Upload
duongdang
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan unsur tindak pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum diuraiakan Bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu akan diuraikan garis
besar pengertian tindak pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda
disebut “strafbaar feit”, yang merupakan istilah resmi dalam “wetboek van
strafrecht” atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana
(Wirjono Projodikoro: 45:1969). Ilmu pengetahuan hukum, memberikan
pengertian tindak pidana banyak dikenal dengan istilah lain diantaranya “delict”.
Untuk terjemahan didalam bahasa disamping istilah tindak pidana, juga dipakai
beberapa istilah yaitu (K. Wantjik Saleh: 45:1983) :
a. Perbuatan yang dapat dihukum,
b. Perbuatan yang boleh dihukum,
c. Peristiwa hukum,
d. Pelanggaran pidana,
e. Perbuatan pidana,
f. Tindak pidana.
Berdasarkan istilah tersebut, yang paling baik dan tepat untuk dipergunakan
adalah istilah tindak pidana atau perbuatan pidana, karena kedua istilah ini
dianggap mendukung pengertian yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum.
18
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah
“tindak pidana” yang dalam pengertianya memang tidak mudah untuk
memberikan perumusanya seperti juga untuk memberikan definisi terhadap
hukum, dimana perumusan atau definisi tindak pidana telah banyak diciptakan
oleh para sarjana hukum pidana.
Menurut Simon perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang atau lazim disebut dengan delict
(Satochid Kartanegara : 74 : 2000). Menurut sifatnya perbuatan-perbuatan pidana
ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan pidana ini juga merugikan
masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya
tata dalam pergaulan, dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah
perbuatan yang anti social. Tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hukum
itu disebut perbuatan pidana dan diberi sanksi pidana.
Mengenai perbuatan ini dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan :”Suatu
peristiwa pidana tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan pertentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada di KUHP.
Asas dari pasal 1 KUHP itu dipandang sebagai jaminan yang perlu sekali bagi
keamanan hukum bagi para pencari keadilan (melindungi orang terhadap
perbuatan sewenang-wenang dari pihak hakim). Akibat-akibat tersebut ialah
bahwa sesuatu tidak dapat dikenakan hukuman atas kekuatan hukum kebiasaan,
asas ini juga menutup kemungkinan pemakaian undang-undang secara analogi,
19
sepanjang mengenai pertanyaan suatu perbuatan dapat dikenai hukuman. Jadi
dalam hal ini Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas suatu perbuatan yang
tidak dengan tegas disebut dan diuraikan dalam undang-undang. Adanya
ketentuan pidana ini maka hak kemerdekaan diri pribadi orang terjamin. Asas
“nullum delictum” ini sering juga disebut dengan asas “legalitas”. Rumusan asas ini
dirumuskan oleh Von Feurbach seorang sarjana bangsa psycologishe Zwang yang
berarti bahwa ancaman pidana mempunyai suatu akibat psykologis, dan ancaman
pidana itulah yang dapat menakutkan seorang melakukan suatu perbutan pidana.
Karena mengetahui bahwa, ada pidana yang diancam atas dilakukannya sesuatu
perbuatan pidana, maka pada diri seseorang akan ada tekanan jiwa. Tekanan jiwa
inilah yang merupakan penghalang niat seorang untuk melakukan suatu perbuatan
jahat. Selanjutnya dalam perang dunia ke II telah banyak terjadi perbuatan-
perbuatan yang merugikan kepentingan Negara, sedangkan tidak ada peraturan
yang melarangnya dalam KUHP. Terdorong akan hal ini, maka oleh pembuat
undang-undang sebagai pengecualiaannya telah meninggalkan asas nullum delictum
yang kemudian mengadakan peraturan-peraturan mengenai “kejahatan perang”,
untuk hal-hal yang merugikan Negara. Yang bagi Hindia Belanda dulu ditentukan
dalam State Blad 1945 No. 135, dimana dalam Pasal 18 ditentukan dalam Pasal 1
KUHP untuk hal-hal yang mengenai ordonansi ini tidak berlaku lagi. Perlu dicatat
disini bahwa terhadap asas nullum delictum ini ada yang berkeberatan, yangmana
hal ini dikemukakan oleh Utrech, yaitu:
20
“Terhadap asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan kolektif. Jadi
akibat asas ini bahwa yang dinamakan hukum hanyalah mereka yang secara tegas
telah melanggar suatu peraturan perundang-undang yang telah ada. Kemungkinan
seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya suatu
kejahatan, tetapi oleh hukum tidak disebut pelanggaran ketertiban umum tidak
dihukum. Asas nullum delictum itu menjadi suatu penghalang bagi hakim pidana
menghukum seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak
strafbaar, masih juga atrafaaring”(E. Utrech : 19: 1968)
Berdasarkan uraian di atas bahwa asas ini dilahirkan pada suatu Zaman
“Aukflarung” yang mengenal puncak perkembangan anggapan individualistis
