedua upaya ini harus dijalankan secara harmonis untuk

dapat mencapai tujuan penanganan perambahan yang juga merupakan

upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.

cxlviii

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung. ________________, 2001, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung Penerbit PT.Citra Aditya Bakti.

________________, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1,Kencana Jakarta Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Departemen Kehutanan, 2007 Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan, Jakarta. Edi Setiadi, 2009, Bahan kuiah Sistem Peradilan Pidana pada program Magister Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Esmi Warassih, 2005, Peranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama, Semarang.

Hartiwiningsih, 2008, Hukum Lingkungan Dalam Persepektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, UNS Press, Surakarta. H.B. Sutopo, 1992, Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, Surakarta. H.R. Otje Salman, Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat,Mengumpulkan, dan Membuka kembali, PT. Refika Aditama, Bandung. Kartodihardjo, 1999, Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi, LATIN Bogor, Lexy J. Moloeng, 2001, Metode Peneitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Marpaung, 1995, Tindak Pidana terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta. Nyoman Sarikat putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, bandung. Moeljatno, 1993, Azas-azas Hukum pidana, PT. Reneka Cipta, Jakarta.

cxlix

________, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta Munajat Danusaputro, 1985, Hukum Lingkungan, buku I umum, Binacipta Bandung. Muladi, “1988, Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, No. 2 , Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Sabian Utsman, 2008, menuju penegakan hukum responsive (konsep Philippe Nonet & Philip Selznick Perbandingan sipil law System & Common Law System Spiral Kekerasan & Penegakan Hukum), Pustaka Plejar, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. ________________, 1986, Hukum dan Mmasyarakat, Angkasa, Bandung. _____________, 2000Ilmu Hukum, Citra Adiya Bakti, Bamdung. Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodelogi Penelitian Hukum. ______, 2008, Pedoman Pembimbingan Tesis & Pedoman Penulisan Usulan

Penelitian & Tesis, Program Studi Magister (S – 2) Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas sebelas Maret.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, Cetakan I, CV. Rajawali, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung. _______________, 2008, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______________, 2007, Pengantar Penelitian HUKUM, Universitas Indonesia (UI-PRESS),

Soleman B. Taneko, 1993, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

cl

Sutan Remy Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta. Winarno Budyatmojo, 2008, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press. Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Undang-undang dan Peraturan Lainnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik, 2008

Surat Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober 1982

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Pebruari 1990, bahwa pengelolaan CAL.BBS digabungkan dengan TNBBS. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Bengkulu. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Lampung. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam Permenhut Nomor : P. 03/Menhut-II/2007 Tanggal : 1 Pebruari 2007

cli

Jurnal

“Agricultural Expansion and Deforestation: Modeling the Impact of Population, Market Forces, and Property Right.” Journal of Development Economics, Vol. 58 (1999) p.185-218.

Helena du Rees, “Can Criminal Law Protect the Environmental”, dalam avi brisman, crime-Environment Relationships And Environmental Justice, seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008

Data Elektronik:

http://fkkm.org/PusatData/index.php?lang=ind&action=kehutananmasyarakat

http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34

http://www.gunungleuser.or.id/artikel/penegakan%20Hukum%20TNGL,%20%28bukan%29%20Basa-basi_1.pdf

clii

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

1. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;

2. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;

3. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;

4. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

cliii

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN

BAB I KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu Pengertian

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

cliv

3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.

13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di

bidang kehutanan.

Bagian Kedua Asas dan Tujuan

Pasal 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.

Pasal 3

clv

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; 4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan

keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bagian Ketiga Penguasaan Hutan

Pasal 4

(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

1. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

2. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

3. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

clvi

BAB II STATUS DAN FUNGSI HUTAN

Pasal 5

(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:

1. hutan negara, dan 2. hutan hak.

(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Pasal 6

(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:

1. fungsi konservasi, 2. fungsi lindung, dan 3. fungsi produksi.

(2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:

1. hutan konservasi, 2. hutan lindung, dan

clvii

3. hutan produksi.

Pasal 7

Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:

1. kawasan hutan suaka alam, 2. kawasan hutan pelestarian alam, dan 3. taman buru.

Pasal 8

(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.

(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti:

1. penelitian dan pengembangan, 2. pendidikan dan latihan, dan 3. religi dan budaya.

(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 9

(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III PENGURUSAN HUTAN

clviii

Pasal 10

(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.

(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:

1. perencanaan kehutanan, 2. pengelolaan hutan, 3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta

penyuluhan kehutanan, dan 4. pengawasan.

BAB IV PERENCANAAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 11

(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.

Pasal 12

Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:

clix

1. inventarisasi hutan, 2. pengukuhan kawasan hutan, 3. penatagunaan kawasan hutan, 4. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan 5. penyusunan rencana kehutanan.

Bagian Kedua Inventarisasi Hutan

Pasal 13

(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.

(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.

(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

1. inventarisasi hutan tingkat nasional, 2. inventarisasi hutan tingkat wilayah, 3. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan 4. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.

(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.

(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Pengukuhan Kawasan Hutan

clx

Pasal 14

(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.

(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.

Pasal 15

(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:

1. penunjukan kawasan hutan, 2. penataan batas kawasan hutan, 3. pemetaan kawasan hutan, dan 4. penetapan kawasan hutan.

(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Bagian Keempat Penatagunaan Kawasan Hutan

Pasal 16

(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.

(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

clxi

Bagian Kelima Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan

Pasal 17

(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:

1. propinsi, 2. kabupaten/kota, dan 3. unit pengelolaan.

(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.

Pasal 18

(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Pasal 19

clxii

(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Penyusunan Rencana Kehutanan

Pasal 20

(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan.

(2) Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V PENGELOLAAN HUTAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 21

Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:

1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,

clxiii

2. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, 3. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan 4. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Bagian Kedua Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Pasal 22

(1) Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.

(2) Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.

(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.

(4) Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.

(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 23

Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

Pasal 24

clxiv

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Pasal 25

Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26

(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

(2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 27

(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi.

(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

clxv

(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi.

Pasal 28

(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29

(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi.

(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

(3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

clxvi

(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:

1. perorangan, 2. koperasi.

Pasal 30

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.

Pasal 31

(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.

(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.

clxvii

Pasal 33

(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.

(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

(3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 34

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:

1. masyarakat hukum adat, 2. lembaga pendidikan, 3. lembaga penelitian, 4. lembaga sosial dan keagamaan.

Pasal 35

(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.

(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.

(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

clxviii

Pasal 36

(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 37

(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 38

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

clxix

Pasal 39

Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Pasal 40

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pasal 41

(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:

1. reboisasi, 2. penghijauan, 3. pemeliharaan, 4. pengayaan tanaman, atau 5. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis,

pada lahan kritis dan tidak produktif.

(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

clxx

Pasal 42

(1) Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.

(2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

(1) Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi.

(2) Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah.

Pasal 44

(1) Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

(2) Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

clxxi

Pasal 45

(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.

(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.

(3) Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Pasal 46

Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

Pasal 47

Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:

1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan

2. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

clxxii

Pasal 48

(1) Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar

kawasan hutan.

(2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.

(3) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.

(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.

(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.

(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 49

Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Pasal 50

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

(3) Setiap orang dilarang:

clxxiii

(n). mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

(o). merambah kawasan hutan; (p). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

(q). membakar hutan; (r). menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam

hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (s). menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

(t). melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;

(u). mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

(v). menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;

(w). membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;

(x). membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

(y). membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

(z). mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

clxxiv

Pasal 51

(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.

(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:

1. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

2. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

3. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

4. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

5. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan

6. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

BAB VI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA

PENYULUHAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 52

(1) Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.

(2) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.

clxxv

(3) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.

Bagian Kedua Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pasal 53

(1) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan.

(2) Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.

(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat.

(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.

Pasal 54

(1) Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan.

(2) Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

clxxvi

Bagian Ketiga Pendidikan dan Latihan Kehutanan

Pasal 55

(1) Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia.

(2) Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselengaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Keempat Penyuluhan Kehutanan

Pasal 56

(1) Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.

(2) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

clxxvii

(3) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.

