60
LAPORAN KASUS ANESTESI GENERAL ANESTESI PADA PASIEN SDH Disusun oleh: - Ineke Anggreani, S.Ked (20070710010) - Rivaldi Jovian, S.Ked (20070710011) Pembimbing: dr. Tjangeta Liempy, Sp.An dr. Eka Purwanto, Sp. An

Iniiii fififi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Erorrr

Citation preview

Page 1: Iniiii fififi

LAPORAN KASUS ANESTESI

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN

SDH

Disusun oleh:

- Ineke Anggreani, S.Ked (20070710010)

- Rivaldi Jovian, S.Ked (20070710011)

Pembimbing:

dr. Tjangeta Liempy, Sp.An

dr. Eka Purwanto, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 7 JANUARI – 2 FEBRUARI 2013

Page 2: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang

berjudul “General Anestesi pada Pasien SDH” dengan baik dan tepat waktu.

Tujuan penulisan laporan kasus ini agar pembaca dapat mengenal mengenai

tindakan anestesi pada pasien yang dilakukan tindakan kraniotomi.

Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis mengalami beberapa kesulitan.

Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat

terselesaikan. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada

dr. Tjangeta Liempy, Sp.An sebagai dokter pembimbing yang telah menuntun

penulis sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.

Sebagai seorang mahasiswa, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan

saran yang bersifat membangun agar laporan kasus ini menjadi lebih baik dan

berdaya guna di masa yang akan datang.

Akhir kata, harapan penulis semoga laporan kasus yang sederhana ini dapat

bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 14 Januari 2013

Penulis

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak iFakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 3: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Daftar Isi

Kata Pengantar...............................................................................................................i

Daftar Isi.......................................................................................................................ii

Daftar Gambar.............................................................................................................iii

Bab I Pendahuluan.......................................................................................................1

Bab II Laporan Kasus...................................................................................................2

Bab III Tinjauan Pustaka............................................................................................16

Bab IV Pembahasan Kasus.........................................................................................30

Bab V Kesimpulan......................................................................................................35

Daftar Pustaka

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak iiFakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 4: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Daftar Gambar

Gambar 3. 1 Anatomi otak........................................................................................18

Gambar 3. 2 Sirkulus Wilisi.....................................................................................20

Gambar 3. 3 Hukum Monroe-Kellie.........................................................................21

Gambar 3. 4 Glasgow Coma Scale...........................................................................22

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak iiiFakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 5: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Bab I

Pendahuluan

Cedera akibat trauma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di

dunia. Untuk cedera kepala diperkirakan sebanyak 1,4 juta orang meninggal di

Amerika setiap tahunnya, 50.000 pasien meninggal langsung ditempat sebelum dapat

dibawa ke rumah sakit. Pada penanganan pasien dengan trauma kepala, seluruh

tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan secara serentak.

Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi unsur keterlewatannya evaluasi unsur

vital. Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater

dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena

bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Pertimbangan utama dalam

memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan anestesi, adalah pengaruhnya

terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin

berakibat peninggian TIK. Maka dari itu laporan kasus ini dibuat dengan harapan

dapat memberikan informasi bagi para pembaca agar dapat memilih tindakan

anestesi yang tepat pada pasien-pasien cedera kepala yang dilakukan kraniotomi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 1Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 6: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Bab II

Laporan Kasus

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : laki-laki

Usia : 20 tahun

Alamat : Cileduk, Tangerang

Agama : Islam

No. MR : 31 06 83

ANAMNESIS

[Alloanamnesis dengan orang tua pasien pada tanggal 13 Januari 2013]

Keluhan utama:

Nyeri kepala akibat terjatuh sejak 13 jam SMRS.

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien rujukan dari RS Pasar Rebo. Pasien jatuh dari ketinggian ± 2 meter jam 3 dini

hari. Pasien langsung jatuh ke aspal dengan kepala terbentur terlebih dahulu. Saat itu,

ia langsung dibawa ke RS Pasar Rebo dengan keadaan tidak sadarkan diri. Pasien

tidak mengingat kejadian saat ia jatuh. Dikarenakan ICU penuh, pasien dirujuk ke

RSMC. Pasien mengeluhkan nyeri kepala, nyeri bahu kanan dan kiri, punggung

bagian atas. Pasien tidak mengeluhkan sesak. Pasien juga mengeluhkan mual dan

muntah sebanyak 4x, ± 3 sendok makan/muntah, berupa makanan dan darah.

Riwayat penyakit dahulu:

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 2Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 7: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Pasien belum pernah menjalani prosedur pembedahan. Riwayat alergi terhadap obat-

obatan atau makanan tertentu disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, dan asma dalam keluarga disangkal.

Riwayat obat-obatan:

Pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau vitamin tertentu, baik

dari dokter ataupun beli sendiri. Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 13 Januari 2013)

Status Generalis:

Keadaan umum : nampak sakit berat

Kesadaran : compos mentis (GCS E4V5 M6)

GCS di RS Pasar Rebo: E2 V3 M5

Tanda-tanda vital :

TD : 120/70 mmHg Suhu : 37.50C

HR : 66 x/menit RR : 20 x/menit

Head to Toe Examination

Kepala : Lesi (+), massa (-)

Mata : Palpebra dextra edema, konjungtiva anemis (-/-), sklera

ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+),

pupil bulat anisokor ø 4 mm/3 mm.

Telinga : ADS tampak simetris, lesi (-), discharge (-)

Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-)

Mulut : Mukosa bibir lembab, lesi (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tyroid (-)

deviasi trakea (-), lessi (-), massa (-)

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 3Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 8: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Pulmo : Inspeksi : Dada tampak simetris saat statis dan

dinamis, lessi (-), massa (-), retraksi (-)

Palpasi : Taktil fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : Kedua lapang paru sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-),

wheezing (-/-)

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS IV,

linea midklavikularis kiri.

