Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Organisme Penghasil Enzim Laccase
Fungi yang menghasilkan enzim laccase yaitu fungi golongan
basidiomycetes yang terbagi menjadi 3 kelompok diantaranya fungi pelapuk
putih, fungi pelapuk coklat, dan fungi ascomycetes atau fungi pelapuk lunak
(Blanchette 1995). Fungi jenis tersebut terlibat dalam proses biodegredasi
biomassa lignoselulosa yang memiliki kemampuan untuk mendegredasi lignin dan
menguraikannya secara sempurna menjadi H2O dan CO2. Fungi sering dipakai
industri dikarenakan proses produksi dapat cepat dan ditingkatkan selain itu fungi
tidak memerlukan proses penghancuran sel saat memanen enzim (proses
penghancuran sel tidak selalu mudah dilakukan dalam skala besar ), enzim yang
disekresikan keluar sel umumnya terbatas jenisnya ini berarti enzim ekstrim sel
terhindar dari kontaminasi berbagai jenis protein, dan secara alami enzim
disekresikan keluar sel lebih tahan terhadap proses denaturasi (Saragi, 2009).
Fungi tersebut dapat menghasilkan enzim laccase dalam bentuk
multicopper fenol oksidase yang mengoksidasi berbagai senyawa fenolik dan
amina aromatik menggunakan molekul oksigen sebagai terminal akseptor elektron
(Janusz et al., 2013). Contoh fungi dari kelompok basidiomycetes yang dapat
menghasilkan enzim laccase adalah kelompok white-rot misalnya Trametes
versicolor dan Phanerochaeta chrysosporium. White-rot fungi atau fungi pelapuk
putih telah diketahui paling efisien menghasilkan laccase. Efisiensi degradasi
yang lebih baik tersebut disebabkan oleh kumpulan hifa yang memberikan
6
kapasitas penetrasi (Ghosh, Das, & Ghosh, 2018). Kelompok Brown-rot seperti
Fomitopsis palustris. sedangkan dari kelompok ascomycetes adalah Trichoderma
reesei dan Penicillium sp (Dashtban et al, 2010).
Enzim laccase juga ditemukan pada serangga, bakteri, dan fungi. Salah
satu fungi yang dapat menghasilkan enzim laccase adalah fungi Pleurotus sp.
yang merupakan agen pengendali hayati yang efektif dan dapat menghasilkan
enzim laccase dengan menggunakan residu tanaman sebagai substrat (Waluyo,
2004).
Enzim laccase juga dapat ditemukan pada serangga seperti calliphora,
diploptera, drosophila, lucilia, musca, manduca, orycetes, papilo, phormia,
rhodnius, schistocerca, dan tenebrio (Arora dan Sharma, 2010). Sedikit berbeda
dengan laccase pada fungi dan tanaman, laccase yang berhasil diisolasi dari
serangga berupa polifenol oksidase yang bertanggung jawab atas reaksi
pencokelatan pada tanaman akibat adanya kerusakan sel pada tanaman tersebut.
Beberapa literatur review juga mengemukakan enzim laccase tumbuh pada
mikroorganisme prokariotik seperti Azoprillum lipoferum (Diamantidis et al.,
2007), Marinomonas mediterranea (Solano et al., 1997), Streptopmyces griseus
(Endo et al., 2003), E.coli (Kim et al., 2001), Bacillus subtilis
(Muthukumarasamy et al., 2015), Bacillius halodurans, Pseudomonas fluorencens
GB-1, Pseudomonas maltophila, Pseudomonas putida GB1, Streptomyces
antibioticus, Streptomyces psammoticus MTCC 7334 dan Streptomyces griseus
(Sharma et al., 2007). Studi beberapa jenis fungi dan bakteri yang menghasilkan
laccase mempunyai kemampuan dalam penurunan warna pada mikropolutan
7
senyawa fenol yang telah dilakukan Margot (2013). Seperti contoh fungi pelapuk
putih Pleurotus sp. mempunyai kemampuan menurunkan warna limbah dengan
mendegredasi dan dekolorisasi pada limbah, fungi ini mempunyai tiga enzim
ligninolitik (LiP, MnP, Lac) sehingga dapat menguraikan lebih cepat (Subowo,
2015).
2.1.1 Fungi Pleurotus sp.
Fungi tiram atau Pleurotus sp. adalah salah satu jenis fungi kayu yang
banyak tumbuh pada media kayu, baik kayu gelondongan ataupun serbuk kayu.
Pada limbah hasil hutan dan hampir semua kayu keras, produk samping kayu,
tongkol jangung dan lainnya, fungi dapat tumbuh secara luas pada media tersebut.
