21
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Partisipasi 2.1.1 Pengertian partisipasi Menurut Ife dan Tesoriero (2008: 295) partisipasi merupakan suatu konsep dalam pengembangan masyarakat yang digunakan secara umum dan luas. Partisipasi merupakan sebuah konsep sentral, dan prinsip dasar dari pengembangan masyarakat karena, diantara banyak hal, partisipasi memang terkait erat dengan gagasan HAM. Dalam pengertian ini, partisipasi merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri; artinya, partisipasi mengaktifkan ide HAM, hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan untuk memperkuat demokrasi deliberatif. Menurut Ife dan Tesoriero (2008: 295) partisipasi merupakan alat dan juga tujuan, karena membentuk bagian dari dasar kultur yang membuka jalan bagi tercapainya HAM. Tabel 2.1 Perbandingan Partisipasi sebagai Cara dan Partisipasi sebagai Tujuan Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan Berimplikasi pada penggunaan partisipasi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Merupakan suatu upaya pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan program atau proyek. Penekanan pada mencapai tujuan dan tidak terlalu pada aktivitas partisipasi itu sendiri. Lebih umum dalam program-program pemerintah, yang pertimbangan utamanya adalah untuk mengerakan masyarakat dan melibatkan mereka dalam meningkatkan efisiensi sistem Berupaya memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti. Berupaya untuk menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan. Fokus pada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi bukan sekedar mencapai tujuan-tujuan proyek yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pandangan ini relatif kurang disukai oleh badan-badan pemerintah. Pada prinsipnya LSM setuju dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Partisipasi 2.1.1 Pengertian ... II.pdf · Memerlukan pemantauan yang berkesinambungan untuk ... dapat juga terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya

  • Upload
    vuduong

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Partisipasi

2.1.1 Pengertian partisipasi

Menurut Ife dan Tesoriero (2008: 295) partisipasi merupakan suatu

konsep dalam pengembangan masyarakat yang digunakan secara umum dan

luas. Partisipasi merupakan sebuah konsep sentral, dan prinsip dasar dari

pengembangan masyarakat karena, diantara banyak hal, partisipasi memang

terkait erat dengan gagasan HAM. Dalam pengertian ini, partisipasi merupakan

suatu tujuan dalam dirinya sendiri; artinya, partisipasi mengaktifkan ide HAM,

hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan untuk memperkuat demokrasi

deliberatif. Menurut Ife dan Tesoriero (2008: 295) partisipasi merupakan alat dan

juga tujuan, karena membentuk bagian dari dasar kultur yang membuka jalan

bagi tercapainya HAM.

Tabel 2.1

Perbandingan Partisipasi sebagai Cara dan Partisipasi sebagai Tujuan

Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan

Berimplikasi pada penggunaan

partisipasi untuk mencapai tujuan atau

sasaran yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Merupakan suatu upaya pemanfaatan

sumber daya yang ada untuk mencapai

tujuan program atau proyek.

Penekanan pada mencapai tujuan dan

tidak terlalu pada aktivitas partisipasi itu

sendiri.

Lebih umum dalam program-program

pemerintah, yang pertimbangan

utamanya adalah untuk mengerakan

masyarakat dan melibatkan mereka

dalam meningkatkan efisiensi sistem

Berupaya memberdayakan rakyat

untuk berpartisipasi dalam

pembangunan mereka sendiri secara

lebih berarti.

Berupaya untuk menjamin

peningkatan peran rakyat dalam

inisiatif-inisiatif pembangunan.

Fokus pada peningkatan kemampuan

rakyat untuk berpartisipasi bukan

sekedar mencapai tujuan-tujuan

proyek yang sudah ditetapkan

sebelumnya.

Pandangan ini relatif kurang disukai

oleh badan-badan pemerintah. Pada

prinsipnya LSM setuju dengan

9

penyampaian.

Partisipasi umumnya jangka pendek.

Partisipasi sebagai cara merupakan

bentuk pasif dari partisipasi.

pandangan ini.

Partisipasi dipandang sebagai suatu

proses jangka panjang.

Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih

aktif dan dinamis. Sumber: Oakley at al. 1991 (dalam Ife dan Tesoriero, 2008: 296)

Menurut Paul 1987 (dalam Ife dan Tesoriero, 2008:297) partisipasi harus

mencakup kemampuan rakyat untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan

sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah

lokal melihat partisipasi sebagai hal yang perlu, tetapi berpotensi menjadi

penghambat terhadap agendanya, seperti sesuatu yang harus dibayar dengan janji

belaka; pekerja masyarakat melihatnya sebagai memiliki kekuatan untuk

mempengaruhi (Ife dan Tesoriero, 2008:298).

