Upload
imam-m-riduan
View
274
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
karya tulis yang memberikan diskripsi tentang bagaimana sebuah sekolah tradisional Islam merumuskan karya fiqh (hukum Islam) yang progressive. dalam tulisan ini anda juga bisa membaca tentang bagaimana kehidupan pesantren.
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Diskusi tentang konflik adalah diskusi tentang problem global yang dihadapi
oleh hampir setiap orang di dunia ini. Sejak sepuluh tahun terahir abad ke-21 konflik
telah terjadi di banyak belahan dunia. Kosovo, Chechnya, Israel, Kashmir, Sri Lanka
dan Indonesia adalah contoh yang sangat jelas.1 Konflik terjadi dengan bermacam-
macam motifasi dan penyebab. Konflik bisa terjadi karena politik, ekonomi bahkan
agama bisa menjadi benih terjadinya konflik. Agama menjadi sumber konflik yang
sangat potensial karena agama memiliki justifikasi ilâhiyyah (transendental) yang
bisa dipolitisir dan dijadikan inspirasi terhadap tindakan kekerasan. Beberapa contoh
kasus seperti tragedi Januari di Lombok yang banyak makan korban juga diawali dari
kepulangan Umat Islam dari sebuah acara keagamaan. Pagi itu, tanggal 13 Januari
2000 adalah awal berkumpulnya massa ketika digelar aksi sejuta umat untuk
solidaritas kaum Muslim di Maluku. Tanpa alasan yang jelas, sebagian orang yang
berasal dari rombongan jamaah dan pengunjung aksi sejuta ummat melakukan
penyerangan dan pengerusakan gedung-gedung milik lembaga kristen.2 Hal serupa
juga terjadi dalam kasus Situbondo. Konflik yang terjadi di Situbondo pada tanggal
10 Oktober 1996 yang kemudian dikenal dengan tragedy 10-10. Pembakaran puluhan 1 Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, Konflik & Kekerasan, (Yogyakarta: Lesfi,
2002), hal. 53.2 Hamdan dan Bayu, Meretas Jalan Perdamaian Membangun Kemanusiaan: Konflik Sosial
di Mataram NTB, Konflik Akar Rumput di Pati dan Revitalisasi Budaya Adat Alor Timur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 13.
1
gereja dan sekolah Kristen oleh massa beringas itu bermula dari kasus Saleh (seorang
pengurus takmir masjid yang beragama Islam) yang dituduh telah melakukan
pelecehan atas KH. Asad Syamsul Arifin dan agama Islam. Massa yang tidak puas
dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Saleh menjadi brutal dan melakukan
perusakan gedung pengadilan. Aksi ini berlanjut hingga pada pengrusakan gereja dan
beberapa lembaga-lembaga lain di bawah yayasan Kristen.3 Menanggapi masalah ini,
sebagian intelektual Muslim menganggap bahwa agama adalah faktor yang dominan
terhadap terjadinya konflik. Mas’udi mengangap agama sebagai faktor yang primer
atau sekunder dalam terjadinya konflik.4 Zakiyuddin Baidhawy memiliki argumen
yang hampir sama dengan Mas’udi, tetapi Baidhawy menyadari bahwa dalam teori-
teori besar tentang konflik, agama menduduki posisi yang krusial.5
Berbeda dengan Mas’udi dan Baidhawy, Sirri optimis bahwa agama adalah
faktor yang dominan dalam terjadinya konflik. Sirri mengatakan, konflik yang
berbasis agama telah terjadi di Indonesia sebelum kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan. Pada masa penjajahan Belanda, konflik berbasis agama terjadi
antara masyarakat Muslim dan Kristen karena relasi antara para missionaris dengan
pemerintah kolonial Belanda.6 Pemerintah kolonial Belanda dianggap memberikan
perlakuan khusus kepada missionaris Kristen. Mengetahui relasi khusus itu,
3 Hariyanto. (ed), Melangkah dari Reruntuhan Tragedi Situbondo (Jakarta: Penerbit PT Grasindo, 1998), hal. 13.
4 Masdar Farid Mas’udi, Agama dan Konflik Sosial in Islam Pribumi in M. Imdadun Rahmad (et al), Islam Pribumi, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 136.
5 Zakiyuddin Baidhawy, Op Cit, hal. 53-59.6 Mun’im A. Sirry, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina and The Asia Foundation,
2004), hal. 203.
2
komunitas Muslim seakan menemukan inspirasi perlawanan terhadap penjajah.
Terma jihad kemudian dipilih para pemuka Islam untuk membangkitkan semangat
perang melawan kaum penjajah. Terma Jihad dipilih kerena jihad adalah sebagian
dari ibadah yang menjadi kewajiban seluruh umat Islam yang sudah sangat jelas
pensyariatannya di dalam al-Qur’an. Kata jihad ini diyakini akan menjadi bahasa
pemersatu yang akan mempersatukan dan membangkitkan semangat perlawanan.
Dengan kata jihad masyarakat muslim Indonesia membangun semangat juangnya
untuk menyerang penjajah Belanda yang dianggap sebagai kelompok kafir yang
harus diperangi. Alqur’an menyebutkan bahwa membunuh orang kafir adalah sebuah
kewajiban bagi seorang Muslim di manapun ia berada, kewajiban atas perang
terhadap orang-orang kafir itu akan terus disyari’atkan sampai tidak ada fitnah dan
ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain sampai di muka bumi tidak ada agama
lain kecuali Islam.7 Konflik antara kedua agama ini juga terjadi karena kecurigaan
orang-orang Islam terhadap tindakan kristenisasi yang dilakukan oleh missionaris
Kristen. Kecurigaan itu semakin menguat ketika tanggal 30 Nopember 1967,
7 Al-Qur’an Surat al-Baqarah, 193. Bunyi teks diatas adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya Surat al-Baqarah, 190 yang menyebutkan bahwa Muslim diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi orang Islam, dan tidak boleh melampaui batas karena Allah tidak menyikai orang-orang yang melampaui batas. Jika dibaca secara tuntas dan dengan pemahaman yang dalam sebenarnya sifat perintah perang dalam Islam tidak bersifat menyerang akan tetapi bertahan dan melakukan perlawanan. Ayat ayat senada juga bisa ditemukan dalam surat yang lain seperti at-taubah ayat 5. penafsiran terhadap ayat ini memang sangat beragam. Sebagian menganggap bahwa perintah perang berlaku untuk semua orang Islam dalam kondisi apapun karena perintah dalam al-qur’an itu menggunakan fi’il amr (perintah tegas) dan diikuti dengan ghayah (batasan) sampai tidak adanya fitnah dan satunya agama dibumi ini. Ayat ini memang sangat kuat tetapi pendapat lain memberi tafsair atas perintah perang yang tidak harus bersenjata dan kekerasan serta penyerangan kepada pihak lain harus dengan motifasi defensif . Lihat al-Jihad fi al- Islâm, hal. 94. Al-Manawiy, Fath al-Qodir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz 5, hal. 202. Muhammad Syaţa al-Dimyaţiy, I’ânah al-Ţalibţn, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) Juz. 4 , hal. 206. kendatipun demikian sebagian kelompok Islam menggunakan penggalan ayat diatas untuk pembenaran tindakan kekerasan.
3
kelompok perwakilan agama Kristen tidak menyetujui ide pemerintah tentang
larangan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. Sampai pada
tingkatan tertentu, konflik tidak hanya terjadi pada tataran ide dan argumentasi, tetapi
lebih dari itu, konflik juga mengarah pada tindakan fisik.8
Problema konflik berbasis agama dalam Islam terjadi karena formalisasi
hukum Islam atau karena pemahaman teks yang dibakukan dalam kodifikasi hukum
Islam yang anti terhadap dialog.9 Pemahaman terhadap teks yang anti dialog ini akan
terus menginspirasi umat Islam untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan
terhadap kelompok yang memiliki pemahaman dan tradisi keagamaan yang berbeda.
Karena kuatnya dorongan penafsiran atas teks anti dialog untuk melakukan tindakan
kekerasan terhadap ”yang berbeda” sehingga tindakan itu akan sangat sulit untuk
diurai dan diselesaikan.
Dengan alasan itu maka reformulasi terhadap pemahaman teks dan ijtihâd
baru untuk terciptanya sebuah produk fiqh yang dialogis mutlak diperlukan untuk
sebuah penyelesaian konflik. Proses pemahaman terhadap teks telah lama mengalami
kebuntuan. Sejak ditulisnya kitab-kitab berbahasa Arab pada abad pertengahan.
Kerja-kerja ijtihâd untuk kembali menafsir teks mengalami stagnasi yang cukup lama
bahkan ada pengharaman terhadap ijtihâd baru. Pengembangan terhadap hukum
Islam lebih banyak pada pengulangan-pengulangan karya lama yang mungkin sudah
8 Mun’im A. Sirry, op. cit, hal. 202.9 Memang ada beberapa pendapat yang menganggap bahwa agama bukan sumber konflik
tetapi agama dipolitisir sebagai pemicu konflik. Jika memang benar bahwa agama dalam persoalan konflik hanya menjadi alat tetapi setidaknya agama menjadi alat yang paling ampuh sebagai pemicu terjadinya konflik.
4
tidak sesuai lagi dengan konteks saat teks itu diaplikasikan. Persoalan interpretasi
terhadap teks ini berpengaruh besar terhadap prilaku masyarakat Muslim dalam
menghadapi kelompok lain. Sebuah produk hukum yang merupakan hasil interpretasi
dari teks menjadi sesuatu yang sangat disakralkan. Pada tingkatan tertentu bahkan
terkesan berposisi sejajar atau bahkan lebih dari al-Qur’an karena sosialisasi terhadap
isi al-Qur’an yang lebih minim dibandingkan sosialisasi dari produk tafsirs. Dalam
kasus Bahstul masail Nahdlatul Ulama’, para peserta yang tidak memiliki referensi
kitab kuning yang notebenenya adalah karya lama, akan sangat sulit bisa diterima
oleh peserta lain. Para peserta yang memiliki penafsiran yang brilian dan orisinil
walaupun secara metodologi bisa mempertanggungjawabkan tetapi tidak dilengkapi
dengan referensi kitab kuning hanya akan menuai kekecewaan karena penolakan
peserta yang lain atas pendapatnya. Mereka yang mengandalkan kemampuan pribadi
dan kekuatan motodologi hanya akan dianggap sebagai orang yang sombong atau
tidak tawaddu’ dan tidak mengakui keulama’an para pemikir tradisional. Kondisi ini
sangat dipengaruhi oleh pola hubungan yang terjalin antara ulama’ dan masyarakat di
Indonesia. Ulama’ memiliki dominasi yang sangat kuat tidak hanya dalam tradisi
masyarakat Islam tetapi juga pada tradisi agama-agama laindi Indonesia.
Proses kegiatan memahami kitab suci sampai pada perumusan sikap dan
pandangan hidup sehari-hari adalah area fiqh. Sehingga fiqh menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam masyarakat Indonesia bahkan terkadang tampak lebih penting
5
dibandingkan Syari’ah itu sendiri.10 Kecenderungan menguatnya orientasi fiqh ini
sebenarnya tidak muncul dari kedatangan Islam pertama tetapi muncul setelah adanya
proses yang sangat panjang. Selain karena perang paderi yang membawa paham
wahabi yang dikembangkan di Timur Tengah,11 juga karena gerakan-gerakan
reformasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah atau al-
Irsyad yang mengembangkan missi purifikasi. Selain dari kelompok reformis,
orientasi fiqh ini juga dibangun oleh kelompok tradisional seperti yang tampak pada
gerakan tarekat naqsabandiyah yang memadukan laku-laku tarekat dengan syariat
yang dalam hal ini fiqh.12
Gerakan pembaharuan Islam berbasis fiqh memang tergolong masih sangat
belia jika dibandingkan dengan gerakan yang berbasis teologis. Fakta ini bisa dilihat
dari karya-karya para pembaharu Islam Indonesia yang terbit pada tahun 1980an
sampai awal tahun 1990an. saat itu hampir semua pembaharu Islam Indonesia
memiliki trade marknya sendiri-sendiri dan tidak satupun yang memiliki trade-mark
fiqh.13 Sebut saja sebagai contoh adalah Nurholish Madjid dengan skularisasi Islam.14
10 Perbedaan yang jelas antara fiqh dan Syariah adalah pada produser keduanya. Syari’ah adalah tuntunan hidup yang diciptakan oleh Allah. Dan fiqh adalah formulasi dan Syariah. Walaupun fiqh dilegitimasi oleh teks suci, tetapi fiqh adalah hasil dari penggalian hukum yang dilakukan oleh manusia. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Rofiq, Fiqh kontekstual dari Naratif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 3. Lihat juga A Qodri Azizi, Eklektisme Hukum Nasional kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 92-93.
11 Perang Paderi terjadi pada 1821-1837. Perang ini awalnya perang pembaruan kehidupan keagamaan, kemudian berubah menjadi perang perlawanan masyarakat Minang terhadap penjajah Belanda. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid 4, hal. 66.
12 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 112.
13 Marzuki Wahid, Post-Tradisionalisme Islma: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia, Tashwirul Afkar, Edusi No. 10 (Jakarta: LAKPESDAM NU dan TAF, 2001), hal 10
14 Baca Nurholish Madjid, Islam, Kemoderenan, dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993
6
Domininasi fiqh yang anti-dialog di Indonesia ini yang mungkin membuat banyak
penggerak dialog agama bergerak dengan prespektif non fiqhi. Sebelum tahun 1990an
Indonesia memang sangat diwarnai oleh gerakan non-fiqhi termasuk gerakan dialog
agama. Gerakan dialog antar agama yang diprakarsai oleh orang-orang Islam banyak
yang mengedepankan pemahaman terhadap hakekat beragama yang dalam istilah
dialog agama sering disebut dialog spiritual, dialog yang mengedepankan nilai
esoterik agama15 dan bukan pada ajaran praktik keagamaan. Seperti apa yang pernah
digagas oleh Nurcholis Madjid dengan istilah Kalîmah sawâ’. Kalîmah sawâ’ adalah
bahasa yang dipakai untuk mempertemukan agama-agama dengan mencari
persamaan pandangan dalam hal-hal tertentu yang ada dalam agama tertentu.16 Fiqh
dianggap sebagai sesuatu yang kaku dan justru menjadi bumerang terhadap dialog
antar agama. Dalam memandang fiqh, Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka fiqh adalah nafas hidup orang Islam
di Indonesia yang memiliki potensi besar terhadap pengembangan dialog antar
agama. Selain fiqh sebagai mainstream Islam Indonesia fiqh dengan uşûl dan
qawâ’idnya juga menyediakan seperangkat metode perumusan yang bisa
dipertanggungjawabkan di depan publik Islam. Hal ini sangat berbeda dengan ilmu
keislaman lain seperti ilmu kalam (teologi) atau ilmu tasawuf (mistik) yang
perumusan metodologinya belum selengkap dan sesistematis fiqh.
15 Paul F. Knitter, Introducing Theologies of Religion, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 2002), hal. 19.
16 Nurcholish Madjid, Islam,Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 7-8.
7
Optimisme Ma'had Aly terhadap fiqh yang telah dibuktikan oleh beberapa
publikasi dan statemen-statemennya inilah yang bagi penulis sangat menarik untuk
dikaji lebih dalam. Kerena apa yang dilakukan Ma'had Aly dengan fiqh dialognya
bagi penulis merupakan suatu hal yang baru baik dalam kajian keislaman maupun
kajian dialog antar agama. Hal lain yang juga menarik adalah karena Ma'had Aly
termasuk pesantren yang memiliki konsentrasi yang langka di Indonesia karena dari
8000 pesantren yang tergabung dalam Rabiţah Ma'âhid al-Islâm, Ma'had Aly
Sukorejo Situbondo yang diakui paling eksis dalam kegiatannya. Sangat jarang
pesantren yang mampu menyelenggarakan pendidikan Ma’had Aly bisa bertahan
dengan standar kelayakan yang sesuai dengan standar Rabiţah Ma'âhid al-Islâm.
Rabiţah Ma'âhid al-Islâm telah mematok standar yang sangat berat yang
membutuhkan ketelatenan dan keuletan para pengelola. Banyak pesantren yang
memiliki sumberdaya yang cukup untuk megelolola Ma’had Aly tetapi karena
kurangnya dukungan infrastruktur sehingga Ma’had Aly itu tutup atau menurunkan
standarnya.
B. Pertanyaan Penelitian
Fiqh sebagai sebuah studi baru dalam wacana dialog agama menjadi sesuatu
yang fenomenal karena keberadaannya yang sangat dekat dengan masyarakat Islam
Indonesia. Dari asumsi itu kemudian munculah gagasan baru untuk menjadikan fiqh
sebagai sebuah metode baru dalam pembangunan dialog antar agama di Indonesia.
Pertanyaan yang paling mendasar yang hendak digali dari tulisan ini adalah apakah
8
fiqh bisa menjadi sebuah alternatif metode pengembangan dialog agama serta
bagaima cara kerja fiqh dalam mendukung gerakan dialog antar agama. Pertanyaan
lain yang juga akan dijawab dalam tulisan ini adalah tentang dinamika Ma’had Aly
dan strategi gerakannya sebagai lembaga kader ahli fiqh yang konsen dalam
pengembangan dialog antar agama. Untuk mempermudah pembahasa penulis akan
membagi pertanyaan-pertanyaan tersebut kedalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keberadaan Ma'had Aly dalam perkembangan wacana
fiqh di Indonesia?
2. Bagamanakah Ma'had Aly membuat dan mensosialisasikan fiqh
dialogis?
3. Bagaimanakah respons masyarakat terhadap fiqh dialogis yang
dirumuskan oleh Ma'had Aly?
4. Mengapa Ma'had Aly menggunakan pendekatan fiqh sebagai upaya
dialog antar agama?
C. Tujuan Penelitian
Penjelasan atas beberapa rumusan permasalahan di atas diharapkan bisa
memberikan manfaat baik untuk kepentingan akademik maupun kepentingan praksis.
Dalam hal akademik, penelitian ini akan berguna sebagai basis data untuk
kepentingan penelitian selanjutnya atau kepentingan akademik lain dan secara praksis
9
penelitian ini akan berguna sebagai rujukan bagi pelaksanaan kerja-kerja dialog antar
agama. Secara rinci tujuan penelitian ini dapat disebutkan sebagia berikut.
1. Dalam wacana dialog antar agama, penelitian ini akan memberikan sebuah
model baru di mana fiqh akan menjadi mainstream.
2. Dalam kajian Islam, penelitian ini akan menghadirkan sebuah metode baru
dalam penetapan hukum Islam, istimbâť al-ahkâm, yang progresif yang
menjadikan unsur dialog sebagai salah satu pertimbangan utamanya.
3. Penelitian ini juga akan sangat berguna sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan dialog antar
agama.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai sebuah lembaga pendidikan alternatif, Ma'had Aly Sukorejo telah
beberapa kali dikaji oleh para peneliti. Di antara peneliti yang telah mengkaji Ma'had
Aly adalah Abdurrahman (2004). Dalam penelitian ini difokuskan pada model
pengembangan Ma'had Aly yang dibandingkan dengan beberapa Ma’had Aly lain di
Indoneisa. Dari hasil penelitiannya Abdurrahman membuat kategori-kategori Ma’had
Aly di indonesia berdasarkan model pengembangannya. Ma’had Aly digolongkan
menjadi tiga model yaitu traditional, modern-plus dan life-skill. Ma'had Aly
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dalam penelitian ini dimasukkan dalam model yang ke
dua yaitu modern-plus. Tipe itu dipilih untuk disandangkan kepada Ma'had Aly
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo karena penggabungan modern dan tradisional dalam
penyelenggaraannya. Menurut Abdurrahman sifat tradisionalnya tampak pada pola
pengembangan tradisi keilmuan pesantren yang masih tetap dengan ciri khas
10
pengkajian kitab kuning khususnya kitab-kitab maźhab Syafi’i dan modernnya
tampak pada sistem pendidikan formal yang berjenjang.17
Memasukkan Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dalam model
modern-plus menurut penulis sangat tidak relevan karena disamping klaim pesantren
sendiri yang menganggap Ma'had Aly sebagai pesantren salaf tetapi juga nuansa salaf
memang muncul sebagai ruh dan modern muncul kemudian sebagai pelengkap.
Seperti halnya yang dituliskan oleh Abdurrahman bahwa ciri khas salaf terletak pada
materi-materi pengajiannya sedangkan karakter moderen dicerminkan dari sistem
pendidikan yang dipakai. Dari gambaran ini jelas wahwa sifat tradisional adalah
sesuatu yang primer dan modern lebih pada strategi taktis sistem pengajaran.
Penelitian lain dilakukan oleh Ismail (2003). Dalam penelitinnya Muqit
mengupas tentang peranan Ma'had Aly dalam peningkatan intelektualitas santri.18
Walaupun Ma’had Aly terkenal dengan pengembangan fiqhnya tetapi penelitian yang
dilakukan oleh Ismail sama-sekali tidak membahas tentang strategi pengem bangan
fiqh atau karakter fiqh yang dikembangkan Ma’had Aly. Selain yang dilakukan oleh
Abdurrahman dan Ismail masih ada beberapa penelitian lain tentang Ma’had Aly
Situbondo, tetapi sayang sekali penulis tidak mendapatkan data tentang itu karena
hasil penelitian tidak tersedia di perpustakaan dan sulit untuk didapatkan. Walaupun
penulis tidak mendapatkan data yang lengkap tentang hasil penelitian ini, penulis
17 Dudung Abdurrahman, M.Hum, Laporan Penelitian Kompetetif PTAI Tahun Anggaran 2003. Model Pengembangan Ma'had Aly: Studi Kasus Beberapa Pesantren di Jawa, (Yogyakarta IAIN Sunan Kalijaga, 2004), hal. 138-139.
18 Abd. Muqit Ismail, Peran Ma’had Aly Li Qism Al-Fiqh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah dalam Peningkatan Intelektual Santri, (Tesis Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, 2003), hal. 4.
11
mendapat penjelasan dari petugas perpustakaan dan staff di Ma’had Aly Situbondo
bahwa penelitian yang terfokos pada pengembangan fiqh di pesantren ini belum ada.
Topik fiqh lintas agama pernah ditulis oleh tim Paramadina dalam buku
yang disunting, sirri (2004). Buku itu memang ditulis dengan judul dan pengantar
yang berperspektif fiqh akan tetapi isi dari buku itu tidak menggali lebih dalam pada
persoalan fiqh yang mengarah pada hukum Islam. Kalau buku itu dianggap sebagai
buku fiqh maka itu masuk pada fiqh dalam arti luas yang berarti ilmu keislaman dan
sangat berbeda dengan apa yang menjadi obyek kajian pada tulisan ini. Fiqh lintas
agama, selain tidak definisi yang jelas tengang fiqh lintas agama juga tidak
memberikan keteria khusus untuk pengembangan fiqh yang mengatur tentang
hubungan lintas agama. Dari hasil pembacaan yang dilakukan oleh peneulis maka
penulis bisa yakinkan bahwa belum pernah ada penelitian yang sama seperti yang
dilakukan oleh penulis.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam penyelesaian tesis ini penulis mengasumsikan bahwa fiqh memiliki
potensi terhadap terjadinya konflik yang berbasis agama. Selain itu pada saat yang
sama fiqh juga memiliki potensi untuk dijadikan alternatif metode dalam
penyelesaian konflik angama. Asumsi ini dibangun karena baik sebagai sebuah
disiplin keislaman maupun sebagai sebuah produk hukum, fiqh memiliki perbedaan
yang sangat kuat dengan disiplin keislaman atau produk hukum yang lain. Fiqh
memiliki legitimasi sosial yang berganda. Disamping karena dominannya fiqh
12
orientasi beragama masyarakat Indonesia yang memang merupakan bagian dari
obyek kajiannya, sebagai turunan dari al-Qur’an dan Sunnah,19 fiqh memiliki
legitimasi wahyu. Selain kekuatan berganda yang dimilikinya, fiqh juga memiliki
ambiguitas yang tanpa disadari oleh penganutnya berpotensi sangat membahayakan
bagi para penganutnya sendiri. Fiqh diciptakan untuk mematerialkan ide Tuhan yang
berupa Syar’iat yang begitu besar dan nyaris tidak bisa disentuh oleh manusia biasa.
Sebagai upaya untuk mendekatkan syari’at dalam kehidupan sehari-hari maka Tuhan
memberi keluasan hambanya untuk menerjemahkan ide-ideNya dengan seperangkat
ilmu dan aturan yang telah ditetapkannya juga.
Dari sekian banyak materi baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun
sunnah itu kemudian para ahli fiqh berusaha menurunkan merumuskan dalam bahasa
praksis atau aturan-aturan yang lebih mudah untuk dipahami dan diaplikasikan.
Ijtihâd para ahli fiqh ini dipercaya sebagai formulasi syariat yang baku, aplikatif dan
bersifat sakral karena sifat kewahyuan yang menjadi materinya. Kepercayaan atas
hasil ijtihâd itu terus menerus menjadi pegangan umat Islam hingga muncullah
maźhab- maźhab dalam fiqh. Fiqh dibangun oleh para ahli sesuai dengan konteks dan
kepentingan yang melingkupi pribadi dan komunitas sang ulama’. Hal itulah yang
kemudian membuahkan perbedaan Maźhab.20 Sebelum terbentuknya Maźhab-
19 Wahbah al-Zuhaili, op. cit. hal. 29.20 Contoh yang paling jelas adalah adanya qaul qodim (pendapat lama Imam Syafi’i ketika
di Baghdad) dan qaul jadîd (pendapat baru Imam Syafi’i ketika di Mesir). Dalam kasus ini Imam Syafi’i merubah beberapa produk hukumnya karena Imam Syafi’i berpindah tempat. Dalam artian, setting sosial yang dihadapi oleh Imam syafi’I saat berinteraksi dengan kebudayaan dan adat Mesir, menuntutnya harus mengadakan pengamatan lebih jeli. Tak heran bila ada revisi hukum yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.
13
Maźhab yang merujuk kepada ulama’ fiqh, Maźhab merujuk pada lokal-lokal tertentu
seperti Maźhab Iraq, Maźhab Mesir, dan Maźhab Hijaz atau kota lain yang dihuni
oleh para ahli fiqh. Kepercayaan atas fiqh ini seakan-akan menegasikan kepentingan
dan segala persoalan pribadi ulama’ yang masuk melebur dalam sebuah karya fiqh.
Dengan begitu sangat mungkin dalam sebuah produk hukum Islam yang disakralkan
itu ada tarik menarik kuat antara maksud pensyari’atan (maqâşid al-Syar’i) dan
kepentingan ulama’ sebagai produsernya. Disinilah kerawanan fiqh sebagai sumber
kekerasan terkandung.
Tentang potensi fiqh yang bisa berfungsi sebagai pemicu konflik dan
sekaligus menjadi alternatif media pemecahan konflik telah diungkapkan diatas.