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : Perut datar, lessi (-), massa (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani pada seluruh lapang

abdomen

Ekstremitas : Akral hangat, lessi (-), massa (-), edema (-),

capillary refill < 2 detik

Status Lokalis :

Regio frontalis dextra

Inspeksi

:Tampak perban kassa, perdarahan (-), setelah dibuka tampak VE multipel dan hecting 1 jahitan, perdarahan aktif (-), luka kotor

Palpasi : Nyeri tekan (+)

Regio zygomaticum dextra

Inspeksi

:Tampak VE berukuran 4x3 cm, perdarahan aktif (-), edema (+), hematoma (-), luka kotor

Palpasi : Nyeri tekan (+)

Regio glenohumerale

Inspeksi

: Tampak VE berukuran 2x2 cm, luka kotor, perdarahan (-), hematoma (-), edema (-)

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 4Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 9: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

dextra Palpasi : Nyeri tekan (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Hematologi

Hemoglobin 13.2 13 ‒ 17 g/dL

Hematokrit 38 37 ‒ 54 %

Leukosit 18.9 5 ‒ 10 103/µL

Basofil

Eosinofil

Batang

Segment

Limfosit

Monosit

0

1

3

78

12

6

0 ‒ 1

2 ‒ 4

3 ‒ 5

50 ‒ 70

25 ‒ 40

2 ‒ 6

%

%

%

%

%

%

Thrombosit 195 150 ‒ 400 103/µL

LED 10 0 ‒ 10 mm/ jam

Waktu Perdarahan 2.00 1 ‒ 3 Menit

Waktu Pembekuan 5.00 2 ‒ 6 Menit

Golongan Darah B/+

Glukosa Sewaktu 156 < 200 mg/dL

SGOT 23 < 50 µ/L

SGPT 10 < 50 µ/L

Ureum 24 20 - 50 mg/dL

Creatinin 0,7 < 1 mg/dL

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 5Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 10: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

EKG

Kesan: normal

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 6Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 11: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 7Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 12: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

CT scan kepala non kontras

Kesan: SDH temporal sextra

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 8Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 13: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

X-Ray Thorax AP

Kesan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan

DIAGNOSA

- ASA grade III

- CKS + SDH temporal dextra

PENATALAKSANAAN

Kraniotomi dengan general anestesi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 9Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 14: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

LAPORAN ANESTESI

Diagnosis Pre.Op :

CKS + SDH temporal dextra

Rencana Tindakan :

Kraniotomi

Tanda-tanda Vital :

TD : 130/70 mmHg HR : 78 x/m

Rr : 20 x/m Suhu : 36.8 0C

BB : 55 kg TB :

Rencana Anestesi :

General Anestesi

Obat-obat yang sedang

dikonsumsi

:

Tidak ada

Tanggal Operasi : 14/1/13

Kamar Operasi No. : 3

Ahli Bedah : Dr. Yossi, Sp.BS

Ahli Anestesi : Dr. Tjangeta Liempy, Sp.An

Riwayat Anestesi dan

Komplikasi

:

Tidak ada

Riwayat Alergi :

Tidak ada

Jalan nafas/ Gigi geligi/ Leher :

Jalan nafas bebas, pernafasan spontan.

Gigi palsu (-).

Mallampati score sulit dinilai. Leher cukup panjang.

Anamnesa dari :

Keluarga pasien

Anamnesis Komentar Diagnosis Penunjang

Respiratory Merokok :

Ya

CT scan kepala non kontras

SDH temporal dextra

ECG

Asma - Productive cough -

Bronchitis - Recent URI -

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 10Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 15: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

COPD - SOB -

Dyspnea - Tuberculosis -

Orthopnea - Pneumonia -

Tidak √

Jumlah ...

bungkus per hari

Normal

X Ray

COR dan pulmo baik

Pulmonary Studies

Others

Cardiovascular Alkohol :

Ya

Tidak √

Abnormal ECG - Hypertension -

Angina - MI -

ASHD - Murmur -

CHF - Pacemaker -

Dysrythmia - Rheumatic Fever -

Excercise Tolerance -

Valvular disease -

Gastrointestinal and Hepatology

Bowel obstruction -

Cirrhosis -

Hepatitis/ Jaundice -

Hiatal Hernia/ Reflux -

Nausea and Vomitting -

Ulcers -

Neuro/ Musculoskeletal Pemeriksaan Lab

Artritis - Muscle weakness -

Back Problems -

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 11Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 16: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Neuromuscular Dis -

CVA/ Stroke/ TIA -

Paralysis - DJD -

Paresthesia + Headache/ ICP +

Syncope + Seizures -

Loss of conciousness +

Renal/ Endocrine

Diabetes -

Renal Failure/ Dialysis -

Thyroid Disease -

Urinary Retention -

Urinary Tract Infection -

Weight Loss/ Gain -

Other Patient ASA

1 2 3 4 5

6 E

Anemia - Immunosuppresed -

Bleeding Tendencies -

Pregnancy - Cancer -

Sickle Cell Disease/ Traits -

Chemotherapy -

Recent Steroids - Dehydration -

Transfusion History -

Hemophillia -

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 12Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 17: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Riwayat Operasi

Sebelumnya

:

Jenis Operasi : Jenis Anestesi :

1 - 1 -

2 - 2 -

3 - 3 -

Pasien puasa sejak pukul 00.00 (± 8 jam);

