Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 193
IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG
JAWABAN KEJAHATAN KORPORASI
Arie Kartika
Fakultas Hukum
Universitas Medan Area
Abstrak
Tidak hanya persoon, korporasi juga dapat dipidana karena korporasi sudah
sebagai subjek hukum dan korporasi juga mendapat keuntungan dari apa yang telah
dilakukan pengurusnya. Dalam hal ini hukum yang diberlakukan harus jelas untuk
pemberian pemidanaan. Implementasi criminal policy sangat berperan didalam
bervariasinya modus operandi dan luasnya kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi
adalah suatu perbuatan yang dilakukan korporasi. Penanggulangan kejahatan dapat
dilakukan melalui dua sarana, yakni sarana penal dan sarana non penal. Tiga teori yang
tepat dalam sistem pertanggungjawaban korporasi adalah identifikasi teori, teori
pertanggungjawaban pengganti dan teori pertanggungjawaban mutlak.
Abstract Not only persoon, corporate can also condemnation because corporation is as the subject of law
and corporate also get benefit of what has been done managers.in this case law imposed must be fought to
give the punishment. The implementation of criminal policy so important role and the breadth of corporate
crime. Prevention may be was conducted with two facilities, using penal and non penal. Three theory exact
in corporate responsibility system are identification theory, vicarious liability theory ang strict liability.
Keywords : criminal policy, vicarious liability, corporate responsibility.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu perubahan yang sangat
berpengaruh didalam kehidupan
masyarakat adalah perkembangan di
bidang ekonomi, namun bukan berarti
bidang tersebut dapat berjalan sendiri
tanpa bantuan dari bidang-bidang
lainnya, seperti hukum, politik, sosial
dan lainnya (bagaikan suatu sistem yang
tidak bisa dijalankan secara parsial).
Titik berat pembangunan setelah krisis
ekonomi melanda Indonesia adalah
pembangunan di bidang ekonomi.
Kejahatan pun selalu berkembang seiring
dengan perkembangan manusia. Alasan
ekonomi cenderung menjadi prioritas
setiap orang dalam melakukan kejahatan,
dan tidak saja secara pribadi tetapi juga
marak melakukan suatu tindak pidana
dibalik dan dengan mengatasnamakan
korporasi (badan hukum/ perusahaan).
Jenis-jenisnya pun beraneka ragam,
modus operandi yang dilakukan juga
semakin bervariasi.
Korporasi banyak memberikan
kontribusi yang besar dalam
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 194
perkembangan suatu Negara kearah yang
positif, misalnya pemasukan Negara
dalam bentuk pajak maupun devisa, dan
membuka lowongan pekerjaan untuk
masyarakat. Namun di sisi lain, korporasi
juga tidak jarang menimbulkan dampak
negatif, seperti pencemaran lingkungan
hidup, pengurasan sumberdaya alam,
manipulasi pajak, persaingan secara
curang, eksploitasi terhadap para pekerja,
penipuan terhadap konsumen dan juga
seperti menghasilkan produk-produk
yang membahayakan konsumen. Karena
cakupan yang luas dan cenderung
bertahan lama dampak negatif akan
mendominasi dibanding-kan dampak
positifnya, maka hukum sebagai pengatur
dan pengayom masyarakat luas sudah
seharusnya memberikan perhatian dan
pengaturan yang tegas terhadap segala
aktifitas korporasi.
Sebagai salah satu dimensi
kehidupan bangsa Indonesia, Hukum
Indonesia adalah suatu kebutuhan
mendasar yang didambakan
kehadirannya sebagai alat pengukur
kehidupan, baik dalam kehidupan
individual, kehidupan sosial maupun
kehidupan bernegara. Keberadaan hukum
menjadi sangat mendesak pada saat ini,
di tengah-tengah situasi transisional
menuju Indonesia sebagai Negara Maju.
Hukum Pidana adalah salah satu hukum
positif di Indonesia. Dari isi atau materi
yang diatur, hukum kepidanaan terdiri
atas hukum pidana umum dan pidana
khusus. Pengaturan Hukum Pidana dapat
diberlakukan untuk Kejahatan
Korporasi.
Salah satu jenis pidana khusus
adalah Hukum Pidana Ekonomi, yakni
hukum pidana yang berlaku pada bidang
perekonomian Indonesia, yaitu semua
kegiatan yang menyebabkan kerugian
atau kelemahan perekonomian Negara.95
Dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia, pengaturan korporasi sebagai
subjek hukum pidana dilangsungkan
melalui tiga sistem, pertanggungjawaban
korporasi, yaitu (1) pengurus korporasi
sebagai pembuat, maka penguruslah yang
bertanggungjawab, (2) korporasi sebagai
pembuat, maka pengurus yang
bertanggungjawab, dan (3) korporasi
sebagai pembuat dan yang
bertanggungjawab.96
Sehubungan dengan masalah ini,
maka tujuan pemidanaan menurut Muladi
dalam Hukum Pidana Ekonomi adalah
untuk memperbaiki kerusakan, baik yang
bersifat individual maupun yang bersifat
sosial yang diakibatkan oleh tindak
pidana.97 Dalam kerangka ini maka
tujuan pemidanaan harus berorientasi
pada pandangan integratif, yang terdiri
dari beberapa tujuan pemidanaan yang
harus dipenuhi. Melihat kerugian yang
ditimbulkan dari pelanggaran ataupun
kejahatan terhadap perkembangan
ekonomi, maka tujuan pemidanaan serta
pemilihan sanksi pidana harus
mendapatkan evaluasi, dan penggunaan
hukum pidana sebagai pencegah
95 Ilhami Bisri, Sistem Hukum
Indonesia, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011), hal. 41. 96 Setiyono, Kejahatan Korporasi,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hal. 2. 97 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana
Materil Indonesia di masa datang, Pidato
Pengukuhan Sebagai Guru Besar UNDIP, 1990.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 195
(preventif), mengendalikan sekaligus
menanggulangi kejahatan di bidang
ekonomi tetap harus dipertahankan.