Bagian Kelima Pendanaan dan Prasarana

Pasal 57

(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

Pasal 58

Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII PENGAWASAN

Pasal 59

Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.

Pasal 60

clxxviii

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.

(2) Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.

Pasal 61

Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Pasal 62

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Pasal 63

Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.

Pasal 64

Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.

clxxix

Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII PENYERAHAN KEWENANGAN

Pasal 66

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 67

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

clxxx

3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X PERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 68

(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.

(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

1. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;

3. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan

4. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69

clxxxi

(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.

(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

Pasal 70

(1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.

(2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 71

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72

clxxxii

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 73

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.

(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

1. berbentuk badan hukum; 2. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas

menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan

3. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN

Pasal 74

(1) Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

(2) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.

clxxxiii

Pasal 75

(1) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

(2) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.

(3) Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Pasal 76

(1) Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.

(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.

BAB XIII PENYIDIKAN

clxxxiv

Pasal 77

(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:

1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

3. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

4. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

6. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

7. membuat dan menanda-tangani berita acara; 8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang

adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB XIV KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

clxxxv

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

clxxxvi

(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.

(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

Pasal 79

(1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.

(2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

clxxxvii

BAB XV GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 80

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.

(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 82

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

clxxxviii

undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.

BAB XVII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku:

1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).

Pasal 84

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta, Pada tanggal 30 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

clxxxix

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 1999

MENTERI NEGARA

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd. MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 167 Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I,

ttd.

LAMBOCK V. NAHATTANDS

cxc

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG KEHUTANAN

UMUM

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.

Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

cxci

Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan. Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal.

Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.

Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat,

cxcii

karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk mejaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranserta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.

Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.

Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.

Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.

Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta

cxciii

penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.

Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.

Selanjutnya dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dari uraian tersebut di atas, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang.

Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka semua ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tersebut tidak diatur lagi dalam undang-undang ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.

cxciv

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah semua benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13.

Hasil hutan tersebut dapat berupa:

1. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;

2. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;

3. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati

cxcv

penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang;

4. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain;

5. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.

Benda-benda tambang yang berada di hutan juga dikuasai oleh negara, tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang berlaku dengan tetap memperhatikan undang-undang ini.

Pengertian "dikuasai" bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini.

Ayat (2)

Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat sangat penting, strategis, serta berdampak nasional dan internasional, dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan, yang dapat berupa hutan atau bukan hutan.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

cxcvi

Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.

Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.

Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa.

Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan.

Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi.

Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Ayat (2)

cxcvii

Yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan.

Pasal 7

Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini merupakan bagian dari kawasan suaka alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.

Kawasan hutan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam berlaku bagi kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan-kepentingan religi dan budaya setempat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.

Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri

cxcviii

kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota.

Ayat (2)

Peraturan pemerintah tentang kebijaksanaan teknis pembangunan hutan kota memuat aturan antara lain:

1. tipe hutan kota, 2. bentuk hutan kota, 3. perencanaan dan pelaksanaan, 4. pembinaan dan pengawasan, 5. luas proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah

penduduk, tingkat pencemaran, dan lain-lain.

Peraturan pemerintah ini merupakan pedoman dalam penetapan peraturan daerah.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup Jelas

Pasal 12

Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu lama.

Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan.

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

cxcix

Ayat (3)

Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat yang lebih rendah.

Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan hak.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya.

Ayat (5)

Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya akan dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan.

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. tata cara, 2. mekanisme pelaksanaan, 3. pengawasan dan pengendalian, dan 4. sistem informasi.

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:

1. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;

2. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;

3. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan 4. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan,

terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.

cc

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan.

Peraturan pemerintah dimaksud antara lain memuat kriteria atau persyaratan hutan dan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya.

Pasal 17

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari.

Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.

Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).

Ayat (2)

cci

Dalam penetapan pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga harus mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan kearifan tradisional masyarakat.

Pembentukan unit pengelolaan hutan didasarkan pada kriteria dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.

Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah keseimbangan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara lestari.

Ayat (2)

Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya

ccii

kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.

Pasal 19

Ayat (1)

Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis", adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. kriteria fungsi hutan, 2. cakupan luas, 3. pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan 4. tata cara perubahan.

Pasal 20

Ayat (1)

Dalam menyusun rencana kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan pokok, harus diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Penyusunan rencana kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan.

Peraturan pemerintah tentang perencanaan kehutanan memuat aturan antara lain:

cciii

1. jenis-jenis rencana, 2. tata cara penyusunan rencana kehutanan, 3. sistim perencanaan, 4. proses perencanaan, 5. koordinasi, dan 6. penilaian.

Pasal 21

Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.

Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri.

Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan.

Pasal 22

Ayat (1)

Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya, dan keadaan hutan.

Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.

Ayat (2)

Cukup jelas

cciv

Ayat (3)

Pembagian blok ke dalam petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi pengelolaan hutan dan dapat memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat setempat.

Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan.

Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.

Ayat (4)

Penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan.

Ayat (5)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. pengaturan tentang tata cara penataan hutan, 2. penggunaan hutan, 3. jangka waktu, dan 4. pertimbangan daerah.

Pasal 23

Hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.

Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari.

Pasal 24

Hutan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta

ccv

ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam.

Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:

1. zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia;

2. zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti; dan

3. zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:

1. budidaya jamur, 2. penangkaran satwa, dan 3. budidaya tanaman obat dan tanaman hias.

Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:

4. pemanfaatan untuk wisata alam, 5. pemanfaatan air, dan 6. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:

7. mengambil rotan, 8. mengambil madu, dan 9. mengambil buah.

ccvi

Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS Indonesia.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilaksanakan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal, misalnya budidaya tanaman di bawah tegakan hutan.

Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.

Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.

Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau hutan tanaman berbagai jenis.

ccvii

Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.

Tanaman yang dihasilkan dari usaha pemanfaatan hutan tanaman merupakan aset yang dapat dijadikan agunan.

Izin pemungutan hasil hutan di hutan produksi diberikan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu maupun bukan kayu, dengan batasan waktu, luas, dan atau volume tertentu, dengan tetap memperhatikan azas lestari dan berkeadilan.

Kegiatan pemungutan meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama.

Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerjasama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional.

Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.

Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.

ccviii

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi:

1. kelestarian lingkungan, 2. kelestarian produksi, dan 3. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil

merata dan transparan.

Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi:

4. kepastian kawasan, 5. kepastian waktu usaha, dan 6. kepastian jaminan hukum berusaha.

Untuk mewujudkan asas keadilan, pemerataan dan lestari, serta kepastian usaha, maka perlu diadakan penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan.

Ayat (2)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. pembatasan luas, 2. pembatasan jumlah izin usaha, dan 3. penataan lokasi usaha.

Pasal 32

Khusus bagi pemegang izin usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan.

ccix

Ayat (3)

Untuk menjaga keseimbangan penyediaan bahan baku hasil hutan terhadap permintaan bahan baku industri hulu pengolahan hasil hutan, maka pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh Menteri.

Pasal 34

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan khusus seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology). Untuk itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat (indigenous institution), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem.

Pasal 35

Ayat (1)

Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan. Besarnya iuran tersebut ditentukan dengan tarif progresif sesuai luas areal.

Provisi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.

Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya.

Dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh pemegang izin apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha pemanfaatan hutan secara lestari.

Ayat (2)

Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam

ccx

rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan. Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. tata cara pengenaan, 2. tata cara pembayaran, 3. tata cara pengelolaan, 4. tata cara penggunaan, dan 5. tata cara pengawasan dan pengendalian.

Pasal 36

Ayat (1)

Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahannya.

Ayat (2)

Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Pemerintah memberikan kompensasi kepada pemegang hutan hak, apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37

Ayat (1)

Terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan.

ccxi

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)

Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.

Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 39

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. tata cara pemberian izin, 2. pelaksanaan usaha pemanfaatan, 3. hak dan kewajiban, dan 4. pengendalian dan pengawasan.

Pasal 40

ccxii

Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun fungsi lindung dan konservasi.

Upaya meningkatkan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi.

Pasal 41

Ayat (1)

Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan.

Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal.

Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya.

Ayat (2)

Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara spesifik cocok pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya mendukung ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi.