Premedikasi : Pukul 08.35

Obat : SA 0.25 mg; Midazolam 2,5

mg; Fentanyl 50 µg

Rute : Intravena

Hasil : Baik

PERI-OPERATIF

Alat dan bahan disiapkan

Jam Tindakan08.35 Pasien diinduksi dengan anestesi inhalasi O2 : Halothane = 5 L : 4 Vol%

melalui sungkup wajah (face mask).

dipasangkan satu IV line lagi pada kaki kanan (tangan kanan sudah terpasang IV line) dan keduanya diberikan cairan RL

pulse oxymetry dipasang di ibu jari tangan kiri pasien dan layar monitor dinyalakan.tekanan darah 145/65 mmHg, laju nadi 72 kali per menit.disuntikkan SA 0,25 mg dan Midazolam 2,5 mg.disuntikan Fentanyl 50 μg IV sebagai analgetik.

rumatan anestesi dilakukan melalui face mask menggunakan gas anestesi N2O : O2 : Halothane : Enflurane = 2L : 3L : 1.5 Vol% : 2 Vol%.

diberikan Propofol 110 mg dan noveron 30 mg. Kemudian dilakukan intubasi dengan memakai ETT nomor 7, cuff (+).

08.40 tekanan darah 102/58 mmHg, laju nadi 122 kali per menit.diberikan dexamethason 5 mg, ondansentron 4 mg, dan transamin 500 mg.

08.45 tekanan darah 108/54 mmHg, laju nadi 108 kali per menit.08.50 tekanan darah 83/42 mmHg, laju nadi 108 kali per menit.

cairan RL di tangan habis, diganti kolf RL yang baru (II)08.55 tekanan darah 110/82 mmHg, laju nadi 108 kali per menit.09.00 tekanan darah 116/72 mmHg, laju nadi 102 kali per menit.09.05 tekanan darah 109/60 mmHg, laju nadi 120 kali per menit.

diberikan Noveron 10 mgcairan RL kaki habis, diganti kolf RL yang baru (III)

09.10 tekanan darah 96/55 mmHg, laju nadi 108 kali per menit.09.15 tekanan darah 98/52 mmHg, laju nadi 102 kali per menit.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 13Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 18: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

09.20 tekanan darah 95/58 mmHg, laju nadi 102 kali per menit.09.25 tekanan darah 110/70 mmHg, laju nadi 115 kali per menit.09.30 tekanan darah 99/52 mmHg, laju nadi 104 kali per menit.09.35 tekanan darah 110/60 mmHg, laju nadi 98 kali per menit.

diberikan Noveron 10 mg dan fentanyl 25 µg09.40 tekanan darah 106/52 mmHg, laju nadi 106 kali per menit.09.45 tekanan darah 104/58 mmHg, laju nadi 100 kali per menit.

cairan RL di tangan habis, diganti Manitol 400 mL09.50 tekanan darah 105/58 mmHg, laju nadi 98 kali per menit.

cairan RL di kaki habis, diberikan NaCl 200 mL sebelum dilakukan transfusi09.55 tekanan darah 102/60 mmHg, laju nadi 102 kali per menit.10.00 tekanan darah 108/62 mmHg, laju nadi 105 kali per menit.10.05 tekanan darah 98/54 mmHg, laju nadi 105 kali per menit.

diberikan Noveron 10 mg10.10 tekanan darah 100/60 mmHg, laju nadi 110 kali per menit.10.15 tekanan darah 99/58 mmHg, laju nadi 108 kali per menit.10.20 tekanan darah 108/62 mmHg, laju nadi 103 kali per menit.

kolf NaCl diganti PRC 195 mL10.25 tekanan darah 101/62 mmHg, laju nadi 101 kali per menit.10.30 tekanan darah 100/60 mmHg, laju nadi 104 kali per menit.10.35 tekanan darah 98/60 mmHg, laju nadi 104 kali per menit.10.40 tekanan darah 96/60 mmHg, laju nadi 102 kali per menit.10.45 tekanan darah 98/58 mmHg, laju nadi 98 kali per menit.10.50 tekanan darah 98/58 mmHg, laju nadi 98 kali per menit.10.55 tekanan darah 96/56 mmHg, laju nadi 95 kali per menit.11.00 tekanan darah 95/55 mmHg, laju nadi 95 kali per menit.11.05 tekanan darah 98/62 mmHg, laju nadi 95 kali per menit.

diberikan Noveron 10 mg11.10 tekanan darah 102/66 mmHg, laju nadi 97 kali per menit.11.15 tekanan darah 98/60 mmHg, laju nadi 98 kali per menit.11.20 tekanan darah 97/63 mmHg, laju nadi 89 kali per menit.

diberikan Ranitidin 50 mgPRC habis, diberikan NaCl 200 mL

11.25 tekanan darah 98/62 mmHg, laju nadi 87 kali per menit.11.30 tekanan darah 96/60 mmHg, laju nadi 82 kali per menit.11.35 tekanan darah 100/62 mmHg, laju nadi 80 kali per menit.11.40 tekanan darah 95/65 mmHg, laju nadi 81 kali per menit.11.45 tekanan darah 96/53 mmHg, laju nadi 80 kali per menit.

kolf NaCl diganti WB 1 pack11.50 tekanan darah 100/63 mmHg, laju nadi 79 kali per menit.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 14Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 19: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

diberikan transamine 500 mg11.55 tekanan darah 104/60 mmHg, laju nadi 84 kali per menit.12.00 tekanan darah 106/68 mmHg, laju nadi 76 kali per menit.12.05 tekanan darah 108/67 mmHg, laju nadi 74 kali per menit.

diberikan Ketorolac 30 mg dan Tramadol 100 mg sebagai analgetik12.10 tekanan darah 105/68 mmHg, laju nadi 82 kali per menit.12.15 tekanan darah 115/70 mmHg, laju nadi 78 kali per menit.12.20 tekanan darah 106/64 mmHg, laju nadi 72 kali per menit.12.25 tekanan darah 118/82 mmHg, laju nadi 80 kali per menit.12.30 tekanan darah 116/75 mmHg, laju nadi 69 kali per menit.

diberikan Prostigmin 1 mgWB habis, diganti NaCl

Pukul 12.30: pasien dipindahkan ke ICU.