Di Indonesia fungi tiram putih merupakan salah satu jenis fungi yang banyak
dibudidayakan. Karena bentuk yang membulat, lonjong, dan agak melengkung
serupa cakra tiram maka fungi kayu ini disebut fungi tiram. Menurut Cahyana et
al., (1997) klasifikasi lengkap tanaman fungi tiram adalah sebagai berikut :
Kingdom : Mycetea
Division : Amastigomycotae
Phylum : Basidiomycotae
Class : Hymenomycetes
Ordo : Agaricales
Family : Pleurotaceae
Genus : Pleurotus
Species : Pleurotus ostreatus
8
Fungi tiram memiliki ciri-ciri fisik seperti permukaannya yang licin dan
agak berminyak ketika lembab, bagian tepinya agak bergelombang, letak tangkai
lateral agak disamping tudung dan daging buah berwarna putih (Pleurotus sp.).
Fungi tiram memiliki diameter tudung yang menyerupai cangkang tiram berkisar
antara 5– 15 cm, fungi ini dapat tumbuh pada kayu-kayu lunak dan pada
ketinggian 600 meter dari permukaan laut, spesies ini tidak memerlukan intensitas
cahaya tinggi karena dapat merusak miselia fungi dan tumbuhnya buah fungi.
Fungi tiram dapat tumbuh dan berkembang dengan suhu 15 oC- 30 oC pada pH
5,5- 7 dan kelembaban 80%-90% (Achmad et al., 2011). Penampakan fungi tiram
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Fungi Pleurotus sp.
(Sumber : Yuwono, 2007)
Berdasarkan penelitian Sumarmi (2006), fungi tiram mengandung protein,
air, kalori, karbohidrat, dan sisanya berupa serat, zat besi, kalsium, vitamin B1,
vitamin B2 dan vitamin C. Fungi tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan bahan
makanan bernutrisi dengan kandungan protein tinggi, kaya vitamin dan mineral,
rendah karbohidrat, lemak dan kalori. Dilihat dari kandungan gizi yang terdapat
dalam fungi tiram maka bahan ini termasuk aman untuk dikonsumsi. Adanya serat
9
yaitu lignoselulosa baik untuk pencernaan. Komposisi dan kandungan nutrisi
fungi tiram per 100g dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrisi fungi tiram per 100 g (%bk)
Zat Gizi Jumlah
Kalori (kal) 265
Protein (%) 27
Karbohidrat (%) 58
Lemak (%) 1,6
Serat (%) 11,5
Abu (%) 9,3
Tiamin (mg) 4,8
Riboflavin (mg) 4,7
Niasin (mg) 108,7
Kalsium (mg) 33
Kalium (mg) 3,379
Fosfor (mg) 134,8
Natrium (mg) 83,7
Zat besi (mg) 15,2
Sumber: (Suriawiria, 2002)
Menurut Suriawiria (2000), fungi merupakan sumber mineral yang baik.
Kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P),
natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Namun, fungi juga merupakan
sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan,
molibdenum, kadmium, dan tembaga. Konsentrasi K, P, Na, Ca dan Mg mencapai
56-70% dari total abu, dengan kandungan kalium sangat tinggi mencapai 45%.
Menurut Chang dan Miles (2004) dalam Martawijaya dan Nurjayadi (2010),
kandungan logam berat itu masih jauh di bawah batas yang ditetapkan dalam
undang-undang Fruit Product Order and Prevention of Food Adulteration Act
tahun 1954. Oleh karena itu fungi tiram sebagai sayuran aman dikonsumsi setiap
hari, sebagai sumber asam-asam amino yang diperlukan tubuh, sumber vitamin
10
B1, B2 dan provitamin D2, dan sumber mineral terutama kalium dan fosfor. Fungi
tiram juga mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis
dalam tubuh yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin,
histidin dan fenilalanin.
Fungi tiram dapat tumbuh di sebagian besar wilayah Indonesia pada
ketinggian antara 550-800 meter di atas permukaan laut dengan kadar air sekitar
60% dan derajat keasaman pH 6 -7. Jika kadar air di lokasi terlalu tinggi, maka
fungi tiram akan terserang penyakit busuk akar. Namun, jika kadar air kurang
maka miselium fungi tidak bisa menyerap sari makanan dengan baik sehingga
pertumbuhan fungi tidak maksimal (Wiardani, 2010). Suriawiria (2004)
menyatakan bahwa pertumbuhan fungi tiram sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti suhu, kelembaban, cahaya, sirkulasi udara dan air. Cahyana et
al (1999), menyatakan bahwa keadaan suhu dalam ruangan fungi perlu
diperhatikan, suhu yang terlalu tinggi dan kelembaban yang terlalu rendah akan
menyebabkan primordial (bakal fungi) menjadi kering dan mati.
Fungi tiram membutuhkan oksigen sebagai nyawa pertumbuhan.