Dalam sejarah terbaru, berbagai gerakan hak pada tahun 1960-an dan

1979-an merupakan embrio bagi promosi demokrasi partisipatif (Ife dan

Tesoriero, 2008: 302). Menurut Stiefel dan Wolfe 1994 (dalam Ife dan Tesoriero

(2008: 306) walaupun memiliki sejarah yang panjang dan kuat, partisipasi

memang merupakan konsep yang problematis. Sejarah proyek-proyek partisipasi

masyarakat memang penuh dengan lubang-lubang contoh tokenisme, dan rakyat

telah benar-benar belajar untuk melihat desakan berpartisipasi dengan sangat

skeptis, karena kebanyakan orang memiliki pekerjaan lain yang lebih penting

daripada menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan partisipasi simbolis

(Ife dan Tesoriero, 2008: 307). Dengan demikian, program pengembangan

masyarakat harus mendorong pengakuan dan peningkatan baik hak maupun

kewajiban untuk berpartisipasi.

Menurut Ife dan Tesoriero (2008: 310) pertama, orang akan berpartisipasi

10

apabila mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting. Cara ini dapat

secara efektif dicapai jika rakyat sendiri telah mampu menentukan isu atau aksi,

dan telah menominasi kepentingannya, bukan berasal dari orang luar yang

memberitahu mereka apa yang harus dilakukan. Adapun kunci keberhasilan

dalam mengorganisasi masyarakat yang merupakan pemilihan isu untuk diurus,

dan hal yang sama juga berlaku dalam dominan yang lebih luas dari

pengembangan masyarakat. Kondisi kedua bagi partisipasi adalah bahwa orang

harus merasa bahwa aksi mereka akan membuat perubahan. Oleh karenanya,

masyarakat menentukan pekerjaan sebagai prioritas utama, tetapi jika orang

tidak percaya bahwa aksi masyarakat akan membuat perubahan terhadap prospek

peluang kerja lokal, akan kecil insentif untuk berpartisipasi. Kondisi ketiga bagi

partisipasi, bahwa berbagai bentuk partisipasi harus diakui dan dihargai. Terlalu

sering partisipasi masyarakat dipandang sebagai keterlibatan dalam

kepengurusan, pertemuan resmi, dan prosedur-prosedur tradisional lainnya (yaitu

kulit putih, laki-laki, kelas menengah) (Ife dan Tesoriero, 2008: 311). Adapun

yang perlu dikenali dan harus dihargai sebagai bentuk penting dari partisipasi,

seperti berbagai variasi aktivitas mulai dari menjaga anak, pembukuan, menari,

mendengarkan secara simpatik, memasak, mendongeng, melukis, menyediakan

pelayanan kesehatan dasar, mencatat rapat-rapat, menciptakan musik, berkebun

dan bermain sepak bola.

Kondisi keempat bagi partisipasi adalah bahwa orang harus bisa

berpartisipasi, dan didukung dalam partisipasinya. Hal ini berarti bahwa isu-isu

seperti transportasi, penyediaan penitipan anak (atau melibatkan anak-anak

dalam kegiatan), keamanan, waktu dan lokasi kegiatan serta lingkungan tempat

11

kegiatan akan dilaksanakan sangatlah penting dan perlu diperhitungkan dalam

perencanaan proses-proses berbasiskan masyarakat. Kondisi terakhir bagi

partisipasi adalah bahwa struktur dan proses tidak boleh mengucilkan. Prosedur-

prosedur pertemuan tradisional, dan teknik pembuatan keputusan sering bersifat

mengucilkan bagi banyak orang, khususnya bagi mereka yang tidak bisa berpikir

cepat, tidak ingin menginterupsi, kurang percaya diri atau tidak memiliki

kemahiran berbicara.

