16
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Konsep Agroindustri Agroindustri merupakan salah satu subsistem dari sistem agribisnis yang memiliki peranan yang sangat penting karena memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi akibat adanya nilai tambah yang dihasilkan serta mempercepat transformasi struktur ekonomi dari sektor pertanian menuju industri. Agroindustri didefinisikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait dengan kegiatan pertanian yang meliputi: (i) industri pengolahan hasil produk pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir; (ii) industri penanganan hasil pertanian segar; (iii) industri pengadaan sarana produksi pertanian; dan (iv) industri pengadaan alat alat pertanian (Saragih, 2010). Austin (1981) mendefinisikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber dari tanaman atau binatang, yang meliputi proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Sedangkan Henson and Cranfield (2009) mendefinisikan sektor agroindustri sebagai bagian dari sektor manufaktur yang mengolah bahan baku dan barang setengah jadi yang berasal dari pertanian, perikanan dan kehutanan. Dengan demikian, sektor agroindustri meliputi pengolahan makanan, minuman, tembakau, tekstil dan pakaian, produk kayu dan furniture, kertas, dan produk karet. Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas dapat dilihat bahwa sektor agroindustri bukanlah sektor yang dapat berdiri sendiri, karena merupakan bagian dari sistem agribisnis yang kompleks. Sebagai bagian dari sistem agribisnis, pengembangan agroindustri harus mengacu kepada keseluruhan sistem (Gambar 5). Tambunan (2010) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri harus memperhatikan kaidah keterpaduan usaha, yaitu: (i) azas keterpaduan wilayah; (ii) azas keterpaduan usahatani; dan (iii) azas keterpaduan komoditas. Ketiga azas tersebut harus berjalan secara simultan dimana ada kesepakatan dari semua pelaku bisnis dan pengambil keputusan untuk memberikan prioritas utama pada komoditas tertentu yang akan dikembangkan di suatu wilayah. Penentuan dan pengembangan komoditas yang memperhatikan wilayah sebagai suatu kesatuan ekonomi yang didasarkan kepada keterpaduan wilayah harus bermuara pada sistem usahatani yang

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Konsep Agroindustri · - Produksi input pertanian, peralatan dan mesin - Pengadaan dan distribusi input pertanian, peralatan dan mesin - Budidaya tanaman

  • Upload
    buidat

  • View
    257

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Konsep Agroindustri

Agroindustri merupakan salah satu subsistem dari sistem agribisnis yang

memiliki peranan yang sangat penting karena memiliki potensi untuk mendorong

pertumbuhan yang tinggi akibat adanya nilai tambah yang dihasilkan serta

mempercepat transformasi struktur ekonomi dari sektor pertanian menuju

industri. Agroindustri didefinisikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait

dengan kegiatan pertanian yang meliputi: (i) industri pengolahan hasil produk

pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir; (ii) industri penanganan

hasil pertanian segar; (iii) industri pengadaan sarana produksi pertanian; dan (iv)

industri pengadaan alat – alat pertanian (Saragih, 2010). Austin (1981)

mendefinisikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber

dari tanaman atau binatang, yang meliputi proses transformasi dan pengawetan

melalui perubahan fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi.

Sedangkan Henson and Cranfield (2009) mendefinisikan sektor agroindustri

sebagai bagian dari sektor manufaktur yang mengolah bahan baku dan barang

setengah jadi yang berasal dari pertanian, perikanan dan kehutanan. Dengan

demikian, sektor agroindustri meliputi pengolahan makanan, minuman,

tembakau, tekstil dan pakaian, produk kayu dan furniture, kertas, dan produk

karet.

Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas dapat dilihat bahwa sektor

agroindustri bukanlah sektor yang dapat berdiri sendiri, karena merupakan

bagian dari sistem agribisnis yang kompleks. Sebagai bagian dari sistem

agribisnis, pengembangan agroindustri harus mengacu kepada keseluruhan

sistem (Gambar 5). Tambunan (2010) menyebutkan bahwa pengembangan

agroindustri harus memperhatikan kaidah keterpaduan usaha, yaitu: (i) azas

keterpaduan wilayah; (ii) azas keterpaduan usahatani; dan (iii) azas keterpaduan

komoditas. Ketiga azas tersebut harus berjalan secara simultan dimana ada

kesepakatan dari semua pelaku bisnis dan pengambil keputusan untuk

memberikan prioritas utama pada komoditas tertentu yang akan dikembangkan

di suatu wilayah. Penentuan dan pengembangan komoditas yang

memperhatikan wilayah sebagai suatu kesatuan ekonomi yang didasarkan

kepada keterpaduan wilayah harus bermuara pada sistem usahatani yang

24

memadukan pola usaha dan organisasi produksi yang efisien dan azas

keterpaduan usahatani.

SubsistemAgribisnis Hulu

SubsistemAgribisnis On Farm

Subsistem AgribisnisHilir

(AGROINDUSTRI)- Produksi input

pertanian, peralatandan mesin

- Pengadaan dandistribusi inputpertanian, peralatandan mesin

- Budidaya tanamandan ternak

- Penanganan panendan pascapanen

- Penjualan danpemasaran produkprimer pertanian

- Pengadaan bahan bakuproduk primer

- Pengolahan produkantara dan produk akhir

- Pemasaran produkantara dan produk akhir

Subsistem LayananPendukung dan Kebijakan- Fasilitas kredit dan asuransipertanian

- Penyuluhan dan informasipertanian

- Transportasi dankomunikasi

- Infrastruktur lokal dannasional

- Penelitian danpengembangan

- Lingkungan binis(makroekonomi dankebijakan khusus)

Gambar 5 Menggerakkan agroindustri dalam konseptualisasi agribisnis.(Sumber: Tambunan, 2010)

Seperti yang disajikan pada Gambar 5, pengembangan agroindustri sangat

terkait dengan dukungan kebijakan pemerintah dalam menciptakan enabling

environment yang mendukung perkembangan aktivitas agroindustri. Menurut

Wilkinson and Rocha (2009), fokus kebijakan pemerintah dalam pengembangan

agroindustri khususnya di negara – negara berkembang adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan strategis terkait dengan daya saing agroindustri

2. Dukungan terhadap usaha kecil dan menengah terkait dengan

peningkatan kapasitas, pembentukan klaster dan transfer teknologi

25

3. Pengakuan atas peran kunci sektor informal dan kebutuhan akan

instrumen lingkungan bisnis yang mendukung dalam hubungannya

dengan investasi asing

4. Kebijakan yang memasukkan petani kecil dan produsen produk pertanian

dalam kontrak rantai pasok

5. Penyediaan barang publik dengan tujuan meningkatkan persaingan untuk

memperoleh akses pasar

6. Penyediaan layanan untuk membangun kemampuan akses pasar yang

berkelanjutan, pengembangan kebijakan perlindungan konsumen

7. Aktif berperan dalam harmonisasi dan menjamin transparansi standar

mutu; langkah-langkah untuk memastikan bahwa pengembangan

agroindustri adalah kompatibel dengan keberlanjutan lingkungan dan

sosial serta negosiasi standar dan akses pasar di forum internasional .

3.2 Kebijakan Publik

Definisi kebijakan menurut Wilson (2006) adalah tindakan, tujuan dan

pernyataan pemerintah mengenai hal – hal tertentu dan langkah – langkah yang

diambil untuk menerapkannya serta penjelasan yang diberikan mengenai apa

yang terjadi atau tidak terjadi. Kebijakan publik merupakan pola ketergantungan

yang kompleks dari pilihan – pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk

keputusan – keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor

pemerintah (Dunn, 2003).

Kebijakan terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait dalam satu

sistem kebijakan yang terdiri dari pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan dan

kebijakan itu sendiri. Untuk memperoleh informasi yang relevan dengan

kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah – masalah publik, dilakukan

proses analisis kebijakan. Dunn (2003) mengartikan analisis kebijakan sebagai

disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian

multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, menilai

dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Dalam

melakukan analisis kebijakan pengembangan agroindustri kakao, harus melalui

lima prosedur analisis yaitu perumusan masalah, peramalan, pemantauan,

evaluasi, dan rekomendasi (Gambar 6).

