Upload
buikien
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
WORKING PAPER
INTERBANK MARKET WITH DSGE BANK
Harmanta
Aditya Rachmanto
Fajar Oktiyanto
Idham
Desember, 2014
WP/12 /2014
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis
dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
1
INTERBANK MARKET WITH DSGE BANK
Harmanta, Aditya Rachmanto, Fajar Oktiyanto, Idham
Abstrak
Dalam penelitian ini dibangun model DSGE untuk perekenomian terbuka (small open economy) Indonesia yang telah dilengkapi dengan mekanisme interbank market (pasar interbank) untuk menggambarkan
friksi keuangan dari sisi suplai bank. Dalam suplai tersebut terdapat mekanisme optimasi portfolio oleh bank, yaitu optimasi dalam menyalurkan kredit atau menyimpan dalam risk free asset (aset tanpa risiko). Sementara itu, financial friction yang terjadi di sisi demand dimodelkan dengan collateral constraint dan financial accelerator. Sektor perbankan dalam model juga didesain agar dapat melakukan simulasi bauran kebijakan moneter (BI rate dan nilai tukar) dan kebijakan makroprudensial (CAR requirement dan LTV ratio requirement). Hasil simulasi menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada interbank market akan memengaruhi kondisi bank secara umum, terutama pada bank capital, CAR, dan loan to deposit ratio (LDR). Kondisi neraca bank tersebut akan
mempengaruhi sektor riil. Model ini juga mampu menangkap prosiklikalitas dan financial accelerator yang terjadi akibat adanya financial frictions
dalam perekonomian. GDP akan semakin tinggi saat fase ekspansi jika dibandingkan dengan kondisi tanpa financial frictions, demikian pula
sebaliknya, PDB akan lebih rendah saat terjadi fase kontraksi. Kontraksi pada perekonomian akan direspons oleh bank dengan mengurangi tingkat penyaluran kreditnya, yang disebabkan oleh tingginya risiko yang dihadapi oleh bank, yang juga akan meningkatkan suku bunga kredit bank sehingga entrepreneur semakin sulit menerima pinjaman. Kondisi ini membuat bank
semakin menekan penyaluran kredit untuk mencegah tergerusnya kapital bank. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa shock berupa policy mix
kebijakan moneter dan makroprudensial akan menghasilkan dinamika PDB dan inflasi yang cenderung lebih stabil dibandingkan jika hanya menggunakan satu instrumen kebijakan.
Keywords : monetary policy, DSGE with banking sector, macroprudential policy
JEL Classification : E32, E44, E52, E58
2
I. PENDAHULUAN
Krisis keuangan global yang berlangsung dewasa ini menggarisbawahi
kebutuhan untuk mengembangkan model DSGE yang memiliki hubungan eksplisit
antara sektor riil dan keuangan serta keberadaan sektor perbankan yang aktif.
Model dengan kapasitas tersebut akan memungkinkan dilakukannya evaluasi
empiris dari peran dan perilaku bank dalam mentransmisikan shock yang berasal
dari sisi penawaran ataupun sisi permintaan. Namun, literatur mengenai
permodelan DSGE yang digunakan untuk melakukan formulasi kebijakan
sebagian besar mengabaikan sektor perbankan. Krisis finansial global yang terjadi
memberikan pelajaran mengenai pentingnya hubungan antara sektor riil dan
keuangan dalam model DSGE sebagai fokus perhatian.
Di Indonesia penelitian empiris menemukan bahwa prosiklikalitas dari
sektor keuangan di Indonesia tergolong cukup tinggi. Penelitian dari Agung (2010)
menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit riil lebih cepat dari PDB pada periode
ekspansi. Sebaliknya, penurunan kredit rill yang jauh lebih besar dari penurunan
PDB terjadi pada periode kontraksi. Tingginya prosiklikalitas sektor perbankan di
Indonesia tersebut menuntut perlunya sinergi kebijakan moneter dan kebijakan
makroprudensial untuk memitigasi fluktuasi ekonomi (business cycle) dan siklus
keuangan yang berlebihan.
Penelitian Harmanta et al. (2013) telah memodelkan prosiklikalitas sektor
keuangan dengan menggunakan financial accelerator ala BGG (1999) pada agen
entrepreneurs dan collateral contraints pada agen household. Penelitian itu telah
memodelkan sektor yang didesain sesuai dengan kondisi Indonesia dan telah
mampu melakukan simulasi kebijakan moneter (BI rate) dan nilai tukar serta
kebijakan makroprudensial pada institusi keuangan, dalam hal ini perbankan,
berupa simulasi perubahan CAR requirement dan LTV ratio requirement untuk
household. Namun, penelitian tersebut masih menggunakan homogeneous agent
untuk merepresentasikan sektor perbankan sehingga financial frictions dalam
model baru terjadi pada satu sisi pasar kredit, yaitu sisi demand yang dimodelkan
dengan mekanisme financial accelerator dan collateral contraints. Sementara itu,
financial friction dari sisi suplai pasar kredit masih belum dimodelkan. Berbagai
penelitian dalam literatur terkini menekankan pentingnya permodelan sisi suplai
pasar kredit yang dapat memberikan informasi vital mengenai transmisi antarbank
serta hubungannya dengan otoritas keuangan dan bank sentral. Lebih lanjut,
3
dalam masa krisis, sisi suplai pasar kredit memiliki peran penting dalam
menyebarluaskan krisis yang terjadi.
Paper ini melanjutkan penelitian Harmanta et al. (2013) dengan
pengembangan utama pada sisi supply pasar kredit. Dengan mempertimbangkan
struktur interbank market di Indonesia, pengembangan sektor perbankan
dilakukan mengikuti Ali Dib (2009), yaitu terdapat dua heterogeneous agents pada
sektor perbankan yang menawarkan jasa perbankan yang berbeda dan saling
berinteraksi dalam suatu pasar yang dinamakan interbank market.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model DSGE sektor
perbankan dengan financial friction, baik collateral constraint maupun financial
accelerator, serta menambahkan mekanisme interbank market untuk keperluan
simulasi kebijakan moneter maupun macroprudential. Adapun manfaat penelitian
ini adalah sebagai berikut.
a. Sebagai salah satu alat bantu dalam melakukan formulasi bauran kebijakan
moneter dan makroprudensial yang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Sebagai salah satu langkah dalam competence building dalam mengembangkan
model DSGE dengan fitur simulasi bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial untuk kebutuhan pengembangan core model FPAS pada masa
yang akan datang (sesuai dengan best practice dari advanced countries yang
saat ini telah mengadopsi core model yang berbasis DSGE).
Penelitian ini disusun sebagai berikut. Bagian 1 mengutarakan
pendahuluan, tujuan, dan manfaat penelitian. Bagian 2 berupa ulasan singkat
mengenai literatur terkait. Bagian 3 menjelaskan detail DSGE model yang
dikembangkan. Bagian 4 perincian estimasi dan simulasi. Bagian 5 simpulan dan
rencana pengembangan selanjutnya.
4
II. TINJAUAN LITERATUR
2.1 Permodelan Financial Friction dalam DSGE Model
Dalam literatur upaya untuk memodelkan prosiklikalitas sistem keuangan
diantaranya dilakukan dengan memperkenalkan financial friction pada model
DSGE. Untuk memodelkan friksi yang terjadi pada sisi demand dari pasar kredit,
terdapat dua pendekatan utama yang diterima secara luas, yaitu collateral
constraint dan financial accelerator.
Asumsi dasar dari pendekatan financial accelerator pertama kali
diperkenalkan oleh Bernanke, Gertler, and Gilchrist pada tahun 1999 (BGG), yaitu
adanya information asymmetry antara peminjam dan yang meminjamkan sehingga
menghasilkan external finance premium yang menggambarkan perbedaan biaya
apabila melakukan peminjaman dibandingkan dengan apabila menggunakan dana
sendiri. External finance premium ditentukan oleh besarnya net worth dari
peminjam dan akan menentukan besarnya pinjaman yang dapat diterima.
Sementara itu, pendekatan collateral constraint, seperti yang diperkenalkan
Kiyotaki and Moore (1997), adalah pergerakan dari harga aset yang berinteraksi
dengan ketidaksempurnaan market (adanya asimetri informasi antara kreditur dan
debitur, misalnya kemampuan membayar debitur) membuat suatu proses yang
memperbesar respons dari shocks. Namun, berbeda dengan pendekatan financial
accelerator, assets dari peminjam secara langsung akan mempengaruhi besarnya
pinjaman yang dapat diterima dan tidak melalui pengaruhnya terhadap external
finance premium.
Kekurangan dari financial frictions yang hanya menggunakan financial
accelerator atau collateral constraint adalah keduanya hanya memodelkan satu sisi
dari pasar kredit, yaitu sisi demand. Gertler dan Kiyotaki (2009) mengembangkan
framework sektor perbankan yang menemukan bahwa adanya liquidity shock pada
bank dapat mengakibatkan segmentasi pasar uang antarbank yang pada
gilirannya akan memiliki spillover effect pada sektor riil. Atas dasar temuan itu,
mereka berargumen bahwa interbank market seharusnya terdapat di dalam
financial block model DSGE karena saat terjadi krisis keuangan, interbank market
memiliki peran penting dalam menyebarluaskan krisis yang terjadi.
Ali Dib (2009) mengembangkan fully micro–founded closed economy DSGE
model yang menginkorporasikan hubungan eksplisit antara sektor riil dan sektor
5
finansial serta memiliki sektor perbankan yang aktif. Hal itu dicapai dengan
memodelkan optimisasi banks dan kedua sisi pasar kredit (supply dan demand)
secara eksplisit. Sisi demand dari kredit dimodelkan dengan menggunakan
financial accelerator ala BGG (1999), sedangkan sisi supply dari pasar kredit
dimodelkan dengan memperkenalkan asumsi bahwa terdapat dua tipe dari
heterogenous banks, yaitu savings bank dan lending bank yang menawarkan jasa
perbankan yang berbeda dan keduanya berinteraksi dalam pasar yang dinamakan
interbank market.
Gambar 1. Skema Financial Intermediaries Ali Dib (2009)
Seperti pada skema di atas, Ali Dib memodelkan monopolistically competitive
savings banks sebagai penerima deposit dari household workers dan membayarkan
deposit interest rate, 𝑅𝑗,𝑡𝐷 . Dalam mengalokasikan portofolionya, savings bank
menentukan komposisi optimal antara meminjamkan melalui interbank market
pada lending banks yang memberikan interest rate 𝑅𝑡𝐼𝐵 dan menginvestasikan pada
risk-free assets government bond yang memberikan bunga sebesar 𝑅𝑡. Pada setiap
periode terdapat probabilitas lending banks mengalami default dan tidak dapat
mengembalikan interbank borrowing-nya. Di sisi lain, ketika akan melakukan
investasi pada risk–free assets, savings bank harus membayar asuransi premium
(cost dari menggunakan risk–free assets). Monopolistically competitive lending
banks dimodelkan meminjam dari savings bank melalui interbank market dan
meminta bank capital dari bankers dengan membayar bank capital price 𝑄𝑡𝑍. Setiap
lending bank juga dapat menerima injeksi likuiditas dari bank sentral, 𝑚𝑗,𝑡, serta
finansial intermediasi Γ𝑡.
6
Carrera dan Vega (2012) menggunakan pendekatan yang berbeda dalam
memodelkan interbank market. Dalam papernya mereka mengasumsikan terdapat
dua tipe bank, retail bank dan narrow bank. Dalam pendekatan ini hanya primary
dealers yang diizinkan untuk berhubungan langsung dengan bank sentral sesuai
dengan kondisi financial intermediaries yang terjadi di Amerika Serikat.
Gambar 2. Skema Financial Intermediaries Carrera dan Vega (2012)
Mekanisme dalam permodelan tersebut menggambarkan retail bank
menghimpun deposit dari households dan meminjam dari interbank market untuk
disalurkan ke entrepreneur dalam bentuk loan, sedangkan narrow bank
melakukan penempatan liquidity dalam interbank market yang sumber
penghimpunan dananya berasal dari penerbitan equity.
2.2 Karakteristik Perekonomian dan Sektor Perbankan Indonesia
Ekonomi Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang konstan dalam satu
dekade terakhir, dengan rata-rata PDB sebesar 5,45% dari periode 2001–2013.
Ekonomi terus tumbuh dengan puncaknya terjadi pada tahun 2011 dengan
pertumbuhan ekonomi mencapai 6,49% year on year. Pencapaian itu tergolong
impressive apabila dibandingkan dengan negara-negara sekitar yang terkena krisis
global 2007/2008.
Pada sisi permintaan, ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi swasta
yang memiliki share 62,58% terhadap total PDB, diikuti oleh investasi sebesar
26,80%, lihat Tabel 2. Persistennya konsumsi domestik dan tingginya share ekspor
7
akibat tingginya permintaan negara-negara tujuan utama ekspor, seperti Cina dan
India—terutama untuk barang komoditas dan tambang—memberikan kontribusi
yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya share investasi dari
tahun ke tahun membawa kemajuan perekonomian dengan penciptaan lapangan
kerja dan pendapatan sehingga dapat menjaga tingkat konsumsi masyarakat.
Pada sisi produksi, ekonomi Indonesia ditopang oleh industri pengolahan
yang masih memiliki share terbesar terhadap PDB Indonesia yang diikuti oleh
perdagangan, hotel, dan restoran. Meningkatnya konsumsi dalam negeri
masyarakat dan permintaan komoditas ekspor oleh negara mitra ekspor telah
mendorong pertumbuhan perekonomian di berbagai sektor.
Tabel 1. Pertumbuhan Komponen PDB Indonesia
Pendapatan yang meningkat serta inflasi yang terjaga rendah dan suku
bunga yang juga rendah ikut mendorong pertumbuhan sektor-sektor produksi,
seperti bangunan dan pengangkutan. Sektor lainnya yang juga berkembang
dengan pesat adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa, serta sektor jasa-jasa.
Pertumbuhan sektor-sektor tersebut memberikan dampak kenaikan PDB total
sebesar 6,23% pada tahun 2012.
Keterangan
PDB According to Sector
- Pertanian 3.26% 3.45% 3.79% 2.82% 2.72% 3.36% 3.47% 4.83% 3.96% 3.01% 3.37% 4.20% 3.54%
- Pertambangan dan Penggalian 0.33% 1.00% -1.37% -4.48% 3.20% 1.70% 1.93% 0.71% 4.47% 3.86% 1.39% 1.77% 1.34%
- Industri Pengolahan 3.30% 5.29% 5.33% 6.38% 4.60% 4.59% 4.67% 3.66% 2.21% 4.74% 6.14% 5.74% 5.56%
- Listrik, Gas, dan Air Bersih 7.92% 8.94% 4.87% 5.30% 6.30% 5.76% 10.33% 10.93% 14.29% 5.33% 4.82% 6.13% 5.58%
- Bangunan 4.58% 5.48% 6.10% 7.49% 7.54% 8.34% 8.53% 7.55% 7.07% 6.95% 6.65% 6.81% 6.57%
- Perdagangan, Hotel dan Restoran 3.95% 4.27% 5.45% 5.70% 8.30% 6.42% 8.93% 6.87% 1.28% 8.69% 9.17% 8.21% 5.93%
- Pengangkutan dan Komunikasi 8.10% 8.39% 12.19% 13.38% 12.76% 14.23% 14.04% 16.57% 15.85% 13.41% 10.70% 9.98% 10.19%
- Keuangan, Persewaan dan Jasa 6.76% 6.70% 6.73% 7.66% 6.70% 5.47% 7.99% 8.24% 5.21% 5.67% 6.84% 7.15% 7.56%
- Jasa - jasa 3.24% 3.75% 4.41% 5.38% 5.16% 6.16% 6.44% 6.24% 6.42% 6.04% 6.75% 5.30% 5.46%
PDB According to Demand
- Konsumsi Swasta 3.49% 3.84% 3.89% 4.97% 3.95% 3.17% 5.01% 5.34% 4.86% 4.74% 4.71% 5.28% 5.28%
- Investasi 8.56% -4.46% 10.84% 6.90% 12.38% 1.34% 1.93% 12.44% 2.43% 8.80% 10.53% 15.88% 4.85%
- Government 7.56% 12.99% 10.03% 3.99% 6.64% 9.61% 3.89% 10.43% 15.67% 0.32% 3.20% 1.30% 4.87%
- Ekspor 0.64% -1.22% 5.89% 13.53% 16.60% 9.41% 8.54% 9.53% -9.69% 15.27% 13.65% 2.00% 5.30%
- Impor 4.18% -4.25% 1.56% 26.65% 17.77% 8.58% 9.06% 10.00% -14.98% 17.34% 13.34% 6.66% 1.21%
PDB Total 3.64% 4.50% 4.78% 5.03% 5.69% 5.50% 6.35% 6.01% 4.63% 6.22% 6.49% 6.26% 5.78%
8
Tabel 2. Share Komponen PDB Indonesia
Salah satu asumsi yang diterapkan dalam permodelan sektor perbankan
dalam model DSGE oleh beberapa bank sentral adalah adanya market power dari
bank dalam pasar penghimpunan atau penyaluran dana sehingga bank memiliki
kekuatan dalam menentukan tingkat suku bunga DPK atau suku bunga kredit.
Beberapa penelitian empiris di Indonesia menunjukkan simpulan yang sama.
Salah satunya adalah Purwanto (2009) yang menyimpulkan bahwa dinamika
spread suku bunga perbankan (didefinisikan sebagai perbedaan antara suku
bunga penyaluran dana dikurangi dengan suku bunga penghimpunan dana)
sebagian besar dipengaruhi oleh dinamika dari tingkat konsentrasi industri
perbankan di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, digunakan Herfindahl-
Hirschman Index sebagai ukuran dari tingkat konsentrasi industri perbankan.
Berdasarkan estimasi model empiris digunakan data bulanan individual bank
(panel) mulai Januari 2002 sampai dengan April 2009. Simpulannya adalah bahwa
penurunan spread suku bunga selama periode estimasi disebabkan oleh
peningkatan kompetisi di sektor perbankan karena terjadinya peningkatan market
share dari sebagian besar bank yang diikuti dengan penurunan market share dari
bank dengan aset besar. Hal itu sejalan dengan penelitian yang menggunakan
pendekatan structure-conduct-performance yang menghubungkan konsentrasi
pasar dengan kekuatan pasar (market power) dan perilaku penentuan suku bunga
(Berger et al., 2004).
