31
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan unsur tindak pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Sebelum diuraiakan Bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu akan diuraikan garis besar pengertian tindak pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut strafbaar feit”, yang merupakan istilah resmi dalam “wetboek van strafrecht” atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana (Wirjono Projodikoro: 45:1969). Ilmu pengetahuan hukum, memberikan pengertian tindak pidana banyak dikenal dengan istilah lain diantaranya “delict”. Untuk terjemahan didalam bahasa disamping istilah tindak pidana, juga dipakai beberapa istilah yaitu (K. Wantjik Saleh: 45:1983) : a. Perbuatan yang dapat dihukum, b. Perbuatan yang boleh dihukum, c. Peristiwa hukum, d. Pelanggaran pidana, e. Perbuatan pidana, f. Tindak pidana. Berdasarkan istilah tersebut, yang paling baik dan tepat untuk dipergunakan adalah istilah tindak pidana atau perbuatan pidana, karena kedua istilah ini dianggap mendukung pengertian yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan unsur tindak pidana ...digilib.unila.ac.id/1256/8/BAB II.pdf · Tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hukum itu disebut perbuatan pidana

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan unsur tindak pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum diuraiakan Bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu akan diuraikan garis

besar pengertian tindak pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda

disebut “strafbaar feit”, yang merupakan istilah resmi dalam “wetboek van

strafrecht” atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di

Indonesia.

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana

(Wirjono Projodikoro: 45:1969). Ilmu pengetahuan hukum, memberikan

pengertian tindak pidana banyak dikenal dengan istilah lain diantaranya “delict”.

Untuk terjemahan didalam bahasa disamping istilah tindak pidana, juga dipakai

beberapa istilah yaitu (K. Wantjik Saleh: 45:1983) :

a. Perbuatan yang dapat dihukum,

b. Perbuatan yang boleh dihukum,

c. Peristiwa hukum,

d. Pelanggaran pidana,

e. Perbuatan pidana,

f. Tindak pidana.

Berdasarkan istilah tersebut, yang paling baik dan tepat untuk dipergunakan

adalah istilah tindak pidana atau perbuatan pidana, karena kedua istilah ini

dianggap mendukung pengertian yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum.

18

Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah

“tindak pidana” yang dalam pengertianya memang tidak mudah untuk

memberikan perumusanya seperti juga untuk memberikan definisi terhadap

hukum, dimana perumusan atau definisi tindak pidana telah banyak diciptakan

oleh para sarjana hukum pidana.

Menurut Simon perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang atau lazim disebut dengan delict

(Satochid Kartanegara : 74 : 2000). Menurut sifatnya perbuatan-perbuatan pidana

ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan pidana ini juga merugikan

masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya

tata dalam pergaulan, dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah

perbuatan yang anti social. Tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hukum

itu disebut perbuatan pidana dan diberi sanksi pidana.

Mengenai perbuatan ini dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan :”Suatu

peristiwa pidana tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan pertentuan

perundang-undangan pidana yang telah ada di KUHP.

Asas dari pasal 1 KUHP itu dipandang sebagai jaminan yang perlu sekali bagi

keamanan hukum bagi para pencari keadilan (melindungi orang terhadap

perbuatan sewenang-wenang dari pihak hakim). Akibat-akibat tersebut ialah

bahwa sesuatu tidak dapat dikenakan hukuman atas kekuatan hukum kebiasaan,

asas ini juga menutup kemungkinan pemakaian undang-undang secara analogi,

19

sepanjang mengenai pertanyaan suatu perbuatan dapat dikenai hukuman. Jadi

dalam hal ini Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas suatu perbuatan yang

tidak dengan tegas disebut dan diuraikan dalam undang-undang. Adanya

ketentuan pidana ini maka hak kemerdekaan diri pribadi orang terjamin. Asas

“nullum delictum” ini sering juga disebut dengan asas “legalitas”. Rumusan asas ini

dirumuskan oleh Von Feurbach seorang sarjana bangsa psycologishe Zwang yang

berarti bahwa ancaman pidana mempunyai suatu akibat psykologis, dan ancaman

pidana itulah yang dapat menakutkan seorang melakukan suatu perbutan pidana.