Penanggulangan kejahatan dapat
dilakukan melalui dua sarana, yakni
sarana penal dan sarana non penal.
Melalui dua sarana tersebut tidak sedikit
yang berpendapat bahwa penanggulan
secara non penal lebih efisien dalam
penyelesaiannya. Contoh kasus misalnya
pencemaran lingkungan hidup, bahwa
akibat dari pencemaran lingkungan
mungkin lebih cepat teratasi dengan
tindakan yang bersifat administratif.
Namun dengan menggunakan sarana non
penal juga memiliki kelemahan. Pertama,
yakni hubungan struktural bawahan
atasan dalam korporasi mudah sekali
menimbulkan tanggung jawab moral
yang tidak adil. Kedua, efek publisitas
cenderung melebar dan tidak terkendali,
contoh kasus Bank Century, yang mana
jajaran staf yang sebenarnya tidak
mengetahui apa-apa tentang ulah direksi.
Upaya kriminalisasi terhadap
perbuatan-perbuatan korporasi dapat
dilihat dengan adanya usaha untuk
memasukkan korporasi sebagai subjek
tindak pidana dalam rancangan KUHP.
Hal tersebut sampai saat ini masih
merupakan Ius Constituendum. Hal yang
tampak dalam tindakan-tindakan badan
legislatif sampai saat ini adalah
pengaturan korporasi sebagai subjek
tindak pidana dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di luar KUHP,
misalnya Undang-Undang tentang
Narkotika dan Psikotropika,
pemberantasan tindak pidan korupsi, dan
sebagainya.98
Sehubungan dengan
penanggulangan kejahatan dengan sarana
penal, mempunyai dua masalah sentral,
yakni masalah penentuan (1) perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana, dan (2) sanksi apa yang
seharusnya dikenakan kepada si pelaku
pelanggaran atau kejahatan. Memilih dan
menetapkan pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan korporasi tentu
harus memperhitungkan faktor-faktor
yang mendukung bekerjanya hukum
pidana dalam kenyataan, termasuk motif-
motif kejahatan korporasi yang bersifat
ekonomis.
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, akan dikaji mengenai bagaimana
Implementasi Criminal Policy Terhadap
Pertanggungjawaban Kejahatan
Korporasi.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah
disampaikan dalam latar belakang di atas,
maka permasalahan yang mendasari
penulisan ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana Implementasi Criminal
Policy terhadap Pertanggungjawaban
Kejahatan Korporasi?
C. Tujuan Penulisan
Terkait dengan judul dan
permasalahan yang dikemukakan dalam
penelitian ini, maka tujuan penelitian ini
yaitu sebagai berikut, Mengetahui tentang
Implementasi Criminal Policy terhadap
98 Ibid
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 196
Pertanggungjawaban Kejahatan
Korporasi.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan penulisan ini dapat
memberikan manfaat baik yang bersifat
praktis maupun teoretis.
Dari segi teoretis, hasil penulisan
ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran serta pemahaman
dan pandangan baru serta dapat menjadi
bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan konsep-konsep ilmiah yang
ada. Dengan penulisan ini juga
diharapkan dapat memperkaya
pemahaman akademisi di bidang ilmu
hukum, khususnya hukum pidana
mengenai implementasi pertanggung-
jawaban ( penal policy ) terhadap
kejahatan Korporasi.
Manfaat dari segi praktis, diharapkan
penulisan ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap strategi
penegakan hukum kejahatan korporasi
seiring perkembangan perekonomian
yang semakin pesat saat ini.
E. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal karena penelitian ini dilakukan
dengan cara menganalisa hukum yang
tertulis dari bahan pustaka atau data
sekunder yang lebih dikenal dengan nama
dan bahan acuan dalam bidang hukum
atau bahan rujukan bidang hukum.
2. Data dan Sumber Data
Dalam penyusunan yang
digunakan dalam penulisan ini, data dan
sumber data yang digunakan adalah :
d. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan
hukum yang terdiri dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dan Peraturan
Perundang-Undangan yang
berkaitan dengan Korporasi.
e. Bahan hukum sekunder, yaitu
berupa bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum
primer, yaitu hasil karya para ahli
hukum berupa buku-buku,
pendapat-pendapat para sarjana
yang berhubungan dengan
penelitian ini.