26

Gambar 6 Prosedur analisis kebijakan.(Sumber, Dunn, 2003)

1. Merumuskan masalah – masalah kebijakan.

Perumusan maslah kebijakan merupakan aspek yang paling krusial dan

pada dasarnya merupakan sistem masalah yang saling tergantung,

subyektif, artifisial dan dinamis. Masalah kebijakan sering mengandung

konflik antara pelaku kebijakan dan tidak realistis untuk menganggap

bahwa beberapa pengambil keputusan memiliki pilihan yang sama dan

konsensus mengenai satu tujuan. Perumusan masalah merupakan suatu

proses dengan empat tahap yang saling tergantung satu sama lain yaitu;

penghayatan masalah, pencarian masalah, pendefinisian masalah, dan

spesifikasi masalah. Metode – metode yang dapat digunakan untuk

merumuskan masalah – masalah kebijakan meliputi analisis batasan,

analisis klasifikasional, analisis hierarkis, sinektika, brainstorming, analisis

perspektif berganda, analisis asumsional dan pemetaan argumentasi.

2. Meramalkan kebijakan di masa depan

Peramalan merupakan prosedur untuk membuat informasi tentang situasi

di masa depan atas informasi yang ada tentang masalah kebijakan.

Bentuk utama ramalan kebijakan yaitu proyeksi, prediksi dan perkiraan

yang dibedakan atas dasar ekstrapolasi kecenderungan, teori dan

pandangan pribadi. Peramalan digunakan untuk membuat estimasi

MASALAHKEBIJAKAN

KINERJAKEBIJAKAN

MASA DEPANKEBIJAKAN

AKSIKEBIJAKAN

HASIL – HASILKEBIJAKAN

PerumusanMasalah

PerumusanMasalah

Evaluasi Peramalan

RekomendasPemantauan

27

tentang tiga tipe situasi masa depan yaitu; masa depan potensial, masa

depan yang masuk akal dan masa depan normatif.

3. Merekomendasikan aksi – aksi kebijakan

Rekomendasi kebijakan ditujukan untuk menjawab pertanyaan “Apa yang

harus dilakukan?” Dengan demikian, rekomendasi kebijakan memerlukan

pendekatan yang normatif, dan tidak hanya empiris dan evaluatif serta

memberikan berbagai alternatif. Pendekatan utama untuk rekomendasi

dalam analisis kebijakan publik adalah analisis biaya manfaat dan analisis

biaya efektivitas.

4. Memantau hasil – hasil kebijakan

Pemantauan merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan

untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat kebijakan publik.

Pemantauan menghasilkan pernyataan yang bersifat penandaan setelah

kebijakan diadopsi dan diimplementasikan, sedangkan peramalan

menghasilkan penandaan sebelum tindakan dilakukan.

5. Mengevaluasi kinerja kebijakan

Evaluasi kebijakan terkait dengan seberapa jauh suatu hasil kebijakan

memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran. Fungsi

utama evaluasi dalam analisis kebijakan adalah penyediaan informasi

yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, kejelasan

dan kritik nilai – nilai yang mendasari pilihan tujuan dan sasaran dan

penyediaan informasi bagi perumusan masalah berikutnya. Kriteria

evaluasi kebijakan antara lain efektivitas, estimasi, kecukupan,

kesamaan, daya tanggap dan kelayakan.

3.3 Kebijakan Pertanian

3.3.1 Definisi dan Instrumen Kebijakan Pertanian

Kebijakan pertanian merupakan suatu program yang dijalankan pemerintah

yang dipilih dari berbagai alternatif yang ada untuk mengarahkan dan

menentukan kondisi sekarang dan yang akan datang di bidang pertanian

(Schmitz, et al., 2002). Kebijakan pertanian merupakan bentuk intervensi yang

cukup kompleks, mencakup pasar output, pasar input, perdagangan, investasi

barang publik, sumber daya alam, regulasi dari eksternalitas, pendidikan,

pemasaran dan distribusi produk. Ada 3 alasan mendasar bagi pemerintah untuk

melakukan intervensi yaitu:

28

1. Efisiensi, yaitu membuat pasar menjadi lebih efisien seperti kebijakan

subsidi untuk barang – barang publik, pembatasan eksternalitas dan

regulasi yang membatasi kekuatan pasar.