Salah satu dari alternatif pemecahan konflik yang sangan memungkinkan untuk
dilakukan dengan inspirasi fiqh adalah dialog antar agama. walaupun begitu
sepanjang pencarian penulis, penulis belum pernah menemukan satu teori yang utuh
yang bisa membingkai sebuah penelitian dialog dan fiqh menjadi satu yang bisa
dianggap sebagai fiqh dialogis. Oleh karena itu dalam menulis tesis ini penulis
menggunakan dua teori, dialog dan fiqh yang kemudian digabungkan menjadi satu
kerangka kerja bersama.
Pertama penulis akan menggunakan kerangka teori fiqh baru Sahal Mahfudz.
Teori Mahfudz ini dipakai karena Mahfudz telah sangat jelas memberikan fomulasi
dan bentuk sebuah produk fiqh baru yang sangat aplikatif untuk menilai produk fiqh
baru. Teori kedua yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori dialog yang
digunakan oleh Leonard Swidler (1990). Teori Swidler ini penulis pakai karena
14
beberapa alasan teknis yaitu, teori Swidler adalah teori dialog yang menurut penulis
paling mudah untuk dipahami. Alasan lain adalah karena teori ini memiliki kereteria-
kereteria detail yang memiliki kesamaan dengan diskursus fiqh yang juga detail
sehingga dipandang lebih aplikatif. Dengan alasan itu maka penulis menganggap
bahwa dalam sebuah penelitian fiqh teori ini yang paling bisa untuk diaplikasikan.
1. fiqh dan fiqh baru
Ada banyak sekali definisi fiqh yang dikemukakan oleh para ulama’. Definisi yang
sangat sederhana menurut Imam Abu Hanifah, tokoh mazhab mu’tabarah21 yang
paling tua, adalah ma’rifah al-nafs mâ lahu wa mâ ‘alaihi (pengetahuan sesorang
tentang hak dan kewajibannya).22 Definisi lain yang juga sangat populer di kalangan
para cendikiawan Indonesia adalah ‘ilm al-halâl wa al-harâm wa ‘ilm al-syarâi’ wa
al-ahkâm (pengetahuan tentang hal yang halal dan yang haram atau pengetahuan
tentang syari’at dan hukum).23 Menurut Ibnu Subki: al-’ilmu bi al-ahkâm al-syarâi’
al-‘amaliyyah al-muktasab min adillatiha al-tafşiliyyah (pengetahuan tentang hukum-
hukum syari’at yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terinci).24
Dari sekian banyak ragam definisi fiqh hampir semua sepakat bahwa unsur
wahyu dan peran manuasia tidak bisa lepas dari interfensi akal manusia. Peran
manusia memang sangat besar tetapi fiqh tidak pernah akan keluar dari wahyu karena
fiqh adalah formulasi dari syariat yang merupakan inti dari wahyu. Dalam konteks ini
manusia sebagai penerjemah dari ide-ide Tuhan untuk menjadi sebuah rumusan
21 Mu’tabarah adalah sebutan yang digunakan orang-orang Islam tradisional terhadap Maźhab atau aliran pemikiran yang mereka akui karena validitas metodologi dan dalil yang mereka pakai. Lawan dari Mu’tabarah ini adalah ghairu mu’tabarah.
22 Wahbah al-Zuhaili, Uşûl al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), I. hal. 19.23 Ibid24 Ibnu Subkiy, Jam’u al-Jawâmi’, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal, 42-43.
15
hukum yang aplikatif. Fiqh sering disalahpahami dan diidentikkan dengan Syariah.
Kesalahpahan banyak orang ini terlihat dari banyaknya kelompok yang mengklaim
diri mereka penegak syari’at Islam. Mereka yang mengatakan dirinya penegak
syari’at Islam biasanya memaparkan konsep-konsep syariat itu dengan pendekatan
fiqh yang notabenenya adalah formulasi syariat.
Persoalan-persoalan fiqh terus bermunculan seiring dengan perkembangan
zaman. Persoalan-persoalan baru yang muncul tentu saja tidak semuanya
pengulangan dari persoalan yang lama. Sebagian besar persoalan muncul dengan
jenis yang baru yang tidak bisa ditemukan dalam buku-buku fiqh lama. Hal itu
memunculkan kehawatiran akan adanya pertanyaan masyarakat yang tidak bisa
dipecahkan oleh para ulama’. Kehawatiran itulah yang kemudian menjadi salah satu
sebab kemunculan ide tentang fiqh baru yang digagas oleh Sahal Mahfudz. Menurut
Mahfudz Sebuah produk hukum Islam akan dianggap sebagai fiqh baru jika
memenuhi lima kriteria. Pertama, adanya reinterpretasi teks sebagai upaya
kontekstualisasi fiqh. Kedua, mengikuti Maźhab tertentu bukan pada produknya tetapi
mengikuti metode yang dikembangkan. Ketiga, membuat verifikasi yang mendasar
atas ajaran agama yang prinsip dan yang hanya merupakan cabang (Uşûl dan Furu’).
Keempat kode, bukan sebagai hukum positif dan kelima adalah mengenalkan
paradigma filosofis terutama pada persoalan-persoalan sosial dan budaya.25 Tentang
fiqh baru ini sebenarnya juga telah digagas oleh beberapa orang lain selain Mahfudz
seperti Masudi (1998) dengan fiqh perempuannya, Toyibah (1998) dengan fiqh
25 Salim and Amin in Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. viii.
16
uruhnya. Akan tetapi karya-karya fiqh baru itu ditulis untuk untuk merespon
persoalan-persoalan kontemporer dengan tanpa disertai pedoman penggalian hukum
seperti yang ditulis oleh Mahfudz.
2. Dialog dan ”Fiqh Dialogis”
Dialog adalah kata yang sangat akrab terdengar ditelinga banyak orang.
banyak sekali kalimat yang berkaitan tentang perbincangan dua arah disebut dan
dibahas dengan menggunakan kata dialog. Kata dialog dalam kehidupan sehari-hari
biasa dipahami sebagai kebalikan dari monolog yang dilakukan oleh satu pihak saja.
dengan begitu jelas bahwa dialog adah percakapan yang terjadi antara pihak satu dan
pihak lain dan terjadi dua arah. Leonard Swidler (1990) mendefinisikan dialog
sebagai berikut. Dialog adalah percakapan antara dua orang atau lebih yang memiliki
pandangan yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya dengan tujuan utama
adalah belajar dari yang lainnya untuk bisa berubah dan berkembang, seluruh
partisipan bermaksud untuk membagi pemahaman mereka. Yang terpenting dari
catatan Swidler adalah dialog bukan berdebat. Untuk tercapainya sebuah dialog yang
sehat dan memiliki hasil sesuai dengan tujuan awal dialog, Swidler mengajukan
syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Syarat yang diajukan Swidler adalah kemauan dan
kesiapan untuk mendengarkan yang lain sebagai yang lain. Prasyarat yang diajukan
Swidler ini sangat logis karena seringkali percakapan antara dua belah pihak yang
berbeda menjadi ajang untuk berdebat mempertahankan kehendaknya atau bahkan
bertujuan meyakinkan yang lain untuk mejadi bagian dari kelompoknya. Banyak
sekali orang yang mau mendengar orang lain tetapi bukan sebagai yang lain tetapi
17
sebagai orang yang sedang diyakinkan untuk menjadi bagian dari golongannya.
Proses percakapan yang tidak diiringi dengan kemauan kesiapan untuk mendengar
yang lain sebagai yang lain hanya akan menumbuhkan kebencian yang semakin
mendalam.26 Untuk terwujudnya sebuah dialog dibutuhkan sebuah aturan dasar.
Swidler menulis ada 10 aturan dasar dan 1 prakondisi esensial yang harus dilaluli.
Prakondisi itu adalah kemauan dan kesiapan untuk mendengarkan yang lain sebagai
“orang lain” yang berbeda agama, keyakinan. (a willingness and readiness to listen to
the other as other).27
Swidler menyebutkan ada sepuluh aturan dasar yang harus dipenuhi
dalam dialog sebagai berikut:
1. Tujuan utama dalam dialog adalah untuk belajar yang dengan itu orang
bisa berubah dan berkembang dalam persepsi dan pemahaman pada
realitas untuk kemudian bertindak atas dasar pemahamannya itu.
2. Dialog antar agama atau idiologi harus menjadi proyek bersama, dalam
komunitas agama atau idiologi masing-masing atau antara komunitas
agama atau idiologi.
3. Seluruh anggota dialog harus datang dengan segenap kejujuran dan
keiklasannya. Selain itu anggota juga harus yakin bahwa anggota lainnya
juga berlaku jujur dan iklas.
26 Swidler, Leonard, After the Absolute. The dialogical future of religious reflection, (Augsbrg: Fortress, 1990), hal. 3.
27 Ibid, hal 42.
18
4. Dalam dialog antar agama atau antar idiologi kita tidak boleh
membandingkan apa yang diidealkan oleh agama kita dengan praktek
yang dilakukan oleh penganut agama lain.
5. Seluruh peserta harus mendefinisikan diri mereka masing-masing dan
hanya dirinya sendiri yang bisa mendefinisikan dirinya.
6. Masing-masing anggota dialog harus datang dengan tanpa keyakinan yang
kuat terhadap asumsi tentang persoalan yang menjadi kesalahpahaman.
7. Dialog hanya bisa diselenggarakan dengan dua pihak yang setara.
8. Dialog hanya bisa terselenggara dengan basis kepercayaan bersama atau
saling percaya
9. Kita harus belajar setidak-tidaknya untuk kritis terhadap tradisi agama
atau idiologi kita masing-masing.
10. Pada ahir dialog seluruh peserta dialog harus mencoba untuk mengalami
agama atau idiologi patner dialognya dari dalam.
Dari pemaparan tentang fiqh, fiqh baru dan dialog diatas maka bisa diambil
pengertian bahwa fiqh dialogis adalah sebuah produk fiqh yang memiliki ciri-ciri
sebagai fiqh baru dan mengandung prinsip-prinsip dasar dialog secara bersama-sama.
Dengan kerangka teori diatas penulis akan melakukan analisa kegiatan-kegiatan
pengembangan fiqh di Ma’had Aly. Penulis akan menganalisa elemen-elemen yang
bisa dianggap sebagai bentuk fiqh baru dan elemen-elemen yang sesuwai dengan
konsep dasar dialog yang dielaborasi oleh Swidler. Analisa itu kemudian akan
19
menguji apakah aktifitas pengembangan fiqh di Ma’had Aly bisa dianggap sebagai
”fiqh dialogis” untuk kemudian mendapatkan jawaban dari pertanyaan dasar
penelitian ini yaitu fiqh bisa menjadi sebuah alternatif metode pengembangan dialog
antar agama serta bagaima cara kerja fiqh dalam mendukung gerakan dialog antar
agama.
F. Metode Penelitian
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilangsungkan di Desa Sukorejo Kecamatan Banyuputih
Kabupaten Situbondo. Penelitian ini di fokuskan pada pesantren Ma'had Aly
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo di kabupaten Situbondo serta beberapa wilayah yang
memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan pesantren Ma'had
Aly. Sehingga Penelitian ini juga dilakukan di luar kota Situbondo untuk
mendapatkan data tentang respon masyarakat terhadap pembentukan fiqh dialogis
yang diprakarsai oleh Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dipilih menjadi lokasi penelitian
karena beberapa alasan penting. Yang pertama adalah di pesantren ini telah
dilangsungkan pendidikan kader ahli fiqh yang tidak setiap pesantren memiliki
lembaga yang fokus pada bidang ini. Kedua, pesantren ini adalah termasuk Ma'had
Aly pertama yang dibangun di Indonesia yang berangkat dari dukungan dari beberapa
kyai dari beberapa pesantren. Ketiga, Ma'had Aly adalah lembaga yang menerbitkan
produk-pruduk hukum Islam yang dipandang sangat produktif. Pada bulan Maret
20
2003 sudah menerbitkan 200 eksemplar lembaran buletin hukum dan ratusan masalah
keagamaan telah dijawab dalam ratusan bahstul masai’l baik yang diselenggarakan
oleh Nahdlatul Ulama’ maupun oleh perhimpunan pesantren-pesantren dengan
paradigma hukum yang dialogis. Keempat Ma'had Aly memiliki jaringan pesantren
dan sosialisasi yang kuat. Ma'had Aly merupakan salah satu proyek Rabîťah Ma’âhid
al-Islâm, organisasi pesantren-pesantren di bawah naungan Nahdlatul Ulama’. Dan
pada kelas akhir pada pendidikan ini mengharuskan santrinya untuk melakukan
pendampingan ke pesantren lain yang biasanya lebih kecil. Pertimbangan lain yang
lebih bersifat teknis adalah karena peneliti memiliki akses yang mudah untuk
mendapatkan data yang diharapkan akan semakin mempermudah penyelesaian thesis
ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik observasi
partisipatoris, wawancara mendalam, dan dokumentatif. Dalam penelitian ini penulis
terlibat dalam aktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh Ma'had Aly dan melakukan
pengamatan secara langsung. Penelitian dengan cara ini sangat memungkinkan
penulis untuk mengetahui bagaimana proses perumusan fiqh dialogis termasuk
mengetahui perbedaan pendapat para santrinya sebelum rumusan fiqh dialogis ini
dipublikasikan dan menjadi wacana umum.
Selain wawancara formal penulis juga melakukan wawancara informal yang
berbentuk keterlibatan penulis pada percakapan sehari-hari. Hal ini dilakukan untuk
21
mendapatkan data yang mungkin tidak bisa didapatkan dengan hanya melakukan
wawancara formal. Penulis yakin wawancara informal ini akan banyak memberikan
data yang sangat berarti karena dalam wawancara formal biasanya responden akan
merasa kurang nyaman dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis. Selain
dengan wawancara formal dan informal, data lain juga dikumpulkan dari
dokumentasi dan studi pustaka untuk memperoleh data sekunder mengenai wacana
fiqh dialogis dan pengembangannya di Ma'had Aly. Data ini kemudian diolah
bersama dengan dipadukan dengan hasil penelitian lapangan. Focus group discussion
juga dilakukan untuk mendapatkan data yang beragam dari para santri dan pengurus
di Ma'had Aly. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai kebutuhan dan
dibuat laporan awal yang kemudian didiskusikan dengan santri atau pengurus Ma'had
Aly. Untuk mengetahui respon masyarakat tentang pembentukan fiqh dialogis di
Ma'had Aly, penulis juga melakukan penelusuran ke beberapa pesantren dan para
ulama’ serta masyarakat yang telah mengetahui baik secara langsung maupun tidak
langsung tentang perumusan fiqh dialogis di Ma'had Aly.
3. Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berupa deskripsi
mendalam terhadap kegiatan-kegiatan Ma’had Aly khususnya pada kegiatan
perumusan fiqh dialogis. Proses analisis data dilakukan terus-menerus baik di
lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan melalui penyaringan data,
penggolongan dan penyimpulan serta uji ulang. Data yang terkumpul, disaring dan
22
disusun dalam kategori-kategori dan saling dihubungkan. Melalui proses ini
penyimpulan dibuat.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan kemudahan pada pembaca dan berdasarkan uraian di
atas, maka sistematika laporan penelitian tesis ini disusun dalam lima bab, Bab
Pertama adah bab pendahuluan yang memuat beberapa penjelasan mengenai latar
belakang dan ruang penelitian yang meliputi beberapa pertanyaan penelitian,
kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan tinjauan pustaka.
Bagian Kedua berisi Sitibondo, Ma'had Aly dan Peranannya dalam
pengembangan Fiqh di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang kondisi geografis
maupun sosial yang juga berisi tentang hubungan antara masyarakat pesantren dan
pesantren serta aktifitas santri dan sejarah berdirinya Ma'had Aly sebagai pusat kajian
ilmu fiqh. Bagian ketiga, Ma'had Aly dan peta studi fiqh. Bab ini meliputi tahapan
perkembangan fiqh di Indonesia, dinamika yang melingkupi perkembangan wacana
fiqh di Indonesia, pengembangan fiqh dialogis di Ma'had Aly Sukorejo dan tanggapan
masyarakat atas ide pengembangan fiqh dialogis.
Bagian keempat, akan mengulas tentang Ma'had Aly Sukorejo dan
pengembangan fiqh dialogis, bagian ini adalah bagian analisis pengembangan fiqh
dialogis yang berisi tentang perspektif Ma'had Aly terhadap kelompok lain dan
metode pengembangan fiqh dialogis. Bagian kelima, berisi kesimpulan dari seluruh
isi tulisan ini dan beberapa rekomendasi yang dibuat atas dasar hasil penelitian. []
23
BAB II
SITIBONDO, MA'HAD ALY DAN PERANANNYA
DALAM PENGEMBANGAN FIQH DI INDONESIA
A. Situbondo “kota SANTRI”
1. Gambaran Umum dan Ekonomi
Hawa panas langsung terasa menyengat ketika memasuki daerah penelitian
ini. Situbondo yang terkenal dengan kota santri terhampar di atas tanah seluas sekitar
1.638,5 km², dengan posisi memanjang dari timur ke barat dengan lebar sekitar 11
km² dengan kondisi normal bersuhu rata-rata 24˚C - 30˚C. Daerah yang berpenduduk
mayoritas etnis Madura ini secara geografis terletak di 7˚35'-7˚44' lintang selatan &
113˚30'-114˚42' bujur timur. Topografi wilayah terdiri dari pegunungan, perbukitan
dan dataran rendah serta pantai. Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Sumbermalang
(100-1.233 m), wilayah terendah Kecamatan Mangaran (0-50 m).28 Sebagai kota
kecil, Situbondo termasuk kota yang sangat plural dalam hal budaya dan bahasa.
Walaupun mayoritas penduduknya adalah kelompok etnis madura, namun mereka
berlatar belakang budaya yang berbeda-beda.
Situbondo adalah kota pelabuhan yang pernah jaya pada masa sebelum
kemerdekaan. Pelabuhan Panarukan yang terletak di bagian barat wilayah Situbondo
adalah pelabuhan besar yang menghubungkan Situbondo dan daerah-daerah lain
pada masa kejayaannya. Selain Panarukan masih ada dua pelabuhan lain yang sampai
28 Kabupaten Situbondo dalam angka, (Situbondo: BAPEKAB, Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo. 2003) hal. Xivii.
24
saat ini masih aktif digunakan di kota ini, yaitu pelabuhan Jangkar dan Kalbut.
Sebagai kota pelabuhan, Situbondo menjadi daerah transit penduduk kepulauan,
mulai dari pulau Sapudi, Raas, Kangean sampai Sapeken dan Sepanjang yang sudah
mendekati daerah Sulawesi. Sebagian penduduk kepulauan itu bermigrasi ke daerah-
daerah pesisir di Situbondo dan menjadi penduduk tetap. Walaupun sudah tidak
terlalu tampak, sebenarnya ada suku lain selain Madura yang hidup di Situbondo.
Orang-orang Mandar, Bugis, Jawa serta beberapa sub suku lain yang datang dari
beberapa kepulauan di sekitarnya juga telah menghuni Situbondo terutama daerah-
daerah pesisir. Kota yang berada di jalur lalu lintas Surabaya-Banyuwangi ini secara
administratif, sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, bagian timur dengan
Kabupaten Banyuwangi, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo dan
selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso.29
Sementara itu Sukorejo, padukuhan di mana pesantren Salafiyah Syafi’iyah
berlokasi, terletak di desa Sumberejo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo.
Walaupun sebenarnya secara administratif Sukorejo berada dalam wilayah
kecamatan Banyuputih tetapi sampai saat ini masyarakat tetap mengenal Sukorejo
dengan sebutan Sukorejo Asembagus Situbondo. Hal ini terjadi karena Sukorejo
termasuk dalam daerah bekas kawedanan Asembagus. Seperti daerah Situbondo pada
umumnya, desa seluas 1.820.071 hektare dengan luas hutan mencapai 500 hektar ini
termasuk dearah yang gersang. Sebagian besar masyarakat di tempat ini memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan bertani dan sebagian lain nelayan, berternak serta
29 Ibid
25
berjualan makanan atau kebutuhan lain untuk para santri. Nama Sukorejo konon
diberikan oleh KH. Samsul Arifin (alm) setelah mendirikan pesantren Salafiyah
Syafi’iyah. Nama itu diambil dari bahasa Madura yang menjadi bahasa percakapan
sehari-hari masyarakat Sukorejo, yaitu gabungan dari soko (kaki) dan rajeh (besar)
yang artinya kaki besar. Menurut cerita, saat pendirian pesantren Salafiyah
Syafi’iyah KH. Samsul Arifin (alm) menemukan sebuah batu dengan bekas kaki
berukuran sangat besar yang terukir di atasnya. Menurut cerita, batu berukir telapak
kaki itu saat ini tertanam di bawah mushalla pesantren yang setiap waktu shalat
dibacakan adzan dua kali.30
2. Struktur Penduduk
Situbondo Kota santri, itulah semboyan yang selalu didengungkan oleh baik
masyarakat Situbondo secara umum maupun pemerintah Kabupaten Situbondo.
Semboyan ini disamping merupakan akronim dari Sehat, Aman, Tertib Rapi Indah,
juga diharapkan bisa mencerminkan kehidupan masyarakat Situbondo yang santri
yang taat menjalankan perintah agama Islam. Nuansa keagamaan di Situbondo selain
tampak dari jumlah penduduk Muslim dan banyaknya pesantren, juga karena program
pemerintah yang sangat didominasi oleh nuansa Islami. Beberapa pengajian digagas
para pejabat pemerintah. Nuansa alun-alun kota yang remang sejak tahun 2000
diganti dengan lampu-lampu yang terang untuk mengurangi terjadinya kemaksiatan.
Bahkan sejak awal terpilihnya Diaaman sebagai Bupati itu, lagi-lagi untuk
30 Drs. KHM. Hasan Basri, Lc, KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (P2S2 Situbondo, tt.), hal. 21.
26
mengurangi terjadinya maksiat, diselenggarakan pengajian rutin setiap malam
minggu di pendopo kabupaten. Pemerintah juga mencanangkan program Situbondo
bebas narkoba, perjudian dan prostitusi.
Berdasarkan data statistik penduduk tahun 2003, jumlah penduduk
Situbondo tercatat sebanyak 603396 jiwa. Dilihat dari banyaknya penduduk dan
agama yang dipeluknya, pemeluk agama Islam adalah mayoritas, lalu disusul oleh
penganut Kriten Protestan, Katolik, Hindu dan penganut Budha serta penganut
kepercayaan lain. Berikut adalah jumlah penduduk berdasarkan dalam tabel.31
NO AGAMAJUMLAH
JIWA KETERANGAN
1 Islam 594229
1. 598 Masjid2. 3184 Langgar3. 1057 musholla4. 103 pesantren5. 449958 santri
2 Protestan 5668 17 Gereja Protestan3 Katolik 2819 5 Gereja Katolik4 Hindu 202 1 Pura5 Budha 284 1 Vihara6 Kepercayaan lainnya 194 jiwa 1 Klenteng
31 Ibid, 164-166.
27
B. Masyaakat Muslim di Situbondo
1. Kyai sebagai tokoh sentral
Suatu hari penulis dan beberapa kawan penulis yang terdiri dari pengacara
dan anggota DPRD dan aktifis pergerakan Islam terlibat obrolan serius dengan kyai
Muzaki Ridlwan. Kyai Muzaki Ridlwan adalah pemangku asrama Madrasah al-Quran
di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Waktu telah menunjukkan
pukul 23.00 WIB. Tiba-tiba seorang laki-laki yang kira-kira berumur 60 tahun
mendatangi kyai Muzaki yang sedang ngobrol bersama kami di teras depan kediaman
beliau. Dengan sangat santun namun tergesa, orang itu bercerita tentang keluarganya
yang mengalami serangan penyakit mendadak dan sangat membutuhkan pertolongan
segera. Kemudian orang itu mengutarakan maksut kedatangannya untuk meminta
sesuatu atau sekedar saran kepada kyai untuk kebaikan keluarganya yang sakit
tersebut. Sesaat setelah itu, kyai masuk rumah dan tidak lama kemudian keluar lagi
dengan membawa sebotol air untuk diberikan kepada anggota keluarga sang tamu
yang sakit. Setelah dibekali sebotol air, orang itu pulang dengan segenap harapan
kesembuhan yang sakit.
Setelah beberapa saat kami sejenak menghentikan obrolan kami karena kyai
melayani tamunya, diskusi kami teruskan kembali. Topik kami ketika itu adalah
tentang korporasi yang akan dibuat oleh kawan-kawan penulis yang menjadi
pengacara dan DPRD untuk membuat rumah makan yang dikelola oleh salah seorang
kawan untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Sesaat setelah kami memulai
diskusi tahap kedua itu, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang yang
28
tampak sangat panik. Seorang laki-laki, yang mungkin juga berumur 60 tahun itu,
langsung mengutarakan kepentingannya sowan kepada kyai, bahkan sebelum kami
mempersilahkan duduk. Dengan posisi yang masih tetap berdiri, bapak itu
mengatakan bahwa puluhan orang sedang mengepung rumah salah satu penduduk
yang tinggal di lingkungan pesantren dan salah satu dari puluhan orang itu adalah
bapak yang sedang ada di depan kami. Bapak itu mengadu kepada kyai bahwa
puluhan orang itu ternyata terlibat transaksi sistem pemasaran bertingkat, multi level
marketing dengan pemilik rumah yang dikepung. Orang-orang tidak puas karena
sistem yang dikembangkan terasa merugikan mereka. Maksud kedatangan orang tua
itu, meminta saran kyai bagaimana seharusnya meraka bersikap. Bapak yang sudah
kehilangan dua ekor sapinya untuk berbisnis Multi Level Marketing itu merasa sangat
kecewa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Solusi apa yang diberikan oleh kyai untuk kedua problem di atas mungkin
tidak penting untuk dituliskan di sini, tetapi ilustrasi itu betul-betul dengan jelas
menggambarkan bagaimana posisi kyai dalam masyarakat Situbondo. Kyai begitu
penting artinya dengan masyarakat hingga tengah malam pun orang datang untuk
mengadu. Waktu yang tidak selazimnya orang bertamu dan biasanya hanya orang-
orang khusus yang berani bertamu, tetapi untuk masyarakat Situbondo waktu tidak
menjadi pertimbangan. Pertimbangan utama adalah seberapa butuh mereka dengan
kyai saat itu. Fakta ini adalah indikasi betapa masyarakat Situbondo tidak bisa
dipisahkan dengan kyai. Kyai tidak hanya dekat dengan mesyarakat tetapi kyai juga
dianggap mengetahui segala persoalan.
29
Kalau rombongan kami datang untuk berdiskusi karena kami anggap kyai
sebagai tokoh kharismatik yang bisa membantu menyelesaikan persoalan kami.
Tetapi kedua orang tamu tadi datang untuk meminta solusi tentang sesuatu yang sama
sekali bukan dunia seorang kyai. Kyai Muzaki adalah pengampu pesantren al-Qur’an
yang jelas disiplinya adalah tafsîr, târikh, faşahah atau pelajaran lain yang
berhubungan dengan Al-Qur’an, tetapi kedua tamu itu bertanya tentang penyakit dan
persoalan transaksi Multi Level Marketing yang seharusnya ditanyakan kepada ahli
yang lain. Hal ini sangat jelas menjadi petunjuk bahwa kyai adalah segala-galanya
untuk masyarakat Situbondo. Bahkan tidak jarang kyai harus berposisi sebagai
“polisi” atau “hakim” bagi masyarakat sekitarnya.