f. Bahan Hukum tersier atau bahan
hukum penunjang, yaitu bahan
hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap
bahan hukum primer dan/atau bahan
hukum sekunder, yaitu Kamus
Hukum, dan lain-lain.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data yang
dipergunakan di dalam penelitian ini
adalah dengan cara “Penelitian
Kepustakaan” (Library Research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara
pengumpulan Literatur dengan sumber
data berupa bahan hukum primer dan
ataupun bahan hukum sekunder yang ada
hubungan dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 197
4. Analisis Data
Di dalam penulisan ini yang
termasuk ke dalam tipe penelitian hukum
normatif, pengelolaan data pada
hakikatnya merupakan kegiatan untuk
melakukan analisis data terhadap
permasalahan yang dibahas. Hal ini
dilakukan dengan menganalisa bahan-
bahan yang diperoleh dari peraturan
produk perundang-undangan, buku, dan
karya ilmiah serta bahan dari internet
yang berkaitan erat dengan
“Implementasi Criminal Policy Terhadap
Pertanggungjawaban Kejahatan
Korporasi” yang kemudian dianalisa
secara induktif kualitatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi
1. Pengertian Korporasi dan
Kejahatan Korporasi
Pengertian Korporasi tidak lepas
kaitannya dari bidang hukum perdata,
yakni sebagai badan hukum
(rechtpersoon). Pengertian Badan Hukum
berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata
adalah himpunan dari orang sebagai
perkumpulan itu diadakan atau diakui
oleh pejabat umum, maupun perkumpulan
itu diterima sebagai diperolehkan, atau
telah didirikan untuk maksud tertentu
yang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang dan kesusilaan yang baik.
Adanya Badan Hukum untuk
menunjukan suatu badan yang diberi
status sebagai subjek hukum, disamping
subjek hukum yang berwujud manusia
alamiah (natuurlijk persoon). Badan
hukum dianggap bisa menjalankan segala
tindakan hukum dengan segala harta
kekayaan yang timbul dari perbuatan itu.
Pemikiran untuk menunjuk subjek khusus
yang berupa badan hukum adalah karena
ingin kerja sama untuk memperoleh
keuntungan dan membagi resiko jika
sewaktu-waktu timbul kerugian. Bahkan
salah satu alasan lainnya untuk
memudahkan dalam menunjuk siapa
subjek hukum yang harus bertanggung
jawab di antara sedemikian banyak orang-
orang yang terhimpun dalam badan
tersebut, yaitu secara yuridis
mengonstruksikannya cukup dengan
menunjuk badan itu sebagai subjek
hukum yang harus bertanggungjawab.99
Pengertian korporasi dalam hukum
pidana positif kita lebih luas dari
pengertian badan hukum sebagaimana
dalam konsep itu. Beberapa peraturan
perundang-undangan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merumuskan pengertian korporasi yang
beraneka ragam. Misalnya Pasal 1 butir
21 UU No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika memberikan pengertian
Korporasi adalah kumpulan yang
terorganisasi dari orang dan atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.100
Tidak hanya persoon, korporasi
juga dapat dipidana karena korporasi
sudah sebagai subjek hukum dan
korporasi juga mendapat keuntungan dari
apa yang telah dilakukan pengurusnya.
Korporasi merupakan badan hukum yang
beranggota, tetapi mempunyai hak dan
kewajiban anggota masing-masing.
99Setiyono.Op.Cit., hal. 3. 100 Lihat Pasal 1 Butir 21, UU No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 198
Penempatan korporasi sebagai subjek
dalam hukum pidana tidak lepas dari
modernisasi sosial, modernisasi sosial
dampaknya pertama harus diakui bahwa
semakin modern masyarakat itu semakin
kompleks sistem sosial, ekonomi dan
politik yang terdapat disitu maka
kebutuhan akan sistem pengendalian
kehidupan yang formal akan menjadi
semakin besar pula.101
Kejahatan korporasi adalah suatu
perbuatan yang dilakukan korporasi yang
dapat dijatuhi hukuman oleh Negara,
berdasarkan hukum administrasi, hukum
perdata dan hukum pidana. 102Kejahatan
korporasi merupakan salah satu bentuk
white collar crime. Bentuk-bentuk
kejahatan korporasi ini sangat beraneka
ragam dan pada umumnya bernilai
ekonomis. Kejahatan korporasi dilakukan
untuk kepentingan korporasi (crimes for
corporation) dan korporasi yang sengaja
dibentuk dan dikendalikan untuk
melakukan kejahatan (criminal
corporation).
2. Pemidanaan dan Pertanggung-
jawaban Pidana Korporasi
Pemidanaan adalah penjatuhan
hukuman kepada perbuatan pidana.
Istilah teori pemidanaan berasal dari
Inggris, yaitu comdemnation theory.
Perbuatan Pidana merupakan perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum dilarang
101Muladi dan Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
hal.43. 102 Setiyono.Op.Cit., hal. 22.
dan diancam pidana.103 Penentuan sanksi
pidana dalam hukum pidana terkait
dengan empat aspek: yakni yang
pertama, penetepan perbuatan yang
dilarang; kedua, penetapan ancaman
sanksi pidana terhadap perbuatan yang
dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana
pada subjek hukum; keempat, tahap
pelaksanaan pidana. Keempat aspek
tersebut terkait antara satu dengan
lainnya dan merupakan satu jalinan
dalam wadah sistem hukum pidana.104
Beberapa teori
pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi adalah sebagai berikut:105
1) Teori Fiksi, menurut teori ini
kepribadian hukum atau
kesatuan-kesatuan lain daripada
manusia adalah hasil khayalan.