Selain itu, dalam model DSGE yang dikembangkan berbagai bank sentral
juga diasumsikan bahwa terdapat stickiness dalam suku bunga retail perbankan
jika dikaitkan dengan dinamika dari suku bunga kebijakan. Dari sudut pandang
Keterangan
PDB Menurut Lapangan Usaha
- Pertanian 15.60% 15.54% 15.39% 15.24% 14.92% 14.50% 14.21% 13.82% 13.67% 13.58% 13.17% 12.78% 12.51% 12.27%
- Pertambangan dan Penggalian 12.07% 11.68% 11.29% 10.63% 9.66% 9.44% 9.10% 8.72% 8.28% 8.27% 8.09% 7.70% 7.36% 7.06%
- Industri Pengolahan 27.75% 27.65% 27.86% 28.01% 28.37% 28.08% 27.83% 27.39% 26.78% 26.17% 25.80% 25.71% 25.59% 25.54%
- Listrik, Gas, dan Air Bersih 0.60% 0.63% 0.66% 0.66% 0.66% 0.66% 0.66% 0.69% 0.72% 0.79% 0.78% 0.77% 0.77% 0.77%
- Bangunan 5.51% 5.56% 5.61% 5.68% 5.82% 5.92% 6.08% 6.20% 6.29% 6.44% 6.48% 6.49% 6.57% 6.57%
- Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.15% 16.20% 16.16% 16.26% 16.37% 16.77% 16.92% 17.33% 17.47% 16.91% 17.30% 17.74% 18.05% 18.09%
- Pengangkutan dan Komunikasi 4.68% 4.88% 5.06% 5.42% 5.85% 6.24% 6.76% 7.25% 7.97% 8.82% 9.42% 9.79% 10.14% 10.56%
- Keuangan, Persewaan dan Jasa 8.31% 8.56% 8.74% 8.90% 9.12% 9.21% 9.21% 9.35% 9.55% 9.60% 9.55% 9.58% 9.66% 9.82%
- Jasa - jasa 9.34% 9.30% 9.23% 9.20% 9.23% 9.18% 9.24% 9.25% 9.27% 9.43% 9.41% 9.43% 9.35% 9.32%
PDB Menurut Jenis Penggunaan
- Konsumsi Swasta 61.07% 61.06% 61.56% 59.64% 60.94% 59.33% 58.82% 59.20% 57.95% 57.39% 56.87% 55.63% 55.42% 62.58%
- Investasi 22.04% 23.11% 21.44% 22.16% 23.06% 24.27% 23.64% 23.09% 24.13% 23.34% 24.03% 24.81% 27.44% 26.80%
- Government 6.47% 6.72% 7.38% 7.57% 7.66% 7.65% 8.06% 8.03% 8.24% 9.00% 8.54% 8.23% 7.89% 7.77%
- Ekspor 40.59% 39.47% 37.86% 37.37% 41.31% 45.11% 47.42% 49.34% 50.22% 42.83% 46.71% 49.59% 47.87% 47.35%
- Impor 30.17% 30.37% 28.23% 26.74% 32.96% 36.36% 37.94% 39.66% 40.54% 32.55% 36.14% 38.27% 38.62% 36.72%
9
teoretis, bank dapat memandang bahwa adalah optimal untuk tidak terlalu sering
mengubah suku bunga apabila permintaan konsumen bersifat inelastis dalam
jangka pendek karena tingginya switching cost (Calem et al., 2006) atau karena
adanya suatu fixed cost (menu cost) dalam melakukan perubahan tingkat suku
bunga (Berger dan Hannan, 1991). Alasan teoretis lain yang juga dikemukakan
oleh ahli ekonomi adalah adanya kepentingan bank untuk menjaga hubungan
dengan konsumen sehingga bank melakukan interest rate smoothing untuk
melindungi konsumen dari fluktuasi suku bunga pasar (kebijakan). Hal itu
memungkinkan bank untuk menetapkan suku bunga yang tinggi di saat suku
bunga kebijakan sedang rendah (Berger dan Udell, 1992).
Secara sederhana respons jangka pendek yang rigid dari suku bunga retail
perbankan terhadap dinamika suku bunga kebijakan telah dibahas dalam
penelitian sebelumnya oleh Harmanta et al. (2012). Analisis impulse response
dilakukan terhadap bivariate VAR system1 yang menunjukkan bahwa respons
jangka pendek dari suku bunga retail bank terhadap perubahan dari BI rate cukup
terbatas, terutama untuk suku bunga kredit konsumsi. Suku bunga deposito dan
suku bunga kredit untuk perusahaan memiliki respons yang kurang lebih sama.
Walaupun nilainya tidak sekecil respons dari suku bunga konsumsi, tingkat
stickiness yang cukup tinggi tetap ditunjukkan.
Dengan adanya evidence bahwa sektor keuangan di Indonesia
menunjukkan prosiklikalitas yang tinggi, seperti yang tercermin dari pertumbuhan
kredit riil yang mengikuti pertumbuhan PDB, dan pengalaman krisis keuangan
global tahun 2008, ternyata menjaga inflasi saja tidaklah cukup untuk mencapai
stabilitas ekonomi makro, Bank Indonesia mengadopsi flexible inflation targeting
framework untuk dapat menjaga stabilitas sistem keuangan dengan lebih baik.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan
bauran kebijakan moneter (conventional policy) dan makroprudensial
(unconventional policy). Instrumen-instrumen dari kebijakan makroprudensial yang
digunakan ini antara lain adalah loan to value ratio (LTV) dan reserve requirement
(GWM).
1Masing-masing VAR system juga terdiri atas variabel eksogen, yaitu besarnya reserve ratio
untuk VAR dari suku bunga deposito; dan besarnya modal, bobot aset beresiko (ATMR
dibagi total kredit), dan besarnya pinjaman yang disalurkan untuk VAR suku bunga
pinjaman.
10
Untuk ketentuan LTV, Bank Indonesia, dengan mempertimbangkan bahwa
kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) tumbuh di
atas rata-rata kredit, melalui SE No.14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012, yang
mulai berlaku efektif tanggal 15 Juni 2012 lalu, Bank Indonesia memberlakukan
LTV untuk KPR adalah maksimal 70%, lebih ketat jika dibandingkan dengan rata-
rata aktual berkisar 82,5%. Namun, untuk KKB aturannya dibedakan menjadi
sebagai berikut: KKB roda dua, DP minimal sebesar 25% (atau LTV sebesar 75%);
KKB roda empat, DP minimal sebesar 30% (kendaraan untuk keperluan
nonproduktif) dan 20% (kendaraan untuk keperluan produktif); KKB angkutan
umum, DP minimal sebesar 20%. Dengan demikian, sebelum diberlakukannya
peraturan Bank Indonesia, rata-rata LTV (KPR dan KKB) adalah sekitar 85% dan
berubah lebih ketat menjadi sekitar 72,5% setelah peraturan tersebut
diberlakukan (Gambar 3).
Gambar 3. Data Historis Pertumbuhan Kredit Nominal, GWM dan LTV
Sementara untuk GWM di Indonesia, dalam konteks hubungannya dengan
siklus ekonomi, pada saat ekonomi dunia dan domestik terkontraksi pada tahun
2008–2009, GWM primer ditetapkan sebesar 5%. Selanjutnya, dengan
membaiknya kondisi perekonomian, yang diiringi dengan inflasi (dan juga
ekspektasi inflasi) yang meningkat, Bank Indonesia memutuskan menaikkan GWM
primer dari 5% menjadi 8%. Dengan adanya pengetatan pada kedua instrumen
makroprudensial ini, terutama pada LTV ratio yang diturunkan menjadi rata-rata
72,5% (KKB dan KPR) pada semester II 2013, terlihat bahwa pertumbuhan kredit
nominal di Indonesia mulai mengalami penurunan secara lebih gradual dari pola
historisnya.
65
70
75
80
85
90
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0%%
Pert. Kredit Nominal GWM Primer LTV (average, rhs)
11
Adapun untuk pasar uang antarbank (interbank market) di Indonesia,
dengan kondisi ekses likuiditas perbankan yang ada, suku bunga PUAB overnight
pada umumnya berada pada kisaran koridor bawah Bank Indonesia yang dibatasi
oleh deposit facility (DF).
Gambar 4. RED Desember 2014 – Overnight Interbank Rates
12
III. MODEL DSGE DENGAN SEKTOR PERBANKAN
3.1 Rumah Tangga (Households) dan Pengusaha (Entrepreneurs)
Patient household memaksimalkan fungsi utilitasnya berdasarkan pilihan
tingkat konsumsi 𝑐𝑡𝑃, waktu untuk istirahat (di luar waktu untuk bekerja 𝑛𝑡
𝑃), dan
kepemilikan aset perumahan 𝜒𝑡𝑃 dengan discount factor 𝛽𝑝.
max𝑐𝑡
𝑃,𝜒𝑡𝑃,𝑛𝑡
𝑃(𝑖)∑ (𝛽𝑃)𝑡 [
(𝑐𝑡𝑃(𝑖)−𝜉𝑐𝑡−1
𝑃 )1−𝜎𝑐
1−𝜎𝑐+ 휀χ,𝑡
𝜒𝑡𝑃(𝑖)1−𝜎𝜒
1−𝜎𝜒− 휀𝑛,𝑡
𝑛𝑡𝑃(𝑖)1+𝜎𝑛
1+𝜎𝑛]∞
𝑡=0 ........................ (1)
Parameter 𝜉 merupakan tingkat external habit formation dan 휀𝜒,𝑡, 휀𝑛,𝑡 adalah
shock intertemporal, housing preference, dan labour preference yang memiliki
dinamika AR(1) dengan error yang i.i.d.
Patient household mempunyai pendapatan yang berasal atas penyediaan
tenaga kerja kepada pengusaha 𝑊𝑡𝑛𝑡𝑃, pendapatan deposito (1 + 𝑟𝑡−1
𝐷 )𝑑𝑡−1, dividen
dari perusahaan yang dimilikinya Π𝑡𝑃, dan pendapatan dari bunga obligasi
pemerintah serta eksternal. Penghasilan ini digunakan untuk membayar pajak 𝑇𝑡𝑃,
membiayai pengeluaran konsumsi, membeli aset perumahan, dan menyimpan
sisanya dalam bentuk deposito 𝑑𝑡, obligasi pemerintah 𝐵𝑔,𝑡𝑃 , dan obligasi eksternal
𝐵𝑡∗. Dengan demikian, budget constraint yang dihadapi oleh patient household
adalah:
𝑃𝑡𝑐𝑡𝑃(𝑖) + 𝑃𝜒,𝑡 (𝜒𝑡
𝑃(𝑖) − (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1𝑃 (𝑖)) + 𝑑𝑡(𝑖) + 𝐵𝑔,𝑡
𝑃 + 𝑒𝑡𝐵𝑡∗ = 𝑊𝑡𝑛𝑡
𝑃(𝑖) + (1 + 𝑟𝑡−1𝐷 )𝑑𝑡−1(𝑖) −
𝑇𝑡𝑃(𝑖) + Π𝑡
𝑃(𝑖) + (1 + 𝑟𝑡−1)𝐵𝑔,𝑡−1𝑃 + 𝜌𝑡−1(1 + 𝑟𝑡−1
∗ )𝑒𝑡𝐵𝑡−1∗ ..............................................(2)
Dalam budget constraint, variabel pengeluaran konsumsi dan aset
perumahan masing-masing dikalikan dengan tingkat harganya untuk
mendapatkan bentuk nominalnya. Parameter 𝛿𝜒 merupakan tingkat depresiasi dari
aset perumahan yang dimiliki oleh households.
Dari fungsi tujuan dan budget constraint patient household di atas,
didapatkan solusi persamaan yang dapat menjelaskan besarnya konsumsi patient
household, yang dipengaruhi oleh besarnya suku bunga deposito, pajak atas bunga
deposito, serta inflasi yang terjadi yang dapat dituliskan:
(𝑐𝑡+1𝑃 − 𝜉𝑐𝑡
𝑃)−𝜎𝑐 (𝛽𝑃 (1 + 𝑟𝑡
𝐷(1 − 𝛼𝑇𝐷)
𝑃𝑡+1)) =
(𝑐𝑡𝑃 − 𝜉𝑐𝑡−1
𝑃 )−𝜎𝑐
𝑃𝑡
13
𝜆𝑡 =(𝑐𝑡
𝑃−𝜉𝑐𝑡−1𝑃 )
−𝜎𝑐−𝛽𝑃𝜉(𝑐𝑡+1
𝑃 −𝜉𝑐𝑡𝑃)
−𝜎𝑐
𝑃𝑡 …………………………………………………………….…..(3)
sedangkan akumulasi kepemilikan housing dari patient household juga didapatkan
dengan mencari solusi dari fungsi tujuan dan budget constraint yang dipengaruhi
oleh pajak suku bunga deposito, inflasi, harga housing, serta ekspektasi harga
housing pada masa depan yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
(𝑐𝑡+1𝑃 (𝑖) − 𝜉𝑐𝑡
𝑃)−𝜎𝑐 (𝛽𝑃𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)
𝑃𝑡+1) + 휀χ,𝑡 (𝜒𝑡
𝑃)−𝜎𝜒 = (𝑐𝑡𝑃(𝑖) − 𝜉𝑐𝑡−1
𝑃 )−𝜎𝑐 (𝑃𝜒,𝑡
𝑃𝑡)
휀𝜒,𝑡(𝜒𝑡𝑃)−𝜎𝜒 = 𝜆𝑡𝑃𝜒,𝑡 − 𝛽𝑃𝜆𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)𝑃𝜒,𝑡……………………………………………………..…(4)
Besarnya deposito yang ditabung oleh patient household di bank
dipengaruhi oleh profit yang didapatkan, return deposito periode sebelumnya, upah
hasil penyaluran tenaga kerja, konsumsi, investasi housing yang dilakukan, return
obligasi periode sebelumnya, serta return obligasi eksternal periode sebelumnya
yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
𝑑𝑡 = 𝑑𝑡−1(1 + 𝑟𝑡−1𝐷 − 𝛼𝑇𝐷𝑟𝑡−1
𝐷 ) − (𝛼𝑇𝑊𝑊𝑡𝑛𝑡𝑃 + 𝛼𝑇ΠΠ𝑡
𝑃) + Π𝑡𝑃 − 𝑃𝜒,𝑡(𝜒𝑡
𝑃 − (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1𝑃 ) − 𝑃𝑡𝑐𝑡
𝑃
+ 𝑊𝑡𝑛𝑡𝑃 + (1 + 𝑟𝑡−1)𝐵𝑔,𝑡−1 + 𝜌𝑡−1(1 + 𝑟𝑡−1
∗ )𝑒𝑡𝐵𝑡−1∗ − 𝐵𝑔,𝑡 − 𝑒𝑡𝐵𝑡
∗
𝜆𝑡 = 𝛽𝑃𝜆𝑡+1(1 + (1 − 𝛼𝑇𝐷)𝑟𝑡𝐷)………………………………………………………………….…(5)
sedangkan impatient household juga memiliki utility function yang memiliki variabel
tidak berbeda dengan patient household, yaitu
max𝑐𝑡
𝐼(𝑖),𝜒𝑡𝐼(𝑖),𝑛𝑡
𝐼(𝑖),𝑏𝑡𝐼(𝑖)
∑ (𝛽𝐼)𝑡 [(𝑐𝑡
𝐼(𝑖)−𝜉𝑐𝑡−1𝐼 )
1−𝜎𝑐
1−𝜎𝑐+ 휀χ,𝑡
𝜒𝑡𝐼(𝑖)1−𝜎𝜒
1−𝜎𝜒− 휀𝑛,𝑡
𝑛𝑡𝐼(𝑖)1+𝜎𝑛
1+𝜎𝑛]∞
𝑡=0 ....................(6)
Dalam membiayai pengeluarannya, selain berasal dari penghasilan penyedia
tenaga kerja 𝑊𝑡𝑛𝑡𝐼, impatient household juga meminjam dari bank sebesar 𝑏𝑡
𝐼(𝑖).
Oleh karena itu, impatient household juga memiliki kewajiban untuk membayar
pinjaman yang dilakukan pada periode sebelumnya sebesar (1 + 𝑟𝑡−1𝐵𝐼 )𝑏𝑡−1
𝐼 pada pos
pengeluarannya. Budget constraint impatient household adalah
𝑃𝑡𝑐𝑡𝐼(𝑖) + 𝑃𝜒,𝑡 (𝜒𝑡
𝐼(𝑖) − (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1𝐼 (𝑖)) + (1 + 𝑟𝑡−1
𝐵𝐼 )𝑏𝑡−1𝐼 (𝑖) = 𝑊𝑡𝑛𝑡
𝐼(𝑖) + 𝑏𝑡𝐼(𝑖) − 𝑇𝑡
𝐼(𝑖) ........(7)
Dalam melakukan pinjaman untuk membiayai konsumsinya, total pinjaman
yang dapat diperoleh impatient household dibatasi oleh harga aset bangunan yang
dimilikinya dikalikan dengan syarat loan-to-value ratio, 𝑚𝑡𝐼 yang berlaku.
(1 + 𝑟𝑡𝐵𝐼)𝑏𝑡
𝐼(𝑖) ≤ 𝑚𝑡𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡
𝐼(𝑖)] ....……………………………………………........(8)
14
Dari sisi mikroekonomi, nilai (1-𝑚𝑡𝐼) dapat diartikan sebagai proportional cost
of collateral repossession bagi bank apabila terjadi default. Dari sisi makroekonomi,
nilai 𝑚𝑡𝐼 menentukan jumlah pinjaman yang ditawarkan bank kepada households
untuk nilai aset perumahan tertentu yang dimilikinya. Diasumsikan bahwa variasi
dari rasio LTV ini tidak tergantung pada pilihan dari masing-masing bank tetapi
merupakan suatu proses stokastik eksogen yang memungkinkan kita untuk
mempelajari credit-supply restriction terhadap sektor riil dari ekonomi.