2. Stabilisasi, yaitu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menstabilkan

ekonomi, seperti kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai tukar.

3. Distribusi, yaitu kebijakan pemerintah untuk meredistribusi pendapatan di

antara kelompok masyarakat.

Van Tongeren (2008) menyebutkan bahwa kebijakan harus ditargetkan untuk

hasil yang spesifik dan terpisah, Untuk itu, perlu dilakukan pembatasan

mengenai variabel – variabel yang ditargetkan sehingga harus memenuhi

beberapa dimensi sebagai berikut: (i) terukurnya definisi tujuan kebijakan yang

akan ditargetkan dan unit-unit di mana target diukur; (ii) definisi spasial/geografis

daerah, karena kegagalan pasar yang membenarkan intervensi kebijakan sering

terjadi secara lokal atau regional terbatas; dan (iii) definisi karakteristik

kelayakan, terkait dengan siapa yang berhak menerima dan tidak, karena

kebijakan pertanian paling sering berlaku untuk petani secara individual. Setelah

memenuhi kriteria tersebut, baru instrumen kebijakan dapat dipilih. Instrumen

kebijakan pertanian biasanya disamakan dengan transfer uang, tetapi

kebanyakan instrumen yang dibuat oleh pengambil kebijakan adalah berupa

pajak (transfer negatif, regulasi dan fasilitas.

Negara berkembang memiliki variasi yang sangat tinggi dalam hal

sumberdaya alam, tipe sistem pertanian, ukuran usahatani, tingkat

pembangunan sumberdaya manusia, infrastruktur dan lain – lain. Kondisi ini

membuat pemerintah dihadapkan pada berbagai tujuan dan kendala, sehingga

harus memilih instrumen kebijakan yang paling sesuai. Brooks (2010)

menyebutkan bahwa dengan kondisi tersebut, pilihan kebijakan pertanian adalah

sebagai berikut:

1. Intervensi pasar output dan input, seperti: kebijakan harga dan

perdagangan, kebijakan pemasaran, subsidi input (benih, pupuk dan

kredit modal kerja)

2. Penyediaan barang publik seperti infrastruktur pedesaan

3. Transfer pendapatan

4. Perubahan kelembagaan seperti, dewan pemasaran, reformasi lahan,

reformasi sektor keuangan, hukum, dan lain – lain.

29

3.3.2 Kebijakan Bea Ekspor

Penerapan kebijakan pajak ekspor biji kakao seperti yang tertuang dalam

Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 dapat digambarkan seperti

pada Gambar 7. Jika diasumsikan bahwa supply ekspor kakao adalah kurva SE,

permintaan ekspor kurva ED, permintaan domestik kurva DD dan supply

domestik adalah SD, maka harga perdagangan bebas kakao adalah PF. Pajak

optimal diperoleh ketika SE berpotongan dengan pendapatan marjinal (MRED).

Melalui penerapan pajak ekspor ini, pemerintah akan memperoleh pendapatan

pajak sebesar abcd, sedangkan petani kakao akan kehilangan fcdPf.

Gambar 7 Kebijakan bea ekspor kakao.(Sumber: Schmitz, et al., 2002)

Dampak penerapan kebijakan bea ekspor terhadap pengembangan industri

hilir kakao dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 8. Dd

merupakan permintaan biji kakao domestik, Sd adalah penawaran biji kakao

domestik, De adalah permintaan ekspor biji kakao, Se adalah penawaran ekspor

biji kakao, Se’ adalah penawaran biji kakao setelah penerapan kebijakan bea

ekspor, TP(Q) adalah fungsi produksi industri pengolahan kakao domestik. Jika

tidak terjadi perdagangan internasional, kondisi keseimbangan terjadi pada Q0

dengan tingkat harga P0. Dengan adanya perdagangan internasional, dimana

terjadi permintaan ekspor yang ditunjukkan oleh garis De dan penawaran ekspor

yang ditunjukkan oleh garis Se, maka tingkat harga biji kakao yang terbentuk

adalah meningkat menjadi P1. Pada tingkat harga tersebut, jumlah biji kakao

P

qDqE

DD

SD

MRED

ED

SE

f Pf

ab

c d

30

yang diminta di dalam negeri adalah sebesar Q1 dan jumlah yang ditawarkan

sebesar Q2. Selisih antara Q1 dengan Q2 merupakan jumlah biji kakao yang

diekspor. Jika diasumsikan bahwa permintaan biji kakao domestik hanya

dilakukan oleh industri pengolahan kakao, maka Q1 merupakan jumlah input

yang digunakan oleh industri, sehingga industri pengolahan berproduksi pada

tingkat TP0.