terhadap hukum. Asas nullum dellictum ini memberi jaminan penuh bagi
kemerdekaan pribadi individu, jadi bagi mereka yang mengutamakan kepentingan
kolektif sangat sukar mempertahankan asas ini. Berlainan dengan yang
mempunyai pandangan individualitas dapat menerima asas apa yang telah
diuraikan oleh Utrecht. Menurut Roeslan Saleh dikatakan bahwa (Roeslan saleh :
56 : 1981) :
“Suatu perbuatan pidana adalah yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi
barang siapa yang melakukannya. Larangan ini merupakan dasar bagi adanya
perbuatan pidana. Jadi dapat dikatakan bahwa asas ini adalah dasar “perbuatan
pidana”. Tanpa adanya peraturan lebih dulu mengenai perbuatan apa yang
dilarang, maka kita tidak akan tahu adanya perbuatan pidana”
Dari apa yang dikemukakan di atas, teryata bahwa hukum pidana adalah bagian
dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukkan dan diancam dengan sanksi pidana
tertentu, bagi yang melanggar aturan tersebut. Juga dalam hal ini jangan dilupakan
antara hukum dan manusia yang saling berkaitan karena tiada manusia maka tiada
21
hukum, sedangkan manusia itu sendiri senantiasa ingin hidup bebas. Dalam
kenyataanya manusia tidak dapat menghindari untuk hidup dengan yang lainnya,
maka dalam hal ini tidak dihindarkan atau dihiraukan terhadap kepentingan dari
masyarakat itu. Dalam arti kata melindungi kepentingan kolektif maupun
individu. Perbuatan pidana ini, maka dilihat disini beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para sarjana- sarjana ilmu hukum. Adapun definisi-definisi
tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang
dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan,
maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana (R.
Soesilo : 4 : 1984) .
Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan-larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moelyatno, Loc
Cit).
Menurut Soedjono kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau
bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya
perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak
memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah
hukum yang berlaku dalam masyarakat (Soejdono :15 : 1977).
22
Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Projodikoro : 50)
Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggung jawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat
dihukum (Simons : 127 : 1992).
Menurut J.E Jonkers, merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan (J.E
Jonkers : 135 :1987).
Seperti yang telah dikatakan pada kata “perbuatan” adalah sesuai dengan makna
dari “feit” dari perbuatan bararti keadaan yang dibuat oleh seseorang, kalimat
mana menunjukan baik kepada akibatnya (kejadian yang tertentu) maupun kepada
yang menimbulkan akibat (tingkah laku seseorang). Jadi sama dengan makna
daripada feit tadi. Istilah perbuatan sudah lazim dipakai dalam kata majemuk
lainya. Baik dalam percakapan sehari-hari, misalnya perbuatan hukum. Sebelum
penulis lebih jauh membicarakan mengenai suatu perbuatan pidana, serta unsur-
unsurnya, selain daripada itu maka lebih dahulu kita melihat aliran dalam hukum
pidana yang memberi makna suatu peristiwa pidana menurut alirannya.
23
“Dalam aliran klasik ini dapat juga disebut dengan monoisme, yang memberi
makna peristiwa-peristiwa pidana maka disitu harus ada orang yang melakukan
peristiwa pidana atau dengan kata lain jika ada peristiwa-peristiwa pidana maka
disitu harus ada orang yang harus dipidana adalah sama dengan syarat-syarat
orang dijatuhi pidana. Jadi seorang yang melakukan peristiwa pidana dan hendak
dijatuhi pidana harus diperhatikan semua unsur dari peristiwa itu (A. Zainal
Abidin : 34 : 1962).
Menurut aliran klasik ini unsur-unsur suatu peristiwa pidana dapat memenuhi
rumusan delik, ada sifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar, ada
kesalahan yang terdiri dari dolus dap culpa dan tidak ada alasan pemaaf dapat
dipertanggung jawabkan. Menurut aliran Modern atau sering disebut dengan cara
Dualistis adalah : “Aliran modern ini mulai sistematis dalam syarat
pemidanaannya. Disini tidak sama elemen, atau unsur dimasukan kedalam feit
(perbuatan), tetapi dipisah menjadi dua kelompok atau golongan, dimana
kelompok yang lain dimasukan dalam diri si pembuat. Menurut aliran ini dalam
suatu peristiwa pidana haruslah dipisahkan antara perbuatan dan pembuat, yang
masing-masing mempunyai unsur sendiri. Unsur yang masuk perbuatan adalah
memenuhi rumusan delik, melawan hukum (tidak ada alasan pembenaran),
sedangkan unsur yang masuk pembuat adalah kesalahan, dolus atau culpa dan
dapat dipertanggung jawabkan (tidak ada alasan pemaaf). Tujuan pembagian ini
agar hakim tidak sulit dalam menjatuhkan pidana”. Kini penulis membicarakan
24
mengenai unsur-unsur dari suatu perbuatan yang melawan hukum (wederechtlijk)
dan tidak ada alasan pembenar.
