Upload
crabers
View
477
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PENANGGULANGAN PENYAKIT GAGAL MOLTING (INCOMPLETE MOULTING) PADA PRODUKSI BENIH KEPITING BAKAU Scylla olivacea Herbst
Saldyansah Effendy*, Samsul Bahri, Sudirman, Eddy Nurcahyono
Balai Budidaya Air Payau TakalarDs. Bontoloe Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar – 92254, Sulawesi SelatanE-mail : [email protected]
Gagal molting (incomplete moulting) saat perpindahan stadia zoea ke megalopa merupakan kendala umum pada usaha perbenihan kepiting bakau Scylla olivacea Herbst. Belum diketahui secara pasti penyebab penyakit tersebut, namun diduga akibat kurangnya asupan nutrisi larva. Gagal molting dapat menyebabkan kematian masal pada pemeliharaan larva terutama pada saat masuk stadia megalopa.
Pada pemeliharaan larva di hatchery kepiting BBAP Takalar, zoea dipelihara dalam 12 wadah konikal silindris warna gelap kapasitas 250 L. Padat tebar masing-masing wadah pemeliharaan adalah wadah 50 individu/L. Rotifer diberikan pada masing-masing wadah pemeliharaan dengan kepadatan 10–15 individu/mL mulai Zoea-1, sedangkan artemia yang juga telah diperkaya oleh suplemen diberikan pada Zoea-3 dengan kepadatan 0,5–3 individu/mL. Suplemen tambahan terdiri dari kombinasi vitamin A, D, E, K, dan B kompleks, asam amino konsentrasi tinggi (methionine, 16.000 mg/kg suplemen) serta elektrolit (Co, Mn, Fe, K, Na dan Zn). Suplemen tersebut diberikan melalui bioenkapsulasi pada rotifer Brachionus sp melalui perendaman selama 6 jam. Salinitas pemeliharaan berkisar 30 - 31 ppt. Pergantian air mulai hari ke-5 sebanyak 15% dan mencapai 80% saat pergantian stadia menjadi megalopa. Setelah berganti stadia, megalopa dipelihara dengan kepadatan 5 individu/L dengan pemberian artemia yang telah diperkaya meningkat menjadi 3 - 5 individu/L.
Hasil pemeliharaan menunjukkan bahwa pada semua parameter pengamatan berbeda signifikan antara pemeliharaan menggunakan suplemen dan tanpa suplemen (P<0.05). Menggunakan suplemen, larva berpindah stadia ke megalopa pada hari ke-15 (30%), ke-16 (>60%) dan ke-17 (100%), sedangkan pemeliharaan tanpa suplemen mulai hari ke-17(30%), ke-18 (60%) dan ke-19 (100%). Sintasan hingga megalopa pada pemeliharaan dengan dan tanpa suplemen berturut-turut 20,57% dan 10,29%, sedangkan sintasan megalopa hingga crab-10 berturut-turut 59,80% dan 26,20%. Laju pertumbuhan mutlak pada pemeliharaan menggunakan suplemen = 0,286 mg/hari (Z-M) dan 1,569 mg/hari (M-C10), sedangkan tanpa suplemen 0,266 mg/hari (Z-M) dan 1,554 mg/hari (M-C10). Sampling terhadap prosentase gagal molting tidak terdeteksi pada pemeliharaan dengan suplemen, sedangkan tanpa suplemen dapat mencapai 15,00%. Pemberian suplemen tambahan pada larva dan pengelolaan kualitas air dapat dijadikan upaya untuk penanggulangan penyakit gagal molting, meningkatkan sintasan serta mendapatkan laju pertumbuhan yang lebih baik.
Kata kunci : gagal molting, suplemen, larva, kepiting bakau Sylla olivacea Herbst
Pendahuluan
Kematian larva kepiting bakau Scylla olivacea, terutama fase perpindahan stadia
dari zoea ke megalopa masih merupakan kendala bagi usaha perbenihan. Tingkat
mortalitas tersebut dapat mencapai kisaran 80 – 100% dari populasi yang dipelihara. Ciri
khas dari kematian tersebut ditandai oleh terjadinya nekrosis pada sebagian atau
keseluruhan spina dorsalis zoea serta organ tubuh lain seperti ekor dan pangkal ekor.