Kepribadian yang sebenarnya
hanya ada pada manusia. Badan
hukum tidak dapat menjadi
subjek hokum, tetapi diperlukan
seolah-olah badan hukum itu
manusia.
2) Teori Konsesi, teori ini
menyatakan dengan tegas bahwa
badan hukum dalam Negara
tidak memiliki kepribadian
hukum kecuali kalau
dipekernankan oleh hukum, dan
ini berarti Negara.
3) Teori Zweckvermogen, menurut
teori ini hak milik badan-badan
hukum dapat diperuntukan dan
103HS.Salim, Perkembangan Teori
Dalam Ilmu Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2012), hal 7.
104 Ibid., hal 82. 105 Abdulkadir Muhammad, Hukum
Perusahaan Indonesia. (Bandung:Citra Aditya
Bakti, 2010), hal. 102-103.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 199
mengikat secara sah pada
tujuan-tujuan tertentu tetapi
adalah milik tanpa subjek tanpa
pemilik.
4) Teori Ihering, menurut teori ini
bahwa subjek-subjek hak badan
hukum adalah manusia secara
nyata ada dibelakang (anggota-
anggota badan hukum) dan
mereka yang mendapatkan
keuntungan dari badan hukum
yang diberi kepribadian tersebut.
5) Teori Realitas atau Organik,
teori ini menekankan pada
pribadi-pribadi hukum yang
nyata sebagai sumber
kepribadian hukumnya.
Sistem hukum menjatuhkan
hukuman atau pidana adalah menyangkut
tentang perbuatan-perbuatan apa yang
diancam dengan pidana. Haruslah
terlebih dahulu telah tercantum secara
tegas dalam undang-undang pidana,
artinya jika tidak ada undang-undang
yang mengatur, maka pidana tidak dapat
dijatuhkan. Bab I Pasal 1 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
ada asas yang disebut “nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenale”,
yang pada intinya menyatakan bahwa
tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali sudah ada ketentuan undang-
undang yang mengatur sebelumnya.
Menurut Ketentuan Hukum Pidana para
pelaku tindak pidana itu pada dasarnya
dapat dibedakan atas beberapa kategori,
yakni:
1. Pelaku utama.
2. Pelaku peserta.
3. Pelaku pembantu.
Pertanggung jawaban pidana
dalam istilah asing disebut juga dengan
criminal responsibility yang menjurus
kepada pemidanaan dengan maksud
untuk menentukan apakah seseorang
tersangka atau terdakwa diminta
pertanggung jawabannya atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Untuk dapat dijatuhkan pidana bagi
pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
yang dilakukannya itu harus memenuhi
unsur-unsur yang telah di tentukan dalam
Undang-Undang.
Seseorang akan dipertanggung
jawabkan atas tindakan-tindakan
tersebut, apabila tindakan tersebut
melawan hukum serta tidak ada alasan
pembenar atau peniadaan sifat melawan
hukum untuk tindak pidana yang
dilakukannya. Dan dilihat dari sudut
kemampuan bertanggung jawab maka
hanya seseorang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat
dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya. Tindak pidana jika tidak
ada kesalahan adalah merupakan asas
pertanggungjawaban pidana, oleh sebab
itu dalam hal dipidananya seseorang
yang melakukan perbuatan ini dia
mempunyai kesalahan.
Berdasarkan hal tersebut maka
pertanggungjawaban pidana, terdiri atas
tiga unsur yaitu:106
a. Kemampuan bertanggung jawab;
b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja
dan/ atau kealpaan;
c. Tidak ada alasan pemaaf.
106 Muladi, .Op.Cit., hal. 63.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 200
Terkait dengan pelaksanaan
kewajiban, hukum pidana baru dapat
diterapkan jika:107
a) Sama sekali tidak dilakukan
kewajibannya;
b) Tidak melaksanakan kewajibannya
tersebut dengan baik sebagaimana
mestinya, yang dapat berarti:
(1) Kurang melaksanakan
kewajibannya;
(2)Terlambat melaksanakan
kewajibannya;
(3) Salah melaksanakan
kewajibannya baik sengaja
maupun tidak;
c) Menyalahgunakan pelaksanaan
kewajiban.
Kewajiban adalah paksaan yang
harus dilaksanakan oleh pemegangnya,
sedangkan larangan adalah hal yang tidak
boleh dilakukan.
Penjelasan di atas memuncul
pertanyaan bagaimana pertanggung-
jawaban pidana dalam tindak pidana
korporasi. Masalah utama terhadap
pertanggungjawaban pidana dalam tindak
pidana korporasi adalah ketidakjelasan
siapa pelaku yang seharusnya
bertanggung jawab.
Karena ada beberapa sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi;
(1) pengurus korporasi sebagai pembuat
dan pengurus yang bertanggungjawab
(ketika pengurus yang melakukan
kejahatan maka pengurus yang
bertanggungjawab), (2) korporasi sebagai
pembuat dan pengurus yang
107 Alvin Syahrin. http://alviprofdr.
Blogspot.com/2013/01/ pertanggungjawaban-
korporasi-dalam. html # more. Diakses pada
pukul 13.50 WIB. Tanggal 8 April 2014.
bertanggungjawab, dan (3) korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
Pengurus korporasi sebagai
pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab mengandung makna
bahwa kepada pengurus korporasi
dibebankan kewajiban tertentu.