Keterbatasan oksigen akan mengganggu pertumbuhan tubuh buah, sedangkan
kelebihan oksigen akan menyebabkan tubuh buah fungi cepat layu. Menurut
Cahyana et al.(1999) dan Achmad et al.(2011). suhu yang dibutuhkan fungi tiram
untuk pembentukan miselium adalah 22-28oC dengan kelembapan 60-80%. Fase
pembentukan tubuh buahnya memerlukan suhu 16-22oC dan kelembaban 80-90%
dengan kadar oksigen cukup dan cahaya matahari sekitar 10%.
11
Pertumbuhan fungi pada prinsipnya tidak membutuhkan intensitas cahaya
yang tinggi karena cahaya bersifat sebagai pendorong pertumbuhan primordial
fungi dan perkembangan buahnya saja. Kadar air media diatur hingga 50-65%,
kadar air yang kurang menyebabkan penyerapan makanan oleh fungi menjadi
kurang optimal, sehingga fungi menjadi kurus bahkan mati (Cahyana et al.1999).
Menurut Suriawiria (2001), untuk kehidupan dan perkembangan fungi
memerlukan sumber nutrisi atau makanan dalam bentuk unsur-unsur seperti
nitrogen, fosfor, belerang, kalium, karbon, serta beberapa unsur lainya. Nutrisi
media sangat berperan dalam proses budidaya fungi tiram. bahan baku yang
digunakan sebagai media dapat berupa batang kayu, campuran serbuk kayu dan
jerami bahkan alang-alang.
Fungi Pleurotus sp. termasuk golongan fungi pelapuk putih yang memiliki
kemampuan untuk mendegredasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan
kehilangan selulosa dibandingkan dengan golongan pelapuk lainnya (Risdianto et
al., 2007). Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim lignolitik yang dihasilkan
oleh fungi pelapuk putih yaitu Lignin Peroksidase (LiP), Manganese Peroksidase
(MnP) dan Laccase. Proses degradasi lignin ini dimulai saat fungi pelapuk putih
menembus dan membentuk koloni dalam sel kayu, lalu mengeluarkan enzim yang
berdifusi melalui lumen dan dinding sel. Fungi pelapuk putih menyerang
komponen lignin dari kayu hingga menyisakan selulosa dan hemiselulosa yang
tidak terlalu berpengaruh. Akibatnya, terjadi penurunan kekuatan fisik kayu dan
pembengkakan jaringan kayu degradasi lignin akan mengakibatkan kandungan
lignin pada kayu berkurang.
12
Kemampuan mendegradasi lignin fungi pelapuk putih dapat digunakan
dalam proses pemutihan pulp kimia. Degradasi lignin oleh fungi pelapuk putih
merupakan proses oksidatif. Enzim oksidatif merupakan enzim non-spesifik dan
bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin
(Perez et al., 2002). Enzim pendegradasi lignin terdiri dari Lignin Peroksidase
(LiP), Manganase Peroksidase (MnP) dan Laccase. Adanya enzim ini akan
mendegradasi lignin menjadi senyawa yang lebih sederhana (Kerem dan Hadar,
1998).
2.2 Enzim Laccase
Laccase adalah enzim yang memiliki potensi besar di bidang bioteknologi
dan pasar internasional. Enzim ini diaplikasikan dalam beberapa bidang industri
seperti delignifikasi pulp, penyisihan warna limbah, detoksifikasi air limbah,
detoksifikasi senyawa xenobiotik dan transformasi antibiotik dan steroid (Octavio
et al., 2006). Potensi laccase yang begitu besar mengakibatkan laccase memiliki
nilai ekonomis yang tinggi. Laccase adalah enzim yang dapat mengoksidasi
senyawa aromatik dan non aromatik pada spectrum yang luas yang terbentuk oleh
aktivitas mikroba maupun tanaman. Laccase tumbuh secara luas dalam tanaman
tingkat tinggi, fungi Ascomycetes, Deuteromycetes, dan Basidio-mycetes, serta
bakteri. Studi beberapa jenis fungi dan bakteri yang menghasilkan laccase
mempunyai kemampuan dalam pengurangan warna pada mikropolutan senyawa
fenol.
13
Enzim laccase ditemukan pada serangga, bakteri dan fungi. Salah satu
fungi yang dapat menghasilkan enzim laccase adalah fungi Pleurotus sp.
Pleurotus sp. merupakan salah satu agen pengendali hayati yang efektif dan dapat
menghasilkan enzim laccase dengan menggunakan residu tanaman sebagai
substrat (Waluyo, 2004). Umumnya laccase dalam beberapa literatur diisolasi dari
fungi. Fungi Pleurotus sp. untuk menghasilkan enzim laccase memerlukan media
fermentasi yang mampu menyediakan sumber nutrisi yang cukup.