Penerapan teknik rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik, sehingga perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin.

Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.

ccxiii

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. pengaturan daerah aliran sungai prioritas, 2. penyusunan rencana, 3. koordinasi antar sektor tingkat pusat dan daerah, 4. peranan pihak-pihak terkait, dan 5. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis tanaman dan teknologi.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dukungan pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman, dan lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan pemerintah.

Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. teknik, 2. tata cara, 3. pembiayaan, 4. organisasi,

ccxiv

5. penilaian, dan 6. pengendalian dan pengawasan.

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan.

Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.

Ayat (4)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. pola, teknik, dan metode, 2. pembiayaan, 3. pelaksanaan, dan 4. pengendalian dan pengawasan.

Pasal 46

Fungsi konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara; diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)

ccxv

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. prinsip-prinsip perlindungan hutan, 2. wewenang kepolisian khusus, 3. tata usaha peredaran hasil hutan, dan 4. pemberian kewenangan operasional kepada daerah.

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.

Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan.

Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut.

ccxvi

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.

Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Huruf c

Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Huruf d

Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang.

Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat

ccxvii

tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Huruf e

Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin.

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

1. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.

2. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letakannya.

3. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.

Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

ccxviii

Huruf i

Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.

Huruf j

Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.

Huruf k

Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.

Huruf l

Cukup jelas

Huruf m

Cukup jelas

Ayat (4)

Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Ayat (1)

Kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memiliki peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari.

Ayat (2)

ccxix

Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan kultural, baik berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan.

Ayat (3)

Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik.

Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.

Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau memanfaatkan plasma nutfah secara tidak sah atau tanpa izin.

Pasal 53

Ayat (1)

Budaya IPTEK adalah kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap dan perilaku masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami, menguasai, menciptakan, menerapkan, dan mengembangkan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) departemen yang bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama lembaga penelitian nondepartemen.

Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi negeri dan swasta.

Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.

ccxx

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.

Ayat (4)

Untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang kondusif, pemerintah melakukan inisiatif dan koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara lain melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan disinsentif yang memadai.

Pasal 54

Ayat (1)

Pemerintah mengembangkan hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi paket teknologi tepat guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan.

Ayat (2)

Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan IPTEK, diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh manfaat dari hasil temuannya.

Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari pencurian terhadap hak paten, hak cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh peneliti atau lembaga Litbang.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 55

ccxxi

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Semua upaya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan manusia sebagai makhluk individu dan mahluk sosial.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.

Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional.

Ayat (4)

Mengingat penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.

Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Mengingat penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.

Pasal 57

ccxxii

Ayat (1)

Untuk penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang memadai.

Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.

Ayat (2)

Penyediaan kawasan hutan dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan usaha guna memberdayakan lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan.

Pasal 58

Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:

1. kelembagaan, 2. tata cara kerjasama, 3. perizinan, 4. pengaturan tenaga peneliti asing, 5. pendanaan dan pemberdayaan, 6. pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan, 7. sistem informasi, dan 8. pengawasan dan pengendalian.

Pasal 59

Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

ccxxiii

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam hutan tanpa izin.

Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya kebakaran hutan, labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan, kegiatan penggundulan hutan, serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi internasional.

Pasal 65

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. tata cara dan mekanisme pengawasan, 2. kelembagaan pengawasan, 3. obyek pengawasan, dan 4. tindak lanjut pengawasan.

Pasal 66

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang bersifat operasional.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

ccxxiv

1. jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan, 2. tatacara dan tata hubungan kerja, 3. mekanisme pertanggungjawaban, dan 4. pengawasan dan pengendalian.

Pasal 67

Ayat (1)

Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,

yang masih ditaati; dan 5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ayat (2)

Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

6. tata cara penelitian, 7. pihak-pihak yang diikutsertakan, 8. materi penelitian, dan 9. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.

Pasal 68

Ayat (1)

Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.

Ayat (2)

Cukup Jelas

ccxxv

Ayat (3)

Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka.

Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 69

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain sebagainya.

Ayat (2)

Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan dalam bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan pembiayaan.

Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti pengendalian banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan kondisi tata air.

Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai mitra sehingga terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan dinamis.

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

ccxxvi

Cukup jelas

Ayat (3)

Forum pemerhati kehutanan merupakan mitra pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan bagi pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan.

Keanggotaan forum antara lain terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemerhati kehutanan.

Ayat (4)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. kelembagaan, 2. bentuk-bentuk peran serta, dan 3. tata cara peran serta.

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

ccxxvii

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah sesuai keputusan pengadilan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 77

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi pejabat pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

ccxxviii

Menangkap dan menahan orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Dalam rangka menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu, maka penerapan koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap mengacu KUHAP dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Penghentian penyidikan wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum.

Ayat (3)

Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik POLRI. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan.

Mekanisme hubungan koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dengan pejabat penyidik POLRI dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 78

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan.

Ayat (4)

Cukup jelas

ccxxix

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Ketentuan pidana yang dikenakan pada ayat ini merupakan pelanggaran terhadap kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu sanksi pidana yang diberikan relatif ringan dan diarahkan untuk pembinaan.

Ayat (9)

Cukup jelas

Ayat (10)

Cukup jelas

Ayat (11)

Cukup jelas

Ayat (12)

Cukup jelas

Ayat (13)

Cukup jelas

Ayat (14)

Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.

Ayat (15)

ccxxx

Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain.

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.

Ayat (3)

Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:

1. ketentuan-ketentuan ganti rugi dan sanksi administratif, 2. bentuk-bentuk sanksi, dan 3. pengawasan pelaksanaan.

Pasal 81

Cukup jelas

Pasal 82

Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

Pasal 84

Cukup jelas

ccxxxi

ABSTRAK

Sadatin Misry, S.330908010, Penanganan Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Perambahan Hutan). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan belum mencapai tujuan yang diharapkan dan memberikan solusi upaya dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Penelitian ini termasuk penelitian non-doktrinal, dengan bentuk penelitian diagnostik, yang bersifat deskriptif dengan konsep hukum yang ke-5 yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan guna mendapatkan data skunder dan data primer. Analisis data menggunakan metode kwalitatif interaktif.

Setelah dilakukan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: 1) Masih terjadi perbedaan persepsi diantara para penegak hukum (kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dalam menterjemahkan arti perambahan hutan, sehingga berpengaruh terhadap penegakan hukum, kewenangan Penyidik pegawai negeri sipil masih dibatasi. 2) Kualitas/profesionalisme aparat penegak hukum di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih rendah dan dari segi kwantitas/jumlah juga masih kurang. 3) Sarana dan prasarana untuk mendukung penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih sangat minim. 4) Kesadaran hukum masyarakat khususnya yang berada disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih kurang, karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki. 5) Budaya masyarakat disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah mulai bergeser kearah lebih modern disebabkan oleh kemajuan teknologi dan pembangunan sehingga kearifan lokal dan ketaatan untuk menjaga lingkungan hidup sudah mulai memudar.

Upaya untuk menangani perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah dengan melakukan penegakan hukum secara preventif, pencegahan tanpa pidana dengan meniadakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perambahan, di iringi tindakan represif, penerapan hukum pidana dengan tahapan 1) koordinasi, 2) sosialisasi dan pendekatan emosional, 3) tindakan (action) 4) pembinaan/pengawasan terhadap perambah pasca tindakan 5) rehabilitasi lahan bekas perambahan.

Sebagai saran yang disampaikan adalah pendekatan integral seperti keterpaduan antara kebijakan penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan, pembenahan kualitas dan kwantitas aparat, pembenahan manajemen organisasi, serta peningkatan kerjasama dan bantuan teknis dalam rangka memperkuat penegakan hukum.

ccxxxii

Kata kunci : Penegakan Hukum, Perambahan Hutan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

A. Latar Belakang Masalah

Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam dan komponen

lingkungan hidup yang amat penting dan strategis, yakni sebagai suatu sistem

penyangga kehidupan dengan 3 (tiga) fungsi utamanya yang meliputi fungsi

konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Fungsi-fungsi tersebut

dengan jelas telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-undang nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan.112 Ketiga fungsi tersebut memiliki hubungan

timbal balik dan saling mengisi antara satu sama lainnya. Oleh karena itu,

pengelolaan fungsi tersebut amat penting, demi tercapainya optimalisasi

fungsi secara berkelanjutan serta memberikan makna yang sangat mendalam

bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara kita, masa sekarang dan

masa yang akan datang.