Kewajiban yang dibebankan itu
sebenarnya merupakan kewajiban dari
korporasi. Pengurus yang tidak
memenuhi kewajiban itu diancam dengan
pidana. Dasar pemikiran dari konsep ini
yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap suatu
pelanggaran, melainkan selalu
pengurusla yang melakukan delik itu.108
Korporasi sebagai pembuat dang
pengurus yang bertanggungjawab
berkenaan dengan pandangan bahwa apa
yang dilakukan oleh korporasi
merupakan apa yang dilakukan oleh alat
perlengkapan korporasi menurut
wewenang berdasarkan anggaran
dasarnya. Orang yang memimpin
korporasi bertanggungjawab secara
pidana, terlepas dari apakah dia
mengetahui atau tidak mengenai
dilakukannya perbuatan itu. Prinsip ini
hanya berlaku untuk pelanggaran saja.109
Korporasi sebagai pembuat dan
yang bertanggungjawab menunjukkan
bahwa untuk beberapa delik tertentu
ditetapkannya pengurus saja sebagai
yang dapat dipidana ternyata tidak
108 Alvi Syahrin, http://alviprofdr
.blogspot.com/2013/02/pertanggung-
jawabanpidana -korporasi-oleh.html. Diakses
Pada pukul 13.00 WIB. Tanggal 22 Desember
2013. 109Ibid
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 201
cukup. Dalam delik ekonomi bukan
mustahil denda yang dijatuhkan sebagai
hukuman kepada pengurus, jika
dibandingkan dengan keuntungan yang
telah diterima oleh korporasi dengan
melakukan perbuatan itu, atau kerugian
yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau
yang diderita saingannya, keuntungan
dan/atau kerugian itu lebih besar
jumlahnya daripada denda yang
dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya
pengurus tidak memberikan jaminan
yang cukup bahwa korporasi tidak sekali
lagi melakukan perbuatan yang telah
dilarang oleh Undang-Undang itu.110
3. Doktrin Pertanggung-
jawaban Pidana Korporasi
Beberapa doktrin pertanggungjawaban
pidana korporasi adalah sebagai
berikut:111
a. Doktrin Strict Responsibility
(Pertanggungjawaban Mutlak)
Pertanggung- jawaban yang
dibebankan kepada pelaku
yang bersangkutan dengan
tidak perlu dibuktikan lagi
adanya kesalahan.
b. Doktrin Vicarious Respon-
sibility (Pertanggung-jawaban
Pengganti)
Pembebanan atau pelimpahan
dari pertanggungjawaban
pidana yang dilakukan
seseorang kepada korporasi.
c. Doktrin of Delegation
110 Ibid 111 Agus Budianto, Delik Suap
Korporasi di Indonesia. (Bandung: Karya Putra
Darwati, 2012), hal. 67.
Pembebanan pertanggung-
jawaban pidana kepada
korporasi dengan adanya
pendelegasian wewenang dari
seseorang kepada orang lain
untuk melaksanakan
kewenangan yang dimiliki.
d. Doctrine of Identification
Pembebanan pertanggung-
jawaban pidana kepada
korporasi dengan cara
mengidentifikasi tindak pidana
yang dilakukan oleh orang
yang mempunyai hubungan
langsung, mempunyai status
atau otoritas tertentu dari
korporasi. Hal yang di
identifikasi adalah per-buatan,
pelaku, pertanggung-jawaban,
serta kesalah korporasinya.
e. Doctrine of Aggregation
Doktrin yang memung-kinkan
agregasi atau kombinasi
kesalah dari sejumlah orang
untuk di atributkan kepada
korporasi sehingga korporasi
dapat di bebani
pertanggungjawaban
f. Doctrine of Corporate
Culture
Pertanggungjawaban yang
dapat dibebankan kepada
korporasi apabila berhasil
ditemukan bahwa seseorang
yang telah melakukan
perbuatan melanggar hukum
memiliki dasar yang rasional
untuk menyakini bahwa
anggota korporasi yang
memiliki kewenangan telah
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 202
memberikanya izin untuk
dilakukanya tindakan tersebut.
Berdasarkan doktrin vicarious
responsibility, korporasi dan juga
pengurus juga dapat secara bersama-sama
dimintai pertanggungjawabannya dengan
merujuk kepada anggaran dasar korporasi
tersebut. Teori-teori serta doktrin-doktrin
mengenai pertanggung-jawaban pidana
korporasi tersebut di atas merupakan hal
yang saling melengkapi dan bukan saling
menghilangkan.
B. Kebijakan Penal dan Non
Penal dalam Penanggulangan
Kejahatan Korporasi
a. Kebijakan Penal
Istilah “kebijakan” yang
diterjemahkan dalam bahasa inggris
“policy” dan dalam bahasa belanda
“politiek” sedangkan untuk penggunaan
istilah “penal” diartikan sebagai
penggunaan hukum pidana. Jika
dirangkai dalam penggunaan bahasa
singkat kita, kebijakan hukum pidana
bisa disebut sebagai “politik hukum
pidana” yang merangkum pokok bahasan
politik hukum pidana adalah satu bagian
dari ilmu hukum.112
Teori Kebijakan Kriminal
sebagaimana di kemukakan oleh G.
Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan
Kriminal adalah113 “ suatu usaha yang
rasional dari pemerintah dan masyarakat
112 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy
Pendekatan Integral Penal Policy dan Non
Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan dan Kekerasan ( Medan: Pustaka Bangsa Press,
2008), hal. 65. 113 Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2008), hal. 46.
dalam melakukan penanggulangan
kejahatan. Politik kriminal dalam
pengertian praktis adalah segala usaha
yang rasional dari masyarakat untuk
menaggulangi kejahatan. Usaha ini
meliputi aktivitas dari pembentukan
undang-undang, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan aparat eksekusi
pemidanaan. Aktivitas badan-badan
tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi
berkaitan satu sama lain sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Oleh karena
itu, kebijakan atau politik hukum pidana
juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial (social
policy). Kebijakan hukum pidana dapat
mencakup ruang lingkup kebijakan di
bidang hukum pidana materiil, di bidang
hukum pidana formal dan bidang hukum
pelaksanaan pidana.
Penanggulangan lewat jalur
kebijakan penal, diartikan satu usaha
penanggulangan kejahatan yang menitik
beratkan pada sifat “revresif” yakni:
(penindasan/ pemberantasan/
penumpasan) setelah kejahatan itu
terjadi. Marc Ancel menyatakan bahwa
“modern criminal science” terdiri dari
tiga komponen “criminology”, criminal
law, dan penal policy. Lebih lanjut
disebutkan beliau “penal policy” adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk member pedoman tidak hanya
kepada pembuat Undang-Undang, tetapi
juga kepada pengadilan yang
menerapkan Undamg-Undang dan juga
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 203
kepada para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan.114
Menurut Solly Lubis Politik
Hukum adalah kebijaksanaan Politik
yang menentukan peraturan hukum apa
yang seharusnya berlaku, mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.115 Menurut Sudarto,
Politik Hukum adalah usaha mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu
saat; dan kebijakan dari Negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan
mencapai apa yg dicita-citakan.116
Pengertian diatas menyatakan
bahwa pelaksanaan politik hukum pidana
merupakan satu wujud pilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.
Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan, bahwa melaksanakan
politik hukum pidana berarti, usaha
mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa-masa yang akan dating.117
Dua masalah sentral dalam
kebijakan kriminal dengan menggunakan
sarana penal (hukum pidana) adalah
114 Ibid. hal.23. 115 M. Solly Lubis. Serba-serbi Politik
&Hukum. ( Jakarta: PT Sofmedia, 201), hal. 51. 116 Barda Nawawi Arief. Ibid.hal. 26 117 Ibid
masalah penentuan:118 (a) perbuatan apa
yang seharusnya dijadikan tindakan
pidana itu, dan (b) sanksi apa yang
sebaiknya digunakan atau dikenakan
kepada si pelanggar. Kebijakan hukum
pidana harus dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (policy oriented approach).
Upaya penanggulangan kejahatan
mempergunakan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan suatu usaha
penegakan hukum, artinya secara politik
atau kebijakan hukum pidana, itu
merupakan satu bagian kebijakan dalam
penegakan hukum (law inforcement
policy), sedangkan proses perumusan
atau pembuatan hukumnya (Undang-
Undang) pidana menjadi bagian
terintegral bagi usaha melindungi
masyarakat (social welfare) yang disebut
sebagai bagian kebijakan atau politik
sosial (social policy),yang dapat
diartikan bahwa kebijakan sosial itu
segala usaha yang rasional dalam
pencapaian kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat.119
1) Dasar dalam Menetapkan
Perbuatan sebagai Tindak
Pidana
Hukum pidana berpokok pada
perbuatan yang dapat dipidana dan ada
pidananya. Perbuatan yang dapat
dipidana itu merupakan obyek ilmu
118 Muladi dan Barda Nawawi Arief.
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung:
Alumni, 1984), hal 160. 119 Barda Nawai Arief, Ibid. hal.28
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 204
pengetahuan hukum pidana dalam arti
luas, dan harus dibedakan: 120
a. Perbuatan jahat sebagai gejala
masyarakat dipandang secara kongkrit
sebagaimana terwujud dalam
masyarakat adalah perbuatan manusia
yang menyalahi norma-norma dasar
masyarakat. Ini adalah pengertian
perbuatan jahat dalam arti
kriminologis.
b. Perbuatan jahat dalam arti hukum
pidana, yaitu sebagaimana terwujud in
abstracto dalam peraturan-peraturan
hukum pidana.
Moeljatno mendefinisikan
perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.121 Tindak pidana adalah
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, asal saja
diingat bahwa larangannya ditujukan
kepada perbuatan, yaitu menurut Van
Hamel dikatakan sebagai suatu gerakan
yang menampakkan diri sebagai
pernyataan dari kehendak dan
menyebabkan akibat-akibat di alam
nyata.122 Atau merupakan suatu keadaan
atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang, kelakuan orang disini
atau tingkah laku didefinisikan oleh
Duyker sebagai “gerakan yang berarti,
yaitu gerakan dimana ada suatu
hubungan antara satu subyek dengan
sekelilingnya. Di sini subyek bertindak
120 Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA.
(Semarang: Fakultas Hukum Undip, 1975), hal 30.
121 Andi, Hamzah. Hukum Pidana dan
Acara Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986). 122 Sudarto, Op.Cit, hal 34.
dalam suatu hubungan maka ia selalu
mempunyai beberapa alternatif. Dimana
tingkah laku itu berpangkal pada
alternatif tersebut.
