Imunosupresi Dan Risiko Reaktivasi HBV Setelah Terapi Antibody Monoclonal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

imunosupresi reaktivasi HBV

Citation preview

Imunosupresi dan Risiko Reaktivasi HBV Setelah Terapi Antibody MonoclonalBeberapa tahun terakhir, manajemen efektif untuk berbagai keganasan hematologis dan penyakit inflamasi akibat imun telah menggunakan terapi antibody monoklonal. Rituximab (anti-CD20), alemtuzumab (anti-CD52) dan inhibitor TNF- melambangkan pendekatan terapi modern yang telah memperbaiki prognosis dan hasil dari beberapa kondisi keganasan maupun tidak ganas. Namun, agen biologis ini memicu imunosupresi dan penggunaannya dihubungkan dengan berkembangnya infeksi berat, termasuk reaktivasi HBV.Rituximab (anti-CD20 antibodi monoklonal)Terapi rituximab melambangkan salah satu kemajuan paling penting dalam penanganan kelainan limfoproliferatif dalam 30 tahun terakhir. Rituximab adalah archetype komponen kelas baru yang saat ini digunakan untuk mengobati limfoma sel-B CD-20 positif, chronic lymphocytic leukemia (CLL) dan kondisi autoimun, seperti trombositopeni dan kolagenopati. Rituximab adalah antibody monoklonal yang diambil dari tikus chimeric yang dirancang dengan pencangkokan berbagai region yang menyerang antigen CD20 dari antibodi anti-CD20 ke dalam region konstan manusia. Ikatan rituximab dengan sel B mengaktivasi komplemen dan merangsang deposisi C3b yang berada dekat rituximab. Selain antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dan complement-dependent cytotoxicity, rituximab juga memicu apoptosis melalui aktivasi caspase-3 dan mensensitasi sel terhadap stimuli pro-apoptotik yang nampaknya penting dalam pembunuhan sel yang terinduksi rituximab. Pengobatan dengan rituximab tidak biasanya dihubungkan dengan infeksi oportunistik yang berat, sementara risiko reaktivasi HBV jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kemoterapi konvensional. Ada peningkatan pelaporan reaktivasi HBV setelah terapi rituximab, baik saat digunakan tunggal ataupun dalam kombinasi dengan kemoterapi. Infeksi HBV dilaporkan menjadi infeksi virus paling umum pada pasien yang menderita limfoma dan diobati menggunakan rituximab. Aksoy et al menunjukkan bahwa infeksi HBV terkait rituximab dihubungkan dengan angka kematian sebesar 50% dibanding 33% yang Nampak pada pasien dengan infeksi lain. Dalam studi retrospektif baru-baru ini, 80% karier HBV tanpa profilaksis lamivudin mengalami hepatitis terkait HBV, termasuk satu gagal hepar fatal. Sekitar 4% pasien HBsAg negative berkembang menjadi hepatitis HBV de novo dan dua meninggal karena hepatitis fulminan. Habisnya populasi sel-B yang bersirkulasi setelah terinduksi obat mengakibatkan disregulasi imunitas penjamu terhadap HBV dan menggambarkan faktor patogenik utama yang terlibat dalam replikasi dan reaktivasi virus. Kendali infeksi HBV diperantarai terutama oleh limfosit T sitotoksik spesifik-HBV; akan tetapi, limfosit B tetap penting untuk presentasi antigen. Kegagalan presentasi antigen terkait habisnya sel B yang terlalu lama karena rituximab dapat menyebabkan HBV keluar dari kontrol limfosit T sitotoksik, mengakibatkan berkembangnya rektivasi virus hepatitis.Strategi antiviral untuk manajemen reaktivasi HBVSaat terdiagnosa reaktivasi HBV, wajib menghentikan semua kemoterapi dan segera memulai pengobatan dengan agen antiviral. Namun, terapi antiviral segera setelah pemberian antibodi monoklonal penting dalam mencegah reaktivasi HBV dan konsekuensi klinisnya. Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa risiko reaktivasi HBV jauh berkurang dengan identifikasi pasien risiko tinggi dan penggunaan terapi antiviral profilaksis. Identifikasi awal pasien yang berisiko mengalami reaktivasi HBV sebelum menerima antibodi monoklonal sangatlah penting untuk menghindari morbiditas yang dihubungkan dengan reaktivasi penyakit. Skrining virologist disarankan untuk semua pasien yang berisiko mengalami reaktivasi HBV, yang direncanakan untuk menerima terapi antibodi monoklonal. Tes untuk HBsAg, HBcAb dan HBsAb dapat membantu identifikasi pasien dengan infeksi kronis. Pasien HBsAg positif, termasuk baik karier aktif (terdeteksi DNA HBV dengan kerusakan liver) dan karier inaktif (DNA HBV tak terdeteksi tanpa kerusakan liver), perlu segera ditangani, untuk mencegah replikasi virus dan progresivitas penyakit sebelum terapi antibodi monoklonal diberikan.Rekomendasi penanganan standar kurang begitu jelas pada pasien dengan infeksi HBV occult (HBsAg negative/HBcAb positif dengan atau tanpa HBsAb dan DNA HBV tidak terdeteksi). Memang, pada pasien ini, risiko reaktivasi penyakit jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pasien HBsAg positif. Maka, telah dirumuskan bahwa pasien HBsAg negatif dengan HBcAb positif dan DNA HBV tak terdeteksi harus dimonitor ketat melalui pengukuran alanin aminotransferase (ALT) dan serum DNA HBV; dalam kasus reaktivasi HBV, sebagaimana dinilai melalui peningkatan signifikan tingkat DNA HBV, pasien harus diobati dengan obat antiviral, mungkin sebelum peningkatan ALT. Namun, pendekatan ini tidak diterima secara universal karena penundaan dalam pemberian pengobatan antiviral dapat membuka pasien terhadap risiko gagal hepar berat selama infeksi HBV occult. Menurut kami, dengan melihat keamanan relative dari agen antiviral oral, pengobatan profilaksis menggambarkan strategi yang masuk akal, teritama pada pasie risiko tinggi yang menerima regimen berbasis rituximab.Waktu dan durasi pemberian antiviral profilaksis yang optimal perlu dibedakan per individu, dengan mempertimbangkan faktor virus dan penjamu. Memulai pengobatan antiviral sebelum regimen imunosupresif dan melanjutkan hingga system imun telah kembali sepenuhnya mungkin merupakan jenis pendekatan yang paling masuk akal. Secara keseluruhan, obat antiviral perlu dimulai 1-2 minggu sebelum terapi antibodi monoklonal dan perlu diberikan selama setidaknya 6 bulan setelah pengobatan biologis dihentikan. Akan tetapi, monitoring DNA HBV dan ALT sangat disarankan setelah menghentikan profilaksis untuk mencegah lonjakan HBV.Pemilihan regimen antiviralObat yang digunakan untuk pengobatan infeksi HBV meliputi terapi interferon dan analog nukleos(t)ide. Interferon (IFN)- atau pegIFN- standar dikontraindikasikan untuk pengobatan reaktivasi HBV setelah terapi biologis.Saat ini, lima obat antiviral nucleos(t)ide oral telah disetujui untuk pengobatan infeksi HBV kronik: lamivudin, adefovir, entecavir, tenofovir, dan telbivudine. Obat antiviral yang paling umum dipakai dalam reaktivasi HBV adalah lamivudin. Namun, prognosis pasien yang menjalani regimen kemoterapi termasuk rituximab masih berat terlepas dari terapi lamivudin. Lebih lagi, efisiensi lamivudin terganggu oleh tingginya tingkat mutasi resistensi obat dalam polymerase HBV, yang dihubungkan dengan gagalnya pengobatan. Monoterapi lamivudin juga dapat memilih strain HBV yang dihubungkan dengan resistensi terhadap entecavir dan adefovir. Saat ini, pedoman pengobatan tidak lagi menyarankan