Akhir-akhir ini kejahatan dibidang kehutanan kehususnya perambahan

hutan intensitasnya semakin meningkat dan telah mengakibatkan kerugian

terhadap negara berupa ancaman kelestarian hutan, kerusakan lingkungan

yang menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap keseimbangan

ekosistem hutan. Langkah-langkah yang telah di tempuh oleh pihak pengelola

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari tindakan pereventif sampai

dengan tindakan represif sudah banyak dilaksanakan.

Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) telah sering dilakukan baik

melalui tindakan represif (operasi rutin, operasi fungsional dan operasi

penurunan perambah serta operasi gabungan) maupun dalam bentuk kegiatan

pemberdayaan dan pembinaan daerah penyangga yang difokuskan pada

peningkatan ekonomi masyarakat di desa penyangga (desa yang berbatasan

langsung dengan kawasan), penyuluhan dan pembinaan partisipasi

112 Departemen Kehutanan, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan,

Jakarta, 2007

ccxxxiii

masyarakat, optimalisasi pemanfaatan, namun demikian, upaya tersebut

kurang didukung oleh sumberdaya dan pendanaan yang memadai serta masih

kurangnya dukungan dari pihak pemerintah daerah sehingga hanya efektip

untuk kasus-kasus perambahan dalam skala kecil, sementara tekanan

perambahan makin terus meningkat. Terdapat tiga unsur yang harus

diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum

(rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan

(gerechttigheit)113. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena

dengan kepastian hukum masyarakat akan menjadi lebih tertib, kemanfaatan

hukum, hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia, jadi harus

memberikan manfaat bagi manusia, sedangkan keadilan hukum harus

memberikan rasa keadilan dalam masyarakat bukan sebaliknya hukum

membuat resah masyarakat.

Upaya untuk mengatasi dan menangani masalah perambahan hutan

merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian semua pihak

dalam rangka menyelasaikan berbagai persoalan yang terjadi karena ini

menyangkut kepentingan banyak pihak sehingga permasalahannya bersifat

multidimensi, apalagi dengan adanya otonomi daerah dimana daerah diberi

wewenang dalam pengurusan hutan sering mengabaikan makna dari otonomi

daerah itu sendiri. Dari upaya penanganan yang telah dilakukan oleh pihak

Balai Besar Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan bekejasama dengan aparat

penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) dari

tindakan represif dan pereventif yang selalu melibatkan unsur masyarakat

nampaknya belum bisa mengatasi permasalahan yang ada yaitu untuk

menghentikan kegiatan perambahan hutan diwilayah Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan sehingga kelestarian dan keutuhan kawasan belum dapat

tercapai.

B. Perumusan Masalah

113 Sudikno Manrtokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, penerbit Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145

ccxxxiv

Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka dalam penelitian ini

perlu di rumuskan suatu permasalahan agar dapat mewujudkan tujuan yang

diharapkan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

3. Mengapa penanganan perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan belum efektif ?

4. Upaya apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani perambahan

hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ?

C. Tujuan Penelitian

3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak efektifnya penanganan

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

4. Untuk mengetahui upaya yang seharusnya dilakukan dalam penanganan

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

D. Kajian Teori

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori bekerjanya hukum

dalam masyrakat yang digagas oleh Soerjono Soekanto, dan teori

Penaggulangan Kejahatan yang digagas oleh G. Peter Hoefnagels.

1. Teori Bekerjanya hukum dalam masyarakat

Soejono Soekanto.114 mengemukakan bahwa untuk melihat apakah hukum

itu dapat ditegakkan atau tidak maka dalam pelaksanaan penegakan hukum

di pengaruhi oleh 5 (lima) faktor pokok yaitu:

a. Undang-undang atau peraturan hukum b. Aparat penegak hukum. c. Sarana dan fasilitas d. Faktor masyarakat e. Faktor kebudayaan.

2. Teori Penanggulangan Kejahatan.

114 Soejono Soekanto, Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grafindo Perkasa, Jakarta, 1993. Hal. 5

ccxxxv

Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang sering dikenal dengan

istilah ”politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas G.

Peter Hoefnagels menggambarkan ”Criminal Policy” dengan skema

sebagai berikut 115

ad. of crime.justice in narrow sense: soc. policy crime legislation crime jurisprudence community crime. process in wide sense planning sentencing mental health forensic psychiatary and nat. mental health psicology sot work child forensic social work walfere crime, sentence executonand administrative policy statistic civil law

Dari skema diatas terlihat, bahwa menurut G. Peter Hoefnagels upaya

penaggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

d. penerapan hukum pidana (criminal law application); e. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman); f. mempengaruhi pandangan masyarakat menegenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishman/mass media).

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis

besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur ”penal” (hukum pidana) dan lewat

jaur ”non penal” (bukan/di luar huum pidana). dalam pembagian G.P.

Hoefnagels diatas upaya dalam butir (b) dan (c) dapat disebutkan dalam

kelompok ”non penal”.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jaur ”non penal” lebih

bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utaanya

115 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-39 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 2007, hal. 10

criminal policy

prevention without punishman

crime law application (practical criminology)

influencing view of societynon crime and punishman (mass media)

ccxxxvi

adalah menegenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan,

faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan antara lain berpusat pada

masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secra langsung atau

tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum non

doktrinal, sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan penelitian

diagnostik yaitu merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk

mendapatkan keterangan menegenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau

beberapa gejala, dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian yang

deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti seteliti

mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,116

Dalam mempelajari hukum tentunya tidak bisa terlepas dari 5 (lima)

konsep hukum menurut Soetandyo wignyosoebroto, sebagaimana dikutif oleh

Stiono, ke 5 (lima) konsep hukum tersebut yaitu:

6. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal;

7. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional;

8. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcretto dan tersistematis sebagai judge made law;

9. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik;

10. Hukum adalah manivestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.

Berdasarkan atas penjelasan dari kelima konsep hukum tersebut,

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non doktrinal penulis

menggunakan konsep hukum yang ke 5 (lima), yaitu Hukum adalah

manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam

interaksi antar mereka. tipe kajiannya sosiologi dan/antropologi hukum yang

ccxxxvii

mengkaji ” law as it is in (human) action ” dengan menggunakan metode

penelitian sosiologi dan/atau sosial/non-doktrinal dengan pendekatan

intraksional/mikro dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode

penelitiannya kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji

humaniora dan orientasinya kepada simbolik interaksional.117

2. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dalam penelitian ini di lakukan di: Balai Besar Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Pengadilan Negeri Liwa di Lampung Barat,

Cabang Kejaksaan Negeri Liwa, Kepolisian Resort Lampung Barat,

Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat (Dinas Kehutanan dan Sumber Daya

Alam).