Dari fungsi tujuan dan budget constraint impatient household di atas,
didapatkan solusi persamaan yang dapat menjelaskan besarnya konsumsi
impatient household, yang dipengaruhi oleh besarnya upah penyaluran tenaga
kerja, pinjaman dari bank, inflasi, suku bunga kredit konsumsi, harga
housing,serta stock housing yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
𝑐𝑡𝐼 =
𝑊𝑡𝑛𝑡𝐼
𝑃𝑡+
𝑏𝑡𝐼
𝑃𝑡−
𝛼𝑇𝑊𝑊𝑡𝑛𝑡𝐼
𝑃𝑡− (1 + 𝑟𝑡−1
𝐵𝐼 ) (𝑏𝑡−1
𝐼
𝑃𝑡) −
𝑃𝜒,𝑡(𝜒𝑡𝐼 − (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1
𝐼 )
𝑃𝑡
𝜆𝑡 =(𝐶𝑡
𝐼−𝜉𝐶𝑡−1𝐼 )
−𝜎𝑐−𝛽𝐼𝜉(𝐶𝑡+1
𝐼 −𝜉𝐶𝑡𝐼)
−𝜎𝑐
𝑃𝑡 ………………………………………………………………….(9)
sedangkan akumulasi kepemilikan housing dari impatient household juga
didapatkan dengan mencari solusi dari fungsi tujuan dan budget constraint, yang
dipengaruhi oleh besarnya LTV rasio, harga housing, suku bunga kredit konsumsi,
serta inflasi yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
(𝑐𝑡𝐼(𝑖) − 𝜉𝑐𝑡−1
𝐼 )−𝜎𝑐 (𝑚𝑡
𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)]
𝑃𝑡(1 + 𝑟𝑡𝐵𝐼)
−𝑃𝜒,𝑡
𝑃𝑡)
+ (𝑐𝑡+1𝐼 (𝑖) − 𝜉𝑐𝑡
𝐼)−𝜎𝑐 (𝛽𝐼𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)
𝑃𝑡+1− 𝛽𝐼 (
𝑚𝑡𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)]
𝑃𝑡+1))
+ 휀𝜒,𝑡(𝜒𝑡𝐼(𝑖))
−𝜎𝜒= 0
휀𝜒,𝑡(𝜒𝑡𝐼)−𝜎𝜒 + 𝛽𝐼𝜆𝑡+1 [(1 − 𝛿𝜒) −
𝑚𝑡𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)]
(1 + 𝑟𝑡𝐵𝐼)2
] = 𝜆𝑡 [𝑃𝜒,𝑡 −𝑚𝑡
𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1 − 𝛿𝜒)]
(1 + 𝑟𝑡𝐵𝐼)
]
…(10)
Besarnya pinjaman oleh impatient household dari bank dipengaruhi oleh
besarnya LTV rasio, ekspektasi harga housing, stock housing, ekspektasi inflasi,
serta suku bunga kredit konsumsi yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
𝑏𝑡𝐼 =
𝑚𝑡𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1−𝛿𝜒)𝜒𝑡
𝐼]
(1+𝑟𝑡𝐵𝐼)
…………………………………………………………………………….(11)
15
Utility function dari pengusaha didasarkan oleh return on capital yang
menentukan besarnya pemasukan dan pengembalian pinjaman kepada bank atau
kreditur luar negeri sehingga besarnya realisasi profit entrepreneur dapat
dirumuskan seperti berikut.
𝑉𝑡+1 = ∫ 𝜔𝑅𝑡+1𝐾 𝑃𝑘,𝑡𝐾𝑡
𝑖𝑓(𝜔)𝑑𝜔 − (1 − 𝐹(��𝑡𝑖 )) (1 + 𝑟𝑡
𝑏𝐸)𝑏𝑡𝐸∞
��𝑡𝑖 …………………………………(12)
Terdapat variabel 𝜔 yang merupakan idiosyncratic shock pada entrepreneur
dan ��𝑡𝑖 merupakan threshold yang menentukan apakah entrepreneur tersebut
default (bila 𝜔 < ��𝑡𝑖 ) atau melakukan pembayaran (bila 𝜔 > ��𝑡
𝑖 ) dengan probabilitas
default 𝐹(��𝑡𝑖 ) lognormal.
Financial contract antara bank dan entrepreneur akan terjadi ketika bank
minimal mendapatkan expected return yang sama dengan opportunity cost-nya.
Karena pada model ini yang berkaitan dengan pinjaman terhadap entrepreneur
adalah loan unit, yang sudah memiliki target minimal loan rate dari saving unit,
besarnya opportunity cost bank sama dengan funding rate yang ditetapkan oleh
saving unit, yaitu sebesar interbank borrowing rate 𝑅𝑡. Penetapan suku bunga
dasar kredit oleh wholesale unit sudah termasuk mark up yang memperhitungkan
stickiness serta besarnya peluang default entrepreneur, 𝐹(��𝑡𝑖 ), berdasarkan
ekspektasi bank mengenai return on capital entrepeneur. Apabila entrepreneur tidak
dapat membayar kewajibannya sesuai dengan kontrak dan mengalami default,
bank membayar monitoring cost dan menyita aset entrepreneur tersebut, dapat
dituliskan sebagai (1 − 𝜇𝑚)𝜔𝑅𝑡+1𝐾 𝑃𝑘,𝑡𝐾𝑡
𝑖, sedangkan entrepreneur yang default tidak
mendapatkan apa-apa. Financial contract antara bank dan entrepreneur harus
memenuhi hubungan berikut.
𝑚𝑎𝑥 𝑉𝑡+1 = ∫ 𝜔𝐸𝑡(1 + 𝑅𝑡+1𝐾 )𝑃𝑘,𝑡𝐾𝑡
𝑖𝑓(𝜔)𝑑𝜔 − (1 − 𝐹(��𝑡𝑖 )) (1 + 𝑟𝑡
𝑏𝐸)𝑏𝑡𝐸∞
��𝑡𝑖 ……………..……(13)
Dengan subject to:
(1 − 𝐹(��𝑡𝑖 )) (1 + 𝑟𝑡
𝑏𝐸)𝑏𝑡𝐸 + (1 − 𝜇𝑚) ∫ 𝜔𝐸𝑡𝑅𝑡+1
𝑘 𝑃𝑘,𝑡𝐾𝑡𝑖𝑓(𝜔)𝑑𝜔
��𝑡𝑖
0= (1 + 𝑅𝑡
𝑏)𝑏𝑡𝐸 ……………(14)
Sisi kiri dari persamaan menunjukkan expected gross of return dari
pinjaman ke entrepreneur dan sisi sebelah kanan merupakan opportunity cost
bank. Parameter 𝜇𝑚 merupakan monitoring cost bank apabila terjadi default, yang
nilainya akan meningkat seiring dengan adanya verifikasi oleh bank untuk
memonitor project tersisa apabila terjadi default. Peluang default 𝐹(��𝑡𝑖 ) dari
16
entrepreneur merupakan cummulative distribution function, sedangkan 𝑓(𝜔)
merupakan probability distribution function. ��𝑡𝑖 merupakan expected threshold.
Solusi dari permasalahan di atas adalah persamaan hubungan antara
leverage perusahaan 𝑘𝑡 =𝑃𝑘,𝑡𝐾𝑡
𝑁𝑡 dan external finance premium 𝑠𝑡
𝐸𝑖 =𝐸𝑡(1+𝑅𝑡+1
𝐾 )
(1+𝑅𝑡𝑏)
.
𝑠𝑡𝐸𝑖 =
𝐸𝑡(1+𝑅𝑡+1𝐾 )
(1+𝑅𝑡𝑏)
= 𝑓(𝑘𝑡) = 𝑓 (𝑃𝑘,𝑡𝐾𝑡
𝑁𝑡 ), 𝑓′(. ) > 0 ……………………………………………(15)
Peningkatan di expected discounted return to capital akan mengurangi
expected peluang default sehingga entrepreneur dapat mengambil lebih banyak
utang dan memperluas perusahaannya. Mekanisme tersebut dinamakan financial
accelerator karena jika diberikan shock positif yang akan meningkatkan net worth
perusahaan, dengan balance sheet yang lebih baik, perusahaan akan
meningkatkan investasinya untuk memperluas usahanya dengan external finance
premium yang lebih kecil.
3.2 Produsen (Producers)
Intermediate good producers bekerja dalam perfectly competitive market dan
memiliki fungsi tujuan untuk maksimisasi profit yang merupakan selisih dari
produk yang terjual dengan biaya capital dan labour, yaitu sebagai berikut.
𝑚𝑎𝑥𝑝𝑡(𝑗)
𝐸𝑡 ∑ (𝛽𝑃휃𝐹)𝑠 {𝑃𝑤,𝑡+𝑠(𝑗)𝑦𝑤,𝑡+𝑆(𝑗) − (𝑤𝑝,𝑡+𝑠(𝑗)𝑛𝑝,𝑡+𝑠(𝑗) + 𝑤𝐼,𝑡+𝑠(𝑗)𝑛𝐼,𝑡+𝑠(𝑗) +∞𝑠=0
𝑧𝑡+𝑠(𝑗)𝐾𝑡+𝑠(𝑗))} ………………………………………………..…………………………………(17)
𝑃𝑤,𝑡 merupakan harga produk yang dihasilkan dan 𝑦𝑤,𝑡 merupakan produk
intermediate homogen yang dihasilkan dengan menggunakan fungsi produksi
sebagai berikut:
𝑦𝑊,𝑡(𝑖) = 𝐴𝑡[𝑢𝑡(𝑖)𝑘𝑡(𝑖)]𝛼 ((𝑛𝑃,𝑡(𝑖))𝜇𝑙
(𝑛𝐼,𝑡(𝑖))1−𝜇𝑙
)1−𝛼
...……………………………….……(18)
𝐴𝑡 merupakan total factor productivity, 𝑢𝑡 𝜖[0, ∞) merupakan tingkat utilisasi
capital, 𝑘𝑡 merupakan capital stock, 𝑛𝑃,𝑡 merupakan labour input dari patient
household, dan 𝑛𝐼,𝑡 merupakan labour input dari impatient household.
Terdapat tiga tipe produsen lain di dalam model, yaitu capital good
producers, housing producers, dan final (consumption) goods producers. Capital good
producers beroperasi pada perfectly competitive market dan menggunakan barang
17
konsumsi untuk menghasilkan barang modal. Selain itu, capital good producers
juga menggunakan barang modal lama yang tidak terdepresiasi, (1 − 𝛿𝑘)𝑘𝑡−1, untuk
kemudian dijual kepada entrepreneur, dan dapat dituliskan menjadi berikut ini.
𝑘𝑡 = (1 − 𝛿)𝑘𝑡−1 + 휀𝑖,𝑡 (1 −1
2𝜅𝑘 (
𝑖𝑘,𝑡
𝑖𝑘,𝑡−1− 1)
2
) 𝑖𝑘,𝑡 ... …………………………………………(19)
휀𝑖,𝑡 merupakan variabel shock yang memiliki dinamika AR(1) dengan error yang
i.i.d. Barang modal lama dari entrepreneur langsung ditransformasi menjadi
barang modal baru, sedangkan transformasi barang konsumsi menjadi barang
kapital dikenakan fungsi adjustment cost 𝑆𝑘 = (𝑖𝑘,𝑡
𝑖𝑘,𝑡−1) yang memiliki karakteristik
sebagai berikut.
𝑆𝑘(1) = 𝑆𝑘′ (1) = 0; 𝑆𝑘
′′(1) = 𝜅𝐾 > 0 ... …………………………………………………………(20)
Artinya adalah bahwa dalam keadaan steady state, tidak akan terdapat adjustment
cost dan semakin jauh tingkat penggunaan barang konsumsi dari steady,
adjustment cost akan semakin mengingkat.
Fungsi tujuan dari capital good producers adalah memaksimalkan profit
sebagai berikut.
𝑚𝑎𝑥𝑘𝑡
∑ (𝛽𝑝)𝑠
(𝑃𝑘,𝑡+𝑠𝑘𝑡+𝑠 − (𝑃𝑘,𝑡+𝑠(1 − 𝛿)𝑘𝑡+𝑠−1 + 𝑃𝑡+𝑠𝑖𝑘,𝑡+𝑠))∞ 𝑠=0 …….……………………(21)
Housing producers bertindak dengan perilaku yang serupa dengan capital
good producer, yaitu
𝜒𝑡 = (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1 + 휀𝑖𝜒,𝑡 (1 −1
2𝜅𝜒 (
𝑖𝜒,𝑡
𝑖𝜒,𝑡−1− 1)
2
) 𝑖𝜒,𝑡 ...…………………………..……………(22)
Fungsi adjustment cost-nya juga memiliki karakteristik yang sama dengan
capital good producer, yaitu
𝑆𝜒(1) = 𝑆𝜒′ (1) = 0; 𝑆𝜒
′′(1) = 𝜅𝜒 > 0 ... ………………………………………………………...(23)
Fungsi tujuannya adalah memaksimalkan profit sebagai berikut.
𝑚𝑎𝑥𝜒𝑡
∑ (𝛽𝑝)𝑠
(𝑃𝜒,𝑡𝜒𝑡 − (𝑃𝜒,𝑡(1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1 + 𝑃𝑡𝑖𝜒,𝑡))∞ 𝑠=0 ………………………………………(24)
Final good producers merupakan agen yang menggabungkan barang dari
retailer domestik 𝑦𝐻,𝑡(𝑗𝐻) dan retailer barang impor 𝑦𝐹,𝑡(𝑗𝐹) dengan model CES dan
membuatnya menjadi satu produk final yang kemudian dijual di pasar yang
18
bersifat perfectly competitive. Fungsi produksi dari final good producers adalah
sebagai berikut.
𝑦𝑡 = [휂𝜇
1+𝜇𝑦𝐻,𝑡
1
1+𝜇 + (1 − 휂)𝜇
1+𝜇𝑦𝐹,𝑡
1
1+𝜇]
1+𝜇
...…………………………………………….……………(25)
휂 adalah home bias parameter dan 𝜇 adalah parameter yang menentukan elasticity
of substitution between domestic and foreign goods. Optimalisasi fungsi tujuan dari
final good producers akan menghasilkan persamaan permintaan barang domestik
(𝑦𝐻,𝑡), permintaan barang impor (𝑦𝐹,𝑡), dan harga (final) barang konsumsi (𝑃𝑡)
sebagai berikut.
𝑦𝐻,𝑡 = 휂 (𝑃𝐻,𝑡
𝑃𝑡)
− 1+𝜇
𝜇𝑦𝑡 ..…………………………………………………………………………(26)
𝑦𝐹,𝑡 = (1 − 휂) (𝑃𝐹,𝑡
𝑃𝑡)
− 1+𝜇
𝜇𝑦𝑡 ...………………………………………………….………………..(27)
𝑃𝑡−
1
𝜇 = 휂(𝑃𝐻,𝑡)−
1
𝜇 + (1 − 휂)(𝑃𝐹,𝑡)−
1
𝜇 ..…………………………………………..………………(28)
Permintaan barang impor (𝑦𝐹,𝑡) dipengaruhi oleh harga impor relatif
terhadap harga final goods, demikian pula besarnya permintaan barang domestik
(𝑦𝐹,𝑡) dipengaruhi oleh harga domestik relative terhadap harga final goods,
sedangkan harga final goods sendiri (𝑃𝑡) dibentuk oleh harga domestik dan harga
impor.
3.3 Pengecer (Retailers)
Pengecer yang terdapat dalam model terdiri atas pengecer domestik
(domestic retailers), pengecer barang ekspor (exporting retailers), dan pengecer
barang impor (importing retailers) yang seluruhnya berada dalam kondisi pasar
yang monopolistic competition, yaitu pengecer memiliki market power dalam
melakukan setting harga. Pengecer domestik membeli undifferentiated intermediate
goods dari pengusaha, mengubahnya menjadi differentiated goods, lalu
menjualnya ke final good producers. Pengecer barang ekspor membeli
undifferentiated intermediate goods dari pengusaha, mengubahnya menjadi
differentiated goods, lalu menjualnya di pasar internasional. Pengecer barang
impor membeli undifferentiated goods dari pasar internasional, mengubahnya
menjadi differentiated goods, lalu menjualnya ke final goods producers. Penentuan
harga pada ketiga agen retailers itu didasari oleh sticky price model ala Calvo, yang
19
pada setiap periode, hanya sebagian dari retailers yang dapat melakukan
reoptimisasi harga, sementara sebagian yang lain menyesuaikan harga
berdasarkan tingkat inflasi yang terjadi di periode sebelumnya (backward looking).
Untuk domestic retailers yang tidak melakukan reoptimasi, akan ditetapkan
harga dengan fungsi 𝑃𝐻,𝑡 = 𝑃𝐻,𝑡−1𝜋𝑡−1. Dengan demikian, harga agregat pada saat t
didapatkan dengan fungsi:
𝑃𝐻,𝑡 = (휃𝐻(𝑃𝐻,𝑡−1𝜋𝐻,𝑡−1)1− 𝐻 + (1 − 휃𝐻) (𝑃𝐻,𝑡(𝑖))
1− 𝐻)
1
1− 𝐻 .…………………………………(29)
Hasil log-linearisasi akhir dari first order condition (FOC) fungsi tujuan dari
pengecer domestic menunjukkan persamaan New Keynesian Phillips Curve (NKPC)
inflasi, yaitu harga domestic dipengaruhi oleh ekspektasi diri sendiri, baik
backward maupun forward, selain dipengaruhi oleh harga intermediate goods,
yang dirumuskan sebagai berikut.:
��𝐻,𝑡 =1
(1+𝛽𝑃)��𝐻,𝑡−1 +
𝛽𝑃
(1+𝛽𝑃)(��𝐻,𝑡+1) +
(1−𝛽𝑃𝜃𝐻)(1−𝜃𝐻)
(1+𝛽𝑃)𝜃𝐻(PW,t) .…………………………………(30)
Untuk pengecer barang impor yang tidak melakukan reoptimasi, akan
ditetapkan harga dengan fungsi 𝑃𝐹,𝑡 = 𝑃𝐹,𝑡−1𝜋𝑡−1. Dengan demikian, harga agregat
pada saat t didapatkan dengan fungsi sebagai berikut.
PF,t = (θF(PF,t−1πF,t−1)1−εF
+ (1 − θF) (PF,t(i))1−εF
)
1
1−εF ………………………………………(31)
Hasil log-linearisasi akhir dari FOC fungsi tujuan dari importing retailers
adalah NKPC sebagai berikut.
πF,t =1
(1+βP)πF,t−1 +
βP
(1+βP)(πF,t+1) +
(1−βPθF)(1−θF)
(1+βP)θF(st + PF,t
∗ ) .………………………………(32)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa inflasi harga impor selain
dipengaruhi oleh ekspektasi dirinya sendiri, baik ekspektasi backward maupun
forward, juga dipengaruhi oleh harga luar negeri.
Pengecer barang ekspor membeli domestic undifferentiated goods, memberi
brand dan menjualnya ke luar negeri dengan harga 𝑃𝐻,𝑡∗ , yang dinyatakan dalam
satuan mata uang asing. Diasumsikan bahwa harga adalah sticky dalam mata
uang asing. Persamaan permintaaan untuk barang ekspor adalah sebagai berikut:
20
𝑦𝐻,𝑡∗ = (
𝑃𝐻,𝑡∗
𝑃𝐻,𝑡∗ )
−(1+𝜇𝐻∗)
𝜇𝐻∗𝑦𝐻,𝑡
∗ ...……………………………………………………………………… (33)
𝑦𝐻∗ menunjukkan output dari retailer yang didefinisikan sebagai:
𝑦𝐻,𝑡∗ = (∫ 𝑦𝐻,𝑡
∗1
0(𝑗𝐻
∗ )1
1+𝜇𝐻∗ 𝑑𝑗𝐻∗ )
1+𝜇𝐻∗
...……………………………………………………………(34)
dan 𝑃𝐻,𝑡∗ sebagai
𝑃𝐻,𝑡∗ = (∫ 𝑃𝐻,𝑡
∗1
0(𝑗𝐻
∗ )−1
𝜇𝐻∗ 𝑑𝑗𝐻∗ )
−𝜇𝐻∗
..……………………………………………..…………………(35)
Lebih jauh lagi, diasumsikan bahwa demand luar negeri diberikan oleh:
𝑦𝐻,𝑡∗ = (1 − 휂∗) (
𝑃𝐻,𝑡∗
𝑃𝑡∗ )
−(1+𝜇𝐻∗)
𝜇𝐻∗𝑦𝑡
∗ ...…………………………………………………………..……(36)
Seperti halnya pengecer lainnya yang terdapat dalam model, penentuan
harga dari pengecer barang ekspor mengacu pada skema standar Calvo. Peluang
untuk mengubah harga adalah sebesar (1 − 휃) dan peluang untuk tidak
melakukan reoptimasi harga adalah sebesar 휃. Untuk pengecer barang ekspor
yang tidak melakukan reoptimasi, akan ditetapkan harga dengan fungsi 𝑃𝐻,𝑡∗ =
𝑃𝐻,𝑡−1∗ 𝜋𝑡−1
∗ . Dengan demikian, harga agregat pada saat t didapatkan dengan fungsi
sebagai berikut.