Lignin merupakan salah satu komponen penyusun utama biomassa yang
dapat berperan sebagai nutrisi untuk memproduksi laccase. Jerami padi sebagai
bahan lignoselulosa, mengandung lignin berkisar 10-25%, hemiselulosa 20-35%,
dan selulosa 35-50% (Saha, 2004). Indonesia sebagai negara agraris merupakan
penghasil jerami padi yang sangat besar sekitar 80 juta ton per tahun. Selama ini
pemanfaatan jerami padi hanya sebagai ternak, dan belum ada pemanfaatan yang
lebih ekonomis. Jerami padi telah dilaporkan sebagai media pertumbuhan fungi
yang baik (Sulardjo, 2013).
Enzim laccase merupakan enzim multicopper yang mengkatalisis proses
oksidasi dari berbagai jenis senyawa organik dan inorganik seperti senyawa
mono, di- dan polifenol, aminofenol, metoksifenol, fenol tersubstitusi, diamin,
amin aromatik dan asam askorbat (Mayer dan Staples, 2002). Enzim ini disebut
enzim multicopper karena mengandung 4 ion tembaga. Laccase berbentuk
holoenzim aktif. Fungsi laccase tergantung pada Cu yang terletak di tiga sisi
pengikat. Cu mempunyai peranan penting dalam mekanisme katalitik. Ada tiga
langkah utama dalam katalisis oleh laccase. Cu tipe 1 akan mereduksi substrat.
14
Elektron kemudian ditransfer secara internal dari Cu tipe 1 ke cluster trinuclear
(tipe 2 dan tipe 3). Molekul O2 direduksi menjadi air di cluster trinuclear
(Kunamneni et al, 2008 ; Enguita et al 2003).
Molekul O2 terikat pada cluster trinuclear untuk aktivasi sisi asimetris dan
akan muncul kantong pengikat O2 tujuannya untuk membatasi akses agen
pengoksidasi selain O2. Empat elektron hasil oksidasi substrat dipasangkan
dengan satu molekul oksigen melalui reaksi reduksi untuk menghasilkan molekul
air. Sehingga mekanisme reaksi tidak bisa terjadi langsung. Laccase harus
berfungsi sebagai penyimpan elektron dari reaksi oksidasi substrat untuk
mereduksi molekul oksigen. Rincian reduksi O2 belum sepenuhnya dijelaskan
karena masih terus dipelajari hingga saat ini (Kunamneni et al., 2008 ; Enguita et
al., 2003).
Gambar 2. Ilustrasi sisi aktif enzim laccase
(Astina et al., 2017)
15
Faktor-faktor yang memengaruhi tumbuhnya enzim laccase terdiri dari
nilai pH, suhu, ketersediaan karbon dan nitrogen. Nilai pH yang optimum untuk
laccase bergantung pada substratnya dimana substrat fenol, pH optimumnya
berkisar antara 3-7 untuk laccase yang dihasilkan oleh fungi (Heinzkill et al.,
1998). Selanjutnya, pH media kultur yang lebih tinggi akan berdampak negatif
untuk aktivasi enzim dan dapat menurunkan produksi laccase. Penemuan ini
dikaitkan dengan akumulasi mikroba produk metabolik dalam kultur yang
menginaktivasi laccase atau menghambat biosintesisnya atau karena aksi enzim
proteolitik.
Sebagian besar kultur fungi lebih menyukai pH sedikit asam berkisar 3-6
untuk tumbuh dan proses biosintetis enzim (Haltrich et al., 1996). Nilai pH
optimum laccase yang bervariasi disebabkan oleh perubahan reaksi yang
dihasilkan oleh substrat, oksigen, atau enzim itu sendiri (Xu, 1997). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Elshafei et al. (2012), pembentukan optimal enzim
laccase dari fungi Penicillium martensii adalah pada pH 5,5. Suhu optimum
laccase juga berbeda-beda bergantung pada sumber fungi yang menghasilkan
enzim tersebut. Suhu merupakan faktor penting dalam bioproses yang berefek
pada denaturasi protein, penghambatan enzimatik, memproduksi atau
menghambat produksi metabolit tertentu, dan kematian sel. Suhu optimal laccase
sangat berbeda dari satu strain dengan yang lain. Banyak peneliti telah
melaporkan suhu optimum untuk produksi laccase adalah antara 25-30°C
menggunakan berbagai fungi pelapuk putih. Berdasarkan beberapa penelitian
sebelumnya, suhu optimum laccase yang diperoleh dari Penicillium martensii.
16
adalah pada suhu 30 oC (7,21 U/mg protein) dan pada suhu 25 oC (5,10 U/mg
protein) (Elshafei et al., 2012). Laccase yang diperoleh dari Ganoderma lucidum
memiliki suhu optimum 25-30 oC (Pointing et al., 2000) dan stabil pada suhu 10-
50 oC dalam 4 jam (Ko et al., 2001). Laccase yang diperoleh dari Pleurotus sp.
optimum pada pH 4 dan suhu 35oC. Adapun laccase yang diperoleh dari
Marasmius quercophilus stabil dalam 1 jam pada suhu 60 oC (Farnet et al., 2000).