.

Gambar 8 Dampak kebijakan bea ekspor kakao terhadap industri hilir.

Penerapan kebijakan bea ekspor biji kakao menyebabkan kurva

penawaran ekspor biji kakao bergeser dari Se menjadi Se’. Hal tersebut

menyebabkan harga ekspor biji kakao meningkat menjadi P2, sedangkan harga

domestik turun menjadi P3. Penurunan harga domestik tersebut menyebabkan

jumlah biji kakao yang diminta oleh industri pengolahan meningkat dari Q1

menjadi Q3. Sedangkan jumlah biji kakao yang ditawarkan turun dari Q2 menjadi

Q4 sehingga jumlah biji kakao yang diekspor juga turun menjadi Q4-Q3.

31

Peningkatan jumlah biji kakao yang diminta oleh industri pengolahan dari Q1

menjadi Q3 menyebabkan produksi kakao olahan juga meningkat dari TP0

menjadi TP1. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa penerapan bea ekspor

mampu mendorong industri hilir dalam meningkatkan produksi kakao olahan.

3.4 Dinamika Sistem

3.4.1 Sistem

Permasalahan yang muncul di dunia nyata umumnya bersifat sangat

kompleks dan saling terkait satu sama lain. Untuk itu, upaya pemecahan

masalah tersebut tidak bisa dilakukan secara terpisah, namun harus menyeluruh

sebagai suatu sistem yang saling terkait, berinteraksi dan berhubungan. Marimin

dan Maghfiroh (2010) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha,

terdiri dari bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan

dalam suatu lingkungan yang kompleks. Adanya hubungan yang teratur dan

terorganisir merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah sistem dalam

mencapai tujuan sebagai sasaran akhir seperti digambarkan pada Gambar 9.

Sementara itu, Eriyatno (2003) menekankan pada adanya totalitas himpunan dari

hubungan yang terstruktur serta memiliki ruang dan waktu. Dimensi ruang dapat

dianggap sebagai sebuah batas lingkungan di mana interaksi antar unsur dari

sebuah objek berlangsung (Muhammadi, et al., 2001). Dengan demikian,

Marimin dan Maghfiroh (2010) menyebutkan bahwa suatu sistem memiliki sifat –

sifat dasar sebagai berikut:

1. Pencapaian tujuan. Orientasi pencapaian tujuan memberikan sifat

dinamis kepada sistem yaitu memberikan ciri perubahan yang terjadi

secara terus menerus dalam upaya mencapai tujuan.

2. Kesatuan usaha, mencerminkan sifat dasar dari sistem di mana hasil

keseluruhannya melebihi jumlah bagian – bagiannya atau sering disebut

konsep sinergi.

3. Keterbukaan terhadap lingkungan. Pencapaian tujuan dari suatu sistem

tidak harus dilakukan dengan satu cara terbaik, tetapi melalui berbagai

cara sesuai dengan tantangan lingkungan yang dihadapi.

4. Transformasi, yaitu proses perubahan input menjadi output yang

dilakukan oleh sistem.

5. Hubungan antar bagian, yaitu kaitan antar subsistem yang memberikan

analisa sistem suatu dasar pemahaman yang lebih kuat.

32

6. Sistem terdiri dari beberapa macam, seperti sistem terbuka, sistem

tertutup, dan sistem dengan umpan balik.

7. Mekanisme pengendalian, menyangkut sistem umpan balik suatu

bagian pemberi informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku

sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang

dihadapi.