Selain itu, terdapat indikasi gagal melakukan ganti kulit (incomplete moulting) yang
ditandai adanya bekas karapas yang masih menempel pada tubuh larva (Hamasaki et
al., 2002; Fielder, 2003; Effendy dkk., 2005b)
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kematian tersebut dapat
disebabkan lingkungan yang tidak optimal serta nutrisi yang tidak tercukupi pada fase
pemeliharaan. Media pemeliharaan yang buruk dapat memicu pertumbuhan bakteri
oportunis seperti Vibrio sp dan bakteri filamen yang dapat menyebabkan terjadinya
nekrosis pada larva. Selain itu, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi memicu terjadinya
defisiensi pada larva yang dapat menyebabkan gagal berganti kulit (Effendy dkk,.
2005a, 2005b).
Nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan larva krustase adalah asam
amino dan asam lemak kelompok HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA
(Polyunsaturated Fatty Acid). Asam amino esensial bagi krustase adalah Arginine,
Methionine, Valin, Threonine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Histidine, Phenylalanine dan
Tyrosine, sedangkan asam lemak esensial adalah linoleat, linolenat, eikosapentaenoat -
EPA dan docosahexaenoat - DHA (Shiau, 1989). Asam amino merupakan bahan
essensial untuk kebutuhan penyusunan struktur tubuh, pembentukan nucleic acid,
enzim, hormon, sintesa vitamin serta diperlukan bagi pertumbuhan dan perbaikan
jaringan. Asam lemak diperlukan sebagai salah satu sumber energi, pembentuk struktur
sel dan memelihara integritas biomembran. Material ini bersifat esensial dan tidak dapat
disintesa oleh tubuh larva sehingga harus diperoleh dari pakan eksogeneous (Furuichi,
1988, Shiau, 1998, Li et al., 1999).
Pakan alami yang banyak digunakan pada usaha perbenihan kepiting bakau
adalah rotifer dan artemia. Pakan alami tersebut mempunyai enzim proteolitik yang
sangat membantu proses pencernaan larva yang hanya berbentuk bakal saluran
pencernaan (digestive tube). Selain itu, rotifer dan artemia mempunyai lapisan
eksoskleton yang tipis sehingga mudah dicerna oleh larva (Walford dan Lam, 1993).
1
Akan tetapi, rotifer dan nauplii artemia tidak mempunyai kandungan asam amino dan
asam lemak yang dapat mencukupi kebutuhan larva rajungan (Sorgeloos et al., 1991
dalam Williams et al., 1999).
Bioenkapsulasi pakan alami merupakan alternatif peningkatan kandungan nutrisi
pakan alami. Proses tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pakan alami jenis
phytoplankton seperti Chlorella sp atau menggunakan produk komersial yang banyak
beredar di pasaran. Umumnya, bioenkapsulasi menggunakan produk komersial yang
bertujuan meningkatkan kandungan asam lemak pada larva (Karim, 1998). Berdasarkan
hasil kajian, bioenkapsulasi menggunakan asam lemak memberi kontribusi pada
peningkatan laju pertumbuhan dan sintasan zoea. Akan tetapi, harga yang relatif mahal
dan efektifitas terhadap keberhasilan menekan penyakit gagal molting merupakan
pertimbangan terhadap biaya produksi. Dengan demikian, perlu upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut melalui pengelolaan lingkungan dan peningkatan nutrisi larva
kepiting bakau Scylla olivacea Herbst menggunakan bahan alternatif lain.
Materi dan Metode
Zoea kepiting bakau Scylla olivacea yang digunakan diperoleh dari induk yang
sehat, organ tubuh lengkap, warna cerah dan aktif bergerak. Bobot induk yang
digunakan adalah berkisar 200 – 250 g/individu. Zoea yang dihasilkan akan dipelihara
dalam 12 buah wadah fiber warna gelap berbentuk silindris-konikal kapasitas 250 L.
Padat penebaran larva yang digunakan pada kegiatan ini adalah 50 individu/Liter.
Salinitas yang digunakan dalam pemeliharaan larva adalah 30 - 31 ppt.
