Upload
truongdang
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KOPI
Coffee atau kopi dalam bahasa Indonesia secara luas dikenal sebagai
stimulan yang dibuat dari biji kopi. Kopi pertama kali dikonsumsi orang di abad
ke-9 di daerah dataran tinggi Ethiopia, dari sana lalu menyebar ke Mesir dan
Yaman lalu di abad ke-15 menyebar ke Armenia, Persia, Turki, dan Afrika Utara.
Tanaman kopi tergolong dalam famili Rubiaceae, sub famili Cinchonoides, genus
Coffea L., sub genus Coffea. Sub genus Coffea lebih banyak dikembangkan karena
paling menguntungkan (Najiyati dan Danarti, 1998). Ada dua spesies dari tanaman
kopi yaitu kopi Arabika (Coffea arabica) adalah kopi tradisional, dan dianggap
paling enak rasanya, kopi Robusta (Coffea connephora) memiliki kafein yang
lebih tinggi dapat dikembangkan dalam lingkungan dimana Arabika tidak akan
tumbuh. Dan kedua jenis kopi ini yang paling banyak diperdagangkan di
Indonesia. Jenis kopi yang paling banyak ditanam di Indonesia adalah kopi
Robusta. Kopi Arabika tumbuh pada ketinggian tempat lebih dari 600 m dpl (Ky
dkk, 2001).
Jika dilihat dari mutu kopi Robusta berada dibawah kopi Arabika. Jumlah
pasokan kopi Arabika di dalam pasokan dunia sekitar 70 persen. Sedangkan kopi
Robusta sekitar 24 persen dan sisanya diisi oleh kopi jenis Liberica dan Excesa.
Produksi kopi, ekspor, dan negara tujuannya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel
3.
Tabel 2. Ekspor negara tujuan Indonesia tahun 2002-2005
Negara Tahun (ton)
2002 2003 2004 2005
Amerika Serikat 43 243 48 239 73 288 84 426
Jepang 56 879 52 720 55 141 49 936
Jerman 53 562 57 608 53 936 78 755
Italia 15 011 25 086 21 348 30 500
Singapura 12 642 8 935 10 561 13 276
Total 181 337 192 588 214 274 256 893 Sumber : Direktorat jendral perkebunan (2006) dalam Rosadi (2007)
4
Tabel 3. Jumlah produksi dan ekspor kopi Indonesia tahun 2000-2005
Tahun Ekspor (ton) Produksi (ton)
2000 340 887 554 574
2001 250 818 569 234
2002 325 009 682 019
2003 323 520 671 255
2004 344 077 647 385
2005 445 829 640 365 Sumber : Direktorat jendral perkebunan (2006) dalam Rosadi (2007)
Biji kopi Robusta dan Arabika dapat dibedakan dengan nyata secara
makroskopis. Biji kopi Arabika lebih besar dari biji kopi robusta. Panjang biji kopi
arabika sekitar 8-12 mm dan lebar 6-8 mm, rasio panjang dan lebar 6-7 mm
dengan rasio 1.0-1.15. Buah kopi mempunyai kisaran berat antara 100 mg sampai
200 mg dan densitas antara 1.15-1.42 (Asiedue, 1989 dalam Sofi’i, 2005).
Tabel 4. Komposisi kimia biji kopi kering
No Komponen Jumlah (%)
1 Air 11-12
2 Kafein 1-2
3 Lemak 12-13
4 Gula 8-9
5 Selulosa 18-19
6 Senyawa yang mengandung N 12-13
7 Senyawa yang tidak mengandung N 33-34
8 Abu 3-4
Sumber : Zaini A (2009)
Gambar 1. Biji kopi beras
5
B. STANDAR MUTU KOPI
Sebelum kopi dipasarkan, baik untuk dipasarkan di dalam negeri maupun di
luar negeri, biji kopi harus disortasi terlebih dahulu menurut standar mutu yang
telah ditetapkan.
Standar Nasional Indonesia (SNI) biji kopi nomor 01-2907-2008 yang
merupakan revisi SNI 01-2907-1999, Biji kopi. Standar ini dirumuskan oleh
Panitia Teknis 65-03 Pertanian. Standar ini disusun dan direvisi berdasarkan
perkembangan pasar global, seperti sebagian Resolusi ICO 407 serta
mempertimbangkan persyaratan internasional. Dalam resolusi ICO 407
ditegaskan mengenai larangan perdagangan kopi mutu rendah yang diberlakukan
sejak tanggal 1 Oktober 2002.
Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan peningkatan mutu kopi
Indonesia melalui penerapan standar mutu dan harmonisasi antara standar mutu
kopi Indonesia dan standar mutu kopi dunia. Oleh karena itu dalam revisi SNI
2907-1999 dilakukan penyempurnaan terutama mengenai persyaratan mutu kopi.