Mengapa disebut melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dapat
ditinjau dari segi materil maupun segi formil. Dalam segi materil yaitu perbuatan
itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
boleh atau patut dilakukan. Jadi perbuatan itu selain dari perbuatan itu dilarang
dan di ancam dengan undang-undang, perbuatan itu harus betul-betul dirasakan
oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Jadi memidana orang yang
tidak melawan hukum adalah tidak ada artinya, sedangkan dalam segi formil
dikatakan bahwa, dengan memperhatikan apakah perbuatan yang dilakukan
memang memenuhi rumusan delik yang tertentu. Tetapi sementara itu sukar
menentukan kapankah perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bersifat
melawan hokum, kapan pula tidak. Jadi apakah bila undang-undang telah
melarang sesuatu perbuatan dan telah memenuhi larangan maka dengan
sendirinya dapat dikatakan itu adalah melakukan hukum ? dalam hal ini ada yang
berpendapat demikian adapula yang berpendapat lain. Yaitu pandangan segi
materil, yang lama belum tentu semua perbuatan yang memenuhi rumusan
undang-undang, perbuatan senyatanya harus betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Pendapat pertama telah
dikemukakan dalam ilmu hukum pidana disebut curang. Dengan pandangan yang
formil tentang sifat melawan hukumnya perbuatan.
25
Perbedaan yang pokok antara dua pendapat tadi adalah, bahwa pendapat yang
materil akan mengakui hal-hal yang meniadakan sifat melawan hukum dari
perbuatan, menurut hukum yang tertulis. Pangkal pandangan ini adalah yang
dinamakan hukum itu bukanlah undang-undang atau hukum yang tertulis saja,
tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Pendapat yang mengagungkan undang-
undang, yang mengira bahwa segala sesuatu telah diatur oleh pembentuk undang-
undang didalam undang- undang, telah beberapa lama ditinggalkan orang yang
tidak menyetujui, bahwa undang-undang itu adalah sebagai pengikat dan hakim
pun tidak rela untuk lebih lama menjadi penetap ketentuan undang-undang mana
jatuh pada peristiwa yang diajukan kepadanya. Menurut pendapat Prof. Mr
Roeslan Saleh : “Hakim ingin menjadi pencipta hukum pula. Menciptakan sesuatu
yang baru, menentukan hal-hal yang baru dan menyatakan pikirannya akan hal-
hal yang tersembunyi di dalam undang-undang (Roeslan Saleh : 47).
Para ahli hukum diberbagai Negara mengemukakan bahwa adalah tidak benar,
semua hukum terdapat dalam undang –undang. Diluar undang-undang pun masih
terdapat apa yang dinamakan hukum. Pendapat dari penganut aliran formil
maupun aliran materil adalah sebagai berikut :
1) Penganut Formil :
Simon dengan faham formalnya berpendirian bahwa “suatu tindak pidana
hanyalah dapat di anggap tidak berlawanan hukum dan oleh karenanya
dapat dilepaskan dan sanksinya, apabila di dalam undang-undang tersedia
dasar-dasarnya yang, dapat melepaskan yang berbuat itu dari sanksi atas
perbuatannya itu, jikalau tidak terdapat pengecualian didalam undang-
26
undang terhadap berlakunya sanksi atas tindak pidana itu maka menurut
Simon, hakim tidak boleh tidak harus menghukum orang itu.
2). Penganut Materil
Misalnya menurut Van Hammel, berpendapat bahwa “Apabila hakim
merasa ragu-ragu apakah tidak ada hal-hal yang dapat dibuktikan , bahwa
perbuatan terdakwa sesungguhnya tidak melawan hukum, maka hakim
berkewajiban menyelidiki hal itu, dan apabila ia telah mengadakan
penyelidikan itu tetap tidak mempunyai kenyakinan bahwa terdakwa
dengan perbuatannya itu melawan hukum, jadi menurutnya hakim tidak
boleh menjatuhkan hukuman (Tresna : 67-68 : 1959). Contoh, seorang
bapak memukul anaknya yang sangat nakal dan seorang dokter atas
pertimbangan medis dipaksa untuk menggugurkan kandungan seorang ibu
untuk menolong seorang ibu tersebut.