Rotifer dan artemia yang digunakan pada pemeliharaan zoea diperkaya dengan
merendam dalam larutan suplemen (Permasol 500 TM - Choong and Biotech Co., LTD -
Korea) sebanyak 200 ppm. Perendaman rotifer dan artemia dalam suplemen dilakukan
selama 6 jam. Suplemen tersebut merupakan kombinasi antara multivitamin (Vitamin A,
D3, E, K3, B1, B2, B6, B12, Niacin dan Folic acid) asam amino (methionine = 16.000
g/kg) dan elektrolit dengan stabilitas tinggi (Co, Mn, Fe, K, Na, Zn dan Cal-
panthothenate).
Megalopa ditebar pada 12 wadah fiber warna gelap berbentuk silindris-konikal
(kerucut). Wadah yang digunakan kapasitas 250 L dengan kepadatan 5 ekor/L.
Substrat yang digunakan adalah waring hitam yang diletakkan pada dasar bak serta
2
digantung pada kolom air untuk menghindari kanibalisme. Megalopa dipelihara hingga
berubah bentuk menjadi crablet dalam jangka waktu 8 – 10 hari. Pemeliharaan
dilakukan stadia crablet dilakukan hingga Crab -10. kemudian crablet dipindahkan pada
bak pendederan
Pergantian air dan pemberian pakan mulai stadia zoea hingga crablet dilakukan
dengan jadual sebagai berikut :
Tabel 1. Jadual pergantian air dan pemberian pakan selama pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst
Hari
Pemeliharaan
Larva
Pergantian Air Pakan
Alami
Larva
Rotifer (ind./mL)
Artemia (ind./mL)
Pakan Buatan (ppm/
hari)
Volume
(%)
Stadia
Larva
1 0 Z1 Rotifer 10-15 - -
5 15 Z2 Rotifer 10-15 - -
8 20 Z3 Rotifer & Artemia 10-15 0.5-3 -
11 30 Z4 Artemia - 1-3 -
14 50 Z5 Artemia - 3-5 5
17 100 Z-M Artemia - 3-5 5-10
19 80-100 M Artemia - 3-5 10
21 80-100 M - - 3-5 10
23 80-100 M - - 3-5 10
25 100 C - - - 20-25
Keterangan : Z1 = zoea 1, Z2 = zoea 2, Z3 = zoea 3, Z4, zoea 4, Z5 = zoea 5, M = megalopa, C = crablet
Probiotik digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang dapat
menyebabkan kematian larva. Probiotik mulai diberikan saat stadia Z2 menggunakan
jenis Develop TM dengan dosis 3-5 ppm. Parameter yang diamati pada pemeliharaan
larva adalah panjang dan lebar karapas serta bobot larva, laju pertumbuhan mutlak,
kecepatan pergantian stadia serta sintasan. Parameter kualitas air harian yang diamati
adalah oksigen terlarut (Dissolved Oksigen – DO), ammonia, bahan organik total (BOT),
pH, suhu serta salinitas.
3
Hasil dan Pembahasan
Hasil yang diperoleh pada kegiatan perekayasaan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Panjang dan lebar karapas serta bobot larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada pemeliharaan menggunakan dan tanpa suplemen
Hari Pemeliharaan
Larva
Teknik Pemeliharaan LarvaSuplemen Non Suplemen
Panjang (mm)
Lebar (mm)
Bobot(mg)
Stadia Larva
Panjang (mm)
Lebar (mm)
Bobot(mg)
Stadia Larva
1 0.52 0.47 0.040 Z1 0.52 0.47 0.040 Z1
2 0.52 0.47 0.040 Z1 0.52 0.47 0.040 Z1
3 0.65 0.57 0.057 Z1 0.65 0.55 0.049 Z1
4 0.75 0.61 0.073 Z2 0.70 0.57 0.055 Z1
5 0.89 0.75 0.090 Z2 0.82 0.66 0.070 Z2
6 0.96 0.75 0.155 Z2 0.85 0.70 0.150 Z2
7 0.96 0.77 0.220 Z3 0.90 0.73 0.156 Z2
8 1.01 0.87 0.250 Z3 0.96 0.77 0.215 Z3
9 1.01 0.90 0.346 Z3 0.99 0.80 0.298 Z3
10 1.02 0.98 0.403 Z4 1.00 0.90 0.321 Z3
11 1.29 1.04 0.570 Z4 1.01 0.98 0.415 Z4
12 1.31 1.10 0.760 Z4 1.21 0.99 0.500 Z4
13 1.37 1.15 1.250 Z5 1.27 1.00 0.750 Z4
14 1.76 1.40 1.830 Z5 1.39 1.13 1.100 Z5
15 1.80 1.40 2.420 30% M 1.69 1.14 2.400 Z5
16 2.59 1.90 4.620 60% M 1.75 1.38 3.860 Z5
17 2.62 1.94 5.360 100% M 2.53 1.80 4.620 30% M
18 2.66 1.95 5.360 M 2.58 1.83 4.820 60% M
19 2.80 2.44 5.380 M 2.61 2.26 4.940 100% M
20 2.83 2.78 5.400 M 2.65 2.68 5.020 M