2) Ketentuan Pidana dalam
Undang-Undang (di luar
KUHP) yang berhubungan
dengan Korporasi
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas Pasal
155, ketentuan mengenai tanggung
jawab Direksi dan/atau Dewaan
Komisaris ataskesalahan dan
kelalaiannya yang diatur dalam
Undang-Undang ini tidak
mengurangi ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Tentang
Hukum Pidana.
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
yo. No 10/ 1998 Tentang Perbankan
Pasal 46 (1) Barang siapa
menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka… tanpa izin
usaha dari menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal
17 diancam dengan pidana penjara.
(2) dalam hal kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas, yayasan atau
koperasi, maka penuntutan terhadap
badan-badan dimaksud dilakukan
baik terhadap mereka yang member
perintah melakukan perbuatan itu
atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya.
Pasal 47 ayat (2)
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 205
Anggota dewan komisaris, direksi,
pegawai bank atau pihak terafilasi
lainnya yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan menurut Pasal 40,
diancam dengan pidana. Penjelasan,
yang dimaksud dengan pegawai
bank adalah semua pejabat dan
karyawan bank.
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
Pasal 95 ayat (3)
Setiap orang atau badan yang
memberikan data, informasi, dan
atau laporan, yang berkaitan dengan
penjaminan simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 7
yang tidak benar, palsu, dan/atau
menyesatkan, dipidana dengan
pidana penjara serta denda
4. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
yo. Perpu No. 1 Tahun 2004 Tentang
Kehutanan Pasal 78 ayat (14)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) ayat (2), dan
ayat (3) apabila dilakukan oleh dan
atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurus, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 dari pidana
yang dijatuhkan.
5. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001
yo. No. 28 Tahun 2004 Tentang
Yayasan
Pasal 70
(1) setiap anggota organ yayasan
yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
5, dipidana dengan pidana penjara
(2) selain pidana penjara anggota
organ yayasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) juga
dikenakan pidana tambahan berupa
kewajiban mengembalikan uang,
barang atau kekayaan yayasan yang
dialihkan atau dibagikan.
6. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
Pasal 130
(1) dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal
111,.. sampai dengan Pasal 126 dan
Pasal 129 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusannya, selain pidana
penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan 3 (tiga) kali dari
pidana denda dalam pasal-pasal
tersebut.
(2) selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. Pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 135
Pengurus industry Farmasi yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal dipidana
dengan pidana penjara.
7. Undang-Undang 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan
Pengelolahan Lingkungan hidup
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 206
Pasal 100
(1) setiap orang yang melanggar baku
mutu air limbah, baku mutu emisi atau
baku mutu gangguan, dipidana dengan
pidana penjara
(2) Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dikenakan apabila sanksi administratif
yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi
atau pelanggaran dilakukan lebih dari
satu kali.
Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara
Pasal 1 Angka 32
Setiap orang adalah orang
perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum
Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana
dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; daan/atau
b. orang yang member perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut.
(2) apabila tidak pidana lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang yang
berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang
bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberian perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana
tersebut tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan
tindak pidana tersebut dilakukan
secara sendiri atau bersama-sama.
Dari beberapa Undang-Undang
yang disebutkan diatas disimpulkan
bahwa korporasi sudah diakui sebagai
subjek hukum, tetapi tetap saja
manusianya, bukan korporasinya yang
dipidana.
b. Kebijakan Non Penal (Non
Penal Policy)
Kebijakan Kriminal meliputi
ruang lingkup dengan menggunakan
hukum pidana (penal policy) dan
menggunakan upaya nonpenal. Dengan
menggunakan upaya non penal dapat
meliputi bidang yang sangat luas yakni di
seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan
utama dari upaya nonpenal adalah guna
memperbaiki kondisi-kondisi sosial
tertentu, namun secara tidak langsung
mempunyai pengaruh preventif terhadap
kejahatan. Upaya keseluruhan kegiatan
preventif non penal itu memiliki
kedudukan strategis dalam memegang
posisi kunci yang seyogianya terus
diintensifkan dan diefektifkan.
Kerangka teori yang dirangkum
dari pendapat Peter Hofnagel dalam
kebijakan pencegahan dan
penanggulangan kejahatan sebagaimana
halnya dikemukakan oleh Barda Nawawi
yakni:
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 207
1. Penerapan hukum pidana
(criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana
(prevention without punishment);
3. Mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan
dan pemindanaan lewat media
massa (influencing views of
society on crime and punishment
mass media).
Maka kebijakan non penal ini
lebih kearah pencegahan terhadap
timbulnya suatu kejahatan dengan melalui
pendekatan non penal yang adalah
pendekatan terhadap kejahatan tanpa
menggunakan sarana pemidanaan.
Penerapan kebijakan non penal lebih
menitikberatkan terhadap tindakan
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.
Sasaran utamanya bagaimana kebijakan
itu mampu menangani faktor-faktor
penyebab terjadinya kejahatan tindak
pidana korporasi dengan upaya preventif
agar semua pihak bisa bergerak dan
bersinergi terhadap permasalahan-
permasalahan sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat meningkatkan
kejahatan korporasi. Namun timbul
permasalahan dalam kasus kejahatan
korporasi apabila digunakan dengan
sarana nonpenal yakni kejahatan
korporasi umunya terungkap setelah
adanya kerugian, maka kelemahan sarana
non penal disini dianggap belum dapat
mengoptimalkan dengan pendekatan
sosial.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan,
dapat disimpulkan implementasi criminal
policy terhadap kejahatan korporasi yakni
menggunakan sarana penal dan sarana
non penal menjadi pilihan dalam
pemidanaan terhadap kejahatan korporasi.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang
(di luar KUHP) yang berhubungan dengan
korporasi/ atau hukum pidana khusus
diluar KUHP ternyata bervariasi.