Apakah orang-orang seperti itu harus saja di hukum seperti halnya si bapak atau
dokter. Bukankah si bapak itu hendak mendidik anaknya atau dokter tadi
melakukan abortus untuk menyelamatkan perempuan itu. Menurut perbuatan
orang-orang itu di lihat dari sudut formil memang melanggar ketentuan undang-
undang, tetapi perasaan keadilan tidak dapat menyalahkan perbuatan mereka itu.
Tapi jika dilihat dari sudut materil, sangatlah sulit untuk menetapkan kapan
adanya unsur melawan hukum itu, kapan sesuatu perbuatan dapat dibenarkan,
bagaimanakah unsur melawan hukum harus dicari diluar undang-undang. Sebagai
patokan dapat dikatakan bahwa hukum pidana ditunjukan kepada perbuatan-
perbuatan yang sifatnya sedikit banyak tidak sesuai dengan kelaziman, yang
27
menyimpang dari apa yang lazim di lakukan orang normal pada suatu ketika akan
merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.
Mengenai tidak ada alasan pembenar. Disebutkan dalam undang-undang ;
misalnya mengenai daya paksa, sejauh itu dimasukan dalam alasan-alasan
pembenar ini. Bukankah dalam hal ini apakah pembuat telah memilih jalan yang
tepat masih juga berbeda pandangan orang. Tetapi ini hendaknya jangan
dijadikan alasan untuk mengembangkan lagi ketidaksamaan hukum yaitu dengan
memberikan tempat kepada sifat melawan hukum yaitu dengan memberikan
tempat kepada sifat melawan hukum yang materiil, demikianlah mengenai
perbedaan daripada sifat melawan hukum formil maupun materil yang
didefinisikan oleh dua orang sarjana tadi. Dalam sifat melawan hukum dalam
pandangan formil maupun materil, menurut Van Hattum dan Langmeyer, bahwa
masyarakat adalah hidup, selalu bergerak, berhubung dengan itu rasa keadilan
rakyat berubah-rubah pula. Bahwa rumusan delik itu hanyalah fragmen-fragmen
yang dipisahkan dari hubungannya.
Membuat undang-undang tidak dapat berbuat lain dari pada secara skematis saja.
Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam rumusan delik adalah merupakan
kumpulan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya diancam dengan pidana.
Karena urusannya fragmentaris dan skematis tadi maka didalamnya masuk
perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak semestinya, karena tidaklah
merupakan perbuatan tercela atau tidak dibenarkan. Jadi perlu satu jalan yang
28
akan menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memang masuk dalam suatu
rumusan delik setelah dilihat tersendiri, berhubungan dengan suatu kejadian
khusus, lalu tidaklah bersifat melawan hukum dan juga tidak dapat dipidana
terhadap hal yang dikatakan terakhir, hakim tidak boleh berdiam diri dan
menantikan sampai undang-undang yang membenarkan perbuatan itu. Yang jelas
bahwa sifat melawan hukum itu adalah bertentangan dengan hukum positif yang
sedang berlaku.
KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran.
Penggolongan jenis-jenis delik yang ada dalam KUHP terdiri dari kejahatan
(misdriven), disusun dalam Buku II KUHP , sedangkan pelanggaran (over
tredingen), disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan
penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang
jelas, risalah penjelasan undang-undang.
Kejahatan adalah “recht delicten” yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan
dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, dirasakan sebagai “onrecht”
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum (Moeljatno : 71).
Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh Negara
diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan mengembalikan keseimbangan
yang terganggu akibat perbuatan itu. Dengan patokan hukum pidana kejahatan.
serta pelakunya relatif dapat diketahui yaitu mereka atau barang siapa yang
29
terkena rumusan kaidah hukum pidana memenuhi unsur-unsur delik, ia dianggap
melakukan perbuatan yang dapat dihukum (Soedjono Dirjosisworo: 1982 : 12).
Menurut Sue Titus Reid suatu perumusan tentang kejahatan maka perlu
diperhatikan adalah antara lain :
1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi) dalam pengertian ini
seseorang tidak dapat dihukum karena pikirannya melainkan harus ada
suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk dapat
bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban
hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, disamping itu ada niat jahat
(criminal intent mens rea).
2. Merupakan pelanggaran hukum pidana
3. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang di akui
secara hukum.
4. Diberikan sanksi oleh Negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran
(Soerjono Soekanto : 44).