POST ANESTHETIC RECOVERY (ALDRETTE) SCORE

TIME Adm 1’ 5’ 10’ 15’

Activity Able to move 4 extremities

Able to move 2 extremities

Able to move 0 extremities

2

1

0

0 1 1 1 2

Respiration Able to deep breath and cough freely

Dyspnea or limited breathing

Apneic

2

1

0

1 1 1 1 1

Conciousnes

s

Fully awake

Arousable on calling

Not responding

2

1

0

1 1 1 1 1

Colour Pink

Pale, dusky, blotchy, jaundiced, other

Cyanotic

2

1

0

2 2 2 2 2

Circulation BP ± 20% of pre-anesthetic level

BP ± 20-50% of pre anesthetic level

BP > 50% of pre anesthetic level

2

1

0

2 2 2 2 2

Total 6 7 7 7 8

Intruksi Post Operatif:

Tidur dalam ekstensi kepala 45o

Puasa sampai BU (+)

Cek DL, AGD, elektrolit post op

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 15Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 20: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

IVFD: RL 20 tpm

Mannitol 4 x 125 cc

Medikasi

o I.V. Cefaflox 2 x 1 gr

o Inj. Gentamycin 1 x 160 mg

o Inj. Omeprazole 2 x 1 ampul

o Inj. Transamine 3 x 500 mg

o Vit. K 3 x 1 ampul

o Serfac 2 x 500 mg

o Novalgin drip 10 mg/ 1 kolf

o Ikaphen 3 x 1 ampul

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 16Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 21: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Bab III

Tinjauan Pustaka

Pada penanganan pasien dengan trauma kepala, seluruh tindakan resusitasi,

anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan secara serentak. Pendekatan yang

sistematis dapat mengurangi unsur keterlewatannya evaluasi unsur vital. Jika telah

terjadi suatu trauma kepala, tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan untuk

mengubahnya. Yang dapat dilakukan adalah meminimalisir kerusakan yang muncul

dari komplikasi sekunder[1].

Anatomi dan Fisiologi Kepala

A. Anatomi Kepala

1. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,

connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan

pericranium.

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan

oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi

oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa

media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak

dan serebelum[1].

2. Meningen

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 17Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 22: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu:

a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang

keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan

dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di

bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang

terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai

perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang

berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis

tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-

sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea

terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi

pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling

sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada

fosa temporalis (fosa media).

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus

pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan

dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari

dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia

mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquorserebrospinalis.

Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater

adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 18Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 23: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini

membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri

yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

3. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)

terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan

serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal

mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses

penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular

yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata

terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi

koordinasi dan keseimbangan[3].

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 19Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 24: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Gambar 3. 1 Anatomi otak

4. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, kemudian menuju akuaduktus sylvii

menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui

granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah

dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu

penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata

pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan

sekitar 500 ml CSS per hari.

5. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial

(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial

(berisi fosa kranii posterior).

6. Perdarahan Otak

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 20Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 25: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam

dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar

dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis[1].

Gambar 3. 2 Sirkulus Wilisi

B. Aspek Fisiologis pada kepala

Berbeda dengan organ tubuh lainnya, jaringan otak terdapat dalam rongga

tulang tengkorak yang sifatnya tertutup, kaku, dan tidak elastik. Sebagai

dampaknya, kompartemen intrakranial ini hanya dapat mentoleransi sedikit saja

peningkatan volume sebelum terjadi peningkatan intrakranial yang dramatis.

Konsep ini dijabarkan dalam hukum Monroe-Kellie yang menegaskan bahwa total

volume intrakranial adalah tetap, karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang

tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume

komponen-komponennya, yaitu volume jaringan otak (Vbr), volume cairan

serebrospinalis (Vcsf) dan volume darah (Vbl).

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 21Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 26: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Pada orang dewasa, volume intrakranial normalnya sekitar 1500ml dimana

85-90% merupakan jaringan otak, 10% merupakan volume darah intravaskular

serebral dan sisanya kurang dari 3% merupakan volume cairan serebrospinal. Saat

terjadi cedera kepala dan timbul edema pada jaringan otak, volume relatif jaringan

otak akan bertambah. Karena volume intrakranial sifatnya tetap, maka tekanan

dalam kompartemen intrakranial (Intracranial Pressure) akan meningkat kecuali

bila terjadi mekanisme kompensasi, misalnya dengan terjadinya penurunan

volume dari komponen intrakranial lainnya. Hal ini akan erat kaitannya dengan

konsep perubahan tekanan intrakranial[2].

Gambar 3. 3 Hukum Monroe-Kellie

Klasifikasi Trauma Kepala

Secara sederhana, trauma kepala dibagi berdasar mekanisme, keparahan dan

morfologi. Berdasar mekanisme, trauma kepala dibagi menjadi trauma tumpul atau

tajam. Berdasarkan keparahan cedera, trauma kepala dibagi dalam ringan (GCS 14-

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 22Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 27: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

15), sedang (GCS 9-13) atau berat (GCS 3-8). Karenanya penilaian kesadaran

berdasarkan Glasgow Coma Scale sangatlah penting pada pasien-pasien dengan

cedera kepala.