𝑃𝐻,𝑡∗ = (휃𝐻
∗ (𝑃𝐻,𝑡−1∗ 𝜋𝐻,𝑡−1
∗ )1− 𝐻
∗
+ (1 − 휃𝐻∗ ) (𝑃𝐻,𝑡
∗ (𝑖))1− 𝐻
∗
)
1
1− 𝐻∗
...………………………………(37)
Hasil log-linearisasi akhir dari FOC fungsi tujuan dari exporting retailers
menunjukkan bahwa inflasi harga ekspor selain dipengaruhi oleh ekspektasi diri
sendiri, baik backward maupun forward, juga dipengaruhi oleh harga intermediate
goods dan nilai tukar, yang dirumuskan sebagai berikut.
πH,t∗ =
1
(1+βP)πH,t−1
∗ +βP
(1+βP)(πH,t+1
∗ ) +(1−βPθH
∗ )(1−θH∗ )
(1+βP)θH∗ (PW,t − st) ...…………………………(38)
3.4 Bank
Dalam model ini bank dibangun atas dua unit, yaitu saving unit, yang
mengumpulkan deposito dari patient household serta menjadi supplier pada
interbank market; unit lainnya adalah lending unit yang menyalurkan pinjaman
kepada entrepreneurs dan impatient household serta melakukan pembelian
21
government bond. Dalam mekanisme interbank market terdapat friksi dalam pasar
uang yang disebabkan oleh adanya probability of default dari lending bank yang
tidak mampu membayar kembali kepada saving bank.
Gambar 3. Bank's Financial Intermediation Process
Patient household melakukan penyimpanan deposito kepada saving unit
yang sudah melakukan markdown deposit rate dari suku bunga interbank. Dana
deposito sebagian disalurkan untuk pembelian risk free assets dan sisanya
disalurkan dalam interbank market. Lending unit akan meminjam dana yang
tersedia di interbank market untuk membiayai loan kepada impatient household
dan entrepreneurs dengan markup loan rate dari cost of fund yang dimilikinya
(interbank rate). Lending unit juga dapat melakukan pembelian risk free assets.
Gambar 4. Skema Blok Perbankan
22
3.4.1 Savings Unit
Savings unit beroperasi dalam kondisi pasar yang monopolistic competitive
dan mengumpulkan deposit, 𝐷𝑡, dari household workers. Deposito diasumsikan
seluruhnya tidak ada default atau seluruhnya dijamin. Bank menetapkan deposit
interest rate, 𝑅𝑗,𝑡𝐷 , yang dibayarkan pada deposan dan menetapkan alokasi portfolio
yang optimal antara penempatan di interbank market sebanyak ��𝑗,𝑡 = 𝑠𝑗,𝑡𝐷𝑗,𝑡, atau
penempatan di risk free assets (government bond) sebanyak 𝐵𝑗,𝑡𝑠𝑏 = (1 − 𝑠𝑗,𝑡)𝐷𝑗,𝑡.
Setiap periode terdapat peluang default dari penempatan di interbank
market dengan peluang default sebesar 𝛿𝑡𝐷 yang harus ditanggung oleh savings
banks. Terdapat premi asuransi yang harus dibayar oleh savings banks saat
melakukan penempatan di risk free assets (cost of holding risk free assets), yaitu
sebesar 𝜒𝑠
2((1 − 𝑠𝑗,𝑡)𝐷𝑗,𝑡)
2
Balance sheet savings unit:
Tabel 3. Balance Sheet's Savings Unit
Assets Liabilities
Interbank lending: ��𝑗,𝑡 Deposits: 𝐷𝑗,𝑡
Government bonds: 𝐵𝑗,𝑡𝑠𝑏
Dalam kondisi monopolistic competition dan imperfect substitution
antardeposit, setiap savings bank menghadapi fungsi supply deposit seperti
berikut.
𝐷𝑗,𝑡 = (𝑅𝑗,𝑡
𝐷
𝑅𝑡𝐷 )
𝜐𝐷
𝐷𝑡...…………………………………………………………………………………(39)
Dari fungsi di atas terlihat bahwa supply deposit akan meningkat seiring
perubahan relative deposit interest rate di sepanjang periode. Variabel 𝐷𝑗,𝑡
merupakan supply deposit pada bank 𝑗, sedangkan 𝐷𝑡 merupakan total deposit
dalam perekonomian.
Terdapat quadratic adjustment cost atas perubahan deposit interest rate
yang mengakibatkan munculnya rigiditas harga dan pada akhirnya menimbulkan
interest rate spread yang bervariasi tiap periode:
23
𝐴𝑑𝑗,𝑡𝑅𝐷
=𝜙
𝑅𝐷
2(
𝑅𝑗,𝑡𝐷
𝑅𝑗,𝑡−1𝐷 − 1)
2
𝐷𝑡...…………………………………………………………………….(40)
sehingga fungsi tujuan dari saving unit ini adalah:
max{𝑠𝑗,𝑡, 𝑅𝑗,𝑡
𝐷 }𝐸0 ∑ 𝛽𝑃
𝑡 𝜆𝑡𝑏 {[(1 − 𝛿𝑡
𝐷𝑠𝑗,𝑡)𝑅𝑡 − 𝑅𝑗,𝑡𝐷 ]𝐷𝑗,𝑡 −
𝜒𝑠
2((1 − 𝑠𝑗,𝑡)𝐷𝑗,𝑡)
2− 𝐴𝑑𝑗,𝑡
𝑅𝐷}∞
𝑡=0 ……….…(41)
Subject to (39) dan (40).
Dalam asumsi symmetry equilibrium, first order condition dari optimisasi ini
adalah sebagai berikut.
𝑠𝑗,𝑡 = 1 −𝛿𝑡
𝐷𝑅𝑡
𝜒𝑠𝐷𝑡 ...…………..………………………………………………………………………(42)
(1+𝜐𝐷
𝜐𝐷) (𝑅𝑡
𝐷 − 1) = (1 − 𝑠𝑡𝛿𝑡𝐷)(𝑅𝑡 − 1) − 𝜒𝑠(1 − 𝑠𝑡)2𝐷𝑡 −
𝜙𝑅𝐷
𝜐𝐷(
𝑅𝑡𝐷
𝑅𝑡−1𝐷 − 1)
𝑅𝑡𝐷
𝑅𝑡−1𝐷 +
𝛽𝑝𝜙𝑅𝐷
𝜐𝐷(
𝑅𝑡+1𝐷
𝑅𝑡𝐷 −
1) (𝑅𝑡+1
𝐷
𝑅𝑡𝐷 )...…………………………………………………………………………………………(43)
Persamaan dalam (42) menjelaskan alokasi penempatan yang dilakukan
oleh savings banks ke interbank market. Alokasi yang ditempatkan dalam
interbank market, 𝑠𝑗,𝑡, akan menurun seiring dengan meningkatnya probability of
default, 𝛿𝑡𝐷 dan peningkatan pada total deposito akan meningkatkan jumlah
alokasi di interbank market.
Sementara itu, persamaan pada (43) di atas menjelaskan suku bunga
deposit, 𝑅𝑡𝐷, yang merupakan markdown dari interbank rate, 𝑅𝑡. Peningkatan resiko
pada interbank market, 𝛿𝑡𝐷, akan membuat saving banks mengurangi alokasi
penempatan di interbank market dan menambah alokasi penempatan di risk free
assets. Kenaikan pada interbank rate atau return rate on risk free assets akan
membuat savings banks juga akan mengurangi supply dana pada interbank
market. Demikian pula apabila terdapat kenaikan total deposit, interbank lending
akan meningkat sehingga terjadi ekspansi credit supply.
Framework yang terbentuk dari dua persamaan di atas menunjukkan dua
channel transimisi perilaku supply credit dari savings banks memengaruhi real
economy. Pertama, dengan penentuan deposit return rate, yang berada dalam
kondisi nominal rigidity, savings banks memengaruhi intertemporal substitution of
consumption sepanjang periode dan menyebabkan perilaku konsumsi yang smooth.
Kedua, dengan membagi portfolio secara optimal, savings banks memengaruhi
kondisi credit supply dengan mengembangkan dan memperketat kondisi pasar
kredit.
24
3.4.2 Lending Unit
Lending unit juga beroperasi dalam kondisi monopolistic competitive untuk
menyediakan pinjaman pada entrepreneurs. Untuk menyediakan pinjaman kepada
entrepreneurs, lending unit j menggunakan interbank borrowing ��𝑗,𝑡 ditambah
dengan suntikan likuiditas dari bank sentral (quatitative monetary easing) 𝑀𝑗,𝑡, dan
total market value dari bank capital-nya sendiri 𝑄𝑡𝑍𝑍𝑗,𝑡 ditambah dengan likuiditas
dari bank sentral 𝑥𝑗,𝑡 . Di sini diasumsikan bahwa bank menggunakan teknologi
leontif untuk menghasilkan pinjaman sebagai berikut.
𝑏𝑗,𝑡 = min{ ��𝑗,𝑡 + 𝑀𝑗,𝑡 ; 𝐾𝑗,𝑡(𝑄𝑡𝑍𝑍𝑗,𝑡 + 𝑥𝑗,𝑡 ) } 𝜏𝑡.…………………….……………………………(44)
Penggunaan teknologi leontif untuk menghasilkan pinjaman
mengimplikasikan bahwa terdapat efek komplementer yang sempurna antara
interbank borrowing dan bank capital. Lebih lanjut, marginal cost untuk
menghasilkan pinjaman adalah jumlah dari marginal cost dari interbank borrowing
dan cost untuk menghasilkan capital.
Lending bank’s balance sheet pada periode t:
Tabel 4. Balance Sheet's Lending Unit
Assets Liabilities
Loans: 𝑏𝑗,𝑡 - 𝑥𝑗,𝑡 Interbank borrowing: ��𝑗,𝑡
Government bonds: 𝐵𝑗,𝑡𝑙𝑏 = 𝑄𝑡
𝑍𝑍𝑗,𝑡 + 𝑥𝑗,𝑡 Bank Capital: 𝑄𝑡𝑍𝑍𝑗,𝑡
Central bank’s money injection: 𝑚𝑗,𝑡
Other terms: (𝜏𝑡 − 1)(��𝑗,𝑡 + 𝑀𝑗,𝑡)
Seperti pada Gerali et al. (2009), adjustment cost terkait dengan perubahan
pada prime lending rates, 𝑅𝑗,𝑡𝐿 dimodelkan a la Rotemberg (1982), yaitu sebagai
berikut.
𝐴𝑑𝑗,𝑡𝑅𝐿
=𝜙
𝑅𝐿
2(
𝑅𝑗,𝑡𝐿
𝑅𝑗,𝑡−1𝐿 − 1)
2
𝐿𝑡.……………………………………….………………………………(45)
Problem optimisasi dari lending bank adalah memilih 𝑅𝑗,𝑡𝐿 , 𝐾𝑗,𝑡, 𝛿𝑗,𝑡
𝐷 , 𝛿𝑗,𝑡𝑍 sehingga
problem maksimisasi lending banks dapat dijabarkan sebagai berikut.
25
max{𝑅𝑗,𝑡
𝐿 ,𝐾𝑗,𝑡,𝛿𝑗,𝑡𝐷 ,𝛿𝑗,𝑡
𝑍 }𝐸0 ∑ 𝛽𝑏
𝑡𝜆𝑡𝑏 { 𝑅𝑗,𝑡
𝐿 − (1−, 𝛿𝑗,𝑡𝐷 )𝑅𝑡��𝑗,𝑡 − 𝑅𝑡𝑚𝑗,𝑡 − [(1 − 𝛿𝑗,𝑡
𝑍 )𝑅𝑡+1𝐿 − 𝑅𝑡]𝑄𝑡
𝑍𝑍𝑗,𝑡 −∞𝑡=0
𝜒𝛿𝐷
2 (
𝛿𝑗,𝑡−1𝐷 ��𝑗,𝑡
𝜋𝑡)
2
− −𝜒
𝛿𝑍
2(
𝛿𝑗,𝑡−1𝐷 𝑄𝑡
𝑍𝑍𝑗,𝑡
𝜋𝑡)
2
+𝜒𝑘
2(
��−𝐾𝑗,𝑡
��𝑄𝑡
𝑍𝑍𝑗,𝑡)2
− (𝑅𝑗,𝑡𝐿 − 𝑅𝑡)𝑥𝑗,𝑡 − 𝐴𝑑𝑗,𝑡
𝑅𝐿 }...……(46)
dengan
𝑏𝑗,𝑡 = 𝑚𝑖𝑛{ ��𝑗,𝑡 + 𝑚𝑗,𝑡 ; 𝜅𝑗,𝑡(𝑄𝑡𝐾𝐾𝑗,𝑡
𝑏 + 𝑥𝑗,𝑡 )} 𝛤𝑡...…………………………………………………(47)
𝐴𝑑𝑗,𝑡𝑅𝑏𝐸
=𝜙
𝑅𝑏𝐸
2(
𝑅𝑗,𝑡𝑏𝐸
𝑅𝑗,𝑡−1𝑏𝐸 − 1)
2
𝑏𝑡𝐸.……………………………………….……………………………(48)
𝐴𝑑𝑗,𝑡𝑅𝑏𝐼
=𝜙
𝑅𝑏𝐼
2(
𝑅𝑗,𝑡𝑏𝐼
𝑅𝑗,𝑡−1𝑏𝐼 − 1)
2
𝑏𝑡𝐼...……………………………………………………………………(49)
𝑏𝑗,𝑡𝐸 = (
𝑅𝑗,𝑡𝑏𝐸
𝑅𝑡𝑏𝐸)
−𝜐𝐿𝐸
𝑏𝑡𝐸...……………………………………………………………………………...(50)
𝑏𝑗,𝑡𝐻 = (
𝑅𝑗,𝑡𝑏𝐼
𝑅𝑡𝑏𝐼)
−𝜐𝐿𝐻
𝑏𝑡𝐼...………………………………………………………………………………(51)
𝑏𝑡 = 𝑏𝑡𝐸 + 𝑏𝑡
𝐼.………………………………………………………………………………………(52)
𝐾𝑡𝑏 = (1 − 𝛿𝑏)𝐾𝑡−1
𝑏 + 𝑤𝑏𝑗𝑡−1𝑏 ..………………………………………………………………..…(53)
Dalam asumsi symmetric equilibrium, seluruh bank mengambil keputusan
yang sama, first order condition dari optimisasi ini, antara lain, menghasilkan
persamaan stickiness dalam suku bunga pinjaman entrepreneur, 𝑅𝑡𝐿𝐸 , dan suku
bunga pinjaman impatient household, 𝑅𝑡𝐿𝐼, sebagai berikut.
𝑅𝑡𝐿𝐸 = 1 +
𝜐𝐿𝐸
(𝜐𝐿𝐸−1)(휁𝑡 − 1) −
𝜅𝐿𝐸
(𝜐𝐿𝐸−1)(
𝑅𝑡𝐿𝐸
𝑅𝑡−1𝐿𝐸 − 1)
𝑅𝑡𝐿𝐸
𝑅𝑡−1𝐿𝐸 +
𝛽𝑝𝜅𝐿𝐸
(𝜐𝐿𝐸−1)(
𝑅𝑡+1𝐿𝐸
𝑅𝑡𝐿𝐸 − 1)
𝑅𝑡+1𝐿𝐸
𝑅𝑡𝐿𝐸 .…………………(54)
𝑅𝑡𝐿𝐼 = 1 +
𝜐𝐿𝐼
(𝜐𝐿𝐼−1)(휁𝑡 − 1) −
𝜅𝐿𝐼
(𝜐𝐿𝐼−1)(
𝑅𝑡𝐿𝐼
𝑅𝑡−1𝐿𝐼 − 1)
𝑅𝑡𝐿𝐼
𝑅𝑡−1𝐿𝐼 +
𝛽𝑝𝜅𝐿𝐼
(𝜐𝐿𝐼−1)(
𝑅𝑡+1𝐿𝐼
𝑅𝑡𝐿𝐼 − 1)
𝑅𝑡+1𝐿𝐼
𝑅𝑡𝐿𝐼 ...…………………(55)
Persamaan pada (54) menjelaskan hubungan antara entrepreneur prime
lending rate dan marginal cost dari loan dan keuntungan masa depan dari
penyesuaian entrepreneur lending rate. Hal yang sama untuk persamaan (55) yang
menjelaskan hubungan antara antara impatient household prime lending rate dan
marginal cost dari loan dan keuntungan masa depan dari penyesuaian impatient
household lending rate.
26
3.5 Pemerintah dan Bank Sentral
Pemerintah dan bank sentral dalam model ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
Government
Impatient
Households
Patient
Households
Final Goods
Producers
ROW
Tax
Foreign Loan
Consumption
Banks
Domestic Loan
Gambar 5. Skema Model Pemerintah dan Bank Sentral
Pemerintah menghimpun pajak dan meminjam di pasar domestik (melalui
bank) dan di pasar luar negeri untuk membiayai pengeluarannya. Budget
constraint pemerintah dalam perekonomian adalah:
𝑃𝑡𝑔𝑡 + (1 + 𝑟𝐵,𝑡−1∗ )𝑒𝑡𝑏𝐺,𝑡−1
∗ + (1 + 𝑟𝑡−1)𝑏𝐺,𝑡−1 = (𝑇𝑡𝑃 + 𝑇𝑡
𝐼) + 𝑒𝑡𝑏𝐺,𝑡∗ + 𝑏𝐺,𝑡 .……….…(60)
Dengan penjelasan 𝑔𝑡 merupakan pengeluaran pemerintah yang dimodelkan
dengan dinamika AR(1), 𝑏𝐺,𝑡∗ merupakan pinjaman luar negeri pemerintah yang
juga dimodelkan sebagai AR(1), dan 𝑇𝑃 serta 𝑇𝑡𝐼 adalah pajak yang dihimpun dari
patient dan impatient households.
Penetapan suku bunga kebijakan (𝑟𝑡) oleh bank sentral dimodelkan dalam
bentuk persamaan taylor rule sebagai berikut.