Beberapa pokok ketetapan mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI) biji
kopi nomor 01-2907-2008 adalah :
1. Berdasarkan jenis kopi dapat dibedakan kedalam : kopi Robusta dan kopi
Arabika.
2. Berdasarkan cara pengolahannya, kopi dapat digolongkan kedalam 2 jenis :
kopi pengolahan kering dan kopi pengolahan basah.
3. Berdasarkan nilai cacatnya, kopi dapat digolongkan menjadi 6 tingkat mutu.
Untuk kopi Robusta mutu 4 terbagi dalam sub tingkat mutu 4a dan 4b. Tiap
jenis mutu dapat lebih diperjelas dengan identifikasi lebih lanjut dan
disebutkan daerah asalnya.
4. Ketentuan umum syarat mutu :
4.1. Syarat umum
6
Tabel 5. Syarat mutu umum
No Kriteria Satuan Persyaratan
1 Serangga hidup Tidak ada
2 Biji berbau busuk dan
atau berbau kapang
Tidak ada
3 Kadar air % fraksi massa Maks 12.5
4 Kadar kotoran % fraksi massa Maks 0.5 Sumber : Badan standar nasional Indonesia
4.2. Syarat khusus
Tabel 6. Syarat penggolongan mutu kopi Robusta dan Arabika berdasarkan nilai
cacat
Mutu Persyaratan
Mutu 1 Jumlah nilai cacat maksimum 11*
Mutu 2 Jumlah nilai cacat 12 sampai dengan 25
Mutu 3 Jumlah nilai cacat 26 sampai dengan 44
Mutu 4a Jumlah nilai cacat 45 sampai dengan 60
Mutu 4b Jumlah nilai cacat 61 sampai dengan 80
Mutu 5 Jumlah nilai cacat 81 sampai dengan 150
Mutu 6 Jumlah nilai cacat 151 sampai dengan 225 Sumber : Badan standar nasional Indonesia
CATATAN : Untuk kopi Arabika mutu 4 tidak dibagi menjadi sub mutu 4a dan
4b. Tanda bintang untuk kopi Peaberry dan Polyembrio.
Mutu biji kopi berdasarkan nilai cacat yang dihitung dari contoh uji seberat
300 gram. Jika satu biji kopi mempunyai lebih dari satu nilai cacat, maka
penentuan nilai cacat tersebut didasarkan pada bobot nilai cacat terbesar.
Persyaratan ukuran biji kopi dapat dilihat pada Tabel 7 dan nilai cacat biji kopi
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Persyaratan ukuran biji kopi
Ukuran Syarat mutu
Besar Tidak lolos ayakan lubang bulat diameter 7.5 milimeter
Sedang Lolos ayakan lubang bulat diameter 7.5 milimeter
Tidak lolos ayakan lubang bulat diameter 6.5 milimeter
Kecil Lolos ayakan lubang bulat diameter 6.5 milimeter
Tidak lolos ayakan lubang bulat diameter 5.5 milimeter
Sumber : Badan standar nasional Indonesia
7
Tabel 8. Penentuan besarnya nilai cacat biji kopi
No Jenis cacat Nilai cacat
1 1 (satu) biji hitam 1 (satu)
2 1 (satu) biji hitam sebagian ½ (setengah)
3 1 (satu) biji hitam pecah ½ (setengah)
4 1 (satu)kopi gelondongan 1 (satu)
5 1 (satu) biji cokelat ¼ (seperempat)
6 1 (satu) kulit kopi ukuran besar 1 (satu)
7 1 (satu) kulit kopi ukuran sedang ½ (setengah)
8 1 (satu) kulit kopi ukuran kecil 1/5 (seperlima)
9 1 (satu) biji berkulit tanduk ½ (setengah)
10 1 (satu) kulit tanduk ukuran besar ½ (setengah)
11 1 (satu) kulit tanduk ukuran sedang 1/5 (seperlima)
12 1 (satu) kulit tanduk ukuran kecil 1/10(sepersepuluh)
13 1 (satu) biji pecah 1/5 (seperlima)
14 1 (satu) biji muda 1/5 (seperlima)
15 1 (satu) biji berlubang satu 1/10(sepersepuluh)
16 1 (satu) biji berlubang lebih dari satu 1/5 (seperlima)
17 1 (satu) biji bertutul-tutul 1/10(sepersepuluh)
18 1 (satu) ranting, tanah, atau batu berukuran besar 5 (lima)
19 1 (satu) ranting, tanah, atau batu berukuran sedang 2 (dua)
20 1 (satu) ranting, tanah, atau batu berukuran kecil 1 (satu) Sumber : Badan standar nasional Indonesia
Selain dilaksanakan uji mutu melalui defect system, juga harus diikuti
dengan uji cita rasa (cup taste test). Cacat cita rasa dapat meliputi :
1. Earthy : berbau tanah, paling banyak dijumpai pada kopi asalan dari petani.
2. Mouldy : berbau jamur akibat penanganan yang kurang baik, kandungan kadar
air masih tinggi menyebabkan jamur masuk.
