23
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 20 No. 1 Januari 2020: 33–55 p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 33 Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi-Provinsi di Indonesia Infrastructure Development Composite Index of Provinces in Indonesia Royhan Faradis a , & Uswatun Nurul Afifah a,* a Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Timur [diterima: 21 September 2018 — disetujui: 14 April 2019 — terbit daring: 18 Desember 2019] Abstract Infrastructure development is absolutely necessary to improve Indonesia’s economic growth which carries the principles of pro-poor, pro growth, and pro-jobs. However, the conditions of each region are dierent so that these objectives are always accompanied by inequality in development outcomes. This study maps areas that experience inequality into a composite index using factor analysis. This composite index was built based on the development of methods by the OECD. The results showed that Indeks Pembangunan Infrastruktur (IPI) was a valid measure. Seven provinces are categorized as inadequate located in Kalimantan and eastern Indonesia. The seven provinces have infrastructure and health and economic dimensions below the national average. Keywords: infrastructure development; development inequality; composite index; factor analysis Abstrak Pembangunan infrastruktur mutlak diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengusung prinsip pro-poor, pro growth, dan pro-job. Namun, kondisi tiap wilayah berbeda sehingga tujuan tersebut selalu diiringi dengan ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini memetakan daerah-daerah yang mengalami ketimpangan ke dalam suatu bentuk indeks komposit menggunakan analisis faktor. Indeks komposit ini dibangun berdasarkan pengembangan metode oleh OECD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Infrastruktur (IPI) merupakan ukuran yang valid. Tujuh provinsi dikategorikan kurang memadai yang berlokasi di Kalimantan dan daerah timur Indonesia. Ketujuh provinsi tersebut memiliki ketersediaan infrastruktur dimensi kesehatan dan ekonomi di bawah rata-rata nasional. Kata kunci: pembangunan infrastruktur; ketimpangan pembangunan; indeks komposit; analisis faktor Kode Klasifikasi JEL: E63; F63 Pendahuluan Capaian hasil pembangunan suatu negara dapat dilihat melalui pertumbuhan ekonominya. Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 dalam satu dekade terakhir selalu mengalami kenaikan di Indonesia. Persentase per- tumbuhan PDB ADHK pun dari tahun 2001 sampai 2018 memiliki pola naik. Tercatat di tahun 2018, Tri- * Alamat Korespondensi: Jln. Raya Manggarawan Kompleks Perkantoran Pemkab Belitung Timur, Kecamatan Manggar, Ka- bupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. E-mail: [email protected]. wulan I laju pertumbuhan PDB ADHK telah berada di level 5,06%. Stabilnya pembangunan Indonesia dilihat dari pertumbuhan perekonomian ini, tidak lepas dari kontribusi faktor infrastruktur. Infrastruktur me- mang tidak dipungkiri merupakan pemicu roda perekonomian. Pembangunan infrastruktur mut- lak diperlukan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengusung prinsip pro- poor, pro growth, dan pro-job. Selain itu, infrastruktur memberikan multiplier eect yang besar dalam men- ciptakan lapangan pekerjaan serta menciptakan JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 20 No. 1 Januari 2020: 33–55

p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 33

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi-Provinsi diIndonesia

Infrastructure Development Composite Index of Provinces in Indonesia

Royhan Faradisa, & Uswatun Nurul Afifaha,∗

aBadan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Timur

[diterima: 21 September 2018 — disetujui: 14 April 2019 — terbit daring: 18 Desember 2019]

Abstract

Infrastructure development is absolutely necessary to improve Indonesia’s economic growth which carries the principlesof pro-poor, pro growth, and pro-jobs. However, the conditions of each region are different so that these objectives arealways accompanied by inequality in development outcomes. This study maps areas that experience inequality intoa composite index using factor analysis. This composite index was built based on the development of methods by theOECD. The results showed that Indeks Pembangunan Infrastruktur (IPI) was a valid measure. Seven provinces arecategorized as inadequate located in Kalimantan and eastern Indonesia. The seven provinces have infrastructure andhealth and economic dimensions below the national average.Keywords: infrastructure development; development inequality; composite index; factor analysis

AbstrakPembangunan infrastruktur mutlak diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesiayang mengusung prinsip pro-poor, pro growth, dan pro-job. Namun, kondisi tiap wilayah berbeda sehinggatujuan tersebut selalu diiringi dengan ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini memetakandaerah-daerah yang mengalami ketimpangan ke dalam suatu bentuk indeks komposit menggunakan analisisfaktor. Indeks komposit ini dibangun berdasarkan pengembangan metode oleh OECD. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Infrastruktur (IPI) merupakan ukuran yang valid. Tujuh provinsidikategorikan kurang memadai yang berlokasi di Kalimantan dan daerah timur Indonesia. Ketujuh provinsitersebut memiliki ketersediaan infrastruktur dimensi kesehatan dan ekonomi di bawah rata-rata nasional.Kata kunci: pembangunan infrastruktur; ketimpangan pembangunan; indeks komposit; analisis faktor

Kode Klasifikasi JEL: E63; F63

Pendahuluan

Capaian hasil pembangunan suatu negara dapatdilihat melalui pertumbuhan ekonominya. ProdukDomestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan(ADHK) 2000 dalam satu dekade terakhir selalumengalami kenaikan di Indonesia. Persentase per-tumbuhan PDB ADHK pun dari tahun 2001 sampai2018 memiliki pola naik. Tercatat di tahun 2018, Tri-

∗Alamat Korespondensi: Jln. Raya Manggarawan KompleksPerkantoran Pemkab Belitung Timur, Kecamatan Manggar, Ka-bupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.E-mail: [email protected].

wulan I laju pertumbuhan PDB ADHK telah beradadi level 5,06%.

Stabilnya pembangunan Indonesia dilihat daripertumbuhan perekonomian ini, tidak lepas darikontribusi faktor infrastruktur. Infrastruktur me-mang tidak dipungkiri merupakan pemicu rodaperekonomian. Pembangunan infrastruktur mut-lak diperlukan dalam meningkatkan pertumbuhanekonomi Indonesia yang mengusung prinsip pro-poor, pro growth, dan pro-job. Selain itu, infrastrukturmemberikan multiplier effect yang besar dalam men-ciptakan lapangan pekerjaan serta menciptakan

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 2: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...34

pertumbuhan yang berkelanjutan. Secara umum,terdapat tiga dimensi relasi ekonomi dan infra-struktur (Dikun, 2003), yaitu: (a) Infrastruktur me-rupakan faktor yang memungkinkan terjadinyaberbagai kegiatan ekonomi, seperti halnya kebera-daan minimarket, hotel, restoran, dan lain-lain; (b)Infrastruktur sebagai indirect input produksi contohKoperasi Unit Desa (KUD); dan (c) Akses infrastruk-tur menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat,seperti halnya rumah sakit, apotek, dan puskesmas.

Dikarenakan pentingnya peran infrastruktur ter-hadap pembangunan, maka tidak heran jika Ang-garan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)Indonesia untuk infrastruktur selalu mengalamikenaikan dilihat dari nilainya sejak tahun 2009 sam-pai dengan 2014. Dengan rata-rata pertumbuhananggaran mencapai 20,57% tiap tahunnya, APBNinfrastruktur naik dari angka 76,3 triliun rupiahpada tahun 2009 menjadi 206,6 triliun rupiah pa-da tahun 2014. Angka tersebut berdasarkan datayang dirilis pada Portal Data APBN KementerianKeuangan Republik Indonesia. Begitu besar danpentingnya peranan infrastruktur menjadikannyamenarik untuk dibahas. Hal-hal yang berkaitan de-ngan infrastruktur cukup mendapat sorotan dariberbagai kalangan, baik pengamat, birokrat, mau-pun masyarakat. Adapun hal-hal yang sering men-jadi perdebatan dan diskusi adalah pemerataanpenyediaan, pencapaian pembangunan, dan spe-sialisasi infrastruktur setiap daerah. Hal ini tidakterlepas dari karakteristik wilayah Indonesia yangmerupakan negara kepulauan terbesar di dunia,memiliki panjang 5.200 km dan lebar mencapai1.870 km sehingga menghadirkan tantangan ter-sendiri dalam hal penyediaan infrastruktur hinggapelosok negeri.

Terjadinya kesenjangan pembangunan infrastruk-tur pada suatu wilayah menimbulkan beragam ma-salah, mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik,dan keamanan. Oleh karena itu, adanya pengelom-pokan wilayah berdasarkan tingkat pembangunan

infrastrukturnya dapat menjadi pedoman pemerin-tah dalam menentukan kebijakan-kebijakan yangsesuai. Dalam upaya pengelompokan wilayah ini,diperlukan suatu dasar berupa ukuran sejauh manapembangunan infrastruktur pada daerah-daerah diseluruh Indonesia telah tercapai. Maka dari itu, pe-nelitian ini membangun sebuah ukuran yang dapatdibandingkan berdasarkan panduan Organizationfor Economic and Co-operation Development (OECD).Indeks ini dibangun dari raw data yang menyajikansampai dengan level terkecil, yaitu level desa. Levelini nantinya akan diagregasi untuk mendapatkanukuran di level provinsi. Ukuran ini diharapkanmampu menggambarkan pembangunan infrastruk-tur pada level provinsi di Indonesia melalui sebuahindeks komposit.

Badan Pusat Statistik (BPS) melalui kegiatan Po-tensi Desa (PODES) telah merekam keberadaaninfrastruktur di setiap daerah secara periodik. Dariberbagai dimensi yang ada, penelitian ini memfo-kuskan untuk melihat unit keberadaan infrastruk-tur ekonomi dan kesehatan. Hal ini dikarenakankedua dimensi ini dapat dipastikan secara konsepdan definisi benar-benar menggambarkan keber-adaan unit fisik bangunannya, bukan dari segi ke-lembagaan seperti halnya dimensi pendidikan. Peri-ode penelitian ini dibatasi tahun 2006, 2008, 2011,dan 2014 sesuai dengan periode kegiatan PODESdiselenggarakan.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk: (1)membangun suatu ukuran indeks komposit pemba-ngunan infrastruktur (IPI); (2) mengklasifikasikanprovinsi-provinsi berdasarkan indeks yang telahdibangun untuk dilihat persebaran pembangunaninfrastrukturnya; dan (3) menganalisis karakteris-tik provinsi-provinsi dalam setiap kategori pemba-ngunan infrastruktur. Artikel ini disusun denganstruktur penulisan berupa pendahuluan, tinjauanreferensi, metode, hasil dan analisis, dan kesimpul-an.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 3: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 35

Tinjauan Literatur

Konsep dan definisi yang digunakan dalam pe-nelitian bersumber dari penelitian-penelitian se-belumnya. Konsep dan definisi juga dibatasi agarpenelitian jelas dan terarah.