Penegakan hukum dalam kejahatan
korporasi dipengaruhi karena adanya
ketidakjelasan (multi tafsir) dan tidak
konsistennya pemidanaan yang diberikan.
Penanaggulangan atau sanksi
pidana terhadap korporasi haruslah secara
selektif. Dalam memilih dan menetapkan
tentu harus memperhitungkan faktor-
faktor yang mendukung bekerjanya
hukum pidana dalam kenyataan, termasuk
motif-motif kejahatan korporasi yang
bersifat ekonomis. Dengan teori
identifikasi (identification theori)
merupakan salah satu cara menarik pelaku
kejahatan korporasi ke pengadilan. Teori
ini bekerja dengan mengidentifikasi
terlebih dahulu siapa yang melakukan
kejahatan/ kesalahan, kemudian setelah
diketahui pelakunya selanjutnya
diidentifikasi apakah directing mind
(orang yang diberi wewenang) untuk
bertindak atas nama korporasi, maka baru
dapat dinyatakan korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana.
Selanjutnya dengan teori
pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liablity), yakni suatu pertanggungjawaban
pidana yang dibebankan kepada seseorang
atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 208
orang lain, yang mana dalam hal ini
apabila karyawan atau pekerja yang
melakukan tindak pidana maka yang
bertanggungjawab adalah pimpinannya.
Dan penanggulangan yang terakhir
dengan teori pertanggungjawaban mutlak
(strict liability), yakni
pertanggungjawaban pidana dibebankan
kepada pelaku tindak pidana tertentu,
tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsur
kesalahan (baik itu kesengajaan ataupun
kelalaian, unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan dalam pembebanan
pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukan, tetapi cukup dibuktikan
bahwa perbuatan pidana telah dilakukan.
Sedangkan dalam masalah
penanggulangan kejahatan korporasi
dengan sarana non penal dapat
dicontohkan dengan salah satu kasus,
yakni kasus pencemaran lingkungan
hidup, yang mana pencemaran lingkungan
hidup dapat diatasi dengan cara
pemberian sanksi administratif bagi para
pejabat. Munurut Tri Maryono dalam
Kejahatan Korporasi, menyatakan sanksi
sosial dapat berlaku efektif, artinya setiap
pelaku pencemaran harus diumumkan
secara gencar di tengah masyarakat luas.
Penulis menyimpulkan bahwa pernyataan
tersebut guna menyadarkan pelaku
dengan menimbulkan rasa malu akibat
moral yang buruk.
B. Saran
Adapun saran yang
dikemukakan dalam penulisan ini adalah
perlu adanya perubahan dalam penetapan
yang diberikan untuk sanksi terhadap
kejahatan korporasi. Penegakan hukum
dengan menggunakan hukum pidana yang
mana sudah seharusnya Asas Primum
Remedium diberlakukan dengan tegas,
sehingga tujuan pemidanaan dengan teori
deterrence (bahwa tujuan pemidanaan
adalah untuk mencegah seseorang supaya
tidak melakukan kejahatan, dan bukan
sebagai sarana pembalasan masyarakat)
dan social defence (perlindungan sosial)
dapat tercapai, tetapi harus tetap disertai
ganti rugi dan memegang kehati-hatian
dikarenakan berdampak sangat besar
terhadap kehidupan msyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Agus Budianto. Delik Suap Korporasi di
Indonesia. Bandung: Karya Putra
Darwati, 2012.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana .
Jakarta; Kencana, 2008.
Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum
Pidana dan Acara Pidana.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia.
Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2011.
M. Solly Lubis. Serba-serbi Politik &
Hukum. Jakarta: PT Sofmedia,
2011.
Muhammad Abdulkadir . Hukum
Perusahaan Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-
Teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni, 1984.
Muladi dan Dwidja Priyatno.
Pertanggungjawaban Pidana
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 209
Korporasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy,
Pendekatan Integral Penal Policy
dan Non-Penal Policy dalam
Penangan Kejahatan Kekerasan.
Medan: Pustaka Bangsa Press,
2008.
Salim, HS. Perkembangan Teori dalam
Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012.
Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA.
Semarang: Fakultas Hukum
Undip.
Setiyono. Kejahatan Korporasi.Malang:
Bayumedia Publishing, 2009
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
yo. Perpu No. 1 Tahun 2004
Tentang Kehutanan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2001
yo. No. 28 Tahun 2004 Tentang
Yayasan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan
Pengelolahan Linkungan hidup
C. Internet
Alvin Syahrin. http://alviprofdr.
Blogspot.com/2013/01/
pertanggungjawaban-korporasi-dalam.
html # more. Diakses pada pukul 13.50
WIB. Tanggal 8 April 2014.
Alvi Syahrin, http://alviprofdr
.blogspot.com/2013/02/ pertanggung
jawabanpidana-korporasi-oleh.html.
Diakses Pada pukul 13.00 WIB.
Tanggal 22 Desember 2013.