Selanjutnya Korten (dalam Darmada, 2011) mendefinisikan partisipasi

sebagai suatu tindakan yang mendasar untuk bekerjasama yang memerlukan

waktu dan usaha, agar menjadi mantap dan hanya berhasil baik dan terus maju

apabila ada kepercayaan. Dengan kata lain, Poerbakawatja (dalam Darmada,

2011) memberikan batasan partisipasi sebagai suatu gejala demokrasi dimana

orang diikutsertakan dalam perencanaan suatu pelaksanaan dari gejala sesuatu

yang berpusat pada kepentingannya dan juga ikut memikul tanggung jawab

sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Lain halnya

dengan definisi partisipasi menurut Suherlan (dalam Darmada, 2011)

menurutnya, partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat

dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek

pemerintah. Selain itu, Partisipasi juga dapat diartikan sebagai keterlibatan

masyarakat dalam penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang

dilakukan oleh pemerintah serta keterlibatan masyarakat dalam memikul dan

memetik hasil atau manfaat pembangunan.

Khadiyanto (dalam Darmada, 2011) merumuskan bahwa partisipasi

masyarakat adalah keikutsertaan/pelibatan masyarakat dalam kegiatan

12

pelaksanaan pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan dan

mengendalikan serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan

kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung

sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program.

Adapun bentuk partisipasi yang mungkin dari wadah tersebut menurut

Konkon (dalam Darmada, 2011) adalah sebagai berikut (a) sumbangan tenaga

fisik, (b) sumbangan finansial, (c) sumbangan material, (d) sumbangan moral

(nasihat, petuah, amanat) dan (e) sumbangan keputusan. Selanjutnya, Keith

Davis (dalam Darmada, 2011) mengemukakan beberapa jenis partisipasi

masyarakat. Menurutnya jenis-jenis partisipasi masyarakat meliputi: (a) pikiran,

(b) tenaga, (c) pikiran dan tenaga, (d) keahlian, (e) barang dan (f) uang.

Menurut Keith Davis (dalam Darmada, 2011) bahwa bentuk partisipasi

masyarakat berupa (a) konsultasi biasanya dalam bentuk jasa, (b) sumbangan

spontan berupa uang dan barang, (c) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari

dan donornya berasal dari sumbangan individu/instansi yang berada di luar

lingkungan tertentu (pihak ketiga), (d) mendirikan proyek yang sifatnya

berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat, (e) sumbangan dalam bentuk

kerja, (f) aksi massa, (g) mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa

mandiri dan (h) membangun proyek komuniti yang bersifat otonom. Menurut

Bedjo (1996), yang dimaksudkan dengan partisipasi adalah: “Perilaku yang

memberikan pemikiran terhadap sesuatu atau seseorang”.

13

2.1.2 Pendekatan partisipasi

Pendekatan yang lebih dominan terhadap evaluasi memiliki beberapa ciri

yang tidak cocok dengan partisipasi, yaitu sering berlebihan memperhatikan

masukan sumber daya dan efisiensi dalam menghasilkan keluaran material; itu

memberi hak pada data kuantitatif dan analisis; terbatas dan statis serta gagal

menangkap aspek-aspek yang lebih rentan, dinamis dan berkaitan dari partisipasi;

sering disetir secara eksternal dan top-down. Menghabiskan waktu dan kadang-

kadang mahal, yang membuatnya tidak dapat dijangkau dalam proyek-proyek

pengembangan masyarakat.

Program pembangunan perserikatan bangsa-bangsa mengidentifikasi

empat prinsip untuk memandu evaluasi dari partisipasi (UNDP) (dalam Ife dan

Tesoriero, 2008: 330).

1. Harus kualitatif dan kuantitatif.

2. Harus dinamis, bukan statis untuk membuat seluruh proses di seluruh waktu

dapat dievaluasi.

3. Memerlukan pemantauan yang berkesinambungan untuk menangkap sifat

dinamis dari proses melalui uraian kualitatif.

4. Harus melibatkan suara rakyat, yang memegang peranan aktif dalam

evaluasi.

Menurut UNDP (dalam Ife dan Tesoriero, 2008: 330) melihat penelitian

kualitatif sebagai suatu cara yang lebih memadai daripada penelitian kuantitatif

untuk mengevaluasi partisipasi, untuk berbagai alasan.

1. Riset kualitatif adalah penyelidikan yang naturalistis yang mempelajari

proses-proses sebagaimana terjadinya.

14

2. Bersifat heuristis dan interatif; yaitu berkembang sambil menemukan

pemahaman-pemahaman yang kemudian mengubah dan membentuk

kembali pertanyaan-pertanyaan yang akan ditemukan.

3. Bersifat holistis dan menganut banyak perspektif dan menghindari

mereduksi sebuah fenomena untuk memutuskan kategori-kategori.