3. Fermented : berbau busuk, sebagai akibat jelek dari pengolahan secara basah
yang tidak sempurna.
4. Musty : berbau lumut.
Standar mutu kopi yang sering digunakan untuk perdagangan dalam
perdagangan internasional mengikuti standar SCAA (Specialty Coffee Association
of America) dan metode klasifikasi green coffee Brazil/New York. Standar
klasifikasi biji kopi hijau yang disediakan oleh SCAA adalah metode yang sangat
baik untuk membandingkan biji kopi. Sistem ini unggul dari beberapa sistem
lainnya dalam hubungan antara biji kopi cacat dan biji kopi kelas tinggi.
8
Metode pemutuan biji kopi menurut SCAA adalah : biji kopi sebanyak 300
gram dikuliti kemudian diurutkan dengan menggunakan ayakan dengan ukuran
lubang 14/64 inci, 15/64 inci, 16/64 inci, 17/64 inci, dan 18/64 inci. Biji kopi
yang tersisa di setiap ayakan ditimbang dan persentasenya dicatat. Cara
pengklasifikasian dengan menggunakan sampel sebanyak 300 gram kopi ini
sangat memakan waktu, sehingga biasanya hanya 100 gram kopi yang digunakan.
Jika berurusan dengan kopi kelas tinggi dengan hanya beberapa cacat, maka
digunakan 300 gram. Jika kopi kualitas yang lebih rendah dengan banyak cacat,
100 gram biasanya cukup dalam klasifikasi yang tepat baik sebagai Below
Standard Grade atau Off Grade.
Kelas mutu yang ditetapkan oleh SCAA terbagi atas 5 kelas mutu yaitu
sebagai berikut :
1. Specialty Grade Green Coffee (1) : khusus biji kopi hijau tidak memiliki lebih
5 penuh cacat dari 300 gram kopi. Tidak diperbolehkan adanya cacat primer.
Toleransi maksimal 5 persen di atas atau di bawah ukuran ayakan yang
ditunjukan. Kopi harus memiliki setidaknya satu ciri-ciri khusus pada tubuh,
rasa, aroma, atau keasaman. Harus bebas dari kesalahan dan cacat/noda.
Kadar air antara 9-13 persen.
2. Premium Coffee Grade (2) : kelas mutu kopi premium harus tidak lebih dari 8
penuh cacat dalam 300 gram. Cacat primer diperbolehkan dengan toleransi
maksimal 5 persen di atas atau di bawah ukuran ayakan yang ditunjukkan.
Harus memiliki setidaknya satu ciri-ciri khusus pada tubuh, rasa, aroma, atau
keasaman. Kadar air antara 9-13 persen.
3. Exchange Coffee Grade (2) : pada grade ini kopi yang cacat harus tidak lebih
dari 9-23 penuh cacat dalam 300 gram. Berdasarkan beratnya harus 50 persen
di atas ukuran ayakan 15 dengan tidak lebih dari 5 persen dari ukuran ayakan
di bawah 14. Kadar air antara 9-13 persen.
4. Below Standard Grade (3) : 24-86 cacat dari 300 gram.
5. Off Grade (5) : lebih dari 86 cacat dari 300 gram.
9
Pada Tabel 9 dan Tabel 10 merupakan bagan pemutuan biji kopi menurut
SCAA yang didasarkan pada cacat utama dan jumlah biji kopi yang cacat.
Tabel 9. Cacat primer
Cacat primer Nilai cacat
Biji hitam penuh 1
Biji asam 1
Kulit kopi 1
Batu besar 2
Batu sedang 5
Ranting besar 2
Ranting sedang 5 Sumber : http://coffeeresearch.org./coffee/scaaclass.htm
Tabel 10. Cacat sekunder
Cacat sekunder Nilai Cacat
Perkamen 2-3
Sekam 2-3
Biji pecah 5
Serangga 2-5
Biji hitam sebagian 2-3
Biji asam sebagian 2-3
Floater 5
Kulit kopi 5
Batu kecil 1
Ranting kecil 1
Kerusakan air 2-5 Sumber : http://coffeeresearch.org./coffee/scaaclass.htm
Menurut Siswoputranto (1993), aspek-aspek yang diperhatikan dalam
penetapan standar terutama mengenai :
1. Ukuran biji kopi dan keseragaman ukuran, aspek yang sangat diperhatikan
pabrik-pabrik dalam kaitan dengan hasil penyanggraian yang seragam masak
tanpa ada yang gosong ataupun kurang masak.