Karena mengetahui bahwa, ada pidana yang diancam atas dilakukannya sesuatu

perbuatan pidana, maka pada diri seseorang akan ada tekanan jiwa. Tekanan jiwa

inilah yang merupakan penghalang niat seorang untuk melakukan suatu perbuatan

jahat. Selanjutnya dalam perang dunia ke II telah banyak terjadi perbuatan-

perbuatan yang merugikan kepentingan Negara, sedangkan tidak ada peraturan

yang melarangnya dalam KUHP. Terdorong akan hal ini, maka oleh pembuat

undang-undang sebagai pengecualiaannya telah meninggalkan asas nullum delictum

yang kemudian mengadakan peraturan-peraturan mengenai “kejahatan perang”,

untuk hal-hal yang merugikan Negara. Yang bagi Hindia Belanda dulu ditentukan

dalam State Blad 1945 No. 135, dimana dalam Pasal 18 ditentukan dalam Pasal 1

KUHP untuk hal-hal yang mengenai ordonansi ini tidak berlaku lagi. Perlu dicatat

disini bahwa terhadap asas nullum delictum ini ada yang berkeberatan, yangmana

hal ini dikemukakan oleh Utrech, yaitu:

20

“Terhadap asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan kolektif. Jadi

akibat asas ini bahwa yang dinamakan hukum hanyalah mereka yang secara tegas

telah melanggar suatu peraturan perundang-undang yang telah ada. Kemungkinan

seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya suatu

kejahatan, tetapi oleh hukum tidak disebut pelanggaran ketertiban umum tidak

dihukum. Asas nullum delictum itu menjadi suatu penghalang bagi hakim pidana

menghukum seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak

strafbaar, masih juga atrafaaring”(E. Utrech : 19: 1968)

Berdasarkan uraian di atas bahwa asas ini dilahirkan pada suatu Zaman

“Aukflarung” yang mengenal puncak perkembangan anggapan individualistis

terhadap hukum. Asas nullum dellictum ini memberi jaminan penuh bagi

kemerdekaan pribadi individu, jadi bagi mereka yang mengutamakan kepentingan

kolektif sangat sukar mempertahankan asas ini. Berlainan dengan yang

mempunyai pandangan individualitas dapat menerima asas apa yang telah

diuraikan oleh Utrecht. Menurut Roeslan Saleh dikatakan bahwa (Roeslan saleh :

56 : 1981) :

“Suatu perbuatan pidana adalah yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi

barang siapa yang melakukannya. Larangan ini merupakan dasar bagi adanya

perbuatan pidana. Jadi dapat dikatakan bahwa asas ini adalah dasar “perbuatan

pidana”. Tanpa adanya peraturan lebih dulu mengenai perbuatan apa yang

dilarang, maka kita tidak akan tahu adanya perbuatan pidana”

Dari apa yang dikemukakan di atas, teryata bahwa hukum pidana adalah bagian

dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-

perbuatan yang tidak boleh dilakukkan dan diancam dengan sanksi pidana

tertentu, bagi yang melanggar aturan tersebut. Juga dalam hal ini jangan dilupakan

antara hukum dan manusia yang saling berkaitan karena tiada manusia maka tiada

21

hukum, sedangkan manusia itu sendiri senantiasa ingin hidup bebas. Dalam

kenyataanya manusia tidak dapat menghindari untuk hidup dengan yang lainnya,

maka dalam hal ini tidak dihindarkan atau dihiraukan terhadap kepentingan dari

masyarakat itu. Dalam arti kata melindungi kepentingan kolektif maupun

individu. Perbuatan pidana ini, maka dilihat disini beberapa definisi yang

dikemukakan oleh para sarjana- sarjana ilmu hukum. Adapun definisi-definisi

tersebut adalah sebagai berikut :

Menurut R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang

dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan,

maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana (R.

Soesilo : 4 : 1984) .

Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum larangan-larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moelyatno, Loc

Cit).

Menurut Soedjono kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau

bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya

perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak

memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah

hukum yang berlaku dalam masyarakat (Soejdono :15 : 1977).

22

Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Projodikoro : 50)

Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar

hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggung jawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat

dihukum (Simons : 127 : 1992).

Menurut J.E Jonkers, merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang

melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau

kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan (J.E

Jonkers : 135 :1987).

Seperti yang telah dikatakan pada kata “perbuatan” adalah sesuai dengan makna

dari “feit” dari perbuatan bararti keadaan yang dibuat oleh seseorang, kalimat

mana menunjukan baik kepada akibatnya (kejadian yang tertentu) maupun kepada

yang menimbulkan akibat (tingkah laku seseorang). Jadi sama dengan makna

daripada feit tadi. Istilah perbuatan sudah lazim dipakai dalam kata majemuk

lainya. Baik dalam percakapan sehari-hari, misalnya perbuatan hukum. Sebelum

penulis lebih jauh membicarakan mengenai suatu perbuatan pidana, serta unsur-

unsurnya, selain daripada itu maka lebih dahulu kita melihat aliran dalam hukum

pidana yang memberi makna suatu peristiwa pidana menurut alirannya.

23

“Dalam aliran klasik ini dapat juga disebut dengan monoisme, yang memberi

makna peristiwa-peristiwa pidana maka disitu harus ada orang yang melakukan

peristiwa pidana atau dengan kata lain jika ada peristiwa-peristiwa pidana maka

disitu harus ada orang yang harus dipidana adalah sama dengan syarat-syarat

orang dijatuhi pidana. Jadi seorang yang melakukan peristiwa pidana dan hendak

dijatuhi pidana harus diperhatikan semua unsur dari peristiwa itu (A. Zainal

Abidin : 34 : 1962).