Menurut Zadrazil et al. (1999), suhu lebih tinggi dari 30 oC dapat menyebabkan
penurunan aktifitas enzim lignolitik.
Produksi laccase bergantung pada sumber karbon alami yang dalam
beberapa kasus mungkin berasal dari residu agro-industri lignoselulosa yang
berbeda. Sehingga pemilihan sumber karbon yang tepat merupakan hal yang
penting dalam pertumbuhan dan metabolisme fungi serta berperan penting dalam
menghasilkan (yield) enzim. Seperti Pleurotus sp. sumber karbonnya mannitol,
Ganoderma sp. sumber karbonnya starch. Produksi laccase juga dipengaruhi oleh
sumber nitrogen organik diantaranya yeast extract, pepton, tripton, dan anorganik
seperti urea, ammonium sulfat, ammonium klorida, ammonium nitrat, potassium
nitrat (Ghosh et al., 2018).
Laccase umumnya diproduksi dalam konsentrasi rendah oleh mikroba
penghasil laccase tetapi konsentrasi dapat ditingkatkan dengan penambahan
suplemen inducer pada media. Suplementasi inducer yang sesuai dapat
meningkatkan produksi laccase. Senyawa yang berbeda seperti substrat fenolik
dan non-fenolik dapat bertindak sebagai inducer. Beberapa contoh inducer untuk
produksi laccase dapat dilihat pada Tabel 2.
17
Tabel 2. Contoh Inducer yang Berbeda Saat Memproduksi Laccase
Mikroorganisme Inducer used
Pleurotus sp. CuSO4
Streptomyces psammoticus Pyrogallol
Trametes pubescens MB89 2, 5-xylidine
Trametes versicolor ATCC
200801 ABTS
Agaricus blazei Etanol and guaiakol,
Sumber : (Ghosh et al., 2018) dan (Subowo, 2015)
2.2.1 Teknik Produksi Enzim Laccase
Laccase dapat dihasilkan dalam fermentasi kultur rendam (submerged
fermentation) maupun dalam Fermentasi kultur padat (Solid State Fermentation,
SSF) (Risdianto, 2016). Fermentasi kultur rendam (Submerged Fermentation,
SmF) melibatkan mikroorganisme dalam medium cair kaya nutrisi dan
konsentrasi oksigen tinggi (kondisi aerobik). Produksi enzim skala industri
biasanya menggunakan metode ini. Produksi laccase dengan fermentasi kultur
rendam dengan pertumbuhan bebas miselia telah dilakukan oleh banyak peneliti.
Pertumbuhan fungi dalam kultur rendam biasanya menghasilkan pola
pertumbuhan miselium yang tidak terkendali. Pertumbuhan biomassa berpengaruh
pada perpindahan massa, laju metabolik, dan sekresi produk. Miselium fungi
dapat membungkus impeler dan tersebar dalam jalur pengambilan contoh dan
pengumpan nutrisi sehingga perpindahan oksigen terbatas. Kelemahan tersebut
membatasi waktu operasi bioreaktor.
Fermentasi kultur padat didefinisikan sebagai proses fermentasi dengan
tidak atau hampir tidak ada cairan bebas, menggunakan substrat inert (bahan
18
sintetis) atau substrat alami (bahan organik) sebagai media pertumbuhan (support
media). Fermentasi padat cocok digunakan untuk teknik fermentasi yang
menggunakan fungi dan mikroorganisme yang membutuhkan sedikit kelembapan.
Teknik ini tidak dapat digunakan untuk proses fermentasi yang melibatkan
organisme yang membutuhkan aw (activity water) tinggi, seperti bakteri
(Subramaniyam & Vimala 2012). Fermentasi padat digunakan untuk produksi
enzim menggunakan fungi berfilamen untuk menyesuaikan dengan kondisi fungi
di alam (Couto & Sanroman 2005). Rolle (1998) menyatakan bahwa fermentasi
substrat padat untuk produksi enzim memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan fermentasi terbenam (submerged fermentation). Keuntungan tersebut
antara lain tidak memerlukan energi untuk aerasi, penyiapan medium dan
pengendalian proses lebih sederhana, peralatan produksi lebih sederhana sehingga
sesuai untuk industri skala kecil- menengah dan pemisahan enzim dari subtrat
relatif lebih mudah.
Fermentasi kultur padat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi pemilihan
mikroorganisme, substrat, medium, parameter proses (kimia dan biologi).