3. Data dan Jenis Data

Dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal (normatif) maka

jenis data adalah data sekunder yang mencakup: Data Primer, Data Sekunder

(Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, Bahan Hukum Tertier

4. Teknik Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan data primer, maka teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah wawancara secara mendalam (indefth interview) observasi

dan studi dokumentasi.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis kualitatif, adalah untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya

secara operasional dengan menggunakan pendekatan deduktif dan interpretasi 118. Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok

yaitu: Reduksi data, Sajian data, kesimpulan atau verifikasi data 119. Teknik

analisis kualitatif interaktif dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang

117 Burhan Ashshofa., Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta, 2001, hal .11

118 Burhan Ashshofa, Ibid, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Hal. 74 119 H.B. Sutopo,Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, surakarta, 2006, hal.120

ccxxxviii

utuh antar ke tiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data, serta verifiksi

data) yaitu sebagai berikut:

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum tentang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

a. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan kawasan

konservasi terbesar ketiga di Sumatera. (setelah Taman Nasional Gunung

Leuser di Nangroe Aceh Darussalam, dan Taman Nasional Kerinci Sebelat di

Propinsi Jambi) Pada awalnya Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan

Suaka Margasatwa yang ditetapkan pada tahun 1935 melalui Besluit Van der

Gouverneur Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SS I)

dan diperuntukkan bagi perlindungan hidupan liar khususnya mamalia besar

yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Badak (Dicerorhinus

sumatrensis) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Ditetapkan

sebagai kawasan Taman Nasional melalui surat pernyataan Menteri Pertanian

No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982. 120. Kemudian pada tahun

1997 dibentuk Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melalui SK

Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-lI/1997 tanggal 31 Maret 1997. Pada tahun

2004 TNBBS ditetapkan sebagai salah satu dari enam taman nasional yang

ditetapkan sebagai natural wolrd haritage site. Selain kawasan darat,

ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ± 21.600

Ha dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisn Selatan melalui Surat

Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari

1990.121

b. Luas dan Kedudukan

120 Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober

1982 121 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

ccxxxix

Kawasan TNBBS meliputi areal seluas ± 356.800 Ha yang membentang

dari ujung Selatan bagian Barat Propinsi Lampung sampai bagian selatan

Propinsi Bengkulu yang secara geografis terletak pada 4°29’ - 5°57’ LS dan

103°24’-104°44’ BT. Secara administrasi pemerintahan, kawasan Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan termasuk dalam wilayah Kabupaten

Tanggamus (Kecamatan Kotaagung, Wonosobo, Pematang Sawa dan Semaka),

Propinsi Lampung seluas ± 10.500 Ha, Kabupaten Lampung Barat (Kecamatan

Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, Bengkunat, Balik Bukit, Belalau,

Sekincau, Way Tenong, Sumberjaya dan Suoh), Propinsi Lampung seluas ±

280.300 Ha dan Kabupaten Kaur (Kecamatan Nasal, Bintuhan, Tanjung Iman,

Padang Guci, Muara Saung, dan Maje), Propinsi Bengkulu seluas ± 66.000 Ha.

Sementara bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional

berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan, masing-masing dengan

Kecamatan Banding Agung, Kecamatan Pembantu Mekakau Ilir dan

Kecamatan Pulau Beringin, Kabupaten Ogan Komering Ulu.

PEMBAHASAN

Dalam membahas permasalahan mengapa penegakan hukum terhadap

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan selatan belum efektif,

peneliti menggunakan teori digagas oleh Soerjono Soekanto. yang menyatakan

bahwa dalam penegakan hukum dipeangaruhi oleh faktor-faktor seperti, Undang-

undang, Aparat penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Budaya.

Secara umum atau secara makro penanganan perambahan di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan baik secara preventif maupun represif belum

efektif, untuk menjawab semua itu perlu diuraikan sebagai berikut:

1. Penegakan Hukum perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

belum efektif disebabkan karena dipengaruhi oleh:

a. Undang-undang.

Peraturan hukum merupakan hasil karya manusia untuk itu tidak

mungkin akan mencapai kesempurnaan, terlebih lagi kesempurnaan yang

bersifat hakiki. Hal ini disebabkan karena kemampuan manusia untuk dapat

ccxl

menciptakan hukum di batasi oleh kemampuan yang bersifat manusiawi

yang ada dalam diri manusia. Hukum itu hanya sebagai sarana, karena itu

kalau hukumnya baik maka akan tersedia sarana yang baik pula. Hukum

yang baik belum tentu akan menjamin bahwa kebaikan akan sungguh-

sungguh dapat terlaksana, oleh karena itu demi berhasilnya pengaturan yang

baik maka perlu disusun hukum yang baik dan perlu pelaksanaan yang

nyata.

Hukum yang berkembang dibidang kehutanan ditandai dengan

terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam

undang-undang tersebut telah dimuat larangan yang disertai ancaman

pidana, namun keberadaan undang-undang yang spesifik yang mengatur

tentang kehutanan tidak serta merta penegakan hukumnya menjadi hal yang

mudah, penegakan hukum dalam bentuk prefentif dan represif yang terarah

dan terukur.

Dari hasil penelitian, maka terhadap faktor undang-undang yaitu

Undang-undang Nomor. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di jelaskan

bahwa Undang-undang ini tampaknya memanfaatkan semua sistem sanksi,

baik sistem sanksi administratif, sistem sanksi perdata, maupun sistem

sanksi pidana dalam mempertahankan norma-norma administratif di bidang

kehutanan. Undang-undang No. 41 tahun 1999 menggunakan pola ancaman

komulatif pidana penjara dan denda, pola ancaman yag demikian itu

merupakan pola ancaman yang bersifat kaku dan imperatif. Lamanya sanksi

pidana penjara dan besarnya pidana denda tidak bisa dijadikan ukuran untuk

menentukan tingkat keseriusan tindak pidana di bidang kehutanan. Dalam

Undang-undang ini juga menjelaskan subjek tindak pidana dibidang

kehutanan tidak hanya manusia sebagai pribadi, tetapi juga badan badan

usaha sehingga badan usaha atau bisa dipertanggungjawabkan dan dipidana.

Namun sangat disayangkan didalam undang-undang itu sendiri tidak

dijelaskan kapan suatu badan hukum itu melakukan tindak pidana di bidang

ccxli

kehutanan sehingga sangat sulit untuk menyeret suatu badan hukum atau

badan usaha tersebut ke pengadilan.122

Adanya ketentuan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan yang tidak memuat sanksi pidana minimum melainkan

pidana maksimum sehingga hakim dalam menjatukan pidana tidak dapat

optimal. Dan pada umumnya pelaku perambahan hutan yang di jatuhi sanksi

pidana adalah mereka yang melakukan perambahan dalam sekala kecil saja.

b. Aparat Penegak Hukum

Masalah penegakan hukum adalah sangat luas karena mencakup

mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung

dibidang penegakan hukum atau Law enforcement. Secara sosiologis

penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan pranan (role)

kedudukan (sosial) yang merupakan posisi tertentu dalam kemasyarakatan.

Orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat biasa disebut

pemegang peran (role occupant) peranan tertentu dapat dijabarkan dalam

unsusr-unsur :

e. Peranan yang idial (ideal role) f. Peranan yang seharusnya (expected role) g. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) h. Peranan yang sebenarnya (actual role)

Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori penegak hukum dalam

kontek perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

termasuk Polisi Kehutanan, Penydik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,

Polisi, Jaksa dan Hakim, aparat hukum tersebut secara sendiri-sendiri atau

bersama-sama tidak akan mampu untuk melakukan upaya penegakan

preventif dan represif, tanpa dukungan masyarakat dan unsur lembaga

pemerintahan lainnya, lebih jauh lagi sering ditemukan faktor teknis dan

non teknis yang mempengaruhi kinerja penegak hukum misalnya deteksi

122 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,

PT. Citra Aditya Bakti, 2008

ccxlii

dini yang memerlukan partisipasi masyarakat, pendanaan penyelidikan,

penyidikan, penahanan dan sebagainya.

Terhadap pelaksanaan tugas penyidikan terhadap Undang-undang

tertentu keberadaan PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik

Polri. PPNS mempunyai fungsi dan peranan sebagai perpanjangan tangan

Polri dalam upaya penegakan hukum, khususnya tindak pidana yang terjadi

di luar KUHP. PPNS merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana

(criminal justice system). "PPNS merupakan penyidik yang mandiri.