Beberapa definisi kejahatan diatas pada dasarnya dapat diketahui kejahatan adalah
suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-
undang lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya.
KUHP tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan
namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat kita simpulkan bahwa semua
perbuatan yang disebutkan dalam Buku ke II adalah kejahatan dan perbuatan lain
secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu diluar
KUHP.
30
Pelanggaran adalah “west delicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya
baru dapat diketahui setelah adanya undang-undang yang menyatakan demikian
(Moeljatno : 72). Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada
kecendrungan mengikuti pandangan kuantitatif, beberapa ketentuan KUHP
mengandung ukuran secara kuantitatif adalah :
1. Percobaan / pembantuan dalam pelanggaran tidak di pidana, sedangkan
kejahatan dapat dipidana
2. Daluarsa bagi pelanggaran ditentukan lebih pendek di banding dengan
kejahatan.
3. Kewenangan menuntut pelanggaran menjadi hapus apabila telah di bayar
maksimum denda dan biaya perkara sebagai sistem penebusan.
4. Dalam hal terjadi perbarengan atas pelanggaran berlaku sistem pidana
kumulasi murni yang tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana sendiri-sendiri
5. dalam hal perampasan barang karena pelanggaran hanya boleh dilakukan
apabila tidak ditentukan dengan tegas oleh undang-undang (Bambang
Poernomo : 97 : 1982).
Berdasarkan perbedaan diatas dapat diketahui bahwa kejahatan lebih berat
ancaman hukumnya dibandingkan dengan pelanggaran, karena dilihat dari sifat
dan hakekat dari perbuatan itu dalam masyarakat, dimana kejahatan mempunyai
dampak yang lebih buruk dibandingkan pelanggaran. Berdasarkan beberapa
pengertian dari pendapat sarjana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana
merupakan suatu perbuatan atau kejadian tertentu yang di lakukan seseorang,
beberapa orang atau badan hukum yang menimbulkan suatu akibat karena
31
melanggar peraturan perundang-undang yang ada. Atau dapat di artikan pula
tindak pidana merupakan perbuatan yang di pandang merugikan masyarakat
sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa
pidana atau nestapa.
Unsur-unsur Tindak Pidana. Membahas tentang rumus-rumus dari pada tindak
pidana, pertama-tama haruslah melihat pada rumusan tindak pidana baik secara
umum maupun yang ada dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana.
Perumusan ini dalam bahasa belanda dinamakan “delicts omischrijving”.
Berdasarkan uraian-uraian tindak pidana di atas dapat ditemukan beberapa unsur
yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk
dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal
pemeriksaan persidangan. Apabila unsur-unsur itu salah satu diantaranya tidak
terbukti, maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan
tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Untuk itu perlu di ketahui
beberapa pendapat sarjana mengenai unsur- unsur tindak pidana yaitu:
Menurut Wirjono Projodikoro menyebutkan unsur-unsur tindak pidana
mengharuskan adanya suatu (Wirjono Projodikoro : 46) :
a. Adanya dari tindak pidana
Misalnya perbuatan mencuri dirumuskan sebagai mengambil barang, ini
rumusan secara formil yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan
tertentu dari badan seseorang manusia dan secara materiil menimbulkan
suatu akibat yang disebutkan perbuataannya.
32
b. Adanya hubungan sebab musabab
Akibat dari perbuatan pelaku berapa kerugian atas kepentingan orang lain,
menandakan keharusan ada hubungan sebab musabab (causalitas) antara
perbuatan si pelaku dan kerugian yang di timbulkan.
a. Adanya sifat melanggar hukum
Sifat melanggar hukum (onrechtmatigheid) ini, secara tegas disebutkan
larangannya pada perumusan ketentuan hukum pidana (straafbepaling)
b. Adanya kesalahan pelaku tindak pidana
Karena pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini mengenai
kebatinan yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana (schuld verband).
Hanya hubungan batin ini perbuatan yang di langgar dan dapat di
pertanggung jawabkan pada si pelaku.
c. Adanya Kesengajaan (opzet)
Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja melawan
dan melanggar hukum ini pantas mendapatkan hukuman pidana, hal ini
harus di hubungkan dengan unsur-unsur diatas karena mempunyai kaitan
yang erat satu sama lainnya,
Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah :
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambah yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif (Moeljatno : 63).
33
Menurut M. Bassar Sudrajat unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik
adalah terdiri dari :
a. Unsur melawan hukum
b. Unsur merugikan masyarakat
c. Dilarang oleh aturan hukum pidana
d. Pelakunya dapat di ancam pidana (Adami Chazawi : 78 : 2002).