4. Bersifat induktif, memulai dengan apa yang diamati dan mencermati pola-

pola dari apa yang diamati, ketimbang memiliki konsep-konsep yang sudah

ditetapkan sebelumnya dalam pikiran.

Partisipasi bukanlah sekedar soal hasil. Namun partisipasi adalah suatu

proses. Dengan demikian partisipasi meliputi banyak tingkat dan dimensi

perubahan, yaitu perubahan dalam kapasitas organisasi, komunitas individu;

perubahan dalam sikap dan perilaku; perubahan dalam akses kepada sumber daya;

perubahan dalam keseimbangan kekuasaan; perubahan dalam persepsi para

pemangku kepentingan. Partisipasi memiliki potensi untuk berkontribusi pada

perubahan penting dalam aspek-aspek politik, kultural, ekonomi dan sosial dari

masyarakat dan dari kehidupan manusia.

Indikator-indikator kuantitatif dari partisipasi mencakup:

1. Perubahan-perubahan positif dalam layanan-layanan lokal.

2. Jumlah pertemuan dan jumlah peserta.

3. Proporsi berbagai bagian dari kehadiran masyarakat.

4. Jumlah orang yang dipengaruhi oleh isu yang diurus.

5. Jumlah pemimpin lokal yang memegang peranan.

6. Jumlah warga lokal yang memegang peranan dalam proyek.

15

7. Jumlah warga lokal dalam berbagai aspek proyek dan pada waktu yang

berbeda-beda.

Indikator-indikator kualitatif dari partisipasi mencakup:

1. Suatu kapasitas masyarakat yang tumbuh untuk mengorganisasi aksi.

2. Dukungan yang tumbuh dalam masyarakat dan jaringan yang bertambah

kuat.

3. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hal-hal seperti keuangan dan

manajemen proyek.

4. Keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan keputusan.

5. Peningkatan kemampuan dari mereka yang berpartisipsi dalam mengubah

keputusan menjadi aksi.

6. Meningkatnya jangkuan partisipan melebihi proyek untuk mewakilinya

dalam organisasi-organisasi lain.

7. Pemimpin-pemimpin yang muncul dari masyarakat.

8. Meningkatnya jaringan dengan proyek-proyek, masyarakat dan organisasi

lainnya.

9. Mulai mempengaruhi kebijakan.

Menurut Ife dan Tesoriero (2008: 298) penting bagi pekerja masyarkat

untuk memiliki pengetahuan dasar yang solid tentang suatu pendekatan

terinformasi terhadap partisipasi untuk menciptakan partisipasi maksimum dari

warga negara dalam pembuatan keputusan dalam proyek-proyek dan kegiatan

pembangunan.

Arnstein (1969) (dalam Ife dan Tesoriero, 2008: 299) mengusulkan model

partisipasi yang memperjelas sifat berlawanan dari konsep tersebut, kerumitannya

16

dan berbagai arti yang dimiliki. Implikasi dari berbagai arti yang berbeda bagi

kekuatan juga jelas dari tangga partisipasi warga negara yang disusunnya. Tangga

partisipasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1

Jenjang Partisipasi Warga Negara Arnstein (1969)

Demokrasi,

partisipatif deliberatif Derajat

kekuatan

warga negara

Derajat

tokenisme

Demokrasi representatif

Non-

partisipasi

Eksploitasi

Sumber: Hak cipta American Planning Association, Juli 1969 Ife dan

Tesoriero (2008: 299)

Dari gambar di atas, bahwa apa yang mungkin dikatakan sebagai

partisipasi dapat berkisar dari manipulasi oleh pemegang kekuasaan sampai

kepada warga negara yang memiliki kontrol terhadap keputusan-keputusan yang

mempengaruhi kehidupan mereka. Diantaranya adalah bervariasi menurut tingkat

kontrol (Ife dan Tesoriero, 2008: 299).

Kontrol warga negara

Kekuasaan

didelegasikan

Kemitraan

Menenangkan

Konsultasi

Menginformasikan

Terapi

Manupulasi

17

2.2 Pengertian Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh dan dibangun serta dikelola oleh

rakyat, umumnya berada di atas tanah milik atau tanah adat. Ada beberapa hutan

rakyat berada di atas tanah negara, namun hal tersebut biasanya sudah ada campur

tangan dari pemerintah. Menurut status tanah hutan rakyat dapat digolongkan

dalam beberapa kategori, sebagai berikut. 1) Hutan milik, yakni hutan rakyat yang

dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini merupakan bentuk hutan rakyat yang

paling umum, terutama di Pulau Jawa; 2) Hutan adat, atau dalam bentuk lain:

hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah milik bersama,

biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan

komunitas setempat; 3) Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang

dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan

negara. Hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada

sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau

koperasi.

Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia

yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh

masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara

alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980

). Sebagian besar penulis artikel dan peneliti tentang hutan rakyat sepakat bahwa

secara fisik hutan rakyat itu tumbuh dan berkembang di atas lahan milik pribadi,

dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan,

sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga lingkungan.

18

Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh

organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat,

maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Pengertian hutan rakyat secara

sederhana adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perorangan,

kelompok ataupun lembaga. Menurut Raharjo (2007) (dalam Sahmara, 2011)

hutan rakyat diartikan sebagai kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh

tumbuhan berkayu, luas dan kerapatannya cukup sehingga dapat menciptakan

iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya, dikelola dan dikuasai oleh

rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat dapat dibuat oleh manusia, dapat juga

terjadi secara alami, tetapi proses terjadinya hutan rakyat adakalanya berawal dari

upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis.

Sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan

hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku

dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan

mewujudkan kelesetarian hutan. Menurut Avalapati dan Gill (1991) (dalam

Roslinda, 2008) suatu kegiatan penanaman pohon, pemanenan dan pengelolaan,

dimana sistem penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan

tanaman perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan, melibatkan penduduk

secara individu atau komunal untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten,

komersil masyarakat dan untuk kebutuhan lingkungan.

Namun umumnya istilah social forestry digunakan sebagai istilah payung

yang mencakup program-program dan kegiatan kehutanan yang sedikit atau

banyak melibatkan peranan masyarakat atau rakyat lokal, atau yang

dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Blair dan Olpadwala

19

(1988) dalam Suharjito, dkk. (2000), membedakan social forestry ke dalam dua

komponen, yaitu community forestry yang merupakan penumbuhan pohon-pohon

oleh organisasi lokal pada bidang-bidang lahan umum, dan farm forestry terdiri

dari pemilik-pemilik lahan yang menanam pohon-pohon di lahan milik mereka.

Dalam hal ini status lahan (lahan umum atau lahan milik individu) dan unit

pengelolaan (organisasi, kelompok, atau individu) dijadikan dasar untuk

membedakan praktek social forestry.

Kegiatan hutan rakyat terdiri dari kegiatan penanaman tanaman hutan

rakyat yang memiliki fungsi sebagai rehabilitasi hutan, pola tanam yang biasa

digunakan dalam pembuatan hutan tanaman hutan rakyat oleh masyarakat

beragam disetiap daerahnya. Menurut Suharjito (2000) bahwa keberagaman pola

tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi

budaya masyarakat. Secara umum penanaman dalam hutan rakyat diklasifikasikan

pada dua pola tanam yaitu murni (monokultur) dan campuran (polyculture).

Pemeliharaan hutan rakyat merupakan kegiatan penting dalam menjaga kualitas

hutan rakyat yang berpengaruh terhadap hasil hutan rakyat itu sendiri, dalam

pemeliharaan tanaman hutan rakyat yang dilakukan berupa penyulaman, yaitu

penggantian tanaman yang mati atau sakit dengan tanaman yang baik,

penyulaman pertama dilakukan sekitar 2 s.d 4 minggu setelah tanam, penyulaman

kedua dilakukan pada waktu pemeliharaan tahun pertama (sebelum tanaman

berumur satu tahun). Agar pertumbuhan bibit sulaman tidak tertinggal dengan

tanaman lain, maka dipilih bibit yang baik disertai pemeliharaan yang intensif.

Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah. Tujuan

20

utama pemupukan adalah menjamin ketersediaan hara secara optimum untuk

mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh peningkatan hasil panen.

Penyiangan pada dasarnya, kegiatan penyiangan dilakukan untuk

membebaskan tanaman pokok dari tanaman pengganggu dengan membersihkan

gulma yang tumbuh liar di sekeliling tanaman agar kemampuan kerja akar dalam

menyerap unsur hara dapat berjalan secara optimal. Disamping itu tindakan

penyiangan juga dimaksudkan untuk mencegah datangnya hama dan penyakit

yang biasanya menjadikan rumput atau gulma lain sebagai tempat

persembunyiannya, sekaligus untuk memutus daur hidupnya. Penyiangan

dilakukan pada tahun-tahun permulaan sejak penanaman agar pertumbuhan

tanaman hutan rakyat, seperti tanaman karet tidak kerdil atau terhambat,

selanjutnya pada awal maupun akhir musim penghujan, karena pada waktu itu

banyak gulma yang tumbuh. Pendanguran yaitu usaha mengemburkan tanah

disekitar tanaman dengan maksud untuk memperbaiki struktur tanah yang

berguna bagi pertumbuhan tanaman. Pemangkasan yaitu pemotongan cabang

pohon yang tidak berguna (tergantung dari tujuan penanaman).