2. Interdependensi pesantern dan masyarakat
Dalam sejarahnya, pesantren tradisional memang selalu berjalan seiring
dengan partisipasi masyarakat. Pesantren ada juga karena masyarakat. Di Sukorejo,
pesantren juga memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi kepada
masyarakat sekitar pesantren dan begitu juga sebaliknya. Karena beberapa
keterbatasan baik fasilitas maupun infra struktur. Pesantren tidak akan mampu
menjalankan sistemnya tanpa dukungan dari masyarakat. Begitu juga masyarakat,
mereka mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepesantren, bahkan sebagian juga
mendapatkan rizki dari sistem pesantren.
Pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah memiliki tidak kurang dari 7000
santri putra dan putri yang semuanya tinggal dalam komplek pesantren. Tidak seperti
30
beberapa pesantren lain, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah tidak mengkoordinir uang
makan santri, pesantren Salafiyah Syafi’iyah juga tidak mengharuskan santri membeli
barang kebutuhan sehari-hari kepada pihak pesantren. Pesantren memberi keleluasaan
santri untuk membelanjakan uangnya ke toko-toko sekitar pesantren. Kebijakan ini
diambil pesantren untuk memberikan sumber penghasilan kepada penduduk Sukorejo
yang mungkin juga terkadang dirugikan oleh tingkah laku santri yang amat beragam
budayanya serta limbah ribuan santri. Di sisi lain, warung-warung makan di sekitar
pesantren menjual makanannaya dengan harga yang sangat terjangkau untuk kantong
santri. Ketika penelitian ini dilakukan bulan April 2005 untuk satu bungkus nasi
dengan sayuran yang relatif lengkap dan setengah telor rebus atau goreng atau
sepotong ikan laut seukuran dua jari orang dewasa, mereka jual Rp. 1.200.
Kerjasama ini berjalan sangat baik dan jarang sekali ada masalah yang
mengemuka.32 Walaupun begitu, dominasi pesantren masih sangat kuat. Pesantren
memiliki peraturan, santri dilarang makan di warung (setiap nasi atau apapun yang
dibeli harus dibungkus dan dimakan di asrama tempat tinggal santri). Santri juga
dilarang menonton TV di rumah penduduk. Peraturan ini memang untuk santri tetapi
dampak dari peratuan ini juga langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar pesantren.
Hal ini karena sangsi yang diberikan pesantren. Santri yang melanggar peraturan ini
akan dikenakan sangsi dan bagi pemilik warung yang mempersilahkan santri makan
32 Akhir-akhir ini mulai timbul ketegangan antara masyarakat dan pesantren karena adanya maklumat yang melarang lembaga-lembaga pesantren untuk membeli kebutuhan sehari-hari diluar badan usaha milik pesantren. Menurt Munif, tokoh pemuda Sukorejo, hal ini akan menimbulkan kesenjangan dan retaknya hubungan pesantren dengan masyarakat. Munif yakin bahwa kebijakan ini dibuat oleh menejemen pesantren dan bukan pengasuh. Hal ini terjadi juga karena jarangnya pengasuh pesantren turun langsung kepada masyarakat.
31
atau menonton TV di warungnya akan diberikan surat peringatan dan selain itu
pesantren akan segera mengeluarkan larangan makan di warung itu bagi seluruh
santri. Warung yang mempersilahkan santri makan di warungnya, biasanya tidak
akan berjalan lama dan segera tutup karena pada umumnya santri tidak ada yang
berani membeli, padahal konsumen yang paling dominan adalah santri. Larangan itu
akan segera dicabut oleh pesantren jika pihak warung segera mengadakan klarifikasi
kepada pihak pesantren dan tidak akan mengulangi kesalahannya. Klarifikasi itu tidak
akan diterima lagi kalau telah dilakukan lebih dari tiga kali.
a. Barokah dan sam’an wa ţa’atan 33
Jika di keraton Yogyakarta atau di keraton lain masyarakat bisa
menyaksikan banyak abdi dalem yang dengan ihlas menjalankan tugasnya dan hanya
mengharap berkah dari keraton, maka di pesantren Salafiyah Syafi’iyah tidak jauh
berbeda. Di tempat ini dapat juga disaksikan banyak sekali warga yang secara
sukarela mengabdikan dirinya untuk pesantren (kyai). Ada dua model pengabdian di
pesantren ini, struktural dan non struktural. Untuk yang struktural biasanya para
warga pengabdi mengajukan diri atau diminta oleh pesantren untuk terlibat dalam
operasional sehari-hari dan masuk ke dalam sistem struktur pesantren. Biasanya
33 Barokah secara bahasa berarti bartambahnya kebaikan. Masyarakat Situbondo pecaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan atau kecukupan jika mereka mengikuti perintah Kyai. Barokah sering dipahami secara mistis oleh masyarakat, walaupun penghasilan mereka sangat sedikit tetapi jika mereka mendapatkan barokah, dengan penghasilan yang sedikit itu kebutuhan hidup akan tercukupi. Sedangkan sam’an wa thoatan berasal dari kata sam’an yang berarti mendengarkan dan Tha’at yang berarti mengikuti. Sam’an wa thoatan kepada kyai diyakini menjadi salah satu resep untuk mendapatkan barokah.
32
pengabdi jenis ini diposisikan di bagian dapur, staf badan otonom atau badan usaha
dan keamanan.34
Untuk pengabdian non struktural, biasanya bisa di saksikan pada perayaan-
perayaan hari besar Islam atau hari-hari kkhusus pesantren. Masyarakat datang dari
beberapa daerah di sekitar Situbondo, bahkan dari Kabupaten lain seperti
Banyuwangi, Bondowoso dan Jember. Mereka datang untuk membantu panitia
penyelenggara untuk hal-hal teknis seperti mengatur lalu-lintas, parkir atau
keamanan. Selain itu, sebagian masyarakat juga mengabdi untuk pembangunan fisik
pesantren seperti mencari batu sungai atau kayu kayu bakar.
Satu pengalaman menarik telah terjadi pada seorang responden penelitian
ini, Syahlan. Syahlan seorang santri dari pulau Bawean Kabupaten Gresik Jawa
Timur. Ketika itu, ia hendak melakukan perjalanan pulang. Karena terburu-buru,
Syahlan tidak membawa surat izin yang sah dari pesantren. Syahlan hanya membawa
surat izin yang sudah habis masa berlakunya. Ketika Syahlan turun dari becak dan
hendak menyetop bus, Syahlan didatangi keamanan pesantren yang menanyakan
surat izinnya. Mengetahui ada keamanan yang datang, Syahlan langsung menyiapkan
dan menunjukkan surat izinnya yang sudah lusuh itu. Setelah beberapa kali
membolak-balik surat itu dan melontarkan beberapa pertanyaan menyelidik kepada
Syahlan, kemudian keamanan itu mempersilahkan Syahlan pergi.
34 Ada dua jenis keamanan di pesantren ini. Pertama adalah keamanan dalam yang seluruh anggotanya adalah santri dan keamanan luar yang anggotanya adalah masyarakat sekitar pesantren. Kebijakan adanya keamanan luar ini muncul pada pertengahan tahun 1990an. Kebijakan ini dibuat disamping untuk mekanisme pengawasan juga untuk memberikan ruang kepada masyarakat yang tertarik untuk terlibat dalam pengembangan pesantren.
33
Keamanan itu mempersilahkan Syahlan jelas bukan karena argumentasi
Syahlan yang bisa diterima, karena biasanya keamanan jarang sekali yang mau
berdialog. Keamanan itu mempersilahkan Syahlan karena dia sama sekali tidak
menyangka bahwa surat yang dibolak-baliknya itu habis masa berlakukanya.
Ternyata oknum keamanan itu tidak bisa membaca. Keamanan seperti ini selalu akan
membolak balik surat izin, hal itu dilakukannya untuk melihat reaksi sang santri.
Santri yang masih belum berpengalaman, biasanya akan grogi jika surat tidak sahnya
dibolak-balik. Bagi santri yang tampak grogi akan segera dibawa ke kantor keamanan
dan diproses oleh keaman dalam pesantren.
Yang terpenting dari catatan kasus di atas adalah kualifikasi menjadi
keamanan tidak didasarkan pada kemampuan intelektual seseorang tetapi pada
keikhlasan seseorang untuk mengabdi. Seorang warga desa yang bermaksud
mengabdi akan sangat kecewa jika niat baiknya itu tidak diterima. Mereka akan selalu
mengatakan bahwa kyai sepuh (pendiri pesantren) tidak pernah menolak partisipasi
warga. Berapa banyak mereka mendapatkan honor juga bukan pertanyaan yang lazim
untuk diajukan. Honor yang mereka terima setiap bulan hanya rata-rata Rp. 30.000
sampai Rp. 150.000. Bahkan ada yang lebih rendah. Untuk seorang penjaga toko
pesantren atau petugas pekerjaan umum yang bertugas memperbaiki seluruh
bangunan pesantren dan petugas listrik dan pengairan yang bekerja hampir tidak
mengenal waktu misalnya, mereka menerima honor tidak lebih dari Rp. 300.000.
Honor yang mereka terima itu sama sekali tidak sebanding dengan sangsi sosial yang
mereka dapatkan ketika mereka melalaikan pekerjaannya, apalagi jika mereka sampai
34
diputus hubungan kerjanya oleh pesantren. Masyarakat akan menilai sangat negatif.
Bahasa yang sangat akrab terdengar dari mereka adalah sam’an wa ţa’atan
(mendengarkan perintah lalu mentaati). Bagi mereka yang melanggar perintah kyai
diyakini akan mendapatkan musibah dan bagi mereka yang setia mengabdi diyakini
akan mendapat berkah dan ketenangan hidup.35
b. Makam dan cap baik atau buruk
Malam Selasa dan malam Jum’at adalah malam-malam yang paling ramai
masyarakat berkunjung ke pesantren Sukorejo. Ratusan pengunjung datang untuk
berziarah ke makam para kyai yang terletak di belakang Masjid Jami’ Ibrahimy,
masjid desa yang terletak di dalam lingkungan pesantren. Makam di Sukorejo ini
adalah sesuatu yang tidak hanya sebagai tempat di mana orang dikuburkan. Selain
dari itu, makam ditempat ini juga berfungsi sebagai tempat mencari berkah karena
stereotipenya yang baik.
Ada dua pemakaman di Sukorejo, pemakaman keluarga besar pesantren dan
para abdi serta orang yang dianggap layak yang terletak di belakang Masjid. Dan satu
makam lagi adalah pemakaman umum yang letaknya kurang lebih satu kilo meter
dari pesantren. Makam adalah sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat Sukorejo,
di mana mereka dimakamkan akan berpengaruh terhadap pandangan masyarakat
kepada keluarga yang ditinggalkannya. Makam pertama walaupun makam keluarga
pesantren tetapi pesantren memberikan keleluasaan bagi penduduk sekitar yang ingin
35 Menurut Munif, bagi beberapa kalangan pendangan tentang barokah dan musibah ini sudah mulai memudar.
35
memakamkan keluarganya dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh
almarhum Kyai As’ad Syamsul Arifin.36 Berangkat dari syarat yang diajukan itu,
kemudian entah kapan mulainya, terbentuklah stereotipe di kalangan masyarakat
Sukorejo bahwa mereka yang dimakamkan di belakang masjid adalah orang baik dan
yang di pemakaman umum adalah sebaliknya (ahli maksiat).
“Orang baik” dan “ahli maksiat”. Cap ini memang sangat berat untuk
disandang oleh orang yang sudah meninggal. Dengan terma inilah terkadang
masyarakat dipaksa untuk terbelah menjadi dua, “baik” dan “tidak baik”. Tidak ada
yang berani berterus terang mengatakan tetangganya itu baik atau tidak, tetapi di
mana warga itu dimakamkan, seakan-akan menjadi pengadilan akhir bagi anggota
warga. Sampai penelitian ini diakhiri pada bulan Mei 2005, penulis belum
mendapatkan keterangan yang jelas tentang apakah benar kuburan itu memang dibuat
untuk membelah masyarakat menjadi dua kelompok “baik” dan “tidak baik”, tetapi
beberapa kali penulis menyaksikan orang yang loyal kepada pesantren dimakamkan
di belakang masjid. Begitu juga sebaliknya, ketika ada orang yang meninggal dan
dimakamkan di pemakaman umum suasana kampung jadi mencekam dan banyak
orang diam-diam membicarakan perihal pemakaman itu. Penentu akhir bagi
pemakaman ini adalah kyai pewaris pusaka keluarga Arifin.
Kyai memang tidak mengatakan orang ini baik atau tidak baik, tetapi
mesyarakat memberikan kesimpulan sendiri pada keputusan kyai membolehkan atau
36 Beberapa syarat yang harus dipenuhi adalah: tidak meninggalkan shalat, bukan penjudi dan pelaku maksiat yang lainnya (bukan ahli maksiat), wawancara dengan Fauzi, mantan sekretaris pengasuh pesantren Salafiyah Syafi’iyah.
36
melarang seseorang dimakamkan di belakang masjid.37 Demikianlan posisi kiai dalam
masyarakat Sukorejo. Jika ada tembang pucung dalam gending jawa yang bermakna
pertanyaan tentang seseorang mati dalam kondisi husnul khâtimah (baik) atau su’ul
khâtimah (buruk), maka di Sukorejo tembang itu bermakna dimakamkan di belakang
masjid atau di pemakaman umum. Dalam kasus ini kyai memiliki otoritas yang
penuh, bahkan untuk memberikan penilaian baik atau buruknya seseorang. Dominasi
kyai bisa dilihat dalam hampir semua keadaan, mulai dari memberikan nama anak-
anak masyarakat sekitar pesantren, menyelesaikan kasus hukum, mengobati orang
sakit sampai pada tataran tertentu menjadi indikator kebaikan seseorang. Dari
beberapa kasus yang telah dipaparkan diatas sangat jelas bahwa kyai adalah figur
yang benar-benar menjadi rujukan dalam setiap permasalahat masyarakat.
3. Nafas Islam dalam kehidupan sehari-hari
Jika seseorang berkunjung ke salah satu rumah penduduk di Sukorejo dan
tamu itu dianggap sebagai orang yang dihormati, maka mereka tidak akan menemui
tamunya sebelum songkok atau tutup kepala lain menutupi kepalanya. Hampir
menjadi hukum yang tidak tertulis, laki-laki di Sukorejo harus menemui tamu
khususnya dengan penutup kepala. Ketika bertemu tamu di depan rumah mereka, saat
mereka tidak menggunakan penutup kepala, maka segera tangannya ditutupkan ke
37 Menurut Fauzi sebenarnya pihak keluarga besar Arifin sudah ada yang berinisiatif untuk menghilangkan pandangann itu. bahkan untuk kerja besar itu salah satu pewaris ada yang menyatakan siap untuk dimakamkan di pemakaman umum. Tetapi sampai saat ini pandangann itu masih ada di masyarakat. Bagi Fauzi persoalan pemakaman ini terkadang berdampak buruk dan tidak fair, karena walaupun penentu ahir adalah Kyai tetapi kyai selalu minta masukan dari petugas pemakaman yang terkadang kurang fair menilai.
37
kepala mereka. Songkok adalah lambang kehormatan yang sekaligus melambangkan
ketaatan mereka dalam beragama.
Religiusitas masyarakat tidak hanya tampak dari simbol agama, tetapi juga
dari aktifitas mereka sehari-hari. Ada puluhan jamaah pengajian di Desa ini, mulai
pengajian anak-anak, remaja sampai dewasa serta beberapa pengajian keluarga.
Waktu pengajian pun sangat beragam. Hampir setiap hari dengan mudah bisa
disaksikan hilir mudik pulang-pergi pengajian dan kegiatan keagamaan lain. Selain
pengajian yang diselenggarakan oleh masyarakat sendiri, ada beberapa pengajian
yang melibatkan masyarakat dan pihak pengasuh pesantren. Setiap malam Jum’at
manis, masyarakat berkumpul di Masjid Jami’ Ibrahimy, masjid desa yang berada di
lingkungan pesantren. mereka berkumpul untuk membaca istighośah bersama
mendengarkan nasehat-nasehat keagamaan atau informasi lain yang diberikan oleh
pengasuh pesantren Salafiyah Syafi’iyah, KHR. Ahmad Fawaid Asad.
Dengan membawa beberapa orang kepercayaannya yang memiliki keahlian
yang berbeda-beda, Kyai Fawaid menyampaikan ceramahnya dan diikuti oleh dialog
dengan masyarakat. Masyarakat akan bertanya tentang apa saja yang menjadi
ganjalan pikirannya. Untuk menanggapi pertanyaan itu, terkadang Kyai Fawaid
menjawab sendiri, tetapi terkadang juga meminta para pembantunya untuk menjawab
sesuai dengan keahlian mereka. Pertemuan ini memang belum terlalu lama
diselenggarakan. Saat penelitian ini dilakukan pertemuan ini masih diselenggarakan
satu kali saja. Walaupun begitu pertemuan serupa sering digelar di pesantren ini.
Biasanya momentum-momentum besar seperti hari besar Islam atau peringatan
38
meninggalnya pendiri dan keluarga pesantren selalu digunakan untuk acara serupa.
Biasanya acara-acara seperti ini digunakan masyarakat dan pengasuh untuk merespon
persoalan-persoalan lokal yang dihadapi masyarakat maupun pengasuh dan mendesak
untuk segera disikapi.
B. Dinamika Ma'had
1. Sejarah berdirinya pesantren (Visi-Misi)
a. Tradisi hijrah (kilas balik Salafiyah Syafi’iyah )
Berdirinya Ma'had Aly tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya pondok
pesantren Salafiyah Syafi’iyah sebagai lembaga yang menaunginya. Tahun 1908
adalah tonggak sejarah bagi masyarakat desa Sukorejo kecamatan Banyuputih
kabupaten Situbundo. Tahun itu adalah tahun kedatangan kafilah hijrah dari Madura
ke Sukorejo untuk kemudian menjadi komunitas Muslim yang kuat dan memiliki
semangat pendidikan yang tinggi. Karena semangat kaum muhajirin itulah, hutan
lebat yang sepi itu kini menjadi kota santri dengan tujuh ribu kaum sarungan. 38
Sebuah hutan lebat di pinggiran pesisir laut Jawa telah dibabat menjadi
pemukiman yang terdiri dari rumah beberapa kepala keluarga yang migrasi dari pulau
Madura dan mushala sederhana yang kelak menjadi pesantren besar dan Ma'had Aly
berdiri di dalamnya. Sebelum kelompok kecil itu memutuskan untuk membangun
pemukiman itu, ternyata pemimpin mereka Syamsul Arifin yang juga bernama lain
38 Menurut KH. Afifuddin, kepala bagian pendidikan dan pengajaran Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, jumlah santri ini menurun dari sebelum krisis moneter yang mencapai puluhan ribu. Diduga penurunan ini adalah dampak dari krisis berkepanjangan itu.
39
Raden Ibrahim39 dan putranya As’ad telah mendapat amanat dari beberapa tokoh
spiritual yang ditemui sebelumnya. Dengan ditemani oleh dua orang ulama’ senior
Habib Hasan Musawa’ dan Kyai Asadullah, Arifin dan putranya serta rombongan
kecil itu, membuka hutan dan mendirikan pesantren pada tahun 1908. Hutan perawan
yang dibabat sebagai pemukiman itu merupakan tanah kompensasi dari pemerintahan
Belanda. Residen pamekasan setelah tanah keluarga As’ad di Madura diambil alih
oleh Belanda sebagai pabrik garam.40 Seperti layaknya kyai-kyai dalam tradisi
Madura, Syamsul Arifin menjadi tumpuhan masyarakatnya bukan hanya dalam hal
pengetahuan agama, tetapi juga untuk memberikan pengobatan-pengobatan alternanif
dan membantu memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya
yang lain. Karena keterlibatannya terhadap kepentingan masyarakat luas itulah
kemudian babatan hutan angker ini mulai dikenal masyarakat dan santri dari beberapa
daerah di Karsidenan Besuki dan pulau Madura mulai berdatangan. Tidak hanya
menjadi tempat ţalab al-‘ilm, Pesantren ini juga menjadi pusat gerakan kaum
Muslim. Pada masa kemerdekaan pesantren ini menjadi pusat komando dan markas
para pejuang.41
Dalam perkembangannya, musholla yang didirikan oleh Syamsul Arifin dan
As’ad itu menjadi sebuah pesantren besar dengan nama Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo yang dikenal dengan pesantren Sukorejo atau sebagian orang menyebut
39 Nama Ibrahim itu kemudian diabadikan menjadi nama lembaga sekolah dibawah yayasan Salafiyah Syafi’iyah menjadi Ibrahimi
40 Drs. KHM. Hasan Basri, Lc, op. cit., hal. 18.41 Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Profil pondok pesantren
Salafiyah Syafi’iyah SukorejoSitubondo ( Situbondo: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, tt) hlm. 1.
40
pesantren Asembagus karena daerahnya yang merupakan eks kawedanan Asembagus.
Nama tersebut menunjukan bahwa pesantren ini adalah pesantren yang khas
Indonesia, karena sifatnya yang salaf atau tradisional dan berMaźhab Syafi’i. Belum
ada definisi yang jelas yang bisa menjelaskan apa itu pesantren salaf?42 Satu hal yang
bisa menjelaskan apa itu pesantren salaf adalah ciri-ciri yang dimiliki. Pesantren yang
menyebut dirinya sebagai pesantren salaf biasanya memiliki ciri kkhusus yaitu,
pertama, menggunakan kitab-kitab rujukan yang ditulis pada abad ke-4 atau ke-5
hijrah. Mereka megklasifikasikan kitab-kitab menjadi dua jenis yaitu mu’tabar (boleh
dijadikan rujukan) dan ghairu mu’tabar (tidak boleh dijadikan rujukan). Kedua
mengakui otoritas empat Maźhab, Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Pesantren
salaf menyebut keempat Maźhab ini dengan Mujtahid Muţlaq atau yang memiliki
otoritas Ijtihâd. Ciri yang ketiga adalah kurikulum. Walaupun secara definitif
pesantren salaf tidak mendekotomikan pelajaran umum (sekuler) dan agama, namun
pada prakteknya mereka berlaku dikotomis. Pelajaran pelajaran yang biasa diajarkan
di sekolah-sekolah non pesantren tidak akan diajarkan dalam kelas pesantren atau
setidaknya dibedakan jam pelajarannya, tidak ada kurikulum terpadu antara pelajaran
agama dan umum.43
42 Salaf yang dimaksudkan disini adah bukan slafi. salaf dimaksud adalah pesantren yang dibangun dan dibesarkan oleh komunitas santri di Indonesia yang sangat dekat denngan kultur masyarakat Indonesia dan bukan salaf yang sudah tercampur dengan gaya pendidikan Islam timur tengah atau negara Islam lain-lain.
43 Diformulasikan dari wawancara dengan Daerobi Najih, redaktur sidigiri.com dan Masykuri Abdullah sekretaris umum pesantre Sidogiri. Contoh pesantren yang tidak memiliki sekolah umum adalah Sidogiri di Pasuruan dan al-Falah Ploso di Kediri, walaupun kedua pesantren ini cukup maju dan bangunan fisiknya megah serta memiliki badan usaha yang dikelola dengan menejemen modern tetapi tidak memiliki sekolah umum. Contoh lain, pesantren yang kelihatan dikotomis adalah pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo di Situbondo dan pesantren Darussalam di di Banyuwangi atau Nurul Jadid di Probolinggo yang menyelenggarakan sekolah agama di pagi hari dan sekolah
41
Dalam sebuah focus group discussion yang kami gelar, seorang santri senior,
Imamuddin, memberikan penjelasan tentang nama Salafiyah Syafi’iyah. Menurut
Imamuddin, nama Salafiyah jelas menunjukkan bahwa pesantren ini adalah pesantren
tradisional yang mengapresiasi tradisi lokal. Dengan semboyan menjaga tradisi lama
yang masih bisa dipakai dan mengambil tradisi baru yang lebih baik, al-muhâfadah
‘alâ al-qadîm al-şâlih wa al-akhż bi al-jadid al-aşlah. Pesantren ini mengembangkan
ide-ide progresifnya dan mensupport ide-ide itu dengan literatur-leteratur klasik yang
ditulis pada abad ke-4 hijrah yang mereka sebut sebagai ţurâtś.
Syafi’iyah adalah nama yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i. Seorang
Imam besar yang bergelar Mujtahid muţlaq yang wafat pada 204 H/809M yang
dikenal sangat kritis. Secara hirarki keilmuan, Syafi’i adalah murid dari Imam Malik
yang wafat pada 179 H-795 M. Walaupun statusnya adalah murid, namun Syafi’i
memiliki ijtihâd yang berbeda dengan gurunya, Malik, dan mendirikan Maźhab
sendiri, Syafi’iyah. Sifat kritis Syafi’i itulah yang diharapkan bisa diwarisi oleh
santri-santri pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Begitulah nama itu dibuat,
diharapkan santri tidak hanya mampu mempertahankan tradisi tetapi juga berlaku
kritis.
b. Di antara dua muktamar (sejarah singkat berdirinya Ma'had Aly)
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo mengalami perubahan yang sangat drastis
sejak diselenggarakannya Muktamar Nahdlatul Ulama’ ke-27 pada tahun 1984. Saat
itu Sukorejo dihadiri oleh ribuan kaum Nahdliyin dari seluruh cabang NU di
umum di siang hari atau sebaliknya.
42
Indonesia. Muktamar yang sangat monumental karena menghasilkan kesepakatan
keluarnya NU dari partai politik atau yang dikenal dengan kembali ke khithah 26 itu,
telah membawa Sukorejo menjadi daerah yang dikenal luas. Kalau sebelum
Muktamar, santri mungkin hanya datang dari sekitar Situbondo, tetapi setelah
muktamar, banyak santri datang dari hampir seluruh daerah di Indonesia, bahkan dari
manca negara seperti Malaysia, Singapura dan Saudi Arabia. Perubahan lain adalah
bahasa, yang sebelumnya dominasi bahasa daerah, dalam hal ini Madura sangat kuat,
maka sejak tahun itu, dominasi itu mulai berkurang dan diimbangi dengan pemakaian
bahasa Indonesia. Jumlah santri yang terus bertambah serta banyaknya lembaga
pendidikan yang telah dibangun oleh pesantren Salafiyah Syafi’iyah menambah
kepercayaan masyarakat. Beberapa tokoh Islam tradisional pun percaya bahwa
Salafiyah Syafi’iyah mampu mengembangkan misi kelompok ini untuk mencetak
kader ahli keislaman yang masih bertradisi salaf (f â qih). Keinginan beberapa ulama’
untuk meciptakan kader ahli fiqh inilah yang menginspirasi pendirian Ma'had Aly.