21 2.94 3.31 5.860 M 2.69 2.95 5.080 M
22 3.00 3.53 9.933 20% C 2.75 3.25 7.980 M
23 3.13 4.12 15.600 50% C 2.81 3.73 10.860 M
24 3.20 4.41 19.700 100% C 2.89 3.93 13.890 20% C
25 3.26 4.63 23.800 C 2.97 4.26 15.700 50% C
26 3.35 5.05 27.900 C 3.15 4.47 22.710 100% C
Keterangan : Z1 = zoea 1, Z2 = zoea 2, Z3 = zoea 3, Z4, zoea 4, Z5 = zoea 5, M = megalopa, C = crablet
Gambaran tentang panjang dan lebar karapas larva serta pertambahan bobot
tubuh harian pada masing-masing teknik pemeliharaan dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
4
Gambar 1. Panjang dan lebar karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada pemeliharaan dengan menggunakan suplemen
Gambar 2. Panjang dan lebar karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada pemeliharaan tanpa menggunakan suplemen
5
Panjang Lebar Karapas Pada Pemeliharaan dengan Suplemen
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 5 10 15 20 25 30
Hari Pemeliharaan
Ukuran(mm)
Panjang Karapas Lebar Karapas
Panjang Lebar Karapas Pada Pemeliharaan Tanpa Suplemen
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
0 5 10 15 20 25 30
Hari Pemeliharaan
Ukuran(mm)
Panjang Karapas Lebar Karapas
Gambar 3. Perbandingan panjang karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada masing-masing teknik pemeliharaan
Gambar 4. Perbandingan lebar karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada masing-masing teknik pemeliharaan
Hasil uji-t yang dilakukan terhadap perbandingan antara panjang dan lebar
karapas pada masing-masing teknik pemeliharaan menunjukan perbedaan signifikan
(P<0,05).
6
Perbandingan Lebar Karapas Pada Pemeliharaan Masal Larva
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 5 10 15 20 25 30
Hari Pemeliharaan
Panjang(mm)
Suplemen Tanpa Suplemen
Perbandingan Panjang Karapas Pada Pemeliharaan Masal Larva
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
0 5 10 15 20 25 30
Hari Pemeliharaan
Panjang (mm)
Suplemen Tanpa Suplemen
Gambar 5. Perbandingan bobot larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada masing-masing teknik pemeliharaan
Hasil uji-t yang dilakukan terhadap perbandingan bobot larva pada masing-
masing teknik pemeliharaan menunjukan perbedaan signifikan (P<0,05).
Parameter yang menunjukkan tentang laju pertumbuhan larva, sintasan dan
frekuensi gagal molting dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3. Laju pertumbuhan mutlak dan sintasan pada masing-masing teknik pemeliharaan
Parameter Teknik Pemeliharaan Keterangan
Suplemen Nonsuplemen
1. Laju Pertumbuhan Mutlak
a. Zoea - Megalopa 0.286 0.266 mg/hari
b. Megalopa - Crablet 1.569 1.554 mg/hari
2. Sintasan
a. Zoea - Megalopa 20.57 10.29 (%)
b. Megalopa - Crablet 10 59.80 26.20 (%)
3. Frekuensi Gagal Molting td 10-15 (%)
Keterangan : td = tidak terdeteksi, n = 30 individu larva
7
Bobot Larva Selama Pemeliharaan
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
0 5 10 15 20 25
Hari Pemeliharaan
Bobot(mg)
Suplemen Nonsuplemen
Hasil yang diperoleh pada kegiatan perekayasaan ini menunjukkan bahwa
pemberian suplemen pada larva menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding dengan
tanpa menggunakan suplemen. Hal ini terlihat dari parameter panjang dan lebar karapas
dan bobot larva yang menunjukkan hasil berbeda pada masing-masing teknik
pemeliharaan (P<0,005). Selain itu, laju pertumbuhan mutlak larva dan kecepatan
perpindahan stadia juga menunjukkan perbedaan yang signifikan, terutama saat
berpindah stadia menjadi megalopa.