(1 + 𝑟𝑡) = (
1+𝑟𝑡−1
1+��)
𝜙𝑅((
𝜋𝑡
��𝑡)
𝜙𝜋(
��𝑡
��)
𝜙𝑦)
1−𝜙𝑅
휀𝑟,𝑡 .………………………………………………… (61)
Dengan penjelasan 𝜙𝜋 dan 𝜙𝑦 merupakan bobot yang dikenakan terhadap inflasi
dan output, �� merupakan suku bunga nominal steady state, dan 휀𝑡𝑟 merupakan
shock i.i.d. terhadap kebijakan moneter dengan distribusi normal dan standar
deviasi 𝜎𝑟.
27
3.6. Market Clearing Condition
Untuk menutup model, diperlukan persamaan market clearing condition
untuk barang yang dihasilkan oleh final goods producers, barang yang diproduksi
oleh intermediate good producers (intermediate homogeneous goods), pasar
perumahan, balance of payment, dan definisi GDP di dalam model. Selain itu,
karena ekonomi yang dimodelkan adalah ekonomi terbuka, perlu ditentukan
spesifikasi persamaan dari risk premium yang merupakan fungsi dari rasio total
utang luar negeri terhadap PDB (sesuai dengan Schmitt-Grohe and Uribe, 2003).
Final Goods Producers Output
��𝑡 = 휂(𝑝𝐻)
− 1
𝜇(��𝐻,𝑡 + ��𝐻,𝑡−1) + (1 − 휂)(𝑝𝐹)−
1
𝜇(��𝐹,𝑡 + ��𝐹,𝑡−1) ..……………….…….……….(62)
𝑐
����𝑡 =
𝛾𝐼𝑐𝐼
����𝑡
𝐼 +𝛾𝑃𝑐𝑃
����𝑡
𝑃 + 𝑅𝑛𝑌 ∗ 𝑁 ………….……………………………….……………………..(63)
Intermediate Homogenous Goods Market
∫ 𝑦𝐻,𝑡(𝑗)𝑑𝑗1
0+ ∫ 𝑦𝐻,𝑡
∗ (𝑗)𝑑𝑗1
0= 𝑦𝑊,𝑡 …………………….………………………….…………………(64)
Housing Market
𝛾𝑃𝜒𝑡𝑃 + 𝛾𝐼𝜒𝑡
𝐼 = 𝜒𝑡 …………………….…………..……………….………………………….……(65)
Balance of Payment
𝑃𝐹,𝑡𝑦𝐹,𝑡 + 𝑒𝑡(1 + 𝑟𝑡−1∗ )𝜌𝑡−1𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡−1
∗ = 𝑒𝑡𝑃𝐻,𝑡∗ 𝑦𝐻,𝑡
∗ + 𝑒𝑡𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡∗ …………………………….…….……(66)
Dengan penjelasan
𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡∗ = 𝑏𝐺,𝑡
∗ …………………….…………………………………….………………………….……(67)
GDP
𝑃𝑡��𝑡 = 𝑃𝑡𝑦𝑡 + 𝑒𝑡𝑃𝐻,𝑡∗ 𝑦𝐻,𝑡
∗ − 𝑃𝐹,𝑡𝑦𝐹,𝑡 …………………….……………..………….…………………(68)
Risk Premium
(1 + 𝜌𝑡) = 𝑒𝑥𝑝 (−𝜚𝑒𝑡𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡
∗
𝑃𝑡��𝑡) 휀𝜌,𝑡
…………………….……………………….………………………(69)
28
IV. ESTIMASI DAN SIMULASI
Untuk keperluan estimasi, digunakan data triwulanan sejak triwulan I
tahun 2001 sampai dengan triwulan IV tahun 2012. Data untuk sektor riil yang
digunakan untuk estimasi adalah konsumsi swasta, investasi swasta, pengeluaran
pemerintah, ekspor, impor, inflasi CPI, deflator impor, deflator ekspor dan nilai
tukar. Untuk data disagregasi PDB, deflator ekspor, dan deflator impor digunakan
data yang berasal dari publikasi PDB berdasarkan pengeluaran dari BPS. Untuk
data nilai tukar dan inflasi CPI didapatkan dari database model ARIMBI/SOFIE.
Untuk variabel sektor eksternal, digunakan data yang juga digunakan oleh model
ARIMBI dan SOFIE, yaitu PDB dunia, inflasi USA, dan LIBOR, sedangkan untuk
data transaksi di interbank market digunakan volume transaksi untuk setiap bank.
Untuk sektor perbankan, data yang digunakan adalah suku bunga
kebijakan (BI rate), suku bunga dan jumlah penghimpunan dana pihak ketiga
(DPK), modal bank, suku bunga, serta penyaluran kredit rumah tangga (kredit
konsumsi), suku bunga, dan jumlah penyaluran kredit ke perusahaan (kredit
investasi dan modal kerja), jumlah SBI (dan operasi moneter lainnya) yang dimiliki
oleh bank, jumlah tagihan bank kepada pemerintah pusat (SBN), jumlah reserve
(termasuk cash in vault) bank, dan non performing loan (NPL). Untuk komposisi
neraca bank, data yang digunakan berasal dari neraca analitis bank umum. Data
NPL didapatkan dari database model SOFIE.
4.1 Estimasi
Dalam menentukan nilai steady state variabel sektor riil, digunakan data
realisasi selama periode estimasi (triwulan I 2001 s.d. triwulan IV 2012) sebagai
acuan utama. Namun, kami juga mempertimbangkan nilai steady state yang
digunakan pada model DSGE negara maju atau negara berkembang sebagai
perbandingan. Untuk variabel disagregasi PDB, berdasarkan data selama periode
estimasi yang telah diproses, digunakan HP filter dan didapatkan hasil seperti yang
terlihat pada Gambar 6.
29
Gambar 6. Steady State Variabel Disagregasi PDB Berdasarkan Data
Berbeda dengan disagregasi yang dilakukan oleh BPS untuk variabel
investasi (investasi bisnis dan investasi bangunan), di dalam model investasi dibagi
menjadi dua, yaitu investasi perumahan dan investasi untuk barang modal. Untuk
mendapatkan nilai steady state dari rasio investasi perumahan (housing) dari total
PDB, kami mengalikan rasio nilai penyelesaian bangunan untuk kategori gedung
(0,4) dengan rata-rata rasio investasi bangunan dari total investasi (0,83),
kemudian kami kalikan lagi dengan rasio investasi terhadap PDB (0,22). Dengan
menggunakan pendekatan tersebut (dan pembulatan), kami menetapkan nilai
steady state untuk rasio investasi perumahan dari total PDB adalah sebesar 0,08.
Gambar 7. Rasio Nilai Penyelesaian Bangunan per Kategori dan Rasio Investasi Bangunan
Dengan menggunakan pendekatan yang sama, kita juga bisa mendapatkan
nilai steady state untuk variabel komponen neraca bank. Namun, seperti terlihat
pada Gambar 8, hasil HP filter untuk rasio variabel komponen neraca bank
.0
.1
.2
.3
.4
.5
.6
.7
00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
CRL_SS GRL_SS PMTBRL_SS
XRL_SS MRL_SS
Consumption Gov Investment Export Import
Mean 0.589 0.077309 0.220452 0.43901 0.340948
Median 0.590 0.078438 0.220191 0.448076 0.356237
Maximum 0.620 0.083718 0.247197 0.48653 0.374467
Minimum 0.553 0.06537 0.196657 0.391218 0.286572
Std. Dev. 0.021 0.005743 0.01582 0.034335 0.032558
30
terhadap total aset tidak menunjukkan kestabilan pada nilai tertentu. Selain
menggunakan hasil HP filter yang ditampilkan pada gambar tersebut, digunakan
pula hasil penelitian dari Gunadi dan Budiman (2011) mengenai optimalisasi
komposisi portfolio bank di Indonesia untuk menentukan nilai steady state
variabel neraca bank yang secara lengkap ditampilkan pada Tabel 5.
Gambar 8. Hasil HP Filter dari Rasio Variabel Komponen Neraca Bank terhadap Total Aset
Tabel 5. Nilai Steady State Variabel Neraca Bank
Assets Liabilities
Total Loan 0,7 Deposit 0,9
SBI 0,12 Capital 0,1
Loan to Government (SBN) 0,08
Reserve 0,1
Nilai steady state variabel suku bunga kebijakan (BI rate) menggunakan
nilai yang sama dengan yang digunakan oleh model ARIMBI. Apabila kita melihat
Gambar 9 yang memperlihatkan hasil HP filter dari berbagai variabel suku bunga
dalam model, terlihat bahwa spread antara BI rate dan suku bunga DPK tidaklah
stabil. Pada saat BI rate tinggi, spread dengan suku bunga DPK juga besar,
sedangkan pada saat BI rate rendah, spread dengan suku bunga DPK juga rendah.
Karena kita menggunakan nilai steady state BI rate yang tergolong rendah, untuk
konsistensi dengan data, digunakan spread yang juga rendah dalam menghitung
steady state suku bunga DPK. Dengan menggunakan metode ini, kami
31
menetapkan nilai steady state suku bunga DPK sebesar 4,5%. Untuk menentukan
nilai steady state suku bunga kredit konsumsi dan investasi, kami menambahkan
rata-rata perbedaan antara kedua suku bunga tersebut dan BI rate selama periode
estimasi sehingga didapatkan nilai steady state suku bunga kredit konsumsi
sebesar 13,65% dan nilai steady state suku bunga kredit untuk perusahaan
(modal kerja dan investasi) sebesar 11,4%. Untuk suku bunga LIBOR yang menjadi
proksi dari suku bunga luar negeri, kami menggunakan angka yang sama dengan
yang digunakan model ARIMBI, yaitu 3%.
Gambar 9. Hasil HP Filter dari Berbagai Variabel Suku Bunga dalam Model
Secara lengkap, nilai steady state untuk seluruh variabel yang digunakan
oleh model terdapat pada Tabel 6.
0
4
8
12
16
20
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
BI_RATE_TREND LIBOR_TREND
R_DEP_TREND R_KK_TREND
R_KE_TREND
32
Tabel 6. Nilai Steady State Seluruh Variabel
Variables Values
Consumption to GDP ratio 0,59
Capital investment to GDP ratio 0,19
Housing investment to GDP ratio 0,08
Government expenditure to GDP ratio 0,09
Import to absorption ratio 0,38
Export to output ratio 0,44
Loan to HH to GDP ratio 0,31
Loan to entrepreneur to GDP ratio 0,71
Deposit to GDP ratio 1,28
Importer’s profit margin 0,03
Exporter’s profit margin 0,026
Domestic retailer’s profit margin 0,18
Rate on loan to HH* 14,98%
Rate on loan to entrepreneur* 12,9%
Rate on deposit* 4,5%
Foreign interest rate* 3%
CAR 0,14
Bank’s profit to total asset ratio 0,025
Deposit to bank’s total asset ratio 0,9
Bank’s capital to total asset ratio 0,1
Loan to bank’s total asset ratio 0,7
Risk free asset to bank’s total asset ratio** 0,2
Reserve to total asset ratio 0,1
Interbank Volume to Total Asset 0,5267
Sebagian paremeter yang digunakan di dalam model dikalibrasi dengan
menggunakan nilai yang digunakan oleh model yang pernah dikembangkan oleh
Bank Indonesia dan hasil penelitian empiris terkait. Capital share dalam fungsi
produksi ditetapkan sebesar 0,54 sesuai dengan hasil estimasi dari model MODBI
2012. Nilai dari home bias parameter ditentukan berdasarkan nilai HP filter dari
import to absorption ratio Indonesia selama periode estimasi. Parameter yang
menentukan elasticity of subtitution between domestic and foreign goods dan
33
elasticity of subtitution for export goods menggunakan nilai yang berasal dari
penelitian Zhang dan Verikios (2006)2. Nilai parameter—untuk risk premium dan
yang mengatur biaya untuk mengelola modal bank—didapatkan melalui hubungan
steady state antara berbagai variabel yang terdapat dalam model. Calvo parameter
untuk labor mengikuti hasil estimasi dari model BISMA (2009). Untuk parameter
dari persamaan ad hoc yang menentukan dinamika dari bobot aset beresiko
(persamaan 36) dan reserve yang dimiliki bank (persamaan 37–39) menggunakan
hasil estimasi persamaan parsial berdasarkan data selama periode estimasi.
Tabel 7. Nilai Parameter Hasil Kalibrasi
Parameters Values
Mark-up parameter in labor market 휀𝑤 11
Depreciation rate of capital 𝛿𝑘 0,025
Depreciation rate of housing asset 𝛿𝜒 0,0125
Cost to managing bank’s capital 𝛿𝑏 0,1
Risk premium parameter 𝜌𝑏 0,11
Capital share in production function 𝛼 0,54
Home bias parameter 휂 0,62
Elasticity of subtitution between domestic and foreign goods 𝜇 0,63
Elasticity of subtitution for export goods 𝜇𝐻∗ 0,45
Labour income share of unconstrained household 𝜇𝐿 0,67
The probability of given labor (from patient and impatient HH) is selected not to reoptimize its wage
휃𝑤𝑝 𝑑𝑎𝑛 휃𝑤𝑖 0,65
Reserve equation’s parameter 𝜌Γ 0,197
Excess reserve equation’s parameter 𝜌ε 0,632
Penentuan prior untuk parameter yang diestimasi menggunakan
pendekatan yang sama dengan penentuan parameter yang dikalibrasi, yaitu
menggunakan nilai dari model yang pernah dikembangkan sebelumnya ataupun
dari penelitian empiris terkait. Untuk parameter 𝜿𝒅, 𝜿𝒃𝒆, dan 𝜿𝒃𝒊, prior ditentukan
dengan menetapkan respons suku bunga retail bank terhadap shock suku bunga
2 Digunakan perhitungan parameter berdasarkan CES based estimation yang sesuai
dengan asumsi yang digunakan dalam model yang dikembangkan dalam penelitian ini.
34
kebijakan sesuai dengan hasil estimasi dari immediate pass-through yang
dilakukan oleh Harmanta dan Purwanto (2012). Untuk Taylor rule parameter (𝝋𝒓,
𝝋𝝅, dan 𝝋𝒚 ), nilai dari prior ditetapkan sesuai dengan nilai yang digunakan oleh
core model ARIMBI. Prior untuk parameter yang mengatur habit persistence dalam
kegiatan konsumsi rumah tangga menggunakan hasil estimasi model BISMA
(2009). Secara lengkap, prior distribution, jenis distribusi dan posterior distribution
dari parameter hasil estimasi terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Parameter Hasil Estimasi
Parameters
Distributions
Prior Distribution
Posterior
Distribution
Mean Std. Dev. Mean
Inverse of intertemporal elasticity of substitution for housing
𝝈𝝌 normal 4 0,2 4,1670
Inverse of intertemporal elasticity of substitution for consumption
𝝈𝒄 normal 2 0,2 2,1274
Inverse of Frisch elasticity of labour supply
𝝈𝒏 normal 2 0,2 4,1417
Adjustment cost paremeter for deposit rate
𝜿𝒅 gamma 3,25 0,2 3,2675
Adjustment cost paremeter for entrepreneur loan rate
𝜿𝒃𝒆 normal 3,5 0,2 3,7420
Adjustment cost paremeter for household loan rate
𝜿𝒃𝒊 normal 8 0,2 8,1676
Adjustment cost paremeter for capital investment
𝜿𝒌 gamma 5 0,5 5,1631
Adjustment cost paremeter for housing investment
𝜿𝝌 normal 50 0,5 49,3372
Adjustment cost paremeter for bank’s CAR
𝜿𝒌𝒃 beta 1 0,05 0,9684
35
Tabel 8. (lanjutan)
Parameters
Distributions
Prior Distribution
Posterior
Distribution
Mean Std. Dev. Mean
Calvo paremeter for import goods
𝜽𝒇 beta 0,7 0,05 0,6254
Calvo paremeter for domestic goods
𝜽𝐡 beta 0,4 0,05 0,3948
Calvo parameter for export goods
𝜽𝐡∗ beta 0,6 0,05 0,7898
4.2 Simulasi
Pada bagian ini akan dipelajari dinamika dari impulse response yang
dihasilkan oleh model. Pembahasan akan difokuskan pada simulasi dari kebijakan
moneter berupa shock pada BI rate dan simulasi dari kebijakan makroprudensial.
Karena model yang dikembangkan ini mengasumsikan ekonomi yang bersifat
terbuka (small open economy), akan dibahas pula transmisi dari shock nilai tukar.
Lebih lanjut, sesuai dengan desain pengembangan model, pada bagian ini juga
akan difokuskan pada pembahasan simulasi mekanisme financial acelerator dan
shock yang berasal dari interbank market.
4.2.1 BI Rate’s Shock
Gambar 10. Impulse Response Shock BI Rate
36
Dalam literatur transmisi suku bunga kebijakan moneter bermula dari suku
bunga kebijakan (BI rate) yang memengaruhi suku bunga simpanan dan suku
bunga kredit. Pengaruhnya bermula melalui suku bunga jangka pendek dan
berlanjut ke suku bunga jangka panjang. Dengan adanya kekakuan harga,
perubahan suku bunga kebijakan tersebut akan berpengaruh pada suku bunga
riil kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi yang pada akhirnya akan
berdampak pada variabel-variabel riil (akun-akun laba rugi dan neraca bank,
perusahaan, dan rumah tangga).
Dengan memperhatikan impulse response function model, seperti yang
terlihat pada Gambar 10, kenaikan BI rate sebesar 1% akan ditransmisikan ke
berbagai suku bunga yang ada di sektor perbankan, baik suku bunga deposit
maupun suku bunga kredit. Besarnya kenaikan suku bunga itu disesuaikan
dengan besarnya mark-up dan tingkat stickiness dari masing-masing suku bunga.
Respons kenaikan BI rate paling cepat ditransmisikan ke suku bunga deposito
yang langsung naik pada periode yang sama saat BI rate naik dan memiliki pola
yang sama dengan BI rate jika dibandingkan dengan kenaikan pada suku bunga
kredit. Hal tersebut disebabkan oleh suku bunga deposito yang memiliki tingkat
stickiness yang lebih kecil dibandingkan oleh suku bunga kredit. Peningkatan
suku bunga kredit akan menurunkan total pinjaman pada rumah tangga yang
kemudian akan berdampak pada penurunan total konsumsi di perekonomian.
Penurunan permintaan masyarakat akan mengakibatkan producer
mengurangi produksi barang, yang terlihat dari menurunnya final good output dan
pada akhirnya menurunkan PDB. Penurunan produksi output oleh producer juga
mengakibatkan berkurangnya kebutuhan akan tenaga kerja sehingga terjadi
penurunan supply tenaga kerja, baik dari patient household maupun dari impatient
household. Penurunan kesempatan kerja akan mengakibatkan berkurangnya
pendapatan bagi rumah tangga sehingga konsumsi rumah tangga akan semakin
tergerus. Menurunnya demand dari masyarakat akan menekan inflasi ke bawah.