Pengawasan merupakan kegiatan penjagaan yang dilakukan dalam hutan

rakyat yang memiliki tujuan sebagai pencegahan dan pengendalian kebakaran

hutan rakyat, dan pemanenan hutan rakyat adalah kegiatan yang dilakukan untuk

memperoleh hasil dengan mendapatkan keuntungan dari memanfaatkan hutan

rakyat, seperti melakukan penyadapan dan pemulungan guna memperoleh getah

pada tanaman karet untuk dijual.

2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Program Hutan Rakyat

21

Partisipasi masyarakat dalam pengembangan program hutan rakyat di

Dusun Talang Gunung merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat

dalam bentuk partisipasi fisik maupun partisipasi nonfisik. Partisipasi fisik adalah

keterlibatan atau keikutsertaan seseorang yang berupa tindakan fisik dalam

pengembangan program hutan rakyat, yang meliputi kegiatan penanaman,

pemeliharaan, pengawasan, pemanenan hutan rakyat dan keikutsertaan dalam

kegiatan penyuluhan mengenai pengembangan program hutan rakyat. Sedangkan

Partisipasi nonfisik adalah keterlibatan atau keikutsertaan seseorang yang tidak

berupa tindakan fisik dalam pengembangan program hutan rakyat. Partisipasi

nonfisik dalam pengembangan program hutan rakyat yaitu mengenai pembiayaan,

pemikiran dan pengelolaan (manajemen).

Menurut Rivai dan Arifin (2010) pembiayaan adalah penyediaan uang

atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan atau lembaga keuangan lainnya

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya

setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil. Pembiayaan merupakan

bentuk partisipasi nonfisik dalam pengembangan program hutan rakyat tanpa

melakukan tindakan fisik, pemilik hanya melakukan pembiayaan dalam semua

kegiatan pengembangan program hutan rakyat di Dusun Talang Gunung.

Menurut Shaleh (dalam Maharani, 2013) ideologi adalah sebuah

pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional, yang meliputi akidah

dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran merupakan

bentuk partisipasi nonfisik dalam pengembangan program hutan rakyat,

masyarakat yang berpartisipasi dalam bentuk partisipasi nonfisik hanya

22

memberikan pemikiran dalam menghadapi permasalahan dalam pengembangan

program hutan rakyat, seperti memberikan solusi, pendapat dan mendiskusikan

hal-hal mengenai penjualan getah karet.

Konsep pengelolaan (manajemen), pengelolaan pada dasarnya adalah

semua pengendalian dan pemanfaatan semua sumber daya yang menurut suatu

perencanaan diperlakukan untuk atau penyelesaian suatu tujuan kerja tertentu.

Menurut Irawan (dalam Muslimin, 2010) pengelolaan sama dengan manajemen

yaitu penggerakan, pengorganisasian dan pengarahan usaha manusia untuk

memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan.

Partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi nonfisik berupa pengelolaan

(manajemen) merupakan penggerakan dan pengarahan dalam kegiatan hutan

rakyat yang dilakukan oleh masyarakat yang dipercayai sebagai pengelola

(manajemen) oleh pemilik lahan pengembangan program hutan rakyat.

Pembangunan masyarakat (community development) secara harfiah dapat

diartikan yaitu menunjukan pada setiap usaha perbaikan kualitas hidup

masyarakat. Sedangkan pengertian pembangunan masyarakat dapat diartikan

sebagai adanya rangsangan-rangsangan yang berasal dari luar (baik itu

rangsangan yang berupa kebendaan misalnya uang sebagai pancingan untuk

merangsang perolehan dan swadaya masyarakat yang lebih besar maupun berupa

penyuluhan-penyuluhan yang menumbuhkan kebutuhan baru) kedalam

masyarakat yang sifatnya memperkuat atau membantu masyarakat itu dalam

menggunakan sumber-sumber lokal demi peningkatan hidup mereka (Slamet,

1993).