Menurut aliran klasik ini unsur-unsur suatu peristiwa pidana dapat memenuhi

rumusan delik, ada sifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar, ada

kesalahan yang terdiri dari dolus dap culpa dan tidak ada alasan pemaaf dapat

dipertanggung jawabkan. Menurut aliran Modern atau sering disebut dengan cara

Dualistis adalah : “Aliran modern ini mulai sistematis dalam syarat

pemidanaannya. Disini tidak sama elemen, atau unsur dimasukan kedalam feit

(perbuatan), tetapi dipisah menjadi dua kelompok atau golongan, dimana

kelompok yang lain dimasukan dalam diri si pembuat. Menurut aliran ini dalam

suatu peristiwa pidana haruslah dipisahkan antara perbuatan dan pembuat, yang

masing-masing mempunyai unsur sendiri. Unsur yang masuk perbuatan adalah

memenuhi rumusan delik, melawan hukum (tidak ada alasan pembenaran),

sedangkan unsur yang masuk pembuat adalah kesalahan, dolus atau culpa dan

dapat dipertanggung jawabkan (tidak ada alasan pemaaf). Tujuan pembagian ini

agar hakim tidak sulit dalam menjatuhkan pidana”. Kini penulis membicarakan

24

mengenai unsur-unsur dari suatu perbuatan yang melawan hukum (wederechtlijk)

dan tidak ada alasan pembenar.

Mengapa disebut melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dapat

ditinjau dari segi materil maupun segi formil. Dalam segi materil yaitu perbuatan

itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

boleh atau patut dilakukan. Jadi perbuatan itu selain dari perbuatan itu dilarang

dan di ancam dengan undang-undang, perbuatan itu harus betul-betul dirasakan

oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Jadi memidana orang yang

tidak melawan hukum adalah tidak ada artinya, sedangkan dalam segi formil

dikatakan bahwa, dengan memperhatikan apakah perbuatan yang dilakukan

memang memenuhi rumusan delik yang tertentu. Tetapi sementara itu sukar

menentukan kapankah perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bersifat

melawan hokum, kapan pula tidak. Jadi apakah bila undang-undang telah

melarang sesuatu perbuatan dan telah memenuhi larangan maka dengan

sendirinya dapat dikatakan itu adalah melakukan hukum ? dalam hal ini ada yang

berpendapat demikian adapula yang berpendapat lain. Yaitu pandangan segi

materil, yang lama belum tentu semua perbuatan yang memenuhi rumusan

undang-undang, perbuatan senyatanya harus betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Pendapat pertama telah

dikemukakan dalam ilmu hukum pidana disebut curang. Dengan pandangan yang

formil tentang sifat melawan hukumnya perbuatan.

25

Perbedaan yang pokok antara dua pendapat tadi adalah, bahwa pendapat yang

materil akan mengakui hal-hal yang meniadakan sifat melawan hukum dari

perbuatan, menurut hukum yang tertulis. Pangkal pandangan ini adalah yang

dinamakan hukum itu bukanlah undang-undang atau hukum yang tertulis saja,

tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Pendapat yang mengagungkan undang-

undang, yang mengira bahwa segala sesuatu telah diatur oleh pembentuk undang-

undang didalam undang- undang, telah beberapa lama ditinggalkan orang yang

tidak menyetujui, bahwa undang-undang itu adalah sebagai pengikat dan hakim

pun tidak rela untuk lebih lama menjadi penetap ketentuan undang-undang mana

jatuh pada peristiwa yang diajukan kepadanya. Menurut pendapat Prof. Mr

Roeslan Saleh : “Hakim ingin menjadi pencipta hukum pula. Menciptakan sesuatu

yang baru, menentukan hal-hal yang baru dan menyatakan pikirannya akan hal-

hal yang tersembunyi di dalam undang-undang (Roeslan Saleh : 47).

Para ahli hukum diberbagai Negara mengemukakan bahwa adalah tidak benar,

semua hukum terdapat dalam undang –undang. Diluar undang-undang pun masih

terdapat apa yang dinamakan hukum. Pendapat dari penganut aliran formil

maupun aliran materil adalah sebagai berikut :

1) Penganut Formil :

Simon dengan faham formalnya berpendirian bahwa “suatu tindak pidana

hanyalah dapat di anggap tidak berlawanan hukum dan oleh karenanya

dapat dilepaskan dan sanksinya, apabila di dalam undang-undang tersedia

dasar-dasarnya yang, dapat melepaskan yang berbuat itu dari sanksi atas

perbuatannya itu, jikalau tidak terdapat pengecualian didalam undang-

26

undang terhadap berlakunya sanksi atas tindak pidana itu maka menurut

Simon, hakim tidak boleh tidak harus menghukum orang itu.