Data statistik santri menunjukkan bahwa sebelum muktamar tahun 1983-1984 jumlah
santri sebanyak 3.037 kepala dan lima tahun kemudian pada 1994-1995 santri
mencapai 8.780l.44
Adalah kyai Aziz Masyhuri, ketua RMI (Rabîťah Ma’âhid al-Islâm) yang
menyatakan bahwa Ma'had Aly yang paling bisa diandalkan di Indonesia saat ini
adalah Ma'had Aly Sukorejo Situbondo. Ma'had Aly ini dianggap bisa diandalkan
44 Pusat data statistik Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo tahun 2003
43
salah satunya adalah karena penguasaan terhadap kitab-kitab kuning yang masih
kuat.45 Penguasaan kitab kuning sampai saat ini masih menjadi ciri dasar yang harus
dimiliki oleh pesantren salaf. Sebuah pesantren yang mengaku sebagai penganut
Maźhab salaf akan tidak diperhitungkan tanpa penguasaan kitab kuning yang
mumpuni. Dalam wawancara kami, Masyhuri juga menjelaskan bahwa pada akhir
tahun 1980-an Depertemen Agama (DEPAG) memiliki proyek pengembangan
Ma'had Aly di Indonesia. Proyek DEPAG yang diinspirasi dari keinginan Munawir
Sadzali untuk memupuk bakat kajian kitab kaum muda ini kemudian ditawarkan
kepada seluruh pesantren di Indonesia. DEPAG akan memberi bantuan fasilitas untuk
pesantren yang sanggup menyelenggarakan Ma'had Aly dengan kreteria yang cukup
ketat terutama untuk kurikulum yang berkaitan dengan penguasaan kitab kuning.
Tidak kurang dari 10 pesantren se Indonesia yang memberanikan diri untuk
menerima tawaran dari DEPAG. Ma'had Aly Sukorejo dalam hal ini tidak termasuk
dari 10 pesantren penerima tawaran DEPAG tersebut. Ma'had Aly Sukorejo sudah
digagas oleh KH. As’ad Syamsul Arifin saat sebelum proyek itu digulirkan. Namun
sampai saat ini menurut Masyhuri hampir seluruh pesantren yang menerima tawaran
itu tidak berhasil melangsungkan pendidikan Ma'had Aly. Mayoritas penyebab
kegagalannya karena kurangnya sumber daya manusia yang mampu masuk dan
menyelesaikan pendidikan dengan kurikulum Ma'had Aly.46 Dari segi penguasaan ini
45 Wawancara dengan KH. Aziz Masyhuri tgl 27, April 2005.46 Hal senada juga diungkapkan oleh KH. Mujib Wahab pengasuh pesantren Mamba’ul
Ma'had Aly’arif denanyar Jombang yang juga pernah menyelenggarakan Ma'had Aly dan gagal sebelum berhasil meluluskan angkatan pertamanya. Wawancara dengan KH. Mujib Wahab, 27 April, 2005.
44
Ma'had Aly sangat layak digolongkan sebagai pesantren salaf hal lain yang menjadi
alasan kegagalan menurut Masyhuri karena banyak santri dari pesantren-pesantren itu
yang lebih tertarik dengan gebyar perguruan tinggi di kota-kota besar atau kota
pelajar.
Ma'had Aly berdiri pada 21 Februari 1990 dengan diprakarsai oleh KH.
As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah atas dukungan
beberapa kyai berpengaruh lain di Indonesia. Ma'had Aly didirikan atas keprihatinan
banyaknya ulama’ salaf dan para ahli fiqh yang telah wafat. Di lain pihak, penurunan
kualitas santri semakin dirasakan dibeberapa pesantren. Banyak pesantren yang
bermaksud untuk beradaptasi dengan zaman kemudian merubah sistem mereka yang
justru mengurangi mutu pendidikan keagamaan di pesantren tersebut. Selain itu
persoalan-persoalan fiqhiyah yang dihadapi masyarakat semakin kompleks dan nyaris
tidak bisa dituntaskan oleh para ulama’ yang tersisa (mauquf) sehingga kebutuhan
untuk membuat suatu lembaga yang berkonsentrasi pada ilmu fiqh muţlaq tidak bisa
ditawar. Atas dasar itulah lalu dengan meminta restu dari ulama’ berpengaruh di
tanah haramain, Syaih Alwi Almaliki, pesantren ini didirikan dengan mudir pertama
KH. Wahid Zaini (alm) yang saat itu menjadi ketua Rabîťah Ma’âhid al-Islâm.
Ide mendirikan pesantren yang mampu mencetak kader ahli fiqh yang
mampu menjawab tentang zaman ini sebenarnya sudah bergulir sejak lama sebelum
pendiriannya. Karena kesibukan masyayih, para kyai sepuh, akhirnya ide ini sempat
terhenti. Tahun 1998 adalah momentum yang sangat berharga dalam pendirian
45
Ma'had Aly. Dalam sebuah perayaan haul akbar pendiri pesantren Salafiyah
Syafi’iyah, ustadz Hasan Basri Lc, mudir Ma'had Aly yang saat itu masih menjadi
santri senior, membacakan wasiat KH. Hasyim Asy’ari yang berbunyi: “Kamu As’ad
supaya banyak mencetak kader-kader Fuqahâ’ di akhir zaman”. 47 Setelah perayaan
haul itu usai, kemudian beberapa ulama’ berkumpul dan membentuk tim teknis yang
diketuai oleh KH. Hasan Bashri Lc, (Situbondo, saat ini Mudir) dan beranggotakan
KH. Abd. Wahid Zaini, SH (alm, Probolinggo), KH. Yusuf Muhammad, LLM (alm,
Jember), KH. Nadhir Muhammad (Jember), KH. Khatib Habibullah (Banyuwangi),
dan KH. Afifuddin Muhajir (Situbondo). Setelah tim kecil ini terbentuk, baru mulai
lah menggodok kurikulum dan menentukan silabus dan staf pengajarnya.
Setelah selama kurang lebih 7 bulan penggodokan, lalu hasilnya dibahas
dalam seminar yang dihadiri oleh beberapa tokoh ulama’ diantaranya KH. Moh.
Tholchah Hasan, KH. Ali Yafi’i, KH. Sahal Mahfudz, Prof. KH. Ali Hasan Ad-Dariy
An-Nahdi dan KH. Masdar F. Mas’udi. Meskipun konsep rancangan pendirian
Ma’had Aly telah cukup matang, namun belum lengkap bagi Beliau sebelum
mendapat restu masayikh Indonesia di antaranya dan KH. Ali Ma’sum dan Makkatul
Mukarramah seperti Syekh Yasin Al-Fandany, Dr. bin Sayyid Muhammad bin
Alawiy al-Malikiy, Syekh Isma’il bin Utsman al-Yamaniy.
Setelah mendapat restu dari para ulama’, barulah secara resmi Beliau mendirikan
Sebuah Lembaga Pasca Pesantren pertama di Indonesia pada tanggal 21 Februari
1990, yang kemudian dikenal dengan Al-Ma’had Al-Aly Li al-Ulum al-Islamiyyah
47 Wasiat inilah yang kemudian menjadi azimat kuat pendirian Ma'had Aly.
46
Qism al-Fiqh, sebuah lembaga pendidikan Islam yang menitikberatkan pada
kajian persoalan-persoalan hukum formal Syariah (fiqh). Setelah 15 tahun Ma'had
Aly mengembangkan sistem pendidikannya yang independen kemudian Ma'had Aly
dinilai oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagai salah satu alternatif
pengembangan pendidikan tinggi. Pengakuan DEPAG ini diwujudkan dengan
terbitnya Surat Keputusan tentang izin penyelenggaraan Magister Hukum Islam oleh
Ma’had Aly.48
Kerja besar Ma'had Aly ini setelah menamatkan 4 angkatan dinilai sangat
memuaskan oleh para masyayih. Pelamar untuk menjadi santri pun berdatangan dari
beberapa pesantren lain. Ma'had Aly tidak hanya dikenal oleh kelompok kyai sepuh
saja, tetapi kelompok muda progresif Islampun mulai mempertimbangkan posisi
Ma'had Aly dalam dikursus perkembangan Islam Indonesia. Tahun 2003 adalah
momentum di mana Ma'had Aly menegaskan posisinya dalam pengembangan Islam
Indonesia yang kritis dan progressif. Pada tahun itu kyai Fawaid Asad menerima
tawaran kaum muda NU untuk menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar
Pemikiran Islam. Mukatamar yang sedianya dijadikan ajang untuk “ishlah” dan
berbagai perspektif antara kaum muda dan tua ini, ternyata tidak dihadiri oleh
kelompok tua. Muktamar itu akhirnya berubah menjadi ajang eksplorasi pemahaman
Islam kelompok muda. Muktamar itu kemudian berakhir dengan terbitnya tiga
48 profil Ma'had Aly, 2005 dan brosur penerimaan santri baru angkatan VI dan mahasiswa baru Magister Hukum Islam Angkatan II Ma'had Aly (2005-2008).
47
rekomendasi yang dipandang liberal oleh banyak kaum tua dan memunculkan nama
Imam Nakho’i (alumnus Ma'had Aly) sebagai bintang muktamar.
Di balik kekaguman kelompok muda terhadap Ma'had Aly ternyata
berhembus tuduhan liberal (dalam konotasi yang negatif yang sudah keluar dari
pakem pesantern salaf) dari beberapa kyai NU. Bahkan ada yang menuduh
Muhammadiyah. Keluarga besar Ma'had Aly merasa setiap statemennya diawasi dan
selalu menjadi catatan kaum tua yang berujung pada posisi dan stabilitasnya di
pesantren. Ancaman berat bagi mereka yang berlaku progresif adalah dianggap
melanggar ketentuan pesantren dan terancam akan dikeluarkan dari lembaga
pendidikan pesantren atau dicabut keterlibatannya di pesantren. Kyai Afifuddin
Muhajir, sesepuh Ma'had Aly, menyesalkan tuduhan liberal kepada Ma'had Aly itu.
Menurut Muhajir, tuduhan itu karena prilaku tidak fair kelompok tua yang tidak hadir
pada acara Muktamar pemikiran Islam itu.
C. Ma'had Aly mencetak faqihuzzamani
1. Visi Misi
Visi Ma’had Aly adalah menjadi salah satu pusat studi Islam dengan
spesialisasi fiqh (Pendidikan Kader Fuqaha’ Indonesia). Dari dasar filosofis itu,
Ma'had Aly menurunkannya dalam tiga buah misi: Pemulihan, pemurnian dan
pengembangan pesantren salaf dalam dimensi ilmiah, amaliyyah dan khulǔqiyyah.
48
Pengembangan khazanah ilmu-ilmu keislaman, pemulihan, pemurnian dan
pengembangan fungsi kitab salaf (kitab kuning) sebagai wahana tumbuh dan
berkembangnya kader-kader ulama (fuqaha’) yang mampu menjadi panutan
masyarakat masa kini maupun masa datang.
2. Sumberdaya
a. Santri
Saat penelitian ini dilangsungkan, asrama Ma'had Aly dihuni oleh 115 santri
yang terdiri dari 65 santri putra dan 10 santri putri untuk sekolah persiapan
(madrâsah i'dâdiyyah) dan 34 santri putra 10 santri putri untuk program Ma'had Aly.
Jumlah ini adalah jumlah yang mendekati final dengan kemungkinan berkurang yang
sangat kecil karena kalender pendidikan yang sudah hampir tutup tahun. Jumlah
santri Ma'had Aly di akhir kalender pendidikan biasanya selalu berkurang dari jumlah
santri di awal kalender. Menurut santri Ma'had Aly, berkurangnya santri ini karena
adanya proses alam. Bagi mereka untuk masuk ke Ma'had Aly adalah harus
mengikuti dua proses seleksi. Pertama, adalah seleksi material yang mereka jalani
sebelum masuk dan kedua, seleksi alam yang mereka lalui saat menjalani pendidikan.
Pada umumnya santri Ma'had Aly adalah kader terbaik di daerahnya masing-
masing yang harus menggantikan posisi pemimpin agama di komunitasnya. Hal ini
juga berdampak buruk kerena tidak jarang santri Ma'had Aly yang sedang dalam
pertengahan balajar harus segera pulang karena panggilan komunitas untuk segera
mengisi kekosongan posisi kepala Madrasah di kampung mereka. Sebagian lain harus
49
menghentikan pendidikannya karena tuntuan keluarga untuk segera hidup
bermasyarakat atau berkeluarga. Penyebab lain adalah karena sikap kritis santri yang
terkadang dianggap melanggar pakem pesantren salaf dan tidak berlaku sopan dan
melanggar ketentuan pesantren sehingga mereka harus keluar dari pesantren dengan
paksa atau diusir. Sebagin yang lainnya berhenti dari proses pendidikan karena
beratnya materi yang harus mereka ikuti sehingga merasa tidak mampu dan memilih
untuk keluar.
Beberapa penyebab itulah yang oleh mereka disebut sebagai seleksi alam.
Sangat jarang santri yang berhenti dari Ma'had Aly karena persoalan pembiayaan,
Karena di pesantren ini, biaya pendidikan sangat murah. Dilihat dari kualitas
personal, santri Ma'had Aly adalah santri yang memiliki kemampuan sangat tinggi
dengan standar pesantren tradisional. Santri yang melamar untuk bisa menjadi santri
di Ma'had Aly harus menguasai ilmu tata bahasa Arab dan dasar-dasar ilmu fiqh atau
qâ’idah fiqh. Penguasaan terhadap materi ini diukur dengan penguasaan mereka
terhadap beberapa kitab sebagai berikut: Fath al- Mu’in (Fiqh), Alfiyyah Ibn al-
Malik (Qawâ'id al- Lughah), Ghâyah al-Wuşûl (Uşûl Fiqh), serta hafal seluruh ayat-
ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum Islam (ayat Ahkam).
Secara ekonomi, santri di Ma'had Aly tergolong kelompok menengah ke
bawah. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah uang kiriman yang mereka terima dari
orang tua mereka. Dalam satu bulan masa pendidikan di Ma'had Aly, rata-rata santri
menerima kiriman uang dari orang tua mereka sebanyak R. 100.000 sampai Rp.
150.000. Sangat jarang santri yang menerima kiriman mencapai Rp. 200.000. Jumlah
50
uang yang diterima santri itu sudah meliputi biaya hidup sehari-hari dengan 2 kali
makan dan biaya lain termasuk kitab-kitab dan kebutuhan lain. Indikator lain adalah
murahnya biaya yang harus dibayar santri Ma'had Aly. Untuk masa studi satu tahun,
santri di Ma'had Aly hanya membayar Rp. 400.000. Jumlah sebesar itu sudah
termasuk biaya pendidikan dan fasilitas yang mereka dapatkan termasuk kamar, air,
listrik dan laboratorium bahasa dan komputer.
Pendaftaran Peserta didik (santri) Ma’had Aly dilakukan setiap tiga tahun
sekali, sesuai dengan masa pendidikan. Menejemen Ma'had Aly akan menyelesaikan
satu angkatan dan baru akan membuka angkatan berikutnya. Penerimaan santri baru
Ma’had Aly melalui dua tahapan, yaitu pendaftaran dan seleksi. Dalam menerima
santri baru walaupun ijazah terakhir harus dilampirkan dalam pendaftaran tetapi
ijazah tidak menjadi pertimbangan. Pertimbangan kelulusan adalah pada kelulusan
pelamar dalam tes masuk yang terdiri dari test tulis dan wawancara.
b. Staff pengajar
Ma'had Aly membagi kelompok pengajar ini menjadi tiga kelompok:
1.1. Al-Muhâdhirûn, yaitu beberapa tenaga pengajar yang secara temporal
memberikan kuliah umum dengan tema-tema sentral yang meliputi
Masâil Fiqhiyyah, Uşûl Fiqh, Sosial Politik, Tasawwuf dan Filsafat.
2. Al-Mudarrisûn, yaitu beberapa tenaga pengajar yang secara rutin
memberikan kuliah dengan jadwal dan mata kuliah yang telah
ditentukan.
51
3.3. Al-musyrifûn, yaitu beberapa tenaga pengajar yang bertugas sebagai
pendamping harian, dengan mengawasi dan membimbing santri secara
intensif.
Dalam proses rekrutmen tenaga edukatif (dosen) Ma'had Aly menguji
kelayakan calon dosennya secara tidak langsung melalui seminar/diskusi.
Selain itu Ma'had Aly juga mempertimbangkan orang-orang yang
direkomendasikan oleh dewan masyaih (ulama’ sepuh). Pertimbangan
rekomendasi ini memang sangat penting untuk menjamin keilmuan dan
loyalitas para dosen. Loyalitas kepada pesantren (baca kyai) ini juga yang
menjadi salah satu unsur penting dalam menopang kesuksesan Ma'had
Aly. Menurut KH. Hasan basri (mudir Ma'had Aly) mereka yang mengajar
di Ma'had Aly itu adalah orang yang iklas dan loyal serta tidak
menganggap uang sebagai hal yang penting. Bagi para pengajar itu
menjaga wasiat dan harta pesantren berupa Ma'had Aly adalah segala-
galanya. Basri bercerita ada beberapa dosen yang jika tidak mengajar
mereka ditemui oleh pendiri Ma'had Aly di dalam tidurnya.
3. Infra struktur
a. Sistem pesantren
Secara struktural Ma'had Aly adalah salah satu lembaga otonom di
bawah yayasan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Sebagai
lembaga otonom Ma'had Aly dikontrol dan bertanggung jawab kepada yayasan.
Semua yang dilakukan Ma'had Aly harus atas kontrol yayasan. Walaupun secara
52
struktural Ma'had Aly di bawah yayasan tetapi sebagai lembaga otonom Ma'had
Aly mengelola kurikulumnya sendiri. Yayasan Salafiyah Syafi’iyah memiliki
lembaga pendidikan diniyyah mulai dari ibtida’iyyah (tingkat dasar), śanawiyyah
(menengah pertama) dan ‘Aliyyah (menengah atas) tetapi itu tidak berarti lulus
dari ‘Aliyyah akan bisa langsung masuk Ma’had Aly. Walaupun begitu, seakan-
akan tidak ada kesinambungan antara jenjang pendidikan dibawah Ma'had Aly
dengan Ma'had Aly, mereka yang lulus dari ‘Aliyyah tidak secara otomatis bisa
masuk ke Ma'had Aly, mereka haru menjalani seleksi seperti layaknya santri dari
pesantren lain. Tidak adanya kesinambungan ini mengesankan lemahnya kualitas
pendidikan di bawah Ma'had Aly walaupun dikelola oleh lembaga yang sama.
Karena tidak adanya kesinambungan ini kemudian madrasah diniah
dilingkungan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah tidak bisa menjadi penyangga
yang kuat atas berdirinya Ma'had Aly. Sehingga Ma'had Aly menyelenggarakan
madrasah i’dâdiyyah sebagai lembaga penyangga Ma'had Aly. Ketika penulis
bertanya kepada KH. Afifuddin Muhajir tentang otonomi Ma'had Aly ini belau
menjawab, Ma'had Aly otonomi lafzan bukan maknan (otonomi secara de jure tetapi
tidak de facto). Sampai saat ini Ma'had Aly belum bisa otonomi terutama berkaitan
dengan keuangan. Keuangan masih terus disubsidi oleh yayasan karena sangat
murahnya biaya yang dibayar oleh santri yang sangat tidak sesuai dengan kebutuhan
operasional. Saat ini ada wacana bahwa Ma'had Aly akan dicabut otonominya karena
memang tidak pernah otonomi.
b. Kurikulum
53
Dalam penyelenggaraan pendidikannya Ma'had Aly sangat berbeda dengan
perguruan tinggi yang biasa ditemukan ditempat lain. Ma'had Aly memiliki karakter
yang kuat pada kajian teks. Hampir setiap mata kuliah memiliki kitab yang menjadi
bahan acuan utama yang terus dikaji sampai khatam. Kitab-kitab atau buku-buku lain
yang yang tidak menjadi bahan utama hanya bersifat pelengkap dan bahan
perbandingan. Sistem belajar seperti ini memungkinkan santri untuk secara detail
menguasai isi kitab dan cara berpikir penulis. Pengetahuan yang mendalam atas satu
kitab tertentu itulah yang kemudian memudahkan santri untuk bisa menguasai bahan
bacaan lain. kordinator kurikulum Ma'had Aly, ustadz Abu Yazid, menjelaskan sejak
awal Ma'had Aly memang sangat konsen pada kajian teks. Sedikit demi sedikit
Ma'had Aly mengimbangi dengan metode lain seperti yang dikembangkan di
perguruan tinggi pada umumnya. Sampai saat ini antara kajian teks sudah berimbang
dengan metode lain. Walaupun begitu kajian teks ini akan terus dipertahankan dan
akan menjadi ciri khas metode pendidikan di Ma'had Aly. Yazid menjelaskan,
metode kajian teks yang membaca satu kitab sampai khatam itu sangat membantu
para santri untuk mencapai pemahaman yang sempurna karena tidak ada celah yang
tidak dibaca. Sejauh ini kurikulum Ma'had Aly masih didominasi oleh materi
berbahasa Arab dan kitab karya lama. Sangat jarang buku-buku berbahasa Indonesia
atau bahasa lain ditemukan di pesantren ini.
Secara garis besar Ma'had Aly membagi struktur kurikulumnya menjadi 4
bagian, pertama adalah mata kuliah dasar, yang meliputi bahasa asing, filsafat Ilmu
fiqh, Studi al-Quran (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum Islam), studi hadiś
54
(Hadiś-Hadiś yang berkaitan dengan hukum Islam. Studi Sirah (perjalanan) Nabi.
Yang kedua, Mata kuliah konsentrasi yang meliputi Studi Naskah Turath, Metodologi
Istimbath, Studi Tematik Fiqh Kontemporer (Fiqh al-Mu’asharah), ), al-’Alaqot al-
Dauliyah, al-Fiqh al-Dusturi. Ketiga, mata kuliah pendukung, yang meliputi,
Metodologi Penelitian, Kajian Islam Kontemporer (elektif), Seminar Proposal Tesis.
Bagian yang terahir adalah mata kuliah ketrampilan yaitu: Analisis Sosial, Teknik
Advokasi, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, dan Kerja Lapangan. Berikut adalah
diskripsi lengkap yang dibuat oleh Ma’had aly.49
DiskripsiKurikulum Ma’had Aly
I. Mata Kuliah Dasar :a) Filsafat Ilmu Fiqh
Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan ilmu filsafat dalam mengapresiasi ilmu-ilmu fiqh yang berkembang dari masa ke masa. Dengan menguasai mata kuliah ini diharapkan peserta didik mampu mengembangkan wacana kritis-filosofis terhadap metodologi yang dilakukan oleh setiap generasi para pakar fiqh dalam lintasan sejarah. Dengan demikian peserta didik dapat mengetahui secara utuh posisi ilmu fiqh di antara lembaran ilmu-ilmu yang lain.
b) Qawa’id al-FiqhMata kuliah ini diberikan agar peserta didik dapat merumuskan
pola fikir sitematik terhadap struktur bangunan fiqh sebagai produk ijtihâd. Kaedah Fiqhiyyah dibangun untuk membingkai fragmentasi diktum-diktum fiqh menjadi kaedah-kaedah umum sehinga mudah diklasifikasi. Disiplin ilmu fiqh yang amat kaya akan pendapat-pendapat para Fuqaha’ perlu dirumuskan ke dalam kaedah-kaedah besar sehingga mudah diakses serta ditelusuri sejarah dan mekanisme pembentukannya.
c) Studi al-Qur’an (Ayat-Ayat Ahkam)Mata kuliah ini diberikan agar peserta didik mampu memahami
mekanisme pembentukan fiqh melalui sumber-sumber primernya yaitu ayat-ayat ahkam yang terdapat dalam al-Qur’an. Dengan menguasai
49 Seluruh isi uraian ini ditulis utuh dari sumber aslinya, draf Kurikulum Ma’had Aly PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo 2003
55
materi dalam mata kuliah ini peserta didik diharapkan mempunyai wawasan akademik-metodologis dalam melihat proses penafsirat ayat-ayat yang berdimensikan hukum menjadi postulat-postulat hukum operasional sebagai pegangan mukallaf sehari-hari.
d) Studi Hadits (Hadith-Hadith Ahkam)Mata kuliah ini juga bertujuan agar peserta didik mampu
memahami mekanisme istinbath hukum melalui sumber primer kedua yaitu hadits-hadits Nabi yang bermuatan hukum-hukum. Dengan pemberian mata kuliah ini peserta didik diharapkan dapat memotret mekanisme penelusuran kandungan hukum bagi setiap hadits yang dilakukan oleh para Mujtahid. Sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, hadits ahkam mempunyai peranan sangant penting dalam proses pembentukan hukum-hukum operasional
e) Studi Sirah (Perjalanan) NabiMata kuliah ini ditekankan pada kajian analisa histories tentang
dimensi fiqh yang dimunculkan oleh perilaku Nabi SAW. Penekanannya mata kuliah ini bukan pada tataran pembacaan sejarah semata, tetapi bagaimana pasa peserta didik mampu menapak tilasi sejarah perjalanan nabi dalam perspektif pembentukan postulasi hukum operasional. Sebab tidak jarang tindakan yang diperangaikan Nabi SAW merupakan pantulan ijtihâd, sungguhpun boleh-tidaknya Nabi SAW melakukan ijtihâd masih diperdebatkan karena beliau telah dianggap mengantongi wahyu.
II. Mata Kuliah Konsentrasia) Studi Naskah Klasik (Tahlil al-Turath)
Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan keilmuan klasik baik berupa ilmu fiqh, uşûl fiqh maupun tasawwuf. Dengan menguasai ilmu-ilmu klasik ini diharapkan peserta didik mampu berinteraksi dengan khazanah keilmuan lama warisan salafuna al-shalih sebelum bergumul dengan fenomena sosial kekinian. Tidak dapat dipungkiri bahwa literatur keilmuan baru yang disusun para penulis kontemporer saat ini sesungguhnya merupakan mata rantai dari khazanah keilmuan klasik. Oleh karena itu kurang pada tempatnya jika dalam upaya mengapresiasi keilmuan baru saat ini kita meninggalkan begitu saja warisan lama tanpa reserve. Sebaliknya kita mesti memadukan antara yang lama dan yang baru tanpa menafikan upaya kritisisme terhadap kedua-duanya. Dengan demikian, kesinambungan mata rantai ilmu pengetahuan dapat kita sinergikan secara proporsional sesuai keperluan yang mengitari.
b) Studi Tematik Metodologi Istinbath (Thuruq al-Istinbath) Mata kuliah ini terdiri dari ilmu uşûl fiqh yang tak lain
merupakan metode ‘aqliyyah-naqliyyah standard dalam proses istinbath hukum berdasar dalil-dalilnya. Dengan menguasai mata kuliah ini diharapkan peserta didik dapat mengembangkan mekanisme istinbath hukum, utamanya dalam upaya merespons dinamika masyarakat yang
56
terus bergulir seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat cakupan materi mata kuliah ini yang begitu luas maka mata kuliah ini dibelah menjadi 3 tahapan, yaitu:1) Uşûl Fiqh 1 (Kaedah-kaedah Penafsiran Teks)
Mata kuliah ini menyajikan dasar-dasar ilmu uşûl fiiqh, seperti dalil-dalil syar’i, hukum-hukum syar’i dan kaedah-kaedah penafsiran teks (nash) syar’i menjadi postulat-postulat hukum operasional.