2. Cacat yang terlihat dari warna : biji hitam, biji berbintik-bintik, biji berwarna
coklat.
3. Cacat biji karena biji pipih, biji pecah, biji berlubang akibat serangan hama.
4. Cacat karena biji berkapang akibat pengeringan biji kopi yang tidak dilakukan
dengan baik.
10
Menurut Edizal (1992), jenis cacat yang mendominasi biji kopi di Indonesia
adalah biji kopi hitam, biji kopi coklat, biji kopi hitam sebagian, biji kopi pecah,
dan biji kopi berlubang. Cacat ini bersumber dari pengolahan kopi baik pra
maupun pasca panen. Faktor yang menyebabkan timbulnya biji hitam adalah
sistem panen yang kurang efektif, sehingga buah kopi yang masih muda ikut
terpetik.
Sortasi ekspor agar dapat memenuhi kebutuhan pasaran dunia dilakukan
usaha seperti berikut :
1. Biji harus bersih, tidak tercampur pecahan kulit dan kotoran lain. Sebab
kotoran-kotoran itu akan menambah berat dan juga bila turut dimasak akan
mengurangi rasanya.
2. Hendaknya jangan sampai terdapat biji-biji pecah, biji-biji hitam atau yang
terserang oleh hama busuk.
3. Biji-biji harus seragam dalam ukuran, bentuk dan warnanya. Misalnya yang
berukuran besar akan lebih disukai.
4. Biji kopi yang kulitnya kisut adalah merupakan tanda bahwa mereka itu
berasal dari buah muda atau belum masak benar.
5. Biji-biji kopi yang berasal dari berjenis-jenis kopi akan berlainan pula
warnanya, misalnya :
- Biji kopi Robusta berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan
- Biji arabika berwarna hijau kebiru-biruan
- Biji Liberica, Hybrid, Excesa berwarna kuning
6. Tidak boleh berbau jamur. Hal ini terjadi oleh karena penyimpanan biji kopi
kurang baik, misalnya dalam gudang yang lembab (Ciptadi, W dkk 1985).
C. PENGOLAHAN CITRA
Pengertian pengolahan citra (image processing) sedikit berbeda dengan
pengertian mesin visual (machine vision), meskipun keduanya seolah-olah dapat
dipergunakan dengan maksud yang sama. Terminologi pengolahan citra
dipergunakan bila hasil pengolahan data yang berupa citra, adalah juga berbentuk
citra yang lain, yang mengandung atau memperkuat informasi khusus pada citra
11
hasil pengolahan sesuai dengan tujuan pengolahannya. Sedangkan terminologi
mesin visual digunakan bila data hasil pengolahan citra langsung diterjemahkan
dalam bentuk lain, misalnya grafik yang siap diinterpresentasikan untuk tujuan
tertentu, gerak peralatan atau bagian dari peralatan mekanis, atau aksi lainnya
yang berarti bukan merupakan citra lagi (Ahmad, 2005).
Pengolahan citra merupakan proses pengolahan dan analisis citra yang
banyak melibatkan persepsi visual. Proses ini mempunyai ciri data masukan dan
informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara
umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer.
Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua
data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks
yang diwakili oleh bit-bit tertentu.
a. Perangkat Keras Pengolahan Citra
Pengolahan citra digital dipengaruhi oleh jenis perangkat keras dan
perangkat lunak yang digunakan. Komponen utama dari perangkat keras citra
digital adalah komputer dan alat peraga. Perangkat keras pengolahan citra
terdiri dari beberapa subsistem yaitu komputer, masukan video, keluaran
video, kontrol proses interaktif penyimpanan berkas citra, dan perangkat keras
sistem pengolahan citra.
Salah satu perangkat keras adalah sensor citra. Banyak macam sensor
citra yang digunakan, namun saat ini yang sering digunakan adalah solid state
image sensor karena mempunyai banyak kelebihan seperti konsumsi daya
listrik yang kecil, ukuran kecil dan kompak, tahan guncangan dan sebagainya.
Sensor jenis ini dapat diklasifikasikan berdasarkan caranya melakukan
scaning, yang umumnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu : Charge-Couple
Device (CCD) dan Metal-Oxide Semiconductor (MOS).
CCD adalah chip silikon yang terbentuk dari ribuan atau bahkan jutaan
diode fotosensitif yang disebut photosites atau orang menyebutnya piksel.
Tiap photosite menangkap satu titik objek untuk kemudian dirangkai dengan
hasil tangkapan photosite lain menjadi gambar (Setiawan, 2004).