Menurut pendapat Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni :
a. Perbuatan / rangkaian perbuatan
b. Yang bertentang dengan peratuarn perundang-undangan,
c. Diadakan tindakan penghukuman (Ibid : 80),
Lebih lanjut Moeljatno membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan
dan pelaku dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
a. Unsur Subjektif berupa ;
Perbuatan manusia
Mengandung unsur kesalahan
b. Unsur objektif, berupa
Bersifat melawan hukum
Ada aturannya (Moelyatno : 64).
Berdasarkan pendapat para sarjana diatas, walaupun pendapat dari rumusan
berbeda-beda namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan
antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri
orangnya (pelaku). Dalam merumuskan perbuatan pidana perlu ditegaskan
secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Seseorang hanya dapat
34
dipidana karena telah melakukan suatu tindak pidana, apabila jelas telah
memenuhi unsur –unsur didalamnya yaitu unsur perbuatan, melawan hukum,
kesalahan dan dapat di pertanggung jawabkan.
B. Pertanggung jawaban pidana
Pertanggung jawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi
menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain
(WJS. Poerwadarminta : 619 : 1998).
Pertanggung jawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan atas
perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan
itu dipertanggung jawabkan oleh sipembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa
orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak
pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.
Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang
dapat di pertanggung jawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang
dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana (Roeslan Saleh : 80).
Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah
dirumuskan oleh sipembuat undang-undang untuk tindak pidana yang
bersangkutan. Namun dalam kenyataan memastikan siapa sipembuatnya tidak
mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan
proses yang ada, yaitu sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP.
35
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia menentukan bahwa seseorang baru
dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut telah
sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana, dalam hal ini sesuai
dengan pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Tiada suatu perbuatan yang dapat
dipidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan. Meskipun demikian orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena
masih harus dibuktikan kesalahannya atau apakah dapat dipertanggung jawabkan
perbuatannya tersebut, demikian untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus
memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana dalam
hukum pidana.
Perbuatan pidana hanya untuk menunjukan pada dilarangnya suatu perbuatan oleh
undang-undang. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga
dipidana, tergantung pada persoalan, apakah ia dalam melakukan perbuatannya ia
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang telah melakukan perbuatan
itu memang mempunyai kesalahan, maka ia dapat dipidana. Berarti orang yang
melakukan tindak pidana akan dapat dipidana apabila mempunyai kesalahan.
Kesalahan ada 2 (dua) macam yaitu :
1. Kesengajaan (opzet/dolus)
Ada 3(tiga) kesengaajaan dalam hukum pidana yaitu :
Kesengajaan yang bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu tujuan
(opzet als oogmerk).
36
Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan
disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti terjadi (opzet
bijzekeheidsbewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan.
Kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya
ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi
(opzet bij mogelijkheids-bewustzjn)
2. Kurang hati-hati (kealpaan/culpa)
Kurang hati-hati/kealpaan (culfa) arti dari alpa adalah kesalahan pada
umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu
suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti kesengajaan yaitu kurang hati-hati, sehingga berakibat yang tidak
disengaja terjadi (Wirjono Projodikoro).
Berdasarkan uraian di atas seseorang yang melakukan tindak pidana harus
dibuktikan apakah kesalahan tersebut mengandung unsur kesengajaan
(dolus/opzet) atau kealpaan (culfa). Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau
karena kealpaan akan menentukan berat ringannya pidana seseorang. Perbuatan
pidana yang dilakukan secara sengaja ancaman pidananya akan lebih berat dari
pada karena kealpaan. Untuk dapat dipidananya seseorang harus ada unsur
mampu dipertanggung jawabkan oleh si pelaku, dimana si pelaku dapat
menginsyafi atau secara sadar melakukan perbuatan tersebut.
37
Roeslan Saleh menyatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu
harus memenuhi 3 syarat yaitu (Roeslan Saleh) :
1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu dapat dipandang patut
pergaulan masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan
perbuatan.
Istilah pidana atau hukum yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat
berkonotasi dengan bidangnya yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering
digunakan dalam hukum, tetapi dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan
moral, agama dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih
khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat
menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat khas. Menurut Soedarto, menyatakan yang
dimaksud pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi sasaran tertentu sedangkan menurut
Muladi dan Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Roeslan Saleh, menyatakan
bahwa pidana reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan Negara kepada perbuatan delik itu.
Beberapa definisi di atas dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-
unsur atau ciri-ciri tersebut :
38
1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan atas nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan pidana
menurut undang-undang (Muladi dan Barda Nawawi arief : 4 : 1998).