2) Uşûl Fiqh 2 (Maqashid al-Syari’ah)Mata kuliah ini lebih mengarah pada kaedah-kaedah
tasyri’iyyah dalam pembentukan hukum. Jika dalam Uşûl Fiqh 1 fokus pembicaraannya adalah penafsiran teks maka dalam Uşûl Fiqh 2 ini lebih ditekankan pada upaya menelusuri maksud-maksud tuhan menurunkan syari’at (maqashid al-syari’ah) di muka bumi ini.
3) Uşûl Fiqh 3 (Studi Kritis Pemikiran Uşûl Fiqh)Mata kuliah ini dimaksudkan untuk merekonstruksi
pemikiran uşûl fiqh kontemporer secara lebih aplikatif. Maksudnya, bagaimana kaedah-kaedah uşûliyyah itu lebih dijabarkan secara lebih dekat dengan realitas di masyarakat. Dengan demikian, fokus pembicaraannya lebih bersifat analitis dan kritis ketimbang sekadar menggali kaedah-kaedah yang ada.
c) Studi Tematik Fiqh Kontemporer (Fiqh al-Mu’asharah)1) Fiqh al-Iqtishad al-Islamy al-Hadith
Mata kuliah ini diberikan untuk menyikapi fenomena ilmu perekonomian yang terus berkembang sesuai tingkat perkembangan masyarakat dan IPEK yang melatari terjadinya transaksi dan interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat. Materi dalam mata kuliah ini menyuguhkan isu-isu mutakhir berkaitan dengan praktik ekonomi seperti fenomena pasar bebas, transaksi dengan kartu kredit, perdagangan valuta asing, bursa saham, isu cloning dengan berbagai implikasinya dan bentuk-bentuk transaksi modern lain yang perlu mendapatkan terapi dan alternatif pemecahan dari fiqh Islam.
2) Al-‘Alaqat al-DawliyyahMata kuliah ini perlu diberikan untuk menyikapi
globalisasi dunia yang eksesnya kian menggejala hampir di setiap sudut kehidupan. Dalam kaitan ini fiqh dianggap perlu berbicara persoalan hubungan intrnasional menyangkut nilai tawar ummat Islam menghadapi isu-isu internasioanal semisal terorisme dan lain-lain. Dengan mata kuliah ini diharapkan peserta didik dapat mengapresiasi kandungan fiqh dalam struktur politik internasional, kkhususnya berkaitan dengan negara bangsa-bangsa (nation state). Tak hanya itu, dalam tata politik mutakhir ini kita dituntut dapat memformat lebih elaboratif hubungan Muslim-non Muslim menurut perspektif fiqh.
3) Al-Fiqh al-Dustury
57
Mata kuliah ini memiliki orientasi legislasi fiqh (taqnin) secara lebih formal. Maksudnya, bagaimana diktum-diktum fiqh itu dapat dilegalisai dalam bentuk perundang-undangan tertentu. Tugas ini sebenarnya menjadi kewenangan legislator di lembaga DPR dan DPRD. Dengan mata kuliah ini peserta didik dapat dibekali teori- teori legislasi sehingga mampu mewacanakan persoalan ini secara lebih sistematis dan metodologis. Terlebih-lebih jika mereka sendiri mampu berperan lebih aktif sebagai legislator kelak.
III. Mata Kuliah Pendukung :a) Metodologi Penelitian
Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan ketrampilan mengumpulkan data, mengolah data serta menganalisisnya sesuai kriteria penelitian yang diperlukan dalam dunia akademik. Mata kuliah ini dibagi dalam dua segmen, yaitu :1) Metodologi Penelitian Kwalitatif,
Yaitu mekanisme penelitian yang didasarkan pada data-data bahan pustaka dan diukur secara kwalitatif tanpa memproyeksikan angka-angka di lapangan sebagai hasil temuannya.
2) Metodologi Penelitian Kwantitatif,Yaitu mekanisme penelitian yang beraksentuasi pada
angka-angka di lapangan sebagai data yang mesti dikaji dan diteliti secara kwantitatif.
b) Kajian Islam Kontemporer (elektif)Mata kuliah ini diberikan untuk merespons peristiwa-peristiwa
hukum baru berkaitan dengan perkembangan praktik transaksi kontemporer. Seperti transaksi dalam asuransi, perbankan modern dan lain-lain. Penyebaran mata kuliah ini dituangkan dalam bentuk tawaran agar peserta didik memilih salah satu dari tiga komponen mata kuliah sebagai berikut:1) Fiqh al-Ta’min (asuransi)
2) Al-Fiqh al-Mashrafy (perbankan)3) Al-Iflas wa al-Azmah al-Iqtishadiyyah (krisis ekonomi)
c) Seminar Proposal TesisSeminar Proposal dilakukan oleh calon penulis tesis dengan
mengundang pakar yang membidangi topik kajian yang ada dalam proposal tesis yang sedang diajukan. Seminar tesis juga melibatkan seluruh peserta didik dan lembaga-lembaga lain yang terkait untuk lebih menggairahkan serta mendapatkan kritik, saran dan masukan sehingga terjadi akumulasi data yang sangat diperlukan oleh calon penulis.
IV. Mata Kuliah Ketrampilan :Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan
perangkat ketrampilan tertentu untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat selama program perkuliahan. Mata kuliah ini tidak dituangkan dalam bentuk
58
perkuliahan rutin seperti mata kuliah lainnya. Sebaliknya, mata kuliah ini dipaparkan dalam bentuk pelatihan semisal bengkel, semi-loka, diskusi panel, pengabdian masyarakat dan lain-lain. Adapun materi yang ditawarkan meliputi :a) Analisis Sosialb) Teknik Advokasic) Teknik Penulisan Karya Ilmiahd) Kerja Lapangan
V. Penulisan Tesis Penulisan tesis dilakukan sebagai pelengkap dan pensyaratan akhir
bagi kelulusan peserta didik menjalani program studi. Program penulisan tesis ini bertujuan untuk mengkerangkakan cara berpikir peserta didik secara sistematik dan metodologis sesuai tuntutan akademik. Judul dan proposal tesis bisa diajukan sejak semester IV dan diseminarkan pada semester V sebelum penelitian dan penulisannya disempurnakan hingga semester terakhir (VI). Jumlah minimal penulisan tesis adalah 100 halaman dan maksimal 450 halaman dengan menggunakan spasi ganda dan ukuran kertas A4.
4. Aktifitas Santri
1) Bidang keilmuan
Aktifitas santri Ma'had Aly untuk merajut intelektualitas bisa dikatakan
cukup padat. Hampir di setiap waktu yang ada tidak libur dari aktifitas ini. karena
aktifitas inilah yang sebenarnya menjadi nafas kehidupan keilmuan di Ma'had Aly.
Banyak varian kegiatan yang lakukan oleh santri Ma'had Aly, mulai dari pengajian
kitab-kitab klasik yang bersifat balahan weton,50 sampai pada upaya pemahaman
lebih mendalam lagi yang kemudian dikemas dalam bentuk diskusi kelas atau diskusi
kelompok.
50 Balahan weton adalah sebuah sistem pengajaran pesantren yang paling tua. Jauh sebelum ada sistem klasikal sistem ini telah digunakan di pesantren. Pengajian ini diselenggarakan secara monilog, guru membaca dan mengartikan sementara santri menyimak sambil menuliskan arti yang mereka belum mengerti, biasanya pengajian cara ini diselenggarakan di pesantren-pesantren tradisional setelah shalat lima waktu.
59
Pengajian balahan dilakukan sebagai upaya untuk menggali isi kitab dengan
cepat. Orientasi dari pengajian ini tidak untuk mendalami tetapi hanya sebagai
pengenalan. Sementara diskusi kelompok maupun kelas memang dilakukan untuk
mendalami isi kitab sekaligus memberikan catatan-catatan kritis atas isi kitab. Diskusi
kelas memiliki peranan yang sangat vital bagi perkembangan pemikiran santri Ma'had
Aly. Sebab di sinilah mereka mulai merambah ke areal yang sebelumnya tabu untuk
dijamah. Memberikan kritik pedas dan sesekali mempertanyakan kapasitas penulis
kitab adalah hal yang bisa terdengar ditelinga penulis dalam diskusi ini. Dalam
diskusi inilah mereka mengenal beberapa tipologi pemikiran pemikir progresif.
Pengetahuan tentang metodologi penetapan hukum Islam yang mereka dapatkan di
kelas sangat memungkinkan mereka untuk mengkritisi isi kitab dengan sangat
radikal. Bahkan pada persoalan-persoalan tertentu mereka meningkalkan isi kitab
yang sebelumnya diikuti dan dianggap tidak relevan lagi atau cacat secara
metodologis.
Ada beberapa dosen yang sengaja didatangkan untuk memberikan beberapa
mata kuliah tambahan yang dinilai harus dikuasai oleh santri Ma'had Aly. Hal ini
dilakukan untuk memberikan perspektif lain yang tidak biasa diterima dalam
pesantren. Dengan begitu maka santri Ma'had Aly lebih mudah berdialog dan
mengerti bagaimana cara berpikir kelompok lain. Dosen-dosen tamu itu biasanya
memberikan materi-materi yang berhubungan dengan kajian Islam kontemporer,
sosiologi, Filsafat barat atau ilmu-ilmu humaniora lain.
60
Menilik dari durasi waktu yang ada, hampir saja santri Ma'had Aly
kekurangan jam istirahat yang cukup. Perkuliahan di Ma'had Aly dimulai jam 07. 00
wib sampai jam 11.00 wib, bahkan terkadang sampai pada jam 13.00 wib. Ini
berlansung setiap harinya selain hari Jum’at. Selain jadwal itu selama dua kali dalam
seminggu santri juga harus masuk kelas pada jam 15.30 sampai 17.00.
2) Bidang ‘Ubudiyyah (peribadatan)
Selain aktifitas keilmuan, santri Ma'had Aly juga menjalankan ibadah-
ibadah ritual. Shalat berjama’ah lima waktu, membaca şalawat, barzanji dan
beberapa bacaan lain juga wajib dilakukan setiap malam Selasa dan Jum’at. Tidak
hanya ibadah yang wajib saja yang dilakukan oleh para santri, bahkan puasa sunnah
pun banyak dilakukan oleh sebagian santri Ma'had Aly. Bagi mereka rasio boleh
diajak berkelana kemana saja, tetapi hati tidak boleh kering dari siraman ritual [].
BAB III
MA'HAD ALY DAN PETA STUDI FIQH
A. Tahapan perkembangan fiqh di Indonesia
1. Islam Indonesia dari orientasi sufi sampai orientasi fiqh
Pada tahun 2000 sensus penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa Muslim
di Indonesia menempati urutan pertama terbanyak. Populasi Muslim pada tahun itu
berjumlah 1777,53 Jiwa atau 88,22 persen dari total penduduk Indonesia.51 Sebuah
51 Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 1001-1003.
61
jumlah yang sangat besar. Dengan populasi itu maka Indonesia menjadi negara
dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Besarnya jumlah Muslim di Indonesia
sama sekali bukan berarti persoalan internal Islam telah selesai. Polemik yang
mengitari Islam Indonesia sangatlah pelik. Mulai dari kapan masuknya Islam ke
Indonesia, siapa yang membawanya sampai pada persoalan Islam jenis apakah
orientasi beragama masyarakat Indonesia belum usai. Sebagian pakar Islam
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada kitaran abad ketujuh atau
kedelapan dan datang langsung dari Arab, sementara pakar yang lainnya menganggap
Islam masuk ke Indonesia baru pada abad kedua belas atau bahkan ketiga belas dan
datang dari belahan India bukan Arab. Kebanyakan para pendukung pendapat
pertama adalah para pemikir Indonesia dan malaysia sedangkan pendapat kedua
banyak didukung oleh para pemikir Islam Barat.52 Kedua kelompok ini sama-sama
memiliki argumentasi masing-masing. George F. Hourani, C. G. F. Sinkim, Joseph
De Somogyi (1993) dalam Madzhar (1993) mengatakan bahwa pendapat pertama,
yang mengatakan Islam datang pada abad ke delapan, dibangun atas argumentasi
bahwa perdagangan laut yang menghubungkan antara Siraf teluk Persia, India dan
Chinai sudah terbangun sejak abad ke empat Masehi dan pada abad ketujuh telah
berkembang menjadi sebuah sistem transportasi yang lebih besar. Sehingga wajar jika
pada abad ke delapan Islam sudah masuk ke Indonesia. Catatan sejarah tahunan
Kwangtung menjelaskan pada awal dinasti Tang pada tahun 618-907 M, Muslim
52 Mohammad Atho Mudzhar, fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legel Thought in Indonesia 1975-1988 bilingual edition (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 10.
62
telah datang ke Cina. Saat itu dinasti Tang menerima para utusan Muslim Arab yang
mereka sebut Ta-sih (pengucapan orang Cina atas bahasa Persia: Ta-Zi). Kedatangan
Islam ke Cina yang kedua adalah pada tahun 655 dan ketiga pada tahun 681. selama
Dinasti Bani Umaiyyah berkuasa pada tahun 661-751 Masehi telah tujuh belas utusan
dikirim ke Cina. Dampak dari hubungan diplomatik itu telah banyak orang Islam
yang tinggal di Cina. Perjalanan dari Siraf ke Cina adalah sebuah perjalanan panjang
yang membutuhkan beberapa kali transit karena memang tidak mungkin melakukan
perjalanan sepanjang itu tanpa berhenti dan singgah ke kota tertentu. Malabar di
India, Perlak in Sumatera selatan (Indonesia) and Kalah atau Kedah di pantai barat
semenanjung Malaysia adalah beberapa tempat yang menjadi sasaran transit. 53 Dari
beberapa penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa sebuah hubungan baik antara
Malaysia, Indonesia, Cina dan para pengembara Muslim telah terjalin sejak abad ke
tujuh atau ke delapan dan saat itulah Islam mulai masuk ke Indonesia.
Walaupun pada abad ketujuh sudah ada dugaan kuat dan beberapa bukti
adanya penduduk yang beragama Islam di Indonesia namun Islam memang tidak
mengalami kemajuan yang pesat. Baru pada abad ketiga belas Islam mengalami
perkembangan pesat. Perkembangan Islam inilah yang kemudian oleh para Ilmuwan
barat dianggap sebagai awal masuknya Islam ke Indonesia. Teori kedua yang
menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tigabelas memiliki
argumen yang dikenal teori batu nisan. Teori ini terbangun karena penemuan batu
nisan yang bertuliskan dengan huruf arab seperti, Sultan Malik Salih dan Malik Zahir
53 Ibid, hlm. 12-13.
63
di Indonesia. Tulisan dengan huruf dan bahasa Arab itu menunjukkan bahwa Malik
Salih telah meninggal pada tahun 1326 dan Malik Zahir pada tahun 1326. Beberapa
nisan lain dengan huruf Arab juga ditemukan di beberapa tempat lain seperti di
Gresik Jawa timur, makam Malik Ibrahim yang wafat pada 1429 H. Batu-batu nisan
tersebut telah mengindikasikan secara meyakinkan bahwa telah ada komunitas Islam
bahkan mungkin kerajaan Islam pada abad ke tiga belas karena nisan itu bertuliskan
Sultan yang merupakan gelar untuk raja pada kerajaan Islam.54 Teori batu nisan ini
juga muncul tanpa polemik. Polemik terjadi karena teori ini tidak hanya mendukung
kapan datangnya Islam tetapi karena teori ini juga digunakan dalam mendukung teori
asal kedatangan Islam. Moquette, seorang ilmuwan dari Belanda dengan teori ini
berkesimpulan bahwa Islam datang dari Gujarat. Menurut Moquette model batu nisan
yang ditemukan di Indonesia itu memiliki model dan bentuk yang sama dengan batu
nisan yang diproduksi di Gujarat. Ia menegaskan bahwa batu-batu nisan itu tidak
hanya dijual dipasar lokal tetapi juga pasar internasional termasuk Indonesia.
Moquette mengatakan, bersama dengan pemasaran batu-batu nisan itulah Islam
disiarkan ke Indonesia sehingga bisa diperoleh kesimpulan bahwa Islam Indonesia
berasal dari Gujarat.
Sementara itu seorang ahli lain, Fatimi, menentang keras pendapat
Moquette. Menurut Fatimi batu-batu nisan yang ditemukan di Indonesia itu sama
sekali tidak mirip dengan batu nisan yang diproduksi di Gujarat tetapi lebih mirip
dengan batu nisan yang diproduksi di Banggal, sehingga dengan begitu menurut
54 Ibid, hlm. 12-17.
64
Fatimi Islam Indonesia tidak datang dari Gujarat melinkan dari Banggal. Namun teori
Fatimi ini tidak sanggup mematahkan teori Maquitte. Fatimi seakan melupakan
sebuah data yang sangat berpengaruh yaitu data tentang Maźhab orang Islam
Indonesia. Fatimi seakan tidak menyadari bahwa madzah yang dianut oleh orang
Benggal dan Indonesia berbeda. Mereka menganut Maźhab Hanafi sementara orang
Indonesia kebanyakan menganut Maźhab Syafi’i.55 Dengan perbedaan mazdhab ini
pernyataan Fatimi yang menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Banggal
sangat mudah digugurkan.
Pendapat yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Gujarat yang
dibangun oleh teori batu nisan Moquette itu ternyata juga dikuatkan beberapa ahli
lain yang menyatakan bahwa Islam memang datang dari Gujarat dan dibawa oleh
orang-orang Arab. Teori kedatangan Islam dari India juga dikuatkan oleh Snouck
Hurgronje. Sayang sekali Hurgronje tidak menyebutkan dengan jelas dari belahan
India mana Islam datang. Menurut Hurgronje orang-orang Arab yang kebanyakan
keturunan Muhammad karena bergelar syarif itu datang belakangan setelah para
pedagang perantara India menyebarkan Islam di tanah Melayu. Namun Hurgronje
mengakui bahwa yang menyelesaikan proses penyebaran Islam di Indonesia adalah
orang Arab. Tentang kapan waktu pertama Islam masuk menurut Hurgronje, abad ke
–12 lah yang paling mungkin.56 Azyumardi Azra menyebut setidaknya ada topik
besar yang menjadi perdebatan tentang Islam Indonesia. Pertama adalah dari mana 55 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24-25.
56 Ibid, hlm. 23.
65
Islam Indonesia datang? Siapa yang membawanya? Dan yang terahir adalah kapan
Islam masuk ke Indonesia? Menurut Azra perdebatan-perdebatan itu menjadi sulit
untuk dipecahkan bukan karena kurangnya data saja tetapi juga karena sifat sepihak
teori-teori itu. Banyak sekali teori yang berkonsentrasi dengan tema tertentu tetapi
tidak didukung dengan perhatian pada topik yang lainnya. 57
Secara sangat sistematis mengenai asal usul Islam Indonesia ini, Azra
menjelaskan ada tiga teori kedatangan Islam ke Indonesia. Pertama adalah Islam
masuk ke Indonesia pada abad I H atau VII Masehi langsung dari Arab (Hadramaut)
ke pesisir Acah. Teori ini kemudian juga dikukuhkan pada seminar masuknya Islam
ke Indonesia di Medan pada tahun 1962. Kedua, adalah teori yang menyatakan bahwa
asal dari Islam nusantara ini dari anak Benua India, bukan Persia atau Arab pada abad
ke dua belas. Menurut teori ini, pada Abad inilah yang paling mungkin dianggap
sebagai abad masuknya Islam yang sebenarnya. Teori ketiga yaitu sebuah teori yang
dikembangkan oleh Fatimi. Teori ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari
banggali (Bangladesh). Teori ini tergolong sangat lemah karan menuai banyak kritik.
Argumentasi Fatimi yang menyatakan bahwa secara doktrin Islam di semenanjung
mirip dengan Islam di Phanrang dan beberapa prasasti yang ditemukan di laren mirip
dengan prasasti yang ditemukan di Trengganu dinilai sangat lemah. Di samping itu
seperti yang telah ditulis diatas bahwa Mazdhab yang dianut orang Islam di Indonesia
berbeda dengan yang Mazdhab yang dianut oleh Muslim di Banggali.58
57 Azyumardi Azra, op. cit, hlm. 24 58 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas politik hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 107-109.
66
Walaupun ada pendapat yang mangatakan bahwa Islam yang masuk ke
Indonesia sejak awal memang sudah berorientasi Fiqh namun banyak data
menyebutkan bahwa Islam mula-mula masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum
sufi yang sangat kental dengan nuansa mistis. Pendapat yang menyebutkan bahwa
Islam yang masuk ke Indonesia sejak awal memang sudah berorientasi Fiqh
mengakui Fiqh pada periode awal Islam memang tidak bertahan lama. Fiqh pada
periode ini dianggap kurang strategis sebagai pintu masuknya Islam. Fiqh dianggap
sulit bisa diterima orang-orang Indonesia yang kala itu masih menganut agama
terdahulunya yang kental dengan nuansa mistis. Karena persoalan strategi itulah
kemudian para pendakwah Islam ketika itu merubah orientasinya dari Fiqh ke mistik.
Pendapat ini penulis peroleh dari forum-forum diskusi dan belum menemukan data
yang jelas tentang ini.
Melihat data yang ada maka penulis lebih condong pada pendapat yang
menyebutkan bahwa Islam Indonesia pada awal perkembangannya memang
berorientasi mistis. Secara spikulatif mungkin bisa mengatakan bahwa mula-mula
Islam dengan corak Fiqh memang sudah masuk Indonesia bersamaan dengan Islam
mistis tetapi karena mekanisme “pasar” sehingga fiqh tidak berkembang diawal
masuknya Islam. Suburnya Islam mistis ini bisa dimengerti karena memang agama
dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebelum Islam memang
sangat kuat nuansa mistisnya. Hal lain yang yang membuat Islam bergaya mistis ini
mudah diterima adalah karena Islam mistis dinilai sangat atraktif dalam penyajiannya,
seperti yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra. Azra menulis, para kaum sufi telah
67
melakukan penyebaran Islam besar-besaran pada abad ke tiga belas. Penerimaan
penduduk Indonesia terhadap Islam juga karena para kaum sufi melengkapi ajaran
Islamnya dengan tradisi-tradisi mistis yang ramah terhadap budaya lokal. Dengan
begitu sehungga tidak jarang Islam Indonesia mendapat tuduhan miring sebagai Islam
sinkritis karena sikap akomodatifnya terhadap budaya lokal.59 Saat penyebaran Islam
pertama tidak tampak ada paksaan dan kontroversi. Masuknya Islam mistik ke
Indonesia juga dibarengi oleh fenomena Islam internasional di mana Islam Sufi
memang sedang menjadi fenomena masyarakat Islam dunia, tepatnya setalah
jatuhnya Baghdat pada tahun 1258 M.60
Ditinjau dari rujukan kitab yang dipakai di pesantren-pesantren tradisional di
Indonesia, Islam di Indonesia dari segi teologis berMaźhab Asyariyah dengan
tokohnya Abu Hasan Al-Asy’ari61 dan Maturidiyah dengan tokohnya Abu Mansur
Al-Maturidi62 yang hidup pada pada abad 10 Hijrah di Samarkan. Dalam Fiqh
mayoritas penduduk Indonesia berMaźhab Syafi’i. Gelombang Islam Sufi sejak
masuknya Islam ke Indonesia memang sangatlah kuat. Hal ini bisa dilihat dari
pandangan-pandangan masyarakat lokal terhadap diri mereka dan Islam. Di
Minangkabau, misalnya, masyarakat Minang menganggap bahwa tanah Minang 59 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 32-35.
60 Marzuki Wahid & Rumadi, op. cit., 113.61 Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Beliau lahir di
Bashrah pada tahun 260 H/ 874 M dan wafat pada tahun 324 H/ 936 M. beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Lihat, Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Malang: Pustaka Bayan, 2005, hlm. 15
62 Imam yang lahir di daerah Maturid ini memiliki nama lengkap Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Tidak ada keterangan yang valid mengenai tahun kelahirannya. Yang disepakati oleh para sejarawan hanya tahun wafatnya yaitu tahun 333 H/ 944 M. Ibid, hlm. 20
68
diciptakan oleh Allah dari Nur (cahaya) Muhammad. Minang diciptakan bersama
belahan dunia lain, “Benua Ruhum” atau Roma, yakni Turki Utsmani yang
memegang hegemoni kekuasaan wilayah barat dan “benua Cina” yang memegang
hegemoni kekuasaan wilayah barat yang sama-sama diciptakan dari Nur Muhammad.
Pandangan orang Minang tentang kosmologi ini jelas dipengaruhi oleh filsafat Islam
dan tawawuf. Bukti lain adalah penggunaan gelar-gelar untuk pemimpin di Minang.
Para pemimpin Minang menyandangka gelar pada dirinya “Aour Allum Maharaja
Diraja”, yang dipercaya sebagai adik laki-laki sultan Ruhum yang disebut “Maha
Raja Alif”. Jadi orang Minang percaya pemimpin mereka adalah adik kholifah Rum
(penguasa Turki Ustmani).63
Kecenderungan orientasi fiqh masyarakat Islam Indonesia mulai tampak
baru pada abad ke depan belas atau paling capat abad ketujuh belas ketika gerakan
scriptualist mulai bangkit. Gerakan scriptualist ini ditandai dengan penggunaan
naskah-naskah Arab baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Melayu yang
ditulis dengan hiruf Arab. Naskah-naskah yang kebanyakan ditulis di tanah Arab itu
masuk dan dibaca orang Islam Indonesia setelah adanya jalinan hubungan erat antara
Indonesia dengan negeri Arab. Rumadi menyebutkan bahwa gerakan fiqh Indonesia
pada abad tujuh belas atau delapan belas ini sebagai kelanjutan dari orientasi tasawuf
yang sudah mapan sebalumnya.64 Sejauh ini belum ada kajian tentang Islam yang
sangat komperhensif yang membicarakan tentang perkembangan Islam pada abad 63 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 45.64 Rumadi, Pembentukan Tradisi Hukum Islam di Indonesia- Survei singkat pada abad XVII-
XVII, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 4 Tahun 1999, (Jakarta: LAKPESDAM NU dan LTN-NU), hlm. 72.
69
tujuh belas seperti yang diakui oleh Martin. 65 Berdiskusi tentang orientasi fiqh
masyarakat Islam Indonesia, maka Aceh adalah kota yanga penting dalam hal ini.