Gambar 3. 4 Glasgow Coma Scale

Kemajuan teknologi pencitraan telah memungkinkan pengklasifikasian

kerusakan otak berdasarkan morfologinya menjadi fokal dan difus, walaupun

mungkin saja terdapat keduanya. Berdasarkan morfologinya trauma kepala dapat

dibagi menjadi:

1. Fraktura tengkorak

a. Kalvaria

1. Linear atau stelata

2. Depressed atau nondepressed

3. Terbuka atau tertutup

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 23Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 28: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

b. Dasar tengkorak

1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS

2. Dengan atau tanpa paresis N VII

2. Lesi intrakranial

a. Fokal

1. Epidural

2. Subdural

3. Intraserebral

b. Difusa

1. Komosio ringan

2. Komosio klasik

3. Cedera aksonal difusa

Subdural Hematoma

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater

dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena

bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan

dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau

tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya

sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas

umumnya sekitar 60%[4], namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang

sangat segera dan pengelolaan medis agresif[3].

Berdasarkan patogenesisnya perdarahan ini tidaklah selalu disebabkan oleh

cedera kepala, namun dapat pula karena hal lain, misalnya pecahnya aneurisma atau

malformasi pembuluh darah subdural, atau dapat pula terjadi karena adanya kelainan

pembekuan darah.

Berdasarkan perjalanan waktu terjadinya gejala akibat perdarahan ini,

hematoma subdural dibagi menjadi tiga, yakni:

1. Hematoma subdural akut

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 24Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 29: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Merupakan hematoma subdural dengan gejala klinis yang timbul segera atau

beberapa jam atau bahkan sampai 3 hari setelah terjadinya trauma. Umumnya

disebabkan oleh robeknya pembuluh darah arteri yang menyertai fraktur

tulang tengkorak. Pada pemeriksaan CT scan akan didapatkan gambaran

hiperdens berbentuk konkaf atau disebut juga sebagai cresentic sign. Akan

tetapi seandainya penderita mengalami anemia berat, atau darah bercampur

dengan cairan serebrospinal maka gambaran dapat menjadi isodens atau

bahkan hipodens

2. Hematoma subdural subakut

Hematoma yang terjadi memberikan gejala setelah 4 sampai 10 hari pasca

trauma. Pada pemeriksaan dengan CT scan gambaran perdarahan yang

dijumpai umumnya lebih tebal dibandingkan dengan hematoma akut, dan

akan memberikan campuran gambaran hipodens, isodens.

3. Hematoma subdural kronik

Pada keadaan ini gejala klinis muncul baru setelah lebih dari 10 hari, bahkan

sampai beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala. Hematoma ini

umumnya dialami oleh penderita lanjut usia atau peminum alcohol kronis

dimana telah terjadi atrofi jaringan otak sehingga jarak permukaan korteks

dan sinus vena menjadi lebih lebar dan sebagai dampaknya menjadi lebih

rentan terhadap guncangan. Pada pemeriksaan dengan CT scan akan dijumpai

gambaran hematoma hipodens, hal ini disebabkan karena kandungan besi

dalam darah itu telah difagositosis.

Manajemen Pasien dengan Trauma Kepala

Pasien yang datang dengan trauma kepala, khususnya yang dalam keadaan

koma, memerlukan penatalaksanaan segera dengan prioritas yang sesuai. Pada cedera

kepala sering terjadi gangguan terhentinya pernafasan yang sementara. Apnea yang

berlangsung lama sering merupakan penyebab kematian langsung di tempat

kecelakaan.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 25Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 30: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Aspek yang sangat penting pada penatalaksanaan segera penderita cedera

kepala berat ini adalah Intubasi endotrakeal. Penderita mendapat ventilasi dengan

oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat

dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2[5].

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera

kepala berat. Walaupun hal ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi

asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah

berdilatasi, tindakan hiperventilasi ini tidak selalu menguntungkan. Hiperventilasi

dapat dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala berat yang

menunjukkan perburukan GCS atau timbulnya dilatasi pupil. pCO2 harus

dipertahankan antara 25-35 mmHg (3,3-4,7 kPa).

Hipotensi dan hipoksia adalah penyebab utama terjadinya perburukan pada

penderita cedera kepala berat. Karenanya bila terjadi hipotensi maka harus segra

dilakukan tindakan untuk menormalkan tekanan darahnya. Hipotensi biasanya tidak

disebabkan oleh cedera otak itu sendiri keduali pada stadium terminal medulla

oblongata sudah mengalami gangguan.

Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan adanya

kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Penyebab lainnya

adalah Trauma Medula Spinalis (Tetraplegia atau Paraplegia), kontusio jantung atau

tamponade jantung dan tension pneumothorax.

Pada pasien dengan trauma kepala, seringkali anamnesis tidak didapat dari

pasien melainkan dari keluarga atau orang lain yang melihat kejadian trauma

tersebut. Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain adalah :

Terjadinya penurunan kesadaran

Terjadinya amnesia pasca trauma

Penyebab trauma

Keluhan nyeri kepala dan muntah

Pada pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ialah :

Kesadaran dan tanda vital

Refleks pupil dan pergerakan bola mata

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 26Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 31: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Kelemahan pada ekstremitas

Tanda fraktur basis cranii

Laserasi dan hematoma

Pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya adalah :

Pemeriksaan lab rutin

Pemeriksaan radiologis, berupa foto rontgen kepala dan bagian tubuh lain

yang diperlukan. Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT

scan atau MRI.