Tahun 1955 PBB menerima definisi pembangunan masyarakat sebagai

23

berikut, yakni proses-proses dimana unsur-unsur dari orang-orang itu sendiri

disetujui dengan usaha-usaha pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi,

sosial dan kualitas masyarakat, menyatukan masyarakat-masyarakat itu ke dalam

kehidupan bangsa, serta memungkinkan masyarakat itu menyambungkan secara

penuh bagi kemajuan nasional (Slamet, 1993).

Pembangunan masyarakat (community development) secara harfiah dapat

diartikan yaitu menunjukan pada setiap usaha perbaikan kualitas hidup

masyarakat. Sedangkan pengertian pembangunan masyarakat dapat diartikan

sebagai adanya rangsangan-rangsangan yang berasal dari luar (baik itu

rangsangan yang berupa kebendaan misalnya uang sebagai pancingan untuk

merangsang perolehan dan swadaya masyarakat yang lebih besar maupun berupa

penyuluhan-penyuluhan yang menumbuhkan kebutuhan baru) kedalam

masyarakat yang sifatnya memperkuat atau membantu masyarakat itu dalam

menggunakan sumber-sumber lokal demi peningkatan hidup mereka (Slamet,

1993). Tahun 1955 PBB menerima definisi pembangunan masyarakat sebagai

berikut, yakni proses-proses dimana unsur-unsur dari orang-orang itu sendiri

disetujui dengan usaha-usaha pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi,

sosial dan kualitas masyarakat, menyatukan masyarakat-masyarakat itu ke dalam

kehidupan bangsa, serta memungkinkan masyarakat itu menyambungkan secara

penuh bagi kemajuan nasional (Slamet, 1993).

Menurut Dwiprabowo dan Hendro (2005) hutan rakyat yang

dikembangkan di atas tanah milik memiliki potensi yang besar untuk

dikembangkan sebagai komplemen terhadap hutan produksi. Kegitatan hutan

rakyat (farm forestry) merupakan salah satu bentuk dari social forestry (sebagian

24

pakar menterjemahkan menjadi perhutanan sosial, menurut Nurrochmat, (2005),

selain kehutanan masyarakat (community forestry). Perhutanan sosial menawarkan

satu pendekatan yang dikaitkan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh

masyarakat pedesaan dan pemerintah.

Istilah hutan rakyat atau usaha tani kehutanan telah muncul sebagai satu

alternatif model untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh semakin

luasnya jumlah pohon yang hilang dari hutan-hutan yang ada di muka bumi dan

berkurangnya penutupan bumi oleh hutan di negara-negara sedang berkembang.

Dengan membantu masyarakat pedesaan agar menanam pohon dilahan sendiri,

biaya penghutanan kembali dapat dikurangi (Awang, 2004).

Menurut Awang, dkk. (2001) konsep hutan rakyat bukanlah sebaran atau

hamparan lahan yang seluruhnya ditumbuhi pohon-pohonan, namun merupakan

hamparan lahan yang di dalamnya tumbuh berbagai macam tumbuhan tanaman

keras, tanaman pangan, tanaman hijauan makanan ternak, tanaman kayu bakar,

tanaman non kayu dan buah-buahan. Hutan rakyat merupakan bank data dan bank

kehidupan keluarga bagi masyarakat pedesaan sekitar hutan, sekaligus gambaran

ekosistem sempurna dari bentang alam (landscape).

Pengembangan program hutan rakyat di Dusun Talang Gunung ada

beberapa bentuk hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat, antara lain

sebagai berikut.

1. Hutan tanaman murni, yaitu hutan yang dibangun dalam rangka

meningkatkan potensi dan kualitas hutan, yang seluruhnya ditanami satu jenis

kayu-kayuan. Kegiatan pengembangan program hutan rakyat dalam bentuk

hutan tanaman murni, masyarakat melakukan bentuk partisipasi fisik yang

25

dilakukan di lahan mereka masing-masing, seperti penanaman, pemeliharaan,

pengawasan dan pemanenan hutan rakyat. Dalam pengembangan program

hutan rakyat dengan bentuk hutan tanaman murni di Dusun Talang Gunung

masyarakat memilih tanaman karet sebagai tanaman hutan rakyat.