Ulama’-ulama’ penyiar Islam yang yang tinggal di Aceh sering disebut sebagai
penyeimbang orientasi fiqh dan mistik di Indonesia. Sebut saja Ar-raniri, ulama asal
India yang bernama lengkap Nur ad-Din Ar-Raniri (w. 1068 H/1658 M) telah
membawa nuansa baru dalam Islam Indonesia. Ar-Raniri memang lebih terkenal
sebagai seorang tokoh tasawuf dari pada sebagai tokoh fiqh. Hal ini bisa dimengerti
karena disamping karya-karya beliau yang lebih banyak di bidang tasawuf dari pada
fiqh ar-Raniri juga penganut salah satu aliran tarekat. Kendatipun begitu ar-Raniri
juga memiliki karya dibidang fiqh. Gaya pemikiran fiqh ar-Raniri adalah fiqh yang
termodifikasi dengan nuansa tasawuf. Pandangan-pandangannya terhadap hukum
Islam tergolong keras dan tegas dan tampak scriptualist seperti yang digambarkan
oleh Marzuki Wahid dan Rumadi66. Wahid dan rumadi mencontohkan kitab Shirath
al- Mustaqim. Kitab fiqh yang ditulis oleh ar-Raniri ini memuat tentang tata cara
beribadah sederhana mulai dari bersuci, shalat, zakat puasa dan haji. Buku fiqh
pertama di Indonesia ini juga ditulis dengan bahasa yang sinis terhadap kelompok
lain baik agama lain seperti Kresten dan Hindu maupun kelompok Islam yang
nenurutnya mungkin sinkretik seperti kelompok aliran wujudiyah yang dipelopori
oleh penyair Hamzah Fansuri dan Syams al-Din as-Sumatrani. Ketika menjelaskan
tentang istinja’, Ar-Rniri mengatakan bahwa istinja’ tidak boleh menggunakan
65 Marti Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, ( Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23.
66 Marzuki Wahid & Rumadi, op. cit., 116.
70
sesuatu yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam) seperti kulit atau tulang bangkai
yang belum disamak.67 Jika tidak menemukan alat istinjak maka boleh diganti kertas
lembaran kitab Injil dan Taurat yang sudah berubah dari aslinya atau kitab yang
dilarang Syara’ dan tidak ada nama Allah seperti Sri Rama atau Inderapura.
Provokasinya terhadap kelompok Islam lain terlihat dari tulisannya ketika
menjelaskan tentang syarat-syarat orang yang halal hasil buruan dan sembelihannya.
Dalam kitabnya ar-Raniri menjelaskan orang-orang Majusi dan para penyembah
berhala serta para pengikut wujudiyah tidak syah penyembelihan dan haram hasil
buruannya. Dari sini tampak jelas bahwa ar-Raniri menganggap kelompok wujudiyah
sama dengan kelompok Majusi dan penyembah berhala.68
Harmoni budaya lokal yang dengan Islam mistik yang dikembangkan oleh
para sufi sejak kedatangan Islam ke Indonesia mulai terkoyak pada pertengahan abad
ke sembilan belas ketika gerakan tekstualis Padri di Minangkabau menandai
bangkitnya orientasi fiqh di Indonesia. Gelombang fiqh ini terus menguat seiring
dengan kepulangan para haji yang sudah dipengaruhi oleh paham Wahabi di tanah
arab. Perang antara masyarakat fiqh dengan masyarakat adat yang terjadi pada 1821-
1837 itu bukanlah gerakan fiqh pertama tetapi merupakan kelanjutan dari gerakan
sebelumnya yang terencana dan sistematis. Kendatipun pahit nya tregedi itu namun
hal itu menjadi tonggak munculnya gerakan baru dalam Islam Indonesia, gerakan
fiqh. 67 Istilah samak dalam fiqh artinya mensucikan kulit bangkai dengan cara tertentu yang tidak
hanya dengan air tetapi juga dengan benda-benda yang memiliki rasa sepat seperti daun jambu atau yang lainnya.
68 Ibid, hlm. 117.
71
2. Fiqh sebagai Primadona Pendidikan Pesantren
Hampir seluruh pesantren di Indonesia menjadikan fiqh sebagai pelajaran
primer yang harus diikuti oleh santri-santrinya. Beberapa pesantren di Indonesia
memang ada yang tidak menjadikan fiqh sebagai pelajaran primer, mereka adalah
pesantren yang berkonsentrasi pada tata bahasa Arab atau yang mereka sebut sebagai
ilmu alat69 atau pesantren yang berkonsentrasi pada ilmu tarekat. Pesantren jenis ini
biasanya didominasi oleh orang tua atau santri pasca pesantren fiqh atau alat. Tidak
dijadikannya fiqh sebagai materi primer bukan berarti fiqh tidak menjadi materi
kegemaran kaum santri tetapi justru sebaliknya karena mempelajari ilmu fiqh menjadi
cita-cita besar mereka. Sebutan ilmu alat untuk pelajaran tata bahasa Arab
mengindikasikan bahwa mempelajari ilmu tata bahasa arab adalah merupakan sarana
untuk bisa mengakses literatur-literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu keislaman
dan yang paling dominan di dalamnya adalah ilmu fiqh. Bisa dimengerti mengapa
fiqh menjadi sangat digemari di pesantren-pesantren salaf. Hal itu terjadi karena fiqh
dianggap sesuatu yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari seperti
cara bersuci, memilih dan mengelola makanan yang halal serta menata peribadatan
dan interaksi sosial, haliyyah. Ilmu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
menjadi ilmu yang paling wajib hukumnya dipelajari dalam tradisi pesantren
tradisional.70
69 Istilah Ilmu alat ini dipakai hampir seluruh pesantren salaf untuk mnyebut ilmu-ilmu tata bahasa Arab yang meliputi nahwu dan Shorrof. contoh yang masuk dalam katagori ini adalah pesantren Lerap di Kebumen Jawa tengah, Batokan dan Gedang Sewu di Kediri Jawa Timur.
70 Dalam kitab munomental yang hampir dibaca seluruh santri di Indonesia, ta’lim al-muta’allim, Syaih al-Zarnuzi memberikan penekanan kewajiban belajar ilmu al-hal. Kitab yang husus membahas tentang tata cara seorang murid dalam mununtut Ilmu.
72
Kegemaran banyak santri terhadap ilmu fiqh dan mainstream fiqh pada
masyarakan Muslim Indonesia merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan.
Keduanya saling berkelindan. Kegemaran para santri terhadap ilmu fiqh didukung
oleh mainstream orientasi fiqh masyarakat, dan begitu sebaliknya kecenderungan
masyarakat berorientasi pada fiqh juga banyak dipengaruhi alumni pesantren yang
terus memberikan tranformasi ilmu pengetahuan dengan mainstream fiqh. Hal ini
terbukti dengan adanya kesinambungan antara pengajian yang diselenggarakan di
surau-surau kampung dengan pengajian di pesantren. Guru-guru di surau kampung
yang nota-benenya adalah alumni pesantren selalu mengajarkan materi fiqh hampir di
seluruh tingkatan. Kecintaan santri surau terhadap ilmu fiqh ini kemudian dilanjutkan
di pesantren yang biasanya menjadi rekomendasi guru ngaji di kampung. Bahkan
sebagian alumni pesantren telah mengajarkan beberapa materi pengajian yang
didesain memang untuk melanjutkan ke pesantren tertentu. Faktor pendukung lain
yang membuat fiqh menjadi primadona adalah karena pertanyaan masyarakat kepada
alumni pesantren mayoritas persoalan fiqh. Sehingga ada semacam kesepakatan
umum bahwa orang yang dianggap ‘alim adalah yang mumpuni di bidang fiqh.
3. Dari Leteral sampai Kontekstual (Kilas Balik Perjalanan Fiqh di
Indonesia)
Sejarah kajian fiqh memang cukup panjang, mulai dari pengertiannya yang
sangat luas yang berarti ilmu pengetahuan dan mencakup ajaran Islam sampai pada
penyempitan makna yang identik dengan Syariah. Dari sederetan panjang
perjalanannya, tidak sepenuhnya masuk dalam kancah kajian fiqh Indonesia. Fiqh
73
datang ke Indonesia sudah pada posisinya yang bermakna formulasi hukum Islam.
Bukti-bukti atas ini bisa dilihat pada karya-karya fiqh yang dipelajari di Indonesia,
baik yang ditulis oleh ulama’-ulama’ Timur Tengah atau yang ditulis oleh ulama’
Indonesia yang tinggal haramain (tanah Arab). Beberapa kitab fiqh yang popular di
Indonesia seperti mabadi’ al-fiqh, fath al-Qorib (abu suja’), fath al-Mu’in (Zainuddin
al-Malibari), dan fath al-Wahab (Zakariya al-Anshori). Semua membahas tentang
tata cara hidup kaum Muslim dengan pendekatan hukum Islam. Karena pengaruh
karya-karya tersebut sehingga fiqh di Indonesia lebih cenderung kepada fiqh yang
berarti hukum Islam. Pengidentikan fiqh dengan hukum Islam ini terus berjalan,
bahkan bahkan untuk kalangan tertentu sampai saat ini. Tuntutan-tuntutan atas
penegakan syari’at Islam selalu diikuti dengan dibentuknya undang-undang yang
berdasarkan syari’at Islam yang tidak lain adalah fiqh.
Saat-saat awal fiqh masuk ke Indonesia karakter scriptualistnya sangat
tampak karena klaim atas ortodoksi Islam. Semua kelompok baik yang menklaim diri
sebagai ortodoks atau modernis memiliki karakter yang sama yaitu memiliki
fanatisme yang kuat terhadap teks. Yang membedakan di antara keduanya adalah
kalau modernis lebih mencoba memilih meninggalkan teks karya para Imam Maźhab
dan mencobe mengembalikan dan mencari jawaban atas semua persoalan melalui Al-
Qur’an atau Hadiś. Kelompok jenis ini biasanya cenderung tekstualis dan kurang
memberikan warna pada penafsiran-penafsiran terhadap teks. Akibat dari pemahaman
ini adalah pola pikir yang kaku dan anti dialog. Islam yang dikembangkan adalah
Islam ala Timur Tengah. Reformasi Islam yang dikembangkan kelompok ini adalah
74
memiliki karakter yang mirip dengan reformasi Islam yang terjadi di negara-negara
Islam. dalam perkembangannya lalu kelompok ini menjadi kelompok neo-modernis
yang menafsirkan al-qur’an dengan perangkat-perangkan hemeneutik untuk mulai
bisa berdialog dengan zaman.
Kelompok kedua (pro. Ortodoksi) juga meyakini bahwa al-Qur’an dan
Sunnah adalah sumber hukum di dalam Islam, akan tetapi bagi mereka untuk
menggali sendiri kandungan hukum yang ada di dalam al-Qur’an memiliki syarat-
syarat yang menurut mereka hampir tidak tidak mungkin dilakukan saat ini karena
sulitnya memenuhi persyaratan nya. Kelompok ini masih mengakui bahwa untuk
berijtihâd dibutuhkan kemampuan pribadi yang sangat berat seperti yang tertulis
dalam kitab-kitab klasik.71 Dampak dari keyakinan ini adalah kepercayaan mereka
yang berlebihan terhadap teks yang ditulis oleh ulama’ pada beberapa abad yang
silam. Bagi mereka mengikuti hasil ijtihâd ulama’ lebih aman dari pada menggali
hukum sendiri dari sumber aslinya al-Qur’an atau Sunnah. Keyakinan atas hasil
ijtihâd itulah yang membuat kelompok ini sangat tekstualis dan anti atas ijtihâd baru.
Ketika kelompok ini menemukan persoalan rumit yang tidak di temukan di dalam
kitab karya Imam Maźhab maka mereka menggunakan mekanisme qiyas (analogi),
seluruh persoalan dianalogikan dengan persoalan yang pernah dibahas dalam kitab
klasik. Kelompok ini mengakui ada sumber hukum lain selain al-Qur’an yaitu ijma’
71 Syarat-syarat mujtahid menurut Al-Syathibi ada dua yang harus dipenuhi. Pertama, seorang mujtahid harus memahami maqashid al-syari’ah (tujuan asasi syari’at) secara sempurna. Kedua, seorang mujtahid harus memiliki potensi untuk melakukan penggalian (istimbath) hukum berdasarkan pemahamannya terhadap maqashid al-syari’ah. Al-Syathibi, Al-Muwafaqat Fi Uşûl al-Ahkam, (Bairut: dar al-Fikr, tt.), Juz IV, hlm. 105-106. Bandingkan dengan syarat yang diutarakan Al-Ghazali. Al-Ghazali, Al-Mustashfa, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.), Juz II, hlm. 102.
75
(keputusan kolektif para ulama) dan qiyas.72 Hal ini bisa dibuktikan dari jawaban-
jawaban yang di rumuskan dalam bahstul masail NU. Jawaban-jawaban para
ulama’NU itu didasarkan atas teks yang tertulis dalam kitab-kitab klasik.
Kecenderungan kelompok kedua ini terus berkepanjangan hingga munculnya
pemikir-pemikir muda yang mengidentifikasi diri sebagai post tradisionalis.
Kelompok muda ini kemudian dengan kemampuan metodologi istimbat al-ahkam
(penggalian hukum) membongkar tradisi lama. Bagi mereka ijtihâd yang dilakukan
oleh para Imam Maźhab yang dilakukan sekian abad yang lalu sudah tidak sesuai
dengan konteks saat ini baik dalam segi waktu atau tempat. Berangkat dari kelompok
inilah kemudian fiqh kontekstual nantinya akan lahir.
Era reformasi (1998) yang telah memberikan perubahan besar pada tatanan
masyarakat Indonesia juga berpengaruh terhadap perubahan perlakuan masyarakat
Indonesia terhadap fiqh. Momentum reformasi yang membuka kran demokrasi di
Indonesia telah membuka banyak peluang bagi para pejuang demokrasi dan penuntut
perubahan untuk terus bergerak dengan berbagai macam cara dan strategi. Semangat
perjuangan ini kemudian bertemu dengan semangat kaum santri yang juga ingin
memberikan sumbangsih pemikiran untuk perbaikan Indonesia. Bak gayung
bersambut karya-karya fiqh yang mendukung perjuangan gerakan pro perubahan
72 Dalam dunia Islam sumber hukum yang menjadi pijakan dalam setiap pengambilan hukum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sumber hukum yang telah disepakati oleh mayoritas ulama. Kedua, sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama’. Sumber hukum yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ di antaranya ialah al-Qur’an, al-Hadiś, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum yang diperselisihkan di antaranya ialah maslahah mursalah, istihsan, urf, syar’u man qablana (syari’at umat terdahulu), ishtishhab, madzhab al-shahabiy. Dr. Abd Wahab Khalaf, Ilmu Uşûl al-Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1978), hlm. 21-22.
76
dimulai. Menyaksikan dominasi pemahaman Islam Indonesia adalah fiqh, maka
dimulailah gerakan-gerakan progresif dengan media fiqh. Kajian tentang fiqh dan
persoalan kontemporer yang sebenarnya sudah mulai digagas melalui seminar-
seminar dan workshop Sejak tahun 80an. Saat itu mulailah ditulis buku tentang fiqh
perempuan untuk kepentingan anti diskriminasi dan bias gender seperti yang ditulis
oleh Masudi (1998), fiqh perburuhan yang ditulis oleh Toyibah (1998)untuk
menberikan justifikasi pada gerakan buruh dan penuntutan upah yang layak, fiqh
tanah yang ditulis untuk kepentingan ekologi dan fiqh- fiqh tematik lainnya.
Persoalan-persoalan baru terus muncul. Kasus-kasus yang sebelumnya
hampir tidak pernah diprediksi oleh para ulama’ mulai dipertanyakan oleh banyak
orang. Sementara itu karya-larya ulama’ klasik dianggap tidak relevan lagi untuk
dijadikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan baru tersebut. Kenyataan ini menuntut
para ahli hukum Islam untuk membuat formulasi baru yang memberikan semacam
panduan yang jelas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa
diselesaikan dengan kitab-kitab klasik. Hal inilah yang melatarbelakangi
terbentuknya fiqh baru atau fiqh kontemporer yang diprakarsai oleh Sahal Mahfudz.
B. Ide Dasar Pengembangan Fiqh Dialogis
Mengapa Fiqh? Adalah pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh banyak
pengkaji wacana keislaman. Ketika pertanyaan ini penulis sampaikan kepada
pengelola Ma'had Aly, mereka sepakat bahwa fiqh adalah kekuatan Islam di
Indonesia dan di dunia Islam pada umumnya. Fiqh memiliki sejarah panjang yang
77
sangat dinamis dan memiliki otoritas kajian yang sangat jauh melampaui ilmu-ilmu
keislaman yang lainnya.
Fiqh, sebagai bahan kajian tidak pernah mati otoritasnnya, bahkan ketika
fiqh mengalami masa kejumudan dan pintu ijtihâd dianggap tertutup fiqh menempati
posisi sentral masyarakat Muslim. Pada masa Hanafi, fiqh tidak hanya berarti hukum
Islam atau yang berhubungan dengan syari’at Islam tetapi fiqh berkonotasi semua
ilmu-ilmu keislaman. Sepanjang sejarah belum pernah ada kajian Islam selain fiqh
yang pernah menjadi sentral kajian seperti fiqh. Fiqh yang bermakna seluruh kajian
Islam ini disimbolkan dengan ditulisnya sebuah kitab monumental yang berjudul al-
Fiqh al-Akbar (fiqh maha besar). Kitab yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah ini
mencakup seluruh studi Islam. Dalam fase ini fiqh berarti ilmu pengetahuan
keagamaan (ulum ad-din) yang mencakup ilmu kalam, mistik, hukum Islam dan Ilmu
yang lainnya.73
Alasan lain mengapa fiqh dipilih adalah karena fiqh memiliki perangkat-
perangkat metodologis yang memungkinkan untuk bereproduksi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Muslim. Fiqh memiliki qowaid al-fiqh yang berisi kaidah-
kaidah umum yang berkaitan dengan masyarakat dan hukum Islam. Fiqh juga
memiliki uşûl al-fiqh yang memberikan tuntunan metodologis untuk kepentingan
formulasi hukum Islam.74 Disamping alasan di atas, pemilihan Ma’had Aly dengan
konsentrasi fiqh juga karena wasiat KH. Hasyim Asy’ari, Beliau mulai merasakan 73 Qodri A. Azizi, op. cit. hlm 3-4.74 Obyek kajian Uşûl al-fiqh adalah dalil yang bersifat sama’i (pendengaran) dari segi dalil itu
memberi pengetahuan dengan berbagai kondisi dalil tersebut untuk mampu menetapkan hukum terhadap perbuatan (af’al) mukallaf. Sedangkan secara rill, objek uşûl fiqh dalam proses penggalian hukum adalah berbagai macam dalil, tujuan dalil, dan macam-macam tujuan tersebut Dr. M. Khudlari Bik, Uşûl Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 13.
78
gejala adanya kelangkaan ulama yang menguasai fiqh dan mewasiatkan kepada
As’wad untuk mendidik kader ahli fiqh yang secara utuh mampu menga? scriptualist
scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist
scriptualist likasikannya dalam memecahkan persoalan kontemporer secara
komprehenship dan bertanggungjawab. Fiqh dialogis adalah sebuah kerja besar
Ma'had Aly yang diharapkan akan bisa menyentuh seluruh obyek kajian studi fiqh
yang meliputi Ibadah dan Mu’malat. 75 Untuk lebih jelasnya, berikut penulis
menyajikan satu persatu masing-masing obyek kajian.
1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara umat
Islam dan Tuhannya. Hukum-hukum yang masuk dalam kata gori ini
seperti hukum bersuci, shalat, zakat puasa haji dan ibadah ritual
lainnya yang berhubungan langsung dengan Tuhan.
2. Hukum mu’amalat. Karena ruang lingkupnya yang sangat luas dan
berhubungan dengan sesama mahluk hidup maka dalam tradisi hukum
Islam, mu’amalat memiliki porsi yang lebuh besar. Dalam
pembahasanya mu’amalat terbagi atas 8 macam pertama, hukum-
hukum keluarga yang mencakup perceraian , pembagian harta warisan,
nafkah, nasab dan lain-lain yang berhubungan dengan kekeluargaan.
Kedua hukum-hukum yang berkaitan dengan mu’amalat personalia,
al-ahkam al-madaniya seperti jual beli, sewa menyewa dan gadai.
75 Pembagian obyek kajian ilmu fiqh ini didasarkan pada pembagian pemahasan yang biasa digunakan dalam kitab-kitab klasik. Untuk semua yang berkaitan dengan pembagian hukum Islam dan rung lingkiupnya lihat Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Bairut: Dar-al-Fikr 1989), Juz 1, cetakan III, hal. 19-21.
79
Ketiga, hukum-hikum yang berkaitan dengan tindak kriminal manusia,
jina’yah, seperti pembunuhan pencurian, perampokan, pembunuhan
dan lain-lain. Empat, hukum-hukum yang berhubungan dengan
pendakwaan, seperti, metode penetapan saksi dan sumpah, al-Ahkam
al-Murofa’ah. Lima, al-Ahkam ad-Dusturiyyah hukum-hukum yang
berkaitan dengan perundang-undangan dan dasar-dasarnya. Enam, al-
Ahhkam ad-Dauliyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
hubungan luar negeri. Tujuh al-ahkam al-iktishadiyah hukum-hukum
yang berkaitan dengan hak-hak personal yang sifat harta benda.
Delapan, al-Ahkam al-Mahasiniyah, hukum-hukum yang berkaitan
tentang hak seseorang atas orang lain.
Seluruh obyek kajian fiqh diatas adalah persoalan persoalan secara global
yang menjadi pokok bahasan fiqh dialogis. Walaupun begitu dalam kenyataanya tidak
semua obyek kajian tersebut memiliki porsi yang sama atau bahkan beberapa bagian
tidak dibahas di Ma'had Aly. Yang menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan
topik pembahasan adalah kebutuhan masyarakat atas sebuah produk fiqh. Walaupum
angka perbandingan secara kwalitatif belum diperoleh data yang jelas karena
lemahnya dokumentasi tetapi diakui oleh para santri bahwa mu’amalat menempati
urutan teratas dalam prioritas pembahasan. Hal ini terjadi karena persoalan-pesoalan
fiqh yang banyak melibatkan kelompok agama lain adalah persoalan-persoalan
mu’amalat.
80
C. Jaringan Dan Publikasi
1. Talkshow di Radio
Talksshow sigma, yang merupakan kepanjangan dari konsultasi agama
adalah salah satu program radio di BHASA FM Situbondo. Program ini memberikan
kesempatan kepada para pendengar untuk berkonsultasi tentang persoalan agama
yang biasanya didominasi oleh permasalahan fiqh. Sejak berdirinya BHASA memang
melibatkan Ma'had Aly untuk menjadi narasumber dalam acara tersebut. Dalam acara
talksshow ini santri atau alumni yang menjadi narasumber memiliki keleluasaan
untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan dengan perspektif yang mereka
bangun sendiri. Nara sumber tidak boleh menjawab dengan jawaban yang terlampau
kontroversial karena masyarakat pendengar yang belum bisa menerima jawaban yang
terlalu berbeda dengan jawaban yang biasa diberikan oleh ulama’ lain. Radio ini
diakui adalah cara yang efektif sebagai tempat untuk melakukan transformasi
pemahaman fiqh yang bisa menjadi alternatif bagi warga pendengar. Radio bisa
didengarkan oleh siapapun tanpa ada betasan tertentu.
2. Buletin Mingguan Tanwirul Afkar
Buletin ini baru lahir pada akhir bulan Juli tahun 1997. Saat etape perjalanan
Ma'had Aly masuk pada angkatan ke-3. Kelahirannya merupakan reaksi kegelisahan
intelektual santri Ma'had Aly terhadap putusan-putusan hukum yang selama ini
digelar oleh NU dalam acara bahtsul masail. Bahtsul masail yang selama ini giat
diselenggarakan dinilai oleh santri Ma'had Aly hanya sebagai paguyuban pembacaan
81
buku-buku klasik. Tak ubahnya kompetisi, buku mana yang lebih orientatif tanpa
mau menelisik lebih dalam lagi terhadap fenomena sosial yang menjadi persoalannya.
Terkadang, potret seorang tokoh lebih dominan dalam bahtsul masail ini. Perdebatan
yang cukup panjang dan melelahkan kerap kali berakhir pada fatwa sang tokoh
tersebut walau dia tidak mengantongi rujukan. Fenomena inilah yang kemudian
mengilhami santri Ma'had Aly untuk membuat semacam wadah kreatifitas pemikiran
tentang hukum Islam yang lebih bisa memahami hajat sosial masyarakat. Sebuah
hukum yang lebih menyentuh relung problema yang terjadi. Sebuah hukum yang
akrab dengan realitas masyarakat. Lalu Tanwirul Afkar menjadi sebuah pilihan
terakhir santri Ma'had Aly untuk menyapa dan memeperkenalkan fiqh yang progresif
yang bisa berdialog dengan semua elemen masyarakat yang ada.
Selain dipicu oleh kegelisahan tadi, Tanwirul Afkar merupakan bentuk
idealisme akademik santri Ma'had Aly untuk membuktikan bahwa kitab-kitab klasik
itu masih bisa menemukan titik relevansinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Karena sebelumnya ada tudingan bahwa kitab-kitab yang lahir di zaman klasik itu
sudah cukup renta untuk diajak berdialog dengan realitas yang menjangkiti zaman
kekinian ini. Hal inilah yang memaksa santri Ma'had Aly untuk tidak membenarkan
anggapan yang coba digulirkan orang-orang kelompok anti kitab klasik dengan
jargon kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Santri Ma'had Aly ingin membuktikan
bahwa fiqh sebagai warisan keilmuan ulama’ besar itu masih memiliki ruang untuk
dijadikan cerminan dan referensi dari segala aktifitas masyarakat, tentu saja setelah
mengalami kritik dan seleksi yang bisa dipertanggung jawabkan secara metodologis
82
dan sosial. Lalu Tanwirul Afkar menjadi pilihan terakhir sebagai ajang kreatifitas
intelektual guna membangun edialisme santri penerus dan pembela tradisi lawas.
Kemudian Tanwirul Afkar tampil dengan visi menjawab dengan syammil
(komperhensif) dan bertanggung jawab.
Tanwirul Afkar merupakan buletin mingguan Ma'had Aly yang terbit setiap
hari Jum’at pagi. Soal pengumpulan data-data primer buletin ini, semua santri Ma'had
Aly berperan aktif. Pengumpulan data ini dimulai hari Senin jam 19.00 atau setelah
usai melakukan jama’ah shalat isya’. Langkah awal dari pengumpulan data ini
dimulai dari pembahasan problem apa yang bakal dijadikan tema besar Tanwirul
Afkar. Pada penentuan tema ini dinamika sudah mulai tampak seru. Tema Tanwirul
Afkar di setiap edisi harus merupakan persoalan komtemporer dan masih aktual untuk
dibahas. Pada tahap inilah santri Ma'had Aly diuji kejeliannya untuk merekam segala
realitas masyarakat yang terjadi. Adu argumen adalah sebuah keniscayaan. Terkadang
pembahasan tema ini menyita waktu cukup banyak. Tak jarang bahasan tema baru
kelar jam 21.00. Itu artinya waktu dua jam dihabiskan untuk menentukan tema dan
belum masuk pembahasan.