Gambar 9 Pengertian sistem.(Sumber: Marimin dan Maghfiroh, 2010)

McLeod and Schell (2008) menyebutkan bahwa sistem terdiri dari

subsistem – subsistem (komponen), batasan sistem (boundary), lingkungan di

luar sistem (environment), penghubung (interface), masukan (input), pengolahan

(process), keluaran (output), sasaran (objective) dan tujuan (goal). Elemen dari

sistem adalah unsur (entity) yang mempunyai tujuan atau realitas fisik, setiap

elemen mengandung atribut yang dapat berupa nilai bilangan, formula intensitas,

ataupun keberadaan fisik (Eriyatno, 2003).

3.4.2 Pendekatan Sistem

Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui

pemahaman yang utuh sehingga diperlukan suatu kerangka pemikiran baru yang

dikenal dengan pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem

merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan identifikasi

terhadap sejumlah kebutuhan – kebutuhan sehingga dapat menghasilkan

operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2003). Sedangkan menurut Marimin dan

Elemen

Interaksi

Tujuan/Sub

Tujuan

Penyediaanbahan baku Perdagangan

Industripengolahan Konsumsi

33

Maghfiroh (2010), pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisa

organisatoris yang menggunakan ciri – ciri sistem sebagai titik tolak. Pendekatan

sistem dapat memberikan landasan pengertian yang luas mengenai faktor –

faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar pemahaman

penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Dalam pendekatan sistem terdapat 2 hal umum yaitu; (i) semua faktor

penting untuk mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan

(ii) pembuatan model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.

Pendekatan sistem terdiri delapan unsur agar dapat bekerja secara sempurna

yaitu: metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, tim multidisipliner,

pengorganisasian, disiplin untuk bidang non kuantitatif, teknik model matematika,

teknik simulasi, teknik optimasi, dan aplikasi komputer. Untuk menyelesaikan

masalah dengan menggunakan pendekatan sistem, harus melalui enam tahapan

yaitu analisa, rekayasa model, implementasi rancangan, serta implementasi dan

operasi sistem. Sedangkan metodologi sistem terdiri dari enam tahap analisa

yang meliputi analisa kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah,

pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik, serta

penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan.

Sedangkan menurut McLeod and Schell (2008), pendekatan sistem terdiri

dari 3 tahap yaitu persiapan, definisi dan solusi. Tahap persiapan meliputi melihat

objek sebagai suatu sistem, pengenalan lingkungan sistem dan

pengidentifikasian subsistem dari objek. Tahap pendefinisian terdiri dari 2

langkah yaitu meneruskan bentuk sistem menjadi subsistem dan menganalisis

bagian – bagian dari sistem secara berurutan. Tahap solusi terdiri dari

pengidentifikasian alternatif solusi, evaluasi, memilih solusi terbaik, implementasi

dan menindaklanjuti untuk memastikan bahwa solusi tersebut efektif. Ketika

pendekatan sistem diaplikasikan menjadi pengembangan sistem, akan

menghasilkan system development life cycle (SDLC) seperti yang disajikan pada

Gambar 10. Dalam model SDLC seperti yang disajikan pada Gambar 10,

masalah didefinisikan pada tahap perencanaan dan analisis. Alternatif solusi

diidentifikasi dan dievaluasi pada tahap desain. Kemudian, solusi terbaik

diimplementasikan dan digunakan. Pada tahap penggunaan, dilakukan

pengumpulan umpan balik untuk melihat seberapa baik sistem dalam

menyelesaikan masalah.

34

Gamba(Sum

Pendekatan sistem d

lama semakin kompleks,

berbagai komponen dalam

ini sangat penting untuk m

berguna sebagai cara b

pendekatan sistem menim

sikap kritis dan kemampu

(Marimin dan Maghfiroh, 20

3.4.3 Pendekatan Dinami

Dinamika sistem meru

suatu sistem dapat diper

perubahan (guncangan) d

berhubungan dengan perila

tujuan memahami dan men

mengenai perilaku sistem

serta kebijakan pengontrola

dengan menggunakan mod

System Dynamic Society

Im

5. TahapPengguna

bar 10 Pola siklus system life cycle.umber: McLeod and Schell, 2008)

diperlukan karena persoalan yang dihadap

ks, dinamis dan probabilistik sehingga interde

m mencapai tujuan sistem semakin rumit. Pe

menonjolkan tujuan yang hendak dicapai da

berpikir dalam suatu kerangka analisa.