monoterapi lamivudin sebagai pengobatan utama untuk hepatitis B kronis. Obat ini mungkin masih berperan dalam mencegah reaktivasi HBV pada pasien dengan infeksi HBV occult. Namun, dengan mempertimbangkan tingginya angka kematian terkait reaktivasi HBV selama terapi antibodi monoklonal, penggunaan obat antiviral yang lebih poten dan efektif perlu dievaluasi. Adefovir telah digunakan pada pasien dengan reaktivasi HBV yang sudah tegak dan individu yang diobati dengan profilaksis lamivudin yang memiliki resistensi obat. Namun, kegagalan pengobatan utama terjadi pada 10% pasien yang diobati menggunakan adefovir, dan resistensi viral terjadi pada hampir 30% pasien dengan hepatitis B antigen e negative setelah 5 tahun terapi. Entecavir dan tenofovir adalah obat antiviral yang lebih poten dan efektif yang sekarang lebih dipilih untuk penanganan pasien dengan infeksi HBV kronis. Inhibitor polimerasi HBV generasi baru ini menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah pada pasien saat diberikan sebagai monoterapi. Saat ini, hanya sedikit pengalaman penggunaan obat ini dalam manajemen reaktivasi HBV pada pasien imunosupresi yang menjalani terapi antibodi monoklonal. Terdapat beberapa laporan kasus mengenai keamanan telbivudin pada reaktivasi HBV namun tidak ada laporan mengenai efikasi tenovofir pada reaktivasi HBV.Bukti terbaik untuk antiviral profilaksis reaktivasi HBV masih ada pada lamivudin, namun ada beberapa data mengenai penggunaan entecavir. Pada dua laporan kasus, entecavir berhasil digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk reaktivasi HBV setelah kemoterapi yang mengandung rituximab. Akan tetapi, pada studi lain, telah terbukti bahwa entecavir meningkatkan kematian pasien dengan reaktivasi HBV, dengan meningkatkan asidosis laktat dan ensefalopati. Belakangan, kami menjelaskan kasus reaktivasi HBV pada pasien dengan limfoma non-Hodgkin setelah terapi dengan regimen berbasis rituximab: pasien berhasil diobati dengan kombinasi pengobatan antiviral termasuk entecavir dan tenofovir. Pengobatan antiviral dengan entecacvir diberikan segera saat pasien mengalami reaktivasi HBV, dan tercapai penurunan replikasi viral yang cepat dengan normalisasi transaminase. Namun, setelah beberapa bulan, pasien kembali datang dengan terobosan virologist dan biokimia; mungkin terkait kerusakan imun dari fungsi sel B dan T yang persisten dan berat. Kami mendapatkan supresi penuh viral dan normalisasi stabil dari enzim liver hanya setelah memulai strategi kombinasi yang meliputi entecavir dan tenofovir. Terapi kombinasi antiHBV telah dipertimbangkan pada pasien terinfeksi HBV dengan dekompensasi sirosis dan setelah transplantasi liver. Menurut kami, kombinasi penggunaan obat antiviral perlu dievaluasi lebih lanjut untuk penanganan reaktivasi HBV; terutama pada pasien dengan kerusakan system imun yang berat, meskipun data keamanan pada kelompok pasien yang berbeda maish diperlukan.KesimpulanReaktivasi HBV melambangkan masalah medis yang penting pada psien terinfeksi HBV yang menerima pengobatan biologis dengan antibodi monoklonal, seperti rituximab, alemtuzumab, atau antagonis TNF-. Identifikasi pasien risiko tinggi dengan infeksi HBV aktif, inaktif, dan occult serta penggunaan antiviral profilaksis penting dalam menghindari morbiditas yang serius terkait reaktivasi penyakit HBV. Akhirnya, studi yang meneliti keamanan dan efikasi obat anti-HBV generasi terbaru dalam monoterapi, atau dalam kombinasi, untuk penanganan reaktivasi HBV perlu sangat didukung.