Tahap berikutnya adalah menentukan angel dari tema tersebut. Inipun tidak
mudah, Tanwirul Afkar adalah buletin yang fokus pada kajian fiqh (kecuali edisi
khusus atau edisi selingan yang membasas persoalan sufisme), maka jelas angel itu
digiring untuk masuk pada ranah yang bisa didekati dengan kajian fiqh. Hal ini tidak
cukup menyita waktu karena pengalaman juga turut membantu untuk lekas
menemukan angel yang dikehendaki. Angel ini dimaksudkan untuk memotret
83
persoalan tersebut dari segala aspek. Angel-angel itu dipasang hanya sekedar pintu
masuk dalam pembahasan masalah secara tuntas. Untuk angel terakhir, Tanwirul
Afkar mencoba memperkenalkan identitas pemikirannya dengan tipologi nalar uşûli,
yaitu sebuah cara berpikir yang mengedepankan dialog teks dan konteks dengan
pendekatan metodologis dan bukan tekstualis. Sebuah corak pemikiran yang
dilandaskan pada sebuah metodologi yang bukan hanya berpaku pada otoritas teks,
tetapi juga bergerak pada tataran konteks. Disinilah ciri khas pemikiran santri Ma'had
Aly yang tidak ingin terjebak pada lingkaran-lingkaran aksara formal, tetapi mereka
mulai merambah pada area tak terbatas yang mewarnai kehidupan masyarakat.
Ketika tahap pendekatan fiqh dalam angel telah dirasa sistematis dan bisa
memotret segala aspek yang ada, maka mulailah santri Ma'had Aly melacak kitab-
kitab klasik guna memperoleh data-data yang akurat dan valid. Pada fase inilah
sinilah kesibukan team Tanwirul Afkar bisa disaksikan. Dengan dipimpim dua orang
pimpinan redaksi, kegiatan ini berjalan cukup rapi dan maksimal. Seluruh santri
terlibat karena mereka semua mendapat bagian sendiri-sendiri. Ini membutuhkan
waktu kurang lebih dua jam. Ada pembagian tugas pelacakan. Santri Ma'had Aly
dikelompokkan menjadi tujuh kelompok. Kelompok pertama ialah kelompok yang
bertugas untuk melacak kitab-kitab aliran Hanafiyah. Kelompok kedua ialah
kelompok yang serius membolak-balik kitab-kitab aliran Malikiyah. Kelompok ketiga
ialah kelompok yang bertugas mencari data dari kumpulan kitab-kitab Syafi’iyah.
Kelompok keempat ialah kelompok yang aktif membuka kitab-kitab Hanabilah.
Kelompok kelima adalah kelompok netral (selain Maźhab empat) yang mencoba
84
mencari data-data yang dalam kitab-kitab umum komtemporer termasuk juga kitab-
kitab aliran diluar Sunni, termasuk Mu’tazilah, Syi’i dan lainnya. Kelompok keenam
ialah kelompok yang berkonsentrasi mengkaji kitab-kitab tafsir. Dan kelompok
terakhir ialah kelompok yang hanya mencari data-data hadiś.
Tahap berikutnya ialah tahap pembacaan kitab yang telah berhasil
ditemukan. Tahap ini masih tidak begitu memberikan nuansa kegairahan diskusi,
karena hanya membaca komentar-komentar para penulis tentang persoalan yang
menjadi pembahasan. Pada tahap analisa, setelah pembahacaan kitab Maźhab yang
membahas tentang persoalan yang dibahas telah usai, diskusi mengenai penentuan
hukum mulai terlihat hidup. Pada tahapan ini sering kali santri Ma'had Aly
melakukan revitalisasi uşûl fiqh yang jarang dipergunakan dalam bahtsul masail.
Yang dimaksud dengan revitalisasi uşûl fiqh adalah mengfungsikan kembali uşûl fiqh
sebagai sebuah perangkan metodologi penggalian hukum Islam. Revitalisasi ini
diperlukan karena sampai saat ini ada asumsi bahwa kalangan pesantren dan ulama
utamanya dikalangan tradisionalist memperlakukan uşûl fiqh hanya sebagai ilmu
pengetahuan yang hanya berhenti pada penguasaan materi dan tidak diterapkan dalam
penggalian hukum. Selain revitalisasi uşûl fiqh, digunakan juga metode ta’wil yang
sudah diperluas dan mendatangkan teks tandingan dari teks yang sering digunakan
oleh kelompok anti dialog. Memperluas wilayah ta’wil artinya memberikan ruang
ta’wil pada teks-teks yang berkaitan dengan fiqh yang pada teori penggalian hukum
sebelumnya ta’wil hanya boleh dilakukan pada kajian selain fiqh. Sedangkan yang
dimaksud dengan mendatangkan teks tandingan adalah menggunakan teks-teks yang
85
tidak lazim digunakan dalam penggalian hukum sebelumnya. Contoh dalam kasus ini
adalah penggunaan hadiś yang didasarkan pada maşlah a h dan bukan pada status
hadisnya. Apapun status hadiśnya jika itu dipandang maşlahah maka dianggap bisa
dijadikan sumber hukum dan memiliki kekuwatan untuk mentahşiş atau ditahşiş,
menasakh atau dinasakh. Metode-metode ini digunakan untuk mendialogkan antara
tek dan kontek yang mengitari munculnya teks dan yang sedang dihadapi saat
perumusan hukum itu. Di sinilah urgensit uşûl fiqh harus diposisikan. Hanya satu
yang menjadi targetnya, ialah agar hukum itu bisa berdialog lagi dengan latar
belakang budaya baru. Untuk menemukan progresifitas fiqh dan menjadikan bukan
sebagai beban masyarakat.
Setelah data-data ini telah menjadi sebuah kesepakatan bulat santri Ma'had
Aly, kemudian data itu diolah oleh dua pimpinan redaksi. Pimpinan mempunyai hak
untuk meberikan beberapa tambahan atas beberapa kekurangan yang belum terbahas
dalam sidang. Penambahan itu boleh dilakukan sepanjang tidak keluar dari
karakteristik Tanwirul Afkar. Pengolahan data ini harus selesai malam Jum’at. Pagi
harinya, dicetak di percetakan milik pesantren dan didistribusikan melalui agen-agen
yang telah dibentuk ke konsumen. Kelemahan dari Tanwirul Afkar adalah pembaca
yang tinggal ditempat yang jauh akan mendapatkan Tanwirul Afkar lebih lambat
dibanding yang tinggalnya lebih dekat dari redaksi dan tidak bisa menerima pada hari
terbitnya karena persoalan pengiriman. Tetapi hal ini tidak terlalu mengurangi makna
transformasi ide fiqh dialogis karena apa yang dimuat oleh Tanwirul Afkar bukanlah
86
berita yang menonjolkan aktualitas tetapi kelengkapan data dan keakuratan sumber
hukumnya.
3. Layanan rohani Islam
Layanan rohani Islam yang kemudian disingkat dengan sebutan LARIS,
merupakan bentuk pelayanan santri Ma'had Aly di bidang hukum kepada masyarakat.
Layanan ini dibuka 24 jam non stop. Beragam problem masyarakat yang
dipertanyakan dan butuh jawaban. Seperti yang telah ditulis sebelumnya bahwa
ulama’ dalam tradisi masyarakat Situbondo adalah segala-galanya sehingga walaupun
konsentrasi Ma'had Aly adalah fiqh tidak bisa dihindari pertanyaan lain yang
berhubungan dengan teologi atau yang lainnya harus dijawab. Hal itu juga yang
menuntut santri Ma'had Aly untuk belajar pada disiplin Ilmu lain lebih giat. Setiap
pertanyaan biasanya langsung dijawab, kecuali pertanyaan tertentu yang mengandung
polemik tau karena penanya meminta referensi kitabnya secara lebih lengkap dan
terperinci. Pertanyaan yang seperti itu biasanya akan diinapkan satu malam. Waktu
satu malam cukup untuk mencari referensi dan merumuskan jawaban yang diinginkan
oleh penanya.
LARIS awalnya memang tidak diorganisir dengan repih. Menjawab
pertnyaan adalah tanggung jawab semua santri. Tetapi saat penelitian ini dilakukan,
LARIS sudah mulai diorganisir oleh petugas tertentu yang menidentifikasi persoalan
dan menyusun jadwal jaga. Tetapi sayang sekali karena persoalan teknis sehingga
pengoraganisiran itu kurang optimal dan berapa jumlah pertanyaan yang diterima
serta dijawab belum ada data yang jelas. Hal lain yang membuat kurang optimalnya
87
pengorganisiran ini adalah karena Ma'had Aly saat penelitian ini dilangsungkan
memasuki akhir kuliah dan waktu santri tersita untuk mempersiapkan ujian akhir.
Persiapan ini harus mereka lalukan dengan serius karena tidak lulus dari Ma'had Aly
bukan hanya menghambat studi tetapi juga kekecewaan yang terus menjadi beban
moral dan sosial.
D. Respon Atas Ma'had Aly
Dalam penulisan respon ini kami membagi menjadi tiga bagian yang pertama
adalah respon dari para ulama’ Nahdlatul Ulama, kedua dari pesantren menjadi lokasi
pendampingan (pengabdian) santri Ma'had Aly dan yang ketiga adalah para pembaca
buletin Tanwirul Afkar. Penentuan pilihan pada tiga komunitas ini karena tiga
komunitas ini dianggap paling mengetahi setidaknya salah satu, sejarah, pergulatan dan
produk pemikiran Ma'had Aly.
1. Dukungan Ulama’ Untuk Ma'had Aly
Sangat beragam reaksi mereka ketika penulis lontarkan pertanyaan tentang
Ma'had Aly. Sebagian menilai baik dan sebagian menilai apa yang dilakukan Ma'had
Aly adalah sebuah kreatifitas anak muda progresif yang layak diapresiasi dan sebagian
yang lain mengatakan anak-anak Ma'had Aly adalah anak-anak liberal yang ganjen
akan liberalisme dan kurang tawaddu’ atau rendah hatinya. Walaupun komentar itu
sangat beragam variasinya namun hampir sepakat mereka semua menganggap apa yang
88
dilakukan anak-anak Ma'had Aly adalah tindakan liberal bahkan Ma'had Aly dianggap
menjadi bagian dari Jaringan Islam Liberal. Pandangan sepert ini tentu sangat sulit
untuk dielakkan karena pandangan Ma'had Aly yang cenderung berbeda denga
mainstream pesantren tradisional lain. Adalah ustadz Daerobi Najih, seorang ustadz
daari pesantren sidogiri Keraton Pasuruan yang sehari-hari pengelola sidogiri dot com,
Najih menganggap Ma'had Aly sudah keluar dari salafuna şalih (para sesepuh Maźhab
salaf). Anggapan Najih ini dibangun atas agumentasi bahwa, dalam istimbat,
penggalian hukumnya Ma'had Aly sudah mulai menggunakan atau minimal terinspirasi
oleh tidak hanya kitab-kitab non Sunni seperti kitab-kitab Syiah tetapi juga ilmu-ilmu
barat seperti hermeneutik dan semiotik. Secara tegas Najih tidak mengatakan bahwa
Sidogiri menyiapkan sesuatu yang khusus untuk menghadang laju Ma'had Aly tetapi
saat ini sidogiri dot com telah menyiapkan satu rubrik yang dinamakan kontra liberal,
yang dimaksudkan untuk menghambat laju gerakan Islam liberal dari kelompok
manapun asalnya, termasuka Ma'had Aly.76
Komentar lain diberikan oleh Gus Mujib Wahab pengasuh pesantren
Mamba’ul Maarif Denanyar Jombang. Mengawali tanggapannya Mujib mengutip
komentar kyai Subadar, tokoh kharismatik asal Pasuruan, yang mengatakan Ma'had
Aly itu kurang tawadu’. Wahab mengakui keberhasilan Ma'had Aly dalam
menyelenggarakan pendidikannya dan mempertahankan mutunya. Bahkan menurut
menurutnya pernah ada santri denanyar yang mencoba melamar menjadi santri di
76 Wawancara dengan Daerobi Najih 28, April 2005.
89
Ma'had Aly dan tidak berhasil karena ketatnya seleksi masuk.77 Ketua Rabîťah
Ma’âhid al-Islâm Indonesia KH. Aziz Masyhuri mengungkapkan Ma'had Aly adalah
system pendidikan pesantren yang harus di support oleh siapapun karena sangat
langka pesantren yang bisa menyelenggarakan sistem pendidikan seperti Ma'had Aly.
Selain itu Masyhuri juga mengungkapkan kesan yang ditangkap olehnya dari
beberapa kyai di Jawa timur. Banyak kyai di Jawa timur sudah mengidentikkan
Ma'had Aly dengan Jaringan Islam liberal. Tuduhan miring tentang Ma'had Aly itu
seakan mendapatkan momentumnya ketika pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
secara kelembagaan menerima penyelenggaraan muktamar pemikiran Islam yang
banyak di prakarsai kelompok muda NU di tempatkan di Situbondo (di Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah). Bahkan menurut Masyhuri setika Muktamar itu
diselenggarakan tahun 2003, di gedung NU jawatimur terpasang spanduk
pengharaman menghadiri Muktamar di Situbondo.
2. Dukungan Pembaca Tanwirul Afkar Untuk Ma’had Aly
Tanwirul Afkar salah satu produk hukum Ma'had Aly yang paling bisa
dilihat dan dirasakan. Sehingga menurut penulis pembaca Tanwirul Afkar adalah
konsumen Ma'had Aly yang paling jelas. Salah satu cara untuk mngetahui bagaimana
tanggapan masyarakat terhadap Ma'had Aly adalah melihat mabagaimana tanggapan
masyarakat terhadap Tanwirul Afkar. Tanwirul Afkar, sejak berdirinya pada tahun
1997 Sampai saat ini terus bertahan dengan dukungan masyarakat. Tanwirul Afkar
77 Wawancara dengan KH. Mujib Wahab 27, April 2005.
90
sebagai buletin hukum tidak disosialisasikan secara geratis, untuk mendapatkan
buletin ini para pembaca harus membayar biaya cetak.
Sampai saat ini Tanwirul Afkar sudah tersebar ke banyak daerah di luar
Situbondo bahkan sudah lintas pulau sampai Bali dan Madura. Ada beberapa tipe
pembaca Tanwirul Afkar. Karena bentuknya yang praktis dan instan maka sebagian
pembaca mengoleksi Tanwirul Afkar sebagai bahan rujukan untuk menjawab
persoalan yang mereka temui dalam masyarakatnya. Kelompok ini biasanya adalah
para tokoh masyarakat yang bersentuhan langsung dengan komunitas Muslim di
daerahnya. Sebagain pembaca sengaja membeli Tanwirul Afkar untuk mengetahui
apa komentar Tanwirul Afkar tentang fenomena fiqh kontemporer. Misalnya ketika
terjadi kasus nasional yang kontroversial, para pelanggan Tanwirul Afkar yakin
bahwa pada hari jum’at ketika sebuah peristiwa fiqhi terjadi, Tanwirul Afkar akan
memberikan tanggapanya, maka saat itulah para pelanggan menyerbu Tanwirul
Afkar. Pelanggan jenis ini biasanya adalah para pemerhati fenomena sosial yang
berkaitan dengan fiqh atau orang yang secara pribadi memiliki pandangan hukum
sendiri tetapi ingin mengetahi tanggapan Ma'had Aly sebagai perbandingan. Selain
itu juga para alumni yang ingin terus memantau perkembangan pemikiran di
pesantren Salafiyah Syafi’iyah.
Sebagain pembaca membaca Tanwirul Afkar karena ingin mengerti
bagaimana Tanwirul Afkar membangun idenya dan menanggapi sebuah persoalan,
pembaca jenis ini biasanya adalah para pengelola media Islam atau para pemerhati
perkembangan hukum islam. Selain tipe diatas, sebagaian masyarakat juga ada yang
91
membaca Tanwirul Afkar memang sebagai bahan rujukan yang mereka percaya untuk
mereka amalkan. Bagi pembaca tipe ini Tanwirul Afkar adalah keputusan ulama’
yang bisa mereka gunakan sebagai bahan acuan dalam mengarungi hidup ini.
pembaca jenis ini rata-rata terdiri dari masyarakat umum yang memang
membutuhkan jawaban segera atas fenomena hukum Islam yang terjadi di
masyarakatnya. Mayoritas pembaca menganggap produk-produk hukum yang di
keluarkan Tanwirul Afkar adalah representasi dari pandangan pondok-pesantren
Salafiyah Syafi’iyah. Sampai saat ini setiap minggu Tanwirul Afkar terbit 700
eksemplar.
3. Ma’had Aly Sebagai Tempat Bertanya
Selain tanggapan dari ulama’ dan pembaca buletin, tanggapan lain juga
didapat oleh penulis darimasyarakat yang menggunakan jasa layanan konsultasi
agama via tilpun. Pertanyaan dari masyarakat terus mengalir setiap hari.78 Memang
dalam kasus perumusan fiqh dialogis ini respon dari masyarakat memang tidak cukup
banya karena mayoritas penaya mempertanyakan tentang sesuatu yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari dan jarang sekali yang berhubungan dengan dialog
antar agama. selain karena pertanyaan yang jarang berkaitan dengan dialog antar
agama jawaban santri Ma’had Aly juga tidak terlalu berbeda dengan maistream.
Kenyataan ini membuat respon masyarakat walaupun bisa dijadikan data tentang
respon terhadap fiqh dialogis tetapi masih jauh dari representatif []
78 Sayang sekali Ma’had Aly tidak memiliki data yang jelas berapa penelpun dalam setiap harinya.
92
BAB IV
MA'HAD ALY DAN PENGEMBANGAN FIQH DIALOGIS
Pada Bab sebelumnya telah digambarkan tentang kegiatan-kegiatan dalam
pengembangan fiqh di Ma’had Ali Sukorejo. Selanjutnya penulis akan menganalisa
data-data tersebut dengan teori yang telah diungkapkan yaitu penggabungan antara
teori fiqh baru menurut Sahal Mahfudz dan konsep dialog yang ditawarkan oleh
Leonard Swedler. Analisa ini akan menguji apakah pengembangan fiqh di ma’had Aly
merupakan bentuk fiqh baru yang memiliki aspek-aspek dialogis dan akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian, utamanya pada pertanyaan-pertanyaan pokok yaitu
apakah fiqh bisa menjadi sebuah alternatif metode pengembangan dialog antar agama
serta bagaima cara kerja fiqh dalam mendukung gerakan dialog antar agama.
A. fiqh baru untuk kehidupan yang baru
Untuk melakukan analisa pada pengembangan fiqh di Ma’had Aly penulis
merujuk pada bab sebelumnya tentang kreteria fiqh baru yang digagas oleh Sahal
Mahfud. Penulis akan memulai analisa ini dengan satu contoh kasus tentang sebuah
produk hukum Ma’had Aly Sukorejo yang dipublikasikan pada tahun 1999 pada
buletin mingguan Tanwirul Afkar. Produk hukum ini kemudian juga di kuwatkan
oleh statemen Imam Nakhoi pada sebuah program konsultasi agama di radio Bhasa
93,1 FM yang dulu 92,5 FM. Contoh ini akan memberikan gambaran pada kita
tentang korelasi antara teori Shal Mahfudz dengan produk fiqh di Ma’had Aly.
93
Imam Nakho’i, seorang ustadz yang aktif mengelola Ma'had Aly, dalam
sebuah acara konsultasi agama (Sigma) memberikan keputusan hukum yang sangat
kontroversial. Ketika seorang pendengar radio bertanya melalui tilpun kepada
Nakho’i tentang ritual qurban.79 Dalam tradisi fiqh yang biasa di kaji di pesantren-
pesantren binatang yang boleh dijadikan binatang qurban adalah kambing atau sapi.
Berbeda dengan itu, Na’khoi ketika memberikan jawaban menyebutkan seperti yang
telah ditulis oleh buletin resmi Ma’had Aly bahwa ayam pun bisa di jadikan binatang
qurban. Bagi Nakho’i konteks masyarakat Muslim Indonesia yang banyak
mengalami kemiskinan ini harus diapresiasi dan diberikan kelonggaran untuk
melakukan sebuah ibadah. Jika qurban harus kambing atau sapi maka hanya orang
kaya yang bisa melaksanakan ibadah qur’ban sementara orang miskin tidak mendapat
ruang untuk beribadah qur’ban. Jika negara ini sudah tidak memberi ruang gerak
terhadap kaum miskin maka seharusnya agama menjadi payung dan bisa memberikan
sedikit angin segar terhadap kehidupan orang miskin. Membolehkan berqurban
dengan ayam artinya memahami konteks di mana masyarakat islam sedang sedang
berada dan mencoba memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Muslim di
Indonesia.
Pengambilan keputusan untuk membolehkan berqurban dengan binatang lain
selain binatang yang sudah ditentukan oleh fiqh lama ini didasarkan pada pemaknaan
atas teks hadiś tentang qurban. Hadiś itu menyebutkan bahwa inti dari qurban adalah 79 Topik ritual qurban ini memang tidak ada hubungannya dengan dialog antar agama atau pluralisme tetapi keberanian Nakho’i berdialog dengan konteks adalah yang paling untama dalam tulisan ini. Keberanian berdialog dengan konteks itu yang akan membuat fiqh Ma'had Aly menjadi potensial untuk menjadi fiqh dialogis.
94
irâqatu al-dam yang berari mengalirkan darah. Konsep mengalirkan darah itu pada
masa Rasul dialamatkan pada binatang piaraan yang ada saat itu. Konteks dimana
teks itu muncul adalah konteks yang tidak menganggap bahwa ayam adalah binatang
piaraan sedangkan konteks saat ini ayam adalah binatang piaraan sehingga dengan
begitu maka untuk konteks saat ini ayam menjadi syah untuk dijadikan binatang
qur’ban. Contoh diatas telah dengan jelas memberikan gambaran bahwa Ma’had Aly
telah melakukan kontekstualisasi teks demi sebuah kemaslahatan ummat yang
merupakan elemen pertama pada syarat sebuah fiqh baru.
Syarat lain yang diajukan oleh Mahfudz untuk menjadikan sebuah produk fiqh
termasuk pada fiqh baru adalah mengikuti Maźhab tertentu dalam hal metode
penggalian hukum dan bukan pada produk hukum. Syarat yang ini dicerminkan oleh
Ma’had Aly pada sistim penggalian hukum yang digunakan dalam menerbitkan
Buletin Tanwirul Afkar. Untuk mendapatkan sebuah jawaban dan menulis satu
lembar buletin redaktur buletin melalui beberapa proses yang panjang. Salah satu
proses yang harus dilewati adalah pencarian jawaban pada lembaran-lembaran kitab
klasik yang mengikuti Maźhab tertentu. Melaluai proses uşûli Kitab-kitab itu akan
menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan pada buletin Tanwirul Afkar.
Upaya kontekstualisasi fiqh seperti yang tampak dalam contoh diatas adalah
syarat pertama sebagai sebuah produk fiqh untuk dikatakan sebagai fiqh baru yang
telah dilakukan oleh Ma’had Aly. Syarat lain sebagai sebuah produk fiqh baru juga
dapat dilihat dari sestem penggalian hukum, istimbath, yang dilakukan oleh Ma’had
Aly Sukorejo. Seperti yang telah dibahas pada Bab tiga tentang Tanwirul afkar,
95
Buletin mingguan ini juga selalu mengenalkan tradisi berpikir dengan uşûl fiqh
dimana filsafat hukum (maqâşid al-syari’ah) selalu menjadi dasar penatapan
hukumnya. Dalam hal pengaplikasian produk hukumproduk hukum dalam kehidupan
sehari-harinya Ma’had aly tidak pernah mengikat kepada para santri atau
konstituennya untuk selalu mengikuti ijtihâd Ma’had Aly. Semua yang telah
dipaparkan diatas adalah menjadi bukti bahwa produk fiqh di Ma’had Aly bisa
disebut fiqh baru.
B. Dialog: Memberi ruang dialog “untuk yang berbeda”
Setelah memberikan analisa produk fiqh yang dibangun oleh Ma’had Aly
dengan teori fiqh baru Sahal Mahfudz penulis akan melakukan analisa terhadap
produk fiqh Ma’had Aly syarat-syarat dialog yang diajukan oleh Swidler. Analisa ini
akan memberikan gambaran tentang nuansa dialog yang terkandung dalam proses
pengembangan fiqh di Ma’had Aly. Analisa ini akan dimulai dari pembahasan atas
contoh terbitan Ma’had Aly tentang penghalalan perayaan Valentine’s Day yang
merupakan tradisi umat kristiani.
Bagi kawula muda 14 pebruari merupakan ‘hari bersejarah’ terutama bagi mereka yang di landa panah asmara, Valentine Day’s. hari kasih sayang. Ada yang mengklaim itu merupakan tradisi kaum kristiani bagaimana Islam menyikapinya?80
Bacaan di atas adalah prolog dari salah satu edisi buletin mingguan yang
diterbitkan Ma'had Aly ketika menyikapi perayaan Valentine Day’s. Terbitan pada
edisi ini adalah hal lain yang bisa dijadikan contoh kontentekstul fiqh Ma'had Aly
80 Tanwirul Afkar Edisi 125/Jum’at ke 2/9 Februari 2001.
96
yang berhubungan dengan dialog antar agama. Buletin Tanwirul Afkar telah
memberikan “label” halal kepada perayaan Valentine Day’s. Ditengah perlawanan
banyak orang Islam atas tradisi barat itu Ma'had Aly memberikan angin segar bagi
tradisi yang dibangun atas romantisme kaum Kristiani. Redaktur Tanwirul Afkar
sangat mengerti bahwa tradisi itu adalah tradisi Kristiani, bahkan dalam edisi itu juga
dimuat sekilas tentang sejarah perayaan Valentine Day’s yang di rayakan untuk
mengenang seorang pastor yang rela mati karena pembelaannya terhadap jalinan
kasih sayang. Ada dua alasan mengapa Tanwirul Afkar berani menentang arus
mayoritas Muslim dalam menyikapi perayaan Valentine’s Day ini. Pertama adalah
beberapa alasan yang diungkapkan dengan jelas dalam buletian dan yang kedua
adalah alasan lain yang menjadi agenda khusus buletin ini. Alasan yang dengan jelas
tertulis dalam buletin itu adalah: pertama, penghargaan terhadap kasih sayang yang
disimbolkan dalam perayaan Valentine’s Day. Bagi Tanwirul Afkar, kehilangan kasih
sayang adalah suatu awal dari bencana besar. Seseorang yang kehilangan kasih
sayang akan sangat mudah melakukan tindakan kekerasan dan kekerasanpuan akan
terjadi di mana-mana. Untuk itu menjadikan sesuatu itu sebagai momentum untuk
menjaga kasih sayang ini menjadi sangat penting artinya.
Alasan kedua yang diungkapkan adalah, karena perayaan Valentine’s Day
ini bukan ritual Gereja. Rasulullah memang yang melarang ummatnya untuk meniru
tradisi orang lain dan haditś inilah yang sering digunakan banyak orang untuk
mengharamkan perayaan Valentine’s Day. Tanwirul Afkar mempunyai penafsiran
lain atas hadiś itu. yang dimaksud tradisi yang jelas dilarang oleh Rasul adalah tradisi
97
yang berhubungan dengan ritual agama lain. Sedangkan untuk tradisi selain itu
masyarakat Islam harus selektif dan tidak semua tradisi ditolak. Jika tradisi itu baik
dan bisa diikuti maka dianjurkan untuk mengikutinya. Dalam konteks Valentine’s
Day, perayaan ini bukanlah ritual Gereja, sehingga ketika perayaan ini diartikan
sebagai momentum untuk menjaga kasih sayang maka itu sesuaidengan ajaran Islam.