12
Perangkat lainnya yang diperlukan adalah unit display untuk memonitor
citra yang ditangkap oleh kamera, menampilkan citra yang sudah diproses,
baik hasil antara maupun hasil akhir, dan sebagainya. Kualitas citra yang
dihasilkan dan ditampilkan tidak hanya tergantung pada kualitas monitor,
tetapi juga pada jenis dan kemampuan penangkap bingkai citra yang
digunakan, serta perangkat lunak yang menyertainya (Ahmad, 2005).
b. Perangkat Lunak Pengolahan Citra
Perangkat lunak (software) yang digunakan pada image processing
tergantung pada jenis image frame grabber yang digunakan. Biasanya setiap
pembelian paket image digitizer, paket tersebut telah dilengkapi dengan
perangkat lunak untuk menggunakannya.
Secara umum, pemograman pengolahan citra dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu program tunda, dimana program yang dibuat melakukan manipulasi
dan analisis citra yang sudah direkam atau disimpan dalam bentuk file
sebelumnya, bukan yang langsung ditangkap oleh kamera. Program jenis ini
memanggil file citra yang sudah disimpan berupa bingkai citra ke dalam
memori komputer, melakukan manipulasi atau perhitungan terhadap data
dalam memori, menyimpan kembali data hasil manipulasi dalam file citra
baru, atau menampilkan (menyimpan) data hasil ekstraksi citra. Program jenis
ini dapat dijalankan tanpa perangkat kamera TV dan kartu penangkap citra,
jadi hampir dapat dipastikan bahwa program tersebut dapat digunakan di
sembarang komputer dengan sistem operasi yang kompatibel dengan sistem
operasi dimana program tersebut dibuat. Jenis program yang lain adalah
program live atau lebih dikenal dengan sebutan real-time program, yaitu
program yang menangkap citra, memindahkan bingkai kedalam memori
komputer, melakukan analisis dan perhitungan, dan menghasilkan citra lain
atau lebih sering lagi suatu keputusan, tergantung pada tujuannya. Keputusan
ini biasanya digunakan untuk melakukan aksi, misalnya memberi predikat
pada obyek yang diambil citranya seperti pada sistem sortasi, atau
13
menggerakkan manipulator untuk memetik buah pada robot pemanen buah,
dan sebagainya (Ahmad, 2005).
c. Fitur-Fitur Pengolahan Citra
Fitur-fitur pengolahan citra meliputi :
1. Segmentasi Citra
Segmentasi citra merupakan suatu proses pengelompokkan citra
menjadi beberapa region berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan
pengertian, segmentasi memiliki tujuan menemukan karakteristik khusus
yang dimiliki suatu citra. Oleh karena itulah, segmentasi sangat diperlukan
pada proses pengenalan pola. Semakin baik kualitas segmentasi maka
semakin baik pula kualitas pengenalan polanya.
Secara umum ada beberapa pendekatan yang banyak digunakan
dalam proses segmentasi antara lain :
a. Teknik threshold, yaitu pengelompokkan citra sesuai dengan distribusi
properti piksel penyusun citra.
b. Teknik region-based, yaitu pengelompokkan citra kedalam region-
region tertentu secara langsung berdasar persamaan karakteritik suatu
area citranya.
c. Edge-based methods, yaitu pengelompokkan citra kedalam wilayah
berbeda yang terpisahkan karena adanya perbedaan perubahan warna
tepi dan warna dasar citra yang mendadak.
Pendekatan pertama dan kedua merupakan contoh kategori
pemisahan image berdasarkan kemiripan area citra, sedangkan pendekatan
ketiga merupakan salah satu contoh pemisahan daerah berdasarkan
perubahan intensitas yang cepat terhadap suatu daerah.
Proses perhitungan beberapa fitur citra dilakukan pada citra biner,
seperti pengukuran area, jarak, titik pusat, dan faktor bentuk. Oleh karena
itu sebelum dilakukan variabel di atas, proses segmentasi perlu dilakukan.
14
2. Area
Area merupakan salah satu ciri umum yang dapat digunakan untuk
mengenali obyek. Area suatu biji mencerminkan ukuran atau berat biji
sesungguhnya. Area merupakan luas dari suatu obyek yang dinyatakan
dalam satuan piksel. Pengetahuan tentang area sangat membantu dalam
mengidentifikasi obyek jika dibandingkan dengan noise. Noise umumnya
memiliki ukuran jauh lebih kecil dari obyek. Dalam pengolahan citra
digital, area dapat digunakan pula sebagai salah satu penentuan standar
mutu produk.
3. Perimeter
Perimeter adalah batas daerah yang dimiliki oleh suatu region
terhadap background. Region adalah sekumpulan piksel yang terkoneksi
satu sama lain dan mempunyai sifat yang secara umum sama. Jika S
merupakan region dan S’ merupakan background, maka batas daerah
merupakan sekumpulan piksel dari yamg mempunyai 4-tetangga dari S’.
Bagian dari region yang bukan merupakan batas daerah disebut dengan
interior.