Identifikasi fisiologi mikroorganisme dan faktor fisika-kimia yang mendukung
pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim yang dihasilkan menuntun
untuk pengembangan parameter proses seperti pH, suhu, aerasi, water activity,
kelembapan, jenis substrat dan ukuran yang digunakan. Risdianto et al. (2012)
menyatakan bahwa suhu, pH dan konsentrasi ekstrak ragi berpengaruh pada
produksi laccase dari fungi Marasmius sp. dalam fermentasi kultur padat
menggunakan media pertumbuhan jerami.
19
2.3 Aplikasi Enzim Laccase
Lingkup substrat enzim laccase secara spesifik sangat luas sehingga enzim
ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang industri seperti delignifikasi pulp,
penyisihan warna limbah, detoksifikasi air limbah, dan detoksifikasi senyawa
xenobiotik (Octavio et al, 2006). Dengan potensi penggunaan yang begitu besar
sehingga enzim laccase memiliki nilai ekonomis tinggi. Kesuksesan aplikasi
enzim laccase pada berbagai bidang industri memerlukan produksi yang besar
dengan biaya yang rendah. Pengurangan biaya produksi enzim laccase dapat
dilakukan dengan pemilihan mikroorganisme yang tepat, optimisasi medium
fermentasi, penambahan inducer, optimisasi kondisi proses seperti pH dan suhu.
Inducer yang dapat digunakan terutama senyawa-senyawa turunan lignin.
Fungi pelapuk putih yang mampu menghasilkan enzim laccase, lignin
peroksidase (Li-P) serta Mn-peroksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang tinggi
diketahui dapat dimanfaatkan secara luas untuk berbagai kegunaan seperti proses
degredasi lignin. Bioremedasi dan biodegredasi polutan organik (klorofenol dan
polisiklik aromatik hidrokarbon) dekolorisasi dan detoksifikasi limbah tekstil serta
biobleaching, dan biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan laccase memiliki
aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Laccase berperan dalam
pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi dan patogenisitas (Thurston,
1994). Laccase yang dihasilkan oleh masing-masing fungi pelapuk putih memiliki
perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, berat molekul pH
optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa fungi yakni Panaeolus
sphinetrinus, Panaeolus papilionaceus, Coprinus firiesii (Heinzkill et al. 1998),
20
Trametes versicolor (Han et al. 2004) Pycroporus cinnabarinus (Eggert et al,
1996).
Laccase juga digunakan dalam diagnose medis, biolinker, biofuel, diterjen
sintetis, bahan antimikroba dan untuk membersihkan herbisida, peptisida dan
beberapa bahan peledak di tanah. Saat ini, para peneliti fokus pada sintesis
enzimatik dari senyawa organik, biooksidasi berbasis laccase, biotransformasi dan
pengembangan biosensor (Ghosh et al., 2018).
Laccase berperan dalam perubahan warna, stabilisasi wine, baking, dan
penyedap (flavoring) dalam food processing. Laccase dapat meningkatkan proses
baking melalui efek pengoksidasi dan pengembangan tambahan pada kekuatan
adonan dan produk yang dipanggang termasuk meningkatkan struktur remah dan
meningkatkan kelembutan dan volume. Aplikasi lain dari laccase adalah pada
sektor lingkungan yang dapat menurunkan berbagai rentang senyawa xenobiotik
(Singh & Kumar, 2019).
Laccase juga berpotensi untuk diaplikasikan pada produksi wine, seperti:
1. Treatment untuk menghilangkan fenol oksidatif sehingga dapat
menghindari rasa tetra-chloroanisol yang berevolusi dalam botol wine
2. Biosensor untuk memperkirakan kandungan polifenol dalam wine
3. Menghilangkan amina aromatik oksidatif yang tidak menyehatkan seperti
tyramine
4. Treatment distilasi air limbah dari nilai pH asam, BOD (Biochemical
Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) tinggi serta
21
warna yang gelap karena adanya senyawa fenolik atau polimer nitrogen
(melanoidins) (Sahay, 2019).
Laccase dapat digunakan dalam bioremediasi (penggunaan
mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan), pengolahan minuman
(anggur atau wine, jus buah dan bir), penentuan asam askorbat, gula bit gelasi
pektin, pemanggangan (baking), dan sebagai biosensor serta meningkatkan
parameter sensoris makanan. Laccase dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi
dan kualitas produk makanan tanpa investasi atau biaya yang mahal dan memiliki
keuntungan sebagai teknologi ringan (Minussi, Pastore, & Durán, 2002).