2). Penganut Materil

Misalnya menurut Van Hammel, berpendapat bahwa “Apabila hakim

merasa ragu-ragu apakah tidak ada hal-hal yang dapat dibuktikan , bahwa

perbuatan terdakwa sesungguhnya tidak melawan hukum, maka hakim

berkewajiban menyelidiki hal itu, dan apabila ia telah mengadakan

penyelidikan itu tetap tidak mempunyai kenyakinan bahwa terdakwa

dengan perbuatannya itu melawan hukum, jadi menurutnya hakim tidak

boleh menjatuhkan hukuman (Tresna : 67-68 : 1959). Contoh, seorang

bapak memukul anaknya yang sangat nakal dan seorang dokter atas

pertimbangan medis dipaksa untuk menggugurkan kandungan seorang ibu

untuk menolong seorang ibu tersebut.

Apakah orang-orang seperti itu harus saja di hukum seperti halnya si bapak atau

dokter. Bukankah si bapak itu hendak mendidik anaknya atau dokter tadi

melakukan abortus untuk menyelamatkan perempuan itu. Menurut perbuatan

orang-orang itu di lihat dari sudut formil memang melanggar ketentuan undang-

undang, tetapi perasaan keadilan tidak dapat menyalahkan perbuatan mereka itu.

Tapi jika dilihat dari sudut materil, sangatlah sulit untuk menetapkan kapan

adanya unsur melawan hukum itu, kapan sesuatu perbuatan dapat dibenarkan,

bagaimanakah unsur melawan hukum harus dicari diluar undang-undang. Sebagai

patokan dapat dikatakan bahwa hukum pidana ditunjukan kepada perbuatan-

perbuatan yang sifatnya sedikit banyak tidak sesuai dengan kelaziman, yang

27

menyimpang dari apa yang lazim di lakukan orang normal pada suatu ketika akan

merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.

Mengenai tidak ada alasan pembenar. Disebutkan dalam undang-undang ;

misalnya mengenai daya paksa, sejauh itu dimasukan dalam alasan-alasan

pembenar ini. Bukankah dalam hal ini apakah pembuat telah memilih jalan yang

tepat masih juga berbeda pandangan orang. Tetapi ini hendaknya jangan

dijadikan alasan untuk mengembangkan lagi ketidaksamaan hukum yaitu dengan

memberikan tempat kepada sifat melawan hukum yaitu dengan memberikan

tempat kepada sifat melawan hukum yang materiil, demikianlah mengenai

perbedaan daripada sifat melawan hukum formil maupun materil yang

didefinisikan oleh dua orang sarjana tadi. Dalam sifat melawan hukum dalam

pandangan formil maupun materil, menurut Van Hattum dan Langmeyer, bahwa

masyarakat adalah hidup, selalu bergerak, berhubung dengan itu rasa keadilan

rakyat berubah-rubah pula. Bahwa rumusan delik itu hanyalah fragmen-fragmen

yang dipisahkan dari hubungannya.

Membuat undang-undang tidak dapat berbuat lain dari pada secara skematis saja.

Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam rumusan delik adalah merupakan

kumpulan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya diancam dengan pidana.

Karena urusannya fragmentaris dan skematis tadi maka didalamnya masuk

perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak semestinya, karena tidaklah

merupakan perbuatan tercela atau tidak dibenarkan. Jadi perlu satu jalan yang

28

akan menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memang masuk dalam suatu

rumusan delik setelah dilihat tersendiri, berhubungan dengan suatu kejadian

khusus, lalu tidaklah bersifat melawan hukum dan juga tidak dapat dipidana

terhadap hal yang dikatakan terakhir, hakim tidak boleh berdiam diri dan

menantikan sampai undang-undang yang membenarkan perbuatan itu. Yang jelas

bahwa sifat melawan hukum itu adalah bertentangan dengan hukum positif yang

sedang berlaku.

KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran.

Penggolongan jenis-jenis delik yang ada dalam KUHP terdiri dari kejahatan

(misdriven), disusun dalam Buku II KUHP , sedangkan pelanggaran (over

tredingen), disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan

penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang

jelas, risalah penjelasan undang-undang.

Kejahatan adalah “recht delicten” yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan

dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, dirasakan sebagai “onrecht”

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum (Moeljatno : 71).

Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh Negara

diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan mengembalikan keseimbangan

yang terganggu akibat perbuatan itu. Dengan patokan hukum pidana kejahatan.

serta pelakunya relatif dapat diketahui yaitu mereka atau barang siapa yang

29

terkena rumusan kaidah hukum pidana memenuhi unsur-unsur delik, ia dianggap

melakukan perbuatan yang dapat dihukum (Soedjono Dirjosisworo: 1982 : 12).