Saat larva telah mulai bermetamorfosis menjadi megalopa, rataan panjang dan
lebar pada pemeliharaan menggunakan suplemen masing-masing adalah 1,80 dan 1,40
mm, sedangkan bobot mencapai 2,420 mg. Perpindahan ke stadia megalopa pada
teknik pemeliharaan ini mulai dicapai pada hari ke-15. Pada hari ke-16, prosentase
perpindahan menjadi megalopa mencapai kisaran 60%, sedangkan hari ke-17 semua
zoea telah berubah menjadi megalopa. Laju pertumbuhan absolut pada teknik
pemeliharaan ini mencapai 0.286 mg/hari pada stadia zoea-megalopa, sedangkan pada
megalopa-crablet berkisar 1,569 mg/hari.
Pada pemeliharaan larva tanpa suplemen, rataan panjang dan lebar larva pada
hari ke-15 masing-masing adalah 1,69 dan 1,14 mm, sedangkan bobot mencapai 2,400
mg. Perpindahan stadia ke megalopa mulai dicapai pada hari ke-17 dengan kisaran
30%. Pada hari ke-18, prosentase metamorfosis menjadi megalopa mencapai kisaran
60%, sedangkan pada hari ke-19 telah mencapai 100% megalopa. Laju pertumbuhan
absolut pada pemeliharaan tanpa suplemen mencapai 0.266 mg/hari pada stadia zoea-
megalopa, sedangkan pada megalopa-crablet berkisar 1,554 mg/hari.
Perbedaan pada parameter pertumbuhan tersebut diduga diakibat kurangnya
kualitas nutrisi larva pada pemeliharaan tanpa suplemen. Hal ini diakibatkan karena
larva hanya mendapatkan pakan alami yang hanya diperkaya dengan nutrisi Chlorella
sp. Anderson et al. (2003) menyatakan bahwa larva kepiting akan tumbuh dengan baik
jika kandungan protein pada pakan berkisar 32 - 40% dan lemak berkisar 6 - 12%.
Sintasan pada pemeliharaan tanpa suplemen berkisar 10.29% pada stadia zoea
– megalopa, sedangkan megalopa hingga Crablet-10 berkisar 26,20%. Rendahnya
sintasan diduga merupakan akibat masih terjadinya gagal molting yang berkisar 10-
15%. Nilai tersebut sangat berbeda jika dibanding dengan pemeliharaan menggunakan
suplemen dengan sintasan 20,57% (Z-M) dan 59,80 (M-C10). Prosentase dari frekuensi
gagal molting juga tidak terdeteksi pada perpindahan stadia zoea - megalopa.
8
Namun bila dibandingkan dengan pemeliharaan larva pada siklus sebelumnya,
maka kegiatan pemeliharaan dengan teknik yang dilakukan sekarang cenderung
memberikan hasil yang lebih baik. Pada siklus sebelumnya, panjang, lebar dan bobot
zoea masing-masing adalah 0,46 mg pada pada hari ke-15. Pada hari ke-20 baru mulai
mencapai stadia megalopa dengan kisaran 20%.
Gagal moulting pada siklus sebelumnya mulai terjadi pada hari ke-21 dengan
frekuensi mencapai 80%. Kematian masal terjadi pada hari ke-22 hingga ke-23 yang
ditandai mengendapnya bakal megalopa di dasar wadah pemeliharaan. Kematian masal
tersebut juga berasosiasi dengan tingginya kepadatan Vibrio sp yang mencapai kisaran
kepadatan 2,0 x 104 CFU/mL. Infeksi Vibrio sp juga terlihat pada nekrosis di daerah
spina dorsalis dan sebagian abdomen larva. Atmomarsono dkk (2001) menyatakan
bahwa kepadatan Vibrio sp yang mencapai 103 CFU/mL dapat menyebabkan kematian
pada larva udang windu Penaeus monodon. Dengan demikian, tingginya kepadatan
Vibrio sp diduga juga memberikan kontribusi terhadap rendahnya sintasan pada
pemeliharaan larva tersebut (Fielder, 2003; Mann dan Paterson, 2003; Effendy dkk.,
2005b).