2. Hutan tanaman campuran, yaitu hutan yang dibangun dalam rangka

meningkatkan potensi dan kualitas hutan yang dibangun dalam rangka

meningkatkan potensi dan kualitas hutan, yang seluruhnya ditanami berbagai

jenis kayu-kayuan. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam

pengembangan program hutan rakyat dengan bentuk hutan tanaman

campuran yaitu dengan melakukan kegiatan pengembangan program hutan

rakyat dengan penanaman tanaman karet sebagai tanaman pilihan yang

dikombinasikan dengan tanaman jenis kayu-kayuan seperti sengon dan

albasia. Kegiatan pengembangan program hutan rakyat dalam bentuk hutan

tanaman campuran juga disertai dengan pemeliharaan, pengawasan dan

pemanenan hutan rakyat.

3. Agroforestry yaitu manajemen pemanfaatan hutan secara optimal dan lestari,

dengan cara mengkombinasi kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit

pengelolaan lahan yang sama, dengan memperhatikan kondisi lingkungan

fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sehingga masyarakat dapat

berperan serta (Departemen Kehutanan, 2002) (dalam Aryadi, 2012).

Agroforestry, seperti yang dikemukakan oleh Pramuhasanto (2002) (dalam

Roslinda, 2008), adalah salah satu sistem yang dikembangkan dalam

pengelolaan lahan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan

26

secara keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman pertanian dan

tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan pada unit yang sama.

Kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pengembangan program hutan

rakyat dengan bentuk agroforestry yaitu dengan melakukan penanaman tanaman

karet sebagai tanaman pilihan dalam pengembangan program hutan rakyat yang

dikombinasikan dengan tanaman singkong yang ditanam pada satu lahan yang

sama, kegiatan dalam agroforestry ini juga disertai dengan pemeliharaan,

pengawasan dan pemanenan hutan rakyat.

Simon (1995) (dalam Sahmara, 2011) mendefinisikan hutan rakyat sebagai

hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk

menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya yang secara ekonomis bertujuan

untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Karakteristik

hutan rakyat umumnya bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani

komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya

sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat.

2.4 Kerangka Pemikiran

Pengembangan program hutan rakyat di Dusun Talang Gunung Desa

Talang Batu dapat dilihat dari tiga bentuk pengembangan program hutan rakyat

berupa agroforestry, hutan tanaman campuran, dan hutan tanaman murni. Bentuk

pengembangan program hutan rakyat berupa agroforestry ditanami jenis tanaman

hutan rakyat berupa tanaman karet yang dikombinasikan dengan tanaman

pertanian berupa singkong, hutan tanaman campuran ditanami berbagai jenis

kayu-kayuan, seperti albasia, sengon dan tanaman karet, serta hutan tanaman

27

murni ditanami dengan satu jenis tanaman hutan rakyat, yaitu tanaman karet yang

menjadi pilihan petani di Dusun Talang Gunung.

Partisipasi petani dalam pengembangan program hutan rakyat dilihat dari

satu variabel yakni partisipasi. Partisipasi petani dalam pengembangan program

hutan rakyat yang diukur dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada

pengembangan program hutan rakyat yang berbentuk agroforestry, hutan tanaman

campuran, dan hutan tanaman murni dengan bentuk partisipasi fisik dan

partisipasi nonfisik. Partisipasi fisik dengan parameter kegiatan penanaman,

pemeliharaan, pengawasan, pemanenan dan keikutsertaan responden dalam

mengikuti penyuluhan mengenai pengembangan program hutan rakyat yang

difasilitasi oleh kelompok maupun pemerintah sebagai individu maupun

kelompok, sedangkan partisipasi nonfisik dilihat dari parameter pembiayaan,

pemikiran dan pengelolaan (manajemen).

Untuk mengetahui partisipasi petani dalam pengembangan program hutan

rakyat di Dusun talang Gunung Desa Talang Batu maka analisis yang digunakan

adalah analisis deskriptif kualitatif. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran

dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Partisipasi Petani

dalam Pengembangan Program Hutan Rakyat

28

Agroforestry Hutan Tanaman

Campuran

Hutan Tanaman Murni

Partisipasi Petani

Partisipasi Fisik

1. Penanaman

2. Pemeliharaan

3. Pengawasan

4. Pemanenan

5. Penyuluhan

Partisipasi Nonfisik

1. Pembiayaan

2. Pemikiran

3. Pengelolaan

(manajemen)

Analisis Deskriptif

Hasil dan Simpulan

Rekomendasi

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran Penelitian Partisipasi Petani dalam Pengembangan

Program Hutan Rakyat di Dusun Talang Gunung Desa Talang Batu.

Tahun 2015

di Dusun Talang Gunung