Pembangunan dan Indikatornya

Tikson (2005) dalam Badruddin (2009) menyatakanbahwa pembangunan nasional dimaknai sebagaitransformasi ekonomi, sosial, dan budaya yangsecara pasti diarahkan sesuai tujuan melalui ke-bijakan dan strategi. Transformasi pada strukturekonomi, contohnya mempercepat pertumbuhandi sektor industri, perdagangan, dan jasa sehinggaakan berkontribusi makin besar terhadap penda-patan nasional. Transformasi di bidang sosial dapatdilihat melalui kemudahan untuk mengakses sum-ber daya ekonomi yang telah tersedia, di antaranyapendidikan, kesehatan, air bersih, perumahan layak,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam berpolitiksecara merata di seluruh wilayah. Pada sisi lain,transformasi budaya dimaknai dengan tertanam-nya nilai-nilai Pancasila dalam semangat kebangsa-an dan nasionalisme di masyarakat, meskipun nilaidan norma yang dianut di masyarakat telah banyakberkembang. Sementara Alexander (1994) dalamBadruddin (2009) berpendapat bahwa pembangun-an merupakan proses transformasi yang mencakupseluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, in-frastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi,kelembagaan, dan budaya.

Todaro dan Smith (2004) berpendapat bahwapada dasarnya pembangunan merupakan suatuproses yang multidimensional, tidak hanya menca-kup percepatan pertumbuhan ekonomi tetapi jugamenyelesaikan masalah yang harus dibenahi seper-ti ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Halini tidak dapat lepas dari transformasi mendasardi beberapa aspek, yaitu sikap masyarakat dan in-stitusi nasional yang ada. Pembangunan haruslah

mencakup perubahan secara total terhadap kompo-nen masyarakat yang menyesuaikan sistem sosialtanpa menghilangkan pemenuhan akan kebutuhandasarnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada ha-kikatnya pembangunan merupakan transformasisecara menyeluruh menuju arah yang lebih baik,disengaja, dan menyentuh segala aspek.

Oleh karena itu, dalam penguatan landasan pem-bangunan berkelanjutan dibutuhkan dukungan ke-tersediaan infrastruktur yang cakupan di dalamnyamemiliki dua poin pendekatan. Pendekatan perta-ma yaitu, dari sisi permintaan (demand approach),artinya prasarana perlu dibangun sesuai dengan ke-butuhan. Tidak hanya itu, penyediaan pemelihara-an terhadap prasana itu sendiri juga penting untukdilaksanakan. Selanjutnya adalah pendekatan darisisi penawaran (supply approach). Pendekatan ini fo-kus pada prasarana untuk mendorong aktivitas eko-nomi di suatu wilayah sehingga perekonomiannyadapat tumbuh bergerak positif. Bulohlabna (2008)menyatakan bahwa ketika dana yang tersedia terba-tas, maka arah prioritas sebaiknya ditujukan padapendekatan pertama (demand approach), sedangkanketika kondisi perekonomian menunjukkan gejalayang baik, maka pertumbuhan suatu wilayah dapatdidorong dengan pembangunan prasarana yangbaru.

Infrastruktur

Menurut Macmillan Dictionary of Modern Economics(Amrullah, 2006), infrastruktur adalah suatu fasi-litas bagi pembeli dan penjual untuk melakukanarus barang dalam suatu komponen struktur eko-nomi. World Bank (1994) dalam Zuvia (2012) dalamlaporannya membagi infrastruktur menjadi tigagolongan, yaitu:

1. Infrastruktur Ekonomi, yaitu berupa aset fi-sik yang memfasilitasi jasa untuk digunakandalam proses produksi dan konsumsi akhirseperti prasarana umum (telekomunikasi, airminum, sanitasi, dan gas), pekerjaan umum

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 4: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...36

(bendungan, saluran irigasi, dan drainase), ser-ta sektor transportasi (jalan raya, angkutanumum, kereta api, pelabuhan, dan bandara).

2. Infrastruktur Sosial, merupakan aset untukmendorong kemajuan kesehatan dan keahlianmasyarakat yang meliputi sektor pendidikan(sekolah, pelatihan balai kerja, dan perpusta-kaan), sektor kesehatan (klinik, puskesmas, ru-mah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya), ser-ta penyediaan tempat untuk rekreasi/hiburan(taman bermain, pantai, museum, dan lain-lain).

3. Infrastruktur Administrasi/Institusi, yakni upa-ya penegakan hukum, pengendalian untuk ter-tib administrasi dan kerja sama, serta kebuda-yaan.

Penggolongan ini tidak kaku dan dapat menye-suaikan seiring berkembangnya waktu. Misalnya,listrik yang awalnya termasuk infrastruktur peleng-kap sekarang berubah menjadi golongan infrastruk-tur utama. Menurut Prapti et al. (2015), infrastruktursecara garis besar mencakup fasilitas publik yangdisediakan Pemerintah Daerah hingga Pusat seba-gai sarana pelayanan publik dalam memicu danmenunjang aktivitas ekonomi sosial masyarakat.Dalam penelitian ini, infrastruktur yang dibahasdibatasi pada bangunan dan gedung yang dimak-nai sebagai wujud fisik, menyatu dengan tempatkedudukan, baik yang ada di atas, di bawah tanah,dan/atau di air, dan merupakan hasil pekerjaankonstruksi. Oleh karena itu, terdapat dua data in-frastruktur, yaitu ekonomi dan kesehatan yang akandianalisis lebih lanjut. Selain itu, infrastruktur kese-hatan dapat mewakili infrastruktur sosial, sesuai de-ngan konsep dari World Bank yang telah dijelaskansebelumnya. Permasalahan terjadi ketika mengum-pulkan data infrastruktur administrasi yang up todate, sulit untuk didapatkan karena konsepnya bu-kan kepada infrastruktur fisik melainkan jenis infra-struktur yang tidak dapat dirasakan, diraba, ataudilihat langsung dengan kasat mata. Pendataan

PODES yang menjadi rujukan data utama pada pe-nelitian ini juga tidak menyertakan secara spesifikkeberadaan infrastruktur administrasi/institusi.

Pemerintah adalah pemain utama dalam hal pe-nyediaan infrastruktur. Peran pemerintah sangatbesar dapat menekan ketimpangan antarwilayah le-wat pengeluaran dan investasi pemerintah (Barika,2012). Selain itu, tidak semua pihak swasta dapatmengambil alih pembangunan ini. Dibutuhkan mo-dal yang besar untuk membangun layanan infra-struktur tertentu dan risiko investasi juga menjadisalah satu hal yang perlu dipertimbangkan. Olehkarena itu, sudah selayaknya pemerintah jeli terha-dap kebijakan rencana pembangunan infrastrukturagar tepat sasaran, baik dari sisi kebutuhan mau-pun pemerataan suatu wilayah. Rencana ini harusdisusun secara matang dan dimasukkan ke dalamagenda pembangunan nasional agar wilayah de-ngan tingkat ketersediaan infrastruktur rendah bisadiprioritaskan.

Infrastruktur Kesehatan

Pamungkas (2009:37) menyatakan bahwa kesehat-an adalah salah satu komponen penting dalammembangun kualitas sumber daya manusia. Padatingkat makro, peran penduduk untuk mengentas-kan kemiskinan, menaikkan pertumbuhan ekono-mi, dan membangun perekonomian jangka panjangtidak terlepas dari tingkat kesehatan karena pendu-duk yang sehat merupakan faktor penting dalampencapaian tersebut. Latuconsina (2017) juga me-nyebutkan bahwa peranan sarana kesehatan yangdidukung oleh tenaga kesehatan yang baik dapatmeningkatkan kualitas manusia di wilayah terse-but yang dicerminkan lewat Indeks PembangunanManusia (IPM). Hal ini telah dibuktikan oleh se-jarah yang mencatat bahwa terobosan di bidangkesehatan masyarakat, pemberantasan penyakit,dan peningkatan kualitas gizi berhasil membuatpercepatan pertumbuhan ekonomi.

Pada tingkat mikro, kesehatan merupakan kebu-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 5: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 37

tuhan dasar agar tercipta produktivitas kerja dankualitas belajar bagi individu dan keluarga. Pekerjayang sehat akan lebih produktif karena fisiknyakuat, energinya besar, dan secara mental pun se-hat. Kondisi tersebut membuat kualitas pekerjaanmakin baik sehingga pendapatan pun naik. Kemu-dian, anak yang sehat akan memiliki masa depanpendidikan yang baik karena kemampuan belajaryang baik. Kesehatan keluarga juga penting un-tuk pendidikan pengasuhan anak. Jadi, dibutuhkaninfrastruktur kesehatan yang memadai agar terse-lenggaranya seluruh aspek kehidupan yang baik.

Yandrizal et al. (2014) menyatakan bahwa diper-lukan adanya kebijakan bersama antara seluruhstakeholeder, yakni Pemerintah Kabupaten, Provinsi,dan Pusat dengan Kementerian Kesehatan dan BPJSdalam pelaksanaan pemenuhan fasilitas pelayanantingkat pertama. Dalam penelitian ini, infrastrukturkesehatan diwakili oleh variabel jumlah ketersedi-aan rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik,puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktikdokter, tempat praktik bidan, pondok bersalin desa(polindes), posyandu, dan apotek.

Infrastruktur Ekonomi

Indrawan (2008:78) berkesimpulan bahwa salah sa-tu daya dukung pertumbuhan ekonomi daerah ada-lah tersedianya infrastruktur perekonomian yangmemadai. Infrastruktur perekonomian dibutuhkandunia usaha untuk meningkatkan produktivitas,memperlancar proses distribusi barang dan jasa,serta untuk dapat meningkatkan efektivitas danefisiensi operasional dunia usaha. Oleh karenanya,infrastruktur perekonomian memiliki kontribusiyang sangat penting dalam menggairahkan iklimdunia usaha dan perkembangan investasi di daerah.Untuk itulah, pemerintah daerah kabupaten ataukota dapat memberikan perhatian dalam menye-diakan infrastruktur perekonomian di daerahnyaagar perekonomian daerah dapat bertumbuh danberkembang dengan baik.