Anestesi pada cedera kepala

Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-

obatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang

menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian

TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal

ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator kuat dan karenanya secara umum

dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi

dapat meninggikan aliran darah serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi

volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua meninggikan aliran darah

serebral, namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah. Isofluran paling

sedikit kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek

vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik tidak bermakna, dan karenanya

dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera

kepala[6].

Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan

oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan

mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan

membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila

selama operasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori terhadap

hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg)

harus digunakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 27Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 32: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

hipovolemik, karenanya harus digunakan hati-hati. Sebagai pilihan terakhir,

penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau nitroprussida

(Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting untuk memastikan

penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat kompresi leher dan

adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi kraniotomi[5].

Definisi Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial adalah peningkatan tekanan otak normal.

Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan cairan

serebrospinal. Juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam masalah otak

yang disebabkan oleh lesi (seperti tumor) atau pembengkakan di dalam materi otak

itu sendiri. Peningkatan tekanan intrakranial adalah masalah medis serius. Tekanan

itu sendiri dapat merusak sistem saraf pusat dengan menekan struktur otak yang

penting dan dengan membatasi aliran darah melalui pembuluh darah yang memasok

otak. Penyebab umum termasuk: Aneurisma pecah dan pendarahan subarachnoid,

tumor otak, pendarahan otak hipertensi, pendarahan, cedera kepala parah.

Manifestasi Klinik

a. Muntah

b. Sakit kepala

c. Perubahan kepribadian

d. Diplopia

e. Papil edema

f. Pembesaran lingkar kepala

g. Ubun ubun besar membonjol

h. Trias Cushing :bradikardi, hipertensi,pernafasan ireguler.

i. Herniasi otak

Diagnosa

a. Anamnesa

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 28Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 33: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

b. Tanda vital : suhu, pola dan laju pernafasan, tekanan darah , tekanan dan

frekwensi nadi

c. Pemeriksaan Fisik

d. Pemeriksaan neurologis lengkap

e. Tingkat kesadaran

f. Syaraf cranial

g. Fungsi motorik : tonus otot, kekuatan

h. Reflek fisiologis dan patologis

i. Pemeriksaan penunjang

- CT Scan/ MRI kepala

j. Pemeriksaan lain seperti darah rutin, studi koagulasi atas indikasi.

Penatalaksanaan

Tujuan

a. Menurunkan tekanan intracranial

b. Memperbaiki aliran darah otak

c. Mencegah dan menghilangkan herniasi

Tatalaksana

a. Mengurangi volume komponen-komponen otak

1. Volume darah

o Hiperventilasi

o Pemberian obat-obatan anestesi menyebabkan vasokonstriksi .

o Analgesik,sedative

o Mencegah hipertemi ( menurunkan metabolisme otak )

2. Jaringan otak

o Manitol

o Deksametason

3. Cairan serebrospinal

o Furosemide

o Asetazolamid

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 29Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 34: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

b. Mempertahankan fungsi metabolik otak

o Tekanan O2 90-120 mmHg

o Atasi kejang

o Jaga keseimbangan elektrolit dan metabolic

o Kadar Hemoglobin dipertahankan 10 mg/dl.

o Mempertahankan MAP dalam batas normal

c. Menghindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial

1. Pengelolaan pemberian cairan

o Keseimbangan cairan

Diuresis > 1ml/kgbb/jam

2. Posisi kepala

Penatalaksanaan intubasi pada pasien dengan peningkatan tekanan

intracranial

Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE

(primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP memerlukan

intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi

airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi

ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan

tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena

sehingga akan meningkatkan ICP.

Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan

usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus

dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan

walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar.

Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat

menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui

mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan aliran balik

vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala

adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan

karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 30Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 35: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

fleksi pada leher akan menyebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan

memperlambat aliran balik vena.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 31Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 36: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Bab IV

Pembahasan Kasus

Pada 13 Januari 2013, Tn. A terjatuh dari ketinggian ± 2 meter dan tidak

sadarkan diri. Pasien langsung dibawa oleh keluarga pasien ke RS Pasar Rebo.

Pasien langsung jatuh ke aspal dengan kepala terbentur terlebih dahulu. Pasien tidak

mengingat kejadian saat ia jatuh. Dikarenakan ICU penuh, pasien dirujuk ke RSMC.

Pasien mengeluhkan nyeri kepala, nyeri bahu kanan dan kiri, punggung bagian atas.

Pasien tidak mengeluhkan sesak. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah

sebanyak 4x, ± 3 sendok makan/muntah, berupa makanan dan darah. Dari

pemeriksaan fisik, GCS pada saat di RS Pasar Rebo E2 V3 M5, yang menandakan

merupakan cedera kepala sedang (CKS). Kesadaran pasien saat di RSMC adalah

compos mentis (GCS: E4 V5 M6). Selain itu, ditemukan VE dan nyeri tekan pada

regio frontalis dextra, zygomaticus dextra, dan glenohumeralre dextra. Pada regio

frontalis dextra, terdapat hecting 1 jahitan. Pada pemeriksaan penunjang CT scan

kepala non kontras didapatkan SDH pada temporal kanan. Oleh karena itu, pasien ini

didiagnosis CKS dan SDH temporal dextra. Diagnosis ini ditegakkan melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Tatalaksana SDH adalah kraniotomi. Setelah mendapat persetujuan dari orang

tua pasien (informed consent), pasien dijadwalkan untuk dilakukan kraniotomi pada

14 Januari 2013 pukul 8 pagi. Untuk kepentingan operasi, dilakukan pemeriksaan

laboratorium hematologi berupa darah lengkap dan BT/CT (x-ray thorax sudah

dilakukan di RS Pasar Rebo). Persiapan pre-operatif yang dilakukan pada Tn. A

meliputi: anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan puasa yang

sesuai dengan teori yang ada.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada Tn. A, meliputi darah lengkap

dan BT/CT. Analisa hasil darah ditemukan leukosit meningkat yang menunjukkan

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 32Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 37: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

sedang terjadi peradangan atau infeksi, sedangkan hasil darah yang lain baik. Hasil

pemeriksaan x-ray thorax adalah cor dan pulmo baik, tidak tampak adanya kelainan.