Seperti pada terbitan-terbitan edisi lain Tanwirul Afkar selalu mendukung ide-idenya
dengan mengutib dalil-dalil dari kitab suci, haditś atau kitab-kitab karya ulama’ yang
biasa menjadi rujukan pesantren-pesantren tradisional. Dalam hal ini Tanwirul Afkar
mengutip sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi yang mengatatakan
bahwa Allah akan mengasihi orang yang mengasihi sesamanya dan siapapun yang
mengasihi makhluk di bumi maka semua makhluk dilangit akan mengasihi nya.81
Hadiś lain yang yang dikutip adalah tentang larangan meniru tradisi kelom pok lain.
Hadiś yang diriwayatkan oleh Abi Daud itu secara zahir artinya barang siapa yang
meniru golongan tertentu maka ia termasuk dari golongan yang diikutinya.82 Jika
hadiś ini dipahami secara zahir maka orang yang Islam yang merayakan Valentine’s
Day akan tergolong orang yang kafir kerena yang biasa merayakan Valentine’s Day
adalah orang orang kafir.
Dalam menanggapi hadiś pelarangan mengikuti prilaku kelompok lain itu,
Tanwirul Afkar mengkompromikan hadiś itu dengan hadiś lain. Abi Daud mencatat
rasulullah pernah bersabda “barang siapa yang berpakaian baju syuhrah (baju
81 Sunan Al-Turmudzi, Juz II, hlm. 284-28582 Sunan Abi Daud, Juz III, hlm. 47.
98
kesombongan dan untuk berbangga-banggaan), maka Allah akan memberikan baju
serupa dan akan dilahap api neraka. Tanwirul Afkar mengutip hadist ini sebagai
penyeimbang sekaligus penjelas dari hadiś sebelumnya tentang larangan mengikuti
prilaku kelompok lain. Baju syuhrah adalah baju yang sering dipakai oleh orang kafir
sehingga yang dimaksud meniru yang diharamkan adalah bukan karena minirunya
tetapi pada materi yang ditiru.83
Alasan-alasan di atas hanyalah alasan yang diungkapkan untuk pera
pembaca agar sebuah produk hukum memiliki kekuatan “syara’”. Alasan lain yang
tidak kalah pentingnya dalam kasus penghalalan perayaan Valentine’s Day ini adalah
proses mendialogkan teks dan budaya Kristiani dan budaya Islam yang sedang
dibangun oleh Ma'had Aly. Selain itu, penghalalan perayaan Valentine Day’s ini juga
merupakan usaha meminimalisir resistensi budaya yang terjadi antara Muslim
Kristen. Apa yang telah dilakukan oleh Ma’had Aly dalam menanggapi kasus
perayaan Valentine Day’s ini adalah salah satu upaya untuk memahami tradisi
masyarakat Kristiani dari sudut pandang Kristiani. Kemauan dan kesiapan untuk
mendengarkan yang lain sebagai yang lain adalah prasyarat utama yang tidak bisa
ditawar untuk terwijudnya dialog antar agama.
Contoh lain yang sangat penting ditulis disini adalah bentuk kerjasama yang
dilakukan Ma’had Aly dengan kelompok lain. Selain menjalin kerja sama dengan
komunitas pesantren dan kelompok Islam lain Ma’had Aly juga menjalin kerjasama
dengan kelompok non-Muslim. Pemandangan yang tidak biasa terlihat pada
83 Al-Manawiy, Op. cit. Juz VI, hlm. 140.
99
pesantren tradisional yang lain dan tampak di Ma'had Aly adalah adanya keterlibatan
non-Muslim dalam perkuliahan santri. Di pesantren ini keterlibatan non Muslim
menjadi pemandangan yang biasa dalam forum-forum diskusi. Dilatarbelakangi oleh
banyaknya kasus kekerasan yang berbasis agama dan kesadaran bahwa dominasi teks
sangat kuat dalam praktek kehidupan masyarakat beragama maka pada tanggal 9-11
may 2002 Ma'had Aly bekerja sama dengan Lembaga Kerjasama Lintas Agama
Toleransi Malang, menyelenggarakan study perbandingan agama yang melibatkan
dari beberapa kelompok non muslim.84 Acara yang bertema Realitas Umat Dalam
Pandangan Teks Suci Agama-Agama itu diselenggarakan untuk melihat gama-agama
dalam perspektif kitab suci dengan beberapa tujuan praksis yang terinci sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami perjalanan kehidupan umat beragama.
2. memahami posisi strategis agama dalam himpitan sejarah dan peradaban.
3. memahami perbedaan bahasa kitab suci dan lainnya.
4. memahami cara menafsirkan teks suci dalam upaya menyelesaikan
problematika sosial.
5. menumbuh-kembangkan sikap kebersamaan dalam menangani persoalan
umat.
Selain acara-acara yang memang diselenggarakan bersama antara Ma'had Aly
84 Seluruh data atas penjelasan program ini diambil dari bunga rampai acara studi perbandingan agama, Realitas Umat Dalam Pandangann Teks Suci Agama-Agam, Lembaga Kader Ahli Fiqh (Ma'had Aly) Situbondo bekerjasama dengan Lembaga Kerjasama Lintas Agama Toleransi Malang, (Situbondo, 2002) dan hasil wawancara dengan penitia penyelenggara, Hoirul Anwar, tgl, 02, Mey 2005.
100
dengan kelompok agama lain, Ma'had Aly juga sering mengundang beberapa tokoh
dari agama lain untuk menjadi narasumber untuk beberapa acara yang
diselenggarakan sendiri. Untuk menhindari polemik dan fitnah terkadang Ma'had Aly
sampai mengkamuflase acara yang mereka selenggarakan. Biasanya Ma'had Aly
mengkemas acara itu dengan bahasa-bahasa yang Islami (arab) untuk memuluskan
perjalanan sebuah acara. Sebagai calon ahli fiqh para santri Ma’had aly juga harus
menjaga perasaan komunitas Islam, karena dukungan dari masarakat adalah faktor
yang paling menentukan kesuksesan sebuah program di pesantren.
Apa yang telah dilakukan Ma’had aly baik sukorejo dalam mengeluarkan
sebuah produk hukum yang berhubungan dengan dialog antar agama maupun dalam
proses penggaliannya yang banyak melibatkan kelompok agama lain adalah bukti
komitmennya untuk bersama-sama membangun dialog untuk kebaikan bersama.
Tidak hanya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perumusan kebijakan hukum
maupun kerangka kerja tetapi pada tindakan kongkrit kerja sama telah dilakukan oleh
lembaga ini. Dari semua syarat dialog yang diajukan oleh swedler tidak semuanya
terpenuhi. Syarat terahir yang diajukan oleh swedler, mengalami seperti apa yang
telah dialami kelompok lain agama belum pernah dialami oleh komunitas Ma’had
Aly. Memang tidak semua syarat itu telah terpenuhi tetapi sebagian besar dan
prasyarat utama telah dipenuhi. Bisa dimaklumi jika Syarat yang terahir yaitu pada
ahir dialog seluruh peserta dialog harus mencoba untuk mengalami agama atau
idiologi patner dialognya dari dalam, tidak pernah dilakukan karena Ma’had aly
adalah lembaga pesantren yang memiliki prinsip beragama yang juga harus dihargai.
101
Selain itu Ma’had Aly seperti lyaknya pesantren lain juga dibangun oleh masyarakat
Islam yang traditional yang belum bisa menerima syarat itu. Dengan melakukan
percobaan mengalami agama lain maka Ma’had Aly akan terancam kehilangan
ligitimasinya.
C. Fiqh Dialogis
Dua poin analisa ditas diatas diharapkan telah memberikan gambaran yang
jelas bagaimana cara kerja fiqh dialogis. Fiqh dialogis adalah sebuah cara pemapanan
dialog antar agama yang dibangun dengan potensi yang dimiliki oleh fiqh baik berupa
kekuatan metodologi yang ada didalamnya maupun kukuatan yang bersifat dukungan
masyarakat terhadap fiqh. Dalam bahasa lain fiqh dialogis adalah sebuah karya fiqh
yang memiliki karakter dialog-antar agama.
Fiqh dialogis adalah pengembangan dari fiqh baru yang digagas oleh Sahal
Mahfudz yang diberikan karakter dialog didalamnya. Dalam fiqh ini kepentingan-
kepentingan dialog antar agama akan diperjuangkan dengan dukungan justifikasi
fiqh. Secara teknis pembentukan fiqh dialogis dikembangkan dari kontekstualisasi
Uşûl fiqh (metode penggalian hukum Islam) yang sudah cukup lama mandul dalam
tradisi pesantren. Uşûl fiqh akan digunakan sebagai sarana untuk menggali hukum
Islam yang sesuwai dengan konteks masyarakatnya. Sumber-Sumber hukum yang
dipakai tidak hanya sumberhukum primer seperti Al-Qur’an, hadiś, Ijma’ atau Qiyas
tetapi juga yang lainya seperti konsep maşlahah yang telah dikembangkan oleh
102
beberapa ahli fiqh. Berikut penulis akan memberikan gambaran tentang konsep
maşlahah yang sering di paka di Ma’had Aly
Pada dasarnya maşlahah diungkapkan oleh sebagian ulama’ sebatas pada
upaya perwujudan manfaat dan penafian mudlarat pada segala aspek kehidupan
manusia. Tetapi ungkapan ini mengundang kritik al-Ghazali. Menurutnya, maşlahah
dengan pengertian ini hanya mengacu pada kepentingan manusia belaka tanpa
mampu menyentuh pada ranah religiusitas yang bersifat transendental. menurut Al-
Ghazali, maşlahah harus dicenderungkan pada dua sisi; sisi ilâhiyyah dan sisi
insâniyyah. Paradigma yang dikembangkan oleh Al-Ghazali (445-505 H) ini lalu
menjadi inspirasi besar beberapa pemikir terkemuka pada generasi perkembangan
dunia pemikiran keislaman berikutnya, seperti Ibnu Taimiyah (728 H), Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah (751 H), Ibnu Subki (771 H), Al-Syathibiy (790 H). Para pemikir ini
nampaknya sepakat untuk membangun sebuah maşlahah berdasar atas kepentingan
manusia; baik yang bersifat transenden maupun praksis.
Ada lima hal yang mesti lebih inten dijaga eksistensinya dalam rangka
mewujudkan orientasi maşlahah ilâhiyyah dan insaniyah. Pertama, memelihara
agama (hifd al-din). Kedua, menjaga keselamatan jiwa (hifd al-nafs). Ketiga, menjaga
potensi akal (hifd al-aql). Keempat, memelihara keturunan (hifd al-nasl). Kelima,
menjamin harta (hifd al-mal).Untuk menjaga kekokohan agama (hifd al-din), maka
agama menerapkan beberapa sanksi terhadap pemeluknya yang mencoba merongrong
citra dan kewibawaan agama. Seperti sanksi bagi pelaku bid’ah yang dituding akan
mengancam terhadap perkembangan dan keberlangsungan agama. Seperti juga
103
hukum “bunuh” bagi orang kafir yang mencoba untuk mempengaruhi keteguhan dan
keyakinan orang Muslim.
Untuk menjaga keselamatan jiwa orang lain (hifd al-nafs), maka agama
dengan sangat tegas memberlakukan hukuman qishash bagi orang yang sengaja
menciderai anggota tubuh atau bahkan melakukan tindak pembunuhan. Hukuman ini
diterapkan semata-mata guna hendak menciptakan kehidupan manusia yang bersih
dari malapetaka kriminal dan paling tidak meminimalisir tindak penganiayaan yang
bisa mengancam keselamatan manusia. Dalam rangka menjaga potensi akal (hifd
al-‘aql) agar tetap normal dan biasa difungsikan sebagaimana mestinya, maka agama
tidak segan-segan menerapkan hukuman had bagi siapa saja yang melakukan
tindakan yang bisa mempengaruhi potensi akal sehingga akal tidak lagi bisa aktif
secara fungsional dan normal. Semisal mengkonsumsi barang-barang yang
memabukkan seperti arak, khamer, ektasi, pil koplo dan jenis lainnya.
Sebagai upaya untuk melestarikan keturunan (hifd al-nasl) agar tetap teratur
dan terarah, maka agama dengan keras menetapkan hukuman had bagi orang yang
melakukan tindak perzinahan. Diakui atau tidak, perbuatan ini merupakan salah satu
tindakan yang menjadi incaran cemoohan masyarakat dan bisa menelantarkan
keturunan. Dalam hal pemeliharaan harta (hifd al-mal), agama menetapkan hukuman
yang bisa menbuat si pelaku jera untuk melakukannya lagi. Seperti contoh hukuman
yang dijatuhkan kepada para pelaku ghashab dan para pelaku pencurian.85
85 Al-Ghazali, Op. cit. hlm. 286-288.
104
Dalam kajian yang coba dilakukan oleh Al-Syathibi, kerangka di atas
dikenal dengan istilah tindakan preventif yang dicanangkan untuk semaksimal
mungkin agar maşlahah yang dicita-citakan oleh agama menjadi sebuah kegiatan riil
yang nyata. Bukan hanya imaji intelektual. Al-Syathibi meng-’ibaroh-kan kerangka
ini dengan mura’ah al-maşlahah min janîb al-‘adam. Sedangkan kerangka lain yang
dimaksudkan untuk mewujudkan maşlahah tersebut bisa dilihat dari beberapa contoh
yang coba ditawarkan oleh Al-Syathibi. Misalnya, dalam rangka menjaga agama,
kekokohan iman menjadi hal yang mesti dipertahankan. Semacam aksioma yang
eksisitensinya tidak bisa ditawar lagi. Urgensitas keimanan seseorang menjadi pilar
utama terhadap keberlangsungan agama. Selain iman, praktek sholat, zakat, puasa,
haji dan lain-lain menjadi ritual keagamaan yang mau tidak mau harus dipertahankan
demi syiar agama dan kekokohan agama.
Untuk kepentingan menjamin keselamatan jiwa dan akal, maka agama juga
memberikan rambu-rambu yang menjadi pembatas tindakan manusia agar tidak
melampaui hal-hal yang bisa membahayakan terhadap jiwa dan akalnya. Oleh karena
itu, agama memberikan penjelasan terhadap barang-barang yang boleh dan haram
dikomsumsi dan dikenakan sebagai pakaian. Semua ini tidak lain dimaksudkan hanya
untuk menjaga keselamatan jiwa dan akal manusia. Seperti yang telah difirmankan
oleh Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 172. Dalam firman-Nya ini Allah
dengan tegas memerintahkan manusia untuk mengkomsumsi barang-barang yang
baik, yang bermanfaat bagi perkembangan tubuh dan psikologis seseorang. Dan di
dalam firman ini pula Allah melarang keras umatnya untuk mengkomsumsi barang-
105
barang kotor seperti bangkai, darah, daging babi dan lain-lain. Untuk mewujudkan
maşlahah dari aspek menjaga keturunan dan harta, maka agama memberikan aturan-
aturan yang berkenaan dengan interaksi manusia dengan manusia lainnya, seperti
aturan jual-beli, waris dan aturan perkawinan dan lain-lain. Inilah yang dikenal
dengan istilah mura’ah al-maşlahah min janib al-wujûd. Tindakan praktis yang
dimaksudkan sebagai bentuk manefestasi dari maşlahah yang dicanangkan oleh
agama agar tetap berlangsung hidup di tengah masyarakat.86
BAB V
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa keterlibatan kelompok-
kelompok agama-agama dalam dialog antar umat beragama memang menjadi sesuatu
yang sangat penting dalam menciptakan kesepahaman dan untuk mengeleminir
pembenaran melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Jika masing-
masing elit agama bisa bertanggungjawab atas penyadaran komunitasnya untuk tidak
melakukan kekerasan atau minimal melakukan sesuatu untuk kepentingan itu maka
penyelesaian persoalan kekerasan berbasis agama akan lebih mudah. Ma'had Aly,
sebuah lembaga kader ahli fiqh yang berkonsentrasi atas perumusan hukum-hukum 86 Al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi uşûl al-Ahkam, Beirut: dar al-Fikr, tt., Juz II, hal. 4.
106
Islam telah melakukan kerja besar sesuai dengan disiplin yang ditekuninya. Sebagai
lembaga yang berkonsentrasi pada kajian fiqh, Ma'had aly merumuskan sebuah
pandangan fiqh baru yang dialogis. Selain seluruh proses perumusan fiqh yang
dilakukan di pesantren ini telah diawali dengan dialog dengan kelompok lain baik
yang blintas Maźhab maupun lintas agama hasil dari “ijtihâd”nya pun juga
didialogkan dengan komunitas lain.
Melakukan dialog antar agama dengan mainstrem fiqh adalah menjadi ciri
khas Ma'had Aly. Ciri khas dari pola dialog dengan model ini adalah memberikan
justifikasi atas produk-produk fiqh yang dialogis dengan teks-teks kitab suci maupun
kitab-kitab karya ulama salaf dengan penyajian yang kritis. Penerapan qowaid al-fiqh
dan uşûl al-fiqh dalam penetapan hukum-hukumnya memungkinkan Ma'had Aly
melakukan ijtihâd-ijtihâd fiqhy yang bisa dipertanggungjawabkan secara secara
motodologis. Sasaran dari pengembangan dialog yang dilakukan Ma'had Aly adalah
terfokus kepada umat Islam di Indonesia. Walaupun mereka berpandangan bahwa
produk fiqh yang mereka kembangkan tidak harus diikuti tetapi Ma'had Aly
mendukung ide-idenya dengan referensi sumber hukum Islam yang syah yaitu al-
Qur’an dan Hadist serta mengelola sumber-sumbar itu dengan metodologi yang
tersedia sehingga lebih mudah untuk dipertanggung jawabkan dan memiliki kekuatan
hukum dan mengikat bagi yang meyakini hasil ijtihâdnya. Pengembangan dialog
dengan mainstream fiqh ini dipandang efektif karena masyarakat Indonesia yang
mayoritas keberagamaannya berorientasi fiqh.
107
Fiqh dialogis pada dasarnya adalah sebuah fenomena dalam tradisi kajian
Islam klasik yang masih menggunakan nalar berpikir klasik yang dibangun oleh
ulama-ulama yang hidup pada abad ke empat dan kelima hijrah. Penggunaan nalar
klasik ini sebenarnya telah dilakukan oleh banyak indifidu atau kelompok lain selain
Ma’had Ali dalam memandang persoalan hukum Islam di Indonesia. Yang
membedakan Ma’had Aly dengan yang yang lain adalah konsistensi Ma’had Aly
terhadap penggunaan motodologinya. Sebagian besar para penganut Maźhab klasik
tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk menggunakan metode penetapan
fiqh untuk sebuah ijtihâd baru. Metode fiqh hanya dipakai sebagai kelangenan sebuah
disiplin ilmu tua yang harus dijaga dan untuk memakainya mereka merasa belum
punya kepercayaan diri.
Tiga hal yang menjadi ciri khas pengembangan fiqh dialogis yang
mebedakan dengan produk fiqh yang lain yaitu revitalisasi uşûl al-fiqh,87
penggunaan teks tandingan dan perluasan wilayah ta’wil. Dengan tiga metode inilah
sebuah persoalan dialog antar agama dibahas dengan perspektif fiqh. Hasil
pembahasan yang banyak merujuk pada teks-teks klasik itu kemudian didialogkan
denga realita sosial yang dihadapi. Dalam mengembangkan ide-idenya Ma’had Ali
mempublikasikan hasil kerjanya melalui radio, buletin, bahstul masail dan layanan
konsultasi agama melalui tilpun serta penyebaran kader-kadernya ke beberapa daerah
dan pesantren yang menjadi binaannya.
87 Uşûl al-fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah penetapan fiqh. Lihat Zarkasi Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Usul Fiqh, Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam, 1994, hal. 63-67
108
Menanggapi fenomena munculnya fiqh dialogis ini masyarakat memberikan
respon yang berbeda-beda. Setidaknya ada dua kelompok masyarakat yang menjadi
konsentrasi peneliti. Pertama adalah para ulama dan pengelola pesantren, ada dua
macam respon dari mereka, pertama memberi respon positif secara total dan yang
kedua memberi komentar yang terlihat ambigu. Satu sisi mereka mengakui
keberhasilan Ma’had Aly dalam mewujudkan cita-cita lahirnya kembali ulama’ fiqh
yang mumpuni tetapi disi lain menilai Ma’dah aly adalah lembaga yang liberal dan
kurang bisa menjaga warisan ulama’ salaf. Kemoentar ini bagi penulis adalah
komentar yang reaksioner dan kurang mendasar komentar seperti ini adalah komentar
pro kemapanan yang tidak bisa menyambut gembira munculnya ulama’-ulama’
muda. Kelompok kedua adalah ”para konsumen” fiqh dialogis. Yang dimaksud
konsumen di sini adalah para pembaca buletin dan klien layanan rohani Islam. Para
konsumen ini tidak terlalu memperhatikan bagaimana Ma’had Aly membangun
idenya dan bagaimana karakter produk fiqihnya, bagi mereka jawaban yang diberikan
ma’had Aly yang diperkuat dengan dalil-dalil teks atau argumentasi fiqh adalah yang
mereka butuhkan. Menurut mereka sebagai lembaga kader ali fiqh ma’had Aly
memiliki otoritas atas pengembangan fiqh dan mereka mengakui kebenaran
ijtihâdnya.
Beberapa respon diatas semakin menguatkan alasan Ma’had Aly mengapa
mereka menggunakan fiqh sebagai sarana pengembangan dialog antar agama. Fiqh
dipilih sebagai alat untuk mengembangkan dialog agama karena fiqh memiliki
metode pengembangan yang yang jelas, fiqh juga merupakan representasi dari
109
pemahaman Islam Masyarakat Indonesia dan fiqh memiliki kekuatan hukum yang
diakuai. Dari cara penyajiannya yang dilengkapi dengan metode penetapan
hukumnya, fiqh dialogis ini termasuk dalam fiqh kontemporer yang digagas oleh
Sahal Mahfudz yaitu fiqh yang berkarakter dialogis antara teks dan konteks. Dalam
perpektif dialolog antar agama menurut penulis, Ma’had Aly masih tampak sangat
hati-hati dalam menentukan sikap atas posisi ”yang lain”. Hal ini tampak dari gaya
mereka berdialog, pengakuan terhadap adanya kebenaran dalam tradisi ”yang lain”
dan keberanian bekerjasama telah dilakukan dengan total. Tetapi pengalaman
menjadi yang lain seperti yang syaratkan oleh Swedler belum pernah mereka coba
alami secara serius dan terlembanga. Istilah fiqh dialogist untuk menyebut fiqh yang
dikembangkan oleh Ma’had Aly memang masih bisa diperdebatkan. Tetapi hasil
penelitian sudah sangat jelas menunjukkan bahwa fiqh yang dikembangkan telah
memiliki kreteria-kreteria fiqh baru dan aspek utama dalam dialog []
BIBLIOGRAFI
110
Al-Anşari, Zakariya. 1994. Fath al-Mu’in. Bairut: Dar al-Fikr.Al-Bantani, Nawawi. tt. Fath al-Qorib Hamisy Tausyiyah. Bairut: Dar al-Fikr.Abdul-Jabbar, Umar. tt. Mabâdi al-Fiqh. Surabaya: Sumber Ilmu.Abdurrahman, Dudung. 2004. Laporan Penelitian Kompetetif. PTAI Tahun Anggaran
2003. Model Pengembangan Ma'had Aly: Studi Kasus Beberapa Pesantren di Jawa. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Abdul Salam, Zarkasi dan Fathurohman, Oman. 1994. Pengantar Ilmu Usul Fiqh I. Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.
Abdusshomad Muhyiddin, 2005. Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Malang: Pustaka Bayan
Syatha. tt. I’anah al- Ţalibîn. Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr.Al-Manawiy. tt, Fath al-Qodîr. Juz V. Beirut: Dar al-Fikr.Al-Zuhaili, Wahbah. 1985. Uşûl al-Fiqh al-Islâmi. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.Al-Zuhaili, Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Juz I. Bairut: Dar-al-Fikr.Azizi, Qodri A. 2002. Eklektisme Hukum Nasional kompetisi Antara Hukum Islam
dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media.Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2002. Ambivalensi Agama, Konflik & Kekerasan. Yogyakarta: Lesfi.
BAPEKAB, Badan Pusat Statistik Kabupaten. 2003. Kabupaten Situbondo dalam angka. Situbondo: BAPEKAB, Badan Pusat Statistik Kabupaten.
Basri, Hasan . tt. KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuanganny. (P2S2 Situbondo).
Bik, M., Khudlari. 1988. Uşûl Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve.Hamdan dan Bayu. 2002. Meretas Jalan Perdamaian Membangun Kemanusiaan:
Konflik Sosial di Mataram NTB, Konflik Akar Rumput di Pati dan Revitalisasi Budaya Adat Alor Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hariyanto (ed). 1998. Melangkah dari Reruntuhan Tragedi Situbondo. Jakarta: PT Grasindo.
Ibnu, Subkiy. tt. Jam’u al-Jawâmi’. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.Ismail, Abd. Muqit. 2003. Peran Ma’had Aly Li Qism Al-Fiqh Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah dalam Peningkatan Intelektual Santri. Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Malang.
Knitter, Paul F. 2002. Introducing Theologies of Religion. Maryknoll, New York: Orbis Book.
Leonard, Swidler. 1990. After the Absolote: The dialogical future of religious reflection. Augsbrg: Fortres
Suryadinata, Leo. Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 1995 Islam,Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
111
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LkiS.Mas’udi, Masdar Farid. 2003. “Agama dan Konflik Sosial” dalam Rahmad, M.,
Imdadun (ed.). Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga.Mudzhar, Mohammad Atho. 1993. fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A
Study of Islamic Legel Thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS.Wahid, Marzuki. 2001. Post-Tradisionalisme Islm: Gairah Baru Pemikiran Islam di
Indonesia. dalam Tashwirul Afkar. Edisi. 10. Jakarta: LAKPESDAM NU dan TAF. hal 10-20.
Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqh Maźhab Negara, Kritik atas politik hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Madjid Nurholish (1993), Islam, Kemoderenan, dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan).
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. tt. Profil pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah SukorejoSitubondo (Situbondo: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
profil Ma'had Aly. 2005. brosur penerimaan santri baru angkatan VI dan mahasiswa baru Magister Hukum Islam Angkatan II. Situbondo: Ma'had Aly.
Rofiq, Ahmad. 2004. Fiqh kontekstual dari Naratif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rumadi. 1999. Pembentukan Tradisi Hukum Islam di Indonesia- Survei singkat pada abad XVII-XVII. Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi No. 4. Jakarta:
LAKPESDAM NU dan LTN-NU.Sirry, Mun’im A., 2004. Fiqh Lintas Agama. Jakarta: Paramadina dan The Asia
Foundation.Toyibah, Dzurriyatun. 1998. Fiqih Perburuhan. Jakarta: ISIS.Van Bruinessen, Martin. 1994. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesi. Bandung: Mizan.
112