Berbagai jenis sarana dan prasarana, yang me-rupakan infrastruktur perekonomian daerah, dibu-tuhkan dunia usaha, baik yang bersifat fisik mau-pun nonfisik. Lahan atau kawasan berupa areal un-tuk dapat berproduksi dan berusaha/bisnis. Saranadan prasarana jalan, jembatan, dan sarana transpor-tasi seperti kereta api, transportasi darat, laut, danudara untuk mendukung kegiatan distribusi barangdan jasa yang dihasilkan dunia usaha. Ketidakterse-diaan infrastruktur sudah pasti akan menyulitkanperkembangan dunia usaha dan peningkatan in-vestasi di daerah. Oleh karena itu, ketersediaaninfrastruktur dan perbedaan penyerapan investasisering kali dikaitkan dengan kesenjangan ekonomiantarwilayah (Sukwika, 2018).

Indikator Komposit

OECD (2008) menjelaskan bahwa secara umum,indikator merupakan ukuran kualitatif maupun ku-antitatif yang diperoleh dari pengukuran terhadapunit-unit observasi yang berada pada suatu areatertentu seiring waktu berjalan. Indikator ini seringkali digunakan untuk melihat perubahan antaraunit-unit observasi dari waktu ke waktu sebagaidasar penentuan prioritas kebijakan ataupun meng-ukur kemampuan unit-unit observasi dalam halatau aspek tertentu.

Indikator bisa diukur dalam bentuk data abso-lut, proporsi atau persentase, rate atau tingkat, rasioatau perbandingan, serta indeks. Ditinjau dari aspekyang mampu diukur, indikator terdiri dari indika-tor tunggal dan komposit. Indikator tunggal hanyamengukur satu aspek tertentu, sedangkan indikatorkomposit mengukur berbagai aspek dan disusundari indikator-indikator tunggal yang dikombina-sikan sedemikian rupa menjadi suatu indeks tung-gal (Pratiwi, 2009). Indikator komposit ini biasanyadigunakan untuk mengukur konsep-konsep yangbersifat multidimensi, kompleks, dan terkadangmencakup berbagai bidang, seperti pembangunanteknologi, sosial, ekonomi, kesehatan, dan seba-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 6: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...38

gainya yang tidak dapat diperoleh dari beberapaindikator tunggal. Indikator komposit memilikibeberapa kelebihan di antaranya lebih mudah diin-terpretasikan dibandingkan menginterpretasikansebagai indikator secara terpisah. Selain itu, denganmenggunakan indikator komposit, jumlah variabelyang digunakan dapat diubah menjadi lebih sedi-kit dari biasanya tanpa harus kehilangan banyakinformasi (OECD, 2008).

Parris (1999) menyebutkan beberapa kriteria yangperlu diperhatikan dalam memilih indikator, yaitu :

1. Policy relevant, sesuai dengan masalah yangberkembang dan memperhatikan ketersediaandata;

2. Analytically sound, yang berarti berdasarkanmetode-metode ilmiah dengan melakukan risetdan pengembangan secara terus-menerus;

3. Easy to interpreted, atau mudah untuk diinter-pretasikan;

4. Measurement, dapat diukur dengan memperha-tikan ketersediaan data serta keefektifan biayadalam proses pengumpulan, pengolahan, dandiseminasi data.

Metode penyusunan indeks yang digunakan da-lam penelitian ini mengadopsi metode penghitung-an Indeks Pembangunan Regional (IPR) yang dikajioleh BPS yang juga menggunakan data OECD da-lam penyusunannya. OECD menyebutkan sepuluhlangkah yang perlu dilakukan dalam penyusunanindeks komposit (OECD, 2008).

Metode

Seluruh data dalam penelitian ini menggunakandata kegiatan PODES. Pendataan PODES merupa-kan kegiatan yang independen terlepas dari sensus.Data PODES merupakan data cross section yang di-tujukan untuk menghasilkan data secara rinci bagikeperluan pembangunan wilayah dan memberikaninformasi awal tentang fakta-fakta potensi wilayah,infrastruktur/fasilitas, serta kondisi sosial-ekonomi

dan budaya di setiap desa/kelurahan. Data PODESyang diteliti adalah PODES 2006, 2008, 2011, dan2014. Meskipun bukan data panel tahunan, dataPODES dengan rentang beberapa tahun ini sudahdapat menggambarkan keadaan perkembanganpembangunan infrastruktur. Justru jika diteliti ta-hunan, maka data yang diperoleh cenderung tidakberubah karena pembangunan infrastruktur meru-pakan pembangunan yang multiyears. PODES me-rekam berbagai dimensi infrastruktur, namun yangdigunakan dalam penelitian ini adalah infrastrukturdimensi kesehatan dan ekonomi, yang merupakandua dari tiga dimensi infrastruktur yang didefini-sikan oleh World Bank (1994) dalam Zuvia (2012).Kedua dimensi cukup mewakili infrastruktur diseluruh provinsi di Indonesia. Dalam penelitian ini,data asli yang digunakan adalah jumlah infrastruk-tur per 1.000 km2. Data luas wilayah diperoleh daripublikasi BPS dengan tujuan untuk memperolehhasil analisis yang lebih baik dengan penimbangluas wilayah suatu provinsi.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yangdiperoleh dari publikasi BPS dalam kegiatanPODES 2006, 2008, 2011, dan 2014. Data PODESyang digunakan, yaitu tujuh belas variabel yangdigolongkan ke dalam dimensi ekonomi dan kese-hatan serta dilakukan terhadap seluruh provinsidi Indonesia. Pemilihan tujuh belas variabel di-dasarkan pada ketersediaan data PODES dalammeng-cover dimensi ekonomi dan kesehatan. Di-mensi ekonomi diwakili oleh tujuh variabel, yaknijumlah minimarket, restoran, warung makan, tokokelontong, hotel, penginapan/motel, dan KoperasiUnit Desa (KUD). Sementara dimensi kesehatandiwakili oleh sepuluh variabel, yakni ketersedia-an rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik,puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktikdokter, tempat praktik bidan, polindes, posyandu,dan apotek. Tujuh belas variabel ini dianggap cukupdalam menggambarkan kedua dimensi. Dalam peri-ode tahun yang digunakan, penelitian ini memiliki

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 7: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 39

jumlah provinsi yang berbeda-beda dikarenakanterjadinya pemekaran wilayah. Hal ini tidak men-jadi masalah dikarenakan fokus pembahasan akandilakukan independen di setiap tahunnya.

Metode Penyusunan Indeks

Terdapat beragam metode dalam penyusunan in-deks komposit. Salah satu yang paling sering digu-nakan adalah metode rata-rata aritmatik. Metodetersebut pernah digunakan dalam penghitunganIPM. Kelebihan metode rata-rata aritmatik adalahsederhana sehingga mudah diaplikasikan. Namun,metode tersebut kurang tepat untuk diaplikasikanpada penelitian ini karena mengasumsikan bah-wa semua variabel memiliki pengaruh yang samadalam penyusunan indeks. Dengan kata lain, ca-paian yang rendah dari suatu jenis infrastrukturdapat ditutupi oleh capaian tinggi dari infratruksturyang lain untuk suatu wilayah. Padahal untuk ka-sus infrastruktur, ketiadaan infrastruktur kesehatanseperti rumah sakit tidak dapat diganti dengan ba-nyaknya keberadaan puskesmas di wilayah yangsama. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metodelain yang dapat mempertimbangkan bobot jenisinfrastruktur dalam setiap dimensi. Pembobotanini dinilai penting karena masing-masing jenis in-frastruktur memiliki kekhasan tersendiri dalammenjelaskan keberadaannya. Keberadaan satu su-mah sakit tidak bisa disamakan dengan keberadaansatu puskesmas.

OECD telah menyusun suatu metode yang mam-pu mengakomodir ciri atau kekhasan suatu variabel.Metode tersebut tepat digunakan dalam penelitianini karena variabel penelitian yang berupa infra-struktur dapat dilakukan pembobotan. Secara garisbesar, metode pembobotan indeks yang digunakanmenggunakan analisis faktor. Penggunaan analisisfaktor merupakan pendekatan yang terbaik dalamkasus ini. Hal ini didasarkan pada:

1. Analisis Multivariat. Penelitian ini menggu-nakan beberapa variabel PODES yang ingin

digolongkan untuk menjadi satu skor yang me-wakili. Keterlibatan banyak variabel ini mem-buat analisis mengerucut pada metode penge-lompokan dari beberapa variabel. Dalam teorimultivariat yang telah diampu oleh peneliti,terdapat tiga cara metode pengelompokan, yak-ni Principal Component Analysis (PCA), analisisfaktor, dan Cluster Analysis (dendrogam). Di-karenakan yang akan dikelompokkan adalahvariabel (kolom) bukannya objek (row), makametode analisis multivariat yang digunakanadalah PCA dan analisis faktor. Matriks yangdigunakan dalam proses penghitungan adalahmatriks kovarian sehingga dapat dikatakanbahwa metode tersebut dapat digolongkan ke-pada analisis faktor.

2. Data Kuantitatif. Dibatasinya konsep infra-struktur sebagai infrastruktur yang dapat di-rasakan, diraba, atau dilihat langsung dengankasat mata (tangible) menuntut data yang di-peroleh berjenis data kuantitatif. Dikarenakandatanya adalah kuantitatif, maka analisis mul-tivariat dengan metode analisis faktor dirasasudah cukup mumpuni dalam melakukan pe-nyusunan indeks komposit.

3. Sesuai panduan OECD. Dalam Handbook onConstructing Indicators Methodology and User Gu-ide yang diterbitkan oleh OECD pada tahun2008, terdapat sepuluh tahapan yang harusdilaksanakan dalam membentuk indeks kom-posit. Kesepuluh tahapan tersebut meliputi:

(a) penyusunan kerangka kerja teoretis,(b) pemilihan variabel,(c) pengimputasian data-data yang tidak ter-

sedia,(d) proses analisis multivariat,(e) proses normalisasi terhadap data,(f) penentuan penimbang serta metode

agregasi,(g) pengujian kekuatan dan kepekaan (terha-

dap indeks komposit yang dihasilkan),

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 8: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...40

(h) penguraian kembali (dekomposisi) indekskomposit yang telah diperoleh,

(i) proses menghubungkan atau mengaitkanindeks komposit dengan indikator lain-nya,

(j) visualisasi hasil indeks komposit yangterbentuk.

Pada tahapan d, e, dan f dinyatakan bahwametode yang digunakan akan dikerucutkanmenjadi metode analisis multivariat. Di sini,peneliti diberikan kebebasan dalam memilihmetode yang sesuai. Setelah berbagai pertim-bangan didapatkan analisis multivariat terbaikadalah dengan analisis faktor (lihat alasan per-tama) yang memanfaatkan nilai Variance Infla-tion Factor (VIF) sebagai penentuan penimbanguntuk setiap dimensinya. Dengan berdasarnyapenelitian ini pada panduan tersebut, maka ti-dak diragukan lagi bahwa penggunaan analisisfaktor menjadi pendekatan terbaik dan cukupdalam menggabungkan variabel-variabel in-frastruktur.