imbulkan kompleksitas analisa sehingga men

puan diagnostik setiap permasalahan yang

2010).

mika Sistem

erupakan suatu metode untuk mempelajari sej

pertahankan atau memperoleh manfaat dar

dari dunia luar. Dengan demikian, dinamik

rilaku suatu sistem yang berubah menurut wakt

enjelaskan bagaimana umpan balik (feedback)

m tersebut, mendesain struktur umpan balik

olan yang tepat melalui simulasi dan optimalisa

odel kuantitatif dan kualitatif (Coyle, 1995). S

ciety (2011) menyebutkan bahwa dinamik

1. TahapPerencanaan

2. TahapAnalisis

3. TahapPerancangan

4. TahapImplementasi

apnaan

api semakin

rdependensi

Pendekatan

dan sangat

sa. Namun,

enghendaki

ng dihadapi

sejauh mana

dari adanya

mika sistem

aktu dengan

ck) informasi

lik informasi

lisasi sistem

. Sedangkan

ika sistem

35

merupakan sebuah pendekatan dengan bantuan komputer untuk menganalisis

dan mendesain sebuah kebijakan yang ditandai dengan adanya saling

ketergantungan, saling interaksi, umpan balik informasi, dan lingkaran hubungan

sebab akibat. Pendekatan ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang

dinamis yang timbul dalam sistem sosial, manajerial, ekonomi, ekologi, dan lain –

lain.

Sedangkan Sterman (2000) menyebutkan bahwa dinamika sistem

merupakan metode yang sangat kuat untuk mendapat informasi yang berguna

mengenai kompleksitas yang dinamis dan resistensi kebijakan. Kompleksitas

yang dinamis timbul karena sistem bersifat:

1. Dinamis. Perubahan dalam sistem terjadi pada skala yang banyak dan

skala yang berbeda – beda tersebut kadang – kadang berinteraksi.

2. Tightly coupled. Pelaku dalam sistem berinteraksi kuat satu sama lain dan

dengan lingkungannya.

3. Diatur oleh umpan balik (governed by feedback). Keputusan yang

menghasilkan perubahan menyebabkan perubahan sifat dan memicu

yang lain untuk bertindak, sehingga menimbulkan situasi baru yang akan

berpengaruh pada keputusan berikutnya.

4. Nonlinear. Dampak dari sesuatu jarang proporsional dengan

penyebabnya dan apa yang terjadi secara lokal dalam suatu sistem

sering tidak berlaku di daerah yang jauh. Non linearity sering meningkat

dari fisik dasar sistem dan juga banyaknya faktor yang berintegrasi dalam

pengambilan keputusan.

5. History – dependent. Ketergantungan terhadap satu jalur tertentu.

6. Self – organizing. Kedinamisan suatu sistem sering meningkat secara

spontan dari struktur internalnya.

7. Adaptive. Kapabilitas dan aturan – aturan keputusan dalam sistem yang

kompleks berubah setiap saat. Adaptasi juga terjadi sebagai proses

belajar dari pengalaman khususnya yang dipelajari dari cara baru untuk

mencapai tujuan dan menghadapi kendala.

8. Counterintuitive. Pada sistem yang kompleks, sebab dan akibat jauh

dalam ruang dan waktu, namun kita cenderung berusaha menjelaskannya

dengan mencari penyebab yang sedekat mungkin.

36

9. Policy resistant. Dalam sistem yang kompleks dimana kita memiliki

kemampuan untuk memahaminya, sepertinya banyak solusi yang jelas

untuk suatu masalah atau sebenarnya hanya memperburuk situasi.

10. Characterized by trade off.

Gambar 11 Pola umum perilaku dinamika sistem.(Sumber: Sterman, 2000)

Garcia (2006) menyebutkan bahwa tujuan dasar dari pendekatan dinamika

sistem adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai penyebab struktural

dari perilaku sistem. Untuk itu, pengetahuan mengenai peran dari setiap elemen

dari sistem sangat penting untuk menilai bagaimana tindakan yang berbeda dari

setiap elemen tersebut mempengaruhi kecenderungan perilaku sistem. Sterman

(2000) dan Kirkwood (1998) menyebutkan bahwa bentuk perilaku dasar dari

dinamika sistem adalah exponential growth, goal seeking, dan oscillation.