4. Faktor Bentuk
Faktor bentuk merupakan salah satu sifat geometri. Umumnya faktor
bentuk merupakan suatu rasio antara area dengan perimeter atau rasio
antara area dengan panjang maksimal suatu citra. Ada dua faktor bentuk
yang umum digunakan yaitu compactness (kekompakan) dan roundness
(kebundaran). Ukuran dari dua macam faktor bentuk ini dapat digunakan
untuk menentukan jenis suatu obyek dari suatu citra, ataupun digunakan
sebagai patokan mutu suatu jenis objek.
5. Pengolahan Warna
Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada
kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual,
nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format
15
citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra
skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna
berindeks.
Warna adalah tidak lebih dari sekedar respon psycho-physiological
dan intensitas yang berbeda (Ahmad, 2005). Warna sudah sukses
diaplikasikan dalam pencarian image karena memiliki hubungan yang
kuat dengan obyek dalam citra. Setiap piksel mempumyai warna yang
spesifik yang merupakan kombinasi tiga warna dasar : Red (R), Green
(G), dan Blue (B) yang sering disebut dengan citra RGB. Setiap
komponen warna mempunyai intensitas sendiri dengan nilai 0-255.
Contoh warna kuning (gabungan warna merah dan hijau) sehingga nilai
RGBnya : R=255, G=255, dan B=0.
Pada display komputer, warna direpresentasikan oleh model RGB
(Red, Green, Blue). Dalam hal ini, sebuah warna didefinisikan sebagai
jumlah relatif dari intensitas ketiga warna pokok (merah, hijau, dan biru)
yang diperlukan untuk membentuk sebuah warna. Intensitas berkisar dari
0 persen sampai 100 persen dan jumlah bit yang digunakan untuk
merepresentasikan resolusi dari intensitas yang berarti jumlah warna yang
dapat ditampilkan. Intensitas nol untuk ketiga warna pokok berarti hitam
dan intensitas 100 persen untuk ketiga warna pokok adalah putih. Dalam
hal perangkat keras display 24 bit, tiap 24 bit nilai piksel mendefinisikan
sebuah warna yang mengandung 8 bit untuk intensitas warna merah, hijau,
dan biru sehingga dapat menghasilkan kombinasi warna sebanyak 16 277
216 (Ahmad, 2005).
Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti
model RGB (Red, Green, Blue), model CMY (Cyan, Magenta, Yellow),
YcbCr (luminase serta dua komponen kromasi Cb dan Cr), dan HIS (Hue,
Saturation, Intensity). Model warna RGB merupakan model warna pokok
aditif, yaitu warna dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari
ketiga warna pokok dalam berbagai perbandingan (Ahmad, 2005). Tabel
16
11 memperlihatkan beberapa model warna yang penting dan deskripsi
serta pemakaiannya.
Tabel 11. Model warna dan deskripsinya
Model Warna Deskripsi
RGB Merah, Hijau, Biru (warna pokok)
Sebuah model warna aditif yang digunakan pada
sistem display.
CMY (K) Cyan, Magenta, Kuning (dan Hitam)
Sebuah model warna subtraktif yang digunakan pada
sitem printer.
YcbCr Luminase (Y) dan dua komponen kromasiti (Cb dan
Cr)
Digunakan dalam siaran gelombang televisi.
HSI Hue, Saturasi, dan Intensity
Berdasarkan pada persepsi manusia terhadap warna. Sumber : Ahmad. U. (2005)
Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks
warna RGB dengan rumus sebagai berikut :
( )
( )
( )
( )
( )
( )
Dengan R, G, dan B masing-masing berupa besaran yang
menyatakan nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru.
D. PENELITIAN TERDAHULU
Teknik pengolahan citra telah banyak dipergunakan dalam bidang pertanian
antara lain penentuan jenis cacat biji kopi, pemutuan edamame, pemeriksaan
mutu karet RSS, pemutuan buah mangga, identifikasi tingkat ketuaan dan
kematangan jeruk lemon dan manggis.
Sofi’i dkk (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan teknik
pengolahan citra untuk mengetahui cacat kulit biji kopi yang dilakukan dengan
menggunakan bahasa pemograman Visual Basic 6.0. Masukan dari program
17
pengolahan citra adalah frame foto dari berbagai jenis cacat kopi dan kode-kode
biner jenis cacat yang telah ditentukan terlebih dahulu. Keluaran program
pengolahan citra adalah data-data numerik seperti luas, panjang, roundness,
compactness, indeks merah, indeks hijau, indeks biru, hue (corak), saturasi, dan
intensitas. Selanjutnya data keluaran tersebut digunakan sebagai data training
untuk program training ANN (Artificial Neural Network). Dari penelitian telah
dibangun 2 model ANN untuk pendugaan 26 jenis cacat biji kopi. Model pertama
dengan 10 parameter penduga yaitu luas, panjang, roundness, compactness,
indeks merah, indeks biru, hue (corak), saturasi, dan intensitas dengan akurasi
rata-rata sebesar 72.6 persen dan model kedua dengan 5 parameter penduga yaitu
luas, panjang, roundness, saturasi, dan intensitas dengan akurasi rata-rata sebesar
68.2 persen. Namun beberapa jenis cacat sulit dikenali karena tidak dapat
dibedakan dengan nilai parameter penduga yaitu rata-rata nilai indeks merah,
indeks hijau, indeks biru, hue, saturasi, dan intensitas yang serupa.
Penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra juga dilakukan
dalam pemutuan hasil pertanian. Soedibyo dkk (2006) melakukan penelitian
dengan teknik pengolahan citra untuk menentukan mutu edamame. Pengolahan
citra yang dilakukan dalam penelitian ini memiliki dua tahap yaitu tahap pertama
yang bertujuan melakukan analisa citra untuk menentukan parameter mutu berupa
panjang polong, area polong, perimeter, area cacat, indeks merah (R), dan indeks
hijau (G). tahap yang kedua bertujuan melakukan analisa parameter mutu
sekaligus menunjukkan kelas mutu dari sampel yang dianalisis. Proses perekaman
citra dilakukan dengan menggunakan handycam yang dihubungkan dengan
komputer. Program pengolahan citra yang digunakan dibuat dengan
menggunakan bahasa pemrograman Borland Delphi7.
Ahmad dkk (2004) juga melakukan penelitian dengan teknik pengolahan
citra untuk menentukan mutu mangga. Dalam penelitian ini, pengolahan citra
dilakukan secara langsung setelah pengambilan citra dilakukan tanpa perlu
menyimpannya terlebih dahulu (real-time). Pengambilan data dilakukan pada tiap
contoh yang meliputi data area, intensitas warna yang ditandai dengan indeks
18
RGB, dan empat macam fitur tekstur (kontras, homogenitas, energi, dan entropi)
untuk setiap tingkatan kelas mutu yang berbeda. Algoritma pengolahan citra
meliputi pengambilan citra, penyimpanan citra, binerisasi berdasarkan nilai
threshold tertentu, labeling atau penandaan obyek, perhitungan area, penentuan
titik tengah obyek, perhitungan indeks RGB dan perhitungan fitur tekstur. Ahmad
dkk (2006) juga melakukan penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan
citra dalam pemeriksaan mutu karet asapan. Dari penelitian yang sudah dilakukan
dapat diambil kesimpulan yaitu karakteristik warna permukaan karet asapan atau
ribbed smoke sheet (RSS) yang dianalisis menggunakan pengolahan citra dapat
digunakan sebagai parameter mutu untuk keperluan sortasi dan pemutuan karet
RSS berdasarkan warna. Indeks warna biru dari model RGB dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan mutu RSS dengan kesesuaian yang cukup tinggi.
Pengolahan citra dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi tingkat
ketuaan dan kematangan hasil pertanian. Damiri dkk (2004) melakukan penelitian
dengan menggunakan teknik pengolahan citra untuk mengidentifikasi tingkat
ketuaan dan kematangan jeruk lemon (Citrus medica). Pengolahan citra dilakukan
dengan menggunakan bahasa pemograman Visual Basic 6.0. Pengukuran yang
dilakukan dengan metode pengolahan citra adalah pengukuran area, roundness,
pengukuran intensitas warna serta pengukuran fitur tekstur. Pengukuran area dan
roundness dilakukan dengan cara mengubah citra warna menjadi citra biner
dengan tujuan membedakan obyek dengan latar belakangnya. Citra kemudian
dianalisis faktor bentuknya yang dinamakan roundness. Area obyek dihitung
dengan cara menghitung jumlah piksel obyek yang berwarna putih. Intensitas
warna yang diukur adalah merah, hijau, dan biru (RGB). Model warna yang
digunakan adalah model warna RGB dan HSI. Fitur obyek yang dianalisis adalah
energi, kontras, homogenitas, serta entropi.
Prianggono dkk (2005) juga melakukan penelitian dengan menyusun
algoritma pengolahan citra untuk mendeteksi jeruk lemon (Citrus medica).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan menganalisis
karakteristik sinyal-sinyal warna dalam model warna RGB dan HSI dari citra
19
buah jeruk lemon 120 hari setelah bunga mekar dan latarnya sehingga didapatkan
parameter warna yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memisahkan antara
buah jeruk lemon dan latarnya. Dari hasil pembacaan citra berwarna dengan
program bahasa C, maka didapat informasi nilai RGB (merah, hijau, dan biru)
pada tiap piksel citra tersebut. Nilai ini kemudian diolah untuk mendapatkan nilai
indeks RGB dan model HSI yang selanjutnya digunakan untuk keperluan analisis.