Untuk kepentingan anestesi, pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah

pemeriksaan tanda-tanda vital dan penilaian jalan nafas. Dari pemeriksaan tersebut

ditemukan bahwa tanda-tanda vital baik. Berat badan pasien 55 kg, dan jalan nafas

bebas, nafas spontan, gigi palsu (-), leher cukup panjang. Mallampati score sulit

dinilai karena pasien tidak kooperatif.

Untuk perihal puasa, pasien diinstruksikan untuk puasa 8 jam sebelum operasi.

Menurut literatur, pasien dewasa umumnya puasa selama 6-8 jam. Minuman bening,

air putih, teh manis sampai 3 jam dna untuk keperluan minum obat air putih dalam

jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi intravena. Pantangan masukan oral

(puasa) pada paasien ini sesuai dengan literatur.

Tindakan bedah yang akan dilakukan pada kasus ini adalah kraniotomi dengan

teknik anestesi general anestesi. Alasannya dilakukan teknik general anestesi adalah

tindakan dilakukan di kepala.

Golongan obat premedikasi yang diberikan pada kasus ini adalah midazolam,

atropine, dan fentanyl. Tetapi pada kenyataannya, obat premedikasi ini diberikan

pada saat di ruang operasi sehingga pelaksanaannya tidak sesuai dengan teori yang

ada dimana seharusnya pemberian obat-obatan premedikasi ½-1 jam sebelum obat-

obatan medikasi diberikan. Dosis midazolam yang diberikan sebesar 2,5 mg, dosis

atropine sebesar 0,25 mg, dan dosis fentanyl 50 µg. Menurut literatur, seharusnya

pemberian dosis midazolam (0,05-0,1 mg/kgBB) sebesar 2,75-5,5 mg, dosis atropine

(0,01-0,02 mg/kgBB) sebesar 0,08-0,2 mg, dan dosis fentanyl untuk premedikasi

(10-50 µg/kgBB) sebesar 55-275 µg (berat badan pasien 55 kg).

ASA menentukan monitoring standar untuk anestesia:

Standar 1 : selama anestesia, pasien harus diawasi oleh personel anestesi yang

berkualitas.

Standar 2 : selama anestesia, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu harus

dievaluasi secara berkala

Tambahan : kapnometri

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 33Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 38: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Dari ketentuan ASA, dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 hal yang harus

diperhatikan pada standar 2, yaitu:

1. Oksigenasi

Pada kasus ini, monitoring oksigenasi telah dilakukan dengan menggunakan

pulse oxymetry untuk mengetahui kadar SaO2.

2. Ventilasi

Ventilasi aktif yang diberikan pada Tn. A menggunakan ETT yang

disambungkan dengan ventilator. Monitoring ventilasi pada kasus ini dengan cara

inspeksi abdomino-thorakal.

3. Sirkulasi

Pada kasus ini, monitoring sirkulasi yang dilakukan adalah pemantauan nadi dan

tekanan darah.

4. Suhu

Pada kasus ini, tidak dilakukan pengukuran suhu tubuh secara berkala.

Pasien diinduksi dengan cara inhalasi menggunakan N2O, O2, halotan, dan

enflurance melalui intubasi ETT. Cairan diberikan RL, NaCl, dan mannitol serta

darah PRC dan whole blood. Obat-obatan medikasi yang diberikan pada kasus ini,

antara lain:

Propofol 110 mg bolus iv diberikan untuk induksi

Dosis propofol (menurut literatur): 2-3 mg/kgBB

Jika berat Tn. A 55 kg, maka dosisi yang seharusnya diberikan sebesar 110-165

mg dosis yang diberikan sesuai.

Noveron 30 mg bolus iv untuk awal dan 10 mg untuk rumatan diberikan untuk

relaksasi otot

Dosis noveron (menurut literatur): dosis awal 0,6-1 mg/kgBB; dosis rumatan 0,1-

0,2 mg/kgBB

Jika berat Tn. A 55 kg, maka dosisi yang seharusnya diberikan sebesar: untuk

dosis awal 33-55 mg dan dosis rumatan 5,5-11 mg dosis awal yang diberikan

tidak sesuai, sedangkan dosis rumatan yang diberikan sesuai.

Dexamethasone 5 mg bolus iv untuk peradangan

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 34Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 39: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Dosis dexamethason (menurut literatur): 0,1-0,5 mg/kg.

Jika berat Tn. A 55 kg, maka dosis yang seharusnya diberikan sebesar: 5,5-12,5

mg. dosis yang diberikan sesuai.

Ondansentron 4 mg bolus iv diberikan untuk mengobati rasa mual

Dosis ondansentron (menurut literatur): 0,05-0,1 mg/kgBB

Jika berat Tn. A 55 kg, maka dosisi yang seharusnya diberikan sebesar 2,75-5,5

mg dosis yang diberikan sesuai.

Transamin 500 mg bolus iv diberikan untuk menghentikan perdarahan

Dosis transamin (menurut literatur): 500-1000 mg IV

Maka dosis yang diberikan sesuai.

Fentanyl 25 μg bolus iv diberikan sebagai anti nyeri

Dosis fentanyl (menurut literatur): 1-2 μg/kg.

Jika berat Tn. A 55 kg, maka dosis yang seharusnya diberikan sebesar: 55-110

mcg. dosis yang diberikan tidak sesuai.