Industri roti menggunakan berbagai enzim untuk meningkatkan tekstur,
volume, rasa, dan kesegaran roti. Dengan penambahan laccase ke dalam adonan
yang digunakan dalam produksi roti menunjukan efek oksidasi yang
menghasilkan peningkatan kekuatan struktur gluten dalam adonan dan produk
roti. Penambahan laccase juga menghasilkan peningkatan volume, memperbaiki
struktur renyah, dan kelembutan produk roti. Peningkatan kualitas roti dengan
penambahan enzim laccase terlihat jelas ketika produksi roti menggunakan tepung
dengan kualitas rendah. Pembuatan roti pada tepung gandum dengan penambahan
enzim laccase dan enzim proteolitik menyebabkan depolimerisasi β-glukan dan
polimerisasi protein sehingga menghasilkan sifat reologi yang lebih baik dan
berkontribusi positif untuk meningkatkan produksi pembuatan roti oleh tepung
gandum. (Brijwani, Rigdon, & Vadlani, 2010). Selain enzim laccase terdapat
beberapa enzim lain yang berkontribusi dalam pembuatan roti seperti enzim
amilase yang berperan untuk merusak granula pati menghasilkan amilosa yang
22
terlarut sebagai subsrat enzim pada degredasi amilosa selanjutnya. Selama proses
hidrolisis molekul pati, juga dihasilkan dextrin. Amilolisis atau hidrolisis amilosa
dalam molekul pati yang terbatas dapat memberikan efek yang positif terhadap
tekstur adonan roti, sehingga teksturnya menjadi menjadi lebih lembut. Proses
amilolisis yang terlalu intensif dapat menyebabkan adonan roti kehilangan air
(dehidrasi) dan dextrin yang terbentuk jumlahnya banyak, hal ini dapat
menyebabkan adonan roti menjadi lengket, terdapat pula enzim yang dapat
memecah pati yang digunakan dalam proses pengolahan roti seperti diastase,
glukoamilase (Hamer, 1995).
Produksi jerami yang cukup tinggi di Indonesia berpotensi menjadi salah
satu bahan baku bioetanol generasi kedua. Jerami sebagai bahan lignoselulosa,
memiliki kandungan lignin 18%, hemiselulosa 24%, dan selulosa 32,1%
(Sanchez,2009). Proses konversi jerami menjadi bioetanol memiliki kendala
karena keberadaan senyawa lignin. Senyawa lignin merupakan komponen dengan
struktur kuat yang meyelubungi selulosa dan hemi selulosa (Sanchez,2009).
Senyawa lignin ini perlu dihilangkan terlebih dahulu dengan pengolahan awal
yang dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia, dan biologis. Salah satu
pengolahan awal biologis adalah penggunaan enzim laccase. Enzi laccase
diproduksi oleh berbagai jenis fungi dan tumbuhan tingkat tinggi (Mayer dan
Staples, 2002). Fungi pelapuk putih sudah diketahui sebagai kelompok fungi yang
mampu mendegradasi lignin dengan menghasilkan enzim laccase (Sanchez,
2009). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Marasmius sp.
23
merupakan fungi pelapuk putih yang berpotensi dalam menghasilkan enzim
laccase (Risdianto et al., 2012).
2.3.1 Substrat dan Mekanisme Reaksi
Cross-linking Monomer
Oksidasi enzimatis dari komponen fenol dan anilin oleh laccase
menghasilkan radiasi yang akan bereaksi satu sama lain dan akan membentuk
dimer, oligomer, maupun polimer yang berikatan kovalen dengan ikatan C-C, C-
O, dan C-N. Pada tingkatan tanaman yang lebih tinggi, cross-linking dari
prekursor fenolik oleh laccase merupakan salah satu bagian dari proses lignifikasi.
Pada mikroorganisme, cross-linking residu protein (misalnya tyrosine menjadi
dityrosine), merupakan fungsi laccase dalam pembentukan panas dan spora
Bacillus yang menjadi tahan sinar UV (Hullo et al., 2001).
Degradasi Polimer
Laccase berperan dalam degradasi senyawa polimer natural yang
kompleks, seperti lignin atau asam humat (Claus dan Fillip, 1998). Radikal yang
reaktif akan terbentuk, yang akan menyebabkan terpecahnya ikatan kovalen dan
menghasilkan monomer. Akibat halangan sterik, enzim laccase tidak dapat
bersentuhan secara langsung dengan polimer. Sebagai gantinya, senyawa organik
yang lebih kecil atau logam yang dapat teroksidasi dan diaktivasi oleh laccase
(contohnya Mg) akan menengahi reaksi depolimerisasi.
24
2.4 Tongkol Jagung
Tongkol jagung adalah bagian dalam organ betina tempat bulir duduk
menempel. Istilah ini juga dipakai untuk menyebut seluruh bagian jagung betina
(buah jagung). Tongkol terbungkus oleh kelobot (kulit buah jagung). Secara
morfologi, tongkol jagung adalah tangkai utama malai yang termodifikasi, Malai
organ jantan pada jagung dapat memunculkan bulir pada kondisi tertentu.