Maka dalam hal pidana, fokusnya adalah pada kekuatan salah satu tindak pidana
yang telah dilakukan oleh sipembuat atau pelaku dengan kata lain perbuatan itu
mempunyai peranan yang sangat penting dan syarat yang harus dipenuhi untuk
adanya suatu tindak pidana agar pelaku atau subjek tindak pidana dapat
dimintakan pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan . ciri atau unsur
kesalahan yang dapat dijatuhi hukuman bagi pelaku kejahatan adalah :
1. Dapat dipertanggung jawabkannya perbuatan pembuat,
2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yaitu adanya sengaja
atau kesalahan,
3. Tidak adanya dasar pemidanaan yang menghapus dapat dipertanggung
jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa : barang siapa melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena Jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Menurut Pompe
39
yang dikutif oleh Andi Hamzah, Pasal tersebut merupakan pengertian yuridis
bukan medis. Memang medikus yang memberikan keterangan kepada hakim
yang memutuskan. Menurutnya dapat dipertanggung jawabkan (Toerekenbaarheid)
itu berkaitan dengan kesalahan (Schuld). Orang dapat menyatakan dapat
dipertanggung jawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (Shuld) (Andi Hamzah :
147 : 1994).
C. Pengertian Hutan Dan Jenis Hutan
Berbagai sebutan dipakai terhadap hutan, tetapi pada umumnya pandangan umum
tentang hutan itu adalah suatu tempat atau areal yang perlu dengan berbagai
macam jenis pohon-pohon dan hewan liar yang terdapat didalamnya. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, hutan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Dengler pengertian hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada
lapangan yang cukup luas, sehingga suhu kelembaban,cahaya angin dan
sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh
tumbuh-tumbuhan / pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas
dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertical) (Evers P.J : Vol.III : 1995).
40
Dari pengertian tersebut di atas, pada umumnya hutan itu merupakan suatu tempat
atau areal yang penuh dengan berbagai macam jenis pohon-pohon dan hewan-
hewan liar yang terdapat didalamnya. Pemeliharaan hutan dan pengamanan hutan
merupakan dua hal yang sangat vital dalam pelestarian hutan. Hal ini dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan hutan.
Perlindungan dan keamanan memang sangat diperlukan agar tetap dapat
mempertahankan kelestarian hutan karena banyak ancaman terhadap upaya
kelestarian hutan, antara lain yaitu :
a. Pengrusakan hutan akibat pencuri kayu, penebang tanpa izin.
b. Pendudukan tanah hutan secara tidak sah atau liar.
c. Pengrusakan tanah hutan akibat adanya pengambilan batu, pasir, tanah dan
bahan.
d. Kerusakan akibat pengembalaan ternak dalam hutan.
e. Kerusakan akibat gempa bumi, angin ribut, hama dan prnyakit, kebakaran
hutan dan lain sebagainya (Pasal 6,7,8,9,11,12 Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1985).
Dari uraian di atas, pemeliharaan hutan dari ancam-ancaman pengrusakan
diperlukan, sehingga mampu mrmberikan manfaat produksi, perlindungan,
pengaturan tata air, pengaruh terhadap iklim dan sebagainya mrngingat fungsi
hutan sangat berpengaruh bagi lingkungan. Sedangkan jenis-jenis hutan
berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dapat
dibedakan sebagai berikut :
41
1. Berdasarkan status pemilikannya, menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan terdiri dari dua macam yaitu :
a. Hutan Negara, ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan
milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan
kepada daerah swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan
mempunyai status sebagai hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi
Hutan Marga, Hutan Daerah, Hutan swaparja dan lain sebagainya.
b. Hutan Hak, adalah hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik yang
lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri
maupun bersama-sama orang lain atau Badan Hukum Hutan yang ditanam
atas usaha sendiri di atas tanah yang di bebani hak lainnya, merupakan pula
hutan milik dari orang / Badan Hukum yang bersangkutan.
2. Berdasarkan fungsinya menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, terdiri tiga macam yaitu ;
a. Hutan Konservasi, adalah kawasan hutan dengan cirri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragamaan tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
b. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai keadan alam
sedemikian rupa sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah alam
sekelilingnya dan tata air perlu dipertahankan dan lindung. Apabila Hutan
Lindung diganggu maka hutan ini akan kehilangan fungsinya sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
42
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah iritasi air laut dan
memilahara kesuburan tanah.
c. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai pokok produksi
hasil hutan. Hutan produksi ini adalah hutan yang baik keadaan alamnya
maupun kemampuannya sehingga memberikan manfaat produksi kayu dan
hasil hutan lainnya.