Pemeriksaan terhadap larva yang gagal molting tersebut dilakukan di bawah
mikroskop dengan mengacu pada hasil penelitian Hamasaki et al. (2002). Hasil
pemeriksaan menunjukkan terdapat tiga tipe gagal molting, yaitu tipe A, tipe B dan tipe
C. Tipe A merupakan tipe gagal molting berat (serious abnormality) yang ditunjukkan
dengan gagalnya zoea melakukan pergantian kulit dan akan mengalami kematian
selama melakukan proses tersebut. Tipe B merupakan tipe gagal molting sedang
(partial abnormality), ditunjukkan dengan telah terlepasnya lapisan kulit terluar dari
cephalothorax, namun masih belum dapat melepaskan kulit yang berada pada bagian
cheliped, kaki jalan atau di antara keduanya. Tipe C merupakan tipe gagal molting
ringan (slightly abnormality) yang ditunjukkan dengan telah terlepasnya semua lapisan
kulit lama, namun masih belum dapat melepaskan kulit pada satu integumen atau di
cheliped. Prosentase gagal molting tipe A, B dan C pada siklus sebelumnya masing-
masing dapat mencapai kisaran 60%, 30% dan 10%.
Secara umum, keberhasilan pemeliharaan larva kepiting bakau sangat
tergantung kualitas nutrisi pada pakan larva serta pengelolaan kualitas air. Hasil kajian
Hamasaki et al. (2003) menunjukkan bahwa walaupun larva telah diberi pakan alami
yang diperkaya oleh Nannochloropsis sp dan asam lemak, namun frekuensi gagal
9
molting masih mencapai 12,1 – 92,6%. Hal ini berarti bahwa nutrisi larva perlu
ditingkatkan melalui sumber-sumber lain serta pengelolaan kualitas air.
Gambar 6. Perbandingan antara larva yang molting sempurna (A) dan yang tidak molting sempurna (B). Tanda panah merupakan lapisan exuvial yang akan terlepas dari cephalothorax (pembesaran 40x).
Gambar 7. (A) Larva yang terserang nekrosis pada spina dorsalis (tanda panah) dan jamur (tanda panah putus-putus) pada pembesaran 40 x. (B) Larva yang mati pasca molting tidak sempurna. Tanda panah merupakan lapisan exuvial yang tidak terlepas dari cephalothorax (pembesaran 100x).
Selama ini, pemberian nutrisi tambahan atau bioenkpasulasi umumnya terpaku
pada penambahan asam lemak. Sementara itu, kebutuhan akan vitamin dan asam
amino pada larva juga merupakan hal mutlak yang diperlukan bagi proses ontogeni atau
perkembangan larva. Penambahan suplemen yang terdiri dari vitamin, asam amino
konsentrasi tinggi dan elektrolit merupakan salah satu alternatif bahan pengkaya pakan
alami.
Pergantian air secara rutin diduga memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
pemeliharaan. Hasil yang serupa juga diperoleh Shelley (2003) yang menggunakan
sistem pergantian air flow through pada pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla sp.
10
A B
A B
Sintasan yang diperoleh dengan menggunakan sistem tersebut berkisar 40% pada
stadia zoea-megalopa. Pada kegiatan ini, pergantian air dilakukan dengan cara parsial,
yaitu melakukan siphon dan mengganti air sesuai jumlah air yang terbuang. Besaran
volume air yang terbuang disesuaikan dengan perkembangan larva. Parameter kualitas
air selama pemeliharaan adalah: suhu 28 – 31 ºC, salinitas 30 – 31 ppt, oksigen terlarut
5,2 – 5,7; ammonia 0,038 – 0,064 ppm dan BOT 30,31 – 61,70 ppm. Parameter kualitas
air tersebut masih berada dalam kisaran toleransi untuk pemeliharaan larva kepiting
bakau. Sistem pergantian air yang teratur serta penggunaan probiotik mampu menekan
laju pertumbuhan Vibrio sp hingga kisaran < 102 (Effendy dkk., 2005a).