Masing-masing bentuk tersebut dari struktur umpan balik yang sederhana

dimana growth diperoleh dari umpan balik yang positif, goal seeking dari umpan

balik negative dan oscillation dari umpan balik negatif dengan delay waktu.

Bentuk perilaku seperti S-Shaped growth, S-shaped growth with overshoot and

oscillation, dan overshoot and collapse terbentuk dari inteksi nonlinier dari

struktur umpan balik dasar (Gambar 11).

Umpan balik yang membentuk pola perilaku dari setiap model

dinamika sistem merupakan salah satu inti dari konsep dinamika sistem

(Sterman, 2000). Untuk merepresentasikan struktur umpan balik dari suatu

sistem, causal loop diagram merupakan alat yang sangat penting. Diagram ini

37

sangat penting untuk: (i) menggambarkan secara cepat hipotesis penyebab

dinamika dalam sistem; (ii) memperoleh mental model; dan (iii)

mengkomunikasikan umpan balik yang penting dan dipercaya bertanggung

jawab terhadap permasalahan. Dalam causal loop diagram, setiap variabel

dihubungkan dengan hubungan sebab akibat (causal link) baik positif maupun

negatif (Tabel 2).

Tabel 2 Pengertian causal link

Simbol Interpretasi Rumus Matematis Contoh

X YJika X meningkat(menurun), makaY meningkat(menurun)

> 0

= ( +Ÿ) +

Luas areal

Produksi bijikakao

X Y

Jika X meningkat(menurun), makaY menurun(meningkat)

< 0

= (" +Ÿ) +

Harga biji kakao

Permintaan bijikakao oleh

industriSumber: (Sterman, 2000)

3.5. Pembangunan Model Dinamika Sistem

Model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan

hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan

sebab akibat (Eriyatno, 2003). Sterman (2000) menyebutkan bahwa untuk

membangun model yang baik harus mengikuti proses yang terdiri dari: (1)

mengartikulasikan masalah yang harus diselesaikan; (2) formulasi “dynamic

hypotesis” atau teori tentang penyebab masalah; (3) formulasi model simulasi

untuk menguji dynamic hypotesis; (4) menguji model hingga sesuai dengan

tujuan; dan (5) merancang dan mengevaluasi kebijakan untuk perbaikan. Proses

tersebut merupakan langkah yang berulang (iteratif).

Secara umum, tahapan analisis dalam membangun model dengan

menggunakan dinamika sistem meliputi: (a) identifikasi masalah; (b)

merumuskan hipotesis dinamika sistem; (c) menyusun hubungan sebab akibat

yang kontinu atau interface diagram; (d) membangun model simulasi; (e)

+

-

+

-

38

melakukan pengujian model apakah dapat diterapkan di dunia nyata. Sterman

(2000) mengingatkan beberapa prinsip untuk mengembangkan dan

mengimplementasikan model dinamika sistem yaitu: (a) model dikembangkan

untuk menyelesaikan masalah yang ada, bukan untuk memodelkan sistem; (b)

pemodelan harus terintegrasi sejak awal; (c) bersikap skeptis terhadap nilai

pemodelan sejak proyek dimulai; (d) dinamika sistem tidak dapat berdiri sendiri

sehingga perlu menggunakan alat dan metode lainnya yang sesuai; (e) fokus

pada pengimplementasian model sejak awal; (f) pemodelan yang terbaik

merupakan proses penyelidikan bersama yang dilakukan berulang – ulang; (g)

hindari pemodelan “black box”; (h) validasi merupakan proses yang kontinu

dalam menguji dan membangun kepercayaan terhadap model; (i) dapatkan

model awal yang bekerja secepat mungkin dengan hanya menggunakan rincian

yang diperlukan; (j) batasan model yang luas lebih penting daripada banyak

detail; (k) gunakan pemodel yang ahli; dan (l) implementasi model bukanlah akhir

dari pekerjaan.