3. Berdasarkan bentuknya menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, dibagi menjadi tiga :
a. Hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi pokok kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga.
b. Hutan pelestarian alam, hutan yang dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan.
c. Taman baru, adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
d. Hutan lainnya yang ada diluar kawasan hutan dan diluar hutan cadangan
misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau yang dibebani hak
lainnya.
Berdasarkan penggolongan berbagai jenis hutan dalam Pasal 5, 6 ayat (2) dan
Pasal 7, di atas dimaksudkan agar dapat diketahui fungsi, peruntukan hutan
43
tersebut. Sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan jenisnya baik itu untuk
kepentingan produksi atau pemanfaatan hasil alam untuk kepentingan bersama
maupun hutan yang dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem
sekitarnya. Secara garis besar hutan tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa
kriteria yaitu berdasarkan status pemilikan,berdasarkan fungsi dan berdasarkan
peruntukan. Walaupun terdapat perbedaan berbagai jenis hutan di atas prinsipnya
hutan mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk menjaga ekosistem kehidupan,
tata air dan mencegah terjadinya erosi.
D. Tindak Pidana Kehutanan
Pencurian kayu dan perambahan hutan merupakan suatu kegiatan membuka
kawasan hutan dan menduduki kawasan tersebut secara ilegal tindakan ini
dilakukan dengan cara membakar, menebang kawasan hutan. Tindakan ini
merupakan tindak pidana karena melanggar ketentuan dalam Pasal 50 undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
(2) Setiap orang dilarang :
(a) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah.
(b) Merambah kawasan hutan,
(c) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan,
(d) Membakar hutan,
44
(e) Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang,
(f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan.
Pasal 78 mengatur tentang ketentuan pidananya yaitu barang siapa yang sengaja
melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan diancam dengan pidana penjara paling banyak Rp. 5.000.000.000.00
(lima milyar rupiah).
Sedangkan pengaturan mengenai pencurian kayu di hutan lindung munurut
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Perlindungan Hutan terdapat dalam :
Pasal 6 Ayat (1) : Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang
dikerjakanAtau diduduki tanpa izin mentri.
Pasal 7 Ayat (3) : Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan
dilarangMelakukan pemungutan hasil hutan dengan
menggunakan Alat atau tidak sesuai dengan kondisi
tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain
yang dapat menimbulkan Tanah dan tegakan.
Pasal 8 Ayat (2) : Siapapun dilarang melakukan penebangan dalam
radius/Jarak tertentu dari mata air, tepi jurang,
waduk, sungai, anak sungai yang terletak didalam
kawasan hutan lainnya.
45
Pasal 9 Ayat (1) : Selain petugas-petugas kehutanan atau orang-orang
yang Karena tugasnya atau kepentingannya berada
Dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa
alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong,
menebang dan membelah pohon didalam kawasan
hutan.
(3) : Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon
dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) : Setiap orang dilarang mengambil / memungut hasil
hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yang
berwenang.
E. Kebebasan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid” , yaitu kebebasan
terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas
tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana
(strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan
pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtvinding)
(Nanda Agung Sewantara : 51 : 1987 ).
Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak
mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim
46
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” (Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004).
Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektif
hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai
hal-hal sebagai berikut :
1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan
perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya, dan kemudian
2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa
bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya,
3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat
dipidana (Soedarto : 74 : 2000 ).
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa segala putusan pengadilan
selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau
sumber hukum tidak tertulis yang di jadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum
yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab
hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan
memutuskan oerkara yang di ajukan kepadanya dimana pertanggung jawaban
tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada
masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bismar Siregar : 67).
47
Penjatuhan sanksi pidana memang bukan perkara yang mudah, hakim dituntut
menguasai teknik-teknik tertentu yang menyangkut hal-hal yang bersifat
kompleks untuk memperkecil terjadinya disparitas pidana. Keputusan yang di
keluarkan hakim hendaknya merupakan keputusan yang bersifat proposional yaitu
keputusan yang menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum
bagi seseorang.
Keputusan yang proporsional tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan
tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Pedoman pemidanaan (statutory guidelines
for sentencing), aturan pemidanaan yang berlaku serta kenyakinan hakim tersebut
dalam menjatuhkan sanksi, sehingga terlihat faktor-faktor yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam rangka mengurangi
disparitas pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief : 67).
Adanya penjatuhan sanksi pidana oleh hakim secara langsung mengkongkritkan
tugas sanksi tersebut, yaitu sebagai alat pemaksa agar norma dapat juga berfungsi
sebagai alat preventif dan sebagai alat represif sehingga tujuan dari hukum pidana
tersebut dapat dicapai secara efektif.