4. EfisiensiAda sebuah anekdot dalam penentuan metodepenelitian, yakni “tak perlu gunakan gergajituk memotong bersiung-siung bawang, tapijangan gunakan silet jika yang kau potongadalah sebongkah kayu”. Dengan dasar ini-lah penggunaan analisis faktor yang secarapenghitungannya sudah disediakan di SPSS,memudahkan peneliti untuk melakukan pem-bentukan indeks.

Dalam analisis faktor tersebut ada kriteria pe-nimbangan yang digunakan, yakni statistik KeiserMeyer Olkin (KMO) dengan rumusan sebagai beri-kut:

KMO =

∑i∑

i 6= j r2i j∑

i∑

i6= j r2i j +∑

i∑

i 6= j a2i j

(1)

i = 1, 2, . . . , p; j = 1, 2, . . . , p

dengan ri j adalah koefisien korelasi sederhana an-tara variabel i dan j; ai j adalah koefisien korelasi

parsial antara variabel i dan j; dan p adalah jumlahvariabel.

Pada pendekatan dengan kriteria ini, variabel-variabel yang memiliki akar ciri kurang dari satu(KMO < 1) tidak masuk ke dalam model faktor danharus dikeluarkan. Sebaliknya, faktor yang diang-gap signifikan dan selanjutnya masuk ke dalammodel adalah faktor yang memiliki akar ciri lebihdari sama dengan satu (λ ≥ 1).

Metode penyusunan indeks yang digunakan da-lam penelitian ini mengadopsi metode penghitung-an IPR yang dikaji oleh BPS yang juga menggu-nakan OECD dalam penyusunannya. OECD me-nyebutkan sepuluh langkah yang perlu dilakukandalam penyusunan indeks komposit. Kesepuluhtahapan tersebut dimulai dari menyusun kerangkakerja teoretis, memilih variabel, mengimputasi data-data yang kosong atau tidak tersedia, melakukananalisis multivariat, melakukan proses normalisa-si terhadap data, menentukan penimbang sertametode agregasi, menguji kekuatan dan kepekaan(terhadap indeks komposit yang dihasilkan), mela-kukan penguraian kembali (dekomposisi) indekskomposit yang telah diperoleh, menghubungkanatau mengaitkan indeks komposit dengan indika-tor lainnya, hingga proses visualisasi hasil indekskomposit yang terbentuk.

Kerangka Pikir

Tahap pertama adalah penyeleksian variabel meng-gunakan analisis faktor. Tahap ini dilakukan un-tuk mengetahui korelasi antarvariabel sehinggavariabel-variabel yang saling berkorelasi dapat di-gunakan dalam analisis faktor. Analisis faktor di-lakukan secara terpisah di setiap tahunnya, baikdimensi ekonomi maupun kesehatan. Diperlukankonsistensi variabel yang masuk dalam membentukskor faktor di setiap dimensinya sehingga dilaku-kanlah pemeriksaan variabel agar seragam di tiaptahunnya. Variabel-variabel yang konsisten ini se-lanjutnya disebut sebagai indikator.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 9: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 41

Apabila terbentuk lebih dari satu faktor untuksetiap dimensi, maka kembali dilakukan analisisfaktor untuk memperoleh penimbang faktor danskor faktor. Namun, apabila hanya terbentuk satufaktor, maka otomatis skor faktor tersebut menja-di skor dimensi pada periode tersebut. Rata-ratadari kedua skor dimensi selanjutnya disebut seba-gai skor komposit. Berdasarkan besarnya indekskomposit ini, provinsi yang menjadi unit observasiakan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yai-tu provinsi dengan infrastruktur kurang memadai,cukup memadai, dan memadai. Setelah itu, dila-kukan analisis secara deskriptif untuk mengetahuikarakteristik dari provinsi-provinsi dalam ketigakategori tersebut. Secara ringkas, rangkaian analisisdi atas ditunjukkan dalam Gambar 1.

Kerangka kerja teoretis dan pemilihan variabeltelah dijelaskan sebelumnya pada bagian kerang-ka pikir. Namun prinsip-prinsip dalam menyusunkerangka kerja, memilih variabel, serta melakukantahapan-tahapan selanjutnya dalam proses penyu-sunan indeks komposit akan dijelaskan berikut ini.

1. Membangun Kerangka Kerja Teoretis dan Pe-milihan Variabel(Lihat Gambar 2)

2. Imputasi Data yang Tidak Tersedia (MissingValue)Penyusunan IPI ini sangat dipengaruhi olehketersediaan data. Indeks komposit akan ber-hasil menggambarkan kondisi sebenarnya dilapangan jika data yang tersedia lengkap. Da-lam penelitian ini tidak ditemukannya missingdata value. Hal ini dikarenakan peneliti meng-agregasi langsung raw data PODES untuk me-minimumkan terjadinya missing data dalampengolahan. Di samping itu, PODES juga di-lakukan secara rutin sehingga baik raw datamaupun hasil publikasi PODES tersedia leng-kap di BPS.

3. NormalisasiNormalisasi dilakukan agar mudah diperban-

dingkan IPI antar-observasi. Namun sebelummelakukan normalisasi perlu dilihat kembalidistribusi data untuk menentukan teknik nor-malisasi yang sesuai. Setelah dipertimbangkanuntuk melakukan normalisasi atau tidak, makadapat dilanjutkan melakukan agregasi sepertiyang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Nor-malisasi yang digunakan dalam penyusunanIPI ini dengan menggunakan metode z-scoresebagai berikut.

IPI = 1 − z(p − value)

4. Kekuatan dan KepekaanDalam menyusun indeks komposit, terdapatbeberapa ketidakpastian yang bisa muncul da-ri pemilihan indikator yang bersifat subjektif,termasuk di dalamnya dimasukkan atau dike-luarkannya suatu indikator dalam penyusunanindeks, metode imputasi, perbedaan metodenormalisasi, perbedaan pemilihan penimbang,serta perbedaan metode agregasi. Oleh kare-na itu, perlu dilakukan analisis kekuatan dankepekaan untuk menilai seberapa besar keti-dakpastian yang muncul. Pendekatan anali-sis ketidakpastian mengikuti langkah berikut(OECD, 2008):

(1) mencoba beberapa variabel indikatoryang berbeda;

(2) memodelkan kesalahan data berdasarkanketerangan yang tersedia pada varians-nya;

(3) menggunakan rancangan alternatif padaproses imputasi data;

(4) menggunakan model alternatif pada pro-ses normalisasi;

(5) menggunakan penimbang yang berbeda;(6) menggunakan metode agregasi yang ber-

beda.Namun demikian, pada kenyataannya, jarangsekali penggunaan analisis kepekaan pada in-deks komposit yang sudah ada. Bahkan pa-da IPM yang dihasilkan oleh United Nations

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 10: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...42

Gambar 1: Kerangka PikirSumber: Hasil Pengolahan Penulis

Development Programme (UNDP) sejak 1990 ti-dak dilakukan analisis ini. Dalam penelitianini, analisis kekuatan dan kepekaan juga ti-dak dilakukan mengingat terbatasnya keterse-diaan data sehingga sulit melakukan penam-bahan indikator lain yang dapat digunakanuntuk mengukur pencapaian pembangunaninfrastruktur. Selain itu, mengingat keterba-tasan waktu, perbandingan metode imputasi,normalisasi, agregasi, serta penentuan penim-bang memerlukan suatu kajian tersendiri yangtidak tercakup dalam penelitian ini. Sebagaigantinya, untuk melihat seberapa baik indeksyang dihasilkan akan dilakukan analisis hu-bungan antara indeks ini dengan indikator lainyang sudah tersedia.

5. Dekomposisi Indeks KompositIndikator komposit menyediakan suatu titikawal untuk analisis. Penguraian indikator kom-posit ini dapat digunakan untuk menjelaskankondisi-kondisi dibalik baik buruknya indekskomposit di suatu wilayah. Dalam peneliti-

an ini, penguraian atau dekomposisi ini digu-nakan untuk melihat bagaimana karakteristikprovinsi-provinsi yang berada pada katego-ri pencapaian pembangunan dari dimensi IPIekonomi dan kesehatan.

6. Hubungan antara Indeks Komposit denganIndikator LainTujuan melihat hubungan antara indeks kom-posit dengan indikator lainnya adalah menilaiseberapa baik kemampuan IPI menjelaskanfenomena yang terjadi. Hasilnya dapat digu-nakan untuk mendukung analisis kekuatandan kepekaan yang telah dijelaskan sebelum-nya. Ada tidaknya hubungan ini dapat dilihatdari nilai dan signifikansi nilai korelasi Pearson.Selain itu, dibantu juga dengan penggunaanscatter plot. Dalam penelitian ini akan diamatihubungan antara indeks komposit pencapaianpembangunan infrastruktur dengan indikatorPendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)dan IPR yang dikeluarkan oleh BPS.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 11: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 43

Gambar 2: Rincian Indikator dalam Setiap Dimensi Pembangunan InfrastrukturSumber: Hasil Pengolahan Penulis

Metode Pengelompokan Provinsi

Melalui indeks komposit ini dapat diketahui penca-paian pembangunan infrastruktur di suatu provinsi,baik peran dari pemerintah maupun swasta. Na-mun, karena provinsi yang digunakan sebagai unitobservasi relatif banyak, maka untuk mempermu-dah analisis, provinsi tersebut akan dikelompokkanberdasarkan indeks kompositnya. Dengan demiki-an, dapat diketahui provinsi-provinsi mana sajayang perlu mendapat prioritas perhatian karenakondisinya yang relatif masih belum baik. Selainitu, dengan adanya pengelompokan ini akan le-bih mudah melakukan analisis untuk mengetahuikarakteristik dari provinsi-provinsi tersebut.