Menurut Sue Titus Reid suatu perumusan tentang kejahatan maka perlu

diperhatikan adalah antara lain :

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi) dalam pengertian ini

seseorang tidak dapat dihukum karena pikirannya melainkan harus ada

suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk dapat

bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban

hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, disamping itu ada niat jahat

(criminal intent mens rea).

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana

3. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang di akui

secara hukum.

4. Diberikan sanksi oleh Negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran

(Soerjono Soekanto : 44).

Beberapa definisi kejahatan diatas pada dasarnya dapat diketahui kejahatan adalah

suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-

undang lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya.

KUHP tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan

namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat kita simpulkan bahwa semua

perbuatan yang disebutkan dalam Buku ke II adalah kejahatan dan perbuatan lain

secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu diluar

KUHP.

30

Pelanggaran adalah “west delicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya

baru dapat diketahui setelah adanya undang-undang yang menyatakan demikian

(Moeljatno : 72). Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada

kecendrungan mengikuti pandangan kuantitatif, beberapa ketentuan KUHP

mengandung ukuran secara kuantitatif adalah :

1. Percobaan / pembantuan dalam pelanggaran tidak di pidana, sedangkan

kejahatan dapat dipidana

2. Daluarsa bagi pelanggaran ditentukan lebih pendek di banding dengan

kejahatan.

3. Kewenangan menuntut pelanggaran menjadi hapus apabila telah di bayar

maksimum denda dan biaya perkara sebagai sistem penebusan.

4. Dalam hal terjadi perbarengan atas pelanggaran berlaku sistem pidana

kumulasi murni yang tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana sendiri-sendiri

5. dalam hal perampasan barang karena pelanggaran hanya boleh dilakukan

apabila tidak ditentukan dengan tegas oleh undang-undang (Bambang

Poernomo : 97 : 1982).

Berdasarkan perbedaan diatas dapat diketahui bahwa kejahatan lebih berat

ancaman hukumnya dibandingkan dengan pelanggaran, karena dilihat dari sifat

dan hakekat dari perbuatan itu dalam masyarakat, dimana kejahatan mempunyai

dampak yang lebih buruk dibandingkan pelanggaran. Berdasarkan beberapa

pengertian dari pendapat sarjana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana

merupakan suatu perbuatan atau kejadian tertentu yang di lakukan seseorang,

beberapa orang atau badan hukum yang menimbulkan suatu akibat karena

31

melanggar peraturan perundang-undang yang ada. Atau dapat di artikan pula

tindak pidana merupakan perbuatan yang di pandang merugikan masyarakat

sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa

pidana atau nestapa.

Unsur-unsur Tindak Pidana. Membahas tentang rumus-rumus dari pada tindak

pidana, pertama-tama haruslah melihat pada rumusan tindak pidana baik secara

umum maupun yang ada dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana.

Perumusan ini dalam bahasa belanda dinamakan “delicts omischrijving”.

Berdasarkan uraian-uraian tindak pidana di atas dapat ditemukan beberapa unsur

yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk

dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal

pemeriksaan persidangan. Apabila unsur-unsur itu salah satu diantaranya tidak

terbukti, maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan

tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Untuk itu perlu di ketahui

beberapa pendapat sarjana mengenai unsur- unsur tindak pidana yaitu:

Menurut Wirjono Projodikoro menyebutkan unsur-unsur tindak pidana

mengharuskan adanya suatu (Wirjono Projodikoro : 46) :

a. Adanya dari tindak pidana

Misalnya perbuatan mencuri dirumuskan sebagai mengambil barang, ini

rumusan secara formil yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan

tertentu dari badan seseorang manusia dan secara materiil menimbulkan

suatu akibat yang disebutkan perbuataannya.

32

b. Adanya hubungan sebab musabab

Akibat dari perbuatan pelaku berapa kerugian atas kepentingan orang lain,

menandakan keharusan ada hubungan sebab musabab (causalitas) antara

perbuatan si pelaku dan kerugian yang di timbulkan.

a. Adanya sifat melanggar hukum

Sifat melanggar hukum (onrechtmatigheid) ini, secara tegas disebutkan

larangannya pada perumusan ketentuan hukum pidana (straafbepaling)

b. Adanya kesalahan pelaku tindak pidana

Karena pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini mengenai

kebatinan yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana (schuld verband).

Hanya hubungan batin ini perbuatan yang di langgar dan dapat di

pertanggung jawabkan pada si pelaku.

c. Adanya Kesengajaan (opzet)

Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja melawan

dan melanggar hukum ini pantas mendapatkan hukuman pidana, hal ini

harus di hubungkan dengan unsur-unsur diatas karena mempunyai kaitan

yang erat satu sama lainnya,

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

c. Keadaan tambah yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subjektif (Moeljatno : 63).