Kenaikan BI rate juga akan mengakibatkan terapresiasinya nilai tukar yang akan
mengakibatkan turunnya ekspor karena berkurangnya daya saing yang pada
akhirnya akan menurunkan PDB.
Dari hasil simulasi di atas, terlihat bahwa propagasi shock suku bunga
kebijakan memengaruhi variabel-variabel intermediate dan variabel-variabel riil
dengan perilaku yang telah sesuai dengan teori ekonomi. Dengan demikian, model
DSGE yang dikembangkan telah dapat menangkap dinamika transmisi suku
37
bunga kebijakan dengan baik. Selanjutnya, sesuai dengan salah satu tujuan
pengembangan model DSGE ini, akan dilakukan simulasi mengenai dampak
keberadaan financial accelerator dengan membandingkannya apabila model tidak
dilengkapi dengan financial accelerator.
Gambar 11. Impulse Response Shock BI Rate with Financial Accelerator and Without Financial Accelerator
Efek dari adanya mekanisme financial accelerator akan mengakibatkan PDB
semakin rendah pertumbuhannya pada saat perekonomian mengalami kontraksi,
demikian pula saat perekonomian berada pada fase ekspansi, mekanisme financial
accelerator akan menyebabkan PDB tumbuh lebih besar, seperti yang terlihat pada
gambar di atas. PDB yang mengalami akselerasi akibat adanya mekanisme
financial accelerator juga memberikan dampak pada terciptanya inflasi yang lebih
volatile jika dibandingkan dengan kondisi tanpa adanya financial accelerator.
Tingginya volatile pada variabel PDB dan inflasi yang tercipta di perekonomian
akan mengakibatkan policy rate (BI rate) akan menjadi lebih tinggi saat terjadinya
kontraksi dan lebih rendah saat terjadinya ekspansi, yang diikuti oleh pergerakan
suku bunga perbankan lainnya.
-5.00E-04
0.00E+00
5.00E-04
1.00E-03
1.50E-03
2.00E-03
1 6 11 16 21 26 31 36
BI Rate
-1.00E-04
-5.00E-05
0.00E+00
5.00E-05
1.00E-04
1.50E-04
2.00E-04
2.50E-04
3.00E-04
1 6 11 16 21 26 31 36
Loan Rate to Household
-2.00E-04
0.00E+00
2.00E-04
4.00E-04
6.00E-04
8.00E-04
1.00E-03
1 6 11 16 21 26 31 36
Loan Rate to Firm
-2.00E-04
-1.00E-04
0.00E+00
1.00E-04
2.00E-04
3.00E-04
4.00E-04
5.00E-04
6.00E-04
7.00E-04
8.00E-04
9.00E-04
1 6 11 16 21 26 31 36
Deposit Rate
-4.00E-03
-3.50E-03
-3.00E-03
-2.50E-03
-2.00E-03
-1.50E-03
-1.00E-03
-5.00E-04
0.00E+00
5.00E-04
1.00E-03
1 6 11 16 21 26 31 36
GDP
-8.00E-03
-6.00E-03
-4.00E-03
-2.00E-03
0.00E+00
2.00E-03
4.00E-03
1 6 11 16 21 26 31 36
pi_4
Black line – without financial accelerator
Red Line – with financial accelerator
38
Bahwa kebijakan yang dijalankan diasumsikan tidak hanya menggunakan
BI rate, tetapi dikombinasikan dengan kebijakan countercyclical makroprudensial
untuk menahan pertumbuhan kredit dengan menurunkan rasio LTV (garis merah).
Hasil simulasi membuktikan bahwa shock berupa policy mix akan menekan
pertumbuhan kredit lebih dalam jika dibandingkan dengan kondisi tanpa adanya
shock LTV. PDB dan inflasi menurun, tetapi tidak berubah terlalu banyak jika
dibandingkan dengan kondisi dengan hanya menggunakan kebijakan BI rate. Pada
penggunaan policy mix, penurunan pada konsumsi tertutupi dengan penurunan
pada impor sehingga PDB cenderung stabil. Hasil simulasi juga menunjukkan
bahwa policy mix selain menghasilkan pertumbuhan PDB dan inflasi yang stabil,
juga mampu mengkontrol konsumsi sehingga demand untuk impor berkurang.
Dengan ekspor yang stabil, penurunan pada impor akan memberikan dampak
positif pada current account.
4.2.2 Households’ LTV Ratio Requirement’s Shock
Gambar 12. Impulse Response Shock Household's LTV
Kenaikan rasio loan to value yang bersifat ekspansioner secara teori
ekonomi akan meningkatkan total loan yang dikeluarkan oleh perbankan dan
meningkatkan leverage dari peminjam (perusahaan dan rumah tangga). Hal itu
akan meningkatkan konsumsi yang pada gilirannya akan meningkatkan PDB.
39
Namun, peningkatan PDB akibat konsumsi yang meningkat akan memacu impor
dan memperburuk neraca transaksi berjalan (current account)
Simulasi di atas (Gambar 12) menunjukkan bahwa kenaikan LTV ratio
requirement untuk pinjaman rumah tangga (kredit konsumsi) menyebabkan
kenaikan volume kredit rumah tangga yang diakibatkan adanya insentif tingginya
jumlah pinjaman yang dapat diberikan oleh bank atas jaminan yang dimiliki oleh
rumah tangga. Dengan adanya kenaikan LTV, dengan nilai aset yang sama, rumah
tangga mendapatkan pinjaman yang lebih banyak dari bank. Kenaikan volume
kredit rumah tangga mendorong bank untuk mengatur portfolio asetnya dengan
menurunkan volume kredit entrepreneur dan mengalihkannya pada kredit rumah
tangga sehingga dalam gambar terlihat penurunan di kredit entrepreneur yang
diiringi oleh kenaikan di kredit rumah tangga. Meningkatnya pinjaman terhadap
rumah tangga akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sehingga mendorong
producer untuk meningkatkan final good output-nya.
Peningkatan final good output yang tinggi membutuhkan peningkatan faktor
produksi, yaitu peningkatan jumlah labor, baik yang berasal dari patient household
maupun dari impatient household sehingga pada akhirnya meningkatkan
pendapatan rumah tangga. Konsumsi yang meningkat tersebut pada gilirannya
akan meningkatkan PDB. Namun, peningkatan PDB itu mengakibatkan
meningkatnya impor dan menurunnya ekspor yang berakibat pada memburuknya
current account (CA).Hal itu menunjukkan bahwa hasil simulasi model telah sesuai
dengan teori ekonomi dan dapat menangkap propagasi shock LTV melalui variabel-
variabel riil dan finansial utama yang menjadi fokus perhatian policy makers.
40
4.2.3 Interbank Market’s Shock
Gambar 13. Impulse Response Shock Interbank Market
Interbank market memiliki andil yang signifikan terhadap penyebarluasan
krisis finansial yang terjadi dewasa ini, seperti yang terdokumentasikan dengan
baik dalam literatur, peningkatan risiko dalam interbank market dapat
menyebabkan realokasi resources dari interbank lending menuju risk-free
government bond. Sebagai sumber utama penyedia likuiditas bagi perbankan
dalam penciptaan new loans, shock interbank market ini mengakibatkan jatuhnya
supply kredit yang tersedia untuk firm dan household sehingga dapat
menyebabkan resesi. Beberapa temuan studi empiris seperti pada Socio et al.
(2011) mengonfirmasikan bahwa shock yang terjadi pada interbank market
merupakan faktor yang signifikan dalam finansial krisis.
Simulasi model ketika terjadi shock penurunan interbank market volume
(Gambar 13) menunjukkan bahwa jumlah loan, baik ke rumah tangga maupun ke
entrepreneur mengalami penurunan sehingga secara total bank akan mengalami
penurunan loan to deposit ratio (LDR). Penurunan total loan itu akan
41
mengakibatkan bank mengalami penurunan profit sehingga capital bank juga akan
ikut menurun karena capital bank merupakan akumulasi dari capital periode
sebelumnya dan profit yang ditahan. CAR bank juga ikut menurun seiring dengan
penurunan capital bank. Penurunan jumlah loan pada household dan firm yang
terjadi akan mengakibatkan penurunan total konsumsi. Dampak pelemahan
konsumsi itu kemudian menyebabkan penurunan pada PDB. Selanjutnya, otoritas
moneter dengan adanya penurunan PDB itu akan merespons dengan menurunkan
suku bunga kebijakan (BI rate) yang pada gilirannya akan berdampak pada
terdepresiasinya nilai tukar.
Dengan membandingkan perilaku propagasi shock interbank market yang
digambarkan oleh simulasi model dan literatur, dapat disimpulkan bahwa
transmisi shock yang terjadi dalam interbank market juga telah dapat ditangkap
oleh model secara komprehensif. Fenomena utama seperti realokasi resources
antara interbank lending dan risk-free government bond dalam interbank market
yang memiliki peranan penting dalam penyebarluasan krisis yang terjadi juga
dapat disimulasikan dengan baik.
4.2.4 Exchange Rate’s Shock
Gambar 14. Impulse Response Shock Exchange Rate
42
Hasil simulasi (Gambar 14) di atas menunjukkan depresiasi yang terjadi
pada nilai tukar rupiah akan meningkatkan daya saing produk ekspor sehingga
meningkatkan volume ekspor dan meningkatkan produksi barang-barang
intermediate. Peningkatan pada produksi intermediate goods akan menyebabkan
peningkatan kebutuhan faktor produksi berupa labor, baik dari patient household
maupun dari impatient household. Peningkatan produksi intermediate goods akan
mendorong peningkatan pada final goods sehingga PDB juga akan meningkat.
Peningkatan pada PDB akan mendorong naiknya income penduduk dan
akan menciptakan tekanan demand terhadap kebutuhan barang dan jasa sehingga
akan meningkatkan inflasi. Policy rate (BI rate) juga akan meningkat untuk
meredam inflasi. Di sisi lain, terdepresiasinya nilai tukar rupiah juga akan
menyebabkan penurunan impor akibat tingginya harga barang-barang impor yang
pada akhirnya semakin meningkatkan PDB domestik.
Seperti halnya simulasi variabel-variabel makroekonomi lainnya, dengan
mengevaluasi IRF yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa model DSGE ini
secara baik dapat menangkap dinamika shock nilai tukar yang sesuai dengan teori
ekonomi.
43
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Dalam penelitian ini dibangun model DSGE untuk perkenomian terbuka
(small open economy) Indonesia dengan menambahkan mekanisme interbank
market untuk melengkapi friksi yang sudah terjadi dalam pasar keuangan
sebelumnya, yaitu financial frictions yang berupa collateral constraints dan financial
accelerator. Sektor perbankan yang didesain sesuai dengan kondisi Indonesia.
Analisis impulse reponse dari model menunjukkan transmisi dari kebijakan
moneter dan kebijakan makroprudensial sebagai berikut.
a) Peningkatan BI rate akan menyebabkan bank meningkatkan suku bunga retail-
nya terhadap rumah tangga dan entrepreneur sehingga mengurangi penyaluran
pinjaman kepada rumah tangga yang pada akhirnya menurunkan konsumsi.
Penurunan demand pada rumah tangga akan menurunkan produksi
intermediate goods dan final good output. Hal itu kemudian akan menyebabkan
turunnya PDB dan inflasi. Adanya mekanisme financial frictions berupa
collateral constraint dan financial accelerator dalam perekonomian terlihat
memberikan pertumbuhan lebih tinggi pada fase ekspansi jika dibandingkan
dengan tanpa financial frictions. Demikian pula sebaliknya, saat perekonomian
dalam kondisi kontraksi, PDB akan lebih rendah saat terdapat mekanisme
financial frictions.
b) Peningkatan LTV ratio requirement untuk kredit rumah tangga (konsumsi) yang
bersifat ekspansioner menyebabkan meningkatnya volume kredit rumah tangga
yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi. Hal itu akan mendorong
terjadinya peningkatan final good output yang juga meningkatkan faktor
produksi labor, baik yang berasal dari patient household maupun dari impatient
household. Penguatan konsumsi tersebut pada gilirannya juga akan
meningkatkan PDB dalam perekonomian. Namun, peningkatan PDB akibat
konsumsi yang meningkat itu akan meningkatkan impor dan memperburuk
neraca transaksi berjalan (current account)
c) Shock pada perbankan berupa penurunan likuiditas pada interbank market
akan menyebabkan bank menurunkan penyaluran pinjaman, baik kepada
household maupun kepada entrepreneur sehingga akan menurunkan LDR
bank. Shock tersebut akan menurunkan capital dan CAR bank. Penurunan
44
jumlah loan pada household dan firm yang terjadi akan mengakibatkan
penurunan total konsumsi. Dampak pelemahan konsumsi itu kemudian
menyebabkan penurunan pada PDB dan inflasi. Selanjutnya, dengan adanya
penurunan PDB dan inflasi ini, otoritas moneter akan meresponsnya dengan
menurunkan suku bunga kebijakan (BI rate) yang pada gilirannya akan
berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar.
d) Depresiasi nilai tukar akan memengaruhi peningkatan daya saing produk
sehingga akan meningkatkan ekspor dan PDB. Kebutuhan untuk
meningkatkan intermediate good akan meningkatkan kebutuhan labor dari
patient dan dari impatient household oleh producer. Peningkatan labor akan
meningkatkan pendapatan rumah tangga yang pada akhirnya akan
meningkatkan konsumsi. Tingginya demand akan menyebabkan inflasi
meningkat yang akan direspons oleh kenaikan policy rate (BI rate).
Model pada penelitian ini telah mampu memenuhi tujuan
pengembangannya, yaitu melakukan simulasi kebijakan moneter (BI rate) dan
kebijakan makroprudensial (LTV requirement) serta simulasi shock yang terjadi
pada pasar uang antarbank (interbank market), yaitu fenomena utama seperti
realokasi resources antara interbank lending dan risk-free government bond dalam
interbank market ketika terjadi krisis telah dapat disimulasikan dengan baik.
5.2 Rencana Pengembangan Berikutnya
Berdasarkan analisis impulse response dan potensi penggunaan model
dalam kerangka FPAS Bank Indonesia, terdapat beberapa penyempurnaan yang
dapat dilakukan pada model, yaitu sebagai berikut.
a) Pengembangan model untuk mendukung aplikasi yang lebih luas terkait
dengan interaksi antara berbagai kebijakan moneter dan kebijakan
makroprudensial. Hal yang dapat dilakukan antara lain adalah pemodelan
kebijakan maroprudensial secara endogen, misalnya dengan CAR
countercyclical rule.
b) Pengembangan lebih lanjut sektor eksternal dari model untuk dapat melakukan
simulasi shock variabel eksternal yang lebih luas, seperti shock terkait country
risk premium dan capital inflow.
45
c) Pengembangan model yang digunakan tidak hanya sebagai model untuk
kebutuhan simulasi, tetapi juga untuk kebutuhan proyeksi variabel makro atau
variabel yang terkait dengan neraca dan kondisi sektor perbankan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adolfson, Malin & Laséen, Stefan & Lindé, Jesper & Villani, Mattias, 2005. "Bayesian Estimation of an Open Economy DSGE Model with Incomplete Pass-Through," Working Paper Series 179, Sveriges Riksbank (Central Bank of Sweden).
Agung, Juda, 2010.”Mengintegrasikan Kebijakan Moneter dan Makroprudential: Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia Pasca Krisis Global”. Bank Indonesia Working Paper No.WP/07/2010.
Angelini, Paolo & Andrea Enria & Stefano Neri & Fabio Panetta & Mario Quagliariello, 2010. "Pro-cyclicality of capital regulation: is it a problem? How to fix it?", Questioni di Economia e Finanza (Occasional Papers) 74, Bank of Italy, Economic Research and International Relations Area.
Angelini, Paolo & Stefano Neri & Fabio Panetta, 2011."Monetary and macroprudential policies", Temi di discussione (Economic working papers) 801, Bank of Italy, Economic Research and International Relations Area.
Bank Indonesia, 2006, “General Equilibrium Model Bank Indonesia 2006,” Bank Indonesia Working Paper.
Bank Indonesia .2009, “Bank Indonesia Structural Macromodel” Bank Indonesia Working Paper.
Bernanke, Ben & Gertler, Mark & Gilchrist, Simon, 1999, “The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework”, Handbook of Macroeconomics, Elsevier, Edition 1, Volume 1, Number 1.
BIS, 2010. “Macroprudential instruments and frameworks: A stocktaking of issues and experiences. Committee on The Global Financial System.
Brzoza-Brzezina, Michał & Krzysztof Makarski, 2011, "Credit crunch in a small open economy," Journal of International Money and Finance, Elsevier, vol. 30(7), pages 1406-1428.
Carrera, Cesar & Hugo Vega, 2012. “Interbank Market and Macroprudential Tools in a DSGE Model,” Working Papers Series, Banco Central de Reserva del Peru.
De Walque, Gregory & Olivier Pierrard & Abdelaziz Rouabah, 2008. “Financial (in)stability, Supervision and Liquidity Injections: a Dynamic General Equilibrium Approach,” Central Bank of Luxembourg.
Dib, Ali, 2009. “Banks, Credit Market Frictions, and Business Cycles,” Bank of Canada.
Camilo E Tovar, 2008. "DSGE models and central banks," BIS Working Papers 258, Bank for International Settlements.
Gerali, Andrea & Stefano Neri & Luca Sessa & Federico M. Signoretti, 2010,"Credit and banking in a DSGE model of the euro area,"Temi di discussione (Economic working papers) 740, Bank of Italy, Economic Research and International Relations Area.
Gunadi, Iman & Advis Budiman ,2011, “Optimalisasi Komposisi Portfolio Bank di Indonesia”, Kajian Stabilitas Keuangan No. 17, September.
47
Harmanta & Nur Purwanto, 2012, “Stickiness Suku Bunga retail Perbankan di Indonesia “, Catatan Riset No. 14/ 39 /DKM/BRE/CR, Bank Indonesia, Desember.
Harmanta & Nur Purwanto & Fajar Oktiyanto, 2012, “Sektor Perbankan dalam Model DSGE”, Bank Indonesia Working Paper No.WP/16/2012.
Iacoviello, M. ,2005, “House Prices, Borrowing Constraints and Monetary Policy in the Business Cycle" American Economic Review, Vol. 95(3), pp. 739-764.
Jan Vlcek & Scott Roger, 2012. "Macrofinancial Modeling at Central Banks: Recent Developments and Future Directions," IMF Working Papers 12/21, International Monetary Fund.
Lawrence J. Christiano & Martin Eichenbaum & Charles L. Evans, 2005. "Nominal Rigidities and the Dynamic Effects of a Shock to Monetary Policy," Journal of Political Economy, University of Chicago Press, vol. 113(1), pages 1-45, February.
Liu, Zheng & Pengfei Wang & Tao Zha, 2010. "Do credit constraints amplify macroeconomic fluctuations?", Working Paper 2010-01, Federal Reserve Bank of Atlanta.
Vicek, Jan & Scott Roger, 2012. "Macrofinancial Modeling at Central Banks: Recent Developments and Future Directions," IMF Working Papers 12/21, International Monetary Fund.