Ranitidin 50 mg bolus iv diberikan untuk mengobati gastritis

Dosis ranitidin (menurut literatur): 50 mg setiap 6-8 jam

Maka dosis yang diberikan sesuai.

Ketorolac 30 mg bolus iv diberikan untuk analgetik

Dosis ketorolac (menurut literatur): 10-30 mg untuk dewasa, dapat diulang setiap

4-6 jam, dosis maksimal 90 mg

Makan dosis yang diberikan sesuai.

Tramadol 100 mg drip iv diberikan untuk analgetik

Dosis tramadol (menurut literatur): 50-100 mg, dapat diulang setiap 4-6 jam,

dosis maksimal 400 mg/hari

Maka dosis yang diberikan sesuai.

Prostigmin 1 mg bolus iv diberikan untuk reversal relaksasi otot

Dosis prostigmin (menurut literatur): 0,04-0,08 mg/kgBB

Jika berat Tn. A 55 kg, maka dosisi yang seharusnya diberikan sebesar 2,2-4,4

mg dosis yang diberikan tidak sesuai.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 35Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 40: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

POST ANESTHETIC RECOVERY (ALDRETTE) SCORE

TIME Adm 1’ 5’ 10’ 15’

Activity Able to move 4 extremities

Able to move 2 extremities

Able to move 0 extremities

2

1

0

0 1 1 1 2

Respiration Able to deep breath and cough freely

Dyspnea or limited breathing

Apneic

2

1

0

1 1 1 1 1

Conciousnes

s

Fully awake

Arousable on calling

Not responding

2

1

0

1 1 1 1 1

Colour Pink

Pale, dusky, blotchy, jaundiced, other

Cyanotic

2

1

0

2 2 2 2 2

Circulation BP ± 20% of pre-anesthetic level

BP ± 20-50% of pre anesthetic level

BP > 50% of pre anesthetic level

2

1

0

2 2 2 2 2

Total 6 7 7 7 8

Pasien dipindahkan ke ICU setelah operasi selesai karena pasien memerlukan

alat bantu napas.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 36Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 41: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

Bab V

Kesimpulan

Tn. A datang ke UGD RSMC dengan rujukan dari RS Pasar Rebo. Pasien

terjatuh dari ketinggian ± 2 meter dan tidak sadarkan diri pukul 3 dini hari (13 jam

sebelum masuk RSMC). Saat itu, pasien langsung dibawa oleh keluarga pasien ke

RS Pasar Rebo. Pasien langsung jatuh ke aspal dengan kepala terbentur terlebih

dahulu. Pasien tidak mengingat kejadian saat ia jatuh. Pasien mengeluhkan nyeri

kepala, nyeri bahu kanan dan kiri, punggung bagian atas. Pasien tidak mengeluhkan

sesak. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 4x, ± 3 sendok

makan/muntah, berupa makanan dan darah. Dari pemeriksaan fisik, GCS pada saat di

RS Pasar Rebo E2 V3 M5, yang menandakan merupakan cedera kepala sedang (CKS) .

Pada pemeriksaan penunjang CT scan kepala non kontras didapatkan SDH pada

temporal kanan. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

pasien didiagnosis CKS dan SDH temporal dextra.

Tatalaksana SDH adalah kraniotomi. Guna mengurangi volume perdarahan

otak yang dapat menyebabkan herniasi otak (Hukum Monroe-Kelly).

Golongan obat premedikasi yang diberikan pada kasus ini adalah midazolam,

atropine, dan fentanyl. Obat premedikasi tidak diberikan ½-1 jam sebelum obat-

obatan medikasi diberikan. Dosis obat premedikasi tidak sesuai literatur. Pasien

diinduksi dengan cara inhalasi menggunakan N2O, O2, halotan, dan enflurance

melalui intubasi ETT. Cairan diberikan RL, NaCl, dan mannitol serta darah PRC dan

whole blood.

Obat-obatan medikasi yang diberikan pada kasus ini, yaitu propofol 110 mg

(sesuai), noveron 30 mg untuk awal dan 10 mg untuk rumatan (dosis awal tidak

sesuai, dosis rumatan sesuai), dexamethasone 5 mg (sesuai), ondansentron 4 mg

(sesuai), transamin 500 mg (sesuai), fentanyl 25 μg (tidak sesuai), ranitidin 50 mg

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 37Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 42: Iniiii fififi

Laporan Kasus Anestesi

(sesuai), ketorolac 30 mg (sesuai), tramadol 100 mg (sesuai), prostigmin 1 mg (tidak

sesuai).

Dari hasil evaluasi Aldrette Score, pasien mencapai skor 8 sebelum dibawa ke

ICU. Pasien dirawat di ICU karena pasien memerlukan alat bantu napas.

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnastesiRumah Sakit Marinir Cilandak 38Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 7 Januari – 2 Februari 2013

Page 43: Iniiii fififi

Daftar Pustaka

1. Eka J. Cedera Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Jakarta

2005. Hal: 53-62, 7-9.

2. Andradi S. Penatalaksanaan Konservatif Cedera Kepala. Dalam Wahjoepramono

EJ, Siahaan YM, editor. Kegawatdaruratan Saraf dan Bedah Saraf. Fakultas

Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang, 2004. h.13-27

3. Allan R, Martin S. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Edisi 9.

McGraw Hill Professional. 2009. Hal 230-239

4. Barlow P, Teasdale G: Prediction of outcome and the management of severe

head injuries: The attitudes of neurosurgeons. Neurosurgery 19:989-991,1986

5. Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.

6. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. Edisi 4. McGraw-Hill Companies,

Inc. 2006. 144-149