Sejauh ini belum terdapat kriteria yang baku un-tuk mengelompokkan suatu observasi berdasarkanpembangunan infrastrukturnya, namun penelitianini akan menggunakan nilai kuartil indeks di tiaptahunnya. Distribusi data IPI yang tidak normal ada-lah alasan memilih metode karena tidak memung-kinkan untuk mengategorikan berdasarkan sebarandatanya terhadap rata-rata. Provinsi-provinsi ter-sebut akan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni diatas kuartil atas (Q3), di bawah kuartil bawah (Q1),

dan antara kuartil atas dan kuatil bawah. Notasipengategorian provinsi disajikan sebagai berikut:IPI > Q3t = Infrastruktur MemadaiQ1t ≤ IPI < Q3t = Infrastruktur Cukup MemadaiIPI ≤ Q1t = Infrastruktur Kurang Memadai

Hasil dan Analisis

Hasil pemilihan indikator dimensi kesehatan tahun2006 pada tahap pertama telah menunjukkan bahwadalam matriks anti image nilai Measure of SamplingAdequacy (MSA) 10 variabel dimensi kesehatan ber-nilai lebih dari 0,5 kecuali variabel polindes (0,234).Nilai MSA yang lebih dari 0,5 ini menunjukkanbahwa variabel dimensi kesehatan layak untuk di-analisis lebih lanjut menggunakan analisis faktor.Sementara polindes yang memiliki nilai anti imagedi bawah 0,5 menunjukkan bahwa variabel terse-but harus direduksi karena tidak layak dianalisislebih lanjut dengan analisis faktor. Pada tahap ke-dua, ketika tersisa 9 variabel, menunjukkan nilaiMSA seluruh variabel dimensi kesehatan lebih dari0,5, sedangkan dilihat dari statistik KMO, dimensikesehatan tahun 2006 bernilai 0,747. Artinya, ber-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 12: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...44

dasarkan teori pengategorian KMO pada bagiansebelumnya, kesembilan variabel dalam dimensikesehatan dikategorikan sebagai data yang agakbaik untuk dianalisis faktor (KMO antara 0,7 dan0,8).

Sementara itu, pada tahap pertama pemilihanindikator dimensi kesehatan tahun 2008 menun-jukkan nilai KMO 0,74, namun variabel puskesmaspembantu dan polindes memiliki nilai MSA masing-masing 0,428 dan 0,492. MSA yang bernilai kurangdari 0,5 ini mengindikasikan bahwa kedua variabelini perlu untuk direduksi. Dengan tidak menyerta-kan kedua variabel tersebut pada tahap kedua, nilaiKMO naik menjadi 0,758, namun variabel posyandumemiliki nilai MSA hanya 0,157. Dengan perlaku-an yang sama, maka variabel posyandu direduksi.Pada tahap ketiga pengujian, diperoleh bahwa nilaiKMO makin membaik ke angka 0,794 dan semuavariabel yang tersisa memiliki nilai MSA di atas0,5. Dengan demikian, pada tahun 2008, terdapat 7variabel yang layak untuk dianalisis sebagai indi-kator dimensi kesehatan. Variabel-variabel dimensikesehatan yang layak digunakan dalam analisisfaktor tahun 2006, 2008, 2011, dan 2014 (per 1.000km2) dapat dilihat pada Tabel 1.

Dengan perlakuan yang sama, pada tahun 2011dan 2014 secara berturut-turut menghasilkan jum-lah variabel layak sebanyak 9 dan 8. Statistik KMOjuga berada dalam kategori yang sama, yakni an-tara 0,8 dan 0,9. Dari Tabel 1 terlihat bahwa hanyaterdapat 7 variabel yang konsisten layak untuk dia-nalisis faktor dari tahun 2006, 2008, 2011, dan 2014.Variabel-variabel tersebut adalah jumlah rumah sa-kit, jumlah rumah sakit bersalin, jumlah poliklinik,jumlah puskesmas, jumlah tempat praktik dokter,jumlah tempat praktik bidan, dan jumlah apotek.Dengan demikian, hanya ketujuh variabel ini yangditetapkan sebagai indikator dimensi kesehatandalam penyusunan indeks komposit.

Untuk dimensi ekonomi, hasil tahap pertama ditahun 2006 menunjukkan ketujuh variabel dapat

dianalisis dengan analisis faktor karena dianggaplayak. Statistik KMO dimensi ekonomi tahun 2006bernilai 0,732. Artinya berdasarkan teori pengatego-rian KMO pada bagian sebelumnya, seluruh varia-bel dalam dimensi ekonomi dikategorikan sebagaidata yang agak baik untuk dianalisis faktor (KMOantara 0,7 dan 0,8). Sementara itu, jika dilihat darimatriks anti image, seluruh variabel memiliki nilaiMSA di atas 0,5. Berdasarkan kriteria nilai MSA danKMO tersebut, variabel-variabel dimensi kesehatantahun 2006 tidak perlu ada yang direduksi.

Kondisi tersebut juga terjadi pada tahun 2008dan 2011. Secara berturut-turut berdasarkan krite-ria KMO dan MSA berkesimpulan bahwa seluruhvariabel layak untuk digunakan dalam analisis fak-tor. Namun, pada uji tahap pertama tahun 2014,nilai MSA variabel KUD jatuh di angka 0,239. Halini menunjukkan diperlukannya reduksi terhadapvariabel KUD. Pada tahap kedua dengan meniada-kan variabel KUD dalam pengujian, menunjukkanpeningkatan nilai KMO dari 0,735 menjadi 0,720. Disamping itu, seluruh nilai MSA variabel yang tersi-sa berada di atas 0,5. Variabel-variabel yang layakdigunakan dalam analisis faktor dimensi ekonomisetiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa hanya terdapat 6 va-riabel yang konsisten layak untuk dianalisis faktordari tahun 2006, 2008, 2011, dan 2014. Variabel-variabel tersebut adalah jumlah minimarket, res-toran, warung makan, toko kelontong, hotel, danpenginapan/motel. Dengan demikian, hanya kee-nam variabel ini yang ditetapkan sebagai indikatordimensi kesehatan dalam penyusunan indeks kom-posit.

Akhirnya dalam penelitian ini digunakan tigabelas indikator. Indikator-indikator tersebut terdiridari 7 indikator dalam dimensi kesehatan dan 6 in-dikator dalam dimensi ekonomi. Rincian indikatordalam setiap dimensi dapat dilihat pada Gambar 2.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 13: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 45

Tabel 1: Variabel-Variabel yang Dinyatakan Layak

2006 2008(1) (2)1. Jumlah Rumah Sakit 1. Jumlah Rumah Sakit2. Jumlah Rumah Sakit Bersalin 2. Jumlah Rumah Sakit Bersalin3. Jumlah Poliklinik 3. Jumlah Poliklinik4. Jumlah Puskesmas 4. Jumlah Puskesmas5. Jumlah Puskesmas Pembantu 5. Jumlah Tempat Praktik Dokter6. Jumlah Tempat Praktik Dokter 6. Jumlah Tempat Praktik Bidan7. Jumlah Tempat Praktik Bidan 7. Jumlah Apotek8. Jumlah Posyandu9. Jumlah Apotek

2011 2014(3) (4)1. Jumlah Rumah Sakit 1. Jumlah Rumah Sakit2. Jumlah Rumah Sakit Bersalin 2. Jumlah Rumah Sakit Bersalin3. Jumlah Poliklinik 3. Jumlah Poliklinik4. Jumlah Puskesmas 4. Jumlah Puskesmas5. Jumlah Puskesmas Pembantu 5. Jumlah Tempat Praktik Dokter6. Jumlah Tempat Praktik Dokter 6. Jumlah Tempat Praktik Bidan7. Jumlah Tempat Praktik Bidan 7. Jumlah Posyandu8. Jumlah Posyandu 8. Jumlah Apotek9. Jumlah Apotek

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Tabel 2: Variabel-Variabel pada Dimensi Ekonomi yang Layak Digunakan dalam Analisis Faktor Tahun 2006, 2008, 2011,dan 2014 (per 1.000 km2)

2006 2008(1) (2)1. Jumlah Minimarket 1. Jumlah Minimarket2. Jumlah Restoran 2. Jumlah Restoran3. Jumlah Warung Makan 3. Jumlah Warung Makan4. Jumlah Toko Kelontong 4. Jumlah Toko Kelontong5. Jumlah Hotel 5. Jumlah Hotel6. Jumlah Penginapan/Motel 6. Jumlah Penginapan/Motel7. Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) 7. Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD)

2011 2014(3) (4)1. Jumlah Minimarket 1. Jumlah Minimarket2. Jumlah Restoran 2. Jumlah Restoran3. Jumlah Warung Makan 3. Jumlah Warung Makan4. Jumlah Toko Kelontong 4. Jumlah Toko Kelontong5. Jumlah Hotel 5. Jumlah Hotel6. Jumlah Penginapan/Motel 6. Jumlah Penginapan/Motel7. Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD)

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Pembentukan Faktor dan PenghitunganPenimbang Faktor dalam Setiap DimensiPembangunan Infrastruktur

Analisis faktor akan digunakan sekali lagi untukmenghasilkan faktor-faktor dominan dalam seti-ap dimensi pencapaian pembangunan. Banyaknyafaktor dominan yang dapat mencirikan suatu di-

mensi didasarkan pada kriteria Kaiser yang manafaktor-faktor dengan akar ciri (eigen value) bernilaikurang dari satu tidak diikutsertakan sebagai fak-tor dominan (OECD, 2008). Jika menghasilkan satusaja faktor dominan, maka faktor tersebut otomatisakan menjadi skor dimensi tersebut. Namun, apa-bila terdapat faktor dominan lebih dari satu, makadilakukan teknik agregasi dengan penimbang. Ca-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 14: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...46

ra memperoleh penimbang faktor adalah denganmembandingkan antara keragaman suatu faktorterhadap keragaman total. Penimbang faktor dihi-tung hanya dari faktor dominan di suatu dimensi.Kedudukan faktor berbanding lurus dengan penim-bangnya. Dengan demikian, faktor yang memilikipenimbang besar akan memiliki kedudukan yangmakin penting dalam suatu dimensi. Tabel 3 adalahdaftar penimbang yang diperoleh untuk dimensikesehatan. Sementara penimbang untuk dimensiekonomi disajikan dalam Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis faktor pada dimensikesehatan tahun 2006, hanya terdapat satu faktoryang memiliki akar ciri lebih dari 1. Artinya, lang-sung terdapat 1 faktor dominan yang membentukdimensi kesehatan tahun 2006 yang sekaligus men-jadi skor dimensi kesehatan 2006. Sementara itu,berdasarkan tabel Component Matrix menunjukkanbahwa indikator rumah sakit, rumah sakit bersalin,poliklinik, puskesmas, tempat praktik dokter, tem-pat praktik bidan, dan apotek secara berturut-turutmemiliki nilai communalities sebesar 0,998; 0,999;0,992; 0,999; 0,997; 0,973; dan 0,998. Besarnya nilaicommunalities menunjukkan besarnya variasi vari-abel asal yang dapat dijelaskan oleh faktor yangterbentuk. Selain tahun 2006, pada tahun 2008, 2011,dan 2014 memberikan hasil yang sama terkait jum-lah faktor yang dominan dalam dimensi kesehatan.