Zhang, X. & Verikios, G. ,2006, “A reington Parameter Estimation for a Computable General Equilibrium Model: A Database Consistent Approach”, Economics Discussion Working Papers No. 06–10, The University of Western Australia, Department of Economics.
Zhang, Longmei, 2010, “Bank Capital Regulation, the Lending Channel and Business Cycles”, Discussion Paper Series 1: Economic Studies, Deutsche Bundesbank.
48
LAMPIRAN
Persamaan Nonlinear
Patient Household
(𝑐𝑡+1𝑃 − 𝜉𝑐𝑡
𝑃)−𝜎𝑐 (𝛽𝑃휀𝑢,𝑡+1 (1+𝑟𝑡
𝐷(1−𝛼𝑇𝐷)
𝑃𝑡+1)) = (𝑐𝑡
𝑃 − 𝜉𝑐𝑡−1𝑃 )−𝜎𝑐 ( 𝑢,𝑡
𝑃𝑡) .......(L.1)
(𝑐𝑡+1𝑃 (𝑖) − 𝜉𝑐𝑡
𝑃)−𝜎𝑐 (𝛽𝑃 𝑢,𝑡+1𝑃𝜒,𝑡+1(1−𝛿𝜒)
𝑃𝑡+1) + 휀𝑢,𝑡휀χ,𝑡 (𝜒𝑡
𝑃)−𝜎𝜒 = (𝑐𝑡𝑃(𝑖) − 𝜉𝑐𝑡−1
𝑃 )−𝜎𝑐 (𝑢,𝑡𝑃𝜒,𝑡
𝑃𝑡) ....( L.2)
𝑑𝑡 = 𝑑𝑡−1(1 + 𝑟𝑡−1𝐷 − 𝛼𝑇𝐷𝑟𝑡−1
𝐷 ) − (𝛼𝑇𝑊𝑊𝑃,𝑡𝑛𝑡𝑃 + 𝛼𝑇ΠΠ𝑡
𝑃) + Π𝑡𝑃 − 𝑃𝜒,𝑡(𝜒𝑡
𝑃 − (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1𝑃 ) −
𝑃𝑡𝑐𝑡𝑃 + 𝑊𝑃,𝑡𝑛𝑡
𝑃 .....( L.3)
Πt = Π𝑡𝐵 + Πt
H + ΠtH∗
+ ΠtF .....( L.4)
(1−𝛼𝑇𝑊)( 𝜔−1)(π𝑊𝑃,𝑡
1−εW−θPπ𝑊𝑃,𝑡−11−εW
(1−θP))
𝜔𝜎𝑛+11−εW
𝜔𝛾𝑃−𝜎𝑛 ∑ (𝛽𝑃휃𝑊,𝑃)𝑠∞
𝑠=0 휀𝑢,𝑡+𝑠 [(𝜋𝑊,𝑃,𝑡+𝑠)𝜔−1 𝑊𝑃,𝑡+𝑠𝑛𝑡+𝑠
𝑃
𝑃𝑡+𝑠𝑈𝑐,𝑡+𝑠
′ ] =
∑ (𝛽𝑃휃𝑊,𝑃)𝑠∞
𝑠=0 휀𝑢,𝑡+𝑠 [휀𝑛,𝑡+𝑠 ((𝜋𝑊,𝑃,𝑡+𝑠)𝜔𝑛𝑡+𝑠
𝑃 )1+𝜎𝑛
] ....( L.5)
π𝑊𝑃,𝑡=
𝑊𝑃,𝑡
𝑊𝑃,𝑡−1.....( L.6)
𝑇𝑡𝑃 = 𝛼𝑇𝑊𝑊𝑡
𝑃𝑛𝑡𝑃 + 𝛼𝑇𝐷𝑟𝑡−1
𝐷 𝑑𝑡−1 + 𝛼𝑇ΠΠ𝑡𝑃......( L.7)
Impatient Household
𝑐𝑡𝐼 =
𝑊𝐼,𝑡𝑛𝑡𝐼
𝑃𝑡+
𝑏𝑡𝐼
𝑃𝑡−
𝛼𝑇𝑊𝑊𝐼,𝑡𝑛𝑡𝐼
𝑃𝑡− (1 + 𝑟𝑡−1
𝐵𝐼 ) (𝑏𝑡−1
𝐼
𝑃𝑡) −
𝑃𝜒,𝑡(𝜒𝑡𝐼−(1−𝛿𝜒)𝜒𝑡−1
𝐼 )
𝑃𝑡 .....( L.8)
(𝑐𝑡𝐼(𝑖) − 𝜉𝑐𝑡−1
𝐼 )−𝜎𝑐 ( 𝑢,𝑡𝑚𝑡𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1−𝛿𝜒)]
𝑃𝑡(1+𝑟𝑡𝐵𝐼)
− 𝑢,𝑡𝑃𝜒,𝑡
𝑃𝑡) + (𝑐𝑡+1
𝐼 (𝑖) − 𝜉𝑐𝑡𝐼)−𝜎𝑐 (
𝛽𝐼 𝑢,𝑡+1𝑃𝜒,𝑡+1(1−𝛿𝜒)
𝑃𝑡+1−
𝛽𝐼휀𝑢,𝑡+1 (𝑚𝑡
𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1−𝛿𝜒)]
𝑃𝑡+1)) + 휀𝑢,𝑡휀𝜒,𝑡(𝜒𝑡
𝐼(𝑖))−𝜎𝜒
= 0 ....( L.9)
(1−𝛼𝑇𝑊)( 𝜔−1)(π𝑊𝐼,𝑡
1−εW−θIπ𝑊𝐼,𝑡−11−εW
(1−θI))
𝜔𝜎𝑛+11−εW
𝜔𝛾𝐼−𝜎𝑛 ∑ (𝛽𝐼휃𝑊,𝐼)𝑠∞
𝑠=0 휀𝑢,𝑡+𝑠 [(𝜋𝑊,𝐼,𝑡+𝑠)𝜔−1 𝑊𝐼,𝑡+𝑠𝑛𝑡+𝑠
𝐼
𝑃𝑡+𝑠𝑈𝑐,𝑡+𝑠
′ ] =
∑ (𝛽𝐼휃𝑊,𝐼)𝑠∞
𝑠=0 휀𝑢,𝑡+𝑠 [휀𝑛,𝑡+𝑠 ((𝜋𝑊,𝐼,𝑡+𝑠)𝜔𝑛𝑡+𝑠
𝐼 )1+𝜎𝑛
] ......( L.10)
π𝑊𝐼,𝑡=
𝑊𝐼,𝑡
𝑊𝐼,𝑡−1....( L.11)
49
𝑏𝑡𝐼 =
𝑚𝑡𝐼𝐸𝑡[𝑃𝜒,𝑡+1(1−𝛿𝜒)𝜒𝑡
𝐼𝛾𝐼]
(1+𝑟𝑡𝐵𝐼)
.....( L.12)
𝑇𝑡𝐼 = 𝛼𝑇𝑊𝑊𝑡
𝐼𝑛𝑡𝐼......( L.13)
Capital Good Producers
1
𝜅𝑘− (
1
2(
𝑖𝑘,𝑡
𝑖𝑘,𝑡−1− 1)
2
+𝑖𝑘,𝑡
𝑖𝑘,𝑡−1(
𝑖𝑘,𝑡
𝑖𝑘,𝑡−1− 1)) + 𝛽𝑝
𝑃𝑘,𝑡+1
𝑃𝑘,𝑡
𝜖𝑖,𝑡+1
𝜖𝑖,𝑡(
𝑖𝑘,𝑡+1
𝑖𝑘,𝑡)
2
(𝑖𝑘,𝑡+1
𝑖𝑘,𝑡− 1) −
𝑃𝑡
𝜅𝑘𝑃𝑘,𝑡𝜖𝑖,𝑡= 0..(L.14)
𝑘𝑡 = (1 − 𝛿𝑘)𝑘𝑡−1 + 휀𝑖,𝑡 (1 −1
2𝜅𝑘 (
𝑖𝑘,𝑡
𝑖𝑘,𝑡−1− 1)
2
) 𝑖𝑘,𝑡.....( L.15)
Intermediate Good Producers
𝑦𝑊,𝑡(𝑖) = 𝐴𝑡[𝑢𝑡(𝑖)𝑘𝑡−1(𝑖)]𝛼 ((𝑛𝑃,𝑡(𝑖))𝜇𝑙
(𝑛𝐼,𝑡(𝑖))1−𝜇𝑙
)1−𝛼
......( L.16)
𝑧𝑡(𝑖) = 𝛼𝑘𝑃𝑤,𝑡+𝑠(𝑗)𝑌𝑡(𝑖)
𝐾𝑡(𝑖)………(L.17)
𝑅𝑡𝐾 =
𝑧𝑡+(1−𝛿𝑘)𝑃𝑘,𝑡
𝑃𝑘,𝑡−1…….(L.18)
(1 − 𝛼)𝜇𝑙𝑃𝑊,𝑡𝑦𝑊,𝑡
𝑛𝑃,𝑡= 𝑊𝑃,𝑡.....( L.19)
(1 − 𝛼)(1 − 𝜇𝑙)𝑃𝑊,𝑡𝑦𝑊,𝑡
𝑛𝐼,𝑡= 𝑊𝐼,𝑡.....( L.20)
Housing Good Producers
1
𝜅𝜒− (
1
2(
𝑖𝜒,𝑡
𝑖𝜒,𝑡−1− 1)
2
+𝑖𝜒,𝑡
𝑖𝜒,𝑡−1(
𝑖𝜒,𝑡
𝑖𝜒,𝑡−1− 1)) + 𝛽𝑝
𝑖𝜒,𝑡+1𝑃𝜒,𝑡+1
𝑖𝜒,𝑡𝑃𝜒,𝑡(
𝑖𝜒,𝑡+1
𝑖𝜒,𝑡)
2
(𝑖𝜒,𝑡+1
𝑖𝜒,𝑡− 1) −
𝑃𝑡
𝜅𝜒 𝑖𝜒,𝑡𝑃𝜒,𝑡= 0
.....(L.21)
𝜋𝜒,𝑡 =𝑃𝜒,𝑡
𝑃𝜒,𝑡−1.....( L.22)
𝜒𝑡 = (1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑡−1 + 휀𝑖𝜒,𝑡 (1 −1
2𝜅𝜒 (
𝑖𝜒,𝑡
𝑖𝜒,𝑡−1− 1)
2
) 𝑖𝜒,𝑡.....( L.23)
50
Entrepreneur
(Γ(��𝑡𝑎) − 𝜇𝐺(��𝑡
𝑎))𝐸𝑡−1𝑅𝑡𝑘𝑃𝑡
𝐾𝐾𝑡 = (1 + 𝑟𝑡𝑏𝐼)𝑏𝑡
𝐸……(L.24)
𝑏𝑡𝐸 = 𝑃𝑡
𝐾𝐾𝑡 − 𝑁𝑡….(L.25)
𝐸𝑡𝑅𝑡+1𝑘 = 𝑠 (
𝑞𝑡𝐾𝑡+1𝑖
𝑁𝑡+1𝑖 ) 𝑅𝑡+1
𝐵𝑒 …..(L.26)
��𝑖 =𝐸𝑡𝑅𝑡+1
𝑘
𝑅𝑡+1𝑘 ……(L.27)
𝜆𝑡 =Γ′(��𝑡
𝑎)
Γ′(��𝑡𝑎)−𝜇𝐺′(��𝑡
𝑎)……(L.28)
𝑁𝑡 = 𝜈𝑉𝑡…..(L.29)
𝑉𝑡 = (1 − 𝛤(��𝑡𝑏)) 𝑅𝑡
𝐾𝑃𝑡𝐾𝐾𝑡……(L.30)
Importing Retailers
(1
1−θF(πF,t
1−εF − θFπF,t−11−εF))
1
1−εF
Et ∑ (βPθF)kyF,t+k(πF,t+k)εF−1∞
k=0 =
εF
εF−1Et ∑ (βPθF)kyF,t+k(πF,t+k)
εF 𝑒𝑡+𝑘𝑃𝐹,𝑡+𝑘∗
PF,t+k
∞k=0 ......( L.32)
𝜋𝐹,𝑡 =𝑃𝐹,𝑡
𝑃𝐹,𝑡−1......( L.33)
𝑦𝐹,𝑡 = (1 − 휂) (𝑃𝐹,𝑡
𝑃𝑡)
− 1+𝜇
𝜇𝑦𝑡.....( L.34)
ΠtF = (PF,t − 𝑒𝑡𝑃𝐹,𝑡
∗ )yF,t......( L.35)
Domestic Retailers
(1
1−θH(πH,t
1−εH − θHπH,t−11−εH))
1
1−εH
Et ∑ (βPθH)kyH,t+k(πH,t+k)εH−1∞
k=0 =
εH
εH−1Et ∑ (βPθH)kyH,t+k(πH,t+k)
εH PW,t+k
PH,t+k
∞k=0 ......( L.36)
𝜋𝐻,𝑡 =𝑃𝐻,𝑡
𝑃𝐻,𝑡−1......( L.37)
𝑦𝐻,𝑡 = 휂 (𝑃𝐻,𝑡
𝑃𝑡)
− 1+𝜇
𝜇𝑦𝑡......( L.38)
ΠtH = (PH,t − PW,t)yH,t......( L.39)
51
Exporting Retailers
(1
1−θH∗ (πH,t
∗ 1−εH∗− θH
∗ πH,t−1∗ 1−εH∗
))
1
1−εH∗
Et ∑ (βPθH∗ )kyH,t+k
∗ (πH,t+k∗ )
εH∗−1∞k=0 =
εH∗
εH∗−1Et ∑ (βPθH
∗ )kyH,t+k∗ (πH,t+k
∗ )εH∗ PW,t+k
𝑒𝑡+𝑘𝑃𝐻,𝑡+𝑘∗
∞k=0 ......( L.40)
𝜋𝐻,𝑡∗ =
𝑃𝐻,𝑡∗
𝑃𝐻,𝑡−1∗ .......( L.41)
𝑦𝐻,𝑡∗ = (1 − 휂∗) (
𝑃𝐻,𝑡∗
𝑃𝐻𝑋,𝑡∗ )
−(1+𝜇𝐻∗)
𝜇𝐻∗𝑦𝑡
∗......( L.42)
ΠtH∗
= (𝑒𝑡𝑃𝐻,𝑡∗ − PW,t)yH,t
∗ .......( L.43)
Final Good Producers
𝑃𝑡−
1
𝜇 = 휂(𝑃𝐻,𝑡)−
1
𝜇 + (1 − 휂)(𝑃𝐹,𝑡)−
1
𝜇 .....( L.44)
Banking System
Government and Central Bank Indonesia
𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡∗ = 𝑏𝐺,𝑡
∗ ......( L.55)
𝑃𝑡𝑔𝑡 + (1 + 𝑟𝐵,𝑡−1∗ )(1 + 𝜌𝑡−1)𝑒𝑡𝑏𝐺,𝑡−1
∗ + (1 + 𝑟𝑡−1)𝑏𝐺,𝑡−1 = (𝑇𝑡𝑃 + 𝑇𝑡
𝐼) + 𝑒𝑡𝑏𝐺,𝑡∗ + 𝑏𝐺,𝑡 +
𝐼𝑛𝑐𝐺,𝑡......( L.56)
(1 + 𝑟𝑡) = (1+𝑟𝑡−1
1+��)
𝜙𝑅
((𝜋𝑡+3
��𝑡𝑎𝑟,𝑡+3)
𝜙𝜋
(��𝑡
��)
𝜙𝑦
)
1−𝜙𝑅
휀𝑟,𝑡.....( L.57)
Market Clearing and MISC Identities
𝑒𝑡𝑃𝐹,𝑡∗ 𝑦𝐹,𝑡 + 𝑒𝑡(1 + 𝑟𝑡−1
∗ )(1 + 𝜌𝑡−1)𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡−1∗ = 𝑒𝑡𝑃𝐻,𝑡
∗ 𝑦𝐻,𝑡∗ + 𝑒𝑡𝑏𝑡𝑜𝑡,𝑡
∗ ......( L.58)
𝑦𝑡 = 𝑐𝑡 + 𝑖𝑘.𝑡 + 𝑖𝜒,𝑡 + 𝑔𝑡 + 𝜓(𝑢𝑡)𝑘𝑡−1......( L.59)
𝑃𝑡��𝑡 = 𝑃𝑡𝑦𝑡 + 𝑒𝑡𝑃𝐻,𝑡∗ 𝑦𝐻,𝑡
∗ − 𝑒𝑡𝑃𝐹,𝑡∗ 𝑦𝐹,𝑡......( L.60)
(1+𝑟𝐵,𝑡𝐸 )
(1+𝜌𝑡)(1+𝑟𝐵,𝑡∗ )
=𝑒𝑡+1
𝑒𝑡
......( L.61)
52
𝜒𝑡 = 𝛾𝑃𝜒𝑡𝑃 + 𝛾𝐼𝜒𝑡
𝐼.....( L.62)
𝑐𝑡 = 𝛾𝐼𝑐𝑡𝐼 + 𝛾𝑃𝑐𝑡
𝑃......( L.63)
𝑦𝐻,𝑡 + 𝑦𝐻,𝑡∗ = 𝑦𝑊,𝑡......( L.64)
Persamaan Linear (Log Linearize Equation)
Patient Household
ΥP,t = ΥP,t+1 +(1−𝛼𝑇𝐷𝛽𝑃)
𝜋��𝑡
𝐷 − ��𝑡+1.....( L.65)
ΥP,t = −𝜎𝑐
(1−𝜉)(��𝑡
𝑃 − 𝜉��𝑡−1𝑃 )+휀��,𝑡.....( L.66)
𝛽𝑃(1−𝛿𝜒)
(1−𝛽𝑃(1−𝛿𝜒))[−(1 − 𝛼𝑇𝐷𝛽𝑃)��𝑡
𝐷 + 𝐸𝑡(��𝑡+1) + 𝐸𝑡(��𝜒,𝑡+1)] + 휀��,𝑡 + 휀χ,𝑡 − 𝜎𝜒��𝑡𝑃 = ΥP,t + ��𝜒,𝑡....(
L.67)
��
����𝑡 =
(1−𝛼𝑇𝐷)(1+𝑟𝐷)
𝜋
��
��(��𝑡−1 − ��𝑡 + ��𝑡−1
𝐷 ) + (1 − 𝛼𝑇Π)Π𝑃
��(Π𝑡
𝑃) −𝜒𝑃 𝛾𝑃
��(��𝜒,𝑡 + ��𝑡
𝑃) +
(1 − 𝛿𝜒)𝜒𝑃 𝛾𝑃
��(��𝜒,𝑡 + ��𝑡−1
𝑃 ) −𝑐𝑃 𝛾𝑃
��(��𝑡
𝑃) + (1 − 𝛼𝑇𝑊)��𝑃𝑛𝑃
��(��𝑃,𝑡 + ��𝑡
𝑃).....( L.68)
ΠP
yΠt
P =Π𝐵
yΠ𝑡
𝐵 +Π𝐻
yΠ𝑡
𝐻 +Π𝐻∗
yΠ𝑡
𝐻∗+
Π𝐹
yΠ𝑡