Kesimpulan
Frekuensi gagal molting dapat ditekan melalui peningkatan nutrisi pada larva dan
pengelolaan kualitas air. Peningkatan kualitas nutrisi dapat dilakukan melalui
pengkayaan dengan asam lemak dan suplemen lain yang mengandung vitamin, asam
amino konsentrasi tinggi dan elektrolit. Pengelolaan kualitas dapat dilakukan dengan
pergantian air secara rutin menggunakan air yang steril serta penggunaan probiotik.
Persantunan
Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuan selama kegiatan kepada
Ir. Haruna Hamal selaku Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar, Drs. Habson
Batubara, Drh. Joko Suwiryono, Harun Al-Rasyid, Srinawati dan Hamzah di
Laboratorium Kesehatan Ikan BBAP Takalar, Syaichudin S.Ik, Hasmawati, Suarni, dan
Maqbul di Laboratorium Lingkungan Budidaya BBAP Takalar, Suriana, Abd. Kadir
Yunus dan Junaid di Laboratorium Pakan Alami BBAP Takalar, serta Jumriadi dan
Nursalam di Hatchery Kepiting BBAP Takalar.
Daftar Pustaka
Anderson, A., Peter Mather and Neil Richardson, 2003. Nutrition of the Mud Crab, Scylla serrata (Forskal) in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.
11
Atmomarsono, M., Madeali, M.I., Tompo, A., Nurhidayah, Muliani. 2001. Pencegahan Penyakit Udang Windu. Diseminasi Hasil Penelitian dan Temu Konsultasi Teknologi Perikanan Pantai 29 – 31 Agustus 2001. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros.
Effendy, S., Sudirman, Faidar, Eddy Nurcahyono., 2005a. Penggunaan Probiotik Pada Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Scylla olivacea Herbst. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Laporan Hasil Perekayasaan.
________________________________________., 2005b. Penggunaan Rotifer dan Artemia yang Diperkaya Pada Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Scylla olivacea Herbst. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Laporan Hasil Perekayasaan.
Fielder, D., 2003. Crab Aquaculture Scoping Study and Workshop in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.
Furuichi, M., 1988. Dietary Requirements in Fish Nutrition And Mariculture. Jica
Textbook, The General Aquaculture Course.
Hamasaki, K., M. Agus Suprayudi, Toshio Takeuchi, 2002. Mass Mortality During Metamorphosis in the Seed Production of Mud Crab Scylla serrata (Crustacea, Decapoda, Portunidae). Fisheries Science 2002; 68: 1226-1232
Karim, M.Y., 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplius Artemia) Yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 Dalam Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata, Forskal). Program Pascasarjana IPB Bogor. Thesis.
Li, Shaojing., Zeng, C., Tang, H., Wang, G., Lin, Q., 1999. Investigations into the Reproductive and Larval Culture Biology of the Mud Crab Scylla paramamosain: A Research Review In C.P. Keenan and A. Blackshaw (eds). Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin Australia 21-24 April 1997. ACIAR – Canberra.
Mann, D., Brian Paterson, 2003. Status of Crab Seed Production and Grow-out in Queensland in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.
Shelley, C., 2003. Development of Commercial Production Systems for Mud Crab Aquaculture in Australia: Part 1 Hatchery and Nursery in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.
12
Shiau, Shi-Yen., 1998. Nutrien Requirements of Penaeid Shrimp. Aquaculture vol. 164 p.77-94. Elsivier Science B.V., Netherland.
Walford, J., and Lam, T.J., 1993. Development of Digestive Tracts and Proteolytic Enzyme Activity in Seabass (Lates calcarifer) Larvae and Juveniles. Aquaculture, 109:187-205
Williams, G.R., Wood, J., Dalliston, B., Shelley, C.C., Kuo, C.M., 1999. Mud Crab (Scylla serrata) Megalopa larvae Exhibits High Survival Rates on Artemia-based Diets In C.P. Keenan and A. Blackshaw (eds). Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin Australia 21-24 April 1997. ACIAR – Canberra.
13