Hal serupa juga terjadi pada dimensi ekonomi.Dengan menggunakan kriteria Kaiser, selama ta-hun 2006, 2008, 2011, dan 2014 diperoleh satu faktordominan yang menyusun dimensi ini. Dengan katalain, faktor dominan tersebut akan otomatis men-jadi skor dimensi ekonomi pada tahun yang berse-suaian. Nilai communalities yang dihitung denganmetode PCA menunjukkan bahwa absolute loadingdari setiap tahun memiliki nilai yang cukup tinggi,yang mengindikasikan keeratannya dengan skordimensi yang terbentuk.

Walaupun terdapat satu faktor dominan saja da-lam setiap dimensi, namun telah dapat menggam-

barkan keragaman seluruh indikatornya dengancukup baik. Hal ini dijelaskan dari statistik Total Va-riance Explained by factor yang cukup besar. Sebagaicontoh, nilai total variance explained untuk dimensikesehatan tahun 2006 adalah 99,35% yang artinyavarians indikator-indikator pembentuk dimensi ke-sehatan tahun 2006 dapat dijelaskan oleh variasiskor faktor dominan yang terbentuk sebesar 99,35%,sisanya dijelaskan oleh faktor lain.

Hasil Perhitungan Indeks KompositPembangunan Infrastruktur

Indeks komposit pembangunan infrastruktur ada-lah rata-rata dari skor dimensi kesehatan dan ekono-mi. Artinya bahwa kedua dimensi tersebut memilikibobot yang sama. Karena analisis faktor dilakukandengan menggunakan data transformasi melaluiz-score, hasil transformasi bisa bertanda positif jikanilai asli data suatu provinsi lebih besar dari rata-rata seluruh provinsi, dan bertanda negatif jika nilaiasli data lebih kecil dari rata-ratanya, ataupun ber-nilai 0 jika nilai asli data sama dengan rata-ratanya.Dengan kata lain, IPI yang dihasilkan bisa bertandapositif, nol, dan negatif karena disusun dari skordimensi yang bertanda positif, nol, dan negatif juga.Skor komposit dalam bentuk ini tentu menyulitkanuntuk dibandingkan karena tidak memiliki nilai mi-nimum dan maksimum yang jelas. Oleh karena itu,skor komposit yang ada ditransformasi ke dalambentuk peluang kumulatif dengan pendekatan bah-wa data mengikuti distribusi normal baku (rata-rata0 dan varians 1). Bentuk transformasi ini sebelum-nya sudah pernah digunakan oleh BPS dalam KajianIndeks Pembangunan Regional maupun negara Indiaketika menyusun Enviromental Sustainability Index2009.

Indeks komposit pembangunan infrastrukturyang terbentuk di atas mengukur ketersediaan in-frastruktur kesehatan dan ekonomi di setiap provin-sinya. Provinsi dengan nilai indeks di atas 0, makaprovinsi tersebut secara agregat memiliki keterse-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 15: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 47

Tabel 3: Penimbang Dimensi Kesehatan Masing-masing Variabel

No Indikator Kesehatan Component Score Coefficient Matrix2006 2008 2011 2014

(1) (2) (3) (4) (5) (6)1 Rumah Sakit 0,144 0,148 0,145 0,1442 Rumah Sakit Bersalin 0,144 0,149 0,145 0,1443 Poliklinik 0,143 0,149 0,145 0,1444 Puskesmas 0,144 0,149 0,145 0,1445 Tempat Praktik Dokter 0,144 0,15 0,145 0,1446 Tempat Praktik Bidan 0,142 0,133 0,144 0,1417 Apotek 0,144 0,148 0,141 0,144

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Tabel 4: Penimbang Dimensi Ekonomi Masing-masing Variabel

No Indikator Ekonomi Component Score Coefficient Matrix2006 2008 2011 2014

(1) (2) (3) (4) (5) (6)1 Minimarket 0,183 0,168 0,176 0,1732 Restoran 0,18 0,169 0,176 0,1733 Warung 0,185 0,168 0,175 0,1734 Toko Kelontong 0,184 0,167 0,174 0,1725 Hotel 0,184 0,168 0,169 0,1736 Penginapan 0,138 0,167 0,163 0,159

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

diaan infrastruktur di atas rata-rata ketersediaaninfrastruktur nasional dari segi dimensi kesehatanatau ekonomi. Begitu juga sebaliknya jika suatu pro-vinsi memiliki indeks di bawah 0 (negatif). Secaradetail, perolehan indeks setiap provinsi disajikandalam Tabel 5.

Indeks ini menekankan pada perbandingan keter-sediaan infrastruktur antarprovinsi di tahun yangsama, namun belum bisa melihat perkembangan ke-tersediaan infrastruktur dari waktu ke waktu. Halini dikarenakan rata-rata dan varians yang digu-nakan dalam standarisasi z-score dalam membentukskor dimensi kesehatan dan ekonomi berbeda-bedaantartahun sehingga tidak terdapat suatu standaruntuk melakukan perbandingan antarwaktu. Mes-kipun demikian, indeks ini dapat menjawab ke-tersediaan infrastruktur di suatu provinsi relatifterhadap provinsi lainnya dari waktu ke waktu se-lama penimbang indikatornya tetap (Pratomo danSumargo, 2016).

DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali selalu ber-ada konsisten di tiga besar provinsi dengan nilaiIPI tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga

provinsi tersebut memiliki jumlah ketersediaan in-frastruktur yang relatif stabil lebih baik daripadaprovinsi-provinsi lainnya. Untuk IPI DKI Jakarta,terlihat bahwa nilainya terlalu tinggi sehingga out-lier dan jauh berbeda dengan provinsi lainnya. Halini dikarenakan penggunaan variabel luas wila-yah dalam penghitungan IPI. Variabel luas wilayahsangat memengaruhi pembobotan IPI yang digu-nakan sebagai pembagi. Penggunaan variabel luaswilayah sebagai pembobot dianggap akan lebihmerepresentasikan ketersediaan infrastruktur di su-atu daerah. Jumlah infrastruktur saja tidak cukupmewakili ketersediaan suatu infrastruktur namunharus memperhatikan kepadatan infrastruktur.

Di samping itu, terdapat tren yang menarik dariprovinsi yang baru saja terbentuk sepuluh tahunbelakangan ini. Sebagai contoh nilai indeks di tahun2014, yakni Kalimantan Utara (32), Papua Barat (33),dan Sulawesi Barat (21), provinsi-provinsi ini selaluberada pada peringkat yang rendah berdasarkanIPI. Hal ini mengindikasikan bahwa tantangan dariprovinsi yang baru saja terbentuk adalah pengada-an infrastruktur yang memadai di daerah tersebut.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 16: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...48

Tabel 5: Nilai IPI Setiap Provinsi dalam Setiap Tahun Penelitian

No Provinsi 2006 2008 2011 2014(1) (2) (3) (4) (5) (6)1 Aceh -0,284 -0,263 -0,251 -0,2492 Bali 0,464 0,225 0,421 0,3693 Banten 0,114 0,158 0,055 0,0824 Bengkulu -0,279 -0,244 -0,239 -0,2315 DI Yogyakarta 0,544 0,440 0,438 0,4056 DKI Jakarta 5,221 5,428 5,453 5,5537 Gorontalo -0,292 -0,260 -0,253 -0,2448 Jambi -0,289 -0,277 -0,262 -0,2589 Jawa Barat 0,153 0,265 0,128 0,164

10 Jawa Tengah 0,094 0,322 0,066 0,07711 Jawa Timur 0,033 0,132 -0,028 -0,01512 Kalimantan Barat -0,305 -0,306 -0,277 -0,27513 Kalimantan Selatan -0,260 -0,256 -0,247 -0,24414 Kalimantan Tengah -0,310 -0,310 -0,281 -0,27815 Kalimantan Timur -0,309 -0,308 -0,279 -0,27316 Kalimantan Utara 0,000 0,000 0,000 -0,28117 Kepulauan Bangka Belitung -0,290 -0,278 -0,258 -0,24918 Kepulauan Riau -0,191 -0,197 -0,165 -0,14619 Lampung -0,247 -0,201 -0,210 -0,20120 Maluku -0,306 -0,305 -0,275 -0,27021 Maluku Utara -0,309 -0,304 -0,270 -0,26922 NTB -0,231 -0,225 -0,221 -0,20723 NTT -0,296 -0,281 -0,255 -0,26024 Papua -0,318 -0,315 -0,284 -0,28225 Papua Barat 0,000 -0,314 -0,283 -0,28126 Riau -0,291 -0,284 -0,261 -0,25427 Sulawesi Barat 0,000 -0,289 -0,266 -0,26228 Sulawesi Selatan -0,263 -0,238 -0,230 -0,22629 Sulawesi Tengah -0,303 -0,299 -0,271 -0,26630 Sulawesi Tenggara -0,292 -0,289 -0,262 -0,25531 Sulawesi Utara -0,202 -0,209 -0,196 -0,19432 Sumatra Barat -0,254 -0,243 -0,266 -0,22433 Sumatra Selatan -0,274 -0,274 -0,261 -0,25434 Sumatra Utara -0,227 -0,200 -0,209 -0,201

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Urgensi pengembangan infrastruktur makin tera-sa karena dihadapkan dengan banyak tantanganmulai dari perkembangan teknologi, perumusankebijakan, hingga dinamisnya isu politik (Posumah,2015).

Indeks ini juga sensitif menggambarkan keter-sediaan infrastruktur di suatu wilayah. Sebagaicontoh, ranking indeks Sumatra Barat tahun 2008masih berada pada urutan 14, tetapi pada tahun2011 merosot tajam ke urutan 24 akibat gempa tahun2009 yang merusak tatanan infrastruktur daerahtersebut. Namun, provinsi ini dapat kembali bang-kit membenahi infrastrukturnya, yang tercerminpada nilai IPI tahun 2014 yang naik lagi ke urutan14 secara nasional.