Penyidik Polri dalam melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap

PPNS tidak membawahi PPNS akan tetapi bersifat pembinaan, baik diminta

ataupun tidak diminta Penyidik Polri wajib memberikan pembinaan kepada

PPNS. pengertian koordinasi disini adalah suatu bentuk hubungan kerja

antara penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka

peaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penyidikan atas dasar

hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirarki dari masing-

masing instansi 123.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan

penyidikan terhadap tindak kejahatan kehutanan (Pasal 78 Undang-Undang

No. 41 Tahun 1999). PPNS Kehutanan melakukan tugas lex specialist, oleh

karena itu PPNS harus lebih menguasai bidangnya dibandingkan dengan

Penyidik Polri. Untuk menjamin kelancaran penyidikan tindak pidana

dibidang kehutanan, sebaiknya penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai

Negeri Sipil Kehutanan dan bukan Penyidik Polri. Pengalaman

menunjukkan bahwa penyidikan yang dilakukan sendiri lebih cepat, murah

dan tepat.

c. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan

dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan, dengan ketiadaan atau

123 Anonimous, Dasar hukum pelaksanaan tugas PPNS, bahan ajar Diklat Jagawana, Sekolah calon Perwira Polri, Sukabumi, 2000

ccxliii

keterbatasan sarana dan prasarana maupun penunjang lainnya akan sangat

mempengaruhi keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan

khususnya di Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan. Tanpa adanya sarana

dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan

berlangsung dengan optimal. Terhadap faktor sarana atau fasilitas bahwa

dalam penegakan hukum tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka

tidak mungkin penegakan hukum akan lancar dan sesuai dengan apa yang

diharapan, sarana atau fasilitas tersebut antara lain yaitu mencakup tenaga

manusia yang berpendidikan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup, khususnya mengenai tindak pidana

perambahan hutan karena mengingat lokasi atau Tempat Kejadian Perkara

(TKP) yang berada di dalam kawasan hutan yang memerlukan biaya yang

cukup tinggi karena tidak semua lokasi bisa dijangkau dengan menggunaan

kendaraan baik roda dua maupun roda empat dan memerlukan waktu yang

cukup lama karena tidak menutup kemungkinan lokasi tersebut tidak dapat

dijangkau dalam hitungan waktu.

Dari hasil penelitian dan wawancara diperoleh bahwa untuk

melakukan pengamanan dan penanganan terhadap perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan jumlah luasan kawasan yang

begitu luas mencapai 356.800 ha dengan jumlah aparat yang masih terbatas

dimana dalam organisasi Taman Nasional dalam pengelolaannya dibagi

dalam resort-resort yang tentunya akan didukung dengan sarana prasarana

yang memadai untuk menunjang pelaksanaan tugas. Sarana dan prasarana

merupakan elemen yang sangat penting dalam upaya penegakan hukum

terhadap tindak pidana.

d. Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian dan keadilan dalam masyarakat, maka masyarakat

dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum. Dari sudut sistem sosial

budaya, indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk (plural

ccxliv

society) terdapat banyak golongan etnik dengan kebudayaan yang berbeda-

beda, disamping itu sebagian besar penduduk Indonesia tinggal dipedesaan

yang tentunya berbeda dengan ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang

timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan

cara-cara tradisional, demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua

masalah bisa diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara tradisional.124

Analisis faktor yang keempat yaitu faktor Masyarakat, dalam

penanganan perambahan hutan tentang faktor masyarakat dikhususkan

terhadap masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan dan masyarakat

perambah. Dalam kehidupan sehari-hari seorang aparat penegak hukum

pasti akan menghadapi bermacam-macam manusia dengan latar belakang

maupun pengalaman masing-masing, diantara mereka ada yang taat pada

hukum, ada yang pura-pura mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya

sama sekali, dan ada pula yang terang-terangan mentaatinya. Hal ini

disebabkan salah satunya yaitu tingkat pendidikan dan pengetahuan

masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan yang pada umumnya masih

rendah. serta kearifan lokal yang merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku

dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan

mengelola lingkungan hidup secara lestari sudah mulai memudar, hal ini

disebabkan oleh tuntutan kebutuhan hidup.

e. Faktor Budaya

Faktor budaya disini akan dijelaskan tentang budaya hukum yang di

katakana oleh Lawrence Friedman bahwa ada dua budaya hukum yaitu

budaya hukum Internal dan budaya hukum eksternal.

a. Budaya hukum Internal adalah budaya hukum orang-orang yang bertugas

untuk menjalankan hukum termasuk didalamnya adalah polisi, jaksa dan

hakim maupun penyidik pegawai negeri sispil, budaya hukum internal

aparat penegak hukum agar bisa dikatakan budaya yang baik harus

124 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grapindo Persada, Jakarta, 2008

ccxlv

dimulai dari sejak awal rekrutmen pegawai, hal ini harus dilakukan

dengan cara menegakkan prinsip transparansi, profesionalisme, dan

akuntabilitas, sehingga akan dapat menghilangkan pola rekrutmen yang

didasari pada kolusi, korupsi dan nepotisme.

b. Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat, yaitu

sejauhmana tanggapan dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap

peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Soerjono soekanto mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah

sebagi hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

dalam pergaulan hidup, artinya budaya hukum masyarakat adalah

pemaknaan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan dari pandangan yang mereka yakini, hal ini berkaitan dengan

seberapa jauh tingkat penerimaan masyarakat terhadap peraturan

perundang-undangan yang telah disosialisasikan oleh instansi yang

berwenang. Apabila sosialisasi telah cukup dilakukan, langkah

selanjutnya adalah tindakan persuasiasif untuk mengarahkan budaya

masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat undang-

undang.

Ada dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat

yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi

sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang

dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah

laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan

telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga

adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini

kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses

belajar.

2. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam penegakan hukum terhadap

perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

ccxlvi

Berdasarkan teori yang digagas oleh G.P. Hoefnagels tentang

penanggulangan kejahatan bahwa upaya penegakan hukum atau upaya

penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

4. Penerapan hukum pidana (criminal law application); 5. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman); 6. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanan lewat mass media (influencing views of society on crime and funeshman/mass media).125

1. Tindakan represif atau penggunaan sarana pidana (criminal law

application).

Usaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana pidana pada

hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana. Penggunaan Hukum

pidana memang bukanlah sarana utama yang dapat digunakan untuk

menanggulangi kejahatan, karena apabila hukum pidana dipaksakan

dalam menanggulangi kejahatan maka tidak mungkin hukum pidana akan

menjadi salah satu faktor kriminogen karena tidak semua persoalan

hukum penyelesaiannya melalui sistem peradilan pidana. Kalau dilihat

dari sudut kepentingan yang akan dilindungi, sistem peradilan pidana

bertujuan untuk melindungi kepentingan si pelapor (korban), dalam hal

ini kepentingan pemerintah atau kepentingan Negara yang juga bertujuan

melindungi kepentingan masyarakat.

Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan akan melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan

yang ada seperti Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan, mereka berada pada garis terdepan atau lapis pertama dalam

penegakan hukum, sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada lapis

kedua126.

125 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-40

126 Tamen Sitorus, Pola Perlindungan yang Mantap Pada Tingkat Hulu, http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34

ccxlvii

Sasaran akhir dari penegakan hukum terhadap perambahan hutan

adalah terciptanya kondisi hutan yang baik sehingga terjamin kelestarian

dan keutuhannya. Fungsi hutan dapat dipertahankan jika telah

memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan, sehingga masyarakat akan mendukung upaya-

upaya pelestarian hutan. Jadi jelas bahwa tujuan akhir penegakan hukum

terhadap perambahan hutan bukan berarti berapa banyak kasus yang

ditangani dan berapa lama vonis yang dijatuhkan oleh hakim terhadap

para pelaku tindak pidana kehutanan, tetapi yang terpenting adalah

bagaimana kelestarian dan keutuhan hutan dapat dipertahankan127.

Penanganan perambahan hutan di taman nasional bukit barisan

selatan harus dilihat kasus perkasus, artinya tidak bisa disamaratakan,

unsur keadilan tentunya harus seimbang dengan unsur kepastian hukum

walaupun dalam kenyataannnya sulit untuk pencapaian antara kedua

unsur tersebut.

Agar tujuan dari penegakan hukum dapat memberikan kepastian

hukum dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena melihat

dari luasan lahan yang sudah di rambah dan jumlah perambah begitu

banyak, maka sebelum dilakukan tindakan refresip dengan

menggunakan sarana pidana hendaknya dilihat tahapan-tahapan seperti:

Koordinasi, Ssialisasi, Pendekatan emosional, tindakan, pengawasan,

dan rehabilitasi.