𝐹......( L.69)
Π𝑡𝐵 = 𝑗��
𝑏.....( L.70)
��𝑊,𝑃,𝑡 =(1−𝜃𝑊,𝑃)(1−𝛽𝑃𝜃𝑊,𝑃)
(1+𝛽𝑃)𝜃𝑊,𝑃( 𝜔𝜎𝑛+1)ΓP,t +
(𝛽𝑃)
(1+𝛽𝑃)��𝑊,𝑃,𝑡+1 +
��𝑊,𝑃,𝑡−1
(1+𝛽𝑃).....( L.71)
ΓP,t = 휀��,𝑡 + 휀��,𝑡 + 𝜎𝑛��𝑡𝑃 − ��𝑃,𝑡 − ΥP,t......( L.72)
π𝑊𝑃,𝑡= ��𝑃,𝑡 − ��𝑃,𝑡−1 + ��𝑡.....( L.73)
��𝑃
����𝑡
𝑃 = 𝛼𝑇𝑊��𝑃 𝑛𝑃
��(��𝑡
𝑃 + ��𝑡𝑃) + 𝛼𝑇𝐷𝑟𝐷 ��
��𝜋((
1+𝑟𝑑
𝑟𝑑 ) ��𝑡−1𝐷 − ��𝑡 + ��𝑡−1) + 𝛼𝑇Π
Π𝑃
��Π𝑡
𝑃.....( L.74)
Impatient Household
𝑐𝐼 𝛾𝐼
����𝑡
𝐼 = (1 − 𝛼𝑇𝑊)��𝐼𝑛𝐼
��(��𝐼,𝑡+��𝑡
𝐼) +��𝐼
��(��𝑡
𝐼 −(1+𝑟𝐵𝐼)
𝜋(��𝑡−1
𝐼 − ��𝑡 + ��𝑡−1𝐵𝐼 )) −
𝜒𝐼 𝛾𝐼
��(��𝑡
𝐼 + ��𝜒,𝑡 −
(1 − 𝛿𝜒)(��𝑡−1𝐼 + ��𝜒,𝑡))......( L.75)
53
(𝑚𝐼 𝜋(1−𝛿𝜒)
(1+𝑟𝐵𝐼)) [ΥI,t + ��𝑡
𝐼 + ��𝜒,𝑡+1 − ��𝑡𝐵𝐼 + ��𝑡+1] − ��𝜒,𝑡 + 𝛽𝐼(1 − 𝛿𝜒)(1 − 𝑚𝐼 ) [Et(ΥI,t+1) +
��𝜒,𝑡+1 −𝑚𝐼
(1−𝑚𝐼 )��𝑡
𝐼] = (𝑚𝐼 (1−𝛿𝜒)
(1+𝑟𝐵𝐼)− 1 + 𝛽𝐼(1 − 𝛿𝜒)(1 − 𝑚𝐼 )) (휀��,𝑡 + 휀��,𝑡 − 𝜎𝜒��𝑡
𝐼) +
ΥI,t......(L.76)
ΥI,t = −𝜎𝑐
(1−𝜉)(��𝑡
𝐼 − 𝜉��𝑡−1𝐼 )+휀��,𝑡.......( L.77)
��𝑊,𝐼,𝑡 =(1−θI)(1−𝛽𝐼𝜃𝑊,𝐼)
(1+𝛽𝐼)𝜃𝑊,𝐼( 𝜔𝜎𝑛+1)ΓI,t +
(𝛽𝐼)
(1+𝛽𝐼)��𝑊,𝐼,𝑡+1 +
��𝑊,𝐼,𝑡−1
(1+𝛽𝐼)......( L.78)
ΓI,t = 휀��,𝑡 + 휀��,𝑡 + 𝜎𝑛��𝑡𝐼 − ��𝐼,𝑡 − ΥI,t.......( L.79)
π𝑊𝐼,𝑡= ��𝐼,𝑡 − ��𝐼,𝑡−1 + ��𝑡.......( L.80)
��𝑡𝐼 = ��𝑡
𝐼 + ��𝜒,𝑡+1 + π𝑡+1 + ��𝑡𝐼 − ��𝑡
𝐵𝐼......( L.81)
��𝑡𝐼 = ��𝐼,𝑡 + ��𝑡
𝐼......( L.82)
Capital Producers
𝑖��,𝑡 =𝛽𝑝
(1+𝛽𝑝)𝑖��,𝑡+1 +
1
(1+𝛽𝑝)𝑖��,𝑡−1 +
1
𝜅𝑘(1+𝛽𝑝)(��𝑘,𝑡 + 휀��𝑘,𝑡)...... ( L.83)
��𝑡 = (1 − 𝛿𝑘)��𝑡−1 + 𝛿𝑘(휀��,𝑡 + 𝑖��,𝑡).....( L.84)
(��𝑊,𝑡 + ��𝑊,𝑡 − ��𝐼,𝑡) = ��𝐼,𝑡......( L.85)
Intermediate Goods Producers
��𝑊,𝑡 = (��𝑡 + 𝛼��𝑡−1 + 𝜇𝑙(1 − 𝛼)��𝑃,𝑡 + (1 − 𝜇𝑙)(1 − 𝛼)��𝐼,𝑡).......( L.86)
��𝑡 + ��𝑡−1 = ��𝑊,𝑡 + ��𝑊,𝑡.....( L.87)
𝑅𝐾𝑃𝑘 (��𝑡𝐾 + ��𝐾,𝑡−1) = 𝑧��𝑡 + (1 − 𝛿 )𝑃𝑘 ��𝐾,𝑡 .....( L.88)
��𝑊,𝑡 + ��𝑊,𝑡 − ��𝑃,𝑡 = ��𝑃,𝑡......( L.89)
��𝑊,𝑡 + ��𝑊,𝑡 − ��𝐼,𝑡 = ��𝐼,𝑡......( L.90)
Housing Goods Producers
𝑖��,𝑡 =𝛽𝑝
(1+𝛽𝑝)𝑖��,𝑡+1 +
1
(1+𝛽𝑝)𝜋𝜒𝜋𝑖��,𝑡−1 +
1
𝜅𝑥(1+𝛽𝑝)𝜋𝜒𝜋(��𝑥,𝑡 + 휀��𝜒,𝑡).....( L.91)
54
��𝜒,𝑡 = ��𝜒,𝑡 − ��𝜒,𝑡−1 + ��𝑡......( L.92)
��𝑡 = (1 − 𝛿𝜒)��𝑡−1 + 𝛿𝜒(𝑖𝜒,𝑡 + 휀��𝜒,𝑡).....( L.93)
Entrepreneur
𝐸𝑡−1��𝑡𝐾 + 𝑃𝑡
𝐾 + ��𝑡𝑖 +
Γ
(Γ−𝜇𝐺)Γ(��𝑡
𝑎) −𝜇𝐺
(Γ−𝜇𝐺)𝐺(��𝑡
𝑎) = ��𝑡𝑏𝐼 + �� 𝑡
𝐸......( L.94)
𝑏𝐸��𝑡𝐸 = 𝑃𝐾𝐾 (��𝑡
𝐾+��𝑡) − 𝑁��𝑡......( L.95)
��𝑡𝐸 + ��𝑡
𝐵𝐸 = 𝐸𝑡 ��𝑡+1𝑘 ......( L.96)
��𝑡𝑏 = ��𝑡
𝑎 + 𝑅𝑡+1𝐾 − 𝐸��𝑡+1
𝐾 .....( L.97)
( Γ′−𝜇𝐺′)
𝜇𝐺′��𝑡 = 𝐺′(��𝑡
𝑎) − Γ′(��𝑡𝑎).......( L.98)
��𝑡 = ��𝑡.....( L.99)
��𝑡 = ��𝑡𝐾 + �� 𝑡
𝐾 + ��𝑡 −Γ
( 1−Γ)��(��𝑡
𝑏)......( L.100)
Importing Retailers
πF,t =1
(1+βP)πF,t−1 +
βP
(1+βP)(πF,t+1) +
(1−βPθF)(1−θF)
(1+βP)θF(��𝑡 + ��𝐹,𝑡
∗ ).....( L.102)
��𝐹,𝑡 = ��𝐹,𝑡 + ��𝑡 − ��𝐹,𝑡−1.....( L.103)
��𝐹,𝑡 = − 1+𝜇
𝜇��𝐹,𝑡 + ��𝑡......( L.104)
ΠtF =
��𝐹𝑦𝐹
Π𝐹 (��𝐹,𝑡 + ��𝐹,𝑡) −��𝑦𝐹��𝐹
∗
Π𝐹 (��𝑡 + ��𝐹,𝑡 + ��𝐹,𝑡∗ )....( L.105)
Domestic Retailers
��𝐻,𝑡 =1
(1+𝛽𝑃)��𝐻,𝑡−1 +
𝛽𝑃
(1+𝛽𝑃)(��𝐻,𝑡+1) +
(1−𝛽𝑃𝜃𝐻)(1−𝜃𝐻)
(1+𝛽𝑃)𝜃𝐻(PW,t).....( L.106)
��𝐻,𝑡 = ��𝐻,𝑡 − ��𝐻,𝑡−1 + ��𝑡.....( L.107)
��𝐻,𝑡 = − 1+𝜇
𝜇��𝐻,𝑡 + ��𝑡......( L.108)
ΠtH =
pHyH
Π𝐻 (pH,t + yH,t) −��𝑊yH
Π𝐻 (��𝑊,𝑡 + yH,t).....( L.109)
55
Exporting Retailers
πH,t∗ =
1
(1+βP)πH,t−1
∗ +βP
(1+βP)(πH,t+1
∗ ) +(1−βPθH
∗ )(1−θH∗ )
(1+βP)θH∗ (PW,t − st)......( L.110)
��𝐻,𝑡∗ = ��𝐻,𝑡
∗ − ��𝐻,𝑡−1∗ + ��𝑡
∗......( L.111)
��𝐻,𝑡∗ =
1+𝜇𝐻∗
𝜇𝐻∗(��𝐻𝑋,𝑡
∗ − ��𝐻,𝑡∗ ) + ��𝑡
∗.....( L.112)
ΠtH∗
=����𝐻
∗ 𝑦𝐻∗
ΠH∗ (��𝑡 + ��𝐻,𝑡∗ + ��𝐻,𝑡
∗ ) −pW𝑦𝐻
∗
ΠH∗ (pW,t + ��𝐻,𝑡∗ ).....( L.113)
Final Good Producers
��𝑡 = 휂(𝑝𝐻)−
1
𝜇(��𝐻,𝑡 + ��𝐻,𝑡−1) + (1 − 휂)(𝑝𝐹)−
1
𝜇(��𝐹,𝑡 + ��𝐹,𝑡−1)......( L.114)
Banking System
Government and Central Bank
𝑏𝑡𝑜𝑡∗
����𝑡𝑜𝑡,𝑡
∗ =𝑏𝐺
∗
����𝐺,𝑡
∗ .......( L.125)
𝑔
��𝑔𝑡 =
��𝑃
����𝑡
𝑃 +��𝐼
����𝑡
𝐼 +����𝐺
∗
��(��𝑡 + ��𝐺,𝑡
∗ ) +𝑟��
��𝑟��𝑡 −
(1+𝑟∗ )(1+𝜌)����𝐺∗
��𝜋∗ (��𝑡−1∗ + ��𝑡−1 + ��𝑡 + ��𝐺,𝑡−1
∗ − ��𝑡∗) −
(1+𝑟)��𝐺
��𝜋(��𝑡−1 + 𝑟��𝑡−1 − ��𝑡)......( L.126)
��𝑡 = 𝜙𝑅 ��𝑡−1 + 𝜙𝜋(1 − 𝜙𝑅)(��𝑡+3 − ��𝑡𝑎𝑟,𝑡+3) + 𝜙𝑦(1 − 𝜙𝑅)��𝑡 + 휀��,𝑡.....( L.127)
Market Clearing and MISC Identities
����𝐹𝑦𝐹
��(��𝑡 + ��𝐹,𝑡
∗ +��𝐹,𝑡) +����𝑡𝑜𝑡
∗
��(1 + 𝑟∗ )(1 + 𝜌) (��𝑡 + ��𝑡−1 + ��𝑡𝑜𝑡,𝑡−1
∗ − ��𝑡∗ + ��𝐵,𝑡−1
∗ ) =��𝑦𝐻
∗ ��𝐻∗
��(��𝑡 +
��𝐻,𝑡∗ +��𝐻,𝑡
∗ ) +����𝑡𝑜𝑡
∗
��(��𝑡 + ��𝑡𝑜𝑡,𝑡
∗ )......( L.128)
𝑦
����𝑡 =
𝑐
����𝑡 +
𝑖𝑘
��𝑖𝑘.𝑡 +
𝑖𝜒
��𝑖��,𝑡 +
𝑔
��𝑔𝑡.....( L.129)
��𝑡 =𝑦
����𝑡 +
����𝐻∗ 𝑦𝐻
∗
��(��𝑡 + ��𝐻,𝑡
∗ + ��𝐻,𝑡∗ ) −
����𝐹𝑦𝐹
��(��𝑡 + ��𝐹,𝑡
∗ + ��𝐹,𝑡)......( L.130)
��𝑡 = 0.9��𝑡 + 휀��,𝑡.....( L.131)
��𝑡 + ��𝑡+1∗ − ��𝑡+1 − ��𝑡+1 = ��𝑡 + ��𝐵,𝑡
∗ − ��𝐵,𝑡𝐸 + 𝑒𝑆𝑡
......( L.132)
56
𝜒
����𝑡 =
𝛾𝑃𝜒𝑃
����𝑡
𝑃 +𝛾𝐼𝜒𝐼
����𝑡
𝐼 .....( L.133)
𝑐
����𝑡 =
𝛾𝐼𝑐𝐼
����𝑡
𝐼 +𝛾𝑃𝑐𝑃
����𝑡
𝑃 +𝑛
��𝑁...... L. (134)
𝑦𝐻
𝑦𝑊��𝐻,𝑡 +
𝑦𝐻∗
𝑦𝑊��𝐻,𝑡
∗ = ��𝑊,𝑡.....( L.135)
Γt = 𝜌ΓΓr,t + (1 − 𝜌Γ)휀Γ,t….L(.136)
Γr,t = 𝜌Γ𝑟Γr,t−1 + 𝑒Γr
…..(L.137)
휀Γ,𝑡 = 𝜌Γ
휀Γ,𝑡−1 + (1 − 𝜌Γ
)Γr,t + 𝑒Γ......(L.138)
휀u,𝑡 = 𝜌u
휀u,𝑡−1 + 𝑒u,𝑡
......(L.139)
휀χ,𝑡 = 𝜌χ휀χ,𝑡−1 + 𝑒
χ,𝑡 ......( L.140)
휀𝑛,𝑡 = 𝜌𝑛
휀𝑛,𝑡−1 + 𝑒𝑛,𝑡
......( L.141)
휀𝑡𝑏𝐻 = 𝜌 𝑏𝐻휀𝑡−1
𝑏𝐻 + 𝑒𝑡𝑏𝐻.....( L.142)
휀𝐵𝐸,𝑡 = 𝜌𝐵𝐸
휀𝐵𝐸,𝑡−1 + 𝑒𝐵𝐸,𝑡
.....( L.143)
휀𝜌,𝑡 = 𝜌𝜌
휀𝜌,𝑡−1 + 𝑒𝜌,𝑡
.....( L.144)
휀𝑖,𝑡 = 𝜌𝑖휀𝑖,𝑡−1 + 𝑒
𝑖,𝑡......( L.145)
휀𝑖𝜒,𝑡 = 𝜌𝑖𝜒
휀𝑖𝜒,𝑡−1 + 𝑒𝑖𝜒,𝑡
.....( L.146)
휀𝐾𝐵,𝑡 = 𝜌𝐾𝐵
휀𝐾𝐵,𝑡−1 + 𝑒𝐾𝐵,𝑡
......( L.147)
휀𝑑,𝑡 = 𝜌𝑑
휀𝑑,𝑡−1 + 𝑒𝑑,𝑡
.....( L.148)
𝑔𝑡 = 𝜌𝑔𝑔𝑡−1 + 𝑒𝑔𝑡…..(L.149)
𝑚𝑡𝐼 = 𝜌𝑚𝐼 𝑚𝑡−1
𝐼 + 𝑒𝑚𝑡𝐼......( L.150)
𝑟𝐵,𝑡∗ = 𝜌𝑟𝐵
∗ 𝑟𝐵,𝑡−1∗ + 𝑒𝑟𝐵,𝑡
∗ ....( L.151)
𝑦𝑡∗ = 𝜌𝑦∗ 𝑦𝑡−1
∗ + 𝑒𝑦𝑡∗......( L.152)
𝑃𝑡∗ = 𝜌𝑃∗ 𝑃𝑡−1
∗ + 𝑒𝑃𝑡∗.....( L.153)
��𝑡𝑎𝑟,𝑡 = 𝜌��𝑡𝑎𝑟��𝑡𝑎𝑟,𝑡−1 + 𝑒��𝑡𝑎𝑟,𝑡
.....( L.154)
A𝑡 = 𝜌𝐴A𝑡−1 + 𝑒A𝑡......( L.155)
𝑣𝑏,𝑡 = 𝜌𝑣𝑏𝑣𝑏,𝑡−1 + 𝑒𝑣𝑏,𝑡
.....( L.156)
57
𝑝𝑓,𝑡∗ = 𝜌𝑃𝑓
∗𝑝𝑓,𝑡−1∗ + 𝑒𝑃𝐹,𝑡
∗ .....( L.157)
𝑝𝐻,𝑡∗ = 𝜌𝑃𝐻
∗ 𝑝𝐻,𝑡−1∗ + 𝑒𝑃𝐻,𝑡
∗ ......( L.158)
𝜋𝑡 = 𝑝𝑡 − 𝑝𝑡−1.....( L.159)
𝜋4,𝑡 = 𝑝𝑡 − 𝑝𝑡−4.....( L.160)
𝜋𝑡∗ = 𝑝𝑡
∗ − 𝑝𝑡−1∗ ……(L.161)
𝑙𝑑𝑟𝑡 = 𝑏𝑡 − 𝑑𝑡…..(L.162)
𝑐𝑎𝑟𝑡 = 𝐾𝑡𝑏 − 𝜔𝑏𝑡𝑜𝑡 − 𝑏𝑡…..(L.163)
(𝑖𝑥,𝑡 + 𝑖𝑘,𝑡)𝑖𝑡𝑜𝑡,𝑡 = 𝜒𝑡𝑖𝑥,𝑡 + 𝑘𝑡𝑖𝑘,𝑡……(L.164)
Prior – Posterior
58
59