Apabila didekomposisi di tahun 2014 berdasar-kan infrastruktur kesehatan dan ekonominyamasing-masing, terlihat bahwa kedua dimensi terse-but memiliki tren yang positif, artinya makin tinggiskor ekonominya, makin tinggi pula skor kesehatan-nya. Pada Gambar 3, empat kuadran yang dibentukoleh gambar scatter plot, provinsi-provinsi di Indo-nesia tersebar di kuadran I dan III saja. Kuadran Imenunjukkan provinsi dengan ketersediaan infras-truktur ekonomi dan kesehatan per 1.000 km2 di atasrata-rata nasional, sedangkan kuadran III menun-jukkan provinsi dengan ketersediaan infrastrukturekonomi dan kesehatan per 1.000 km2 kurang darirata-rata nasional. Dari Gambar 3 juga terlihat be-berapa provinsi yang tampak lebih menonjol salah

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 17: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 49

Gambar 3: Scatter Plot Skor Ekonomi dan Kesehatan di Tahun 2014Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

satu dimensi infrastruktur saja. Sebagai contoh, Balimemiliki skor ekonomi yang jauh lebih baik dariskor kesehatannya. Hal ini mengindikasikan bahwadi tahun 2014 ketersediaan infrastruktur ekonomiper 1.000 km2 di Bali lebih melimpah dibandingkaninfastruktur kesehatannya per 1.000 km2 walaupunketersediaan infrastruktur kedua dimensi tersebutberada di atas rata-rata nasional.

Hubungan Antara Indeks KompositPembangunan Infrastruktur dengan IPR,IPM, dan PDRB

BPS membuat IPR pada tahun 2009. Indeks inidapat mengukur pembangunan antardaerah daridimensi yang kompleks, yaitu ekonomi, sosial, in-frastruktur, pelayanan publik, lingkungan hidup,serta teknologi, informasi, dan komunikasi. Padakajian tersebut, periode tahun yang diteliti adalahtahun 2008 dan 2009. Oleh karena itu, dalam pemba-hasan ini korelasi yang dihitung, yakni pada tahun2008 karena merupakan tahun irisan dari PODESdan penelitian IPR. IPR hadir untuk memperbaha-rui keterbatasan yang dimiliki oleh IPM dari segidimensi pembentuk indeksnya. Dilihat dari indi-kator pembentuknya, yakni angka harapan hidup,harapan lama sekolah (sebelumnya: angka melek

huruf), rata-rata lama sekolah, dan kemampuandaya beli, menjadikan IPM sebagai ukuran yangkurang dinamis. Hal ini dikarenakan untuk me-ningkatkan IPM suatu daerah diperlukan jangkawaktu yang lama sehingga tidak cocok sebagai da-sar rancangan kerja suatu wilayah dalam jangkawaktu yang pendek. Namun, indeks ini masih se-ring digunakan karena praktis, data pendukungmudah diperoleh, dan dirasa cukup menggambark-an keadaan multidimensi.

Selain IPR dan IPM, PDRB dipilih karena me-rupakan indikator yang secara umum dijadikanacuan produktivitas suatu daerah. PDRB meru-pakan total nilai output yang dihasilkan di suatuwilayah. Faktor produksi yang merupakan pem-bentuk nilai tambah PDRB sangat dipengaruhi olehinfrastruktur daerah. Seperti yang dinyatakan olehSembanyang (2011), ketersediaan infrastruktur di-butuhkan dalam menggerakkan PDRB dikarenakanketersediaan infrastruktur secara langsung meme-ngaruhi peningkatan perolehan pajak. Maka dariitu, kepekaan dari IPI layak untuk dikorelasikandengan nilai PDRB. Secara detail hasil korelasi IPI,IPM, IPR, dan PDRB di tahun 2008 dijelaskan dalamTabel 6.

Pada tabel korelasi diperoleh bahwa IPR danPDRB memiliki korelasi yang cukup kuat, posi-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 18: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...50

Tabel 6: Output SPSS Bivariate Correlation antara IPI 08,IPR 08, PDRB 08, dan IPM 08

IPR 08 PDRB 08 IPM 08

IPI 08 Pearson Correlation 0,687** 0,741** 0,405*Sig.(2-tailed) 0,000 0,000 0,019

Sumber: Hasil Pengolahan Data SekunderKeterangan: * nilai korelasi signifikan pada 0,05 (2-tailed)

** nilai korelasi signifikan pada 0,01 (2-tailed)

tif, dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bah-wa IPI yang terbentuk cukup kuat dan peka da-lam menerangkan fenomena yang terkait kinerjapembangunan wilayah. Hubungan yang positif an-tara IPI dan IPR menunjukkan bahwa keduanyamengakomodir beberapa dimensi ekonomi dan ke-sehatan, meskipun dalam pembentukan IPI lebihmenekankan kepada kuantitas infrastruktur darikedua dimensi tersebut. Hubungan yang positifdengan nilai PDRB mengindikasikan bahwa IPImerupakan suatu ukuran yang dapat menggam-barkan kehadiran faktor produksi di suatu wila-yah sehingga dapat meningkatkan produktivitasdaerah. Meskipun tidak sekompleks IPR, namundengan analisis korelasi ini telah membuktikan bah-wa ukuran IPI mempunyai validitas yang cukupbaik dalam menerangkan pembangunan wilayahdari sisi ketersediaan infrastruktur.

Selanjutnya, fakta menarik diperoleh ketikamenganalisis IPI dan IPM. Walaupun hasil anali-sis korelasi yang digunakan menunjukkan korelasiyang positif, namun tidak cukup kuat yakni hanya0,405. Indeks IPI dibentuk berdasarkan kuantitasketersediaan infrastruktur ekonomi dan kesehatan,seperti halnya minimarket, restoran, hotel, rumahsakit, puskesmas, poliklinik, dan lain-lain, sedangk-an IPM dibentuk berdasarkan pencapaian kualitasmanusia di suatu wilayah. Pertama, indikator angkaharapan hidup mempresentasikan dimensi umurpanjang dan kesehatan. Kedua, angka harapan lamasekolah dan rata-rata lama sekolah mencerminkanoutput dari dimensi pengetahuan atau pendidikan.Terakhir, indikator kemampuan daya beli diguna-kan untuk mengukur dimensi kehidupan yang la-

yak. Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalahuntuk dapat meningkatkan kualitas pembangun-an manusia, diperlukan ketersediaan infrastrukturyang berorientasi kualitas, bukan hanya kuantitas.

Berdasarkan nilai IPM dan IPI, provinsi-provinsidi Indonesia dikelompokkan ke dalam empat kua-dran. Pada Gambar 4, garis absis merupakan IPM,sedangkan garis ordinat merupakan IPI dengantitik perpotongan kuadran, yaitu 71,17;50. Angka71,17 pada IPM merupakan nilai IPM nasional danangka 50 pada IPI merupakan rata-rata ketersedia-an infrastruktur nasional secara agregat. Provinsiyang berada di Kuadran I merupakan provinsi de-ngan kuantitas infrastruktur yang lebih baik darirata-rata nasional dan kualitas sumber daya ma-nusia yang lebih tinggi dari IPM nasional. Dengankata lain, melimpahnya sarana di wilayah tersebutberjalan selaras dengan kualitas manusianya yanglebih baik. Kuadran II merupakan provinsi denganketersediaan infrastruktur di atas rata-rata, namuntidak tercerminkan melalui kualitas sumber dayamanusianya yang dilihat dari nilai IPM yang jatuhdi bawah IPM nasional. Kuadran III adalah provinsidengan kuantitas infrastruktur dan kualitas sumberdaya manusia yang jatuh di bawah angka nasio-nal. Sementara kuadran IV adalah provinsi denganketersediaan infrastruktur di bawah rata-rata nasio-nal, namun diduga memiliki kualitas infrastrukturyang baik sehingga tercermin dari angka IPM yangberada di atas angka IPM nasional.

Kelompok provinsi berdasarkan daerah kuadranscatter plot IPI 08 dan IPM 08:

• Kuadran I (Kuantitas dan Kualitas): DKIJakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah

• Kuadran II (Kuantitas): Jawa Barat, Jawa Timur,Bali, Banten

• Kuadran III (Tidak Keduanya): Maluku,Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,Gorontalo, Sulawesi Tenggara, KalimantanSelatan, Sulawesi Barat, Maluku Utara,Kalimantan Barat, Papua Barat, Nusa Tenggara

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 19: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 51

Gambar 4: Scatter Plot IPI 08 dan IPM 08Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua• Kuadran IV (Kualitas): Sulawesi Utara,

Riau, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau,Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, SumatraBarat, Kepulauan Bangka Belutung, Bengkulu,Sumatra Selatan, Jambi

Pengelompokan Provinsi berdasarkanIndeks Komposit PembangunanInfrastruktur

Tujuan dari pengelompokan yang dilakukan da-lam penelitian ini adalah memudahkan penilai-an dan analisis pembangunan infrastruktur suatudaerah. Urgensi dari pengelompokan provinsi iniadalah tidak memungkinkannya analisis satu persatu provinsi dalam periode 4 tahun sekaligus. Se-suai dengan pembahasan pada bab sebelumnyaterkait metode dan dasar pengelompokan provinsiberdasarkan indeks IPI, maka disajikanlah visuali-sasi pencapaian pembangunan infrastruktur setiapprovinsi di Indonesia melalui peta tematik (lihatGambar 5).

Berdasarkan hasil pengelompokan ini dapat dike-tahui provinsi mana saja yang memiliki ketersedia-an infrastruktur yang memadai, cukup memadai,

dan kurang memadai sehingga membantu dalammengambil kebijakan terkait prioritas pengadaaninfrastruktur daerah selanjutnya. Kesimpulan ber-dasarkan peta dari tahun 2006, 2008, 2011, dan 2014adalah provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Balimempunyai nilai IPI yang konsisten lebih tinggi (in-frastruktur lebih memadai) dibandingkan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa. Hal ini ditunjukkandengan persebaran daerah dengan warna hitampekat terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa dan Bali.Mayoritas provinsi di Pulau Sumatra berkatego-ri infrastruktur cukup memadai. Sementara PulauKalimantan memiliki provinsi berkategori kurangmemadai, kecuali Kalimantan Selatan. Hal ini men-jadi wajar karena terdapat penimbang luas wilayahdalam penyusunan indeks, sementara di lain si-si, Pulau Kalimantan memiliki provinsi-provinsidengan luas wilayah terbesar di Indonesia yangmengakibatkan nilai IPI-nya kecil. Daerah denganketersediaan infrastruktur kurang memadai (dae-rah berwarna abu-abu) tersebar di daerah timurIndonesia, yaitu Pulau Maluku dan Papua dan se-bagian provinsi di Pulau Sulawesi.