2. Penegakan hukum dengan tanpa pidana/tindakan preventif

(prevention without punishman)

Penegakan hukum dengan tindakan tanpa pidana atau tindakan

preventif yaitu menitikberatkan pada sifat prevenventive (pencegahan

/penangkalan /penegndalian) sebelum kejahatan itu terjadi. Upaya

penegakan hukum dengan tindakan preventif atau tanpa pidana lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran

127 Tamen Sitorus, Ibid , hal-5

ccxlviii

utamanya adalah menanganai faktor-faktor kondusif penyebab

terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat

pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung

atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan

kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara

makro dan global maka upaya –upaya preventif menduduki posisi kunci

dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. dikatakan posisi

kunci dan strategis khususnya dalam menanggulangi sebab-sebab dan

kondisi-kondisi yang menimbukan kejahatan.

Dari penjelasan di atas bila dikaitkan dengan penegakan hukum

terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

maka terlebih dahulu akan dilihat penyebab timbulnya perambahan

hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:

a. Faktor internal, faktor yang terdapat pada Balai Besar Taman Nasional itu sendiri.

1. Lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan oleh petugas

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan dapat

disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya : Fasilitas atau sarana

dan prasarana yang tersedia belum memadai atau belum

mendukung untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pengawasan

dan pengamanan yang lebih intensif, Jumlah personil pegawai

kehutanan yang belum seimbang dengan luas kawasan yang harus

di awasi, atau rasio kecukupan antara petugas dengan jumlah luas

kawasan belum sebanding, masalah kesejahteraan petugas, serta

sulitnya medan yang harus dilalui, sehingga menuntut kecakapan

personil untuk mampu mengawasi wilayah dan mengamankan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

b. Ketidaktegasan atau kurang keseriusan dalam menjalankan

aturan.

ccxlix

Ketidaktegasan oleh aparat penegak hukum dalam

menjalankan aturan maka akan membuat Masyarakat semakin

berani untuk merambah kawasan. Aturan merupakan pedoman

untuk menjaga kelestarian serta keutuhan kawasan hutan. Aturan-

aturan yang diberlakukan terkadang penerapan dilapangan kurang

atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan

hutan yang dirambah kerusakan yang dialami akan semakin

parah. Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh aparat

penegak hukum akan berpengaruh terhadap kredebilitas institusi

di mata masyarakat.

2. Faktor eksternal yang terdapat di luar Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan yaitu:

a. Adanya akses Jalan yang memotong kawasan Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan;

Dengan adanya ketersediaan jalan yang memotong dalam

kawasan Taman Nasional maka akan sangat berpengaruh

terhadap kelestarian dan keutuhan kawasan. Kemudahan bagi

masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi

bagi perambah untuk melakukan pembukaan lahan di dalam

kawasan hutan. Hal ini juga merupakan dampak dari

pembagunan, disisi lain dengan adanya akses jalan maka laju roda

perekonomian di daerah akan lebih baik dan bisa mensejahterakan

masyarakat, namun disisi lain khususnya terhadap kawasan

Taman Nasional akan menghadapi ancaman terhadap kelestarian

dan keamanan serta keutuhan kawasan tersebut.

b. Faktor kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang ada

disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;

Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat

yang ada disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin.

ccl

Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri.

Hampir di semua Desa yang berbatasan langsung dengan Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan adalah masyarakat petani,

masyarakat yang hanya mengandalkan sumber mata pencariannya

dari sektor pertanian, data statistik menunjukkan ± 128.485

penduduk sekitar taman nasional bukit barisan selatan adalah

petani. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga

serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang

kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya.

c. Tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang

masih rendah.

Masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan

masyarakat perambah, akan berdampak pada kelestarian dan

keamanan serta keutuhan kawasan hutan dan keselamatan

lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional

masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan

menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang

kearifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan

desakan ekonomi yang semakin sulit. Umumnya masyarakat

perambah, tingkat pendidikan masih rendah dengan melihat dari

beberapa kasus yang ditangani rata-rata pelaku perambahan

berpendidikan Sekolah Dasar, disamping itu kurangnya keahlian

dibidang lain, maka hal tersebut akan dapat mendorong mereka

untuk melakukan kegiatan perambahan hutan karena tidak ada

alternatif lain.

d. Masih kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam

penaganan masalah perambahan hutan.

ccli

Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tanpa

mengindahkan makna dari otonomi secara utuh maka akan

menyuburkan indikasi kurang jelasnya rumusan peraturan

perundang-undangan tentang batas-batas kewenangan, hak dan

kewajiban masyarakat dalam bidang tertentu, sehingga

interprestasi hukum dan putusan hukum menghasilkan

ketidakadilan.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pebahasan, maka peneliti dapat mengambil suatu

kesimpulan bahwa:

1. Penanganan perabahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :

f. Undang-undang dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah Undang-undang Nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam tahap aplikasinya dilapangan oleh

aparat penegak hukum (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Polri, Kejaksaan,

dan Pengadilan) masih belum adanya persamaan persepsi dalam melihat

tindak pidana perambahan yang dikategorikan sebagai organized crime

yang telah membahayakan kehidupan manusia dimuka bumi, hal ini dapat

berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku

perambahan. Disamping itu juga terdapat ketentuan bahwa Undang-

undang nomor 41 tahun 1999 memuat sanksi pidana maksimal bukan

minimal, serta membatasi kewenangan penyidik pegawai negeri sipil

dalam penyampaian berkas penyidikan kepada penuntut umum harus

melalui penyidik polri, hal ini akan membuat birokrasi yang panjang.

g. Aparat penegak hukum, akan berkaitan dengan aspek kualitas dan

kuantitas dari aparat penegak hukum tersebut. Kuantitas berkaitan dengan

jumlah atau cukup tidaknya aparat penegak hukum yang sudah ada,

sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan atau profesionalisme

cclii

aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kehutanan

khususnya perambahan hutan. Kekurangan dari segi kualitas dan kuantitas

dari aparat penegak hukum maka akan meberikan pengaruh yang sangat

besar dalam menangani tindak pidana perambahan hutan.

h. Sarana dan fasilitas, adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam

penanganan perambahan hutan, dengan ketiadaan atau keterbatasan sarana

dan prasarana serta penunjang lainnya akan sangat mempengaruhi

keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan khususnya di Taman

Nasiona Bukit Barisan Selatan. sarana atau fasilitas tersebut antara lain

yaitu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, serta keuangan/pendanaan yang

cukup.

i. Masyarakat, Indikator kesadaran hukum masyarakat terletak pada

kepatuhan pada ketentuan hukum, kepatuhan dan ketaatan kepada

peraturan hukum kehutanan menunjukkan efektifitas berlakunya hukum

kehutanan di masyarakat. masyarakat dikhususkan terhadap masyarakat

yang berada disekitar kawasan hutan. Dalam kehidupan sehari-hari

seorang aparat penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam

manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing,

diantara mereka ada yang taat pada hukum, ada yang pura-pura

mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula

yang terang-terangan mentaatinya.

j. Budaya, Dari sudut sistem sosial budaya, indonesia merupakan suatu

masyarakat yang majemuk (plural society) terdapat banyak golongan etnik

dengan kebudayaan yang berbeda-beda, disamping itu sebagian besar

penduduk Indonesia tinggal dipedesaan yang tentunya berbeda dengan

ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang timbul di wilayah pedesaan

mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara tradisional,

demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua masalah bisa diselesaikan

tanpa menggunakan cara-cara tradisional. Budaya juga menyangkut

ccliii

budaya hukum yang dibagi dalam dua bagian yaitu budaya hukum internal

yaitu budaya hukum orang-orang yang bertugas untuk menegakkan hukum

termasuk polisi, jaksa, hakim serta penyidik pegawai negeri sipil

kehutanan, serta budaya hukum eksternal yaitu budaya hukum masyarakat,

yaitu sejauhmana tanggapan dan ketaatan hukum masyarakat terhadap

peraturan yang telah ditetapkan.