33

Menurut M. Bassar Sudrajat unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik

adalah terdiri dari :

a. Unsur melawan hukum

b. Unsur merugikan masyarakat

c. Dilarang oleh aturan hukum pidana

d. Pelakunya dapat di ancam pidana (Adami Chazawi : 78 : 2002).

Menurut pendapat Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni :

a. Perbuatan / rangkaian perbuatan

b. Yang bertentang dengan peratuarn perundang-undangan,

c. Diadakan tindakan penghukuman (Ibid : 80),

Lebih lanjut Moeljatno membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan

dan pelaku dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :

a. Unsur Subjektif berupa ;

Perbuatan manusia

Mengandung unsur kesalahan

b. Unsur objektif, berupa

Bersifat melawan hukum

Ada aturannya (Moelyatno : 64).

Berdasarkan pendapat para sarjana diatas, walaupun pendapat dari rumusan

berbeda-beda namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan

antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri

orangnya (pelaku). Dalam merumuskan perbuatan pidana perlu ditegaskan

secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Seseorang hanya dapat

34

dipidana karena telah melakukan suatu tindak pidana, apabila jelas telah

memenuhi unsur –unsur didalamnya yaitu unsur perbuatan, melawan hukum,

kesalahan dan dapat di pertanggung jawabkan.

B. Pertanggung jawaban pidana

Pertanggung jawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain

(WJS. Poerwadarminta : 619 : 1998).

Pertanggung jawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan atas

perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

itu dipertanggung jawabkan oleh sipembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa

orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak

pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.

Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang

dapat di pertanggung jawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang

dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana (Roeslan Saleh : 80).

Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah

dirumuskan oleh sipembuat undang-undang untuk tindak pidana yang

bersangkutan. Namun dalam kenyataan memastikan siapa sipembuatnya tidak

mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan

proses yang ada, yaitu sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP.

35

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia menentukan bahwa seseorang baru

dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut telah

sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana, dalam hal ini sesuai

dengan pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Tiada suatu perbuatan yang dapat

dipidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan

dilakukan. Meskipun demikian orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena

masih harus dibuktikan kesalahannya atau apakah dapat dipertanggung jawabkan

perbuatannya tersebut, demikian untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus

memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana dalam

hukum pidana.

Perbuatan pidana hanya untuk menunjukan pada dilarangnya suatu perbuatan oleh

undang-undang. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga

dipidana, tergantung pada persoalan, apakah ia dalam melakukan perbuatannya ia

mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang telah melakukan perbuatan

itu memang mempunyai kesalahan, maka ia dapat dipidana. Berarti orang yang

melakukan tindak pidana akan dapat dipidana apabila mempunyai kesalahan.

Kesalahan ada 2 (dua) macam yaitu :

1. Kesengajaan (opzet/dolus)

Ada 3(tiga) kesengaajaan dalam hukum pidana yaitu :

Kesengajaan yang bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu tujuan

(opzet als oogmerk).

36

Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan

disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti terjadi (opzet

bijzekeheidsbewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan.

Kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya

ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi

(opzet bij mogelijkheids-bewustzjn)

2. Kurang hati-hati (kealpaan/culpa)

Kurang hati-hati/kealpaan (culfa) arti dari alpa adalah kesalahan pada

umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu

suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat

seperti kesengajaan yaitu kurang hati-hati, sehingga berakibat yang tidak

disengaja terjadi (Wirjono Projodikoro).

Berdasarkan uraian di atas seseorang yang melakukan tindak pidana harus

dibuktikan apakah kesalahan tersebut mengandung unsur kesengajaan

(dolus/opzet) atau kealpaan (culfa). Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau

karena kealpaan akan menentukan berat ringannya pidana seseorang. Perbuatan

pidana yang dilakukan secara sengaja ancaman pidananya akan lebih berat dari

pada karena kealpaan. Untuk dapat dipidananya seseorang harus ada unsur

mampu dipertanggung jawabkan oleh si pelaku, dimana si pelaku dapat

menginsyafi atau secara sadar melakukan perbuatan tersebut.

37

Roeslan Saleh menyatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu

harus memenuhi 3 syarat yaitu (Roeslan Saleh) :

1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu dapat dipandang patut

pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan

perbuatan.

Istilah pidana atau hukum yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat

mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat

berkonotasi dengan bidangnya yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering

digunakan dalam hukum, tetapi dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan

moral, agama dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih

khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat khas. Menurut Soedarto, menyatakan yang

dimaksud pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi sasaran tertentu sedangkan menurut

Muladi dan Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Roeslan Saleh, menyatakan

bahwa pidana reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan

sengaja ditimpakan Negara kepada perbuatan delik itu.

Beberapa definisi di atas dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-

unsur atau ciri-ciri tersebut :

38

1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan atas nestapa atau

akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan pidana

menurut undang-undang (Muladi dan Barda Nawawi arief : 4 : 1998).