Pada tahun 2006 ke 2008, beberapa provinsi berge-rak secara relatif ke arah ketersediaan infrastrukturyang lebih memadai. Kepulauan Riau yang awal-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 20: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...52

Gambar 5: Peta Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Tahun 2006, 2008, 2011, dan 2014Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

nya berkategori cukup memadai menjadi memadai,sedangkan Nusa Tenggara Timur bergerak dari ka-tegori kurang memadai menjadi cukup memadai. Per-gerakan kedua provinsi ke level kategori yang lebihbaik dikarenakan bertambahnya jumlah provinsidi Indonesia atau dengan kata lain provinsi yangbaru terbentuk memiliki infrastruktur yang relatifkurang memadai dibandingkan provinsi yang telahlama terbentuk sebelumnya. Kepulauan Riau men-jadi satu-satunya provinsi di kepulauan Sumatrayang berkategori memadai. Hal ini mengindikasikaninfrastruktur di Kepulauan Riau tersebar meratadi seluruh wilayahnya, padahal provinsi tersebutmemiliki jumlah pulau terbanyak di Indonesia yangmencapai 2.408 pulau. Berikut daftar provinsi yangkonsisten sebagai provinsi dengan kategori mema-dai dan kurang memadai dari tahun 2006, 2008,2011, dan 2014.

Daftar provinsi yang konsisten berada di kategoriinfrastruktur memadai:

– DKI Jakarta– Jawa Barat– Jawa Tengah– Jawa Timur– DI Yogyakarta– Banten– Bali

Daftar provinsi yang konsisten berada di kategoriinfrastruktur kurang memadai:

– Kalimantan Barat– Kalimantan Tengah– Kalimantan Timur– Maluku– Maluku Utara– Papua Barat– Papua

Pengategorian IPI dalam penelitian ini merupa-kan pengategorian yang statis. Hal ini terlihat daritahun 2008 ke 2011 dan tahun 2011 ke 2014 tidakada perubahan atau perpindahan provinsi ke kate-

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 21: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 53

gori yang lebih baik atau sebaliknya. Selain karenapenggunaan penimbang luas wilayah yang cende-rung konstan dari tahun ke tahun, pengadaan infra-struktur membutuhkan waktu yang tidak singkat.Dengan demikian, perubahan jumlah infrastrukturyang tidak signifikan, tidak akan cepat mengubahkategori ketersediaan infrastruktur provinsi terse-but.

Dekomposisi Indeks KompositPembangunan Infrastruktur MenurutDimensi Pembentuknya

Melakukan dekomposisi atau penguraian kembalidimensi pembentuk IPI bertujuan untuk melihatkonsistensi dimensi dalam membentuk indeks kom-posit melalui keterkaitannya. Grafik klaster batangdigunakan untuk melihat keterkaitan ini. Warna hi-tam pekat, abu-abu pekat, dan abu-abu pudar padagrafik menunjukkan secara berturut-turut bahwaprovinsi tersebut berkategori infrastruktur yangmemadai, cukup memadai dan kurang memadai.Namun, secara vertikal menunjukkan besarnya skorsetiap provinsi dalam dimensi tertentu.

Gambar 6 cukup menunjukkan bahwa skor di-mensi kesehatan memiliki hubungan yang linierdengan IPI. Hal ini terlihat dari provinsi dengan in-deks infrastruktur yang memadai (berwarna pekat)berada di daerah dengan skor dimensi kesehatanyang positif (di atas). Artinya hampir semua pro-vinsi dengan pencapaian pembangunan yang baikmemiliki skor kesehatan yang baik pula.

Hampir sama dengan dimensi kesehatan, dimen-si ekonomi memiliki hubungan yang linier denganindeks komposit. Provinsi dengan IPI yang tinggiselalu memiliki skor ekonomi yang tinggi pula, halini terlihat dari degradasi warna yang teratur da-ri atas ke bawah yang makin memudar (Gambar7). Dilihat dari pengaruh antardimensi terhadapterbentuknya indeks komposit pencapaian pemba-ngunan, kedua dimensi ini memiliki peranan yang

sama pentingnya. Terbukti dari kedua grafik clusterbatang (Gambar 6 dan 7), dimensi kesehatan danekonomi memiliki hubungan yang linier terhadappencapaian pembangunan infrastruktur Indonesia.Dengan kata lain, kedua dimensi ini harus tetapselaras dan seimbang dalam hal pemenuhan keter-sediaannya.

Kesimpulan

Penelitian ini memberikan beberapa rekomenda-si, baik bagi penelitian selanjutnya maupun bagipemerintah,terkait dengan kebijakan keberlanjut-an ketersediaan infrastruktur, yaitu pertama, untukpenelitian yang akan datang, dapat dilakukan pe-ngembangan dalam metode yang digunakan dalamproses standarisasi dengan patokan yang seragamsehingga selain bisa dibandingkan antarprovinsibisa juga diperbandingkan antarwaktu. Selain itu,dapat pula menambahkan dimensi dalam pemben-tukan indeks pencapaian pembangunan infrastruk-tur sehingga makin kompleks lagi dimensi yangdapat digambarkan oleh indeks tersebut seperti hal-nya dimensi transportasi. Kedua, bagi pemerintah,baik pusat maupun daerah, pengambilan kebijakandapat didasarkan pada karakteristik ketersediaandimensi infrastruktur tiap provinsi. Sebagai contoh,walaupun infrastruktur ekonomi Provinsi Bali sa-ngat baik namun infrastruktur kesehatannya jatuhdi bawah rata-rata nasional sehingga perlu diambilkebijakan yang mendukung pengadaan infrastruk-tur kesehatan. Selain itu, pengambilan kebijakandapat didasarkan pada kategori pencapaian pemba-ngunan infrastrukturnya. Seperti halnya prioritaspembangunan yang mulai perlahan-lahan disebar-kan ke daerah timur Indonesia, menjadi salah satulangkah yang tepat dalam memulai pemerataan in-frastruktur karena sebagian besar provinsi dengankategori infrastruktur kurang memadai tersebar diwilayah timur Indonesia.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 22: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur...54

Gambar 6: Diagram Klaster Batang Skor Kesehatan Seluruh Provinsi Tahun 2014Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Daftar Pustaka

[1] Amrullah, T. (2006). Analisis pengaruh pembangunan infra-struktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia(Disertasi). Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

[2] Badruddin, S. (2009, 19 Maret). Teori dan indikator pem-bangunan. Diakses 24 Juli 2017 dari https://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/.

[3] Barika. (2012). Analisis ketimpangan pembangunan wila-yah kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu tahun 2005–2009.Jurnal Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan, 4(3), 1-11.

[4] Bulohlabna, C. (2008). Tipologi dan pengaruh infrastruk-tur terhadap pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia(Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[5] Dikun, S. (2003). Infrastruktur Indonesia: Sebelum, selama danpasca krisis. Jakarta: Kementerian Negara PPN/BAPPENAS.

[6] Indrawan, M. I. (2008). Analisis kondisi infrastruktur pere-konomian terhadap produktivitas dunia usaha Kota Medan.Jurnal Imliah Abdi Ilmu, 1(1), 75-80.

[7] Latuconsina, Z. M. Y. (2017). Analisis faktor-faktor yangmempengaruhi indeks pembangunan manusia KabupatenMalang berbasis pendekatan perwilayahan dan regresi pa-nel. Journal of Regional and Rural Development Planning, 1(2),202-216. doi: https://doi.org/10.29244/jp2wd.2017.1.2.202-216.

[8] OECD. (2008). Handbook on constructing compositeindicators: methodology and user guide. Organisationfor Economic Co-operation and Development. Di-akses 24 Juli 2015 dari https://www.oecd.org/els/soc/handbookonconstructingcompositeindicatorsmethodologyanduserguide.htm.

[9] Pamungkas, B. T. (2009). Pengaruh infrastruktur ekonomi,sosial dan administrasi/institusi terhadap pertumbuhan provinsi-provinsi di Indonesia (Skripsi). Jakarta: Departemen IlmuEkonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

[10] Parris. (1999). OECD Agri-Environmental Indicators: Workin Progres. Information Paper No. 2. Joint ECE/Eurostat WorkSession on Methodological Issues of Environment Statistics,

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55

Page 23: Indeks Komposit Pembangunan Infrastruktur Provinsi

Faradis, R., & Afifah, U. N. 55

Gambar 7: Diagram Klaster Batang Skor Ekonomi Seluruh Provinsi Tahun 2014Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Ma’ale Hachamisha, Israel 11-14 Oktober 1999.[11] Posumah, F. (2015). Pengaruh pembangunan infrastruktur

terhadap investasi di Kabupaten Minahasa Tenggara. JurnalBerkala Ilmiah Efisiensi, 15(2), 1-13.

[12] Prapti NSS, L. P., Suryawardana, E., & Triyani, D. (2015).Analisis dampak pembangunan infrastruktur jalan ter-hadap pertumbuhan usaha ekonomi rakyat di Kota Se-marang. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 17(2), 82-103. doi:http://dx.doi.org/10.26623/jdsb.v17i1.505.

[13] Pratiwi, A. (2009). Pengelompokan provinsi di Indonesia berda-sarkan indeks komposit keberlanjutan ketersediaan beras (Skri-psi). Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

[14] Pratomo, D., & Sumargo, B. (2016). Sebuah alternatif: BetterLife Index sebagai ukuran pembangunan multidimensi diIndonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 16(2),123-140. doi: https://doi.org/10.21002/jepi.v16i2.597.

[15] Sembanyang, L. K. B. (2011). Analisis keterkaitan ke-tersediaan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomidi Indonesia: Pendekatan analisis Granger Causality. JE-JAK: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan, 4(1), 14-22. doi: ht-tps://doi.org/10.15294/jejak.v4i1.4637.

[16] Sukwika, T. (2018). Peran pembangunan infrastrukturterhadap ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indo-nesia. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 6(2), 115-130. doi:https://doi.org/10.14710/jwl.6.2.115-130.

[17] Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2004). Pembangunan ekonomidi dunia ketiga [Edisi Kedelapan]. Jakarta : Erlangga.

[18] Yandrizal, Y., Suryani, D., Anita, B., & Febriawati, H. (2014).Analisis ketersediaan fasilitas kesehatan dan pemerataanpelayanan pada pelaksanaan jaminan kesehatan nasionaldi Kota Bengkulu, Kebupaten Seluma dan Kabupaten Ka-ur. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 3(2), 103-112. doi:https://doi.org/10.22146/jkki.36383.

[19] Zuvia. (2012). Analisis pengaruh infrastruktur terhadap pereko-nomian koridor ekonomi Indonesia periode sebelum krisis (tahun1986-1997) dan setelah krisis (tahun 2000-2010) (Skripsi). Ja-karta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

JEPI Vol. 20 No. 1 Januari 2020, hlm. 33–55