2. Upaya yang seharusnya diakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan dalam menangani perambahan hutan yaitu:

a. Tindakan represif atau penggunaan sarana Pidana (criminal law

application), Upaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana pidana

pada hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana. Penegakan hukum

terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan akan

melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan yang ada seperti Polisi

Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan yang berada

pada garis terdepan atau lapis pertama dalam penegakan hukum,

sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada garis kedua. tujuan akhir

penegakan hukum terhadap perambahan hutan bukan berarti berapa

banyak kasus yang ditangani dan berapa lama vonis yang dijatuhkan oleh

hakim terhadap para pelaku tindak pidana perambahan, tetapi yang

terpenting adalah bagaimana kelestarian serta keutuhan kawsan hutan

dapat dipertahankan, serta keadilan terhadap masyarakat dapat tercapai.

b. Tindakan preventif atau pencegahan tanpa pidana (prevention without

punishman), upaya penegakan hukum dengan tindakan preventif atau

tanpa pidana lebih bersifat tindakan pencegahan terhadap terjadinya

kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menanganai faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara

lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-

suburkan kejahatan. Penyebab timbulnya perambahan hutan di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:

ccliv

1. Faktor Internal, (1). lemahnya pengawasan oleh petugas Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan terhadap kawasan hutan, hal ini karena

dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sarana dan fasilitas yang tersedia

belum memadai, jumlah personil yang belum mencukupi, sulitnya

medan yang harus dilalui, serta kesejahteraan petugas. (2).

Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh petugas Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, hal ini akan berpengaruh terhadap

kredibilitas institusi dimata masyarakat.

2. Faktor Eksternal, (1). adanya akses Jalan yang memotong kawasan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dengan adanya ketersediaan

jalan yang memotong kawasan hutan maka akan memberikan

kemudahan bagi para pelaku illegal masuk kedalam kawasan hutan,

sehingga akan semakin memperparah kondisi kawasan. (2). kemiskinan

masyaraankat yang ada disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan, hampir semua masyarakat yang berada disekitar

kawasan taman nasional bukit barisan selatan adalah petani,

keterbatasan lahan yang dimiliki oleh warga dan peningkatan

pemenuhan kebutuhan hidup, menyebabkan masyarakat yang kurang

mampu akan melakukan perluasan areal pertaniannya ke dalam

kawasan. (3). tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat

perambah yang masih rendah, dan masih kurangnya keahlian dibidang

lain, maka hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan

perambahan karena tidak ada alternatif lain. (4). masih kurangnya

dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan

hautan, menyikapi masalah ini antara pengelola taman nasional bukit

barisan selatan dengan pemerintah daerah setempat harus dapat

mensinergikan kebijakan penurunan perambah dengan kebijakan

pemabangunan dimasa mendatang.

Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah

melakukan beberapa tindakan preventif yang telah dilakukan dalam

cclv

rangka mencegah terjadinya perambahan hutan seperti diantaranya

program masyarakat desa konservasi, penguatan daerah penyangga,

pembentukan kader konservasi, pembentukan pengaman swakarsa.

Langkah-langkah tersebut telah dilakukan oleh pihak pengelola Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan namun kalau tidak dilakukan secara

kontinyu dan belum didukung oleh sarana prasarana serta pendanaan

yang mencukupi, maka tindakan tersebut tidak akan dapat mencapai

tujuan yang diharapkan. Disamping tindakan preventif yang telah

dilakukan pihak taman nasional bukit barisan selatan juga dilakukan

tindakan represif seperti operasi rutin, operasi fungsional serta operasi

gabungan penurunan perambah dengan melibatkan unsur penegak

hukum lainnya, langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan sesuai

dengan tujuan yang diharapkan tanpa didukung dengan sarana

prasarana serta pendanaan yang mencukui. Pemerintah daerah

merupakan lembaga yang harus diajak bekerjasama untuk

menyelesaikan perambahan hutan, khususnya dalam pengambilan

kebijakan agar supaya tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.

SARAN

1. Pembangunan berkelanjutan adalah merupakan visi dan misi dari pemerintah

yang diwujudkan melalui lembaga yang ditunjuk dalam pengelolaan dan

pengamanan hutan secara menyeluruh. untuk itu perlu diperhatikan faktor-

faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap perambahan

hutan seperti:

a. Perumusan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di

bidang kehutanan khususnya undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang

merumuskan tentang ancaman hukuman maksimum, seharusnya dimuat

tentang ancaman hukuman minimum. Memformulasikan mekanisme

penyampaian berkas perkara dari penyidik pegawai negeri sipil

kehutanan kepada penuntut umum tanpa melalui penyidik polri, hal ini

sesuai dengan prinsif peradilan yang cepat, efisien, dan biaya murah.

cclvi

b. Peningkatan kuwalitas dan kuantitas aparat penegak hukum mutlak harus

dilakukan agar dapat meningkatkan profesionalisme aparat dengan

memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan baik

didalam maupun di luar negeri.

c. Pemerintah secara bertahap tidak menunda lagi untuk peningkatan sarana

dan prasarana dalam mendukung pengamanan hutan.

d. Meningkatkan fungsi penyuluhan atau sosialisasi terhadap masyarakat

yang ada disekitar kawasan hutan agar dapat menumbuhkan kepatuhan

dan ketaatan masyarakat terhadap hukum, serta memberikan alternatif

lain agar masyarakat tidak selalu menggantungkan hidupnya dari hutan.

e. Budaya aparat, pembenahan manajemen organisasi harus dilakukan, hal

ini berhubungan dengan Penempatan aparat yang harus sesuai dengan

integritas dan moral yang dimiliki, kesejahteraan aparat harus di

perhatikan untuk meningkatkan kinerja dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan harus

dilakukan guna untuk memberikan contoh dalam kepatuhan hukum

dalam budaya hukum masyarakat, serta nilai kearifan lokal yang ada

dalam masyrakat yang sudah luntur secara perlahan dapat dikembalikan

dengan penyadaran hukum terhadap masyarakat.

2. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan yang harus diutamakan adalah tindakan preventif

(prevention without punishman) atau dengan meniadakan faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya perambahan seperti (1). lemahnya

pengawasan dari aparat terhadap kawasan hutan, (2). ketidaktegasan dalam

menjalankan aturan, (3). adanya jalan yang memotong atau melintasi

kawasan hutan, (4) kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang

berada disekitar kawasan hutan, (5). tingkat pendidikan dan penegtahuan

masyarakat perambah yang masih rendah, (6). serta masih kurangnya

dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan hutan.

langkah ini harus dimulai dari berbagai upaya penyadaran kepada

masyarakat melalui penyuluhan, sosialisasi hingga pola pembangunan

cclvii

ekonomi dan sumberdaya manusia khususnya desa-desa yang berbatasan

langsung dengan kawasan, dengan keterpaduan antara kebijakan

penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan. serta diiringi

dengan tindakan refresip (criminal law application) yaitu dengan

menggunakan sarana pidana yang bermula dari peringatan, hingga

pemidanaan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat, dengan meningkatkan kerjasama serta bantuan teknis dengan

aparat penegak hukum lainnya dalam rangka memperkuat penegakan

hukum (law enforcement) karena melihat dari jumlah luas kerusakan yang

terjadi saat ini. Kedua upaya ini harus dijalankan secara harmonis untuk

dapat mencapai tujuan penanganan perambahan yang juga merupakan

upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2000, Dasar hukum pelaksanaan tugas PPNS, bahan ajar Diklat Jagawana, Sekolah calon Perwira Polri, Sukabumi

Barda Nawawi arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta.

Burhan Ashshofa., 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta. Departemen Kehutanan, 2007, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan, Jakarta

H.B. Sutopo, 2006, Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, Surakarta.

Soejono Soekanto, 1993, Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum.

Sudikno Manrtokusumo, 1999, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, penerbit Liberty, Yogyakarta.

Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 2008

Peraturan Lain

cclviii

Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober 1982

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000

Data Elektronik

http://fkkm.org/PusatData/index.php?lang=ind&action=kehutananmasyarakat

http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34

cclix