Maka dalam hal pidana, fokusnya adalah pada kekuatan salah satu tindak pidana

yang telah dilakukan oleh sipembuat atau pelaku dengan kata lain perbuatan itu

mempunyai peranan yang sangat penting dan syarat yang harus dipenuhi untuk

adanya suatu tindak pidana agar pelaku atau subjek tindak pidana dapat

dimintakan pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan . ciri atau unsur

kesalahan yang dapat dijatuhi hukuman bagi pelaku kejahatan adalah :

1. Dapat dipertanggung jawabkannya perbuatan pembuat,

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yaitu adanya sengaja

atau kesalahan,

3. Tidak adanya dasar pemidanaan yang menghapus dapat dipertanggung

jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa : barang siapa melakukan perbuatan

yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena Jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Menurut Pompe

39

yang dikutif oleh Andi Hamzah, Pasal tersebut merupakan pengertian yuridis

bukan medis. Memang medikus yang memberikan keterangan kepada hakim

yang memutuskan. Menurutnya dapat dipertanggung jawabkan (Toerekenbaarheid)

itu berkaitan dengan kesalahan (Schuld). Orang dapat menyatakan dapat

dipertanggung jawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (Shuld) (Andi Hamzah :

147 : 1994).

C. Pengertian Hutan Dan Jenis Hutan

Berbagai sebutan dipakai terhadap hutan, tetapi pada umumnya pandangan umum

tentang hutan itu adalah suatu tempat atau areal yang perlu dengan berbagai

macam jenis pohon-pohon dan hewan liar yang terdapat didalamnya. Berdasarkan

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, hutan adalah

suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Menurut Dengler pengertian hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada

lapangan yang cukup luas, sehingga suhu kelembaban,cahaya angin dan

sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh

tumbuh-tumbuhan / pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas

dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertical) (Evers P.J : Vol.III : 1995).

40

Dari pengertian tersebut di atas, pada umumnya hutan itu merupakan suatu tempat

atau areal yang penuh dengan berbagai macam jenis pohon-pohon dan hewan-

hewan liar yang terdapat didalamnya. Pemeliharaan hutan dan pengamanan hutan

merupakan dua hal yang sangat vital dalam pelestarian hutan. Hal ini dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan hutan.

Perlindungan dan keamanan memang sangat diperlukan agar tetap dapat

mempertahankan kelestarian hutan karena banyak ancaman terhadap upaya

kelestarian hutan, antara lain yaitu :

a. Pengrusakan hutan akibat pencuri kayu, penebang tanpa izin.

b. Pendudukan tanah hutan secara tidak sah atau liar.

c. Pengrusakan tanah hutan akibat adanya pengambilan batu, pasir, tanah dan

bahan.

d. Kerusakan akibat pengembalaan ternak dalam hutan.

e. Kerusakan akibat gempa bumi, angin ribut, hama dan prnyakit, kebakaran

hutan dan lain sebagainya (Pasal 6,7,8,9,11,12 Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 1985).

Dari uraian di atas, pemeliharaan hutan dari ancam-ancaman pengrusakan

diperlukan, sehingga mampu mrmberikan manfaat produksi, perlindungan,

pengaturan tata air, pengaruh terhadap iklim dan sebagainya mrngingat fungsi

hutan sangat berpengaruh bagi lingkungan. Sedangkan jenis-jenis hutan

berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dapat

dibedakan sebagai berikut :

41

1. Berdasarkan status pemilikannya, menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan terdiri dari dua macam yaitu :

a. Hutan Negara, ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan

milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan

kepada daerah swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan

mempunyai status sebagai hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi

Hutan Marga, Hutan Daerah, Hutan swaparja dan lain sebagainya.

b. Hutan Hak, adalah hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik yang

lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri

maupun bersama-sama orang lain atau Badan Hukum Hutan yang ditanam

atas usaha sendiri di atas tanah yang di bebani hak lainnya, merupakan pula

hutan milik dari orang / Badan Hukum yang bersangkutan.

2. Berdasarkan fungsinya menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan, terdiri tiga macam yaitu ;

a. Hutan Konservasi, adalah kawasan hutan dengan cirri khas tertentu, yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragamaan tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya.

b. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai keadan alam

sedemikian rupa sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah alam

sekelilingnya dan tata air perlu dipertahankan dan lindung. Apabila Hutan

Lindung diganggu maka hutan ini akan kehilangan fungsinya sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

42

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah iritasi air laut dan

memilahara kesuburan tanah.

c. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai pokok produksi

hasil hutan. Hutan produksi ini adalah hutan yang baik keadaan alamnya

maupun kemampuannya sehingga memberikan manfaat produksi kayu dan

hasil hutan lainnya.