Dari hasil analisis pada tiap titik piksel obyek dan latar maka bisa didapat
perkiraan nilai yang sesuai untuk digunakan sebagai sarana pemisah citra obyek
dan latar belakang. Pemisahan dikatakan berhasil jika citra biner buah jeruk
lemon hasil thresholding dengan algoritma yang dikembangkan telah terpisah
dengan citra biner latarnya.
Penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra juga dilakukan
oleh Nurhasanah dkk (2005) untuk mengidentifikasi tingkat ketuaan dan
kematangan manggis. Citra manggis dalam berbagai tingkat ketuaan atau
kematangan diambil dengan menggunakan kamera. Pengolahan citra dilakukan
secara real-time meliputi perhitungan luas, indeks RGB dan HSI serta empat
komponen tekstur. Pengukuran intensitas warna diukur dengan menggunakan
model warna RGB dan HSI. Nilai RGB dan HSI merupakan rata-rata dari semua
nilai RGB dan HSI dari obyek. Pengukuran tekstur dilakukan dengan
menggunakan empat feature yaitu energi, kontras, homogenitas, dan entropi.
Saefurrohman dkk (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan image
processsing dan artificial neural network untuk menduga jenis cacat pada biji
kopi robusta (Coffea canephora) berdasarkan komposisi warna. Analisis warna
pada penelitian tersebut menggunakan input parameter RGB. Data yang menjadi
input parameter terdiri dari intensitas rata-rata R, rata-rata G, rata-rata B,
colourvalue, Indeks R, Indeks G, Indeks B, Hue (corak), Saturation (kejenuhan),
dan Intensity. Model artificial neural network dengan algoritma backpropagation
yang dikembangkan memiliki sepuluh input layer, dua puluh hidden layer dan
empat output layer. Sampel yang digunakan dalam proses training sebanyak 859
data dan 579 data sebagai data validasi. Hasil pendugaan pada proses training
20
diperoleh tingkat akurasi total sebanyak 91 persen, terdiri dari 95 persen biji
normal, 100 persen biji hitam, 64 persen biji hitam sebagian dan 95 persen biji
coklat. Sedangkan pada proses validasi menghasilkan akurasi sebesar 80 persen,
terdiri dari 88 persen biji normal, 92 persen biji hitam, 43 persen biji hitam
sebagian dan 63 persen biji coklat.
Rachmasari (2004) juga melakukan penelitian dengan menggunakan
pengolahan citra dan artificial neural network untuk menduga jenis cacat biji kopi
robusta (Coffea canephora) dengan parameter bentuk. Tujuan dari penelitian
tersebut adalah untuk menduga jenis cacat biji kopi berupa biji pecah, biji
berlubang, dan benda asing dan menyusun algoritma pengolahan citra untuk
mendapatkan nilai-nilai parameter yang mencerminkan bentuk dan ukuran biji
kopi yaitu panjang, keliling, roundness, lebar,lebar minimum, lebar maksimum,
selisih lebar, luas, dan selisih luas. Parameter selisih luas merupakan parameter
yang khas yang paling dapat membedakan antara biji utuh dan biji berlubang.
Model artificial neural network dikembangkan dengan 38 input layer, 76 hidden
layer, dan empat output layer. Tingkat akurasi pendugaan pada proses training
mencapai 97.44 persen, dengan tingkat akurasi pada biji utuh mencapai 97.15
persen, biji pecah mencapai 94.38 persen, biji berlubang mencapai 100 persen, dan
benda asing mencapai 98.45 persen. Sedangkan pada proses validasi, tingkat
akurasi pendugaan mencapai 60.45 persen, dengan tingkat akurasi pada biji utuh
mencapai 48.77 persen, biji pecah mencapai 51.43 persen, biji berlubang mencapai
77.71 persen, dan benda asing mencapai 83.78 persen.
Penelitian dengan menggunakan pengolahan citra untuk menduga biji kopi
utuh, biji kopi pecah, biji kopi berlubang dan benda asing untuk evaluasi mutu
kopi dilakukan oleh Sari (2004). Metode yang digunakan pada penelitian tersebut
adalah metode fuzzy. Pada proses training, nilai akurasi keseluruhan yang dicapai
adalah 55.67 persen. pada proses validasi, nilai akurasi keseluruhan yang dicapai
adalah 56.19 persen. Nilai akurasi yang dicapai oleh biji utuh adalah 60.85 persen,
biji pecah 53.08 persen, biji berlubang 48.59 persen dan benda asing 62.29 persen.
Secara keseluruhan hasil yang didapat menunjukkan kinerja sistem yang kurang
21
baik. Karena dari semua parameter yang digunakan tidak menunjukkan suatu ciri
khas pada masing-masing jenis biji sehingga suatu jenis biji dapat diduga sebagai
jenis biji lainnya.