Tongkol jagung muda, disebut juga babycorn, dapat dimakan dan dijadikan
sayuran. Tongkol yang tua ringan namun kuat, dan menjadi sumber furfural,
sejenis monosakarida dengan lima atom karbon. Tongkol jagung tersusun atas
senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose. Masing-masing merupakan
senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara
biologi (Suprapto dan Rasyid, 2002). . Menurut Iswanto (2009), serat kasar
tongkol jagung mempunyai kandungan lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45%
dan kadar hemiselulosa 35%. Komposisi kimia tersebut membuat tongkol jagung
dapat digunakan sebagai sumber energi dan sebagai sumber karbon bagi
pertumbuhan mikroba. Tongkol jagung merupakan limbah lignoselulosa dari
limbah pertanian dengan jumlah limbah yang sangat berlimpah. Menurut Koswara
(1992), tongkol jagung merupakan tempat pembentukan lembaga dan gudang
penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji serta modifikasi dari cabang yang
mulai berkembang pada ruas-ruas batang.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi jagung dari tahun
1993 sampai 2017 meningkat sangan pesat terutama selama 10 tahun terakhir.
Pada tahun 2008 produksi jagung meningkat sangat pesat dari 13 juta ton menjadi
25
16 juta ton sampai data akhir dari BPS di tahun 2017 menyatakan jumlah produksi
jagung menjadi 27,9 juta ton. Melihat tingginya limbah tongkol jagung ini perlu
adanya tindakan yang dapat mendukung pengurangan limbahnya, mengingat
penanganan dan pemanfaatan limbah di Indonesia belum maksimal jika dibiarkan
begitu saja tentu saja dapat menjadi permasalahan di lingkungan apabila tidak
ditangani dengan tepat. Limbah tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Limbah tongkol jagung
(Sumber : Farming.id, 2018)
2.5 Jerami Padi
Jerami adalah hasil samping usaha pertanian berupa tangkai dan batang
tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijiannya dipisahkan. Massa
jerami kurang lebih setara dengan massa biji-bijian yang dipanen. Jerami
memiliki banyak fungsi, di antaranya sebagai bahan bakar, pakan ternak, alas atau
lantai kandang, pengemas bahan pertanian (misal telur), bahan bangunan (atap,
dinding, lantai), mulsa, dan kerajinan tangan.
Biomassa berselulosa terbentuk dari tiga komponen utama yakni selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan komponen utama yang terkandung
dalam dinding sel tumbuhan dan mendominasi hingga 50% berat kering
tumbuhan. Jerami padi diketahui memiliki kandungan selulosa yang tinggi,
26
mencapai 39.1% berat kering, 27.5% hemiselulosa dan kandungan lignin 12,5%.
Komposisi kimia limbah pertanian maupun limbah kayu tergantung pada spesies
tanaman, umur tanaman, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan langkah
pemprosesan. Jerami padi merupakan biomassa yang secara kimia merupakan
senyawa berlignoselulosa. Menurut Saha (2004) komponen terbesar penyusun
jerami padi adalah selulosa (35-50 %), hemiselulosa (20-35 %) dan lignin (10-25
%) dan zat lain penyusun jerami padi.Selulosa dan hemiselulosa merupakan
senyawa yang bernilai ekonomis jika dikonversi menjadi gula-gula sederhana.
Gula-gula hasil konversi tersebut selanjutnya dapat difermentasi untuk
menghasilkan produk-produk bioteknologi seperti bioetanol, asam glutamat, asam
sitrat dan lainnya. Salah satu bentuk pemanfaatan yang sedang gencar dilakukan
dunia adalah menjadikan limbah agroindustri seperti jerami padi menjadi bahan
baku pembuatan bioetanol. Berdasarkan potensinya sebagai bahan baku bioetanol,
Kim dan Dale (2004) telah membuat prediksi bahwa sebanyak 0,28 l/Kg jerami
padi dapat dijadikan etanol. Limbah jerami padi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Limbah jerami padi
(Sumber: sulbar.litbang.pertanian.go.id, 2016)
27
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 10 tahun terakhir
produksi berat di Indonesia terus meningkat. Produksi padi pada tahun 2017
mencapai 57,15 juta ton kemudian terus mengalami peningkatan yang pesat 79
juta ton. Tingkat produksi beras juga akan terus meningkat mengingat
peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di Indonesia. Melihat tingginya limbah
jerami padi ini perlu adanya tindakan yang dapat mendukung pengurangan
limbahnya, mengingat penanganan dan pemanfaatan limbah di Indonesia belum
maksimal jika dibiarkan begitu saja tentu saja dapat menjadi permasalahan di
lingkungan apabila tidak ditangani dengan tepat seperti limbah dari jerami padi
yang dibakar oleh petani yang berimpas pada lingkungan atau memberikan efek
global warming.