3. Berdasarkan bentuknya menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan, dibagi menjadi tiga :

a. Hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai

fungsi pokok kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga.

b. Hutan pelestarian alam, hutan yang dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai

wilayah sistem penyangga kehidupan.

c. Taman baru, adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata

berburu.

d. Hutan lainnya yang ada diluar kawasan hutan dan diluar hutan cadangan

misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau yang dibebani hak

lainnya.

Berdasarkan penggolongan berbagai jenis hutan dalam Pasal 5, 6 ayat (2) dan

Pasal 7, di atas dimaksudkan agar dapat diketahui fungsi, peruntukan hutan

43

tersebut. Sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan jenisnya baik itu untuk

kepentingan produksi atau pemanfaatan hasil alam untuk kepentingan bersama

maupun hutan yang dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem

sekitarnya. Secara garis besar hutan tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa

kriteria yaitu berdasarkan status pemilikan,berdasarkan fungsi dan berdasarkan

peruntukan. Walaupun terdapat perbedaan berbagai jenis hutan di atas prinsipnya

hutan mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk menjaga ekosistem kehidupan,

tata air dan mencegah terjadinya erosi.

D. Tindak Pidana Kehutanan

Pencurian kayu dan perambahan hutan merupakan suatu kegiatan membuka

kawasan hutan dan menduduki kawasan tersebut secara ilegal tindakan ini

dilakukan dengan cara membakar, menebang kawasan hutan. Tindakan ini

merupakan tindak pidana karena melanggar ketentuan dalam Pasal 50 undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan

(2) Setiap orang dilarang :

(a) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan

hutan secara tidak sah.

(b) Merambah kawasan hutan,

(c) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan,

(d) Membakar hutan,

44

(e) Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di

dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang

berwenang,

(f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil

hutan.

Pasal 78 mengatur tentang ketentuan pidananya yaitu barang siapa yang sengaja

melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan diancam dengan pidana penjara paling banyak Rp. 5.000.000.000.00

(lima milyar rupiah).

Sedangkan pengaturan mengenai pencurian kayu di hutan lindung munurut

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Perlindungan Hutan terdapat dalam :

Pasal 6 Ayat (1) : Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang

dikerjakanAtau diduduki tanpa izin mentri.

Pasal 7 Ayat (3) : Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan

dilarangMelakukan pemungutan hasil hutan dengan

menggunakan Alat atau tidak sesuai dengan kondisi

tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain

yang dapat menimbulkan Tanah dan tegakan.

Pasal 8 Ayat (2) : Siapapun dilarang melakukan penebangan dalam

radius/Jarak tertentu dari mata air, tepi jurang,

waduk, sungai, anak sungai yang terletak didalam

kawasan hutan lainnya.

45

Pasal 9 Ayat (1) : Selain petugas-petugas kehutanan atau orang-orang

yang Karena tugasnya atau kepentingannya berada

Dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa

alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong,

menebang dan membelah pohon didalam kawasan

hutan.

(3) : Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon

dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

(4) : Setiap orang dilarang mengambil / memungut hasil

hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yang

berwenang.

E. Kebebasan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid” , yaitu kebebasan

terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas

tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana

(strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan

pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtvinding)

(Nanda Agung Sewantara : 51 : 1987 ).

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak

mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat,

sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim

46

sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” (Pasal 28 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004).

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektif

hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai

hal-hal sebagai berikut :

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan

perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan

terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa

bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya,

3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat

dipidana (Soedarto : 74 : 2000 ).

Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa segala putusan pengadilan

selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau

sumber hukum tidak tertulis yang di jadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum

yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab

hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan

memutuskan oerkara yang di ajukan kepadanya dimana pertanggung jawaban

tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada

masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat

dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bismar Siregar : 67).

47

Penjatuhan sanksi pidana memang bukan perkara yang mudah, hakim dituntut

menguasai teknik-teknik tertentu yang menyangkut hal-hal yang bersifat

kompleks untuk memperkecil terjadinya disparitas pidana. Keputusan yang di

keluarkan hakim hendaknya merupakan keputusan yang bersifat proposional yaitu

keputusan yang menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum

bagi seseorang.

Keputusan yang proporsional tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan

tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Pedoman pemidanaan (statutory guidelines

for sentencing), aturan pemidanaan yang berlaku serta kenyakinan hakim tersebut

dalam menjatuhkan sanksi, sehingga terlihat faktor-faktor yang menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam rangka mengurangi

disparitas pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief : 67).

Adanya penjatuhan sanksi pidana oleh hakim secara langsung mengkongkritkan

tugas sanksi tersebut, yaitu sebagai alat pemaksa agar norma dapat juga berfungsi

sebagai alat preventif dan sebagai alat represif sehingga tujuan dari hukum pidana

tersebut dapat dicapai secara efektif.